Anda di halaman 1dari 41

Referat

ASFIKSIA, TOKSIKOLOGI DAN TENGGELAM

Oleh

Adhwa Humaira, S.Ked

NIM. 1830912320044

Pembimbing

dr. Iwan Aflanie, M.Kes., Sp.F., S.H.

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN KEHAKIMAN

FK UNLAM – RSUD ULIN

BANJARMASIN

Maret, 2020
DAFTAR ISI

Halaman

COVER ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................. 3

BAB III KESIMPULAN...................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................38

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu penyebab kematian yang sering ditemukan dalam kasus

kedokteran forensik di dunia adalah asfiksia. Di Indonesia sendiri asfiksia

menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian terbanyak setelah kecelakaan lalu

lintas (KLL) dan trauma mekanik. Asfiksia sendiri merupakan suatu kondisi yang

disebabkan oleh berkurangnya oksigen dan berlebihnya karbondioksida dalam

darah. Hal ini terjadi oleh karena adanya gangguan pertukaran antara oksigen

dalam alveoli paru-paru dengan karbndioksida dalam darah kapiler paru-paru.

Secara umum asfiksia disebabkan oleh karena penyumbatan saluran pernapasan,

trauma dan keracunan bahan kimiawi. Mekanisme kematian yang terjadi akibat

asfiksia terjadi sangat cepat, penurunan kesadaran dapat terjadi dalam waktu 40

detik kemudian korban meninggal setelah beberapa menit. Hal tersebut

menyebabkan asfiksia cukup mendapatkan perhatian.1

Toksikologi berasal dari bahasa Yunani, toxicos dan logos, merupakan studi

mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap organisme/

makhluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari mengenai gejala, mekanisme, cara

detoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistim biologis makhluk hidup.

Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji akibat yang

berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan

lingkungannya. Toksikologi forensik adalah penerapan toksikologi untuk

1
2

membantu investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun

penggunaan obat-obatan.2

Tenggelam adalah proses mengalami gangguan pernapasan akibat

submerse/imersi di dalam cairan. Tenggelam merupakan salah satu penyebab

kematian utama. WHO Global Health terbaru menunjukkan bahwa lebih dari

320.000 orang kehilangan nyawa akibat tenggelam pada tahun 2016,

menyebabkan tenggelam sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama di

seluruh dunia. Hampir 60% dari kematian ini terjadi pada usia di bawah 30 tahun,

dan tenggelam merupakan penyebab utama kematian ketiga di dunia untuk anak-

anak berusia 5-14 tahun. Lebih dari 90% kematian akibat tenggelam terjadi di

negara-negara yang berpenghasilan rendah hingga menengah.3,4


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Asfiksia

1. Definisi

Asfiksia merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh berkurangnya

oksigen dan berlebihnya karbondioksida dalam darah. Hal ini terjadi oleh karena

adanya gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru-paru dengan

karbndioksida dalam darah kapiler paru-paru. Secara umum asfiksia disebabkan

oleh karena penyumbatan saluran pernapasan, trauma dan keracunan bahan

kimiawi.1

2. Etiologi5

a. Alamiah. Misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti

laryngitis difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis

paru.

b. Mekanik. Kejadian ini sering dijumpai pada keadaan hanging, drowning,

strangulation dan suffocation. Obstruksi mekanik pada saluran pernapasan

oleh:

 Tekanan dari luar tubuh misalnya pencekikan atau penjeratan;

 Benda asing;

 Tekanan dari bagian dalam tubuh pada saluran pernapasan, misalnya

karena tumor paru yang menekan saluran bronkus utama;

 Edema pada glottis.

3
4

Kerusakan akibat asfiksia (asphyxia injuries) dapat disebabkan oleh kegagalan

sel-sel untuk menerima atau menggunakan oksigen. Kehilangan oksigen dapat

terjadi parsial (hipoksia) atau total (anoksia)

c. Keracunan. Paralisis sistem respirasi karena adanya penekanan pada otak.

Bahan yang menimbulkan depresi pusat pernafasan misalnya barbiturate,

narkotika.

3. Epidemiologi

Asfiksia merupakan salah satu penyebab kematian yang sering ditemukan

dalam kasus kedokteran forensik di dunia. Di Indonesia sendiri asfiksia

menduduki peringkat ke-3 penyebab kematian terbanyak setelah kecelakaan lalu

lintas (KLL) dan trauma mekanik.1

4. Klasifikasi

Kematian akibat asfiksia dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu sufokasi,

strangulasi, dan asfiksia khemis.6

a. Sufokasi

Terdapat 6 bentuk umum dari sufokasi, yaitu:

 Sufokasi lingkungan/ terperangkap

Asfiksia disebabkan oleh oksigen lingkungan yang berkurang. Kejadian

yang sering adalah terperangkap (entrapment), korban terjebak dalam

ruangan yang kedap udara. Awalnya udara mencukupi, tetapi ketika

pernapasan berlanjut, korban kehabisan oksigen dan menjadi asfiksia.

Demikian juga kejadian pada sufokasi lingkungan (environmental


suffocation), akibat seseorang secara tidak sadar memasuki daerah yang

memang kurang oksigennya.

 Bekapan (smothering)

Asfiksia oleh bekapan atau sumbatan dari hidung dan mulut. Kejadian

seperti ini biasanya oleh karena pembunuhan atau bunuh diri, jarang

karena kecelakaan.

 Tersedak (choking)

Asfiksia disebebkan oleh sumbatan sepanjang saluran napas. Kematian

dapat terjadi secara alami, pembunuhan, atau kecelakaan. Kematian

alamiah dapat trjadi pada seseorang dengan infeksi daerah epiglottis yang

hebat dengan akibat terjadi obstruksi jalan napas akibat epiglottis yang

meradang tadi dan pembengkakan jaringan sekitarnya. Kejadian ini juga

sering adalah akibat kecelakaan. Pada anak-anak sering terjadi aspirasi

dari benda mainan, koin uang logam. Sementara pada orang dewasa

biasanya karena gigi palsu atau makanan.

 Asfiksia mekanis

Pada asfiksia mekanis, tekanan dari luar tubuh yang dapat menghambat

gerak respirasi. Kejadiannya hampir sebagian besar dikarenakan

kecelakaan. Asfiksia mekanis dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu (1)

asfiksia traumatis, yaitu terjadi saat sesuatu yang berat menahan

pergerakan dada atau perut atas, menyebabkan tidak bernapas; (2) asfiksia

posisional, biasanya akibat intoksikasi obat atau alkohol, menyebabkan

seseorang berada pada posisi yang menghambat jalan napas dan sulit
untuk melepaskan diri (mis: leher tertekuk); (3) asfiksia tertindih orang

lain (riot-crush/ “human pile” death), sesuai dengan namanya, asfiksia ini

terjadi sering dalam suatu keramaian atau kerusuhan yang melibatkan

orang banyak yang menimpa korban sehingga sulit bernapas.

b. Strangulasi

Terdapat 3 bentuk umum dari strangulasi, yaitu:

 Hanging

Asfiksia terjadi sekunder akibat adanya tekanan/ kompresi struktur leher

oleh tali atau benda pengikat lainnya yang dikencangkan oleh berat badan.

Kejadiannya lebih banyak akibat bunuh diri.

 Ligature strangulation

Pada ligature strangulation, tekanan leher diakibatkan oleh ikatan yang

dilakukan oleh kekuatan selain dari berat badan. Sebagian besar kasus dari

ligature strangulation adalah pembunuhan.

 Manual strangulation

Manual strangulation diakibatkan oleh tekanan lengan, atau tungkai

terhadap leher, menekan struktur dari leher. Kebanyakan kejadian ini

merupakan kasus pembunuhan.

Pada ketika bentuk strangulasi, penyebab kematian adalah asfiksia karena

sumbatan jalan nafas dan hipoksia otak akibat kompresi pembuluh darah yang

ke otak.
c. Asfiksia khemis

Pada asfiksia khemis, inhalasi dari sejumlah gas yang mencegah pengikatan

oksigen pada tingkatan sel. Bahan kimia paling sering sebagai penyebab

adalah karbon monoksida, selain itu, hydrogen sianida dan hydrogen sulfide

juga sering menjadi penyebab.

5. Patofisiologi

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua

golongan, yaitu:

a. Primer (akibat langsung dari asfiksia)

Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada

tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2. Bagian-

bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak O2, dengan demikian bagian

tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang

karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebelum dan ganglia basalis. Di

sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sehingga pada

organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya

perubahan akibat kekurangan O2 langsung atau primer tidak jelas.7,8,9

b. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)

Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang

rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena

meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk

kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan

cepat.8,9
Keadaan ini didapati pada:8,9

 Penutupan mulut dan hidung (pembekapan)

 Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan

dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena

cairan menghalangi udara masuk ke paru–paru.

 Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan

(traumatic asphyxia)

 Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat

pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

6. Pembagian Hipoksia

Hipoksia dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk

dapat melangsungkan metabolisme secara efisien. Dalam kenyataan sehari-hari

merupakan gabungan dari 4 kelompok. Kelompok tersebut adalah:5

a. Hipoksik-hipoksia (anoksik-anoksia), keadaan dimana oksigen tidak dapat

masuk aliran darah atau tidak cukup bisa mencapai aliran darah.

b. Stagnan-hipoksia (stagnant circulatory anoxia), terjadi karena gangguan

sirkulasi darah (embolism).

c. Anemik-hipoksia (anemic anoxia), darah tidak mampu mengangkut oksigen

yang cukup. Bisa karena volume darah yang kurang.

d. Histotoksik-hipoksia (histotoxic tissue anoxia), pada keadaan ini sel-sel tidak

dapat mempergunaan oksigen dengan baik.

7. Fase Asfiksia

Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu:5


a. Fase dispneu. Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah

merah dan penimbunan CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan

di medulla oblongata.

b. Fase konvulsi. Akibat kadar CO2 yang naik maka akan timbul rangsangan

terhadap susunan saraf pusat sehingga terjadi konvulsi (kejang) yang akhirnya

timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun,

tekanan darah juga menurun.

c. Fase apneu. Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat.

Pernapasan melemah dan dapat berhenti, kesadaran menurun, dan akibat dari

relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urine, dan tinja.

d. Fase akhir. Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan

berhenti setelah kontraksi ototmatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung

masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari saat

asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya

berkisar antara 4-5 menit.

8. Tanda Kardinal Asfiksia

Selama beberapa tahun dilakukan autopsy untuk mendiagnosis kematian

akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik, yaitu:10

a. Tardieu’s spot (petechial hemorrhage)

Tardieu's spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang

menyebabkan overdistensi dan rupturya dinding perifer vena, terutama pada

jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian

belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga
bisa terjadi di permukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada

lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan

faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

b. Kongesti dan oedema

Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan petechiae.

Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi

darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada

pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan

tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di

dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan

plasma ke dalam ruang intersitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-

sela jaringan ikat longar dan rongga badan (terjadi oedema).

c. Sianosis

Merupakan wama kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir

yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak

berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada

minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum

sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada

kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu

diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan

hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali

dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

d. Tetap cairnya darah


Terjadi karena peningkatan fibrinolisis pasca kematian. Gambaran tentang

tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat

asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada

jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak

pasti, seperti akhimya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim

fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia.

B. Toksikologi

1. Definisi

Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek

merugikan berbagai efek samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi

terhadap semua sistem makhluk hidup. Toksikologi forensik sendiri berkaitan

dengan penerapan ilmu toksikologi pada berbagai kasus dan permasalahan

kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan

konsekuensi medikolegal serta untuk menjadi bukti dalam pengadilan.11

2. Bentuk Keracunan Berdasarkan Motif

Dalam kasus tindak pidana harus dibuktikan adanya perbuatan yang salah

(actua rheus) dan situasi batin yang melatarbelakangi tindakan tersebut (men

rhea). Motif keracunan harus ditentukan sebagai unsur men rhea, apakah timbul

akibat kecerobohan (recklessness), kealpaan (negligence) atau kesengajaan

(intentional).5

Secara umum, motif keracunan dapat dibedakan menjadi dua bentuk (tipe)

berdasarkan korban keracunan, yaitu:5

a. Tipe S (spesific target)


Menunjukkan bahwa korban keracunan hanya orang tertentu dan

biasanya antara pelaku dan korban sudah saling kenal. Motivasi yang biasanya

melatarbelakangi, antara lain: uang, membunuh, pembunuhan lawan politik

dan balas dendam. Keracunan tipe S berdasarkan terjadinya dibagi ke dalam

dua sub grup yaitu:

 Sub grup S tipe S/S (spesific/slow) dimana keracunan terjadi secara

perlahan dan direncanakan oleh pelaku.

 Sub grup Q tipe S/Q (spesific/quick) dimana keracunan terjadi secara

mendadak dan tanpa perencanaan sebelumnya.

Pemeriksaan terhadap korban keracunan tipe S/S perlu mendapat

perhatian lebih sebab kegagalan pembuktian tanda-tanda keracunan oleh

dokter sangat sering membuat kasus tersebut menjadi kasus tersebut menjadi

kasus pembunuhan yang sempurna (the perfect murder). Pembunuhan yang

sempurna adalah kematian korban yang sesungguhnya akibat tindaan pidana

tetapi dokter menyatakan sebagai kematian wajar karena faktor penyakit.

Kasus pembunuhan yang sempurna terjadi bukan karena keahlian si

pembunuh, tetapi akibat kegagalan dokter mengenali tanda-tanda keracunan

pada korban.

b. Tipe R (random target)

Terjadi pada korban yang acak. Motivasi bentuk keracunan ini biasanya

ego, sadistik, dan teror. Berdasarkan kejadiannya keracunan tipe R dibagi:


 Sub grup S tipe R/S (random/slow), terorisme merupakan salah satu

benuk keracunan tipe ini bila racun yang dipakai sebagai alat untuk

menjalankan teror.

 Sub tipe Q tipe R/Q (random/quick), dimana keracunan terjadi secara

mendadak.

3. Pemeriksaan Forensik Klinik Terhadap Korban Keracunan

Dalam pemeriksaan forensik klinis, anamnesis dapat bersifat autoanamnesis

bila korban kooperatif atau alloanamnesis baik terhadap keluarga koban atau

penyidik. Beberapa hal yang perlu ditekankan dalam anamnesis meliputi:5

a. Jenis racun;

b. Cara masuk racun (route of administration) : melalui ditelan, terhisap bersama

udara pernafasan, melalui penyuntikan, penyerapan melalui kulit yang sehat

atau kulit yang sakit, melalui anus atau vagina;

c. Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban;

d. Keadaan sikiatri korban;

e. Keadaan kesehatan fisik korban;

f. Faktor yang menigkatkan efek letal zat yang digunakan seperti penyakit,

riwayat alergi atau idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi).

Dalam pemeriksaan fisik, harus dicatat semua bukti-bukti medis meliputi

tanda-tanda mencurigakan pada tubuh korban seperti bau tertentu yang keluar dari

mulut atau saluran napas, warna muntahan dan cairan atau sekret yang keluar dari

mulut atau saluran napas, adanya tanda suntikan, dan tanda fenomena drainage.

Gejala-gejala dan perlukaan tertentu harus dicatat seperti kejang, pin point pupil
atau tanda gagal napas. Demikian juga terhadap luka-luka lecet sekitar mulut, luka

suntikan atau kekerasan lainnya. Bau-bau tertentu harus dikenali dalam

pemeriksaan seperti bau amandel pada keracunan sianida, bau pestisida atau bau

minyak tanah yang dipakai sebagai pelarut.5

Pengambilan dan analisis sampel dilakukan dengan mengambil sisa

muntahan, sekret mulut dan hidung, darah serta urin. Bila racun per oral, analisis

isi lambung harus dilakukan secara visual, bau dan secara kimia. Skrening racun

diambil dari sampel urin dan darah.5

Hasil akhir pemeriksaan forensik klinik adalah diterbitkannya Visum et

Repertum Peracunan yang merupakan salah satu alat bukti sah di pengadilan.

Prosedur penerbitan Visum et Repertum Peracunan sesuai dengan prosedur

medikolegal penerbitan visum dimana harus dibuat berdasarkan Surat Permintaan

Visum resmi penyidik (Pasal 133 KUHAP). Dalam Visum et Repertum peracunan

ditentukan kualifikasi luka akibat peracunan, dimana penentuannya berdasarkan

penilaian efek racun terhadap metabolisme dan gangguan fungsi organ yang

diakibatkan oleh racun.5

4. Pemeriksaan Forensik Kasus Keracunan terhadap Korban yang Sudah

Meninggal

Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan

keracunan pada korban yang sudah meninggal antara lain:5

a. Pemeriksaan post mortem

 Pemeriksaan luar
Pada pemeriksaan luar untuk kasus keracunan, kemungkinan

didapatkan:

 Racun jenis tertentu mengeluarkan bau aroma yang khas, misalnya

asam hidrosianida, asam karbonat, kloroform, alkohol, dll. Untuk

menjaga keutuhan jenazah tidak boleh menggunakan cairan

desinfektan yang mempunyai bau (aroma).

 Pada permukaan tubuh jenazah mungkin ditemukan bercak-bercak

yang berasal dari muntahan, feses dan kadang-kadang jenis racun itu

sendiri.

 Perubahan warna kulit, misalnya menjadi kuning pada keracunan

fosfor dan keracunan akut akibat unsur tembaga sulfat.

 Keadaan pupil mata dan jari tangan yang lemas atau mengepal.

 Pemeriksaan lubang pada tubuh jenazah untuk melihat adanya tanda-

tanda bekas zat korosif atau benda asing.

 Livor mortis yang khas, merah terang, cherry red atau merah coklat

(bila racunnya menyebabkan perubahan warna darah sehingga warna

lebam jenazah mengalami perubahan.

 Pemeriksaan dalam

Pada umumnya tanda-tanda keracunan tampak pada traktus

gastrointestinal, terutama jika keracunan akibat zat korosif atau iritan.

Perubahan yang terjadi adalah:

 Hiperemia
Warna kemerahan pada membran mukosa paling jelas terlihat

pada bagian cardiac lambung dan pada bagian curvatura major.

Warnanya adalah merah gelap dan hiperemia ini bentuknya bisa

merata atau bercak, misalnya pada keracunan arsen hiperemia adalah

merah merata. Perubahan warna juga bisa muncul karena berbagai

unsur lainnya seperti sari buah. Asam nitrat menyebabkan warna

kuning pada usus. Hiperemia harus dibedakan dengan kongesti vena

secara menyeluruh yang terjadi pda kematian akibat asfiksia.

Gambaran yang membedakan dengan hiperemia yang disebabkan oleh

penyakit adalah pada hiperemia karena penyakit sifatnya merata dan

terdapat pada seluruh permukaan serta tidak berupa bercak, selain itu

gambaran membran mukosa lebih banyak terkena pada kasus

keracunan.

 Perlunakan

Keadaan ini terjadi pada keracunan korosif, lebih sering terlihat

pada kardiak lambung, kurvatura mayor, mulut, tenggorokan dan

esofagus. Jika disebabkan karena penyakit, gambaran ini hanya tampak

pada lambung. Juga harus dibedakan dengan perlunakan post mortem

yang terdapat pada bagian yang lebih rendah dan mengenai seluruh

lapisan dinding lambung. Pada bagian yang mengalami perlunakan

tidak ada tanda-tanda inflamasi.

 Ulserasi
Paling sering ditemukan ditemukan pada curvatura major

lambung dan harus dibedakan dengan tukak peptik yang paling sering

terdapat di curvatura minor lambung dan ditandai dengan adanya

hiperemia di sekitar tukak tersebut.

 Perforasi

Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus keracunan asam sulfat.

Perforasi juga bisa terjadi akibat tukak kronis, tetapi bentuk perforasi

pada kasus ini biasannya lonjong atau bulat, pinggirnya melekuk ke

arah luar dan lambung menunjukkan tanda-tanda perlekatan dengan

jaringan sekitar.

b. Pemeriksaan kimia/toksikologi pada organ tubuh bagian dalam

Ditemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh

merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa

ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan

ginjal. Organ tubuh dan bahan yang diperiksa antara lain:5

 Urin, empedu dan feses, urin diambil seluruhnya

 Darah, yang berasal dari sentral (jantung), dan yang berasal dari perifer

(v.jugularis; a.femoralis dan sebagainya) masing-masing 50 ml, dan dibagi

dua, yang satu diberi bahan pengawet (NaF 1%), yang lain tidak diberi

bahan pengawet.

 Lambung dan isinya

 Bagian dari usus halus (duodenum dan jejunum) dengan isinya dengan

membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada usus setiap jarak 60 cm.


 Hati sebagai tempat detoksifikasi diambil sebanyak 500 gram

 Setengah bagian dari masing-masing ginjal

 Otak diambil 500 gram, dan medulla spinalis, terutama pada keracunan

striknin, kloroform dan sianida

 Uterus dan organ-organ yang berkaitan dengan uterus, jika ada kecurigaan

abortus kriminalis

 Paru-paru terutama pada keracunan kloroform

 Tulang, rambut, gigi dan kuku

 Organ tubuh lainnya yang dicurigai mengandung racun.

c. Pengumpulan bukti-bukti dari sekitar tempat kejadian

5. Kunci Pembuktian Kasus Keracunan

Dalam pembuktian kasus keracunan sebagai tindak pidana, banyak hal yang

harus dibuktikan dan dalam pembuktiannya banyak melibatkan dokter forensik

klinis. Hal yang dibuktikan antara lain:5

a. Bukti hukum (legally proving): bukti hukum yang dapat diterima di

pengadilan (adminissible) sangat tergantung dari keaslian bukti tersebut

sehingga penatalaksanaan terhadap bukti-bukti pada korban sangat diperlukan.

Terlebih lagi pada kasus tindak pidana yang memerlukan standar pembuktian

dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi yaitu sampai tidak ada keraguan

yang beralasan;

b. Pembuktian motif keracunan;

c. Kondisi yang memungkinkan dapat diperolehnya racun seperti adanya resep,

toko obat atau toko yang menyediakan substansi yang digunakan;


d. Bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan korban, gangguan kepribadian,

kondisi kesehatan, dan penyakit serta kesempatan dilibatkannya racun;

e. Bukti kesengajaan (intentional);

f. Bila korban meninggal harus ditentukan sebab kematian korban adalah racun

dengan menyingkirkan sebab kematian yang lainnya;

g. Bukti peracunan adalah homicide.

Dari 7 bukti pembuktian kasus keracunan tersebut, tampak bantuan dokter

sangat diperlukan dalam beberapa langkah terutama:5

a. Pengumpulan, pencatatan dan interpretasi bukti keracunan medis dalam upaya

memberikan pembuktian hukum;

b. Menemukan bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan, kondisi fisik dan

keadaan psikiatri korban;

c. Penentuan sebab kematian bila korban dengan mengeklusi penyebab kematian

lainnya.

6. Pemeriksaan Toksikologi pada Kematian Akibat Keracunan

Investigasi kematian akibat keracunan dapat dibagi menjadi tiga tahap,

yaitu:5

a. Mengumpulkan keterangan riwayat keracunan dan spesimen yang sesuai;

Saat ini, terdapat banyak bahan yang beredar di masyarakat yang dapat

menyebabkan kematian jika dicerna, diinjeksi, atau terinhalasi. Ahli

toksikologi harus membatasi sejumlah material yang dianalisis. Sebelum

memulai analisis, penting sekali dilakukan pengumpulan informasi yang

mungkin berkaitan dengan fakta keracunan. Ahli toksikologi harus


memperhatikan usia, jenis kelamin, berat badan, riwayat kesehatan, dan

pekerjaan korban, pemberian terapi sebelum meninggal, temuan pada autopsi,

obat yang terdapat pada korban, dan interval waktu antara onset gejala dan

kematian.

Pengumpulan spesimen untuk analisis toksikologi biasanya dilakukan

saat dilakukan autopsi. Spesimen dari sejumlah cairan tubuh dan organ

penting untuk mengambarkan afinitas obat dan racun terhadap jaringan tubuh.

Spesimen harus dikumpulkan sebelum jenazah diawetkan, dimana proses ini

dapat merusak atau melarutkan racun dan membuat deteksi menjadi tidak

memungkinkan. Contohnya CN dirusak oleh proses pembalseman.

b. Analisis toksikologi

Sebelum memulai analisis, ahli toksikologi harus mempertimbangkan

beberapa faktor yaitu: jumlah spesimen yang tersedia, sifat dasar temuan racun

dan biotransformasi racun. Pada kasus keracunan dengan racun yang masuk

per oral, isi saluran cerna harus dianalisi pertama kali, ketika sejumlah residu

racun yang tak terabsorbsi masih ditemukan. Selanjutnya urin dapat dianalisis,

karena ginjal merupakan organ ekskresi utama untuk kebanyakan racun dan

racun dalam konsentrasi tinggi sering ditemukan pada urin. Setelah absorbsi

pada saluran cerna, obat atau racun pertama-tama dibawa ke hepar sebelum

memasuki sirkulasi sistemik, oleh karena itu, analisis pertama dari organ

dalam dilakukan pada hepar. Jika racun tertentu diduga atau diketahui terlibat

pada kasus kematian, ahli toksikologi memilih menganalisis pertama- tama

jaringan dan cairan dimana racun terkonsentrasi.


c. Interpretasi terhadap hasil analisis

Setelah mengumpulkan keterangan-keterangan tentang riwayat kasus

keracunan, mengumpulkan laporan hasil analisis berdasarkan toksisitas,

distribusi, dan biotransformasi dan membandingkan hasil analisis dengan

kasus serupa yang pernah dilaporkan pada literatur yang berkualitas atau kasus

serupa dari pengalamannya sendiri.

Pemeriksaan toksikologi diperlukan pada kondisi seperti kasus kematian

mendadak yang terjadi pada seseorang maupun sekelompok orang, kematian yang

dikaitkan dengan tindakan abortus, kasus perkosaan atau kejahatan seksual

lainnya, kecelakaan transportasi, khususnya pada pengemudi dan pilot, kasus

penganiayaan dan pembunuhan (selektif), kasus yang memang diketahui atau

pasti diduga menelan racun, kematian setelah tindakan medis, penyuntikan,

operasi dan lain sebagainya.5

Gejala yang menyerupai keracunan (apparent intoxication), yaitu:

a. Koma hipoglikemik;

b. Cerebrovasculer accident (CVA);

c. Exhaustion setelah kejang atau setelah pemakaian MDMA;

d. Trauma otak dan kematian otak;

e. Meningitis;

f. Flash black setelah penyalahgunaan obat;

g. Gejala withdrawal;

h. Idiosinkrasi dan reaksi hipersensitivitas;

i. Syok neurogenik;
j. Gejala tak terduga dari penyakit tertentu seperti penyakit Lyme atau tumor

otak.

C. Tenggelam

1. Definisi

Tenggelam (drowning) adalah kematian yang disebabkan oleh aspirasi

cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh atau sebagian tubuh ke

dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan

gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak terjadi kematian.

Mekanisme lain menyebutkan karena ketidakseimbangan elektrolit serum yang

mempengaruhi fungsi jantung (refleks kardiak) dan bisa juga disebabkan karena

laringospasme sebagai akibat refleks vagal.7,12

2. Mekanisme Tenggelam

Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat

spasme laring, asfiksia karena garggling dan choking, refleks vagal, fibrilasi

ventrikel (air tawar) dan edema pulmoner (dalam air asin).13

a. Refleks vagal

Kematian terjadi sangat cepat dan pada pemeriksaan post mortem tidak

ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia ataupun air di dalam parunya sehingga

sering disebut tenggelam kering (dry drowning).13

b. Spasme laring

Spasme laring disebabkan karena rangsangan air, terutama air dingin,

yang masuk ke laring. Pada pemeriksaan post mortem ditemukan adanya

tanda-tanda asfiksia, tetapi parunya tidak didapati adanya air atau benda air.14
c. Pengaruh air yang masuk paru

Hipoksia dan asidosis serta efek multiorgan dari proses ini yang

menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada tenggelam. Kerusakan sistem

saraf pusat dapat terjadi karena hipoksemia yang terjadi karena tenggelam

(kerusakan primer) atau dari aritmia, gangguan paru atau disfungsi

multiorgan.15

3. Klasifikasi Tenggelam

a. Berdasarkan morfologi penampakan paru

Berdasarkan morfologi penampakan paru pada otopsi, tenggelam

dibedakan atas tenggelam kering (dry drowning), tenggelam tipe basah (wet

drowning).14

 Tipe kering (dry drowning)

Tenggelam tipe kering paling banyak terjadi pada anak-anak dan

dewasa yang banyak di bawah pengaruh obat-obatan (hipnotik sedatif)

atau alkohol, dimana mereka tidak memperlihatkan kepanikan atau usaha

penyelamatan diri saat tenggelam. Selain itu, air tidak teraspirasi masuk ke

traktus respiratorius bawah atau ke lambung. Kematian terjadi secara

cepat, merupakan akibat dari refleks vagal yang dapat menyebabkan henti

jantungatau akibat darispasme laring karena masuknya air secara tiba-tiba

ke dalam hidung dan traktus respiratorius bagian atas.14

Beberapa faktor predisposisi kematian akibat dry drowning seperti

intoksikasi alkohol (mendepresi aktivitas kortikal), adanya penyakit yang

sebelumnya (seperti aterosklerosis), kejadian tenggelam/ terbenam secara


tak terduga/ mendadak, ketakutan atau aktivitas fisik berlebih (peningkatan

sirkulasi katekolamin, disertai kekurangan oksigen, dapat menyebabka

cardiac arrest).14

 Tipe basah (wet drowning)

Pada tenggelam tipe basah (wet drowning) terjadi aspirasi cairan.

Aspirasi 1-3 ml/kgBB air akan signifikan dengan berkurangnya pertukaran

udara. Aspirasi air sampai paru menyebabkan vasokonstriksi pembuluh

darah paru. Air tawar bergerak dengan cepat ke membran kapiler alveoli.

Surfaktan menjadi rusak sehingga menyebabkan ninstabilitas alveoli,

atelektasis, dan menurunnya kemampuan paru untuk mengembang.14

Pada wet drowning, yang mana terjadia inhalasi cairan, korban

menahan nafas karena peningkatan CO2 dan penurunan kadar O2 terjadi

megap-megap. Dapat terjadi regurgitasi dan aspirasi isi lambung kemudian

adanya laringospasme yang diikuti dengan pemasukan air. Setelah itu,

korban kehilangan kesadaran dan terjadi apneu. Penderita kemudian

megap-megap kembali, bisa sampai beberapa menit diikuti kejang-kejang.

Penderita akhirnya mengalami henti nafas dan jantung.14

b. Berdasarkan lokasi tenggelam

Jika ditinjau berdasarkan jenis air tempat terjadinya tenggelam, maka dapat

dibedakan menjadi tenggelam di air tawar dan tenggelam di air asin

 Air Tawar

Air tawar akan dengan cepat diserap dalam jumlah besar, sehingga

terjadi hemodilusi yang hebat sampai 72% yang berakibat terjadinya


hemolisis. Oleh karena terjadi perubahan biokimiawi yang serius, dimana

kalium dalam plasma meningkatdan natrium berkkurang, juga terjadi

anoksiayang hebat pada miokardium. Hemodilusi menyebabkan cairan

dalam oembuluh darah atau sirkulasi, menjadi berlebihan sehingga terjadi

penurunan tekanan sistol dan dalam waktu beberapa menit terjadi fiberilasi

ventrikel. Jantung untuk beberapa saat masih berdenyut dan lemah, terjadi

anoksia serebri yang hebat yang dapat mejelaskan mengapa kematian

terjadi dengan cepat.7

 Air asin

Pada tenggelam di air laut terjadi pertukaran eletrolit dari air asin ke

darah sehingga mengakibatkan peningkata natirum plasma, air akan ditarik

dari sirkulasi pulmoinal ke dalam jaringan interstitial paru yang akan

menimbulkan edema pulmo yang hebat dalam waktu yang singkat dna

peningkatan hematokrit (hipovolemiia). Peningkatan viskositas darah

(hemokonsentrasi) menyebabkan sirkulasi aliran darah menjadi lambat dan

anoksia pada miokardium yang menimbulkan payah jantung dan kematian

terjadi kurang lebih 8-9 menit setelah tenggelam.16

4. Cara Kematian pada Korban Tenggelam

Peristiwa tenggelam dapat terjadi karena:7

a. Kecelakaan

Peristiwa tenggelam terjadi karena kecelakaan sering terjadi karena

korban jatuh ke laut, sungai ataupun danau. Pada anak-anak, kecelakaan sering
terjadi di kolam renang atau galian tanah berisi air. Faktor-faktor yang sering

menjadi penyebab kecelakaan antara lain karena mabuk atau serangan epilepsi

b. Bunuh diri

Peristiwa bunuh diri dengan menjatuhkan diri ke dalam air sering kali

terjadi. Terkadang tubuh pelaku diikat dengan pemberat agar supaya tubuh

dapat tenggelam dengan mudah

c. Pembunuhan

Banyak cara yang digunakan misalnya dengan melemparkan korban ke

laut atau memasukkan kepala ke dalam bak berisi air.

5. Pemeriksaan pada Jenazah

Pemeriksaan mayat yang dilakukan harus seteliti mungkin agar mekanisme

kematian dapat ditentukan karena seringkali mayat ditemukan sudah membusuk.

Hal yang perlu diperhatikan adalah.16

a. Menentukan identitas korban

Identitas korban dapat ditentukan dengan memeriksa antara lain:

 Pakaian dan benda-benda milik korban.

 Warna, distribusi rambut, dan identitas lain.

 Kelainan atau deformitas dan jaringan parut.

 Sidik jari.

 Pemeriksaan gigi.

 Teknik identifikasi lain.

b. Apakah korban masih hidup sebelum tenggelam


Pada mayat yang masih segar untuk menentukan korban masih hidup atau

sudah meninggal pada saat tenggelam dapat diketahui dari hasil pemeriksaan.

 Metode yang digunakan apakah orang masih hidup saat tenggelam ialah

pemeriksaan diatom. Metode ini bukan tanda pasti karena pada paru

seorang penyelam bisa jadi juga didapatkan diatom dalam parunya. Untuk

mendapatkan diatom pada organ selain paru dibutuhkan proses

tengggelam dalam keadaan hidup dan dalam waktu yang lama.

 Untuk membantu menentukan diagnosis, dapat dibandingkan kadar

elektrolit magnesium darah dari bilik jantung kiri dan kanan.

 Benda asing dalam paru dan saluran pernafasan mempunyai nilai yang

menentukan pada mayat yang terbenam selama beberapa waktu dan mulai

membusuk. Demikian pula dengan isi lambung dan usus.

 Pada mayat yang segar, adanya air dalam lambung dan alveoli yang secara

fisik dan kimia sama dengan air tempat korban tenggelam mempunyai

nilai yang bermakna.

 Pada beberapa kasus, ditemukan kadar alkohol tinggi dapat menjelaskan

bahwa korban sedang dalam keracunan alkohol pada saat masuk ke dalam

air.

c. Penyebab kematian yang sebenarnya dan jenis drowning

Pada mayat yang segar, gambaran pasca-mati dapat menunjukkan tipe

drowning dan juga penyebab kematian lain seperti penyakit, keracunan atau

kekerasan lain. Pada kecelakaan di kolam renang benturan ante-mortem


(antemortem impact) pada tubuh bagian atas, misalnya memar pada muka,

perlukaan pada vertebra servikalis dan medula spinalis dapat ditemukan.

d. Faktor- faktor yang berperan dalam proses kematian

Faktor- faktor yang berperan dalam dalam proses kematian, misalnya

kekerasan, alkohol atau obat-obatan dapat ditemukan pada pemeriksaan luar atau

bedah jenazah.

e. Tempat korban pertama kali tenggelam

Bila kematian korban berhubungan dengan masuknya cairan ke dalam

saluran pernafasan, maka pemeriksaan diatom dari air tempat korban ditemukan

dapat membantu menentukan apakah korban tenggelam di tempat itu atau di

tempat lain.

f. Apakah ada penyulit alamiah lain yang mempercepat kematian.

 Bila sudah ditentukan bahwa korban masih hidup pada masuk ke dalam

air. Maka perlu ditentukan apakah kematian disebabkan karena air masuk

ke dalam saluran pernafasan (tenggelam). Pada kasus immersion, kematian

terjadi dengan cepat, hal ini mungkin disebabkan oleh sudden cardiac

arrest yang terjadi pada waktu cairan melalui saluran napas atas. Beberapa

korban yang terjun dengan kaki terlebih dahulu menyebabkan cairan

dengan mudah masuk ke hidung. Faktor lain adalah keadaan

hipersensitivitas dan kadang-kadang keracunan alkohol.

 Bila tidak ditemukan air dalam paru- paru dan lambung, berarti kematian

terjadi seketika akibat spasme glotis yang menyebabkan cairan tidak dapat

masuk. Korban yang tenggelam akan menelan air dalam jumlah yang
makin lama makin banyak, kemudian menjadi tidak sadar dalam 2-12

menit (fatal period). Dalam periode ini, apabila korban dikeluarkan dari

air, masih ada kemungkinan dapat hidup bila upaya resusitasi berhasil.

Waktu yang diperlukan untuk terbenam dapat bervariasi tergantung dari

keadaan sekeliling korban, keadaan masing-masing korban, reaksi

perorangan yang bersangkutan, keadaan kesehatan, dan jumlah serta sifat

cairan yang dihisap masuk ke dalam saluran pernapasan.

6. Pemeriksaan Luar Jenazah

Pemeriksaan luar jenazah yang dapat dijadikan petunjuk pada mati

tenggelam di air laut maupun air tawar adalah:17

a. Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir, lumpur dan benda-

benda asing lain yang terdapat di dalam air, kalau seluruh tubuh terbenam

dalam air.

b. Schaumfilz froth merupakan busa halus pada hidung dan mulut. Teori

intravital menyebutkan Schaumfilz sebagai bagian dari reaksi intravital. Pada

waktu air memasuki trakea, bronkus, dan saluran pernapasan lainnya, maka

terjadi pengeluaran sekret oleh saluran tersebut. Sekret ini akan terdorong

keluar oleh udara pernapasan sehingga berbentuk busa mukosa.

c. Mata setengah terbuka atau tertutup. Jarang terjadi perdarahan atau

bendungan.

d. Kutis anserina atau goose flesh merupakan reaksi intravital, jika kedinginan,

maka muskulus erektor pili akan berkontraksi dan pori-pori tampak lebih

jelas. Kutis anserina biasanya ditemukan pada kulit anterior tubuh terutama
ekstremitas. Gambaran seperti kutis anserina dapat juga terjadi karena rigor

mortis pada otot tersebut.

e. Washer woman’s hand. Telapak tangan dan kaki berwarna keputihan dan

berkeriput yang disebabkan karena imbibisi cairan ke dalam kutis dan

biasanya membutuhkan waktu yang lama. Tanda ini tidak patognomomik

karena mayat yang lama dibuang ke dalam air akan terjadi keriput juga.

f. Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban

berusaha menyelamatkan diri dengan cara memegang apa saja yang terdapat

dalam air.

g. Luka lecet akibat gesekan benda-benda dalam air. Luka lecet biasanya

dijumpai pada bagian menonjol, seperti kening, siku, lutut, punggung kaki

atau tangan. Puncak kepala mungkin terbentur pada dasar ketika terbenam,

tetapi dapat pula terjadi luka post-mortal akibat benda-benda atau binatang

dalam air.

h. Dapat ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia seperti sianosis, Tardieu spot.

Petekie dapat muncul pada kasus tenggelam, tetapi lebih sedikit daripada

gantung diri karena pada tenggelam tidak terjadi kematian secara mendadak

sehingga pecahnya kapiler tidak secara tiba-tiba atau hanya sedikit.

Pada mayat yang sudah membusuk, dapat ditemukan:

a. Mata melotot karena terbentuknya gas pembusukan.

b. Lidah tampak keluar karena gas pembusukan yang mendorong pangkal lidah.

Hal ini juga dapat terjadi pada mayat yang mengalami pembusukan di darat.
c. Muka menjadi hitam dan sembab yang disebut tite de negre (kepala orang

negro).

d. Pugilistic attitude

e. Posisi lutut dan siku sedemikian rupa sehingga kaki dan tangan tampak

membengkok (frog stand). Ini disebabkan cairan dan gas yang terbentuk pada

persendian.

f. Vena tampak jelas berwarna hijau sampai kehitam-hitaman karena terbentuk

FeS. Ini dapat juga terjadi pada orang yang mati di darat.

g. Pada laki-laki tampak skrotum membesar, mungkin terjadi prolaps atau

adanya gas pembusukan. Pada wanita hamil dapat keluar anak yang

dikandung.

h. Bila lebih membusuk lagi, kulit ari akan mengelupas sehingga warna kulit

tidak jelas, rambut lepas.

7. Pemeriksaan Dalam

Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat ditemukan busa halus dan benda

asing, seperti pasir atau tumbuhan air, dalam saluran pernapasan.16

Pada korban tenggelam di air tawar biasanya ditemukan dalam keadaan

besar atau menggelembung tetapi ringan, dan pinggir depan biasanya overlap di

depan hati. Namun, dapat ditemukan paru-paru yang biasa karena cairan tidak

masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke aliran darah (melalui proses

imbibisi). Paru berwarna merah jambu pucat dan dapat mengalami emfisema.

Ketika paru tersebut dipindahkan dari dada, paru tetap mempertahankan bentuk

normalnya dan cenderung tidak kolaps. Ketika memotong paru yang mengalami
emfisema kering akan terdengar bunyi krepitasi yang mudah dinilai. Setelah

dipotong, masing-masing bagian paru mempertahankan bentuk normalnya seperti

sebelum dipotong dan cenderung berdiri tegak. Ketika jaringan dipotong dan

ditekan antara ibu jari dan keempat jari lainnya terdapat sedikit buih dan tidak ada

cairan dan gas, kecuali jika terdapat edema. Dengan demikian, paru tetap kering

pada kasus tenggelam di air tawar.16

Pada kasus tenggelam di air laut, paru-paru dapat ditemukan membesar

seperti balon, lebih berat, sampai menutupi jantung. Pada pengirisan terdapat

banyak cairan, beratnya kadang melebihi 2.000 gram. Karena paru sangat edema

maka tepi depan paru overlap di depan mediastinum sehingga berbentuk seperti

cetakan iga. Paru berwarna keunguan atau kebiruan dengan permukaan

mengkilap. Paru lembab dan konsistensinya seperti agar-agar dan hilang dengan

penekanan. Ketika paru dipindahkan dari tubuh dan ditempatkan pada meja

pemotongan, paru tidak mempertahankan bentuk normalnya tapi cenderung datar.

Ketika dipotong, tidak ada suara krepitasi yang terdengar dan bahkan tanpa

penekanan jaringan mengeluarkan banyak cairan. Jaringan paru ditekan maka

akan ditemukan paru dipenuhi cairan. Dengan demikian kasus tenggelam di air

laut paru mengalami lembab dan basah.16,18

Petekie yang sangat sedikit dapat ditemukan karena kapiler terjepit di antara

septum inter alveolar. Dapat ditemukan bercak-bercak perdarahan yang disebut

bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli (Polsin). Petekie subpleura dan

bula emfisema jarang ditemukan dan bukan merupakan tanda khas tenggelam,

tetapi sebagai usaha respirasi.16


Sedangkan untuk mengetahui benda-benda air yang masuk ke saluran

pernafasan dapat dibuktikan dengan membuka saliran pernafasan dari trakea,

bronkus sampai percabangan bronkus di hilus. Jika dari pemeriksaan ditemukan

benda-benda air seperti pasir, kerikil, lumpur, tumbuhan air dan lain-lain maka

dapat dipastikan bahwa korban masih hidup sebelum tenggelam.16

Organ lain seperti otak, ginjal, hati, dan limpa dapat mengalami

pembendungan. Lambung dan usus halus dapat sangat membesar, berisi air dan

lumpur.16

8. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan diatom

Diatom merupakan alga (ganggang) bersel satu dengan dinding sel yang

terbuat dari silikat yang tahan panas dan asam kuat. Diatom dapat ditemukan

dalam air tawar, air laut, air sungai, air sumur, dan udara. Diatom dan elemen

plankton lain masuk ke dalam saluran pernapasan atau pencernaan ketika

seseorang tenggelam menelan air. Kemudian diatom akan masuk ke dalam

aliran darah melalui kerusakan dinding kapiler pada waktu korban masih

hidup dan tersebar ke seluruh jaringan. Di sisi lain, jika sebuah mayat

ditenggelamkan dalam air meskipun diatom dapat masuk ke dalam paru-paru

secara pasif, tidak ada aliran sirkulasi darah yang mungkin terjadi, sehingga

(secara teori) tidak mungkin ada diatom yang dapat ditemukan pada organ-

organ dalam yang lebih jauh.16

Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila

mayat telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan ginjal,


otot skelet atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom pada hati dan limpa

kurang bermakna sebab berasal dari penyerapan abnormal dari saluran

pencernaan terhadap air minum atau makanan.16

Pemeriksaan diatom dengan metode destruksi (digesti asam) pada paru

dilakukan dengan mengambil dari jaringan perifer paru sebanyak 100 gram,

masukkan ke dalam labu Kjeldahl dan tambahkan asam sulfat pekat sampai

jaringan paru terendam, diamkan lebih kurang setengah hari agar jaringan

hancur. Kemudian dipanaskan dalam lemari asam sambil diteteskan asam

nitrat pekat sampai terbentuk cairan jernih, dinginkan dan cairan dipusing

dalam centrifuge.16

Sedimen yang terbentuk ditambahkan dengan akuades, pusingkan

kembali dan akhirnya dilihat dengan mikroskop. Pemeriksaan diatom positif

bila pada jaringan paru ditemukan diatom cukup banyak, 4-5/LPB atau per 10-

20 per satu sediaan atau pada sumsum tulang cukup ditemukan hanya satu.16

Selain itu, dapat dilakukan pemeriksaan getah paru dengan cara

permukaan paru disiram dengan air bersih, lalu iris bagian perifer, ambil

sedikit cairan perasan dari jaringan perifer paru, taruh pada gelas obyek, tutup

dengan kaca penutup dan lihat dengan mikroskop. Selain diatom dapat pula

terlihat ganggang atau tumbuhan jenis lainnya.16

Menurut Simpson, bahwa tes diatom terkadang negatif, bahkan pada

kasus-kasus yang jelas-jelas tenggelam pada air yang banyak diatom dan telah

banyak hasil positif palsu yang dikatakan terjadi karena alasan teknis dari
karena itu tes ini jadi sangat tidak realibel sehingga teknik ini seharusnya

dilakukan dan hasilnya diinterpretasikan dengan pertimbangan keadaan lain.13

b. Pemeriksaan Elektrolit

Pada tahun 1921 Gettler mengemukakan bahwa penentuan ada tidaknya

klorida pada darah yang berasal dari ruang-ruang jantung adalah salah satu tes

yang baik yang dapat digunakan dalam mendiagnosis kasus tenggelam.

Banyak dari peneliti telah mengemukakan pandangan-pandangan yang

berbeda tentang validitas studi klorida dalam mendiagnosis kasus tenggelam.

Pada tahun 1944 Moritz dan mengungkapkan pandangan bahwa perbedaan

kadar klorida pada sampel darah yang berasal dari ventrikel jantung kanan dan

kiri dapat bernilai diagnostik hanya jika analisa yang dilakukan adalah segera

setelah terjadinya kematian. Dia menetapkan bahwa perbedaan kadar klorida

sekitar 17 mEq/L atau lebih pada kasus tenggelam di air tawar dapat

ditetapkan sebagai pendukung penegakan diagnosis tenggelam.18

Menurut Gettler, pada kasus tenggelam di air tawar, kadar serum klorida

di darah yang berasal dari jantung kiri lebih rendah dari jantung sebelah

kanan. Sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya.17

Selain itu, tes lain, tes Durlacher juga dapat digunakan untuk

menentukan diagnosis selain tes Gettler. Tes Durlacher digunakan untuk

menentukan perbedaan dari berat jenis plasma dari jantung kanan dan kiri.

Bila pada pemeriksaan ditemukan berat jenis jantung kiri lebih tinggi

dibandingkan dengan jantung kanan, maka dapat diasumsikan bahwa korban


meninggal akibat tenggelam.. Perbedaan kadar elektrolit lebih dari 10% dapat

menyokong diagnosis, walaupun secara tersendiri kurang bermakna.13,17

Ketika air tawar memasuki paru-paru, natrium plasma turun dan kalium

plasma meningkat, sedangkan pada inhalasi air asin, natrium plasma

meningkat cukup tinggi dan kalium hanya meningkat ringan. Pada tenggelam

pada air tawar, konsentrasi natrium serum dalam darah dari ventrikel kiri lebih

rendah dibandingkan ventrikel kanan. Namun, angka ini dapat bervariasi, ini

disebabkan ketika post mortem dimulai maka difusi cairan dapat mengubah

tingkat natrium dan kalium yang sebenarnya. Oleh karena itu Simpson

berpendapat bahwa analisis dari kadar Na, Cl dan Mg telah dipergunakan,

tetapi hasilnya terlalu beragam untuk digunakan didalam praktek sehari-hari.13


BAB III

KESIMPULAN

Asfiksia merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh berkurangnya

oksigen dan berlebihnya karbondioksida dalam darah. Asfiksia merupakan

penyebab kematian terbanyak ketiga setelah kecelakaan lalu lintas dan trauma

mekanik. Beberapa penyebab terjadinya asfiksia yaitu akibat keracunan dan

tenggelam. Keracunan dipelajari dalam suatu ilmu yang dinamakan toksikologi.

Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek

merugikan berbagai efek samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi

terhadap semua sistem makhluk hidup. Tenggelam merupakan kematian yang

disebabkan oleh aspirasi cairan ke dalam pernapasan akibat terbenamnya seluruh

atau sebagian tubuh ke dalam cairan, sedangkan hampir tenggelam (near

drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam, tetapi tidak

terjadi kematian.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Rey NEK, Mallo JF, Kristanto EG. Gambaran kasus kematian dengan asfiksia
di bagian kedokteran forensik dan medikolegal RSUP Prof. Dr. R. D Kandou
Manado periode 2013 - 2017. J e-Clinic. 2017;5(2):200–5.

2. Budiawan D. Peran toksikologi forensik dalam mengungkap kasus keracunan


dan pencemaran lingkungan. Indones J Leg Forensic Sci. 2008;1(1):35–9.

3. WHO. Drowning [Internet]. 2020 [cited 2020 Mar 21]. Available from:
https://www.who.int/health-topics/drowning#tab=tab_1

4. WHO. Drowning [Internet]. 2020 [cited 2020 Mar 21]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/drowning

5. Aflanie I, Nirmalasari N, Arizal MH. Ilmu kedokteran forensik &


medikolegal. Edisi 1. Depok: Rajawali Pers; 2019.

6. Tasmono H. Distribusi kasus kematian akibat asfiksia di Malang Raya yang


diperiksa di instalasi kedokteran forensik RSSA Tahun 2006-2007. Saintika
Med. 2012;6(1):35–9.

7. Idries AM. Pedoman ilmu kedokteran forensik. Edisi 1. Jakarta: Binarupa


Aksara; 1997.

8. Dewi R. Penentuan standar asfiksia sebagai penyebab kematian di instalasi


kedokteran forensik RSUP Dr. Sardjito. Badan Litbang Kesehatan
Departemen Kesehatan RI. 2009.

9. Sampurna B, Samsu Z. Peranan ilmu kedokteran forensik dalam penegakan


hukum; sebuah pengantar. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2003.

10. Novita G. Tanda kardinal asfiksia yang ditemukan pada visum et repertum
kasus gantung diri di departemen forensik Rsup Dr. Muhammad Hoesin
Palembang pada tahun 2011-2012. Universitas Muhammadiyah Palembang;
2014.

11. Fitriana AN. Forensic toxicology. J Major. 2015;4(4):1–9.

12. Onyekwelu E. Drowning and near drowning. Internet J Heal. 2008;8(2).

13. Shepherd R. Simpson’s forensic medicine. 12th Ed. New York: Oxford
University Press; 2003.

14. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik pedoman bagi dokter dan penegak hukum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2000.

38
39

15. Cantwell P, Verive M, Shoff W, Norris R, Talavera F, Lang S. Drowning


[Internet]. 2013 [cited 2020 Mar 22]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/772753-overview.

16. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu


kedokteran forensik. Jakarta; 1997.

17. Abraham S, Rahman S, Bambang P, Gatot S, Intarniati, Pranarta K. Tanya


jawab ilmu kedokteran forensik. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro; 2009.

18. Sauko P, Bernard K. Knight’s forensic pathology. 3rd Ed. London: Oxford
University Press; 2004.

Anda mungkin juga menyukai