Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

“ASFIKSIA”

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyarat


dalam menyelesaikan Kepanitraan Klinik
Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran
Universitas Tadulako – RSUD Anuntaloko Parigi

Dokter Muda :
EFA FAUZIAH S. NANG
N 111 22 017

Pembimbing Klinik :
dr.Nur Rafni Rafid, Sp. FM

BAGIAN KEDOKTERAN FORENSIK & MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RSUD ANUNTALOKO PARIGI
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa

Nama : Efa Fauziah S. Nang

Stambuk : N 111 22 095

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul referat : Asfiksia

Bagian : Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal

RSD Anuntaloko

Program Studi Profesi Dokter

Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Maret 2023


Pembimbing Klinik

dr. Nur Rafni Rafid, Sp. FM


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Asfiksia adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh berkurangnya
oksigen dan berlebihnya karbon dioksida dalam darah. Hal ini terjadi
karena adanya gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru-
paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Secara
umum asfiksia disebabkan oleh adanya penyumbatan saluran pernapasan,
trauma dan keracunan bahan kimiawi (Kurniany, 2017).
Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut “mati lemas”. Sebenarnya
pemakaian kata asfiksia kurang tepat karena kata ini berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “absence of pulse” (tidak berdenyut), sedangkan pada
kematian karena asfiksia, nadi sebenarnya masih dapat berdenyut untuk
beberapa menit setelah pernapasan berhenti. Istilah yang tepat secara
terminologi kedokteran ialah anoksia atau hipoksia (Purwanti, 2014).
Berdasarkan penyebabnya, asfiksia dibagi menjadi asfiksia mekanik
dan asfiksia kimia. Asfiksia mekanik biasanya melibatkan kelainan fisik yang
mempengaruhi pernapasan atau sirkulasi, seperti tercekik dan tersedak.
Sedangkan asfiksia kimia biasanya melibatkan reaksi antara bahan kimia dan
tubuh, terutama mengakibatkan gangguan penyerapan oksigen, transport,
dan/atau penggunaan oksigen itu. Dalam asfiksia, kerusakan juga bisa
disebabkan oleh akumulasi karbondioksida yang menyertainya di lingkungan
atau di dalam aliran darah (Purwanti, 2014).
Kasus kematian akibat asfiksia cukup mendapatkan perhatian karena
mekanisme kematiannya sangat cepat. Penurunan kesadaran dapat
terjadi dalam waktu 40 detik kemudian korban meninggal setelah
beberapa menit. Asfiksia merupakan salah satu penyebab kematian yang
sering ditemukan dalam kasus kedokteran forensik di dunia. Di Indonesia
kematian akibat asfiksia berada pada urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu
lintas(KLL) dan trauma mekanik (Kurniany, 2017).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Asfiksia
Asfiksia berasal dari bahasa Yunani. Kata asfiksia terdiri atas kata
a yang artinya tidak, dan fixtion yang artinya denyut. Jadi, asfiksia
artinya tidak ada denyut. Kondisi kurang atau tidak ada oksigen dan
terkait dengan denyut atau pulsasi dapat dijelaskan dengan kenyataan
bahwa oksigen merupakan substansi yang diperlukan untuk menjaga
kehidupan yang disalurkan melalui aliran darah. Ketika aliran darah
berhenti maka aliran oksigen mengalami kemacetan sehingga nadi tidak
teraba. Pada kondisi sekarang, secara umum asfiksia diartikan sebagai
kondisi rendahnya kadar oksigen. Penurunan tekanan oksigen di
atmosfer, sumbatan jalan napas bagian luar atau dalam, darah tidak
mampu membawa oksigen, maupun gagalnya sel menggunakan oksigen
dapat menyebabkan kondisi asfiksia (Wiraagni, 2021).
Secara umum, asfiksia adalah kehilangan kesadaran karena
kekurangan oksigen atau terlalu banyak karbondioksida dalam darah.
Sedangkan dalam kedokteran forensik, asfiksia berarti suatu kondisi yang
disebabkan oleh gangguan pengambilan oksigen dan/atau penggunaan
oksigen (Purwanti, 2014).

2.2. Epidemiologi Asfiksia


Kasus kematian akibat asfiksia cukup mendapatkan perhatian
karena mekanisme kematiannya sangat cepat. Penurunan kesadaran dapat
terjadi dalam waktu 40 detik kemudian korban meninggal setelah
beberapa menit (Kurniany, 2017).
Asfiksia merupakan salah satu penyebab kematian yang sering
ditemukan dalam kasus kedokteran forensik di dunia. Menurut data dari
Centers for Disease Control (CDC) tahun 1999-2004 di Amerika Serikat
didapatkan sekitar 20.000 kasus kematian disengaja maupun tidak
disengaja.4 Di Pakistan, menunjukkan bahwa jumlah total kematian
akibat asfiksia sebanyak 130 kasus kematian dari total 3.265 kasus
kematian. Kematian akibat gantung diri merupakan yang paling banyak
terjadi. Studi yang dilakukan di India mendapatkan hasil kematian akibat
asfiksia sebanyak 3960 kasus (21,23%) dari total kematian 18.648 pada
tahun 2009-2011 (Kurniany, 2017).
Di Indonesia sendiri kematian akibat asfiksia berada pada urutan
ke-3 sesudah kecelakaan lalu lintas (KLL) dan trauma mekanik.
Penyebab tersering kematian dengan asfiksia dalam konteks kedokteran
forensik adalah asfiksia mekanik. Beberapa penyebab asfiksia mekanik
adalah mati lemas, pembekapan, pencekikan, dan tersedak. Gantung diri
adalah salah satu bentuk kematian dengan asfiksia mekanik. Penelitian
yang dilakukan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, terdapat 75 kasus
kematian dengan asfiksia mekanik dari total 904 rekam medis yang
diperiksa pada tahun 2007 sampai tahun 2012. Kasus kematian dengan
asfiksia di Manado didapatkan sebanyak 22 kasus. Kasus terbanyak
terjadi pada tahun 2011 sebanyak 8 kasus (32%), dan paling banyak
ditemukan pada kelompok usia 17-25 tahun sebanyak 7 kasus (Sabilla,
2022).

2.3. Etiologi Asfiksia


Asfiksia secara umum disebabkan oleh penyakit (alamiah), trauma
mekanik, dan intoksikasi (keracunan).
a) Penyakit (Alamiah)
Asfiksia karena penyakit menyebabkan gangguan masuknya
oksigen ke dalam paru-paru. Contoh penyakit yang menyebabkan
asfiksia, yaitu penyakit jalan napas atas seperti edema laring,
laryngitis difteri, abses, spasme, dan tumor (Wiraagni, 2021).
b) Trauma Mekanik
Asfiksia yang disebabkan oleh trauma mekanik terjadi karena
gangguan kelancaran udara dalam jalan napas.Hal ini dapat terjadi
melalui berbagai cara, seperti penekanan jalan napas oleh tekanan
luar atau eksternal pada leher dalam kasus gantung diri, jeratan atau
strangulasi ligature, dan pencekikan. Tekanan luar atau eksternal di
bagian dada dapat terjadi pada kondisi yang disebut asfiksia
traumatis. Penyumbatan jalan napas dapat terjadi apabila ada corpus
alienum atau benda asing pada kondisi tersedak atau disebut choking
(Wiraagni, 2021).
c) Intoksikasi (Keracunan)
Asfiksia dapat disebabkan oleh keracunan. Keracunan jenis
morfin atau barbiturate dapat mengakibatkan asfiksia karena efeknya
dapat menghentikan pergerakan otot-otot pernapasan. Keracunan
sianida dapat mengakibatkan kondisi asfiksia karena terhalangnya
penggunaan oksigen oleh darah (Wiraagni, 2021).

2.4. Patofisiologi Asfiksia


Patofisiologi asfiksia dapat dibedakan menjadi 4 bentuk anoksia,
yaitu : Anoksia anoksik, anoksia anemia, anoksia hambatan, dan anoksia
jaringan (Wiraagni, 2021).
1. Anoksia Anoksik (Anoxic Anoxia)
Pada asfiksia jenis ini, oksigen tidak dapat masuk ke dalam paru-
paru disebabkan oleh :
a) Tidak ada atau tidak cukup oksigen atau sering disebut sebagai
asfiksia murni atau suffocation, seperti : bernapas dalam ruangan
tertutup, kepala ditutupi kantong plastik, udara kotor atau bau
busuk, udara lembap, bernapas dalam selokan tertutup, atau
berada di pegunungan yang tinggi.
b) Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan napas atau
sering disebut asfiksia mekanik, seperti : pembekapan, gantung
diri, penjeratan, pencekikan, pemitigan, atau adanya benda asing
dalam tenggorokan.
2. Anoksia Anemia (Anemia Anoxia)
Pada kondisi anemia berat dan perdarahan mendadak, oksigen
tidak dapat dibawa karena kadar hemoglobin rendah. Hal ini seperti
kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik sedikit (Wiraagni,
2021).
3. Anoksia Hambatan (Stagnant Anoxia)
Kondisi gagal jantung dan syok dapat mengakibatkan tidak
lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Pada kondisi ini
tekanan oksigen cukup tinggi, namun sirkulasi darah tidak lancar. Hal
ini seperti lalu lintas macet sehingga jalannya menjadi tersendat
(Wiraagni, 2021).
4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic Anoxia)
Pada anoksia jaringan, terjadi gangguan dalam jaringannya
sendiri sehingga oksigen tidak dapat digunakan secara efektif oleh
jaringan atau tubuh. Janis anoksia ini dibedakan menjadi :
a) Ekstraseluler
Anoksia jenis ini disebabkan oleh gangguan di luar sel.
Contohnya, yaitu keracunan sianida yang menyebabkan
kerusakan pada enzim sitokrom oksidase sehingga dapat
menyebabkan kematian dengan segera. Pada keracunan
barbiturate dan golongan hipnotik, dapat terjadi hambatan
sitokrom secara parsial sehingga kematian berlangsung secara
perlahan (Wiraagni, 2021)
b) Intraseluler
Pada anoksia jenis ini, oksigen tidak dapat memasuki sel-
sel tubuh karena terdapat penurunan permeabilitas membrane sel,
seperti keracunan zat-zazt anestetik yang larut dalam lemak,
misalnya kloroform, eter, dan sebagainya (Wiraagni, 2021).
c) Hasil metabolisme
Anoksia jenis ini terjadi karena pemakaian oksigen oleh
jaringan terganggu akibat efek dari hasil metabolism, misalnya
keadaan uremia (Wiraagni, 2021).
d) Zat yang diubah oleh enzim
Pada anoksia ini, metabolisme menjadi tidak efisien karena
makanan tidak cukup, seperti pada keadaan hipoglikemia
(Wiraagni, 2021).
Patofisiologi kematian pada asfiksia terbagi menjadi 2 yakni :
1. Primer (akibat langsung asfiksia)
Kekurangan oksigen di seluruh tubuh, termasuk sel otak yang
sangat sensitive terhadap kekurangan oksigen. Pada bagian otak tertentu
lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Aperubahan yang
karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal
ganglia. Disini, sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan
glial, sedangkan sel-sel yang lain akibat kekurangan oksigen langsung
tidak jelas. Sehingga patofisiologi primer pada asfiksia hanya terjadi
pada otak (Yudianto, 2020).
2. Sekunder (penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh)
Jantung berusaha mengompensasi keadaan tekanan oksigen yang
rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan
vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak
cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian
berlangsung dengan cepat. Post mortem darah akan berwarna gelap dan
terjadilah pulmonary congestion (Yudianto, 2020).

2.5. Fase-Fase Asfiksia


Asfiksia berlangsung selama 3-5 menit yang dibagi lagi menjadi
beberapa fase dalam patofisiologinya, dan setiap fasenya berlangsung
selama 1-2 menit. Dalam patofisiologi asfiksia secara umum terdapat 4
fase asfiksia, yaitu: fase dispnea, fase konvulsi, fase apnea, dan fase
terminal/akhir (Wiraagni, 2021).
1) Fase Dispnea (Sesak Napas)
Pada fase ini aktivitas pernapasan meningkat, terjadi stridor
dan sianosis. Hal tersebut terjadi karena peningkatan kadar
karbondioksida (CO2) dan penurunan kadar oksigen (O2), yang
merangsang pusat pernapasan sehingga gerakan pernapasan menjadi
bertambah dalam dan cepat disertai kerja otot-otot pernapasan
menjadi lebih aktif. Tanda lain pada kondisi ini, yaitu wajah cemas,
bibir kebiruan, mata tampak menonjol, denyut nadi meningkat, dan
tekanan darah juga meningkat. Jika kondisi ini berlanjut maka masuk
ke stadium konvulsi atau kejang (Wiraagni, 2021).
2) Fase Konvulsi (Kejang)
Pada fase kejang ini terjadi kejang tonik-klonik, peningkatan
denyut jantung atau takikardia, peningkatan pelepasan katekolamin
dari medula adrenal, penurunan tekanan darah atau hipotensi,
terkadang disertai buang air besar yang tidak disadari atau defekasi
involunter, dan keluarnya sperma atau ejakulasi terutama dalam
strangulasi manual, sampai hilangnya kesadaran. Tekanan darah dan
denyut nadi tetap tinggi, warna kebiruan atau sianosis semakin jelas,
dan kekurangan oksigen terus berlanjut sehingga penderita atau
pasien akan masuk ke stadium apnea atau henti napas (Wiraagni,
2021).
3) Fase Apnea (Henti Napas)
Pada fase ini terjadi penurunan tekanan darah atau hipotensi,
takikardia berlanjut, danapnea atau henti napas. Korban tidak bisa
bernapas karena terjadi depresi pusat pernapasan, otot-otot menjadi
lemah, refleks menghilang, pelebaran atau dilatasi pupil, pernapasan
dangkal dan semakin memanjang, hingga akhirnya berhenti
bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan. Namun,
jantung masih berdenyut beberapa saat lagi, meskipun napas telah
berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba (Wiraagni, 2021).
4) Fase Terminal (Akhir)
Pada fase terminal atau akhir sudah tidak ada pergerakan
udara, napas pelan-pelan kemudian berhenti. Terjadi paralisis pusat
pernapasan yang lengkap (Wiraagni, 2021).

2.6. Tanda Klasik Asfiksia

Tanda-tanda klasik asfiksia yaitu sebagai berikut :

1) Petechial hemorrages (Tardieu’s Spot).


Tardieu’s spot karena peningkatan tekanan vena secara akut,
menyebabkan overdistensi dan rupture dinding perifer vena,
terutama jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit, dahi,
kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan
sclera mata (Yudianto, 2020).

Gambar 1. Tampak perdarahan (petekie) pada jantung dan sclera


Sumber : Karmakar, 2015

2) Sianosis
Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput
lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi
(Hb yang tidak berikatan dengan O2), pada kuku jari tangan dan kaki
serta pada daerah bibir (Yudianto, 2020).
3) Injected / Kongesti
Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan
petechiae. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah,
sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan
adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah, sehingga terjadi
pelebaran pembuluh darah terutama daerah-daerah yang longgar
seperti konjungtiva. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi
peningkatan tekanan hidrostatik intravascular (tekanan yang
mendorong darah mengalir didalam vascular oleh kerja pompa
jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang
interstisium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan
ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema) (Yudianto, 2020).

Gambar 2. Kongesti yang menyolok pada leher akibat gantung diri

4) Tetap cairnya darah


Terjadi karena peningkatan fibrinolysis pasca kematian (Yudianto,
2020).
2.7. Pemeriksaan Forensik pada Korban Asfiksia
a. Pemeriksaan Luar
 Terdapat sianosis, yaitu warna kebiruan dari kulit dan
mebran mukosa. Sianosis mudah terlihat pada daerah bibir
dan ujung-ujung jari.
 Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk
lebih cepat.
 Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul
akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang
disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas.
Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit
akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur
darah akibat pecahnya kapiler.
 Gambaran bendungan pada mata berupa pelebaran
pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebral yang
terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam
pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula
dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel
kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel
akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang
dinamakan sebagai Tardieu’s spot. Kapiler yang lebih
mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar,
misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebral dan subserosa
lain. Kadang-kadang dijumpai juga pula di kulit wajah.
(Aflanie, 2017).

b. Pemeriksaan Bedah Jenazah


 Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena
fibrinolysis darah yang meningkat pasca mati.
 Busa halus di dalam saluran pernapasan.
 Bendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh
sehingga berwarna lebih gelap & pada pengirisan banyak
mengeluarkan darah.
 Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus,
epikardium pada bagian belakang jantung daerah aurikula-
ventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus
bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit
kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal,
mukosa epiglottis dan daerah subglotis.
 Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan
dengan hipoksia.
 Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan jenis
kekerasan yang terjadi, seperti fraktur laring langsung atau
tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang
rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding
tipis).
(Aflanie, 2017).
2.8. Kasus yang terkait dengan Asfiksia
1. Penggantungan (Hanging)
Penggantungan adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari
leher oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan korban
sendiri baik seluruh ataupun sebagian. Dengan demikian alat
penjerat bersifat pasif sedangkan berat badan bersifat aktif sehingga
terjadi kosntriksi pada leher.
Sebab kematian :
 Asfiksia
 Gangguan sirkulasi darah ke otak karna tertekannya vena
jugularis dan atau arteri carotis sehingga terjadi cerebral
hipoksia.
 Syok karena terjadi refleks vagal
 Kerusakan batang otak atau sumsum tulang belakang
Mekanisme kematian :
Saluran udara tertutup karena pangkal lidah terdorong keatas
belakang, ke arah dinding posterior faring. Palatum molle dan uvula
terdorong ke atas, menekan epiglottis sehingga menutup lubang
faring.
Cara kematian :
 Bunuh diri (Suicidal). Kejadian paling banyak dijumpai
 Pembunuhan (Homicidal Hanging). Biasanya sebelum
digantung dibunuh terlebih dahulu dengan cara lain. Cara ini
dapat dilakukan bila korban anak-anak atau orang dewasa
yang kondisinya lemah.
 Kecelakaan (Accidental Hanging)
Penggantungan yang terjadi akibat tidak sengaja dapat dibagi
ke dalam dua kelompok :
 Terjadi sewaktu bermain atau bekerja
 Terjadi sewaktu melampiaskan nafsu seksual yang
menyimpang (auto erotic hanging).
Pemeriksaan Jenazah :
 Jejas jerat relatif terletak lebih tinggi pada leher dan tidak
mendatar, melainkan lebih meninggi di bagian simpul, kulit
mencekung ke dalam sesuai dengan bahan penjeratnya,
berwarna coklat, perabaan kaku, dan akibat bergesekan
dengan kulit leher, maka pada tepi jejas dapat ditemukan luka
lecet.
Gambar 3. Alur jejas jerat menuju ke belakang kiri pada
regio cervical (titik simpul dibawah telinga kiri/atypical
hanging).
Sumber : Wiraagni, 2021
 Distribusi lebam mayat pada kasus gantung, mengarah ke
bawah yaitu pada kaki, tangan dan genitalia eksterna, bila
korban tergantung cukup lama. Pada korban wanita, labium
membesar dan terdapat lebam, sedangkan pada korban laki-
laki hal ini terjadi pada skrotum. Penis dapat tampak seolah
mengalami ereksi akibat terkumpulnya darah, sedangkan
semen keluar karena relaksasi otot sphincter post mortal.
 Pada kasus gantung diri, kebanyakan wajah jenazah tampak
pucat, lidah menjulur keluar dan kering.

Gambar 4 . Lidah menjulur ke luar dan kering


Sumber : Dokumentasi RSUP Dr. Sardjito
Perbedaan penggantungan pada kasus bunuh diri dan pembunuhan

Unsur Penggantungan pada bunuh diri Penggantungan pada pembunuhan

Usia Lebih sering terjadi pada usia remaja Tidak mengenal batas usia, karena
dan dewasa tindakan pembunuhan dilakukan tidak
bergantung pada usia

Tanda jejak Bentuknya miring, berupa lingakaran Berupa lingkaran tidak terputus, mendatar,
jeratan terputus dan letaknya di bagian tengah leher,
karena usaha pelaku membuat simpul tali

Sampul tali Biasanya hanya satu simpul yang Biasanya lebih dari satu pada bagian depan
letaknya pada bagian samping leher leher dan simpul tali terikat kuat.

Riwayat Biasanya korban mempunyai riwayat Korban tidak mempunyai riwayat usaha
korban usaha bunuh diri dengan cara lain bunuh diri sebelumnya.

Cedera Luka-luka pada tubuh korban yang bisa Cedera berupa luka-luka pada tubuh
menyebabkan kematian mendadak korban biasanya mengarah pada
tidak ditemukan pada kasus bunuh diri. pembunuhan.

Tangan Tidak dalam keadaan terikat, karena Tangan yang dalam keadaan terikat
sulit untuk gantung diri dalam keadaan mengarahkan dugaan pada kasus
tangan terikat pembunuhan.

Kemudahan Pada kasus bunuh diri, mayat biasanya Pada kasus pembunuhan, mayat ditemukan
ditemukan tergantung pada tempat tergantung pada tempat yang sulit dicapai
yang mudah dicapai oleh korban/di oleh korban dan alat yang digunakan untuk
sekitarnya ditemukan alat yang mencapai tempat tersebut tidak ditemukan.
digunakan untuk mencapai tempat
tersebut

Tempat Terkunci dari dalam Tidak teratur, terkunci dari luar


kejadian

Tanda-tanda Tidak ditemukan pada kasus bunuh diri Tanda-tanda perlawanan hamper selalu ada
perlawanan kecuali jika korban sedang tidur, tidak
sadar, atau masih anak-anak.
2. Penjeratan (Strangulation by Ligature)
Penjeratan adalah penekanan benda asing berupa tali, ikat pinggang,
rantai, stagen, kawat, kabel, kaos kaki, dan sebagainya, melingkari
atau mengikat leher yang semakin lama semakin kuat sehingga
saluran pernapasan tertutup. Pada penjeratan, kekuatan berasal dari
tarikan kedua ujung alat penjerat. Ciri ligature strangulation, yaitu
jejas jerat arah mendatar atau dari depan ke belakang, wajah korban
kongesti, dan ada petechiae di wajah terutama periorbita (Wiraagni,
2021).
 Jejas jerat pada leher biasanya mendatar, melingkari leher
dan terdapat lebih rendah daripada jejas jerat pada kasus
penggantungan.
 Pola jejas dapat dilihat dengan menempelkan scotch tape
pada daerah jejas di leher, kemudian ditempelkan pada kaca
objek dan dilihat dengan mikroskop atau dengan sinar
ultraviolet.
 Bila alat yang digunakan untuk menjerat bersifat lunak dan
lebar seperti handuk atau selendang sutera, maka jejas
mungkin tidak ditemukan dan pada otot leher sebelah dalam
dapat atau tidak ditemuka sedikit resapan darah.
 Bila alat yang digunakan untuk menjerat bersifat kasar
seperti tali, maka bila tali bergesekan pada saat korban
melawan akan menyebabkan luka lecet disekitar jejas jerat,
yang tampak jelas berupa kulit yang mencekung berwarna
coklat dengan perabaan kaku, pada otot leher sebelah dalam
tampak banyak resapan darah.
Sebab kematian :
 Tertutupnya jalan napas sehingga timbul hipoksia
 Refleks vagal
 Tertutupnya arteri karotis sehingga jaringan otak kekurangan
darah.
Mekanisme kematian :
 Tertutupnya jalan napas akibat laring yang tertekan ke
belakang ke arah dinding faring sehingga lumen tertutup oleh
karena mendapat tekanan dari samping dan depan. Tekanan
dari depan akan menutup jalan napas, sedangkan dari
samping akan menutup pembuluh darah disamping leher.
 Karena tekanan tidak sekeras hanging sehingga muka tidak
sianosis. Tekanan pada vena jugularis dan tekanan tidak
komplit pada arteri karotis menyebabkan perdarahan kecil
pada wajah, konjungtiva, scalp dan fascia diatas
m.temporalis.
Cara Kematian :
 Bunuh diri (Self strangulation). Hal ini jarang terjadi dan
menyulitkan diagnosis. Pengikatan dilakukan sendiri oleh
korban dengan simpul hidup atau bahan hanya dililitkan saja,
dengan jumlah lilitan lebih dari satu.
 Pembunuhan. Penjeratan biasanya dengan simpul mati dan
sering terlihat bekas luka pada leher (paling sering terjadi).
 Kecelakaan. Dapat terjadi pada orang yang sedang bekerja
dengan selendang di leher dan tertarik masuk ke dalam mesin
atau bayi yang terjerat oleh tali pakaian sendiri.

Gambar 5. Contoh luka lecet tekan pada regio cervical


sedalam 0,3 cm
Sumber : Dokumentasi RSUP Dr. Sardjito
3. Pencekikan (Manual Strangulation)
Pencekikan adalah penekanan leher dengan menggunakan tangan,
yang menyebabkan dinding saluran napas bagian atas tertekan dan
terjadi penyempitan saluran napas sehingga udara pernapasan tidak
dapat lewat.
Sebab kematian :
 Tertutupnya jalan napas sehingga timbul hipoksia
 Refleks vagal
 Tertutupnya arteri karotis sehingga terjadi gangguan sirkulasi
darah ke otak.
Mekanisme kematian :
 Tertutupnya jalan napas dengan satu atau dua tangan
menekan leher sehingga menekan sisi-sisi laring dan
menutup glotis.
Cara kematian :
 Pembunuhan (paling sering)
 Kecelakaan
Pemeriksaan pada kasus pencekikan
 Pencekikan merupakan cara membunuh yang dipakai bila
korban lebih lemah dari pelaku, anak-anak atau orang tua dan
wanita yang bertubuh gemuk.
 Ciri khas adalah adanya luka lecet berbentuk bulan sabit yang
disebabkan oleh tekanan kuku pelaku; dimana dari distribusi
luka tersebut dapat diketahui apakah korban dicekik dengan
tangan kanan, kiri, atau keduanya.
 Patahnya tulang lidah disertai dengan resapan darah pada
jaringan ikat dan otot di sekitarnya merupakan petunjuk yang
hampir pasti bahwa korban pasti bahwa korban mati dicekik.
 Bila mekanisme kematian karena asfiksia, maka pada korban
akan ditemukan tanda-tanda asfiksia
 Bila mekanisme kematian karena refleks vagal, tidak ada
edema paru, dan pada otot leher bagian dalam tidak
ditemukan perdarahan.

Gambar 6. Kiri : Posisi tangan pelaku saat mencekik; Kanan :


Reaksi korban untuk mencoba melepaskan cekikan tangan pelaku
Sumber : Aflanie, 2017.

4. Pembekapan (Smothering)
Pembekapan adalah penutupan lubang-lubang eksternal seperti
lubang hidung dan mulut sehingga menghambat pemasukan udara ke
paru-paru. Asfiksia jenis smothering disebabkan oleh adanya
sumbatan mekanik di jala napas bagian luar, seperti hidung dan
mulut. Kasus smothering atau pembekapan dapat terjadi karena
bunuh diri atau pembunuhan. Pada pembunuhan dengan smothering,
alat yang digunakan biasanya berupa bantal, seprai, dan tangan. Pada
kasus pembunuhan, umumnya korbannya adalah anak-anak, orang
yang sudah tua, dan orang dalam keadaan sakit. Hal ini disebabkan
oleh sulitnya melakukan smothering pada orang dewasa yang dalam
kondisi sehat tanda terjadinya smothering, yaitu ditemukannya luka
memar atau luka lecet di sekitar hidung dan mulut. Smothering sulit
ditentukan jika tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan di sekitar
hidung dan mulut (Wiraagni, 2021).
Cara Kematian :
 Bunuh diri (Suicide). Bunuh diri dengan cara pembekapan
masih mungkin terjadi misalnya pada penderita penyakit jiwa
dan orang tahanan dengan menggunakan gulungan kasur,
bantal, dan pakaian, yang diikatkan menutupi hidung dan
mulut.
 Kecelakaan (Accidedntal smothering). Kecelakan dapat
terjadi pada :
 Bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya,
terutama bayi prematur bila hidung dan mulut tertutup
oleh bantal atau selimut.
 Anak-anak dan dewasa muda yang terkurung dalam
suatu tempat yang sempit dengan sedikit udara,
misalnya terbekap dengan atau dalam kantung plastik.
 Orang dewasa yang terjatuh sewaktu bekerja atau
pada penderita epilepsi yang mendapat serangan dan
terjatuh, sehingga mulut dan hidung tertutup dengan
pasir, gandum, tepung, dan sebagainya.
 Pembunuhan (Homicidal smothering). Biasanya terjadi pada
kasus pembunuhan anak sendiri. Pada orang dewasa hanya
terjadi pada orang yang tidak berdaya seperti orang tua,
orang sakit berat, orang dalam pengaruh obat atau minuman
keras.
Pemeriksaan pada kasus pembekapan :
 Korban umumnya wanita gemuk, orang tua yang lemah,
orang dewasa yang berada di bawah pengaruh obat-obatan,
dan anak-anak
 Kelainan yang ditemukan berupa luka lecet atau luka memar
terdapat pada mulut, hidung, dan daerah sekitarnya.
 Sering didapatkan memar dan robekan pada bibir khususnya
bagian dalam yang berhadapan dengan gigi.
Gambar 7. Luka memar pada bibir bawah bagian dalam
Sumber : Sihaloho, 2022.

Gambar 8 . Luka lecet pada bibir bagian dalam


Sumber : Sihaloho, 2022.
 Pada anak-anak, oleh karena tenaga untuk melakukan
pebekapan tidak terlalu besar maka kelainan biasanya
minimal; yaitu luka lecet tekan dan atau memar pada bibir
bagian dalam yang berhadapan dengan gigi dan rahang.
 Pembekapan dapat pula dilakukan dengan bantuan benda
lunak misalnya bantal, seringkali tidak ditemukan luka
disekitar mulut.
5. Penyumbatan (Gangging dan Choking)
Pada keadaan ini, terjadi sumbatan jalan napas oleh benda asing, yag
mengakibatkan hambatan udara masuk ke paru-paru. Pada gagging,
sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking,
sumbatan terdapat lebih dalam pada laringofaring. Diagnosis
choking pada autopsi ditentukan jika ditemukan benda asing didalam
laring. Benda asing ditemukan dalam orofaring disebut gagging
(Wiraagni, 2021).
Mekanisme kematian :
Asfiksia atau refleks vagal akibat rangsangan pada reseptor nervus
vagus yang menimbulkan inhibisi kerja jantung sehingga
menimbulkan cardiac arrest dan kematian.
Cara kematian :
 Bunuh diri (Suicide). Hal ini jarang terjadi karena sulit untuk
memasukkan benda asing ke dalam mulut sendiri disebabkan
adanya refleks batuk dan muntah. Umumnya korban adalah
penderita sakit mental atau tahanan.
 Pembunuhan (Homicidal choking). Umumnya korban adalah
bayi, orang dengan fisik lemah atau tidak berdaya.
 Kecelakaan (Accidental choking). Biasanya terjadi bila
tertawa atau menangis saat makan, sehingga makanan masuk
ke dalam saluran pernapasan. Mungkin pula terjadi akibat
regurgitasi makanan yang kemudian masuk ke dalam saluran
pernapasan.
Pemeriksaan Jenazah
Pada pemeriksaan jenazah dapat ditemukan tanda-tanda asfiksia baik
pada pemeriksaan luar maupun pembedahan jenazah. Dalam rongga
mulut (orofaring atau laringofaring) ditemukan sumbatan berupa
sapu tangan, kertas koran, gigi palsu, bahkan pernah ditemukan
arang, batu dan sebagainya. Bila benda asing tidak ditemukan, cari
kemungkinan adanya tanda kekerasan yang diakibatkan oleh benda
asing.
6. Asfiksia Traumatik
Kematian akibat asfiksia traumatik terjadi karena penekanan dari
luar pada dinding dada yang menyebabkan dada terfiksasi dan
menimbulkan gangguan gerak pernapasan; misalnya tertimbun pasir,
tanah, runtuhan tembok atau tergencet saat saling berdesakan.
Mekanisme kematian dapat diakibatkan oleh kegagalan pernapasan
dan sirkulasi. Pada mayat ditemukan sianosis dan bendungan hebat.
Perbendungan pada muka menyebabkan muka membengkak dan
penuh dengan petekie, edema konjungtiva dan perdarahan sub-
konjungtiva. Petekie terdapat pula pada leher, bokong, dan kaki.

7. Tenggelam (Drowning)

Tenggelam adalah bentuk kematian akibat asfiksia karena


terhalangnya udara masuk ke dalam saluran pernafasan yang
disebabkan tersumbatnya oleh cairan. Terhalangnya udara masuk ke
paru paru tidak perlu orang harus terbenam ke air, tetapi tertutup
saluran nafas atas oleh cairan cukup untuk membuatnya mati
tenggelam (Amir, 2017).
Fisiologi Tenggelam
Ketika manusia masuk kedalam air, reaksi dasarnya yaitu
memertahankan jalan napas. Hal ini berlanjut sampai titik balik
dicapai, yaitu pada saat seseorang akan menarik napas kembali. Titik
balik ini terjadi karena tingginya kadar CO2 dalam darah
dibandingkan kadar O2. Ketika mencapai titik balik, korban
tenggelam akan kemasukan sejumlah air, dan sebagian akan tertelan
dan akan ditemukan di dalam lambung. Selama interval ini, korban
mungkin muntah dan mengaspirasi sejumlah isi lambung. Setelah
proses respirasi tidak mampu mengompensasi, terjadilah hipoksia
otak yang bersifat irreversibel dan merupakan penyebab kematian
(Saukko, 2016).
Jenis-jenis drowning :
1) Wet drowning. Pada keadaan ini, cairan masuk ke dalam saluran
pernapasan setelah korban tenggelam.
2) Dry drowning. Pada keadaan ini, cairan tidak masuk ke dalam
saluran pernapasan, akibat spasme laring.
3) Secondary drowning. Terjadi gejala beberapa hari setelah
korban tenggelam (dan diangkat dari dalam air) dan korban
meninggal akibat komplikasi.
4) Immersion syndrome. Korban tiba-tiba meninggal setelah
tenggelam dalam air dingin akibat refleks vagal. Alkohol dan
makan terlalu banyak merupakan faktor pencetus.
Cara kematian :
 Bunuh diri
Biasanya korban yang akan bunuh diri meninggalkan
perlengkapannya dan diletakkan dengan rapi sebelum terjun
ke air. Mungkin juga ditemukan luka percobaan bunuh diri
pada tubuhnya.
 Pembunuhan
 Korban akan diikat oleh pembunuh, ikatan ini tidak
mungkin dilakukan oleh korban sendiri.
 Dapat ditemukan tanda kekerasan lain, misalnya
dipukul atau ditembak.
 Kecelakaan
 Waktu berenang kemudian terjadi serangan epilepsi
atau penyakit jantung.
 Waktu pesiar dengan perahu, lalu perahu terguling.
 Undetermine
Bila korban ditemukan dalam air sudah dalam keadaan
membusuk sehingga tidak dapat diketahui cara kematiannya.
Mekanisme kematian :
 Asfiksia akibat spasme laring
 Asfiksia karena gagging dan choking
 Refleks vagal
 Fibrilasi ventrikel (dalam air tawar)
 Edema pulmoner (dalam air asin)
Pemeriksaan Luar
 Mayat dalam keadaan basah, mungkin berlumuran pasir,
lumpur, dan benda-benda asing lain yang terdapat dalam air,
kalau seluruh tubuh terbenam dalam air.
 Penurunan suhu mayat (algor mortis) berlangsung cepa, rata-
rata 5 derajat Fahrenheit per menit
 Lebam mayat (livor mortis) akan tampak jelas pada dada
bagian depan, leher dan kepala. Lebam mayat berwarna
merah terang yang perlu dibedakan dengan lebam mayat
yang terjadi pada keracunan CO
 Busa halus pada hidung dan mulut, kadang-kadang berdarah
 Kutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh terutama
pada ekstremitas akibat kontraksi otot erektor pili yang dapat
terjadi karena rangsang dinginnya air. Gambaran seperti kutis
anserina kadangkala dapat juga akibat rigor mortis pada otot
tersebut.
 Washer woman’s hand, telapak tangan dan kaki berwarna
keputihan dan berkeriput yang disebabkan karena imbibisi
cairan ke dalam kutis dan biasanya membutuhkan waktu
lama.
 Cadaveric spasme, merupakan tanda intravital yang terjadi
pada waktu korban berusaha menyelamatkan diri dengan
memegang apa saja seperti rumput atau benda-benda lain
dalam air.
 Luka-luka lecet pada siku, jari tangan, lutut dan kaki akibat
gesekan pada benda-benda dalam air. Puncak kepala
mungkin terbentur pada dasar waktu terbenam, tetapi dapat
pula terjadi luka post-mortal akibat benda-benda atau
binatang dalam air.
 Pembusukan sering tampak, kulit berwarna kehijauan atau
merah gelap. Pada pembusukan lanjut tampak gelembung
pembusukan terutama bagian atas tubuh, skrotum, dan penis
pada pria dan labia mayora pada wanita. Kulit telapak tangan
dan kaki dapat terkelupas.
Pemeriksaan Bedah Jenazah
 Busa halus dan benda asing (pasir, tumbuh-tumbuhan air)
dalam saluran pernapasan (trakea dan percabangannya).
 Paru-paru membesar seperti balon, lebih berat, sampai
menutupi jantung. Pada pengirisan banyak keluar cairan.
Keadaan ini terutama terjadi pada kasus tenggelam di laut.
 Petekie sedikit sekali karena kapiler terjepit diantara septum
interalveolar. Mungkin terdapat bercak-bercak perdarahan
yang disebut bercak Paltauf akibat robeknya penyekat alveoli
(Polsin).
 Petekie subpleural dan bula emfisema jarang terdapat dan ini
bukan merupakan tanda khas tenggelam tetapi mungkinn
disebabkan oleh usaha respirasi.
 Dapat juga ditemukan paru-paru yang “biasa” karena cairan
tidak masuk ke dalam alveoli atau cairan sudah masuk ke
dalam aliran darah (melalui proses imbibisi), ini dapat terjadi
pada kasus tenggelam di air tawar.
 Otak, ginjal, hati dan limpa mengalami bendungan.
 Lambung dapat sangat membesar, berisi air, lumpur dan
sebagainya yang mungkin pula terdapat dalam usus halus.
Perbedaan tenggelam dan tenggelam dalam air asin

Tenggelam dalam air tawar Tenggelam dalam air asin

Paru-paru kering Paru-paru basah

Paru-paru basah tetapi ringan Paru-paru besar dan berat

Batas anterior menutupi jantung Batas anterior menutupi mediastinum

Warna merah pucat dan emfisematous Warna ungu/kebiruan, permukaan


mengkilat

Paru-paru bila dikeluarkan dari thoraks Paru-paru bila dikeluarkan dari thoraks,
tidak kemps bentuknya mendatar, dan bila ditekan
menjadi cekung.

Bila diiris, terdengar krepitasi, tidak Bila diiris terdengar krepitasi menurun,
mengempis, tidak mengandung cairan, tanpa ditekan akan keluar banyak
ditekan keluar buih cairan.

Pemeriksaan Laboratorium
 Pemeriksaan diatom
Diatom adalah jenis fitoplankton yang termasuk dalam kelas
Bacillariophyceae. Diatom terdapat dimana saja, dari tepi pantai hingga
ke tengah samudra. Diatom merupakan alga (ganggang) bersel satu
dengan dinding silikat (Si02) yang tahan panas dan asam kuat. Diatom
dapat dijumpai dalam air tawar, air laut, air sungai, air sumur dan
sebagainya.
Bila seseorang mati karena tenggelam maka cairan bersama diatom
akan masuk kedalam saluran pernapasan atau pencernaan, kemudian
diatom akan masuk kedalam aliran darah melalui kerusakan dinding
kapiler pada waktu korban masih hidup dan tersebar ke seluruh jaringan.
Pemeriksaan diatom dilakukan pada jaringan paru mayat segar. Bila
mayat telah membusuk, pemeriksaan diatom dilakukan dari jaringan
ginjal, otot, skelet atau sumsum tulang paha. Pemeriksaan diatom
dikatakan positif bila pada sediaan paru ditemukan diatom sebanyak
5/LPB atau bila dari sumsum tulang sebanyak 1/LPB.
Pada kasus tenggelam di air tawar, keberadaan diatom di sumsum
tulang dapat digunakan untuk mendiagnosis 30% dari kasus tenggelam di
air tawar, hasil diagnose tersebut sangat bergantung oleh dinamika
populasi diatom yang dipengaruhi oleh musim, selain juga faktor ukuran
dari diatom tersebut. Musim dingin adalah musim dengan frekuensi
tertinggi tidak ditemukan diatom pada sampel (Wilianto, 2012).
 Pemeriksaan darah jantung
Pemeriksaan darah pada jantung dilakukan dengan menentukan
berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah yang berasal dari bilik
jantung kiri dan kanan. Apabila berat jenis dan kadar elektrolit pada
darah di jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan maka disimpulkan
korban tenggelam di air tawar. Sedangkan pada korban yang tenggelam
di air asin akan ditemukan berat jenis dan kadar elektrolit pada darah di
jantung kanan lebih rendah dari jantung kiri (Putra, 2014).
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Asfiksia adalah kondisi kekurangan oksigen. Asfiksia terjadi
karena adanya intervensi pada proses transfer oksigen, atau dapat
dikatakan bahwa asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh
kadar oksigen yang berkurang dan meningkatnya kadar karbondioksida
dalam darah. Penyebab asfiksia dapat berupa penyakit, trauma mekanik,
dan keracunan. Patofisiologi asfiksia terdiri atas empat kondisi, yaitu
anoxic anoxia, anemia anoxia, stagnan anoxia, dan hystotoxic anoxia.
Fase atau tahapan asfiksia ada empat, yaitu fase dispnea, konvulsi, apnea,
dan paralisis atau henti total.
Tanda-tanda asfiksia pada pemeriksaan luar jenazah terdiri atas
sianosis, petechiae haemorrhage, buih atau busa di hidung atau mulut,
dan lebam mayat berwarna lebih gelap dan luas. Pada pemeriksaan dalam
terdapat kongesti dan edema organ. Kematian akibat asfiksia dapat
disebabkan oleh strangulasi, sufokasi, asfiksia traumatik, dan tenggelam.
Strangulasi terdiri dari penggantungan (hanging), penjeratan
(Strangulation by ligature), pencekikan (Manual strangulation).
Sedangkan, sufokasi terdiri dari pembekapan (Smothering), dan
penyumbatan (Choking dan Gagging).
DAFTAR PUSTAKA

Aflanie I, Nirmalasari N, Afrizal MH. 2017. Ilmu Kedokteran Forensik &


Medikolegal Edisi Pertama. Jakarta : Rajawali Press.

Amir,A. 2017.Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Medan: Ramadhan

Karmakar, R.N. 2015. Forensic Medicine and Toxicology. Academic Publisher.


Kurniany, N.E., Mallo, J.F. and Kristanto, E.G., 2017. Gambaran Kasus Kematian
dengan Asfiksia di Bagian Kedokteran Forensik dan Medikolegal RSUP
Prof. Dr. R. D Kandou Manado Periode 2013-2017. e-CliniC, 5(2).
Purwanti, S.H. 2014. Ilmu Kedokteran Forensik Untuk Kepentingan Penyidikan.
Jakarta Timur : Rayyana Komunikasindo
Putra, A. A. G. A. 2014. Kematian Akibat Tenggelam: Laporan Kasus. E-Jurnal
Medika Udayana, 3(5), 542-551.
Sabilla, S., Suwandono, A. and Nugroho, N.A., 2022. Gambaran dan Prevalensi
Kasus Kematian dengan Asfiksia. Plexus Medical Journal, 1(5), pp.181-
187.
Saukko, P., Knight B. Knight’s Forensic Pathology Fourth Edition. Boca Raton :
CRC Press.
Sihaloho, K., & Parinduri, A. G. 2022. Kematian Seorang Wanita Akibat
Pembekapan. Majalah Ilmiah METHODA, 12(2), 117-124.
Wilianto, W. 2012. Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga Tenggelam. Jurnal
Kedokteran Forensik Indonesia, 14(3), 39-46.
Wiraagni, I.A., Widagdo, H. and Suriyanto, R.A., 2021. MATERI PENUNJANG
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL JILID 1. UGM
PRESS.
Yudianto, A. 2020. Ilmu Kedokteran Forensik. Surabaya : Scopindo Media
Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai