Anda di halaman 1dari 23

Referat

OFTALMOLOGI KOMUNITAS

Oleh :
Hersaina Ashriannisa Sembiring, S. Ked
712018056

Pembimbing
dr. Hj. Hasmeinah Bambang, Sp.M

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan Referat dengan judul

OFTALMOLOGI KOMUNITAS

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Hersaina Ashriannisa Sembiring, S. Ked
NIM. 712018056

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang

Palembang, Oktober 2020


Dosen Pembimbing

dr. Hj. Hasmeinah Bambang, Sp.M

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, Zat Yang Maha Pengasih dengan segala Kasih Sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Oftalmologi Komunitas” sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit
Mata Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Hj. Hasmeinah Bambang, Sp.M, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan selama penyusunan
referat ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi dan bidan bangsal atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Oktober 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi................................................................................ 3
2.2 Aspek-aspek Oftalmologi Komunitas................................. 3
2.3 Vision 2020......................................................................... 4
2.4. Kelainan-kelainan Mata yang Menjadi Masalah Oftalmologi
Komunitas........................................................................... 6
2.5. Peran Kesehatan Masyarakat Melalui Puskesmas.............. 14
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………........... 18

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Mata adalah indera yang menjadi garda terdepan alur jalur
informasi utama dalam kehidupan sehari-hari sejak dilahirkan sampai usia
tua. Mata yang terdiri dari kelopak mata, sistem lakrimal, jaringan lunak
orbita, dan tulang orbita serta bola mata merupakan satu kesatuan
fungsional yang saling berkaitan satu sama lainnya sehingga pelayanan
kesehatan mata paripurna harus meliputi semua bagian dari organ mata
tersebut. Berdasarkan data global mengenai gangguan penglihatan yang
dikeluarkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, World Health Organization
(WHO), saat ini diperkirakan sebanyak 180 juta orang di dunia yang
mengalami gangguan penglihatan, 40-45 juta diantaranya buta, 9 diantara
10 dari mereka yang mengalami gangguan penglihatan dan kebutaan
tinggal di negara berkembang. Dari jumlah tersebut diperoleh fakta bahwa
80% penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan dapat dicegah atau
ditangani, dan 50% dari kebutaan disebabkan oleh katarak. Di Indonesia,
sesuai hasil Riskesdas tahun 2013 prevalensi severe low vision, kebutaan
serta proporsi ketersediaan koreksi refraksi pada penduduk umur ≥ 6 tahun
secara nasional tanpa atau dengan koreksi optimal berturut turut adalah 0,9
%, 0,4% dan 4,6 % dan prevalensi katarak adalah 1,8%. Berdasarkan data
tersebut, dimungkinkan prevalensi angka kebutaan juga akan semakin
meningkat dengan semakin bertambahnya usia harapan hidup rakyat
Indonesia.1,2

Berdasarkan laporan Biro Pusat Statistik, jumlah penduduk usia


lanjut di Indonesia pada tahun 2025 akan mengalami peningkatan sebesar
414% dibandingkan keadaan pada tahun 1990. Untuk itu, perlu
ditingkatkan upaya penanggulangan kebutaan secara aktif dan
berkesinambungan karena kebutaan bukan hanya mengganggu

1
produktivitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan
dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan
negara, terlebih dalam menghadapi era pasar bebas. Selain masalah
kebutaan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi juga menjadi
masalah serius. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara sungguh-
sungguh, akan terus berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan
anak dan proses pembelajaran yang selanjutnya akan berdampak
mempengaruhi mutu, kreatifitas dan produktifitas individu. Pada akhirnya
nanti, akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional. Upaya
untuk mengurangi dampak buruk gangguan penglihatan di Indonesia
merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait dengan pelayanan
kesehatan mata. Disamping itu, perkembangan di era globalisasi dan
informasi menyebabkan meningkatnya tuntutan masyarakat akan
pelayanan kesehatan mata yang bertanggung jawab, bermutu dan merata.1
Optimalisasi pelayanan kesehatan mata menjadi maksimal bila
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan mata mengacu pada pedoman penyelenggaraan pelayanan
kesehatan mata dalam hal pemenuhan sumber daya manusia, sarana,
prasana, dan peralatan kesehatan, disamping itu juga dilakukan penguatan
pada sistem rujukan berjenjang sehingga pelayanan kesehatan bisa lebih
terarah dan tidak lagi terjadi penumpukan pasien di salah satu fasilitas
pelayanan kesehatan.1

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Oftalmologi Sosial atau Oftalmologi Komunitas adalah cabang
oftalmologi yang berorientasi pada kesehatan masyarakat paripurna
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) dengan menekankan pada
aspek-aspek promotif dan preventif. Oftalmologi komunitas memerlukan
pendekatan yang komprehensif untuk pencegahan secara primer, sekunder
dan tersier untuk semua penyakit mata seperti kekurangan vitamin A,
trachoma, campak, diabetes retinopathy, gangguan refraksi, dan lain-lain.
Ophthalmologi komunitas didasarkan pada prinsip-prinsip pendekatan
pelayanan kesehatan primer. Pemerataan, keterlibatan masyarakat, fokus
pada pencegahan, teknologi tepat guna dan pendekatan multisektorial
adalah beberapa nama dalam pendekatan pelayanan kesehatan primer.1,2

2.2. Aspek-aspek Oftalmologi Komunitas


Dalam oftalmologi mencakup aspek promotif dan preventif,
dimana targetnya adalah masyarakat atau komunitas guna mempertahankan
kualitas hidup pada tingkat yang baik. Definisi dari promotif ialah suatu
proses pembelajaran dari, oleh, untuk masyarakat yang disesuaikan dengan
sosial budaya setempat. Artinya masyarakat diberdayakan sehingga
masyarakat mampu mengenali, memelihara, melindungi dan meningkatkan
kesehatan indera penglihatan.
Pencegahan merupakan kunci dalam meningkatkan status
kesehatan seseorang. Kedokteran preventif adalah upaya untuk membantu
meningkatkan kesehatan individu dengan cara mencegah terjadinya suatu
penyakit dan mengurangi progresivitas serta konsekuensi dari penyakit

3
tersebut. Tindakan preventif atau pencegahan dalam dunia kesehatan dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier.10–12 Pencegahan primer adalah upaya untuk mencegah
terjadinya suatu penyakit. Pencegahan primer dilakukan dengan promosi
kesehatan yang dapat menurunkan kemungkinan terjadinya penyakit,
disabilitas maupun kematian dini. Promosi kesehatan dilakukan dengan
intervensi nonmedis seperti perubahan pada pola hidup, nutrisi maupun
lingkungan. Perlindungan spesifik diberikan apabila promosi kesehatan
tidak efektif dilakukan.11,12 Pencegahan sekunder dilakukan untuk
mendeteksi dan memberikan terapi sebelum suatu penyakit berkembang
menjadi simtomatik. Penapisan merupakan salah satu contoh dari
pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder tidak mencegah akar
permasalahan pada suatu penyakit namun dapat memperlambat progresi
penyakit ke tahap simtomatik. 10–12 Pencegahan tersier merupakan terapi dari
penyakit simtomatik untuk mencegah disabilitas maupun kematian dini
karena penyakit tersebut. Keterbatasan disabilitas adalah pengukuran medis
maupun operatif yang bertujuan untuk koreksi komponen anatomis maupun
fisiologis pada penyakit simtomatik. Pencegahan tersier dilakukan dengan
pemberian terapi yang adekuat agar tidak timbul penyulit dari penyakit
tersebut. 5,11,12
Preventif dalam oftalmologi komunitas dititikberatkan pada
glaukoma, kelainan refraksi, penyakit degenerasi, dan gangguan kornea.
Usaha preventif dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:1,2,3
1. Primer yaitu mencegah terjadinya penyakit. Misalnya:
 Defisiensi vitamin A: Dengan cara memberi gizi yang baik
 Trachoma: Dengan cara memebersihkan mata dengan air dan
sanitasi yang bersih
 Cacar/Campak: Dengan melakukan imunisasi
 Kelainan Refraksi: Dengan cara menonton TV pada jarak minimal 5
kali diagonal TV. Jarak baca 30 cm pada tempat yang cukup terang.
 Glaukoma: Dengan cara seseorang dengan umur di atas 40 tahun
lakukan kontrol tekanan bola mata secara teratur

4
2. Sekunder yaitu mencegah hilangnya tajam penglihatan dari penyakit
yang sedang diderita, dengan cara sebagai berikut:
 Defisiensi vitamin A: Bila ada gejala-gejala buta senja, segera beri
vitamin A 2 kali setahun dan memperbaiki gizi
 Katarak: Lakukan operasi bila visus menurun
 Glaukoma: Lakukan penyelamatan penglihatan dengan operasi atau
terapi secara teratur
 Retinopati diabetik: Menyelamatkan penglihatan dengan terapi laser
pada retina
3. Tertier yaitu memperbaiki visus pada orang buta, dengan cara sebagai
berikut:
 Katarak: Operasi
 Sikatriks kornea: Keratoplasty
 Penderita Low Vision: Pakai alat bantu penglihatan, misalnya kaca
pembesar.

2.3. Vision 2020


Vision 2020 adalah suatu inisiatif global untuk memberantas
kebutaan yang dapat dicegah. Inisiatif ini merupakan kerjasama antara
World Health Organization (WHO) dan International Agency for
Prevention of Blindness (IAPB) yang menaungi orgnisasi pelayanan
kesehatan mata profesional dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
terlibat. Tujuan awal Vision 2020 adalah memberantas kebutaan yang
dapat dicegah pada tahun 2020. Tujuan angka panjangnya adalah
menjamin kemungkinan penglihatan terbaik untuk semua orang dan
dengan demikian akan memperbaiki kualitas hidup mereka.2,3,4,5
Berdasarkan analisis data, diperkirakan 28 juta orang buta pada
tahun 1975 dan keadaan ini meningkat menjadi 31 juta pada tahun 1984
dan 38 juta pada tahun 1990. Gambaran terakhir pada tahun 1995
mendekati 45 juta orang. Proyeksi yang berdasarkan pada pertambahan
populasi dan peningkatan harapan hidup diperkirakan sekitar 50 juta orang

5
buta pada tahun 2000, dan apabila pelayanan tidak membaik, akan
meningkat menjadi 76 juta orang buta pada tahun 2020.3,4
Penyebab kebutaan bervariasi tergantung kepada keadaan sosial
ekonomi dan ketersediaan sarana kesehatan/sarana kesehatan mata.
Katarak dan kekeruhan/sikatrik kornea adalah penyebab utama kebutaan.
Katarak dan kekeruhan/sikatrik kornea bukanlah penyebab utama pada
komunitas pedesaan dengan keadaan nutrisi dan sanitasi yang baik, tetapi
katarak tetap sebagai penyebab utama dari 6.000-9.000 kebutan per juta
penduduk. Sedangkan pada komunitas perkotaan dengan keadaan ekonomi
dan sarana kesehatan yang lebih baik, terdapat 3.000-6.000 kebutaan per
juta penduduk. Pelayanan terhadap katarak pada komunitas ini biasanya
lebih mudah di dapat, akan tetapi tetap masih ada backlog kebutaan yang
disebabkan oleh katarak.4,5
Secara umum katarak adalah penyebab kebutaan terpenting dan
operasi katarak merupakan intervensi yang sangat efektif. Sebagian besar
katarak berhubungan dengan proses penuaan yang tidak dapat dicegah,
akan tetapi dengan tindakan operasi dan penanaman lensa intraokular
menghasilkan rehabilitasi visual yang cepat. Sehingga katarak merupakan
prioritas utama Vision 2020 selain kelainan refraksi, trakom,
onchocerciasis dan defisiensi vitamin A. 4,5

Strategi Pemberantasan Katarak


Keterbatasan utama dalam usaha pemberantasan katarak adalah kurangnya
pelayanan kesehatan mata terutama di daerah pedesaan yang miskin, dan biasanya
walaupun tersedia kualitasnya kurang baik. Tujuan Vision 2020 dalam
memberantas kebutaan karena katarak adalah menyediakan pelayanan operasi
katarak yang adekuat untuk mengeliminasi backlog setiap tahunnya dengan harga
yang terjangkau untuk semua orang baik di kota maupun pedesaan secara adil
serta angka keberhasilan yang tinggi, dalam hal ini perbaikan penglihatan dan
kualitas hidup. Konsep dari Vision 2020 adalah membangun atas dasar partisipasi
komunitas, dengan tiga komponen utama program Vision 2020 sebagai berikut:4,5
 Intervensi untuk mengendalikan penyakit ekonomis

6
 Pengembangan sumber daya manusia (pelatihan dan motivasi)
 Pengembangan infrastruktur (fasilitas, teknologi/bahan habis pakai yang
tepat, dana)

Intervensi untuk Mengendalikan Penyakit yang Ekonomis


Tujuan program intervensi pada katarak adalah menyediakan pelayanan
operasi katarak untuk semua komunitas yang mencukupi, berhasil dan
berkelanjutan. Pengertian mencukupi adalah mengetahui kebutuhan operasi
katarak yang dilakukan setiap tahunnya. Apabila kebutuhan tidak terpenuhi,
penting untuk mengetahui alasannya. Keberhasilan dapat dinilai secara klinis,
fungsi, sosial, maupun ekonomi. Selain itu, keberhasilan juga dapat dinilai
dari aspek program, yaitu pencapaian hasil, cakupan, efektivitas dan
pengaruhnya terhadap masalah katarak itu sendiri. Pengertian berkelanjutan
adalah tersedianya sumber daya manusia, fasilitas dan dana yang memadai dan
terus menerus. Persoalan yang dihadapi Vision 2020 sehubungan dengan
katarak adalah:4,5
 Bagaimana meningkatkan jumlah operasi katarak khususnya pada
komunitas yang miskin
 Bagaimana memperbaiki dan mempertahankan angka keberhasilan
yang tinggi
 Bagaimana menyediakan kualitas operasi katarak yang baik dan
terjangkau bagi semua orang.

2.4. Kelainan-Kelainan Mata Yang Menjadi Masalah Oftalmologi


Komunitas

2.4.1 Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi atau ametropia adalah kelainan optik


yang menyebabkan cahaya tidak jatuh di fovea pada mata yang
tidak berakomodasi. Kelainan refraksi merupakan salah satu
penyebab kebutaan di dunia yang sebelumnya kurang mendapatkan
perhatian yang cukup. Saat ini kelainan refraksi mulai

7
mendapatkan perhatian sebagai prioritas sebagai penyakit yang
dapat dikoreksi. Program 7 penanggulangan kelainan refraksi telah
dimasukkan dalam inisiasi global untuk mencegah kebutaan dalam
2,8,9
VISION 2020. Jumlah penderita kebutaan karena kelainan
refraksi yang tidak terkoreksi antara 1990 sampai 2015 mengalami
peningkatan dari 6,2 juta menjadi 7,4 juta. Kelainan refraksi yang
tidak dikoreksi dengan baik dapat menyebabkan low vision dan
kebutaan. Faktor lain yang turut mempengaruhi kelainan refraksi
menjadi tidak terkoreksi yaitu kesadaran personal maupun keluarga
yang kurang, layanan refraksi maupun lensa koreksi yang tidak
7–9
tersedia dan penderita kurang patuh. Pencegahan primer pada
kelainan refraksi yang tidak terkoreksi yaitu akses terhadap
pelayanan kesehatan yang terjangkau, penyuluhan mengenai
kelainan refraksi, ketersediaan kacamata yang berkualitas dan
terjangkau serta petugas refraksi dengan kemampuan yang baik.
Pencegahan sekunder yang dapat dilakukan pada kelainan refraksi
adalah program penapisan. Program penapisan kelainan refraksi
biasanya dilakukan pada anak-anak usia sekolah. Pencegahan
tersier dapat dilakukan dengan pemberian layanan untuk low vision
dan rehabilitasi visual.9–11

2.4.2 Kekeruhan pada Kornea

Kekeruhan kornea merupakan salah satu penyebab


kebutaan di dunia. Kekeruhan kornea dapat disebabkan oleh
infeksi, nutrisi, inflamasi, keturunan, degeneratif, dan trauma.
Kekeruhan kornea karena infeksi dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, trakoma, atau onkosersiasis. Penyebab kekeruhan
korena karena nutrisi yaitu xeroftalmia. Onkosersiasis adalah
infeksi yang disebabkan oleh Onchocerca volvulus. Trakoma
adalah penyakit yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis.
Xeroftalmia terjadi pada keadaan defisiensi vitamin A.2,8,9 Faktor

8
risiko yang dapat menyebabkan terjadinya kekeruhan korena
bervariasi tergantung pada penyebabnya. Faktor risiko terjadinya
trakoma yaitu lingkungan, sosio-ekonomi, edukasi, sanitasi yang
kurang baik, serta akses terhadap air bersih yang sulit.
Onkosersiasis merupakan penyakit yang terjadi di daerah endemik
seperti Afrika, Yaman dan beberapa negara Amerika. Xeroftalmia
dapat terjadi di daerah endemik pada anak usia prasekolah. Angka
kebutaan karena kekeruhan kornea mengalami penurunan dari
4,57% pada tahun 1995 menjadi 3,21% pada 8 tahun 2015.
Penyebab kebutaan karena trakoma pada tahun 2015 yaitu sebesar
0,97%. 1,2,9

Pencegahan untuk menurunkan angka kebutaan karena


kekeruhan kornea dapat dilakukan dengan mengatasi masing-
masing penyebab kekeruhan kornea tersebut. Kekeruhan kornea
yang disebabkan oleh infeksi, inflamasi, dan trauma dapat
dilakukan pencegahan primer. Kekeruhan kornea karena kondisi
lain seperti keratokonus dan distrofi tidak dapat dilakukan
pencegahan primer maupun sekunder, namun dapat dilakukan
operasi transplantasi kornea sebagai pencegahan tersier. Program
pencegahan yang dapat dilakukan pada penyakit trakoma yaitu
program yang telah dilaksanakan secara global disebut strategi
SAFE (Surgery, Antibiotic, Facial Cleanliness, Environment
Improvement). Program ini terdiri operasi untuk mengobati
trikiasis, antibiotik untuk mengobati infeksi, menjaga kebersihan
wajah serta perbaikan lingkungan untuk meningkatkan akses
terhadap air dan sanitasi. Pencegahan primer pada penyakit
onkosersiasis yaitu pemberian obat ivermektin dan kontrol
terhadap vektor lalat. Dosis ivermektin yang diberikan adalah 150
µm/kg dan diberikan setiap 6-12 bulan. Eliminasi lalat dilakukan
dengan pemberian insektisida secara berkala. Pencegahan pada
penyakit xeroftalmia dapat dilakukan dengan edukasi mengenai
nutrisi yang dibutuhkan anak-anak serta pemberian suplementasi

9
vitamin A yang dilakukan serentak pada bulan Februari dan
Agustus . Dosis pemberian vitamin A yang dianjurkan dijelaskan
pada tabel di bawah ini.2,5

Tabel 1. Sasaran Suplementasi Vitamin A

Ciner dkk menyatakan, kelainan refraksi berada di urutan


ke empat kelainan terbanyak pada anak, dan merupakan penyebab
utama kecacatan pada anak. Pada anak usia 3-6 tahun, ambliopia,
dan faktor resiko ambliopia seperti strabismus, dan kelainan
refraksi yang signifikan merupakan kelainan penglihatan dengan
prevalensi terbanyak. Di Indonesia, gangguan penglihatan akibat
kelainan refraksi dengan prevalensi sebesar 22,1% juga menjadi
masalah yang cukup serius. Sementara 10% dari 66 juta anak usia
sekolah (5-19 tahun) menderita kelainan refraksi. Sampai saat ini
angka pemakaian kacamata koreksi masih sangat rendah, yaitu
12,5% dari prevalensi. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara
menyeluruh, akan terus berdampak negatif terhadap perkembangan
kecerdasan anak dan proses pembelajarannya, yang selanjutnya
juga mempengaruhi mutu, kreativitas, dan produktivitas angkatan
kerja.6,7

2.4.3 Katarak

Katarak terjadi saat transparansi lensa hilang. Katarak dapat


disebabkan oleh kelainan genetik, metabolik, maupun sekunder
terhadap penyakit okular atau penyakit sistemik. Faktor risiko yang
dapat meningkatkan kejadian katarak yaitu usia, jenis kelamin
wanita, merokok, paparan ultraviolet B berlebih, diabetes,
penggunaan kortikosteroid jangka panjang dan miopia tinggi.
Faktor risiko paling penting dalam terjadinya katarak adalah

10
2,8,9
penuaan. Kebutaan karena katarak bersifat reversibel karena
dapat diterapi melalui operasi dan pengangkatan lensa. Katarak
menyebabkan kebutaan sebesar 35,15% di seluruh dunia. Angka
kejadian kebutaan karena katarak pada usia 50 tahun ke atas di
Jawa Barat sebesar 71,7%. Operasi katarak di berbagai negara
masih kurang adekuat sehingga katarak masih menjadi penyebab
utama kebutaan.2,3,8 Pencegahan primer penyakit katarak dapat
dilakukan dengan kontrol penyakit diabetes, penghentian rokok,
dan menghindari paparan radiasi sinar matahari. Pencegahan
sekunder maupun tersier pada penyakit katarak meliputi
pencegahan progresivitas katarak sebelum terjadi kebutaan melalui
penyuluhan, operasi yang dilakukan lebih awal atau kontrol
terhadap komplikasi operasi katarak. Prioritas Program
Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia bertujuan
untuk menurunkan prevalensi gangguan penglihatan akibat katarak
dengan tetap melakukan upaya penanggulangan gangguan
penglihatan dengan penyebab lainnya.

2.4.4 Retinopati Diabetikum

Retinopati diabetik adalah komplikasi penyakit diabetes


yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah retina. Penyebab
utama retinopati diabetik yaitu kadar gula darah yang tinggi.
Peningkatan kadar gula darah pada pasien dengan diabetes dapat
merusak pembuluh darah kecil yang terdapat di retina. Retinopati
diabetik ditandai dengan sekelompok lesi yang ditemukan di retina
atau fundus pasien dengan diabetes. Faktor risiko retinopati
diabetik adalah durasi seseorang menderita diabetes, kontrol gula
darah yang buruk, tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, dan
kehamilan.2,8,9 Angka kejadian retinopati diabetik yang
menyebabkan kebutaan diperkirakan sebesar 1,06% di seluruh
dunia pada tahun 2015. Angka kejadian retinopati diabetik terus
meningkat seiring dengan peningkatan insidensi diabetes. Biaya
peralatan yang tinggi serta tenaga ahli yang kurang menjadi

11
penyebab dari rendahnya pencegahan kebutaan karena retinopati
diabetik. Kelainan retina banyak terjadi pada negara maju karena
operasi katarak telah banyak tersedia. 2,7,8

Tujuan pencegahan primer pada pasien diabetes yaitu


pencegahan terhadap retinopati diabetik sebagai komplikasi.
Pencegahan primer dapat dilakukan dengan pola hidup sehat,
kontrol hipertensi dan kolesterol darah, serta pemeriksaan mata
berkala. Pencegahan sekunder retinopati diabetik dapat dilakukan
dengan penapisan dan pengobatan rutin untuk menghindari
keterlibatan visual. Hal ini dapat dicapai dengan program
penapisan pasien diabetes dan pemberian terapi pada saat
mendiagnosis. Pencegahan tersier meliputi rehabilitasi pasca
kehilangan penglihatan dengan cara melakukan operasi pada kasus
yang berat atau tambahan terapi low vision jika diperlukan.9,10

2.4.5 Glaukoma

Glaukoma adalah kelompok penyakit neuropati optik yang


ditandai dengan degenerasi sel ganglion retina yang progresif serta
kehilangan jaringan saraf yang berhubungan dengan disfungsi
penglihatan. Usia, riwayat glaukoma pada keluarga, ras, dan serta
pengobatan sistemik dapat menjadi faktor risiko dari penyakit
glaukoma. Glaukoma berdasarkan etiologi yang mendasarinya
dibagi menjadi dua kelompok yaitu glaukoma primer dan
sekunder. Gejala pada glaukoma primer timbul secara spontan
tanpa ada pencetus, sedangkan glaukoma sekunder dapat timbul
karena kelainan lain pada mata atau sistemik seperti trauma, obat-
obatan seperti kortikosteroid, inflamasi, maupun tumor. 2,9,13

Glaukoma merupakan penyebab kebutaan ireversibel.


Prevalensi glaukoma mengalami penurunan dari 1995 hingga 2015
dari 8,66% menjadi 8,49%. Prevalensi kebutaan karena glaukoma
di Jawa Barat adalah sebesar 2,2%. Penyakit ini memiliki
prevalensi tinggi dan merupakan penyebab utama dari kebutaan

12
yang tidak dapat direhabilitasi. Kebutaan pada glaukoma
berhubungan dengan keterlambatan diagnosis. Glaukoma dapat
bersifat asimtomatik sehingga gangguan lapang pandang yang
ditemukan cenderung lebih berat.3,8,9 Diagnosis dini dan kontrol
rutin merupakan hal yang penting dilakukan untuk
mempertahankan tajam penglihatan dan mencegah progresivitas
glaukoma. Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi
pemeriksaan pada diskus optikus dan pengukuran tekanan
intraokular pasien. Pencegahan tersier yang dapat dilakukan pada
glaukoma yaitu operasi untuk menurunkan tekanan intraokular
sebelum lapang pandang pasien bertambah buruk.2,5,9

2.4.6 Age-related Macular Degeneration

Age-related Macular Degeneration adalah gangguan


penglihatan yang terjadi di usia tua dan ditandai dengan
penglihatan sentral yang hilang karena lesi degeneratif di area
makula. Faktor risiko terjadinya AMD yaitu usia, ras kauskasia,
riwayat penyakit dengan AMD, merokok, penyakit kardiovaskular,
2,4,9
paparan sinar matahari, kolesterol tinggi dan darah tinggi. Age-
related Macular Degeneration biasanya terjadi pada usia 55 tahun
dan prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Angka
kejadian AMD di dunia diperkirakan sebesar 5,93%. Penderita
AMD diperkirakan mencapai 196 juta jiwa pada 2020 dan 288 juta
jiwa pada 2040. Prevalensi kelainan pada segmen posterior yang
menyebabkan kebutaan di Indonesia mencapai 6,0%. Kelainan
segmen posterior yang menyebabkan kebutaan di Jawa Barat yaitu
0,9%.7–9 Pencegahan primer AMD dilakukan dengan pemberian
penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai
faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Pencegahan sekunder
penyakit AMD dilakukan pemeriksaan mata rutin dan deteksi dini.
Pencegahan tersier dilakukan dengan layanan low vision pada
gangguan penglihatan berat maupun kebutaan.5,9,10

13
2.4.7 Kebutaan pada Anak

Penyebab kebutaan pada anak berbeda dengan dewasa.


Kebutaan didefinisikan sebagai tajam penglihatan dibawah 3/60
pada mata terbaik. World Health Organization mendefinisikan
anak sebagai seseorang dibawah 18 tahun. Penyebab kebutaan pada
anak dapat bervariasi. Penyebab kebutaan anak yang dapat dicegah
adalah abnormalitas kornea, katarak, glaukoma, retinopathy of
prematurity (ROP), kelainan refraksi, dan low vision. 2,8,9 Kebutaan
pada anak diperkirakan terjadi pada 0,8/1000 anak di India.
Kelainan refraksi yang tidak dikoreksi menyebabkan kebutaan
pada anak sebesar 33,3%. Penyebab lain kebutaan pada anak yaitu
defisiensi vitamin A dan ambliopia pascabedah katarak sebesar
16,6%. Jumlah kebutaan pada anak diperkirakan sekitar 500.000
per tahun atau satu anak per menit. Penyebab kebutaan pada anak
yang dapat dicegah atau diterapi adalah 40%. 9,15

Penyebab kebutaan pada anak yang dapat dicegah dengan


pencegahan primer adalah penyakit seperti infeksi campak,
defisiensi vitamin A, ophthalmia neonatorum, penggunaan obat-
obatan mata tradisional yang berbahaya, serta sindrom rubella
kongenital. Penyebab kebutaan pada anak yang dapat dilakukan
pencegahan sekunder yaitu ROP dengan melakukan penapisan.
Pencegahan tersier dapat dilakukan untuk katarak kongenital dan
beberapa kasus kelainan kornea. Strategi yang dilakukan WHO
dalam menangani kebutaan pada anak meliputi ketersediaan
layanan kesehatan untuk anak-anak, meningkatkan kesadaran
masyarakat untuk melakukan imunisasi campak dan suplemen
vitamin A, pemberian profilaksis antibiotik mata pada bayi baru
lahir.2,12,15

2.5. Peran Kesehatan Masyarakat Melalui Puskesmas


Angka kebutaan di Indonesia diperkirakan sekitar tahun 1982 yaitu
1,3% dari jumlah penduduk, di antaranya kebutaan tersebut dapat dicegah

14
dan diobati. Pada umumnya pelayanan kesehatan mata, terutama
dititikberatkan pada pelayanan individu. Selama orientasi kita masih
terpaku pada pelayanan individu, maka kebutaan akan bertambah terus
yang mungkin pada akhir abad kedua puluh dapat berlipat ganda.
Pengetahuan mengenai pencegahan dan pengobatan trakoma atau
xeroftalmi, telah kita kuasai, demikian juga memperbaiki ketajaman
penglihatan pada katarak dengan berbagai operasi, maupun keratoplasti
pada kerusakan kornea. Tetapi yang menjadi masalah utama ialah
bagaimana cara penerapannya pada seluruh bangsa Indonesia. Untuk
mencapainya, tentu perlu koordinasi yang mantap dalam pelayanan
kesehatan mata, dalam usaha pencegahan kebutaan dan penurunan fungsi
penglihatan.3,4,9
Sejak tahun 1979/1980 telah dimulai pelayanan kesehatan mata
melalui Puskesmas, yang merupakan pintu gerbang utama dalam pelayanan
kesehatan, yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Menurut
terminologi WHO Puskesmas disebut Primary Eye Care (PEC), adalah unit
terdepan yang merupakan bagian integral dari Puskesmas, yang meliputi
usaha-usaha peningkatan pencegahan dan pengobatan terhadap individu
dan masyarakat, di mana masyarakat merupakan sasaran utama dari
pelayanan tersebut. Tujuan Primary Eye Care yaitu melaksanakan kegiatan
pelayanan kesehatan mata yang diintegrasikan di Puskesmas, yang
berhubungan langsung dengan masyarakat, sehingga angka kesakitan mata
dapat ditekan dan kebutaan serta kemunduran fungsi penglihatan dapat
dihilangkan. Dalam usahanya mencapai tujuan dari Primary Eye Care
maka dibuat kebijakan, yaitu:1,3,4
1. Penduduk yang berpenghasilan rendah, baik yang tinggal di desa
maupun di kota, mendapat prioritas dalam pelayanan kesehatan
mata.
2. Pelayanan terutama ditekankan pada usaha peningkatan kesehatan
mata, pencegahan dan pengobatan.
3. Pelayanan kesehatan mata mengutamakan pelayanan penderita yang
berobat jalan.

15
4. Sistem pelayanan kesehatan mata berorientasi pada masyarakat
dengan partisipasi aktif mereka.

Demi keberhasilan kegiatan P.E.C., peranan dokter Puskesmas dan


para medik, yang mendapat pendidikan tambahan di bidang Ilmu Kesehatan
Mata sangat penting. Karenanya dokter Puskesmas beserta stafnya perlu
mendapat penyegaran dan latihan mengenai pengetahuan kesehatan mata,
sehingga mereka terampil dalam pekerjaannya di Puskesmas, seperti:1,3,4
a. Membuat diagnosa dini dan pengobatan dini dari penyakit mata
yang terbanyak pada masyarakat.
b. Melakukan operasi kecil seperti entropion, ektropion, insisi
hordeolum, kalasion, pengeluaran benda asing dikornea, abses
kelopak mata.
c. Melakukan pertolongan pertama pada glaukoma kongestif akut,
hifema, ulkus kornea, trauma. Melaksanakan rujukan penderita yang
tidak dapat ditangani sendiri ke tingkat yang lebih tinggi, seperti
mata merah dengan penurunan visus, katarak dengan visus yang
buruk, dan ambliopia.
d. Melaksanakan pengawasan lanjut, pada kelainan-kelainan mata
sebelum dirujuk misalnya katarak stadium imatur, yang belum
dirujuk, bila belum ada indikasi operasi.
e. Menumbuhkan partisipasi masyarakat dengan meningkatkan
kesadaran dan motivasi masyarakat.
f. Membuat laporan dan pencatatan kasus dengan memperhatikan
nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, keluhan dan gejala,
diagnosa dan pengobatan yang diberikan.
g. Melakukan case finding, baik aktif, maupun pasif, untuk kasus-
kasus yang didapat di P.E.C. ataupun di lapangan.
h. Melaksanakan pemeriksaan ketajaman penglihatan memakai
optotipe Snellen. Jika tajam penglihatan tak dapat mencapai 5/10
sebaiknya rujuk.

16
i. Pemeriksaan tonometri, terutama untuk orang yang berusia 40 tahun
atau lebih, memakai tonometer Schiotz, guna menemukan glaukoma
secara dini.
j. Pengobatan seperti pada xeroftalmia, konjungtivitis gonore dan non
gonore, trakoma, trauma mata tanpa penurunan tajam penglihatan
danlain-lainnya.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Indonesia ditempatkan WHO (World Health Organization) pada
posisi yang kurang baik yaitu setara dengan negara-negara di benua Afrika
yaitu dengan prevalensi kebutaan diatas 1%. Hasil survey Kebutaan dan
Morbiditas Nasional tahun 1993-1996 justru memperlihatkan peningkatan
prevalensi kebutaan dibandingkan survey tahun 1982, dengan penyebab
kebutaan utama yaitu katarak.

Ophthalmologi komunitas didasarkan pada prinsip-prinsip


pendekatan pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas, dan lebih
menitikberatkan kepada pencegahan. Indonesia telah bergabung dalam
program WHO (World Health Organization) melalui programnya untuk
kesehatan mata yaitu Vision 2020 untuk mengurangi angka kebutaan di
masyarakat.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016


Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Mata di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
2. World Health Organization. Global Initiative for The Elimination of
Avoidable Blindness: Action Plan 2006-2011. Geneva: WHO Press; 2007.
3. World Health Organization. Strategies for the prevention of blindness in
national programmes: A primary health care approach. Edisi ke-2.
Geneva: WHO Press; 1997.
4. Vision 2020 the right to sight. Developing an action plan. Tersedia di
http://www.who.int/ncd/vision2020_actionplan Diunduh pada tanggal 21
Oktober 2020.
5. Vision 2020 the right to sight: The condition responsible for 48% of world
blindness. Tersedia di http://www.vision2020.org/main.cfm Diunduh pada
tanggal 21 Oktober 2020.
6. Foster A. Vision 2020: from epidemiology to program. Dalam: Johnson
GJ, Minassian DC, Weale RA, West SK (eds) The epidemiology of eye
disease. Edisi ke-2. London, Arnold Publisher; 2003, h.373-383.

18
7. Ciner E, Dobson V, Schmidt P, Allen, D, Cyert, L, dkk., 2005. A survey of
vision screening policy of preschool children in the United States. Survey
of Ophthalmology, 43: 445-457.
8. Depkes RI. Ditjen Binkesmas. 1998. Hasil survey kesehatan indera
penglihatan dan pendengarn 1996,1998; 12-7.
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI. Hasil Survey Rapid Assessment of Avoidable Blindness Tahun 2014 –
2016 di Indonesia.
10. Association of Faculties of Medicine of Canada. Basic concepts in
prevention, surveillance, and health promotion. Dalam: AFMC Primer on
Population Health.
11. Tomek-Roksandic S, Mrcela NT, Narančić N, Šostar Z, Lukic M,
Durakovic Z, et al. Program of primary, secondary and tertiary prevention
for the elderly. Period Biol. 2013;115(4):475–81.
12. Ali A, Katz DL. Disease prevention and health promotion: how integrative
medicine fits. Am J Prev Med. November 2015;49(5 Suppl 3):230–40.
13. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peta jalan penanggulangan
gangguan penglihatan di indonesia tahun 2017-2030. Vol. 978-602–41.
Jakarta; 2017.
14. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Panduan manajemen
suplementasi vitamin a. Direktorat Bina Gizi Masyarakat; 2009.
15. Kaur G, Koshy J, Thomas S, Kapoor H, Zachariah JG, Bedi S. Vision
screening of school children by teachers as a community based strategy to
address the challenges of childhood blindness. J Clin Diagnostic Res.
2016;10(4):9–14.

19

Anda mungkin juga menyukai