OFTALMOLOGI KOMUNITAS
Oleh :
Hersaina Ashriannisa Sembiring, S. Ked
712018056
Pembimbing
dr. Hj. Hasmeinah Bambang, Sp.M
OFTALMOLOGI KOMUNITAS
Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit Mata
Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, Zat Yang Maha Pengasih dengan segala Kasih Sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat yang berjudul “Oftalmologi Komunitas” sebagai salah
satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Penyakit
Mata Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Hj. Hasmeinah Bambang, Sp.M, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Penyakit Mata Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang
yang telah memberikan masukan, arahan, serta bimbingan selama penyusunan
referat ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi dan bidan bangsal atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... ii
KATA PENGANTAR.................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................. iv
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi................................................................................ 3
2.2 Aspek-aspek Oftalmologi Komunitas................................. 3
2.3 Vision 2020......................................................................... 4
2.4. Kelainan-kelainan Mata yang Menjadi Masalah Oftalmologi
Komunitas........................................................................... 6
2.5. Peran Kesehatan Masyarakat Melalui Puskesmas.............. 14
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan.......................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………........... 18
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
produktivitas dan mobilitas penderitanya, tetapi juga menimbulkan
dampak sosial ekonomi bagi lingkungan, keluarga, masyarakat, dan
negara, terlebih dalam menghadapi era pasar bebas. Selain masalah
kebutaan, gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi juga menjadi
masalah serius. Apabila keadaan ini tidak ditangani secara sungguh-
sungguh, akan terus berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan
anak dan proses pembelajaran yang selanjutnya akan berdampak
mempengaruhi mutu, kreatifitas dan produktifitas individu. Pada akhirnya
nanti, akan mengganggu laju pembangunan ekonomi nasional. Upaya
untuk mengurangi dampak buruk gangguan penglihatan di Indonesia
merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait dengan pelayanan
kesehatan mata. Disamping itu, perkembangan di era globalisasi dan
informasi menyebabkan meningkatnya tuntutan masyarakat akan
pelayanan kesehatan mata yang bertanggung jawab, bermutu dan merata.1
Optimalisasi pelayanan kesehatan mata menjadi maksimal bila
fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan mata mengacu pada pedoman penyelenggaraan pelayanan
kesehatan mata dalam hal pemenuhan sumber daya manusia, sarana,
prasana, dan peralatan kesehatan, disamping itu juga dilakukan penguatan
pada sistem rujukan berjenjang sehingga pelayanan kesehatan bisa lebih
terarah dan tidak lagi terjadi penumpukan pasien di salah satu fasilitas
pelayanan kesehatan.1
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Oftalmologi Sosial atau Oftalmologi Komunitas adalah cabang
oftalmologi yang berorientasi pada kesehatan masyarakat paripurna
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) dengan menekankan pada
aspek-aspek promotif dan preventif. Oftalmologi komunitas memerlukan
pendekatan yang komprehensif untuk pencegahan secara primer, sekunder
dan tersier untuk semua penyakit mata seperti kekurangan vitamin A,
trachoma, campak, diabetes retinopathy, gangguan refraksi, dan lain-lain.
Ophthalmologi komunitas didasarkan pada prinsip-prinsip pendekatan
pelayanan kesehatan primer. Pemerataan, keterlibatan masyarakat, fokus
pada pencegahan, teknologi tepat guna dan pendekatan multisektorial
adalah beberapa nama dalam pendekatan pelayanan kesehatan primer.1,2
3
tersebut. Tindakan preventif atau pencegahan dalam dunia kesehatan dapat
dibagi menjadi tiga, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan
pencegahan tersier.10–12 Pencegahan primer adalah upaya untuk mencegah
terjadinya suatu penyakit. Pencegahan primer dilakukan dengan promosi
kesehatan yang dapat menurunkan kemungkinan terjadinya penyakit,
disabilitas maupun kematian dini. Promosi kesehatan dilakukan dengan
intervensi nonmedis seperti perubahan pada pola hidup, nutrisi maupun
lingkungan. Perlindungan spesifik diberikan apabila promosi kesehatan
tidak efektif dilakukan.11,12 Pencegahan sekunder dilakukan untuk
mendeteksi dan memberikan terapi sebelum suatu penyakit berkembang
menjadi simtomatik. Penapisan merupakan salah satu contoh dari
pencegahan sekunder. Pencegahan sekunder tidak mencegah akar
permasalahan pada suatu penyakit namun dapat memperlambat progresi
penyakit ke tahap simtomatik. 10–12 Pencegahan tersier merupakan terapi dari
penyakit simtomatik untuk mencegah disabilitas maupun kematian dini
karena penyakit tersebut. Keterbatasan disabilitas adalah pengukuran medis
maupun operatif yang bertujuan untuk koreksi komponen anatomis maupun
fisiologis pada penyakit simtomatik. Pencegahan tersier dilakukan dengan
pemberian terapi yang adekuat agar tidak timbul penyulit dari penyakit
tersebut. 5,11,12
Preventif dalam oftalmologi komunitas dititikberatkan pada
glaukoma, kelainan refraksi, penyakit degenerasi, dan gangguan kornea.
Usaha preventif dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:1,2,3
1. Primer yaitu mencegah terjadinya penyakit. Misalnya:
Defisiensi vitamin A: Dengan cara memberi gizi yang baik
Trachoma: Dengan cara memebersihkan mata dengan air dan
sanitasi yang bersih
Cacar/Campak: Dengan melakukan imunisasi
Kelainan Refraksi: Dengan cara menonton TV pada jarak minimal 5
kali diagonal TV. Jarak baca 30 cm pada tempat yang cukup terang.
Glaukoma: Dengan cara seseorang dengan umur di atas 40 tahun
lakukan kontrol tekanan bola mata secara teratur
4
2. Sekunder yaitu mencegah hilangnya tajam penglihatan dari penyakit
yang sedang diderita, dengan cara sebagai berikut:
Defisiensi vitamin A: Bila ada gejala-gejala buta senja, segera beri
vitamin A 2 kali setahun dan memperbaiki gizi
Katarak: Lakukan operasi bila visus menurun
Glaukoma: Lakukan penyelamatan penglihatan dengan operasi atau
terapi secara teratur
Retinopati diabetik: Menyelamatkan penglihatan dengan terapi laser
pada retina
3. Tertier yaitu memperbaiki visus pada orang buta, dengan cara sebagai
berikut:
Katarak: Operasi
Sikatriks kornea: Keratoplasty
Penderita Low Vision: Pakai alat bantu penglihatan, misalnya kaca
pembesar.
5
buta pada tahun 2000, dan apabila pelayanan tidak membaik, akan
meningkat menjadi 76 juta orang buta pada tahun 2020.3,4
Penyebab kebutaan bervariasi tergantung kepada keadaan sosial
ekonomi dan ketersediaan sarana kesehatan/sarana kesehatan mata.
Katarak dan kekeruhan/sikatrik kornea adalah penyebab utama kebutaan.
Katarak dan kekeruhan/sikatrik kornea bukanlah penyebab utama pada
komunitas pedesaan dengan keadaan nutrisi dan sanitasi yang baik, tetapi
katarak tetap sebagai penyebab utama dari 6.000-9.000 kebutan per juta
penduduk. Sedangkan pada komunitas perkotaan dengan keadaan ekonomi
dan sarana kesehatan yang lebih baik, terdapat 3.000-6.000 kebutaan per
juta penduduk. Pelayanan terhadap katarak pada komunitas ini biasanya
lebih mudah di dapat, akan tetapi tetap masih ada backlog kebutaan yang
disebabkan oleh katarak.4,5
Secara umum katarak adalah penyebab kebutaan terpenting dan
operasi katarak merupakan intervensi yang sangat efektif. Sebagian besar
katarak berhubungan dengan proses penuaan yang tidak dapat dicegah,
akan tetapi dengan tindakan operasi dan penanaman lensa intraokular
menghasilkan rehabilitasi visual yang cepat. Sehingga katarak merupakan
prioritas utama Vision 2020 selain kelainan refraksi, trakom,
onchocerciasis dan defisiensi vitamin A. 4,5
6
Pengembangan sumber daya manusia (pelatihan dan motivasi)
Pengembangan infrastruktur (fasilitas, teknologi/bahan habis pakai yang
tepat, dana)
7
mendapatkan perhatian sebagai prioritas sebagai penyakit yang
dapat dikoreksi. Program 7 penanggulangan kelainan refraksi telah
dimasukkan dalam inisiasi global untuk mencegah kebutaan dalam
2,8,9
VISION 2020. Jumlah penderita kebutaan karena kelainan
refraksi yang tidak terkoreksi antara 1990 sampai 2015 mengalami
peningkatan dari 6,2 juta menjadi 7,4 juta. Kelainan refraksi yang
tidak dikoreksi dengan baik dapat menyebabkan low vision dan
kebutaan. Faktor lain yang turut mempengaruhi kelainan refraksi
menjadi tidak terkoreksi yaitu kesadaran personal maupun keluarga
yang kurang, layanan refraksi maupun lensa koreksi yang tidak
7–9
tersedia dan penderita kurang patuh. Pencegahan primer pada
kelainan refraksi yang tidak terkoreksi yaitu akses terhadap
pelayanan kesehatan yang terjangkau, penyuluhan mengenai
kelainan refraksi, ketersediaan kacamata yang berkualitas dan
terjangkau serta petugas refraksi dengan kemampuan yang baik.
Pencegahan sekunder yang dapat dilakukan pada kelainan refraksi
adalah program penapisan. Program penapisan kelainan refraksi
biasanya dilakukan pada anak-anak usia sekolah. Pencegahan
tersier dapat dilakukan dengan pemberian layanan untuk low vision
dan rehabilitasi visual.9–11
8
risiko yang dapat menyebabkan terjadinya kekeruhan korena
bervariasi tergantung pada penyebabnya. Faktor risiko terjadinya
trakoma yaitu lingkungan, sosio-ekonomi, edukasi, sanitasi yang
kurang baik, serta akses terhadap air bersih yang sulit.
Onkosersiasis merupakan penyakit yang terjadi di daerah endemik
seperti Afrika, Yaman dan beberapa negara Amerika. Xeroftalmia
dapat terjadi di daerah endemik pada anak usia prasekolah. Angka
kebutaan karena kekeruhan kornea mengalami penurunan dari
4,57% pada tahun 1995 menjadi 3,21% pada 8 tahun 2015.
Penyebab kebutaan karena trakoma pada tahun 2015 yaitu sebesar
0,97%. 1,2,9
9
vitamin A yang dilakukan serentak pada bulan Februari dan
Agustus . Dosis pemberian vitamin A yang dianjurkan dijelaskan
pada tabel di bawah ini.2,5
2.4.3 Katarak
10
2,8,9
penuaan. Kebutaan karena katarak bersifat reversibel karena
dapat diterapi melalui operasi dan pengangkatan lensa. Katarak
menyebabkan kebutaan sebesar 35,15% di seluruh dunia. Angka
kejadian kebutaan karena katarak pada usia 50 tahun ke atas di
Jawa Barat sebesar 71,7%. Operasi katarak di berbagai negara
masih kurang adekuat sehingga katarak masih menjadi penyebab
utama kebutaan.2,3,8 Pencegahan primer penyakit katarak dapat
dilakukan dengan kontrol penyakit diabetes, penghentian rokok,
dan menghindari paparan radiasi sinar matahari. Pencegahan
sekunder maupun tersier pada penyakit katarak meliputi
pencegahan progresivitas katarak sebelum terjadi kebutaan melalui
penyuluhan, operasi yang dilakukan lebih awal atau kontrol
terhadap komplikasi operasi katarak. Prioritas Program
Penanggulangan Gangguan Penglihatan di Indonesia bertujuan
untuk menurunkan prevalensi gangguan penglihatan akibat katarak
dengan tetap melakukan upaya penanggulangan gangguan
penglihatan dengan penyebab lainnya.
11
penyebab dari rendahnya pencegahan kebutaan karena retinopati
diabetik. Kelainan retina banyak terjadi pada negara maju karena
operasi katarak telah banyak tersedia. 2,7,8
2.4.5 Glaukoma
12
yang tidak dapat direhabilitasi. Kebutaan pada glaukoma
berhubungan dengan keterlambatan diagnosis. Glaukoma dapat
bersifat asimtomatik sehingga gangguan lapang pandang yang
ditemukan cenderung lebih berat.3,8,9 Diagnosis dini dan kontrol
rutin merupakan hal yang penting dilakukan untuk
mempertahankan tajam penglihatan dan mencegah progresivitas
glaukoma. Pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi
pemeriksaan pada diskus optikus dan pengukuran tekanan
intraokular pasien. Pencegahan tersier yang dapat dilakukan pada
glaukoma yaitu operasi untuk menurunkan tekanan intraokular
sebelum lapang pandang pasien bertambah buruk.2,5,9
13
2.4.7 Kebutaan pada Anak
14
dan diobati. Pada umumnya pelayanan kesehatan mata, terutama
dititikberatkan pada pelayanan individu. Selama orientasi kita masih
terpaku pada pelayanan individu, maka kebutaan akan bertambah terus
yang mungkin pada akhir abad kedua puluh dapat berlipat ganda.
Pengetahuan mengenai pencegahan dan pengobatan trakoma atau
xeroftalmi, telah kita kuasai, demikian juga memperbaiki ketajaman
penglihatan pada katarak dengan berbagai operasi, maupun keratoplasti
pada kerusakan kornea. Tetapi yang menjadi masalah utama ialah
bagaimana cara penerapannya pada seluruh bangsa Indonesia. Untuk
mencapainya, tentu perlu koordinasi yang mantap dalam pelayanan
kesehatan mata, dalam usaha pencegahan kebutaan dan penurunan fungsi
penglihatan.3,4,9
Sejak tahun 1979/1980 telah dimulai pelayanan kesehatan mata
melalui Puskesmas, yang merupakan pintu gerbang utama dalam pelayanan
kesehatan, yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Menurut
terminologi WHO Puskesmas disebut Primary Eye Care (PEC), adalah unit
terdepan yang merupakan bagian integral dari Puskesmas, yang meliputi
usaha-usaha peningkatan pencegahan dan pengobatan terhadap individu
dan masyarakat, di mana masyarakat merupakan sasaran utama dari
pelayanan tersebut. Tujuan Primary Eye Care yaitu melaksanakan kegiatan
pelayanan kesehatan mata yang diintegrasikan di Puskesmas, yang
berhubungan langsung dengan masyarakat, sehingga angka kesakitan mata
dapat ditekan dan kebutaan serta kemunduran fungsi penglihatan dapat
dihilangkan. Dalam usahanya mencapai tujuan dari Primary Eye Care
maka dibuat kebijakan, yaitu:1,3,4
1. Penduduk yang berpenghasilan rendah, baik yang tinggal di desa
maupun di kota, mendapat prioritas dalam pelayanan kesehatan
mata.
2. Pelayanan terutama ditekankan pada usaha peningkatan kesehatan
mata, pencegahan dan pengobatan.
3. Pelayanan kesehatan mata mengutamakan pelayanan penderita yang
berobat jalan.
15
4. Sistem pelayanan kesehatan mata berorientasi pada masyarakat
dengan partisipasi aktif mereka.
16
i. Pemeriksaan tonometri, terutama untuk orang yang berusia 40 tahun
atau lebih, memakai tonometer Schiotz, guna menemukan glaukoma
secara dini.
j. Pengobatan seperti pada xeroftalmia, konjungtivitis gonore dan non
gonore, trakoma, trauma mata tanpa penurunan tajam penglihatan
danlain-lainnya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Indonesia ditempatkan WHO (World Health Organization) pada
posisi yang kurang baik yaitu setara dengan negara-negara di benua Afrika
yaitu dengan prevalensi kebutaan diatas 1%. Hasil survey Kebutaan dan
Morbiditas Nasional tahun 1993-1996 justru memperlihatkan peningkatan
prevalensi kebutaan dibandingkan survey tahun 1982, dengan penyebab
kebutaan utama yaitu katarak.
17
DAFTAR PUSTAKA
18
7. Ciner E, Dobson V, Schmidt P, Allen, D, Cyert, L, dkk., 2005. A survey of
vision screening policy of preschool children in the United States. Survey
of Ophthalmology, 43: 445-457.
8. Depkes RI. Ditjen Binkesmas. 1998. Hasil survey kesehatan indera
penglihatan dan pendengarn 1996,1998; 12-7.
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
RI. Hasil Survey Rapid Assessment of Avoidable Blindness Tahun 2014 –
2016 di Indonesia.
10. Association of Faculties of Medicine of Canada. Basic concepts in
prevention, surveillance, and health promotion. Dalam: AFMC Primer on
Population Health.
11. Tomek-Roksandic S, Mrcela NT, Narančić N, Šostar Z, Lukic M,
Durakovic Z, et al. Program of primary, secondary and tertiary prevention
for the elderly. Period Biol. 2013;115(4):475–81.
12. Ali A, Katz DL. Disease prevention and health promotion: how integrative
medicine fits. Am J Prev Med. November 2015;49(5 Suppl 3):230–40.
13. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peta jalan penanggulangan
gangguan penglihatan di indonesia tahun 2017-2030. Vol. 978-602–41.
Jakarta; 2017.
14. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Panduan manajemen
suplementasi vitamin a. Direktorat Bina Gizi Masyarakat; 2009.
15. Kaur G, Koshy J, Thomas S, Kapoor H, Zachariah JG, Bedi S. Vision
screening of school children by teachers as a community based strategy to
address the challenges of childhood blindness. J Clin Diagnostic Res.
2016;10(4):9–14.
19