Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) yang juga dikenal sebagai


‘club-foot’ adalah suatu gangguan perkembangan pada ekstremitas inferior yang
sering ditemui, tetapi masih jarang dipelajari. CTEV dimasukkan dalam
terminologi “sindromik” bila kasus ini ditemukan bersamaan dengan gambaran
klinik lain sebagai suatu bagian dari sindrom genetik. CTEV dapat timbul sendiri
tanpa didampingi gambaran klinik lain, dan sering disebut sebagai CTEV
“idiopatik”. CTEV sindromik sering menyertai gangguan neurologis dan
neuromuskular, seperti spina bifida maupun spinal muskular atrofi. Tetapi bentuk
yang paling sering ditemui adalah CTEV “idiopatik”, dimana pada bentuk yang
kedua ini ekstremitas superior dalam keadaan normal.

Club-foot ditemukan pada hieroglif Mesir dan dijelaskan oleh Hipokrates


pada 400 SM. Hipokrates menyarankan perawatan dengan cara memanipulasi
kaki dengan lembut untuk kemudian dipasang perban. Sampai saat ini, perawatan
modern juga masih mengandalkan manipulasi dan immobilisasi. Manipulasi dan
immobilisasi secara serial yang dilakukan secara hati-hati diikuti pemasangan gips
adalah metode perawatan modern non operatif. Kemungkinan mekanisme
mobilisasi yang saat ini paling efektif adalah metode Ponseti, dimana penggunaan
metode ini dapat mengurangi perlunya dilakukan operasi. Walaupun demikian,
masih banyak kasus yang membutuhkan terapi operatif.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Congenital Talipes Equino Varus adalah fiksasi dari kaki pada posisi
adduksi, supinasi dan varus. Tulang calcaneus, navicular dan cuboid terrotasi ke
arah medial terhadap talus, dan tertahan dalam posisi adduksi serta inversi oleh
ligamen dan tendon. Sebagai tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi
terhadap daerah plantar.2,4,9

2.2 EPIDEMIOLOGI

Insiden dari CTEV bervariasi, bergantung dari ras dan jenis kelamin.
Insiden CTEV di Amerika Serikat sebesar 1-2 kasus dalam 1000 kelahiran hidup.
Perbandingan kasus laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Keterlibatan bilateral
didapatkan pada 30-50% kasus.1,2,4,6

2.3 KLASIFIKASI

Terdapat banyak klasifikasi dalam pembagian CTEV, tetapi belum


terdapat satu klasifikasi yang digunakan secara universal. Pembagian yang sering
digunakan adalah postural atau posisional, serta fixed rigid. Clubfeet postural
atau posisional bukan merupakan clubfeet yang sebenarnya. Sedangkan clubfeet
jenis fixed atau rigid dapat digolongkan menjadi jenis yang fleksibel (dapat
dikoreksi tanpa operasi) dan resisten (membutuhkan terapi operatif, walaupun hal
ini tidak sepenuhnya benar menurut pengalaman dr. Ponseti).1,4,10

Beberapa jenis klasifikasi lain yang dapat ditemukan, antara lain :

a. Pirani
b. Goldner
c. Di Miglio

2
d. Hospital for Joint Diseases (HJD)
e. Walker

2.4 ETIOLOGI

Etiologi yang sebenarnya dari CTEV tidak diketahui dengan pasti. akan
tetapi banyak teori mengenai etiologi CTEV, antara lain :1,2,4,6

a. faktor mekanik intra uteri


adalah teori tertua dan diajukan pertama kali oleh Hipokrates. Dikatakan
bahwa kaki bayi ditahan pada posisi equinovarus karena kompresi
eksterna uterus. Parker (1824) dan Browne (1939) mengatakn bahwa
adanya oligohidramnion mempermudah terjadinya penekanan dari luar
karena keterbatasan gerak fetus.
b. defek neuromuskular
beberapa peneliti percaya bahwa CTEV selalu dikarenakan adanya defek
neuromuskular, tetapi banyak penelitian menyebutkan bahwa tidak
ditemukan adanya kelainan histologis dan eektromiografik.
c. defek plasma sel primer
Irani & Sherman telah melakukan pembedahan pada 11 kaki dengan
CTEV dan 14 kaki normal. Ditemukan bahwa pada kasus CTEV leher dari
talus selalu pendek, diikuti rotasi bagian anterior ke arah medial dan
plantar. Mereka mengemukakan hipotesa bahwa hal tersebut dikarenakan
defek dari plasma sel primer.
d. perkembangan fetus yang terhambat
e. herediter
Wynne dan Davis mengemukakan bahwa adanya faktor poligenik
mempermudah fetus terpapar faktor-faktor eksterna (infeksi Rubella,
penggunaan Talidomide).
f. hipotesis vaskular

3
Atlas dkk (1980), menemukan adanya abnormalitas pada vaskulatur kasus-
kasus CTEV. Didapatkan adanya bloking vaskular setinggi sinus tarsalis.
Pada bayi dengan CTEV didapatkan adanya muscle wasting pada bagian
ipsilateral, dimana hal ini kemungkinan dikarenakan berkurangnya perfusi
arteri tibialis anterior selama masa perkembangan.

2.5 PATOFISIOLOGI

Beberapa teori yang mendukung patogenesis terjadinya CTEV, antara


lain:2

a. terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular


b. kurangnya jaringan kartilagenosa talus
c. faktor neurogenik
telah ditemukan adanya abnormalitas histokimia pada kelompok otot
peroneus pada pasien CTEV. Hal ini diperkirakan karena adanya
perubahan inervasi intrauterine karena penyakit neurologis, seperti stroke.
Teori ini didukung dengan adanya insiden CTEV pada 35% bayi dengan
spina bifida.
d. Retraksi fibrosis sekunder karena peningkatan jaringan fibrosa di otot dan
ligamen.
Pada penelitian postmortem, Ponsetti menemukan adanya jaringan kolagen
yang sangat longgar dan dapat teregang pada semua ligamen dan struktur
tendon (kecuali Achilees). Sebaliknya, tendon achilles terbuat dari
jaringan kolagen yang sangat padat dan tidak dapat teregang. Zimny dkk,
menemukan adanya mioblast pada fasia medialis menggunakan mikroskop
elektron. Mereka menegemukakan hipotesa bahwa hal inilah yang
menyebaban kontraktur medial.
e. Anomali pada insersi tendon
Inclan mengajukan hipotesa bahwa CTEV dikarenakan adanya anomali
pada insersi tendon. Tetapi hal ini tidak didukung oleh penelitian lain. Hal

4
ini dikarenakan adanya distorsi pada posisi anatomis CTEV yang
membuat tampak terlihat adanya kelainan pada insersi tendon.
f. Variasi iklim
Robertson mencatat adanya hubungan antara perubahan iklim dengan
insiden epidemiologi kejadian CTEV. Hal ini sejalan dengan adanya
variasi yang serupa pada insiden kasus poliomielitis di komunitas. CTEV
dikatakan merupakan keadaan sequele dari prenatal poliolike condition.
Teori ini didukung oleh adanya perubahan motor neuron pada spinal cord
anterior bayi-bayi tersebut.

2.6 GAMBARAN KLINIK

Cari riwayat adanya CTEV atau penyakit neuromuskuler dalam keluarga.


Lakukan pemeriksaan keseluruhan agar dapat mengidentifikasi ada tidaknya
kelainan lain. Periksa kaki dengan bayi dalam keadaan tengkurap, sehingga
dapat terlihat bagian plantar. Periksa juga dengan posisi bayi supine untuk
mengevaluasi adanya rotasi internal dan varus.1,3,4

Deformitas yang serupa dapat ditemui pada myelomeningocele dan


arthrogryposis. Pergelangan kaki berada dalam posisi equinus dan kaki berada
dalam posisi supinasi (varus) serta adduksi.1,3,4

Tulang navicular dan kuboid bergeser ke arah lebih medial. Terjadi


kontraktur pada jaringan lunak plantar pedis bagian medial. Tulang kalkaneus
tidak hanya berada dalam posisi equinus, tetapi bagian anteriornya mengalami
rotasi ke arah medial disertai rotasi ke arah lateral pada bagian
posteriornya.1,3,4

Tumit tampak kecil dan kosong. Pada perabaan tumit akan terasa lembut
(seperti pipi). Sejalan dengan terapi yang diberikan, maka tumit akan terisi
kembali dan pada perabaan akan terasa lebih keras (seperti meraba hidung
atau dagu).1,3,4

5
Karena bagian lateralnya tidak tertutup, maka leher talus dapat dengan
mudah teraba pada sinus tarsalis. Normalnya leher talus tertutup oleh
navikular dan badan talus. Maleolus medial menjadi susah diraba dan pada
umumnya menempel pada navikular. Jarak yang normal terdapat antara
navikular dan maleolus menghilang. Tulang tibia sering mengalami rotasi
internal.1,3,4

2.7 GAMBARAN RADIOLOGIS

 Radiographi

Gambaran radiologis dari CTEV adalah adanya kesejajaran antara tulang talus
dan kalkaneus. Posisi kaki selama pengambilan foto radiologis memiliki arti yang
sangat penting. Posisi anteroposterior (AP) diambil dengan kaki fleksi terhadap
plantar sebesar 30º dan posisi tabung 30° dari keadaan vertikal. Posisi lateral
diambil dengan kaki fleksi terhadap plantar sebesar 30º.6,8 Gambaran AP dan
lateral juga dapat diambil pada posisi kaki dorsofleksi dan plantar fleksi penuh.
Posisi ini penting untuk mengetahui posisi relatif talus dan kalkaneus.6,8

Mengukur sudut talokalkaneal dari posisi AP dan lateral. Garis AP digambar


melalui pusat dari aksis tulang talus (sejajar dengan batas medial) serta melalui
pusat aksis tulang kalkaneus (sejajar dengan batas lateral). Nilai normalnya adalah
antara 25-40°. Bila ditemukan adanya sudut kurang dari 20° maka dikatakan
abnormal.6,8

Garis anteroposterior talokalkaneus hampir sejajar pada kasus CTEV. Seiring


dengan terapi yang diberikan, baik dengan casting maupun operasi, maka tulang
kalkaneus akan berotasi ke arah eksternal, diikuti dengan talus yang juga
mengalami derotasi. Dengan begitu maka akan terbentuk sudut talokalkaneus
yang adekuat.6,8

Garis lateral digambar melalui titik tengah antara kepala dan badan tulang
talus serta sepanjang dasar tulang kalkaneus. Nilai normalnya antara 35-50°,

6
sedang pada CTEV nialinya berkisar antara 35° dan negatif 10°. Sudut dari
dua sisi ini (AP and lateral) ditambahkan untuk mengetahui indeks talokalkaneus,
dimana pada kaki yang sudah terkoreksi akan memiliki nilai lebih dari 40°.6,8

Garis AP dan lateral talus normalnya melalui pertengahan tulang navikular


dan metatarsal pertama. Pengambilan foto radiologis lateral dengan kaki yang
ditahan pada posisi maksimal dorsofleksi adalah metode yang paling dapat
diandalkan untuk mendiagnosa CTEV yang tidak dikoreksi.6,8

2.8 TERAPI

2.8.1 Terapi Medis

Tujuan dari terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas yang ada
dan mempertahankan koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya
pertumbuhan tulang.2,3,4,5,9

Secara tradisional, CTEV dikategorikan menjadi dua macam, yaitu:2,3,4,5,9

 CTEV yang dapat dikoreksi dengan manipulasi, casting dan pemasangan


gips.
 CTEV resisten yang memberikan respon minimal terhadap penata
laksanaan dengan pemasangan gips dan dapat relaps ccepat walaupun
sepertinya berhasil dengan terapi manipulatif. Pada kategori ini
dibutuhkan intervensi operatif.

Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh prof. dr.
Shafiq Pirani, seorang ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini dinamakan
The Pirani Scoring System. Dengan menggunakan sistem ini, kita dapat
mengidentifikasi tingkat keparahan dan memonitor perkembangan suatu
kasus CTEV selama koreksi dilakukan.

Sistem ini terdiri dari 6 kategori, masing-masing 3 dari hindfoot dan


midfoot. Untuk hindfoot, kategori terbagi menjadi tonjolan

7
posterior/posterior crease (PC), kekosongan tumit/emptiness of the heel
(EH), dan derajat dorsofleksi yang terjadi/degree of dorsiflexion (DF).
Sedangkan untuk kategori midfoot, terbagi menjadi kelengkungan batas
lateral/curvature of the lateral border (CLB), tonjolan di sisi medial/medial
crease (MC) dan tereksposnya kepala lateral talus/uncovering of the lateral
head of the talus (LHT). 2,3,4,5,9

Cara untuk menghitung Pirani Score adalah sebagai berikut :

a. Curvature of the Lateral Border of the foot (CLB)


Batasan lateral dari kaki normalnya lurus. Adanya batas kaki yang nampak
melengkung menandakan terdapatnya kontraktur medial.2,3,4,5,9

Lihat pada bagian plantar pedis dan letakkan batangan/penggaris di bagian lateral
kaki. Normalnya, batas lateral kaki nampak lurus, mulai dari tumit sampai ke
kepala metatarsal kelima. Apabila didapatkan batas lateral kaki lurus, maka skor
yang diberikan adalah 0. 2,3,4,5,9

8
Pada kaki yang abnormal, batas lateral nampak menjauhi garis lurus tersebut.
Batas lateral yanng nampak melengkung ringan diberi nilai 0,5 (lengkungan
terlihat di bagian distal kaki pada area sekitar metatarsal). 2,3,4,5,9

Kelengkungan batas lateral kaki yang nampak jelas diberi nilai 1 (kelengkungan
tersebut nampak setinggi persendian kalkaneokuboid). 2,3,4,5,9

B. Medial crease of the foot (MC)


Pada keadaan normal, kulit pada daerah telapak kaki akan memperlihatkan
garis-garis halus. Lipatan kulit yang lebih dalam dapat menandakan adanya

9
kontraktur di daerah medial. Pegang kaki dan tarik dengan lembut saat
memeriksa. 2,3,4,5,9

Lihatlah pada lengkung dari batas medial kaki. Normalnya akan terlihat adanya
garis-garis halus pada kulit telapak kaki yang tidak merubah kontur dari lengkung
medial tersebut. Pada keadaan seperti ini, maka nilai dari MC adalah 0. 2,3,4,5,9

Pada kaki yang abnormal, maka akan nampak adanya satu atau dua lipatan kulit
yang dalam. Apabila hal ini tidak terlalu banyak mempengaruhi kontur lengkung
medial, maka nilai MC adalah sebesar 0,5.2,3,4,5,9

10
Apabila lipatan ini tampak dalam dan dengan jelas mempengaruhi kontur batas
medial kaki, maka nilai MC adalah sebesar 1.2,3,4,5,9

C. Posterior crease of the ankle (PC)

Pada keadaan normal, kulit pada bagian tumit posterior akan


memperlihatkan lipatan kulit multipel halus. Apabila terdapat adanya
lipatan kulit yang lebih dalam, maka hal tersebut menunjukkan adanya
kemungkinan kontraktur posterior yang lebih berat. Tarik kaki dengan
lembut saat memeriksa.2,3,4,5,9

11
Pemeriksa melihat ke tumit pasien. Normalnya akan terlihat adanya garis-garis
halus yang tidak merubah kontur dari tumit. Lipatan-lipatan ini menyebabkan
kulit dapat menyesuaikan diri, sehingga dapat meregang saat kaki dalam posisi
dorsofleksi. Pada kondisi ini, maka nilai untuk PC adalah 0. 2,3,4,5,9

Pada kaki yang abnormal, maka akan didapatkan satu atau dua lipatan kulit yang
dalam. Apabila lipatan ini tidaak terlalu mempengaruhi kontur dari tumit, maka
nilai dari PC adalah sebesar 0,5.2,3,4,5,9

12
Apabila pada pemeriksaan ditemukan lipatan kulit yang dalam di daerah tumit dan
hal tersebut merubah kontur tumit, maka nilai dari PC adalah sebesar 1.2,3,4,5,9

D. Lateral part of the Head of the Talus (LHT)

Pada kasus CTEV yang tidak diterapi, maka pemeriksa dapat meraba kepala
Talus di bagian lateral. Dengan terkoreksinya deformitas, maka tulang navikular
akan turun menutupi kepala talus, kemudian hal tersebut akan membuat menjadi
lebih sulit teraba, dan pada akhirnya tidak dapat teraba sama sekali. Tanda
“turunnya navikular menutupi kepala talus” adalah pengukur besarnya kontraktur
di daerah medial. 2,3,4,5,9

13
Penatalaksanaan non operatif

Dengan penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan splint


dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan dilakukan
adalah sebagai berikut : 2,3,4,5,9

1. Adduksi dari forefoot


2. Supinasi forefoot

3. Equinus

14
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa koreksi dapat
mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya rockerbottom foot. Tidak
boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan koreksi. Tempatkan kaki pada posisi
terbaik yang bisa didapatkan, kemudian pertahankan posisi ini dengan cara
menggunakan “strapping” yang diganti tiap beberapa hari sekali, atau
dipertahankan menggunakan gips yang diganti beberapa minggu sekali. Hal ini
dilanjutkan hingga dapat diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi
dilakukan koreksi selanjutnya.

Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan selama beberapa
bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera mungkin saat nampak adanya
kegagalan terapi konservatif, yang antara lain ditandai dengan deformitas yang
menetap, deformitas berupa rockerbottom foot atau kembalinya deformitas segera
setelah koreksi dihentikan.

Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat diketahui jenis deformitas


CTEV, apakah termasuk yang mudah dikoreksi atau tipe yang resisten. Hal ini
dikonfirmasi dengan menggunakan X-ray dan dilakukan perbandingan
penghitungan orientasi tulang. Dari laporan didapatkan bahwa tingkat kesuksesan
dengan menggunakan metode ini adalah sebesar 11-58%.

Metode Ponseti

Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa.
Metode ini dikembangkan dari penelitian kadaver dan observasi klinik yang
dilakukan oleh dr. Ponseti. langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai
berikut : 2,3,4,5,9

1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi
tulang kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki
berada dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada sendi
subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi abduksi dan
dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal pada kasus

15
CTEV, maka tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas dirotasikan
kebawah talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung normal dari
persendian subtalus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meletakkan jari
telunjuk operator di maleolus medialis untuk menstabilkan kaki dan
kemudian mengangkat ibu jari dan diletakkan di bagian lateral dari kepala
talus, sementara kita melakukan gerakan abduksi pada forefoot dengan
arah supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi pronasi.
Apabila ditemukan adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi
kaki adalah dengan cara mengangkat metatarsal pertama dengan lembut,
untuk mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi, maka forefoot
dapat diposisikan abduksi seperti yang tertulis dalam langkah pertama.

3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat menyebabkan
tulang kalkaneus berada di bawah talus. Apabila hal ini terjadi, maka
tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada posisi varus.
Seperti tertulis pada langkah kedua, cavus akan meningkat. Hal ini dapat
menyebabkan tejadinya bean-shaped foot. Pada akhir langkah pertama,
maka kaki akan berada pada posisi abduksi maksimal tetapi tidak pernah
pronasi.

4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah kaki


dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah memasang long leg cast
untuk mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips harus dipasang
dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap adekuat. Langkah
selanjutnya adalah menyemprotkan benzoin tingtur ke kaki untuk
melekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih memilih untuk
memasang bantalan tambahan sepanjang batas medial dan lateral kaki,
agar aman saat melepaskan gips menggunakan gunting gips. Gips yang
dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari kaki atau mengobliterasi
arcus transversalis. Posisi lutut berada pada sudut 90° selama
pemasangan gips panjang. Orang tua bayi dapat merendam gips ini selama

16
30-45 menit sebelum dilepas. Dr. Ponsetti memilih melepaskan gips
dengan cara menggunakan gergaji yang berosilasi (berputar). Gips ini
dibelah menjadi dua dan dilepas, kemudian disatukan kembali. Hal ini
dilakukan untuk mengetahui perkembangan abduksi forefoot, selanjutnya
hal ini dapat digunakan untuk mengetahui dorsofleksi serta megetahui
koreksi yang telah dicapai oleh kaki ekuinus.
5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan tendon
Achilles yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan berakhir
dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot. Kelengkungan
kaki yang abnormal (cavus) harus diterapi secara terpisah, seperti yang
digambarkan pada langkah kedua, sedangkan posisi ekuinusnya harus
dapat dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya midfoot..
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan
abduksi kaki yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu. Koreksi
yang dilakukan (usaha untuk membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat
dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60°
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus
membutukan dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles.
Hal ini dilakukan dalam keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan
kombinasi antara lignokain topikal dan infiltrasi lokal minimal
menggunakan lidokain. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan
menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka post operasi kemudian
ditutup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat
diabsorbsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki yang berada
pada posisi dorsofleksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga
2-3 minggu.

6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu


yang dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah
diposisikan abduksi (rotasi ekstrim) hingga 70°. with the unaffected foot
set at 45° of abduction. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk

17
mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam sehari
selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3
tahun.
7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat
berpindah ke bagian lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini
membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi
metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-
2.5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operasi
tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.

2.8.2 TERAPI OPERATIF

a. Insisi

Beberapa pilihan untuk insisi, antara lain : 2,8

 Cincinnati : jenis ini berupa insisi transversal, mulai dari sisi anteromedial
(persendian navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi anterolateral
(bagian distal dan medial sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian belakang
pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.
 Insisi Turco curvilineal medial atau posteromedial : insisi ini dapat
menyebabkan luka terbuka, khususnya pada sudut vertikal dan medial
kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator memilih beberapa
jalan, antara lain :

o Tiga insisi terpisah - insisi posterior arah vertikal, medial, dan


lateral

o Dua insisi terpisah - Curvilinear medial dan posterolateral

Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan terapi operatif di


semua kuadran. Beberapa pilihan yang dapat diambil, antara lain : 2,8

18
 Plantar : Plantar fascia, abductor hallucis, flexor digitorum brevis, ligamen
plantaris panjang dan pendek
 Medial : struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan
talonavicular dan subtalar, tibialis posterior, FHL, dan pemanjangan FDL

 Posterior : kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan


ligamen talofibular posterior dan tibiofibular, serta ligamen
kalkaneofibular

 Lateral : struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian


kalkaneokuboid, serta pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar

Pendekatan manapun yang dilakukan harus bisa menghasilkan paparan yang


adekuat. Struktur-struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan adalah sebagai
berikut : 2,8

 Tendon Achilles
 Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar.

 Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid.

 Ligamen tibiofibular inferior

 Ligamen fibulocalcaneal

 Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar.

 Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik

Aksis longitudinal dari talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20° dari
proyeksi lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan dengan
pemasangan kawat di persendian talokalkaneus, atau talonavikular atau keduanya.
Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan gips. Luka paska operasi yang terjadi
tidak boleh ditutup dengan paksa. Luka tersebut dapat dibiarkan terbuka agar
membentuk jaringan granulasi atau bahkan nantinya dapat dilakukan cangkok
kulit. 2,8

19
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari pasien : 2,8

1. Pada anak kurang dari 5 tahun, maka koreksi dapat dilakukan hanya
melalui prosedur jaringan lunak.
2. Untuk anak lebih dari 5 tahun, maka hal tersebut membutuhkan
pembentukan ulang tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari
persendian kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau osteotomi
tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).

3. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, maka dapat dilakukan tarsektomi
lateralis atau arthrodesis.).

Harus diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit paska
operasi sulit dilakukan, maka lebih baik luka tersebut dibiarkan terbuka agar dapat
terjadi reaksi ganulasi, untuk kemudian memungkinkan terjadinya penyembuhan
primer atau sekunder. Dapat juga dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi
defek luka paska operasi. Perban hanya boleh dipasang longgar dan harus
diperiksa secara reguler. 2,8

Follow-up pasien

Pin untuk fiksator ini biasanya dilepas setelah 3-6 minggu. Satelah itu tetap
diperlukan pemasangan perban yang dipasangkan dengan sepatu Dennis Brown
selama 6-12 bulan.

2.9 KOMPLIKASI

 Infeksi (jarang)
 Kekakuan dan keterbatasan gerak : adanya kekakuan yang muncul di awal
berhubungan dengan hasil yang kurang baik.

 Nekrosis avaskular talus : sekitar 40% kejadian nekrosis avaskular talus


muncul pada tehnik kombinasi pelepasan medial dan lateralis.

20
Dapat terjadi overkoreksi yang mungkin dikarenakan : 2,7,8


Pelepasan ligamen interoseus dari persendian subtalus

Perpindahan tulang navikular yang berlebihan ke arah lateral


Adanya perpanjangan tendon

2.10 DIAGNOSA BANDING


Postural clubfoot – disebabkan karena posisi fetus dalam uterus. Jenis
abnormalitas kaki seperti ini dapat dikoreksi secara manual oleh
pemeriksa. Postural clubfoot memberi respon baik dengan pemasangan
gips serial dan jarang relaps. 2,3,4,8

Metatarsus adductus (atau varus) – adalah suatu deformitas dari tulang
metatarsal saja. Forefoot mengarah pada garis tengah tubuh, atau berada
pad aposisi addkutus. Abnormalitas ini dapat dikoreksi dengan manipulasi
dan pemasangan gips serial. 2,3,4,8

2.11 PROGNOSIS


Kurang lebih 50% dari kasus CTEV pada bayi baru lahir dapat dikoreksi
tanpa tindakan operatif. dr Ponseti melaporkan tingkat kesuksesan sebesar
89% dengan menggunakan tehniknya (termasuk dengan tenotomi tendon
Achilles). Peneliti lain melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-
35%. Sebagian besar kasus melaporkan tingkat kepuasan setinggi 75-90%,
baik dari segi penampilan maupun fungsi kaki.2,5,6

Hasil yang memuaskan didapatkan pada kurang lebih 81% kasus. Faktor
utama yang mempengaruhi hasil fungsional adalah rentang gerakan
pergerakan kaki, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh derajat pendataran
kubah dari tulang talus. Tiga puluh delapan persen dari pasien dengan
kasus CTEV membutuhkan tindakan operatif lebih lanjut (hampir 2/3 nya
adalah prosedur pembentukan ulang tulang). 2,5,6

21

Rerata tingkat kekambuhan deformitas mencapai 25%, dengan rentang
antara 10-50%.2,5,6


Hasil terbaik didapatkan pada anak-anak yang dioperasi pada usia lebih
dari 3 bulan (biasanya dengan ukuran lebih dari 8 cm). 2,5,6

DAFTAR PUSTAKA

1. Meidzybrodzka, Z. 2002. Congenital Talipes Eqinovarus (clubfoot):


disorder of the foot but not the hand. www.anatomisociety.com [29 juli
2008].
2. Patel, M. 2007. Clubfoot. www.emedicine.com [29 juli 2008].
3. Harris, E. 2008. Key Insight To Treating Talipes Equinovarus.
www.podiatry.com [29 juli 2008].
4. Nordin, S. 2002. Controversies In Congenital Clubfoot: Literature
Review. www.mjm.com [29 juli 2008].
5. Pirani, S. 1991. A Relible & Valid Method of Assesing the Amount of
Deformity in the Congenital Clubfoot Deformity. www.ubc.com [2 juli
2008].
6. Anonym. 2006. Brith Defect Risk Factor Series: Talipes Equinovarus
(clubfoot). www.statehealth.com [2 juli 2008].
7. Anonym. 2005. Clubfoot Deformity. www.dubaibone.com [5 juli 2008].
8. Hussain, S. et al. 2007 Gomal Journal of Medical Sciences July – Dec
2007, Vol. 5, No. 2. Turco’s Postero – Medial Release for Congenital
Talipes Equinovarus. www.gjm.com [5 juli 2008].
9. Soule, R. E. 2008. Treatment of Congenital Talipes Equinovarus in
Infancy and Early Chlidhood. www.jbjs.com [5 juli 2008].
10. Kler, J. et al. 2005 Treatment Methods of Congenital Talipes
Equinovarus-three case reports. www.jpn-online.com [7 juli 2008].

22
11. Yeung EHK. et al. 2005 Radiografic Assesment of Congenital Talipes
Equinovarus: Strapping versus Forced Dorsoflexion. www.jos.com [7 juli
2008].

23

Anda mungkin juga menyukai