Anda di halaman 1dari 51

Case Report

MANAJEMEN ANASTESI PADA LAMINEKTOMI PADA CEDERA


VERTEBRA SERVIKAL V-VI

Oleh :
Rahdmia Ilhama Amala
NIM : 702015014

Pembimbing :
dr.

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan case report yang berjudul Judul:
“MANAJEMEN ANASTESI PADA LAMINEKTOMI PADA CEDERA
VERTEBRA SERVIKAL V-VI”. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada
Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat, dan pengikutnya
sampai akhir zaman.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. dr. . selaku pembimbing yang telah memberikan masukan serta bimbingan
dalam penyelesaian laporan kasus ini,
2. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran
dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Palembang, November 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Tujuan.............................................................................................................1
1.3 Manfaat...........................................................................................................2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi..........................................................................................................3
2.2 Definisi...........................................................................................................9
2.3 Epidemiologi..................................................................................................9
2.4 Etiologi ..........................................................................................................9
2.5 Klasifikasi ....................................................................................................10
2.6 Patofisiologi .................................................................................................12
2.7 Manifestasi Klinis.........................................................................................16
2.8 Pemeriksaan Penunjang................................................................................21
2.9 Tatalaksana ..................................................................................................22
2.10 Komplikasi..................................................................................................27
2.11 Prognosis ...................................................................................................29
BAB III. STATUS PASIEN .................................................................................31
BAB IV. PEMBAHASAN ....................................................................................36
BAB V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan ...............................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................44

iii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera vertebra servikal terjadi 2-3% dari seluruh kejadian cedera
11
dan 8,2% dari semua cedera yang menyebabkan kematian. Dalam
sebuah penelitian, dari 34.069 kasus cedera, 818 pasien mengalami
komplikasi, 1.193 mengalami fraktur, dan 231 mengalami subluksasi
tulang servikal. Dua puluh empat persen mengalami fraktur pada C2,
dislokasi paling banyak terjadi pada C5-6 dan C6-7. 12 Lokasi paling sering
terjadinya cedera spinalis adalah daerah servikal (29%), thorakal (24%),
lumbal (37%), dan sakral (10%).13 Servikal 5-6 memberikan fleksibilitas
dan mendukung sebagian besar pergerakan pada leher dan kepala serta
fungsinya yang menahan beban tinggi, segmen gerak servikal 5-6 sering
dipengaruhi oleh postur yang buruk, degenerasi, herniasi diskus, nyeri
redikuler, dan cedera. Mayoritas pasien cedera servikal adalah akibat
kecelakaan kendaraan bermotor. Mekanisme terjadinya cedera pada tulang
belakang leher termasuk hiperekstensi paksa, fleksi paksa, dan kompresi. 2
Gejala cedera servikal dapat berupa hilangnya sebagian atau semua
gerakan anggota gerak dan/atau sensasi yang dapat diklasifikasikan
sebagai tidak lengkap atau lengkap berdasarkan ada tidaknya gerakan
secara sadar atau sensasi di bawah tingkat lesi. Pada servikal V-VI
terdapat akar saraf sensorik dan motorik, dermatom servikal VI adalah
area kulit yang menerima sensasi saraf, pada dermatom ini termasuk kulit
di sisi ibu jari dan lengan bawah. Myotome servikal VI adalah sekelompok
otot yang dikendalikan oleh saraf servikal VI, yaitu otot ekstensor
pergelangan tangan, otot bisep dan supinator lengan atas.14 Tindakan
resusitasi dan proteksi vertebra servikal, ditujukan untuk mencegah atau
meminimalisir kerusakan lain pada sistem saraf setelah terjadinya cedera
pada servikal dan meningkatkan kesembuhan pasien dengan
merencanakan dengan spesifik selama preoperatif, meliputi manajemen
jalan napas, induksi, anastesi umum, dan fase pemulihan.15
1
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Manajemen Anestesi pada Laminektomi pada
Cedera Vertebra Servikalis V-VI
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui penyebab dari Cedera Vertebra dan Manajemen
Anestesi.
2. Mengetahui faktor risiko terjadinya Cedera Vertebra dan Manajemen
Anestesi.
3. Mengetahui cara mendiagnosis Cedera Vertebra dan Manajemen
Anestesi.
4. Mengetahui tatalaksana Cedera Vertebra dan Manajemen Anestesi.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat dari Case Report kali ini, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mahasiswa
a. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang Cedera Vertebra dan
Manajemen Anestesinya.
b. Dapat menambah ilmu pengetahuan untuk mengidentifikasi Cedera
Vertebra dan Manajemen Anestesinya.
2. Untuk staf pengajar & profesi khususnya bidang kesehatan
a. Dapat menambah ilmu pengetahuan tentang Cedera Vertebra
Servikalis dan Manajemen Anestesi.
b. Dapat dijadikan sebagai literatur pembanding dalam pengajaran
penyakit infetilitas pria.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
2
2.1.1 Anatomi columna vertebralis
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi
melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang
tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah.
Masing-masing tulang dipisahkan oleh discus intervertebralis.3,4
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:3,4
a. Vetebra Cervicalis (atlas)
Vetebra cervicalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus
tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebra cervikalis kedua (axis)
ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbra cervikalis
ketujuh disebut dominan karena mempunyai prosesus spinasus
paling panjang.
b. Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus
berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian
belakang thorax.
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,
berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki
corpus vertebra yang besar ukurannya sehingga pergerakannya
lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang
kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung
yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygis
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia,
mengalami rudimenter.
Lengkung koluma vertebralis kalau dilihat dari samping maka
kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-
pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan
daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah

3
pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap
pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka
mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang
belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengan kepala membengkak ke
bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah
depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah
sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak
mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki,
dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan
serta mempertahankan tegak. 3,4
Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang
kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan
tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan
fleksibilitas dan memungkinkan membongkok tanpa patah. Cakramnya
juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan
berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak
dan sumsum belakang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga
untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk otot dan
membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan
dan memberi kaitan pada iga. 3,4

4
Gambar 1. Anatomi collumna vertebralis5

2.1.2 Anatomi medulla spinalis


Medulla spinalis merupakan massa jaringan saraf yang
berbentuk silindris memanjang dan menempati ⅔ atas canalis
vertebra yaitu dari batas superior atlas (C1) sampai batas atas
vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medulla spinalis akan
berlanjut menjadi medulla oblongata. Pada waktu bayi lahir,
panjang medulla spinalis setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medulla
spinalis dibungkus oleh duramater, arachnoid, dan piamater.
5
Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi
antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks. 3,4

INCLUDEPICTURE
"http://d3j7fudf8o8iuo.cloudfront.net/var/ezwebin_site/storage/images/me
dia/images/e-anatomy/spinal-cord-illustrations/spinal-cord-anatomy-
diagram-en/2358606-10-eng-GB/spinal-cord-anatomy-diagram-
en_medical512.jpg" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://d3j7fudf8o8iuo.cloudfront.net/var/ezwebin_site/storage/images/me
dia/images/e-anatomy/spinal-cord-illustrations/spinal-cord-anatomy-
diagram-en/2358606-10-eng-GB/spinal-cord-anatomy-diagram-

6
en_medical512.jpg" \* MERGEFORMATINET

Gambar 2. Medulla spinalis6

Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut: 3,4


1. Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik : mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju
sel-sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju
substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis

7
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis
4. sel saraf motorik ; dalam kornu anterior medula spinalis yang
menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut saraf
motorik
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh
impuls saraf motorik
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus
pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal)
paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan
otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada
uretra dan rectum

INCLUDEPICTURE "http://www.unm.edu/~jimmy/spinal_cord.jpg" \*
MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE

8
"http://www.unm.edu/~jimmy/spinal_cord.jpg" \* MERGEFORMATINET

9
Gambar 3. Anatomi medulla spinalis7

2.2. Definisi
Trauma Medulla Spinalis adalah trauma pada tulang belakang yang
menyebabkan lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Trauma
medulla spinalis merupakan keadaan darurat neurologis yang memerlukan
tindakan yang cepat, tepat dan cermat untuk mengurangi angka kecacatan dan
kematian.9

2.3. Epidemiologi
Insidensi trauma medulla spinalis diperkirakan 30-40 per satu juta
penduduk per tahun, dengan sekitar 8.000-10.000 kasus per tahun. Angka
mortalitas diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama, dan lebih kurang 80%
meninggal di tempat kejadian, ini disebabkan vertebra servikalis yang
memiliki resiko trauma yang paling besar, dengan level tersering C5
diikuti C4, C6 dan kemudian T12, L1 dan T10.9

2.4. Etiologi
Trauma medulla spinalis dapat terjadi karena trauma langsung ataupun
tidak langsung terhadap medulla spinalis yang menyebabkan kerusakan
pada medulla spinalis. Mekanisme terjadinya dikarenakan fraktur
vertebra/dislokasi, luka penetrasi/tembus, perdarahan epidural/subdural,
trauma tidak langsung, trauma intramedular/kontusio.2

INCLUDEPICTURE "http://www.nutritionalsupplementproduct.com/wp-
content/uploads/The-Danger-of-Spinal-Cord-Injury-4.jpg" \*
10
MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://www.nutritionalsupplementproduct.com/wp-content/uploads/The-Danger-
of-Spinal-Cord-Injury-4.jpg" \* MERGEFORMATINET

Gambar 4. Bagan etiologi trauma medulla spinalis (8)

2.5 Klasifikasi

Trauna Medulla spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan tidak


komplet berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah

11
lesi. Berikut di bawah ini adalah tabel klasifikasi trauma medula spinalis
komplet dan inkomplet sebagai berikut.3,5,9

(9)
Tabel 1. Klasifikasi lesi trauma medulla spinalis

Tabel 2. Klasifikasi trauma medulla spinalis menurut American Spinal


Injury Association (ASIA) Impairment Scale13

Terdapat 5 sindrom utama cedera medulla spinalis inkomplet


menurut American Spinal Cord Injury Association yaitu : (1) Central Cord
Syndrome, (2) Anterior Cord Syndrome, (3) Brown Sequard Syndrome, (4) Cauda
Equina Syndrome, dan (5) Conus Medullaris Syndrome. Lee menambahkan lagi
sebuah sindrom inkomplet yang sangat jarang terjadi yaitu Posterior Cord
Syndrome. Central Cord Syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah cedera
hiperekstensi. Sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan spondilosis
cervicalis. Predileksi lesi yang paling sering adalah medulla spinalis segmen
servikal, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus tidak ditandai oleh
adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera adalah akibat penjepitan
medulla spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi osteofit atau
12
material diskus dari anterior. Bagian medulla spinalis yang paling rentan adalah
bagian dengan vaskularisasi yang paling banyak yaitu bagian sentral.
Pada Central Cord Syndrome, bagian yang paling menderita gaya trauma dapat
mengalami nekrosis traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat
meluas sampai 1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera. Sebagian besar
kasus Central Cord Syndrome menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan
hiperintens pada T2, yang mengindikasikan adanya edema.3,5,9

Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih


prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah. Pemulihan fungsi
ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara pada ekstremitas atas
(terutama tangan dan jari) sangat sering dijumpai disabilitas neurologik permanen.
Hal ini terutama disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah setinggi
VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi
LMN. Gambaran klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus dilaporkan
disabilitas permanen yang unilateral. Berikut dibawah ini tabel perbedaan
karakteristik klinik 5 sindrom utama pada trauma medulla spinalis inkomplit. 3,5,9

Tabel 2. Klasifikasi trauma medulla spinalis inkomplit9

2.6 Patofisiologi

Mekanisme utama terjadinya cedera vertebra adalah karena hiperekstensi,


hiperfleksi, trauma kompresi vertikal dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi.

13
Cedera karena hiperekstensi paling umum terjadi pada area cervikal dan
kerusakan terjadi akibat kekuatan akselerasi – deselerasi. Cedera akibat
hiperfleksi terjadi akibat regangan atau tarikan yang berlebihan, kompresi dan
perubahan bentuk dari medula spinalis secara tiba – tiba.5
Kerusakan medula spinalis terjadi akibat kompresi tulang, herniasi disk,
hematoma, edema, regangan jaringan saraf dan gangguan sirkulasi pada spinal.
Adanya perdarahan akibat trauma dari gray sampai white matter menurunkan
perfusi vaskuler dan menurunkan kadar oksigen dan menyebabkan iskemia
pada daerah cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut mengakibatkan edema sel dan
jaringan menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan kembali menjadi
normal kurang lebih 24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang terjadi
adalah meningkatnya asam laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar
oksigen secara cepat 30 menit setelah trauma, meningkatnya konsentrasi
norephineprine. Meningkatnya norephineprine disebabkan karena efek sikemia,
ruptur vaskuler atau nekrosis jaringan saraf.5
Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock)
yaitu terjadi jika kerusakan secara tranversal sehingga mengakibatkan
pemotongan komplit rangsangan. Pemotongan komplit rangsangan
menimbulkan semua fungsi reflektorik pada semua segmen di bawah garis
kerusakan akan hilang. Fase renjatan ini berlangsung beberapa minggu sampai
beberapa bulan (3 – 6 minggu).5
Trauma pada daerah leher dapat bermanifestasi pada kerusakan struktur
kolumna vertebra, kompresi diskus, sobeknya ligamentum servikalis, dan
kompresi medula spinalis pada setiap sisinya dapat menekan spinal dan
bermanifestasi pada kompresi radiks, dan distribusi saraf sesuai segmen dari
tulang belakang servikal.5
Tabel 3. Kondisi Patologis Saraf Spinal Akibat Cedera
Batas Cedera Fungsi yang Hilang
C1 –C 4 Hilangnya fungsi motorik dan sensorik leher ke
bawah. Paralisis pernafasan, tidak terkontrolnya
bowel dan blader.
C5 Hilangnya fungsi motorik dari atas bahu ke bawah.
Hilangnya sensasi di bawah klavikula. Tidak
14
terkontrolnya bowel dan blader.
C6 Hilangnya fungsi motorik di bawah batas bahu dan
lengan. Sensasi lebih banyak pada lengan dan
jempol.

C7 Fungsi motorik yang kurang sempurna pada bahu,


siku, pergelangan dan bagian dari lengan. Sensasi
lebih banyak pada lengan dan tangan dibandingkan
pada C6. Yang lain mengalami fungsi yang sama
dengan C5.
C8 Mampu mengontrol lengan tetapi beberapa hari
lengan mengalami kelemahan. Hilangnya sensai di
bawah dada.
T1-T6 Hilangnya kemampuan motorik dan sensorik di
bawah dada tengah. Kemungkinan beberapa otot
interkosta mengalami kerusakan. Hilangnya
kontrol bowel dan blader.
T6 – T12 Hilangnya kemampuan motorik dan sensasi di
bawah pinggang. Fungsi pernafasan sempurna
tetapi hilangnya fngsi bowel dan blader.
L1 – L3 Hilannya fungsi motorik dari plevis dan tungkai.
Hilangnya sensasi dari abdomen bagian bawah dan
tungkai. Tidak terkontrolnya bowel dan blader.
L4 – S1 Hilangnya bebrapa fungsi motorik pada pangkal
paha, lutut dan kaki. Tidak terkontrolnya bowel
dan blader.
S2 – S4 Hilangnya fungsi motorik ankle plantar fleksor.
Hilangnya sensai pada tungkai dan perineum. Pada
keadaan awal terjadi gangguan bowel dan blader.

Trauma pada servikal bisa menyebabkan cedera spinal stabil dan tidak
stabil. Cedera stabil adalah cedera yang komponen vertebralnya tidak akan
tergeser oleh gerakan normal sehingga sumsum tulang yang tidak rusak dan
biasanya resikonya lebih rendah. Cedera tidak stabil adalah cedera yang dapat
mengalami pergeseran lebih jauh dimana terjadi perubahan struktur dari

15
oseoligamentosa posterior (pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang
posterior, ligamen interspinosa dan supraspinosa), komponen pertengahan
(sepertiga bagian posterior badan vertebral, bagian posterior dari diskus
intervertebralis dan ligamen longitudinal posterior), dan kolumna anterior (dua-
pertiga bagian anterior korpus vertebra, bagian anterior diskus intervertebralis,
dan ligamen longitudinal anterior).5
Pada cedera hiperekstensi servikal, pukulan pada muka atau dahi akan
memaksa kepala kebelakang dan tak ada yang menyangga oksiput hingga
kepala itu membentur bagian atas punggung. Ligamen anterior dan diskus dapat
rusak atau arkus saraf mungkin mengalami kerusakan.5
Pada cedera fleksi akan meremukan badan vertebra menjadi baji; ini
adalah cedera yang stabil dan merupakan tipe fraktur vertebral yang paling
sering ditemukan. Jika ligamen posterior tersobek, cedera bersifat tak stabil dan
badan vertebra bagian atas dapat miring ke depan diatas badan vertebra
dibawahnya.5
Cedera vertebra torako-lumbal bisa disebabkan oleh trauma langsung pada
torakal atau bersifat patologis seperti pada kondisi osteoporosis yang akan
mengalami fraktur kompresi akibat keruntuhan tulang belakang. Fraktur
kompresi dan fraktur dislokasi biasanya stabil. Tetapi, kanalis spinalis pada
segmen torakalis relatif sempit, sehingga kerusakan korda sering ditemukan
dengan adanya manifestasi defisit neurologis.5
Kompresi vertikal (aksial); suatu trauma vertikal yang secara langsung
mengenai vertebra yang akan menyebabkan kompresi aksial. Nukleus pulposus
akan memecahkan permukaan serta badan vertebra secara vertikal. Material
diskus akan masuk dalam badan vertebra dan menyebabkan vertebra menjadi
pecah (burst). Pada kondisi ini terjadi Burst Fracture, kerusakan pada badan
tulang belakang dan medula spinalis secara klinis akan lebih parah di mana
apabila ligamen posterior sobek maka akan terjadi fraktur spinal tidak stabil.5
Akibat kecelakaan, terpeleset, terjatuh dari motor, jatuh dari ketinggian
dalam posisi berdiri menyebabkan cedera pada kolumna vertebra dan medulla
spinalis yang dapat menyebabkan gangguan pada beberapa system,
diantaranya:5

16
1) Kerusakan jalur simpatetik desending yang mengakibatkan
terputusnya jaringan saraf medulla spinalis, karena jaringan saraf
ini terputus maka akan menimbulkan paralisis dan paraplegi pada
ekstremitas.
2) Dari cedera tersebut akan menimbulkan perdarahan makroskopis
yang akan menimbulkan reaksi peradangan, dari reaksi peradangan
tersebut akan melepaskan mediator kimiawi yang menyebabkan
timbulnya nyeri hebat dan akut, nyeri yang timbul berkepanjangan
mengakibatkan syok spinal yang apabila berkepanjangan dapat
menurunkan tingkat kesadaran. Reaksi peradangan tersebut juga
menimbulkan juga menyebabkan edema yang dapat menekan
jaringan sekitar sehingga aliran darah dan oksigen ke jaringan
tersebut menjadi terhambat dan mengalami hipoksia jaringan.
Reaksi anastetik yang ditimbulkan dari reaksi peradangan tersebut
juga menimbulkan kerusakan pada system eliminasi urine.
3) Blok pada saraf simpatis juga dapat diakibatkan dari cedera tulang
belakang yang menyebabkan kelumpuhan otot pernapasan
sehinggan pemasukan oksigen ke dalam tubuh akan menurun,
dengan menurunnya kadar oksigen ke dalam tubuh akan
mengakibatkan tubuh berkompensasi dengan meningkatkan
frekuensi pernapasan sehingga timbul sesak.

2.7. Manifestasi Klinis


Beberapa manifestasi klinis fraktur secara umum dengan
pemeriksaan look, feel, dan move antara lain; 1) Look: edema/pembengkakan,
deformitas atau perubahan bentuk, echimosis karena ekstravasasi darah di
dalam jaringan subkutan. 2) Feel: teraba hangat pada daerah fraktur karena
terjadi peningkatan metabolisme, nyeri karena spasme otot akibat reflek
involunter pada otot, trauma langsung pada jaringan, peningkatan tekanan
pada saraf sensoris, pergerakan pada daerah fraktur, 3) Move: kehilangan
fungsi dan krepitasi.1,5
Manifestasi klinis fraktur vertebra pada servical1,5

17
a. C1-C3 : gangguan fungsi diafragma(untuk pernapasan)
b. C4 : gangguan fungsi biceps dan lengan atas
c. C5 : gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan
d. C6 : gangguan fungsi tangan secara komplit
e. C7 : gangguan fungsi jari serta otot trisep
f. C8 : gangguan fungsi jari

Gangguan motoriknya yaitu kerusakan setinggi cervical


menyebabkan kelumpuhan tetraparese.

 Komosio Medula Spinalis

Komosi medulla spinalis adalah suatu keadaan dimana


fungsi medulla spinalis hilang sementara akibat suatu trauma
dengan atau tanpa disertai fraktur atau dislokasi. Sembuh sempurna
akan terjadi dalam waktu beberapa menit hingga beberapa jam /
hari tanpa meninggalkan gejala sisa.1,5 Kerusakan yang medasari
komosio medulla spinalis berupa edema, perdarahan perivaskuler
kecil-kecil dan infark disekitar pembuluh darah. Pada inspeksi
makroskopik medulla spinalis tetap utuh. Bila paralisis total dan
hilangnya sensibilitas menetap lebih dari 48 jam maka
kemungkinan sembuh sempurna menipis dan perubahan pada
medulla spinalis lebih mengarah ke perubahan patologik daripada
fisiologik.1,5

 Kontusio Medula Spinalis

Berbeda dengan komosio medulla spinalis yang diduga


hanya merupakan gangguan fisiologik saja tanpa kerusakan
makroskopik, maka pada kontusio medulla spinalis didapati
kerusakan makroskopik dan mikroskopik medulla spinalis yaitu
perdarahan, pembengkakan (edema),  perubahan neuron, reaksi
peradangan.1,5 Perdarahan didalam substansia alba memperlihatkan

18
adanya bercak-bercak degenerasi Wallerian dan pada kornu
anterior terjadi hilangnya neuron.1,5

19
 Laserasio Medula Spinalis
Pada laserasio medulla spinalis terjadi kerusakan yang berat akibat
diskontinuitas medulla spinalis. Biasanya penyebab lesi ini adalah luka
tembak atau bacok/tusukan, fraktur dislokasi vertebra.1,5
 Perdarahan
Akibat trauma, medulla spinalis dapat mengalami perdarahan
epidural, subdural maupun hematomiella. Hematom epidural dan
subdural dapat terjadi akibat trauma maupun akibat dari sepsis.
Gambaran klinisnya adalah adanya trauma yang ringan tetapi segera
diikuti paralisis flaksid berat akibat penekanan medulla spinalis. Kedua
keadaan diatas memerlukan tindakan darurat bedah. Hematomiella
adalah perdarahan di dalam substansia grisea medulla spinalis.
Perdarahan ini dapat terjadi akibat fraktur-dislokasi, trauma Whisplash
atau trauma tidak langsung  misalnya akibat gaya eksplosi atau jatuh
dalam posisi berdiri/duduk. Gambaran klinisnya adalah hilangnya
fungsi medulla spinalis di bawah lesi, yang sering menyerupai lesi
transversal. Tetapi setelah edema berkurang dan bekuan darah diserap
maka terdapat perbaikan-perbaikan fungsi funikulus  lateralis dan
posterior medulla spinalis. Hal ini menimbulkan gambaran klinis yang
khas hematomiella sebagai berikut : terdapat paralisis flaksid dan atrofi
otot setinggi lesi dan dibawah lesi terdapat paresis otot, dengan
utuhnya sensibilitas nyeri dan suhu serta fungsi funikulus posterior.1,5
 Kompresi Medula Spinalis
Kompresi medulla spinalis dapat terjadi akibat dislokasi vertebra
maupun perdarahan epidural dan subdural. Gambaran klinisnya
sebanding dengan sindrom kompresi medulla spinalis akibat tumor,
kista dan abses di dalam kanalis vertebralis. Akan didapati nyeri
radikuler, dan paralisis flaksid setinggi lesi akibat kompresi pada
radiks saraf tepi.1,5

20
Akibat hiperekstensi, hiperfleksi, dislokasi, fraktur dan gerak
lecutan (Whiplash) radiks saraf tepi dapat tertarik dan mengalami jejas
(reksis). Pada trauma lecutan radiks C5-7 dapat mengalami hal
demikian, dan menimbulkan nyeri radikuler spontan. Dulu gambaran
penyakit ini dikenal sebagai hematorakhis, yang sebenarnya lebih tepat
dinamakan neuralgia radikularis.1,5,9
Di bawah lesi kompresi medulla spinalis akan didapati paralisis
otot dan gangguan sensorik serta otonom sesuai dengan derajat
beratnya kompresi. Kompresi konus medularis terjadi akibat fraktur-
dislokasi L1, yang menyebabkan rusaknya segmen sakralis medulla
spinalis. Biasanya tidak dijumpai gangguan motorik yang menetap,
tetapi terdapat gangguan sensorik pada segmen sakralis yang terutama
mengenai  daerah sadel, perineum dan bokong.1,5
Di samping itu djumpai juga gangguan otonom yang berupa
retensio urine serta pada pria terdapat impotensi. Kompresi kauda
ekuina akan menimbulkan gejala, yang bergantug pada serabut saraf
spinalis mana yang terlibat. Akan dijumpai  paralisis flaksid dan atrofi
otot. Gangguan sensorik sesuai dengan dermatom yang terlibat.1,5
Kompresi pada saraf spinalis S2, S3 dan S4 akan menyebabkan
retensio urin dan hilangnya control dari vesika urinaria, inkontinensia
alvi dan impotensi.1,5
 Hemiseksi Medula Spinalis
Biasanya dijumpai pada luka tembak atau luka tusuk/bacok di
medulla spinalis. Gambaran klinisnya merupakan sindrom Brown
Sequard yaitu setinggi lesi terdapat kelumpuhan neuron motorik
perifer (LMN) ipsilateral pada otot-otot yang disarafi  oleh
motoneuron yang terkena hemilesi. Di bawah tingkat lesi dijumpai
pada sisi ipsilateral kelumpuhan neuron motorik sentral (UMN) dan
neuron sensorik proprioseptif, sedangkan pada sisi kontralateral
terdapat neuron sensorik protopatik.5
 Sindrom Medula Spinalis bagian Anterior

21
Sindrom ini mempunyai gambaran khas berupa : paralisis dan
hilangnya sensibilitas protopatik di bawah tingkat lesi,tetapi
sensibilitas protopatik tetap utuh.
 Sindrom Medula Spinalis bagian Posterior
Ciri khas sindrom ini adalah adanya kelemahan motorik yang lebih
berat pada lengan dari pada tungkai dan disertai kelemahan sensorik.
Defisit motorik yang lebih jelas pada lengan (daripada tungkai) dapat
dijelaskan akibat rusaknya sel motorik di kornu anterior medulla
spinalis  segmen servikal atau akibat terlibatnya serabut traktus
kortikospinalis yang terletak lebih medial di kolumna lateralis medulla
spinalis. Sindrom ini sering dijumpai pada penderita spondilitis
servikal.
 Transeksi Medula  Spinalis
Bila medulla spinalis secara mendadak rusak total akibat lesi
transversal maka akan dijumpai 3 macam gangguan yang muncul
serentak yaitu :
1. Semua gerak otot pada bagian tubuh yang terletak di bawah lesi
akan hilang fungsinya secara mendadak dan menetap
2. Semua sensibilitas daerah di bawah lesi menghilang
3. Semua fungsi reflektorik pada semua segmen dibawah lesi akan
hilang. Efek terakhir ini akan disebut renjatan spinal (spinal shock),
yang melibatkan baik otot tendon maupun otot otonom. Fase renjatan
spinal ini berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan (3-6
mingu)
Pada anak-anak, fase syok spinal berlangsung lebih singkat
daripada orang dewasa yaitu kurang dari 1 minggu. Bila terdapat
dekubitus, infeksi traktus urinarius atau keadaan otot yang terganggu,
malnutrisi, sepsis, maka fase syok ini akan berlangsung lebih lama.5
 Syok spinal atau arefleksia
Sesaat  setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang,
otot flaksid, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan
hipestesia. Juga di bawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor,

22
keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan
pucat serta ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan
tulang. Sfingter vesika urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi
( disebabkan oleh hilangnya inhibisi dari pusat saraf pusat yang lebi
tinggi ) tetapi otot detrusor dan otot polos dalam keadaan atonik. Urin
akan terkumpul, setelah tekanan intravesikuler lebih tinggi dari sfingter
uretra maka urin akan mengalir keluar (overflow incontinence). Demikian
pula terjadi dilatasi pasif usus besar, retensio alvi dan ileus parlitik.
Refleks genitalia (ereksi penis, otot bulbokavernosus, kontraksi otot
dartos) menghilang.
 Aktifitas otot yang meningkat
Setelah beberapa minggu respon otot terhadap rangsang mulai
timbul, mula-mula lemah makin lama makin kuat. Secara bertahap timbul
fleksi yang khas yaitu tanda babinski dan kemudian fleksi tripel muncul. 
Beberapa bulan kemudian reflex menghindar tadi akan bertambah
meningkat, sehingga rangsang pada kulit tungkai akan menimbulkan
kontraksi otot perut, fleksi tripel, hiperhidrosis, pilo-ereksi dan
pengosongan kandung kemih secara otomatis.

2.8. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang sebaiknya dikerjakan meliputi
pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan radiologis. Dianjurkan
melakukan pemeriksaan 3 posisi standar (anteroposterior, lateral, odontoid)
untuk vertebra servikal, dan posisi AP dan lateral untuk vertebra thorakal dan
lumbal. Pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis,
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan. Magnetic
Resonance Imaging merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk
mendeteksi lesi di medulla spinalis akibat cedera/trauma.6,8

 Radiologik

23
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang
diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan
mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto
dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya
kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.

 Pungsi Lumbal

Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit


peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada
tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula
spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan
dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat
dislokasi yang telah terjadi dan antefleksi pada vertebra servikal harus
dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis
tersebut.

 Mielografi

Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari


trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus
intervertebralis

2.9. Tatalaksana
1. Evaluasi Klinis
Pada kasus trauma diagnosis dan penanganan awal dilakukan
secara bersamaan. Prinsip penanganan pada pasien trauma berdasarkan
prinsip ATLS yaitu mencakup primary survey dan secondary survey. Baik
primary survey maupun secondary survey dilakukan secara berulang agar
dapat mengenali penurunan kesadaran pasien dan memberikan terapi yang
tepat.15,16
A. Primary Survey
Proses primary survey berusaha untuk mengenali keadaan
yan mengancam nyawa dengan berpatokan pada urutan:15,16
24
1) Airway, menjaga airway dengan kontrol cervical
2) Breathing, menjaga pernapasan dengan ventilasi
3) Circulation, dengan kontrol perdarahan
4) Disability, status neurologi
5) Exposure/Environtmental kontrol: buka pakaian pasien dan lakukan
pencegahan hipotermia.
Selama primary survey keadaan yang mengancam nyawa harus
dikenali dan dilakukan resusitasi saat itu juga. Pada pendeitra denggan
kecurigaan trauma spinal cairan intravena diberikan juga seperti pada
resusitasi pasien trauma. Jika tekanan darah meningkat setelah pemberian
cairan maka dapat dipertimbangkan pemberian epinefrin, dopamine atau
norepinefrin. Pemberian cairan yang berlebih justru dapat menimbulkan
edema paru. Pemasangan katater diperlukan untuk memantau status
sirkulasi pasien dan mencegah distensi buli-buli.15,16
Prinsip penanganan pada kecurigaan adanya trauma tulang
belakang adalah imobilisasi tulang belakang sampai pasien teresusitasi dan
kondisi mengancam nyawa lainnya sudah diidentifikasi dan tertangani.
Imobilisasi pada tulang belakang dapat diberikan sampai terbukti tidak
terdapat trauma secara klinis dan radiologis. Imobilisasi yang baik dicapai
dengan meletakkan pasien dalam posisi netral, yaitu posisi supine tanpa
memutar atau menekuk kolumna vertebralis. Pada kecurigaan adanya
cedera servikal maka pasien diposisikan dalam posisi anatomis dengan
prinsip imobilisasi menggunakan collar brace. Pada pasien yang
mengalami paralisis maka sangat tinggi risiko untuk terjadi dekubitus
sehingga penting untuk diberikan bantalan pada tempat yang menonjol di
bagian posterior tubuh dan sesegera mungkin dipindahkan pada bed yang
nyaman dengan teknik Log-Roll push.15,16

B. Secondary Survey
Dilakukan setelah primary survey selesai yaitu resusitasi telah
dilakukan dan kondisi airway, breathing dan circulation dipastikan telah
membaik. Secondary survey mencakup anamnesis dan pemeriksaan fisik

25
kepala sampai kaki termasuk pemeriksaan tanda vital. Pada secondary
survey juga dilakukan pemeriksaan neurologi lengkap termasuk mencatat
GCS bila belum dilakukan dalam primary survey. Dilakukan juga
pemeriksaan foto rontgen dan laboratorium.15,16

2. Terapi Definitif Trauma Tulang Belakang


1. Prinsip Terapi Definitif
Tujuannya adalah melindungi kolumna vertebra dari kerusakan
lebih lanjut akibat proses evaluasi dan terapi, dekompresi apabila terdapat
defisit neruologi yang progresif, optimalisasi kondisi pasien untuk
pengembalian fungsi neurologi, mempertahankan atau mengembalikan
alignment kolumna vertebra, meminimalkan kehilangan fungsi pergerakan
kolumna vertebra, stabilisasi kolumna vertebra, memfasilitasi rehabilitasi.
Indikasi untuk melakukan stabilisasi urgent melalui operasi adalah adanya
fraktur yang tidak stabil dengan defisit neurologi yang progresif serta
adanya hasil MRI yang menunjukkan kecenderungan penurunan status
neuurologi. Indikasi lainnya adalah fraktur unstable pada kasus
multitrauma.15,16
Penanganan definitif trauma vertebra dapat dilakukan secara non-
operatif dan operatif. Penentuan terapi dilakukan dengan
mempertimbangkan status neruologis dan integritas kompleks ligament
posterior. Pada kasus cedera tulang belakang, pasien dibedakan menjadi
pasien dengan defisit neurologi dan tanpa defisit neurologi. Pasien dengan
dan tanpa defisit neurologi dibagi menjadi pasien dengan cedera yang
stabil dan tidak stabil.15,16
Pasien tanpa defisit neurologi dengan cedera yang stabil ditangani
dengan menyangga tulang belakang pada posisi yang tidak menyebabkan
adanya regangan. Lumbar brace dapat digunakan dalam hal ini. Pada
pasien tanpa defisit neurologi namun cederanya tidak stabil penting untuk
dilakukan tindakan operatif yaitu fiksasi internal. Apabila trauma spinal
pada pasien tersebut stabil, penanganan pasien dapat dilakukan secara
konservatif dan rehabilitatif segera mungkin. Pasien dengan trauma tidak

26
stabil masih dapat dilakukan penanganan secara konservatif yaitu tiap dua
jam sekali diposisikan miring kanan dan kiri, pembersihan kulit secara
optimal, bladder care dan fisioterapi. Dalam beberapa minggu biasanya
cedera akan stabil dan dapat dilakukan rehabilitasi intensif.15,16
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam
penanganan pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupasi,
dan bladder training pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan
utama fisioterapi adalah untuk mempertahankan ROM (Range of
Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan memperkuat fungsi otot-
otot yang ada. Pasien dengan Central Cord Syndrome / CSS biasanya
mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik
sehingga dapat berjalan dengan bantuan ataupun tidak. Terapi okupasional
terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki fungsi
ekstremitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sehari-
hari/ activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus
dicegah seoptimal mungkin. Penggunaan alat bantu disesuaikan dengan
profesi dan harapan pasien.5,6,9
Penelitian prospektif selama 3 tahun menunjukkan bahwa suatu
program rehabilitasi yang terpadu (hidroterapi,elektroterapi, psikoterapi,
penatalaksanaan gangguan kandung kemih dan saluran cerna)
meningkatkan secara signifikan nilai status fungsional pada penderita
cedera medula spinalis.5,6

Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali


pada kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi, yaitu:6

1. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah
servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
2. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan
fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis
meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat.
3. Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis
27
oleh herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan
pemeriksaan mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya.
4. Fragmen yang menekan lengkung saraf.
5. Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
6. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah
pada mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan
perbaikan, harus dicurigai hematoma.

2. Terapi Non-Operatif

Tujuannya untuk mengembalikan bentuk anatomis tulang belakang


(Alignment), mengembalikan stabilitas tulang belakang, mempertahankan
serta memulihkan fungsi neurologi dan mencegah collateral damage.
Terapi non operatif memiliki risiko minimal dimana menghindarkan
pasien dari risiko operasi antara lain seperti infeksi, kegagalan
instrumentasi serta komplikasi yang muncul dari pembiusan.15,16

Indikasi dilakukan terapi non operatif yaitu lesi murni hanya pada
tulang, tidak ada defisit neurologi, nyeri ringan sampai sedang saat
bergerak, tidak ada kelainan anatomis, tidak ada kerusakan tulang yang
berat, tidak ada osteoporosis. Menurut OTA (Orthopedic Trauma
Association) indikasi terapi non operatif adalah fraktur kompresi. Fraktur
tipe burst stabil, lesi murni pada tulang akibat fleksi distraksi.
Kontraindikasi yaitu adanya kerusakan kompleks ligamen posterior. Pada
pasien anak yang masih dalam masa pertumbuhan trauma ini dapat
sembuh dengan sempurna. Sedangkan pada orang dewasa penyembuhan
tidaklah mampu untuk memberikan stabilitas kolumna vertebra.15,16

Penanganan nyeri pada trauma vertebra penting dilakukan karena


nyeri yang tidak tertangani akan mempengaruhi tekanan darah, pernafasan,
dan sistem kekebalan tubuh. Modalitas terapi nyeri antara lain pemberian
parasetamol atau NSAID. Selain itu pemberian metilprednisolon dilakukan
untuk menanggulangi efek sekunder dari cedera spinal. Metilprednisolon
menunjukkan adanya efek protektif terhadap cedera saraf dimana efek
28
terbaik didapatkan dalam 8 jam pertama dan efek tambahan didapatkan
dalam 24 jam.15,16

2.10 Komplikasi
1. Pendarahan mikroskopik
Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi
perdarahan-perdarahan kecil yang disertai reaksi peradangan, sehingga
menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya
peningkatan tekanan didalam dan disekitar korda. Peningkatan tekanan
menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia
dan secara drastis meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan
ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.10

2. Syok spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks
dari dua segmen diatas dan dibawah tempat cedera. Refleks-refleks yang
hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan
rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi
akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal
dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan
fungsi refleks. Syok spinal biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari,
tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat timbul
hiperreflekssia, yang ditandai oleh spastisitas otot serta refleks,
pengosongan kandung kemih dan rektum.10

3. Hiperrefleksia otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis
secara refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah.
Hiperrefleksia otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok
spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan ke korda spinalis dan
mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf
simpatis. Dengan diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi

29
pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah. Pada orang
yang korda spinalisnya utuh, tekanan darahnya akan segera diketahui
oleh baroreseptor. Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,
pusat kardiovaskuler di otak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis
ke jantung sehingga kecepatan denyut jantung melambat, demikian
respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh darah.
Respon parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara cepat
memulihkan tekanan darah ke normal. Pada individu yang mengalami
lesi korda, pengaktifan parasimpatis akan memperlambat kecepatan
denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat cedera, namun saraf
desendens tidak dapat melewati lesi korda sehingga vasokontriksi akibat
refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.10

4. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.
Pada transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis
ekstremitas atas dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau
lebih tinggi dan disebut kuadriplegia. Paralisis separuh bawah tubuh
terjadi pada transeksi korda dibawah C6 dan disebut paraplegia. Apabila
hanya separuh korda yang mengalami transeksi maka dapat terjadi
hemiparalisis.10

5. Autonomic Dysreflexia
Terjadi adanya lesi diatas T6 dan Cervical. Bradikardia, hipertensi
paroksimal, berkeringat banyak, sakit kepala berat, goose flesh, nasal
stuffness.10
6. Fungsi Seksual
Impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi, pada
wanita kenikmatan seksual berubah.10
7. Syok hipovolemik
Akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke Jaringan
yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat
trauma.10
8. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
30
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur
terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh
pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.10
9. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal,
dan organ lain.10

2.11. Prognosis
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa
rata-rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah
dibanding populasi normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai
dengan beratnya cedera. Penyebab kematian utama adalah komplikasi
disabilitas neurologik, yaitu pneumonia, emboli paru, septikemia, dan
gagal ginjal. Penelitian Muslumanoglu dkk. terhadap 55 pasien cedera
medula spinalis traumatik (37 pasien dengan lesi inkomplet) selama 12
bulan menunjukkan bahwa pasien dengan cedera medula spinalis
inkomplet akan mendapatkan perbaikan motorik, sensorik, dan fungsional
yang bermakna dalam 12 bulan pertama.5
Penelitian Bhatoe dilakukan terhadap 17 penderita medula spinalis
tanpa kelainan radiologik (5 menderita Central Cord Syndrome). Sebagian
besar menunjukkan hipo/isointens pada T1 dan hiperintens pada T2,
mengindikasikan adanya edema. Seluruh pasien dikelola secara
konservatif, dengan hasil 1 orang meninggal dunia, 15 orang mengalami
perbaikan, dan 1 orang tetap tetraplegia. Pemulihan fungsi kandung kemih
baru akan tampak pada 6 bulan pertama pasca trauma pada cedera medula
spinalis traumatika.5
Curt dkk mengevaluasi pemulihan fungsi kandung kemih 70
penderita cedera medula spinalis, hasilnya menunjukkan bahwa pemulihan
fungsi kandung kemih terjadi pada 27% pasien pada 6 bulan pertama. Skor
awal ASIA berkorelasi dengan pemulihan fungsi kandung kemih.5
31
BAB III
STATUS PASIEN
32
Seorang laki-laki usia 40 tahun, datang ke instalasi gawat darurat (IGD)
dengan keluhan kesemutan, nyeri, dan lemah kedua sisi anggota gerak sejak 3 hari
yang lalu. Keluhan diperberat jika pasien menggerakan keempat anggota gerak.
Memiliki riwayat kecelakaan lalu lintas 3 hari yang lalu. Pada peristiwa tersebut
pasien sedang mengendarai motor dan ditabrak oleh motor lain dari arah depan,
pasien memakai helm namun helm pasien terlempar, pasien tidak mengingat
apakah pasien kepalanya terbentur atau tidak, setelah peristiwa tersebut pasien
tidak bisa menggerakan kedua tangan dan kaki, kesemutan dan kebas pada
keempat anggota gerak, pasien sadar, tidak pingsan, mual dan muntah (-)
pandangan kabur (-/-), tidak keluar darah dari hidung atau telinga, buang air besar
(BAB) dan buag air kecil (BAK) dalam batas normal. Pasien sempat di rawat di
RS Lampung selama 3 hari, kemudian di rujuk ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek.
Riwayat penyakit dahulu polio dan lumpuh pada kaki kiri, jantung (-), hipertensi
(-), riwayat diabetes mellitus (-), riwayat alergi (-), riwayat cedera (-), riwayat
merokok (+), riwayat kolesterol tinggi (-). Pada pemeriksaan fisik di didapatkan,
kesadaran compos mentis dengan Glasgow Coma Scale (GCS) 15. Tekanan darah
110/90 mmHg, frekuensi nadi 70x/menit, frekuensi pernapasan 20x/menit, suhu
36,7°C, berat badan 63 kg, tinggi badan 154 cm. Tampak kontusio palpebra (+/-),
sklera hiperemis (+/-). Pada pemeriksaan thorax, pulmo didapatkan simetris,
retraksi (-), sonor (+/+), vesikuler (+/+), ronkhi (-/-). Pada pemeriksaan jantung
diperoleh iktus kordis tidak tampak, batas jantung kanan pada parasternalis
dekstra, batas jantung kiri pada mid klavikularis sinistra, pinggang jantung pada
interkostalis II, bunyi jantung reguler, murmur (-), gallop (-). Pada pemeriksaan
abdomen didapatkan abdomen datar, bising usus (+), nyeri tekan (-),
organomegali (-). Pemeriksaan ekstremitas akral hangat dan edema (-). Pada
pemeriksaan neurologis di dapatkan berkurangnya kekuatan motorik pada
keempat anggota gerak, sedangkan fungsi sensorisnya masih baik. Pada
pemeriksaan laboratorium darah rutin di dapatkan Hb 12,4 g/dl, leukosit 8.270/ul,
hematokrit 36%, trombosit 192.000/ul, SGOT 46 /ul, SGPT 56/ul, GDS 117
mg/dl, ureum 46 mg/dl, kreatinin 0,82 mg/dl.

33
Pada pemeriksaan rontgen thoraks didapatkan dalam batas normal. Pada
rontgen vertebrae lumbosakral didapatkan spondilosis lumbaris dan curve lurus ec
susp muskulospasme. Pada pemeriksaan MRI tanpa kontras didapatkan kesan
myelopati setinggi intervertebralis servikal pada intervertebalis servikal 5-6 ec
stenosis kanalis spinalis berat, lesi dengan batas relatif tegas pada aspek posterior
korpus vertebra servikal 5 karena suspek hematom, protuded disc pada
intervertebralis servikal 5-6 disertai herniasi nukleus pulposus ke arah posterior
difus yang menekan sakus tekalis anterior dan radiks spinalis bilateral yang
menyebabkan stenosis canalis spinalis sedang, multipel protruded disc pada
intervertebralis servikal 3- 4 dan servikal 6-7 disertai herniasi nukleus pulposus ke
arah posterior difus yang menekan sakus tekalis anterior dan radiks spinalis
bilateral yang menyebabkan stenosis kanalis spinalis ringan, spondilosis korpus
vertebrae anterior dan posterior korpus vertebrae servikal 3-5, lesi soliter di
corpus vertebrae servikal 2 ec hemangioma.

Gambar 5. MRI tanpa kontras

Pada pemeriksaan foto servikal AP dan Lateral didapatkan kurva lurus


vertebrae servikales suspek paraspinal muskulospasme dd posisi, tak tampak
diskontinuitas, kompresi maupun listhesis.

34
Gambar 6. Foto Servikal Posisi Anteroposterior dan Lateral

Paska direncanakan untuk dilakukan laminektomi pada kunjungan


preoperatif didapatkan keadaan umum pasien baik dengan GCS 15, napas
spontan, dengan RR 18 x/menit, denyut nadi 68 x/menit, pasien dinilai dengan
skor American Society of Anesthesiology (ASA) II dan dilakukan persiapan puasa
serta persiapan dua kantung Whole Blood (WB). Di ruanganan dipasang Intra
Venous (IV) line untuk akses pemberian cairan ringer laktat (RL). Pasien dipasang
dower catheter untuk evaluasi cairan. Pada pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
kesan normal. Foto toraks didapatkan dalam batas normal, dan tidak ada fraktur
kosta. MRI: myelopati servikal 5,6, hernia nukleus pulposus (HNP) servikal 3-4,
5-6, 6-7, spondilosis vertebrae servikal 3,4,5, dan hemangioma servikal
Durante operasi, pasien tiba di ruang penerimaan sudah terpasang infus
dengan kateter intravena dengan nomer 20 G dan catheter, dilakukan pemasangan
monitor EKG, pulse oksimetri dan ET CO2. Diberikan preoksigenasi dengan O2
100% 5L/menit. Pembiusan dimulai dengan preemptive analgesia fentanyl 100
mcg (3 mcg/kgBB) dan induksi menggunakan inhalasi sevoflurane ditambah
propofol 50 mg (10 mg/ ml), kemudian dilakukan ventilasi dengan sungkup
sambil dilakukan Manual In Line Immobilization (MILI). Fasilitasi intubasi
dengan obat pelumpuh otot rocuronium 50 mg. Setelah onset obat pelumpuh otot
tercapai, dilakukan intubasi menggunakan direct laryngoscope dan stylet sambil
tetap mempertahankan MILI. Ventilasi kendali dengan pemberian volume tidal

35
400 cc (8 cc/kgBB), frekuensi 12x/menit, Positive End Expiratory Pressure
(PEEP) dan obat pelumpuh otot diberikan secara intermiten. Operasi berlangsung
selama 4 jam. Perdarahan 100 cc, cairan yang diberikan selama operasi sebanyak
1000 cc, NaCl 30 cc, serta WB 350 CC. Selama operasi kardiovaskular dan
hemodinamik stabil. Penting untuk memperhatikan pemeliharaan anastesi dengan
perbandingan O2: N2O 50%:50% dan sevofluran 1,2%, hal ini dikarenakan fungsi
N2O untuk memperkuat aksi dari obat lain, dan pemberian N2O bersamaan
dengan O2 dapat memperkecil dosis dari obat primer pada anastesi umum. Pada
pasien ini perlu juga memperhatikan saat positioning pasien dari supine ke prone
karena dapat terjadi penurunan indek kardiak (volume darah yang dipompa oleh
jantung dalam liter/menit dibagi dengan luas permukaan tubuh).
Pada operasi dengan posisi prone penting memelihara kepala dan leher
pada posisi netral, memberikan bantalan pada kepala, dada, pelvis, ekstremitas,
hindari fleksi dan ekstensi leher yang berlebihan, serta harus diperhatikan juga
pipa endotrakeal jangan sampai tertarik, berubah tempat, atau obstruksi. Saturasi
stabil sekitar 98-99%, pasien sempat mengalami hipotensi saat operasi. Penting
untuk melakukan proteksi terhadap medulla spinalis selama operasi, perfusi harus
baik, dan menjaga hemodinamik untuk tetap stabil
Paska bedah, pasien dirawat di ruangan ICU untuk kontrol hemodinamik,
memantau defisit neurologis dan menyokong dopamine titrasi serta ventilasi
dengan bantuan ventilator. Dilakukan tappering down dopamine, menghentikan
ventilator dan evaluasi analisa gas darah (AGD) di dapatkan pH 7,47, pO2 215
mmHg, pCO2 40,9 mmHg, bikarbonat 29,9 mmol/L, serta saturasi O2 100%.
Pada hari ke-6 postoperatif, hemodinamik pasien baik tanpa suport vasoaktif dan
ventilasi adekuat tanpa ventilator. Setelah dilakukan penilaian menyeluruh setelah
operasi, pasien dikembalikan ke ruang perawatan.
Pada pasien diberikan penatalaksanaan farmakologis adalah infus asering
disertai ketorolac 30 mg, omeprazole injeksi 40mg/24 jam, neurovitamin berupa
neurodex tablet/12 jam, metilprednisolon 4mg/8 jam (3 hari), ceftriaxone 1 gram/
12 jam, ca glukonas /12 jam.

36
37
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan dari hasil anamnesis diketahui bahwa pasien laki-laki usia 40


tahun datang dengan keluhan kesemutan, nyeri, dan lemah kedua sisi anggota
gerak sejak 3 hari yang lalu. Keluhan diperberat jika pasien menggerakan keempat
anggota gerak. Memiliki riwayat kecelakaan lalu lintas 3 hari yang lalu. Pada
peristiwa tersebut pasien sedang mengendarai motor dan ditabrak oleh motor lain
dari arah depan, pasien memakai helm namun helm pasien terlempar, pasien tidak
mengingat apakah pasien kepalanya terbentur atau tidak, setelah peristiwa tersebut
pasien tidak bisa menggerakan kedua tangan dan kaki, kesemutan dan kebas pada
keempat anggota gerak, pasien sadar, tidak pingsan, mual dan muntah (-)
pandangan kabur (-/-), tidak keluar darah dari hidung atau telinga, buang air besar
(BAB) dan buang air kecil (BAK) dalam batas normal.
Menurut teori, Trauma Medulla Spinalis adalah trauma pada tulang belakang
yang menyebabkan lesi di medulla spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian. Trauma
medula spinalis disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung. Angka
mortalitas trauma medula spinalis diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama, dan
lebih kurang 80% meninggal di tempat kejadian, ini disebabkan vertebra
servikalis yang memiliki resiko trauma yang paling besar, dengan level tersering
C5 diikuti C4, C6 dan kemudian T12, L1 dan T10. Trauma medula spinalis sering
dijumpai pada laki-laki dibanding perempuan dengan insiden puncak pada
kelompok umur 20 tahun sampai 40 tahun, alasannya karena trauma medula
spinalis sering mengenai pada orang dengan kecelakaan kerja, kecelakaan lalu
lintas, jatuh, luka tembak, dan olahraga. Cedera medula spinalis dapat
menyebabkan hilangnya fungsi saraf secara komplet maupun inkomplet. Defisit
neurologis yang terjadi tergantung level medula spinalis yang mengalami
kelainan.9 Pada pasien ini terjadi kesemutan dan terasa tebal pada tangan dan jari-
jari karna cedera yang terjadi di level vertebra servikal V-VI. Dimana manifestasi
klinis pada C5 dan C6 ialah gangguan fungsi tangan dan pergelangan tangan serta
gangguan fungsi tangan secara komplit, dan gangguan motoriknya yaitu

36
kerusakan setinggi cervical menyebabkan kelumpuhan tetraparese 1,5. Pada kasus
ini BAB dan BAK pasien normal artinya menyingkirkan trauma medula spinalis
setinggi T1 sampai dengan S4. Selain itu pasien tidak pingsan, mual, muntah,
pandangan kabur, tidak keluar darah dari hidung dan telinga menyingkirkan
trauma pada kepala.
Akibat kecelakaan, terpeleset, terjatuh dari motor, jatuh dari ketinggian
dalam posisi berdiri menyebabkan cedera pada kolumna vertebra dan medulla
spinalis yang dapat menyebabkan gangguan pada beberapa sistem, diantaranya
kerusakan jalur simpatetik desending yang mengakibatkan terputusnya jaringan
saraf medulla spinalis, karena jaringan saraf ini terputus maka akan
menimbulkan paralisis dan paraplegi pada ekstremitas.5
Pada pemeriksaan neurologis di dapatkan berkurangnya kekuatan motorik
pada keempat anggota gerak, sedangkan fungsi sensorisnya masih baik.
Berdasarkan teori, trauma medula spinalis dikelompokkan menjadi lima
kelompok berdasarkan ASIA Impairment Scale (AIA) untuk menilai tingkat
keparahannya. Pada kasus ini berdasarkan AIA derajat cedera spinal termasuk
dalam katagori D (tidak komplit), dimana fungsi motorik masih ada dan sebagian
besar otot di bawah level cedera memiliki kekuatan motorik >3. Cedera medulla
spinalis harus selalu diwaspadai bila ditemukan tanda dan gejala sebagai berikut:
(1) kelemahan atau paralisis ekstremitas, (2) gangguan sensorik pada ekstremitas,
(3) inkonintensia urin atau alvi, (4) abrasi, laserasi atau deformitas tulang
belakang, (5) nyeri leher atau tulang belakang.20
Pada pemeriksaan laboratorium darah rutin di dapatkan Hb 12,4 g/dl,
leukosit 8.270/ul, hematokrit 36%, trombosit 192.000/ul, SGOT 46 /ul, SGPT
56/ul, GDS 117 mg/dl, ureum 46 mg/dl, kreatinin 0,82 mg/dl. Menurut teori,
pemeriksaan penunjang utama curiga trauma medula spinalis adalah foto polos
thorax dan MRI digunakan sebagai pemantauan bila dicurigai pendarahan soft
tissue. Selain itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk mengoreksi adanya
kehilangan volume darah saat trauma.5
Pada kasus dilakukan kunjungan preoperatif didapatkan keadaan umum
pasien baik dengan GCS 15, napas spontan, dengan RR 18 x/menit, denyut nadi
68 x/menit, pasien dinilai dengan skor American Society of Anesthesiology (ASA)

37
II dan dilakukan persiapan puasa serta persiapan dua kantung Whole Blood (WB).
Di ruanganan dipasang Intra Venous (IV) line untuk akses pemberian cairan
ringer laktat (RL). Pasien dipasang dower catheter untuk evaluasi carian. Pada
pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) kesan normal. Foto toraks didapatkan
dalam batas normal, dan tidak ada fraktur kosta. MRI: myelopati servikal 5,6,
hernia nukleus pulposus (HNP) servikal 3-4, 5-6, 6-7, spondilosis vertebrae
servikal 3,4,5, dan hemangioma servikal 2. Pada kasus ini dilakukan operasi
laminektomi.
Menurut teori, prinsip terapi definitif trauma medula spinalis yakni
melindungi kolumna vertebra dari kerusakan lebih lanjut akibat proses evaluasi
dan terapi, dekompresi apabila terdapat defisit neurologi yang progresif,
optimalisasi kondisi pasien untuk pengembalian fungsi neurologi,
mempertahankan atau mengembalikan alignment kolumna vertebra,
meminimalkan kehilangan fungsi pergerakan kolumna vertebra, stabilisasi
kolumna vertebra, memfasilitasi rehabilitasi. Indikasi untuk melakukan stabilisasi
urgent melalui operasi adalah adanya fraktur yang tidak stabil dengan defisit
neurologi yang progresif serta adanya hasil MRI yang menunjukkan
kecenderungan penurunan status neurologi. Indikasi lainnya adalah fraktur
unstable pada kasus multitrauma.15,16
Sedangkan penatalaksanaan anestesi didahului dengan pemeriksaaan
preoperatif berupa anamnesis, untuk mengetahui penyebab cedera, onset cedera
dan terapi yang diberikan, karena hal ini terkait dengan komplikasi yang mungkin
terjadi. Pada pemeriksaan fisik pasien penting untuk dilakukan penilaian awal
jalan nafas, respirasi dan sirkulasi yang dikerjakan sebelum evaluasi tulang
vertebra. Gangguan respirasi merupakan permasalahan yang sering muncul akibat
disrupsi fungsi diafragma, otot respirasi tambahan dan otot dinding abdomen. Hal
ini dapat menyebabkan berkurangnya kapasitas vital sehingga beresiko terjadi
atelektasis dan retensi sekret yang meningkatkan resiko kejadian pneumoni.
Pasien dengan cedera medula spinalis di atas level C3-C5 seringkali
membutuhkan bantuan respirasi. Intubasi dan ventilasi mekanik diperlukan bila
pasien berada pada kondisi sbb: (1) PAO2 45 mmHg (3) laju respirasi >
35x/menit.19

38
Pada kasus pemeriksaan neurologis menunjukan penurunan fungsi motorik
dan sensorik. Untuk mengurangi cedera sekunder dan mortalitas akibat cedera,
imobilasi spinal direkomendasikan untuk pasien cedera servikal. Cervical collar
merupakan perangkat yang paling banyak digunakan. Namun penggunaan
cervical collar saja tidak efektif mengurangi pergerakan spinal dan membatasi
pembukaan mulut pada saat manajemen jalan nafas. Untuk membatasi pergerakan
leher dan kepala, teknik yang paling sering digunakan adalah manual in line
immobilization (MILI). Walaupun MILI memperbaiki derajat laringoskopi pada
sebagian pasien, namun teknik ini meningkatkan angka kegagalan intubasi dalam
30 detik. Bila dibandingkan dengan imobilisasi menggunakan collar neck, MILI
mengurangi pergerakan total vertebra dan meningkatkan visualisasi laryngeal
pada saat intubasi orotrakheal. Ketika teknik MILI digunakan, bagian depan
collar neck dapat dibuka untuk memberikan ruang yang lebih leluasa dalam
memfasilitasi intervensi jalan nafas. MILI merupakan teknik intervensi jalan nafas
yang direkomendasikan sebagai standar pada pasien yang telah diketahui atau
dicurigai mengalami cedera cervical. 19
Pada kasus, Selama operasi pasien diberikan preoksigenasi dengan O2 100%
5L/menit. Pembiusan dimulai dengan preemptive analgesia fentanyl 100 mcg (3
mcg/kgBB) dan induksi menggunakan inhalasi sevoflurane ditambah propofol 50
mg (10 mg/ ml), kemudian dilakukan ventilasi dengan sungkup sambil dilakukan
Manual In Line Immobilization (MILI). Fasilitasi intubasi dengan obat pelumpuh
otot rocuronium 50 mg. Setelah onset obat pelumpuh otot tercapai, dilakukan
intubasi menggunakan direct laryngoscope dan stylet sambil tetap
mempertahankan MILI. Ventilasi kendali dengan pemberian volume tidal 400 cc
(8 cc/kgBB), frekuensi 12x/menit, Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dan
obat pelumpuh otot diberikan secara intermiten. Operasi berlangsung selama 4
jam. Perdarahan 100 cc, cairan yang diberikan selama operasi sebanyak 1000 cc,
NaCl 30 cc, serta WB 350 CC. Selama operasi kardiovaskular dan hemodinamik
stabil. Pada pasien ini perlu juga memperhatikan saat positioning pasien dari
supine ke prone karena dapat terjadi penurunan indek kardiak (volume darah yang
dipompa oleh jantung dalam liter/menit dibagi dengan luas permukaan tubuh).
Pada operasi dengan posisi prone penting memelihara kepala dan leher pada posisi

39
netral, memberikan bantalan pada kepala, dada, pelvis, ekstremitas, hindari fleksi
dan ekstensi leher yang berlebihan, serta harus diperhatikan juga pipa endotrakeal
jangan sampai tertarik, berubah tempat, atau obstruksi. Saturasi stabil sekitar 98-
99%, pasien sempat mengalami hipotensi saat operasi. Penting untuk melakukan
proteksi terhadap medulla spinalis selama operasi, perfusi harus baik, dan
menjaga hemodinamik untuk tetap stabil.
Menurut teori, tidak ada aturan spesifik tentang penggunaan agen anestesi
untuk induksi. Namun perhatian khusus pada saat induksi harus diberikan bila
menggunakan propofol, atau barbiturate karena efek hipotensi berat yang
ditimbulkan pada pasien hipovolemia. Ketamine dapat meningkatkan tekanan
aksial, namun efeknya dapat diseimbangkan secara paralel dengan penggunaan
agen hipnotik seperti propofol. Pada pasien ini dipilih agen induksi propofol
dengan kombinasi inhalasi sevoflurane. Preemptive analgetik fentanyl 100 mcg (3
mcg/KgBB). Hal ini bertujuan untuk mencegah gejolak hemodinamik dan refleks
vagal akibat instrumentasi jalan nafas yang sangat mungkin dapat terjadi pada
pasien cedera servikal. Pada periode antara 3 hari sampai dengan 9 bulan setelah
cedera medula spinalis servikal, penggunaan agen pelumpuh otot depolarisasi
seperti suksinilkolin sebaiknya dihindari karena dapat memicu kondisi
hiperkalemia yang berakibat fatal. Pada kasus ini digunakan regimen pelumpuh
otot berupa rocuronium bromide.20 Saat intraoperatif, terjadi perubahan fisiologi
terkait dengan posisi prone yaitu, penurunan indek kardiak dapat disebabkan
karena kenaikan tekanan intratorakal, sehingga terjadi penurunan pengisian arteri,
akan merangsang refleks baroreseptor sehingga aktifitas simpatis meningkat.
Berdasarkan teori ini maka pada posisi prone terjadi penurunan isi sekuncup
disertai kenaikan aktivitas simpatis. Perubahan fisiologik yang terjadi pada posisi
prone dapat diminimalkan dengan persatuan posisi yang tepat, terutama hindari
tekanan pada abdomen. Akibat dari tekanan intraabdomen yang meningkat adalah
kompresi pada vena kava inferior, penurunan aliran balik vena dan selanjutnya
curah jantung menurun. Pengakhiran anestesi dengan mengubah posisi pasien
menjadi posisi supine, dapat menyebabkan adanya perubahan hemodinamik
berupa takikardai dan hipertensi.20

40
Pada kasus setelah dilakukan operasi, pasien dirawat di ruangan ICU untuk
kontrol hemodinamik, memantau defisit neurologis dan menyokong dopamine
titrasi serta ventilasi dengan bantuan ventilator. Dilakukan tappering down
dopamine, menghentikan ventilator dan evaluasi analisa gas darah (AGD) di
dapatkan pH 7,47, pO2 215 mmHg, pCO2 40,9 mmHg, bikarbonat 29,9 mmol/L,
serta saturasi O2 100%. Pada hari ke-6 postoperatif, hemodinamik pasien baik
tanpa suport vasoaktif dan ventilasi adekuat tanpa ventilator. Setelah dilakukan
penilaian menyeluruh setelah operasi, pasien dikembalikan ke ruang perawatan.
Menurut teori, pasien dengan trauma medulla spinalis cervicalis akut
terutama yang berat harus dirawat di ruang intensif untuk dilakukan tatalaksana
dan monitoring neurologis, cardiac, hemodinamik dan respirasi. Ketidakstabilan
kardiorespirasi yang mengancam nyawa terutama dapat terjadi pada 7-10 hari
pertama setelah trauma. Pada pasien yang terintubasi dan menggunakan ventilasi
mekanik maka fisioterapi yang agresif diperlukan untuk menjaga fungsi paru.
Terapi aerosol, fisioterapi dada dan humidifikasi gas yang diinspirasi merupakan
beberapa strategi untuk mencegah perburukan fungsi paru. Nasotrakheal
suctioning diperlukan untuk membersihkan retensi sekret namun tindakan ini
harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat memicu aritmia yang mengancam
nyawa. Hipoksia yang borderline dapat memicu terjadinya aritmia sehingga
pasien harus benar-benar dioksigenasi dengan baik sebelum melakukan tindakan
suctioning. Pada saat fisioterapi, penggunaan korset abdomen dapat membantu
mekanisme batuk pasien. Sebagian pasien yang menunjukkan perbaikan fungsi
respirasi yang substansial dapat dilakukan weaning dalam 2-3 minggu. Proses
weaning harus bertahap sesuai dengan perbaikan fungsi otot respirasi. Pasien
sering tidak dapat mentoleransi weaning yang terlalu cepat dan membebani otot
respirasi. Resiko aspirasi segera setelah dilakukan weaning harus diwaspadai.
Keputusan untuk melakukan ekstubasi post operasi harus mempertimbangkan
luasnya pembedahan, komplikasi pembedahan seperti trauma nervus laringeus
rekuren, durasi operasi, posisi prone, derajat perdarahan, resusitasi cairan yang
telah dilakukan serta apakah ada kesulitan intubasi. Tujuan dilakukan tapering
down dopamin ialah untuk menghindari efek samping penggunaan dopamin pada

41
pasien yang dirawat di ICU sebab efek samping yang dapat terjadi ialah dapat
mengganggu proses weaning saat pasien akan dilakukan pelepasan ventilator.21
Pada pasien diberikan penatalaksanaan farmakologis adalah infus asering
disertai ketorolac 30 mg, omeprazole injeksi 40mg/24 jam, neurovitamin berupa
neurodex tablet/12 jam, metilprednisolon 4mg/8 jam (3 hari), ceftriaxone 1 gram/
12 jam, ca glukonas /12 jam.
Menurut teori, pemberian metilprednisolon dilakukan untuk menanggulangi
efek sekunder dari cedera spinal. Metilprednisolon menunjukkan adanya efek
protektif terhadap cedera saraf dimana efek terbaik didapatkan dalam 8 jam
pertama dan efek tambahan didapatkan dalam 24 jam.15,16 Ketorolac merupakan
obat golongan OAINS yang memiliki sediaan dalam bentuk tablet dan suntik.
Penanganan nyeri pada trauma vertebra penting dilakukan karena nyeri yang tidak
tertangani akan mempengaruhi tekanan darah, pernafasan, dan sistem kekebalan
tubuh. Modalitas terapi nyeri antara lain pemberian parasetamol atau NSAID. 15,16
Omeprazole merupakan antiemetik golongan PPI (proton pump inhibitor)
penghambat sekresi asam lambung dimana antiemetik digunakan pada pasien
pasca operasi dan sebagai premedikasi pengunaan NSAID. Neurodex merupakan
salah satu nama produk vitamin B komplek dimana vitamin B kompleks dikenal
sebagai vitamin neurotropik yaitu berfungsi untuk melindungi sel-sel saraf.
Ceftriaxone merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi ketiga yang
aktif terhadap kuman gram positif dengan sediaan dalam bentuk intravena.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Classen dkk diketahui bahwa pemberian
profilaksis antibiotik post operasi sebanyak 3,3% menurunkan resiko untuk
terjadinya infeksi pasca operasi.16

42
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Manajemen anastesi pada pasien dengan cedera servikal,


diperlukan penganganan komperhensif meliputi preoperatif, intraoperatif
sampai manajemen postoperatif di ruang ICU. Preoperatif berupa
anamnesis onset kejadian, dan level cedera. Intraoperatif laminektomi
berupa teknik induksi, posisi intubasi sampai penggunaan obat selama
operasi. Monitoring hemodinamik dan respirasi di ruang ICU. Manajemen
dilakukan secara tepat untuk meminimalisir morbiditas dan komplikasi
pada pasien. Operasi berhasil dengan baik dan pasien telah stabil di ruang
rawat inap.

43
44
DAFTAR PUSTAKA

1. York JE. Approach to The Patient with Acute Nervous System Trauma,
Best Practice of Medicine, September 2000

2. Schreiber D. Spinal Cord Inuries, eMedicine Journal, April, 2002

3. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta,


1981

4. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9.


Jakarta : EGC; 1997.

5. Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles


of Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.

6. J Am Acad Orthop Surg. Central cord syndrome. 2009; Medscape.


17(12):756-65. 

7. Hurlbert RJ. Methylprednisolone for Acute Spinal Cord Injury: An


Inappropriate Standard of Care. J Neurosurg (Spine). 2000;93: 1-7

8. Braken MB. Steroid For Acute Spinal Cord Injury (Cochrane Review):
Cochrane Library, Issue 3, 2002.

9. PERDOSSI. 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan


Trauma Spinal. Jakarta: Prikarsa Utama. Hal 19-29.

10. World J Orthop. Acute complications of spinal cord injuries, 2015 Jan 18;
6(1): 17–23. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4303786/

11. National SCI Statistical Center. Facts and figure at glance. J Spinal Cord
Med 2005; 28 (4): 379-80.

12. Goldberg W, Mueller C, et al. Distribution and paterns of blunt cederatic


cervical spine injury. Ann emerg Med 2001; 38: 17- 21.

13. Rowan S, Todd A. The spine injured patient initial assessment and
emergency treatment. Journal of the american academy of orthopedic
surgeon. 2012: 336-345

44
14. Zigler J. All about C45-6 spinal motion segment .2014. [disitasi pada 9
November 2019] tersedia dari http: //www.spinehealth.com .

15. Aarabi B, Bellabarba C, Chapman J, Dvorak M, et.al, 2012. Spinal


Fractures Classification System. AOSpine Knowledge Forum Initiative.

16. Pimentel L, Diegelmann L. 2010. Evaluation and Management of Acute


Cervical Spine Trauma. Departement of Emergency Medicine, University
of Maryland School of Medicine, 110 South Paca Street, 6th floor, Suite
200, baltimore, MD 21201.

17. Bao F, Zhang H Zhu S. Anasthestic consideration for patien with acute
cervical spinal cord injury. Neural Regeneration Research. 2017; 12(3):
499- 504. 10.

18. Michael G, Richard G. The role and timing of earl decompression for
cervical spinal injury Update a review of recent clinical evidence. 2005;
36(2): 13-26.

19. Robert D, Anis B, et al. Critical care and perioperative management in


cederatic spinal cord injury, management in cederatic spinal cord injury.
Journal of neurosurgical anesthesiology. 2007; 15(3): 123-129.

20. Edgcombe H, Carter K, Yarrow S. Anasthesia in the prone position. BrJ


Anaesthesi. 2008; 100: 165-83.

21. Geremia, ZM, Edoardo. DR, Ornella P. Dopamine Use in Intensive Care:
Are we Ready to Turn it Down?. Journal of Transl Med UniSa. 2012 Oct
11; 4: 90-94.

45

Anda mungkin juga menyukai