Anda di halaman 1dari 48

Laporan Kasus

FRAKTUR MONTEGGIA

Disusun oleh:
Muhammad Faris Alhakim
NIM. 2108436592

Pembimbing

dr. Eko Setiawan, Sp.OT

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul

“FRAKTUR MONTEGGIA”.

Terimakasih kepada pembimbing saya dr. Eko Setiawan, Sp.OT, yang

telah membimbing saya dalam menyusun dan menyelesaikan laporan kasus ini.

Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan

Kepaniteraan Klinik Senior dibagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Riau

RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Saya menyadari bahwa penyusunan case report

ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan.

Atas segala kekurangan dan ketidak sempurnaan laporan kasus ini, saya

mengharapkan masukan, kritikan, dan saran yang bersifat membangun ke arah

perbaikan dan penyempurnaan. Akhir kata, semoga laporan kasus fraktur

monteggia ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Pekanbaru, 14 November 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit muskuloskeletal atau musculoskeletal disorders (MSDs)

merupakan masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di

seluruh dunia, bahkan WHO telah menetapkan dekade (2000-2010) menjadi

dekade tulang dan persendian.1

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang

rawan epifisis yang bersifat total maupun parsial akibat trauma mekanik dan non-

mekanik.2 Sebagian besar fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan

tekanan terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan.3

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2011 sebanyak 1,3 juta

orang menderita fraktur. Kejadian fraktur di Indonesia merupakan yang terbesar di

Asia Tenggara yaitu sebesar 1,3 juta per tahun dengan jumlah penduduk 238 juta. 4

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyatakan bagian tubuh yang

sering mengalami cedera yaitu ekstremitas bawah (67%) dan ekstremitas atas

(32%).5

Fraktur radius ulna adalah salah satu fraktur pada lengan bawah, lengan

bawah ini terdiri atas dua tulang panjang yaitu radius dan ulna.6 Radius ulna

berada pada lengan bagian bawah, yang sebelah proksimal berhubungan dengan

sendi siku dan distal berhubungan dengan sendi pergelangan tangan. Radius ulna

mempunyai peran spesifik dibandingkan tulang lainnya. Ulna memiliki peran


besar dalam arikulasi pada sendi siku dengan humerus, sedangkan radius berperan

dalam artikulasi dengan pergelangan tangan.7 Fraktur pada ekstremitas atas yang

paling sering terjadi adalah fraktur pada radius dan ulna, lalu diikuti oleh

humerus.6

Keterlambatan penanganan fraktur atau tindakan penanganan yang tidak

semestinya dapat memperburuk kondisi fraktur bahkan menimbulkan kecacatan.

Menurut Subroto Sapardan, Neglected Fracture adalah penanganan patah tulang

pada extremitas (anggota gerak) yang salah oleh bone setter (dukun patah), yang

masih sering dijumpai di masyarakat Indonesia.8

Melalui tinjauan pustaka ini, diharapkan dapat meningkatkan pemahaman

masyarakat akan pentingnya menangani fraktur dengan benar agar tulang dapat

kembali menyatu dan berfungsi baik.

1.2 Batasan Masalah

Laporan kasus ini akan membahas mengenai anatomi tulang panjang,

anatomi radius ulna, definisi, epidemiologi, klasifikasi, mekanisme trauma,

manifestasi klinis, x-ray, tatalaksana fraktur terbuka dan tertutup, serta komplikasi

pada fraktur monteggia.

1.3 Tujuan Penulisan

1. Memahami dan menambah wawasan pembaca mengenai fraktur secara

umum dan fraktur monteggia.

2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran

khususnya di bagian Ilmu Bedah Ortopedi.


3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Rumah Sakit Umum

Daerah Arifin Achmad.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan laporan kasus ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan

mengacu beberapa literatur.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi Tulang Panjang

Kategori tulang dibagi 4 secara umum yaitu tulang panjang, tulang

pendek, tulang pipih dan tulang yang tidak teratur. Radius dan ulna

termasuk tulang panjang yang membentuk ekstremitas atas manusia.

Tulang panjang memiliki dua regio utama yaitu diafisis dan epifisis

(Gambar 2.1). Diafisis merupakan batang berongga dan tubular yang

berada diantara bagian proksimal dan ujung distal tulang. Didalam diafisis

terdapat kavitas medular yang berisi sumsum tulang kuning pada orang

dewasa. Dinding luar diafisis (korteks, tulang kortikal) terbentuk atas

tulang yang keras dan padat, suatu bentuk jaringan osseus.9

Gambar 2.1 Anatomi Tulang Panjang10


Bagian yang lebih lebar di setiap ujung tulang disebut epifisis,

bagian dalamnya berupa tulang spons yang juga merupakan jaringan

osseus. Bagian tulang yang terletak antara diafisis dan epifisis disebut

dengan metafisis. Selama masa pertumbuhan, metafisis mengandung

epiphyseal plate (lempeng pertumbuhan) yang merupakan tempat

perpanjangan tulang. Ketika pertumbuhan tulang berhenti pada awal masa

dewasa (sekitar 18-21 tahun), lempeng pertumbuhan akan berubah

menjadi epiphyseal line.9

2.1.2 Anatomi Radius dan Ulna

Lengan bawah dibentuk oleh dua tulang yang paralel yaitu radius dan ulna.

Tulang radius dapat berputar pada ulna sehingga memungkinkan gerakan pronasi

Gambar 2.2 Anatomi tulang radius dan ulna12

dan supinasi. tulang ulna terletak di bagian medial dan memiliki bentuk yang

lebih panjang dibandingkan radius. Ulna berfungsi untuk menstabilisasi lengan


bawah. Pada bagian proksimal terdapat sendi yang berhubungan dengan humerus

dan radius. Artikulasi antara humerus dan ulna memiliki dua proyeksi yaitu

olecranon yang membentuk tonjolan pada siku dan prosesus koronoid yang

memproyeksi di anterior. Persendian tersebut berfungsi untuk fleksi dan ekstensi

pada sendi siku.11

Tulang radius terletak pada bagian lateral dan merupakan tulang yang

lebih pendek dari ulna. Kaput dari radius berbentuk cekung sebagai tempat

artikulasi dengan kapitulum humerus pada saat fleksi dan ekstensi sendi siku.

Kaput radius juga berartikulasi dengan incisura ulnaris.11

Terdapat 17 otot yang melewati sendi siku, beberapa di antaranya bekerja

pada sendi siku secara eksklusif, sedangkan yang lain bekerja pada pergelangan

tangan dan jari. Otot-otot fleksor kompartemen anterior memiliki kira-kira dua

kali massa dan kekuatan otot-otot ekstensor kompartemen posterior. Otot fleksor

lengan bawah dipisahkan dari otot ekstensor lengan bawah oleh radius dan ulna

dan, pada dua pertiga distal lengan bawah, oleh membran interoseus yang

menghubungkan keduanya.11

Otot-otot lapisan superfisial (pronator teres, fleksor carpi radialis, palmaris

longus, dan fleksor carpi ulnaris) semuanya melekat secara proksimal oleh tendon

fleksor umum ke epikondilus medial humerus. Lapisan menengah terdiri dari

fleksor digitorum superficialis Lapisan dalam terdiri dari m.flexor digitorum

profundus, m. flexor pollicis longus, dan m. pronator quadratus).11

Semua otot di kompartemen anterior (fleksor-pronator) lengan bawah

disuplai oleh saraf median dan/atau ulnaris. Secara fungsional, m. brakioradialis

adalah otot fleksor lengan bawah, namun terletak di kompartemen posterior


(posterolateral) dan dengan demikian disuplai oleh saraf radial. Oleh karena itu,

m. brakioradialis merupakan pengecualian dari aturan bahwa (1) saraf radial

hanya memasok otot ekstensor dan (2) bahwa semua fleksor terletak di

kompartemen anterior.11

Otot-otot ekstensor berada di kompartemen posterior (ekstensor-supinator)

lengan bawah, dan semuanya dipersarafi oleh cabang-cabang nervus radialis.

Otot-otot ini dikelompokan menjadi tiga berdasarkan fisiologinya:11

1. Otot-otot yang ekstensi dan abduksi atau adduksi tangan pada sendi

pergelangan tangan (ekstensor karpi radialis longus, ekstensor karpi

radialis brevis, dan ekstensor karpi ulnaris).

2. Otot-otot yang ekstensi keempat jari medial (ekstensor digitorum,

ekstensor indicis, dan ekstensor digiti minimi).

3. Otot yang ekstensi atau abduksi ibu jari (abduktor polisis longus, ekstensor

polisis brevis, dan abduktor polisis longus)


Arteri utama yang memberikan suplai darah kaya oksigen pada lengan

Gambar 2.3 Otot fleksor dan ekstensor lengan bawah12


bawah yaitu a. radialis dan a. ulnaris yang merupakan cabang dari a. brachialis.

Pulsasi a. ulnaris dapat dirasakan pada bagian lateral dari tendon flexor carpi

ulnaris atau berada pada bagian anterior dari caput ulnaris. Cabang-cabang arteri

ulnaris yang muncul di lengan bawah berpartisipasi dalam anastomosis

periartikular siku dan memperdarahi otot-otot lengan bawah medial dan sentral,

selubung fleksor komunis, dan nervus ulnaris dan medianus.11

Pulsasi arteri radialis dapat dirasakan di seluruh lengan bawah. Arteri

radialis terletak pada otot sampai mencapai bagian distal lengan bawah. Arteri

radialis terletak di permukaan anterior radius dan hanya ditutupi oleh kulit dan

fasia, menjadikannya lokasi yang ideal untuk memeriksa pulsasis a. radialis.

Persarafan pada lengan bawah adalah median, ulnaris, dan radial. Nervus
medianus adalah nervus utama dari bagian anterior (flexor-pronator) lengan

bawah. Sementara nervus radialis berjalan memasuki bagian posterior (ekstensor-

supinator) lengan bawah. Selain cabang cutaneous, hanya ada dua saraf di bagian
11
anterior lengan bawahGambar
yaitu n. median dan n.lengan
2.4 Inervasi ulnaris.bawah 12

2.2 Fraktur Monteggia

2.2.1 Definisi

Fraktur Monteggia merupakan salah satu jenis fraktur yang terjadi pada

regio antebrachii. Fraktur Monteggia adalah fraktur pada os ulna bagian proksimal

disertai dislokasi dari caput radii pada proximal radioulnar joint (PRUJ).13

2.2.2 Epidemiologi

Menurut Riskesdas (2018), bagian tubuh yang terkena cedera terbanyak

adalah ekstremitas bagian bawah (67%), ekstremitas bagian atas (32%), cedera

kepala (11,9%), cedera punggung (6,5%), cedera dada (2,6%), dan cedera perut

(2,2%).14 Sebagian besar kasus fraktur dari shaft regio antebrachii terjadi pada

anak-anak. Untuk usia diatas 20 tahun, jumlah kasus tahunan hanya di bawah 2

per 10.000 orang, dominan terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan di

semua kelompok umur.13 Di Amerika Serikat, insiden kasus ini 4 per 10.000 pada

atlet - atlet sekolah menengah atas. Insiden tertinggi pada pemain sepakbola

dengan insiden 6 per 10.000 atlet, dan terendah pada pemain bola voli dengan

insiden 1 per 10.000 atlet. Fraktur Monteggia terjadi 13% dari seluruh kasus

fraktur pada regio antebrachii.13


2.2.3 Klasifikasi Fraktur

Pada tahun 1961, Bado menetapkan klasifikasi fraktur monteggia berdasarkan

arah dari apeks ulna yang mengalami fraktur serta arah dari dislokasi caput radii. 15

Adapun klasifikasinya adalah :

Tabel 2.1 Klasifikasi Fraktur Monteggia Menurut Bado15


Grade Penjelasan
Dislokasi anterior caput radii disertai fraktur dari diafisis ulna pada
I
tingkat manapun dengan angulasi anterior
Dislokasi caput radii ke arah posterior atau posterolateral disertai fraktur
II
diafisis ulna dengan apeks mengalami angulasi posterior.
Dislokasi caput radii ke arah lateral atau anterolateral disertai dengan
III
fraktur metafisis os ulna
Dislokasi caput radii ke arah anterior disertai dengan fraktur dari
III
sepertiga proksimal ulna dan fraktur dari os radius pada level yang sama.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 2.5 Klasifikasi Fraktur Monteggia Menurut Bado (a) anterior fraktur
monteggia, (b) posterior fraktur monteggia, (c) lateral fraktur monteggia, (d)
monteggia fraktur.

Fraktur monteggia posterior (Bado tipe II) telah diklasifikasikan lebih

lanjut oleh Jupiter dkk, berdasarkan lokasi dan jenis fraktur ulna serta pola cedera

caput radii3 (Tabel 2.2). Hal paling penting yang perlu dipahami dan ditangani

dengan tepat pada cedera tipe II adalah adanya fraktur kortikal ulna anterior.

Sebelum tahun 1951, lesi Monteggia posterior dianggap tidak umum, terhitung

hanya 10% sampai 15% dari fraktur Monteggia. Insiden yang relatif rendah ini

mungkin karena hasil dari masuknya fraktur yang sering terjadi pada anak-anak

maupun pada orang dewasa, karena cedera Bado tipe I lebih sering terjadi pada

anak-anak dan cedera tipe II jarang terjadi pada anak-anak. Penrose, Pavel dkk

mencatat klasifikasikan fraktur Bado tipe II dominasi terjadi pada pasien dewasa.

Penulis lain juga melaporkan bahwa fraktur Monteggia posterior merupakan 70%

sampai 75% dari semua fraktur Monteggia pada orang dewasa, dengan sebagian

besar fraktur ulnaris terjadi hanya di distal prosesus koronoideus (tipe IIB).

Namun, penelitian terbaru menunjukkan cedera Bado tipe I merupakan fraktur

Monteggia terbanyak pada dewasa. Dari 68 fraktur Monteggia dewasa, 53 fraktur

adalah tipe Bado I.15

Arah dislokasi kaput radialis berhubungan dengan mekanisme cedera dan

juga penting secara epidemiologis. Dislokasi posterior terjadi terutama pada orang

dewasa paruh baya dan lanjut usia, dislokasi lateral lebih sering terjadi pada anak-

anak, dan dislokasi anterior sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda15.

Tabel 2.2 Subklasifikasi Fraktur Monteggia Menurut Jupiter15


Grade Penjelasan
II A Fraktur ulna melibatkan distal olecranon dan prosesus koronoid
II B Fraktur diantara diafisis dan metafisis ulna, distal dari koronoid
II C Fraktur pada diafisis
Fraktur ulna meluas sepanjang sepertiga proksimal hingga pertengahan
IV D
ulna

Fraktur digambarkan menurut lokasi, cakupan, konfigurasi, hubungan

fraktur fragmen satu sama lain, hubungan fraktur ke lingkungan eksternal dan, ada

atau tidak adanya komplikasi. Deskripsi fraktur ini penting untuk menentukan

masalah klinis yang terjadi dan cara penanganan yang sesuai.16

1. Lokasi/site, lokasi fraktur bisa berada di diafisis, metafisis,epifisis, atau di

persendian. Jika terdapat dislokasi pada sendi sekitarnya disebut fraktur-

dislokasi.

2. Cakupan/extent, fraktur dapat berupa komplit yaitu mengenai seluruh

korteks tulang dan inkomplit mengenai sebagian korteks tulang sehingga

masih ada bagian tulang yang intak. Fraktur tertutup meliputi crack atau

hairline fractures, buckle fractures dan greenstick fractures.

(a) (b) (c)


Gambar 2.6 (a) hairline fractures, (b) buckle fractures, (c) greenstick fractures.16
3. Konfigurasi/configuration, jenis fraktur dapat berbentuk transversal,

oblique, dan spiral. Jika terdapat lebih dari satu garis fraktur sehingga

membentuk dua fragmen maka fraktur disebut comminuted fracture.

(a) (b) (c)


Gambar 2.7 (a) Transversal, (b) oblique, (c) comminuted.16
4. Hubungan antara fragmen, pada fraktur dapat terjadi pemindahan fragmen

(displaced) atau pun tidak ada pemindahan fragmen (undisplaced).

Fragmen fraktur dapat berpindah secara translated, angulated, rotated,

distracted, overriding, atau impacted.

5. Hubungan fraktur dengan lingkungan luar, jika pada fraktur kulit luar

masih utuh maka disebut fraktur tertutup. Sementara jika terjadi hubungan

antar fraktur dengan lingkungan diluar baik akibat tulang yang menembus

kulit maupun ada benda yang menembus kedalam kulit maka disebut

dengan fraktur terbuka.


6. Komplikasi yang terjadi dapat berupa lokal maupun sistemik. Komplikasi

dapat diakibatkan oleh cedera itu sendiri dan akibat kesalahan penanganan

oleh tenaga medis yang disebut dengan iatrogenik.16

Tulang dikelilingi oleh jaringan lunak, sehingga tekanan yang

menyebabkan fraktur dan dislokasi juga akan menghasilkan cedera pada jaringan

lunak baik ringan maupun cedera berat. 16 Tscherne membuat klasifikasi dari

cedera jaringan lunak pada fraktur tertutup berdasarkan adanya cedera akibat

kekuatan langsung dan tidak langsung (Tabel 2.3). Sementara Gustilo dan

Anderson mengategorikan fraktur terbuka berdasarkan keparahan dari kerusakan

jaringan lunak yang terjadi (Tabel 2.4).17 Berdasarkan klasifikasi tersebut jika

terjadi fraktur segmental, farmyard injuries, fraktur yang terjadi di tempat dengan

kontaminasi tinggi, luka tembak senapan atau luka tembak dengan kecepatan

tinggi maka langsung dikategorikan sebagai luka terbuka tipe III.17

Tabel 2.2 Klasifikasi Tscherne pada Fraktur Tertutup18


Grade Penjelasan
Cedera akibat kekuatan tidak langsung dengan kerusakan jaringan lunak
0
yang dapat diabaikan
Fraktur tertutup yang disebabkan oleh mekanisme energi rendah-sedang,
I
dengan abrasi superfisial atau kontusio pada jaringan lunak diatas fraktur
Fraktur tertutup dengan kontusio otot yang signifikan, dengan
II kemungkinan abrasi kulit yang dalam dan terkontaminasi berkaitan
denan kekuatan sedang hingga parah
Kehancuran jaringan lunak yang luas, dengan degloving atau avulsi
III subkutan, disrupsi arteri atau sindrom kompartemen yang tidak dapat
dimungkiri

Tabel 2.4. Klasifikasi Gustilo pada Fraktur Terbuka18


Grade Luka Cedera jaringan Level Cedera tulang
lunak kontaminasi
I <1 cm Minimal Bersih Fraktur energi rendah
sederhana
II >1 cm Sedang, terdapat Sedang Kominutif sedang
beberapa kerusakan
otot
IIIA 1-10 Kontusio dalam Tinggi Pola fraktur berenergi
cm yang parah; + tinggi; komunitif tetapi
sindrom jaringan lunak dapat
kompartemen menutup tulang
IIIB >10 Robeknya jaringan Tinggi Membutuhkan
cm lunak yang sangat rekonstruksi jaringan
luas lunak

Lanjutan Tabel 2.4. Klasifikasi Gustilo pada Fraktur Terbuka18


IIIC >10 Seperti IIIB, Tinggi Membutuhkan
cm dengan rekonstruksi jaringan
membutuhkan lunak
perbaikan vaskular

Gamb

ar 2.8 Klasifikasi fraktur terbuka Gustilo & Anderson.

2.2.4 Mekanisme Trauma

Kejadian fraktur Monteggia biasanya disebabkan terjatuh dengan tangan

menopang tubuh. Bila pada momen tersebut tubuh agak terpuntir maka hal

tersebut akan menyebabkan pronasi paksa dari regio antebrachium. Tompkins

menyampaikan bahwa ketika seseorang jatuh dengan tangan terentang, kontraksi

hebat otot bisep menyebabkan dislokasi caput radii. Fraktur ulna disebabkan oleh
tarikan membran interoseus dan tarikan otot brachialis.15 Caput radii akan

mengalami dislokasi paling sering ke arah anterior dan sepertiga proksimal dari

ulna mengalami fraktur serta melengkung ke arah anterior. Hiperekstensi adalah

penyebab paling sering dari fraktur Monteggia, Fraktur monteggia dapat terjadi

akibat cedera berenergi rendah seperti jatuh dari ketinggian dan tangan terentang

dengan lengan bawah dipaksa pronasi, atau cedera berenergi tinggi, misalnya

jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas. Tipe yang jarang dari fraktur

Monteggia adalah yang disebakan oleh cedera fleksi (flexion type) yang ditandai

dengan angulasi posterior dari os ulna yang mengalami fraktur disertai dislokasi

ke arah posterior dari proksimal radioulnar joint (PRUJ).13,19 Ring dkk

menyampaikan bahwa lesi Bado tipe II terjadi ketika dua mekanisme cedera yang

berbeda. Fraktur akibat energi rendah cenderung terjadi pada pasien wanita usia

lanjut, sedangkan fraktur akibat energi tinggi terjadi pada pasien pria yang lebih

muda.15

2.2.5 Manifestasi Klinis

Pasien dengan fraktur Monteggia biasanya datang dengan keluhan

pembengkakan pada siku, deformitas, krepitasi, serta rasa nyeri yang menyertai

pergerakan dari siku terutama pada gerakan supinasi dan pronasi. Pemeriksaan

neurovaskular yang teliti sangat penting untuk dilakukan karena cedera nervus

terutama nervus radialis dan posterior interosseus nerve (PIN) sangat sering

terjadi. Cedera neurovascular ini terutama terjadi pada fraktur Monteggia tipe II

berdasarkan klasifikasi Bado. Deformitas dari ulna biasanya nampak sangat jelas,

akan tetapi dislokasi dari caput radii biasanya tersamarkan oleh bengkak yang
terjadi pada pasien. Petunjuk penting yang dapat kita gunakan sebagai patokan

adalah nyeri pada sisi lateral dari siku. Pergelangan tangan dan tangan juga harus

diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya cedera dari nervus radialis.21

Tabel 2.5. Manifestasi klinis dan pemeriksaan fisik fraktur monteggia20


Inspeksi Palpasi Range of motion lainnya
Kulit menunjukkan palpasi pada siku Keterbatasan terutama Periksa status
hematom, caput radii teraba di Saat supinasi lengan neurovaskular pada
pembengkakan lokal, fossa antecubital bawah dan brachialis, radial
atau deformitas. (Bado tipe 1, 4), di pronasi dan siku distal, dan nadi
belakang (Bado tipe fleksi. Nyeri ulnaris. Kelumpuhan
2), dan lateral (Bado saat gerakan. saraf dapat terjadi
tipe 3). (misalnya, cedera
saraf posterior
interoseus dengan
deviasi radial
pergelangan tangan
saat ekstensi dan
menjatuhkan jari).

2.2.6 X-Ray

Pemeriksaan radiologis X-Ray posisi AP dan lateral dari regio antebrachii

sangat diperlukan dengan menampakkan secara jelas elbow joint dan wrist joint.

Pemeriksaan posisi oblique dapat membantu lebih jauh dalam mendiagnosis.

Untuk mendiagnosis dislokasi caput radii yang agak samar kita perlu mengetahui

terlebih dahulu bagaimana gambaran radiologis normal dari os radius. Pada

keadaan normal seharusnya garis khayal yang ditarik dari caput radii dan shaft

harus selalu sejajar dengan capitellum. Pada posisi supinasi lateral, garis khayal

tangensial terhadap caput radii anterior dan posterior harus menempel pada

capitellum.1 Pada kasus umumnya caput radial dislokasi kearah anterior desertai
dengan fraktur ulna 1/3 proksimal dengan angulasi ke anterior. Angulasi ulna ke

posterior dan lateral jarang terjadi disertai dislokasi caput radial ke posterior atau

lateral. Fraktur transolecranon juga sering dikaitkan dengan dislokasi caput

radial.21

2.2.7 Tata Laksana

2.2.7.1 Fraktur Terbuka

Tujuan penatalaksanaan fraktur terbuka aalah mencegah infeksi dan

terjadinya fraktur union. Berikut adalah aspek yang perlu diperhatikan dalam

penatalkasanaan fraktur terbuka.16

1. Pembersihan luka. Kontaminan yang dapat berupa tanah, material

pakaian, maupun material lainnya harus diirigasi dengan larutan

saline dalam jumlah besar. Material yang masih menempel setelah

irigasi harus diambil hingga bersih.

2. Debridement, jaringan yang telah kehilangan suplai darahnya dapat

menghambat proses penyembuhan luka dan merupakan media yang

baik untuk tumbuhnya kuman. Oleh karena itu, jaringan yang sudah

mati seperti kulit, lemak subkutan, fasia, otot, dan fragmen tulang

yang kecil harus dieksisi. Disarankan untuk mengambil bahan

hapusan untuk kultur kuman pada tahap ini. Beberapa prinsip yang

harus diperhatikan dalam tahap ini antara lain:

a) Eksisi tepi luka. Tapi luka dieksisi hingga tepi kulit yang

sehat.
b) Ekstensi luka. Pembersihan luka yang baik membutuhkan

pemaparan yang adekuat. Perlu diperhatikan dalam membuat

ekstensi luka agar tidak mengganggu rencana pembuatan flap

untuk penutupan luka lebih lanjut.

c) Pembersihan luka. Semua benda asing harus disingkirkan

dari luka. Larutan saline dalam jumlah besar digunakan untuk

mengirigasi luka. Hindari memasukan cairan irigasi melalui

sebuah lubang kecil karena dapat mendorong benda asing

lebih dalam.

d) Pembuangan jaringan mati. Jaringan otot yang sudah mati

harus dapat dikenali, ciri-cirinya antara lain warna keunguan

dengan konsistensi lembek, otot gagal berkontraksi saat

diberikan stimulus, dan tidak berdarah saat dipotong.

e) Saraf dan tendon. Secara umum otot dan tendon yang

terpotong dibiarkan begitu saja tanpa dimanipulasi hingga

luka benar-benar bersih dan tenaga yang ahli tersedia, maka

saraf dan tendon tersebut dapat disambung kembali.

3. Penanganan fraktur. Pada fraktur terbuka tipe I dengan luka yang

kecil, fraktur dapat direduksi secara tertutup setelah luka

dibersihkan, debridement, dan dibiarkan terbuka. Namun bila luka

yang terjadi cukup besar, biasanya dibutuhkan traksi skeletal atau

reduksi terbuka dengan fiksasi skeletal. Secara umum, fiksasi

internal dapat digunakan bila tidak menyebabkan trauma lebih lanjut

dan meningkatkan risiko infeksi.


4. Penutupan luka. Bahkan bila kasus fraktur terbuka mendapatkan

penanganan dalam 6 sampai 7 jam pertama dan dengan kontaminasi

minimal, immediate primary closure merupakan suatu

kontraindikasi. Setelah 4 hingga 7 hari, bila tidak didapatkan tanda-

tanda infeksi dapat dilakukan delayed primary closure. Penumpukan

darah dan serum di dasar luka dapat dicegah dengan membuat

drainase luka yang baik.

5. Antibiotika. Agar efektif dalam mencegah infeksi, antibiotika harus

diberikan sebelum, selama, dan setelah penanganan luka. Untuk

fraktur terbuka tipe 1 dan tipe 2 direkomendasikan menggunakan

cephalosporin generasi pertama. Sedangkan pada fraktur terbuka tipe

3 dengan derajat kontaminasi yang lebih tinggi, ditambahkan dengan

aminoglikosida. Pada fraktur terbuka dengan kontaminasi organik,

ditambahkan penisilin atau metronidazole.21

6. Pencegahan tetanus. Semua pasien dengan fraktur terbuka

membutuhkan pencegahan terhadap komplikasi yang jarang ditemui

namun mematikan yaitu tetanus. Bila pasien telah mendapatkan

imunisasi tetanus toxoid, dapat diberikan booster toxoid. Bila tidak

didapatkan riwayat imunisasi tetanus sebelumnya, atau informasi

mengenai imunisasi tetanus tidak jelas, harus diberikan imunisasi

pasif dengan menggunakan human immune globulin tetanus 250

unit.16,21

2.2.7.2 Fraktur Tertutup

a. Proteksi tanpa reduksi atau imobilisasi


Pada fraktur tanpa perpindahan fragmen (undisplaced), fraktur yang stabil,

fraktur kompresi ringan, atau impact fracture pada bagian atas humerus hasilnya

akan sembuh lebih baik tanpa dilakukan reduksi ataupun imobilisasi. Proteksi

pada fraktur bisa didapat dengan menggunakan sling pada ekstremitas atas atau

crutch untuk menopang kaki. Namun pada penggunaan proteksi saja dapat

menyebabkan terjadi perpindahan fragmen (displaced) sehingga perlu dilakukan

pemeriksaan radiografi secara reguler.16

b. Imobilisasi dengan splinting eksternal tanpa reduksi

Imobilisasi jenis ini merupakan imobilisasi relatif, masih bisa terjadi

pergerakan pada lokasi fraktur. Salah satu jenis imobilisasi relatif adalah dengan

menggunakan plaster of Paris gips atau menggunakan bidai metal maupun

plastik. Indikasi dilakukan imobilisasi dengan splinting eksternal yaitu pada

fraktur undisplaced yang tidak stabil. Namun karena adanya penarikan pada

tulang dan gaya gravitasi dapat menghasilkan perpindahan fragmen berupa

angulasi, rotasi, atau override sehingga perlu pemeriksaan radiografi pada fase

awal penyembuhan. Pemasangan gips atau bidai yang tidak tepat dapat

menyebabkan luka tekan lokal di atas tonjolan tulang, atau konstriksi ekstremitas

akibat gangguan sirkulasi vena atau arteri, atau keduanya.16

c. Reduksi tertutup dengan manipulasi diikuti imobilisasi

Reduksi tertutup merupakan tatalaksana paling sering pada fraktur

displaced baik pada anak dan dewasa. Prosedur ini dapat dilakukan pada fraktur

displaced yang perlu direduksi dan diperkirakan reduksi tersebut dapat diperoleh

dan dipertahankan dengan metode tertutup. Reduksi tertutup yang dilakukan tidak

tepat dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada jaringan lunak sekitar.
Traksi yang berlebihan di axis longitudinal mengakibatkan spasme arterial

terutama pada siku dan lutut. Pemasangan gips yang terlalu rapat dan kaku juga

dapat menyebabkan kerusakan pada sirkulasi. Luka akibat tekanan pada tulang

yang menonjol dan cedera tekanan pada saraf perifer juga dapat terjadi.16

d. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan imobilisasi

Pada fraktur di anak kecil traksi kontinu dilakukan pada kulit

menggunakan extension tape atau disebut traksi kulit. Pada dewasa muda dan

dewasa butuh kekuatan traksi yang lebih besar sehingga dilakukan traksi pada

tulang. Traksi dapat difiksasi pada ujung tempat tidur (fixed traction) atau

diseimbangkan dengan kabel ditambahkan beban (balance traction). Prosedur ini

diindikasikan pada fraktur oblique yang tidak stabil, spiral atau fraktur komunitif

pada tulang panjang besar serta fraktur tulang belakang yang tidak stabil. Traksi

tulang juga dapat dilakukan pada fraktur dengan kerusakan vaskuler,

pembengkakan, atau hilangnya kulit. Traksi longitudinal yang berlebihan dapat

menyebabkan spasme arterial sehingga dapat terjadi iskemik Volkmann

(kompartmen sindrom).16

e. Reduksi tertutup dengan penyangga fraktur fungsional

Fraktur pada diafisis tibia, sepertiga distal femur, humerus, dan ulna pada

dewasa dapat ditangani dengan reduksi tertutup dan diikuti dengan pemasangan

penyangga yang fungsional. Pemasangan penyangga yang fungsional ini didasari

oleh prinsip bahwa imobilisasi kaku kurang baik dalam penyembuhan tulang dan

pergerakan yang terkontrol pada lokasi fraktur dapat menstimulasi penyembuhan

tulang. Selain itu dengan dipasangnya penyangga fungsional dapat mencegah

terjadinya kekakuan sendi serta memperpendek masa perawatan di rumah sakit.16


Pemasangan penyangga fungsional dilakukan setelah imobilisasi selama 3-

4 minggu hingga nyeri akut dan pembengkakan sudah berkurang serta

penyembuhan pada jaringan lunak mulai terbentuk. Dengan penyangga ini sendi

di atas dan di bawah dari lokasi fraktur tetap dapat digerakkan.16

f. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan fiksasi eksternal

Fiksasi eksternal pada tulang dilakukan dengan cara memasukkan 2-3 pin

metal secara perkutaneus dari atas dan bawah tulang yang mengalami fraktur dan

difiksasi dengan batang di bagian luar. Prosedur ini biasa dilakukan pada fraktur

kominutif berat dan tidak stabil pada tibia atau femur, terutama frkatur terbuka

tipe 3 dengan kerusakan jaringan lunak yang parah. Penggunaan fiksasi ekterna

pada fraktur terbuka dapat memungkinakan dilakukannya pembalutan luka dan

skin graft. Eksternal fiksasi juga dapat digunakan pada fraktur tidak stabil pelvis,

humerus, tibia, dan metakarpal. Namun penggunaan eksternal fiksasi dapat

menyebabkan infeksi pada pin yang digunakn baik dengan osteomyelitis maupun

tidak. Hal ini terjadi karena pin dimasukkan dengan bor kecepatan tinggi sehingga

tulang disekitarnya akan mati akibat panas yang dihasilkan oleh gesekan bor.16

g. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan fiksasi internal

Fiksasi internal dilakukan dengan memasukkan paku berbhan metal

melalui perkutan atau memasukkan batang secara intramedular melewati lokasi

fraktur. Insersi fiksasi internal dilakukan melalui insisi kecil pada kulit dengan

dibantu control radiografi. Pemasangan fiksasi internal biasa dilakukan pada

fraktur leher femur pada anak dan dewasa.16

h. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal


Reduksi terbuka dilakukan dengan membuat insisi sehingga lokasi fraktur

dapat terlihat dengan jelas. Namun dengan dibukanya lokasi frkatur maka

kemungkinan terjadi infeksi juga lebih besar. Setelah dilakuka reduksi terbuka

dilanjutkan dengan fiksasi internal menggunakan teknik yaitu ostesintesis. Sebuah

perkumpulan ahli bedah AO/ASIF membentuk sistem untuk fiksasi internal yang

dikenal dengan sistem AO/ASIF. Prinsip dari sistem tersebut adalah tercapainya

fiksasi internal yang kaku sehingga tidak perlu dilakukan imobilisasi eksternal dan

dapat berfungsinya otot dan sendi secara aktif segera setelah operasi.16

Reduksi terbuka dilaukan jika reduksi tertutup sudah tidak bisa lagi

dilakukan, misalnya pada fraktur avulsi, fraktur intra-artikular, atau fraktur

displaced pada anak yang mengenai lempeng epifisis. Open reduction and

internal fixation (ORIF) dilakukan jika terdapat cedera pada pembuluh darah yang

butuh eksplorasi dan perbaikan. Sedangkan fraktur pada diafisi tibia atau humerus

tidak boleh dilakukan ORIF karena sudah cukup dengan menggunakan fiksasi

eksternal. Operasi yang dilakukan dalam prosedur ini dapat meningkatkan risiko

infeksi dan kemungkinan terjadi kerusakan pada pembuluh darah sehingga dapat

menyebabkan terjadinya malunion dan non union.16

i. Eksisi fragmen fraktur dan penggantian oleh endoprothesis

Fiksasi internal tidak disarankan untuk dilakukan pada fraktur persendian

panggul dan siku karena memiliki kemungkinan tinggi terjadi nekrosis pada

fragmen sendi, fraktur non-union, dan penyaki sendi degeneratif post trauma.

Maka dari itu pada kejadian fraktur tersebut diperlukan eksisi dan penggantian

sendi dengan endoprothesis. Fraktur pada intrakapsular leher femur terutama pada

orang tua, fraktur kominutif pada kaput radius pada dewasa, dan fraktur kominutif
berat pada patella juga merupakan indikasi dilakukannya eksisi dan endoprothesis.

Risiko utama dari penatalaksanaan ini berupa infeksi.16

2.2.7.3 Fraktur Monteggia

Kunci utama penanganan pada kasus ini adalah mengembalikan panjang

os ulna yang mengalami fraktur. Hanya dengan memastikan hal tersebut maka

reduksi sempurna dari caput radii dapat tercapai. Pada orang dewasa, hal ini dapat

dilakukan melalui tindakan operatif menggunakan posterior approach.

Tatalaksana fraktur tertutup pada anak-anak dicoba dengan reposisi tertutup

karena angka keberhasilannya sebesar 50%. Pada orang dewasa semua jenis

fraktur monteggia harus segera dilakukan operasi terbuka dengan fiksasi interna

yang rigid karena fraktur ini adalah suatu fraktur yang juga mengenai sendi siku

dan perlu dilakukan mobilisasi secepatntya.23

Fraktur dari ulna harus direduksi seakurat mungkin dengan

mengembalikan panjangnya ke ukuran semula, baru setelah itu difiksasi dengan

plate dan screw. Caput radii biasanya akan tereduksi ketika os ulna telah

dikoreksi. Stabilitas harus dinilai dengan pergerakan fleksi dan ekstensi

maksimal. Jika caput radii tidak tereduksi atau tidak stabil maka reduksi terbuka

harus dilakukan. Jika siku telah stabil sempurna, maka pasien dapat melakukan

gerakan fleksi dan ekstensi segera setelah operasi. Jika ada hambatan dalam

melakukan gerakan tersebut, maka harus dilakukan immobilisasi menggunakan

plester pada siku dalam kondisi fleksi selama 6 minggu.21


Gambar 2.9 Tindakan operatif menggunakan posterior approach.

Gambaran umum fraktur-dislokasi Monteggia pada anak-anak mirirp

dengan yang terjadi pada orang dewasa. Namun, penting untuk diketahui bahwa

fraktur ulnaris incomplete (greenstick atau deformasi plastis); jika ini tidak

terdeteksi, dan dikoreksi, maka pada anak akan terjadi subluksasi kronis caput

radial. Karena osifikasi yang tidak sempurna dari caput radial dan epiphysis

capitella pada anak-anak, hal ini tidak mudah ditentukan pada x-ray dan dislokasi

proksimal sering terlewatkan. x-ray harus dinilai dengan sangat hati-hati dan, jika

ada keraguan, x-ray harus diambil dari sisi lain untuk perbandingan. Fraktur

ulnaris yang incomplete dapat diperbaiki dengan reduksi tertutup, meskipun

diperlukan kekuatan yang cukup besar untuk meluruskan ulna dengan deformasi

plastis. Posisi kaput radial kemudian diperiksa; jika tidak sempurna, reduksi

tertutup dapat dilakukan dengan mengekstensi dan supinasi siku dan menekan

caput radial, kemudian lengan diimobilisasi dengan gips dan siku dalam posisi

ekstensi dan supinasi, selama 3 minggu. Fraktur complete paling baik diobati

dengan reduksi terbuka dan fiksasi.21

2.2.7.4 Tatalaksana Pasca Operasi


Tujuan dari setiap intervensi bedah pada fraktur ulna proksimal harus

dilakukan rehabilitasi untuk mengembalikan fungsional siku seperti semula

mempertimbangkan semua struktur yang diperbaiki. Pada siku dipasang gips

dengan fleksi 90° selama sekitar dua minggu. Tergantung pada kondisi jaringan

lunak, gerakan awal aktif dan aktif di bantu (dimulai dengan bantuan gravitasi

fleksi dan ekstensi dibawah kontrol fisioterapi) tindakan ini dianjurkan pada hari

kedua atau ketiga setelah operasi untuk mencegah kekakuan siku pasca operasi.

Kontraksi otot yang aktif disekitar siku dapat meningkatkan stabilitas siku. Siku di

latih dengan posisi diatas kepala. pronasi dan supinasi dipraktekkan dengan siku

di fleksikan 90°. Penyatuan fraktur harus dievaluasi melalui x-ray enam minggu

pasca operasi. Penahanan beban maksimum dan kembali untuk olahraga dapat

dimulai tiga hingga enam bulan setelah operasi.22

2.2.8 Komplikasi

Komplikasi yang dapat timbul akibat terjadinya fraktur Monteggia yaitu:

1. Cedera nervus dapat terjadi disebabkan oleh manipulasi berlebihan dari

dislokasi radius baik pre maupun intraoperatif. Selalu lakukan pemeriksaan

fungsi nervus setelah melakukan tindakan. Lesi biasanya berupa neurapraxia

yang sebenarnya akan sembuh sendiri.21

2. Malunion Meskipun ulna telah tereduksi sempurna namun tetap saja masih

memungkinkan caput radii masih mengalami dislokasi sehingga membatasi

gerak fleksi sendi siku. Pada anak-anak, caput radii harus direduksi dan

dilakukan operasi lanjutan untuk mengoreksi malalignment dari ulna agar


reduksi yang sempurna tercapai. Pada orang dewasa, osteotomi dari os ulna

atau eksisi dari caput radii mungkin diperlukan.21

3. Non-union Non-union dari ulna harus ditangani dengan pemasangan plat serta
bone graft.21

BAB III
LAPORAN KASUS

STATUS BAGIAN ILMU BEDAH ORTOPEDI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU

PEKANBARU

Nama Pasien : Ny. WS


Umur : 39 Tahun
Tanggal Lahir : 29/11/1981 Agama : Islam
Jenis Kelamin : Perempuan Suku : -
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Tgl Mrs : 10/11/2021
Pendidikan : SMP Tgl Krs : 15/11/2021
Alamat : Pelintung, Dumai No. Rm : 01075472

PRIMARY SURVEY

• Airway With C-spine Control : Patent

• Breathing & Ventilation: Spontan, dada simetris kiri dan kanan,

respiratory rate 20x/menit

• Circulation and Bleeding Control:

Tekanan Darah : 140/80 mmHg


Nadi : 80x/menit

CRT : < 2 detik

Saturasi Oksigen : 98%

• Disability and Neurological Status:

GCS : 15

Pemeriksaan pupil : isokor, refleks cahaya (+/+)

• Exposure & Enviromental (cegah hipotermi): Suhu 36,5 ºC, tidak ada

cedera ditempat lain.

SECONDARY SURVEY

KELUHAN UTAMA :

Pasien datang ke RSUD AA dengan keluhan nyeri pada lengan kiri bawah

setelah jatuh dari kaleng cat.

AMPLE

Tidak terdapat alergi obat-obatan dan makanan. Pasien tidak sedang

mengkonsumsi obat - obatan apapun. Tidak ada penyakit terdahulu. Makanan

terakhir tidak diketahui. Pasien jatuh dari kaleng cat saat memasang lampu dengan

tangan kiri menahan beban.

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :

Pasien datang ke Poli RSUD AA dengan keluhan nyeri pada lengan kiri

bawah sejak sebulan yang lalu, nyeri dirasakan terus menerus dan tidak menjalar,

nyeri memberat ketika pasien beraktifitas dan berkurang dengan istirahat. Sekitar

1 bulan SMRS pasien mengaku terjatuh pada saat memasang bola lampu dengan
posisi jatuh tangan kiri mehanan beban tubuh. Setelah terjatuh keluhan tidak

sadarkan diri, kejang, mual muntah disangkal. Sebelumnya pasien berobat ke

tukang urat sebanyak 2 kali namun keluhan dan nyeri tidak berkurang, tapi pasien

takut memeriksakan diri ke dokter, sehingga pasien selalu menunda untuk

memeriksakan keluhannya. Seminggu terakhir nyeri dirasakan semakin memberat

dan terdapat kelemahan anggota gerak pada lengan kiri bawah. Akhirnya pasien

langsung dibawa ke Poli Spesialis Orthopedi RSUD AA untuk pemeriksaan dan

penanganan lebih lanjut.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :

 Riwayat fraktur (-)

 Riwayat alergi (-)

 Riwayat pengobatan rutin (-)

 Riwayat jantung (-)

 Riwayat DM (-)

 Riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :

 Riwayat jantung (-)

 Riwayat DM (-)

 Riwayat hipertensi (-)

RIWAYAT SOSIAL EKONOMI

 Pasien seorang ibu rumah tangga

 Pendidikan terakhir SMP

 Merokok (-)
 Minum Alkohol (-)

 Olahraga (-)

PEMERIKSAAN FISIK :

STATUS GENERALIS :

KEADAAN UMUM : Tampak sakit sedang

KESADARAN : Komposmentis kooperatif (GCS 15)

VITAL SIGN

 TD : 140/80 mmHg

 HR : 80x/menit

 RR : 20x/menit

 T : 36,5 ºC

Skala nyeri :4

PEMERIKSAAN KEPALA & LEHER :

 Kepala : Normocephal, massa (-), jejas (-)

 Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokor,

refleks cahaya (+/+).

 Hidung : tidak keluar cairan dan ataupun darah

 Telinga : tidak keluar cairan dan ataupun darah

 Mulut : mukosa kering (-), lidah kotor (-), bibir pucat (-)

 Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-)

PEMERIKSAAN THORAKS :

 Paru

- Inspeksi : normochest, pergerakan dinding dada simetris kanan dan

kiri, penggunaan otot nafas tambahan (-), sesak(-), retraksi


dinding dada (-)

- Palpasi : vokal fremitus tidak ada yang melemah serta simetris

kanan dan kiri

- Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru

- Auskultasi : suara nafas vesikuler normal (+/+), suara tambahan

wheezing (-/-) dan rhonki (-/-)

 Jantung

- Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

- Palpasi : iktus kordis tidak teraba

- Perkusi :

 Batas jantung kanan : ICS V linea parasternalis dextra

 Batas jantung kiri : linea midclavicula sinistra ICS V

- Auskultasi : S1 dan S2 reguler, suara tambahan murmur (-) dan gallop

(-)

PEMERIKSAAN ABDOMEN :

- Inspeksi : perut datar, distensi (-)

- Auskultasi : bising usus (+)

- Palpasi : nyeri tekan (-), teraba massa (-), pembesaran hepar (-),

pembesaran lien (-)

- Perkusi : timpani seluruh regio abdomen

PEMERIKSAAN EKTREMITAS

- Superior : pucat (-), hangat, CRT <2 detik, edema (-), deformitas (+)

- Inferior : pucat (-), hangat, CRT <2 detik, edema (-), deformitas (-)
STATUS LOKALIS (Regio Antebrachii Sinistra)

 Look : Deformitas (-) angulasi (-), jejas (-), swelling (+), hiperemis (-) ,

kontusio (-), luka (-), perdarahan aktif (-), kontaminasi (-), shortening,

atrofi (-) pitting edema (-)

o VAS = 5
 Feel : nyeri tekan antebrachii sinistra (+), krepitasi (-), teraba hangat

(+). Pulsasi arteri brachialis (+), pulsasi arteri ulnaris (+), Pulsasi arteri

radialis (+). CRT <2 detik, teraba caput radii pada fossa antecubital.

o 6 P = Pain (-), pallor (-), parestesia (-), paralisis (-), pulselessness

(-), puffness (-)

 Move : Pergerakan terbatas pada regio antebrachii sinistra saat pronasi,

supinasi lengan dan fleksi siku, ekstensi digiti I (+), fleksi digiti I (+),

finger abduksi (+), O sign (+)

 Skala Kekuatan Otot :

5 4
5 5

DIAGNOSIS KERJA :

Neclegted fraktur ulna sinistra 1/3 proksimal dengan dislokasi caput radial

ke anterior. (Monteggia Fraktur Tipe I)

DIAGNOSIS DIFERENSIAL :

 Fraktur Galeazzi

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

 Darah Rutin

1. Darah Lengkap (08-11-2021)

HB : 13,7 g/dL Normal : 12,0 – 16,0

Leukosit : 7,40 x 103/ul (H) Normal : 4,80 – 10,80

Trombosit : 305 x 103/ul Normal : 150 – 450

Eritrosit: 4,54 x 106/ul Normal : 4,20 – 5,40

Hematokrit : 40,4 % Normal : 37,0 – 47,0


MCV : 89,0 fL Normal : 79,0 – 99,0

MCH : 30,2 pg Normal : 27,0 – 31,0

MCHC : 33,9 g/dL Normal : 33,0 – 37,0

RDW-CV : 11,5 % Normal : 11,5 – 14,5

RDW-SD : 37,2 fL Normal : 35,0 – 47,0

PDW : 8,9 fL (L) Normal : 9,0 – 13,0

MPV : 9,0 fL Normal : 7,2 – 11,1

P-LCR : 16,4 % Normal : 15.0 – 25,0

2. Hitung Jenis

Basofil : 0,3 % Normal : 0 - 1

Eosinofil : 4,9 % (H) Normal : 1,0 - 3,0

Neutrophil : 58,5 % Normal : 40,0 – 70,0

Limfosit : 28,6 % Normal : 20,0 – 40,0

Monosit: 7,7 % Normal : 2,0 – 8,0

3. Hemostasis (08/11/2021)

PT INR

PT : 12,7 detik Normal : 11,6 - 14,5

INR : 0,89 Normal : <1.2

APTT : 31,2 detik Normal : 28,6 - 42,2

4. Kimia Klinik (08/11/2021)

Albumin : 4,2 g/dl Normal : 3,4 – 4,8

Glukoasa puasa: 103 mg/dL Bukan DM : <100

Belum pasti DM : 100 - 125

DM : ≥ 126
Ureum : 17,0 mg/dL Normal : 12,8 – 42,8

Kreatinin : 0,80 mg/dL Normal : 0,55 – 1,30

Asam urat : 7,1 mg/dL (H)Normal : 3,0 – 7,0

Kolesterol Total : 222 mg/dL(H)Diinginkan : < 200

Sedikit tinggi : 200 – 239

Tinggi : ≥ 240

Kolesterol HDL : 46 mg/dLNormal : 40 – 60

Kolesterol LDL: 158,0 mg/dL(H)Optimal : < 100

Mendekati optimal : 100 – 129

5. Imunologi

HBsAg Kualitatif : Non Reaktif Normal : Non Reaktif

 Radiologi

a. Rontgen thorax (08/11/2021)

• Cor : CTR > 50%

• Pulmo : Corakan bronkovaskular normal, infiltrat (-)

• Kesan : Cor kardiomegali dan pulmo dalam batas normal


b. Radiologi pergelangan tangan kiri (28/10/2021)

Terdapat diskontinuitas tulang ulna sinistra pada diafisis proksimal komplit

dengan konfigurasi transverse displaced kearah anterior dengan dislokasi caput

radius kearah anterior.


c. Radiologi post ORIF pergelangan lengan kiri (15/11/2021)

Tampak garis fraktur tulang ulna sinistra pada 1/3 proksimal pada diafisis komplit

dengan konfigurasi transverse reduksi baik terfiksasi dengan plate dan screw, dan

caput radii terreduksi dengan baik dengan fiksasi k ware.

DIAGNOSIS AKHIR :

Neclegted fraktur ulna sinistra 1/3 proksimal dengan dislokasi caput radial

ke anterior (Monteggia Fraktur tipe I) + post ORIF.

TATALAKSANA :

• Ketorolac 3 x 30 mg

• IV Ceftriaxone 2 x 500 mg

• Kontrol luka, pemasangan gips post op.


DOKUMENTASI PRE OPERASI

DOKUMENTASI INTRA OPERASI


DOKUMENTASI POST OPERASI
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis Fraktur pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, serta radiologi. Pada anemnesis didapatkan pasien

mengeluhkan nyeri pada lengan bawah kiri setelah terjatuh dari kaleng cat pada

saat memasang bola lampu sekitar 1 setengah bulan SMRS. Pasien terjatuh

dengan posisi lengan bawah kiri menahan beban tubuh. Setelah terjatuh keluhan

tidak sadarkan diri, kejang, mual muntah disangkal. Pasien terdiagnosis patah

tulang lengan bawah kiri pada RSUD Dumai. Sebelum dibawa kerumah sakit

Dumai, pasien sempat berobat ke dukun patah tulang (bone setter) sebanyak dua

kali, dan tidak ada perbaikan. Semakin lama nyeri semakin hebat dan keluhan

kelemahan anggota gerak pada lengan bawah kiri mulai dirasakan. Pasien takut

memeriksakan diri ke dokter, sehingga pasien selalu menunda untuk

memeriksakan keluhannya. Seminggu terakhir nyeri dirasakan semakin memberat

dan terdapat kelemahan anggota gerak pada lengan kiri bawah. Pasien akhirnya

berobat ke RSUD Dumai dan didapatkan gambaran radiologi fraktur pada lengan

bawah kiri dan dirujuk ke RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau untuk penanganan

lebih lanjut.

Pada RSUD Arifin Achmad pasien terdiagnosa Neglected fracture

proximal ulna + dislocation radial head (Monteggia fraktur). Pada hasil

pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan pada 1/3 proksimal ulna sinistra disertai

kelemahan anggota gerak dan keterbatasan gerak sendi saat fleksi siku pronasi dan

supinasi, pada palpasi teraba caput radial pada fossa antecubital. Pada x-ray regio

ante brachii sinistra A/P dan lateral didapatkan fraktur ulna pada 1/3 proximal
pada diafisis komplit dengan konfigurasi transverse displaced kearah anterior

dengan dislokasi caput radii kearah anterior.

Tindakan operatif yang dilakukan untuk memperbaiki fraktur pada pasien

yaitu dengan cara terbuka melalui fiksasi internal/open reduction internal fixation

(ORIF) menggunakan plate dan screw pada 1/3 proksimal ulna dan menggunakan

k – ware pada 1/3 proksimal radial . Diharapkan dapat menstabilkan fraktur dan

dislokasi dan mempercepat penyembuhan sehingga tulang dapat menyatu

kembali. Tatalaksana pasca operasi yang dilakukan pada pasien yaitu pemasangan

gips, pemberian analgesic dan antibiotik, serta kontrol luka.


BAB V

PENUTUP

Fraktur atau patah tulang secara umum adalah terputusnya kontinuitas

tulang yang sebagian besar terjadi akibat trauma, namun juga dapat terjadi akibat

penyebab sekunder yaitu proses penyakit seperti osteoporosis yang menyebabkan

fraktur-fraktur patologis. Fraktur dideskripsikan berdasarkan lokasi, cakupan,

konfigurasi, hubungan antar fragmen, hubungan fraktur dengan lingkungan luar,

dan komplikasi yang terjadi.

Fraktur pada ulna 1/3 proksimal disertai dengan dislokasi caput radii lazim

disebut dengan fraktur Monteggia. Fraktur ekstremitas atas menempati posisi

kedua fraktur yang sering terjadi setelah fraktur ekstremitas bawah. Fraktur

Monteggia jarang terjadi hanya 13% dari seluruh kasus fraktur pada regio

antebrachii.

Penegakan diagnosis fraktur Monteggia meliputi hasil anamnesis,

pemeriksaan fisik dan radiografi, serta hasil laboratorium. Pasien dengan fraktur

Monteggia biasanya akan terdapat pembengkakan pada siku, deformitas, krepitasi,

serta rasa nyeri yang menyertai pergerakan dari siku terutama pada gerakan

supinasi dan pronasi, palpasi pada siku caput radii teraba di fossa antecubital

(Bado tipe 1, 4), di belakang (Bado tipe 2), dan lateral (Bado tipe 3). Pada foto

polos keadaan normal seharusnya garis khayal yang ditarik dari caput radii dan

shaft harus selalu sejajar dengan capitellum namun pada Monteggia fraktur caput

radii dapat berada pada anterior, posterior dan lateral. Tatalaksana fraktur
Monteggia dapat dilakukan secara konservatif dan operasi, tergantung pada usia

dan jenis fraktur yang dialami.


DAFTAR PUSTAKA

1. Sekaaram V, Ani LS. Prevalensi musculoskeletal disorders (MSDs) pada


pengemudi angkutan umum di terminal mengwi, kabupaten Badung-Bali.
Intisari Sains Medis. 2017;8(2):118-24.Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah
Orthopedi. Edisi ketiga. Jakarta; Yarsif Watampone: 2009.
2. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Edisi ketiga. Jakarta; Yarsif
Watampone: 2009.
3. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-De Jong.
4th ed. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2017.
4. Ropyanto C., R S, T E. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Status Fungsional Paska Open Reduction Internal Fixation (Orif) Fraktur
Ekstremitas. J Keperawatan Med Bedah. 2013;1(2):81-90.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKMB/article/view/1097
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2018. Published online 2018.
6. Rockwood, Wilkins. Fractures in children. 8th Ed. Wolters Kluwer Health;
2015
7. Purnomo E. Anatomi fungsional. Lintang pustaka utama; 2019
8. Ismono D. Jejak Bone Setter pada Negleted Fracture. Department of
Orthopaedic Surgery and Traumatology School of Medicine Padjadjaran
University [homepage on the Internet]. c2011 [updated 2011.
9. Oregon State University. Bone Structure. [diakses tanggal 14 november 2021]
Tersedia di: https://open.oregonstate.education/aandp/chapter/6-3-bone-
structure/
10. Maurice K. Fracture of the Shaft of the Humerus In: Primary Surgery Volume
Two: Trauma. Oxford University Press. 1997;233-5.
11. Moore KL, Dalley AF, Agur A. Clinically Orianted Anatomy. 8th ed.
Lippincott Williams and Wilkins; 2017.
12. Asrizal RA. Closed Fracture 1/3 Middle Femur Dextra. Medula.
2014;2(3):94-100.
13. Alaydrus MM. Fraktur Monteggia: Tantangan Klinisi dalam Menghadapi
Fraktur Dislokasi yang Sering Misdiagnosis. Jurnal Kedokteran. 2017 Jun
28;6(2):25-.
14. Ridwan UN, Pattiiha AM, Selomo PAM. The Characteristic Of Lower
Extremity Fracture Case In The Year 2018 In Dr. H. Chasan Boesoirie
Ternate Regional General Hospital. Kieraha Medical Journal. 2019; 1 (1):9.
15. Eathiraju S, Mudgal CS, Jupiter JB. Monteggia fracture-dislocations. Hand
clinics. 2007 May 1;23(2):165-77.
16. Salter RB. Fractures and Joint Injuries-General Features. In: Textbook of
Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System. 3rd ed. Lippincott
Williamns & Wilkins; 2008:417.
17. Egol K. Handbook of Fractures.
18. Oryan A, Monazzah S, Bigham-Sadegh A. Bone injury and fracture healing
biology. Biomed Environ Sci. 2015;28(1):57-71. doi:10.3967/bes2015.006
19. Ramisetty NM, Revell M, Porter KM, Greaves I. Monteggia fractures in
adults. Trauma. 2004 Jan;6(1):13-21.
20. Beutel BG. Monteggia fractures in pediatric and adult populations.
Orthopedics. 2012 Feb 1;35(2):138-44.
21. Solomon L, Warwick D, Nayagam S, editors. Apley's system of orthopaedics
and fractures. CRC press; 2010 Aug 27.
22. Siebenlist S, Buchholz A, Braun KF. Fractures of the proximal ulna: current
concepts in surgical management. EFORT open reviews. 2019 Jan;4(1):1-9.
23. Rasjad C. Pengantar Ilmu Bedah Orthopedi. Edisi ketiga. Jakarta; Yarsif
Watampone: 2009.

Anda mungkin juga menyukai