Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

HIFEMA
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:

Farah Maulida Marta


1907101030061

Pembimbing:
dr. Firdalena Meutia, M.Kes., Sp.M

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji bagi Allah tuhan semesta alam atas rahmat dan
kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus
dengan judul “Hifema”. Shalawat serta salam kepada baginda Nabi Muhammad
SAW sebagai suri tauladan dan rahmat untuk semesta alam yang telah membawa
banyak perubahan terutama dalam bidang akhlak dan ilmu pengetahuan
Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas dalam
menjalani Kepaniteraan Klinik pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Mata RSUD dr.
Zainoel Abidin Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.
Penghormatan penulis dan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada
dr. Firdalena Meutia, M.Kes., Sp.M yang telah bersedia meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis juga
berterimakasih kepada seluruh teman-teman yang telah berpartisipasi ikut
membantu hingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.
Pada akhirnya penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat
bagi pembacanya terutama dalam pengembangan ilmu di bidang kedokteran.
Semoga Allah selalu memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, 21 Juni 2021

Farah Maulida Marta

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................3
2.1 Anatomi Mata..........................................................................................3
2.2 Vaskularisasi Bola Mata.........................................................................5
2.3 Definisi......................................................................................................7
2.4 Epidemiologi............................................................................................7
2.5 Faktor Risiko...........................................................................................8
2.6 Patofisiologi..............................................................................................9
2.7 Diagnosis Banding.................................................................................11
2.8 Diagnosis.................................................................................................11
2.8 Penatalaksanaan....................................................................................13
2.11 Komplikasi.............................................................................................16
2.12 Prognosis................................................................................................17
BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................18
1.1 Identitas Pasien......................................................................................18
1.2 Anamnesis..............................................................................................18
1.2.1 Keluhan Utama..........................................................................18
1.2.2 Keluhan Tambahan...................................................................18
1.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang......................................................18
1.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu..........................................................18
1.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga......................................................18
1.2.6 Riwayat Pemakaian Obat..........................................................18
1.2.7 Riwayat Kebiasaan Sosial.........................................................19
1.3 Pemeriksaan Fisik.................................................................................19
1.3.1 Tanda Vital.................................................................................19
1.3.2 Pemeriksaan Fisik Khusus Mata..............................................19
1.4 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................21
1.5 Resume...................................................................................................21
1.6 Diagnosa.................................................................................................22
1.7 Terapi.....................................................................................................22
1.8 Prognosis................................................................................................22
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................23
BAB V KESIMPULAN.......................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

3
BAB I
PENDAHULUAN

Hifema merupakan keadaan dimana terdapat akumulasi darah didalam


segmen anterior mata yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek
pembuluh darah iris atau korpus siliaris. Robeknya pembuluh darah iris atau
korpus siliaris menyebabkan perdarahan dan bercampur dengan humor aqueus
yang jernih.1
Insidensi kejadian hifema traumatis adalah 12 dari 100.000, dengan 70%
biasa terjadi pada anak-anak. Hifema paling sering terjadi pada laki-laki berusia
10 hingga 20 tahun dan biasanya terjadi karena cedera saat olahraga atau akibat
permainan. Anak-anak biasanya terluka akibat olahraga yang berhubungan dengan
bola seperti bisbol, bola basket, softball dan sepak bola ketika bola mengenai
permukaan anterior mata. Remaja dan orang dewasa lebih sering terluka akibat
pukulan keras pada mata. Penyebab lainnya termasuk akibat senjata paintball,
senjata airsoft dan pengembangan airbag pada kendaraan.2 Data mengenai
prevalensi hifema di Indonesia masih sangat terbatas. Pada sebuah penelitian yang
dilakukan pada tahun 2016, didapatkan prevalensi kasus hifema traumatika yang
trejadi sebesar 6,58% diantra 61 kasus akibat trauma mata di RSUP Dr. M. Djamil
Padang.3
Penyebab paling sering adalah trauma tumpul. Namun Hifema juga dapat
terjadi secara spontan, akibat adanya penyakit intraokuler, misalnya pada kondisi
rubeosis iridis (biasanya pada penderita retinopati diabetes, central retinal vein
occlusion, carotid occlusive disease), tumor intra okular, tumor iris (juvenile
xanthogranuloma), keratouveitis (herpes zoster), leukemia, hemofilia, dan dapat
juga terjadi karena penggunaan anti platelet (aspirin, warfarin).2,4
Menegakkan diagnosis hifema berdasarkan anamnesis akan didapatkan
riwayat trauma pada mata dengan gejala umum berupa nyeri pada mata, mata
berair, kadang disertai gangguan penglihatan. Selain itu pada pemeriksaan
oftalmologi ditemukan adanya gambaran perdarahan pada segmen anterior mata
dan tanda-tanda iritasi pada mata.5
Komplikasi dari hifema traumatika ini antara lain adalah peningkatan
tekanan intra okuler, sinekia anterior/posterior, katarak, corneal blood staining,

1
perdarahan sekunder dan banyak lagi kelainan intra okuler yang dapat
ditimbulkannya. Oleh karena hifema dapat menyebabkan berbagai komplikasi
yang dapat mengakibatkan kerusakan serius pada mata, maka setiap dokter harus
memperhatikan diagnosis, evaluasi dan tatalaksana awal pada hifema untuk
mencegah komplikasi sehingga prognosis hifema dapat lebih baik.4

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Gambar 1. Anatomi Mata6


Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga
lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan–lapisan tersebut adalah: sklera/kornea,
koroid/badan siliaris/iris, dan retina. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan
ikat yang protektif dan kuat di sebelah luar, sklera, yang membentuk bagian putih
mata.7
Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun terpisah oleh
selubung fascia bola mata. Bola mata berbentuk bulat dengan panjang maksimal
24 mm. Bola mata yang bagian depan (kornea) mempunyai kelengkungan yang
lebih tajam sehingga terdapat bentuk dengan 2 kelengkungan yang berbeda. Bola
mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu:7

3
1. Tunica Fibrosa
Tunica fibrosa terdiri atas bagian posterior yang opak atau sklera dan bagian
anterior yang transparan atau kornea. Sklera merupakan jaringan ikat padat fibrosa
dan tampak putih. Sklera juga ditembus oleh n. ciliaris dan pembuluh balik yang
terkait yaitu v.vorticosae. Sklera langsung tersambung dengan kornea di depannya
pada batas limbus. Kornea yang transparan, mempunyai fungsi utama
merefraksikan cahaya yang masuk ke mata. Tersusun atas lapisan-lapisan berikut
ini dari luar ke dalam adalah: (1) epitel kornea (epithelium anterius) yang
bersambung dengan epitel konjungtiva (2) substansia propria, terdiri atas jaringan
ikat transparan (3) lamina limitans posterior dan (4) endothel (epithelium
posterius) yang berhubungan dengan aqueous humour.7
2. Lamina Vasculosa
Dari belakang ke depan disusun oleh: (1) choroidea (terdiri atas lapis luar
berpigmen dan lapis dalam yang sangat vaskular) (2) corpus ciliare (ke belakang
bersambung dengan choroidea dan ke anterior terletak di belakang tepi perifer
iris) terdiri atas corona ciliaris, procesus ciliaris dan musculus ciliaris (3) iris
(adalah diafragma berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan lubang di pusatnya
yaitu pupil). Iris membagi ruang diantara lensa dan kornea menjadi bilik mata
depan dan bilik mata belakang, serat- serat otot iris bersifat involunter dan terdiri
atas serat-serat sirkuler dan radier.7
3. Tunica Sensoria (Retina)
Retina terdiri atas pars pigmentosa luar dan pars nervosa di dalamnya.
Permukaan luarnya melekat pada choroidea dan permukaan dalamnya berkontak
dengan corpus vitreum dan tiga perempat posterior retina merupakan organ
reseptor. Ujung anterior membentuk cincin berombak, yaitu ora serrata, di tempat
inilah jaringan syaraf berakhir. Bagian anterior retina bersifat non-reseptif dan
hanya terdiri atas sel-sel pigmen dengan lapisan epitel silindris di bawahnya.
Bagian anterior retina ini menutupi procesus ciliaris dan bagian belakang iris.7

4
Gambar 2. Segmen Anterior Mata

2.2 Vaskularisasi Bola Mata


Pemasok utama orbita dan bagian-bagiannya berasal dari arteri ophtalmica,
yaitu cabang besar pertama arteri karotis interna bagian intrakranial. Cabang ini
berjalan di bawah nervus optikus dan bersamanya melewati kanalis optikus
menuju ke orbita. Cabang intraorbital pertama adalah arteri sentralis retina, yang
memasuki nervus optikus sebesar 8-15 mm di belakang bola mata. Cabang-
cabang lain arteri oftalmika adalah arteri lakrimalis, yang memvaskularisasi
glandula lakrimalis dan kelopak mata atas, cabang- cabang muskularis ke berbagai
otot orbita, arteri siliaris posterior longus dan brevis, arteri palpebra medialis ke
kedua kelopak mata, dan arteri supra orbitalis serta supra troklearis. Iris sendiri
diperdarahi oleh kompleks antara 2 arteri siliar posterior dan 7 arteri siliar
anterior. Arteri ini akan berabung membentuk greater arterial circle of iris dan
kemudian memperdarahi iris dan badan silier.7

5
Gambar 3. Vaskularisasi arteri pada mata.
Cabang arteri utama pada mata berasal dari arteri oftalmika dan drainase vena
melalui sinus kavernosus dan pleksus pterigoid.6
Drainase utama vena-vena di orbita melalui vena oftalmika superior dan
inferior, yang juga menampung darah dari vena verticoasae, vena siliaris anterior,
dan vena sentralis retina. Vena oftalmika berhubungan dengan sinus kavernosus
melalui fisura orbitalis superior dan dengan pleksus venosus pterigoideus melalui
fisura orbitalis inferior.7

6
2.3 Definisi
Hifema didefinisikan sebagai akumulasi sel darah merah di ruang anterior
mata.2 Hifema akan terlihat baik pada pemeriksaan langsung atau melalui
pemeriksaan slit-lamp. Darah terakumulasi dari pembuluh iris atau badan siliaris
yang biasanya disebabkan oleh trauma atau terdapat kondisi medis yang
mennyertainya.

Gambar 4. Hifema
Bilik anterior mata adalah area yang dibatasi oleh kornea di bagian anterior,
uvea di bagian lateral, serta lensa dan iris di bagian posterior. Ruang ini biasanya
berisi aquous humor yang jernih, yang diproduksi oleh badan siliaris dan dialirkan
melalui Kanalis Schlemm. Uvea merupakan lokasi anatomis yang penting karena
di sinilah jaringan trabekular dan Kanalis Schlemm berada. Penyumbatan pada
uvea akan menghambat drainase aquous sehingga dapat memicu terjadinya
peningkatan tekanan intraokular.2

2.4 Epidemiologi
Epidemiologi hifema di dunia mencapai 17 per 100.000 penduduk dengan
puncak usia 10-20 tahun. Insidensi kejadian hifema dari berbagai penyebab
diperkirakan 17 per 100.000 penduduk. Sebagian besar disebabkan oleh karena
trauma tumpul, yaitu sekitar 12 per 100.000 penduduk. Trauma langsung pada
daerah mata yang menyebabkan hifema traumatik terjadi akibat pukulan dengan
energi tinggi (61-66%), trauma proyektil (20,2-36%), atau trauma sekunder akibat
ledakan (2-3%). Sekitar 70% hifema traumatik terjadi pada anak-anak dengan usia
puncak 10-20 tahun.2,9,10 Data mengenai prevalensi hifema di Indonesia masih
sangat terbatas. Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 2016,

7
didapatkan prevalensi kasus hifema traumatika yang trejadi sebesar 6,58% diantra
61 kasus akibat trauma mata di RSUP Dr. M. Djamil Padang.3
Hifema tidak dapat menyebabkan kematian, namun dapat menyebabkan
penurunan penglihatan, terutama pada hifema yang tidak tertata laksana dengan
baik. Sekitar 14% pasien hifema yang tidak tertata laksana akan mengalami
kehilangan penglihatan.10 Kehilangan penglihatan juga merupakan komplikasi
yang dapat terjadi pada pasien dengan mata merah.

2.5 Faktor Risiko 


Etiologi penyebab hifema adalah trauma dan hifema spontan akibat
beberapa kondisi medis yang mendasari. Etiologi paling sering penyebab hifema
adalah trauma tumpul pada mata. Namun, trauma penetrasi dan hifema spontan
juga dapat terjadi. Trauma umumnya terjadi akibat benda yang berukuran lebih
kecil dibandingkan ukuran mata, misalnya bola golf, batu kerikil, peluru paintball,
tetapi dapat juga terjadi akibat benda berukuran lebih besar, misalnya terkena bola
sepak. Hifema juga dapat terjadi akibat jatuh.2
Pada hifema spontan, terjadi robekan pembuluh darah secara spontan akibat
kondisi medis yang mendasari. Contoh kondisi medis yang dapat menyebabkan
peningkatan risiko terjadinya hifema spontan adalah leukemia, hemofilia, Von
Willebrand disease, penyakit sel sabit, dan penggunaan obat-obatan antikoagulan,
seperti warfarin atau heparin.2,11
Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian hifema adalah:11
 Diabetes Mellitus
Adanya neovaskularisasi pada mata akibat komplikasi mikrovaskular pada
pasien diabetes dapat meningkatkan risiko terjadinya hifema spontan.
 Operasi Mata
Adanya operasi pada mata dapat meningkatkan risiko terjadinya hifema,
hifema dapat terjadi intraoperatif, atau dapat terjadi setelah beberapa minggu
setelah operasi.
 Hipertensi
Hipertensi dapat meningkatkan risiko terjadinya peningkatan tekanan
intraokular sehingga risiko hifema spontan dapat meningkat.

8
 Tumor Mata
Adanya tumor pada daerah mata dapat meningkatkan risiko hifema spontan
akibat adanya neovaskularisasi atau kelemahan pembuluh darah mata sekitar.

2.6 Patofisiologi
Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata yang disertai peregangan
limbus dan perubahan pada iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan tekanan
intraokuler secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada bilik
mata. Perdarahan terjadi karena adanya robekan pembuluh darah, antara lain
arteri-arteri utama dan cabang dari korpus siliaris, arteri koroidalis, dan vena-vena
korpus siliaris.7,9

Gambar 5. Mekanisme Trauma Tumpul Pada Mata Yang Menyebabkan Hifema12


Inflamasi hebat pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga
menyebabkan perdarahan pada COA. Trauma tumpul dapat merobek pembuluh
darah iris atau korpus siliaris. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah
iris dan merusak sudut COA. Tetapi dapat pula terjadi secara spontan atau pada
patologi vaskuler okuler. Darah ini dapat bergerak dalam ruang COA, memenuhi
permukaan dalam kornea.7
Perdarahan pada segmen anterior mengakibatkan teraktivasinya mekanisme
hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokuler, spasme pembuluh
darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme hemostatis yang akan
menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari segmen anterior ke
bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya berlangsung 4-7 hari. Setelah itu
fibrinolisis akan terjadi. Plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator
kaskade koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang
sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuan darah, bersama
dengan sel darah merah dan debris akan keluar dari segmen anterior menuju
jalinan trabekular dan aliran uveaskleral.7

9
Perdarahan dapat terjadi segera setelah trauma yang disebut perdarahan
primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder
biasanya timbul pada hari ke-5 setelah trauma. Perdarahan biasanya lebih hebat
daripada yang primer. Oleh karena itu pasien hifema harus dirawat sedikitya 5
hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena reabsorpsi dari bekuan
darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tidak mendapat waktu yang
cukup untuk regenerasi kembali.7
Hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah merah melalui sudut
COA menuju kanal schlemm sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui
permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik
di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk
hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke
dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi berwarna kuning dan disebut
hemosiderosis atau imbibisi kornea, yang hanya dapat diterapi dengan
keratoplasti. Imbibisi kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh
disertai glaukoma.9
Hifema memiliki beberapa temuan klinis yang berkaitan, seperti resesi sudut
mata, iritis traumatik, miosis, atau midriasis. Resesi sudut mata dapat terjadi pada
85% pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder
dikemudian hari. Resesi sudut mata menunjukkan terpisahnya serat longitudinal
dan sirkular dari otot siliaris, yang dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata.
Iritis traumatik, dengan sel-sel radang dengan segmen anterior, dapat ditemukan
pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun
darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi
endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis
dapat ditemukan pada 10% kasus. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah
siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn.
Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan vitreus, jejas retina
(edema, perdarahan dan robekan) dan ruptur koroid. Atropi papil dapat terjadi
akibat peninggian tekanan intraokular.7

10
2.7 Diagnosis Banding
1. Xanthogranuloma Juvenil
Penyakit ini merupakan gangguan dermatologis yang dapat melibatkan
daerah okular. Traktus uveal merupakan tempat yang paling sering mengalami
gangguan. Lesi okular biasanya ditemukan secara insidental atau ketika terjadi
hifema spontan. Penyakit ini sangat jarang ditemukan.1
2. Melanoma
Melanoma pada iris dan badan siliar dapat mengakibatkan penurunan lapang
pandang, nyeri pada daerah okular dan floaters. Floaters disebabkan oleh adanya
nekrosis di dalam tumor atau struktur yang berdekatan dengan tumor sehingga
menyebabkan perdarahan vitreous atau hifema.1
3. Keratokonjungtivitis Atopik
Pasien dengan keratokonjungtivitis atopik biasanya datang dengan keluhan
mata merah, penurunan lapang pandang, fotofobia dan ada rasa gatal pada mata.
Terdapat riwayat alergi atau atopi, seperti dermatitis, asma, dan/atau rhinitis.1

2.8 Diagnosis
Diagnosis hifema ditegakkan berdasarkan riwayat mata merah dengan
penurunan penglihatan tiba-tiba serta pemeriksaan mata dengan slit lamp.
1. Anamnesis
Pada anamnesis, pasien biasanya datang dengan keluhan penurunan
penglihatan secara tiba-tiba yang diikuti dengan riwayat trauma pada mata.
Penurunan penglihatan bergantung pada level hifema. Tajam penglihatan biasanya
akan memburuk apabila pasien dalam posisi supinasi dan akan membaik apabila
dilakukan elevasi kepala. Pasien juga dapat mengeluh adanya nyeri tumpul pada
daerah sekitar mata yang dapat disebabkan oleh karena peningkatan tekanan
intraokular.10,11
Dokter perlu menanyakan riwayat kondisi medis pasien yang mengalami
hifema tanpa didahului trauma pada mata. Tanyakan riwayat diabetes, hipertensi,
tumor mata, gangguan pembekuan darah, penyakit yang sedang dialami
(leukemia, hemofilia atau penyakit sel sabit).2,11

11
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan mata secara menyeluruh perlu dilakukan terutama jika hifema
disebabkan oleh trauma:
 Tanda-tanda trauma okular dan adneksa: menilai ada tidaknya trauma
sebagai penyebab hifema
 Fungsi pupil: abnormalitas pupil mengarah pada adanya fraktur dasar
orbita
 Pergerakan mata: pergerakan mata yang abnormal mengarah pada fraktur
orbita dengan otot orbital terperangkap di antara fraktur
 Posisi bola mata dan tajam penglihatan: menilai tingkat keparahan trauma
yang terjadi
Pada hifema akibat trauma, perlu dilakukan evaluasi apakah terdapat kemosis dan
perdarahan konjungtival untuk melihat kemungkinan ruptur skleral.2,11
Apabila secara pemeriksaan langsung tidak ditemukan adanya akumulasi
darah, pemeriksaan slit lamp dapat dilakukan untuk melihat apakah terdapat
mikrohifema, yaitu adanya sirkulasi sel darah merah pada ruang anterior mata.
Pemeriksaan dengan tes fluorescein juga perlu dilakukan untuk menilai apakah
terdapat abrasi kornea.2,11

Gambar 8. Grade pada Hifema13

12
Derajat beratnya hifema terbagi menjadi empat klasifikasi berdasarkan
tampilan klinis, yaitu:11
1. Derajat 1, darah menutupi <1/3 ruang anterior mata
2. Derajat 2, darah menutupi 1/3 sampai ½ ruang anterior mata
3. Derajat 3, darah menutupi >1/2 ruang anterior mata
4. Derajat 4, darah menutupi seluruh ruang anterior, disebut
juga blackball  atau 8-ball hyphema
Selain pemeriksaan mata pada bagian anterior, sebaiknya dilakukan pula
pemeriksaan pada tekanan intraokular dan funduskopi. Pemeriksaan tekanan
intraokular perlu dilakukan karena adanya risiko glaukoma sebagai komplikasi
hifema. Pemeriksaan fundus dilakukan untuk melihat apakah ada keterlibatan
segmen posterior akibat trauma seperti robekan pada retina.2
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk hifema adalah
pemeriksaan laboratorium, CT scan orbita dan ultrasonografi orbita.
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap dan profil koagulasi diperlukan pada pasien yang
mengalami hifema spontan dengan riwayat gangguan pembekuan darah atau
penggunaan obat-obat antikoagulan. Pemeriksaan sel darah tepi juga
dibutuhkan untuk melihat kemungkinan penyakit sel sabit.2
 CT Scan Orbita
Dilakukan pada pasien dengan riwayat trauma terbuka, benda asing
intraokular, atau dicurigai mengalami fraktur orbita.2
 Ultrasonografi (USG) Orbita
USG Orbita dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat dislokasi lensa,
benda asing intraokular, robekan retina, atau perdarahan vitreous posterior.2

2.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan hifema adalah mencegah terjadinya
komplikasi, terutama glaukoma. Tirah baring, penggunaan eye patching, obat-
obatan topikal, serta tindakan bedah dapat diberikan sesuai dengan derajat hifema.
Penyakit ini merupakan kegawatdaruratan medis yang harus ditangani segera
supaya tidak terjadi kehilangan penglihatan.

13
 Berobat Jalan
Mikrohifema dapat ditata laksana dengan rawat jalan, kecuali terjadi
perdarahan sekunder atau peningkatan tekanan intraokular. Pasien dengan hifema
derajat 1 juga tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Dokter akan
memberikan saran untuk melakukan tirah baring dengan elevasi kepala agar
daram masuk ke lapisan inferior dan diserap oleh tubuh.2,11 Eye patching dengan
pelindung metal perlu dipasang pada mata untuk membantu penyembuhan
hifema. Patching dapat meningkatkan kenyamanan pasien dan imobilisasi untuk
mencegah terjadinya abrasi kornea.2,11
 Medikamentosa
Obat yang dapat diberikan untuk hifema adalah golongan midriatik dan
sikloplegik, agen antifibrinolitik, kortikosteroid topikal, serta medikasi
antiglaukoma.
1. Midriatik dan Sikloplegik
Penggunaan agen sikloplegik, seperti atropine topikal, dapat membantu
mengurangi risiko keterlibatan synechiae posterior. Beberapa teori juga
menyatakan adanya manfaat dalam menurunkan risiko perdarahan sekunder dari
iris atau badan siliar, meningkatkan aliran uveoskleral, dan mencegah
pembentukan synechia posterior. Rekomendasi penggunaan adalah atropin sulfat
tetes mata diberikan 3 kali dalam sehari selama 2 minggu. Walaupun demikian,
bukti klinis dari berbagai studi menyatakan penggunaan midriatik atau sikloplegik
tidak efektif dalam meningkatkan tajam penglihatan atau mencegah kemungkinan
komplikasi perdarahan ulang.2,11
2. Agen Antifibrinolitik
Agen antifibrinolitik seperti asam traneksamat dan aminocaproic
acid (ACA) sudah terbukti dapat menurunkan risiko komplikasi perdarahan ulang
setelah hifema. Rekomendasi penggunaan ACA adalah ACA topikal tetes mata 1
tetes setiap 4 jam pada mata yang mengalami hifema selama 5 hari. ACA topikal
lebih dipilih dibandingkan dengan ACA oral karena tidak menyebabkan efek
samping, seperti nausea, muntah, dan hipotensi. Namun, penggunaan ACA
kontraindikasi pada ibu hamil, disfungsi renal atau hati, dan pasien dengan risiko
tromboembolik tinggi.2,11

14
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal juga digunakan untuk mencegah terjadinya
perdarahan ulang. Kortikosteroid dapat menjaga stabilisasi blood-ocular barrier,
dan menurunkan influks plasminogen ke ruang anterior mata. Adanya aktivitas
antiinflamasi pada kortikosteroid dapat mencegah terjadinya pembentukan sinekia
posterior. Namun, penggunaan steroid topikal hanya diberikan selama beberapa
hari saja bukan untuk penggunaan jangka panjang karena dapat menyebabkan
risiko glaukoma akibat steroid.2,11
4. Medikasi Antiglaukoma
Apabila pada pemeriksaan didapatkan adanya peningkatan tekanan
intraokular (>24 mmHg) dapat diberikan beta blocker topikal, seperti
metilpranolol dan timolol, serta inhibitor karbonat anhidrasi oral,
seperti acetazolamide dan dorzolamide.11
 Pembedahan
Berdasarkan data yang ada, sekitar 5-7% pasien dengan hifema memerlukan
tindakan pembedahan. Pasien dengan hifema derajat 4 memerlukan tindakan
pembedahan sesegera mungkin. Indikasi klinis untuk evakuasi surgikal adalah
peningkatan tekanan intraokular yang menetap, corneal blood staining, dan
hifema derajat tinggi.2,11
Read and Goldberg merekomendasikan evakuasi surgikal bila salah satu
kriteria di bawah ini:11
1. Tekanan intraokular lebih dari 60 mmHg selama 2 hari (untuk mencegah
optik atrofi)
2. Tekanan intraokular lebih dari 24 mmHg selama 24 jam pertama atau
terdapat peningkatan tekanan intraokular berulang lebih dari 30 mmHg pada
penyakit sel sabit
3. Tekanan intraokular lebih dari 25 mmHg dengan hifema total selama  5
hari (mencegah corneal blood staining)
4. Terdapat corneal blood staining pada pemeriksaan mikroskopik
5. Hifema hanya berkurang <50% selama 8 hari.
Tindakan surgikal yang paling sering dilakukan adalah parasentesis limbal
dengan drainase. Tindakan ini menggunakan jarum dengan ukuran 27 Gauge

15
untuk mengambil darah cair dari ruang anterior sehingga tekanan intraokular dan
aliran aqueous dapat kembali normal. Tindakan trabekulektomi dan iridektomi
dapat dikerjakan untuk mengeluarkan bekuan darah pada hifema derajat berat.2,11
 Follow Up
Pasien dengan hifema derajat berat atau memiliki risiko tinggi untuk
perdarahan ulang perlu dilakukan pemeriksaan setiap hari dan pengawasan secara
ketat.  Pada pasien rawat jalan, follow up dilakukan pada hari ke-2 dan ke-7
setelah penatalaksanaan hifema untuk melihat kemungkinan komplikasi atau
apakah ada indikasi untuk melakukan tindakan bedah.2,11

2.11 Komplikasi
Hifema sering disertai dengan kelainan lain, antara lain: iridodialsis,
siklodialisis, iritis traumatika, glaukoma skunder, edema kornea, subluksasi lensa,
komosio retina, perdarahan vitreus, dan lain-lain. Kelainan-kelainan tersebut harus
diwaspadai dalam tata laksana hifema. Komplikasi akut pada hifema adalah
hipertensi intraokular akut dan perdarahan ulang. Hipertensi intraokular akut
adalah komplikasi yang paling mungkin ditemui karena darah yang berada di
lapisan bilik mata depan, dapat menghalangi trabekula untuk mengalirkan cairan
aquous humor dan darah secara adekuat. Hifema ukuran berapapun dapat disertai
dengan peningkatan TIO. Sekitar 32% dari semua kasus hifema akan mengalami
peningkatan TIO di atas 22 mmHg pada suatu titik dalam perjalanan penyakit.2
Sebagian besar dari kasus hifema traumatika menghilang dalam waktu
seminggu tanpa gejala sisa. Namun, perdarahan sekunder dapat terjadi pada hari
ketiga sampai kelima pasca trauma dan dapat meningkatkan risiko kehilangan
penglihatan permanen. Perdarahan sekunder bisa terjadi akibat pelarutan
prematur sumbatan hemostatik oleh enzim fibrinolitik sebelum terjadi
penyembuhan yang adekuat.1,2 
Corneal blood staining merupakan komplikasi yang jarang terjadi namun
dapat terjadi terjadi pada pasien dengan hifema total yang kronik. Berdasarkan
penelitian, dari 289 pasien ditemukan bahwa 2,1% dari hifema berkembang
menjadi corneal blood staining dan hal ini hanya terjadi pada pasien dengan
hifema total. Tatalaksana yang direkomendasikan untuk pencegahan corneal
blood staining adalah pembersihan ruang anterior.2

16
2.12 Prognosis
Sebagian besar pasien akan pulih sepenuhnya tanpa penyulit namun
komplikasi lebih sering muncul pada mereka dengan komorbiditas seperti sel sabit
dan dengan peningkatan ukuran hifema. Misalnya, peningkatan tekanan
intraokular terlihat pada 13,5% hifema derajat I sampai II; sedangkan, ada risiko
52% dengan hifema derajat IV. Prognosis untuk penglihatan normal juga
dipengaruhi oleh derajat hifema. Hifema derajat I memiliki tingkat penglihatan
normal sekitar 90%; sedangkan, grade IV hanya memiliki prognosis 50% hingga
75% untuk penglihatan normal. Penyebab paling umum untuk gangguan
penglihatan adalah corneal blood staining dimana memiliki prognosis buruk
untuk hifema tingkat tinggi.2
Prognosis untuk pemulihan penglihatan pada hifema berhubungan dengan
beberapa faktor, yaitu:1
1. Kerusakan pada struktur okular lain, seperti robekan pada koroid, jaringan
parut pada makula.
2. Perdarahan sekunder.
3. Komplikasi seperti glaukoma, corneal blood staining atau terjadi optik atrofi.

17
BAB III
LAPORAN KASUS

I.1 Identitas Pasien


Nama : Ahmad Daffa
Umur : 8 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Montasik, Aceh Besar
Tanggal pemeriksaan : 27 Mei 2021
No RM : 1-27-55-66

I.2 Anamnesis
I.2.1 Keluhan Utama
Nyeri pada mata sebelah kiri.
I.2.2 Keluhan Tambahan
Penglihatan kabur, mata kemerahan dan mengeluarkan air mata berlebihan
pada mata sebelah kiri.
I.2.3 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD dibawa oleh orang tua dengan keluhan nyeri pada
mata sebelah kiri setelah terkena peluru pistol mainan yang berbentuk bulat
dengan ukuran diameter 0,5 cm yang ditembakkan oleh temannya, kejadian
tersebut terjadi 1 jam SMRS. Keluhan nyeri disertai penglihatan kabur, mata
kemerahan dan mata kiri mengeluarkan air mata berlebihan. Keluhan tidak
disertai dengan adanya mual muntah dan nyeri kepala serta riwayat demam
disangkal.
I.2.4 Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat penyakit mata seperti ini sebelumnya.
Riwayat operasi mata sebelumnya tidak ada. Riwayat penggunaan kacamata (-),
riwayat diabetes mellitus dan hipertensi (-).
I.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan yang sama.
I.2.6 Riwayat Pemakaian Obat
Tidak ada.

18
I.2.7 Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien merupakan seorang pelajar.

I.3 Pemeriksaan Fisik


I.3.1 Tanda Vital
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respirasi : 22 x/menit
Temperatur : 36oC
I.3.2 Pemeriksaan Fisik Khusus Mata (Lokak pada Mata)

Pemeriksaan Okuli Dekstra (OD) Okuli Sinistra (OS)

Visus 6/60 6/60


Supra cilia    
Madarosis Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Palpebra superior    
Edema Tidak ada Ada
Spasme Tidak ada Tidak ada
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Entropion Tidak ada Tidak ada
Ektropion Tidak ada Tidak ada
Benjolan Tidak ada Tidak ada
Palpebra inferior    
Edema Tidak ada Tidak ada
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Enteropion Tidak ada Tidak ada
Ekteropion Tidak ada Tidak ada
Benjolan Tidak ada Tidak ada
Pungtum lakrimalis    
Pungsi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Benjolan Tidak ada Tidak ada
Konjungtiva palpebra superior    

19
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Folikel Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Benjolan Tidak ada Tidak ada
Sekret Tidak ada Tidak ada
Papil Tidak ada Tidak ada
Konjungtiva palpebra inferior    
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Folikel Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Benjolan Tidak ada Tidak ada
Konjungtiva bulbi    
Kemosis Tidak ada Tidak ada
Injeksi Konjungtiva Tidak ada Ada
Injeksi Silier Tidak ada Ada
Perdarahan di bawah konjungtiva Tidak ada Tidak ada
Pterigium Tidak ada Tidak ada
Pinguecula Tidak ada Tidak ada
Sklera    
Warna Normal Normal
Pigmentasi Tidak ada Tidak ada
Limbus    
Arkus senilis Tidak ada Tidak ada
Kornea    
Edema Tidak ada Tidak ada
Infiltrat Tidak ada Tidak ada
Ulkus Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Bilik Mata Depan    
Kedalaman Dalam Dalam
Hifema Tidak ada < 1/3 COA
Hipopion Tidak ada Tidak ada
Iris/Pupil    

20
Refleks cahaya langsung (+) (+)
Refleks cahaya tidak langsung (+) (+)
Lensa  
Kejernihan Jernih Jernih
Dislokasi/subluksasi Tidak ada Tidak ada
Pergerakan bola mata Dalam batas normal Dalam batas normal

I.4 Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada.

I.5 Resume
Pasien datang ke IGD dibawa oleh orang tua dengan keluhan nyeri pada
mata sebelah kiri setelah terkena peluru pistol mainan yang berbentuk bulat
dengan ukuran diameter 0,5 cm yang ditembakkan oleh temannya, kejadian
tersebut terjadi 1 jam SMRS. Keluhan nyeri disertai penglihatan kabur, mata
kemerahan dan mata kiri mengeluarkan air mata berlebihan. Keluhan tidak
disertai dengan adanya mual muntah dan nyeri kepala serta riwayat demam
disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit mata seperti ini sebelumnya.
Riwayat operasi mata sebelumnya tidak ada. Riwayat penggunaan kacamata (-),
riwayat diabetes mellitus dan hipertensi (-). Mata kanan tidak memiliki keluhan.
Pasien sebelumnya belum pernah berobat.
PEMERIKSAAN LOKAL
OD Pemeriksaan OS
6/60 Visus 6/60
Tenang Palpebra Edema
Tenang Konjungtiva Injeksi konjungtiva (+),
injeksi siliar (+)
Jernih Kornea Jernih
Dalam Bilik Mata Depan Dalam, Bekuan darah
< 1/3 COA
Bulat, reguler Iris Bulat, sentral
Refleks cahaya (+) Pupil Refleks cahaya (+)
Jernih Lensa Jernih

I.6 Diagnosa
Hifema Traumatika Grade I Okuli Sinistra

21
I.7 Terapi
 Bedrest posisi semi-fowler (Elevasi kepala 45o)
 Kompres hangat pada mata sebelah kiri
 Transamin (Asam Traneksamat) 3x125mg/hari IV
 Metylprednisolon 3x4mg/hari PO
 Cendo Xitrol (Dexamethason 1%) Eyedrop 6x1gtt OS
 Cendo Midriatil (Tropicamide 1%) Eyedrop 3x1gtt OS

I.8 Prognosis
Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam

I.9 Foto Klinis

22
BAB IV
ANALISA KASUS

Pasien merupakan seorang anak laki-laki berusia 8 tahun yang dirawat di


RSUDZA tanggal 27 Mei 2021 dengan diagnosis hifema traumatika grade I okuli
sinistra. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik pada
mata.
Berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan nyeri pada mata sebelah kiri
setelah terkena peluru pistol mainan yang berbentuk bulat dengan ukuran diameter
0,5 cm yang ditembakkan oleh temannya, kejadian tersebut terjadi 1 jam SMRS.
Keluhan nyeri disertai penglihatan kabur, mata kemerahan dan mata kiri
mengeluarkan air mata berlebihan. Keluhan nyeri pada mata seblah kiri
disebabkan mekanisme trauma yang mengenai sel-sel saraf nyeri pada mata kiri
pasien. Kemungkinan penyebab nyeri mata sebelah kiri pada pasien ini adalah
karena rangsangan pada saraf nyeri di palpebra, bukan karena kerusakan epitel
kornea. Pada kornea terdapat cabang saraf kranial yaitu nervus V (nervus
trigeminus). Saraf ini meru pakan saraf sensorik yang sensitif terhadap
rangsangan nyeri apabila kornea disentuh atau adanya gangguan pada kornea.
Kerusakan epitel pada kornea selalu menimbulkan nyeri yang tajam dan
superfisial. Keluhan mata kabur juga dapat diakibatkan oleh perdarahan pada mata
pasien, karena darah dapat mengubah warna COA yang seharusnya bening
sehingga dapat mengganggu perambatan dan pembiasan cahaya pada mata kiri
pasien.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya edema palpebral injeksi
konjungtiva dan injeksi siliaris yang juga diakibatkan oleh mekanisme trauma
pada mata kanan pasien. Selain itu juga didapatkan bekuan darah pada bilik mata
depan sebelah kiri pasien. Hal tersebut disebabkan oleh mekanisme trauma mata
yang dialami oleh pasien. Mekanisme trauma berupa gaya kontusif akan
menyebabkan kompresi anterior bola mata sehingga merobek pembuluh darah iris
dan menyebabkan perdarahan. Perdarahan umumnya berasal dari sirkulus arteri
mayor dan percabangan pembuluh darah pada badan siliar, juga dapat berasal dari
arteri koroidalis dan vena siliaris. Pada pemeriksaan langsung bekuan darah

23
tersebut terdapat pada sepertiga dari bilik mata depan. Berdasarkan temuan ini,
pasien didiagnosis dengan hifema traumatika grade I okuli sinistra.
Derajat hifema dinilai dari banyaknya darah dalam segmen anterior mata.
Berdasarkan tampilan klinisnya dibagi menjadi beberapa grade. Grade 1: darah
mengisi kurang dari sepertiga kamera segmen anterior mata, grade 2: darah
mengisi sepertiga hingga setengah segmen anterior mata, grade 3: darah mengisi
setengah sampai kurang dari seluruh segmen anterior mata dan grade 4: darah
mengisi seluruh segmen anterior mata, dikenal dengan hifema total atau blackball
hyphema. Berdasarkan onset perdarahannya, hifema pada pasien ini termasuk
hifema primer karena perdarahan langsung terjadi setelah trauma. Hifema
berdasarkan waktunya terbagi atas 2 bentuk, yaitu hifema primer dan hifema
sekunder. Hifema primer merupakan hifema yang langsung terjadi setelah trauma.
Sedangkan hifema sekunder adalah hifema yang biasanya timbul pada hari kelima
setelah terjadinya trauma. Perdarahan yang terjadi biasanya lebih hebat daripada
hifema primer.
Tujuan utama tatalaksana pasien adalah menurunkan kejadian perdarahan
ulang (rebleeding), membersihkan hifema, mencegah dan mengobati lesi terkait.
Selama perawatan pasien dianjurkan untuk tirah baring dengan posisi semi-fowler
(elevasi kepala 45o). Tirah baring bertujuan untuk meminimalkan perdarahan
sekunder (rebleeding) dan diharapkan darah di dalam COA dapat turun ke dasar
COA serta dapat diserap oleh tubuh. Pasien tidak diperbolehkan melakukan
aktivitas berat karena dapat memperberat perdarahan yang terjadi pada mata
pasien. Pasien juga dianjurkan untuk melakukan kompres hangat minimal 5x
sehari, karena kompres hangat dapat melebarkan pembuluh darah dan dapat
memecahkan bekuan darah mencari molekul lebih kecil sehingga dapat mudah
terserap kembali oleh tubuh. Pada pasien ini diberikan terapi medikamentosa
berupa Transamin (Asam Traneksamat) 3x125mg/hari, Metylprednisolon
3x4mg/hari, Cendo Xitrol (Dexamethason 1%) Eyedrop 6x1gtt OS dan Cendo
Mydriatil (Tropicamide 1%) Eyedrop 3x1 gtt OS.
Pasien diberikan asam traneksamat 3x125mg untuk mengurangi
perdarahan, terutama untuk kasus hifema dimana terjadi perdarahan pada
pembuluh darah iris dan badan siliar. Asam traneksamat bekerja dengan cara

24
menghambat penghancuran bekuan darah yang sudah terbentuk sehingga
perdarahan bisa berhenti. Antifibrinolitik juga dapat menurunkan risiko
komplikasi perdarahan ulang setelah hifema.
Pemberian kortikosteroid oral berupa Metylprednisolon 3x4mg/hari dan
kortikosteroid topikal yaitu Cendo Xitrol (Dexamethason 1%) Eyedrop 6x1gtt OS
bermanfaat untuk mengontrol inflamasi yang terjadi pada COA. Kortikosteroid
topikal juga digunakan untuk mencegah terjadinya perdarahan sekunder.
Kortikosteroid dapat menjaga stabilisasi blood-ocular barrier dan menurunkan
influks plasminogen ke ruang anterior mata. Adanya aktivitas antiinflamasi pada
kortikosteroid dapat mencegah terjadinya pembentukan sinekia posterior.
Pemberian Cendo Mydriatil (Tropicamide 1%) Eyedrop 3x1gtt OS yang
berguna untuk mencegah terjadinya sinekia, yaitu keadaan dimana iris melekat
pada kornea (sinekia anterior) atau lensa (sinekia posterior). Tropicamide
termasuk dalam golongan obat antimuscarinik amina tersier yang menyebabkan
relaksasi otot mata (iris) dan mengakibatkan dilatasi pupil. Pemberian aspirin dan
obat pereda nyeri golongan OAINS lainnya tidak dianjurkan karena dapat
meningkatkan resiko perdarahan ulang akibat pengaruh efek antiplatelet.
Komplikasi tersering yang muncul pada pasien hifema adalah perdarahan
sekunder (58%). Perdarahan sekunder dihubungkan dengan hifema grade 4,
pasien usia muda, ras kulit hitam atau hispanik, pasien yang mengkonsumsi
aspirin dan hifema yang muncul >24 jam. Pada umunya hifema dapat hilang
sempurna dalam rentang waktu 5 hingga 7 hari setelah onset, jika ditatalaksana
dengan tepat.
Prognosis pada pasien ini adalah bonam. Sesuai dengan literatur,
prognosis ditentukan oleh jumlah darah dalam bilik mata depan, bila darah sedikit
dalam bilik mata depan maka darah akan hilang sempurna. Sedangkan apabila
darah lebih dari setengan COA, maka prognosis lebih buruk karena akan disertai
dengan beberapa penyulit. Keberhasilan penyembuhan hifema teragantung pada
tiga hal, yaitu: kerusakan lain akibat hifema, apakah terjadi hifema sekunder dan
apakah terjadi komplikasi hifema seperti glaukoma, pewarnaan kornea atau optik
atrofi.

25
BAB V
KESIMPULAN

Pada pasien ini didapatkan keluhan mata kiri nyeri, kemerahan dan
penglihatan kabur sejak 1 jam sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya mata kiri
pasien terkena peluru pistol mainan yang berbentuk bulat dengan ukuran diameter
0,5 cm. Pada pemeriksaan oftalmologi didapatkan perdarahan pada 1/3 COA
sinistra sehingga ditegakkan diagnosis Hifema OS. Hifema merupakan keadaan
dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu daerah di antara kornea
dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah
iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus yang jernih.
Penegakan diagnosis hifema berdsarkan adanya riwayat trauma, terutama
mengenai matanya. Pada gambaran klinik ditemukan adanya perdarahan pada
COA, kadang-kadang ditemukan gangguan visus. Penatalaksanaan hifema pada
prinsipnya dibagi dalam dua golongan besar yaitu perawatan dengan cara
konservatif/tanpa operasi dan perawatan yang disertai dengan tindakan operasi.
Tindakan ini bertujuan untuk menghentikan perdarahan, menghindarkan
timbulnya perdarahan sekunder, mengeliminasi darah dari bilik depan bola mata
dengan mempercepat absorbsi, mengontrol glaukoma sekunder dan menghindari
komplikasi yang lain.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Nash DL. Hyphema [Internet]. Medscape. 2019. Available from:


https://emedicine.medscape.com/article/1190165-overview
2. Gragg J, Blair K, Baker MB. Hyphema [Internet]. StatPearls [Internet].
2020. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507802/
3. Nofityari E, Ilahi F, Ariani N. Analisis Karakteristik Pasien Trauma Mata
di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2016. J Kesehat Andalas.
2019;8(1):59.
4. Vitresia H. Memahami Hifema Traumatika Dan Dampaknya Pada
Penglihatan. Perdami. 2017.
5. Nurwasis, Dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Mata:
Hifema pada Rudapaksa Tumpul. Surabaya: FK Unair; 2006. 137–139 p.
6. Riordan-Eva P. Anatomy & Embryology of the Eye [Internet]. The
McGraw-Hill Companies. 2021. Available from:
http://www.oculist.net/others/ebook/generalophthal/server-
java/arknoid/amed/vaughan/co_chapters/ch001/ch001_print_chapter.html
7. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Ed 5. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI; 2016.
8. Ansari MW. The Eyeball: Some Basic Concepts. In: Atlas of Ocular
Anatomy. SpringerLink; 2016.
9. Lenihan P, Hitchmoth D. Traumatic Hyphema: A Teaching Case Report.
South Med J. 2014;39(3):110–8.
10. Taqi Al Saffar AA, Hussein AS, Jamal NM. Traumatic Hyphema
Frequency And Management Evaluation: A Retrospective Study. Heal Sci
J. 2017;11(1):1–10.
11. Bansal S, Gunasekeran DV, Ang B, Lee J, Khandelwal R, Sullivan P, et al.
Controversies In The Pathophysiology And Management Of Hyphema.
Surv Ophthalmol. 2016;61(3):297–308.
12. Phan R, Smits DJ, Velez-Montoya R. Trauma: Anterior Segment Injuries
[Internet]. American Academy of Ophthalmology. 2015 [cited 2021 Jun 3].
Available from: https://www.aao.org/disease-review/anterior-segment-
injuries
13. AAO. Hyphema Grading System. American Academy of Ophthalmology.
2021.

27

Anda mungkin juga menyukai