Anda di halaman 1dari 47

Clinical Science Session (CSS)

*Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218037/April 2019


**Pembimbing/dr. Puji Lestari, Sp. M.

TRAUMA PADA MATA


Elmira Nita Qainy, S. Ked.* dr. Puji Lestari, Sp. M.**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
HALAMAN PENGESAHAN
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

TRAUMA PADA MATA

Disusun oleh:
Elmira Nita Qainy, S.Ked.
G1A218037

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada 04 Mei 2019

PEMBIMBING

dr. Puji Lestari, Sp.M.

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session (CSS)yang berjudul ”Trauma pada Mata”. Dalam
kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Puji Lestari,
Sp.M. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak ilmu
pengetahuan selama di Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Kesehatan
Mata.
Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan CSS ini masih banyak
terdapat kekurangan dan tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan dukungan dari
berbagai pihak sehingga CSS ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan kritikan agar lebih baik ke depannya.

Jambi, 20 April 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 2
2.1 Anatomi Mata ............................................................................................ 2
2.2 Trauma Mata ............................................................................................. 6
2.2.1 Pemeriksaan Awal pada Trauma Mata .................................................. 6
2.2.2 Prinsip Penangan Trauma Segera pada Trauma Mata ........................... 7
2.2.3 Klasifikasi Trauma Mata ........................................................................ 7
2.2.4 Pencegahan Trauma Mata ...................................................................... 39
BAB III KESIMPULAN ................................................................................. 42
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 44

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

Mata merupakan salah satu panca indra yang mempunyai fungsi yang begitu
kompleks, dengan ukuran yang kecil. Kelainan-kelainan yang terjadi pada organ
ini akan menyebabkan berbagai manifestasi klinis dan apabila tidak dapat
ditangani dengan baik, akan mengakibatkan kebutaan ataupun gangguan yang lain
yang bersifat permanen. Kelainan tersebut tidak hanya terjadi pada bola mata,
namun terjadi pada seluruh kesatuan dari indra ini yang meliputi kelopak mata,
bola mata, bahkan sampai pada tempat dimana bola mata tersebut berada.1
Trauma ocular dan periocular adalah alasan utama kunjungan gawat darurat
terkait mata di rumah sakit.Insiden yang cukup bervariasi bergantung pada
populasi. Pada kelompok militer di Amerika Serikat insidennya mencapai 1.420
per 100.000 dimana pada penduduk Amerika Serikat secara umum berkisar 29,1
hingga 490 per 100.000 penduduk.2
Trauma pada mata akan mengakibatkan kerusakan mata serta menyebabkan
timbulnya penyulit yang dapat menyebabkan menurunnya fungsi penglihatan.
Trauma pada mata dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya trauma
tumpul, trauma tembus bola mata, trauma kimia serta trauma radiasi. Trauma
kimia pada ocular dan periocular diperkirakan terjadi pada 15% hingga 20%
kejadian trauma bakar kimia pada wajah.2
Trauma mata merupakan penyebab umum kebutaan unilateral pada anak dan
dewasa muda.Menurut penelitian, dewasa muda khususnya pria, memiliki resiko
yang tinggi untuk mengalami trauma tembus mata. Trauma pada mata yang berat
dapat menyebabkan cidera multipel pada palpebral, bola mata dan jaringan lunak
pada orbita.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI MATA


Konjungtiva adalah lapisan membran yang menutupi sklera dan kelopak bagian
belakang. Bermacam-macam obat dapat diserap melalui konjungtiva ini.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel Goblet. Musin
bersifat membasahi bola mata terutama kornea.1
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu:1
 Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar
digerakkan dari tarsus.
 Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sclera di
bawahnya.

Gambar 1. Potogan membujur palpebral.1


 Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat
peralihan konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

2
Sklera merupakan jaringan ikat yang kenyal dan memberikan bentuk pada
mata, merupakan jaringan terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan
sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke
dalam bola mata. Kelengkungan kornea lebih besar dibanding sklera. Sklera
berhubungan erat dengan kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus.
Sklera berjalan dari papil saraf optik sampai kornea.
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola
mata sebelah depan.Kornea memiliki fungsi kritis untuk refraksi cahaya yang
memasuki mata dan mempertahankan penglihatan. Suatu stem cell kornea yang
berada di ujung perifer kornea dikenal dengan limbus yang bertanggung jawab
terhadap regenerasi epitel kornea.2,3
Secara anatomi, kornea terdiri atas lima lapisan yaitu lapisan epitel kornea
(bersambungan dengan epitel konjungtiva bulbaris), membrana bowman, stroma,
membran Descement dan lapisan endotel. Epitel merupakan lapisan pertahanan
kornea terhadap infeksi, sehingga apabila terdapat jejas pada epitel maka kornea
akan mudah sekali terinfeksi dan meradang.3
Lapisan-lapisan anatomis kornea:3
1. Epitel
 Tebalnya 50µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan mejadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan
ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan
barrier.
 Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya.
Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

3
2. Membran Bowman
 Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
 Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15
bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.
 Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40 µm.
5. Endotel
 Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40
µm. Endotel melekat pada membran Descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh saraf epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di daerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan.2

4
Gambar 2. Anatomi kornea.4

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem


pompa endotel terganggu sehingga terjadi dekompensaasi endotel dan edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.
Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50
dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.
Di belakang kornea terdapat struktur tipis, bundar dan berwarna dikenal
sebagai iris.Struktur ini mengandung otot sfingter dan otot dilator yang
bertanggung jawab mengendalikan diameter pupil dan mengatur jumlah cahaya
yang masuk ke mata.Tepat dibelakang iris terdapat lensa yang tergantung di
dinding mata oleh zonula Zinii yang tipis. Lensa bertanggung jawab atas refraksi
cahaya dapat menjadi keruh akibat trauma atau usia, akibat adanya katarak.
Lapisan mata yang paling dalam adalah retina, yang mengandung fotoreseptor
yang aksonnya bergabung membentuk nervus optik dan mengirimkan sinyal
visual ke otak.2

5
2.2 TRAUMA MATA
2.2.1 Pemeriksaan Awal pada Trauma Mata
Pada anamnesis, perlu ditanyakan riwayat kejadian trauma apapun contohnya
kejadian trauma meningkatkan kecurigaan terhadap adanya fraktur pada wajah
atau trauma penetrasi pada bola mata.Pada kasus kecurigaan terhadap trauma
kimia perlu ditanyakan untuk mengetahui jenis bahan kimia dan derajat
keasamannya. Penurunan ketajaman penglihatan juga harus dibedakan apa terjadi
mendadak atau turun secara perlahan. Pada kasus trauma dengan riwayat
mengasah, memalu dan ledakan, penting untuk dicari apakah ada benda asing di
intraokular. Penting untuk mengetahui ketajaman penglihatan pasien sebelum dan
sesaat setelah cidera.1,2
Pada pemeriksaan fisik, pertama kali lakukan pengukuran ketajaman
penglihatan.Lakukan pemeriksaan tajam penglihatan sampai dengan metode
proyeksi sinar bila pasien mengalami penurunan ketajaman penglihatan yang
parah.Hal ini dapat sulit dilakukan pada pasien letargi, tidak koperatif atau pasien
yang tidak membawa lensa korektifnya. Periksa pergerakan bola mata, sensasi
kulit periorbital dan palpasi bagian tepi tulang orbita bila mencurigai adanya
diskontinuitas pada tepi tulang orbita.1,2
Dalam menilai permukaan kornea, penting untuk mengatahui apakah
ditemukan benda asing, luka, atau abrasi pada permukaan kornea. Pada kasus
trauma tembus, enoftalmus dapat dilihat dengan melihat permukaan kornea dari
atas alis. Pada pemeriksaan bilik mata depan, tentukan kejernihan dan
kedalamannya. Ukuran dan bentuk pupil, serta reaksi terhadap cahaya harus
dibandingkan dengan mata lain untuk mengetahui apakah terdapat defek pupil
aferen pada mata yang mengalami cidera. Pupil yang ireguler dapat
mengindikasikan trauma pada otot iris.Reaksi pupil yang ireguler terhadap cahaya
dapat terjadi pada trauma otot iris, nervus optikus, nervus okulomotor, atau
bersifat fisiologis (anisokoria fisiologis). Pada kasus rupture bola mata, dapat
ditemukan adanya penurunan visus sampai hanya melihat lambaian tangan, mata
dengan konsistensi lembek, defek pupil aferen dan perdarahan pada vitreus.

6
Pemeriksaan pada palpebral dan konjungtiva harus lebih teliti pada kasus trauma
yang tidak merusak bola mata.2,3
Pemeriksaan yang penting untuk menilai kerusakan nervus optikus yaitu
pemeriksaan ayunan cahaya (swinging light test) dalam ruangan yang gelap
cahaya terang diarahkan pada setiap mata, lihat ukuran dan reaksi dari masing-
masing pupil. Secara normal pupil akan kontriksi pada penerangan langsung dan
pupil di sisi lainnya juga akan berkonstriksi secara konsensual karena adanya
persilangan serabut nervus optikus pada kiasma optikum. Ketika nervus optikus
mengalami kerusakan, stimulus aferen ke midbrain berkurang, dimana jalur aferen
dan eferen pada mata yang lain yang menyebabkan respon konsensual masih
intak. Sebagai hasilnya ketika cahaya diarahkan pada mata yang sehat, kedua
pupil akan kontriksi. Ketika cahaya diarahkan secara cepat dari mata yang sehat
ke mata yang terkena, pupil pada mata yang terkena, respon okularnya akan
berkurang dan pupil akan berdilaatsi. Respon ini dikenal sebagai defek pupil
aferen relatif dan harus dilakukan pemeriksaan oftalmologis dan pencitraan lebih
lanjut.2

2.2.2 Prinsip Penanganan Segera pada Trauma Mata


Tindakan manipulasi harus dibatasi pada keadaan rupture bola mata berat.
Pemeriksa yang bukan ahli dalam bidang oftalmologi harus membatasi manipulasi
ataupun pmeriksaan, karena risiko kerusakan lebih lanjut dapat terjadi.Obat-obat
siklopegik ataupun topikal jangan diberikan sebelum pembedahan, karena dapat
menimbulkan risiko toksisitas pada jaringan luka yang terpajan.Bagian mata yang
mengalami trauma harus diberikan pelindung. Pemberian antibiotik oral spektrum
luas harus segera dilakukan.4

2.2.3 Klasifikasi Trauma Mata


Secara umum trauma mata dibedakan menjadi 2 bagian besar, yaitu trauma
mekanik dan trauma non mekanik.

7
I. TRAUMA MEKANIK
Insiden trauma mekanik meningkat akibat adanya peningkatan aktivitas industri
dan peningkatan aktivitas lalu lintas. Trauma mekanik dapat dikelompokkan
menjadi:3
A. Benda asing ekstraokuler
B. Trauma tumpul
C. Trauma tembus
Klasifikasi trauma mekanik terbaru dijabarkan oleh American Ocular
Trauma Society, dimana trauma mata mekanik dibagi menjadi trauma mata
terbuka dan trauma mata tertutup.4

Luka

Bola mata tertutup Bola mata terbuka

Kontusio Laserasi lamelar Laserasi Ruptur

Penetrasi Benda Asing Perforasi

Bagan 1. BETT. Istilah pada kotak dengan garis ganda menunjukkan diagnosis
yang digunakan pada praktik.3

A. Benda Asing Ekstraokuler


Kasus benda asing ekstraokular banyak ditemukan pada daerah-daerah
industri.Pada kasus benda asing intraokular diperlukan anamnesis yang baik untuk
mengetahuin terjadinya riwayat trauma dengan baik. Benda asing ekstraokuler
dapat tertanam pada:4
 Konjungtiva. Benda asing ini dapat tertanam pada konjungtiva tarsal,
sulkus subtarsalis, konjungtiva forniks, atau konjungtiva bulbi

8
 Kornea. Benda asing sering tertanam pada lapisan superfisial seperti
epitelium dan jarang sampai menembus lapisan stroma.

Gambar 3. Benda asing ekstraokuler di konjungtiva.1

Gejala Klinis
Gejala klinis dari benda asing di konjungtiva adalah didapatkan tanda khas
berupa blefarospasme dan injeksi konjungtiva. Dengan pemeriksaan slit lamp,
benda asing di kornea dapat terlihat sejauh mana benda itu menembus lapisan
kornea.4 Adanya abrasi dan benda asing pada permukaan kornea akan
memberikan sensasi nyeri dan iritasi sewaktu mata dan palpebra digerakkan. Uji
fluorescein akan membantu mewarnai membran basal yang defek dan dapat
memperjelas kebocoran akuos pada trauma tembus.

Gambar 4.Benda asing ekstraokuler di kornea1

Tatalaksana
Penatalaksanaan benda asing ekstraokuler ialah mengambil benda asing
tersebut secepatnya. Pada kasus benda asing di konjungtiva tarsal atau forniks,

9
dapat menggunakan swab kapas. Bila benda asing terdapat pada konjungtiva bilbi,
pengangkatan menggunakan jarum kecil dengan bantuan anestesi topikal.3
Pada kasus benda asing di kornea, mata terlebih dahulu dianestesi topikal
dengan xylocaine 2%. Pengangkatan dapat menggunakan jarum kecil dengan
bantuan slit lamp. Defek epitel kornea yang ringan diterapi dengan salep
antibiotik dan balut tekan untuk mengimobilisasi palpebral.Luka harus diperiksa
setiap harinya untuk mencari tanda-tanda infeksi sampai luka sembuh sempurna.
Pada pengeluaran benda asing, dapat diberikan anestetik topikal dan jarum
berukuran kecil sewaktu pemeriksaan dengan slit lamp. Bila terdapat fragmen
yang tertanam dalam di kornea, tindakan pengambilan harus dilakukan dengan
teknik bedah mikro dalam kamar operasi.3
Jangan pernah memberikan larutan anestetik topikal pada pasien untuk
dipakai ulang setelah cidera kornea karena hal ini dapat memperlambat
penyembuhan, menutupi kerusakan lebih lanjut, dan dapat menyebabkan
pembentukan jaringan parut kornea yang permanen.Pemakaian steroid harus
dihindari bila masih ada defek epitel.

Komplikasi
Konjungtivitis bakterial dapat terjadi pada kasus benda asing di konjugtiva,
sedangkan ulkus kornea dapat terjadi pada kasus benda asing di kornea.

B. Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada mata dapat diakibatkanbenda yang keras atau benda yang
tidak keras, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan keras (kencang)
atau dengan lambat.
Tingkatan dari rudapaksa mata ini tergantung dari besar, berat, energi
kinetik dari obyek. Gelombang tekanan akibat dari rudapaksa mata
menyebabkan:2
1. Tekanan yang sangat tinggi dan jelas dalam waktu yang singkat di dalam
bola mata.
2. Perubahan yang menyolok dari bola mata.

10
3. Tekanan dalam bola mata akan menyebar antara cairan vitreous yang kental
dan jaringan sklera yang tidak elastis.
4. Akibatnya terjadi peregangan dan robeknya jaringan pada tempat dimana
ada perbedaan elastisitas, mis: daerah limbus, sudut iridocorneal,
ligamentum Zinii, corpus ciliare.
Respon dari jaringan terhadap rudapaksa mata tumpul:5
1. Vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, sehingga terjadi iskemia dan
nekrosis lokal.
2. Diikuti dengan vasodilatasi, hiperpermeabilitas, aliran darah yang menurun.
3. Dinding pembuluh darah robek maka cairan jaringan dan isi sel akan
menyebar menuju jaringan sekitarnya sehingga terjadi edema dan
perdarahan.

Karena tiap-tiap jaringan mempunyai sifat-sifat dan respon khusus terhadap


trauma maka akan dibicarakan satu-persatu.
1. Kelopak Mata
Trauma jaringan lunak pada kelopak mata dan daerah periokular diklasifikasikan
menjadi kontusio, lecet, avulsi, tusukan dan laserasi. Luka memar dan lecet dapat
diobati dengan antibiotik topikal dan kompres dingin. Trauma tusuk, akibat benda
tajam panjang, menghasilkan luka tembus kecil namun bisa menembus sampai
mendalam. Setiap trauma avulsi, tusukan, atau laserasi pada kelopak mata, daerah
periokular, atau sistem kanalikuli harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan
dirujuk ke dokter spesialis mata. Laserasi sederhana membutuhkan penutupan
langsung dengan hasil jangka panjang yang sangat baik. Laserasi yang besar yang
meluas ke lapisan jaringan yang lebih dalam membutuhkan penutupan berlapis
yang kompleks.2

Hematoma kelopak
Hematoma palpebra merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di
bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebral.
Hematoma kelopak merupakan kelainanan yang sering terlihat pada trauma
tumpul kelopak.Trauma dapat disebabkan pukulan tinju atau benda tumpul yang

11
keras lainnya. Keadaan ini memberikan bentuk yang menakutkan pada pasien,
dapat tidak berbahaya ataupun sangat berbahaya karena mungkin ada kelainan
lain di belakangnya.
Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan
berbentuk kacamata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini disebut dengan
hematoma kaca mataatau yang biasa disebut Racoon Eye.Hematoma kacamata
merupakan keadaan sangat gawat.Hematoma kacamata terjadi akibat pecahnya
arteri ophtalmica yang merupakan tanda fraktur basis kranii.Pada pecahnya
a.ofthalmika maka darah masuk ke dalam kedua rongga orbita melalui fisura
orbita. Akibat darah tidak dapat menjalar lanjut karena dibatasi septum orbita
kelopak maka akan berbentuk gambaran hitam pada kelopak seperti seseorang
memakai kaca mata.
Pada hematoma kelopak yang dini dapat diberikan kompres air dingin untuk
menghentikan perdarahan dan menghilangkan rasa sakit. Bila telah lama, untuk
memudahkan absorpsi darah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak mata.2

Gambar 5. Hematoma kacamata6

2. Konjungtiva
Laserasi konjungtiva berhubungan dengan trauma okular benda yang tebal
laserasi konjungtiva < 5 mm dibiarkan untuk menutup sendiri, dimana laserasi
yang lebih besar membutuhkan penutupan dengan jahitan.Abrasi konjungtiva
menyebabkan kehilangan epitel dan seringkali menyebabkan nyeri yang
hebat.Abrasi akibat dari trauma ledakan atau trauma benda asing pada konjungtiva
dapat berupa besi maupun pasir. Jika benda asing telah diidentifikasi maka perlu

12
dilakukan pengangkatan dengan irigasi dibantu dengan slit lamp dan cairan steril.
Trauma abrasi membutuhkan salep antibiotik topikal dan sikloplegia.2

Edema konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik
pada setiap kelainannya.Demikian pula akibat trauma tumpul.Bila kelopak
terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa dapat
mengedip, maka keadaan ini telah dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva.

Gambar 6. Kemotik Konjungtiva

Kemotik konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak


menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtiva.Pada edema
konjungtiva dapat dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan
cairan di dalam selaput lendir konjungtiva.
Pada kemotik konjungtiva berat dapat dilakukan insisi sehingga cairan
konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.3

Hematoma Subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang
terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konungtiva dan arteri
episklera.Pecahnya pembuluh darah ini dapat disebabkan oleh batuk rejan, trauma
tumpul basis kranii (hematoma kaca mata), atau pada keadaan pembuluh darah
yang rentan dan mudah pecah. Pembuluh darah akan rentan dan mudah pecah

13
pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerose, konjungtiva meradang
(konjungtivitis), anemia dan obat-obat tertentu.
Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan
bahwa tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera.Kadang-
kadang hematoma subkonjungtiva menutupi keadaan mata yang lebih buruk
seperti perforasi bola mata.Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap
penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma.Bila tekanan bola
mata rendah dengan pupil lonjong disertai tajam penglihatan menurun dan
hematoma subkonjungva maka sebaiknya dilakukan eksplorasi bola mata untuk
mencari kemungkinan adanya ruptur bulbus okuli.

Gambar 7.Hematoma subkonjungtiva7

Pengobatan dini pada hematoma subkonjungtiva ialah dengan kompres


hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang dan diabsorpsi dalam 1-2 minggu
tanpa diobati.

3. Kornea
Laserasi kornea pada permukaan mata disebabkan oleh objek yang tajam atau
proyektil yang bergerak dengan kecepatan tinggi.Laserasi kornea seringkali
menyebabkan berkurangnya tekanan bola mata, dan sering disertai dengan
keluarnya isi bola mata dan memerlukan intervensi bedah.
Adanya abrasi dan benda asing pada permukaan kornea akan memberikan
sensasi nyeri dan iritasi sewaktu mata dan palpebra digerakkan. Abrasi kornea
disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma oleh benda asing. Uji fluorescein

14
akan membantu mewarnai membran basal yang defek dan dapat memperjelas
kebocoran aquos pada trauma tembus. Jika benda asing telah diidentifikasi perlu
dilakukan pengangkatan dengan irigasi namun pemeriksaan slit lamp serta jarum
steril dibutuhkan. Defek epitel kornea yang ringan diterapi dengan salep
antibiotik, obat sikloplegia dan balut tekan untuk mengimobilisasi palpebral.Luka
harus diperiksa setiap harinya untuk mencari tanda-tanda infeksi sampai luka
sembuh sempurna. Pada pengeluaran benda asing, dapat diberikan anestetik
topikal dan jarum berukuran kecil sewaktu pemeriksaan dengan slit lamp. Bila
terdapat fragmen yang tertanam dalam di kornea, tindakan pengambilan harus
dilakukan dengan teknik bedah mikro dalam kamar operasi.Jangan pernah
memberikan larutan anestetik topikal pada pasien untuk dipakai ulang setelah
cidera kornea karena hal ini dapat memperlambat penyembuhan, menutupi
kerusakan lebih lanjut dan dapat menyebabkan pembentukan jaringan parut
kornea yang permanen. Pemakaian steroid harus dihindari bila masih ada defek
epitel.2,6

Edema kornea
Trauma tumpul yang keras atau cepat mengenai mata dapat mengakibatkan
edema kornea bahkan sampai ruptur membran Descement. Edema kornea akan
memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi disekitar bola
lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea kaan terlihat keruh, dengan uji
plasido yang positif.

Gambar 8.Edema Kornea5

15
Edema kornea yang berat dapat mengakibatkan masuknya serbukan sel
radang dan neovaskularisasi ke dalam jaringan stroma kornea.
Pengobatan yang diberikan adalah larutan hipertonik seperti NaCl 5% atau
larutan garam hiperrtonik 2 – 8%, glukose 40% dan larutan albumin.
Bila terdapat peninggian tekanan bola mata maka diberikan
asetazolamide.Pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki
tajam penglihatan dengan lensa kontak lembek dan mungkin akibat kerjanya
menekan kornea terjadi pengurangan edema kornea.
Penyulit trauma kornea yang berat berupa terjadinya kerusakan membran
Descement yang lama sehingga mengakibatkan keratopati bulosa yang akan
memberikan keluhan rasa sakit dan menurunkan tajam penglihatan akibat
astigmatisme ireguler.

Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat
diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea.Erosi dapat terjadi tanpa cidera
pada membran basal.Dalam waktu yang pendek epitel sekitarnya dapat bermigrasi
dengan cepat dan menutupi defek epitel tersebut.
Pada erosi pasien akan merasa sangat kesakitan akibat erosi merusak kornea
yang mempunyai serat sensible yang banyak, mata berair, dengan blefarospasme,
lakrimasi, fotofobia dan penglihatan akan terganggu akibat media kornea yang
keruh.
Pada kornea akan terlihat suatu defek epitel kornea yang bila diberi
pewarnaan fluorescein akan berwarna hijau.

Gambar 9. Erosi Kornea4

16
Pada erosi kornea perlu diperhatikan adalah adanyaa infeksi yang timbul
kemudian.
Anastesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan
menghilangkan rasa sakit pada pemeriksaan karena dapat menambah kerusakan
epitel.
Epitel yang terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas.Untuk
mencegah infeksi bakteri diberikan antibiotika seperti antibiotika spektrum luas
Neosporin, Kloramfenikol dan Sulfasetamid tetes mata.Akibat rangsangan yang
mengakibatkan spasme siliar maka diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti
tropikamida. Pasien akan merasa lebih tertutup bila dibebat tekan selama 24 jam.
Erosi yang kecil biasanya akan tertutup kembali setelah 48 jam.

Erosi kornea rekuren


Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cidera yang merusak membran basal
atau tukak metaherpetik. Epitel yang menutup kornea akan mudah lepas kembali
diwaktu bangun pagi. Terjadinya erosi kornea berulang akibat epitel tidak dapat
bertahan pada defek epitel kornea.Sukarnya epitel menutupi kornea diakibatkan
oleh terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea tempat duduknya sel basal
epitel kornea. Biasanya membrane basal yang rusak akan kembali normal setelah
6 minggu.
Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga
regenerasi epitel tidak cepat terkelupas untuk membentuk membran basal
kornea.Pengobatan biasanya dengan memberikan sikloplegik untuk
menghilangkan rasa sakit ataupun untuk menghilangkan rasa sakit ataupun untuk
mengurangkan gejala radang uvea yang mungkin timbul.Antibiotik diberikan
dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat tumbuh epitel baru dan
mencegah infeksi sekunder. Biasanya bila tidak terjadi infeksi sekunder erosi
kornea yang mengenai seluruh permukaan kornea akan sembuh dalam 3 hari.
Pada erosi kornea tidak diberi antibiotik dengan kombinasi steroid.

17
Pemakaian lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren sangat
bermanfaat, karena dapat mempertahankan epitel berada di tempat dan tidak
dipengaruhi kedipan kelopak mata.

4. Bilik mata depan


Hifema
Hifema atau darah di dalam bilik mata depan dapat terjadi akibat adanya
trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
Pasien akan mengeluh sakit, disertai epifora dan blefarospasme. Penglihatan
pasien akan sangat menurun. Bila pasien duduk, hidema akan terlihat terkumpul
dibagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik
mata depan. Kadang-kadang terlihat iridoplegia dan iridodialisis.2,3
Pengobatan dengan merawat pasien dengan posisi tidur di tempat tidur yang
ditinggikan 30 derajat pada kepala, diberi koagulasi dan mata ditutup.Pada anak
yang gelisah dapat diberikan obat penenang.Asetazolamida diberikan bila terjadi
penyulit glaukoma. Biasanyan hifema akan hilang sempurna, bila tidak demikian,
pasien harus dirujuk.
Parasentesis atau mengeluarkan darah dari bilik mata depan dilakukan pada
pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma
sekunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau bila setelah 5 hari tidak terlihat
tanda-tanda hifema berkurang.
Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 3-7 hari setelah trauma dapat
terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang
pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang, sehingga
membutuhkan tindakan pembedahan untuk membersihkan darahnya.2,3
Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat
suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.
Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila
didiamkan akan dapat menimbulkan ftisis bulbi dan kebutaan.
Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukemia dan
retinoblastoma.

18
Gambar 10. Hifema.8

Vaskularisasi yang terkena adalah Arteri Ciliaris Anterior, perdarahan vena


di Schlemm kanal dan adanya hipotoni, seperti pada siklodialisis. Pada umumnya
70% kasus penyerapan terjadi dalam waktu 5 – 6 hari.
Bila perdarahan luas koagulasi dibilik mata depan akan luas dimana terjadi
gumpalan fibrin dan darah merah. Hal ini akan memperlambat penyerapan
ditambah lagi hambatan mekanis terhadap ”outflow” humor akuos di sudut
iridocorneal.
Pada beberapa produk darah menempel pada bagian anterior pigmen
membran dari iris di daerah pupil dan sudut iridocorneal.Walaupun sepintas bilik
mata depan jernih, tetapi iritis cukup kuat untuk membentuk sinekia anterior dan
posterior. Hifema sekunder pada umumnya nampak antara hari ke 2 dan ke 5.
biasanya diikuti dengan ancaman iritis.7
Pada hifema ringan dapat terjadi glaukoma sekunder dengan meningkatnya
tekanan intraokuler. Hal ini dari adanya edema di trabekuler meshwork, sehingga
terjadi gangguan humor aqueous outflow. Tekanan intraokuli kadang baru terjadi
beberapa hari setelah trauma, ini adalah akibat adanya perdarahan sekunder.
Frekuensi perdarahan sekunder tanpa kenaikan tekanan intraokuler30%. Frekuensi
perdarahan sekunder dengan kenaikan tekanan intraokuler50%.

19
Perawatan Konservatif/Tanpa Operasi
 Tirah baring sempurna (bed rest total)
Penderita ditidurkan dalam keadaan terlentang dengan posisi kepala
diangkat (diberi alas bantal) dengan elevasi kepala 30º - 45º. Hal ini akan
mengurangi tekanan darah pada pembuluh darah iris serta memudahkan kita
mengevaluasi jumlah perdarahannya. Ada banyak pendapat dari banyak ahli
mengenai tirah baring sempurna ini sebagai tindakan pertama yang harus
dikerjakan bila menemui kasus traumatik hifema. Bahkan Darr dan Rakusin
menunjukkan bahwa dengan tirah baring sempurna absorbsi dari hifema
dipercepat dan sangat mengurangi timbulnya komplikasi perdarahan sekunder.6
Istirahat total ini harus dipertahankan minimal 5 hari mengingat
kemungkinan perdarahan sekunder. Hal ini sering sukar dilakukan, terlebih-lebih
pada anak-anak, sehingga kalau perlu harus diikat tangan dan kakinya ke tempat
tidur dan pengawasan dilakukan dengan sabar.
 Bebat mata
Mengenai pemakaian bebat mata, masih belum ada persesuaian pendapat di
antara para ahli. Edward-Layden lebih condong untuk menggunakan bebat mata
pada mata yang terkena trauma saja, untuk mengurangi pergerakan bola mata
yang sakit. Selanjutnya dikatakan bahwa pemakaian bebat pada kedua mata akan
menyebabkan penderita gelisah, cemas dan merasa tak enak, dengan akibat
penderita (matanya) tidak istirahat Akhirnya Rakusin mengatakan bahwa dalam
pengamatannya tidak ditemukan adanya pengaruh yang menonjol dari pemakaian
bebat atau tidak terhadap absorbsi, timbuInya komplikasi maupun prognosa bagi
tajam penglihatannya:6
 Pemakaian obat-obatan
Pemberian obat-obatan pada penderita dengan traumatik hifema tidaklah
mutlak, tapi cukup berguna untuk menghentikan perdarahan, mempercepat
absorbsinya dan menekan komplikasi yang timbul. Untuk maksud di atas
digunakan obat-obatan seperti:

20
a. Koagulansia
Golongan obat koagulansia ini dapat diberikan secara oral maupun
parenteral, berguna untuk menekan/menghentikan perdarahan, Misalnya:
Anaroxil, Adona AC, Coagulen, Transamin, vit K dan vit C.
Pada hifema yang baru dan terisi darah segar diberi obat anti fibrinolitik
(Dipasaran obat ini dikenal sebagai transamine/transamic acid) sehingga bekuan
darah tidak terlalu cepat diserap dan pembuluh darah diberi kesempatan untuk
memperbaiki diri dahulu sampai sembuh. Dengan demikian diharapkan terjadinya
perdarahan sekunder dapat dihindarkan. Pemberiannya 4 kali 250 mg dan hanya
kira-kira 5 hari jangan melewati satu minggu oleh karena dapat timbulkan
gangguan transportasi cairan COA dan terjadinya glaukoma juga imbibisio
kornea. Selama pemberiannya jangan lupa pengukuran tekanan intra okular.
b. Midriatika Miotika
Masih banyak perdebatan mengenai penggunaan obat-obat golongan
midriatika atau miotika, karena masing-masing obat mempunyai keuntungan dan
kerugian sendiri-sendiri: Miotika memang akan mempercepat absorbsi, tapi
meningkatkan kongesti dan midriatika akan mengistirahatkan perdarahan.
Gombos menganjurkan pemberian midriatika bila didapatkan komplikasi
iridiosiklitis. Akhirnya Rakusin membuktikan bahwa pemberian midriatika dan
miotika bersama-sama dengan interval 30 menit sebanyak dua kali sehari akan
mengurangi perdarahan sekunder dibanding pemakaian salah satu obat saja. Darr
menentangnya dengan tanpa menggunakan kedua golongan obat tersebut pada
pengobatan hifema traumatik.
c. Ocular Hypotensive Drug
Semua para ahli menganjurkan pemberian Acetazolamide (Diamox) secara
oral sebanyak 3x sehari bilamana ditemukan adanya kenaikan tekanan intraokuler.
Bahkan Gombos dan Yasuna menganjurkan juga pemakaian intravena urea,
manitol dan gliserin untuk menurunkan tekanan intraokuler, walaupun ditegaskan
bahwa cara ini tidak rutin.6
Pada hifema yang penuh dengan kenaikan tekanan intraokular, berilah
Diamox, Glyserin, nilai selama 24 jam:

21
Bila tekanan intraokular tetap tinggi atau turun, tetapi tetap diatas normal,
lakukan parasentesis yaitu pengeluaran darah melalui sayatan di kornea. Bila
tekanan intraokular turun sampai normal, Diamox terus diberikan dan dievaluasi
setiap hari. Bila tetap normal tekanan intraokularnya dan darahnya masih ada
sampai hari ke 5 − 9 lakukan juga parasentesis.

d. Kortikosteroid dan Antibiotika


Pemberian hidrokortison 0,5% secara topikal akan mengurangi komplikasi
iritis dan perdarahan sekunder dibanding dengan antibiotika. Yasuna
menganjurkan pemberian prednison 40 mg/hari secara oral segera setelah
terjadinya hifema traumatik guna mengurangi perdarahan sekunder.

Perawatan Operasi
Perawatan cara ini akan dikerjakan bilamana ditemukan glaukoma sekunder,
tanda imbibisi kornea atau hemosiderosis kornea dan tidak ada pengurangan dari
tingginya hifema dengan perawatan non-operasi selama 3 – 5 hari.6
 Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah
atau nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi
kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris.
Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik
mata depan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan
dibilas dengan garam fisiologik.
Biasanya luka inisisi kornea pada parantesis tidak perlu dijahit.

Iridosiklitis
Pada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga
menimbulkan iridosiklitis radang uvea anterior.
Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah di dalam bilik mata
maka akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan tajam penglihatan
menurun.

22
Pada uveitis antarior diberikan tetes mata midriatik dan steroid topikal. Bila
terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.
Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan
memeriksa fundus dengan midriatika.

Gambar 11. Iridosiklitis7

Untuk mencegah atrofi papil saraf optik dilakukan pembedahan bila


tekanan bola mata maksimal > 50 mmHg selama 5 hari atau tekanan bola mata
maksimal > 35 mmHg selama 7 hari. Untuk mencegah imbibisi kornea dilakukan
pembedahan bila tekanan bola mata rata-rata > 25 mmHg selama 6 hari atau bila
ditemukan tanda-tanda imbibisi kornea. Untuk mencegah sinekia anterior perifer
dilakukan pembedahan bila hifema total bertahan selama 5 hari atau hifema difus
bertahan selama 9 hari.
Intervensi bedah biasanya diindikasikan pada atau setelah 4 hari. Dari
keseluruhan indikasinya adalah sebagai berikut:
a. Empat hari setelah onset hifema total
b. Microscopic corneal bloodstaining (setiap waktu)
c. Hifema total dengan dengan Tekanan Intra Okular 50 mmHg atau lebih
selama 4 hari (untuk mencegah atrofi optik)
d. Hifema total atau hifema yang mengisi lebih dari ¾ COA selama 6 hari
dengan tekanan 25 mmHg (untuk mencegah corneal bloodstaining)
e. Hifema mengisi lebih dari ½ COA yang menetap lebih dari 8 – 9 hari
(untuk mencegah peripheral anterior synechiae)

23
f. Pada pasien dengan sickle cell disease dengan hifema berapapun ukurannya
dengan Tekanan Intra Ocular lebih dari 35 mmHg lebih dari 24 jam. Jika
Tekanan Inta Okular menetap tinggi 50 mmHg atau lebih selama 4 hari,
pembedahan tidak boleh ditunda. Suatu studi mencatat atrofi optik pada 50
persen pasien dengan total hifema ketika pembedahan terlambat. Corneal
bloodstaining terjadi pada 43% pasien. Pasien dengan sickle cell
hemoglobinopathi diperlukan operasi jika tekanan intra ocular tidak
terkontrol dalam 24 jam.7

5. Uvea
Iridoplegia
Trauma tumpul pada uvea dapat mengakibatkan kelumpuhan otot sfingter
atau iridoplegia sehingga pupil menjadi lebar atau midriasis.
Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi, silau akibat
gangguan pengaturan masuknya sinar pada pupil.
Pupil terlihat tidak sama besar atau anisocoria dan bentuk pupil dapat
menjadi iregular. Pupil ini tidak bereaksi terhadap sinar.

Gambar 12.Iridoplegia8

Iridoplegia akibat trauma akan berlangsung beberapa hari sampai beberapa


minggu.
Pada pasien dengan iridoplegia sebaiknya diberi istirahat untuk mencegah
terjadinya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia. 3

24
Iridodialisis
Trauma tumpul dapat mengakibatkan robekan pada pangkal iris sehingga
bentuk pupil menjadi berubah.
Pasien akan melihat ganda dengan satu matanya.
Pada iridodialisis akan terlihat pupil lonjong. Baisanya iridodialisis terjadi
Bersama-sama dengan terbentuknya hifema.

Gambar 13.Iridodialisis5

Bila keluahan demikian maka pada pasien sebaiknya dilakukan pembedahan


dengan melakukan reposisi pengkal iris yang terlepas.

6. Lensa
Dislokasi lensa
Trauma tumpul lensa dapat mengakibatkan dislokasi lensa. Dislokasi lensa
terjadi pada putusnya zonula Zinii yang akan mengakibatkan kedudukan lensa
terganggu.

Gambar 14.Dislokasi Lensa7

25
Subluksasi lensa
Sublukasi lensa terjadi akibat putusnya sebagian zonula Zinii sehingga lensa
berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien
menderita kelainan pada zonula Zinii yang rapuh (sindrom Marphan).
Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa
akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis.

Gambar 15.Sublukasi Lensa5

Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastis akan
menjadi cembung, dan mata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi
sangat cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila
sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudah terjadi glaukoma sekunder.2
Sublukasi dapat mengakibatkan glaukoma sekunder dimana terjadi
penutupan sudut bilik mata oleh lensa yang mencembung.
Bila terjadi penyulit sublukasi lensa seperti glaukoma atau uveitis maka
tidak dilakukan pengeluaran lensa dan diberi kaca mata koreksi yang sesuai.

Luksasi lensa
Bila seluruh zonula Zinii ruptur, lensa akan terdorong ke arah bilik mata
depan. Akibat lensa terletak didalam bilik mata depan ini, maka akan terjadi
gangguan pengeluaran cairan akuos dan akan menimbulkan glaukoma sekunder.

26
Gambar 16.Luksasi lensa4

a. Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula Zinii di sekitar ekuator putus
akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat
lensa terletak di dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan
pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul glaukoma
kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan mengeluh penglihatan
menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah
dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea,
lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil
yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi. Pada luksasi lensa anterior
sebaiknya pasien secepatnya dikirim pada dokter mata untuk dikeluarkan
lensanya dengan terlebih dahulu diberikan adetazolamid untuk menurunkan
tekanan bola matanya.
b. Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat
terjadi luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula Zinii di seluruh
lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan
tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli. Pasien akan
mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa
mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa
atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk
jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama
berada dalam polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi
lensa, berupa glaukoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik.

27
Bila lukserasi lensa telah menimbulkan penyulit sebaiknya secepatnya
dilakukan ekstraksi lensa.

Katarak trauma
Katarak akibat cidera pada mata dapat akibat trauma perforasi ataupun
tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun.
Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun
posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula
dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.

Gambar 17.Katarak trauma7

Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi keicl
akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk kekeruhan
terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan mengakibatkan terbentuknya
katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya masa lensa di dalam bilik mata
depan.
Pada keadaan ini akan terlihat secara histopatologik masa lensa yang akan
bercampur makrofag dengan cepatnya, yang dapat memberikan bentuk
endoftalmitis fakoanafilaktik. Lensa dengan kapsul anterior saja yang pecah akan
menjerat korteks lensa sehingga akan mengakibatkan apa yang disebut sebagai
cincin Soemering atau bila epitel lensa berproliferasi aktif akan terlihat mutiara
Elsching.
Pengobatan katarak traumatik tergantung pada saat terjadinya.

28
Bila terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan
terjadinya ambliopia. Untuk mencegah ambliopia pada anak dapat dipasang lensa
intra okularprimer atau sekunder.
Pada katarak trauma apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu
sampai mata menajadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti glaukoma, uveitis dan
lain sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan
glaukoma sering dijumpai pada orang usia tua. Pada beberapa pasien dapat
terbentuk cincin Soemmering pada pupil sehingga dapat mengurangi tajam
penglihatan.Keadaan ini dapat disertai perdarahan, ablasi retina, uveitis atau salah
letak lensa.

Cincin Vossius
Pada trauma lensa dapat terlihat apayang disebut sebagai cincin Vossius
yang merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang
dapat terjadi segera setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada
dataran depan lensa sesudah trauma, seperti suatu stempel jari.
Cincin hanya menunjukkan tanda bahwa mata tersebut telah mengalami
suatu trauma tumpul.

Gambar 18.Cincin Vossius7

7. Fundus oculi
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan kelainan pada retina,
koroid dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa edema retina,
perdarahan retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf optik.

29
Edema Retina dan Koroid
Trauma tumpul pada retina dapat mengakibatkan edema retina, penglihatan
akan sangat menurun. Edema retina akan memberikan warna retina yang lebih
abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab.
Berbeda dengan oklusi arteri retina sentral dimana terdapat edema retina kecuali
makula, sehingga pada keadaan ini akan terlihat cherry red spot yang berwarna
merah. Edema retina akibat trauma tumpul juga mengakibatkan edema makula
sehingga tidak terdapat cherry red spot.3

Gambar 19.Edema Retina dan Koroid8

Pada trauma tumpul yang paling ditakutkan adalah terjadi edema makula
atau edema Berlin. Pada keadaan ini akan terjadi edema yang luas sehingga
seluruh polus posterior fundus okuli berwarna abu-abu dan pembuluh darah di
atasnya akan terlihat lebih jelas beberapa jam setelah trauma. Edema dan
gangguan susunan lapisan luar retina mengakibatkan kekeruhan dan tidak terdapat
cairan interselular.Penglihatan menurun tidak sesuai dengan kekeruhan
kornea.Umumnya penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan
tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunnya daerah makula oleh
sel pigmen epitel.
Pengobatannya tidak dikenal.
Prognosis baik kecuali bila terjadi bersama-sama ruptur koroid atau akibat
kerusakan pigmen epitel retina.

30
Ablasio Retina.
Trauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid
pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunnyai bakat untuk
terjadinya ablasi retina ini seperti retina tipis akibat retinitis semata, miopia dan
proses degenerasi lainnya.
Pada pasien akan terdapat keluhan seperti adanya selaput yang seperti tabir
menganggu lapangan pandangannya. Bila terkena atau tertutup daerah makula
maka tajam penglihatannya akan menurun.
Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang berwarna abu-abu
dengan pembuluh darah yang terlihat terangkat dan berkelok-kelok. Kadang-
kadang terlihat pembuluh darah seperti yang terputus-putus. Pada pasien dengan
ablasi retina maka secepatnya dirawat untuk dilakukan pembedahan oleh dokter
mata.

Gambar 20. Ablasio Retina7

Ruptur Koroid
Pada trauma keras dapat terjadi perdarahan subretina yang dapat merupakan
akibat ruptur koroid. Ruptur ini biasanya terletak di polus posterior bola mata dan
melingkar konsentris di sekitar papil saraf optik.
Bila ruptur koroid ini terletak atau mengenai daerah makula lutea maka
tajam penglihatan akan turun dengan sangat. Ruptur ini bila tertutup oleh
perdarahan subretina agak sukar dilihat akan tetapi bila darah tersebut telah

31
diabsorpsi maka akan terlihat bagian ruptur berwarna putih karena sklera dapat
dilihat langsung tanpa tertutup koroid.

Gambar 21. Ruptur Koroid6

8. Saraf Optik
Avulsi papil saraf optik
Pada trauma tumpul dapat terjadi saraf optik terlepas dari pangkalnya di
dalam bola mata yang disebut sebagai avulsi papil saraf optik. Keadaan ini akan
mengakibatkan turunnya tajam penglihatan yang berat dan sering berakhir dengan
kebutaan. Penderita ini perlu dirujuk untuk dinilai kelainan fungsi retina dan saraf
optiknya.

Gambar 22.Avulsi papil Saraf Optik6

Optik neuropati traumatik


Trauma tumpul dapat mengakibatkan kompresi pada saraf optik, demikian
pula perdarahan dan edema sekitar optik.

32
Penglihatan akan berkurang setelah cidera mata. Terdapat reaksi defek
aferen pupil tanpa adanya kelainan nyata pada retina. Tanda lain yang dapat
ditemukan adalah gangguan penglihatan warna dan lapangan pandang. Papil saraf
optic dapat normal beberapa minggu sebelum pucat.

Gambar 23.Optik Nuropati Traumatik7

Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cidera mata adalah


trauma retina, perdarahan badan kaca, trauma yang mengakibatkan kerusakan
pada kiasan optik.
Pengobatan adalah dengan merawat pasien pada waktu akut dengan
memberi steroid.Bila penglihatan memburuk setelah steroid maka perlu
dipertimbangkan untuk pembedahan.

C. Trauma Tembus
Trauma dapat mengakibatkan robekan pada konjungtiva saja.Bila robekan
konjungtiva ini atau tidak melebihi 1 cm, maka tidak perlu dilakukan
penjahitan.Bila robekan konjungtiva lebih dari 1 cm diperlukan tindakan
penjahitan untuk mencegah terjadinya granuloma.Pada setiap robekan konjungtiva
perlu diperhatikan terdapatnya robekan sklera bersama-sama dengan robekan
konjungtiva tersebut.
Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing yang masuk ke dalam
bola mata maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti:
 Tajam penglihatan yang menurun
 Tekanan bola mata yang rendah

33
 Bilik mata depan yang dangkal
 Bentuk dan letak pupil yang berubah
 Terlihatnya ada ruptur kornea atau sklera
 Terdapat jaringan yang di proplas seperti cairan mata, iris, lensa, badan
kaca, atau retina
 Konjugtiva kemotis
Bila terlihat salah satu tanda diatas atau dicurigai adanya perforasi bola mata
maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotika topikal dan mata ditutup dan
segera dikirim pada dokter mata untuk dilakukan pembedahan.
Pada setiap terlihat kemungkinan trauma perforasi sebaiknya dipastikan
apakah ada benda asing yang masuk ke dalam mata dengan membuat foto.
Pada pasien dengan luka tembus bola mata selamanya diberikan antibiotika
sistemik atau intravena dan pasien dipuasakan untuk tindakan pembedahan.Pasien
juga diberi anti tetanus profilaktik, analgetika dan kalau perlu penenang.Sebelum
dirujuk mata tidak diberi salep, karena salep dapat masuk ke dalam mata.Pasien
tidak boleh diberi steroid lokal, dan beban yang diberikan pada mata tidak
menekan bola mata.
Trauma tembus dapat terjadi akibat masuknya benda asing ke dalam bola
mata.
Benda asing di dalam bola mata pada dasarnya perlu dikeluarkan.
Benda asing yang bersifat magnetik dapat dikeluarkan dengan alat magnit
raksasa.Benda yang tidak magnetik dikeluarkan vitrektomi.
Penyulit yang dapat timbul pada terdapatnya benda asing intraokular adalah
endoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahan intraocular dan ftisis bulbi.

Gambar 24. Trauma tembus orbita8

34
Benda Asing Intraokular
Benda asing magnetik intraocular
Pada keadaan diduga adanya benda asing magnetik intraocular perlu diambil
riwayat terjadinya trauma dengan baik. Benda asing intraokular yang magnetic
tidak akan memberikan gangguan pada tajam penglihatan. Akan terlihat
kerusakan kornea, lensa iris ataupun sklera penglihatan.akan terlihat kerusakan
kornea, lensa iris ataupun sklera yang merupakan tempat jalan masuknya benda
asing ke dalam bola mata.

Gambar 25.Benda Asing Magnetik Intaokular8

Bila pada pemeriksaan pertama lensa masih jernih maka untuk melihat
kedudukan benda asing di dalam bola mata dilakukan melebarkan pupil dengan
midriatika. Pemeriksaan funduskopi sebaiknya segera dilakukan karena bila lensa
terkena maka lensa akan menjadi keruh secara perlahan-lahan sehingga akan
memberikan kesukaran untuk melihat jaringan belakang lensa.
Pemeriksaan radiologik akan memperlihatkan bentuk dan besar benda asing
yang terletak intraokular. Bila pada pemeriksaan radiologik dipakai cincin
Flieringa atau lensa kontak Comberg akan terlihat benda bergerak bersama
dengan pergerakan bola mata.
Untuk menentukan letak benda asing ini dapat dilakukan pemeriksaan
tambahan lain yaitu dengan metal locator. Pemeriksaan ultrasonografi digunakan
untuk pemeriksaan yang lebih menentukan letak dan gangguan terhadap jaringan
sekitar lainnya.

35
Pengobatan pada benda asing intraokulat ialah dengan mengeluarkannya dan
dilakukan dengan perencanaan pembedahan agar tidak memberikan kerusakan
yang lebih berat terhadap bola mata.
Mengeluarkan benda asing melalui jalan melewati sklera merupakan cara
untuk tidak merusak jaringan lain.

II. TRAUMA NON MEKANIS


A. Trauma Kimia
Trauma bahan kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di dalam
laboratorium, industry, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian
dan peperangan yang memakai bahan kimia di abad modern.
Trauma kimia pada kelopak mata diklasifikasikan berdasarkan jenis kimia
dan kedalaman jaringan yang terluka. Seperti halnya trauma bahan kimia pada
permukaan mata, luka bakar alkali lebih sering tetapi menghasilkan penetrasi
yang lebih dalam. Kedalaman trauma secara prognostik penting dalam
menentukan kemungkinan pembentukan bekas luka. Luka bakar superfisial, lebih
sering terjadi pada paparan bahan asam, terbatas pada permukaan epitel dan
jarang menyebabkan sikatriks. Luka bakar ini sering tampak merah namun juga
bisa tidak melepuh, sembuh tanpa jaringan parut, dan hampir tidak pernah
membutuhkan cangkok kulit. Trauma kulit hingga ketebalan penuh yang
menembus dermis sangat mungkin menyebabkan jaringan parut. Kulit biasanya
menjadi kasar dan putih karena kurangnya elemen dermal dan hancurnya suplai
darah. Dapat melibatkan jaringan yang mendasarinya, termasuk orbicularis oculi,
jaringan orbital, atau permukaan mata. Pengobatan trauma kimia pada daerah
periokular melibatkan debridemen dan perlindungan permukaan okular untuk
menghindari paparan keratopati dan ulserasi. Tarsorrhaphy memiliki keuntungan
melindungi mata tanpa cangkok kulit; namun, luka bakar kimiawi yang parah
dapat menghalangi penempatan tarsorrhaphy, dan cangkok kulit mungkin
diperlukan.2

Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan
dalam bentuk: trauma asam dan basa atau alkali.

36
Pengaruh bahan kimia sangat bergantung pada pH, kecepatan dan jumlah
bahan kimia tersebut mengenai mata.
Dibanding bahan asam, maka trauma oleh bahan alkali cepat dapat merusak
dan menembus kornea.Setiap trauma kimia pada mata memerlukan tindakan
segera.Irigasi daerah yang terkena trauma kimia merupakan tindakan yang segera
harus dilakukan karena dapat memberikan penyulit yang lebih berat.Pembilasan
dilakukan dengan memakai garam fisiologik atau air bersih lainnya selama
mungkin dan paling sedikit 15 – 30 menit.
Luka bahan kimia harus dibilas secepatnya dengan air yang tersedia pada
saat itu seperti dengan air keran, larutan garam fisiologik dan asam berat.Anastesi
topikal diberikan pada keadaan diamana terdapat blefarospasme berat.
Untuk bahan asam digunakan larutan natrium bikarbonat 3%, sedang untuk
basa larutan asam borat, asam asetat 0,5% atau buffer asam asetat pH 4,5% untuk
menetralisir. Diperhatikan kemungkinan terdapatnya benda asing penyebab luka
tersebut.
Untuk bahan basa diberikan EDTA.Pengobatan yang diberikan adalah
antibiotika topikal, sikloplegik dan bebat mata selama mata masih
sakit.Regenerasi epitel akibat asam lemah dan alkali sangat lambat yang biasanya
sempurna setelah 3 – 7 hari.

1. Trauma Asam
Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik, organic (asetat,
forniat), dan organik anhidrat (asetat). Bila bahan asam mengenai mata maka akan
segera terjadi pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan sehingga
bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma
alkali. Biasanya akan terjadi kerusakan hanya pada bagian superfisial saja.
Interaksi anatara jaringan dan bahan asam akan menyebabkan denaturasi protein
dan nekrosis koagulasi yang menyebabkan suatu eskar. Eskar berperan sebagai
penahan penetrasi yang lebih dalam dari asam.Kecuali asam hidrofluor dan asam
sulfur.Asam hidrofluor tidak membentuk eskar dan menyebabkan kerusakan yang
lebih dalam seperti pada trauma terhadap bahan alkali. Trauma oleh asam sulfur

37
berhubungan dengan panas dan trauma penetrasi akibat ledakan baterai. Bahan
asam dengan konsentrasi tinggi dapat bereaksi seperti terhadap trauma basa
sehingga kerusakan yang diakibatkannya akan lebih dalam.2
Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secepatnya dan
selama mungkin untuk menghilangkan dan melarutkan bahan yang
mengakibatkan trauma, dan pH alami tercapai.
Trauma yang ringan menyebabkan abrasi kornea atau konjungtiva yang
dapat diobati dengan salep antibiotik.Namun trauma asam yang berat
membutuhkan debridemen dan memiliki prognosis yang buruk.
Biasanya trauma akibat asam akan normal kembali, sehingga tajam
penglihatan tidak banyak terganggu.

2. Trauma Basa atau Alkali


Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada
mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea, bilik mata depan dan sampai
pada jaringan retina.Bahan kimia basa berinteraksi dengan asam lemak,
menyebabkan saponifikasi dan disrupsi dari membran sel. Disrupsi dari
pertahanan seluler akan menyebabkan penetrasi yang lebih dalam ke dalam bola
mata. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea.
Bahan akustik soda dapat menembus ke dalam bilik mata depan dalam waktu 7
detik. Trauma kimia basa seringkali terjadi pada industri yang menggunakan
substansi alkali dan larutan pembersih di rumah.2
Pada trauma alkali akan terbentuk kolagenase yang akan menambah
kerusakan kolagen kornea. Alkali yang menembus ke dalam bola mata akan
merusak retina sehingga akan berakhir dengan kebutaan penderita.
Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan dalam:
Derajat 1: hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2: hiperemi konjungtiva disertai dengan hilang epitel kornea
Derajat 3: hiepremi disertai dengan nekrosis kongjungtiva dan lepasnya
epitel kornea
Derajat 4: konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.

38
Tindakan bila terjadi trauma basa adalah dengan secepatnya melakukan
irigasi dengan garam fisiologik.Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin.Bila
mungkin itu irigasi dilakukan paling seidkit 60 menit segera setelah
trauma.Penderita diberi sikloplegia, antibiotika, EDTA untuk mengikat
basa.EDTA diberikan setelah 1 minggu trauma alkali diperlukan untuk
menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ke tujuh.
Penyulit yang dapat timbul trauma alkali adalah simblefaron, kekeruhan
kornea, edema dan neovaskularisasi kornea, katarak, disertai dengan terjadi ftisis
bola mata.

2.2.4 Pencegahan Trauma Mata


Trauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan kepada masyarakat
untuk menghindarkan terjadinya trauma pada mata, seperti:
a. Trauma tumpul akibat kecelakaan tidak dapat dicegah, kecuali trauma
tumpul perkelahian.
b. Dieperlukan perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadinya trauma
tajam.
c. Setiap pekerja yang sering berhubungan dengan bahan kimia sebaiknya
mengerti bahan apa yang ada di tempat kerjanya.
d. Pada pekerja als sebaiknya menghindarkan diri terhadap sinar dan percikan
bahan las dengan memakai kaca mata.
e. Awasi anak yang sedang bermain dan mungkin berbahaya untuk matanya.
Semua luka bakar akibat bahan kimia harus diterapi sebagai kedaduratan
mata.Bahan kimia yang dapat mengakibatkan kelainan pada mata dapat dibedakan
dalam bentuk trauma asam dan trauma basa.Pembilasan dengan air yang mengalir
harus segera dilakukan sebelum pasien dirujuk.3 Semua benda asing yang terlihat
juga harus diirigasi.Di ruang gawat darurat, lakukan anamnesis dan pemeriksaan
singkat sebelum permukaan mata diirigasi.Cairan saline isotonik steril diberikan
segera untuk mengirigasi dengan selang intravena ukuran standar. Untuk
menetralisir trauma asam, dapat digunakan larutan natrium bikarbonat 3%,

39
sedangkan untuk menetralisir trauma basa, digunakan asam borat, asam asetat
0,5%, atau buffer asam asetat 4,5% untuk menetralisir.6
Bila pasien mengalami blefarospasme, lakukan spekulum palpebral dan
infiltrasi anestetik lokal.Analagesik, anestetik lokal dan siklopegia hampir selalu
diberikan pada kasus trauma bahan kimia.Pemeriksaaan pH penting dilakukan
dengan meletakkan secarik kertas indikator di konjungtiva forniks. Irigasi diulang
bila kadar pH tidak berada di kisaran 7,3 dan 7,7. Setelah pembilasan berikan
salep antibiotik dan dibalut tekan.5
Trauma basa memiliki tingkat keparahan yang lebih berat bila dibandingkan
dengan trauma cairan asam. Pada trauma basa, cairan basa akan cepat menembus
jaringan mata dan akan terus menimbulkan kerusakan. Diperlukan bilasan jangka
panjang dan pemantauan pH secara berkala. Pada trauma asam, cairan asam akan
membentuk suatu sawar presipitat jaringan nekrotik yang cenderung membatasi
penetrasi dan kerusakan lebih lanjut. Luka bakar alkalis akan meningkatkan
tekanan intraokular dengan cepat karena terjadi kontraksi sklera dan kerusakan
anyaman trabekular. Dalam 2-4 jam berikutnya, akan terjadi peningkatan tekanan
intraokuler sekunder akibat pelepasan prostaglandin yang berpotensi
menyebabkan uveitis berat.3

Gambar 26.Erosi kornea akibat trauma asam.8

Penatalaksanaan pada trauma kimia dengan memberikan steroid topikal


dalam 2 minggu pertama, siklopegik dan antiglaukoma. Pemberian steroid topikal
harus diperhatikan karena obat ini juga akan menghambat reepitelisasi. Tetes mata
vitamin C bermanfaat untuk luka bakar alkalis derajat sedang, tapi kurang

40
bermanfaat pada derajat berat.Komplikasi pada luka bakar kimia adalah glaucoma
sekunder, pembentukan jaringan parut kornea, simblefaron, entropion dan
keratitis sika.

Gambar 27. Gambaran erosi kornea akibat trauma basa8

41
BAB III
KESIMPULAN

Trauma pada mata dapat terjadi dalam bentuk-bentuk antara lain trauma mekanik
(tumpul dan tajam), trauma kimia (asam dan basa) dan trauma fisik. Pemeriksaan
awal pada trauma mata antara lain meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan
segera sesudah cidera. Harus dicatat apakah gangguan penglihatan bersifat
progesif lambat atau berawitan mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing
intraocular apabila terdapat riwayat memalu, mengasah atau ledakan.
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan ketajaman
penglihatan. Apabila gangguan penglihatannya parah, maka periksa proyeksi
cahaya, diskriminasi dua-titik dan adanya defek pupil aferen. Periksa motilitas
mata dan sensasi kulit periorbita dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada
bagian tepi tulang orbita. Pada pemeriksaan bedside, adanya enoftalmus dapat
ditentukan dengan melihat profil kornea dari atas alis. Apabila tidak tersedia slit
lamp di ruang darurat, maka senter, kaca pembesar atau oftalmoskop langsung
pada +10 (nomor gelap) dapat digunakan untuk memeriksa adanya cidera
dipermukaan tarsal kelopak mata dan segmen anterior.
Permukaan kornea diperiksa untuk mencari adanya benda asing, luka dan
abrasi. Dilakukan inspeksi konjungtiva bulbaris untuk mencari adanya
perdarahan, benda asing atau laserasi. Kedalaman dan kejernihan kamera anterior
dicatat. Ukuran, bentuk dan reaksi terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan
dengan mata yang lain untuk memastikan apakah terdapat defek pupil aferen di
mata yang cidera. Apabila bola mata tidak rusak, maka kelopak, konjungtiva
palpebra dan forniks dapat diperiksa secara lebih teliti, termasuk inspeksi setelah
eversi kelopak mata atas. Oftalmoskop langsung dan tidak langsung digunakan
untuk mengamati lensa, korpus vitreosus, diskus optikus dan retina. Dokumentasi
foto bermanfaat untuk tujuan-tujuan medikolegal pada semua kasus trauma
eksternal. Pada semua kasus trauma mata, mata yang tampak tidak cidera juga
harus diperiksa dengan teliti.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Augsburger, Correa, Z.M. Ophthalmic Trauma. In: Riordan-Eva P,


Cunningham ET [editor]. Vaughan & Asbury’s General Ophthalmology.
18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, 2011: 588 − 94.
2. Pargament, J. M., Armenia, J., Nerad, J.A. Physical and Chemical Injuries
to Eyes and Eyelids. Clinics in Dermatology. 2015; 33: 234 − 237.
3. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Ed. 5. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018: 276 − 290.
4. Kuhn F, Morris R, Witherspoon CD. BETT: The Terminology of Ocular
Trauma. In: Kuhn, F., Pieramici, D.J. (eds). Ocular Trauma. New York:
Thieme Medical Publisher,Inc; 2002
5. Rao, N.K, Goldstein, M.H. Trauma Ocular. In: Yanoff, M., Duker, J.S.
Ophthalmology. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2014: 296 − 8.
6. Kuckelkorn, R., Schrage, N., Keller, G., Redbrake, C. Emergency Treatment
of Chemical and Thermal Eye Burns. Acta Ophthalmol Scand. 2002; 4 − 10.
7. Dal, A. Mechanisms of Corneal Wound Healing and Its Modulation. 2009;
22(2):169 −78.
8. James, Bruce, et al. 2006.Lecture Notes Oftalmologi, 9th eds. Surabaya:
Airlangga.

43

Anda mungkin juga menyukai