Anda di halaman 1dari 43

BAB I

STATUS PASIEN
I.

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
: Tn. Suhadi
RM
: 717849
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 52 tahun
Pekerjaan
: Guru
Alamat
: Bekasi Barat
Status
: Sudah Menikah
Suku Bangsa
: Jawa
Agama
: Islam
Tanggal perawatan : 20 November 2014
Dirawat yang ke : Pertama
Tanggal pemeriksaan: 24 November 2014 25 November 2014

II.

DATA DASAR
A. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 24 November 2014 pukul
11.00 WIB di Bangsal Perawatan Umum RSPAD Gatot Soebroto
Keluhan Utama :
Sesak nafas sejak yang memburuk sejak 4 hari SMRS
Keluhan Tambahan :
Batuk berdarah sejak 7 jam SMRS dan sakit dada yang memberat
sejak 1 th SMRS
RIwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang memburuk sejak 4 hari
SMRS. Sesak dirasakan sepanjang hari, membaik ketika berbaring ke
sebelah kanan dan memburuk bila tidur terlentang, tidak disertai dengan
sesak ketika beraktifitas, tidak terbangun malam karena sesak, dan pasien
tidur cukup dengan satu bantal. Pasien merasakan sesak sudah sejak 1
tahun SMRS, yang semakin memburuk dan membuat pasien tidak dapat
beraktifitas. Sesak ini disertai dengan sakit dada sebelah kanan seperti
ditusuk, sampai ke punggung, tidak menjalar ke bagian yang lain, tidak
diperingan dan diperberat dengan apapun, dengan skala 6/10. Pasien juga
mengeluhkan adanya batuk berdarah sejak 5 bulan SMRS, darahnya
berwarna merah segar, tanpa busa, sebanyak sendok teh setiap batuknya.

Batuk yang dirasakan terus menerus, tanpa ada yang memperingan dan
memperberat, dan tidak disertai dengan keringat malam.
Pasien mengalami penurunan berat badan sejak pertama keluhan sebanyak
> 10 kg tanpa ada program penurunan berat badan. Pasien mengalami
demam hilang timbul, tidak diukur, namun tidak pernah tinggi, dan tidak
diobati dengan apapun. Pasien mengaku tidak memiliki sakit pada tulang
dan sendi, mual muntah, sakit kepala, kelemahan pada tungkai, benjolan
pada leher. Pasien sudah menjalani pengobatan oral kemoterapi yaitu
gefitinib sejak 4 bulan SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak memiliki riwayat batuk lama yang diobati selama 6 bulan,
Riwayat Penyakit Keluaga :
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa dengan pasien,
tidak ada yang terkena flek paru maupun paru-paru basah
Riwayat Kebiasaan Sosial :
Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus per hari selama 37
tahun.

B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Kesadaran

: Compos Mentis

Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Berat badan

: kg

Tinggi badan

: cm

IMT

2. Vital Sign
Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Frekuensi nadi

: 88 x/menit, regular, isi cukup


2

Frekuensi nafas

: 24 x/menit, regular, torakoabdominal

Suhu

: 36.30 C per axilla

3. Status Generalis
Kepala

: Normocephal, distribusi rambut merata

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)

Hidung

: Nafas cuping hidung (-), perdarahan (-), lendir (-)

Mulut

: Mukosa lembab, sianosis (-), faring hiperemis (-) tidak


ada pendarahan mukosa

Telinga

: Nyeri tekan mastoid (-), sekret (-)

Leher

: Tampak simetris, deviasi trakea (-), KGB tidak


teraba, JVP 5+0 cmH2O

Thoraks
Paru
Inspeksi

: bentuk dada normal, gerak dada simetris saat


statis dan dinamis, retraksi intercostal (-)

Palpasi

: taktil fremitus menurun paru kanan, chest


expansion simetris, nyeri tekan (-), massa (-)

Perkusi

: sonor pada paru kiri, pekak pada paru kanan

Auskultasi

: vesicular paru kanan menurun , ronkhi -/- ,


wheezing -/-

Jantung
Inspeksi

: iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

iktus

kordis

teraba

di

ICS

V Linea

midclavicularis
Perkusi
Batas kanan

: ICS V linea sternalis dextra

Batas kiri

: ICS V 1 jari medial linea midclavicula


sinistra

Batas atas
Auskultasi

: ICS III linea parasternal sinistra


: Bunyi Jantung I dan II reg, murmur (-)
gallop ()

Abdomen
Inspeksi

: datar, sikatriks (-), Ascites (-)


3

Auskultasi

: bising usus (+) normal

Perkusi

: timpani pada seluruh kuadran abdomen

Palpasi

: supel, nyeri tekan epigastrik (-), hepar dan lien tidak teraba
massa (-), turgor baik

Pinggang

: Nyeri ketuk CVA (-/-)

Ekstremitas

: Akral hangat, Petekie (-), edema (-), CRT <2 detik

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah
Jenis
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit

HASIL

Nilai
Rujukan

23/10
11.3
34
4.5
16490

13-18 g/dL
40-52%
4.3-6 juta/L
4.800-

678000

10.800/L
150.000400.000/L

Hitung Jenis
Basofil
Eusinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
KIMIA KLINIK
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin

0
2
2
66
20
10
75
25
34
17.10

80-96 fL
27-32 pg
32-36 g/dL
11.5-114.5%

32
29
17
0.6

<35 U/L
<40 U/L
20-50 mg/dL
0.51.5mg/dL

URINALISIS
Warna
Kejernihan
pH

Kuning
Agak keruh
7.0

Berat Jenis
Protein
Glukosa
Bilirubin
Nitrit
Keton
Eritrosit
Leukosit
Slinder
Krsital
Epitel
Darah
Lain-lain

1.020
0-1-0
1-2-1
+
2. Foto Thorax X-ray
Cor : batas kanan tertutup perselubungan
Pulmo : perselubungan homogeny di paru kanan
Sinus dan Diafragma kanan tertutup
Kesan Efusi pleura kanan
Adanya massa pada paru kanan belum dapat disingkirkan
Saran : CT Scan Thorax
3. Foto Bone Survey
Tulang-tulang kepala, humerus, femur dan pelvis, tak tampak lesi
titikmaupun sclerotic.
Tulang-tulang vertebra cervical, torakal, dan lumbosacral, pedikel
intak , tak tampak tanda-tanda destruksi.
Kesan : tak tampak tanda-tanda metastase pada tulang-tulang.
4. Bronkoskopi
5. Analisa cairan tubuh
Analisa Transudat dan Eksudat
Makroskopis
Bahan
Volume
Warna
Bekuan
Berat Jenis
Mikroskopis
Jumlah sel
PMN
MMN
Kimia
Rivalta Test
Protein Darah
Glukosa darah
LDH Darah
Protein cairan
Glucose cairan

Cairan pleura
12 cc
Kuning
Jernih
1.020
790
10
90
POSITIF
5.8
182
543
4.0
202
5

LDH Cairan
581
KESAN
: Cairan pleura sesuai dengan eksudat
6. EKG
Kesan : Atrial Fibrilasi
7. Patologi Anatomi

III.RESUME
Pasien laki-laki berusia 52 tahun datang dengan keluhan dispneu yang
memburuk sejak 4 hari SMRS dan disertai dengan hemoptysis , sakit dada
serta penurunan berat badan >10 kg dan demam yang hilang timbul dalam
1 tahun SMRS.

Pasien telah menerima pengobatan oral kemoterapi

gefonitib sejak 4 bulan SMS. Pasien memiliki riwayat merokok 1


bungkus/hari selama 37 tahun (IB = 377 tergolong resiko sedang )
Pada pemeriksaan fisik ditemukan taktil fremitus menurun, pada perkusi
ditemukan pekak serta suara vesikuler yang menurun pada paru sebelah
kanan depan dan belakang.
Pada pemeriksaan penunjang terdapat anemia, leukositosis, trombositosis
Pada hasil foto toraks terdapat kesan efusi pleura kanan dengan DD tumor
paru belum dapat disingkirkan. Hasil bone scan menunjukkan tidak
tampak metastasis ke tulang. Hasil bronkoskopi, PA
IV. DAFTAR MASALAH
1. Efusi Pleura
2. Leukositosis dan trombositosis
3. Gangguan fungsi hati
4. Obese
V. PENGKAJIAN MASALAH
1. Demam hari ke-4 e.c Demam Berdarah Dengue derajat II
Pasien laki-laki berusia 25 tahun datang dengan demam sejak 4 hari
SMRS sepanjang hari, tidak diukur, turun pada hari ke 4, disertai
dengan nyeri pada belakang kedua bola mata di awal demam tanpa
disertai ruam dan perdarahan spontan dari gusi, hidung, BAB dan
BAK. Pasien juga mengeluhkan BAB cair sebanyak 7 kali dan muntah
sebanyak 3 kali sejak 7 jam SMRS. Pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan tanda-tanda dehidrasi, pasien tergolong dalam kategori obes
6

dengan rumple leed test positif (>20 ptechie dalam 2.5 cm2),
pemeriksaan fisik lain-lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan
penunjang ditemukan adanya hemokonsentrasi ditandai dengan adanya
kenaikan Hemoglobin dan Hematokrit lebih dari 20% yaitu menjadi
57% pada hari keempat demam dan penurunan lebih dari 20% setelah
pemberian cairan yaitu menjadi 47 dan 43 pada hari berikutnya. Hal ini
menandakan adanya kebocoran cairan plasma yang menyebabkan
konsentrasi hemoglobin dan hematocrit dalam darah meningkat. Selain
itu ditemukan juga thrombositopenia, namun dengan anti dengue IgM
dan IgG yang negative.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pada pasien, dibuatlah diagnosis kerja Dengue Hemorrhagic Fever
grade II tanpa diagnosis banding. Hal ini dikarenakan ditemukan gejala
dan tanda yang khas dan memenuhi kriteria Dengue Hemorrhagic
Fever, yaitu :
1. Demam akut yang berlangsung 2-7 hari, kadang-kadang bifasik
2. Kecenderungan pendarahan dengan terjadinya satu diantara :
tourniquet test positif, ekimosis atau purpura, pendarahan dari mukosa,
gastro-intestinal tract, haematemesis atau melena
3. Thrombositopenia hingga kurang dari 100.000 sel/mm2
4. Adanya tanda kebocoran plasma karena meningkatnya permeabilitas
vascular yaitu peningkatan dari hematocrit >20% dari rata-rata sesuai
umur, jenis kelamin dan populasi; penurunan hematocrit > 20% dari
hematocrit awal setelah pemberian cairan; tanda dari adanya kebocoran
plasma seperti efusi pelura, ascites atau hipoproteinemia
Pasien ini digolongkan kedalam dengue hemorrhagic fever grade II
karena memenuhi kriteria berkut :
1. Demam dengan rumple leed test positif
2. Thrombositopenia dan hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit
>20%)
3. Faktor komorbid berupa obesitas
Pasien datang kerumah sakit dengan hasil pemeriksaan laboratorium
yaitu peningkatan hemoglobin dan hematocrit yang berarti sudah

terjadi kebocoran plasma akibat meningkatnya permeabilitas vascular.


Hal ini berarti sudah terjadi penurunan volume vascular dan plasma
kini berada pada ruang interstitial. Penurunan volume vascular bila
terjadi terus-menerus akan menimbulkan syok hipovolemik dan pasien
dapat jatuh pada kriteria dengue shock syndrome. Penatalaksanaan
yang perlu pada tahap ini adalah terapi cairan dengan loading dose
sesuai literatur yaitu 5-7ml/kgBB/jam pada 1-2 jam pertama, kemudian
dilakukan loading berikutnya 3-5ml/kgBB/jam pada 2-4 jam
berikutnya, dan dipantau kembali nilai hemoglobin dan hematokirt
setelah pemberian terapi cairan, apakah menurun atau tidak. Pada
pasien ini telah diberikan IVFD RL 500 cc dalam 1 jam pertama dan
500 cc dalam 4 jam berikutnya, lalu diperiksa kembali Hct nya ternyata
turun dari 57% menjadi 47%. Hal ini mengkonfirmasikan adanya
hemokonsentrasi sebelumnya. Selain itu tanda-tanda vital diperiksa
kembali karena pasien sebelumnya mengalami diare dan muntah walau
tanpa adanya tanda-tanda dehidrasi. Setelah pemberian terapi cairan,
tanda-tanda vital pasien tetap stabil. Pada pasien seharusnya dipasang
kateter urin untuk memantau urin output setiap 4-6 jam untuk
monitoring pemberian cairan. Setelah hematocrit mencapai angka
normal, terapi cairan dirubah dari dosis loading menjadi dosis rumatan
dalam 24 jam yaitu 1500 + 20(BB-20) dengan berat badan 96kg
menjadi 3020ml/24 jam. Setelah dosis terapi cairan dirumah, tetap
dilakukan pemantauan terhadap tanda-tanda vital dan pemeriksaan
darah lengkap keesokan harinya dengan hasil yang normal kecuali
trombositopenia.
Trombositopenia yang terjadi pada pasien merupakan salah satu
kriteria sederhana yang diajukan oleh WHO sebagai diagnosis klinis
penyakit DBD. Penyebab trombositopenia pada DBD diduga terjadi
akibat penurunan produksi trimbosit oleh sumsum tulang, peningkatan
destruksi trombosit di RES dan agregasi trombosit leh endotel vascular
yang rusak. Serta diduga pula kaibat koagulasi intravaskuler serta
pemakaian factor-faktor pembekuan dan trombosit yang meningkat.
Menurut Nimmanitya (1999) penyebab utama trombositopenia adalah
8

destruksi trombosit di perifer oleh antigen virus Dengue secara


langsung tanpa melalui respons imun,
Kebocoran plasma dapat terjadia karena peningkatan permeabilitas
vaskuler yang terjadi pada inveksi virus dengue. Hal ini diakibatkan
karena adanya peran dari IL-6, IL-8 dan RANTES yang dilepas oleh
virus Dengue. Virus dengue juga mengaktivasi komplemen dan
menimbulkan ekspresi molekul adesi seperti ICAM-1 yang bersama
dengan IL-8 dan RANTES akan meningkatkan permeabilitas vaskuler
pula. Pada beberapa penelitian menunjukan adanya destruksi endotel
yang dipicu ole TNFz, IL-1, IL-6 dan IFNg. Jejas endotel ini
menyebabkan munculknya berbagai molekul adesif yang berasal dari
sel endotel itu sendiri dan dari bagian sub-endotel yang kemudian
memicu agregasi trimbosit. Artinya, proses apoptosis yang terjadi pada
sel endotel dengan TNFa menyebabkan sel endotel lepas dari dari
ikatan dengan subednotel dimana didapatkan molekul vonWillebrand
yang muncul pada bermukaan dan bermuara pada agregasi trombosit.
Jejas endotel ini diikuti oleh peningkatan aktivitas prokoagulan, IL-6
yang mempunyai kemampuan untuk menaikkan permeabilitas endotel.
Adanya gangguan endotel akibat jejas dapat diperiksa dengan
plasminogen activator inhibition-1 (PAI-1) dalam sirkulasi.
Obesitas merupakan salah satu factor risiko untuk terjadinya dengue
shock syndrome (sindrom shock dengue) karena meningkatnya
produksi white adipose tissue (WAT) yang akan meningkatkan
produksi dari mediator diatas. Untuk itu kita perlu menghitung index
masa tubuh pada pasien dengan demam berdarah dengue agar
dilakukan pengawasan terhadap tanda-tanda vital. Pengukuran skin
fold thickness bisa digunakan pada anak-anak dengan obesitas.
2. Diare dan muntah
Berdasarkan anamnesis didaptkan riwayat buang air besar dengan
konsistensi cair sebanyak 7 kali sehari sebelum masuk rumah sakit. Hal
ini sesuai dengan definisi diare yaitu buang air besar > 200g/24 jam. Diare

dan muntah pada pasien dengan demam berdarah dengue merupakan


reaksi dari penyakit sistemik.
3. Gangguan fungsi hati
Gangguan fungsi hati ditegakkan berdasarkan hasil dari pemeriksaan
penunjang. Didapatkan kenaikan enzim transaminase yaitu SGOT dan
SGPT yang menandakan adanya gangguan fungsi hati. Gangguan fungsi
hati ini dikenal sebagai reaktif hepatitis yang disebabkan oleh virus
dengue menyerang sel kupffer hepar. Virus dengue yang masuk ke dalam
tubuh manusia akan menyebabkan viremia, dan akan mencari sel target
monosit-makrofag-Kupffer. Akibat intervensi dengue pada hepatosit dan
Kupffer menyebabkan sel mengalami gagguan fungsi. Terjadi inflamasi,
nekrosis hepatoseluler yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer hati
Nekrosis tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang
menyebabkan hepatoseluler mengalami ischemia, inflamasi akit akibat
pengaruh sitokin proinflamatori dan berbagai mediator.
VI. RENCANA PENATALAKSANAAN
A. Rencana Diagnosis
B. Rencana Terapeutik
1. Non-medikamentosa
Tirah Baring
2. Medikamentosa
Terapi cairan
- Loading :
= 5-7 ml/kg/jam selama 1-2 jam
= 5(96) 7(96)
= 480 672 ml/jam
= 500 ml/jam dalam 1 jam pertama
= 3-5 ml/kg/jam dalam 2-4 jam berikutnya
= 3(96) 5(96)
= 288 480 ml/jam
= 500 ml/4jam
Setelah hematocrit mencapai nilai normal , lanjutkan dengan
dosis rumatan
-

Rumatan
=1500 + 20(BB-20)
=1500 + 20(96-20)
= 3020 ml/24 jam

10

Diet lunak 30kkal/kgBB berat badan ideal


= 30 x BBI
= 30 x (90% x [TB-100] x 1 kg)
= 30 x (90& x [170-100] x 1kg)
= 30 x (90% x [70] x 1kg)
= 30 x 63
= 1890 kkal

Domperidon 3 x 10 mg PO bila mual


Ranitidine 2 x 50 mg IV bila mual
Paracetamol 3 x 500 mg PO bila panas

C. Rencana Monitoring
Pemantauan pemeriksaan hematocrit setelah pemberian terapi cairan
dosis loading sampai kadar hematocrit normal kemudian dilakukan
pemeriksaan hematocrit setiap 6 sampai 12 jam sekali.
VII.
Tanggal

TINDAK LANJUT
Follow SOAP

Up
24/10/2014

S : Pasien mengeluhkan nafsu makan berkurang. Pasien tidak


mengeluhkan demam, mual maupun muntah. BAB dan BAK pasien
dalam batas normal.
O : KU baik, Kesadaran compos mentis
TTV BP : 140/90mmHg
RR : 20 x/m , pernafasan cuping hidung (-)
HR : 84 x/m, kuat, isi penuh, reguler
Temp : 35.8 C
Rumple leed (+)
Leher :Pembesaran KGB (-) JVP 5-2 cm H2O
Paru : Normovesikuler, Ronchi (-/-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop(-)

11

Abdomen : Supel, bising usus (+), ascites (-)


Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik, Petekie (-), Edema (-)
Lab : Trombositopenia
A : Demam Berdarah Dengue derajat II, Gangguan fungsi hepar e.c
reaktif hepatitis
P : Tirah baring
Diet lunak 1890 kkal
IVFD RL 500 cc/6 jam
Curcuma 3 x 200 mg PO
Lab: DPL setiap 12 jam
Monitor BP
25/10/2014

S : Pasien mengatakan tidak ada keluhan


O : TD : 140/80 mmHg
Nadi : 84 x/m, kuat angkat, isi penuh, regular
RR : 20 x/m, kussmaul (-)
Temp : 37 C
Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik
Leher : JVP 5-2cm H2O
Paru : Vesikuler, rhonki (-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)
splenomegaly (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)
Lab trombosit 99000
A

: Demam Berdarah Dengue derajat 2, peningkatan enzim

transaminase ec reaktif hepatitis


P : Tirah baring
Diet lunak 1890 kkal
IVFD RL 500 cc/6 jam
12

Curcuma 2 x 200 mg PO
26/10/2014

Monitor BP
S : Pasien merasa lebih baik, tidak ada keluhan.
O : TD : 135/90 mmHg
HR : 87 x/m kuat reguler isi penuh
RR : 23 x/m
Temp : 36,3C
Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik
Leher : JVP 5-2cm H2O
Paru : Vesikuler, rhonki (-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)
splenomegaly (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)
Lab trombosit 163000
A : Demam Berdarah Dengue derajat 2
Peningkatan enzim transaminase e.c reaktif hepatitis
Hipertensi Grade I
P : Tirah baring
Diet lunak 1890 kkal
IVFD RL 500 cc/6 jam
Curcuma 2 x 200 mg PO
Thiazide 2 x 25 mg
Periksa laboratorium fungsi hati besok

27/10/2014

S : Pasien merasa lebih segar. Demam sudah tidak ada. Mual dan
muntah tidak ada, BAB dan BAK dalam batas normal
O : TD : 140/70 mmHg
HR : 84 x/m kuat reguler isi penuh

13

RR : 24 x/m
Temp : 36.3C
Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik
Leher : JVP 5-2cm H2O
Paru : Vesikuler, rhonki (-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)
splenomegaly (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)
Lab SGOT/SGPT 150/102 ; ALP/GGT 92/102
A : Demam berdarah dengue derajat 2
peningkatan enzim transaminase e.c reaktif hepatitis
hipertensi grade I
P : Tirah baring
Diet lunak 1890 kkal
IVFD RL 500 cc/6 jam
Curcuma 2 x 200 mg PO
Thiazide 2 x 25 mg
Periksa lab IgM dan IgG anti dengue besok dan darah lengkap, bila
28/11/2014

bagus besok bisa pulang


S : Pasien tidak memiliki keluhan apapun
O : TD : 140/70 mmHg
HR : 84 x/m kuat reguler isi penuh
RR : 24 x/m
Temp : 36.3C
Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik
Leher : JVP 5-2cm H2O
Paru : Vesikuler, rhonki (-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)
splenomegaly (-)
14

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)
Lab > IgM dan IgG anti dengue negative, lain-lain dalam batas
normal
A: Demam berdarah dengue derajat 2
reaktif hepatitis
hipertensi grade I
P : Pasien boleh pulang, kontrol ke poli penyakit dalam bila ada
keluhan
Curcuma 2 x 200 mg PO
Thiazide 2 x 25 mg

VII. PROGNOSIS
Ad vitam
Ad fungsional
Ad sanamtionam
Ad costmeticum

: Ad bonam
: Ad bonam
: Ad bonam
: Ad bonam

15

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendahuluan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini
dapat terjadi pada semua kelompok umur terutama pada anak-anak. DBD adalah salah
satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.(1,2)

Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus dengue(6)


2.2 Etiologi
Agent Infeksius DBD termasuk dalam grup B Antropod Borne Virus (Arboviroses)
kelompok flavivirus dari family flaviviridae. Keempat serotipe virus Dengue (DEN-1,
DEN-2,DEN-3, DEN-4) dapat dibedakan dengan metode serologi. Infeksi pada
manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap
infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi perlindungan sementara
terhadap serotipe yang lain. Seseorang akan kebal seumur hidup terhadap serotip yang
menyerang pertama kali, namun hanya akan kebal dalam waktu 6 bulan - 5 tahun
terhadap serotipe virus Dengue lain. DEN 3 merupakan serotipe yang paling sering
ditemui selama terjadinya KLB di Indonesia diikuti DEN 2, DEN 1, dan DEN 4. DEN
3 juga merupakan serotipe yang paling dominan yang berhubungan dengan tingkat
keparahan penyakit yang menyebabkan gejala klinis yang berat dan penderita banyak
yang meninggal. Dengue 1 dan 2 ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang

16

dunia ke II., sedangkan Dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun
1953-1954. Virus Dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitive terhadap
inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksisiklat, stabil pada suhu 700C.(1,2,3)
2.3 Epidemiologi
Istilah hemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada
tahun 1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968,
tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970 dan pada tahun 1993 DBD
telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Dalam 50 tahun terakhir, tercatat
insidens kasus demam berdarah dengue telah meningkat 30 kali seiring dengan
perkembangan dan pertambahan penduduk dari kota ke desa dalam dekade terakhir
ini.
Penyakit DBD di Indonesia merupakan salah satu emerging disease
denganinsiden yang meningkat dari tahun ke tahun.Adapun jumlah penderita DBD di
Indonesia sepanjang tahun 1999 sebanyak 21.134 orang, tahun 2000 sebanyak
33.443orang, tahun 2001 sebanyak 45.904 orang, tahun 2002 sebanyak 40.377 orang,
dan tahun2003 sebanyak 50.131 orang. Pada tahun 2000 insiden rate sebesar 15,75
per 100.000 penduduk meningkat pada tahun 2001 sebesar 17,2 % per 100.000
penduduk. Jumlah kasus DBD di Indonesia antara Januari sampai Maret 2004 secara
kumulatif yangdilaporkan dan ditangani sebanyak 26.015 kasus, dengan kematian
mencapai 389 ( CFR= 1,53 % ).Fenomena perdarahan sering terjadi pada DBD.
Berdasarkan penelitian Dari 341 sampel pasien DBD dewasa, terdapat 190 pasien
dengan jumlah trombosit 88.820 / mm3 dan 151 pasien dengan jumlah trombosit
>88.820 / mm3. Dari 190 pasien dengan jumlah trombosit 88.820 / mm3, 10
diantaranya terjadi manifestasi perdarahan berat dan 180 sisanya tidak terjadi
manifestasi perdarahan / terjadi perdarahan ringan. Dari 151 pasien dengan jumlah
trombosit > 88.820 / mm3, 2 di antaranya terjadi manifestasi perdarahan berat dan 149
sisanya tidak terjadi manifestasi perdarahan / terjadi perdarahan ringan.
Di seluruh dunia, diperkirakan sedikitnya terdapat 50 juta dari 2,5 milyar
penduduk yang tinggal di daerah endemik terinfeksi virus dengue setiap tahunnya.
Dengue merupakan penyebab demam kedua tertinggi setelah malaria. Infeksi dengue
ini endemis pada banyak negara Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika dan
hiperendemis di Thailand. Demam berdarah dengue kebanyakan terjadi pada anak
usia kurang dari 15 tahun. Anak golongan usia 10 15 merupakan golongan umur
tersering menderita DBD dibandingkan dengan bayi dan orang dewasa, dan sekitar
17

50% penderita DBD merupakan golongan umur tersebut. Anak perempuan lebih
beresiko menderita DBD dibandingkan anak laki laki, namun dalam penelitian di
Indonesia didapati laki laki lebih tinggi terkena DBD dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 4:1 dikarenakan nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit
pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00 12.00 dan 15.00
17.00, pada jam tersebut anak-anak biasanya bermain di luar rumah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi beratnya penyakit, seperti faktor host,
serotipe virus atau genotype, sekuens infeksi virus, perbedaan antibodi crossreactive
dengue, dan respons sel T. Usia lebih tua sebelumnya dilaporkan memiliki faktor
risiko untuk mortalitas pada demam dengue atau demam berdarah dengue sebagai
komorbiditas yang berhubungan dengan penuaan dan penurunan imunitas sebagai
faktor risiko untuk fatalitas pada pasien tua dengan infeksi aktif. Walaupun syok dan
kebocoran plasma lebih sering terjadi pada usia muda, frekuensi perdarahan internal
dapat terjadi seiring dengan pertambahan usia. Selain itu komplikasi infeksi dengue
pada dewasa, seperti demam dengue dengan perdarahan dan DBD mengalami
peningkatan.(3,4,5,12)

Gambar 2. Epidemiologi penyebaran DBD di seluruh dunia(7)

18

2.4 Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.Maka
demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh
karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan
bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses
yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa
hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga
dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah
banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus
antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
19

permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang


intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma
dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit,
penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi
pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan
asidosis dan anoksia yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok
sangat penting guna mencegah kematian

Gambar 3. Patogenesis syok pada DBD(1,2)


Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain
dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan
replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik
dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi
virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan
wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan
wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan
laboratoris.

20

Gambar 4. Patogenesis perdarahan pada DBD(1,2)


Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan
mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah.
Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit
terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran
trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan
oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi
trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan
terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata),
ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi
penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain,
aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi

21

aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.(1,2,3,7,8,9)
2.4.1 Efek Dengue terhadap sel hepar
Selain monosit / makrofag yang menjadi sel target, maka hepatosit dan kupffer juga
merupakan sasaran intervensi Dengue. Sebelum mencapai sel target, virus dengue
dihadang oleh komplemen, terjadi hiperaktivitas komplemen. Selain komplemen,
virus dengue dicegah oleh interferon dan interferon agar tidak replikasi. Namun
karena kelemahan sistem imun, dengue tetap masuk ke dalam sirkulasi dengan
berlindung didalam monosit, makrofag dan hepatosit. Pada berbagai sel terjadi
perubahan bagian eksternal dan internal disertai inflamasi akut. Akibat intervensi
dengue pada hepatosit dan kupffer menyebabkan sel mengalami gangguan fungsi.
Terjadi inflamasi nekrosis hepatoseluler yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer
hati. Nekrosis tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang mengakibatkan
hepatoseluler mengalami iskhemia, inflamasi akut akibat pengaruh sitokin
proinflamatori dan berbagai mediator, serta dampak negatif oksidan. Kelainan pada
hepatosit dan kupffer mendorong terjadi hepatitis akut, bahkan gagal hati akut yang
terjadi pada 12-62% penderita DBD akibat kematian sel melalui nekrosis maupun
apoptosis patologis.(2,6,11)
2.4.1 Mekanisme perdarahan pada infeksi virus dengue
Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan
patofisiologi primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi
pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler yang nyata
tidak terjadi.
Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD dan
DSS yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Hampir
semua

penderita

dengue

mengalami

peningkatan

fragilitas

vaskuler

dan

trombositopeni, serta koagulogram yang abnormal.

22

Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan seluler,
antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul
pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi primer, dan pada
infeksi sekunder kadarnya telah meningkat.
Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat
pada minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.pada
infeksi primer antibodi IgG meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada
infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari kedua. Karenanya diagnosis infeksi
primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima sakit,
sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan lebih dini.
Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E dan monoclonal
antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi aktifitas
netralisasi atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi lisis.
Proses ini melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh dengan memiliki
kekebalan terhadap serotipe virus yang sama.
Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe yang
berbeda, maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen setelah
difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC II).
Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1
dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap
infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi imunomodulator yaitu
INF, IL-2, dan Colony Stimulating Factor (CSF). IFN akan merangsang makrofag
untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF.Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek pada sel
endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi intercelluler adhasion
molecule 1 (ICAM 1).
Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrophil, oleh pengaruh
ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan beradhesi dengan sel
endothel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel lisis dan endothel
terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi
pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga endothel menjadi nekrosis dan
mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler.

23

Antigen yang bermuatan MHC I akan diekspresikan di permukaan virus


sehingga dikenali oleh limfosit T CD8+ yang bersifat sitolitik sehingga menhancurkan
semua sel yang mengandung virus dan akhirnya disekresikan IFN dan TNF.
VASKULOPATI
Karakteristik

DBD

adalah

adanya

plasma

leakage

dengan

manifestasi

hemokonsentrasi, efusi pleura, dan atau ascites. Sebelumnya plasma leakage diduga
akibat peningkatan permeabilitas vaskular selain adanya penemuan baru, yaitu
menduga adanya dekstruksi selendotel disertai pelepasan mediator inflamasi (IL-6,
IL-8 dan RANTES) yang dilepas oleh virus dengue. Virus Dengue juga mengaktivasi
komplemen dan menimbulkan ekspresi molekul ICAM-1, ekspresi dari ICAM-1
bersama IL-8 dan RANTES akan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Gangguan
vaaskuler akibat infeksi Virus Dengue yang paling sederhana dapat dilihat dengan uji
torniquet positif disertai petekie yang sering muncul pada awal demam sebelum
terjadi trombositopenia. Penelitian dengan melakukan biopsi pada permukaan kulit
yang berpetekie menunjukkan adanya infiltrasi limfosit dan makrofag yang berisi
antigen Dengue. Penelitian lain mendapatkan IgM anti Dengue , komplemen dan
fibrinogen pada kulit berpetekie yang dibiopsi. Meskipun belum diketahui secara
pasti, adanya vaskulopati kemungkinan akibat pengaruh langsung dari virus Dengue
yang dimediasi oleh respons imun.
Endotel merupakan bagian dalam pembuluh darah adalah suatu sel berlapis tunggal
(monolayer) yang berpengaruh akibat jejas. Pada infeksi virus Dengue, kematian sel
endotel dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis yang dipicu oleh TNF serta
sitokin produk respons imun akibat infeksi virus Dengue.
Antigen virus dengue dapat menyerang trombosit secara langsung tanpa melalui
respons imun, ikatan antara antigen virus Dengue dengan antibodi virus Dengue
berinteraksi dengan trombosit, serta infekksi virus Dengue menyebabkan modulasi
endotel. Respons imun individu akibat teraktivasi virus Dengue dapat memberikan
dampak positif berupa penghancuran virus atau sebaliknya justru memberikan
dampak negatif yang berakhir dengan jejas dan kematian endotel melalui sitokin yang
memegang peranan penting dalam perjalanan penyakit infeksi Virus Dengue, yaitu
TNF, IL-1, IL-6 dan IFN. Berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa jejas
endotelmenyebabkan munculnya berbagai molekul adesif yang berasal dari sel
endotel itu sendiri dan dari bagian sub-endotel yang kemudian memicu agregasi
trombosit. Artinya, proses apoptosis yang terjadi pada sel endotel dengan TNF
24

sebagai fasligand menyebabkan sel endotel lepas dari ikatan dengan sub-endotel di
mana didapatkan molekul vonWillebrand yang muncul pada permukaan dan bermuara
pada agregasi trombosit. Jejas endotel diikuti oleh peningkatan aktivitas prokoagulan,
IL-6 mempunyai kemampuan untuk menaikkan permeabilitas endotel. Ini beraarti, IL6 nampaknya juga menyebabkan jejas pada endotel. Adanya gangguan endotel akibat
jejas dapat diperiksa denngan plasminogen activator inhibition-1 yang meningkat
dalam sirkulasi. Perkembangan baru dari disfungsi endothelial adalah konsep
mikropartikel. Semua penderita DBD menunjukkan penurunan kadar mikropartikel
pada masa akut penyakit dan meningkat secara bermakna pada masa rekonvalesensi.
TROMBOPATI DAN TROMBOSITOPENIA
Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan dua keadaan yang hampir selalu
muncul pada penyakit akibat infeksi Virus Dengue. Trombositopenia diduga akibat
penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang, peningkatan destruksi trombosit
di RES dan agregasi trombosit oleh endotel vaskular yang rusak. Diduga pula akibat
Koagulasi Intravaskuler serta pemakaian faktor-faktor pembekuan dan trombosit yang
meningkat.
Penyebab utama trombositopenia adalah penurunan produksi dan destruksi trombosit
di perifer. Destruksi trombosit diperani aktivasi komplemen seperti ikatan antara
trombosit dengan fragmen dan antigen virus atau serangan langsung oleh virus
terhadap trombosit tanpa melalui respons imun. Trombositopeni terjadi akibat
pemendekan umur trombosit dan penurunan fungsi trombosit akibat infeksi virus
Dengue. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya sekresi ADP dan metabolit
prostaglandin plasma (PGI2) yaitu 6-keto-PGFIa. Respons trombosit pada infeksi
dengue secara umum ada 4 tipe yaitu (1) perubahan bentuk trombosit dari keping
pipih menjadi bulat berduri, (2) adhesi, melekatnya trombosit pada subendothelium
dinding pembuluh darah atau pada jaringan kolagen, (3) agregasi, melekatnya
trombosit sau sama lain, (4) sekresi, misalnya ADP, Tromboxane A2 yang juga
disekresi oleh ganula padat dalam trombosit. Inaktivasi platelet oleh PGI2 pada
endotel diduga sebagai yang bertanggung jawab atas tidak adanya platelet adherence.
KOAGULOPATI
Hemostasis pembuluh darah dipertahankan melalui keseimbangan antara koagulasi
dan fibrinolisis. Sistem koagulasi diaktifkan melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik
untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Sistem fibrinolisis merusak jaringan fibrin
menjadi fibrin degradation products (FDP).
25

Banyak penelitian mekanisme terjadinya perdarahan yang mengidentifikasi adanya


koagulopati pada beberapa kasus DBD. Hampir semua kasus DBD disertai syok
terjadi koagulopati. Dengan perpanjangan activated partial thromboplastin time
(APTT). Pada infeksi akut virus Dengue, parameter koagulasi yang sering digunakan
adalah trombosit dan APTT dan parameter fibrinolisis adalah tissue Plasminogen
Activator dan plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Mekanisme yang mungkin
dapat menjelaskan terjadinya koagulopati adalah adanya kompleks virus antibodi atau
mediator fagosit yang terinfeksi virus DBD. Koagulasi akan diaktifkan secara
mengikuti kaskade yang diawali dengan aktivasi faktor XII menjadi faktor XIIa.
Faktor

XII

selanjutnya

nengaktifkan

sistem

fibrinolisis

berupa

perubahan

plasminogen menjadi plasmin. Plasmin akan memecah fibrin polimer menjadi


fragmen X dan Y. Fragmen Y dipecah lagi menjadi 2 fragmen D dan 1 fragmen E
yang dikenal dengan D-dimer. Degradasi fibrin mempunyai sifat sebagai anti
koagulan sehingga jumlah yang cukup banyak akan menghambat hemostasis.
Aktivasi sitem koagulasi dan fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya
berbagai faktor koagulasi seperti fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX dan X serta
plasminogen. Keadaan ini menyebabkan dan memperberat perdarahan pada pasien
DBD, ditambah lagi dengan adanya trombositopenia. Sistem komplemen dan sistem
kinin yang berperan dalam proses inflamasi diaktifkan pula oleh faktor XIIa berakibat
peningkatan pembuluh darah yang berperan pada proses terjadinya syok.
KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA
KID adalah sindrom klinis yang ditandai oleh aktivasi sistem koagulasi secara luas
yang berakibat terbentuknya fibrin intravaskuler dan akhirnya terjadi trombosis
pembuluh darah sehingga terjadi penurunan darah ke organ dan menyebabkan
kegagalan organ. Akibat koagulasi yang berlebihan akan terjadi defisiensi trombosit
dan faktor-faktor koagulasi sehingga dapat menyebabkan perdarahan berat.
Peranan KID pada pasien DBD telah banyak diteliti. Mekanisme kemungkinan atas
dasar antigen antibodi mengaktifkan faktor XII, reaksi pelepasan trombosit atau
pengelupasan endotel dan terpapar kolagen subendotel dan membran basalis.
Pada penderita DBD ditemukan peningkatan minimal kadar FDP dan tidak
berhubungan dengan beratnya penyakit. Pada penderita dengan peningkatan FDP,
ditemukan masa tromboplastin parsial dan masa protrombin yang agak memanjang.
FDP yang meningkat disertai trombositopenia menunjukkan adanya proses koagulasi
intravaskuler merupakan hal yang mengakibatkan perdarahan tetapi belum
26

membuktikan adanya KID. DBD dengan syok dan asidosis berkepanjangan dapat
dapat mencetuskan KID.
Pada semua kasus DBD ditemukan manifestasi KID tipe akut. Mekanisme perdarahan
pada DBD salah satunya disebabkan oleh consumptive coagulopathy yang terjadi
pada sebagian besar kasus. Hampir seluruh kasus dengan syok terjadi coagulopathy,
manifestasinya karena prolonged partial thromboplastin time. Perubahan pada fungsi
liver dan waktu protrombin normal / sedikit memanjang, menunjang terjadinya
consumptive coagulopathy.(1,2,8,9,11)

Gambar 5. Mekanisme Perdarahan infeksi Virus Dengue(1)


2.5 Gejala Klinis DBD
Penggolongan Demam Dengue :

Demam Dengue

Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi gejala, seperti : nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam pada kulit,
manifestasi perdarahan, dan leukopenia serta di tunjang dengan pemeriksaan
laboratorium serologis IgM dan IgG.

Demam Berdarah Dengue

Gejala yang di timbulkan antara lain demam yang tinggi (38C 40C), manifestasi
perdarahan, hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya
27

syok ( sindrom syok dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat
menyebabkan kematian. Trombositopenia dengan hemokonsetrasi secara bersamaan
adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DBD.

Dengue Shock Syndrome

Dengue shock syndrom merupakan suatu keadaan yang sangat buruk, penderita DBD
dalam keadaan apapun perlu mendapatkan perawatan dan pemantauan yang serius,
terutama jika demam mendadak turun. Selain menjadi indikasi kesembuhan,
penurunan suhu tubuh sering menjadi gejala awal penderita memasuki tahap dengue
shock syndrome.
Tanda khas dari dengue shock syndrome antara lain kulit menjadi dingin, kongesti,
sianosis, nadi cepat, letargi kemudian menjadi gelisah dan dengan cepat memasuki
tahap kritis dari shock. Gejala yang sering sebelum shock adalah nyeri perut akut.
Pasien yang shock dalam bahaya kematian bila pengobatan yang tepat tidak segera
diberikan. Penderita akan sembuh dengan cepat setelah terapi penggantian volume
yang tepat.
Berdasarkan kelemahan dari kriteria sebelumnya maka WHO pada tahun 2009
mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus dengue, yaitu
kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue :

28

Gambar 5. Diagnosis Demam Berdarah (3,5)


2.5.1 Manifestasi Klinis

Demam akut, suhu tinggi dan kontinyu dalam waktu kurang lebih 2-7 hari
Manifestasi pendarahan :
- Tes torniquet positif
- Petekie
- Purpura
- Ekimosis
- Epistaxis
- Pendarahan gusi
- Hematemesis / melena
Pembesaran hati (hepatomegali) pada 90%-98% kasus anak. Frekuensi

dipengaruhi waktu perjalanan penyakit.


Syok dengan manifestasi takikardi, perfusi jaringan yang rendah ditandai
dengan pulsasi lemah, tekanan darah rendah atau menurun hingga 20 mmhg,
akral dingin dan perasaan lelah serta lemas.(1,2,3,5,12)

2.5. Perjalanan Penyakit DBD


WHO pada tahun 2009 membagi gejala klinis demam dengue menjadi 3 fase :
1. Fase Demam

29

2. Fase Kritis
3. Fase Recovery

Fase I Fase Demam

Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering disertai muka kemerahan, eritema
kulit, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia, dan sakit kepala. Beberapa pasien dapat
memiliki gejala sakit tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi konjungtiva.
Anorexia, mual, dan muntah sering terjadi dan dapat sulit dibedakan dengan demam
non-dengue pada fase awal. Uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan kepastian
dari dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa (mis. hidung dan gusi) dapat terlihat. Gejala tidak khas seperti perdarahan
vagina dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi. Hati dapat membesar dan terasa
sakit pada beberapa hari sewaktu demam. Penurunan sel darah putih dapat
memberikan tanda sebagai infeksi dengue. Tanda dan gejala ini kurang dapat
membedakan antara severe dan non severe dengue sehingga perlu monitoring lebih
untuk berhati - hati dalam menilai fase perkembangan ke fase kritis.

Fase II Fase Kritis

Pada tahap ini, demam masih berlangsung pada hari ke 3 7 namun temperatur
sedikit menurun yaitu 37.5 38C atau lebih rendah dan juga menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler dengan level hematokrit yang meningkat. Periode
kebocoran plasma berlangsung selama 24 48 jam. Leukopenia parah diikuti dengan
penurunan hitung trombosit mengindikasikan terjadinya kebocoran plasma. Pada
pasien dengan tidak diikuti peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik namun
pasien yang memiliki keadaan tersebut akan bertambah parah dengan kehilangan
volume plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari tingkat
keparahan kebocoran plasma tersebut. Maka foto thorax dan USG abdomen dapt
digunakan sebagai alat bantu diagnosa. Kadar hematokrit yang melebihi batas normal
dapat digunakan sebagai acuan melihat derajat keparahan kebocoran plasma. Syok
dapat terjadi jika volume plasma berkurang hingga titik kritis dan sering didahului
oleh warning signs. Syok yang berlangsung lama, menyebabkan hipoperfusi organ
sehingga dapat mengakibatkan gangguan organ, metabolik asidosis, dan Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC)

Fase III Fase Penyembuhan/Recovery

30

Pasien yang melewati fase kritis akan memasuki fase recovery dimana terjadi
reabsorpsi cairan extravaskular dalam 48-72 jam, dimana keadaan umum akan
membaik, nafsu makan bertambah, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi. Ruam, pruritis, bradikardia dapat terjadi
pada fase ini. Hematokrit dapat kembali stabil atau menurun akibat efek pengenceran
dari absorpsi cairan. Sel darah putih perlahan mengalami peningkatan setelah suhu
tubuh menurun diikuti dengan peningkatan trombosit. Respiratory distress akibat efusi
pleura masif dan ascites dapat terjadi akibat dari terapi cairan IV yang berlebih
sewaktu fase kritis ataupun fase recovery yang dapat dikaitkan d engan edema paru
atau gagal jantung kongestif.(3,5,7,9)

Gambar 6. Fase perjalanan penyakit Demam Berdarah(3,5)


2.7.2 Pemeriksaan Laboratorium

Trombositopenia (100.000 sel/mm3)


Hemokonsentrasi ; peningkatan hematokrit 20% dari baseline pasien atau
baseline populasi dengan usia yang sama

kriteria

klinis

pertama

ditambah

dengan

adanya

trombositopenia

dan

hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit sudah cukup untuk menegakkan


diagnosis DBD. Adanya pembesaran organ hati bersamaan dengan 2 kriteria klinis

31

pertama merupakan faktor prediksi gejala DBD sebelum adanya peningkatan


kebocoran plasma. Efusi pleura berdasarkan x-ray thorax atau ultrasound pada pasien
merupakan bukti objektif dari kebocoran plasma sementara hipoalbumin berperan
sebagai bukti penyerta.
Pada

kasus

syok,

adanya

trombositopenia,

peningkatan

hematokrit

dan

trombositopenia merupakan faktor prediksi Dengue Syok Sindrom. ESR yang rendah
(<10mm/jam pertama) pada syok membedakan DSS dengan syok septik.

Peningkatan Enzim transaminase

Dalam pekerjaannya, hati kita membuat beberapa produk, termasuk jenis protein yang
disebut sebagai enzim. Gambaran enzim transaminase adalah sejenis tes yang
digunakan untuk mengukur level beberapa jenis enzim hati, yang merupakan protein
spesifik yang membantu tubuh untuk memecahkan dan menggunakan (metabolisme)
substansi yang lain.Produk ini dapat keluar dari hati dan masuk ke aliran darah.
Tingkat produk tersebut dapat diukur dalam darah.
-

Bagian gambaran enzim transaminase

Produk berikut biasanya diukur sebagai bagian dari gambaran enzim transaminase:
ALT (alanin aminotransferase), juga dikenal sebagai SGPT (serum glutamik piruvik
transaminase)
AST (aspartat aminotransferase), juga dikenal sebagai SGOT (serum glutamik
oksaloasetik transaminase)
-

Hasil Tes

Penyakit hati yang berbeda akan menyebabkan kerusakan yang berbeda, dan tes
fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan ini. Hasil tes fungsi hati dapat memberi
gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin menyebabkan kerusakan, tetapi tes
ini tidak mampu mendiagnosis akibat penyakit hati. Hasil tes ini juga bermanfaat
untuk memantau perjalanan penyakit hati, tetapi sekali lagi, mungkin tidak memberi
gambaran yang tepat. Namun biasanya hasil tes fungsi hati memberi gambaran
mengenai tingkat peradangan.
-

Enzim Hati

ALT adalah lebih spesifik untuk kerusakan hati. ALT adalah enzim yang dibuat dalam
sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim
lain. Biasanya peningkatan ALT terjadi bila ada kerusakan pada selaput sel hati.
Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada selaput sel hati.

32

Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT. Peradangan
pada hati dapat disebabkan oleh hepatitis virus, beberapa obat, penggunaan alkohol,
dan penyakit pada saluran cairan empedu.
AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung, ginjal dan otak.
Jadi tes ini kurang spesifik untuk penyakit hati. Dalam beberapa kasus peradangan
hati, peningkatan ALT dan AST akan serupa.
Metode diagnosis molekuler yang seringkali dipilih adalah metode diagnosis
molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan
hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi
pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat
menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak
digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai
hari ke 2.(4,5,6,7,8)
2.7.3 Klasifikasi DBD
Menurut WHO, Demam Berdarah Dengue dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Demam Dengue
Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari disertai dengan 2 dari gejala dibawah :
Nyeri kepala
Nyeri sendi
Nyeri otot
Nyeri belakang mata
Manifestasi pendarahan
Tidak ada manifestasi kebocoran plasma
Pemeriksaan Penunjang:
Leukopenia <5000
Trombositopenia <150.000
Peningkatan hematokrit 5-10%
Tidak ada bukti kehilangan plasma
2. Demam Berdarah Dengue derajat 1
Demam dengan manifestasi pendarahan (torniquet tes positif) dan bukti kebocoran
plasma
Lab didapatkan trombositopenia <100.000 dan peningkatan hematokrit >20%

33

3. Demam Berdarah Dengue derajat 2


Seperti derajat 1 ditambah dengan manifestasi pendarahan spontan
Lab didapatkan trombositopenia <100.000 dan peningkatan hematokrit >20%
4. Demam Berdarah Dengue derajat 3
Seperti derajat 1 dan 2 namun didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah, hipotensi, sianosis disekitar mulut, akral dingin dan lembab, gelisah
Lab didapatkan trombositopenia <100.000 dan peningkatan hematokrit >20%
5. Demam Berdarah Dengue derajat 4
Seperti derajat 3 dengan Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidak terukur
Lab didapatkan trombositopenia <100.000 dan peningkatan hematokrit >20%
(3,5,7,8,9)

Gambar 7. Derajat demam berdarah(6)


2.8. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan
plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat
perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang
perawatan biasa. Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan
intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan
perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid

34

dankoloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan
memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal
yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit
DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak
baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dantidak tertolong. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi
masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok)
dengan baik.(4,5,6,9,12)
2.8.1 Penatalaksanaan pasien DBD menurut protokol

Protokol 1 Pasien Tersangka DBD

Protokol 1 ini dapat digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan


pertama pada pasien DBD atau yang diduga DBD di Puskesmas atau Istalasi Gawat
Darurat Rumah Sakit dan tempat perawatan lainnya untuk dipakai sebagai petunjuk
dalam memutuskan indikasi rujuk atau rawat.
Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih belum
tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht, lekosit dantrombosit)
mungkin masih dalam Batas-Batas normal, sehingga sulit membedakannya dengan
gejala penyakit infeksi akut lainnya. Perubahan ini mungkin terjadi dari saat ke saat
berikutnya. Maka pada kasus-kasus yang meragukan dalam menentukan indikasi
rawat diperlukan observasi/ pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis danpemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan Hb,
Ht, danjumlah trombosit.
Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah
1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan
a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/pl
b. Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/pl
Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dantrombosit dalam batas
nomal dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke poliklinik/ Rumah Sakit
dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan pasien rnemburuk agar segera
kembali ke Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan.

35

Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk sementara
pasien tetap diobservasi di Puskesmas dengan aniuran minum yang banyak, serta
diberikan infus ringer laktat sebanyak 500cc dalam empat jam. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit.
Pasien di rujuk apabila didapatkan hasil sebagai berikut.
1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl
atau
2. Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit kurang dari 150.000/pl
Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan
jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dandalam waktu 24 jam kemudian diminta
kontrol ke Puskesmas/poliklinik atau kembali ke IGD apabila keadaan menjadi
memburuk. Apabila masih meragukan, pasien tetap diobservasi dantetap diberikan
infus ringer laktat 500cc dalam waktu empat jam berikutnya. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan ulang Hb. Ht dan jumlahtrombosit.
Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut.
1. Nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang
dari100.000/ul
2. Nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya dengan jumlah
trombosit normal
atau menurun
Selama diobservasi perlu dimonitor tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan
serta jumlah urin minimal setiap 4 jam.

Protokol 2 DBD Tanpa perdarahan masif dan syok

Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif petekie,
purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di ruang rawat ;
pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama.
Cairan lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer
laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam
larutan garam atau NaCl 0,9%. Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan
selama 24 jam, pasien mengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat
badan sekitar 50-70 kg diberikan ringer laktat per infus sebanyak 3.000 cc dalam
waktu 24 jam. Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infus
dapat dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien dengan berat badan

36

lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/ 24 jam. Jumlah
cairan infus yang diberikan harus diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa
dengan kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien
dengan kelainan jantung/ginjal atau pada pasien lanjut usia lanjut serta pada pasien
dengan riwayat epilepsi. Pada pasien dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan
elektrokardiografi merupakan salah satu standar prosedur operasional yang harus
dilakukan.
Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap harinya
tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu
tubuh mulai turun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar dua liter
dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah
trombosit mulai meningkat lebih dari 50.000/pi, maka jumlah cairan infus selanjutnya
dapat mulai dikurangi. Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD
dewasa tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien dengan
jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl, sedangkan untuk pasien DBD dewasa
dengan jumlah trombosit berkisar 100.000 - 150.000/pl,pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan setiap 24 jam.
Pemeriksaan tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin
dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk dengan
didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut harus
lebih diperketat.
Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena penanganan
pasien DSS lebih sulit, dandisertai dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Tandatanda syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien tampak gelisah, atau
adanya penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin dan tampak pucat, serta jumlah
urin yang menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan
tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut. Tanda-tanda
lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik kurang dari 100
mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dankecil. Apabila didapatkan
tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus segera diberikan.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (perdarahan
dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit < 100.000/pl,

37

dengan atau tanpa koagulasi intravaskular disseminata (KID). Pasien DBD dengan
trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit.
Pasien dapat dipulangkan apabila
1. Keadaan umum /kesadaran dan hemodinamik baik, serta tidak demam
dalam 48 jam,
tidak ada gangguan pernafasan
2. Pada umumnya Hb, Ht danjumlah trombosit dalam batas normal serta stabil
dalam 24
jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit belum
mencapai normal
(diatas 50.000) pasien sudah dapat dipulangkan.
Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya atau trombosit
belum dalam batas normal, maka diminta kontrol ke poiliklinik dalam waktu 1x24
jam atau bila kemudian keadaan umum kembali memburuk agar segera dibawa ke
UGD kembali.

Protokol 3 DBD dengan perdarahan spontan dan masif, tanpa syok

Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti inijumlah dan
kecepatan pemberian cairan ringer laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan
lainnya 500 ml setiap 4 jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok
sedini mungkin.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Heparin
diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang),
Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan
jumlah trombosit kurang dari 100.OOOipldisertai atau tanpa KID.

38

Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam kemudian, sedangkan
pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase dikerjakan bila masih ada perdarahan.
Penderita DBD dengan gejaia-gejala tersebut diatas, apabila dijumpai di Puskesmas
perlu dirujuk dengan infus. Idealnya menggunakan plasma expander (dextran) 1-1,5
liter/24jam. Bila tidak tersedia, dapat digunakan cairan kristaloid.

Protokol 4 DBD dengan syok dan perdarahan spontan

Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat penting, karena
angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan pasien DBD tanpa syok.
SSD

dapat

terjadi

karena

keterlambatan

penderita

DBD

mendapatkan

pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya


kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan pengobatan SSD yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama yang sebaiknya
diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa. Pilihan lainya adalah
NaCl 0,9%. Selaian resustasi cairan, pasien juga diberi oksigen 2-4 liter/menit, dan
pemeriksaan yang harus dilakukan adalah elektrolit natrium, kalium, klorida serta
ureum dan kreatinin.
Pada fase awal ringer laktat diberikan sebanyak 20 ml/kgBB/jam (infus cepat/guyur)
dapat dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor 12), dievaluasi
selama 30-120 menit. Syok sebaiknya dapat diatasi segera/secepat mungkin dalam
waktu 30 menit pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien
membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau
lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekwensi nadi kurang dari 100/menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis
0,5-1 ml/kgBB/jam.
Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya dapat dikurangi
menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit berikutnya. Bila keadaan
klinis stabil, maka pemberian cairan ringer selanjutnya sebanyak 500 cc setiap 4 jam.
Pengawasan dini kemungkinan terjadi syok berulang harus dilakukan terutama dalam
waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh karena selain proses patogenesis
penyakit masih berlangsung, juga sifat cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang
menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu
apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30% dianjurkan

39

untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1,
sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol % hendaknya diberikan transfusi sel darah
merah (packed red cells)
Apabila pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata
syok masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan koloid.
Bila hematokrit kurang dari 30 vol% dianjurkan diberikan juga sel darah merah.
Cairan koloid diberikan dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan sebaiknya yang
tidak

mempengaruhi/menggangu

mekanisme

pembekuan

darah.

Gangguan

mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam
jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi
maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam.
Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan
dan kekurangannya, yaitu
1. Dekstran
Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan
hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume
intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% De
kstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10/o Dekstran 40
dipertahankan selama 3,54,5 jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu
mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan
menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari
1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak baleh diberikan pada pasien dengan KID.
2. Gelatin
Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik
dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak
mengganggu mekanism pembekuan darah.
3. Hydroxy ethyl starch (HES)
6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik dan
isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek
volume 6%/10/o HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES
200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme
pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini
terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara,
perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan
40

kekuatan bekuan. Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat
diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan
kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. Bila syok belum dapat diatasi, selain ringer
laktatjuga dapat diberikan obat-obatan vasopresor seperti dopamin, dobutamin, atau
epinephrin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID maka heparin.
Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID, maka heparin dan transfusi
kompunendarah diberikan sesuai dengan indikasi seperti tersebut diatas.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam. Pemeriksaan hemostasis
ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam kemudian sejak dimulainya
pemberian heparin, sedangkan pada kasus tanpa KID; pemeriksaan hemostasis
ulangan hanya dilakukan bila masih terdapat perdarahan.
Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan
infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain
pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ
lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek
terhadap sistem pembekuan.

Protokol 5 DBD Dewasa dengan syok tanpa perdarahan

Pada prinsipnya pelaksanaan protokol 5 ini sama dengan protokol 4 hanya


pemeriksaan secara klinis maupun laboratorium (Hb, Ht, trombosit) perlu dilakukan
secara teliti dan seksama untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan yang
tersembuyi disertai dengan KID, maka pemberian heparin dapat diberikan seperti
pada protokol 4. Tetapi bila tidak didapatkan tandatanda perdarahan, waiaupun hasil
pemeriksaan hemostasis menunjukkan adanya KID, maka heparin tidak diberikan,
kecuali bila ada perkembangan kearah perdarahan.(1,2,4,5,7,9)
2.8 Prognosis
Prognosis demam dengue berhubungan dengan antibodi yang didapat atau infeksi
awal dengan virus yang menyebabkan terjadinya DBD. Keparahan terlihat dari usia,
dan infeksi awal terhadap serotipe dengue virus yang lain sehingga dapat
mengakibatkan komplikasi hemorhagik yang parah. Prognosis di tentukan juga oleh
lamanya penanganan terhadap terjadinya syok pada sindroma syok dengue (SSD).
Prognosis baik jika diatasi maksimal 90 menit. Prognosis akan terlihat buruk jika
melebihi 90 menit(1,2)

41

2.9 Komplikasi
Pada umumnya infeksi primer dapat sembuh sendiri dan tidak berbahaya. Komplikasi
pada bayi dan anak usia muda biasanya berupa kehilangan cairan dan elektrolit,
hiperpireksia, dan kejang demam (Halstead, 2011) . Pada usia 1 4 tahun wajib
diwaspadai ensefalopati dengue karena merupakan golongan usia tersering terjadinya
kejang demam.Kegagalan dalam melakukan tatalaksana komplikasi ini, dapat
memberikan jalan menuju DSS (Dengue Shock Syndome) dengan tanda kegagalan
sirkulasi, hipotensi dan syok(1,2)

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di


sarana pelayanan kesehatan, 2005.p.19-34
2. WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO,
2012.
3. World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment,
Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997
4. Suhendro, et al. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, ed 5, jilid III. Jakarta: Internal Publishing; 2006: 1732-1735
5. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia.
Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi: WHOSEARO, 2011. SEARO Technical Publication Series No. 60
6. Srikiatkhachorn Anon et al. DengueHow Best do Classify It. Clinical
Infectious Disease, 2011, 53(6):563567
7. Member of The Technical Working Group On The 2012 PPS. Revised
Guidelines on Fluid Management of DF/DHF

42

8. WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase


Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember
2012: 6-7
9. Srikiatkhachorn A. Plasma leakage in dengue haemorrhagic fever. Thromb
Haemost. 2009; 102: 1042-1049
10. Limonta D, Capo V, Torres G, et al. Apoptosis in tissues from fatal Dengue
shock syndrome. J Clin Virol 2007; 40: 50-54.
11. Nasronudin, et al. Mekanisme perdarahan pada infeksi virus dengue.
Penyakit infeksi di indonesi,2011 : 112-116.
12. Phanichayakarn P, Pongpanich B. Studies on Dengue hemorrhagic fever.
III. Serum complement (c3) and platelet studies. J Med Assoc Thai. 2008 ;
60:301-6.
13. Tri Widiyati M, Laksanawati I, Prawirohartono E. Obesity as a rik factor
for dengue shock syndrome in children. Paediatrica Indonesiana. 2013 :
53.192-187

43

Anda mungkin juga menyukai