STATUS PASIEN
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien
: Tn. Suhadi
RM
: 717849
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Usia
: 52 tahun
Pekerjaan
: Guru
Alamat
: Bekasi Barat
Status
: Sudah Menikah
Suku Bangsa
: Jawa
Agama
: Islam
Tanggal perawatan : 20 November 2014
Dirawat yang ke : Pertama
Tanggal pemeriksaan: 24 November 2014 25 November 2014
II.
DATA DASAR
A. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesa pada tanggal 24 November 2014 pukul
11.00 WIB di Bangsal Perawatan Umum RSPAD Gatot Soebroto
Keluhan Utama :
Sesak nafas sejak yang memburuk sejak 4 hari SMRS
Keluhan Tambahan :
Batuk berdarah sejak 7 jam SMRS dan sakit dada yang memberat
sejak 1 th SMRS
RIwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang memburuk sejak 4 hari
SMRS. Sesak dirasakan sepanjang hari, membaik ketika berbaring ke
sebelah kanan dan memburuk bila tidur terlentang, tidak disertai dengan
sesak ketika beraktifitas, tidak terbangun malam karena sesak, dan pasien
tidur cukup dengan satu bantal. Pasien merasakan sesak sudah sejak 1
tahun SMRS, yang semakin memburuk dan membuat pasien tidak dapat
beraktifitas. Sesak ini disertai dengan sakit dada sebelah kanan seperti
ditusuk, sampai ke punggung, tidak menjalar ke bagian yang lain, tidak
diperingan dan diperberat dengan apapun, dengan skala 6/10. Pasien juga
mengeluhkan adanya batuk berdarah sejak 5 bulan SMRS, darahnya
berwarna merah segar, tanpa busa, sebanyak sendok teh setiap batuknya.
Batuk yang dirasakan terus menerus, tanpa ada yang memperingan dan
memperberat, dan tidak disertai dengan keringat malam.
Pasien mengalami penurunan berat badan sejak pertama keluhan sebanyak
> 10 kg tanpa ada program penurunan berat badan. Pasien mengalami
demam hilang timbul, tidak diukur, namun tidak pernah tinggi, dan tidak
diobati dengan apapun. Pasien mengaku tidak memiliki sakit pada tulang
dan sendi, mual muntah, sakit kepala, kelemahan pada tungkai, benjolan
pada leher. Pasien sudah menjalani pengobatan oral kemoterapi yaitu
gefitinib sejak 4 bulan SMRS.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos Mentis
Keadaan Umum
Berat badan
: kg
Tinggi badan
: cm
IMT
2. Vital Sign
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Frekuensi nadi
Frekuensi nafas
Suhu
3. Status Generalis
Kepala
Mata
Hidung
Mulut
Telinga
Leher
Thoraks
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
Palpasi
iktus
kordis
teraba
di
ICS
V Linea
midclavicularis
Perkusi
Batas kanan
Batas kiri
Batas atas
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi
: supel, nyeri tekan epigastrik (-), hepar dan lien tidak teraba
massa (-), turgor baik
Pinggang
Ekstremitas
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium Darah
Jenis
Pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
HASIL
Nilai
Rujukan
23/10
11.3
34
4.5
16490
13-18 g/dL
40-52%
4.3-6 juta/L
4.800-
678000
10.800/L
150.000400.000/L
Hitung Jenis
Basofil
Eusinofil
Batang
Segmen
Limfosit
Monosit
MCV
MCH
MCHC
RDW
KIMIA KLINIK
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
0
2
2
66
20
10
75
25
34
17.10
80-96 fL
27-32 pg
32-36 g/dL
11.5-114.5%
32
29
17
0.6
<35 U/L
<40 U/L
20-50 mg/dL
0.51.5mg/dL
URINALISIS
Warna
Kejernihan
pH
Kuning
Agak keruh
7.0
Berat Jenis
Protein
Glukosa
Bilirubin
Nitrit
Keton
Eritrosit
Leukosit
Slinder
Krsital
Epitel
Darah
Lain-lain
1.020
0-1-0
1-2-1
+
2. Foto Thorax X-ray
Cor : batas kanan tertutup perselubungan
Pulmo : perselubungan homogeny di paru kanan
Sinus dan Diafragma kanan tertutup
Kesan Efusi pleura kanan
Adanya massa pada paru kanan belum dapat disingkirkan
Saran : CT Scan Thorax
3. Foto Bone Survey
Tulang-tulang kepala, humerus, femur dan pelvis, tak tampak lesi
titikmaupun sclerotic.
Tulang-tulang vertebra cervical, torakal, dan lumbosacral, pedikel
intak , tak tampak tanda-tanda destruksi.
Kesan : tak tampak tanda-tanda metastase pada tulang-tulang.
4. Bronkoskopi
5. Analisa cairan tubuh
Analisa Transudat dan Eksudat
Makroskopis
Bahan
Volume
Warna
Bekuan
Berat Jenis
Mikroskopis
Jumlah sel
PMN
MMN
Kimia
Rivalta Test
Protein Darah
Glukosa darah
LDH Darah
Protein cairan
Glucose cairan
Cairan pleura
12 cc
Kuning
Jernih
1.020
790
10
90
POSITIF
5.8
182
543
4.0
202
5
LDH Cairan
581
KESAN
: Cairan pleura sesuai dengan eksudat
6. EKG
Kesan : Atrial Fibrilasi
7. Patologi Anatomi
III.RESUME
Pasien laki-laki berusia 52 tahun datang dengan keluhan dispneu yang
memburuk sejak 4 hari SMRS dan disertai dengan hemoptysis , sakit dada
serta penurunan berat badan >10 kg dan demam yang hilang timbul dalam
1 tahun SMRS.
dengan rumple leed test positif (>20 ptechie dalam 2.5 cm2),
pemeriksaan fisik lain-lain dalam batas normal. Pada pemeriksaan
penunjang ditemukan adanya hemokonsentrasi ditandai dengan adanya
kenaikan Hemoglobin dan Hematokrit lebih dari 20% yaitu menjadi
57% pada hari keempat demam dan penurunan lebih dari 20% setelah
pemberian cairan yaitu menjadi 47 dan 43 pada hari berikutnya. Hal ini
menandakan adanya kebocoran cairan plasma yang menyebabkan
konsentrasi hemoglobin dan hematocrit dalam darah meningkat. Selain
itu ditemukan juga thrombositopenia, namun dengan anti dengue IgM
dan IgG yang negative.
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pada pasien, dibuatlah diagnosis kerja Dengue Hemorrhagic Fever
grade II tanpa diagnosis banding. Hal ini dikarenakan ditemukan gejala
dan tanda yang khas dan memenuhi kriteria Dengue Hemorrhagic
Fever, yaitu :
1. Demam akut yang berlangsung 2-7 hari, kadang-kadang bifasik
2. Kecenderungan pendarahan dengan terjadinya satu diantara :
tourniquet test positif, ekimosis atau purpura, pendarahan dari mukosa,
gastro-intestinal tract, haematemesis atau melena
3. Thrombositopenia hingga kurang dari 100.000 sel/mm2
4. Adanya tanda kebocoran plasma karena meningkatnya permeabilitas
vascular yaitu peningkatan dari hematocrit >20% dari rata-rata sesuai
umur, jenis kelamin dan populasi; penurunan hematocrit > 20% dari
hematocrit awal setelah pemberian cairan; tanda dari adanya kebocoran
plasma seperti efusi pelura, ascites atau hipoproteinemia
Pasien ini digolongkan kedalam dengue hemorrhagic fever grade II
karena memenuhi kriteria berkut :
1. Demam dengan rumple leed test positif
2. Thrombositopenia dan hemokonsentrasi (peningkatan hematocrit
>20%)
3. Faktor komorbid berupa obesitas
Pasien datang kerumah sakit dengan hasil pemeriksaan laboratorium
yaitu peningkatan hemoglobin dan hematocrit yang berarti sudah
Rumatan
=1500 + 20(BB-20)
=1500 + 20(96-20)
= 3020 ml/24 jam
10
C. Rencana Monitoring
Pemantauan pemeriksaan hematocrit setelah pemberian terapi cairan
dosis loading sampai kadar hematocrit normal kemudian dilakukan
pemeriksaan hematocrit setiap 6 sampai 12 jam sekali.
VII.
Tanggal
TINDAK LANJUT
Follow SOAP
Up
24/10/2014
11
Curcuma 2 x 200 mg PO
26/10/2014
Monitor BP
S : Pasien merasa lebih baik, tidak ada keluhan.
O : TD : 135/90 mmHg
HR : 87 x/m kuat reguler isi penuh
RR : 23 x/m
Temp : 36,3C
Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik
Leher : JVP 5-2cm H2O
Paru : Vesikuler, rhonki (-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)
splenomegaly (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)
Lab trombosit 163000
A : Demam Berdarah Dengue derajat 2
Peningkatan enzim transaminase e.c reaktif hepatitis
Hipertensi Grade I
P : Tirah baring
Diet lunak 1890 kkal
IVFD RL 500 cc/6 jam
Curcuma 2 x 200 mg PO
Thiazide 2 x 25 mg
Periksa laboratorium fungsi hati besok
27/10/2014
S : Pasien merasa lebih segar. Demam sudah tidak ada. Mual dan
muntah tidak ada, BAB dan BAK dalam batas normal
O : TD : 140/70 mmHg
HR : 84 x/m kuat reguler isi penuh
13
RR : 24 x/m
Temp : 36.3C
Mata : konjungtiva tidak pucat, anikterik
Leher : JVP 5-2cm H2O
Paru : Vesikuler, rhonki (-)
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-) gallop (-)
Abdomen : Super, Bisung usus (+) normal, hepatomegaly (-)
splenomegaly (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)
Lab SGOT/SGPT 150/102 ; ALP/GGT 92/102
A : Demam berdarah dengue derajat 2
peningkatan enzim transaminase e.c reaktif hepatitis
hipertensi grade I
P : Tirah baring
Diet lunak 1890 kkal
IVFD RL 500 cc/6 jam
Curcuma 2 x 200 mg PO
Thiazide 2 x 25 mg
Periksa lab IgM dan IgG anti dengue besok dan darah lengkap, bila
28/11/2014
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik, Ptekie (-)
Lab > IgM dan IgG anti dengue negative, lain-lain dalam batas
normal
A: Demam berdarah dengue derajat 2
reaktif hepatitis
hipertensi grade I
P : Pasien boleh pulang, kontrol ke poli penyakit dalam bila ada
keluhan
Curcuma 2 x 200 mg PO
Thiazide 2 x 25 mg
VII. PROGNOSIS
Ad vitam
Ad fungsional
Ad sanamtionam
Ad costmeticum
: Ad bonam
: Ad bonam
: Ad bonam
: Ad bonam
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendahuluan
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh virus Dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Penyakit ini
dapat terjadi pada semua kelompok umur terutama pada anak-anak. DBD adalah salah
satu manifestasi simptomatik dari infeksi virus dengue.(1,2)
16
dunia ke II., sedangkan Dengue 3 dan 4 ditemukan pada saat wabah di Filipina tahun
1953-1954. Virus Dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitive terhadap
inaktivasi oleh dietil eter dan natrium dioksisiklat, stabil pada suhu 700C.(1,2,3)
2.3 Epidemiologi
Istilah hemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada
tahun 1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968,
tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970 dan pada tahun 1993 DBD
telah menyebar ke seluruh provinsi di Indonesia. Dalam 50 tahun terakhir, tercatat
insidens kasus demam berdarah dengue telah meningkat 30 kali seiring dengan
perkembangan dan pertambahan penduduk dari kota ke desa dalam dekade terakhir
ini.
Penyakit DBD di Indonesia merupakan salah satu emerging disease
denganinsiden yang meningkat dari tahun ke tahun.Adapun jumlah penderita DBD di
Indonesia sepanjang tahun 1999 sebanyak 21.134 orang, tahun 2000 sebanyak
33.443orang, tahun 2001 sebanyak 45.904 orang, tahun 2002 sebanyak 40.377 orang,
dan tahun2003 sebanyak 50.131 orang. Pada tahun 2000 insiden rate sebesar 15,75
per 100.000 penduduk meningkat pada tahun 2001 sebesar 17,2 % per 100.000
penduduk. Jumlah kasus DBD di Indonesia antara Januari sampai Maret 2004 secara
kumulatif yangdilaporkan dan ditangani sebanyak 26.015 kasus, dengan kematian
mencapai 389 ( CFR= 1,53 % ).Fenomena perdarahan sering terjadi pada DBD.
Berdasarkan penelitian Dari 341 sampel pasien DBD dewasa, terdapat 190 pasien
dengan jumlah trombosit 88.820 / mm3 dan 151 pasien dengan jumlah trombosit
>88.820 / mm3. Dari 190 pasien dengan jumlah trombosit 88.820 / mm3, 10
diantaranya terjadi manifestasi perdarahan berat dan 180 sisanya tidak terjadi
manifestasi perdarahan / terjadi perdarahan ringan. Dari 151 pasien dengan jumlah
trombosit > 88.820 / mm3, 2 di antaranya terjadi manifestasi perdarahan berat dan 149
sisanya tidak terjadi manifestasi perdarahan / terjadi perdarahan ringan.
Di seluruh dunia, diperkirakan sedikitnya terdapat 50 juta dari 2,5 milyar
penduduk yang tinggal di daerah endemik terinfeksi virus dengue setiap tahunnya.
Dengue merupakan penyebab demam kedua tertinggi setelah malaria. Infeksi dengue
ini endemis pada banyak negara Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika dan
hiperendemis di Thailand. Demam berdarah dengue kebanyakan terjadi pada anak
usia kurang dari 15 tahun. Anak golongan usia 10 15 merupakan golongan umur
tersering menderita DBD dibandingkan dengan bayi dan orang dewasa, dan sekitar
17
50% penderita DBD merupakan golongan umur tersebut. Anak perempuan lebih
beresiko menderita DBD dibandingkan anak laki laki, namun dalam penelitian di
Indonesia didapati laki laki lebih tinggi terkena DBD dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 4:1 dikarenakan nyamuk Aedes aegypti yang aktif menggigit
pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu pada pukul 08.00 12.00 dan 15.00
17.00, pada jam tersebut anak-anak biasanya bermain di luar rumah.
Beberapa faktor yang mempengaruhi beratnya penyakit, seperti faktor host,
serotipe virus atau genotype, sekuens infeksi virus, perbedaan antibodi crossreactive
dengue, dan respons sel T. Usia lebih tua sebelumnya dilaporkan memiliki faktor
risiko untuk mortalitas pada demam dengue atau demam berdarah dengue sebagai
komorbiditas yang berhubungan dengan penuaan dan penurunan imunitas sebagai
faktor risiko untuk fatalitas pada pasien tua dengan infeksi aktif. Walaupun syok dan
kebocoran plasma lebih sering terjadi pada usia muda, frekuensi perdarahan internal
dapat terjadi seiring dengan pertambahan usia. Selain itu komplikasi infeksi dengue
pada dewasa, seperti demam dengue dengan perdarahan dan DBD mengalami
peningkatan.(3,4,5,12)
18
2.4 Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup.Maka
demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai
pejamu (host) terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut
sangat tergantung pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi
penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan
penyakit menjadi makin berat dan bahkan dapat menimbulkan kematian.
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis
infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) atau hipotesis immune
enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang
mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog
mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi
heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan
menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian
berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leokosit terutama makrofag. Oleh
karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan
bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses
yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang
kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada
seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa
hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer
tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga
dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah
banyak.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus
antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan
19
20
21
aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat
mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh
trombositpenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit,
dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok
yang terjadi.(1,2,3,7,8,9)
2.4.1 Efek Dengue terhadap sel hepar
Selain monosit / makrofag yang menjadi sel target, maka hepatosit dan kupffer juga
merupakan sasaran intervensi Dengue. Sebelum mencapai sel target, virus dengue
dihadang oleh komplemen, terjadi hiperaktivitas komplemen. Selain komplemen,
virus dengue dicegah oleh interferon dan interferon agar tidak replikasi. Namun
karena kelemahan sistem imun, dengue tetap masuk ke dalam sirkulasi dengan
berlindung didalam monosit, makrofag dan hepatosit. Pada berbagai sel terjadi
perubahan bagian eksternal dan internal disertai inflamasi akut. Akibat intervensi
dengue pada hepatosit dan kupffer menyebabkan sel mengalami gangguan fungsi.
Terjadi inflamasi nekrosis hepatoseluler yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer
hati. Nekrosis tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang mengakibatkan
hepatoseluler mengalami iskhemia, inflamasi akut akibat pengaruh sitokin
proinflamatori dan berbagai mediator, serta dampak negatif oksidan. Kelainan pada
hepatosit dan kupffer mendorong terjadi hepatitis akut, bahkan gagal hati akut yang
terjadi pada 12-62% penderita DBD akibat kematian sel melalui nekrosis maupun
apoptosis patologis.(2,6,11)
2.4.1 Mekanisme perdarahan pada infeksi virus dengue
Pada DBD dan DSS peningkatan akut permeabilitas vaskuler merupakan
patofisiologi primer.Hal ini akan mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang
ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan
darah. Pada kasus-kasus berat volume plasma menurun lebih dari 20% meliputi efusi
pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia. Lesi destruktif vaskuler yang nyata
tidak terjadi.
Terdapat tiga faktor yang menyebabakan perubahan hemostasis pada DBD dan
DSS yaitu: perubahan vaskuler, trombositopenia dan kelainan koagulasi. Hampir
semua
penderita
dengue
mengalami
peningkatan
fragilitas
vaskuler
dan
22
Infeksi virus dengue mengakibatkan muncul respon imun humoral dan seluler,
antara lain anti netralisasi, anti hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul
pada umumnya adalah IgG dan IgM, mulai muncul pada infeksi primer, dan pada
infeksi sekunder kadarnya telah meningkat.
Pada hari kelima demam dapat ditemukan antibodi dalam darah, meningkat
pada minggu pertama hingga minggu ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari.pada
infeksi primer antibodi IgG meningkat pada hari ke-14 demam sedangkan pada
infeksi sekunder kadar IgG meningkat pada hari kedua. Karenanya diagnosis infeksi
primer ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari kelima sakit,
sedangkan pada infeksi sekunder diagnosis dapat ditegakkan lebih dini.
Pada infeksi primer antibodi netralisasi mengenali protein E dan monoclonal
antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari virus dengue sehingga terjadi aktifitas
netralisasi atau aktifasi komplemen sehingga sel yang terinfeksi virus menjadi lisis.
Proses ini melenyapkan banyak virus dan penderita sembuh dengan memiliki
kekebalan terhadap serotipe virus yang sama.
Apabila penderita terinfeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe yang
berbeda, maka virus dengue tersebut akan berperan sebagai super antigen setelah
difagosit oleh makrofag atau monosit. Makrofag ini akan menampilkan Antigen
Presenting Cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang
berasal dari Major Histocompatibility Complex (MHC II).
Antigen yang bermuatan peptida MHC II akan berikatan dengan CD4+ (TH-1
dan TH-2) dengan perantaraan T Cell Receptor (TCR) sebagai reaksi terhadap
infeksi.Kemudian limfosit TH-1 akan mengeluarkan substansi imunomodulator yaitu
INF, IL-2, dan Colony Stimulating Factor (CSF). IFN akan merangsang makrofag
untuk mengeluarkan IL-1 dan TNF.Interleukin-1 (IL-1) memiliki efek pada sel
endotel, membentuk prostaglandin, dan merangsang ekspresi intercelluler adhasion
molecule 1 (ICAM 1).
Colony Stimulating Factor (CSF) akan merangsang neutrophil, oleh pengaruh
ICAM 1 Neutrophil yang telah terangsang oleh CSF akan beradhesi dengan sel
endothel dan mengeluarkan lisosim yang mambuat dinding endothel lisis dan endothel
terbuka. Neutrophil juga membawa superoksid yang akan mempengaruhi oksigenasi
pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga endothel menjadi nekrosis dan
mengakibatkan terjadi gangguaan vaskuler.
23
DBD
adalah
adanya
plasma
leakage
dengan
manifestasi
hemokonsentrasi, efusi pleura, dan atau ascites. Sebelumnya plasma leakage diduga
akibat peningkatan permeabilitas vaskular selain adanya penemuan baru, yaitu
menduga adanya dekstruksi selendotel disertai pelepasan mediator inflamasi (IL-6,
IL-8 dan RANTES) yang dilepas oleh virus dengue. Virus Dengue juga mengaktivasi
komplemen dan menimbulkan ekspresi molekul ICAM-1, ekspresi dari ICAM-1
bersama IL-8 dan RANTES akan meningkatkan permeabilitas vaskuler. Gangguan
vaaskuler akibat infeksi Virus Dengue yang paling sederhana dapat dilihat dengan uji
torniquet positif disertai petekie yang sering muncul pada awal demam sebelum
terjadi trombositopenia. Penelitian dengan melakukan biopsi pada permukaan kulit
yang berpetekie menunjukkan adanya infiltrasi limfosit dan makrofag yang berisi
antigen Dengue. Penelitian lain mendapatkan IgM anti Dengue , komplemen dan
fibrinogen pada kulit berpetekie yang dibiopsi. Meskipun belum diketahui secara
pasti, adanya vaskulopati kemungkinan akibat pengaruh langsung dari virus Dengue
yang dimediasi oleh respons imun.
Endotel merupakan bagian dalam pembuluh darah adalah suatu sel berlapis tunggal
(monolayer) yang berpengaruh akibat jejas. Pada infeksi virus Dengue, kematian sel
endotel dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis yang dipicu oleh TNF serta
sitokin produk respons imun akibat infeksi virus Dengue.
Antigen virus dengue dapat menyerang trombosit secara langsung tanpa melalui
respons imun, ikatan antara antigen virus Dengue dengan antibodi virus Dengue
berinteraksi dengan trombosit, serta infekksi virus Dengue menyebabkan modulasi
endotel. Respons imun individu akibat teraktivasi virus Dengue dapat memberikan
dampak positif berupa penghancuran virus atau sebaliknya justru memberikan
dampak negatif yang berakhir dengan jejas dan kematian endotel melalui sitokin yang
memegang peranan penting dalam perjalanan penyakit infeksi Virus Dengue, yaitu
TNF, IL-1, IL-6 dan IFN. Berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa jejas
endotelmenyebabkan munculnya berbagai molekul adesif yang berasal dari sel
endotel itu sendiri dan dari bagian sub-endotel yang kemudian memicu agregasi
trombosit. Artinya, proses apoptosis yang terjadi pada sel endotel dengan TNF
24
sebagai fasligand menyebabkan sel endotel lepas dari ikatan dengan sub-endotel di
mana didapatkan molekul vonWillebrand yang muncul pada permukaan dan bermuara
pada agregasi trombosit. Jejas endotel diikuti oleh peningkatan aktivitas prokoagulan,
IL-6 mempunyai kemampuan untuk menaikkan permeabilitas endotel. Ini beraarti, IL6 nampaknya juga menyebabkan jejas pada endotel. Adanya gangguan endotel akibat
jejas dapat diperiksa denngan plasminogen activator inhibition-1 yang meningkat
dalam sirkulasi. Perkembangan baru dari disfungsi endothelial adalah konsep
mikropartikel. Semua penderita DBD menunjukkan penurunan kadar mikropartikel
pada masa akut penyakit dan meningkat secara bermakna pada masa rekonvalesensi.
TROMBOPATI DAN TROMBOSITOPENIA
Trombositopenia dan hemokonsentrasi merupakan dua keadaan yang hampir selalu
muncul pada penyakit akibat infeksi Virus Dengue. Trombositopenia diduga akibat
penurunan produksi trombosit oleh sumsum tulang, peningkatan destruksi trombosit
di RES dan agregasi trombosit oleh endotel vaskular yang rusak. Diduga pula akibat
Koagulasi Intravaskuler serta pemakaian faktor-faktor pembekuan dan trombosit yang
meningkat.
Penyebab utama trombositopenia adalah penurunan produksi dan destruksi trombosit
di perifer. Destruksi trombosit diperani aktivasi komplemen seperti ikatan antara
trombosit dengan fragmen dan antigen virus atau serangan langsung oleh virus
terhadap trombosit tanpa melalui respons imun. Trombositopeni terjadi akibat
pemendekan umur trombosit dan penurunan fungsi trombosit akibat infeksi virus
Dengue. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya sekresi ADP dan metabolit
prostaglandin plasma (PGI2) yaitu 6-keto-PGFIa. Respons trombosit pada infeksi
dengue secara umum ada 4 tipe yaitu (1) perubahan bentuk trombosit dari keping
pipih menjadi bulat berduri, (2) adhesi, melekatnya trombosit pada subendothelium
dinding pembuluh darah atau pada jaringan kolagen, (3) agregasi, melekatnya
trombosit sau sama lain, (4) sekresi, misalnya ADP, Tromboxane A2 yang juga
disekresi oleh ganula padat dalam trombosit. Inaktivasi platelet oleh PGI2 pada
endotel diduga sebagai yang bertanggung jawab atas tidak adanya platelet adherence.
KOAGULOPATI
Hemostasis pembuluh darah dipertahankan melalui keseimbangan antara koagulasi
dan fibrinolisis. Sistem koagulasi diaktifkan melalui jalur intrinsik dan ekstrinsik
untuk mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Sistem fibrinolisis merusak jaringan fibrin
menjadi fibrin degradation products (FDP).
25
XII
selanjutnya
nengaktifkan
sistem
fibrinolisis
berupa
perubahan
membuktikan adanya KID. DBD dengan syok dan asidosis berkepanjangan dapat
dapat mencetuskan KID.
Pada semua kasus DBD ditemukan manifestasi KID tipe akut. Mekanisme perdarahan
pada DBD salah satunya disebabkan oleh consumptive coagulopathy yang terjadi
pada sebagian besar kasus. Hampir seluruh kasus dengan syok terjadi coagulopathy,
manifestasinya karena prolonged partial thromboplastin time. Perubahan pada fungsi
liver dan waktu protrombin normal / sedikit memanjang, menunjang terjadinya
consumptive coagulopathy.(1,2,8,9,11)
Demam Dengue
Demam dengue adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi gejala, seperti : nyeri kepala, nyeri retro-orbital, mialgia, ruam pada kulit,
manifestasi perdarahan, dan leukopenia serta di tunjang dengan pemeriksaan
laboratorium serologis IgM dan IgG.
Gejala yang di timbulkan antara lain demam yang tinggi (38C 40C), manifestasi
perdarahan, hepatomegali, dan tanda-tanda kegagalan sirkulasi sampai timbulnya
27
syok ( sindrom syok dengue) sebagai akibat dari kebocoran plasma yang dapat
menyebabkan kematian. Trombositopenia dengan hemokonsetrasi secara bersamaan
adalah temuan laboratorium klinis khusus dari DBD.
Dengue shock syndrom merupakan suatu keadaan yang sangat buruk, penderita DBD
dalam keadaan apapun perlu mendapatkan perawatan dan pemantauan yang serius,
terutama jika demam mendadak turun. Selain menjadi indikasi kesembuhan,
penurunan suhu tubuh sering menjadi gejala awal penderita memasuki tahap dengue
shock syndrome.
Tanda khas dari dengue shock syndrome antara lain kulit menjadi dingin, kongesti,
sianosis, nadi cepat, letargi kemudian menjadi gelisah dan dengan cepat memasuki
tahap kritis dari shock. Gejala yang sering sebelum shock adalah nyeri perut akut.
Pasien yang shock dalam bahaya kematian bila pengobatan yang tepat tidak segera
diberikan. Penderita akan sembuh dengan cepat setelah terapi penggantian volume
yang tepat.
Berdasarkan kelemahan dari kriteria sebelumnya maka WHO pada tahun 2009
mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus dengue, yaitu
kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue :
28
Demam akut, suhu tinggi dan kontinyu dalam waktu kurang lebih 2-7 hari
Manifestasi pendarahan :
- Tes torniquet positif
- Petekie
- Purpura
- Ekimosis
- Epistaxis
- Pendarahan gusi
- Hematemesis / melena
Pembesaran hati (hepatomegali) pada 90%-98% kasus anak. Frekuensi
29
2. Fase Kritis
3. Fase Recovery
Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering disertai muka kemerahan, eritema
kulit, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia, dan sakit kepala. Beberapa pasien dapat
memiliki gejala sakit tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi konjungtiva.
Anorexia, mual, dan muntah sering terjadi dan dapat sulit dibedakan dengan demam
non-dengue pada fase awal. Uji torniquet positif pada fase ini meningkatkan kepastian
dari dengue. Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa (mis. hidung dan gusi) dapat terlihat. Gejala tidak khas seperti perdarahan
vagina dan perdarahan gastrointestinal dapat terjadi. Hati dapat membesar dan terasa
sakit pada beberapa hari sewaktu demam. Penurunan sel darah putih dapat
memberikan tanda sebagai infeksi dengue. Tanda dan gejala ini kurang dapat
membedakan antara severe dan non severe dengue sehingga perlu monitoring lebih
untuk berhati - hati dalam menilai fase perkembangan ke fase kritis.
Pada tahap ini, demam masih berlangsung pada hari ke 3 7 namun temperatur
sedikit menurun yaitu 37.5 38C atau lebih rendah dan juga menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler dengan level hematokrit yang meningkat. Periode
kebocoran plasma berlangsung selama 24 48 jam. Leukopenia parah diikuti dengan
penurunan hitung trombosit mengindikasikan terjadinya kebocoran plasma. Pada
pasien dengan tidak diikuti peningkatan permeabilitas kapiler akan membaik namun
pasien yang memiliki keadaan tersebut akan bertambah parah dengan kehilangan
volume plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari tingkat
keparahan kebocoran plasma tersebut. Maka foto thorax dan USG abdomen dapt
digunakan sebagai alat bantu diagnosa. Kadar hematokrit yang melebihi batas normal
dapat digunakan sebagai acuan melihat derajat keparahan kebocoran plasma. Syok
dapat terjadi jika volume plasma berkurang hingga titik kritis dan sering didahului
oleh warning signs. Syok yang berlangsung lama, menyebabkan hipoperfusi organ
sehingga dapat mengakibatkan gangguan organ, metabolik asidosis, dan Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC)
30
Pasien yang melewati fase kritis akan memasuki fase recovery dimana terjadi
reabsorpsi cairan extravaskular dalam 48-72 jam, dimana keadaan umum akan
membaik, nafsu makan bertambah, gejala gastrointestinal berkurang, status
hemodinamik stabil, dan diuresis terjadi. Ruam, pruritis, bradikardia dapat terjadi
pada fase ini. Hematokrit dapat kembali stabil atau menurun akibat efek pengenceran
dari absorpsi cairan. Sel darah putih perlahan mengalami peningkatan setelah suhu
tubuh menurun diikuti dengan peningkatan trombosit. Respiratory distress akibat efusi
pleura masif dan ascites dapat terjadi akibat dari terapi cairan IV yang berlebih
sewaktu fase kritis ataupun fase recovery yang dapat dikaitkan d engan edema paru
atau gagal jantung kongestif.(3,5,7,9)
kriteria
klinis
pertama
ditambah
dengan
adanya
trombositopenia
dan
31
kasus
syok,
adanya
trombositopenia,
peningkatan
hematokrit
dan
trombositopenia merupakan faktor prediksi Dengue Syok Sindrom. ESR yang rendah
(<10mm/jam pertama) pada syok membedakan DSS dengan syok septik.
Dalam pekerjaannya, hati kita membuat beberapa produk, termasuk jenis protein yang
disebut sebagai enzim. Gambaran enzim transaminase adalah sejenis tes yang
digunakan untuk mengukur level beberapa jenis enzim hati, yang merupakan protein
spesifik yang membantu tubuh untuk memecahkan dan menggunakan (metabolisme)
substansi yang lain.Produk ini dapat keluar dari hati dan masuk ke aliran darah.
Tingkat produk tersebut dapat diukur dalam darah.
-
Produk berikut biasanya diukur sebagai bagian dari gambaran enzim transaminase:
ALT (alanin aminotransferase), juga dikenal sebagai SGPT (serum glutamik piruvik
transaminase)
AST (aspartat aminotransferase), juga dikenal sebagai SGOT (serum glutamik
oksaloasetik transaminase)
-
Hasil Tes
Penyakit hati yang berbeda akan menyebabkan kerusakan yang berbeda, dan tes
fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan ini. Hasil tes fungsi hati dapat memberi
gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin menyebabkan kerusakan, tetapi tes
ini tidak mampu mendiagnosis akibat penyakit hati. Hasil tes ini juga bermanfaat
untuk memantau perjalanan penyakit hati, tetapi sekali lagi, mungkin tidak memberi
gambaran yang tepat. Namun biasanya hasil tes fungsi hati memberi gambaran
mengenai tingkat peradangan.
-
Enzim Hati
ALT adalah lebih spesifik untuk kerusakan hati. ALT adalah enzim yang dibuat dalam
sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim
lain. Biasanya peningkatan ALT terjadi bila ada kerusakan pada selaput sel hati.
Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada selaput sel hati.
32
Setiap jenis peradangan hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT. Peradangan
pada hati dapat disebabkan oleh hepatitis virus, beberapa obat, penggunaan alkohol,
dan penyakit pada saluran cairan empedu.
AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung, ginjal dan otak.
Jadi tes ini kurang spesifik untuk penyakit hati. Dalam beberapa kasus peradangan
hati, peningkatan ALT dan AST akan serupa.
Metode diagnosis molekuler yang seringkali dipilih adalah metode diagnosis
molekuler dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse
transcriptionpolymerase chain reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan
hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi
pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah mengalami kontaminasi yang dapat
menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan yang saat ini banyak
digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai
hari ke 2.(4,5,6,7,8)
2.7.3 Klasifikasi DBD
Menurut WHO, Demam Berdarah Dengue dapat diklasifikasikan menjadi :
1. Demam Dengue
Demam tinggi mendadak selama 2-7 hari disertai dengan 2 dari gejala dibawah :
Nyeri kepala
Nyeri sendi
Nyeri otot
Nyeri belakang mata
Manifestasi pendarahan
Tidak ada manifestasi kebocoran plasma
Pemeriksaan Penunjang:
Leukopenia <5000
Trombositopenia <150.000
Peningkatan hematokrit 5-10%
Tidak ada bukti kehilangan plasma
2. Demam Berdarah Dengue derajat 1
Demam dengan manifestasi pendarahan (torniquet tes positif) dan bukti kebocoran
plasma
Lab didapatkan trombositopenia <100.000 dan peningkatan hematokrit >20%
33
34
dankoloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan
memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal
yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit
DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak
baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dantidak tertolong. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi
masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok)
dengan baik.(4,5,6,9,12)
2.8.1 Penatalaksanaan pasien DBD menurut protokol
35
Sedangkan pada kasus yang meragukan indikasi rawatnya, maka untuk sementara
pasien tetap diobservasi di Puskesmas dengan aniuran minum yang banyak, serta
diberikan infus ringer laktat sebanyak 500cc dalam empat jam. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan ulang Hb, Ht dan trombosit.
Pasien di rujuk apabila didapatkan hasil sebagai berikut.
1. Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl
atau
2. Hb, Ht yang meningkat dengan jumlah trombosit kurang dari 150.000/pl
Pasien dipulangkan apabila didapatkan nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan
jumlah trombosit lebih dari 100.000/pl dandalam waktu 24 jam kemudian diminta
kontrol ke Puskesmas/poliklinik atau kembali ke IGD apabila keadaan menjadi
memburuk. Apabila masih meragukan, pasien tetap diobservasi dantetap diberikan
infus ringer laktat 500cc dalam waktu empat jam berikutnya. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan ulang Hb. Ht dan jumlahtrombosit.
Pasien dirawat bila didapatkan hasil laboratorium sebagai berikut.
1. Nilai Hb, Ht dalam batas normal dengan jumlah trombosit kurang
dari100.000/ul
2. Nilai Hb, Ht tetap/meningkat dibanding nilai sebelumnya dengan jumlah
trombosit normal
atau menurun
Selama diobservasi perlu dimonitor tekanan darah, frekuensi nadi dan pernafasan
serta jumlah urin minimal setiap 4 jam.
Pada pasien DBD dewasa tanpa perdarahan masif (uji tourniquet positif petekie,
purpura, epistaksis ringan, perdarahan gusi ringan) dan tanpa syok di ruang rawat ;
pemberian cairan Ringer laktat merupakan pilihan pertama.
Cairan lain yang dapat dipergunakan antara lain cairan dekstrosa 5% dalam ringer
laktat atau ringer asetat, dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%, dekstrosa 5% dalam
larutan garam atau NaCl 0,9%. Jumlah cairan yang diberikan dengan perkiraan
selama 24 jam, pasien mengalami dehidrasi sedang, maka pada pasien dengan berat
badan sekitar 50-70 kg diberikan ringer laktat per infus sebanyak 3.000 cc dalam
waktu 24 jam. Pasien dengan berat badan kurang dari 50 kg pemberian cairan infus
dapat dikurangi dan diberikan 2.000 cc/24 jam, sedangkan pasien dengan berat badan
36
lebih dari 79 kg dapat diberikan cairan infus sampai dengan 4.000 cc/ 24 jam. Jumlah
cairan infus yang diberikan harus diperhitungkan kembali pada pasien DBD dewasa
dengan kehamilan terutama pada usia kehamilan 28-32 minggu atau pada pasien
dengan kelainan jantung/ginjal atau pada pasien lanjut usia lanjut serta pada pasien
dengan riwayat epilepsi. Pada pasien dengan usia 40 tahun atau lebih pemeriksaan
elektrokardiografi merupakan salah satu standar prosedur operasional yang harus
dilakukan.
Selama fase akut jumlah cairan infus diberikan pada hari berikutnya setiap harinya
tetap sama dan pada saat mulai didapatkan tanda-tanda penyembuhan yaitu suhu
tubuh mulai turun, pasien dapat minum dalam jumlah cukup banyak (sekitar dua liter
dalam 24 jam) dan tidak didapatkannya tanda-tanda hemokonsentrasi serta jumlah
trombosit mulai meningkat lebih dari 50.000/pi, maka jumlah cairan infus selanjutnya
dapat mulai dikurangi. Mengingat jumlah pemberian cairan infus pada pasien DBD
dewasa tanpa perdarahan masif dan tanda renjatan tersebut sudah memadai, maka
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukannya setiap 12 jam untuk pasien dengan
jumlah trombosit kurang dari 100.000/pl, sedangkan untuk pasien DBD dewasa
dengan jumlah trombosit berkisar 100.000 - 150.000/pl,pemeriksaan Hb, Ht dan
trombosit dilakukan setiap 24 jam.
Pemeriksaan tekanan darah, frekwensi nadi dan pernafasan, dan jumlah urin
dilakukan setiap 6 jam, kecuali bila keadaan pasien semakin memburuk dengan
didapatkannya tanda-tanda syok, maka pemeriksaan tanda-tanda vital tersebut harus
lebih diperketat.
Mengenai tanda-tanda syok sedini mungkin sangat diperlukan, karena penanganan
pasien DSS lebih sulit, dandisertai dengan risiko kematian yang lebih tinggi. Tandatanda syok dini yang harus segera dicurigai apabila pasien tampak gelisah, atau
adanya penurunan kesadaran, akral teraba lebih dingin dan tampak pucat, serta jumlah
urin yang menurun kurang dari 0,5ml/kgBB/jam. Gejala-gejala diatas merupakan
tanda-tanda berkurangnya aliran/perfusi darah ke organ vital tersebut. Tanda-tanda
lain syok dini adalah tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik kurang dari 100
mmHg, tekanan nadi kurang dari 20 mmHg, nadi cepat dankecil. Apabila didapatkan
tanda-tanda tersebut pengobatan syok harus segera diberikan.
Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (perdarahan
dengan jumlah darah 4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit < 100.000/pl,
37
dengan atau tanpa koagulasi intravaskular disseminata (KID). Pasien DBD dengan
trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi suspensi trombosit.
Pasien dapat dipulangkan apabila
1. Keadaan umum /kesadaran dan hemodinamik baik, serta tidak demam
dalam 48 jam,
tidak ada gangguan pernafasan
2. Pada umumnya Hb, Ht danjumlah trombosit dalam batas normal serta stabil
dalam 24
jam, tetapi dalam beberapa keadaan, walaupun jumlah trombosit belum
mencapai normal
(diatas 50.000) pasien sudah dapat dipulangkan.
Apabila pasien dipulangkan sebelum hari ketujuh sejak masa sakitnya atau trombosit
belum dalam batas normal, maka diminta kontrol ke poiliklinik dalam waktu 1x24
jam atau bila kemudian keadaan umum kembali memburuk agar segera dibawa ke
UGD kembali.
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi tampon hidung,
perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan
jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti inijumlah dan
kecepatan pemberian cairan ringer laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan
lainnya 500 ml setiap 4 jam. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok
sedini mungkin.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan
pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam. Heparin
diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi
komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila
didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang),
Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g%. Transfusi
trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan
jumlah trombosit kurang dari 100.OOOipldisertai atau tanpa KID.
38
Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam kemudian, sedangkan
pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase dikerjakan bila masih ada perdarahan.
Penderita DBD dengan gejaia-gejala tersebut diatas, apabila dijumpai di Puskesmas
perlu dirujuk dengan infus. Idealnya menggunakan plasma expander (dextran) 1-1,5
liter/24jam. Bila tidak tersedia, dapat digunakan cairan kristaloid.
Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat penting, karena
angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan pasien DBD tanpa syok.
SSD
dapat
terjadi
karena
keterlambatan
penderita
DBD
mendapatkan
39
untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1,
sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol % hendaknya diberikan transfusi sel darah
merah (packed red cells)
Apabila pasien SSD sejak awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata
syok masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan koloid.
Bila hematokrit kurang dari 30 vol% dianjurkan diberikan juga sel darah merah.
Cairan koloid diberikan dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan sebaiknya yang
tidak
mempengaruhi/menggangu
mekanisme
pembekuan
darah.
Gangguan
mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam
jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi
maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam.
Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan
dan kekurangannya, yaitu
1. Dekstran
Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan
hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume
intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% De
kstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10/o Dekstran 40
dipertahankan selama 3,54,5 jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu
mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan
menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari
1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak baleh diberikan pada pasien dengan KID.
2. Gelatin
Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik
dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak
mengganggu mekanism pembekuan darah.
3. Hydroxy ethyl starch (HES)
6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik dan
isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek
volume 6%/10/o HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES
200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme
pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini
terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara,
perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan
40
kekuatan bekuan. Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat
diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan
kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. Bila syok belum dapat diatasi, selain ringer
laktatjuga dapat diberikan obat-obatan vasopresor seperti dopamin, dobutamin, atau
epinephrin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID maka heparin.
Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID, maka heparin dan transfusi
kompunendarah diberikan sesuai dengan indikasi seperti tersebut diatas.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam. Pemeriksaan hemostasis
ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam kemudian sejak dimulainya
pemberian heparin, sedangkan pada kasus tanpa KID; pemeriksaan hemostasis
ulangan hanya dilakukan bila masih terdapat perdarahan.
Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan
infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain
pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat/organ
lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek
terhadap sistem pembekuan.
41
2.9 Komplikasi
Pada umumnya infeksi primer dapat sembuh sendiri dan tidak berbahaya. Komplikasi
pada bayi dan anak usia muda biasanya berupa kehilangan cairan dan elektrolit,
hiperpireksia, dan kejang demam (Halstead, 2011) . Pada usia 1 4 tahun wajib
diwaspadai ensefalopati dengue karena merupakan golongan usia tersering terjadinya
kejang demam.Kegagalan dalam melakukan tatalaksana komplikasi ini, dapat
memberikan jalan menuju DSS (Dengue Shock Syndome) dengan tanda kegagalan
sirkulasi, hipotensi dan syok(1,2)
DAFTAR PUSTAKA
42
43