Impetigo Bulosa
Oleh:
M. Fahmi Ibnu Tsaqif, S.Ked*
G1A218042
Pembimbing:
dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.KK **
UNIVERSITAS JAMBI
2020
LEMBAR PENGESAHAN
Impetigo Bulosa
Oleh:
M. Fahmi Ibnu Tsaqif
G1A218042
Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa
sebab karena rahmatnya, tugas kasus atau Case Report Session (CRS) yang
berjudul “Impetigo Bulosa” ini dapat terselesaikan. Tugas ini dibuat agar penulis
dan teman – teman sesama koass periode ini dapat memahami tentang diagnosis,
komplikasi, dan pengobatan dari kasus ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam
menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD H.Abdul Manap Kota Jambi.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2.2 Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Raden Mattaher pada tanggal 3 Februari 2020.
A. Keluhan Utama
Adanya gelembung gelembung kecil yang berisi cairan pada Bercak tangan
dan kaki sejak ± 1 minggu yang lalu.
B. Keluhan Tambahan
Tidak ada keluhan tambahan
Medikametosa
- Sistemik :
- Cefadroxil syrup 2x2,5 mg
- Topikal :
- Kompres dengan NaCl 0,9% pada lesi yang basah hingga kering/12 jam
- Asam Fusidat krim dioleskan tipis pada seluruh tubuh yang terdapat lesi 2x
sehari
2.7 Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : ad bonam
2.8 Pemeriksaan Anjuran
Gram staining : didapatkan gram positif, bentuk coccus berantai atau berkelompok
dengan neutrofil di dalamnya.
Kultur : terutama dilakukan untuk kasus gagal terapi antibiotik oral dan dicurigai
adanya infeksi MRSA.
Hematologi : leukositosis
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Impetigo adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus atau oleh kedua-duanya pada lapisan epidermis kulit.4,5 Impetigo
mempunyai 2 tipe, yaitu impetigo non-bulosa yang ditandai dengan adanya
vesikel yang kemudian ruptur membentuk krusta berwarna kekuning-kuningan di
daerah wajah, terutama sekitar mulut dan hidung. Sedangkan impetigo bulosa
ditandai dengan lesi berupa vesikel-bula yang mudah ruptur dan membentuk
kolaret.6
3.2. Epidemiologi
Impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia penyakit kulit menempati urutan ke-3
setelah infeksi saluran napas dan diare. Dari data jumlah kunjungan pasien ke
poliklinik Divisi Dermatologi Ilmu Kesehatan Kulit dan kelamin (IKKK) Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia / RS Dr Cipto Mangunkusomo (FKUI/RSCM)
selama tahun 2001 menunjukan pasien pioderma anak sebesar 362 kasus (18,53%)
dari 2190 kunjungan baru. Penyakit ini menempati urutan ke-2 setelah dermatitis
atopik. Sedangkan tahun 2002 terbanyak 328 kasus (16,72%) dari 1962 kunjungan
baru. Pioderma primer terbanyak secara berturut-turut adalah furunkulosis
(19,32%), impetigo krustosa (15,0%), impetigo vesikobulosa (14,02%), dan ektima
(11,59%). Infeksi sekunder terbanyak dijumpai pada skabies dan dermatitis atopik.
Dari data 8 rumah sakit di 6 kota besar di Indonesia pada tahun 2001 didapatkan
13,86% dari 8919 kunjungan baru pasien kulit anak adalah pioderma. Yang
terbanyak adalah furunkulosis (26,35%), diikuti impetigo vesikobulosa (23,76%),
dan impetigo krustosa (22,79%).6
3.3. Etiologi
Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus Aureus.4,5 Grup
II bakteri ini menyebabkan sekitar 80% impetigo bulosa dan 60% kasus
disebabkan oleh tipe phage 71, selain itu juga bisa disebabkan oleh bakteri dengan
tipe phage 3A, 3C dan 55. Beberapa literatur juga melaporkan impetigo bulosa
yang disebabkan oleh Streptococcus grup A.3,7,9
3.4. Patofisiologi
Staphylococcus Aureus berkembang biak dalam lapisan sel spinosum,
memproduksi eksfoliative toxin ( ET ) yang menyebabkan lesi di epidermis. S.
Aureus menghasilkan eksfoliative toxin, salah satu jenis protease yang
menghidrolisis salah satu molekul adhesi intraseluler, desmoglein 1, yang terdapat
dalam desmosom keratinosit. Toksin ini merupakan faktor virulensi terbesar S.
aureus, yang menyebabkan pemisahan sel-sel epidermal dengan pembentukan lesi.
Lesi impetigo bulosa dimulai dengan vesikel kecil yang berukuran sampai 2 cm,
awalnya dengan isi vesikel jernih namun kemudian menjadi purulen. Ketika
vesikel pecah maka lesi menjadi makula eritematous dan dapat dilihat sebagai
kolaret di pinggir lesi. Lesi biasanya mempunyai gambaran polisiklik. Impetigo
bulosa paling sering terjadi di daerah seperti daerah sakrum, aksila dan leher,
bahkan telapak tangan dan kaki. Penyakit ini dapat menyerang neonatus, biasanya
mulai setelah minggu kedua kehidupan, meskipun dapat juga terjadi pada saat
lahir karena ketuban pecah dini, orang dengan hygiene buruk, dan imunitas turun.
Namun, impetigo bulosa paling umum terjadi pada anak usia 2-5 tahun.7
Gambar : Kolaret7
2.7. Diagnosis Banding 3,9
Diagnosis Distribusi Lesi
Definisi Tipe Lesi Keterangan
Banding
Pemeriksaan Lain
• Titer anti-streptolysin-O (ASTO), mungkin akan menunjukkan hasil
positif lemah untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang
dilakukan. Streptozyme, menunjukkan hasil positif untuk Streptococcus,
tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
• Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri.
2.9. Tatalaksana
Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan
memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang
lain dan mencegah kekambuhan.
Terapi medikamentosa
a. Terapi topikal
2) Antibiotik Topikal
a) Mupirocin
b) Fusidic Acid
Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo.
Namun bukan untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun vankomisin
resisten. Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3
dekat dengan peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein
sintesis dari bakteri.
Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210 pasien impetigo
yang berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2
atau >2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien
tersebut didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada pasien-
pasien tersebut diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi.
Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan didapatkan
luas lesi berkurang, lesi telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik
tanpa penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan
ratapamulin didapatkan perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1% pasien
mengalami perbaikan klinis yang menggunakan plasebo.
b. Terapi Sistemik
TOPIKAL SISTEMIK
(alergi
penisilin)
a. Menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai
mengelupaskan krusta dengan handuk basah
b. Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang
lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak
d. Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk
mencegah penyebaran local
e. Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo
krustosa.
Penanganan dini yang dapat dilakukan oleh ibu jika mendapati anaknya dengan tanda
dan gejala impetigo yaitu :
1. Rendam bagian kulit yang sakit dalam air sabun selama 15-20 menit. Lakukan 2-
3 kali sehari untuk melunturkan kerak pada kulit.
2. Gunakan sabun obat seperti Betadin. Gosoklah kulit sakit yang mengering.
3. Oleskan salep obat seperti polysporin pada kulit yang sakit. Lakukan 2-3 kali
sehari setelah kerak pada kulit hilang..
4. Tutup kulit yang sakit dengan perban yang bersih. Jangan biarkan anak
menyentuh atau menggaruknya.
Untuk pencegahan impetigo dapat dilakukan:
a. Cuci tangan dengan sabun setelah menyentuh kulit anak yang sakit atau
pakaian maupun handuknya.
b. Cuci tangan anak sampai bersih. Potong pendek kuku tangan anak.
KESIMPULAN
3. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, et al. Superficial Cutaneus Infections and
Pyodermas In Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. New York: McGraw Hill Medical;
2008. p. 1694-703.