Anda di halaman 1dari 32

Case Report Session

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218042/ Februari 2020


** Pembimbing : dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.KK **

Impetigo Bulosa

Oleh:
M. Fahmi Ibnu Tsaqif, S.Ked*
G1A218042

Pembimbing:
dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.KK **

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MANAP

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Impetigo Bulosa

Oleh:
M. Fahmi Ibnu Tsaqif
G1A218042

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MANAP
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2020

Jambi, Februari 2020


Pembimbing:

dr. Dewi Lastya Sari, M.Ked(DV), Sp.KK


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah Yang Maha Esa
sebab karena rahmatnya, tugas kasus atau Case Report Session (CRS) yang
berjudul “Impetigo Bulosa” ini dapat terselesaikan. Tugas ini dibuat agar penulis
dan teman – teman sesama koass periode ini dapat memahami tentang diagnosis,
komplikasi, dan pengobatan dari kasus ini. Selain itu juga sebagai tugas dalam
menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu penyakit Kulit dan
Kelamin RSUD H.Abdul Manap Kota Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dewi Lastya Sari,


M.Ked(DV), Sp.KK selaku pembimbing dalam kepaniteraan klinik senior ini dan
khususnya pembimbing dalam tugas kasus ini. Penulis menyadari bahwa laporan
ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran agar lebih
baik kedepannya. Akhir kata, semoga tugas baca jurnal ini bermanfaat bagi kita
semua dan dapat menambah informasi serta pengetahuan kita.

Jambi, Februari 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan infeksi piogenik


oleh bakteri Gram positif. Impetigo adalah tipe pioderma yang paling sering
dijumpai. Impetigo seringnya terjadi pada bagian tubuh yang terbuka.1 Biasanya
penyakit ini muncul pada wajah terutama di sekitar hidung dan mulut. Infeksi ini
biasanya terjadi ketika bakteri memasuki kulit melalui luka atau gigitan serangga.2
Pioderma primer dan sekunder sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan
Streptococcus group A.3
Impetigo merupakan salah satu penyakit kulit yang sering menyerang anak
anak, orang tua dengan imunitas rendah, dan orang dengan hygiene kurang baik.
Berbagai studi menemukan 50-70% kasus impetigo disebabkan oleh bakteri
golongan streptococcus aureus dan sisanya disebabkan oleh streptococcus
pyogenes atau gabungan antara kedua organisme tersebut.1 Di Amerika, impetigo
merupakan 10% dari penyakit kulit anak yang menjadi penyakit infeksi kulit
bakteri utama dan penyakit kulit peringkat tiga terbesar pada anak. Di Inggris
kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan
1,6% pada anak usia 5-15 tahun.3
Impetigo bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Beberapa faktor
yang meningkatkan risiko terjadinya impetigo adalah kontak langsung dengan
orang dewasa atau anak yang memiliki impetigo, handuk, tempat tidur dan
pakaian yang sudah terkontaminasi, tempat yang ramai/kumuh, musim panas, atau
kontak langsung kulit ke kulit saat berolahraga dan sebagainya.3
Terdapat dua gejala klinis dari impetigo yang diketahui yaitu impetigo
bulosa dan impetigo non-bulosa.3 Impetigo bulosa ditandai oleh munculnya bula
yang semakin membesar dan kulit yang melepuh yang akan ruptur dalam
beberapa hari, sedangkan impetigo non-bulosa dikarakteristikkan lesi yang
terpisah, vesikel atau bula yang dengan cepat menjadi pustul dan ruptur.1
Impetigo bulosa sering terjadi pada bagian tubuh yang terbuka, seperti
ketiak, dada, punggung. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa
vesikel dan bula pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau
kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi
warna keruh, sesudah pecah tampak krusta kecoklatan yang tepinya meluas dan
tengahnya menyembuh, sehingga tampak gambaran lesi sirsiner.3
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi.
Kultur dilakukan bila terdapat kegagalan pengobatan dengan terapi standar.
Biopsi jarang dilakukan, biasanya diagnosa dari impetigo dapat dilakukan tanpa
adanya tes laboratorium.1 Pemeriksaan penunjang dapat di gunakan untuk
memberikan gambaran terapi terhadap obat-obatan yang sensitif dan
menyingkirkan kemungkinan diagnosis banding. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain kultur bakteri dan sensivitas antibiotik serta dapat dilakukan
pengecetan gram.3
Tatalaksana dari impetigo bulosa dapat diberikan terapi nonmedikamentosa
berupa menjaga kebersihan pasien, dan terapi medikamentosa berupa terapi
topikal dan sistemik. Impetigo jarang berakibat fatal, dan infeksi ringan biasanya
akan menghilang sendiri dalam dua sampai tiga minggu. Pasien dapat kembali
bekerja atau sekolah dalam waktu 24 jam jika telah diberikan terapi antibiotik.2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. B
Umur : 2 Tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : RT 10 Talang Belido
Suku Bangsa : Melayu

2.2 Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Raden Mattaher pada tanggal 3 Februari 2020.

A. Keluhan Utama
Adanya gelembung gelembung kecil yang berisi cairan pada Bercak tangan
dan kaki sejak ± 1 minggu yang lalu.

B. Keluhan Tambahan
Tidak ada keluhan tambahan

C. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang diantar ibu pasien ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden
Mattaher dengan keluhan adanya gelembung-gelembung kecil yang berisi cairan pada
tangan dan kaki sejak ± 1 minggu SMRS.
Awalnya ±1 minggu SMRS muncul bintik-bintik kemerahan yang disertai rasa
gatal pada tangan dan kaki. Keluhan tersebut dikatakan muncul tiba-tiba, tanpa ada
keluhan yang lain sebelumnya.
± 4 hari SMRS timbul gelembung-gelembung pada tangan dan kaki yang
berisi cairan, kulit sekitarnya menjadi merah disertai rasa gatal, panas dan nyeri.
Akibatnya pasien sering menggaruknya sehingga gelembung tersebut pecah
mengeluarkan cairan yang bening dan tidak berbau, kemudian orang tua pasien
membersihkan dan mengeringkannya menggunakan tisu dan lap/handuk.
± 2 hari SMRS gelembung tersebut semakin membesar, dan beberapa
gelembung tersebut pecah sendiri tanpa digaruk, kulit sekitar menjadi merah dan
terasa nyeri. Beberapa pecahan gelembung yang tidak sempat dikeringkan
meninggalkan bekas disekitarnya berupa kulit yang keras dan kasar berwarna
kekuningan. Pasien kemudian berobat ke puskesmas dan keluhan berkurang, bekas
pada tangan dan kaki menetap namun tidak menimbulkan keluhan.
Akhirnya keluarga pasien memutuskan untuk berobat ke Poliklinik Kulit-
Kelamin RS Abdul Manap Jambi pada tanggal 3 Februari 2020.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat Varicella (-)
 Riwayat alergi (-)
 Riwayat imunisasi tidak lengkap

E. Riwayat Penyakit Keluarga


 Tidak ada keluhan serupa

F. Riwayat Sosial Ekonomi :


 Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara tinggal bersama kedua orang
tua dan kakaknya.

2.3 Pemeriksaan Fisik


A. Status Generalisata
1. Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
2. Tanda Vital :
Kesadaran : Compos Mentis RR : 28 x/i
TD : mmHg Nadi : 110 x/i
Suhu : 36.8oC BB: 12 kg
TB: 78 cm
3. Kepala :
a. Bentuk : Normocepal
b. Mata : Refleks cahaya (+), pupil isokor, infeksi pada mata (-)
c. THT : Lesi kulit (-), Infeksi pada mulut (-), infeksi faring (-), infeksi tonsil
(-)
d. Leher : Perbesaran kelenjar getah bening (-), lesi kulit (-)
4. Thoraks :
a. Jantung: Dalam batas normal
b. Paru : Dalam batas normal
5. Genitalia
Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Ekstremitas
a. Superior : Lesi kulit (-), edema (-)
b. Inferior : Lesi kulit (-), edema (-)

2.4 Status Dermatologi

REGIO DORSUM MANUS DEXTRA


Vesikel, ukuran lentikular, jumlah multiple, batas sirkumskrip, warna kuning,
tepi tidak aktif, distribusi regional, permukaan licin, sekitar terdapat papul
miliar, pustule, bula, krusta.
REGIO PALMARIS MANUS SINISTRA
bula, ukuran diameter 1,5 cm, jumlah
multiple, batas sirkumskrip, warna
kuning, tepi tidak aktif, distribusi
regional, permukaan licin, sekitar
terdapat skuama, eskoriasi, krusta.

REGIO PEDIS DEXTRA

makula, eritema, ukuran 3x4 cm,


jumlah soliter, batas tidak tegas, tepi
tidak aktif, distribusi regional,
permukaan tidak rata, sekitar
terdapat skuama, eskoriasi, krusta,
vesikel.
2.5 Status Lokalis

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4 Diagnosis Banding


Impetigo Bulosa
Impetigo Krustosa
Skabies
Dermatofitosis
Varisella
Pemfigoid Bulosa

2.5 Diagnosis Kerja


Impetigo Bulosa
2.6 Terapi
Non Medikamentosa
 Menerangkan kepada pasien tentang penyakit yang diderita dan cara
pengobatannya.
 Edukasi hygiene sanitasi tubuh terutama pada daerah gelembung yang telah pecah
serta menjaga daya tahan tubuh dengan menjaga makan yang teratur dan tidur
yang cukup.
 Edukasi pasien untuk tidak menggaruk lesinya
 Edukasi pasien untuk menggunakan obatnya secara teratur sesuai instruksi dokter
dan control kembali ke poli klinik kulit dan kelamin 1 minggu kemudian untuk
melihat efektifitas pengobatan yang sudah diberikan.

Medikametosa
- Sistemik :
- Cefadroxil syrup 2x2,5 mg

- Topikal :

- Kompres dengan NaCl 0,9% pada lesi yang basah hingga kering/12 jam
- Asam Fusidat krim dioleskan tipis pada seluruh tubuh yang terdapat lesi 2x
sehari

2.7 Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : ad bonam
2.8 Pemeriksaan Anjuran
 Gram staining : didapatkan gram positif, bentuk coccus berantai atau berkelompok
dengan neutrofil di dalamnya.
 Kultur : terutama dilakukan untuk kasus gagal terapi antibiotik oral dan dicurigai
adanya infeksi MRSA.
 Hematologi : leukositosis

 Dermatopatologi : vesikel terdapat di bawah stratum korneum atau di lapisan


granular, didapatkan acantholitic cells, spongiosis, edema papila dermis dan infiltrat
berupa limfosit dan neutrofil di sekitar pembuluh darah superfisial.

 Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri.


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi
Impetigo adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Staphylococcus,
Streptococcus atau oleh kedua-duanya pada lapisan epidermis kulit.4,5 Impetigo
mempunyai 2 tipe, yaitu impetigo non-bulosa yang ditandai dengan adanya
vesikel yang kemudian ruptur membentuk krusta berwarna kekuning-kuningan di
daerah wajah, terutama sekitar mulut dan hidung. Sedangkan impetigo bulosa
ditandai dengan lesi berupa vesikel-bula yang mudah ruptur dan membentuk
kolaret.6

3.2. Epidemiologi
Impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Di Indonesia penyakit kulit menempati urutan ke-3
setelah infeksi saluran napas dan diare. Dari data jumlah kunjungan pasien ke
poliklinik Divisi Dermatologi Ilmu Kesehatan Kulit dan kelamin (IKKK) Fakultas
kedokteran Universitas Indonesia / RS Dr Cipto Mangunkusomo (FKUI/RSCM)
selama tahun 2001 menunjukan pasien pioderma anak sebesar 362 kasus (18,53%)
dari 2190 kunjungan baru. Penyakit ini menempati urutan ke-2 setelah dermatitis
atopik. Sedangkan tahun 2002 terbanyak 328 kasus (16,72%) dari 1962 kunjungan
baru. Pioderma primer terbanyak secara berturut-turut adalah furunkulosis
(19,32%), impetigo krustosa (15,0%), impetigo vesikobulosa (14,02%), dan ektima
(11,59%). Infeksi sekunder terbanyak dijumpai pada skabies dan dermatitis atopik.
Dari data 8 rumah sakit di 6 kota besar di Indonesia pada tahun 2001 didapatkan
13,86% dari 8919 kunjungan baru pasien kulit anak adalah pioderma. Yang
terbanyak adalah furunkulosis (26,35%), diikuti impetigo vesikobulosa (23,76%),
dan impetigo krustosa (22,79%).6
3.3. Etiologi
Impetigo bulosa biasanya disebabkan oleh Staphylococcus Aureus.4,5 Grup
II bakteri ini menyebabkan sekitar 80% impetigo bulosa dan 60% kasus
disebabkan oleh tipe phage 71, selain itu juga bisa disebabkan oleh bakteri dengan
tipe phage 3A, 3C dan 55. Beberapa literatur juga melaporkan impetigo bulosa
yang disebabkan oleh Streptococcus grup A.3,7,9

3.4. Patofisiologi
Staphylococcus Aureus berkembang biak dalam lapisan sel spinosum,
memproduksi eksfoliative toxin ( ET ) yang menyebabkan lesi di epidermis. S.
Aureus menghasilkan eksfoliative toxin, salah satu jenis protease yang
menghidrolisis salah satu molekul adhesi intraseluler, desmoglein 1, yang terdapat
dalam desmosom keratinosit. Toksin ini merupakan faktor virulensi terbesar S.
aureus, yang menyebabkan pemisahan sel-sel epidermal dengan pembentukan lesi.
Lesi impetigo bulosa dimulai dengan vesikel kecil yang berukuran sampai 2 cm,
awalnya dengan isi vesikel jernih namun kemudian menjadi purulen. Ketika
vesikel pecah maka lesi menjadi makula eritematous dan dapat dilihat sebagai
kolaret di pinggir lesi. Lesi biasanya mempunyai gambaran polisiklik. Impetigo
bulosa paling sering terjadi di daerah seperti daerah sakrum, aksila dan leher,
bahkan telapak tangan dan kaki. Penyakit ini dapat menyerang neonatus, biasanya
mulai setelah minggu kedua kehidupan, meskipun dapat juga terjadi pada saat
lahir karena ketuban pecah dini, orang dengan hygiene buruk, dan imunitas turun.
Namun, impetigo bulosa paling umum terjadi pada anak usia 2-5 tahun.7

2.5. Faktor Predisposisi6


Impetigo bulosa sering menyerang individu dengan higiene yang kurang,
menurunnya daya tahan tubuh, misalnya umur tua, pasien dengan HIV/AIDS,
neoplasma dan diabetes melitus. Selain itu, riwayat penyakit kulit sebelumnya
juga berpengaruh, karena terjadi kerusakan di epidermis, maka fungsi kulit
sebagai pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya infeksi.

2.6. Gejala Klinis


Impetigo bulosa tidak mempengaruhi keadaan umum pasien. Lesi biasanya
terdapat di ketiak, dada, punggung, dan sering timbul bersama miliaria. Terdapat
pada anak dan orang dewasa. Kelainan kulit berupa eritema, bula dan bula
hipopion. Vesikel akan terus membesar membentuk bula selam 2-3 hari yang
kemudian akan ruptur. Kadang-kadang waktu penderita berobat, vesikel/bula telah
memecah sehingga yang tampak hanya kolaret dan dasarnya masih
eritematous.4,5,8 Kolaret merupakan tanda patognomonik untuk kasus impetigo
bulosa.8

Gambar : Kolaret7
2.7. Diagnosis Banding 3,9
Diagnosis Distribusi Lesi
Definisi Tipe Lesi Keterangan
Banding

Impetigo Impetigo adalah Penyakit kulit


Lesi berupa vesikel-bula Lesi muncul di area
Bulosa yang disebabkan
oleh yang mudah ruptur pemakaian
dan popok, aksila,
Staphylococcus, Streptococcus
membentuk kolaret leher, muka dan bagian tubuh
atau oleh kedua-duanya pada Lainnya termasuk telapak
lapisan epidermis kulit tangan dan kaki.

Impetigo Impetigo adalah Penyakit kulit


Lesi berupa vesikel Lesi
yangmuncul di bagian wajah,
Krustosa yang disebabkan
oleh kemudian terutama
ruptur sekitar mulut dan
Staphylococcus, Streptococcus
membentuk hidung.
krusta
atau oleh kedua-duanya pada
berwarna kekuning-
lapisan epidermis kulit kuningan di daerah wajah,
terutama sekitar mulut dan
hidung
Varisela
Penyakit menular akut Lesi
yang berawal berupa
Distribusi bersifat sentripetal
disebabkan oleh virus varisela- makula
eritematous yang
zoster, sering pada anak- anak, cepat berkembang menjadi
mengenai kulit dan mukosa, papul, vesikel, pustul dan
klinis terdapat gejala konstitusi, krusta.
Lesi kemudian
kelainan kulit polimorf, mengering, mula-mula
terutama berlokasi pada bagian dibagian tengah sehingga
sentral tubuh. menyebabkan umbilikasi
dan menjadi krusta.
Pemfigoid Penyakit autoimun kronik yang Lesi dimulai denganAksila,
papul lengan bagian fleksor,
Bulosa ditandai oleh adanyaeritematous
bula atau abdomen,
urtika paha bagian dalam,
subepidermal yang berdinding kemudian membentuk
tungkai
bula bawah.
Tegang dan sering mengenai
tegang yang berisi cairan
orang tua (60-80 tahun) jernih dengan dasar kulit
normal atau eritematous.
Bila bula pecah akan
terbentuk erosi dan krusta
2.8. Pemeriksaan Penunjang 3, 9
- Gram staining : didapatkan gram positif, bentuk coccus berantai atau
berkelompok dengan neutrofil di dalamnya.
- Kultur : terutama dilakukan untuk kasus gagal terapi antibiotik oral dan
dicurigai adanya infeksi MRSA.
- Hematologi : leukositosis
- Dermatopatologi : vesikel terdapat di bawah stratum korneum atau di
lapisan granular, didapatkan acantholitic cells, spongiosis, edema papila
dermis dan infiltrat berupa limfosit dan neutrofil di sekitar pembuluh darah
superfisial.

Pemeriksaan Lain
• Titer anti-streptolysin-O (ASTO), mungkin akan menunjukkan hasil
positif lemah untuk Streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang
dilakukan. Streptozyme, menunjukkan hasil positif untuk Streptococcus,
tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
• Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri.

2.9. Tatalaksana
Tujuan pengobatan impetigo adalah menghilangkan rasa tidak nyaman dan
memperbaiki kosmetik dan lesi impetigo, mencegah penyebaran infeksi ke orang
lain dan mencegah kekambuhan.

Terapi medikamentosa

a. Terapi topikal

Jika bula besar dan banyak, sebaiknya dipecahkan, krusta sedikit


dilepaskan, selanjutnya dibersihkan dengan betadine dan diberikan salep
antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan dengan
pemberian antiseptik atau salap antibiotik.
1) Antiseptik

Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan impetigo


terutama yang telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan
menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah
triklosan 2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh
setelah kontak dengan triklosan 2% selama 30”, 60”, 90”, dan 120” adalah
sebanyak 0 koloni. Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2% mampu untuk
mengendalikan penyebaran penyakit akibat infeksi Staphylococcus aureus. Akan
tetapi penggunaan trikosan sudah dibatasi karena menimbulkan reaksi atopi.

2) Antibiotik Topikal

a) Mupirocin

Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai


digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan menghambat
sintesis RNA dan protein dari bakteri. Pada salah satu penelitian yang telah
dilakukan dengan menggunakan mupirocin topikal yang dibandingkan dengan
pemberian eritromisin oral pada pasien impetigo yang dilakukan di Ohio
didapatkan hasil bahwa mupirocin topikal jauh lebih unggul dalam mempercepat
penyembuhan pasien impetigo, meskipun pada awal kunjungan diketahui lebih
baik penggunaan eritromisin oral, namun pada akhir terapi dan pada evaluasi
diketahui jauh lebih baik mupirocin topikal dibandingkan dengan eritromisin oral
dan penggunaan mupirocin topikal memiliki sedikit failure. Mupirocin 2% topikal
(di berikan di kulit terinfeksi 2 – 3 kali sehari selama 3-7 hari)

b) Fusidic Acid

Tahun 2002 telah dilakukan penelitian terhadap fusidic acid yang


dibandingkan dengan plasebo pada praktek dokter umum yang diberikan pada
pasien impetigo. dapat dilihat bahwa penggunaan plasebo jauh lebih baik
dibandingkan dengan menggunakan fassidic acid.
c) Ratapamulin

Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and
Drug Administration (FDA) untuk digunakan sebagai pengobatan impetigo.
Namun bukan untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun vankomisin
resisten. Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3
dekat dengan peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein
sintesis dari bakteri.

Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210 pasien impetigo
yang berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2
atau >2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien
tersebut didapatkan 82% dengan infeksi Staphylococcus aureus. Pada pasien-
pasien tersebut diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi.
Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan didapatkan
luas lesi berkurang, lesi telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik
tanpa penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan
ratapamulin didapatkan perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1% pasien
mengalami perbaikan klinis yang menggunakan plasebo.
b. Terapi Sistemik

TOPIKAL SISTEMIK

FIRST LINE Mupirocin 2x1 Dicloxacillin 250-500mg PO 4x1 (5-7


hari)

Retapamurin 2x1 Amoxicillin 25mg/kg


plus 3x1; 250-500 mg
clavulanic 4x1
acid;
cephalexin

Fusidic acid 2x1

SECOND Azitromycin 500mg x1, lanjut


LINE 250mg/hari selama 4 hari

(alergi
penisilin)

Clindamycin 15mg/kg/hari 3x1

Erithromycin 250-500mg PO 4x1 (5-7


hari)

Jikacuriga Mupirocin 2x1 TMP-SMX 160/800mg PO 2x1 (7


CA-MRSA hari)

Clindamycin 15mg/kg/hari 3x1

Tetracycline 250-500 mg PO 4x1 (7


hari)

Doxycycline 100mg PO 2x1 (7 hari)


Impetigo staphylococcal berespon baik dengan terapi yang tepat. Pada
orang dewasa dengan lesi berat atau lesibulosa, dicloxacillin (atau penisilin
sejenis-penisilin semisintetik resisten), 250 – 500 mg secara oral, 4 kali sehari,
atau eritromisin (pada pasien alergi penisilin), 250 – 500 mg secara oral, 4 kali
sehari, biasa diberikan, dosis pada anak 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari.
Pengobatan sebaiknya dilanjukan selama 5 – 7 hari (10 hari jika
Streptococcusdiisolasi). Pemberian azitromisin oral (pada dewasa 500 mg pada
hari pertama, 250 mg per hari pada 4 hari selanjutnya) telah menunjukkan
efektivitas yang sama dengan dicloxacilin untuk infeksi kulit pada orang dewasa
dan anak-anak.

Untuk impetigo yang disebabkan oleh S. Aureus resisten eritromisin, yang


biasanya diisolasi dari lesi impetigo anak-anak, amoksisilin ditambah asam
clavulanic (25 mg/kg BB/haridiberikan 3 kali sehari), cephalexin (40 – 50 mg/kg
BB/hari), cefaclor (20 mg/kgBB/hari), cefprozil (20 mg/kg BB 1 kali sehari), atau
klindamisin (15 mg/kgBB/hari 3-4 kali sehari ) diberikanselama 10 hari adalah
terapi alternatif yang efektif.Jika dicurigai gambaran CA-MRSA (Community
Aquirred – Methicillin resistant Staphylococcus aureus) TMP-SMX
(Cotrimoxazole) dan rifampisin, klindamisin, dan tetrasiklin..

Untuk impetigo yang disebabkan oleh Streptococcus, penicillin merupakan


drug of choice. Injeksi single dose benzathine penicillin (300.000-600.000 unit
untuk anak, 1,2 juta unit untuk dewasa) atau per oral (25.000-100.000 unit/kg/hari
tiap 6 jam selama 10 hari). Obat lain adalah Eritromisin (30-50 mg/kg/hari po tiap
6 jam untuk anak, 250-500 mg po tiap 6 jam untuk dewasa selama 10 hari).
Terapi Nonmedikamentosa

a. Menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai
mengelupaskan krusta dengan handuk basah

b. Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang
lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak

c. Lanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh

d. Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk
mencegah penyebaran local

e. Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo
krustosa.

Penanganan dini yang dapat dilakukan oleh ibu jika mendapati anaknya dengan tanda
dan gejala impetigo yaitu :

1. Rendam bagian kulit yang sakit dalam air sabun selama 15-20 menit. Lakukan 2-
3 kali sehari untuk melunturkan kerak pada kulit.

2. Gunakan sabun obat seperti Betadin. Gosoklah kulit sakit yang mengering.

3. Oleskan salep obat seperti polysporin pada kulit yang sakit. Lakukan 2-3 kali
sehari setelah kerak pada kulit hilang..

4. Tutup kulit yang sakit dengan perban yang bersih. Jangan biarkan anak
menyentuh atau menggaruknya.
Untuk pencegahan impetigo dapat dilakukan:

a. Cuci tangan dengan sabun setelah menyentuh kulit anak yang sakit atau
pakaian maupun handuknya.

b. Cuci tangan anak sampai bersih. Potong pendek kuku tangan anak.

c. Jaga agar tangan anak tidak menyentuh hidungnya.

d. Simpan pakaian, handuk, dan barang-barang anak terpisah dengan anggota


keluarga yang lain. Cucilah dengan sabun dan air panas.

2.10. Komplikasi Prognosis


Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu
walaupun tidak diobati. Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi
Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun.6,8
Gejala berupa bengkak dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga
terdapat urin seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara
spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul. Komplikasi lainnya yang
jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-paru
(pneumonia), selulitis, psoriasis, staphylococcal scalded skin
syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening, septic
arthritis dan sepsis. Selain itu, pada infeksi Staphylococcus yang
menghasilkan TSST-1 maka dapat terjadi komplikasi berupa toxic
shock syndrome. 3,8,9
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien anak perempuan, 2 tahun 7 bulan, datang dengan keluhan


gelembung-gelembung kecil pada tangan dan kaki sejak 1 minggu SMRS.
Pasien datang diantar ibu pasien ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Raden
Mattaher dengan keluhan adanya gelembung-gelembung kecil yang berisi
cairan pada tangan dan kaki sejak ± 1 minggu SMRS. Awalnya ±1 minggu
SMRS muncul bintik-bintik kemerahan yang disertai rasa gatal pada
tangan dan kaki. Keluhan tersebut dikatakan muncul tiba-tiba, tanpa ada
keluhan yang lain sebelumnya. ± 4 hari SMRS timbul gelembung-
gelembung pada tangan dan kaki yang berisi cairan, kulit sekitarnya
menjadi merah disertai rasa gatal, panas dan nyeri. Akibatnya pasien
sering menggaruknya sehingga gelembung tersebut pecah mengeluarkan
cairan yang bening dan tidak berbau, kemudian orang tua pasien
membersihkan dan mengeringkannya menggunakan tisu dan lap/handuk. ±
2 hari SMRS gelembung tersebut semakin membesar, dan beberapa
gelembung tersebut pecah sendiri tanpa digaruk, kulit sekitar menjadi
merah dan terasa nyeri. Beberapa pecahan gelembung yang tidak sempat
dikeringkan meninggalkan bekas disekitarnya berupa kulit yang keras dan
kasar berwarna kekuningan. Pasien kemudian berobat ke puskesmas dan
keluhan berkurang, bekas pada tangan dan kaki menetap namun tidak
menimbulkan keluhan.
Hal ini sesuai dengan tanda dan gejala impetigo bullosa bahwa
impetigo merupakan infeksi bakteri di kulit yang dapat terjadi terutama
pada orang dengan daya tahan tubuh yang menurun atau belum matang.
Pada kasus diatas, imunitas tubuh pada anak belum matang sehingga
memudahkan paparan infeksi bakteri, kebiasaan pasien menggaruk karena
rasa gatal menyebabkan infeksi bakteri pyoderma. Gejala simtomatik
dapat berupa lemas, demam dan diare dapat dialami sebagai keluhan
sistemik. Data epidemiologi menyatakan daerah predileksi impétigo
bulosa antara lain leher, ketiak, dada, serta punggung dengan gambaran
efloresensi yang khas berupa vesikel yang biasanya membesar menjadi
bula. Didalam bula tersebut awalnya mengandung cairan yang jernih
berwarna kuning, yang kemudian berubah warna menjadi lebih gelap, serta
lebih berwarna kuning kehitaman. Setelah 1-3 hari lesi ini biasanya akan
rupture dan meninggalkan lesi eritematous dan basah, yang membentuk
kolaret- bentuk khas pada impetigo bulosa.
Beberapa penyakit kulit memiliki gejala klinis yang mirip
dengan gejala klinis penyakit kulit yang lain di antaranya adalah
impetigo krustosa, namun terdapat beberapa perbedaan yang khas.
Untuk diagnosis impetigo krustosa umumnya terjadi pada anak dan
biasanya tidak didahului dengan gejala konstitusi atau prodromal,
namun dapat kita singkirkan karena dari daerah predileksi untuk
impetigo krustosa adalah di bagian wajah (sekitar lubang hidung serta
mulut) sedangkan pada pasien terdapat di daerah leher, kemudian
untuk gambaran effloresensinya pada impetigo krustosa yang khas
adalah adanya gambaran vesikel dengan krusta yang tebal berwarna
kuning seperti madu dengan dasar erosi. Kemudian untuk diagnosis
varisela dapat kita singkirkan karena biasanya didahului dengan gejala
konstitusi atau prodromal seperti demam serta munculnya lesi secara
sentrifugal(mulai dari wajah dan batang tubuh keekstrimitas),
sedangkan pada pasien terdapat di daerah leher saja, kemudian untuk
gambaran efloresensinya pada varicella yang khas adalah adanya
gambaran vesikel berisi cairan bening/serous yang tersusun diskret
diatas kulit yang eritema.8
Penatalaksanaan impetigo bulosa dapatdi berikan dengan
antibiotika topikal hingga oral dengan pertimbangan luas lesi serta
kondisi klinis pasien seperti ada tidaknya demam serta limfadenopati
Apabila tidak disertai gejala limfadenopatimaka pengobatan yang
dapat dipilih jenis topikal. Antibiotika yang dipilih untuk pengobatan
lokal adalah antibiotika yang tidak digunakan secara sistemik, seperti
neomisin, basitrasin, gentamisin, asamfusidat, mupirosin dan
framisetin. Penisilin dan sulfat tidak boleh digunakan untuk
pengobatan lokal oleh karena dapat terjadi sensitisasi. Pada pasien
diberikan terapi mupirosin krim yang dioleskan 2 kali dalam sehari.
Mupirocin dan asam fusidat merupakan obat topikal pilihan pertama
untuk kasus impetigo. 7,8,10
Sedangkan pemilihan obat sistemik berdasarkan juga pada
gejala pasien, misalnya apabila ditemukan lesi dalam jumlah yang
banyak, serta disertai dengan gejala konstitusi sebelumnya seperti
misalnya demam. Obat antibiotaka sistemik yang biasanya digunakan
meliputi golongan Beta-lactam seperti Amoksisilin, namun nantinya
jika muncul reaksi hipersensitivitas tipe I, dapat diganti dengan
golongan sefalosporin yang lebih hipoalergenik seperti cefadroxil atau
cefuroxime atau dapat diganti dengan golongan lainnya seperti
dikloksasilin,serta eritromisin Pada pasien ini penatalaksanaan yang
dilakukan adalah dengan memberikan Cefadroxil syrup 125 mg 2 x 1
mengingat jumlah lesi yang cukup banyak dan usaha untuk membunuh
bakteri yang juga terdapat diwajah. Pemberian anti-histamin dapat
dilakukan untuk mengurangi rasa gatal. Pada pasien ini diberikan juga
Asam Fusilat sebagai pengobatan topical pada lesi sebagai terapi
utama.
Selanjutnya yang juga penting adalah memberikan edukasi
kepada keluarga berupa menjaga kebersihan diri, jika timbul lesi baru
dan kemudian pecah langsung dibersihkan agar tidak terkena ke bagian
yang lain, cuci pakaian pasien setiap hari dan jangan bertukaran
dengan siapapun di dalam keluarga, potong kuku pasien untuk
mencegah garukan yang akan memperparah kondisi.7
Impetigo bulosa umumnya sembuh dengan sendirinya dalam
beberapa minggu. Namun juga bergantung pada pemilihan dan cara
pemakaian obat, serta syarat pengobatan, dan menghilangkan faktor
predisposisi pada kasus yang lebih berat. Secara umum mengingat
penatalaksanaan yang diberikan untuk mengeradikasi bakteri
penyebab, prognosis penyakit pada pasien ini adalah baik.1
BAB V

KESIMPULAN

Impetigo adalah penyakit kulit superfisial yang disebabkan infeksi


piogenik oleh bakteri Gram positif. Impetigo adalah tipe pioderma yang paling
sering dijumpai. Impetigo seringnya terjadi pada bagian tubuh yang terbuka.1
Kasus impetigo 50-70% disebabkan oleh bakteri golongan streptococcus
aureus dan sisanya disebabkan oleh streptococcus pyogenes
Faktor yang meningkatkan risiko terjadinya impetigo adalah kontak
langsung dengan orang dewasa atau anak yang memiliki impetigo, handuk, tempat
tidur dan pakaian yang sudah terkontaminasi, tempat yang ramai/kumuh, musim
panas, atau kontak langsung kulit ke kulit saat berolahraga dan sebagainya.3
Impetigo bulosa ditandai oleh munculnya bula yang semakin membesar
dan kulit yang melepuh yang akan ruptur dalam beberapa hari, sedangkan
impetigo non-bulosa dikarakteristikkan lesi yang terpisah, vesikel atau bula yang
dengan cepat menjadi pustul dan ruptur.1
Kelainan kulit berupa vesikel dan bula pada kulit yang utuh, dengan kulit
sekitar normal atau kemerahan. Awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang
berubah menjadi warna keruh, sesudah pecah tampak krusta kecoklatan yang
tepinya meluas dan tengahnya menyembuh, sehingga tampak gambaran lesi
sirsiner.3
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa dan gambaran klinis dari lesi.
Tatalaksana dari impetigo bulosa dapat diberikan terapi non
medikamentosa berupa menjaga kebersihan pasien, dan terapi medikamentosa
berupa terapi topikal dan sistemik.
Impetigo jarang berakibat fatal, dan infeksi ringan biasanya akan
menghilang sendiri dalam dua sampai tiga minggu. Pasien dapat kembali bekerja
atau sekolah dalam waktu 24 jam jika telah diberikan terapi antibiotic.
DAFTAR PUSTAKA

1. James WD, Berger TG, Elston DM. Bacterial Infections in Andrew's


Disease of the Skin. Saunders Elsevier; 2011.p.247-53.

2. Mahmood B, SH Ghotbi. Impetigo, a Brief Review. Shiraz E-Medical


Journal. 2007 July; 8.p. 138 - 41.

3. Craft N, Lee PK, Zipoli MT, et al. Superficial Cutaneus Infections and
Pyodermas In Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, et al. Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. New York: McGraw Hill Medical;
2008. p. 1694-703.

4. Djuanda A. Pioderma in Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit


Kulit Dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2010.p. 57-59.

5. Menaldi SLS And Triestianawati W. Pioderma. Jakarta : Departemen


Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin FKUI/ RSCM.
6. Oakley A. Managemen Of Impetigo. Hamilton;.p.9-11. Available at :
www.bpac.org.nz
7. Pereir LB. Impetigo-Review. An Bras Dermatol. 2014.p. 293-9.

8. MH Mostwaledi. Impetigo in children : a clinical guide and treatment


options. South African Family Practice. 2011; 53.p. 44-46.

9. Fitzpatrick TB, Johnson NA, Wolff K, et al. Cutaneus Bacterial


Infections in Color Atlaslas And Synopsis Of Clinical Dermatology. New
York: McGraw Hill Medical.1997.

10. Cole C And Gazewood J. Diagnosis and Treatment of Impetigo. Virginia


: University of virginia School of Medicine.2007 March;75.p.859-64.

Anda mungkin juga menyukai