Anda di halaman 1dari 28

Referat

SINDROM MATA KERING

Oleh:
Mandy Putriyudi, S.Ked 04054821820065

Pembimbing:
dr. Petty Purwanita, Sp.M(K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Referat

SINDROM MATA KERING

Disusun oleh:
Mandy Putriyudi, S.Ked (04054821820065)

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP
dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 11 November sampai dengan 16
Desember 2019.

Palembang, November 2019


Pembimbing

dr. Petty Purwanita, Sp.M(K)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Sindrom
Mata Kering” untuk memenuhi tugas referat yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran dan penilaian kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
Petty Purwanita, Sp.M(K) selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga laporan ini dapat selesai.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan ini
disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan di
masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan
pelajaran bagi kita semua.

Palembang, November 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3


2.1 Anatomi dan Fisiologi Permukaan Mata ..................................................... 3
A. Kelopak Mata (Palpebra)............................................................................. 3
B. Kornea ......................................................................................................... 5
C. Konjungtiva ................................................................................................. 6
D. Kelenjar Lakrimal........................................................................................ 6
2.2 Lapisan Air Mata ......................................................................................... 7
A. Struktur Lapisan Air Mata ........................................................................... 7
B. Mekanisme Produksi dan Drainase Air Mata.............................................. 8
2.3 Definisi Sindrom Mata Kering .................................................................... 9
2.4 Epidemiologi Sindrom Mata Kering ......................................................... 10
2.5 Patofisiologi Sindrom Mata Kering .......................................................... 10
2.6 Klasifikasi Sindrom Mata Kering ............................................................. 12
A. Defisiensi Air Mata Akuous (Aqueous Tear Deficiency).......................... 12
B. Mata Kering Akibat Evaporasi (Evaporative Dry Eye) ............................ 13
C. Berdasarkan Derajat Keparahan Penyakit ................................................. 13
2.7 Manifestasi Klinis Sindrom Mata Kering ................................................. 14
2.8 Diagnosis Sindrom Mata Kering ............................................................... 16
2.9 Tatalaksana ................................................................................................ 18
A. Defisiensi Air Mata Akuous (Aqueous Tear Deficiency).......................... 19
B. Mata Kering Evaporatif (Evaporative Dry Eye) ....................................... 21
2.10 Prognosis ................................................................................................... 22

BAB III KESIMPULAN ..................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom mata kering (dry eye syndrome), didefinisikan sebagai penyakit


multifaktorial dari lapisan air mata dan permukaan mata yang menyebabkan
gejala ketidak nyamanan, gangguan penglihatan, dan instabilitas lapisan air mata
dengan potensi merusak permukaan okular. Mata kering disertai peningkatan
osmolaritas air mata dan inflamasi permukaan mata, merepresentasikan gangguan
pada unit fungsional lakrimal, yaitu suatu sistem terintegrasi yang terdiri dari
kelenjar lakrimal, permukaan okular (kornea, konjungtiva, dan kelenjar meibom),
kelopak mata, juga saraf sensoris dan motoris yang menghubungkannya.1,2
Sindrom mata kering merupakan salah satu alasan utama konsultasi
oftalmologis. Sebanyak kurang lebih 5-34% penduduk di seluruh dunia menderita
sindrom mata kering.3 Prevalensi ini meningkat seiring dengan bertambahnya
usia, 10% dari kelompok usia 30-60 tahun dan 15% dari kelompok usia lebih dari
65 tahun.2 Penelitian di Amerika dan Australia mengungkapkan prevalensi
sindrom mata kering sebesar 5-16%, sementara penelitian di Asia
mengungkapkan prevalensi sindom mata kering yang lebih besar, yaitu seiktar 27-
33%.4
Lapisan air mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu lipid, akuous, dan musin.
Fungsi dari lapisan air mata sendiri adalah untuk melindungi mata dari iritan dan
patogen, dilusi toksin dan alergen, serta menjaga permukaan okular di antara
kedipan.2 Bila kuantitas dan kualitas lapisan air mata menurun, maka permukaan
mata akan mengalami defek akumulatif akibat kedipan berulang. Sindrom mata
kering yang berat dapat menyebabkan kelainan pada permukaaan mata seperti
keratitis pungtata superfisial, defek epitel, ulkus kornea, serta mempermudah
risiko infeksi mata. Adanya jaringan parut pada kornea merupakan komplikasi
permanen dari mata kering.3
Sindrom mata kering memiliki SKDI 4A, yang berarti lulusan dokter umum
harus mampu mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan
tuntas.5 Mengingat tingginya prevalensi dan komplikasi yang dapat timbul dari
mata kering, maka penulis tertarik menjadikan sindrom mata kering sebagai topik

1
pada referat kali ini. Referat ini dibuat dengan tujuan mengetahui lebih dalam
mengenai kasus sindrom mata kering sehingga dapat terlaksananya penegakkan
diagnosis yang cepat, penanganan yang cepat dan tepat sehingga diharapkan dapat
menghindari komplikasi yang mungkin terjadi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI PERMUKAAN MATA


Permukaan mata, atau disebut juga dengan permukaan okular, terdiri dari
konjungtiva, kornea, bersama dengan elemen lain seperti kelenjar lakrimal, sistem
drainase lakrimal, serta struktur-struktur kelopak mata terkait.6 Permukaan mata
merupakan komponen penglihatan yang luar biasa dan vital. Permukaan kornea
yang basah merupakan media refraksi utama dari sistem visual, yang bersama
dengan transparansi kornea memungkinkan cahaya diteruskan ke lensa hingga
retina untuk aktivasi fotoreseptor. Tidak seperti epitel permukaan lainnya,
permukaan mata secara langsung terpapar ke dunia luar sehingga berisiko
mengalami kekeringan, cedera, serta subjek dari patogen. Oleh karena itu,
terdapat banyak mekanisme perlindungan yang disediakan oleh sistem permukaan
mata untuk melindungi penglihatan.7 Sedangkan, unit fungsional lakrimal terdiri
dari kelenjar lakrimal, permukaan mata (kornea, konjungtiva, dan kelenjar
meibom), kelopak mata, serta saraf sensorik dan motorik yang menghubungkan
bagian-bagian tersebut.2

Gambar 1. Permukaan Mata7

A. Kelopak Mata (Palpebra)


Kelopak mata, atau disebut juga dengan palpebra, adalah lipatan yang
dapat bergerak, terdiri dari kulit, otot, serta kartilago sehingga dapat menutup

3
atau membuka bola mata. Kelopak mata bagian atas dan bawah membentuk
penutup pada bola mata untuk proteksi dari cahaya berlebih atau cedera.
Terdapat 4 lapisan kelopak mata, 2 lapisan terluar disebut lamela anterior
kelopak mata, sedangkan 2 lapisan terdalam disebut lamela posterior kelopak
mata.6

Gambar 2. Potong Lintang Kelopak Mata Atas2

Empat lapisan kelopak mata:6


1. Lapisan pertama, terdiri dari kulit, bulu mata, kelenjar Zeis (modifikasi
kelenjar sebasea) dan kelenjar Moll (modifikasi kelenjar keringat). Bulu
mata berfungsi untuk menjaga agar benda asing tidak dapat masuk ke
permukaan mata dan meningkatkan sensitivitas mata dari sentuhan.
2. Lapisan kedua, terdiri dari lapisan otot orbikularis okuli, otot berbentuk
sirkular yang berfungsi untuk menutup kelopak mata. Otot orbikularis okuli
diinervasi oleh nervus fasialis (N. VII).
3. Lapisan ketiga adalah lapisan fibrosa yang berfungsi memberi stabilitas
mekanik kelopak mata. Lapisan ini sebagian besar terdiri dari tarsus, yaitu
jaringan ikat padat tebal dan memanjang. Kelenjar meibom terletak pada
tarsus. Kelenjar meibom berukuran besar dengan struktur tubuloasinar yang
terletak di dalam tarsus kelopak mata. Jumlah kelenjar meibom pada

4
kelopak mata bagian atas adalah 32 kelenjar, sedangkan bagian bawah
adalah 25 kelenjar. Kelenjar meibom menghasilkan lapisan lipid dari lapisan
air mata yang ditransportasikan ke orifisium duktal ketika berkedip.
4. Lapisan keempat adalah adalah konjungtiva palpebra.
B. Kornea
Kornea adalah jaringan avaskular dan transparan yang berfungsi sebagai
media refraksi untuk meneruskan cahaya masuk ke mata (indeks refraksi
kornea adalah 1,376). Ukuran kornea secara horizontal adalah 11-12 mm dan
vertikal adalah 10-11 mm. Kornea berbentuk asferis, meskipun
kelengkungannya sering termasuk spherocylindrical convex mirror. Kornea
memiliki kekuatan pembiasan sinar terkuat, yaitu sekitar 40 dioptri. Terdapat 5
lapisan kornea, yaitu (1) Epitel, (2) Lapisan Bowman, (3) membran descement,
(4) membran descement, dan (5) endotel.2

Gambar 3. Lima Lapisan Kornea2

Lapisan epitel kornea terdiri dari sel epitel gepeng berlapis tanpa lapisan
tanduk yang berkontribusi terhadap 5-10% ketebalan kornea. Lapisan air mata
dan lapisan epitel kornea bersama-sama membentuk permukaan okular secara
optikal. Pertautan rapat (tight junction) antara sel-sel epitel superfisial
mencegah penetrasi dari cairan air mata ke stroma. Proliferatif secara kontinu
dari sel-sel epitel basal perilimbus akan berdiferensiasi secara bertahap menjadi
sel-sel superfisial. Maturasi yang terjadi menjadikan sel-sel tersebut dilapisi

5
oleh mikrovili pada permukaan terluarnya dan kemudian akan berdeskuamasi
menjadi air mata. Proses diferensiasi ini membutuhkan waktu 7-14 hari.2
C. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan jaringan tipis dan transparan yang membatasi
permukaan dalam kelopak mata, berfusi dengan epitel kelopak mata pada tepi
kelopak mata dan epitel kornea pada limbus. Lipatan konjungtiva terbuka di
fisura palpebra serta menutup ketika kelopak mata melakukan hal sebaliknya.
Karunkula adalah struktur kemerahan yang terdapat pada bagian medial mata
yang berisi kelenjar sebasea dan keringat.6
Terdapat 3 bagian konjungtiva yakni konjungtiva bulbar, fornik, dan
palpebra. Morfologi sel epitel konjungtiva bervariasi dari kuboid berlapis pada
daerah tarsus menjadi kolumner di forniks dan terakhir menjadi gepeng pada
bola mata. Sel-sel goblet sebanyak 10% terletak pada sel-sel basal di epitel
konjungtiva, terbanyak di konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar
inferonasal.2 Jumlah sel goblet dapat berkurang akibat beberapa hal, seperti
misalnya vaskularisasi berkurang setelah trauma kimia atau inflamasi pada
permukaan mata (seperti konjungtivitis).6
D. Kelenjar Lakrimal
Kelenjar lakrimal terletak di kuadran atas luar dari bola mata. Kelenjar ini
terdiri dari dua lobus, yaitu lobus palpebra dan orbital. Kelenjar lakirmal
tersusun atas sel asinar, duktal, dan mioepitel. Kelenjar lakrimal utama
memiliki ukuran kurang lebih panjang 15-20 mm, lebar 10-12 mm, dan tebal 5
mm. Bertambahnya usia menyebabkan perubahan morfologi kelenjar lakrimal
serta infilitrasi dari sel-sel inflamasi ke kelanjar lakrimal. Hal ini akan berakhir
kepada penurunan sekresi protein dan produksi air mata. Terdapat 2 kelenjar
aksesoris lakrimal dengan ukuran lebih kecil, yaitu kelenjar Krause dan
Wolfring. Kelenjar ini terletak di forniks superior dari konjungtiva.
Mikroanatomi dari kelenjar-kelenjar tersebut sama dengan kelenjar lakrimal
utama.6

6
2.2 LAPISAN AIR MATA
A. Struktur Lapisan Air Mata
Lapisan air mata adalah lapisan yang menutupi kornea (lapisan air mata
prekorneal) dan konjungtiva (lapisan air mata preokular). Terdapat beberapa
model lapisan air mata yang telah dijelaskan oleh para dakriologis. Model
lapisan air mata yang mendeskripsikan tiga lapisan air mata merupakan model
yang dibuat oleh Holly dan Lemp pada tahun 1977. Model tiga lapisan air mata
ini berhubungan secara intrinsik dengan lapisan epitel superfisial kornea dan
konjungtiva. Susunan lapisan air mata dari yang terdalam hingga terluar adalah
lapisan musin, lapisan akuous, dan lapisan lipid. 8 Model lapisan ini disebut
juga sebagai model tradisional atau klasik lapisan air mata. Lapisan musin
dihasilkan oleh sel-sel goblet pada konjungtiva. Lapisan akuous dihasilkan oleh
kelenjar lakrimal. Lapisan lipid dihasilkan oleh kelenjar meibom. 6 Lapisan air
mata sendiri berfungsi untuk memberikan perlindungan fisik, perlindungan
antibakteri, melubrikasi, memberi nutrisi, serta sebagai media refraksi. 9
1. Lapisan lipid, dihasilkan oleh kelenjar meibom. Tebal lapisan lipid
diperkirakan sekitar 0,1 µm. Lipid pada lapisan air mata disusun oleh
campuran kompleks dari hidrokarbon, ester sterol, lilin ester, triasigliserol,
kolesterol bebas, asam lemak bebas, dan lipid polar. Lapisan lipid berfungsi
untuk mencegah evaporasi air mata, mencegah pembasahan dari kulit yang
berbatasan dengan mata, serta memungkinkan tambahan lubrikasi pada
mata.6
2. Lapisan akuous, merupakan lapisan paling tebal dengan perkiraan ketebalan
sekitar 7 µm. Akuous inilah yang dimaksud dengan air mata. Akuous
berasal dari kelenjar lakrimal utama dan tambahan. Kelenjar lakrimal utama
memproduksi 95% komponen akuous dari air mata, sedangkan sisanya
diproduksi oleh kelenjar Krause dan Wolfring.9 Komposisi dari lapisan
akuous yakni air sebagai penyusun terbanyak, musin terlarut, elektrolit, dan
protein. Penambahan air dan elektrolit disekresikan oleh sel-sel epitel pada
permukaan mata.6 Sekresi air mata akan bertambah bila adanya stimulasi
sensorik kornea dan konjungtiva, tear break-up dan inflamasi mata. Hal ini

7
dimediasi oleh saraf kranial trigeminus (N. V). Sekresi dapat meningkat
500% sebagai respon dari cedera.9
3. Lapisan musin, berada di antara permukaan mata dan fase akuous. Musin
dapat dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu tipe sekretori (musin
solubel/gel) yang diproduksi oleh sel goblet konjungtiva) dan transmembran
(diproduksi oleh sel superfisial kornea dan konjungtiva). Ketika kedipan
terjadi, sekresi musin oleh sel-sel goblet konjungtiva akan terjadi. Musin
tersebut akan tersebar ke seluruh permukaan mata yang akan membentuk
anyaman selimut. Anyaman selimut musin tersebut melekat secara ringan
pada glikokaliks di bawahnya dan melekat lebih kuat pada permukaan luar
sel-sel goblet. Selimut anyaman tersebut membentuk dasar lapisan air mata
yang bersifat hidrofilik. Sifat hidrofilik tersebut berguna pada proteksi dari
debu dan lipid.6,9

Gambar 4. Model Tiga Lapisan Air Mata10

B. Mekanisme Produksi dan Drainase Air Mata


Produksi air mata dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat
diklasifikasikan menjadi basal, refleks, dan emosional. Produksi air mata basal
memiliki jumlah yang konstan pada fase istirahat, sedangkan refleks lakrimal
akan memproduksi air mata sesuai dengan stimulasi setelah terjadi iritasi pada
kornea dan konjungtiva. Produksi air mata tipe emosional dipengaruhi oleh
beberapa hal seperti kesedihan, kemarahan, dan kebahagiaan. Sekresi air mata
selama 24 jam berjumlah kurang lebih 10 mL.6
Regulasi dari komponen lapisan air mata diatur oleh hormonal dan neural.
Hormon seperti androgen, estrogen, dan progesteron. Androgen berperan
utama dalam regulasi komponen lipid. Reseptor estrogen dan progesteron di

8
konjungtiva serta di kelenjar lakrimal diperlukan esensial dalam fungsi normal
dari jaringan tersebut. Regulasi neural dilakukan via serat-serat saraf yang
terhubung ke kelenjar lakrimal dan sel-sel goblet untuk stimulasi sekresi
akuous dan musin.7
Sistem drainase air mata dilakukan oleh sistem nasolakrimal. Sistem ini
terdiri dari pungta lakrimal, kanalikulus, kantung lakrimal (lacrimal sac), dan
duktus nasolakrimal. Terdapat 2 bagian pungta yakni pungta superior dan
inferior dengan masing-masing diameter 0,3 mm. Letak masing-masing pungta
berjarak 6 mm ke lateral dari kantus medial. Kanalikulus terbagi menjadi dua
bagian yakni bagian vertikal (ampula: panjang 2 mm dan lebar sampai 3 mm)
dan horizontal (panjang 8 mm dan lebar sampai 2 mm). Kedua kanalikulus
akan berfusi membentuk kanalikuli komunis (2 mm) sebelum masuk ke
kantung lakrimal. Terdapat beberapa katup pada sistem drainase air mata yakni
katup Rosenmuller (sebelum masuk ke kantung nasolakrimal) dan Hasner
(keluar dari duktus nasolakrimal). Katup tersebut berfungsi agar hanya ada satu
aliran air mata. Duktus nasolakrimalis kemudian akan bermuara ke meatus
nasalis inferior.8
Air mata mengalir sepanjang tepi tear strips lalu disalurkan ke ampula.
Proses ini umumnya terjadi pasif (70% dari kanalikulus inferior dan 30%
superior) dan aktif (contohnya dengan penghisapan / suction).8

Gambar 5. Sistem Lakrimal10

2.3 DEFINISI SINDROM MATA KERING


Sindrom mata kering (dry eye syndrome), didefinisikan sebagai penyakit
multifaktorial dari lapisan air mata dan permukaan okular yang menyebabkan

9
gejala ketidak nyamanan, gangguan penglihatan, dan instabilitas lapisan air mata
dengan potensi merusak permukaan okular. Mata kering disertai peningkatan
osmolaritas air mata dan inflamasi permukaan okular, merepresentasikan
gangguan pada unit fungsional lakrimal.1,2

2.4 EPIDEMIOLOGI SINDROM MATA KERING


Sindrom mata kering merupakan salah satu alasan utama konsultasi
oftalmologis. Sebanyak kurang lebih 5-34% penduduk di seluruh dunia menderita
sindrom mata kering.3 Prevalensi ini meningkat seiring dengan bertambahnya
usia, 10% dari kelompok usia 30-60 tahun dan 15% dari kelompok usia lebih dari
65 tahun.2 Penelitian di Amerika dan Australia mengungkapkan prevalensi
sindrom mata kering sebesar 5-16%, sementara penelitian di Asia
mengungkapkan prevalensi sindom mata kering yang lebih besar, yaitu seiktar 27-
33%.4

2.5 PATOFISIOLOGI SINDROM MATA KERING


Mekanisme sindrom mata kering dipengaruhi oleh hiperosmolaritas air mata
(tear hyperosmolarity), instabilitas lapisan air mata (tear film instability), dan
inflamasi, yang dapat direpresentasikan dalam suatu siklus. Hiperosmolaritas air
mata dapat disebabkan oleh evaporasi air dari permukaan okular yang terekspos,
rendahya aliran akuos air mata, atau kombinasi dari keduanya. Hipersomolaritas
air mata dapat menyebabkan stress pada permukaan epitel sehingga dilepaskan
mediator-mediator inflamasi yang dapat mengganggu hubungan antara sel-sel
epitel superfisial. Sel limfosit T dapat menginfiltrasi epitel dan memproduksi
sitokin seperti TNF (tumor necroting factor) dan IL-1 (interleukin-1). Sitokin ini
dapat mempercepat pelepasan sel-sel epitel dan apoptosis sehingga menyebabkan
gangguan sawar lebih lanjut dan masuknya sel-sel inflamasi, menciptakan
lingkaran setan.1,2
Pada tahap awal mata kering, kerusakan permukaan okular disebabkan oleh
stress osmotik, inflamasi, maupun mekanis (hilangnya lubrikasi permukaan) yang
menyebabkan stimulasi kelenjar lakrimal. Aktivitas refleks trigeminal (N. V)
dapat menyebabkan meningkatnya rerata kedipan dan peningkatan sekresi

10
lakrimal sebagai respons kompensasi. Dalam kasus insufisiensi kelenjar lakrimal,
respons refleks tersebut tidak akan cukup untuk mengompensasi hiperosmolaritas
air mata, sehingga dapat dikarakteristikkan dengan keadaan hiperosmolar dengan
volume dan aliran yang rendah. Hal ini berkebalikan dengan mata kering akibat
evaporasi berlebih (akibat disfungsi kelenjar meibom) yakni refleks sekresi cukup,
sehingga pada keadaan stabil mata kering yang terjadi adalah hiperosmolaritas
dengan volume dan aliran air mata berlebih dari normal.1,2
Pada beberapa bentuk sindrom mata kering, instabilitas air mata mungkin
merupakan awal mula patofisiologi dari mata kering dan tidak terkait dengan
kejadian hiperosmolaritas. Contoh dari instabilitas lapisan air mata akibat
gangguan dari musin permukaan okular yaitu xerophthalmia dan penyakit alergi
pada mata. Hilangnya stabilitas air mata awalnya disebabkan oleh ekspresi musin
permukaan mata yang menurun dan hilangnya sel-sel goblet pada defisiensi
vitamin A. Pada konjungtivitis alergi akibat musim atau keratokonjungtivitis
vernal menyebabkan gangguan ekspresi musin pada permukaan mata akibat
mekanisme hipersensitivitas tipe I terhadap alergen yang diperantarai oleh Ig-E.
Contoh lain dari instabilitas lapisan air mata adalah pemakaian lensa kontak,
diabetes mellitus, merokok, terlalu lama melihat layar komputer, pengobatan
jangka panjang dengan preservatif topikal (benzalkonium klorida), dan lain-lain.1,2
Rasio antara tear film break-up time (TBUT) dan interval kedipan (interval
blinking index) diinterpretasikan dengan Ocular Protection Index (OPI). Bila
hasilnya kurang dari 1, maka tear film break-up terjadi pada kondisi mata terbuka.
Jika tear film break-up time lebih besar daripada interval kedipan namun hasilnya
kurang dari 10 detik, maka tear film break-up time dianggap sebagai indeks dari
instabilitas lapisan air mata. Instabilitas air mata terjadi ketika tear film break-up
time terjadi dalam interval kedipan. Hal ini menyebabkan kerusakan epitel
superfisial dan gangguan pada glikokaliks dan sel goblet.1,2
Kejadian mata kering pada seseorang dapat melibatkan lebih dari satu
mekanisme.2

11
Gambar 6. Siklus Sindrom Mata Kering1

2.6 KLASIFIKASI SINDROM MATA KERING


A. Defisiensi Air Mata Akuous (Aqueous Tear Deficiency)
Gangguan pada sekresi air mata lakrimal terbagi lagi menjadi kekurangan
air mata non-Sjörgen (non-Sjörgen tear deficiency) dan kekurangan air mata
sindrom Sjörgen (Sjörgen syndrome tear deficiency).4
Kekurangan air mata non-Sjörgen dapat terjadi karena defisiensi kelenjar
lakrimal primer, sekunder terhadap defisiensi kelenjar lakrimal, obstruksi
saluran kelenjar lakrimal, atau refleks hiposekresi. Defisiensi primer kelenjar
lakrimal misalnya adalah mata kering terkait usia serta alakrima kongenital.
Defisiensi kelenjar lakrimar sekunder dapat disebabkan oleh infiltrasi dan
kerusakan kelenjar lakrimal karena adanya penyakit seperti limfoma,
sarkoidosis. Obstruksi sekunder kelenjar lakrimal juga dapat terjadi akibat
trakoma, sindroma Steven-Johnson, luka bakar kimia, atau luka bakar termal.4
Sindrom Sjörgen merupakan penyakit autoimun inflamasi limfatik yang
meliputi penghancuran kelenjar lakrimal, saliva, serta organ eksokrin lainnya.
Trias klasik sindrom Sjörgen adalah mata kering, mulut kering, dan
pembesaran kelenjar parotis.9

12
B. Mata Kering Akibat Evaporasi (Evaporative Dry Eye)
Penguapan berlebih dapat menyebabkan sindrom mata kering tanpa
adanya defisiensi air mata akuous. Penguapan air mata menyebabkan hilangnya
volume air mata sehingga akan berakhir pada hiperosmolaritas air mata.
Kondisi lingkungan seperti dataran tinggi, kekeringan, atau panas ekstrem
dapat mempercepat penguapan air mata. Penyebab mata kering akibat
evaporasi dapat terjadi secara intrinsik (memengaruhi struktur dan dinamika
kelopak mata), misalnya pada penyakit kelenjar meibom (meibomian gland
disease), blefaritis; maupun ekstrinsik, misalnya pada defisiensi vitamin A,
penggunaan obat tetes mata dengan pengawet (terutama benzalkonium
klorida), lensa kontak, serta alergi pada mata.4

Gambar 7. Klasifikasi Penegakkan Diagnosis Mata Kering2

C. Berdasarkan Derajat Keparahan Penyakit


Tabel 1. Klasifikasi Sindrom Mata Kering Berdasar Derajat Keparahan1
Derajat
Keparahan 1 2 3 4*
Mata Kering
Episodik sedang
Frekuensi berat
Rasa tidak Ringan, episodik; atau kronis, Berat dan/atau
atau konstan
nyaman, berat, akibat stress terjadi akibat terjadi terus
tanpa adanya
dan kekerapan lingkungan stress atau tanpa menerus
stress
stress
Gejala Tidak ada atau Mengganggu Mengganggu,
Terus menerus
penglihatan kelelahan ringan dan/atau kadang kronis, dan/atau

13
terjadi terus menerus,
keterbatasan aktivitas terbatas
aktivitas
Sedang (+)
Injeksi Tidak ada atau Tidak ada atau
+ (sedang) / - sampai berat
konjungtiva ringan ringan
(++)
Pewarnaan
konjungtiva Tidak ada atau Dapat ada Sedang sampai
Berat
(conjunctival ringan maupun tidak berat
staining)
Pewarnaan Tidak ada atau Dapat ada Terwarna hingga Erosi pungtata
kornea ringan maupun tidak sentral berat
Keratitis,
Debris ringan, Keratitis,
filamentaris,
Tanda pada Tidak ada atau meniskus filamentaris,
massa musin, ⸕
kornea / air mata ringan ⸔ (≤0,2 mm) massa musin, ⸕
debris air mata,
debris air mata
ulkus
Trikiasis,
Kelopak mata / MGD dapat ada MGD dapat ada
Sering ada MGD keratinisasi,
kelenjar meibom maupun tidak maupun tidak
simblefaron
Langsung
TBUT Normal ≤10 detik ≤5 detik
terbentuk
Tes Schirmer
Normal ≤10 ≤5 ≤2
(mm/5 menit)
Keterangan:
* = harus memiliki tanda dan gejala
TBUT = fluorescein tear break-up time
MGD = meibomian gland disease

2.7 MANIFESTASI KLINIS SINDROM MATA KERING


Terlepas dari penyebabnya, sebagian besar sindrom mata kering memiliki
gejala yang sama.4 Gejala mata yang paling sering adalah rasa kering, rasa
berpasir/sensasi benda asing, serta panas pada mata yang biasanya memburuk
pada akhir hari.9 Pasien dengan defisiensi air mata akuous biasanya
menggambarkan pola diurnal dengan gejala dirasakan pada siang hari dan
memburuk pada lingkungan tertentu seperti kelembaban rendah (ruangan ber-air-
conditioner), atau saat membaca atau melihat video terlalu lama, yang dapat
menyebabkan penurunan frekuensi berkedip. Penyakit kelenjar meibom
menyebabkan lapisan air mata yang tidak stabil dan cepat menguap sehingga akan
bermanifestasi pada gejala penglihatan kabur (filmy) serta rasa berpasir/sensasi
benda asing pada mata.4
Tanda-tanda umum dari sindrom mata kering meliputi injeksi konjungtiva,
penurunan meniskus air mata, fotofobia, peningkatan debris air mata, dan
hilangnya kilau kornea terutama pada pasien dengan fisura interpalpebral yang
terpapar. Epifora paradoksikal pada sindroma mata kering merupakan hasil dari

14
refleks lakrimasi. Instabilitas permukaan epitel dan kelainan produksi musin
mungkin dapat menyebabkan keratitis filamen berulang. Walaupun keratinisasi
dapat terjadi pada sindrom mata kering kronis, defisiensi vitamin A harus
dicurigai. Pasien dengan sindrom mata kering memiliki risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami infeksi.4
Adapun tanda yang dapat ditemukan antara lain adalah:2,4
1. Palpebra, dapat ditemukan blefaritis posterior (seboroik) dengan gangguan
fungsi kelenjar meibom.
2. Konjungtiva
a. Injeksi konjungtiva.
b. Keratinisasi.
c. Pewarnaan dengan fluoresin (+) dan rose Bengal (+).
d. Konjungtivokalasis, yaitu respons umum terhadap, serta faktor eksaserbasi
untuk, iritasi kronis dari mata kering.
3. Air mata
Pada mata normal, saat air mata terpecah, lapisan musin menjadi
terkontaminasi dengan lipid namun dapat segera hilang. Pada mata kering,
musin yang terkontaminasi lipid menumpuk dalam air mata sebagai partikel
dan debris yang bergerak tiap mata berkedip. Meniskus air mata (tear
meniscus) adalah cara kasar untuk mengukur volume akuous humor pada
lapisan air mata. Meniskus air mata mencerminkan 75-90% dari total volume
air mata. Mata normal memiliki ketinggian meniskus 0,2-0,4 mm, namun pada
mata kering akan menjadi tipis atau tidak ada. Meniskus air mata <0,3 mm
dianggap abnormal. Pada mata kering evaporatif akibat penyakit kelenjar
meibom, mungkin dapat ditemukan busa pada meniskus air mata.
4. Kornea
a. Erosi epitel pungtat dengan tes fluoresin (+).
b. Pada defisiensi air mata akuous berat, mungkin terdapat filamen. Filamen
ini terdiri dari helaian mukus dan debris seperti sel-sel epitel yang terlepas,
dan biasanya menempel pada salah satu ujung permukaan kornea. Filamen
tersebut terwarnai dengan rose Bengal, namun kurang dengan fluoresin.

15
c. Plak mukus, berupa lesi putih keabuan, sedikit meningkat, dengan ukuran
bervariasi.
d. Keratopati, terutama berhubungan dengan penggunaan obat topikal
glaukoma, keratinisasi kornea dan konjungtiva.

Gambar 8. Tanda-Tanda Kornea pada Mata Kering. (A) dan (B) Erosi pungtata yang
terwarnai dengan fluoresin; (C) filamen kornea; dan (D) pewarnaan ringan dengan rose
Bengal9

2.8 DIAGNOSIS SINDROM MATA KERING


Penegakan diagnosis untuk sindrom mata kering terbagi menjadi dua
klasifikasi berdasarkan etiologinya, yaitu defisiensi air mata akuous (aqueous tear
deficiency) dan mata kering akibat evaporasi (evaporative dry eye).1 Diagnosis
dari sindrom mata kering dapat dilakukan dengan mengumpulkan riwayat
penderita serta melakukan uji diagnostik. Pada riwayat penderita, dapat
ditanyakan mengenai tanda dan gejala dari sindrom mata kering seperti yang telah
dijelaskan di atas.4
Skema klasifikasi diagnosis sindrom mata kering digunakan untuk
menegakkan diagnosis serta mencari faktor risiko mata kering pada pasien seperti
yang telah dijelaskan di atas. Riwayat medis yang menyebabkan atau
mengeksaserbasi mata kering juga harus diperhatikan seperti penyakit kulit
(misalnya atopi, sindrom Stevens-Johnson), penyakit autoimun (misalnya
reumatoid artritis, systemic lupus erythematosus dan skleroderma), dan
penggunaan obat sistemik yang memiliki efek samping antikolinergik sehingga

16
dapat terjadi penurunan sekresi kelenjar lakrimal (misalnya antidepresan,
antihistamin, antispasmodik, antitremor).1
Pemeriksaan pada pasien harus meliputi evaluasi pada wajah, kelopak mata,
dan permukaan mata untuk melihat tanda dari mata kering terkait lapisan air mata
atau bukan (seperti blefaritis Staphylococcus, ekotropion, entropion, atau alergi).
Pasien dengan gejala iritasi akibat disfungsi dari permukaan mata atau kelenjar
lakrimal memiliki ciri-ciri lapisan air mata yang tidak stabil dengan tear break-up
time yang cepat, peningkatan osmolaritas air mata, serta tes Schirmer <10 mm.4
Uji Diagnostik Tambahan
1. Evaluasi Diagnostik Pewarnaan
a. Tes Fluoresin
Fluoresin merupakan molekul besar yang tidak dapat melewati tight
junction dari epitel kornea normal. Pada sindrom mata kering lanjut, tight
junction kornea ini terdisrupsi sehingga memungkinkan pewarnaan difus
subepitel atau pewarnaan pungtata pada kornea.4,9
b. Rose Bengal
Rose Bengal merupakan pewarna derivatif dari fluoresin, dalam larutan 1%
atau strip. Tes rose Bengal dapat mewarnai sel-sel yang telah degenerasi
serta digunakan untuk menilai integritas lapisan musin prekorneal.4,9
c. Lissamine green
Lissamine green mewarnai sel-sel mati atau degenerasi, juga disrupsi tight
junction kornea. Lissamine green tidak mengiritasi mata sehingga lebih
diskuai.4,9
2. Stabilitas Lapisan Air Mata
Tear film break-up time (TBUT) adalah interval waktu antara kedipan terakhir
dan pecahnya lapisan air mata pre-korneal. Fluoresin 2% diteteskan pada strip
fluoresin, dilembabkan dengan salin, lalu diletakkan pada forniks inferior
kelopak mata pasien. Pasien kemudian diminta untuk mengedip beberapa kali.
Lapisan air mata kemudian diperiksa dengan menggunakan slit-lamp dengan
lampu filter cobalt blue. Setelah beberapa waktu, akan terbentuk dry spots
yang mengindikasikan pecahnya lapisan air mata. Rata-rata hasil TBUT normal
adalah 30 detik namun hasil tersebut bervariasi pada masing-masing individu.

17
Hasil TBUT kurang dari 10 detik dianggap abnormal. TBUT dapat menilai
kualitas air mata dan adanya disfungsi kelenjar meibom atau mata kering. 9,11
3. Pengukuran Produksi Air Mata
Tes Schirmer digunakan untuk melihat kuantitas dari sekresi air mata akuous
basal dan refleks. Prinsip dari tes Schirmer adalah meletakkan sepotong kertas
Schirmer pada forniks inferior sehingga akan menyebabkan ketidaknyamanan
pada mata dan menstimulasi refleks produksi air mata. Kertas Schirmer
memiliki lebar 5 mm dan panjang 30 mm. Kertas Schirmer diletakkan pada
pertemuan dari tengah dan lateral per tiga dari kelopak mata inferior dengan
panjang 5 mm di kantung konjungtiva inferior dan sisa 25 mm terletak di luar
kelopak mata inferior. Tes Schirmer dapat dilakukan dengan mata tertutup
maupun terbuka, namun banyak yang merekomendasikan dilakukan dengan
mata tertutup agar tidak sering berkedip. Lima menit kemudian air mata akan
membasahi kertas tersebut. Panjang dari air mata membasahi kertas tersebut
akan diukur. Normalnya adalah lebih dari 10 mm.2

Gambar 9. Tes Schrimer9

2.9 TATALAKSANA
Sebelum menatalaksana sindrom mata kering, mata harus diperiksa secara
hati-hati untuk kelainan mata seperti konjungtivokalasis, keratokonjungtivitis,
serta kelainan struktural dan eksogen lainnya yang dapat menimbulkan gejala
serupa. Klinisi juga harus menentukan apakah pasien memiliki kondisi sistemik
atau penggunaan medis yang dapat berkontribusi terhadap mata kering. 2

18
Defisiensi air mata akuous dan mata kering evaporatif dapat terjadi
bersamaan. Beberapa intervensi seperti suplementasi air mata artifisial,
siklosporin topikal, steroid topikal, dan suplemen asam lemak omega-3 dapat
membantu pada kedua kondisi tersebut. Meskipun begitu, beberapa tatalaksana
untuk defisiensi air mata akuous dapat memperburuk mata kering evaporatif,
sehingga harus dipertimbangkan secara hati-hati.2
A. Defisiensi Air Mata Akuous (Aqueous Tear Deficiency)
Medikamentosa
Pilihan modalitas pengobatan pasien dengan defisiensi air mata akuous
sangat tergantung pada tingkat keparahan penyakit. Pasien juga harus
diedukasikan untuk mengurangi faktor risiko seperti berhenti merokok, berada
pada lingkungan yang dapat menurunkan penguapan air mata, menggunakan
pelembab ruangan atau kacamata pelindung. Mengubah atau menghentikan
obat topikal maupun sistemik juga harus dipertimbangkan. Obat-obatan topikal
seperti beta-bloker diasosiasikan terhadap peningkatan insidensi mata kering,
mungkin karena penurunan sensitivitas kornea. Obat-obatan sistemik seperti
diuretik, antihistamin, antikolinergik dapat menurunkan produksi air mata
akuous dan meningkatkan risiko mata kering.2
Tabel 2. Tatalaksana Rekomendasi untuk Defisiensi Air Mata Akuous2
Keparahan Pilihan Terapi
Ringan - Air mata artifisial dengan preservatif hingga 4x sehari
- Salep pelembab sebelum tidur
- Kompres hangat dan masase kelopak mata
Sedang - Air mata artifisial tanpa preservatif 4x sehari hingga tiap jam
- Salep pelembab sebelum tidur
- Anti-inflamasi topikal (siklosporin A 0,05% 2x sehari)
- Oklusi puncta bawah reversibel
Berat - Semua yang di atas
- Oklusi pungta atas dan bawah
- Tetes serum topikal
- Kortikosteroid topikal
- Lingkungan yang lembab (gunakan pelembab ruangan, kacamata
pelindung)
- Tarsofi lateral dan medial
- Bandage lenses (jarang)

Pengobatan utama untuk defisiensi air mata akuous adalah penggunaan


air mata artifisial topikal (obat tetes mata, gel, dan salep). Air mata artifisial
bebas pengawet direkomendasikan untuk menghindari toksisitas pada pasien

19
yang sering menggunakan agen ini. Contoh air mata artifisial adalah polyvinyl
alcohol (PVA), sodium hialuronat, sodium klorida dan potassium klorida. 2
Siklosporin A 0,05% topikal merupakan agen anti-inflamasi. Terapi ini
sering dimulai dalam kombinasi dengan steroid topikal singkat, karena
membutuhkan waktu beberapa bulan untuk siklosporin mulai berefek. Sekitar
50% pasien dengan defisiensi air mata akuous sedang hingga berat mengalami
perbaikan dengan penggunaan siklosporin topikal dengan efek samping
minimal. Tatalaksana defisiensi air mata akuous lainnya meliputi larutan asam
hialuronat atau tetes serum autolog yang diencerkan. 2
Suplementasi makanan dengan asam lemak omega-3 terbukti dapat
meningkatkan rerata produksi dan volume air mata. Sumber asam lemak
omega-3 antara lain adalah ikan tertentu (ikan tuna, ikan salmon), udang,
kepiting, kacang kenari, dan lain-lain. Asam lemak omega-3 dapat
menghambat sitokin proinflamasi.2
Pada kasus defisiensi air mata akuous berat, memakai kacamata
pelindung dapat menurunkan penguapan air mata. Kontak lensa lembut,
terutama kontak lensa skleral, juga dapat membantu menurunkan gejala,
namun dapat meningkatkan risiko infeksi, sehingga pasien harus lebih sering
diobservasi secara hati-hati.2
Pembedahan
Terapi pembedahan diindikasikan pada pasien dengan penyakit berat atau
tatalaksana medis yang tidak memadai. Pasien dengan defisiensi air mata
akuous sedang hinga berat dapat diberikan oklusi pungta. Oklusi pungta dapat
dilakukan dalam berbagai cara, seperti oklusi kolagen atau silikon. Apabila
pasien menoleransi oklusi pungta reversibel, maka dapat dilakukan oklusi
ireversibel, misalnya dengan menggunakan kauter sekali pakai. Meskipun
prosedur ini biasanya permanen, kanalikuli dan puncta mungkin merekanalisasi
setelah oklusi termal. Prosedur ini direkomendasikan terutama untuk pasien
yang mempunyai sekresi air mata basal minimal dan keratopati pungtat namun
tidak terdapat inflamasi maupun infeksi permukaan okular yang signifikan,
terutama pada pasien lebih tua.2

20
Koreksi malposisi kelopak mata seperti entropion dan ektropion mungkin
berguna untuk memanajemen pasien dengan mata kering. Reduksi bukaan
palpebral dengan cara tarsorafi atau medial dapat dilakukan pada mata kering
berat saat tindakan konservatif gagal. Namun, tarsorafi lateral dapat membatasi
bidang penglihatan temporal dan cacat kosmetik. 2
B. Mata Kering Evaporatif (Evaporative Dry Eye)
Manajemen mata kering evaporatif didasarkan pada penyakit kelenjar
meibom. Higienitas kelopak mata adalah tatalaksana utama. Pemberian
kompres hangat pada kelopak mata selama 4 menit 1-2x/hari dapat mencairkan
sekresi kelenjar meibom yang menebal serta melembutkan krusta yang
menempel pada kelopak mata. Pemberian kompres hangat ini harus diikuti
dengan masase kelopak mata untuk mempertahankan sekresi kelenjar meibom.
Masase ini kemudian dapat dilanjutkan dengan membersihkan kelopak mata
yang tertutup dengan kain bersih, dapat menggunakan sampo noniritan maupun
sodium klorida yang diencerkan.2
Penggunaan jangka pendek dari antibiotik dapat menurunkan bacterial
load pada tepi kelopak mata. Terapi topikal dengan azitromisin dapat sangat
manjur karena sifatnya yang alipofilik sehingga dapat menurunkan produksi
bakteri dan meningkatkan komposisi lipid meibom. 2
Kortikosteroid topikal mungkin dibutuhkan untuk jangka pendek pada
kasus inflamasi sedang hingga berat, terutama apabila terdapat infiltrat kornea
dan vaskularisasi.2
Pasien dengan blefaritis dan penyakit kelenjar meibom juga dapat
diberikan suplemen omega-3. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian
suplemen omega-3 sebanyak 1000 mg 3x/hari selama 1 tahun dapat
memperbaiki gejala, stabilitas lapisan air mata, dan sekresi kelenjar meibom,
walaupun mekanismenya masih belum diketahui. 2
Tatalaksana sistemik dengan tetrasiklin dapat sangat efektif. Namun, saat
ini doksisiklin dan minosiklin lebih disenangi karena lebih praktis. Dosis yang
dianjurkan adalah 100 mg untuk doksisiklin dan 50 mg untuk minosiklin,
diminum tiap 12 jam selama 3-4 minggu, diturunkan hingga 40-100 mg per
hari berdasarkan respons klinis pasien. Biasanya membutuhkan waktu 3-4

21
minggu untuk mencapai respons klinis. Terapi harus dilanjutkan jangka
panjang. Eritromisin dapat digunakan sebagai terapi alternatif pada pasien yang
alergi terhadap tetrasiklin atau pada anak-anak.2
Koreksi kelainan kelopak mata yang meningkatkan paparan permukaan
mata seperti ptosis kelopak mata bawah kadang dibutuhkan pada kasus berat.
Tarsorafi parsial atau komplit atau flap konjungtiva dapat dilakukan.
Penggunaan pelembab ruangan, kacamata pelindung, dapat menurunkan
paparan terhadap evaporasi.4

2.10 PROGNOSIS
Apabila tidak ditatalaksana, sindrom mata kering yang berat dapat
menyebabkan kelainan pada permukaaan mata seperti keratitis pungtata
superfisial, defek epitel, ulkus kornea, serta mempermudah risiko infeksi mata.
Adanya jaringan parut pada kornea merupakan komplikasi permanen dari mata
kering.3
Prognosis sindrom mata kering bergantung pada tingkat keparahan penyakit.
Sebagian besar pasien berada pada keparahan penyakit ringan hingga sedang dan
dapat diterapi secara simtomatis dengan menggunakan lubrikan. Secara umum,
prognosis penglihatan pada pasien dengan sindrom mata kering adalah baik.12

22
BAB III
KESIMPULAN

Mekanisme sindrom mata kering dipengaruhi oleh hiperosmolaritas air mata


(tear hyperosmolarity), instabilitas lapisan air mata (tear film instability), dan
inflamasi, yang dapat direpresentasikan dalam suatu siklus. Gejala mata yang
paling sering adalah rasa kering, rasa berpasir/sensasi benda asing, serta panas
pada mata yang biasanya memburuk pada akhir hari. Pasien dengan defisiensi air
mata akuous biasanya menggambarkan pola diurnal dengan gejala dirasakan pada
siang hari dan memburuk pada lingkungan tertentu seperti kelembaban rendah
(ruangan ber-air-conditioner), atau saat membaca atau melihat video terlalu lama,
yang dapat menyebabkan penurunan frekuensi berkedip. Penyakit kelenjar
meibom menyebabkan lapisan air mata yang tidak stabil dan cepat menguap
sehingga akan bermanifestasi pada gejala penglihatan kabur (filmy) serta rasa
berpasir/sensasi benda asing pada mata.
Penegakan diagnosis untuk sindrom mata kering terbagi menjadi dua
klasifikasi berdasarkan etiologinya, yaitu defisiensi air mata akuous (aqueous tear
deficiency) dan mata kering akibat evaporasi (evaporative dry eye). Diagnosis dari
sindrom mata kering dapat dilakukan dengan menanyakan gejala dan riwayat
penderita, mencari faktor risiko, serta melakukan uji diagnostik; yaitu evaluasi
diagnostik pewarnaan (tes fluoresin, rose Bengal, atau lissamine green), tes
stabilitas air mata dengan menghitung tear film break up time (TBUT), serta
pengukuran produksi air mata dengan melakukan tes Schirmer.
Prinsip tatalaksana sindrom mata kering adalah mengedukasi pasien untuk
menghindari faktor risiko seperti misalnya berada pada lingkungan yang lembab
atau menggunakan kacamata pelindung. Pengobatan utama untuk defisiensi air
mata akuous adalah penggunaan air mata artifisial topikal (obat tetes mata, gel,
dan salep). Apabila sudah berat, dapat diberikan agen anti-inflamasi topikal
seperti siklosporin A 0,05% dan pembedahan. Manajemen mata kering evaporatif
didasarkan pada penyakit kelenjar meibom, terutama higienitas kelopak mata.
Dapat diberikan juga antibiotik topikal, yaitu azitromisin; maupun sistemik, yaitu
doksisiklin atau minosiklin.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Dry Eye Workshop. 2007. The Definition and Classification of Dry Eye
Disease: Report of the Definition and Classification Subcommittee of the
International DEWS. The Ocular Surface 5(2): 75-92.
2. American Academy of Opthalmology. 2015. Basic and Clinical Science
Course: Section 8 – External Disease and Cornea. San Fransisco: American
Academy of Ophthalmology.
3. Messmer, E.M. 2015. The Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment of Dry
Eye Disease. Deutsches Arzteblatt International, 112(5): 71-81.
4. Yanoff M, Duker JS. 2014. Ophthalmology. Edisi ke-4. Cina: Elsevier
Saunders.
5. Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
6. Dieckow J dan Argueso P 2013. The Human Tear Film. Dalam: Herranz RM
dan Herran RMC Ocular Surface: Anatomy, Physiology, Disorders and
Therapeutic Care. Hal. 23-30. New York: CRC Press.
7. Gipson IK. 2007. The Ocular Surface: The Challenge to Enable and Protect
Vision. Ocular Surface 48(10): 4390-4398.
8. Patel S dan Blades KJ. 2003. The Dry Eye: A Practical Approach. London:
Elsevier.
9. Bowling, Brad. 2010. Kanski’s Clinical Opthalmology: A Systematic
Approach. Edisi ke-8. Sydney: Elsevier.
10. Jogi, R. 2009. Basic Ophthalmology. Edisi ke-4. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers.
11. Pflugfelder, S.C. dan A. Solomon. 2006. Dry Eye. Dalam: Mannis, M.J. dan
E.J. Holland. Ocular Surface Disease: Medical and Surgical Management.
Hal. 49-57. New York: Springer.
12. Mukherjee, P.K. 2016. Clinical Examination in Opthalmology. Edisi ke-2.
India: Elsevier.

24

Anda mungkin juga menyukai