Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konjungtiva yaitu suatu mebran mukus tipis dan transparan melapisi

bagian posterior palpebra dan anterior sklera. Bagian nasal menjadi

caruncula dan semilunar fold. Konjungtiva terdiri dari: konjungtiva

palpebra, bulbi dan tarsalis. Diinervasi oleh saraf cabang nervus V

(trigeminus). Vaskularisasi berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri

palpebralis. Banyak mengandung kelenjar lymphe.1

Konjungtivitis merupakan suatu infeksi atau inflamasi dari

konjungtiva. Konjungtivitis merupakan penyakit yang sering sembuh sendiri

/ self limiting disease. Faktor –faktor yang mempengaruhi self limiting

disease dokarenakan adanya zat anti mikrobial tear film, kelenjar lymphoid

stroma konjungtiva, epitel terus menerus diganti dan lain-lain.1

Radang konjungtiva atau yang sering kita ketahui sebagai

konjungtivitis adalah penyakit mata paling umum didunia. Penyakit ini

bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai

konungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. Penyebab

umumnya eksogen namun bisa juga endogen.2

Konjungtivitis adalah penyakit mata yang dapat terjadi pada orang

dewasa dan anak-anak. Di Negara maju seperti Amerika, telah

diperhitungkan bahwa 6 juta penduduknya telah terkena konjungtivitis akut

1
dan diketahui insiden konjungtivitis bakteri sebesar 135 per 10.000

penderita, baik pada anak-anak maupun pada dewasa dan juga lansia.3

Insidensi konjungtivitis di Indonesia saat ini menduduki tempat

kedua (9,7%) dari 10 penyakit mata utama. Di Indonesia penyakit ini masih

banyak terdapat dan paling sering dihubungkan dengan kondisi lingkungan

yang tidak Hygiene.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak

bagian belakang. Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan

oleh sel goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea.

Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva ini.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, sukar digerakkan dari tarsus.

- Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera

dibawahnya.

- Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat

peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar

dengan jaringan dibawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.4

Secara anatomis konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan

dan tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva

palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).

Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan

melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva

melipat ke posterior (pada forniks superior dan inferior) dan membungkus

jaringan episklera menjadi konjungtiva bulbaris. Konjungtiva bulbaris

melekat longgar ke septum orbital di forniks dan melipat berkali-kali.

3
Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan

memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.2

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva9

B. DEFINISI

Konjungtivitis merupakan suatu keradangan konjungtiva yang

disebabkan bakteri, virus, jamur, chlamidia, alergi atau iritasi dengan bahan-

bahan kimia.5

Konjungtivitis adalah radang konjungtiva disebabkan oleh

mikroorganisme (virus, bakteri), iritasi atau reaksi alergi yang ditandai

dengan mata merah, terasa nyeri, berair, gatal, keluar kotoran dan

pandangan kabur.6

4
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang gejalanya bervariasi

mulai dari hiperemia ringan dengan mata berair sampai konjungtivitis berat

dengan banyak sekret purulen kental. Penyabab paling umum bisa karena

faktor eksogen juga faktor endogen.2

C. PATOFISIOLOGI

Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar. Kemungkinan

konjungtiva terinfeksi dengan mikroorganisme sangat besar. Pertahanan

konjungtiva terutama oleh karena adanya tear film pada konjungtiva yang

berfungsi untuk melarutkan kotoran-kotoran dan bahan-bahan yang toksik

kemudian mengalirkan melalui saluran lakrimalis ke meatus nasi inferior.5

Di samping itu, tear film juga mengandung beta lysine, lysozym, Ig

A, Ig G yang berfungsi untuk mengahmbat pertumbuhan kuman. Apabila

ada mikroorganisme patogen yang dapat menembus pertahanan tersebut

sehingga terjadi infeksi konjungtiva, maka itulah yang disebut

konjuntivitis.5

D. GEJALA KLINIS

Keluhan utama konjungtivitis yaitu berupa rasa ngeres pada mata,

seperti ada pasir didalam mata, terasa gatal, panas, kemeng disekitar mata,

mata terus menerus berair dan mata menjadi merah. Penyebab keluhan ini

karena edema konjungtiva yang menyebabkan terbentuknya hipertofi

papiler dan folikel yang mengakibatkan perasaan seperti ada benda asing

didalam mata.5

5
Gambaran klinis yang terlihat pada konjungtivitis dapat berupa

hiperemi konjungtiva bulbi (injeksi konjungtiva), lakrimasi, eksudat dengan

sekret yang lebih nyata di pagi hari, pseudoptosis akibat kelopak

membengkak, kemosis, hipertrofi papil, folikel, membran, pseudomembran,

granulasi, flikten, mata terasa seperti adanya benda asing dan adenopati

preaurikular.4

Gambar 2. Bentuk-bentuk injeksi pada konjungtiva9

Menurut Vaughan (2010), ada beberapa tanda yang penting dari

konjungtivitis yaitu :

1. Hiperemia merupakan tanda klinis konjungtivitis akut yang menyolok.

Kemereahan sangat jelas terlihat pada forniks dan makin berkurang

kearah limbus karena dilatasi pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior.

2. Epifora (mata berair). Sekresi air mata diakibatkan oleh adanya sensasi

benda asing, sensasi terbakar atau tergores, atau oleh rasa gatalnya.

6
3. Eksudasi merupakan ciri dari seluruh jenis konjungtivitis akut. Eksudat

dengan sekret yang lebih nyata di pagi hari.

4. Pseudoptosis adalah terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di otot

Muller.

5. Hipertrofi papilar adalah Reaksi konjungtiva non spesifik yang terjadi

karena konjungtiva terikat pada tarsus atau limbus dibawahnya oleh

serabut-serabut halus.

Gambar 3. Hipertrofi Papiler pada palpebra9

6. Kemosis adalah edema pada konjungtiva.

Gambar 4. Kemosis pada Konjungtiva9

7. Folikel merupakan suatu hiperplasia limfoid local di dalam lapisan

limfoid konjungtiva dan biasanya mempunyai sebuah pusat germinal.

7
Secara klinis, folikel dapat dikenali sebagai struktur bulat kelabu atau

putih yang avaskuler.

Gambar 5. Gambaran Klinis dari Folikel.9

8. Pseudomembran dan membran adalah hasil dari proses eksudatif.

Pseudomembran adalah suatu pengentalan (koagulum) diatas permukaan

epitel, yang bila diangkat epitelnya tetap utuh. Membrane adalah

pengentalan yang meliputi seluruh epitel, yang bila diangkat akan

meninggalkan permukaan kasar dan berdarah.

Gambar 6. Pseudomembran yang dapat diangkat.9

9. Fliktenula adalah reaksi hipersensitivitas lambat terhadap antigen

mikroba. Fliktenula dari konjungtiva pada mulanya terdiri dari

perivaskulitis dengan pengikatan limfositik pada pembuluh darah. Ketika

8
berkembang menjadi ulserasi dari konjungtiva, dasar ulkus mempunyai

banyak leukosit polimorfonuklear.

10. Limfadenopati preaurikular adalah pembesaran kelenjar limfe

preaurikular.2

E. KLASIFIKASI

1. Konjungtivitis Bakteri

Konjungtivitis yang disebabkan bakteri dapat saja diakibatkan oleh

infeksi gonokokus, meningokokus, staphylococcus aureus, streptococcus

pneumonia, hemophylus influenza, dan Escherechia coli.4

Terdapat dua bentuk konjungtivitis bakteri, yaitu akut (termasuk

subakut dan hiperakut) dan kronik. Konjungtivitis bakteri akut biasanya

jinak dan dapat sembuh sendiri, berlangsung kurang dari 14 hari.

Pengobatan dengan salah satu obat antibakteri yang tersedia biasanya

menyembuhkan dalam beberapa hari. Sebaliknya, konjungtivitis

hiperakut (purulen) yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae

meningitidis dapat menimbulkan komplikasi mata berat bila tidak diobati

sejak dini. Konjungtivitis kronik biasanya sekunder terhadap penyakit

palpebra atau obstruksi duktus nasolakrimalis.2

a. Konjungtivitis Bakteri Hiperakut

Konjungtivitis ini disebabkan oleh bakteri N. Gonorrhoeae, N.

Kochii, dan N. Meningitidis yang ditandai dengan eksudat purulen

yang banyak. Konjungtivitis meningokokus kadang-kadang terjadi

pada anak-anak. Setiap konjungtivitis berat dengan banyak eksudat

9
harus segera dilakukan pemeriksaan laboratorium dan segera diobati.

Jika ditunda, bisa terjadi kerusakan kornea atau kehilangan mata, atau

konjungtiva dapat menjadi gerbang masuk N. Gonorrhoeae atau N.

Meningitidis, yang mendahului sepsis atau meningitis.2

1) Gonoblenore

Gonoblenore merupakan jenis konjungtivitis bakteri yang

hiperakut dengan sekret purulen yang disebabkan oleh bakteri

Neisseria gonorrhoea. Gonokokus merupakan kuman yang sangat

patogen, virulen dan bersifat invasif sehingga reaksi radang

terhadap kuman ini sangat berat. Penyakit kelamin yang

disebabkan oleh gonorhea merupakan penyakit yang tersebar luas

di seluruh dunia secara endemik. Pada neonatus infeksi

konjungtiva terjadi pada saat berada pada jalan kelahiran,

sedangkan pada bayi penyakit ini ditularkan oleh ibu yang sedang

menderita penyakit tersebut. Pada orang dewasa penyakit ini

didapatkan dari penularan penyakit kelamin sendiri.4,5

a) Tanda dan Gejala

Penyakit gonorhea dapat terjadi secara mendadak. Masa

inkubasi dapat terjadi beberapa jam sampai 3 hari. Keluhan

utama pada penderita penyakit ini adalah mata merah, bengkak,

dengan sekret yang seperti nanah yang kadang-kadang

bercampur darah.5

b) Pemeriksaan Penunjang

10
Diagnosis pasti penyakit ini adalah pemeriksaan sekret

dengan pewarnaan metilen biru dimana akan terlihat diplokokus

didalam sel leukosit. Dengan pewarnaan gram akan terdapat sel

intraseluler atau ekstraseluler dengan sifat gram negatif.4

c) Penatalaksanaan

Pasien dirawat dan diberi pengobatan dengan penisilin

salep dan suntikan, pada bayi diberikan 50.000 IU/kgBB selama

7 hari dan klorampenikol tetes mata (0.5 – 1 %).4

d) Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah tukak kornea

marginal terutama di bagian atas. Tukak ini mudah perforasi

akibat adanya daya lisis kuman gonokokus ini. Pada anak-anak

sering terjadi keratitis ataupun juga tukak kornea sehingga

sering terjadi perforasi kornea. Pada orang dewasa tukak yang

sering terjadi terletak marginal dan berbentuk cincin.4

e) Prognosis

Bila pengobatan diberikan secepatnya dengan dosis cukup,

gonoblenore akan sembuh tanpa komplikasi. Bila pengobatan

diberikan lebih lambat atau kurang intensif, maka

kesembuhannya mungkin disertai sikatrik kornea dan penurunan

tajam pengelihatan yang menetap atau kebutaan.5

11
b. Konjungtivitis Bakteri Akut

Konjungtivitis bakteri akut disebabkan oleh streptokokus,

corynebacterium diptherica, pseudomonas, neiserria, dan hemophilus.

Gambaran klinis berupa konjungtivitis mukopurulen dan konjungtivitis

purulen. Perjalanan penyakit akut yang dapat berjalan kronis. Dengan

tanda hiperemia konjungtiva, edema kelopak, papil dan dengan kornea

yang jernih.4

c. Konjungtivitis Bakteri Sub Akut

Konjungtivitis ini paling sering disebabkan oleh hemophilus

influenza, dan terkadang oleh Escherescia coli dan spesies proteus.

Infeksi dari haemophilus influenza dapat ditandai dengan adanya

eksudat tipis, berair atau berawan.2

d. Kongjungtivitis Bakteri Kronik

Konjungtivitis bakteri kronik terjadi pada pasien dengan obstruksi

ductus nasolakrimalis dan dakriosistitis kronik, yang biasanya

unilateral. Infeksi ini juga bisa menyertai blefaritis bakterial kronik

atau disfungsi kelenjar meibom. Pasien dengan sindrom palpebra-

lunglai (Floppy lid syndrome) atau ektropion dapat terkena

konjungtivitis bakterial sekunder.2

e. Pemeriksaan Penunjang

Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bakteri, organisme

penyebabnya dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan mikroskopik

kerokan konjungtiva yang dipulas dengan pulasan Gram atau Giemsa,

12
pemeriksaan ini didapatkan banyak neutrophil polimorfonuklear.

Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan

disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakitnya

purulen, bermembran atau berpseudomembran (Vaughan, 2010).

f. Penatalaksanaan

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen

mikrobiologinya. Sambil menunggu hasil laboratorium, terapi dapat

dimulai dengan anti mikroba topikal spektrum luas misalnya

polymyxyn –trimethoprim. Pada setiap konjungtivitis purulen yang

pulasan gram nya menunjukan diplokokus gram negatif, sugestif

neisseria, harus segera dimulai terapi topikal dan sistemik. Jika kornea

tidak terlibat, ceftriaxone 1 gram yang diberikan dosis tunggal

perintramuskular biasanya merupakan terapi sistemik yang adekuat.

Jika kornea terkena, dibutuhkan ceftriaxone parenteral 1-2 gram

perhari selama 5 hari.2

g. Komplikasi

Blefaritis marginal kronik merupakan komplikasi yang sering

ditemukan pada konjungtivitis yang disebabkan oleh bakteri

stafilokokus. Parut konjungtiva dapat timbul pada konjungtivitis

pseudomembranosa dan membranosa, dan pada kasus tertentu diikuti

oleh ulserasi kornea dan perforasi. Ulserasi kornea marginal dapat

terjadi pada infeksi N gonorrhoeae, N kochi, N meningitidis, H

aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis. Jika produk toksik N.

13
gonorrheae berdifusi melalui kornea masuk ke bilik mata depan, dapat

timbul iritis toksik.2

h. Prognosis

Konjungtivitis bakteri akut biasanya sembuh sendiri, jika tidak

diobati infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari, dan jika diobati

infeksi dapat berlangsung selama 1-3 hari, kecuali konjungtivitis

stafilokokus yang dapat berlanjut menjadi blefarokonjungtivitis dan

memasuki fase kronik, serta pada konjungtivitis gonokokus yang bila

tidak diobati akan menyebabkan perforasi kornea dan endoftalmitis.

Karena konjungtiva dapat menjadi gerbang masuk meningokokus ke

dalam darah dan meninges, septikemia dan meningitis dapat menjadi

hasil akhir dari konjungtivitis meningokokus. Pada konjungtivitis

bakteri kronik mungkin tidak dapat sembuh sendiri dan menjadi

masalah pengobatan yang menyulitkan.2

Gambar 7. Konjungtivitis Bakteri.9

14
2. Konjungtivitis Klamidia

a. Trakoma

Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang

disebabkan oleh chlamydia trachomatis. Penyakit ini dapat mengenai

segala umur tapi lebih banyak ditemukan pada orang muda dan anak-

anak. Daerah yang banyak terkena adalah di semenanjung balkan. Ras

yang banyak terkena ditemukan pada Ras Yahudi, penduduk asli

Australia dan Indian Amerika atau daerah dengan Hygiene yang

kurang. Cara penularan penyakit ini adalah melalui kontak langsung

dengan sekret penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan

sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan dan lain-lain. Masa

inkubasi rata-rata 7 hari (berkisar dari 5 sampai 14 hari).4

Gambar 8. Patofisiologi Trachoma.10

15
1) Tanda dan Gejala

Pada saat timbul, trakoma sering menyerupai konjungtivitis

bakterial, tanda dan gejala biasanya terdiri dari mata berair,

fotofobia, nyeri, eksudasi, edema palpebra, kemosis konjungtiva

bulbaris, hiperemia, hipertrofi papiler, folikel tarsal dan limbal,

keratitis superior, pembentukkan pannus, dan sebuah nodus

preaurikular kecil yang nyeri tekan.2,10

Menurut Mc. Callan, trakoma dibagi menjadi 4 stadium,

yaitu :1

 Stadium 1: Konjungtivitis subakut disertai hyperplasia lymphoid

dan terbentuknya folikel yang matur.

 Stadium 2a: Disebut juga Established trakoma, hipertropi

papiler dan hipertropi folikuler yang matur pada tarsus superior.

 Stadium 2b: Established trakoma dengan hipertropi papiler yang

dominan, menutupi folikel-folikel pada tarsus palpebra superior.

 Stadium 3: mulai terbentuk jaringan parut atau sikatriks pada

konjungtiva tarsal superior yang berupa garis putih halus. Pada

satadium ini masih dijumpai adanya folikel pada konjungtiva

tarsal superior dan tampak pannus yang masih aktif.

 Stadium 4: Trakoma sembuh.

Untuk pengendalian, World Health Organization telah

mengembangkan cara sederhana untuk menggambarkan

penyakit trakoma, ini mencakup tanda-tanda sebagai berikut :10

16
 TF (Trachomatous Inflamation – Follicular): Lima atau lebih

folikel pada konjungtiva tarsal superior.

 TI (Trachomatous Inflamation – Intense): Infiltrasi difus dan

hipertrofi papilar konjungtiva tarsal superior yang sekurang-

kurangnya menutupi 50% pembuluh profunda normal.

 TS (Trachomatous Scarring): Parut konjungtiva trakomatosa.

 TT (Trachomatous Trichiasis): Trikiasis atau entropion (bulu

mata terbalik ke dalam).

 CO (Corneal Opacity): Kekeruhan kornea.

Adanya TF dan TI menunjukan suatu trakoma infeksiosa

aktif dan harus diobati. TS adalah bukti kerusakan akibat penyakit

ini. TT berpotensi membutakan dan merupakan indikasi untuk

tindakan operasi koreksi palpebra. CO adalah lesi trakoma terakhir

yang berpotensi membutakan.2,10

2) Pemeriksaan Penunjang

Inklusi klamidia dapat ditemukan pada kerokan konjungtiva

yang dipulas dengan Giemsa, tetapi tidak selalu ada. Pada sediaan

pulasan Giemsa, inklusi tampak sebagai massa sitoplasma biru atau

ungu gelap yang sangat halus, yang menutupi inti sel epitel.

Pulasan antibodi fluorescein dan uji immunoassay enzim tersedia

di pasaran dan banyak dipakai di laboratorium klinis. Uji baru ini

dan uji-uji baru lainnya, termasuk polymerase chain reaction

17
(PCR), telah menggantikan sediaan hapus konjungtiva dengan

pulasan Giemsa dan isolasi agen klamidia dalam biakan sel.2,10

Gambar 9. Stadium Trachoma.10

3) Penatalaksanaan

Menurut Sidohutomo (2012), penatalaksanaan dari trakoma

terdapat dalam dua bentuk, yaitu topikal dan sistemik sebagai

berikut:1

 Topikal: bisa menggunakan tetrasiklin 1% atau sulfonamide

15%.

 Sistemik: bisa menggunakan Tetrasiklin / Erytromycin 1 gram

selama 3-4 minggu.

4) Komplikasi

18
Parut di konjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi

pada trakoma dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan

menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini mengurangi

komponen akueosa dalam film air mata prakornea secara drastis,

dan komponen mukosanya mungkin berkurang karena hilangnya

sebagian sel goblet. Luka parut itu juga mengubah bentuk palpebra

superior berupa membaliknya bulu mata kedalam (trikiasis) atau

seluruh tepian palpebra (entropion) sehingga bulu mata terus

menerus menggesek kornea. Kondisi ini sering mengakibatkan

ulserasi kornea, infeksi bakterial kornea, dan parut kornea. Ptosis,

obstruksi duktus nasolakrimalis, dan dakriosistitis adalah

komplikasi trakoma lainnya yang sering dijumpai.2

5) Perjalanan penyakit dan Prognosis

Trakoma, secara karakteristik merupakan penyakit kronik

yang berlangsung lama. Dengan kondisi higiene yang baik

(khususnya, mencuci muka pada anak-anak), penyakit ini sembuh

atau bertambah ringan sehingga sekuele berat terhindarkan. Sekitar

6-9 juta orang didunia telah kehilangan penglihatannya karena

trakoma.2

19
Gambar 10. Herbets Pits pada Trachoma9

b. Konjungtivitis Inklusi

Konjungtivitis inklusi merupakan penyakit okulogenital yang

disebabkan oleh infeksi klamidia, yang merupakan penyakit kelamin

(uretra, prostat, serviks dan epitel rektum), dengan masa inkubasi 5-10

hari. Klamidia menetap didalam jaringan uretra, prostat serviks dan

epitel rektum untuk beberapa tahun sehingga mudah terjadi infeksi

berulang. Penyakit ini dapat bersifat epidemik karena merupakan

swimming pool konjungtivitis.4

Konjungtivitis okulogenital pada bayi timbul 3-5 hari setelah lahir.

Pada bayi dapat memberikan gambaran konjungtivitis purulen

sedangkan pada orang dewasa dapat dalam beberapa bentuk,

konjungtiva hiperemik, kemotik, pseudomembran, folikel yang nyata

terutama pada kelopak bawah dan tidak jarang memberikan gambaran

seperti hipertropi papil disertai pembesaran kelenjar preaurikuler.4

1) Tanda dan Gejala

20
Pasien sering kali mengeluh mata merah, pseudoptosis, dan

“belekan”, terutama di pagi hari. Neonatus menunjukan

konjungtivitis papilar dan eksudat dalam jumlah sedang; pada

kasus hiperakut, sesekali terbentuk pseudomembran yang dapat

menimbulkan parut. Pada orang dewasa konjungtiva kedua tarsus,

terutama tarsus inferior mempunyai sejumlah papila dan folikel.

Karena pseudomembran umumnya tidak terbentuk pada orang

dewasa, biasanya tidak terbentuk parut. Selain itu mungkin dapat

ditemukan keratitis superfisial di bagian superior, kekeruhan

subepitel yang marginal, dan otitis media juga dapat timbul sebagai

akibat infeksi tuba auditiva.2

2) Pemeriksaan Penunjang

Konjungtivitis inklusi ditularkan secara seksual dan pasien

serta pasangannya harus diterapi sistemik. Karena itu dapat

dilakukan uji diagnostik yang cepat seperti uji antibodi fluoresens

langsung, ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay), dan

PCR. Pada kasus oftalmia klamidia neonatus diagnosis yang cepat

juga merupakan keharusan untuk mencegah komplikasi sistemik,

seperti pneumonitis klamidia.2

3) Penatalaksanaan

 Pada Bayi

Dapat diberikan suspensi eritromycin per oral, 50

mg/kg/hari dalam 4 dosis terbagi, selama sekurang-kurangnya

21
14 hari. Medikasi oral diperlukan karena infeksi klamidia juga

melibatkan saluran napas dan gastrointestinal. Kedua orang

tuanya harus diobati dengan tetracycline atau erythromycin oral

untuk infeksi saluran genitalnya.

 Pada Orang Dewasa

Penyembuhan dicapai dengan doxycycline 100 mg per

oral dua kali sehari selama 7 hari, atau erythromycin 2g/hari

selama 7 hari, atau azithromycin 1 g dosis tunggal. Tetracycline

sistemik jangan diberikan pada wanita hamil atau anak dibawah

7 tahun karena menimbulkan masalah pada epifisis fetus atau

mewarnai gigi anak kecil. Mitra seksual pasien harus diperiksa

dan diobati.2

Gambar 11. Konjungtivitis Inklusi.9

c. Konjungtivitis Viral

Konjungtivitis viral adalah suatu penyakit umum yang disebabkan

oleh berbagai jenis virus. Keadaan ini berkisar antara penyakit berat

22
yang dapat menimbulkan cacat, sampai infeksi ringan yang cepat

sembuh sendiri.2,9

Berbagai macam virus dapat menyebabkan terjadinya

konjungtivitis. Banyak dari infeksi tersebut bersifat ringan, sementara,

dan sembuh sendiri. Beberapa penyebab konjungtivitis virus dapat

memiliki gejala yang signifikan, virus yang paling umum yang terkait

dengan konjungtivitis adalah adenovirus dan virus herpes.7,9

1) Konjungtivitis Viral Akut

a) Demam Faringokonjungtival

 Tanda dan Gejala

Konjungtivitis demam faringokonjungtiva disebabkan oleh

infeksi virus. Kelainan ini akan memberikan gejala demam,

faringitis, sekret berair dan sedikit, folikel pada konjungtiva

yang mengenai satu atau kedua mata. Berjalan akut dengan

gejala penyakit hiperemia konjungtiva, sekret serous,

fotofobia, kelopak bengkak dengan pseudomembran, selain

itu dapat terjadi keratitis epitel superfisial dan atau subepitel

dengan pembesaran kelenjar limfe preaurikuler.4

 Pemeriksaan Penunjang

Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh

adenovirus tipe 3 dan kadang-kadang oleh tipe 4 dan 7.

Virus ini dapat dibiakan dalam sel-sel HeLa dan

diidentifikasi oleh uji netralisasi. Dengan berkembangnya

23
penyakit, virus ini juga dapat didiagnosis secara serologis

melalui peningkatan titer antibody penetral virus. Namun

diagnosis klinis adalah suatu hal yang mudah dan jelas lebih

praktis. Pada kerokan konjungtiva terutama mengandung sel

mononuklear dan tidak ada bakteri tumbuh pada biakan.2

 Penatalaksanaan

Pengobatannya hanya bersifat suportif karena dapat sembuh

sendiri. Diberikan kompres, astringen, lubrikasi, pada kasus

yang berat dapat diberikan antibiotik dengan steroid topikal.

Pengobatan biasanya simtomatik dan antibiotik untuk

mencegah infeksi sekunder.4

b) Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks

 Tanda dan Gejala

Biasanya dimulai dengan terbentuknya vesikel pada

kelopak, konjungtiva dan daerah periorbita. Konjungtivitis

herpetik dapat merupakan manifestasi primer herpes dan

terdapat pada anak-anak yang mendapat infeksi dari

pembawa virus berlangsung 2-3 minggu. Ditandai dengan

infeksi unilateral, iritasi, sekret mukosa, nyeri dan fotofobia

ringan. Keadaan ini disertai keratitis herpes simpleks,

dengan vesikel pada kornea yang dapat membentuk

gambaran dendrit. Vesikel-vesikel herpes terkadang muncul

24
di palpebra dan tepi palpebra disertai edema palpebra hebat,

dengan pembesaran kelenjar preaurikular disertai nyeri

tekan.4,9

 Pemeriksaan penunjang

Tidak ditemukan bakteri didalam kerokan atau biakan. Jika

konjungtivitisnya volikular, reaksi radangnya terutama

mononuklear, tetapi jika ada pseudomembran, reaksinya

terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis nekrosis.

Inklusi intranuklear (karena adanya marginasi kromatin)

tampak dalam sel-sel konjungtiva dan kornea dengan fiksasi

Bouin dan pulasan Papanicolaou, tetapi tidak tampak pada

pulasan Giemsa. Temuan sel-sel epitelial raksasa

multinukleus mempunyai nilai diagnostik.2

 Penatalaksanaan

Konjungtivitis yang terjadi pada anak diatas 1 tahun atau

pada orang dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin

tidak perlu terapi. Namun, untuk mencegah agar tidak

terkena kornea dapat diberikan antivirus topikal atau

sistemik. Antivirus topikal sendirii harus diberikan 7-10 hari

(misalnya, trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun), atau

dapat diobati dengan salep acyclovir 3% 5 kali sehari selama

10 hari, atau acyclovir oral 400 mg 5 kali sehari selama 7

hari. Untuk penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan,

25
karena makin memperburuk infeksi herpes simplex dan

mengkonversi penyakit dari proses sembuh sendiri yang

singkat menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat.2,9

2) Kongjungtivitis Virus Kronis

a) Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster

 Tanda dan Gejala

Gejala yang timbul yaitu adanya hiperemi dan

konjungtivitis infiltatif disertai erupsi vesikular yang khas

disepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus

cabang oftalmika – adalah khas herpes zooster.

Konjungtivitisnya biasanya papilar, tetapi pernah

ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer

yang kemudian berulselrasi. KGB preaurikuler yang nyeri

tekan terdapat pada awal penyakit. Sekuelenya dapat

berupa jaringan parut di palpebra, entropion, dan bulu

mata yang salah arah.2,8

 Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis biasanya ditegakkan dengan ditemukannya sel

raksasa pada pewarnaan Giemsa, kultur virus, dan sel

inklusi intranuklear. Pada kerokan yang dilakukan pada

vesikel palpebranya didapatkan sel raksasa dan banyak

leukosit polimorfonuklear; kerokan dari konjungtiva pada

26
varicella dan dari vesikel konjungtiva pada zooster dapat

mengandung sel raksasa dan monosit.2,4,8

 Penatalaksanaan

Pengobatan dengan kompres dingin. Pada saat ini

acyclovir 400 mg/hari untuk selama 5 hari merupakan

pengobatan umum. Pada 2 minggu pertama dapat diberi

analgetik untuk menghilangkan rasa sakit. Pada kelaianan

permukaan dapat diberikan salep tetracyclin. Steroid tetes

deksametason 0.1% diberikan bila terdapat episkleritis,

skleritis, dan iritis.4,8

Gambar 12. Konjungtivitis Virus9

3. Konjungtivitis Jamur

a. Konjungtivitis Candida

Konjungtivitis yang disebabkan oleh Candida spp (biasanya oleh

Candida albicans) adalah infeksi yang terjadi; umumnya tampak

sebagai bercak putih.Keadaan ini dapat timbul pada pasien diabetes atau

pasien dengan keadaan sistem imun yang terganggu. Pemeriksaan

kerokan menunjukkan reaksi radang sel polimorfonuklear. Organisme

27
mudah tumbuh pada agar darah atau media Sabouraud dan mudah

diidentifikasi sebagai ragi bertunas (budding yeast) atau sebagai

pseudohifa (jarang). Infeksi ini dapat diterapi dengan amphotericin B

(3-8 mg/mL) dalam larutan air (bukan garam) atau krim kulit nystatin

(100.000 U/g) 4-6 kali sehari. Obat ini harus diberikan secara hari-hati

agar benar-benar masuk dalam saccus conjunctivalis dan tidak hanya

menumpuk di tepi palpebra.2,9,10

4. Konjungtivitis Parasit

a. Infeksi Loa loa

L loa merupakan cacing mata di Afrika. Cacing ini hidup di

jaringan ikat manusia dan kera; kera tampaknya reservoarnya. Parasit

ini ditularkan oleh gigitan lalat kuda atau lalat mangga. Cacing dewasa

kemudian bermigrasi ke palpebra, konjungtiva, atau orbita. Pada 60-

80% infeksi L loa, terdapat eusinoflia, tetapi diagnosis ditegakan

dengan menemukan cacing atau dengan menemukan mikrofilaria

dalam darah yang diperiksa siang hari. Saat ini, obat pilihan untuk

infeksi L loa adalah diethylcarbamazine.2,9

5. Konjungtivitis Alergi

Konjungtivitis alergi adalah bentuk radang konjungtiva akibat

reaksi alergi terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi

biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada

reaksi terhadap obat, bakteri dan toksik. Merupakan reaksi antibody

humoral terhadap allergen. Biasanya dengan riwayat atopi. Gejala utama

28
penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak dan panas),

gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya adalah

terdapatnya papil besar pada konjungtiva, datang bermusim, yang dapat

menggangu pengelihatan.4,9

a. Konjungtivitis “Hay Fever”

Konjungtivitis “hay fever” adalah radang konjungtiva non-spesifik

ringan yang umumnya menyertai hay fever (rinitis alergika). Biasanya

ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan dll.

Keluhan yang disampaikan oleh pasien biasanya seperti gatal, mata

berair, kemerahan, dan sering mengatakan seakan-akan matanya akan

tenggelam dalam jaringan sekitarnya. Biasanya mungkin terdapat

sedikit kotoran mata setelah pasien mengucek matanya. Terdapat

injeksi ringan di konjungtiva palpebralis dan konjungtiva bulbaris,

serta selama serangan akut sering ditemukan kemosis berat. Pada

pemeriksaan kerokan konjungtiva sulit ditemukan eosinophil.

Pengobatan dilakukan dengan penetesan vasokontriktor-antihistamin

topikal. Kompres dingin membantu mengatasi gatal-gatal dan

antihistamine per oral hanya sedikit bermanfaat.2,8

b. Konjungtivitis Vernal

Kongjutivitis vernal adalah keradangan bilateral konjungtiva yang

berulang menurut musim dengan gambaran spesifik hipertrofi papiler

didaerah tarsus dan limbus. Menurut lokasinya dibedakan menjadi tipe

palpebral dan tipe limbal.1

29
Pada tipe palperbal, pada beberapa tempat akan mengalami

hiperplasi sedangkan dibagian lain akan mengalami atrofi. Perubahan

mendasar terdapat di substansia propria. Substansia propria terinfiltrasi

sel-sel limfosit, plasma dan eosinofil. Pada stadium lanjut jumlah sel-

sel limfosit, plasma dan eosinofil akan semakin meningkat, sehingga

terbentuk tonjolan didaerah tarsus, disertai pembentukan pembuluh

darah baru. Degenerasi hyalin di stroma terjadi pada fase dini dan

semakin menghebat pada stadium lanjut. Pada tipe limbal juga terjadi

perubahan yang serupa yang sebagaimana terjadi pada tipe palperbal,

hanya lokasi nya saja yang berbeda yaitu pada limbus konjungtiva.1

Kemungkinan terbesar penyebab terjadinya konjungtivitis vernal

yaitu alergi, hal ini berdasarkan atas tendensi penderita sering pada

anak-anak dan orang usia muda, kambuh secara musiman, pada

pemeriksaan getah mata didapatkan eosinofil.5

Gatal pada mata merupakan keluhan utama pada hampir semua

konjungtivitis vernal, namun keluhan gatal menurun pada musim

dingin. Terjadi ptosis bilateral, kadang-kadang yang satu lebih ringan

dibandingkan dengan yang lain. Ptosis terjadi karena infiltrasi cairan

kedalam sel-sel konjungtiva palpebra dan infiltrasi sel-sel limfosit

plasma, eosinofil, juga adanya degenerasi hyalin pada stroma

konjungtiva. Konsistensi getah mata elastis. Gambaran seperti renda

pada limbus, merupakan penumpukan eosinofil dan merupakan hal

yang patognomonis pada konjungtivitis vernal. Kelainan di kornea

30
dapat berupa pungtat epitelial keratopati. Kadang-kadang didapatkan

ulkus kornea yang berbentuk bulat lonjong vertikal. Kelainan di kornea

ini tidak membutuhkan pengobatan khusus.1,5

Pada kerokan konjungtiva didaerah tarsus atau limbus didapatkan

sel-sel eosinofil dan eosinofil granul. Untuk penatalaksanaannya bisa

diberikan kortikosteroid lokal pada fase akut dengan gejala mata merah

kecoklatan (kotor) dan keluhan sangat gatal. Diberikan tiap 2 jam

selama 4 hari, untuk selanjutnya dapat diberikan obat lain seperti

sodium cromoglycate 2% 4-6 kali 1 tetes perhari, Iodoxamide

tromethamine 0.1% 4 kali 2 tetes perhari, Levocabastin 2-4 kali 1 tetes

perhari, cyclosporin 2% terbukti efektif untuk konjungtivitis vernal

yang berat.5,10

c. Keratokonjungtivitis Atopik

Pasien dermatitis atopik (eksim) sering kali juga menderita

keratokonjungtivitis atopik. Tanda dan gejalanya adalah sensasi

terbakar, pengeluaran secret mukoid, merah, dan fotofobia. Tepian

palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu.

Terdapat papilla-papilla halus, tetapi papilla kurang nyata

dibandingkan pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering

terdapat di tarsus inferior berbeda dengan papilla raksasa

keratokonjungtivitis vernal, yang ada di tarsus superior. Pada

pemeriksaan kerokan konjungtiva menampakan eusinofil, menskipun

tidak sebanyak yang terlihat pada konjungtivitis vernal. Pengobatan

31
keratokonjungtivitis atopik dengan terapi topikal jangka panjang

dengan obat penstabil sel mast, serta pengobatan dengan antihistamin

per oral juga bermanfaat. Steroid topikal jangka pendek dapat

meredakan gejala-gejala. Obat-obat antiradang non-steroid yang lebih

baru, seperti ketorolak dan iodoxamid, dapat mengatasi gejala pada

pasien-pasien ini.2,10

6. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif

Konjungtivitis yang terjadi karena pajanan bahan iritan yang

masuk ke sakus konjungtivalis. Bahan iritan yang masuk ke sakus

konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis yaitu seperti asam,

alkali, asap dan angin yang dapat menimbulkan gejala-gejala berupa

nyeri, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme. Selain itu

penyakit ini dapat juga disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka

panjang seperti dipivefrin, miotik, neomycin, dan obat-obat lain dengan

bahan pengawet yang toksik atau yang menimbulkan iritasi. Penanganan

pada konjungtivitis yang disebabkan karena pemakaian obat topikal dapat

diatasi dengan penghentian bahan penyebab dan pemakaian tetesan

ringan. Sedangkan pada konjungtivitis yang disebabkan karena bahan

iritan dapat dilakukan pembilasan sesegera mungkin dan menyeluruh

dengan air atau larutan garam pada sakus konjungtivalis, kemudian

tindakan selanjutnya yaitu dengan steroid topikal intensif, tetes mata

32
askorbat dan sitrat, siklopegik, terapi antiglaukoma seperlunya, kompres

dingin, dan analgesik sistemik.2,10

Tabel 1. Klasifikasi Konjungtivitis Berdasarkan Etiologi.8


Gejala & Tanda Bakteri Virus Alergi Chlamydial Toxic
Mata Merah ++ + + + +
Kongesti +++ ++ +/++ ++ +
Kemosis ++ ± ++ - ±
Perdarahan Sub
± ± ± - -
Konjungtiva
Purulen/
Mukopurule
Discharge Mukopurule Cair Cair -
n
n
Papil ± - ++ ± -
Folikel - + + ++ +
Pseudomembra
± ± - - -
n
-
Pannus - - + ±
(kec.vernal)
Nodul Kel.
Limfe + ++ - ± -
Preaurikuler
Keratitis
± ± - + ±
Berulang
Demam ± ± - - -
Keterangan:
+++ : sangat ditemukan
++ : Ditemukan
+ : Kadang ditemukan
± : Dapat terlihat atau tidak
- : Tidak ditemukan

33
BAB III

KESIMPULAN

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih

mata dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtivitis terkadang dapat ditandai

dengan mata berwarna sangat merah dan menyebar begitu cepat dan biasanya

menyebabkan mata rusak. Beberapa jenis konjungtivitis dapat hilang dengan

sendiri, tapi ada juga yang memerlukan pengobatan. Penyebab konjungtivitis

antara lain bakteri, klamidia, alergi, viral, toksik, dan lain-lain. Penting artinya

untuk mengetahui setiap ciri khas kelainan konjungtivitis karena pengobatan

dengan tiap etiologi yang berbeda memerlukan terapi yang berbeda pula.

Pengobatan yang tidak adekuat dari konjungtivitis tipe tertentu seperti trakoma

akan dapat memberikan prognosa yang buruk (mengakibatkan kebutaan).

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Sidohutomo A, Kuswandari Y. 2012. Buku Ajar Ilmu Penyakit Mata.

Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya.

2. Vaughan D. 2010. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta.

3. Ramadhanisa, Aqsa. 2014. Conjunctivitis Bakterial Treatment In Kota

Karang Village. J Medula Unila. Volume 3 Nomer 2. Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung.

4. Ilyas, Sidarta. 2014. Ilmu Penyakit Mata. Edisi kelima. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

5. Soewono W, et al. 2006. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu

Penyakit Mata. Surabaya : Rumah Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya.

6. Lovensia. 2014. Oculi Dextra Conjunctivitis ec. Suspect Viral. Fakultas

Kedokteran Universitas Lampung. Jurnal Medula Unila. Volume 3 Nomer

1.

7. Townsend, John C. 2002. Care of The Patient With Conjungtivitis.

American Optometric Association. 243 N. Lindbergh Blvd., St. Louis, MO

63141-7881.

8. Suprapto N, Irawati Y. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4.

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

35
9. Amir A, Neal P. 2013. Conjunctivitis: A Systematic Review of Diagnosis

and Treatment. Department of Ophthalmology and Visual Sciences,

University of Wisconsin, Madison

10. Kanski, Jack J. 1999. Disorders of The Conjungtiva. Clinical

Opthalmologi. Fourth Edition. Butterworth-Heinemann. A Division of

Reed Educational and Professional Publishing Ltd.

36

Anda mungkin juga menyukai