Anda di halaman 1dari 20

Laporan Kasus

KONJUNGTIVITIS ALERGI

Oleh:
Derianti Pertiwi, S.Ked
1708436516

Pembimbing:
dr. Isfyanto, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARIFIN ACHMAD
PROVINSI RIAU
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Konjungtivitis adalah sutau proses inflamasi pada konjungtiva yang terjadi


akut, kronis ataupun berulang akibat infeksi atau non infeksi.1,2,3 Konjungtivitis
non infeksi dapat disebabkan oleh alergi, mekanik/iritasi/toksik, reaksi imun dan
neoplasma.3 Konjungtivitis alergi adalah konjungtivitis yang terjadi akibat
sensitisasi paparan alergen yang menyebabkan reaksi imun yang melibatkan
immunoglobulin E (IgE).4
Konjungtivitis alergi merupakan kejadian alergi yang paling umum terjadi
diperkirakan terjadi hingga 40% dari populasi di seluruh dunia dan diperkirakan
akan semakin meningkat dari waktu ke waktu.4,5,6,7 Berdasarkan klasifikasinya
kasus konjungtivitis alergi yaitu 90-95% seasonal allergic conjunctivitis (SAC)
atau perennial allergic conjunctivitis (PAC). Kasus vernal keratoconjunctivitis
(VKC) di Eropa yaitu 1,2-10,6 per 10.000 penduduk.8 Di Indonesia pada tahun
2010 konjungtivitis merupakan kasus terbanyak ke 9 yang datang ke rawat jalan.9
Diagnosis konjungtivitis alergi berdasarkan adanya riwayat alergi dan terdapat
gejala serta tanda dari pemeriksaan oftalmologis yaitu rasa gatal, hiperemis
konjungtiva, air mata berlebihan dan bengkak konjungtiva dan palpebra.4,7
Tatalaksana konjungtivitis alergi berupa dekongestan topikal, antihistamin,
stabilizer sel mast dan antiinflamasi. Sebagian besar kasus konjungtivitis
ditatalaksana oleh dokter layanan primer.10 Konjungtivitis alergi ini dapat meluas
menjadi kondisi yang lebih berat hingga ke kornea sehingga dapat menyebabkan
keratopati yang akhirnya dapat menyebabkan gangguan penglihatan. 2,8 Oleh
karena konjungtivitis alergi merupakan kasus alergi yang umum ditemukan pada
praktik dokter layanan primer, dapat terjadi berulang dan dapat menyebabkan
gangguan penglihatan apabila mengenai kornea serta juga harus dapat ditata
laksana hingga tuntas, maka dirasa penting untuk mengenal lebih rinci mengenai
penyakit ini.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva


Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan yang
melapisi bagian anterior sklera dan bagian posterior palpebra. Konjungtiva dibagi
menjadi 3 bagian yaitu konjungtiva palpebra, bulbi dan forniks. Konjungtiva
palpebra disebut juga konjungtiva tarsal. Konjungtiva ini melapisi bagian dalam
palpebra dan melekat erat pada dasar tarsus. Konjungtiva palpebra terdiri dari 3
bagian yaitu marginal, tarsal dan orbita. Pada konjungtiva palpebra ini terdapat
kelenjar henle dan sel goblet yang berfungsi untuk memproduksi musin.
Konjungtiva bulbi melapisi permukaan anterior sklera dan cenderung mudah
digerakkan dari sklera yang berada di bawahnya. Pada konjungtiva bulbi ini
terdapat kelenjar manz dan juga sel goblet yang juga berfungsi dalam
memproduksi musin. Sementara konjungtiva forniks merupakan pertemuan antara
konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi, terdapat kelenjar krause dan wolfring
di bawah konjungtiva ini yang merupakan kelenjar lakrimal aksessoris.1,2,11,12

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva10

3
Gambar 2.2 Anatomi Konjungtiva12

Perdarahan konjungtiva palpebra mendapat cabang-cabang perdarahan


yang sama dengan palpebra yaitu cabang-cabang arteri oftalmika (a. fontalis, a.
supraorbita, a. lakrimalis) serta dari cabang-cabang terminal arteri fasialis (ramus
fasialis, ramus temporalis, ramus infraorbitalis). Perdarahan konjungtiva bulbi
berasal dari arteri siliaris anterior, arteri konjungtiva anterior dan arteri
konjungtiva posterior. Apabila terjadi inflamasi arteri tersebut akan berdilatasi
dengan ciri khas, yaitu letaknya yang superfisial, paling terlihat di daerah forniks
dan menghilang di limbus korneaslera.2

Gambar 2.3 Perdarahan konjungtiva12

4
2.2 Konjungtivitis Alergi
2.2.1 Definisi
Konjungtivitis alergi adalah inflamasi pada konjungtiva akibat respon
hipersensitifitas terhadap alergen.2,4 Gatal pada mata adalah gejala patognomonik
dari konjungtiva alergi.6

2.2.2 Epidemiologi
Konjungtivitis alergi merupakan kejadian alergi dan penyebab
konjungtivitis yang paling umum terjadi. Konjungtivitis alergi diperkirakan terjadi
pada 40% populasi dunia.4,10 Di Eropa diperkirakan konjungtivitis alergi terjadi
pada 25% anak-anak di Eropa, di Cina dilaporkan sebanyak 28%, di Amerika
Serikat kasus konjungtivitis akut mengenai 6 juta orang.7,10 Kasus konjungtivitis
berdasarkan klasifikasinya sebanyak 90-95% SAC atau PAC. Di Eropa terdapat
1,2-10,6 per 10.000 penduduk kasus VKC.8 Konjungtivitis di Indonesia pada
tahun 2010 merupakan kasus terbanyak ke 9 yang datang ke rawat jalan yaitu
sebanyak 87.513 kasus.9
Konjungtivitis alergi dapat mengenai banyak orang, baik pada anak-anak
dan dewasa, sering disertai adanya penyakit alergi lainnya seperti asma, dermatitis
atopik ataupun alergi makanan.10,11 Keluhan yang umum pada konjungtivitis
alergi yaitu mata berair (88%), mata gatal (88%), mata merah (78%), dan palpebra
bengkak (72%).13

2.2.3 Klasifikasi
Konjungtivitis alergi dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu simple allergic
conjunctivitis yang termasuk seasonal allergic conjunctivitis (SAC) atau
perennial allergic conjunctivitis (PAC). Konjungtivitis alergi juga dapat menjadi
lebih berat jika mengenai kornea yaitu vernal keratoconjunctivitis (VKC),
termasuk giant papillary conjunctivitis (GCP) dan atopic keratokonjungtivitis
(AKC).2,7,8,12

5
2.2.4 Patofisiologi2,6,-8,13,14
a. Simple conjunctivits allergi: Seasonal Allergic Conjunctivitis (SAC)
dan Perennial Allergic Conjunctivitis (PAC)
SAC terjadi akibat reaksi hipersensitifitas tipe 1 terhadap alergen,
dimana terjadi interaksi alergen dengan IgE yang berikatan dengan sel
mast sehingga sel mast akan berdegranulasi dan melepaskan mediator
inflamasi seperti histamin, triptase, prostaglandin dan leukotrien di
permukaan konjungtiva. Degranulasi sel mast juga menyebabkan aktivasi
vascular endothelial cells untuk menghasilkan kemokin dan molekul
adhesi seperti intracellular adhesion molecule (ICAM) dan vascular
adhesion molecule (VCAM). Kemudian akan teraktivasi sel T yang akan
mensekresikan monocyte chemoattractant protein (MCP), interleukin (IL
4, IL 5, IL 6, IL 8, IL13), eotaxin, macrophage inflammatory protein
(MIP)-1 alpha. Hal ini menyebabkan inisiasi sel-sel inflamasi di mukosa
konjungtiva.
b. Vernal Keratoconjunctivitis (VKC)
VKC adalah keadaan yang lebih berat dari konjungtivitis alergi,
biasanya terjadi pada musim panas atau iklim tropis dan paling sering
mengenai anak laki-laki. VKC merupakan inflamasi kronik terjadi akibat
reaksi hipersensitifitas yaitu tipe I dan IV. Pada VKC terjadi ekspresi
berlebih sel mast, eosinofil, neutrofil, sitokin, kemokin, molekul adhesi,
faktor pertumbuhan, fibroblast dan limfosit termasuk CD4. IL-4 dan IL-13
terlibat dalam pembentukan giant papil dengan menginduksi produksi
matriks ekstra-seluler dan proliferasi fibroblas konjungtiva. Pada tipe ini
juga terjadi interaksi antigen-antibodi dan aktivasi eosinofil, yang
mengarah pada pelepasan protein, diantaranya, seperti major basic protein
(MBP) dan eosinophilic cationic protein (ECP), yang toksik terhadap
epitel kornea.
c. Atopic Keratokonjungtivitis (AKC)
AKC adalah penyakit inflamasi kronis bilateral pada permukaan
mata dan kelopak mata yang terjadi terutama akibat hipersensitifitas tipe
IV, namun asma dan dermatitis atopi dapat menyertai kelainan ini yang

6
menunjukkan juga dapat disebabkan reaksi hipersensitifitas tipe I. Gejala
dan tanda klinis umumnya sama dengan VKC namun biasanya terjadi pada
penderita dengan usia lebih tua, durasi penyakit mengikuti musim, bisa
terdapat giant papil atau tidak.

2.2.5 Diagnosis2,7,12,14
Konjungtivitis alergi ditandai 4 gajala klinis yang khas yaitu, mata berair,
gatal, merah dan bengkak kelopak mata. Adanya riwayat alergi seperti rinitis
vasomotor, adanya riwayat terpapar alergen merupakan bukti yang cukup untuk
menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi. Berdasarkan konteks lingkungan
dibagi menjadi bentuk akut, seasonal atau perennial. Pemeriksaan oftalmologi
dengan membalikkan kelopak mata atas wajib dilakukan untuk menyingkirkan
bentuk yang lebih parah dari konjungtivitis alergi.

a b

Gambar 2.4 a. Mata normal, b. Mata merah akibat adanya inflamasi pada
konjungtivitis alergi4

Pada simple konjungtivitis allergi, SAC sejauh ini merupakan bentuk yang
paling umum dan sangat sering dikaitkan dengan rinitis. Gejalanya dipicu oleh
paparan alergen, seperti serbuk sari, bulu binatang dan jamur atau bahkan
beberapa jenis makanan, seperti buah, sayuran, ikan, dan kacang-kacangan, dapat
menyebabkan bentuk akut atau berulang. Sementara PAC sama seperti SAC tidak
berbahaya tetapi sebagian besar gejalanya bertahan lebih dari 6 minggu. SAC dan
PAC digunakan pada negara-negara yang memiliki empat musim. Pemeriksaan
klinis dapat menunjukkan adanya hiperemis konjungtiva, kemosis, edem palpebra
dan mungkin terdapat reaksi papil.

7
Bentuk yang lebih berat dari konjungtivitis alergi yaitu
keratokonjungtivitis vernal, selain 4 gejala dan tanda yang khas dari
konjungtivitis, terdapat keluhan lain yang menunjukkan keparahan yaitu
fotofobia, yang menandakan adanya keterlibatan kornea. Keluhan lain yang
mungkin ada seperti sensasi benda asing, dan terbentuknya sekret mukoid. Tanda
klinis konjungtiva pada kerotokonjungtivitis vernal dibagi menjadi 3 tipe, yaitu
sebagai berikut:
a. Tipe palpebra, ditandai adanya hiperemis konjungtiva dan hipertrofi
papil yang difus pada tarsus superior atau terdapat papil yang
berukuran besar yang disebut cobblestone atau giant papillae.
b. Tipe limbal, ditandai adanya penebalan limbus disertai dengan trantas
dot atau bintik putih yang merupakan kumpulan sel epitel dan eosinofil
yang mengalami degenerasi.
c. Tipe campuran palpebra dan limbal

Adanya keratopati jika telah terdapat keterlibatan kornea pada kondisi


konjungtivitis alergi yang lebih berat, ditandai dengan adanya keratitis punctate
superfisial, ulkus vernal, makroerosi epitel, plak, sikatrik subepitel berbentuk
oval dan berwarna abu-abu, pannus terutama pada kornea superior dan terkadang
ditemukan keratokonus. Tanda-tanda serius lainnya yang dapat terjadi, yaitu
terdapatnya sekret, nyeri mata dan gangguan penglihatan. VKC adalah bentuk
konjungtivitis alergi yang sangat jarang terjadi. Biasanya lebih sering mengenai
anak laki-laki lebih daripada anak perempuan, pertama kali muncul sebelum usia
10 tahun dan muncul terutama di musim panas. VKC dibagi berdasarkan derajat
keparahannya yang dapat dilihat dari tabel berikut ini.

8
Tabel 2.1. Derajat klinis VKC15
Sekret
Hiperemis Reaksi Trantas Keterlibatan
Grade VKC Gejala konjung
konjungtiva papil dot kornea
tiva
Grade 0, Tidak ada- Tidak Ringan- Tidak
Tidak ada Tidak ada
quiescent ringan ada sedang ada
Grade 1, Tidak
Ringan, Ringan- Tidak
mild Ringan ada/ring Tidak ada
occasional sedang ada
intermitten an
Grade 2A, Ringan,
Ringan- Tidak
moderate sedang Ringan Ringan Tidak ada
berat ada
intermitten intermitten
Grade 2B, Ringan- Keratitis
Ringan- Ringan- Ringan- Tidak
moderate sedang, punctata
sedang sedang berat ada
persistent persisten superfisial
Sedang-
berat
Sedang- Sedikit Keratitis
Grade 3, Sedang- Sedang- dengan
berat, trantas punctata
severe berat berat injeksi
persisten dot superfisial
dan
edem
Sedang-
berat
Banyak Erosi
Grade 4, Berat dan Sedang- dengan
Berat trantas kornea,
very severe persisten berat injeksi
dot ulserasi
dan
edem
Tidak ada Ringan-
Grade 5, Tidak Tidak Tidak
atau ringan, fibrosis Tidak ada
evolution ada/ringan ada ada
occusional berat

AKC relatif lebih jarang terjadi, umumnya terjadi pada usia dewasa (30-40
tahun) yang memiliki riwayat dermatitis atopik atau asma. Gejala dan tanda AKC
umumnya sama dengan KAC, namun terdapat beberapa perbedaan berdasarkan
hal-hal sebagai berikut:
a. Terjadi pada usia lebih tua
b. Lamanya penyakit berlangsung sepanjang tahun, jarang terjadi
eksaserbasi yang mengikuti suatu musim
c. Ukuran papil umumnya berukuran kecil atau sedang yang terletak di
konjungtiva palpebra superior dan inferior
d. Sering ditemukan edem konjungtiva yang disertai fibrosis subepitel
e. Dapat disertai sekret yang bersifat lebih serosa

9
f. Kekeruhan lensa subkapsular anterior atau posterior terkadang dapat
ditemukan
g. Manifestasi keratopati dapat sebagai erosi epitel pungtata pada 1/3
bawah kornea, defek epitel yang menetap, terbentuknya plak,
vaskularisasi perifer, sikatrik stroma, dan dapat terjadi kekeruhan
kornea disertai vaskularisasi yang luas
h. Dapat terjadi kelainan yang lebih berat pada palpebra yaitu kulit kering
dan eritema, terbentuk fisura dan keratinisasi pada tepi palpebra, dapat
disertai terjadinya madarosis dan blefaritis akibat infeksi stafilokokus.

a b c

Gambar 2.5 a. Giant papillae, b. Limbal trantas dot, c. Edema limbal disertai
trantas dot7

a b

Gambar 2.6 a. Plak kornea, b. Pannus kornea7,11

2.2.6 Tatalaksana
Tatalaksana konjungtivitis alergi yaitu menghindari alergen penyebabnya
dan dengan menggunakan normal salin atau artificial tears untuk menghapus
alergen tersebut. Obat-obat yang dapat digunakan sebagai tatalaksana
konjungtivitis alergi yaitu dekongestan topikal, antihistamin, dan mast cell
satbilizer.10

10
a. Dekongestan (vasokonstriktor)6,11
Dekongestan topikal seperti naphazoline dan juga oxymetazoline
sebagai vasokontriktor karena efek stimulasi alfa adrenergik yang
dimilikinya dapat meredakan hiperemis pada konjungtivitis alergi.
Dekongestan topikal biasanya tidak selalu direkomendasikan karena
efek sampingnya yaitu dapat menyebabkan konjungtivitis sekunder
(hiperemis rebound). Pemberian bersamaan dengan antihistamin topikal
seperti feniramin dan antazolin untuk mengatasi gatal.
b. Antihistamin11
Antihistamin menghambat efek histamin dengan berikatan pada
reseptor H1 sehingga dapat mengurangi gatal, edem dan vasodilatasi.
Antihistamin sistemik generasi pertama tidak direkomendasikan karena
efek sadatif, yang secaraumum digunakan adalah antihistmain generasi
kedua yaitu cetirizine, desloratadine, levocetirizine, fexofenadine,
loratadine, rupatadine, ebastine, mizolastine.
c. Mast cell stabilizer4,6
Mekanisme kerja stabilisator sel mast masih belum jelas, obat ini dapat
menghambat degranulasi sel mast dan lepasnya mediator inflamasi pada
fase awal setelah terpapar alergen melalui pengurangan masuknya
kalsium seluler atau menghambat produksi IgE. Contohnya cromolyn
sodium atau lodoxamide.
d. Antagonis reseptor leukotrien4
Montelukast adalah salah satu obat golongan antogonis reseptor
leukotrien, yang tersedia dalam dosis oral. Obat ini bekerja dengan
menghambat leukotrien berikatan dengan reseptornya di konjungtiva.
Antogonis reseptor leukotrien memiliki waktu kerja yang lama dan
kurang efektif dibandingkan antihistamin topikal sehingga bukan
merupakan first-line therapy ataupun monoterapi.
e. Non steroid antiinflamasi drugs (NSAID) topikal dalam pengobatan
gatal mata sekunder akibat konjungtivitis alergi berfungsi untuk
menghambat produksi prostaglandin dan leukotrien. NSAID yang
biasanya digunakan yaitu ketorolak dan asam diklofenak.6

11
f. Kortikosteroid4,6
Kortikosteroid topikal tidak secara efektif mengobati reaksi alergi fase
awal, tetapi menekan reaksi fase akhir dengan menghambat mediator
inflamasi. Contohnya seperti loteprednol atau difluprednate.
g. Imunomodulator6
Siklosporin A 1% yaitu konsentrasi minimal yang efektif dapat
digunakan untuk pengobatan VKC berat dan mungkin AKC. Dosis
rendah (cyclosporine A 0,05%) memiliki hasil yang beragam dalam
mengurangi gatal mata dan ataupun gejala lain pada konjungtivitis
alergi kronis lainnya. Tacrolimus, memiliki potensi 100 kali lipat dari
siklosporin dengan memblokir reseptor steroid seluler, menghambat
pelepasan mediator dari sel mast dan menekan aktivasi sel T dan
konsekuensinya proliferasi sel B (respons alergi fase akhir). Tacrolimus
lebih efektif daripada siklosporin A dalam pengobatan gatal mata dan
tanda-tanda lain serta gejala penyakit mata alergi, terutama pada VKC
yang sulit disembuhkan.

12
Tabel 2.2 Tatalaksana farmakologi konjungtivitis alergi4
Gejala target-fase Frekuensi
Golongan obat Mekanisme kerja
respon dosis
Memblok reseptor
Antihistamin Gatal, fase akut 4 kali sehari
H1 histamin
Aktivasi reseptor
Dekongestan Kemerahan, fase akut 4 kali sehari
alfa adrenergik
Mencegah Gatal, respon fase 2-6 kali
Stabilizer sel mast
degranulasi sel mas awal dan lambat sehari
Kompetitif Gejala dan tanda
Antagonis reseptor
terikatnya reseptor multipel, respon fase 1 kali sehari
leukotrien
leukotrien lambat
Mencegah produksi Gatal, respon fase
NSAID 4 kali sehari
prostaglandin lambat
Gejala dan tanda
Kortikosteroid Anti-inflamasi multipel, respon fase 4 kali sehari
awal dan lambat
Memblok reseptor
Kombinasi Gatal, fase akut serta
histamin dan 1-2 kali
antihistamin- respon awal dan
mencegah sehari
stabilizer sel mast lambat
degranulasi sel mast

2.2.7 Prognosis
Konjungtivitis alergi umumnya dapat sembuh dengan cepat sehingga
memiliki prognosis yang baik. Kondisi yang lebih parah pada konjungtivitis
seperti ulkus kornea ataupun keratokonus jarang terjadi. Namun, konjungtivitis
alergi seperti SAP, PAC ataupun GPC umumnya sering terjadi berulang tetapi
jarang menyebabkan gangguan penglihatan. Tapi sebaliknya pada VKC dan AKC
sering dikaitkan dengan risiko kerusakan kornea progresif dan gangguan
penglihatan, namun VKC dan AKC ini sangat jarang terjadi.2,15

13
RAHASIA

STATUS BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU

IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Z Pekerjaan : Pelajar
Umur : 14 tahun Pendidikan : Belum tamat SMP
Jenis Kelamin : Laki-laki Tanggal Pemeriksaan : 15 November 2019
Alamat : Jl. Guru Sulaiman

ANAMNESIS (Auto dan allo Anamnesis)


Keluhan Utama :
Mata kiri merah tanpa disertai pandangan kabur sejak 2 minggu yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang:


Mata kiri merah tanpa disertai pandangan kabur sejak 2 minggu yang lalu.
Keluhan kesulitan membuka mata saat bangun tidur (+) dan terdapat kotoran
mata yang kental dan berwarna putih. Kelopak mata kiri atas dan bawah bengkak,
hingga mata kiri tidak dapat terbuka secara maksimal. Mata kiri terasa sering
berair dan terasa sangat gatal sehingga terdapat luka di kelopak mata kiri akibat
sering digaruk. Mata kiri sering berkedip (+). Keluhan mata terasa silau (-) terasa
mengganjal (-) mata terasa perih (-), demam (-)

Riwayat Penyakit Dahulu :


- Tidak ada keluhan yang sama sebelumnya
- Riwayat alergi debu dan cuaca dingin (+)

Riwayat Pengobatan :
Belum pernah berobat sebelumnya.

14
Riwayat penyakit keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga ataupun lingkungan sekolah yang
mengeluhkan hal yang sama
- Saudara kandung pasien dan bibi pasien memiliki riwayat alergi debu

PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Komposmentis kooperatif
Vital sign : TD : 110/80 mmHg
HR : 87x/menit
RR : 20x/menit
T : 36,60C
BB : 55 kg
TB : 153 cm
KGB : Adenopati preaurikuler (-)

STATUS OPTHALMOLOGI
OD OS
20/20 Visus tanpa koreksi 20/20
Tidak dikoreksi Visus dengan Tidak dikoreksi
koreksi
Posisi bola mata
Orthophoria
Gerakan bola mata

18 mmHg Tekanan bola mata 13 mmhg


Hiperemis (-), spasme (-), Palpebra Blefarospasme (+), terdapat
edema (-) eskoriasi di kantus lateral

15
Injeksi konjungtiva(-), papil Konjungtiva Injeksi konjungtiva(+), papil
(+), folikel (-), membran (-), tarsal (+), folikel (-), membran (-),
pseudomembran (-) pseudomembran (-)
Injeksi konjungtiva (-), Konjungtiva Injeksi konjungtiva (+), kemosis
kemosis (-), trantas dot (-) bulbi (-), trantas dot (-)
Jernih Kornea Jernih
Tenang Sklera Tenang
Dalam, jernih COA Dalam, jernih
Bulat, sentral, Ø 2 mm, Iris/pupil Bulat, sentral, Ø 2 mm,
refleks cahaya +/+ refleks cahaya +/+
Jernih Lensa Jernih
Funduskopi
Refleks fundus (+) Refleks Fundus Refleks fundus (+)
Jernih Vitreus Jernih
Papil bulat, batas tegas, C/D Papil Papil bulat, batas tegas, C/D
rasio 0,3 rasio 0,3

A/V rasio 2:3 Retina A/V rasio 2:3


Refleks (+) Makula Refleks (+)
Gambar

16
RESUME :
An. Z usia 14 tahun, mata kiri merah tanpa pandangan kabur dan terasa
sangat gatal sejak 2 minggu, mata berarir (+), pasien memiliki riwayat alergi debu
dan cuaca dingin. Pemeriksaan oftalmologi visus 20/20 ODS, injeksi konjungtiva
pada OS (+) dan papil (+) pada konjungtiva tarsal ODS serta edem palpebraa
superior (+) dan krusta pada kantus medial lateral OS.

Diagnosis Kerja:
 Konjungtivitis Alergi ODS

Diagnosis Banding :
 Konjungtivitis Bakterial
 Konjungtivitis Viral

TERAPI
- Cromolyn sodium 20 mg ED 3 x 1 tetes ODS
- Dexamethason 0,1%, Neomisin Sulfat 3,5 mg, Polimiksin B Sulfat
10.000 SI 6 x 1 tetes OS
- Carboxymethylcellulose sodium 5 mg 6 x 1 tetes OS

Edukasi
 Dapat sembuh tetapi dapat terjadi berulang, hindari penyebab alergi.

17
 Tidak menggosok mata yang sakit, kompres dingin untuk mengurangi
gatal dengan menggunakan air dingin dan kondisi mata tertutup selama 5-
10 menit jika mata gatal.
 Saat musim panas kurangi kegiatan di luar rumah untuk menghindari
debu.
 Jangan membeli obat sendiri.
 Kontrol ke dokter 1 minggu kemudian.

Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : bonam

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, Yulianti SR. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilmu Penyakit
Mata. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2014. h. 119-151.

2. Edwar L, Bani A. Konjungtivitis. In: Sitorus R, Sitompul R,Widyawwati S,


Bani AP, editors. Buku Ajar Oftalmologi. Edisi 1. Jakarta: BPFKUI; 2017.
h. 109-118.

3. American Academy of Ophthalmology. Conjunctivitis. USA; 2013.

4. Carr W, Schaeffer J, Donnenfeld E. Treating allergic conjunctivitis: a once-


daily medication that provides 24-hours symptom relief. Allergy Rhinol.
2016;e107-e114.

5. Leonardi A, Castegnaro A, Valerio ALG, Lazzarini D. Epidemiology of


allergic conjunctivitis: clinical apperance and treatment patterns in a
population-based study. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2015;15(5):482-
488.

6. Ackerman S, Smith LM, Gomes PJ. Ocular itch associated with allergic
conjunctivitis: latest evidence and clinical management. Ther Adv Chronic
Dis. 2016;7(1):52-67.

7. Farquert JL. Diagnosing and managing allergic conjunctivitis in childhood:


the allergist’s perspective. Pediatr Allergy Immunol. 2019;30:405-414.

8. Rosa ML, Lionetti E, Reibaldi M, Russo A, Longo A, Leonardi S, dkk.


Allergic conjunctivitis: a comprehensive review of the literature. Italian
Journal of Pediatrics. 2013;39(18):1-8.

9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia


2010. Jakarta; 2011.

10. Azari AA, Barney N. Conjunctivitis a systematic review of diagnosis and


treatment. JAMA.2013;310(16):1721-9.

11. Sanchez MC, Parra BF, Matheu V, Novarro A, Ibanez MD, Davila I, dkk.
Allergic conjunctivitis. J Investig Allergol Clin Immunol. 2011; 21(2): 1-19.

12. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Comprehensive Opthalmology.


Edisi 4. New Delhi: New Age International (P) Limited. 2007. p. 51-88.

19
13. Almaliotis D, Michailopoulos P, Gloulekas D, Glouleka P, Papakosta D,
Siempis T, dkk. Allergic conjunctivitis and the most common allergens in
northern greece. Biomed Central. 2013;6(12):1-5.

14. Addis H, Jeng BH. Vernal keratoconjunctivitis. Clinical Opthalmology.


2018:12;119-123.

15. Bonini S, Sacchetti M, Mantelli F, Lambiase A. Clinical grading of vernal


keratoconjunctivitis. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 2007:7;436-441.

16. Ventocilla M. Allergic conjunctivitis. Medscape. 2018.

20

Anda mungkin juga menyukai