Anda di halaman 1dari 24

DEFINSI

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular tropis yang dikenal dan saat ini
merupakan penyebab kematian nomor satu di antara kondisi infeksi. 1 Tuberkulosis
(TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis.7
Pada umumnya anak yang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis tidak
menunjukkan penyakit tuberkulosis (TB). Satu-satunya bukti infeksi adalah uji tuberkulin
(Mantoux) positif. Risiko terinfeksi dengan kuman TB meningkat bila anak tersebut
tinggal serumah dengan pasien TB paru BTA positif

Sousa GB, Silva JC, Queiroz TV, Bravo LG, Brito GC,Pereira A, et al. Clinical and
epidemiological features of tuberculosis in children and adolescents. Rev Bras
Enferm;72(5);2019
Glaziou P, Floyd K, Raviglione MC. Global Epidemiology of Tuberculosis. Semin Respir
Crit Care Med.2018;39:271-85
WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. 2009.

EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di seluruh
dunia. Penelitian WHO yang baru-baru ini diterbitkan pada tahun 2014
menyatakan bahwa pada tahun 2013 diperkirakan ada 3,3 juta kasus
di antara wanita, dengan 510.000 kematian TB pada kehamilan.
Pada 2 penelitian yang dilakukan di UK, 53% dan 77% dari wanita
hamil dilaporkan mengalami TB ekstrapulmoner.
Tuberkulosis pada kehamilan merupakan masalah tersendiri karena selain mengenai
ibu, juga dapat mengenai bayi yang dikandung atau dilahirkannya. Keterlambatan
diagnosis TB pada neonatus sering terjadi karena keterlambatan diagnosis
TB pada ibu. Oleh karena itu riwayat perjalanan penyakit ibu hamil sangat penting
diketahui untuk mencegah keterlambatan diagnosis. Sebagian besar TB pada
kehamilan sering kali tanpa gejala yang khas,maka sekitar 30% ibu terdiagnosis TB
setelah bayi yang dilahirkan di ketahui menderita TB kongenital.

Seperti dikutip dari Suwondo dkk, Good menyebutkan gejala klinis TB pada
kehamilan berupa batuk (74%), penurunan berat badan (41%), demam (30%), nafsu
makan menurun (30%) dan hemoptisis (19%). Infeksi TB perinatal dapat terjadi
secara kongenital (pranatal), pada saat persalinan (natal) maupun transmisi pasca
natal. Pada tipe kongenital, transmisi terjadi karena penyebaran hematogen melalui
vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada tipe natal transmisi
dari ibu selama proses persalinan dan pasca natal oleh ibu atau orang dewasa lain
secara infeksi droplet. Untuk menegakkan diagnosis TB kongenital, bayi
harus terbukti diagnosis TB dan memenuhi salah satu dari kriteria Beitzke yang telah
di revisi yaitu
(1) lesi pada minggu pertama kehidupan, (2) komplek
primer hati atau granuloma hati kaseosa, (3) infeksi TB
pada plasenta atau pada infeksi traktus genitalia, (4)
kemungkinan transmisi pasca natal telah disingkirkan.
Kejadian TB kongenital sangat jarang. Di seluruh
dunia sejak tahun 1935 tercatat 329 kasus TB
kongenital.6,12 Abughali dkk8 melaporkan dari tahun
1980 sampai 1994 hanya terdapat 58 kasus TB
kongenital. di Departemen IKA
FKUI RSCM dilaporkan oleh. Rahajoe N, 26 (16,4%) dari 171 kasus TB
dengan biakan positif adalah anak di bawah usia 1
tahun dengan usia termuda adalah 4 minggu. Hal ini
menunjukkan bahwa sumber penularan yang paling
mungkin adalah ibu.

Hal yang menyebabkan rendahnya angka kejadian TB kongenital adalah


1) Pada wanita dengan tuberkulosis genitalia biasanya mengalami infertilitas.
2) TB pada orang dewasa umumnya merupakan TB pasca primer yang
terlokalisasi di paru, TB primer sistemik jarang terjadi pada orang dewasa.
3) Adanya sawar plasenta yang dapat mencegah masuknya M. tuberculosis ke
dalam sirkulasi janin.
4) M.tuberculosis tidak dapat mencapai dan menginfeksi
janin.
5) Kemungkinan terdiagnosis sebagai TB kongenital kecil oleh karena umumnya
terdiagnosis sebagai penyakit lain.

Dharmawan BS, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Neonatus dari Ibu Hamil TB Aktif. Saripediatri.
2004: 6(2). pp 85-90

PATOGENESIS
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik
renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat mencapai
alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kec il kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer
Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan
sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity,
CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di
jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,
dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru
saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima
tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di
dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan
dengan acute generalized hematogenic sp

Pada infeksi intra uteri (pranatal/kongenital) terjadi


penyebaran M.tuberculosis secara hematogen oleh ibu
TB primer yang sistemik. M.tuberculosis akan
menempel dan membentuk tuberkel pada plasenta
karena adanya sawar plasenta. Bila tuberkel pecah, akan
terjadi penyebaran melalui vena umbilikalis mencapai
hati yang mengakibatkan fokus primer di hati serta
melibatkan kelenjar getah bening periportal. M.tuber-
culosis dalam hati dapat masuk ke dalam peredaran
darah kemudian mencapai paru membentuk fokus

primer dalam bentuk dorman.9,11,13 Tuberkel pada


plasenta yang pecah tersebut dapat pula menginfeksi
cairan amnion. Cairan amnion yang terinfeksi
M.tuberculosis terhisap oleh janin selama kehamilan
sehingga kuman dapat mencapai paru dan menyebab-
kan fokus primer di paru. Namun bila cairan amnion
tersebut tertelan, kuman akan mencapai usus yang
menyebabkan fokus primer di usus. Infeksi TB pada neonatus yang terjadi saat
persalinan (natal), dapat terjadi karena tertelan atau terhisapnya
cairan amnion yang terinfeksi M.tuberculosis oleh
neonatus saat proses persalinan. Pada penularan ini kuman
yang teraspirasi dapat menyebabkan fokus primer di paru
atau di usus.9 Penularan infeksi TB pasca natal merupakan
penularan TB pada neonatus yang paling sering1, yaitu
melalui inhalasi udara (droplet infection) oleh ibu atau
orang dewasa lain penderita TB aktif di sekitar neonatus.
Kuman TB mencapai alveolus paru terutama pada lobus tengah dan lobus bawah
yang kaya akan oksigen sehingga
umumnya fokus primer akan terdapat di sini, walaupun
semua lobus bisa saja menjadi fokus primer.

Dharmawan BS, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Neonatus dari Ibu Hamil TB Aktif. Saripediatri.
2004: 6(2). pp 85-90

TB Primer

TB primer merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis pada pasien

nonsensitif yaitu mereka yang belum pernah terinfeksi. Terdapat respon radang ringan pada

tempat infeksi (subpleura pada bagian tengah paru, dalam faring, atau di ileum terminal), diikuti

penyebaran ke kelenjar getah bening regional (hilus, servikal dan mesenterika). Satu atau dua

minggu setelah infeksi, dengan onset sensitivitas tuberkulin, terjadi perubahan reaksi jaringan

baik pada fokus dan pada kelenjar getah bening, menjadi bentuk granuloma kaseosa yang khas.

Kombinasi fokus dan keterlibatan kelenjar getah bening regional disebut kompleks primer.8

Kompleks ini mengalami penyembuhan dengan fibrosis, dan seringkali timbul kalsifikasi

tanpa pemberian terapi. Kelenjar getah bening yang membesar bisa tampak jelas di leher atau
menyebabkan obstruksi bronkus yang mengakibatkan kolaps. Penyebaran organ secara

hematogen jarang terjadi dari kompleks primer.10

Kompleks primer tersebut selanjutnya dapat menjadi:2

1. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, kalsifikasi di

hilus dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.

3. Berkomplikasi dan menyebar secara:

a. Menyebar kesekitarnya (perkontinuitatum)

b. Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru di sebelahnya.

Kuman ini juga tertelan bersama sputum dan ludah dan menyebar ke usus.

c. Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya

d. Secara limfogen.

2.4.2 TB Sekunder

TB sekunder merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis pada

orang yang pernah terinfeksi dan pasien sensitif terhadap tuberkulin. TB sekunder akan muncul

bertahun-tahun setelah tuberkulosis primer. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti

malnutrisi, konsumsi alkohol, penyakit keganasan, diabetes, AIDS dan gagal ginjal.2,9

TB sekunder ini dimulai dari sarang dini yang berlokasi di regio atas paru. Invasi ke

daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi

tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel histiosit dan sel Datia-Langhans yang

dikelilingi oleh sel limfosit dan berbagai jaringan ikat.2,9

Sarang dini pada TB sekunder ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:2
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.

2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan serbukan

jaringan fibrosis. Kemudian akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk

perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan

keju dan menimbulkan kavitas bila jaringan keju dibatukkan keluar.

3. Sarang tersebut meluas, membentuk jaringan keju. Kavitas akan muncul dengan

dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian

dindinganya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik).

4. Ruptur ke dalam bronkus dan menyebabkan bronkopneumonia TB

5. Menyebar melalui darah dan menyebabkan TB milier pada hati, limfa, paru, tulang dan

meningen.

Cunningham et al. Penyakit Paru. Dalam: Obstetri Williams. Jakarta: EGC, 2000. 1387-1389
Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 988-993

GEJALA KLINIS

Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul segera setelah lahir namun paling sering
pada minggu kedua dan ketiga kehidupan.M.tuberculosis kurang dapat berkembang pada
lingkungan intra uterin dengan kadar oksigen yang rendah. Dengan bertambahnya usia bayi
setelah lahir, kadar oksigen pun meningkat mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang cepat.
Gejala klinis TB kongenital sulit dibedakan dengan sepsis bakterial pada umumnya.
Oleh sebab itu sering terjadi keterlambatan diagnosis dan pada akhirnya menyebabkan
kematian. Gejala yang paling sering ditemukan adalah distres pernapasan,
hepatosplenomegali dan demam. Gejala lain seperti prematuritas, berat lahir rendah, toleransi
minum yang buruk, letargi, kejang, ikterus, limfadenopati, lesi kulit, dan cairan pada telinga
juga dilaporkan. Tuberkulosis yang didapat pasca natal memiliki gejala yang sama dengan TB
pada anak, seperti berat badan turun tanpa sebab, gagal tumbuh, demam lama dan berulang,
pembesaran kelenjar getah bening multipel, batuk lama, atau diare persisten
Loto OM, Awowole I. Tuberculosis in Pregnancy: A Review. Journal of Pregnancy.
2012;2012:1–7.

Menurut American Thoracic Society d an


WHO 1964 diagnosis TB paru adalah
menemukan kuman Mycobacterium
tuberculosis dalam sputum atau jaringan paru
secara biakan.11 Diagnosis ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan riwayat mengenai gejala
respiratorik seperti batuk lebih dari dua
minggu, batuk darah, sesak napas, dan nyeri
dada, sedangkan pada gejala sistemik
ditemukan adanya demam dan keringat
malam, penurunan berat badan, malaise, d an
anoreksia. Pemeriksaan fisik ditemukan s u ara
nafas tambahan berupa ronki basah, kasar dan
nyaring dari auskultasi. Pemeriksaan
penunjang berupa: radiologi (foto toraks),
pemeriksaan bakteriologi dapat berasal dari
dahak (uji sputum), dan uji mantoux.
Diagnosis TB ditegakkan dari hasil
pemeriksaan sputum dan atau kultur bakteri
yang positif. WHO merekomendasikan
pemeriksaan cepat untuk mendiagnosis TB
paru menggunakan alat Xpert MTB/RIF,
sebuah tes molekuler untuk Mycobacterium
tuberculosis (MTB) dan resisten rifampisin
(RIF) dengan menggunakan sampel dari dahak
dalam waktu dua jam.9,12 Alur diagnosis TB
paru pada orang dewasa dapat dilihat pada
gambar 1
Diagnosis klinis tuberkulosis pad a i b u
hamil lebih sulit untuk terdiagnosis karena
gejala yang muncul seperti kelelahan, sesak
nafas, berkeringat, lemas, batuk, dan demam
ringan mirip dengan gejala fisiologis
kehamilan. Untuk wanita hamil di sebagian
besar negara dengan beban tuberkulosis yan g
tinggi, praktek perawatan standar saat ini
untuk skrining TB dan diagnosisnya sama
dengan yang digunakan untuk mendeteksi
penyakit populasi umum. Tes diagnostik y an g
disarankan mencakup mikroskopis, kultur,
deteksi molekul DNA seperti Xpert MTB/RIF,
dan radiografi thoraks yang menimbulkan
risiko minimal untuk janin, juga
direkomendasikan pada wanita yang terdap at
kontak dengan TB. Pada daerah dengan
tingkat HIV yang tinggi, WHO sangat
merekomendasikan skrining gejala dan
pemeriksaan Xpert MTB / RIF.17,18,19
Pada wanita hamil dengan gejala
sugestif dan tanda-tanda TB, tes tuberkulin
juga aman dilakukan walaupun masih menjadi
perdebatan mengenai sensitivitas uji
tuberkulin selama masa kehamilan. Laporan
sebelumnya menyarankan bahwa uji
tuberkulin (mantoux test dan tine test) akan
berkurang sensitivitasnya pada kehamilan,
sementara studi terbaru menunjukkan tidak
ada perbedaan yang signifikan dalam keadaan
hamil dan tidak hamil.1
Yusuf A, Indah MS. Penatalaksanaan Kehamilan Dengan TB Paru. J Agromedicine Unila. 2018 : 5 (2). pp 622-626

2.1.1.1 Pemeriksaan untuk diagnosis


1. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk
menentukan diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan
sputum pada anak terutama dilakukan pada anak berusia lebih dari 5
tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan paru luas. Namun demikian,
karena kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat pausibasiler
pada TB anak, pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak dilakukan
secara rutin apda anak yang dicurigai sakit TB. 4
a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau specimen lain (cairan
tubuh atau jaringan biopsy)
Pemeriksaan BTA sputum sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu
sewaktu dan pagi hari.Sputum dapat didapatkan dengan cara
berdahak, bilas lambung dan induksi sputum. 4
b. Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Saat ini beberapa teknologi dikembangkan untuk dapat
mengidentifikasi kuman Mycobacterium tuberculosis dalam waktu yang
cepat (kurang lebih 2 jam), antara lain pemeriksaan Line Probe
Assay(Misalnya Hain Genotype) dan NAAT (Nucleic Acid Amplification
Test)misalnya Xpert MTB/RIF. Pemeriksaan TCM dapat digunakan
untuk mendeteksi kuman M.Tuberkulosis secara molecular sekaligus
menentukan ada tidaknya resistensi terhadap rifampisin. Pemeriksaan
TCM mempunyai nilai diagnostic yang lebih baik daripada
pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih di bawah uji biakan.
Hasil negative TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB. 4
c. Pemeriksaan Biakan
Kultur mikobakteri adalah tes standar emas untuk TB, dengan batas
deteksi (LOD) ~ 10-100 unit koloni per mililiter (CFU / mL) dalam
media kultur padat atau cair. Sensitivitas umumnya hanya 7-40% pada
anak-anak karena sifat paucibacillary pada TB. Waktu yang
dibutuhkan (hingga 6 minggu untuk pertumbuhan positif) kadang-
kadang terlalu lama untuk berguna secara klinis; tetapi ini adalah
langkah yang perlu untuk melakukan pengujian kerentanan obat
fenotipik. Penting juga untuk melakukan tes sensitivitas obat terhadap
obat TB lini pertama sebagai permulaan, dan terhadap obat TB lini
kedua sesuai kebutuhan.11
Pada TB ekstrapulmoner, spesimen situs spesifik untuk kultur TB
sering dikumpulkan, seperti cairan serebrospinal (CSF), aspirasi
kelenjar getah bening, dan spesimen jaringan lainnya. Namun,
hasilnya bervariasi. kultur darah mikobakteri tampaknya memiliki hasil
terbatas pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa.11
2. Pemeriksaan penunjang
a. Tuberkulin (Tuberculin Skin Test/TST)
TST positif menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau terinfeksi
TB tetapi tidak selalu menunjukkan penyakit TB. Ini adalah tes yang
mengukur respons imun, bukan ada atau tidak adanya bakteri. TST
dapat menjadi alat yang berguna dalam penilaian anak yang diduga
TB, terutama ketika tidak ada riwayat kontak TB yang positif, karena
TST positif menunjukkan bahwa anak telah terinfeksi pada beberapa
titik. Oleh karena itu dapat digunakan sebagai tambahan dalam
mendiagnosis TB pada anak dengan tanda dan gejala TB dan dalam
hubungannya dengan tes diagnostik lainnya. TST juga dapat
digunakan untuk menyaring anak-anak yang terpajan TB, walaupun
skrining kontak dan manajemen masih dapat dilakukan bahkan jika
TST tidak tersedia. Ada sejumlah metode untuk melakukan TST, tetapi
metode Mantoux direkomendasikan. TST harus distandarisasi untuk
masing-masing negara menggunakan 5 unit tuberkulin (TU) turunan
protein murni tuberculin (PPD-S) atau 2 TU dari tuberkulin PPD RT23,
yang memberikan reaksi serupa pada anak-anak yang terinfeksi M.
tuberculosis.10

Gambar 2. Ukuran reaksi TST positif.12


b. Pencitraan
Radiografi dada adalah metode yang paling umum digunakan. Namun,
temuan ini bisa relatif tidak spesifik dan variasi antar pengamat
mungkin ada, bahkan di antara dokter berpengalaman. Temuan
sugestif meliputi:4,11
• limfadenopati intra-toraks, di mana film lateral mungkin memiliki
hasil aditif
• Konsolidasi segmental atau lobular
• Efusi pleura
• Atelektasis
• Kalsifikasi dengan infiltrate
• Tuberkuloma
• dan yang lebih jarang, nodul milier atau kavitasi.
Modalitas lain seperti CT-scan, pencitraan FDG-PET, dan MRI dapat
memberikan detail tambahan, tetapi tidak secara rutin digunakan pada
anak-anak.11
c. Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan patologi anatomi akan menunjukkan gambaran
granuloma dengan nekrosis perkijuan di tengahnya dan dapat pula
ditemukann gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB. 4
Diagnosis histopatologis lebih sering dilakukan pada TB extraparu. 11

Pemeriksaan serologi TB(misalnya Ig G TB, PAP TB, ICT TB,


MycoDOT,dsb) tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan
sebagai sarana diagnostic TB.4

Kemenkes RI. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. 2016


World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. 2nd ed. 2014
Thomas TA. Tuberculosis in children. Pediatr Clin North Am. 2017
Cruz AT, Starke JR. Pediatric tuberculosis. Pediatrics in review. 2010

Pemeriksaan penunjang
Uji tuberkulin pada neonatus sering negatif karena
penyakit berat atau sistem imun neonatus yang masih
imatur. Pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) dan

biakan kuman dapat menunjukkan hasil positif dari


bilasan lambung, cairan telinga, serta biopsi hati, kelenjar
getah bening, dan sumsum tulang. Gambaran foto
toraks neonatus dengan TB sering menunjukkan
kelainan; sebagian besar terdapat gambaran milier
namun dapat pula ditemukan infiltrat paru dan
pembesaran kelenjar getah bening hilus. Beberapa
neonatus yang memiliki gambaran foto yang normal
yang kemudian menjadi abnormal bersamaan dengan
progresivitas penyakit. Pada pemeriksaan ultra-
sonografi abdomen dapat ditemukan pembesaran dan
lesi fokal pada hati dan limpa, ekogenisitas yang
heterogen, pembesaran kelenjar getah bening multipel
serta cairan debris peritoneum. Gambaran histo-
patologi plasenta dapat ditemukan granuloma kaseosa
dengan BTA. Adanya tuberkel pada plasenta belum
dapat memastikan bahwa bayi menderita TB kongenital,
karena tuberkel pada plasenta dapat utuh (tidak pecah)

Dharmawan BS, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Neonatus dari Ibu Hamil TB Aktif. Saripediatri.
2004: 6(2). pp 85-90

2.1.4.2 Skoring TB
Beberapa negara menggunakan sistem penilaian untuk mendiagnosis TB
pada anak-anak. Namun, sistem ini jarang dievaluasi atau divalidasi sebagai
"standar emas" ketika mereka telah dievaluasi, skoring ini memiliki kinerja
yang buruk dan beragam. System skoring ini berkinerja sangat buruk pada
anak-anak yang diduga TB paru (bentuk paling umum) dan pada anak-anak
yang juga HIV-positif. Oleh karena itu, pada saat ini, WHO tidak dapat
memberikan rekomendasi mengenai penggunaan sistem penilaian untuk
mendiagnosis TB.10
Kemenkes RI. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. 2016
WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. 2009.
World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. 2nd ed. 2014
Gambar 3. Penilaian system skoring TB.4
Parameter system skoring:4
1. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis
hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB
01 atau dari hasil laboratorium
2. Penentuan status gizi:
a. Berat badan dan Panjang/tinggi badan dinilai saat pasien dating
b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. penentuan status gizi
untuk anak usia  6 tahun merujuk pada buku KIA kemenkes 2016,
sedangkan anak usia > 6 tahun merujuk pada standar WHO 2005 yaitu
grafik iMT/U.
c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1-2 bulan

Pasien dengan jumlah skor 6 (sama atau lebih dari 6), harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat pengobata dengan obat anti tuberculosis. Bila skor kurang
dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan
pemeriksaan diagnostic lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi
anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-scan dan
lainnya.8

TATALAKSANA
Setelah diagnosis dikonfirmasikan,
rekomendasi WHO untuk pengobatan
tuberkulosis pada wanita hamil adalah sama
seperti untuk wanita yang tidak hamil, bahkan
untuk HIV positif menggunakan terapi
antiretroviral (ART). Wanita hamil dengan TB
aktif biasanya diterapi dengan tidak
mempertimbangkan trisemester kehamilan.
OAT yang digunakan tidak berbeda dengan
wanita yang tidak hamil seperti isoniazid,
rifampisin, etambutol juga digunakan secara
luas pada wanita hamil. Obat-obat tersebut
dapat melalui plasenta dalam dosis rendah
dan tidak menimbulkan efek teratogenik pad a
janin.
Streptomisin adalah satu-satunya obat
yang telah terbukti memiliki efek ototoksik,
yang menyebabkan tuli sensorineural pada
bayi, sehingga tidak boleh diberikan p ad a i b u
hamil dengan tuberkulosis. Terdapat satu
laporan ethionamide ditemukan menyebabkan efek teratogenik, sedangkan

ethambutol dan rifampisin juga telah


dihubungkan dengan peningkatan insiden
keterlambatan pertumbuhan janin, kelahiran
prematur dan malformasi.17,20
Efek yang merugikan dari isoniazid yaitu
terdapat sedikit peningkatan resiko pada
sistem saraf pusat, tetapi tidak meningkatkan
resiko kelainan kongenital atau abortus. P ad a
pemberian isoniazid sebaiknya diberikan
piridoksin 50 mg/hari untuk mencegah
terjadinya neuropati perifer. Pemeriksaan
fungsi hati sebaiknya dilakukan saat
pemberian isonizid dan rifampisin. Pemberian
vitamin K dilakukan pada akhir trismester
ketiga kehamilan dan bayi yang baru lahir.
Walaupun beberapa penelitian tidak
menunjukkan efek teratogenik dari isoniazid
pada wanita post partum, tetapi beberapa
rekomendasi menunda pengobatan ini sampai
persalinan bahkan 3-6 bulan post partum. 20
Pada kasus multidrug resistant (MDR)
digunakan pirazinamid, akan tetapi
pirazinamid tidak digunakan secara rutin pad a
wanita hamil karena terdapat efek
teratogenik. Paraamino salisilat (PAS) telah
digunakan secara aman pada wanita hamil
akan tetapi obat tersebut ditoleransi tubuh
secara buruk.21
Pengobatan secara obstetri juga perlu
diperhatikan seperti pemeriksaan antenatal
yang teratur, istirahat cukup, makanan bergizi,
pengobatan anemia, dan dukungan keluarga
yang optimal. Berikan isolasi yang memadai
selama persalinan dan pasca persalinan. Bayi
harus diperiksa untuk mengetahui adanya
tuberkulosis. Walaupun infeksi transplasen tal
jarang, bayi memiliki resiko terinfeksi m e lal u i
kontak dengan ibu dengan tuberkulosis aktif.
Seksio sesaria tidak dilakukan atas indikasi
tuberkulosis paru, kecuali apabila ada indikas i
obstetrik.22,23
Tuberkulosis paru yang tidak diobati atau
yang terlambat diobati dapat menyebabkan
konsekuensi berat pada ibu dan anak. Wanita
hamil dengan TB paru yang dirawat dengan
tepat dapat mencegah terjadinya peningkatan
komplikasi maternal atau neonatal. Sementara
yang tidak diberikan pengobatan, TB dapat
meningkatkan morbiditas neonatal, seperti
berat lahir rendah, prematuritas, dan juga
dapat meningkatkan empat kali lipat
morbiditas ibu, seperti aborsi, perdarahan post
partum, kesulitan persalinan, dan pre -
eklampsia. Perawatan pranatal dapat menjadi
peluang yang sangat baik untuk skrining,
mendiagnosis TB dan menindaklanjuti
perawatan TB, terutama untuk wanita yang
memiliki akses terbatas ke layanan keseh atan ,
seperti perempuan dengan status sosial dan
ekonomi yang terbatas

Yusuf A, Indah MS. Penatalaksanaan Kehamilan Dengan TB Paru. J Agromedicine Unila. 2018 : 5 (2). pp 622-626
Bila pada neonatus terdapat gejala TB maka
diagnosisnya adalah TB perinatal dan terapi TB
langsung diberikan. Terapi yang dianjurkan adalah

isoniasid dosis 5-10 mg/kgBB/hari, rifampisin dosis


10-15 mg/kgBB/hari dan pirazinamid dosis 25-35 mg/
kgBB/hari.5,9 Lakukan pemeriksaan bilas lambung
sebelum pemberian terapi. Setelah terapi TB selama 1
bulan (usia 1 bulan) lakukan pemeriksaan uji
tuberkulin. Namun pada neonatus dengan gejala klinis
TB dan didukung oleh satu atau lebih pemeriksaan
penunjang (foto toraks, patologi anatomi plasenta dan
mikrobiologis darah v.umbilikalis) maka dapat langsung diobati selama 6 bulan tanpa
pemerikaan uji tuberkulin.
Apabila pada usia 1 bulan uji tuberkulin positif
maka diagnosis TB ditegakkan dan diberikan terapi
TB selama 6 bulan disertai pemeriksaan foto toraks
dan bilas lambung. Namun bila hasil uji tuberkulin
negatif, masih mungkin TB karena faktor imunitas
yang imatur pada neonatus.9 Dalam hal ini terapi TB
diteruskan disertai pemeriksaan tuberkulin pada usia

3 bulan. Apabila hasil uji tuberkulin pada usia 3 bulan


positif maka diagnosis TB ditegakkan dan diberikan
terapi TB selama 6 bulan. Namun apabila hasilnya
negatif maka diagnosis bukan TB dan terapi TB
dihentikan.Selain mendapat terapi TB, pemberian
nutrisi harus adekuat. Bayi dipisahkan selama minimal
2 minggu pemberian terapi TB pada ibu, namun ASI
tetap dapat diberikan. Kandungan OAT di dalam ASI
pada ibu yang mendapat terapi TB hanya dalam jumlah
yang kecil dan tidak berpotensi menimbulkan infeksi
pada bayi.1,2,7,9 Selain itu pemantauan peningkatan
berat badan, tanda vital, dan keluhan lain harus
dilakukan dengan ketat.5
Apabila neonatus lahir dari ibu TB aktif namun
pemeriksaan klinis dan penunjang dalam batas
normal, maka neonatus tetap berpotensi untuk
terinfeksi M.tuberculosis. Tata laksana awal adalah
pemberian profilaksis primer INH dengan dosis 5-
10 mg/kgBB/hari selama 1 bulan kemudian dilaku-

kan uji tuberkulin untuk mengetahui apakah pasien


telah terinfeksi.4,5,9,15 Apabila setelah 1 bulan uji
tuberkulin positif maka diagnosis TB dapat ditegak-
kan dan diberikan terapi TB selama 6 bulan disertai
pemeriksaan foto toraks dan bilas lambung.9,15
Namun bila setelah 1 bulan uji tuberkulin negatif

maka pemberian profilaksis primer INH diteruskan


sampai 3 bulan kemudian dilakukan uji tuberkulin
untuk mengetahui apakah pasien telah terinfeksi. Bila
setelah 3 bulan uji tuberkulin tetap negatif dan telah
dibuktikan tidak ada sumber penularan lagi maka

profilaksis primer INH dapat dihentikan. Namun bila


positif, harus dinilai klinis dan pemeriksaan
penunjang. Bila terdapat kelainan maka didiagnosis
TB dan diberikan terapi TB selama 6 bulan.9,15
Apabila pemeriksaan tidak mendukung TB, maka

diberikan profilaksis sekunder selama 6-12 bulan.9,15


Pemberian BCG hanya dapat dilakukan apabila bayi

belum terinfeksi M.tuberculosis yaitu pada saat 3 bulan


dan uji tuberkulin negatif.4,9
Tata laksana terhadap lingkungan meliputi
lingkungan keluarga. Harus dicari adanya sumber
penularan atau keluarga lain yang tertular melalui
pemeriksaan klinis, laboratorium maupun radiologis.2,

Dharmawan BS, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Neonatus dari Ibu Hamil TB Aktif. Saripediatri.
2004: 6(2). pp 85-90

Obat Antituberkulosis selama Kehamilan


OAT yang diberikan dibagi atas 2 golongan yaitu obat lini pertama
(first line) dan obat lini kedua (second line). Yang merupakan OAT lini
pertama adalah Rifampisin, Isoniazid (INH),Etambutol (EMB), dan
Pirazinamid (PZA), sedangkan yang termasuk OAT lini kedua adalah
Streptomisin, Kanamisin, Etionamid, Kapreomisin, Fluoroquinolones,
Amoxycillin/Clavulanic Acid, Para-Aminosalicylic Acid (PAS),
Amikacin, Ethionamide and Prothionamide, serta Cycloserine.
Rifampisin merupakan obat lini pertama yang terutama bekerja pada
sel yang sedang tumbuh, tetapi juga memperlihatkan efek pada sel
yang sedang tidak aktif (resting cell). Bekerja dengan menghambat
sintesa RNA M. tuberculosis sehingga menekan proses awal
pembentukan rantai dalam sintesa RNA. Bekerja di intra dan ekstra
sel. Pada konsentrasi 0,005 -0,2 mg/l akan menghambat pertumbuhan
M. tuberculosis secara in vitro. Obat ini juga menghambat beberapa
Mycobacterium atipikal, bakteri gram negatif dan gram positif. Secara
in vitro, rifampisin dapat meningkatkan aktivitas streptomisin dan
isoniazid terhadap M. tuberculosis dan juga mempunyai
mekanisme post antibiotic effect terhadap bakteri gram negatif. 16
Diabsorpsi dengan baik melalui saluran cerna, absorpsi rifampisin
dapat berkurang bila diberikan bersama makanan. Absorpsi
rifampisin akan berkurang 30% jika diberikan bersama dengan
antasida. Pemberian antasida akan meningkatkan PH lambung dan
akan mengurangi proses dissolution rifampisin sehingga akan
menghambat absorpsi. Rifampisin dengan mudah didistribusikan ke
sebagian besar organ, jaringan, tulang, cairan serebrospinal dan
cairan tubuh lainnya termasuk eksudat serta kavitas tuberkulosis paru.
Obat ini menimbulkan warna orange sampai merah bata pada urin,
saliva, feses, sputum, air mata dan keringat. Volume distribusi 1 L/kg
BB, ikatan protein plasma 60-80%, waktu paruh 1-6 jam dan akan
memanjang bila terdapat gangguan fungsi hepar. Metabolisme terjadi
melalui deasetilasi dan hidrolisis, sedangkan ekskresinya terutama
melalui empedu. Dapat melewati barier plasenta dan dapat dijumpai
konsentrasi rendah di ASI. Rifampisin melewati plasenta dengan
kadar yang sama dengan ibu. Pada akhir trismester ke-3 rasio
konsentrasi pada tali pusat dan ibu besarnya 0,12 - 0,33. 17 Efek
samping ringan dapat timbul pada pemberian rifampisin antara lain:
sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan, sindrom flu berupa
demam, menggigil, nyeri tulang dan sindrom perut berupa nyeri perut,
mual, muntah dan kadang-kadang diare. Efek samping yang berat
tetapi jarang terjadi adalah sindrom respirasi, purpura, anemia
hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Efek samping ringan sering
terjadi pada saat pemberian berkala dan dapat sembuh sendiri atau
hanya memerlukan pengobatan simtomatik. Efek samping pada
bayi baru lahir juga didapatkan hemorrhagic disease of the newborn
sehingga dianjurkan pemberian profilaksis vitamin K.I
isoniazid (INH) menghambat biosintesis asam mikolat yang
merupakan unsur penting dinding sel Mycobacterium. Menghilangkan
sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi
oleh metanol dari Mycobacterium. Hanya kuman yang peka yang
menyerap obat ke dalam selnya dan proses ini merupakan proses
aktif. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam
beberapa hari pertama pengobatan.16 INH mudah diabsorpsi pada
pemberian oral maupun parenteral. Kelarutan INH dalam lemak tinggi,
berat molekul rendah dan melalui plasenta serta mudah mencapai
janin dengan kadar hampir sama dengan ibu. Pada penelitian, setelah
pemberian INH dosis 100 mg jangka pendek sebelum kelahiran
didapatkan rasio konsentrasi tali pusat dan ibu sebesar 0,73. Kadar
puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Di hati,
INH terutama mengalami asetilasi, dan pada manusia kecepatan
metabolisme ini dipengaruhi oleh faktor genetik (asetilator
cepat/lambat) yang secara bermakna mempengaruhi kadar obat
dalam plasma dan masa paruhnya. Waktu paruh berkisar 1-3 jam.
Mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Antara 75-
95%diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya
dalam bentuk metabolit.16 Isoniazid tidak bersifat teratogenik janin,
meskipun konsentrasi yang melewati plasenta cukup besar. Efek
samping berat berupa hepatitis dapat timbul pada kurang lebih 0,5 %
penderita. Bila terjadi ikterus, hentikan pengobatan sampai ikterus
hilang. Efek samping yang ringan dapat berupa: tanda keracunan
pada saraf tepi, kesemutan, nyeri otot atau gangguan kesadaran. Efek
ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin (dengan dosis 5-10
mg per hari atau dengan vitamin B kompleks). Efek samping pada
bayi baru lahir dilaporkan adanya perdarahan (hemmorrhagic disease
of the newborn) sehingga dianjurkan pemberian profilaksis
vitamin K sebelum kelahiran.12,14,16,21
Etambutol (EMB) merupakan inhibitor arabinosyl transferases (I,II,III).
Arabinosyl transferase terlibat dalam reaksi polimerisasi
arabinoglycan, yang merupakan unsur esensial dari dinding sel
Mycobacterium. Afinitas terhadap arabinosyl transferase III lebih kuat
dibandingkan lainnya. Arabinosyl transferase digunakan untuk
menjadikan EMB-CAB operon. Hal ini menyebabkan metabolisme sel
terhambat dan sel mati. Gangguan sintesis arabinoglycan
mengubah barier sel, lipofilik meningkatkan aktivitas obat yang
bersifat seperti rifampisin dan ofloksasin. Dinding sel Mycobacterium
spp sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
organisme di penjamu. Dinding sel Mycobacterium terdiri dari mycolic
acid,arabinoglycan dan peptidoglycan. Dinding sel merupakan lapisan
lipid bilayer dan asimetris.19,31 Hampir semua galur M. tuberculosis dan
M. kansasii sensitif terhadap etambutol. Etambutol tidak efektif untuk
kuman lain. Etambutol pada konsentrasi 1-5 ìg/ml akan menghambat
pertumbuhan M.tuberculosis secara in vitro. Etambutol ini tetap
menekan pertumbuhan M.tuberculosis yang telah resisten terhadap
isoniazid dan streptomisin. Etambutol dosis 15mg/kg BB ini hanya
aktif terhadap sel yang bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik,
sedangkan pada dosis 25 mg/kg BB bersifat bakterisidal. Penggunaan
etambutol tunggal, ditemukan sputum basil tahan asam (BTA) negatif
dalam 3 bulan, tetapi ditemukan resistensi 35% dari kasus dan
frekuensi relaps lebih tinggi. Efektivitas pada hewan coba sama
dengan isoniazid. Invivo, sukar menciptakan resistensi terhadap
etambutol dan timbulnya lambat. Resistensi bakteri terhadap
etambutol terjadi akibat mutasi embB, embA dan embC, kode untuk
arabinosyl transferase. Resistensi ini timbul bila etambutol diberikan
tunggal. Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol diserap di
saluran cerna. Makanan tidak mempengaruhi absorpsi
obat. Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah
pemberian. Dosis tunggal 25mg/kg BB menghasilkan kadar plasma
sekitar 2-5 ìg/ml dalam 2-4 jam, kurang dari 1 ìg dalam 24 jam. Masa
paruh eliminasinya 3-4 jam dan dapat memanjang sampai 8 jam pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Pirazinamid (PZA) adalah suatu prodruk, yang memerlukan konversi
enzim pirazinamidase (dihasilkan oleh mikobakterial tertentu) menjadi
bentuk aktif asam pirazinoat, masuk ke dalam sitoplasma M.
tuberculosis secara difusi pasif, mengalami konversi oleh enzim
nikotinamidase/pirazinamidase menjadi bentuk aktif asam pirazinoat
(POA).16,31 PZA lebih aktif terhadap basil tuberkel semidorman karena
sistem pompa efluks yang lemah dibandingkan dengan basil sedang
bertumbuh cepat, di mana pompa efluks lebih aktif. Peradangan akut
akan menurunkan pH akibat produksi asam laktat oleh sel-sel
inflamasi, hal ini menguntungkan aktivitas PZA. Berkurangnya
peradangan akan meningkatkan pH lingkungan basil tuberkel yang
berakibat pada peningkatan konsentrasi hambat minimal PZA. Kuman
dalam keadaan dorman tidak dapat dipengaruhi karena pada saat itu
ambilan PZA tidak terjadi. Efek bakteriostatik atau bakterisidal
terhadap M.tuberculosis tergantung dosis (konsentrasi PZA), serta
lamanya paparan terhadap makrofag yang
terinfeksi M. tuberculosis. Penggunaan PZA pada wanita hamil telah
direkomendasikan oleh International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease secara rutin, namun di Amerika dilarang karena tidak
adanya data yang adekuat mengenai efek teratogeniknya. Efek
samping utama dari penggunaan obat ini adalah hepatitis, juga dapat
terjadi nyeri sendi dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan
arthritis gout yang kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi
dan penimbunan asam urat. Pemberian intermiten dapat mengurangi
kejadian tersebut. Efek samping lain adalah anoreksia,
mual, muntah, disuri, demam dan reaksi hipersensitivitas.

Streptomisin melewati plasenta dengan cepat sampai ke sirkulasi


janin dan cairan amnion serta mencapai kadar kurang dari 50%
dibandingkan kadar ibu.8, Efek samping yang dilaporkan
dari berbagai studi pada hewan yaitu ototoksisiti. Tuli kongenital telah
dilaporkan terjadi pada bayi yang terpajan selama dalam kandungan,
walaupun tidak ada hubungan yang pasti tentang mekanisme
ototoksisiti dengan pajanan selama kehamilan.5,8 Hasil penelitian
menggunakan audiogram menunjukkan 50 anak tidak mengalami
gangguan, 2 dari 33 anak dengan kehilangan pendengaran, sampai 4
dari 13 anak dengan tes kalorifik tidak normal. Hal ini merupakan
kejadian ototoksisiti yang berasal dari pajanan selama dalam
kandungan.8 Penelitian lain menyimpulkan streptomisin dapat
menyebabkan kerusakan sistem vestibular dan kerusakan
nervus kranialis ke 8. Pada negara berkembang dianjurkan tidak
menggunakan streptomisin selama kehamilan.12, Dosis streptomisin
0,75 - 1 g/hari selama 14-21 hari selanjutnya 1g 3 kali
seminggu secara intramuscular.
Kanamisin merupakan obat lini kedua dan merupakan variasi dari
aminoglikosida, mempunyai efek samping yang sama dengan
streptomisin dan sebaiknya tidak digunakan pada
kehamilan kecuali pada MDR. Dosis yang diberikan 15 mg/kg, BB
diberikan 3-5 kali seminggu
intramuscular.,12,21,31 Etionamid mempunyai penetrasi yang baik ke
semua jaringan termasuk
cairan serebrospinal

Fluoroquinolones (Ciprofloxacin, Gatifloxacin, Moxifloxicin and


Norfloxacin) tidak
terbukti meningkatkan kejadian kelahiran abnormal dalam
penggunaannya.
Amoxycillin/clavulanic acid biasa dipakai pada kehamilan trimester
akhir sebagai
profilaksis pada wanita dengan prolonged rupture of membranes
tanpa adanya laporan yang
merugikan, akan tetapi tidak banyak laporan pada penggunaan
trimester pertama kehamilan. Amoxycillin/clavulanic acid memiliki
peran kecil pada pengobatan wanita hamil dengan MDR-
TB dan tidak cukup tersedia alternatifnya.

Etionamid dinyatakan potensial bersifat teratogenik dan sebaiknya


dihindari penggunaan
pada kehamilan kecuali jika dibutuhkan pada kasus MDR-TB. Efek
samping lainnya seperti
hepatitis, neuritis optic dan neuritis perifer. Dosis 0,5 - 1 gram/hari
dalam dosis terbagi.8,16

Kapreomisin merupakan obat lini kedua yang diberikan secara


intramuskular.
Kapreomisin secara umum merupakan kontraindikasi untuk ibu hamil,
hanya digunakan dengan
pertimbangan benar-benar terhadap risiko dan kegunaannya.
Biasanya obat ini digunakan untuk
MDR-TB 3 kali seminggu. Obat ini dilaporkan bersifat teratogenik
pada percobaan
menggunakan tikus yang hamil.

Cycloserine juga merupakan obat lini kedua untuk TBC kehamilan.


Obat ini tidak terbukti bersifat teratogenik pada percobaan
menggunakan tikus, akan tetapi tidak cukup bukti
dari studi pada manusia utnutk konfirmasi keamanan obat ini untuk
wanita hamil. Oleh karena itu harus benar-benar dipertimbangkan
penggunaannya.
Para-Aminosalicylic Acid (PAS) dilaporkan belum cukup bukti
keamanannya pada
pemakaian untuk kehamilan baik studi pada manusia maupun pada
binatang. Hanya pernah ada
satu studi dari 123 pasien yang mendapatkan PAS, melaporkan
adanya angka kejadian
abnormalitas pada anggota tubuh dan telinga yang lebih tinggi
dibandingkan OAT lain. Oleh
karena itu harus benar-benar dipertimbangkan penggunaannya.
Amikacin adalah obat yang tergolong aminoglycosides, yang mana
semua obat golongan
ini berpotensi menimbulkan nephrotoxisitas dan ototoxisitas pada
fetus dan penggunaannya tidak
direkomendasikan pada wanita hamil. Oleh karena itu penggunaan
obat ini pada kehamilan
seharusnya merupakan pilihan akhir setelah benar-benar
mempertimbangkan untung ruginya.

Pathways to Better Diagnostics for Tuberculosis; A Blueprint for Development of TB


Diagnostics, World Health Organization,Geneva, Switzerland, 2009

Anda mungkin juga menyukai