Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular tropis yang dikenal dan saat ini
merupakan penyebab kematian nomor satu di antara kondisi infeksi. 1 Tuberkulosis
(TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
tuberculosis.7
Pada umumnya anak yang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis tidak
menunjukkan penyakit tuberkulosis (TB). Satu-satunya bukti infeksi adalah uji tuberkulin
(Mantoux) positif. Risiko terinfeksi dengan kuman TB meningkat bila anak tersebut
tinggal serumah dengan pasien TB paru BTA positif
Sousa GB, Silva JC, Queiroz TV, Bravo LG, Brito GC,Pereira A, et al. Clinical and
epidemiological features of tuberculosis in children and adolescents. Rev Bras
Enferm;72(5);2019
Glaziou P, Floyd K, Raviglione MC. Global Epidemiology of Tuberculosis. Semin Respir
Crit Care Med.2018;39:271-85
WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. 2009.
EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di seluruh
dunia. Penelitian WHO yang baru-baru ini diterbitkan pada tahun 2014
menyatakan bahwa pada tahun 2013 diperkirakan ada 3,3 juta kasus
di antara wanita, dengan 510.000 kematian TB pada kehamilan.
Pada 2 penelitian yang dilakukan di UK, 53% dan 77% dari wanita
hamil dilaporkan mengalami TB ekstrapulmoner.
Tuberkulosis pada kehamilan merupakan masalah tersendiri karena selain mengenai
ibu, juga dapat mengenai bayi yang dikandung atau dilahirkannya. Keterlambatan
diagnosis TB pada neonatus sering terjadi karena keterlambatan diagnosis
TB pada ibu. Oleh karena itu riwayat perjalanan penyakit ibu hamil sangat penting
diketahui untuk mencegah keterlambatan diagnosis. Sebagian besar TB pada
kehamilan sering kali tanpa gejala yang khas,maka sekitar 30% ibu terdiagnosis TB
setelah bayi yang dilahirkan di ketahui menderita TB kongenital.
Seperti dikutip dari Suwondo dkk, Good menyebutkan gejala klinis TB pada
kehamilan berupa batuk (74%), penurunan berat badan (41%), demam (30%), nafsu
makan menurun (30%) dan hemoptisis (19%). Infeksi TB perinatal dapat terjadi
secara kongenital (pranatal), pada saat persalinan (natal) maupun transmisi pasca
natal. Pada tipe kongenital, transmisi terjadi karena penyebaran hematogen melalui
vena umbilikalis atau aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Pada tipe natal transmisi
dari ibu selama proses persalinan dan pasca natal oleh ibu atau orang dewasa lain
secara infeksi droplet. Untuk menegakkan diagnosis TB kongenital, bayi
harus terbukti diagnosis TB dan memenuhi salah satu dari kriteria Beitzke yang telah
di revisi yaitu
(1) lesi pada minggu pertama kehidupan, (2) komplek
primer hati atau granuloma hati kaseosa, (3) infeksi TB
pada plasenta atau pada infeksi traktus genitalia, (4)
kemungkinan transmisi pasca natal telah disingkirkan.
Kejadian TB kongenital sangat jarang. Di seluruh
dunia sejak tahun 1935 tercatat 329 kasus TB
kongenital.6,12 Abughali dkk8 melaporkan dari tahun
1980 sampai 1994 hanya terdapat 58 kasus TB
kongenital. di Departemen IKA
FKUI RSCM dilaporkan oleh. Rahajoe N, 26 (16,4%) dari 171 kasus TB
dengan biakan positif adalah anak di bawah usia 1
tahun dengan usia termuda adalah 4 minggu. Hal ini
menunjukkan bahwa sumber penularan yang paling
mungkin adalah ibu.
Dharmawan BS, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Neonatus dari Ibu Hamil TB Aktif. Saripediatri.
2004: 6(2). pp 85-90
PATOGENESIS
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik
renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat mencapai
alveolus.. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kec il kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer
Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan
sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam
alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity,
CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis
dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di
jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam
kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah
lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan
paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan
hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism).
Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan
nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan
obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi
darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,
dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru
saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima
tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di
dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan
dengan acute generalized hematogenic sp
Dharmawan BS, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Neonatus dari Ibu Hamil TB Aktif. Saripediatri.
2004: 6(2). pp 85-90
TB Primer
TB primer merupakan sindrom yang disebabkan oleh infeksi M. tuberculosis pada pasien
nonsensitif yaitu mereka yang belum pernah terinfeksi. Terdapat respon radang ringan pada
tempat infeksi (subpleura pada bagian tengah paru, dalam faring, atau di ileum terminal), diikuti
penyebaran ke kelenjar getah bening regional (hilus, servikal dan mesenterika). Satu atau dua
minggu setelah infeksi, dengan onset sensitivitas tuberkulin, terjadi perubahan reaksi jaringan
baik pada fokus dan pada kelenjar getah bening, menjadi bentuk granuloma kaseosa yang khas.
Kombinasi fokus dan keterlibatan kelenjar getah bening regional disebut kompleks primer.8
Kompleks ini mengalami penyembuhan dengan fibrosis, dan seringkali timbul kalsifikasi
tanpa pemberian terapi. Kelenjar getah bening yang membesar bisa tampak jelas di leher atau
menyebabkan obstruksi bronkus yang mengakibatkan kolaps. Penyebaran organ secara
hilus dan 10% diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang dormant.
Kuman ini juga tertelan bersama sputum dan ludah dan menyebar ke usus.
d. Secara limfogen.
2.4.2 TB Sekunder
orang yang pernah terinfeksi dan pasien sensitif terhadap tuberkulin. TB sekunder akan muncul
bertahun-tahun setelah tuberkulosis primer. TB sekunder terjadi karena imunitas menurun seperti
malnutrisi, konsumsi alkohol, penyakit keganasan, diabetes, AIDS dan gagal ginjal.2,9
TB sekunder ini dimulai dari sarang dini yang berlokasi di regio atas paru. Invasi ke
daerah parenkim paru dan tidak ke nodus hiler paru. Dalam 3-10 minggu sarang ini menjadi
tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel histiosit dan sel Datia-Langhans yang
Sarang dini pada TB sekunder ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut:2
1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan serbukan
jaringan fibrosis. Kemudian akan terjadi pengapuran dan akan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali dengan membentuk jaringan
3. Sarang tersebut meluas, membentuk jaringan keju. Kavitas akan muncul dengan
5. Menyebar melalui darah dan menyebabkan TB milier pada hati, limfa, paru, tulang dan
meningen.
Cunningham et al. Penyakit Paru. Dalam: Obstetri Williams. Jakarta: EGC, 2000. 1387-1389
Bahar A, Amin Z. Tuberkulosis paru. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 2. Jakarta:
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2007. 988-993
GEJALA KLINIS
Manifestasi klinis TB kongenital dapat timbul segera setelah lahir namun paling sering
pada minggu kedua dan ketiga kehidupan.M.tuberculosis kurang dapat berkembang pada
lingkungan intra uterin dengan kadar oksigen yang rendah. Dengan bertambahnya usia bayi
setelah lahir, kadar oksigen pun meningkat mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang cepat.
Gejala klinis TB kongenital sulit dibedakan dengan sepsis bakterial pada umumnya.
Oleh sebab itu sering terjadi keterlambatan diagnosis dan pada akhirnya menyebabkan
kematian. Gejala yang paling sering ditemukan adalah distres pernapasan,
hepatosplenomegali dan demam. Gejala lain seperti prematuritas, berat lahir rendah, toleransi
minum yang buruk, letargi, kejang, ikterus, limfadenopati, lesi kulit, dan cairan pada telinga
juga dilaporkan. Tuberkulosis yang didapat pasca natal memiliki gejala yang sama dengan TB
pada anak, seperti berat badan turun tanpa sebab, gagal tumbuh, demam lama dan berulang,
pembesaran kelenjar getah bening multipel, batuk lama, atau diare persisten
Loto OM, Awowole I. Tuberculosis in Pregnancy: A Review. Journal of Pregnancy.
2012;2012:1–7.
Pemeriksaan penunjang
Uji tuberkulin pada neonatus sering negatif karena
penyakit berat atau sistem imun neonatus yang masih
imatur. Pemeriksaan bakteri tahan asam (BTA) dan
Dharmawan BS, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Neonatus dari Ibu Hamil TB Aktif. Saripediatri.
2004: 6(2). pp 85-90
2.1.4.2 Skoring TB
Beberapa negara menggunakan sistem penilaian untuk mendiagnosis TB
pada anak-anak. Namun, sistem ini jarang dievaluasi atau divalidasi sebagai
"standar emas" ketika mereka telah dievaluasi, skoring ini memiliki kinerja
yang buruk dan beragam. System skoring ini berkinerja sangat buruk pada
anak-anak yang diduga TB paru (bentuk paling umum) dan pada anak-anak
yang juga HIV-positif. Oleh karena itu, pada saat ini, WHO tidak dapat
memberikan rekomendasi mengenai penggunaan sistem penilaian untuk
mendiagnosis TB.10
Kemenkes RI. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak. 2016
WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. 2009.
World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on the
management of tuberculosis in children. 2nd ed. 2014
Gambar 3. Penilaian system skoring TB.4
Parameter system skoring:4
1. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti tertulis
hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh dari TB
01 atau dari hasil laboratorium
2. Penentuan status gizi:
a. Berat badan dan Panjang/tinggi badan dinilai saat pasien dating
b. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. penentuan status gizi
untuk anak usia 6 tahun merujuk pada buku KIA kemenkes 2016,
sedangkan anak usia > 6 tahun merujuk pada standar WHO 2005 yaitu
grafik iMT/U.
c. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama
1-2 bulan
Pasien dengan jumlah skor 6 (sama atau lebih dari 6), harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat pengobata dengan obat anti tuberculosis. Bila skor kurang
dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan
pemeriksaan diagnostic lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi
anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-scan dan
lainnya.8
TATALAKSANA
Setelah diagnosis dikonfirmasikan,
rekomendasi WHO untuk pengobatan
tuberkulosis pada wanita hamil adalah sama
seperti untuk wanita yang tidak hamil, bahkan
untuk HIV positif menggunakan terapi
antiretroviral (ART). Wanita hamil dengan TB
aktif biasanya diterapi dengan tidak
mempertimbangkan trisemester kehamilan.
OAT yang digunakan tidak berbeda dengan
wanita yang tidak hamil seperti isoniazid,
rifampisin, etambutol juga digunakan secara
luas pada wanita hamil. Obat-obat tersebut
dapat melalui plasenta dalam dosis rendah
dan tidak menimbulkan efek teratogenik pad a
janin.
Streptomisin adalah satu-satunya obat
yang telah terbukti memiliki efek ototoksik,
yang menyebabkan tuli sensorineural pada
bayi, sehingga tidak boleh diberikan p ad a i b u
hamil dengan tuberkulosis. Terdapat satu
laporan ethionamide ditemukan menyebabkan efek teratogenik, sedangkan
Yusuf A, Indah MS. Penatalaksanaan Kehamilan Dengan TB Paru. J Agromedicine Unila. 2018 : 5 (2). pp 622-626
Bila pada neonatus terdapat gejala TB maka
diagnosisnya adalah TB perinatal dan terapi TB
langsung diberikan. Terapi yang dianjurkan adalah
Dharmawan BS, et al. Diagnosis dan Tatalaksana Neonatus dari Ibu Hamil TB Aktif. Saripediatri.
2004: 6(2). pp 85-90