Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

TB PARU

Disusun Oleh :
Muhammad Akbar Ramadhan Munandar
1102018015 (NPM Akademik)
4112022055 (NPM Profesi)

Dibimbing Oleh :
dr. Elsye Souvriyanti, SpA, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 08 AGUSTUS 2022 - 15 OKTOBER 2022
Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. TB menyebar melalui udara dalam bentuk droplet
nuclei. Dapat mengenai hampir semua organ tubuh, dengan lokasi terbanyak di
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Pertama kali pada tahun
2012, WHO melaporkan sekitar 500.000 kasus TB di antara anak-anak di bawah
usia 15 tahun. Pada tahun 2017, kasus TB anak mencapai sekitar 10% dari seluruh
pasien TB di seluruh dunia.
Penyakit TB paru merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan
Mycobacterium tuberculosis, yang ditularkan melalui droplet, saat penderita TB b
atuk atau bersin, meludah dan berbicara. Satu orang bisa menyebarkan bakteri TB
ke 10-15 orang dalam satu tahun. Basil ini dapat menetap di udara bebas selama
1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultra violet, kondisi ventilasi dan kele
mbaban. Dalam keadaan lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai
berbulan-bulan. Dengan meningkatnya kejadian TB paru pada orang dewasa, mak
a jumlah anak yang terinfeksi TBC juga akan meningkat. Pada anak-anak, Mycob
acterium tuberculosis paling sering mempengaruhi paru-paru.

Epidemiologi

Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga


mengenai organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada arıak usia 0-14
tahun. Di negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15
tahun adalah 40- 50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar
500.000 anak di dunia menderita TB setiap tahun.
Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB di Indonesia pada
tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011; 8,2% pada
tahun 2012; 7,9% pada tahun 2013; 7, 16% pada tahun 2014, dan 9% di tahun
2015. Proporsi tersebut bervariasi antar provinsi, dari 4 ,2 % sampai 17,3%.
Variasi proporsi ini mungkin menunjukkan endemisitas yang berbeda antara
provinsi, tetapi bisa juga karena pcrbcdaan kualitas diagnosis TB anak pada

2
level provinsi.
Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan TB pada
umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan dan daya tahan
tubuh. Pasien TB dengan BTA positif rnemberikan kemungkinan risiko
penulararı lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif. Pasien TB
dcngan BTA negatif masih mcmiliki kcmungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengarı
hasil kultur negatif dari foto toraks positif adalah 17%.

Etiologi

Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit


tuberkulosis pada manusia, berupa basil tidak membentuk spora, tidak
bergerak, panjang 2-4 nm. Obligat aerob yang tumbuh dalam media kultur
Loweinstein-Jensen, tumbuh baik pada suhu 37-410C, dinding sel yang kaya
lemak menyebabkan tahan terhadap efek bakterisidal antibodi dan komplemen,
tumbuh lambat dengan waktu generasi 12-24 jam

Klasifikasi
1. TB Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam:
a. TB Paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
(+).
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan foto rontgen dada me
nunjukan gambaran TB aktif
 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan biakan kuman TB (+)
 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya (+) setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA (-) dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT

3
b. TB Paru BTA (-)
 Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-)
 Foto rontgen dada menunjukan gambaran TB aktif
 Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi
pasien dengan HIV (-).
 Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

2. TB Ekstra Paru
TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persend
ian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Patogenesis
Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman T
B dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5um) akan t
erhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus kuman TB dapat dihan
curkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik sehingga tidak terjad
i respons imunologis spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus lainnya tidak selur
uhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihan
curkan. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag dan akhirnya menyebabkan lisis makro
fag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut yang dinamakan f
okus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuj
u kelenjar limfe regional yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lo
kasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran li
mfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus pr
imer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah

4
kelenjar limfe parahilus (perihiler) sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus prime
r, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya k
ompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda d
engan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain yaitu waktu yang diperlu
kan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB
bervariasi selama 2-12 minggu biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama
masa inkubasi tersebut kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.
Pada saat terbentuknya kompleks primer TB primer dinyatakan telah terja
di. Setelah terjadi kompleks primer imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein y
aitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pad
a sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik pada saat siste
m imun seluler berkembang proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sejumlah
kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimus
nahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity).
Setelah imunitas seluler terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi set
elah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesem
purna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap se
lama bertahun-tahun dalam kelenjar ini tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian

5
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan ron
gga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pad
a awal infeksi akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga br
onkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-v
alve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan ero
si dinding bronkus sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fist
ula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga me
nyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjad
i penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen kuman menye
bar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menye
bar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung y
aitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adan
ya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk pe
nyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini ku
man TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menim
bulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di selur
uh tubuh bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik paling sering di
apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya kuma
n di sarang tersebut tetap hidup tetapi tidak aktif (tenang). demikian pula dengan

6
proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon yang di k
emudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, seju
mlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubu
h. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara ak
ut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuber
kulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dal
am mengatasi infeksi TB misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama
di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic sprea
d. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pe
cah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan mas
uk dan beredar di dalam darah. Secara klinis sakit TB akibat penyebaran tipe ini ti
dak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.

7
Manifestasi Klinis

TB anak merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik atau s
esuai organ terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas karena gejala serupa ju
ga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB. Gejala sistemik TB pada a
nak :

●Batuk lama atau persisten ≥2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak


pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan penyebab lain
batuk telah disingkirkan.
●Demam lama (≥2 minggu) dan / atau berulang tanpa sebab yang jelas (buk
an demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam um
umnya tidak tinggi (subfebris) dan dapat disertai keringat malam.

●Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).

● Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi
gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan
gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.

● Lesu atau malaise dan anak kurang aktif bermain.

● Keringat malam dapat terjadi namun keringat malam saja apabila tidak d
isertai dengan gejala-gejala sistemik atau umum lain bukan merupakan g
ejala spesifik TB pada anak

Cara Diagnosis

Diagnosis pasti TB adalah dengan menemukan kuman penyebab TB


yaitu M. tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Rekomendasi pendekatan
diagnosis TB pada anak:

8
1. Anamnesis (riwayat kontak erat dengan pasien TB dan gejala klinis sesuai
TB)

2. Pemeriksaan fisis (termasuk analisis tumbuh-kembang anak)

3. Uji tuberkulin

4. Konfirmasi bakteriologis, upayakan semaksimal mungkin

5. Pemeriksaan penunjang lain yang relevan (foto toraks toraks, pungsi


lumbal, biopsi dan yang lainnya sesuai lokasi organ yang terkena)
6. Skrining HIV pada kasus dengan kecurigaan HIV

Pemeriksaan bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk


menentukan diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan
sputum pada anak tertutama dilakukan pada anak berusia lebih ari 5 tahun,
HIV positif dan gambaran kelainan paru luas. Namun demikian, karena
kesulitan pengambilan sputum pada anak sifat pausinasiler pada TB anak,
pemeriksaan bakteriologis selama ini tidak dilakukan secara rutin pada
anak yang dicurigai sakit TB. Dengan semakin meningkatnya kasus TB
resisten obat dan TB HIV, saat ini pemeriksaan bakteriologis pada anak
merupakan pemeriksaan yang seharusnya dilakukan, terutama difasilitas
pelayanan kesehatan yang mempunyai fasilitas pengambilan sputum dan
pemeriksaan bakteriologis.
Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB :

 Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain (cairan


tubuh atau jaringan biopsy) : dilakukan minimal 2x (sewaktu dan pagi
hari)
 Tes cepat molekuler (TCM) TB
 Pemeriksaan biakan

9
Pemeriksaan Penunjang

Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu


menegakan diagnosis TB pada anak:
a. Uji tuberkulin
1. Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB
pada anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak
jelas. Uji tuberkulin tidak bisa membedakan antara infeksi dan sakit
TB. Hasil positif uji tuberkulin menunjukkan adanya infeksi dan tidak
menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya, hasil negatif uji
tuberkulin belum tentu menyingkirkan diagnosis TB.
2. Pemeriksaan lain untuk rnengetahui adanya infeksi TB adalah dengan
linunoglobulin Release Assay (IGRA). IGRA tidak dapat
membedakan aritara infeksi TB laten dengan TB aktif.
Penggunaannya untuk deteksi infeksi TB tidak lebih unggul
dibandingkan uji tuberkulin. Program nasional belum
merekomendasikan pcnggunaan IGRA di lapangan.
3. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitiitas
terhadap antigen TB (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara
tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke
dalam tubuh anak, artinya anak sudah terinfeksi TB. Anak yang
terinfeksi TB (hasil uji tuberkulin positif) belum tentu sakit TB karena
tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup
untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik
maka secara klinis anak (pasien) akan tampak sehat. Keadaan ini
disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya tahan tubuh
anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan
menjadi sakit TB serta menunjukkan gejala klinis dan radiologis.
 Uji tuberkulin positif TANPA ada gejala umum dan/ atau
spesifik dan radiologi : INFEKSI TB (TB Laten)
 Uji tuberkulin positif DITAMBAH gejala umum dan/ atau
spesifik serta radiologi : SAKIT TB

10
b. Foto Thorax
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas
kecuali gambaran TB milier. Secara umum gambaran radiologis yang men
unjang TB adalah sebagai berikut :
● Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan tanpa infiltrat,
visualisasinya selain dengan foto toraks AP harus disertai foto toraks l
ateral.
● Konsolidasi segmental atau lobar
● Efusi pleura
● Milier
● Atelectasis
● Kavitas
● Klasifikasi dengan infiltrate
● Tuberkuloma

c. Histopatologi (Patologi Anatomi)


Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan
nekrosis perkijuan di tengahnya dari dapat pula ditemukan gambaran sel
datia langhans dan atau kuman TB

Alur Diagnosis TB pada Anak

Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada


4 hal, yaitu:

1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak
erat dengan pasien TB)
4. Gambaran foto toraks sugestif TB.

11
Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu
menegakkan diagnosis TB pada anak. Sistem skoring ini membantu tenaga
kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga mengurangi terjadinya
underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. Sistem skoring ini diharapkan
dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, tetapi tidak semua
fasilitas pelayanan kesehatan primer di Indonesia mempunyai sarana untuk
melakukan uji tuberkulin dan foto toraks yang merupakan parameter pada
sistem skoring. Oleh karena itu pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan
fasilitas terbatas atau dengan akses yang sulit untuk pemeriksaan uji
tuberkulin dan foto toraks, diagnosis TB pada anak dapat ditegakkan tanpa
menggunakan sistem skoring seperti pada alur diagnosis TB anak.
Alur diagnosis TB ini digunakan nutuk penegakan diagnosis TB pada anak
yang bergejala TB, baik dengan maupun tanpa kontak TB. Pada anak yang
tidak bergejala tetapi kontak dengan pasien TB dewasa, pendekatan tata
laksananya menggunakan alur investigasi kontak. Jadi, pintu masuk alur ini
adalah anak dengan gejala TB. Pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan
sarana yang lengkap, semua pemeriksaan pcnunjang scharusnya dilakukan,
tcrmasuk pcmcriksaan sputum.
Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan
pemeriksaan sputum:

1. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM, sesuai dengan


fasilitas yang tersedia) positif, anak didiagnosis TB dan diberikan
OAT.
2. Jika hasil pemeriksaan mikrobiologi (BTA/TCM) negatif atau
spesimen tidak dapat diambil, lakukan pemeriksaan uji tuberkulin dan
foto toraks maka:
a. Jika tidak ada fasilitas atau tidak ada akses untuk uji tuberkulin dan
foto toraks :
1) Jika anak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB menular, anak
dapat didiagnosis TB dan diberikan OAT.

12
2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama 2- 4
minggu. Bila pada follow up gejala menetap, rujuk anak untuk
pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks.

b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung
skor total menggunakan sistem skoring:
1) Jika skor total > = 6 diagnosis TB dan obati dengan OAT

2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada
kontak erat diagnosis TB dan obati dengan OAT
3) Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada
kontak erat
 observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang
kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke faislitas pelayanan kesehatan
yang lebih tinggi

Catatan penggunaan alur diagnosis TB anak:

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk


ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau
kavitas
2. Gibbus, koksitis

3. Tanda bahaya

4. Kejang, kaku kuduk

5. Penurunan kesadaran

6. Kegawatan lain, misal sesak napas

13
Penjelasan :
1. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau TCM) tetap
merupakan pemeriksaarı utama nutuk konfirmasi diagnosis TB
pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan nutuk memperoleh
spesimen dahak, di antaranya induksi sputum. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan 2 hali, dan dinyatakan positif jika satu
spesimen diperiksa memberikan hasil positif.

2. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak


bergejala namun tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB.

14
Jika gejala menetap, maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih
lengkap. Pada korıdisi tertentu dimana rujukan tidak
memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk
menentukan diagnosis TB anak.

3. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah


ataupun kontak erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat
bermain, dari sebagainya.

4. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan


perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya
kcmungkina.n faktor pcnyebab lain misalnya kcsalahan diagnosis,
adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan obat maupun
masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas
tidak rnemungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud
dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang
ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.

15
Sistem Skoring TB Anak

Parameter sistem skoring :

1. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
diperoleh dari TB atau dari hasil lab
2. Penentuan status gizi :
Berat badan dan Panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
a. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U.
Penentuan status gizi untuk anak usia < 6 tahun merujuk
pada buku KIA Kemenkes 2016, sedangkan untuk anak
usia > 6 tahun merujuk pada standar WHO 2005 yaitu
grafik IMT/U
b. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan

16
dievaluasi selama 1-2 bulan

Tatalaksana

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri atas terapi dan profilaksis.


Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan pengobatan
pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB
(Profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (Profilaksis
sekunder). Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan
tujuan pemberian OAT sebagai berikut :
1. Menyembuhkan pasien TB
2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah terjadinya dan transimis resistensi obat
5. Menurunkan transmisi TB
6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungk
in
7. Mencegah reservasi sumber infeksi dimasa yg akan datang

Beberapa hal yang penting dalam tatalaksana TB Anak adalah


1. Obat TB diberikan dalam panduan obat, tidak boleh diberikan sebagai m
onoterapi
2. Pengobatan diberikan setiap hari
3. Pemberian gizi yang adekuat
4. Mencari penyakit penyerta, jika ada di tatalaksana secara bersamaan

Obat yang digunakan pada TB Anak :


1. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit
sehingga di rekomendasikan pemberian 4 macam OAT. Pada fase
intensif hanya diberikan kepada anak dengan BTA positif, TB berat dan
TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negative

17
menggunakan panduan Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid pada
fase inisial (2 bulan pertama) diikuti Isoniazid dan Rifampisin pada
4 bulan fase lanjutan.

Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)


Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan
minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu
paket dibuat untuk satu pasien untuk masa pengobatan. Paket KDT untuk anak
berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin 75mg, INH (H) 50 mg dan

18
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket. Dosis yang di anjurkan dapat dilihat pada tabel berikut :

1. Kortikosteroid, diberikan pada kondisi :


a. TB meningitis
b. Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar
c. Pericarditis TB
d. TB milier dengan gangguan napas yang berat
e. Efusi pleura TB
f. TB abdomen dengan asites

19
Obat yang sering digunakan adalah prednision dengan dosis 2 mg/kg/ h
ari sampai 4 mg/kg/ hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60
mg/hari selama 4 minggu. Tappering off dilakukan secara bertahadap setel
ah 2 minggu pemberian kecuali pada TB meningitis pemberian selama 4 m
inggu sebelum tappering off.

2. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, teruta
ma pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapat
kan ARV . suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada
HIV positif dan malnutrisi berat

Tatalaksana TB Laten
Pengobatan TB laten tidak diberikan kepada semua orang dengan ha
sil pemeriksaan TB laten positif. Penentuan pengobatan individu dengan T
B laten tergantung kebijakan masing-masing negara, dipengaruhi oleh epid

20
emi TB dan kemampuan negara tersebut. WHO merekomendasikan pengo
batan TB Laten di negara berpendapatan rendah atau sedang atau sumber d
aya terbatas pada anak usia dibawah 5 tahun yang kontak dengan pasien T
B dan pasien HIV. Pengobatan diberikan setelah dilakukan evaluasi klinik
dengan cermat dan tidak ditemukan TB aktif.
Beberapa pilihan pengobatan yang direkomendasikan untuk pengoba
tan TB laten pada kelompok berisiko tinggi menjadi TB aktif yaitu:
1. Isoniazid 5-10 mg/kgbb/hari selama 6 bulan
2. Isoniazid selama 9 bulan
3. Isoniazid dan Rifapentine (RPT) sekali seminggu selama 3 bulan
4. 3-4 bulan Isoniazid dan Rifampisin
5. 3-4 bulan Rifampisin
Pasien dengan infeksi HIV yang setelah dievaluasi dengan seksama,
tidak menderita tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberk
ulosis laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan.
Anak berusia dibawah 5 tahun dan individu semua usia dengan infek
si HIV yang memiliki kontak erat dengan pasien tuberkulosis aktif dan setel
ah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diob
ati sebagai terduga infeksi TB laten dengan isoniazid minimal selama 6 bula
n

Tuberkulosis dengan kelainan Hati


Pasien dengan pembawa virus hepatitis, riwayat hepatitis akut serta k
onsumsi alkohol yang berlebihan apabila tidak terdapat bukti penyakit hati kr
onik dan fungsi hati normal dapat mengkonsumsi OAT standar. Reaksi hepat
otoksik lebih sering terjadi sehingga perlu diantisipasi lebih lanjut.
Pada pasien hepatitis akut dan atau klinis ikterik, OAT ditunda samp
ai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat diperluka
n dapat diberikan Streptomisin dan Etambutol maksimal 3 bulan. Alternatif la
in adalah dengan memberikan paduan OAT standar setelah kelainan hepar ak
utnya mengalami penyembuhan, sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru.

21
Pada pasien dengan penyakit hati kronik lanjut pemeriksaan fungsi h
ati harus dilakukan sebelum pengobatan dimulai dan secara berkala selama pe
ngobatan. Apabila kadar SGPT >3x normal sebelum terapi dimulai maka pad
uan obat berikut ini perlu dipertimbangkan.
Paduan obat yang dapat diberikan adalah dapat mengandung 2 obat h
epatotoksik, 1 obat hepatotoksik atau tanpa obat hepatotoksik :
1. Dua obat hepatotoksik
a. 9 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol (9 RHE)
b. 2 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol + streptomisin diikuti 6 bula
n isoniazid + rifampisin (2 HRES/6HR)
c. 6-9 bulan rifampisin + pirazinamid + etambutol (6-9 RZE)
2. Satu obat hepatotoksik
2 bulan isoniazid, etambutol, streptomisin diikuti 10 bulan isoniaz
id+etambutol (2SHE/10HE)
3. Tanpa obat hepatotoksik
18-24 bulan streptomisin, etambutol, fluorokuinolon (18 – 24 SE
Q) Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati se
belum pengobatan. Pada penderita kelainan hati kronik pyrazinamid tidak
diberikan.

Panduan OAT yang direkomendasikan WHO :

2RHES/6 RH atau 2HES/10 HE

Komplikasi
a. Hepatotoksisitas
1. Umumnya terjadi pada fase intensif.
2. Umumnya muncul pada kombinasi pemberian OAT dengan obat lain yang
bersifat hepatotoksik (misalnya parasetamol, fenobarbital, dan asam valproat).

22
3. Pada kasus yang dicurigai adanya gangguan fungsi hepar, dilakukan pemer
iksaan serum transaminase pada awal pemberian OAT dan dipantau setiap
dua minggu selama fase intensif.
4. Jika terjadi ikterus OAT dihentikan.
5. Pemberian OAT dimulai kembali dengan dosis rendah jika ikterus sudah hi
lang dan kadar transaminase
b. Efusi Pleura/pleuritis eksudativa
c. Emfisema
d. TB Milier

Pencegahan

Untuk mencegah tuberkulosis, digunakan vaksin BCG di seluruh dunia.


Namun, catatan terakhir penggunaan vaksin BCG tidak direkomendasikan
untuk bayi. Selain penggunaan BCG diharapkan untuk melakukan konsultasi
dengan ahli paru yang ada.
Program-program kesehatan masyarakat sengaja dirancang untuk deteksi d
ini dan pengobatan kasus dan sumber infeksi secara dini. Menurut hukum, semua
orang dengan TB tingkat 3 atau tingkat 5 harus dilaporkan ke departemen keseh
atan. Tujuan mendeteksi dini seseorang dengan infeksi TB adalah untuk mengiden
tifikasikan siapa saja yang akan memperoleh keuntungan dari terapi pencegahan u
ntuk menghentikan perkembangan TB yang aktif secara klinis. Program pencegah
an ini memberikan keuntungan tidak saja untuk seseorang yang telah terinfeksi na
mun juga untuk masyarakat pada umumnya. Karena itu, penduduk yang sangat be
risiko terkena TB harus dapat diidentifikasi dan prioritas untuk menentukan progr
am terapi obat harus menjelaskan risiko versus manfaat terapi.
Eradikasi TB meliputi penggabungan kemoterapi yang efektif, identifikasi
kontak dan kasus serta tindak lanjut yang tepat, penanganan orang yang terpajan p
ada pasien dengan TB infeksius, dan terapi kemoprofilaktik pada kelompok-kelo
mpok populasi yang berisiko tinggi.

Prognosis

23
Prognosis penderita TB umumnya baik kecuali penderita yang telah meng
alami relaps (kekambuhan) atau diikuti oleh penyakit penyerta lainnya

24
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI. (2020). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran


Tatalaksana Tuberkulosis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Febrian, M. A. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian TB Paru
anak di wilayah Puskesmas Garuda Kota Bandung. Jurnal Keperawatan BSI, 3
(2).
Indonesia Kementerian Kesehatan RI. (2016). Petunjuk Teknis Manajemen dan
Tatalaksana TB Anak. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. ISBN 978-602-
416-079-1
Maphalle, L.N.F.; Michniak-Kohn, B.B.; Ogunrombi, M.O.; Adeleke, O.A.
Pediatric Tuberculosis Management: A Global Challenge or Breakthrough?
Children 2022, 9, 1120. https://doi.org/10.3390/ children9081120.
Thomas TA. Tuberculosis in Children. Pediatr Clin North Am. 2017
Aug;64(4):893-909. doi: 10.1016/j.pcl.2017.03.010. PMID: 28734517;
PMCID: PMC5555046
Mudiyono, M., Wahyuningsih, N. E., & Adi, M. S. (2016). Hubungan Antara Peri
laku Ibu dan Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Tuberkulosis Paru Ana
k di Kota Pekalongan. Jurnal kesehatan lingkungan Indonesia, 14(2), 45-50.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Petunjuk
Teknis Manajemen TB Anak, Jakarta : Kementerian Kesehatan RI; 2013.
Nastiti N.R., Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi A
nak. Jakarta : Badan Penerbit IDAI.
Mardjanis S., I. Budiman. Imunisasi BCG pada Anak. Dalam : Nastiti N.R., Bamb
ang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta : Ba
dan Penerbit IDAI; 2008. Hal 252-258.
Rahajoe, N. N., Nawas, A., Setyanto, D. B., Kaswandani, N., Triasih, R., & Inda
wati, W. (2016). Buku petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB anak [N
ational guideline on the management of tuberculosis in children]. Jakarta: Min
istry of Health of the Republic of Indonesia.

25
26

Anda mungkin juga menyukai