TB PARU
Disusun Oleh :
Muhammad Akbar Ramadhan Munandar
1102018015 (NPM Akademik)
4112022055 (NPM Profesi)
Dibimbing Oleh :
dr. Elsye Souvriyanti, SpA, M.Kes
Epidemiologi
2
level provinsi.
Faktor risiko penularan TB pada anak sama halnya dengan TB pada
umumnya, tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan dan daya tahan
tubuh. Pasien TB dengan BTA positif rnemberikan kemungkinan risiko
penulararı lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif. Pasien TB
dcngan BTA negatif masih mcmiliki kcmungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengarı
hasil kultur negatif dari foto toraks positif adalah 17%.
Etiologi
Klasifikasi
1. TB Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam:
a. TB Paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
(+).
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan foto rontgen dada me
nunjukan gambaran TB aktif
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (+) dan biakan kuman TB (+)
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya (+) setelah 3 spesimen dahak
SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA (-) dan tidak ada
perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
3
b. TB Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-)
Foto rontgen dada menunjukan gambaran TB aktif
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi
pasien dengan HIV (-).
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
2. TB Ekstra Paru
TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persend
ian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Patogenesis
Paru merupakan port d'entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman T
B dalam percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5um) akan t
erhirup dan dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus kuman TB dapat dihan
curkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik sehingga tidak terjad
i respons imunologis spesifik. Akan tetapi pada sebagian kasus lainnya tidak selur
uhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihan
curkan. Akan tetapi sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag dan akhirnya menyebabkan lisis makro
fag. Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut yang dinamakan f
okus primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuj
u kelenjar limfe regional yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lo
kasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran li
mfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus pr
imer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah
4
kelenjar limfe parahilus (perihiler) sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus prime
r, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya k
ompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda d
engan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain yaitu waktu yang diperlu
kan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB
bervariasi selama 2-12 minggu biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama
masa inkubasi tersebut kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 103-104
yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.
Pada saat terbentuknya kompleks primer TB primer dinyatakan telah terja
di. Setelah terjadi kompleks primer imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk
yang dapat diketahui dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein y
aitu uji tuberkulin positif. Selama masa inkubasi uji tuberkulin masih negatif. Pad
a sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik pada saat siste
m imun seluler berkembang proliferasi kuman TB terhenti. Akan tetapi sejumlah
kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah
terbentuk kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimus
nahkan oleh imunitas seluler spesifik (cellular mediated immunity).
Setelah imunitas seluler terbentuk fokus primer di jaringan paru biasanya
akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi set
elah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesem
purna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap se
lama bertahun-tahun dalam kelenjar ini tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan
pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian
5
tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan ron
gga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pad
a awal infeksi akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga br
onkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
menimbulkan hiperinflasi di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-v
alve mechanism). Obstruksi total dapat menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang
mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan ero
si dinding bronkus sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fist
ula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga me
nyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis yang sering disebut sebagai lesi
segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjad
i penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen kuman menye
bar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer atau berlanjut menye
bar secara limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung y
aitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adan
ya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk pe
nyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini ku
man TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menim
bulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di selur
uh tubuh bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik paling sering di
apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu dapat juga bersarang
di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada umumnya kuma
n di sarang tersebut tetap hidup tetapi tidak aktif (tenang). demikian pula dengan
6
proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon yang di k
emudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, seju
mlah besar kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubu
h. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara ak
ut, yang disebut TB diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuber
kulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dal
am mengatasi infeksi TB misalnya pada anak bawah lima tahun (balita) terutama
di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic sprea
d. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pe
cah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan mas
uk dan beredar di dalam darah. Secara klinis sakit TB akibat penyebaran tipe ini ti
dak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
7
Manifestasi Klinis
TB anak merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik atau s
esuai organ terkait. Gejala klinis TB pada anak tidak khas karena gejala serupa ju
ga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB. Gejala sistemik TB pada a
nak :
●Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
● Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi
gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan
gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.
● Keringat malam dapat terjadi namun keringat malam saja apabila tidak d
isertai dengan gejala-gejala sistemik atau umum lain bukan merupakan g
ejala spesifik TB pada anak
Cara Diagnosis
8
1. Anamnesis (riwayat kontak erat dengan pasien TB dan gejala klinis sesuai
TB)
3. Uji tuberkulin
Pemeriksaan bakteriologis
9
Pemeriksaan Penunjang
10
b. Foto Thorax
Foto toraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas
kecuali gambaran TB milier. Secara umum gambaran radiologis yang men
unjang TB adalah sebagai berikut :
● Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan tanpa infiltrat,
visualisasinya selain dengan foto toraks AP harus disertai foto toraks l
ateral.
● Konsolidasi segmental atau lobar
● Efusi pleura
● Milier
● Atelectasis
● Kavitas
● Klasifikasi dengan infiltrate
● Tuberkuloma
1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberkulin positif atau kontak
erat dengan pasien TB)
4. Gambaran foto toraks sugestif TB.
11
Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu
menegakkan diagnosis TB pada anak. Sistem skoring ini membantu tenaga
kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga mengurangi terjadinya
underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. Sistem skoring ini diharapkan
dapat diterapkan di fasilitas pelayanan kesehatan primer, tetapi tidak semua
fasilitas pelayanan kesehatan primer di Indonesia mempunyai sarana untuk
melakukan uji tuberkulin dan foto toraks yang merupakan parameter pada
sistem skoring. Oleh karena itu pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan
fasilitas terbatas atau dengan akses yang sulit untuk pemeriksaan uji
tuberkulin dan foto toraks, diagnosis TB pada anak dapat ditegakkan tanpa
menggunakan sistem skoring seperti pada alur diagnosis TB anak.
Alur diagnosis TB ini digunakan nutuk penegakan diagnosis TB pada anak
yang bergejala TB, baik dengan maupun tanpa kontak TB. Pada anak yang
tidak bergejala tetapi kontak dengan pasien TB dewasa, pendekatan tata
laksananya menggunakan alur investigasi kontak. Jadi, pintu masuk alur ini
adalah anak dengan gejala TB. Pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan
sarana yang lengkap, semua pemeriksaan pcnunjang scharusnya dilakukan,
tcrmasuk pcmcriksaan sputum.
Langkah awal pada alur diagnosis TB adalah pengambilan dan
pemeriksaan sputum:
12
2) Jika tidak ada riwayat kontak, lakukan observasi klinis selama 2- 4
minggu. Bila pada follow up gejala menetap, rujuk anak untuk
pemeriksaan uji tuberkulin dan foto toraks.
b. Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung
skor total menggunakan sistem skoring:
1) Jika skor total > = 6 diagnosis TB dan obati dengan OAT
2) Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada
kontak erat diagnosis TB dan obati dengan OAT
3) Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada
kontak erat
observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang
kemungkinan diagnosis TB atau rujuk ke faislitas pelayanan kesehatan
yang lebih tinggi
3. Tanda bahaya
5. Penurunan kesadaran
13
Penjelasan :
1. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau TCM) tetap
merupakan pemeriksaarı utama nutuk konfirmasi diagnosis TB
pada anak. Berbagai upaya dapat dilakukan nutuk memperoleh
spesimen dahak, di antaranya induksi sputum. Pemeriksaan
mikroskopis dilakukan 2 hali, dan dinyatakan positif jika satu
spesimen diperiksa memberikan hasil positif.
14
Jika gejala menetap, maka anak dirujuk untuk pemeriksaan lebih
lengkap. Pada korıdisi tertentu dimana rujukan tidak
memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk
menentukan diagnosis TB anak.
15
Sistem Skoring TB Anak
1. Kontak dengan pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa
diperoleh dari TB atau dari hasil lab
2. Penentuan status gizi :
Berat badan dan Panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
a. Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U.
Penentuan status gizi untuk anak usia < 6 tahun merujuk
pada buku KIA Kemenkes 2016, sedangkan untuk anak
usia > 6 tahun merujuk pada standar WHO 2005 yaitu
grafik IMT/U
b. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan
16
dievaluasi selama 1-2 bulan
Tatalaksana
17
menggunakan panduan Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid pada
fase inisial (2 bulan pertama) diikuti Isoniazid dan Rifampisin pada
4 bulan fase lanjutan.
18
pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket. Dosis yang di anjurkan dapat dilihat pada tabel berikut :
19
Obat yang sering digunakan adalah prednision dengan dosis 2 mg/kg/ h
ari sampai 4 mg/kg/ hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60
mg/hari selama 4 minggu. Tappering off dilakukan secara bertahadap setel
ah 2 minggu pemberian kecuali pada TB meningitis pemberian selama 4 m
inggu sebelum tappering off.
2. Piridoksin
Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, teruta
ma pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapat
kan ARV . suplementasi piridoksin (5-10 mg/hari) direkomendasikan pada
HIV positif dan malnutrisi berat
Tatalaksana TB Laten
Pengobatan TB laten tidak diberikan kepada semua orang dengan ha
sil pemeriksaan TB laten positif. Penentuan pengobatan individu dengan T
B laten tergantung kebijakan masing-masing negara, dipengaruhi oleh epid
20
emi TB dan kemampuan negara tersebut. WHO merekomendasikan pengo
batan TB Laten di negara berpendapatan rendah atau sedang atau sumber d
aya terbatas pada anak usia dibawah 5 tahun yang kontak dengan pasien T
B dan pasien HIV. Pengobatan diberikan setelah dilakukan evaluasi klinik
dengan cermat dan tidak ditemukan TB aktif.
Beberapa pilihan pengobatan yang direkomendasikan untuk pengoba
tan TB laten pada kelompok berisiko tinggi menjadi TB aktif yaitu:
1. Isoniazid 5-10 mg/kgbb/hari selama 6 bulan
2. Isoniazid selama 9 bulan
3. Isoniazid dan Rifapentine (RPT) sekali seminggu selama 3 bulan
4. 3-4 bulan Isoniazid dan Rifampisin
5. 3-4 bulan Rifampisin
Pasien dengan infeksi HIV yang setelah dievaluasi dengan seksama,
tidak menderita tuberkulosis aktif seharusnya diobati sebagai infeksi tuberk
ulosis laten dengan isoniazid selama 6-9 bulan.
Anak berusia dibawah 5 tahun dan individu semua usia dengan infek
si HIV yang memiliki kontak erat dengan pasien tuberkulosis aktif dan setel
ah dievaluasi dengan seksama, tidak menderita tuberkulosis aktif, harus diob
ati sebagai terduga infeksi TB laten dengan isoniazid minimal selama 6 bula
n
21
Pada pasien dengan penyakit hati kronik lanjut pemeriksaan fungsi h
ati harus dilakukan sebelum pengobatan dimulai dan secara berkala selama pe
ngobatan. Apabila kadar SGPT >3x normal sebelum terapi dimulai maka pad
uan obat berikut ini perlu dipertimbangkan.
Paduan obat yang dapat diberikan adalah dapat mengandung 2 obat h
epatotoksik, 1 obat hepatotoksik atau tanpa obat hepatotoksik :
1. Dua obat hepatotoksik
a. 9 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol (9 RHE)
b. 2 bulan isoniazid + rifampisin + etambutol + streptomisin diikuti 6 bula
n isoniazid + rifampisin (2 HRES/6HR)
c. 6-9 bulan rifampisin + pirazinamid + etambutol (6-9 RZE)
2. Satu obat hepatotoksik
2 bulan isoniazid, etambutol, streptomisin diikuti 10 bulan isoniaz
id+etambutol (2SHE/10HE)
3. Tanpa obat hepatotoksik
18-24 bulan streptomisin, etambutol, fluorokuinolon (18 – 24 SE
Q) Bila ada kecurigaan penyakit hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati se
belum pengobatan. Pada penderita kelainan hati kronik pyrazinamid tidak
diberikan.
Komplikasi
a. Hepatotoksisitas
1. Umumnya terjadi pada fase intensif.
2. Umumnya muncul pada kombinasi pemberian OAT dengan obat lain yang
bersifat hepatotoksik (misalnya parasetamol, fenobarbital, dan asam valproat).
22
3. Pada kasus yang dicurigai adanya gangguan fungsi hepar, dilakukan pemer
iksaan serum transaminase pada awal pemberian OAT dan dipantau setiap
dua minggu selama fase intensif.
4. Jika terjadi ikterus OAT dihentikan.
5. Pemberian OAT dimulai kembali dengan dosis rendah jika ikterus sudah hi
lang dan kadar transaminase
b. Efusi Pleura/pleuritis eksudativa
c. Emfisema
d. TB Milier
Pencegahan
Prognosis
23
Prognosis penderita TB umumnya baik kecuali penderita yang telah meng
alami relaps (kekambuhan) atau diikuti oleh penyakit penyerta lainnya
24
DAFTAR PUSTAKA
25
26