Anda di halaman 1dari 15

REFERAT

GANGGUAN BELAJAR PADA ANAK

DISUSUN OLEH :
Khadijah Asysyifaa Delavega
1102017123

Pembimbing:
DR. dr. Elsye Souvriyanti, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 26 APRIL – 30 MEI 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN YARSI

1
1.1. Latar Belakang

Kesulitan/Gangguan belajar (Learning Disorders) adalah suatu gangguan neurologis


yang mempengaruhi kemampuan untuk menerima, memproses, menganalisis atau menyimpan
informasi. Gangguan Belajar juga dapat diartikan sebagai defisit anak dan remaja di dalam
mencapai keterampilan membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran, memberikan
alasan, atau matematika yang diharapkan, dibandingkan dengan anak lain berusia sama dan
dengan kapasitas intelektual yang sama.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Gangguan Belajar

Gangguan Belajar adalah defisit anak dan remaja di dalam mencapai keterampilan
membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran, memberikan alasan, atau matematika
yang diharapkan, dibandingkan dengan anak lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual
yang sama.

2.2. Jenis-Jenis Gangguan Belajar

2.2.1. Gangguan Membaca (Dyslexia)

A. Definisi Dyslexia
Dyslexia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak adekuat, kesulitan dan
Lexis/Lexia artinya kata/bahasa. Dyslexia adalah seorang anak yang mengalami gagal
belajar membaca yang diakibatkan karena fungsi neurologis (susunan dan hubungan
saraf) tertentu, atau pusat saraf untuk membaca tidak berfungsi sebagaimana diharapkan 5.
Di dalam DSM-IV-TR, gangguan membaca didefinisikan sebagai pencapaian membaca
di bawah tingkat yang diharapkan untuk usia, pendidikan, dan intelegensi anak; hendaya
ini secara signifikan mengganggu keberhasilan akademik atau aktivitas harian yang
melibatkan membaca. Gangguan ini ditandai dengan gangguan kemampuan mengenali
kata, membaca dengan lambat dan tidak akurat, serta pemahaman yang buruk. Di
samping itu, anak dengan gangguan defisit atensi/hiperaktivitas (ADHD) memiliki risiko
tinggi gangguan membaca.

B. Epidemiologi Dyslexia

3
Suatu perkiraan sebesar 4 persen anak usia sekolah di Amerika Serikat memiliki
gangguan membaca; studi prevalensi menemukan angka yang berkisar antara 2 dan 8
persen. Anak laki-laki tiga hingga empat kali lebih banyak dibandingkan anak
perempuan, dilaporkan memiliki ketidakmampuan membaca pada sampel yang dirujuk
secara klinis. Studi epidemiologis yang teliti menemukan angka yang hampir sama antara
anak laki-laki dan perempuan yang memiliki gangguan membaca. Anak laki-laki dengan
gangguan membaca mungkin lebih sering dirujuk untuk evaluasi dibandingkan anak
perempuan karena masalah perilaku yang sering terkait.

C. Etiologi Dyslexia
Etiologi/penyebab dyslexia antara lain :

 Banyak studi menyokong hipotesis bahwa faktor genetik memainkan peran utama
pada adanya gangguan membaca. Studi menunjukkan bahwa 35 hingga 40 persen
kerabat derajat pertama anak dengan gangguan membaca juga memiliki derajat
tertentu hendaya membaca. Beberapa studi terkini mengesankan bahwa pemahaman
fonologis terkait dengan kromosom 6. Lebih jauh lagi, kemampuan identifikasi kata
tunggal terkait dengan kromosom 15.
 Insiden gangguan membaca yang lebih tinggi dari rata-rata terdapat pada anak dengan
intelegensi normal yang mengalami palsi serebral. Insiden gangguan membaca yang
sedikit meningkat terdapat di antara anak-anak yang mengalami epilepsi. Komplikasi
selama kehamilan; kesulitan pranatal dan perinatal termasuk prematuritas; dan berat
lahir rendah lazim ada di dalam riwayat anak dengan gangguan membaca. Anak
dengan lesi otak pasca lahir di lobus oksipital kiri, yang menimbulkan kebutaan lapang
pandang, dapat memiliki gangguan membaca sekunder, demikian juga anak dengan
lesi di splenium korpus kalosum yang menyekat transmisi informasi visual dari
hemisfer kanan yang intak ke area bahasa di hemisfer kiri.

D. Gambaran Klinis Dyslexia

4
Anak yang mengalami gangguan membaca biasanya dapat diidentifikasi pada usia 7
tahun (kelas 2). Kesulitan membaca dapat tampak jelas pada anak di dalam kelas saat
keterampilan membaca diharapkan diperoleh pada kelas satu. Anak kadang-kadang dapat
mengompensasi gangguan membaca pada tingkat dasar awal dengan menggunakan
memori dan kesimpulan, terutama ketika gangguan ini disertai dengan intelegensi yang
tinggi. Pada keadaan seperti ini, gangguan bisa tidak terlihat nyata sampai usia 9 tahun
(kelas 4) atau lebih. Masalah-masalah yang terkait mencakup kesulitan berbahasa, sering
ditunjukkan dengan gangguan diskriminasi bunyi dan kesulitan merangkai kata-kata
dengan sesuai.

Ciri-ciri anak yang mengalami dyslexia adalah sebagai berikut :

 Inakurasi dalam membaca seperti membaca lambat kata demi kata jika dibandingkan
dengan anak seusianya, intonasi suara turun naik tidak teratur
 Tidak dapat mengucapkan irama kata-kata secara benar dan proporsional
 Sering terbalik dalam mengenali huruf dan kata, misalnya antara “kuda” dengan
“daku”
 Ketidakteraturan terhadap kata yang hanya sedikit perbedaannya misalnya “buah” dan
“bau”
 Kesulitan dalam memahami apa yang dibaca, dalam arti anak tidak mengerti apa isi
cerita/teks yang dibacanya
 Sulit menyuarakan fonem (satuan bunyi) dan memadukannya menjadi sebuah kata
 Melakukan penambahan dalam suku kata (Addition), misalnya “batu” menjadi “baltu”
 Menghilangkan huruf dalam suku kata (Omission), misalnya “masak” menjadi “masa”
 Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik kiri kanan
(inversion/mirroring), misalnya “dadu” menjadi “babu”
 Membalikkan huruf, kata, atau angka dengan arah terbalik atas bawah (reversal),
misalnya “papa” menjadi “qaqa”
 Mengganti huruf atau angka (substitution) misalnya “lupa” menjadi “luga” atau “3”
menjadi “8”.

5
E. Pedoman Diagnostik Dyslexia
Pedoman diagnostik gangguan membaca (dyslexia) adalah sebagai berikut:

 Kemampuan membaca anak harus secara bermakna lebih rendah tingkatannya


daripada kemampuan yang diharapkan berdasarkan pada usianya, intelegensia umum,
dan tingkatan sekolahnya.
 Gangguan perkembangan khas membaca biasanya didahului oleh riwayat gangguan
perkembangan berbicara atau berbahasa.
 Hakikat yang tepat dari masalah membaca tergantung pada taraf yang diharapkan dari
kemampuan membaca, berbahasa dan tulisan. Namun dalam tahap awal dari belajar
membaca tulisan abjad, dapat terjadi kesulitan mengucapkan huruf abjad, menyebut
nama yang benar dari tulisan, memberi irama sederhana dari kata-kata yang
diucapkan, dan dalam menganalisis atau mengelompokkan bunyi-bunyi (meskipun
ketajaman pendengaran normal).

F. Pemeriksaan Penunjang Dyslexia


Tidak ada tanda fisik atau ukuran laboratorium spesifik yang membantu di dalam
menegakkan diagnosis gangguan membaca. Diagnosis gangguan membaca ditegakkan
setelah mengumulkan data dari tes intelegensi standar dan penilaian pencapaian
pendidikan. Rangkaian diagnostik umumnya mencakup tes mengeja standar, komposisi
tulisan, memroses dan menggunakan bahasa oral serta membuat salinan. Subtes membaca
yaitu Woodcock-Johnson Pyscho-Educational Battery-Revised, dan Peabody Individual
Achievement Test-Revised berguna untuk mengidentifikasi ketidakmampuan membaca.
Rangkaian proyektif penapisan dapat mencakup gambar manusia, tes menceritakan
gambar, dan melengkapi kalimat. Evaluasi harus mencakup pengamatan sistematik
mengenai variabel perilaku.

G. Prognosis Dyslexia
Banyak anak dengan gangguan membaca mendapatkan pengetahuan dari bahasa yang
dicetak pada masa 2 tahun pertama sekolah dasar, bahkan tanpa bantuan untuk
memperbaikinya. Jika diberikan dini, pada kasus yang lebih ringan, tidak diperlukan lagi
terapi perbaikan di akhir kelas satu atau dua. Pada kasus yang berat dan bergantung pada

6
pola defisit dan kekuatan, terapi remedial dapat dilanjutkan hingga sekolah menengah
atau tingkat SMU.

H. Terapi Dyslexia
Program instruksi membaca dimulai dengan memusatkan pada setiap huruf dan bunyi,
kemudian meningkat ke penguasaan inti fonetik sederhana, diikuti dengan menyatukan
unit-unit ini menjadi kata dan kalimat. Program terapi remedial membaca lainnya, seperti
program Merill dan SRA Basic Reading Program, dimulai dengan memperkenalkan
keseluruhan kata terlebih dahulu, kemudian mengajari anak bagaimana memecahnya dan
mengenali bunyi suku kata serta setiap huruf di dalam kata tersebut. Pendekatan lain,
seperti Bridge Reading Program, mengajari anak dengan gangguan membaca untuk
mengenali keseluruhan kata melalui penggunaan bantuan visual dan memintas proses
“membunyikannya”. Metode Ferald menggunakan pendekatan multisensorik yang
mengombinasikan antara mengajari keseluruhan kata dengan teknik melacak sehingga
anak tersebut memiliki stimulasi kinestetik sambil belajar membaca kata-kata.

2.2.2. Gangguan Matematika (Dyscalculia)

A. Definisi Dyscalculia
Dyscalculia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak adekuat, kesulitan dan
Calculia/Calculare artinya berhitung. Dyscalculia adalah gangguan pada kemampuan
kalkulasi secara sistematis, yang dibagi menjadi bentuk kesulitan berhitung dan kesulitan
kalkulasi. Biasanya anak juga tidak memahami proses matematis, yang ditandai dengan
kesulitan mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis. Anak dengan
gangguan matematika memiliki kesulitan mempelajari dan mengingat angka, tidak dapat
mengingat fakta dasar mengenai angka, dan lambat serta tidak akurat di dalam
menghitung. Pencapaian yang buruk di dalam empat kelompok keterampilan telah
diidentifikasi di dalam gangguan matematika; keterampilan linguistik (yang terkait
dengan pemahaman istilah matematis dan mengubah soal tertulis menjadi simbol
matematika), keterampilan persepsi (kemampuan mengenali dan memahami simbol dan
mengurutkan serangkaian angka), keterampilan matematis (penambahan, pengurangan,
pengalian, pembagian dasar, dan serangkaian operasi matematika dasar), serta

7
keterampilan atensional (menyalin angka dengan tepat serta mengamati simbol-simbol
operasional dengan benar).

B. Epidemiologi Dyscalculia
Prevalensi gangguan matematika sendiri diperkirakan terjadi dalam kira-kira 1 persen
anak-anak usia sekolah, yaitu kira-kira satu dari lima anak dengan gangguan belajar.
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa hingga 6 persen anak-anak usia sekolah
memiliki kesulitan dalam matematika. Gangguan matematika dapat terjadi dengan
frekuensi yang lebih tinggi pada anak perempuan.

C. Etiologi Dyscalculia
Timbulnya gangguan matematika serupa dengan gangguan belajar lain, cenderung
disebabkan setidaknya sebagian oleh faktor genetik. Suatu teori awal mengajukan defisit
neurologis di hemisfer serebri kanan, terutama pada area lobus oksipitalis. Regio ini
bertanggung jawab untuk memproses stimulus visuospasial yang selanjutnya bertanggung
jawab untuk keterampilan matematis. Saat ini, penyebabnya dianggap multifaktor,
sehingga faktor kematangan, kognitif, emosional, pendidikan, dan sosioekonomik turut
berperan di dalam berbagai derajat dan kombinasi untuk gangguan matematika.

D. Gambaran Klinis Dyscalculia


Gambaran gangguan matematika yang lazim ditemukan mencakup kesulitan dengan
berbagai komponen matematika, seperti mempelajari nama angka, mengingat tanda untuk
penambahan dan pengurangan, mempelajari tabel perkalian, menerjemahkan soal dalam
kata menjadi perhitungan, dan melakukan perhitungan dengan kecepatan yang
diharapkan.

Beberapa hal berikut dapat digunakan untuk melihat gejala atau ciri-ciri dyscalculia :

 Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah seringkali


mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-kata tertulis
 Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit menghitung
transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak tersebut
jadi takut memegang uang, menghindari transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus
melibatkan uang

8
 Sering sulit membedakan tanda-tanda dalam hitungan
 Sulit membedakan angka yang mirip, misalnya angka 6 dengan 9, 17 dengan 71
 Sulit membedakan bangun-bangun geometri
 Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah, mengurangi, membagi,
mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan
 Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka, seperti
proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta deret ukur
 Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah. Si anak
biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca
dan memahami peta atau petunjuk arah.
E. Pedoman Diagnostik Dyscalculia
Pedoman diagnostik gangguan matematika (dyscalculia) adalah sebagai berikut :

 Gangguan ini meliputi hendaya yang khas dalam kemampuan berhitung yang tidak
dapat diterangkan berdasarkan adanya retardasi mental umum atau tingkat pendidikan
di sekolah yang tidak adekuat. Kekurangannya ialah penguasaan pada kemampuan
dasar berhitung yaitu tambah, kurang, kali, bagi (bukan kemampuan matematik yang
lebih abstrak dalam aljabar, trigonometri, geometri atau kalkulus)
 Kemampuan berhitung anak harus secara bermakna lebih rendah daripada tingkat yang
seharusnya dicapai berdasarkan usianya, intelegensia umum, tingkat sekolahnya, dan
terbaik dinilai dengan cara pemeriksaan untuk kemampuan berhitung yang baku
 Keterampilan membaca dan mengeja harus dalam batas normal sesuai dengan umur
mental anak
 Kesulitan dalam berhitung bukan disebabkan pengajaran yang tidak adekuat, atau efek
langsung dari ketajaman penglihatan, pendengaran, atau fungsi neurologis, dan tidak
didapatkan sebagai akibat dari gangguan neurologis, gangguan jiwa, atau gangguan
lainnya
F. Pemeriksaan Penunjang Dyscalculia
Tidak ada tanda atau gejala fisik yang menunjukkan gangguan matematika, tetapi uji
edukasional dan ukuran fungsi intelektual standar diperlukan untuk menegakkan
diagnosis ini. Keymath Diagnostic Arithmetic Test mengukur beberapa area matematika

9
termasuk pengetahuan akan kandungan, fungsi, dan perhitungan matematis. Tes ini
digunakan untuk menilai kemampuan matematika pada anak kelas 1 sampai 6.

G. Prognosis Dyscalculia
Anak dengan gangguan matematika biasanya dapat diidentifikasi pada usia 8 tahun (kelas
3). Pada beberapa anak, gangguan ini dapat terlihat pada usia 6 tahun (kelas 1); pada anak
lain, bisa terlihat hingga usia 10 tahun (kelas 5) atau lebih. Sejauh ini, sejumlah kecil data
studi longitudinal tersedia untuk memperkirakan pola jelas perjalanan perkembangan dan
akademik pada anak yang digolongkan memiliki gangguan matematika pada kelas awal.
Di sisi lain, anak dengan gangguan matematika sedang yang tidak mendapatkan
intervensi bisa mengalami komplikasi, termasuk kesulitan akademik yang berlanjut, rasa
malu konsep diri yang buruk, frustasi, dan depresi. Komplikasi ini dapat menimbulkan
keengganan untuk datang ke sekolah, bolos, dan akhirnya putus asa mengenai
keberhasilan akademiknya.

H. Terapi Dyscalculia
Saat ini terapi yang paling efektif untuk gangguan matematika menggabungkan antara
mengajarkan konsep matematika dengan praktik terus-menerus di dalam menyelesaikan
soal matematika. Defisit keterampilan sosial dapat turut berperan di dalam keengganan
anak untuk meminta bantuan sehingga anak yang diidentifikasi dengan gangguan
matematika bisa mendapatkan keuntungan dari mendapatkan keterampilan
menyelesaikan masalah di dalam lingkungan sosial juga di dalam matematika.

2.2.3. Gangguan Ekspresi Tertulis (Dysgraphia)

A. Definisi Dysgraphia
Dysgraphia berasal dari bahasa Yunani, Dys artinya tanpa, tidak adekuat, kesulitan dan
Graphia artinya menulis. Dysgraphia adalah gangguan ekspresi tulisan yang ditandai
dengan keterampilan menulis yang secara signifikan di bawah tingkat yang diharapkan
untuk usia dan kapasitas intelektual anak. Kesulitan ini mengganggu kinerja akademik
dan tuntutan untuk menulis dalam kehidupan sehari-hari. Banyak komponen gangguan
ekspresi tertulis mencakup mengeja yang buruk, kesalahan tata bahasa dan tanda baca,
serta tulisan tangan yang buruk.

10
B. Epidemiologi Dysgraphia
Prevalensi gangguan ekspresi tertulis saja belum dipelajari, tetapi gangguan membaca,
diperkirakan terjadi pada kira-kira 4 persen anak usia sekolah. Diperkirakan bahwa rasio
gender pada gangguan ekspresi tertulis serupa dengan gangguan membaca, terjadi sekitar
tiga kali lebih banyak pada laki-laki. Gangguan ekspresi tertulis sering terjadi bersama
dengan gangguan membaca, tetapi tidak selalu. Anak dengan gangguan ekspresi tertulis
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami berbagai gangguan belajar dan bahasa
lainnya termasuk gangguan membaca, gangguan matematika, dan gangguan bahasa
ekspresif serta repesitif. ADHD terjadi dalam frekuensi yang lebih tinggi pada anak
dengan gangguan ekspresi tertulis dibandingkan populasi umum. Akhirnya, anak dengan
gangguan ekspresi tertulis diyakini memiliki risiko tinggi untuk mengalami kesulitan
keterampilan sosial, dan beberapa di antaranya terus memiliki kepercayaan diri yang
buruk serta mengalami gejala depresif.

C. Etiologi Dysgraphia
Secara spesifik penyebab dysgraphia tidak diketahui secara pasti, namun apabila
dysgraphia terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun orang dewasa maka diduga
disgrafia disebabkan oleh trauma kepala yang mungkin disebabkan kecelakaan, penyakit,
dan yang lainnya. Seperti halnya dyslexia, dysgraphia juga disebabkan faktor neurologis,
yakni adanya gangguan pada otak bagian kiri depan yang berhubungan dengan
kemampuan membaca dan menulis. Anak mengalami kesulitan dala harmonisasi secara
otomatis antara kemampuan mengingat dan menguasai gerakan oto emnulis huruf dan
angka. Kesulitan ini tidak terkait dengan masalah kemapuan intelektual, kemalasan, asal-
asalan menulis, dan tidak mau  belajar. Selain itu, tampaknya faktor genetik memainkan
peranan di dalam timbulnya gangguan ekspresi tertulis. Predisposisi herediter terhadap
gangguan ini disokong dengan temuan bahwa sebagian besar anak dengan gangguan
ekspresi tertulis memiliki kerabat derajat pertama dengan gangguan ini. Anak dengan
rentang perhatian yang terbatas dan sangat mudah teralih perhatiannya dapat merasakan
bahwa menulis merupakan tugas yang melelahkan.

D. Gambaran Klinis Dysgraphia

11
Anak dengan gangguan ekspresi tertulis memiliki kesulitan di awal sekolahnya dalam
mengeja kata-kata dan di dalam mengekspresikan pikirannya sesuai dengan norma tata
bahasa yang sesuai usia. Gambaran lazim gangguan ekspresi tertulis ini mencakup
kesalahan pengejaan, kesalahan tata bahasa, kesalahan tanda baca, penyusunan paragraf
yang buruk, dan tulisan tangan yang buruk. Gambaran lain yang terkait pada gangguan
ini mencakup penolakan atau keengganan untuk pergi ke sekolah dan melakukan
pekerjaan rumah tertulis yang ditugaskan, kinerja akademik yang buruk di area lain
(contoh: matematika), penghindaran umum terhadap pekerjaan sekolah, bolos, defisit
atensi, dan gangguan tingkah laku. Banyak anak dengan gangguan ekspresi tertulis
menjadi frustasi dan marah karena perasaan kekurangan dan kegagalan kinerja
akademik. Pada kasus yang berat, gangguan depresif dapat timbul akibat semakin
tumbuhnya rasa isolasi, asing, dan putus asa.

E. Pemeriksaan Penunjang Dysgraphia


Meskipun tidak ada stigmata fisik pada gangguan menulis, tes pendidikan digunakan
dalam menegakkan diagnosis gangguan ekspresi tertulis. Tes bahasa tertulis yang
sekarang tersedia mencakup TOWL, DEWS, dan Test of Early Written Languange
(TEWL). Seorang anak yang dicurigai memiliki gangguan ekspresi tertulis pertama kali
harus diberikan tes intelektual standar, seperti WISC-III atau Wechsler Adult Intelligence
Scale yang telah direvisi (WAIS-R) untuk menentukan kapasitas intelektual keseluruhan
seorang anak.

F. Prognosis Dysgraphia
Pada kasus yang berat, gangguan ekspresi tertulis tampak nyata pada usia 7 tahun (kelas
dua), pada kasus yang lebih ringan, gangguan ini bisa tidak terlihat jelas hingga usia 10
tahun (kelas lima) atau lebih. Sebagian besar orang dengan gangguan ekspresi tertulis
ringan atau sedang cukup baik jika mereka mendapatkan edukasi remedial pada waktu
yang tepat di awal masa sekolah dasarnya. Gangguan ekspresi tertulis yang berat
memerlukan terapi remedial yang ekstensif dan berkelanjutan sepanjang bagian akhir
masa SMU dan bahkan hingga akademi. Prognosis bergantung pada keparahan gangguan,
usia atau kelas ketika intervensi remedial dimulai, lama dan keberlanjutan terapi, dan ada
atau tidak adanya masalah perilaku atau emosional sekunder atau terkait.

12
G. Terapi Dysgraphia
Terapi remedial untuk gangguan ekspresi tertulis mencakup praktik langsung mengeja
dan menulis kalimat, serta mengkaji ulang aturan tata bahasa. Pemberian terapi menulis
kreatif dan ekspresif yang intensif, berkelanjutan dan dirancang khusus secara individual
dan satu-satu tampak memberi hasil yang baik.

BAB III

KESIMPULAN

13
Gangguan Belajar adalah defisit anak dan remaja di dalam mencapai keterampilan
membaca, menulis, berbicara, penggunaan pendengaran, memberikan alasan, atau matematika
yang diharapkan, dibandingkan dengan anak lain berusia sama dan dengan kapasitas intelektual
yang sama. Jenis-jenis gangguan belajar antara lain gangguan membaca (dyslexia), gangguan
matematika (dyscalculia), dan gangguan ekspresi tertulis (dysgraphia). Prognosis gangguan
belajar tergantung pada keparahan gangguan, usia atau kelas ketika intervensi remedial dimulai,
lama dan keberlanjutan terapi, dan ada atau tidak adanya masalah perilaku atau emosional
sekunder atau terkait. Jika gangguan belajar terdiagnosis lebih awal, maka terapi dapat diberikan
lebih awal sehingga prognosis semakin baik.

DAFTAR PUSTAKA

14
1. Sadock, B.J. & Sadock, V.A. 2004. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2. Terjemahan Oleh:
Profitasari & Nisa, M.T. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Indonesia.
2. Subini, Nini. 2011. Mengatasi Kesulitan Belajar Pada Anak. Yogyakarta: Javalitera.
3. Rusdi, Maslim (ed). 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta, Indonesia

15

Anda mungkin juga menyukai