Anda di halaman 1dari 17

DISLEKSIA, DISGRAFIA DAN DISKALKULIA

Dosen Pengampu : Drs. Tawil, M.Pd, Kons

Disusun Oleh:

KELOMPOK 9
Meita Widyaningrum (16.0305.0112)

Novia Khaurul Nissa (16.0305.0120)

Novi Tri Susanti (16.0305.0127)

Pratiwi Yuliarni (16.0305.0146)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

2019
A. Definisi Disleksia
Disleksia adalah sebuah gangguan dalam perkembangan tulis-baca yang
umumnya terjadi pada anak di usia 7 hingga 8 tahun. Ditandai dengan kesulitan
belajar membaca dengan lancar dan kesulitan dalam memahami meskipun normal
diatas rata-rata. Ini termasuk kesulitan dalam penerapan ilmu fonologi, kemampuan
bahasa/pemahaman verbal. dyslexia adalah kesulitan belajar yang paling umum dan
gangguan membaca yang paling dikenal. Ada kesulitan kesulitan dalam membaca
namun tidak berhubungan dengan dyslexia (wikipedia). Disleksia umumnya
dikaitkan dengan masalah kelancaran membaca, tapi masalah pengolahan informasi
ini juga dapat mempengaruhi kemampuan anak dalam menulis, mengeja, dan
bahkan berbicara.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan Disleksia adalah masalah belajar


umum yang mempengaruhi kemampuan membaca dan keterampilan lainnya. Periset
berpikir gen dan fungsi otak mungkin berperan dalam disleksia.

B. Tanda-tanda umum
Jika tanda-tanda ini mengingatkan Anda pada anak Anda, berbicaralah
dengan guru anak Anda untuk mengetahui bantuan ekstra yang dapat mereka
tawarkan. Jika kesulitan terus berlanjut, bicarakan dengan kepala sekolah tentang
mendapatkan evaluasi gratis untuk anak Anda.

a. Prasekolah
1. Sulit mengucapkan kata-kata
2. Lambat menambahkan kata kosa kata baru
3. Tidak bisa mengingat kata yang tepat
4. Kesulitan mempelajari alfabet, angka, hari dalam seminggu, warna, bentuk,
cara menulis namanya
5. Tidak dapat mengikuti petunjuk multi langkah atau rutinitas
6. Mengalami kesulitan untuk menceritakan dan / atau menceritakan kembali
sebuah cerita dalam urutan yang benar
7. Sering mengalami kesulitan untuk memisahkan suara dalam kata-kata dan
mencampur suara untuk membuat kata-kata
b. Taman kanak-kanak/TK
1. Lambat belajar koneksi antara huruf dan suara
2. Membingungkan kata-kata kecil — di / ke, berkata / dan, apakah / pergi
3. Kesalahan membaca dan ejaan yang konsisten
4. Sulit mengingat fakta
5. Lambat belajar keterampilan baru; sangat bergantung pada menghafal tanpa
pengertian
6. Impulsif dan rentan terhadap kecelakaan
7. Sudah susah payah merencanakan
8. Seringkali menggunakan pensil secara canggung/tidak seperti biasa layaknya
anak yg lain
9. Sulit belajar memberitahukan waktu
C. Sebab Disleksia
1. Neuroanatomi
Sebagian besar penderita disleksia bermasalah pada bagian neuroanatomi
(susunan otak). Kasus yang paling sering muncul pada penderita disleksia adalah
masalah pada bagian otak kiri, tepatnya pada Brocas area dan Wernickes area.
Kedua bagian ini adalah bagian otak yang berperan penting pada proses
bahasa.Tidak seimbangnya bentuk dan ukuran otak juga menjadi salah satu
faktor penyebab disleksia. Orang yang memiliki bentuk otak kanan lebih besar,
cenderung akan menunjukkan lebih banyak gejala dari disleksia. Hal ini
didasarkan pada penelitan yang melihat bahwa kebanyakan penderita dileksia
adalah kidal di mana otak kanannya lebih dominan dibandingkan otak kiri.
Masalah pada bagian neuroanatomi bisa dimulai sejak bayi dalam kandungan,
maupun setelah dewasa (misalnya benturan pada kepala).

2. Genetik
Berdasarkan penelitian Dearbon (1929), ditemukan bahwa orang yang
dengan riwayat keluarga (family trees) buta huruf, akan cenderung memiliki
keturunan yang beresiko buta huruf pula. Buta huruf itu yang saat ini kita kenal
dengan disleksia. Hal ini kemudian mulai terbukti secara medis, bahwa disleksia
diturunkan dari generasi ke generasi melalui faktor hereditas. Faktor utama
disleksia adalah genetik. Penelitian yang dilakukan oleh Sladen di tahun 1970
menemukan bahwa disleksia resesif pada wanita namun dominan pada pria.
Inilah alasannya mengapa mayoritas jumlah penderita disleksia adalah pria
(penderita yang menunjukkan gejala nyata). Meskipun demikian, disleksia
terikat pada kromosom X yang dimiliki oleh wanita. Jadi meskipun disleksia
resesif pada wanita, namun sesungguhnya wanita pula yang membawa unit
hereditas disleksia pada keturunanannya.

3. Masalah visual dan pendengaran


Masalah visual dan pendengaran merupakan masalah diluar faktor
hereditas sebagai penyebab disleksia. Pada beberapa kasus, para penderita
disleksia kesulitan untuk membaca sebab terdapat masalah pada fungsi visual,
seperti pergerakan mata yang tidak fokus, masalah pada retina mata, serta
masalah pada saraf-saraf yang menghubungkan mata dan otak sehingga tulisan
yang dilihat tidak dapat diterjemahkan dengan benar pada bagian otak. Masalah
ini sering kali muncul pada penderita disleksia yang kesulitan membaca dan
menulis. Beberapa penderita disleksia juga bermasalah pada bagian pendengaran
sehingga bunyi-bunyi dari setiap huruf yang ditangkap akan diterjemahkan
secara berbeda. Masalah ini sering kali muncul pada penderita disleksia yang
kesulitan untuk mengeja.

4. Faktor luar
Faktor di luar genetik dan faktor di luar masalah pada diri anak juga
turut mengambil peran pada kasus disleksia. faktor lingkungan misalnya, seperti
bagaimana proses pengajaran bahasa, bagaimana cara orang tua berkomunikasi,
dan lain-lain, turut membuat seorang anak kesulitan dalam memperoleh bahasa
khususnya pada hal membaca.

D. Macam- Macam
1. Disleksia Primer (primary dyslexia)
Disleksia jenis ini sering sekali dikait-kaitkan dengan faktor keturunan.
Penderita disleksia primer, biasanya sudah menunjukkan gejala-gejala disleksia
sejak usia dini. Gejala ini berlanjut dan bersifat permanen hingga usia dewasa.
Mayoritas penderita disleksia primer adalah laki-laki. Meskipun demikian,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa sebenarnya disleksia dibawa oleh
kromosom X yang ada pada ibu, dan bersifat resesif.

2. Disleksia sekunder (secondary dyslexia)


Merupakan jenis disleksia, di mana seorang anak menderita cedera pada
otak (brain damage) di usia yang sangat muda. Kerusakan otak inilah yang
membuatnya mengalami ganguan membaca, bahkan ketika anak itu beranjak
dewasa. Para penderita disleksia sekunder biasanya tidak memiliki riwayat
keluarga penderita disleksia. Disleksia jenis ini sering kali disebabkan gangguan
pada proses kehamilan, gangguan pada proses kelahiran, maupun benturan yang
terjadi ketika anak tersebut masih bayi.

3. Disleksia traumatis (traumatic dyslexia)


Biasanya dialami oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan benturan keras
atau penyakit lain, seperti stroke misalnya, yang mengakibatkan cedera pada
otak sehingga fungsi kebahasaan terganggu. Para penderita disleksia traumatis
sering kali kehilangan kemampuan membaca. Selain kerusakan pada otak,
disleksia juga bisa disebabkan oleh lemahnya kemampuan visual. Hal ini lebih
dikenal dengan disleksia visual. Para penderita disleksia visual tidak memiliki
masalah pada fungsi kebahasaan, hanya saja lemahnya kemampuan mata dalam
membaca serta lemahnya kemampuan otak dalam menerjemahkan huruf-huruf
menyebabkan penderitanya kesulitan dalam memahami tulisan. Disamping
disleksia visual, ada pula disleksia auditori. Berbeda dengan disleksia visual,
disleksia auditori merupakan disleksia yang menyerang bagian saraf-saraf
pendengaran dan bagian otak yang bertugas menerjemahkan bunyi. Hal ini yang
menyebabkan penderitanya tidak bisa mengaitkan suatu huruf dengan bunyi
yang dimilikinya secara tepat

E. Terapi untuk Disleksia


Latihan multisensorik adalah cara mengajar yang melibatkan lebih dari satu
indra dalam satu waktu. Bagi anak-anak yang memiliki kesulitan membaca,
mungkin akan terasa sulit untuk memperhatikan semua detail dalam kosakata baru,
terutama jika kata tersebut memiliki ejaan yang tidak biasa. Dengan penggunaan
penglihatan, pendengaran, gerakan dan sentuhan, teknik ini dapat sangat membantu
proses belajarnya. Berikut adalah beberapa dari banyak contoh latihan multisensory
yang bisa digunakan untuk membantu anak yang kesulitan membaca:

a. Ajarkan mendetail
Pertama, ajarkan anak dengan menunjukkan satu kata, misalnya
“beruang” dan bacakan untuknya dengan suara yang jelas dan lantang.
Kemudian, minta ia untuk coba mengeja huruf pembentuk kata tersebut.
Tanyakan huruf hidup apa saja yang ia lihat, huruf apa yang ia lihat di awal,
tengah, dan akhir kata. Hal ini akan membantunya untuk menganalisis kosakata
tersebut dan memprosesnya dengan terinci.

b. Menggunakan pasir atau krim


Kegiatan ini melibatkan indra penglihatan, sentuh, gerakan, dan suara
untuk anak bisa menghubungkan huruf dan suara. Mulai dengan menebarkan
segenggam pasir atau sesendok besar krim cukur (atau whipping cream) di atas
kertas atau meja. Kemudian, minta si kecil untuk membuat kata “beruang”
menggunakan jari mereka di atas pasir atau krim tersebut. Selagi mereka
menulis, minta ia untuk mengeja bunyi setiap huruf yang ia buat, dan coba untuk
membaurkan setiap suara tersebut bersama-sama untuk menyebutkan “beruang”
dengan keras dan jelas.

c. Menulis di udara
Menulis di udara akan memperkuat hubungan antar suara dan setiap huruf
melalui “memori otot”. Hal ini juga dapat membantu memperkuat anak untuk
bisa membedakan bentuk huruf yang membingungkan, misalnya “b” dan “d”.
Ajarkan anak menggunakan dua jari — telunjuk dan jari tengah — untuk
membuat huruf imajinasi di udara, sambil menjaga siku dan pergelangan tangan
tetap lurus. Setiap kali ia membuat satu huruf di udara, minta ia untuk mengeja
bunyi huruf tersebut dengan keras. Aktivitas ini juga akan membantu mereka
untuk membayangkan bentuk huruf yang mereka tulis. Anda mungkin bisa
melakukan improvisasi dengan meminta si kecil mengasosiasikan penulisan
huruf dengan warna tertentu, misalnya merah untuk “b”, kuning untuk “d”.

d. Menggunakan balok huruf


Menyusun suatu kata dengan balok mainan warna-warni berbentuk huruf
dapat membantu anak untuk menghubungkan suara dengan huruf. Untuk
meningkatkan latihan si kecil, Anda bisa mengkategorikan warna yang berbeda
untuk kelompok huruf hidup dan huruf konsonan, merah dan biru, misalnya.
Selagi mereka menyusun kata, minta mereka untuk mengeja bunyi huruf-huruf
tersebut, kemudian minta ia untuk mengatakan kata utuhnya dengan jelas
setelah ia selesai menyusun kata.

e. Baca, Susun, tulis


Dengan selembar kertas karton, buat tiga kolom: Baca, Susun, dan Tulis.
Kemudian, sediakan spidol dan balok huruf warna-warni. Tuliskan kosakata
yang ingin Anda latih di kolom Baca dan minta anak Anda untuk melihat huruf-
huruf pembentuk kata tersebut. Kemudian, si kecil akan menyusun kata tersebut
di kolom Susun menggunakan balok huruf. Terakhir, minta ia untuk coba
menuliskan kata tersebut di kolom Tulis sambil membacakannya dengan lantang.

f. Ketukan jari
Menggunakan ketukan jari saat mengeja huruf mengajarkan anak untuk
merasa, meraba, dan mendengar bagaimana huruf-huruf tertentu bisa
membentuk satu kata, beserta bunyi keseluruhannya. Misalnya, kata “Budi”.
Minta anak untuk mengetukkan jari telunjuk ke ibu jarinya saat mereka
mengucapkan huruf “b”, ketukkan jari tengah dengan ibu jari saat mengucapkan
huruf “d”, jari manis dengan ibu jari saat mengucapkan “u”, dan kelingking
untuk huruf “i”.

g. Bantuan gambar
Untuk beberapa anak, mengingat kata akan lebih mudah jika mereka
menghubungkannya dengan suatu gambar. Berikut salah satu cara untuk
menyiasatinya:

Tuliskan kata yang ingin dilatih pada kedua sisi kertas, misalnya kata “dua”.
Pada satu sisi, Anda bersama si kecil bisa menggambar langsung pada kata
tersebut (misalnya, menambahan dua buah mata di atas huruf U untuk
menggambar wajah tersenyum; atau menggambar angsa yang melambangkan
bentuk angka “2”). Menggunakan kata berilustrasi ini, latih si kecil untuk
mengasosiasikan kata tersebut dengan gambar dan huruf-huruf pembentuknya
— dua pasang mata untuk mewakili kata “dua”. Ketika anak Anda mulai lancar
untuk membaca dengan cepat dan lebih mudah, alihkan latihan ke sisi lainnya
dimana hanya ada teks kata “dua”.

h. Buat dinding kosakata


Untuk kata-kata yang sering terlihat atau dipakai dalam sebuah kalimat
utuh, misalnya “saya”, “di”, “ke”, “dari”, dan cetaklah kata-kata ini dalam
ukuran besar dan berwarna-warni, kemudian tempelkan dalam urutan alfabetik
di dinding kamar anak Anda. Secara otomatis bisa mengenali sejumlah kosakata
dapat membantu anak lebih cepat tanggap, menjadi pembaca yang lebih lancar.
Paparan yang berulang adalah kunci sukses untuk Anda berdua. Dinding
kosakata memberikan anak paparan ekstra untu kosakata-kosakata penting ini.
Dinding khusus ini juga memberikan akses cepat terhadap kosakata tertentu
yang mungkin mereka butuhkan selama aktivitas membaca atau menulis.

i. Membaca dan mendengarkan


Dalam kegiatan ini, Anda dan anak akan terlibat bersama-sama dalam
membaca. Anda bisa membacakan cerita padanya sambil ia juga memperhatikan
kalimat-kalimat dalam buku tersebut. Mereka bisa berinterasi dengan teks,
menggarisbawahi kosakata penting atau membulatkan kosakata yang panjang
atau pendek. Selama membaca bersama, anak Anda juga bisa menulis ulang atau
menggambar visualisasi yang bisa ia hubungkan dengan kata tersebut untuk
mencocokkan kalimat.

Ada banyak alat dan strategi lainnya yang sama baiknya dalam membantu
anak Anda lebih lancar untuk menulis-membaca. Mungkin akan membutuhkan
beberapa percobaan kanan-kiri bagi Anda untuk mencari tahu mana yang terbaik
bagi anak Anda. Yang paling penting adalah usaha dan dukungan yang konsisten
dari orang-orang di sekitarnya untuk meningkatkan rasa percaya diri anak untuk
terus belajar.

F. Pendidikan yang dibutuhkan atau diklat


Disleksia adalah masalah dengan bahasa. Masalah sering dimulai dengan
kesadaran fonologis, keterampilan bahasa yang sangat penting untuk dibaca. Anak-
anak dengan kesadaran fonologis yang buruk memiliki masalah dalam mengenali
dan bekerja dengan suara dalam kata-kata. Mereka cenderung berjuang dengan
belajar membaca. Sejumlah jenis spesialis bisa mengajari anak-anak penderita
disleksia untuk mengenali suara kata. Selain itu juga dapat membantu mereka
dengan teks-huruf phonics-menyambung dengan suara, memecah kata menjadi
suara, dan memadukan suara menjadi kata-kata.

Bersama-sama, keterampilan ini memungkinkan anak mengucapkan kata-


kata yang tidak mereka ketahui. Proses itu dikenal sebagai decoding, dan ini
penting untuk dibaca. Kalangan Profesional yang menyediakan jenis terapi ini
termasuk psikolog, guru, spesialis bacaan, spesialis pembelajaran dan ahli bahasa
bicara (SLP) yang fokus pada masalah belajar. Mereka bekerja di sekolah dan juga
di lingkungan pribadi. Pakar dapat menggunakan banyak strategi untuk
membangun kesadaran fonologis dan kemampuan membaca lainnya. Mereka
mungkin bekerja pada berima, misalnya. Mereka dapat membantu anak-anak
mengenali suku kata dengan meminta mereka bertepuk tangan atas nama mereka.

G. Sarana dan Prasarana


Kesulitan Belajar Membaca (Disleksi) sarana khusus yang diperlukan oleh
anak yang mengalami kesulitan belajar membaca (remedial membaca) meliputi
kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat, kesulitan belajar bahasa. Kesulitan berbahasa
sarana khusus yang diperlukan oleh anak yang mengalami kesulitan belajar bahasa
(remedial bahasa) meliputi kartu abjad, kartu kata, kartu kalimat.
A. Definisi Disgrafia
Disgrafia merupakan bagian dari anak berkebutuhan khusus (Children
with special education need) Gangguan menulis (disgrafia) adalah gangguan
pada anak-anak dengan keterbatasan kemampuan menulis. Keterbatasan
dapat muncul dalam bentuk tidak dapat memegang pensil dengan mantap,
kesalahan mengeja, tata bahasa, tanda baca, atau kesulitan dalam membentuk
kalimat dan paragraf. Kesulitan menulis yang parah umumnya tampak pada
usia 7 tahun (kelas 2 SD), walaupun kasus-kasus yang lebih ringan mungkin
tidak dikenali sampai usia 10 tahun (kelas 5 SD) atau setelahnya.
Disgrafia ini berbeda dengan tulisan tangan yang jelek. Tulisan tangan
yang jelek biasanya tetap dapat terbaca oleh penulisnya, dan juga dilakukan
dalam waktu yang relatif sama dengan yang menulis dengan bagus. Akan
tetapi untuk disgrafia, anak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
menulis. Anak yang mengalami disgrafia tidak bisa menyusun kata-kata
dengan baik dan tidak bisa mengkoordinasikan motorik halusnya (tangan)
untuk menulis. Dengan kata lain anak disgrafia adalah anak yang mengalami
kesulitan dalam belajar menulis.
Jadi, secara sederhana disgrafia dapat diartikan sebagai keterbatasan
keterampilan menulis yang dialami anak ketika ia mulai belajar menulis. Anak
yang menderita disgrafia akan terlihat normal seperti anak pada umumnya.
B. Tanda-Tanda Umum
Tanda-tanda atau cirri-ciri yang dapat dilihat pada penderita disgrafia
antara lain:
1 Ada ketidak konsistenan huruf dalam tulisannya.
2 Saat menulis, penderita sering mencampur penggunaan huruf besar dan
huruf kecil.
3 Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak konsisten.
4 Susah memegang pen ataupun pensil dengan stabil dan mantap . Anak
dilihat memegang alat tulis terlalu dekat hampir dengan kertas.
5 Berbicara pada diri sendiri ketika menulis, bahkan terlalu memerhatikan
tangan yang menulis.
6 Tulisan yang dihasilkan tidak mengikuti alur garis-garis yang tepat dan
konsisten.
7 Mengalami kesulitan walaupun hanya diminta menyalin (copy) contoh
tulisan yang sudah ada.
Penderita disgrafia biasanya dialami oleh anak yang sedang belajar
menulis. Penderita disgrafia lebih sering terjadi dan beresiko tinggi pada anak
laki-laki. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Dr Slavica K Katusic dan
koleganya dari Mayo Clinic di Rochester, Minnesota, Amerika yang
melibatkan lebih dari 5700 anak,

C. Sebab-Sebab Disgrafia
Penyebab disgrafia tidak diketahui secara pasti, namun apabila disgrafia
terjadi secara tiba-tiba pada anak maupun orang dewasa, dapat diduga
bahwa penyebabnya karena trauma kepala, baik disebabkan oleh
kecelakaan, penyakit, atau lainnya. Penyebab yang paling umum adalah
neurologis, yaitu adanya gangguan pada otak bagian kiri depan yang
berhubungan dengan kemampuan membaca dan menulis. Gangguan
neorologis tersebut, juga berupa kurangnya kecakapan koordinasi mata dan
tangan untuk menulis huruf balok, menulis indah dan menulis bersambung,
dan membuat gambar.
Adapun penyebab disgrafia menurut Lerner (2000) sebagai berikut:
1. Gangguan motorik anak
2. Gangguan perilaku yang dialami anak
3. Gangguan persepsi pada anak
4. Gangguan memori
5. Gangguan tangan pada anak
6. Gangguan anak pada saat memahami intruksi
7. Gangguan kemampuan melaksanakan cross modal.

Selain itu Kesulitan belajar menulis dengan tangan (handwriting),


disebabkan oleh faktor 1) motorik; 2) perilaku ketika menulis; 3) persepsi; 4)
memori atau ingatan; 5) kemampuan cross modal; 6) penggunaan tangan
(kidal); dan 7) kelemahan dalam memahami instruksi. (Sunardi dan Sugiarmin,
2001).

D. Macam-Macam Disgrafia
Jenis-jenis kesulitan menulis yang muncul pada anak disgrafia menurut
(Yusuf, dkk, 2003) adalah:
1. terlalu lambat dalam menulis
2. salah arah pada penulisan huruf dan angka
3. terlalu miring
4. jarak antar huruf tidak konsisten
5. tulisan kotor
6. tidak tepat dalam mengikuti garis horisontal
7. bentuk huruf atau angka tidak terbaca
8. tekanan pensil tidak tepat (terlalu tebal atau terlalu tipis)
9. ukuran tulisan terlalu besar atau terlalu kecil
10. bentuk terbalik (seperti bercermin)

Kendell dan Stefanyshyn (2012), membedakan jenis-jenis disgrafia


menjadi 5, yaitu:

a. disleksia dysgraphia — adalah bentuk disgrafia yang ditandai dengan tulisan


tangan anak tak terbaca, huruf, dan tanda baca yang dibuat anak salah..
b. motor dysgraphia — karena kekurangan keterampilan motorik halus, tidak
tangkas, otot kaku, sehingga gerakan tangannya tampak “kikuk”. Jika
diminta untuk menulis memerlukan tenaga ekstra, bentuk tulisan sering
miring karena memegang objek penulisan salah, tetapi pemahamannya
tentang ejaan tidak terganggu .
c. dysgraphia spasial — Anak mengalami gangguan dalam pemahaman ruang .
tulisan anak terbaca, anak bisa menyalin, pemahaman ejaan normal, tetapi
tulisannya sering berada di atas garis atau di bawah garis, jarak antarkata
juga tidak konsisten.
d. fonologi dysgraphia — anak mengalami gangguan fonologi, jenis ini
umumnya di derita pada anak yang berbahasa asing seperti bahasa Inggris
dan bahasa barat lainnya yang di dalamnya terdapat perbedaan antara ejaan
dan bunyi.
e. leksikal dysgraphia — sama dengan disgraphia fonologi, tetapi lebih terjadi
pada kata-kata yang tidak sama antara ejaan dan lafalnya, seperti pada bahasa
Inggris dan Perancis.

E. Terapi Untuk Disorder Mental


Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar penderita disgrafia. Cara
atau terapi terset tentu saja dilakukan agar penderita disgrafia dapat
disembuhkan.
1 Kesiapan Menulis / Keterampilan Dasar
Keterampilan dasar yang perlu dikembangkan sebelum anak memulai
belajar menulis untuk keperluan memperkenalkan huruf pada anak adalah:
a. Pengendalian otot, keterampilan ini dikembangkan melalui aktivitas
manipulasi gerakan, misalnya: memotong dengan gunting, menggambar
dengan ujung jari, menelusuri dan mewarnai.
b. Koordinasi mata dan tangan, keterampilan ini dilakukan melalui kegitan
menggambar lingkaran dan bentuk geometri lainnya.
c. Diskriminasi visual, keterampilan ini dilakukan dengan latihan
membedakan bentuk, ukuran dan warna
2 Sikap Guru dan Orangtua
Guru/orang tua dan anak sering dibuat frustasi oleh anak disgrafia. Hal ini
terjadi karena guru/orang tua belum memahami bagaimana seharuasnya
bersikap terhadap anak-anak disgrafia. Ketidak pahaman ini dapat membuat
guru , orang tua, bahkan anak itu sendiri mengalami frustasi. Berkaitan
dengan hal ini Astuti (2003) memberikan saran bagaimana menghadapi anak
yang menderita disgrafia. Saransaran tersebut adalah:
a. Pahami keadaan anak, yaitu bahwa anak disgrafia memang memiliki
kesulitan dalam menulis, guru dan orang tua sebaiknya tidak
membandingkan anak seperti disgrafia dengan anak-anak lainnya. Sikap
suka membandingkan anak disgrafia dengan anak lain yang normal hanya
akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru maupun anak
merasa frustrasi dan stres. Untuk anak disgrafia berikan tugas-tugas
menulis yang singkat saja. Tes untuk anak disgrafia sebaiknya diberikan
secara lisan dan bukan tertulis.
b. Berikan kesempatan anak disgrafia menulis dalam bentuk tulisan cetak.
Izinkan anak-anak disgrafia untuk menggunakan mesin ketik atau
komputer dalam belajar
A. DefinisiI Diskalkulia
Secara umum, definisi diskalkulia adalah gangguan kemampuan berhitung
yang mengarah pada bidang studi matematika. Namun, lebih spesifik lagi
bahwa diskalkulia merupakan gangguan pada kemampuan kalkulasi secara
sistematis yang dibagi menjadi bentuk kesulitan berhitung dan kesulitan
kalkulasi. Kesulitan belajar matematika yang sering disebut diskalkulia atau
“dyscalculis” (Lerner, 1998) memiliki konotasi medis yang memandang
adanya keterkaitan dengan gangguan sistem saraf pusat. Biasanya anak tidak
memahami proses matematis, ditandai dengan adanya kesulitan mengerjakan
tugas yang melibatkan angka atau simbol matematis. Diskalkulia juga dikenal
dengan istilah “math difficulty” sebab menyangkut gangguan pada
kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat dilihat secara
kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan
kalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan
dalam pemahaman konsep atau serangkaian proses matematis. Sebagian
besar, anak yang mengalami diskalkulia mempunyai kesulitan tersendiri dalam
proses visual. Dibeberapa kasus, pada pemrosesan dan pengurutan konsep
matematika memerlukan seperangkat prosedur yang harus diikuti dalam pola
yang berurutan, hal ini juga berkaitan dengan kurangnya memori (memory
deficits) anak diskalkulia, sehingga mereka mengalami kesulitan urutan
operasi yang harus diikuti untuk memecahkan soal-soal matematika.
B. Penyebab Diskalkulia
Diskalkulia disebabkan oleh beberapa faktor yang terdapat pada diri
individu anak. Adapun faktor-faktor penyebab anak mengalami diskalkulia,
antara lain :
a. Penyebab diskalkulia dikarenakan adanya kelainan pada otak anak,
terutama dibagian penghubung antara bagian pariental dan temporal
otak. Anak diskalkulia pada umumnya dapat mengikuti pelajaran
yang hanya memerlukan hafalan dan logika, seperti biologi atau
bahasa akan tetapi lemah dalam hal konsep berhitung. Pada mata
pelajaran matematika, membutuhkan prosedur penyelesaian yang
berurutan sesuai pola-pola tertentu, namun anak diskalkulia
mengalami kesulitan untuk mengikuti prosedur tersebut. Hal ini
tidak menutup kemungkinan anak akan menjadi fobia terhadap
matematika, sehingga muncullah keyakinan bahwa dia tidak dapat
menguasai matematika dengan baik.
b. Adanya kelemahan proses penglihatan atau visualisasi dan gangguan
spasial (kemampuan memahami bangun ruang), sehingga
berdampak anak sulit fokus saat menerima pelajaran terutama
dibidang matematika.

C. Karakteristik Diskalkulia
Karakteristik atau ciri anak yang mengalami diskalkulia beragam
bentuknya. Berikut ini merupakan karakteristik anak diskalkulia,
diantaranya :
1. Biasanya anak tidak memahami proses matematis, yang ditandai
dengan kesulitan mengerjakan tugas yang melibatkan angka atau
simbol matematis.
2. Anak kesulitan dalam menggunakan konsep waktu. Seorang anak
bingung mengurutkan masa lampau dan masa sekarang.
3. Kurangnya pemahaman anak tentang nilai tempat, seperti satuan,
puluhan, ratusan, dan seterusnya.
4. Anak sulit untuk memfokuskan diri khususnya pada matapelajaran
matematika. Akan tetapi memiliki kemampuan berbahasa yang
normal (baik verbal, membaca, menulis maupun mengingat kalimat
tertulis sebelumnya).
5. Anak mengalami kesulitan dalam aktivitas olahraga karena bingung
mengikuti aturan permainan yang berhubungan dengan sistem skor.
6. Memberikan jawaban yang berubah-ubah (inkonsisten) saat
diberikan pertanyaan seputar penjumlahan, pengurangan, perkalian
dan pembagian.
7. Anak sulit melakukan hitungan matematis dalam kehidupan sehari-
hari, misalnya dia sulit menghitung transaksi (berbelanja) termasuk
menghitung uang kembalian. Seringkali anak tersebut menjadi takut
memegang uang, menghindari transaksi, maupun kegiatan yang
harus melibatkan penggunaan uang.
8. Selain lemah pada kemampuan matematika, anak diskalkulia juga
sulit memahami not-not angka dalam pelajaran musik yang
menyebabkan anak kesulitan memainkan alat musik.
D. Rekomendasi Pendampingan
Solusi yang digunakan dalam rangka mendampingi atau membimbing
anak diskalkulia beragam caranya. Dibawah ini adalah beberapa kegiatan
yang dapat dilakukan untuk mendampingi anak diskalkulia, antara lain :
1. Melatih anak secara bertahap untuk memahami dan menguasai
simbol angka dan simbol operasi perhitungan matematika.
2. Membantu anak memahami soal cerita pada konsep matematika
dengan cara menghadirkan benda-benda yang disebutkan dalam
soal secara visual.
3. Melatih anak untuk mengerti dan menguasai konsep nilai pada
uang. Hal ini dapat dilakukan dengan berlatih berbelanja sendiri
mulai dari sejumlah barang yang sedikit sampai dengan yang
cukup banyak.
4. Anak dilatih untuk melakukan ordering (mengurutkan) dan
seriasi pada suatu obyek. Misalnya mengurutkan bilangan dari
yang terkecil sampai terbesar.
5. Melatih korespondensi pada anak. Korespondensi adalah
keterampilan memahami jumlah satu set obyek pada suatu
tempat adalah sama banyaknya dengan satu set obyek pada
tempat lain tanpa menghiraukan karakteristik obyek tersebut.
Misalnya, menghubungkan gambar 5 buah mangga dengan
lambang bilangan 5.
6. Matematika dapat digunakan dalam aplikasi kegiatan sahari-
hari. Misalnya, anak diajak untuk menghitung jumlah kursi yang
ada di meja makan, menghitung jumlah pensil yang ada di kotak
pensil, dan lain sebagainya.
7. Memberikan pujian ketika anak sudah menunjukkan kemajuan
dalam memahami konsep matematika, namun jangan terlalu
menekan anak untuk pandai berhitung.
8. Memperbanyak contoh-contoh konkret dalam memberikan
pemahaman pada konsep yang abstrak, misalnya dengan
menghadirkan alat peraga yang mempermudah anak untuk
mulai mempelajarinya. Sebab dengan adanya bantuan alat
peraga (benda konkret), berfungsi untuk membantu anak dalam
pemahamannya akan konsep abstrak yang belum bisa dikuasai.
Tentu hal ini merupakan strategi untuk melatih visualisasi anak
yang perlu mendapat perhatian.
E. Probilitas Diskalkulia
Anak yang mengalami diskalkulia diperkirakan ± 5 % adalah anak usia
sekolah. Anak perempuan memiliki kecenderungan lebih besar mengalami
diskalkulia dibandingkan anak laki-laki. Anak usia 4-5 tahun biasanya
belum diwajibkan mengenal konsep jumlah yang melibatkan pengurutan
proses yang kompleks, namun hanya dikenalkan konsep hitungan
sederhana. Anak yang berusia 6 tahun keatas umumnya sudah mulai
dikenalkan konsep jumlah yang menggunakan simbol operasi penambahan
(+) dan pengurangan (-). Apabila pada usia 6 tahun anak sulit mengenali
dan memahami konsep jumlah, maka kemungkinan nantinya dia akan
mengalami kesulitan kemampuan pada berhitung. Berdasarkan penelitian,
anak yang mengalami diskalkulia kebanyakan terdeteksi pada saat berada di
kelas 2 dan 3 SD (usia 6-8 tahun). Jika dilihat dari segi angka kelahiran,
diskalkulia hanya dialami berkisar antara 1-2 anak dari 100 kelahiran.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menangani diskalkulia,
antara lain:
a. Gunakan gambar, grafik, atau kata-kata untuk membantu
pemahaman anak. Misalnya, ibu membeli jeruk seharga lima
ribu, gambarkan buah jeruk dan uang kertas senilai lima ribu.
b. Hubungkan konsep matematika dengan kehidupan sehari-hari.
Misalnya ketika menghitung piring sehabis makan atau
mengelompokkan benda sesuai dengan warna lalu
menjumlahkannya dapat mempermudah anak berhitung.
c. Buat pelajaran matematika menjadi sesuatu yang menarik. Anda
bisamenggunakan media komputer atau kalkulator. Lakukan
latihan secara kontinyu dan teratur.
Cara mengatasi diskalkulia bisa dengan cara mengubah pembelajaran
supaya memori bisa hidup kembali. Misalkan, penggunaan warna-warna
yang melambangkan angka. Kelainan diskalkulia juga bisa berkomplikasi
dengan kelainan lain, misalnya autis. Anak-anak dengan kesulitan belajar
belum tentu bodoh, tapi bisa jadi dia mengalami kelainan komunikasi,
sosialisasi, dan kreativitas seperti yang terjadi pada anak autis, Diskalkulia
juga terkadang dikaitkan dengan ketidakseimbangan orientasi otak kanan
dan kiri yang imbasnya menimbulkan kesulitan orientasi matematika.
Aktivitas fisik diduga ada hubungannya dengan anak yang kesulitan
geometri atau bangun ruang. Ada juga yang mengatakan bahwa diskalkulia
terkait dengan kelainan pada motorik sehingga terapi bisa diberikan untuk
memperbaiki saraf motoriknya.
Bagaimanapun, kesulitan ini besar kemungkinan terkait dengan
kesulitan dalam aspek-aspek lainnya, seperti disleksia. Perbedaan derajat
hambatan akan membedakan tingkat treatment dan strategi yang
diterapkan. Selain penanganan yang dilakukan ahli, orang tua pun
disarankan melakukan beberapa latihan yang dapat mengurangi gangguan
belajar, yaitu:
1. Cobalah memvisualisasikan konsep matematis yang sulit dimengerti,
dengan menggunakan gambar ataupun cara lain untuk
menjembatani langkah-langkah atau urutan dari proses
keseluruhannya.
2. Bisa juga dengan menyuarakan konsep matematis yang sulit
dimengerti dan minta si anak mendengarkan secara cermat.
Biasanya anak diskalkulia tidak mengalami kesulitan dalam
memahami konsep secara verbal.
3. Tuangkan konsep matematis ataupun angka-angka secara tertulis di
atas kertas agar anak mudah melihatnya dan tidak sekadar abstrak.
Atau kalau perlu, tuliskan urutan angka-angka itu untuk membantu
anak memahami konsep setiap angka sesuai dengan urutannya.
4. Tuangkan konsep-konsep matematis dalam praktek serta aktivitas
sederhana sehari-hari. Misalnya, berapa sepatu yang harus
dipakainya jika bepergian, berapa potong pakaian seragam
sekolahnya dalam seminggu, berapa jumlah kursi makan yang
diperlukan jika disesuaikan dengan anggota keluarga yang ada, dan
sebagainya.
5. Sering-seringlah mendorong anak melatih ingatan secara kreatif,
entah dengan cara menyanyikan angka-angka, atau cara lain yang
mempermudah menampilkan ingatannya tentang angka.
6. Pujilah setiap keberhasilan, kemajuan atau bahkan usaha yang
dilakukan oleh anak.
7. Lakukan proses asosiasi antara konsep yang sedang diajarkan
dengan kehidupan nyata sehari-hari, sehingga anak mudah
memahaminya.
8. Harus ada kerja sama terpadu antara guru dan orang tua untuk
menentukan strategi belajar di kelas, memonitor perkembangan dan
kesulitan anak, serta melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk
memfasilitasi kemajuan anak. Misalnya, guru memberi saran
tertentu pada orang tua dalam menentukan tugas di rumah, buku-
buku bacaan, serta latihan yang disarankan.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi gangguan ini, di antaranya:
1. Kelemahan pada proses penglihatan atau visual

Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan


mengalami diskalkulia. Ia juga berpotensi mengalami gangguan
dalam mengeja dan menulis dengan tangan.

2. Bermasalah dalam hal mengurut informasi

Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam mengurutkan dan


mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya juga akan sulit
mengingat sebuah fakta, konsep ataupun formula untuk
menyelesaikan kalkulasi matematis. Jika problem ini yang menjadi
penyebabnya, maka anak cenderung mengalami hambatan pada
aspek kemampuan lainnya, seperti membaca kode-kode dan
mengeja, serta apa pun yang membutuhkan kemampuan mengingat
kembali hal-hal detail.

3. Fobia matematika

Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran matematika


bisa kehilangan rasa percaya dirinya. Jika hal ini tidak diatasi segera,
ia akan mengalami kesulitan dengan semua hal yang mengandung
unsur hitungan.

Anda mungkin juga menyukai