a. Prinsip Individual
Prinsip Individual dalam prinsip pembelajaran untuk anak tunanetra merupakan
prinsip umum dalam pembelajaran mana pun. Dalam hal ini guru dituntut untuk
dapat memerhatikan secara detail segala perbedaan-perbedaan dalam setiap
individu tersebut. Dalam pendidikan untuk anak-anak tunarungu, perbedaan-
perbedaan umum tersebut menjadi lebih luas dan rumit. Selain perbedaan-
perbedaan umum, seperti usia, kemampuan mental, fisik, kesehatan, sosial, dan
budaya pada anak-anak tunanetra tersebut memiliki perbedaan khusus yang terkait
dengan ketunanetraan tersebut (seperti tingkat ketunanetraan tersebut, sebab-
sebab ketunanetraannya, dan lain-lainnya). Oleh sebab itu, harus ada perbedaan
layanan pendidikan antara anak Low vision dan anak-anak buta lokal lainnya.
Prinsip layanan individu tersebut jauh lebih mengisyaratkan pada perlunya
seorang guru untuk merancang strategi dan metode pembelajaran yang sesuai
dengan keadaan si anak tersebut. Inilah yang menjadi dasar adanya pendidikan
yang dilakukan secara individu agar tidak ada terjadinya ketimpangan sosial
antara anak penderita tunanetra yang satu dan lainnya yang memiliki tingkatan
keparahan dan penyebab berbeda pula. Peran guru di sini memang menjadi salah
satu hal utama dan pokok dalam metode pembelajaran ini dan menjaga agar anak-
anak tersebut tidak merasakan kerendahan dirinya yang jusru anak-anak tersebut
idak merasakan kerendahan dirinya yang justru akan menghambat kelancaran
anak-anak tersebut dalam belajara. Guru dalam metode ini diharapkan dapat
berperan aktif dalam pendekatan individual tersebut dengan strategi-strategi
barunya untuk mendekatakan diri secara personal terhadap anak penyandang
tunanetra dengan lebih intim lagi agar bisa melihat segala perbedaan yang ada dan
bisa menyikapi secara tepat.
c. Prinsip Totalitas
Strategi pembelajaran ini dlakukan oleh seorang guru untuk dapat memungkinkan
seorang siswanya untuk memiliki pengalaman objek secara langsung maupun
pada situai yang terjadi secara utuh. Dalam strategi ini dapat terwujud apabila
sang guru dapat mendorong anak tersebut untuk dapat melibatkan semua
pengalaman pengindraanya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep.
Gagasan ini juga sering disebut juga dengan multi sensory approach dalam bahasa
Bower (1986), yang artinya menggunakan seluruh alat pengindraan tersebut yang
masih memiliki fungsi yang masih baik untuk mengenali objek secara menyeluruh
untuk dapat mengenali dengan baik dan mendapatkan gambaran secara utuh
seperti apa yang ada dalam dimensi yang sesungguhnya. Misalnya saja seorang
anak tunanetra yang ingin mengenali entuk burung. Maka, seorang anak yang
memiliki keterbatasan dalam hal indra penglihatan tersebut harus dapat
melibatkan keselutuhan indra yang masih berfungsi untuk dapat memberikan
informasi yang utuh dan baik mengenai bentuk, ukuran, sifat permukaan, dan
kehangatan dari burung tersebut. Anak penyandang tunanetra tersebut juga harus
dapat mengenali suara yang menjadi ciri khas burung tersebut. Pengalaman
pengenalan anak terhadap burung tersebut anak menjadi lebih luas dan
menyeluruh dibandingkan dengan anak-anak yang hanya menggunakan satu indra
dalam mengenali dan mengamati burung tersebut. Itulah yang menjadi nilai
tambah yang akan dimiliki oleh anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus
dalam hal gangguan penglihatan. Hilangnya suatu penglihatan pada salah satu dari
kelima indranya, dapat membuat anak-anak tunanetra menjadi sulit mendapatkan
gambaran secara nyata dan menyeluruh mengenai objek-objek yang tidak dapat
diamati secara serentak oleh kelima indranya. Maka dari itu, perpaduan beberapa
teknik dalam penggunaannya menjadi penting untuk anak tunanetra tersebut.
Evaluai terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra pada dasarnya
sama dengan yang dilakukan terhadap anak yang memiliki mata normal, namun
ada sedikit perbedaan yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan
tes. Materi tes atau pertanyaan yang diajukan kepada anak tunanetra tidak
mengandung unsur—unsur yang memerlukan persepsi visual apabila
menggunakan tes tertulis, soal hendaknya diberikan dalam huruf braille atau
menggunakan reader (pembaca) apabila menggunakan huruf alfabet normal yang
biasanya digunakan oleh anak-anak bermata normal.