Anda di halaman 1dari 66

LAPORAN TUGAS 2

MINI RISET
PENGARUH KONSELING INDIVIDUAL TEKNIK RATIONAL
EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY (REBT) TERHADAP REMAJA
PERANTAUAN YANG MENGALAMI CULTURE SHOCK

Disusun Oleh :
Kelompok 5

Indah Ramayanti Berutu (1191151014)


Adelia Mauritia Shalsa (1192451008)
Yogi Yosafat Ginting (1193151020)
Edy Andriarto Habib (1193151022)
Viviayu Azhar Saragih (1193351030)
BK REGULER C 2019

Mata Kuliah : Konseling Multibudaya


Dosen Pengampu : Dr. Nuraini, MS.

PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pada awalnya definisi Culture Shock cenderung pada kondisi gangguan mental.
Bowlby (dalam Dayakisni, 2008) menggambarkan bahwa kondisi ini sama seperti dengan
kesedihan, berduka cita dan kehilangan. Sehingga dapat dikaitkan mirip dengan kondisi
seseorang ketika kehilangan orang yang dicintai. Ketika kita masuk dan mengalami kontak
dengan budaya lain, dan merasakan ketidaknyamanan psikis dan fisik karena kontak tersebut,
kita telah mengalami gegar/kejutan budaya/culture shock (Littlejohn, dalam Mulyana, 2006).
Sejak diperkenalkan untuk pertama kali, banyak konsep tentang Culture Shock untuk
memperluas definisi ini. Menurut Adler (dalam Abbasian and Sharifi, 2013) mengemukakan
bahwa Culture Shock merupakan reaksi emosional terhadap perbedaan budaya yang tak
terduga dan kesalahpahaman pengalaman yang berbeda sehingga dapat menyebabkan
perasaan tidak berdaya, mudah marah, dan ketakutakan akan di tipu, dilukai ataupun
diacuhkan. Culture shock merupakan sebuah fenomena emosional yang disebabkan
olehterjadinya disorientasi pada kognitif seseorang sehingga menyebabkan gangguan pada
identitas (Stella, dalam Hayqal, 2011).
Perisitiwa culture shock ini tidak jarang terjadi. Khususnya pada mahasiswa
perantauan yang harus pindah ke daerah lain untuk melanjutkan pendidikan. Banyak dari
mereka yang mengalami gegar budaya ini hingga menganggu keseharian mereka. Salah
satunya adalah remaja perantauan yang bersuku Karo yang harus pindah ke daerah mayoritas
Sunda. Kasus ini lah yang membuat penulis tertarik mengangkat masalah culture shock yang
dialami oleh remaja perantauan untuk diteliti.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diidentifikasi masalah pada
penelitian ini adalah Apakah Konseling Individual Teknik Rasional Emotive Behavior
Therapy (REBT) memiliki Pengaruh terhadap Culture Shock yang Dialami Remaja
Perantauan?

1.3 Tujuan Penelitian

1
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah Untuk
mengetahui Apakah Konseling Individual Teknik Rasional Emotive Behavior Therapy
(REBT) memiliki Pengaruh terhadap Culture Shock Remaja Perantauan.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk dapat
mengetahui pengaruh dari konseling individual teknik rasional emotive behavior therapy
(REBT) memiliki pengaruh terhadap culture shock perantauan,
2. Manfaat Praktis
Memberikan pengalaman dalam suatu penyelenggaraan penelitian, sehingga peneliti
dapat mengembangkannya dalam riset, serta di harapkan dapat menambah pengalaman dan
wawasan peneliti. Dan diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan dan bahasan
pertimbangan bagi semua pihak dalam memahami diri sebagai perantauan.

2
BAB II
KERANGKA TEORI

2.1 Culture Shock (Indah Ramayanti Berutu, Viviayu Azhar Saragih dan Yogi Yosafat
Ginting)

Ward, Colleen, Stephen Bochner dan Adrian Furnham. The Psychology Of Culture
Shock. Hove : Routledge, 2001.

A. Pengertian Culture Shock


Istilah "Culture Shock" pertama kali diperkenalkan oleh Oberg (dalam Dayaksini,
2004) untuk menggambarkan respon yang mendalam dan negatif dari depresi, frustasi, dan
disorientasi yang dialami oleh orang-orang yang hidup dalam suatu lingkungan budaya yang
baru. Istilah ini menyatakan ketiadaan arah, merasa tidak mengetahui harus berbuat apa atau
bagaimana mengerjakan segala sesuatu di lingkungan yang baru, dan tidak mengetahui apa
yang tidak sesuai atau sesuai.
Menurut Littlejohn (dalam Mulyana 2006) Culture Shock adalah perasaan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena adanya kontak dengan budaya lain. Banyak
pengalaman dari orang-orang yang menginjakkan kaki pertama kali di lingkungan baru,
walaupun sudah siap, tetap merasa terkejut atau kaget begitu mengetahui bahwa lingkungan
di sekitarnya telah berubah. Orang terbiasa dengan hal-hal yang ada di sekelilingnya, dan
orang cenderung suka dengan familiaritas tersebut. Familiaritas membantu seseorang
mengurangi tekanan karena dalam familiaritas, orang tahu apa yang diharapkan dari
lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Maka ketika seseorang meninggalkan
lingkungannya yang nyaman dan masuk dalam suatu lingkungan baru, banyak masalah akan
dapat terjadi (Mulyana, 2006).
Culture shock juga telah dibahas sebagai sumber kesulitan dalam interaksi antar
budaya (Triandis, 1990). Culture shock mengacu pada pola sikap, keyakinan, norma dan
perilaku yang dapat digunakan untuk membedakan kelompok budaya. Para peneliti
mempercayai bahwa perbedaan afektif, perilaku dan kognitif adalah pendekatan-pendekatan
yang digunakan dalam memahami culture shock secara teoritis, masuk akal dan komprehensif
untuk mewakili perkembangan secara konseptual di lapangan 15 tahun terakhir. Pendekatan-
pendekatan ini tercatat pada psikologi umum dan diterapkan secara sistematis pada studi
tentang kontak antar budaya dan perubahan budaya.

3
1. Culture shock dari segi bahasa
Komunikasi antarbudaya (intercultural communication) yang merujuk pada
komunikasi atau bahasa antara individu-individu yang latar belakang budayanya
berbeda. Individu-individu ini tidak harus selalu berasal dari negara yang berbeda,
bukan pula rumpun, ras atau suku budaya, melainkan pada realitasnya bahwa
setiap individu sudah berbeda budaya. Bukan hal yang aneh lagi di dalam satu
masyarakat ada dua orang yang berbeda budaya berbicara satu sama lainnya.
Menurut Porter dan Samovar (1985:24) pengaruh budaya dapat terlihat dari cara
berkomunikasi, bahasa dan gaya bahasa, serta perilaku non verbal yang
merupakan bentuk respon atas budaya.
Menurut Mulyana (Juariyah 2012) Komunikasi antarbudaya terjadi ketika
sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang berbeda. Komunikasi
antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan
penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya.

2. Culture shock dari segi makanan/kuliner


Setiap daerah memiliki makanan khasnya masing-masing. Tak hanya makanan
saja, cara makan dan cita rasa khas setiap daerah pun berbeda-beda. Perbedaan
tersebut dapat menyebabkan culture shock pada orang yang baru pindah dari satu
daerah ke daerah lain. Perbedaan makanan ini juga menjadi kendala bagi para
pendatang dalam beradaptasi. Perbedaan dari segi makanan seperti komposisi
makanan, takaran bumbu dan rempah, cara menyajikan bahkan cara makan
seringkali berbeda antara budaya satu dengan yang lainnya.
Menurut Devinta (M. Hasan Fuadi, 2018:11) Pola, jenis, rasa dan porsi makan
seseorang sangat berkaitan erat dengan kultur dimana ia tinggal dan telah melekat
pada diri individu. Oleh karenanya, ketika individu berada di daerah yang baru
dengan pola, jenis, rasa dan porsi makan yang berbeda, ia akan mengalami
kekagetan dan frustasi yang mengarah pada terjadinya culture shock.

3. Culture shock dari segi kebiasaan


Menurut Porter & Samovar (dalam Ansiga, 2012) bahwa setiap budaya
memiliki aturan, kebiasaan ataupun caranya masing-masing dan berbeda satu
sama lain. Hal tersebut mempengaruhi lingkungan dan cara orang dalam bertindak
serta merespons hal-hal yang dialami dalam hidup. Setiap budaya memiliki aturan
4
dan nilai tersendiri dalam bertindak dan mengatasi sesuatu yang sulit. Noesjirwan
(dalam Ansiga, 2012) mengatakan bahwa aturan yang dimiliki suatu budaya,
belum tentu cocok dalam budaya yang lain. Hal ini sama dengan cara bergaul dan
berteman dari setiap budaya.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Culture Shock


Parrillo (2008) menyatakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi culture shock
yaitu :
1. Faktor intrapersonal termasuk keterampilan (keterampilan komunikasi),
pengalaman sebelumnya (dalam setting lintas budaya), trait personal (mandiri
atau toleransi), dan akses ke sumber daya. Karakteristik fisik seperti penampilan,
umur, kesehatan, kemampuan sosialisasi juga mempengaruhi. Penelitian
menunujukkan umur dan jenis kelamin berhubungan dengan culture shock.
Individu yang lebih muda cenderung mengalami culture shock yang lebih tinggi
dari pada individu yang lebih tua dan wanita lebih mengalami culture shock
daripada pria (Kazantzis dalam Pederson, 1995).
2. Variasi budaya mempengaruhi transisi dari satu budaya ke budaya lain. Culture
shock lebih cepat jika budaya tersebut semakin berbeda, hal ini meliputi sosial,
perilaku, adat istiadat, agama, pendidikan, norma dalam masyarakat, dan bahasa.

C. Ciri-Ciri Culture Shock


Beberapa ciri-ciri dari culture shock menurut Ward (2001) adalah sebagai berikut :
1. Biasanya individu akan mengalami kesulitan tidur, selalu ingin buang air kecil,
mengalami sakit fisik, tidak nafsu makan dan lain-lain. Dengan kata lain, individu
yang tidak terampil secara budaya akan sulit mencapai tujuan.
2. Individu merasa bingung, cemas, disorientasi, curiga, dan juga sedih karena
datang ke lingkungan yang tidak familiar. Selain itu individu merasa tidak tenang,
tidak aman, takut ditipu ataupun dilukai, merasa kehilangan keluarga, teman-
teman, merindukan kampung halaman, dan kehilangan identitas diri.
3. Individu akan memiliki pandangan negatif, kesulitan bahasa karena berbeda
daerah.

2.2 Konseling Individual (Edy Andriarto Habib)

5
Corey, G. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung : PT. Eresco,
1998.

Willis, Sofyan S. Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung : Alfabeta,


2013.

A. Pengertian Konseling Individual


Menurut Rogers, konseling adalah serangkaian hubungan langsung antara konselor
dengan individu yang bertujuan untuk membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah
lakunya (Hallen, 2002:10).
Glen yang dikutip oleh Makarao (2010: 86) konseling adalah suatu proses dimana
konselor membantu konseli (klien) agar ia dapat memahami dan menafsirkan fakta-fakta
yang berhubungan dengan pemilihan, perencanaan, dan penyesuaian diri sesuai dengan
kebutuhan individu.
Menurut Milton, konseling adalah suatu proses yang terjadi dalam hubungan seorang
dengan seorang yaitu individu yang mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan
seorang petugas professional yang telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk
membantu agar klien mampu memecahkan masalahnya (Makarao, 2010: 86).
Jadi konseling individu adalah proses pemberian bantuan yang mana konseli bertemu
dengan konselor secara langsung (face to face) dan di dalamnya terjadi interaksi. Hubungan
konseling bersifat pribadi yang menjadikan konseli nyaman dan terbuka untuk
mengungkapkan permasalahan yang terjadi.

B. Tujuan dan Fungsi Konseling


1. Tujuan Konseling Individual
Tujuan Konseling Individu ialah agar klien memahami kondisi dirinya sendiri,
lingkungannya, permasalahan yang dialami, kekuatan dan kelemahan dirinya
sehingga klien mampu mengatasinya. Dengan perkataan lain, konseling individu
bertujuan untuk mengentaskan masalah yang dialami klien.
Secara lebih khusus, tujuan konseling individu adalah merujuk kepada fungsi-
fungsi bimbingan dan konseling sebagaimana telah dikemukakan. Pertama,
merujuk kepada fungsi pemahaman, maka tujuan layanan konseling adalah agar
klien memahami seluk beluk yang dialami secara mendalam dan komprehensif,
positif, dan dinamis. Kedua, merujuk kepada fungsi pengentasan, maka layanan
konseling individu bertujuan untuk mengentaskan klien dari masalah yang

6
dihadapinya. Ketiga, dilihat dari fungsi pengembangan dan pemeliharaan, tujuan
layanan konseling individu adalah untuk mengembangkan potensi-potensi
individu dan memelihara unsur-unsur positif yang ada pada diri klien. Sesuai
dengan fungsi-fungsi bimbingan dan konseling di atas.

2. Fungsi Konseling Individual


Secara lebih khusus, tujuan layanan konseling individu adalah merujuk kepada
fungsi-fungsi bimbingan dan konseling sebagaimana telah dikemukakan :
a. Fungsi pemahaman akan diperoleh klien saat klien memahami seluk beluk
masalah yang dialami secara mendalam dan komprehensif serta positif dan
dinamis.
b. Fungsi pengentasan mengarahkan klien kepada pengembangan persepsi, sikap
dan kegiatan demi terentaskannya masalah klien berdasarkan pemahaman
yang diperoleh klien.
c. Fungsi pengembangan/pemeliharaan merupakan latar belakang pemahaman
dan pengentasan masalah klien.
d. Fungsi pencegahan akan mencegah menjalarnya masalah yang sedang dialami
klien dan mencegah masalah-masalah baru yang mungkin timbul.
e. Fungsi advokasi akan menangani sasaran yang bersifat advokasi jika klien
mengalami pelanggaran hak-hak. Kelima fungsi konseling tersebut secara
langsung mengarah kepada dipenuhinya kualitas untuk perikehidupan sehari-
hari yang efektif (effective daily living).

Berdasarkan fungsi konseling individu di atas, bisa disimpulkan bahwa fungsi


konseling individu adalah sebagai pemahaman masalah yang dialami klien berdasarkan
persepsi klien. Sebagai pencegahan timbulnya masalah baru. Berfungsi advokasi jika klien
mengalami pelanggaran hak-hak, dan mengentaskan masalah yang terjadi pada klien.

C. Prinsip Konseling Individual


Konseling sebagai proses membantu individu agar berkembang, memiliki beberapa
prinsip penting yaitu:
1. Memberikan kabar gembira dan kegairahan hidup
Dalam hubungan konseling sebaiknya tidak mengungkapkan berbagai
kelemahan, kesalahan, dan kesulitan klien. Akan tetapi berupaya membuat situasi
7
konseling yang menggembirakan. Situasi tersebut akan membuat klien senang,
tertarik untuk melibatkan diri dalam pembicaraan, dan akhirnya akan terbuka
untuk membeberkan isi hati dan rahasianya. Dengan suasana yang gembira,
kemungkinan besar hati klien terbuka menerima peringatan-peringatan, dan
mudah untuk mengungkapkan kelemahannya.
2. Melihat klien sebagai subjek dan hamba Allah
Klien adalah subjek yang berkembang. Klien merupakan hamba Allah yang
menjadi tugas amanat bagi seorang konselor. Maka dari itu, klien harus dihargai
sebagai pribadi yang merdeka. Dalam hubungan konseling, klien yang harus
banyak berbicara mengenai dirinya bukan konselor.

2.3 Pendekatan Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT)


(Adelia Mauritia Shalsa)

Gantiana K, Eka.W, dan Karsih. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta Barat : PT
Indeks, 2011.

REBT dikembangkan oleh seorang eksistensialis. Albert Ellis pada tahun 1962.
Sebagaimana diketahui aliran ini dilatarbelakangi oleh filsafat eksistensialisme yang berusaha
memahami manusia sebagaimana adanya. Manusia adalah subjek yang sadar akan dirinya
dan sadar akan objekobjek yang dihadapinya. Manusia adalah makhluk berbuat dan
berkembang dan merupakan individu dalam satu kesatuan yang berarti; manusia bebas,
berpikir, bernafsu, dan berkehendak.
REBT yang menolak pandangan aliran psikoanalisis berpandangan bahwa peristiwa
dan pengalaman individu menyebabkan terjadinya gangguan emosional. Menurut Ellis
bukanlah pengalaman atau peristiwa eksternal yang menimbulkan emosional, akan tetapi
tergantung kepada pengertian yang diberikan terhadap peristiwa atau pengalaman itu.
Gangguan emosi terjadi disebabkan pikiran-pikiran seorang yang bersifat irasional terhadap
peristiwa dan pengalaman yang dilaluinya.
REBT bertujuan untuk memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berpikir,
keyakinan serta pandangan klien yang irasional menjadi rasional, sehingga ia dapat
mengembangkan diri dan mencapai realisasi diri yang optimal. Menghilangkan gangguan
emosional yang dapat merusak diri seperti: benci, takut, rasa bersalah, cemas, was-was,
marah, sebagai akibat berpikir yang irasional, dan melatih serta mendidik klien agar dapat

8
menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan membangkitkan kepercayaan diri, nilai-
nilai, dan kemampuan diri.
1. Proses terapi :
 Konselor berusaha menunjukkan klien kesulitan yang dihadapi sangat
berhubungan dengan keyakinan irasional, dan menunjukkan bagaimana klien
harus bersikap rasional dan mampu memisahkan keyakinan irasional dengan
rasional.
 Setelah klien menyadari gangguan emosi yang bersumber dan pemikiran irasional,
maka konselor menunjukkan pemikiran klien yang irasional, serta klien berusaha
mengubah kepada keyakinan menjadi rasional.
 Konselor berusaha agar klien menghindarkan diri dari ide-ide irasionalnya, dan
konselor berusaha menghubungkan antara ide tersebut dengan proses penyalahan
dan perusakan diri.
 Proses terakhir konseling adalah konselor berusaha menantang klien untuk
mengembangkan filosofis kehidupannya yang rasional, dan menolak kehidupan
yang irasional dan fiktif.

2.4 Kerangka Konseptual


Furnham dan Bochner (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) menyatakan bahwa
perbedaan budaya menimbulkan culture shock melalui interaksi sosial pada lingkungan
budaya baru. Dengan demikian, individu membutuhkan individu lain untuk dapat bertahan
dalam kondisi apapun sehingga individu melakukan asimilasi dan akulturasi selama berada
dalam budaya baru.

Variabel bebas Variabel terikat

Konseling Individual Culture Shock


teknik REBT (Y)
(X)

Gambar 1. Kerangka Konseptual Penelitian

Uraian diatas memberikan pemahaman bahwa adanya hubungan antara layanan


konseling indivdiual teknik REBT terhadap culture shock yang dialami remaja perantauan.

9
2.5 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap suatu permasalahan yang dihadapi
dalam penelitian, dimana jawaban sementara tersebut masih diuji lagi kebenarannya
(Sugiyono, 2007). Berdasarkan masalah dan landasan teori yang ada maka hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah :
a. Layanan konseling individu teknik REBT tidak memiliki pengaruh apapun terhadap
culture shock yang dialami oleh remaja perantauan.
b. Layanan konseling individual teknik REBT memiliki pengaruh terhadap culture shock
yang dialami oleh remaja perantauan.

10
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Penelitian dalam laporan ini menggunakan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif
sendiri adalah definisi, pengukuran data kuantitatif dan statistik objektif melalui perhitungan
ilmiah yang berasal dari sampel orang-orang atau subjek yang dimintai menjawab atas
sejumlah pertanyaan yang bersangkutan dengan penelitian.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah layanan konseling individual teknik
REBT memiliki pengaruh terhadap culture shock yang dialami oleh remaja perantauan.

3.2 Tempat dan Waktu


Lokasi penelitian merupakan tempat untuk meneliti dan mencari data yang akan
dikumpulkan yang berguna untuk penelitian. Lokasi penelitian dilakukan di Kabanjahe.
Sedangkan waktu penelitian dilakukan pada bulan Maret-April 2022.

3.3 Subjek Penelitian


Subjek dalam penelitian ini adalah seorang remaja berinisial W.S yang merupakan
mahasiswi salah satu Universitas di Tasikmalaya yang merupakan rantau yang berasal dari
suku Karo dan tinggal di mayoritas suku Sunda.

3.4 Instrumen Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang tepat untuk mendapatkan data kualitatif pada
umumnya agak berbeda dengan pengambilan kualitatif. Untuk memudahkan peneliti dalam
melakukan penelitiannya, maka di perlukan teknik pengumpulan data yang akan di lakukan
kepada sumber data pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan wawancara,
yaitu mendapatkan data dengan cara tanya jawab dan berhadapan dengan
informan/narasumber (Ali 1997:198).

11
PEDOMAN WAWANCARA
Culture Shock
I. Jadwal Wawancara:
1. Tanggal/Hari :
2. Waktu mulai dan selesai :
II. Identitas Subjek:
1. Nama :
2. Tempat Tinggal :
3. Asal Universitas :
III. Pertanyaan:
1. Apakah anda pernah mengalami culture shock?
2. Culture shock dengan budaya apa yang anda alami?
3. Culture shock seperti apa yang anda alami?
4. Bisakah anda menceritakan culture shock yang anda alami?
5. Apa tindakan yang anda lakukan saat mengalami culture shock tersebut.
6. Apakah sebelumnya anda pernah menelusuri mengenai perbedaan budaya (budaya
sunda) yang akan anda tinggali selama melakukan perkuliahan?
7. Apakah menurut anda penting pemberian informasi mengenai lokasi (tempat)
perkuliahan di SMA, sehingga siswa tidak akan mengalami keterkejutan budaya
nantinya?

3.5 Teknik Analisis Data


Teknik ini sebagai alat menguraikan data, mengolah data yang sudah terkumpul dari
hasil penelitian. Dengan kata lain, teknik analisis data adalah suatu cara yang ditempuh untuk
mengolah data yang didapat dari suatu penelitian dengan prosedur ilmiah. Ada beberapa
macam analisis data, diantaranya dengan uji Wilcoxon untuk melihat apakah terdapat
pengaruh layanan konseling individual teknik REBT terhadap culture shock yang dialami
oleh remaja perantauan.

12
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

4.1 Hasil Penelitian


A. Deskripsi Hasil Penelitian
Data dari hasil penelitian ini didapatkan melalui wawancara yang dilakukan oleh
peneliti terhadap subjek. Dimana subjek yang diwawancarai oleh peneliti memiliki
pengalaman yang berkaitan dengan culture shock. Berikut adalah deskripsi hasil penelitian
yang diperoleh dari informan penelitian:
Nama : W.S
Tempat Tinggal : Desa Suka Mbayak, Kec.Tigapanah, Kab. Karo, Sumatera
Utara
Asal Universitas : Universitas Pendidikan Indonesia Tasikmalaya

Subjek merupakan seorang mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia


Tasikmalaya memaparkan kepada peneliti selama proses wawancara bahwa subjek
mengalami culture shock. culture shock yang subjek alami yaitu dengan budaya Sunda (Jawa
Barat) dimana daerah tersebut merupakan lokasi Universitas dari subjek. Culture shock yang
dialami subjek dalam hal makanan, penggunaan bahasa daerah (bahasa Sunda) dan juga
penyesuaian dengan budaya Sunda.
Dalam hal makanan, menurut subjek makanan-makanan khas Sunda tidak sesuai
dengan selera dari subjek. Disebabkan karena beberapa rasa pada makanan yang terlalu pedas
dan juga telalu manis, cita rasa dari makan-makan tersebut yang sangat berbeda dengan
makanan-makanan dari daerah asal subjek (suku Karo).
Dari segi bahasa, penggunaan bahasa sunda juga menyulitkan subjek dalam
berinteraksi dan mengikuti perkuliahan, hal ini disebabkan karena bahasa sunda yang
digunakan tidak hanya dalam forum non formal, tetapi juga dalam forum-forum formal
(dalam pekuliahan dan acara-acara besar kampus). Penggunaan bahasa daerah dalam forum
formal tersebut membuat subjek menjadi kesulitan dalam mengikuti dan memahami
pembelajaran dalam perkuliahan.
Budaya atau kebiasaan dari masyarakat Sunda yang memasak bersama (memasak
nasi liwet) dan makan bersama-sama juga membuat subjek mengalami keterkejutan karena
berbeda dengan budaya asal subjek dan harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan budaya

13
yang ada. Subjek harus membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang baru bagi
dirinya.
Subjek menjelaskan bahwa sebelum pindah ke Tasikmalaya, subjek tidak pernah
mendapatkan atau menelusuri informasi mengenai budaya, penggunaan bahasa, serta
informasi mengenai makanan-makanan di daerah tersebut. Sehingga ketika berada di
Tasikmalaya subjek mengalami culture shock dengan budaya di daerah tersebut.

B. Uji Hipotesis (hasilnya seperti apa yang harus dikemukakan)


Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak culture shock seorang remaja suku
Karo terhadap penyesuaian diri dengan mayoritas suku Sunda. Sehingga perumusan hipotesis
dari penelitian ini yaitu, “Layanan Konseling individual teknik Rational Emotive Behavior
Therapy (REBT) memiliki pengaruh terhadap culture shock yang dialami oleh remaja
perantauan.”

C. Kesimpulan Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil penelitian, dapat kita simpulkan bahwa subjek yang berinisial W.S
mengalami culture shock dengan budaya Sunda. Subjek yang mengikuti perkuliahan di
Tasikmalaya dengan lingkungan budaya Sunda membuat subjek mengalami kesulitan dalam
berinteraksi atau bersosialisasi, memenuhi kebutuhan hidupnya dalam hal makanan, serta
kebiasaan dari masyarakat suku sunda yang cenderung membuat subjek merasa tertekan dan
kesulitan untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi.
Interaksi sosial yang berbeda, cita rasa makanan yang berbeda dan penggunaan
bahasa daerah membuat subjek sulit dan kurang mampu bergabung dengan kelompok pada
lingkungan budaya setempat. Sehingga membuat subjek merasa terabaikan dan menimbulkan
perasaan cemas dan sulit berinteraksi.

4.2 Pembahasan
Subjek yang berlatar belakang suku Karo mengalami culture shock dengan budaya
Sunda dan membuat subjek mengalami kesulitan dalam berinteraksi atau bersosialisasi,
memenuhi kebutuhan hidupnya dalam hal makanan, serta kebiasaan dari masyarakat suku
sunda yang cendrung membuat subjek merasa tertekan dan kesulitan untuk menyesuaikan diri
atau beradaptasi. Serta membuat subjek kurang mampu untuk berinteraksi, sehingga
menimbulkan perasaan cemas pada diri subjek.

14
Penggunaan bahasa daerah yang dialami oleh subjek menimbulkan kesulitan dalam
proses interaksi dalam lingkungan dan juga dalam proses perkuliahan bagi subjek dalam
lingkungan yang baru (rantau). Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang penting dalam
proses interaksi. Penggunaan bahasa daerah pada forum formal (perkuliahan) mengakibatkan
proses komunikasi tidak dapat berjalan dengan baik. menurut Mulyana (Juariyah 2012)
Komunikasi antarbudaya terjadi ketika sumber dan penerimanya berasal dari budaya yang
berbeda. Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya
dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya.
Perbedaan cita rasa makanan merupakan salah satu faktor yang menimbukan dampak
negatif bagi subjek yang berasal dari karo, cita rasa makanan Sunda yang cenderung terlalu
manis dan juga terlalu pedas tidak sesuai dengan makanan yang di sukai oleh subjek. Rasa
manis dan pedas dari makan Tasikmalaya sangat berbeda dengan rasa pedas manis seperti
halnya makanan dari Karo. Perbedaan cita rasa dan makanan ini membuat subjek kesulitan
untuk beradaptasi, karena perbedaan makanan seperti ini sangat mempengaruhi nafsu makan
subjek. Menurut Devinta (M. Hasan Fuadi2018:11) Pola, jenis, rasa dan porsi makan
seseorang sangat berkaitan erat dengan kultur dimana ia tinggal dan telah melekat pada diri
individu. Oleh karenanya, ketika individu berada di daerah yang baru dengan pola, jenis, rasa
dan porsi makan yang berbeda, ia akan mengalami kekagetan dan frustasi yang mengarah
pada terjadinya culture shock.
Kebiasaan-kebiasaan atau norma dan adat istiadat yang dimiliki dari masing-masing
daerah sangat berbeda. Indonesia yang memiliki beragam suku juga memiliki budaya, adat
istiadat serta kebiasaan-kebiasaan tersendiri. Perbedaan budaya tersebut dapat kita lihat dari
subjek yang berlatar belakang suku budaya Karo (Sumatera Utara), merantau ke Jawa Barat
dengan budaya Sunda. Latar belakang budaya dengan bebiasaan-kebiasaan yang dimiliki
subjek membuat subjek mengalami culture shock yang menimbulkan perasaan-perasan yang
kurang nyaman dan kesulitan untuk menyesuaikan diri. Hal ini didukung oleh pendapat dari
Noesjirwan (dalam Ansiga, 2012) mengatakan bahwa aturan yang dimiliki suatu budaya,
belum tentu cocok dalam budaya yang lain.

4.3 Projek yang Dilakukan


A. Pendekatan Konselilng REBT dalam membantu Culture Shock
Menghadapi culture shock yang dihadapi oleh mahasiswa rantau perlu campur tangan
konselor. UPBK sebagai unit pelayanan bimbingan dan konseling yang bisa memberikan
pelayanan dalam berbagai masalah remaja, salah satunya adalah culture shock yang berasal
15
dari mahasiswa rantau. Rational Emotive Behavior Counseling adalah konseling
komprehensif, aktif-direktif, filosofis dan empiris berdasarkan psikoterapi yang berfokus
pada pemecahan masalah gangguan emosi dan perilaku, serta memberikan individu untuk
lebih bahagia dan memenuhi kehidupan lebih banyak kehidupan (Habsy, 2018).

B. Tahap-tahap yang dilakukan


Tahap-tahap konseling individu REBT :
- Tahap awal
a. Tahap pembinaan hubungan
1. Konselor memberikan salam ataupun sapaan kepada konseli, kemudian
mengajak konseli untuk mengawali kegiatan dengan berdoa
2. Konselor mengucapkan terimakasih kepada konseli telah bersedia hadir
dalam kegiatan konseling
3. Konselor menjelaskan asas-asas, tata cara dan peraturan dalam konseling
4. Konselor menjelaskan gambaran kegiatan konseling yang akan ditempuh
5. Konselor menanyakan kesiapan konseli untuk kegiatan lebih lanjut
- Tahap Inti
a. Tahap pengelolaan pemikiran dan cara pandang
1. Konselor membantu konseli untuk mengidentifikasi, menerangkan dan
menunjukkan masalah yang dialami konseli
2. Konselor memberikan informasi mengenai masalah yang dialami konseli
3. Mendiskusikan dan menetapkan tujuan konseling bersama konseli
4. Penerapan teknik kognitif (mempertanyakan keyakinan irasional serta
mengubah gaya bahasa konseli)
b. Tahap pengelolaan emosi
1. Penerapan teknik emotif : konselor meminta konseli untuk membayangkan
kejadian tidak menyenangkan ketika merasakan culture shock. Kemudian
konseli diminta membayangkan seminggu, sebulan atau setahuan
kemudian, bagaimana perasaan konseli jika hal yang tidak menyenangkan
tersebut terus terjadi.
c. Tahap pengelolaan tingkah laku
1. Konselor mengamati perubahan konseli dengan memberikan
reinforcement positif ataupun negatif, disesuaikan dengan pencapaian
konseli
16
2. Konseli diminta melakukan role playing dengan berperan melakukan
adaptasi dari kebiasaan (bahasa, makanan dan kebiasaan sehari-hari) suku
Sunda
- Tahap akhir
a. Tahap evaluasi dan pengakhiran
1. Konselor mengidentifikasi keberhasilan konseling dengan mengajukan
beberapa pertanyaan pada konseli
2. Konselor memberikan umpan balik simpulan, memberikan reinforcement
3. Konselor menjelaskan kepada konseli bahwa kegiatan konseling akan
segera dikhiri
4. Membahas kegiatan lanjutan jika mungkin diperlukan kembali melakukan
konseling lanjutan
5. Konselor memimpin doa dan menutup dengan salam

C. Kesimpulan yang Dihasilkan


Kesimpulan yang dihasilkan dari pembahasan penelitian ini adalah dengan
dilakukannya layanan konseling individual dengan metode pendekatan Rasional Emotive
Behavior Therapy (REBT) guna mengentaskan permasalahan culture shock yang
menyebabkan banyak kesulitan pada subjek serta membantu mengubah kognitif dan perilaku
subjek dari irasional ke rasional. Atau dengan kata lain, membantu subjek dalam kesulitannya
menghadapi gegar budaya yang berdampak pada kemampuan kognitif dan sosialnya.

17
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Culture Shock adalah perasaan
ketidaknyamanan psikis dan fisik karena adanya kontak dengan budaya lain.
Konseling individu adalah proses pemberian bantuan yang mana konseli bertemu
dengan konselor secara langsung (face to face) dan di dalamnya terjadi interaksi. Hubungan
konseling bersifat pribadi yang menjadikan konseli nyaman dan terbuka untuk
mengungkapkan permasalahan yang terjadi. REBT bertujuan untuk memperbaiki dan
mengubah sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan klien yang irasional
menjadi rasional, sehingga ia dapat mengembangkan diri dan mencapai realisasi diri yang
optimal. Menghilangkan gangguan emosional yang dapat merusak diri seperti: benci, takut,
rasa bersalah, cemas, was-was, marah, sebagai akibat berpikir yang irasional, dan melatih
serta mendidik klien agar dapat menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan
membangkitkan kepercayaan diri, nilai-nilai, dan kemampuan diri.
Data dari hasil penelitian ini didapatkan melalui wawancara yang dilakukan oleh
peneliti terhadap subjek. Dimana mengalami culture shock yang subjek alami yaitu dengan
budaya Sunda (Jawa Barat) dimana daerah tersebut merupakan lokasi Universitas dari subjek.
Culture shock yang dialami subjek dalam hal makanan, penggunaan bahasa daerah (bahasa
Sunda) dan juga penyesuaian dengan budaya Sunda.
Dengan itu, diberikan solusi untuk mengentaskan masalah tersebut. Yaitu dengan
pelayanan dalam berbagai masalah remaja, salah satunya adalah culture shock yang berasal
dari mahasiswa rantau. Rational Emotive Behavior Counseling adalah konseling
komprehensif, aktif-direktif, filosofis dan empiris berdasarkan psikoterapi yang berfokus
pada pemecahan masalah gangguan emosi dan perilaku, serta memberikan individu untuk
lebih bahagia dan memenuhi kehidupan lebih banyak kehidupan

B. Saran
Saran yang dapat diberikan terkait masalah dan pembahasan diatas adalah sebagai
berikut :

18
1. Kepada dosen universitasnya lebih memperhatikan mahasiswa minoritas agar lebih
mudah untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan univerisitas.
2. Kepada masyarakat atau teman se-univeritas untuk lebih memperhatikan keadaan
sekitarnya terutama yang berasal dari luar daerah agar para pendatang tidak mengalami
culture shock dan mampu beradaptasi dengan baik dilingkungan barunya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Ward, Colleen, Stephen Bochner dan Adrian Furnham. The Psychology Of Culture Shock.
Hove : Routledge, 2001.

Willis, Sofyan S. Konseling Individual Teori dan Praktek, Bandung : Alfabeta, 2013.

Gantiana K, Eka.W, dan Karsih. Teori dan Teknik Konseling. Jakarta Barat : PT Indeks,
2011.

Corey, G. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung : PT. Eresco, 1998.

Afikah, A. A. 2019. Hubungan Antara Culture Shock. dengan Penyesuaian Diri Santriwati
Kelas VII MTs NU Putri 3 Buntet Pesantren Cirebon. Skripsi. Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Amalia, K. 2020. Hubungan Culture Shock dengan Penyesuaian Diri Pada Mahasiswa
Malaysia di UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Banda
Aceh.

Arifin, A. S. 2013. Studi Kasus Dampak Penjurusan Studi Pilihan Orang Tua Terhadap
Penyesuaian Diri Peserta Didik SMAN 1 Kediri. Skripsi. Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim. Malang.

Interaction, S., Shock, C., & Students, N. (n.d.). Hubungan antara Interaksi Sosial dengan
Culture Shock pada Mahasiswa Luar Jawa di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Mubarok, F. A. 2012. Peneysuaian Diri Para Pendatang Di Lingkungan Baru. Journal of


Social and Industrial Psychology. Vol 1. No. 1. Hal 21-27.

Nuryani. 2019. Dampak Kesulitan Penyesuaian Diri Pada Santri. G-COUNS: Jurnal
Bimbingan dan Konseling. Vol. 4. No. 1. Hal 174-179.

Prayitno dan Erman Amti.1999. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT


RINEKA CIPTA

Priyatno, D. D., Tunas, U., & Surakarta, P. (2021). Pengembangan kemampuan penyesuaian
diri. x(x), 76–81.

Putri, P. A. 2018. Dukungan Sosial Teman Sebaya, Loneliness, dan Penyesuaian Diri Pada
Mahasiswa Tahun Pertama Universitas Islam Indonesia. Skripsi. Universitas Islam
Indonesia. Yogyakarta.

20
LAMPIRAN

Informasi Subjek
Nama : W.S
Tempat Tinggal : Desa Suka Mbayak, Kec.Tigapanah, Kab. Karo, Sumatera Utara
Asal Universitas : Universitas Pendidikan Indonesia Tasikmalaya
Hal yang dialami : Cunture Shock

Hasil Wawancara :
1. Apakah anda pernah mengalami culture shock?
Iya, saya pernah mengalaminya.
2. Culture shock dengan budaya apa yang anda alami?
Keterkejutan budaya yang saya alami itu dengan budaya sunda (jawa barat)
3. Culture shock seperti apa yang anda alami?

21
Yang saya alami itu, keterkejutan dengan budaya mereka, bahasa yang
digunakan, dan bahkan juga saya terkejut itu mengenai makanan.

4. Bisakah anda menceritakan culture shock yang anda alami?


Culture Shock atau pun geger budaya bisa juga disebut dengan keterkejutan
budaya itu bisa dirasakan oleh setiap orang yang tinggal dilingkungan ataupun yang
tinggal di budaya berbeda dengan budaya mereka yang sebelumnya. Contoh nya
orang karo tinggal dilingkungan yang berbudaya karo, berkuliah ditanah jawa
tepatnya ditasikmalaya disana dengan budaya sunda. Pertama saya berada disana,
saya juga mengalami kultur shock mulai dari segi bahasa, bahasa sangat jelas berbeda,
Bahasa karo dengan Bahasa sunda. Tapi yang membuat saya terkejut didaerah
Tasikmalaya itu kebanyakan mereka itu bertemu dengan orang baru pada saat saya
kuliah mereka akan terus menggunakan Bahasa mereka yaitu bahasa sunda yang
sebenarnya saya tidak mengetahui, mereka jarang sekali menggunakan Bahasa
Indonesia karena disana juga masih belum ditempat perkotaan juga, jadi masih
banyak mereka menggunakan Bahasa daerah dilingkungan kampus juga, dosen juga
mengajar menggunakan Bahasa sunda, jadi saya terkejut karena saya tidak mengerti
apa yang dikatakan oleh dosen kalau menggunakan Bahasa sunda begitu juga
dilingkungan menggunakan Bahasa sunda, mereka menggunakan Bahasa Indonesia
itu hanya pada saat acara-acara besar saja, karena banyak mahasiswa jadi mereka
menggunakan Bahasa Indonesia tetapi terkadang mereka menggunakan Bahasa sunda
juga.
Dari segi makanan juga makanan mereka dan makanan khas mereka jadi kalau
disana itu makanan khas mereka itu ada ancom, seblak yang tidak sesuai dengan
selera saya karena pedas juga, dan kadang terlalu manis, sangat berbeda dengan
makanan yang berada di daerah seperti saya. Jadi masih susah untuk menyesuaikan
diri dan dari segi kebiasaan seperti kumpul bersama, makan bersama dan memasak
nasi liwet kemudian makan bersama, kalau disini jarang melakukan hal seperti itu jadi
banyak sekali budaya-budaya yang membuat saya terkejut seperti kebiasaan, bahasa
banyak yang membuat saya kaget karena berbeda dengan budaya saya.

5. Apa tindakan yang anda lakukan saat mengalami culture shock tersebut.

22
Saya berusaha untuk belajar menyesuaikan diri, walaupun agak sulit. dimana
saya harus bekuliah dengan bahasa yang belum saya ketahui, kemudian saya belajar
memahami bahasa Sunda, dan mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan.

6. Apakah sebelumnya anda pernah menelusuri mengenai perbedaan budaya


(budaya sunda) yang akan anda tinggali selama melakukan perkuliahan?
Tidak ada, pada saat lulus SMA dulu. kemudian mengikuti tes SBMPTN dan
lulus di UPI Tasikmalaya. Saya hanya mengetahui bahwa saya akan berkuliah di Jawa
Barat. Tidak ada saya mengumpulkan informasi mengenai daerah yang akan saya
tinggali selama melakukan perkuliahan.

7. Apakah menurut anda penting pemberian informasi mengenai lokasi (tempat)


perkuliahan di SMA, sehingga siswa tidak akan mengalami keterkejutan budaya
nantinya?
Sangat penting, menurut saya pemberian informasi mengenai budaya dari
daerah Universitas yang akan dituju sangat penting. Itu akan sangat membantu bagi
calon-calon mahasiswa nantinya untuk dapat beradaptasi atau menyesuaikan diri
mengenai lingkungan atau kebiasaan maupun bahasa dari daerah tersebut.

23
LAPORAN TUGAS CBR DAN CJR
Nama : Viviayu Azhar Saragih
Nim : 1193351030
Kelompok : 5
LAPORAN CBR
A. Buku
1. Judul Buku : Konseling Lintas Budaya
2. Pengarang : Dr. Nur’aini, M.S
3. Tahun Terbit : 2021
4. ISBN : 978-623-6893-31-9
B. Judul Subab
1. Teori Buaya dan Tingkah laku
C. Ringkasan
o Pengertian Budaya
Ralph Linton (dalam Tasmuji, dkk. 2011) menyebutkan bahwa kebudayaan
yaitu seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata
cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Selanjutnya menurut
Taylor (Horton & Chester, 1996) (dalam Prayogi & Danial, 2016) kebudayaan yaitu
suatu kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh
seseorang sebagai anggota masyarakat.
Senada dengan Koentjaraningrat (2009) (dalam Prayogi & Danial, 2016)
kebudayaan daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak
terlepas dari pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada
faktor geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan
kebudayaan satu dengan yang lain
Budaya adalah seperangkat sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki
oleh sekelompok orang, namun demikian ada derajat perbedaan pada setiap individu
dan dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Dayakisni &
Yuniardi, 2012: 7) Pengertian paling tua atas kebudayaan ditujukan oleh Edward
Burnett Tylor dalam karyanya berjudul Primitive Culture, bahwa kebudayaan adalah
kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat

24
dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai
anggota suatu masyarakat.
Koetjaraningrat (1997:94) menjelaskan budaya dapat dimaknai sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia yang diperoleh dari
hasil belajar dalam kehidupan masyarakat, yang dijadikan miliki manusia itu sendiri.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan sebagai sistem
pengetahuan yang meliputi sistem idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
o Teori Budaya dan Tingkah Laku
Budaya Menurut Matsumoto (2004) para peneliti seperti Margaret Mead, Ruth
Benedict, Geert Hofstede dan yang lainnya mendefenisikan budaya sebagai
sekumpulan sikap, nilai, keyakinan dan perilaku yang dimiliki bersama oleh
sekelompok orang yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya
lewat Bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain.
Perilaku merupakan cara bertindak yang menunjukkan tingkah laku seseorang
dan juga merupakan hasil dari kombinasi antara pengembangan anatomis, fisiologis
dan psikologis. Skiner (1938) (dalam Notoatmodjo, 2011) perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Hal itu dikenal dengan
teori S-O-R atau (StimulusOrganisme-Respon).Bentuk perubahan perilaku sangat
bervariasi, sesuai dengan konsep yang digunakan oleh para ahli dalam
pemahamannya terhadap perilaku. Bentuk-bentuk perilaku yaitu:
a. Perubahan alamiah Perilaku manusia selalu berubah sebagian perubahan itu
di sebabkan karena kejadian alamiah dalam masyarakat suatu perubahan
lingkungan fisik atau sosial, budaya dan ekonomi maka anggota masyarakat
di dalamnya yang akan mengalami perubahan
b. Perubahan Rencana Perubahan perilaku ini terjadi karena memang
direncanakan sendiri oleh subjek.
c. Kesediaan untuk Berubah terjadi sesuatu inovasi atau program pembangunan
di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi sebagian orang sangat cepat
untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya)

B. Buku
1. Judul Buku : Bimbingan Konseling Multibudaya

25
2. Pengarang : Rahmawati, S. Psi., M.A.
Dr. Hj. Evi Efiti, M. Pd.
Bangun Yoga Wibowo, M. Pd.
3. Tahun Terbit : 2021
4. ISBN : 978-623-7781-46-2
C. Judul Subab
1. Teori Buaya dan Tingkah laku
D. Ringkasan
o Teori budaya dan tingkah laku
Budaya berasal dari kata “Buddahyah” dalam bahasa Sansekerta yang artinya
budi dan akal. Pada bahasa Belanda kata “budaya“ disebut dengan cultuur atau
culture (dalam bahasa Inggris) yang berasal dari bahasa Latin “colere“ yang
diartikan mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama
mengolah tanah atau bertani. Berdasarkan hal tersebut berkembang arti kultur
sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengubah alam. Hingga dapat
kita simpulkan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari budi atau akal manusia
berkaitan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi segala kebutuhan dengan
pemanfaatan sumber daya alam yang ada di sekitarnya (Koentjaraningrat dalam
Pakpahan, 2013).
Pada kamus besar Bahasa Indonesia (2008) kata budaya berarti pikiran, akal
budi, dan adat istiadat, sedangkan kebudayaan merupakan hasil kegiatan dan
penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat
istiadat. Para antropolog mendefinisikan kebudayaan sebagai bentuk perilaku,
dimana terjadi hubungan atau interaksi antara manusia dimana di dalamnya
terdapat keyakinan, nilai dan peraturan (Graves dalam Luddin, 2010)
Budaya merupakan kumpulan dari perilaku yang dipelajari dari sekelompok
orang yang umumnya dianggap sebagai tradisi atau kebiasaan orang itu dan
diturunkan dari generasi ke generasi. Budaya bukanlah merupakan nasionalitas.
Dimana budaya tidak sesuai dengan kebangsaan atau kewarganeggaraan.
Contohnya Jika dia orang perancis, belum tentu dia akan bertindak sesuai dengan
apa yang dianggap sebagai budaya dominan perancis atau sesuai stereotip orang
perancis. Atau contoh lainnya beberapa tahun yang lalu seorang peneliti
menemukan fakta bahwa ada perbedaan IQ secara rasial dari Ras Afrika-Amerika

26
dan Eropa-Amerika, secara genetis dan biologis Eropa –Amerika lebih cerdas dari
Afrika-Amerika.
Etik dan emik merupakan konsep yang kuat (powerful). Etik bertumpu pada
temuan yang tampak konsisten atau tetap diberbagai budaya, dengan kata lain etik
mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Jika manusia menganggap
sesuatu tentang perilaku manusia sebagai kebenaran, maka kebenaran itu adalah
etik (universal). Sedangkan emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas
budaya (culture spesific). Jika pada kebenaran dengan konsep emik ada perbedaan
karena beda budaya. Dari itu maka dapat disimpulkan bahwa kebenara bisa
dianggap relatif dan tidak absolut.
Masyarakat dan kebudayaan merupakan perwujudan atau abstraksi perilaku
manusia. Kepribadian mewujudkan perilaku manusia dimana kepribadian
mencakup kebiasaankebiasaan, sikap, dan lain-lain sifat yang khas dimiliki
seseorang yang berkembang apabila orang tadi berhubungan dengan orang lain.
Kepribadian itu sendiri merupakan organisasi dari faktor biologis, psikologis, dan
sosiologis yang mendasari perilaku individu. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi
suatu individu baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya pada
saat menelaah tentang pengaruh kebudayaan terhadap kepribadian.
C. Hasil Kritikan dari Kedua Buku
1. Persamaan:

Adapun persamaan yang terdapat antara kedua buku yang direview adalah
dimana kedua buku sama-sama membahas tentang teori budaya dan tingkah laku. Pada
buku yang saya review memaparkan pembahasan yang sangat jelas dan mudah dipahami
dan juga kedua buku yang saya review juga sangat cocok sebagai buku pegangan bagi
mahasiswa bimbingan dan konseling.
2. Perbedaan :

Adapun perbedaan dari kedua buku yang telah di review adalah :


1. Buku pertama konseling multibudaya karya Dr. Nur’aini, M.S lebih banyak
menjelaskan mengenai tentang teori budaya dan tingkah laku. Dimana buku ini
menjelaskan pengertian dari pengertian budaya dan tingkah laku
2. Buku kedua bimbingan dan konseling multibudaya karya Rahmawati, S.Psi. M.A. Dr.
Evi Afiati, M.Pd. dan Bangun Yoga Wibowo, M.Pd. juga membahas mengenai teori

27
budaya namun di dalam buku ini hanya menjelaskan pengertian dan mengukur
perbedaan budaya yang penjelasannya tidak sejelas pada buku pertama.

3. Kedalaman Isi :

Dari buku yang sudah saya analisis, maka dapat saya simpulkan bahwa kedua
buku memaparkan materi dengan jelas dan mudah dipahami oleh pembaca. Namun
setiap buku tersebut memiliki kelebihan dan kelemahannya.
Untuk itu sebaiknya jika pembaca ingin mempelajari lebih serius mengenai teori
budaya dan tingkah laku maka saya menyarankan untuk membaca kedua buku ini. Agar
mendapatkan wawasan yang lebih luas lagi.

LAPORAN TUGAS CBR DAN CJR


Nama : Viviayu Azhar Saragih
Nim : 1193351030
Kelompok : 5

LAPORAN CJR
A. Jurnal
1. Judul Jurnal : Konseling Mulibudaya di Sekolah
2. Penulis : Erlamsyah
3. Tahun Terbit : 2017
4. Volume dan Halaman :-
B. Judul Subab
1. Teori budaya dan tingkah laku

28
C. Ringkasan
Budaya memiliki dimensi yang luas dan kompleks (Yuliarmi, N. N. 2011; Rahim,
M., Tahir, M., & Rumbia, W. A. 2014; Mohammad Adib, D., & Bambang Nugrohadi,
D. 1992) yang berhubungan dengan segala hasil daya kreasi manusia. Oleh karena itu,
sukar untuk merumuskan pengertian budaya yang dapat melingkupi semua aspek
budaya. Kuncaraningrat (dalam Ismael, 2004) mengatakan bahwa kebudayaan berasal
dari bahasa Sanskerta, yaitu budhayah, yaitu bentuk jamak dari kata buddhi yang
berarti budi atau akal. Budaya juga dipandang sebagai seperangkat nilai, keyakinan,
harapan, dan karakteristik tingkah laku dari suatu kelompok yang menyediakan
anggota dengan norma, perencanaan, dan aturan untuk hidup sosial (Elliot, 1996;
Glading, dalam Erfort, 2004).
Budaya dalam arti sempit atau khusus meliputi ras dan etnik (Sperry, 2007), dan
dalam arti luas meliputi ras atau etnik, gender, usia, status ekonomi, nasionalitas,
orientasi seksual, dan religion, dan spritualitas. Dalam bahasa Indonesia kata budaya
dan kultur memiliki arti yang sama, maka dalam makalah ini kedua kata akan
digunakan secara bergantian. Budaya yang berkembang dalam masyarakat akan
membentuk cara berpikir, berperilaku dalam menjalani kehidupan. Budaya dapat
dipahami sebagai cara hidup seseorang atau sekelompok orang (McLoid, 2006).
Kasadaran budaya harus dikembangkan di sekolah supaya anak menunjukkan respek
terhadap budaya mereka sendiri, dan respek terhadap budaya orang lain.
Konseling multibudaya merupakan kegiatan konseling yang menunjukkan
kesensitifan terhadap berbagai fungsi budaya dan interaksi, dan kepedulian tentang
pengalaman budaya orang lain (Falicov, dalam McLoid, 2006). Konseling
multibudaya merupakan suatu proses membantu yang menekankan keseimbangan
antara teori dan praktik konseling dalam menerima dan menghargai kultutal siswa
atau klien (Lee and Richarson, dalam Erfort, 2004). Proses konseling multibudaya
meliputi seperangkat paradigma yang mengarahkan kepada penerimaan dan respek
siswa terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Erfort, 2004).
Locke menekankan bahwa konseling multibudaya lebih berorientasi proses
bekerja dengan orang-orang dari kulit berwarna (Locke, dalam Sciarra, 2008). Di sisi
lain Pederson mendefinisikan secara luas konseling multikultural meliputi variabel
etnografik seperti keetnikan, nasionalitas, religion, dan bahasa; variabel demografi
seperti umur, gender, dan vaeriabel status seperti sosial, pendidikan, ekonomi, dan

29
afiliasi termasuk afiliasi formal terhdap keluarga atau organisasi dan afiliasi non-
formal terhadap ide dan gaya hidup (Sciarra, 2004).
Proses konseling multibudaya diawali dengan kesadaran konselor terhadap
perbedaan dirinya dan klien (Mardiono-nim, D. I. D. I. 2010); menyadari faktor
budaya mempengaruhi cara pandang klien terhadap dunia. Dalam melakukan praktik
konseling multibudaya, konselor sekolah prosfesional harus mempertimbangkan
secara matang bahasa, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, kelas sosial, tingkat
alkuturasi, ras, dan keeknikan siswa dan menggunakan pelayanan dan teknik
konseling yang konsisten dengan nilai-nilai budaya klien (Erford, 2004). Konseling
multibudaya merupakan pendekatan integrative yang menggunakan teori budaya
dasar sebagai landasan untuk memilih ide dan teknik konseling. Konselor profesional
yang bekerja perlu menjamin siswa dari berbagai latar belakang budaya memiliki
akses dan kesempatan memperoleh layanan yang mereka butuhkan (ASCA, 1999).

LAPORAN CJR
D. Jurnal
1) Judul : Tentang Konsep Kebudayaan
2) Penulis : Nurdien Harry Kistanto
3) Tahun Terbit :-
4) Volume dan Halaman : -
E. Judul Subab
1) Teori budaya dan tingkah laku
F. Ringkasan
Kebudayaan terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia (van Peursen, 1976:
11) yang bekerja, yang merasakan, memikirkan, memprakarsai dan menciptakan.
Dalam pengertian demikian, kebudayaan dapat dipahami sebagai “hasil dari proses-
proses rasa, karsa dan cipta manusia.” Dengan begitu, “(manusia) berbudaya adalah
(manusia yang) bekerja demi meningkatnya harkat dan martabat manusia. Strategi
kebudayaan yang menyederhanakan praktek operasional kebudayaan dalam
kehidupan sehari-hari dan kebijakan sosial dilakukan dengan menyusun secara
konseptual unsur-unsur yang sekaligus merupakan isi kebudayaan.
Unsur-unsur kebudayaan tersebut bersifat universal, yakni terdapat dalam semua
masyarakat di mana pun di dunia, baik masyarakat “primitif” (underdeveloped
30
society) dan terpencil (isolated), masyarakat sederhana (less developed society) atau
prapertanian (preagricultural society), maupun masyarakat berkembang (developing
society) atau mengindustri (industrializing society) dan masyarakat maju (developed
society) atau masyarakat industri (industrial society) dan pascaindustri (postindustrial
society) yang sangat rumit dan canggih (highly complicated society).
Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dirinci dan dipelajari dengan kategori-
kategori subunsur dan sub-sub-unsur, yang saling berkaitan dalam suatu sistem
budaya dan sistem social, yang meliputi (1) Sistem dan organisasi kemasyarakatan;
(2) Sistem religi dan upacara keagamaan; (3) Sistem mata pencaharian; (4) Sistem
(ilmu) pengetahuan; (5) Sistem teknologi dan peralatan; (6) Bahasa; dan (7) Kesenian
(Koentjaraningrat, 1974).
Namun secara garis besar, setidak-tidaknya terdapat 3 (tiga) macam kebudayaan,
atau sub-kebudayaan, dalam masyarakat Indonesia, yakni
1. Kebudayaan Nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 45
2. Kebudayaan suku-suku bangsa
3. Kebudayaan umum lokal sebagai wadah yang mengakomodasi lestarinya
perbedaan

Perbedaan identitas suku bangsa serta masyarakat-masyarakat yang saling


berbeda kebudayaannya yang hidup dalam satu wilayah, misalnya pasar atau kota
(Melalatoa, 1997: 6)
Sementara itu, Harsya W. Bachtiar (1985: 1-17) menyebut berkembangnya 4 (empat)
sistem budaya di Indonesia, yakni
1. Sistem Budaya Etnik: bermacam-macam etnik yang masing-masing
memiliki wilayah budaya (18 masyarakat etnik, atau lebih);
2. Sistem Budaya Agama-agama Besar, yang bersumber dari praktek
agamaagama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan Katolik;
3. Sistem Budaya Indonesia: bahasa Indonesia (dari Melayu), nama Indonesia,
Pancasila dan UUD-RI.
4. Sistem Budaya Asing: budaya-budaya India, Belanda, Arab/Timur Tengah,
Cina, Amerika, Jepang, dsb. Selain itu, dapat ditambah “Sistem Budaya
Campuran.”

C. Hasil Kritikan Dari Kedua Jurnal


1. Persamaan :
31
Dalam kedua jurnal ini memiliki kesamaan dimana sama-sama membahas tentang
teori budaya. Pada jurnal yang saya review memaparkan pembahasan yang sangat jelas
dan mudah dipahami dan juga kedua jurnal yang saya review juga sangat cocok sebagai
sumber pengetahun untuk menambah wawasan lebih luas mengenai teori budaya dan
tingkah laku.
2. Perbedaan :

Dalam kedua jurnal ini memiliki perbedaan dimana :


1. Pada jurnal pertama karya Erlamsyah dengan judul konseling multibudaya di sekolah
lebih menjelaskan terhadap konseling multibudaya proses membantu yang
menekankan keseimbangan antara teori dan praktik konseling dalam menerima dan
menghargai kultutal siswa atau klien dan pada jurnal pertama setiap penjelasan
dicantumkan beberapa pedapat para ahli.
2. Pada jurnal kedua karya Nurdien Harry Kistanto dengan judul tentang konsep
kebudayaan Memiliki perbedaan dengan jurnal pertama dimana pada jurnal ini
membahas tentang unsur-unsur kebudayaan yang saling berkaitan dalam suatu sistem
budaya dan sistem social, yang meliputi (1) Sistem dan organisasi kemasyarakatan;
(2) Sistem religi dan upacara keagamaan; (3) Sistem mata pencaharian; (4) Sistem
(ilmu) pengetahuan; (5) Sistem teknologi dan peralatan; (6) Bahasa; dan (7) Kesenian.

3. Kedalaman Isi :

Dari jurnal yang sudah saya analisis, maka dapat saya simpulkan bahwa kedua
jurnal ini memaparkan materi mengenai teori budaya dengan jelas dan mudah dipahami
oleh pembaca. Namun setiap jurnal tersebut memiliki kelebihan dan kelemahannya.
Untuk itu sebaiknya jika pembaca ingin mempelajari lebih serius mengenai teori
budaya dan tingkah laku maka saya menyarankan untuk membaca kedua jurnal ini. Agar
mendapatkan wawasan yang lebih luas lagi mengenai teori budaya dan tingkah laku

32
LAPORAN TUGAS CBR
Nama : Indah Ramayanti Berutu
Nim : 1191151014
Kelompok : 5 (BK Reguler C 2019)

A. BUKU
1. Judul Buku, Pengarang dan Tahun Terbit
 Judul Buku : Buku Konseling Lintas Budaya
 Pengarang : Dr.A.A Ngurah Adhiputra , M.Pd
 Tahun Terbit : 2014
B. Teori Budaya dan Tingkah Laku
C. Ringkasa/ Rangkuman
Budaya adalah pandangan hidup sekelompok orang (Berry, dkk.,1998), atau dalam
rumusan yang lebih umum adalah “cara kita hidup seperti ini”, the way we are, yangdiekspresikan
dalam cara (sekelompok orang) berpikir, mempersepsikan, menilai, dan bertindak. Kata
“sekelompok orang” (a group of people) perlu digaris bawahi untuk menunjukkan bahwa budaya
selalu menunjukkan pada ciri-ciri yang melekat pada kelompok, tidak pada (seseorang)
individu.Lintas budaya (cross-cultural counseling, counseling across cultures, multicultural
counseling) adalah konseling yang melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang
budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling sangat rawan oleh terjadinya bias-bias
budaya (cultural biases) pada pihak konselor yang mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif
(Draguns, 1986: Pedersen, 1986: dalam pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. H. Dedi
Supriadi, 2001).
Agar berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan
melepaskan diri dari bias-bias budaya, dan memiliki keterampilan-keterampilan yang responsif
secara kultural. Dari segi ini, maka konseling pada dasarnya merupakan sebuah “perjumpaan
budaya” (culturalencounter) antara konselor dan klien yang dilayaninya.Dalam konseling lintas

33
budaya, budaya atau kebudayaan (culture) meliputi tradisi, kebiasaan, nilai-nilai, norma, bahasa,
keyakinan dan berpikir yang telah terpola dalam suatu masyarakat dan diwariskan dari generasi
ke generasi serta memberikan identitas pada komunitas pendukungnya (Prosser, 1978).
2. Judul Buku, Pengarang dan Tahun Terbit
 Judul Buku : Konseling Lintas Budaya
 Pengarang : Dr. Nur’aini, M.S
 Tahun Terbit : 2021
B. Budaya Dalam Konseling Lintas Budaya
C. Ringkasan/Rangkuman
Ralph Linton (dalam Tasmuji, dkk. 2011) menyebutkan bahwa kebudayaan yaitu
seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup
saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. kebudayaan sebagai sistem pengetahuan
yang meliputi sistem idea tau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam
kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak
Konseling lintas budaya merupakan konseling yang melibatkan konselor dan klien
yang berasal dari latar budaya yang berbeda, dan karena itu proses konseling yang sangat
rawan oleh terjadinya bias-bias budaya (cultural blasas) pada pihak konselor yang
mengakibatkan konseling tidak berjalan efektif. Maka dapat disimpulkan bahwa hakikat
budaya dalam konseling lintas budaya bahwa proses konseling lintas budaya terjadinya antara
klien dan konselor yang berbeda budaya seperti kita ketahui bahwa setiap individu itu unik
dimana mereka mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dari keunikannya tersebut maka
otomatis kebudayaan klien tidak akan sama dengan kebudayaan kita sehingga dalam
penanganan atau proses konseling perlu diterapkan atau menggunakan konseling lintas
budaya serta memahami budaya yang dianut konseli serta konselor.
3. Hasil Kritikan dari Kedua Buku di atas
Menurut saya dari kedua buku diatas sudah sangatlah bagus, dimana pada buku pertama
dan buku kedua membahas tentang budaya dan lintas budaya setiap pembahasan tentang teori
tersebut dibuat berdasar pada teori yang dikemukan. Kedua buku tersebut sangatlah cocok
sekali untuk dipelajari karena setiap pembahasan yang diberikan dijelaskan sangat rinci dan
jelas pada setiap sub-sub materinya. Dan kedua buku tersebut bisa menjadi buku pegangan
untuk memperluas pengetahuan tentang budaya dan lintas budaya.
A. Persamaan
Persamaan dari kedua buku diatas ialah masing-masing buku sama-sama menjelaskan
tentang pembahasan setiap sub bab dan juga menjabarkan point-point berserta sumber dari
34
para ahli sehingga pembaca mengerti dari mana sumber ini berasal. Setiap penjabaran materi
materinya dijelaskan secara jelas dan banyak pendapat para ahli yang menguatkan setiap teori
atau pembahasan yang terdapat di dalam kedua buku tersebut.
B. Perbedaan
Buku pertama menjelaskan tentang budaya adalah pandangan hidup sekelompok
orang berpikir, mempersepsikan, menilai, dan bertindak. Lintas budaya konseling yang
melibatkan konselor dan klien yang berasal dari latar belakang budaya yang
berbeda,sedangkan dibuku kedua hakikat budaya dalam konseling lintas budaya bahwa
proses konseling lintas budaya terjadinya antara klien dan konselor yang berbeda budaya
seperti kita ketahui bahwa setiap individu itu unik dimana mereka mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda dari keunikannya tersebut maka otomatis kebudayaan
klien tidak akan sama dengan kebudayaan kita sehingga dalam penanganan atau proses
konseling perlu diterapkan atau menggunakan konseling lintas budaya serta memahami
budaya yang dianut konseli serta konselor.
C. Kedalam Isi
Dalam pembahasan kedua buku tersebut membahas tentang budaya dan lintas budaya
dimana mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dari keunikannya tersebut maka
otomatis kebudayaan klien tidak akan sama dengan kebudayaan kita sehingga dalam
penanganan atau proses konseling perlu diterapkan atau menggunakan konseling lintas
budaya serta memahami budaya yang dianut konseli serta konselor.

35
LAPORAN TUGAS CJR
Nama : Indah Ramayanti Berutu
Nim : 1191151014
Kelompok : 5 (BK Reguler C 2019)

A. Jurnal
1. Judul Jurnal, Pengarang dan Tahun Terbit
 Judul Jurnal : Komunikasi Lintas Budaya di Institusi Pendidikan
 Pengarang : Meliani Dhamayanti
 Tahun Terbit : 2014
 ISSN :14103745
 NO & VOL :02, vol 15
B. Teori Budaya dan Lintas Budaya
C. Ringkasan/Rangkuman
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai
sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri
khas suatu masyarakat
Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir, nilai, moral, norma, dan
keyakinan (belief)manusia yang dihasilkan masyarakat. Sistem berpikir, nilai, moral,
norma, dan keyakinan itu adalah hasil dari interaksi manusia dengan sesamanya dan
lingkungan alamnya. Sistem berpikir, nilai, moral, norma dan keyakinan itu digunakan
dalam kehidupan manusia dan menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi, sistem
kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya.Pembahasan budaya
dan pendidikan juga disinggung oleh Samovar dalam bukunya “Komunikasi Lintas
Budaya” . Menurut Samovar pendidikan dipengaruhi oleh budaya dan subkultur.

36
Komunikasi yang baik penting dalam masyarakat. Dan secara ringkas menurut Samovar
ini dapat terlihat dan tumbuh dalam institusi pendidikan yang berwawasan multikulural.
1. Judul Jurnal, Penulis dan Tahun Terbit
 Judul jurnal : Komunikasi Lintas Kebudayaan dan Potensi Masalah -Masalah yang
Timbul
 Penulis : Rifka Pratama
 Tahun terbit : 2020
 ISSN : 25991078
 Vol, No : 4, No 1
B. Teori Budaya dan Landasan Teori
C. Ringkasan/Rangkuman
3. Hasil kritikan dari kedua jurnal diatas
Dalam konteks inilah komunikasi lintas kebudayaan dapat terjadi. Manusia dapat
berada dalam sebuah situasi yang sama sekali baru baginya. Sebagai komunikator, seseorang
dituntut mampu menjalankan proses komunikasi secara ideal dengan lawan komunikasi yang
memiliki latar belakang kebudayaan berbeda.Gaya interaksi dalam kehidupan sosial manusia
bersifat unik antar satu dengan lainnya. Latar belakang budaya sebagai penyerta sekaligus
tidak jarang sumber nilai seseorang dapat mempengaruhi bagaimana ia menempatkan diri,
memahami, dan menanggapi dalam proses komunikasi. Dalam hal ini, latar belakang budaya
dapat menentukan bagaimana gaya komunikasi satu individu ataupun suatu kelompok
masyarakat. Watak kebudayaan yang distinctive tidak jarang menjadi hambatan di dalam
sebuah proses komunikasi ini. Meski di sisi lain justru perbedaan inilah yang akan menjadi
sebuah kesempatan untuk memperkaya khazanah pengetahuan dalam konteks kehidupan
sosial.
Dalam proses komunikasi terdapat pesan, informasi, ekspresi, dan umpan balik.
Terkadang proses ini tidak berjalan ideal. Meski begitu, seringkali juga terdapat perbedaan-
perbedaan di dalam satu identitas primordial yang sama. Primordialisme umumnya diikat
oleh identitas kesukuan, identitas kebahasaan, identitas kebangsaan, identitas keagamaan, dan
lain-lain. Kesemua identitas itu dapat membentuk perilaku kebudayaan yang khas pada
seseorang baik dalam tataran ide, sikap, maupun perilaku. Melihat adanya kecenderungan
komunikasi dan interaksi lintas kebudayaan yang semakin intensif saat ini, maka penting
untuk mengetahui dan memahami potensi masalah-masalah didalamnya. Ini diperlukan untuk
memberikan wawasan sehingga para pelaku komunikasi lintas kebudayaan dapat
mengantisipasi hal-hal yang dapat mengarah pada disharmoni.
37
A. Persamaan
Dalam kedua jurnal ini yang memiliki persamaan itu dalam menjelaskan sub topik
mereka masing-masing, menggunakan menurut para ahli yang sudah sangat relevan menurut
penulis tersebut dan juga kedua jurnal ini bisa dijadikan bahan referensi untuk penelitian atau
lainnya.Kedua jurnal ini pada identitas sudah lengkap.
B. Perbedaan
Jurnal pertama membahasa tentang Komunikasi Lintas Budaya di Institusi Pendidikan
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu pengetahuan
serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala
pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Sedangkan pada
jurnal kedua membahas tentang Komunikasi Lintas Kebudayaan dan Potensi Masalah -
Masalah yang Timbul proses komunikasi terdapat pesan, informasi, ekspresi, dan umpan
balik. Terkadang proses ini tidak berjalan ideal. Meski begitu, seringkali juga terdapat
perbedaan-perbedaan di dalam satu identitas primordial yang sama.
C. Kedalam Isi
Gaya interaksi dalam kehidupan sosial manusia bersifat unik antar satu dengan
lainnya. Latar belakang budaya sebagai penyerta sekaligus tidak jarang sumber nilai
seseorang dapat mempengaruhi bagaimana ia menempatkan diri, memahami, dan
menanggapi dalam proses komunikasi. Dalam hal ini, latar belakang budaya dapat
menentukan bagaimana gaya komunikasi satu individu ataupun suatu kelompok masyarakat.
Watak kebudayaan yang distinctive tidak jarang menjadi hambatan di dalam sebuah proses
komunikasi ini. Meski di sisi lain justru perbedaan inilah yang akan menjadi sebuah
kesempatan untuk memperkaya khazanah pengetahuan dalam konteks kehidupan sosial.

38
LAPORAN TUGAS CBR
Nama : Edy Andriarto Habib
NIM : 1193151022
Kelompok : 5 (BK Reguler C 2019)

Laporan CBR
A. Buku
1. Judul Buku, Pengarang, dan Tahun Terbit
a. Judul Buku : Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya
b. Pengarang : Mamat Supriatna
c. Tahun Terbit : 2009
B. Judul Sub Bab (Pendekatan Perilaku dalam Konseling Multibudaya)
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (Pendekatan Perilaku dalam Konseling
Multibudaya)
Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya. Pertama, pendekatan
universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau keuniversalan
kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang menyoroti
karakteristik-karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan
konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal
sejak diterbitkan sebuah karya Ardenne dan Mahtani’s (1989) berjudul Transcultural
Counseling in Action. Mereka menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau
cross cultural counseling untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling
merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Palmer and Laugngani, 2008 : 156). Namun,
Fukuyama (1990) yang berpandangan universal pun menegaskan, bahwa pendekatan
inklusif disebut pula konseling “transcultural” yang menggunakan pendekatan emik;
dikarenakan titik anjak batang tubuh literaturnya menjelaskan karakteristik-karakteristik,
39
nilai-nilai, dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi spesifik yang memiliki
perbedaan budaya dominan.
Pendekatan konseling trancultural mencakup komponen berikut.
1) Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan
konseling yang digunakannya.
2) Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
3) Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan konseling
yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
4) Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas budaya.

Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transcultural sebagai berikut:


1) Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan
konseling;
2) Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain;
3) Kelas dan jender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome
konseling.

2. Judul Buku, Pengarang, dan Tahun Terbit


a. Judul Buku : Konseling Lintas Budaya
b. Pengarang : Dr. Nur’aini, M.S
c. Tahun Terbit : 2021
B. Judul Sub Bab (Pendekatan Perilaku dalam Konseling Multibudaya)
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (Pendekatan Perilaku dalam Konseling
Multibudaya)
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan
Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman dan kematangan.
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap
arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai
aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar.
Pendekatan behavior berpandangan bahwa setiap perilaku dapat dipelajari. Manusia
mampu melakukan refleksi atas tingkahlakunya sendiri dan dapat mengatur serta
mengontrol perilakunya dan dapat belajar tingkah laku baru atau dapat mempengaruhi
orang lain. Terapi behavior bertujuan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat
40
sehingga mereka memiliki lebih banyak pilihan untuk merespon. Sedikitnya ada tiga
pendekatan dalam konseling lintas budaya, yaitu sebagai berikut:
1) Pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusivitas, komonalitas atau
keuniversalan kelompok-kelompok.
2) Pendekatan emik (kekhususan budaya) yang menyoroti karakteristik-karakteristik
khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus
mereka.
3) Pendekatan inklusif atau transcultural, yang terkenal sejak diterbitkan sebuah karya
Ardenne dan Mahtani‘s (1989) berjudul Transcultural Counseling in Action. Mereka
menggunakan istilah trans sebagai lawan dari inter atau cross cultural counseling
untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam konseling merupakan proses yang aktif
dan resiprokal (Palmer & Laugngani, 2008:156). Fukuyama (1990) berpandangan
bahwa pendekatan inklusif disebut pula konseling transcultural‖ yang menggunakan
pendekatan emik, dikarenakan titik tanjak batang tubuh literaturnya menjelaskan
karakteristik-karakteristik, nilai-nilai dan teknik-teknik untuk bekerja dengan populasi
spesifik yang memiliki perbedaan budaya dominan. Pendekatan konseling trancultural
mencakup komponen berikut:
a. Sensitivitas konselor terhadap variasi-variasi dan bias budaya dari pendekatan
konseling yang digunakannya.
b. Pemahaman konselor tentang pengetahuan budaya konselinya.
c. Kemampuan dan komitmen konselor untuk mengembangkan pendekatan
konseling yang merefleksikan kebutuhan budaya konseli.
d. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas
budaya.

Asumsi-asumsi yang mendasari pendekatan konseling transcultural yaitu sebagai


berikut:
1) Semua kelompok-kelompok budaya memiliki kesamaan kebenaran untuk kepentingan
konseling.
2) Kebanyakan budaya merupakan musuh bagi seseorang dari budaya lain.
3) Kelas dan gender berinteraksi dengan budaya dan berpengaruh terhadap outcome
konseling.

3. Hasil Kritikan dari Kedua Buku Diatas (Nomor 1 dan 2)


41
A. Persamaan
Buku 1 dan Buku 2 sama-sama membahas mengenai pendekatan dalam
konseling multibudaya yang dibahas secara sistematis dan terstruktur dengan baik,
dan dilengkapi dengan pendapat atau teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli.
Sehingga dapat memberikan pemahaman tambahan mengenai topik yang dibahas.
Dan materi yang dibahas mulai dari pendekatan sampai asumsi juga
dipaparkan secara jelas dan sama.
B. Perbedaan
Pada buku 1 pembahasannya langsung kepada tiga pendekatan dalam
konseling lintas budaya, sedangkan pada buku 2 pembahasannya lebih banyak
dibandingkan buku 1. Dimana pada buku 2 dijelaskan mengenai teori belajar
behavioristik, pendekatan behavior, dan terapi behavior yang tidak ada dijelaskan
di buku 1.
C. Kedalaman Isi
Pada buku 1 pembahasannya hanya terpaku tentang pendekatan dan asumsi
saja, sedangkan pada buku 2 kedalaman isinya lebih banyak dibahas. Dimana
pada buku 2 dijelaskan mengenai teori belajar behavioristik, pendekatan behavior,
dan terapi behavior yang tidak ada dijelaskan di buku 1

42
LAPORAN TUGAS CJR
Nama : Edy Andriarto Habib
NIM : 1193151022
Kelompok : 5 (BK Reguler C 2019)

Laporan CJR
A. Jurnal
1. Judul Jurnal, Penulis, dan Tahun Terbit
a. Judul Jurnal : Perspektif Bimbingan dan Konseling Sensitif Budaya
b. Penulis : Fahrul Hidayat, Aprezo Pardodi Maba, Dan Hernisawati
c. Tahun Terbit : 2018
B. Judul Sub Bab (Pendekatan Perilaku dalam Konseling Multibudaya)
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (Pendekatan Perilaku dalam Konseling
Multibudaya)
Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai
kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Pedersen
dalam Pratama, 2016). Sedikitnya ada tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya.
Pertama, pendekatan universal atau etik yang menekankan inklusifitas, komonalitas, atau
keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua, pendekatan emik (kekhususan-budaya) yang
menyoroti karakteristik khas dari populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan
konseling khusus mereka. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural. Istilah trans
sebagai lawan dari inter atau cross cultural untuk menekankan bahwa keterlibatan dalam
konseling merupakan proses yang aktif dan resiprokal (Supriatna, 2009).
Dyche & Zayas, Holland, Martinez, serta Ridley & Dingle (dalam McLeod, 2006)
menunjukkan bahwa sebagian besar praktik konseling multikultur didorong oleh
rangkaian prinsip atau keyakinan, bukan dilandasi oleh rangkaian teknik atau ketrampilan
khusus. Konselor multikultur dapat menggunakan bentuk penyampaian yang beragam,

43
mulai dari individu, pasangan, keluarga ataua kelompok, dan memanfaatkan intervensi
tertentu seperti pelatihan relaksasi, analisis mimpi, atau refleksi empatik. Konseling
multikultur tidak dapat dicocokkan begitu saja dengan pendekatan aliran utama dalam
konseling, seperti psikodinamik, person-centred, kognitif-behavioral, atau sistemik.
Konseling multikultur adalah pendekatan integrative yang menggunakan teori cultural
dasar sebagai landasan untuk memilih ide dan teknik konseling.

2. Judul Jurnal, Penulis, dan Tahun Terbit


a. Judul Jurnal : Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam Layanan
Konseling
b. Penulis : Agung Nugraha dan Dewang Sulistiana
c. Tahun Terbit : 2017
B. Judul Sub Bab (Pendekatan Perilaku dalam Konseling Multibudaya)
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (Pendekatan Perilaku dalam Konseling
Multibudaya)
Layanan konseling merupakan layanan yang memiliki sifat kuratif guna merespon
konseli dengan permasalahan yang harus segera di tangani secara holistik dan optimal.
Keberlangsungan layanan konseling yang optimal pada dasarnya bersumber dari dua
unsur yaitu kualitas diri konselor dan kualitas pengetahuan dan pemahaman secara
holistik konselor terhadap konseli. Kualitas diri konselor meliputi unsur psikofisik
konselor, sedangkan kualitas pengetahuan dan pemahaman konseli yang meliputi peka,
bersikap empati dan mampu menghormati keragaman dan perubahan sehingga seorang
konselor diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami dan peka atau sensitif
terhadap perubahan serta keberagaman individu.
Bersikap peka atau sentitif bagi konselor terutama dalam menyikapi perbedaan
budaya yang disebut dengan culturally sensitive counselor merupakan salah satu elemen
dasar bagi seorang konselor terutama dalam melaksanakan layanan konseling. Pemaparan
tersebut mengandung pengertian bahwa konselor harus mampu memahami diri sendiri
serta konseli secara menyeluruh baik secara fisiologis dan psikologis yang merupakan
atribut dalam proses konseling. Adanya pemahaman mendalam mengenai karakteristik
diri sendiri dan konseli mengarahkan konselor untuk mampu mengembangkan
pendekatan- pendekatan konseling berdasarkan pemahaman budaya antara konseli dan
konselor.

44
Dengan bersikap peka atau sensitif terhadap perbedaan budaya konselor akan
memiliki pemahaman yang lebih dalam terhadap konseli dan akan memberikan
keuntungan yang signifikan atau dapat dikatakan sebagai entry point keberlangsungan
proses layanan konseling yang lebih efektif dan optimal. Dikatakan layanan konseling
lebih efektif dan optimal karena dengan bersikap peka maka akan dengan mudah
mengakses dinamika ekspresi budaya serta tabiat dan atau kebiasaan konseli yang unik
serta diprediksi akan memunculkan jaminan rasa aman dan nyaman bagi konseli sehingga
konseli akan merasa lebih percaya diri manakala berkonsultasi.
Kepekaan multibudaya bagi konselor terbangun berdasarkan tiga dimensi dasar
diantaranya
1) Kesadaran konselor mengenai nilai budaya sendiri beserta bias budaya sendiri
(awareness of own cultural values and biases)
2) Memahami pandangan hidup konseli yang berbeda budayanya (awareness of client’s
world view)
3) Mampu mengembangkan strategi dan intervensi budaya yang tepat (culturally
appropriate intervention strategie)

Ketiga dimensi dasar kepekaan multibudaya tersebut bagi konselor sangat perlu
dimiliki sebagai pembentuk konselor yang peka terhadap dinamika budaya konseliyang
unik. Konselor memiliki peran utama dan signifikan dalam pelaksanaan layanan
konseling, salah satu peran konselor sebagai seorang fasilitator konseli dalam
menyelasaikan segala permasalahannya secara unik sesuai dengan kemampuan konseli
sehingga konselor memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat.
Konsekuensinya peningkatan mutu dan pembaharuan kompetensi konselor menjadi suatu
aspek yang mutlak terjadi seiring dengan semakin kompleksnya ruang lingkup
permasalahan yang ditangani layanan konseling. Dengan semakin luasnya penyebaran
informasi dan luasnya determinasi budaya yang menjadikan karakteristik konseli selalu
berbeda dari generasi kegenerasi maka konselor diharuskan memiliki kompetensi
kepekaan budaya yang harus selalu ter-update agar setiap permasalahan konseli dapat
terselesaikan dengan optimal.

3. Hasil Kritikan dari Kedua Jurnal Diatas (Nomor 1 dan 2)


A. Persamaan

45
Pada jurnal 1 dan jurnal 2 pembahasan yang dibahas sama-sama memiliki
keterkaitan antara satu sama lain, dimana keterkaitan pembahasannya mengenai
konseling multibudaya yang dibahas sistematis dan terarah. Sehingga dapat
menjadi bahan bacaan bagi guru BK dalam konseling multibudaya.

B. Perbedaan
Pada jurnal 1 pembahasannya menitikberatkan kepada pengertian konseling,
pengertian budaya, pengertian konseling multikultur, kompetensi atau
karakteristik konselor dan pendekatan konseling lintas budaya.
Sedangkan pada jurnal 2 pembahasannya lebih menitikberatkan kepada
kepekaan-kepekaan dalam konseling multibudayanya itu sendiri.

C. Kedalaman Pembahasan
Pada jurnal 1 pembahasannya sudah sangat baik dan terstruktur, dimana
pembahasan pada jurnal 1 ini meliputi: pengertian konseling, pengertian budaya,
pengertian konseling multikultur, kompetensi atau karakteristik konselor dan
pendekatan konseling lintas budaya.
Sedangkan pada jurnal 2 pembahasannya lebih memperbanyak pemahaman
mengenai kepekaan dari konseling multibudaya itu sendiri.

46
LAPORAN TUGAS CBR
Nama : Yogi Yosafat Ginting
NIM : 1193151020
Kelompok : 5 (1 Genap)

Laporan CBR
A. Buku
1. Judul Buku, Pengarang, dan Tahun Terbit
 Judul : KONSELING INDIVIDUAL (Teori dan Praktek)
 Pengarang : Sofian Willis
 Tahun Terbit : 2004
B. Judul Sub Bab (dari tugas 1) Keterampilan, Sikap, Dan Peran Konselor Dalam
Konseling Multibudaya
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (B)
Kualitas konselor adalah semua kriteria keunggulan termasuk pribadi,
pengetahuan, wawasan, keterampilan dan nilai-nilai yang dimilikinya yang akan
memudahkannya dalam menjalankan proses konseling sehingga mencapai tujuan dengan
berhasil (efektif)
Salah satu kualitas yang jarang dibicarakan adalah kualitas pribadi konselor,
kualitas pribadi konselor adalah kriteria yang menyangkut segala aspek kepribadian yang
amat penting dan menentukan keefektifan konselor jika dibandingkan dengan pendidikan
dan latihan yang ia peroleh.
Virginia Satir (1967) menemukan beberapa karakteristik konselor sehubung
dengan pribadinya yang membuat konseling berjalan efektif. Karakteristik-karakteristik
tersebut adalah: 1) resource person, konselor adalah orang yang banyak mempunyao

47
informasi dan senang memberikan dan menjelaskan informasinya. 2) model of
communication, yaitu bagus dalam berkomunikasi, mampu menjadi pendengar yang baik
dan kominikator yang terampil.

2. Judul Buku, Pengarang, dan Tahun Terbit


 Judul : Konseling Lintas Budaya
 Pengarang : Dr. Nur’aini, M.S
 Tahun Terbit : 2021
B. Judul Sub Bab (Dari Tugas 1) Keterampilan, Sikap, Dan Peran Konselor Dalam
Konseling Multibudaya
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (B)
Keterampilan dan Pengetahuan Konselor
Khusus dalam menghadapi klien yang berbeda , konselor harus memahami masalah
sistem nilai. M. Holaday, M.M. Leach & Davidson (1994) mengemukakan bahwa konselor
professional hendaknya selalu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
melaksanakan konseling lintas budaya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Pengetahuan dan informasi yang spesifik tentang kelompok yang dihadapi
b. Pemahaman mengenai cara kerja sistem sosio-politik di negara tempat kelompok berada,
berkaitan dengan perlakukan terhadap kelompok tersebut
c. Pengetahuan dan pemahaman yang jelas dan eksplisit tentang karakteristik umum
konseling dan terapi.
d. Memiliki keterampilan verbal maupun non-verbal.
e. Mampu menyampaikan pesan secara verbal maupun non-verbal.
f. Memiliki keterampilan dalam memberikan intervensi demi kepentingan klien.
g. Menyadari batas-batas kemampuan dalam memberikan bantuan dan dapat
mengantisipasi pengaruhnya pada klien yang berbeda.

3. Hasil Kritikan dari Kedua Buku Diatas (Nomor 1 dan 2)


A. Persamaan
Berdasarkan pemaparan isi materi pada buku 1 dan 2. Buku 1 dan 2 memiliki
persamaan yaitu buku 1 membahas tentang materi karakteristik kualitas pribadi yang harus
dimiliki oleh seorang konselor dalam pemberian layanan bimbingan konseling individual
bagi konseli. Sedangkan buku 2 membahas tentang keterampilan dan pengetahuan seorang
konselor dalam pemberian layanan konseling multibudaya. Sehingga dapat di simpulkan
48
bahwa persamaan kedua buku tersebut adalah isi materimengenai kualitas pribadi dan
keterampilan yang harus similiki oleh seorang konselor dalam pemberian layanan bimbingan
konseling bagi konseli.
B. Perbedaan
Perbedaan yang dimiliki kedua buku tersebut yaitu dalam buku 1 lebih menekankan
kepada kualitas diri konselor dalam palaksanaan konseling individual. Sedangkan dalam
buku kedua yaitu kualitas diri konselor dalam lingkup konseling multibudaya yang mencakup
dalam pemberian layanan kelompok maupun individual.
C. Kedalaman Isi
Pada buku 1 lebih mekankan pengkajian mengenai kualitas pribadi konselor dalam
lingkup pendidikan (latihan) dan aspek pendukung (humor) yang dapat membantu koselor
dalam pemberian layanan konseling individual.
Pada buku 2 lebih menekankan pada pemahaman yang harus dimiliki konselor secara
umum dalam pemberian layanan konseling multibudaya, sehingga menimbulkan ras nyaman
dan percaya pada diri konseli.

49
LAPORAN TUGAS CJR
Nama : Yogi Yosafat Ginting
NIM : 1193151020
Kelompok : 5 (1 Genap)

Laporan CJR
A. Jurnal
1. Judul Jurnal, Penulis, dan Tahun Terbit
 Judul : Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor Dalam Layanan Konseling
 Penulis :Agung Nugraha dan Dewang Sulistiana
 Tahun Terbit: 2017
B. Judul Sub Bab (dari tugas 1) Keterampilan, Sikap, Dan Peran Konselor Dalam
Konseling Multibudaya
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (B)
Dalam pemberian layanan bimbingan dan konseling multibudaya, konselor harus
memiliki keterampilan (kemampuan) dalam multibudaya. Menurut Arredondo, dkk
(Agung Nugraha & Dewang Sulistiana, 2017: 14) kemampuan-kemampuan multibudaya
yang harus dimiliki oleh konselor adalah sebagai berikut:
a) Kesadaran konselor mengenai nilai budaya sendiri beserta bias budaya sendiri
(awareness of own cultural values and biases)
b) Memahami pandangan hidup konseli yang berbeda budayanya (awareness of client’s
world view)
c) Mampu mengembangkan strategi dan intervensi budaya yang tepat culturally appropriate
intervention strategies)

2. Judul Jurnal, Penulis, dan Tahun Terbit


50
 Judul : Pentingnya Kualitas Pribadi Konselor Dalam Konseling Untuk Membangun
Hubungan Antar Konselor Dan Konseli.
 Penulis : Putri Amalia
 Tahun Terbit : 2016
B. Judul Sub Bab (Dari Tugas 1) Keterampilan, Sikap, Dan Peran Konselor Dalam Konseling
Multibudaya
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (B)
Amallia Putri(2016:12) Kepribadian tidak terbentuk semata-mata karena pengalaman,
tetapi merupakan suatu integritas dari kemauan dan kemampuan dirinya untuk dapat bersikap
dan bertindak sebagai konselor profesional. Karena kepribadian konselor ini dirasakan sangat
penting adanya dalam proses konseling yang dilakukan konselor dan konseli.
3. Hasil Kritikan dari Kedua Jurnal Diatas (Nomor 1 dan 2)
A. Persamaan
Persamaan dari jurnal 1 dan jurnal 2 yaitu pembahasan yang mengangkat topik
mengenai kualitas dan kepekaan pada seorang konselor. Dimana kedua to[ik tersebut
merupakan hal yang saling berhubungan yang harus dimiliki oleh seorang konselor untuk
melakukan proses konseling yang efektif.
B. Perbedaan
Perbedaan dai jurnal 1 dan 2 yaitu pada jurnal 1 kepekaan yang harus dimiliki oleh
konselor lebih terfokus pada pelaksanaan konseling multibudaya. Sedangkan pada jurnal 2
kualitas yang harus dimiliki oleh konselor dibahas secara umum untuk seorang konselor
dapat menjalankan tugas sesuai dengan peranan profesional dan telaksanan layanan
bimbingan dan konseling secara efektif.
C. Kedalaman Pembahasan
Pada jurnal 1 lebih menekankan pada kemampuan, keterampilan dan pengetahuan
yang harus dimiliki oleh seorang konselor dalam melaksanakan konseling multibudaya
Pada jurnal 2 lebih nekakankan pada efektivitas konseling yang sangat ditentukan
oleh kualitas pribadi konselor. Dimana konseling yang efektif bergantung pada kualitas
hubungan antara klien dengan konselor.

51
LAPORAN TUGAS CBR
Nama : Adelia Mauritia Shalsa
NIM : 1192451008
Kelompok : 5 (BK REGULER C 2019

LAPORAN CBR
A. Buku
1. Judul Buku, Pengarang, dan Tahun Terbit
a. Judul Buku : Konseling Individual (Teori dan Praktek)
b. Pengarang : Sofyan S. Willis
c. Tahun Terbit : 2004
B. Judul Sub Bab ( Empati dan Simpati dalam Konseling)
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (Empati dan Simpati dalam Konseling)
Menurut Sofyan S. Willis (2004:161) Empati ialah kemampuan konselor untuk
merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan berpikir bersama klien dan bukan untuk
atau tentang klien. Empati dilakukan berasamaan dengan attending. Dengan kata lain,
tanpa perilaku attending tidak akan ada empati.
Empati ada dua macam : 1) empati primer (primary empathy), yaitu suatu bentuk
empati yang hanya memahami perasaan, pikiran, keinginan dan pengalaman klien.
Tujuannya adalah agar klien terlibat pembicaraan dan terbuka; 2) empati tingkat tinggi
(advandced accurate empathy) yaitu apabila kepahaman konselor terhadap perasaan,
pikiran, keinginan serta pengalaman klin lebih mendalam dan menyentuh klien karena
konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat klien
tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi yang terdalam dari lubuk hatinya berupa
perasaan, pikiran, pengalaman, terhadap penderitaannya.

52
Menurut Sofyan S. Willis (2004:145) Konselor yang efektif mempunyai kemampuan
melihat bagaimana keadaan klien dan dapat memilih intervensi yang sesuai (strategi dan
teknik) untuk menunjang kemampuan dan keterampilan konselor perlu kepribadian
empati. Empati merupakan kunci menjadikan hubungan konseling yang berkualitas.
Empati diartikan oleh Carl Rogers sebagai kemampuan merasakan dunia pribadi
klien, merasakan apa yang dirasakannya tanpa kehilangan kesadaran diri. Empati
mempunyai sub-komponen, yaitu; (1) positive regard (penghargaan positif); (2) respect
(rasa hormat); (3) warmth (kehangatan); (4) concreteness (ke kongritan); (5) immediacy
(kesiapan, kesegaran); (6) confrontation (konfrontasi); (7) congruence/genuineness
(keaslian).
Konselor yang menggunakan empati cenderung menggunakan attending dimana
komponen-komponennya termasuk didalam empati (kontak mata, bahasa tubuh, dan
bahasa lisan). Empati dekat dengan perilaku attending, paraphrasing, refleksi feeling.
Bahkan komponen-komponen attending amat besar perannya dalam empati.
Dengan perkataan lain, bahwa jika kita ingin memahami empati secara mendasar
haruslah melalui perilaku attending. Sebab dengan perilaku attending maka konselor akan
mudah melakukan empati. Dengan adanya empati dan attending maka klien akan terlibat
dan terbuka dalam hubungan konseling.

2. Judul Buku, Pengarang dan Tahun Terbit


a. Judul Buku : Bimbingan dan Konseling Lintas Budaya
b. Pengarang : M. Supriatna
c. Tahun Terbit : 2009
B. Judul Sub Bab (Empati dan Simpati dalam Konseling)
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (Empati dan Simpati dalam Konseling)
Dalam konseling, empati adalah kemampuan utama yang harus dimiliki seorang
konselor agar dapat menyukseskan proses konselingnya. Empati hadir saat konselor
secara akurat dapat merasakan perasaan dari klien mereka dan dapat mengomunikasikan
persepsi, supaya klien mengetahui bahwa orang lain telah memasuki dunia perasaan tanpa
prasangka, proyeksi, ataupun evaluasi.
Konsep empati tidak hanya mengulas suatu proses kunci menuju dan di dalam
konseling efektif, tetapi juga termasuk pada pekerjaan guru, pemuka agama dan pekerjaan
lain yang keseluruhan isi pekerjaan tersebut bergantung pada proses mempengaruhi orang
lain. Empatik adalah kemampuan dengan berbagai definisi yang berbeda yang mencakup
53
spektrum yang luas, berkisar pada orang lain yang menciptakan keinginan untuk
menolong, mengalami emosi yang serupa dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang
orang lain rasakan dan pikirkan, mengaburkan garis antara diri dan orang lain.
Berpartisipasi dalam kehidupan konseli akan memberikan konselor pemahaman yang
lebih intim dan berarti tentang konseli sehingga akan memunculkan perasaan empati
dalam membantu konseli memahami masalahnya. Tanpa empati, tidak mungkin ada
pengertian. Memahami secara empati merupakan kemampuan seseorang untuk
memahami cara pandang dan perasaan orang lain. Memahami secara empati bukanlah
memahami orang lain secara objektif, tetapi sebaliknya dia berusaha memahami pikiran
dan perasaan orang lain dengan cara orang lain tersebut berpikir dan merasakan atau
melihat dirinya sendiri. Memahami konseli berdasarkan kerangka persepsi dan perasaan
konseli sendiri oleh Rogers disebut internal frame of reference, artinya menggunakan
kerangka pemikiran internal.

3. Hasil kritikan dari kedua buku diatas (Nomor 1 dan 2)


A. Persamaan
Pada buku 1 dan 2 sama-sama membahas tentang topik “empati dan simpati
dalam konseling” yang dibahas secara terstruktur, jelas dan menggunakan bahasa
yang mudah dipahami oleh pembaca. Selain itu, kedua buku tersebut dilengkapi
dengan teori serta pendapat dari para ahli.
B. Perbedaan
Pada buku yang kedua, isi dari pembahasan tidak sebanyak buku yang pertama
namun penjelasan yang diberikan langsung dibahas tanpa dicampur-aduk dengan
pembahasan yang lain. Sedangkan buku pertama memiliki pembahasan yang lebih
banyak dari buku pertama namun isi dari materi yang dijelaskan sedikit
bercampur dengan materi lain.
C. Kedalaman Isi
Pada buku 1, isi dari pembahasan lebih luas. Yaitu membahas ragam-ragam
teknik konselor yang salah satunya adalah berempati dan bersimpati. Sedangkan
pada buku kedua, pembahasan dalam bab tersebut hanya terpaku pada satu materi
saja.

54
LAPORAN TUGAS CJR
Nama : Adelia Mauritia Shalsa
NIM : 1192451008
Kelompok : 5 (BK REGULER C 2019)

LAPORAN CJR
A. Jurnal
1. Judul Jurnal, Penulis dan Tahun Terbit
a. Judul Jurnal : Research & Learning in Faculty of Education Empati Sebagai
Dasar Kepribadian Konselor.
b. Penulis : Rizki Amalia
c. Tahun terbit : 2019
B. Judul Sub Bab (Empati dan Simpati dalam Konseling)
C. Ringkasan/Rangkuman dari Sub Bab (Empati dan Simpati dalam Konseling)
Hal ini sejalan dengan pendapat Rizki Amalia (2019:56) bahwa empati diartikan
sebagai perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi
pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Atau dengan
kata lain, empati merupakan kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain,
merasa simpatik dan mencoba menyelesaikan masalah, dan mengambil perspektif orang
lain.
Didalam empati, seorang konselor harus dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
klien. Untuk mencapai tujuan tersebut, latihan empati merupakan latihan terpenting untuk
membina kepribadian konselor agar mampu berkomunikasi dengan klien dan dapat
merasakan apa yang dirasakan klien. Konselor harus dapat merasakan apa yang
dirasakan, dipikirkan, dan dialami klien.

55
Untuk dapat merasakan apa yang dirasakan, dipikirkan, dan dialami klien, seorang
konselor harus berusaha :
1) Melihat kerangka rujukan dunia-dalam klien (internal frame of reference) atau
kehidupan internal klien
2) Menempatkan diri kedalam kerangka persepsi internal klien.
3) Merasakan apa yang dirasakan klien
4) Berfikir bersama klien, bukan berfikir tentang atau untuk klien
5) Menjadi kaca emosional/cermin perasaan klien (emotional mirror)

Keberhasilan empati adalah jika klien dapat memahami empati konselor, sehingga dia
percaya diri untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalahnya.
Berikut ini adalah bentuk-bentuk latihan empati bagi konselor :
1) Mengosongkan pikiran
 Kosongkan pikiran dari rasa/sikap egoistik
 Amati bahasa tubuh klien : emosi, air muka (mimik), gerak isyarat, dan gerakan
yang membawa perasaan emosional
 Rasakan kehidupan emosi klien dan berusaha didalam kehidupan internal klien
 Amati verbal klien yang membawa emosi
 Intervensi dengan pernyataan afektif, sesuai dengan keadaan emosional klien
(refleksi feeling)

Dari urutan kegiatan diatas, ada dua langkah penting untuk memahami emosi klien
melalui empati yaitu : pertama, secara tepat merasakan dunia klien melalui perilakunya;
kedua, secara verbal konselor berbagi pengalaman dengan klien. Bagaimana kita tahu
bahwa tebakan tentang emosi klien adalah jitu? Yakni jika klien berkata, “yah,itu yang
saya maksud”.

2. Judul Jurnal, Penulis dan Tahun Terbit


a. Judul Jurnal : Pentingnya Teknik Empati dalam Konseling
b. Penulis : Yunita
c. Tahun terbit : 2021
B. Judul Sub Bab (Empati dan Simpati dalam Konseling)
C. Ringkasan/rangkuman dari sub-bab (Empati dan Simpati dalam Konseling

56
Menurut Agus Efendi, empati adalah sikap seseorang untuk memahami orang lain
menurut sudut pandangnya, yang jelas-jelas empati dapat mempengaruhi gaya hidup
seseorang secara umum, bagi individu yang memiliki empati tinggi pasti akan selalu
berusaha memahami pikiran dan perasaan orang lain, yang dapat memberikan beberapa
nilai. Empati sangat penting untuk kecerdasan emosional sebagai kapasitas untuk
memahami perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kapasitas untuk memotivasi diri
kita sendiri dan kapasitas untuk mengelola perasaan dengan baik dalam diri kita sendiri
dan terlibat dengan orang lain (Djafri, 2014).
Empati menurut Batson dalam Franzoi (2006) muncul dengan alasan bahwa mereka
perlu membantu orang lain dari penderitaan yang mereka alami (jenis ini disebut
altruistic). Ada juga orang-orang yang membantu karena mereka perlu disebut pahlawan
(jenis ini disebut egoistic karena mereka bertindak karena kebutuhan mereka sendiri).
Dilihat dari hasil penelitian Davis yang dikutip oleh Franzoi (2003) dikatakan bahwa,
orang yang memiliki tingkat empati yang tinggi akan sering mendapat perasaan
terpanggil untuk membantu orang lain yang menderita.

3. Hasil kritikan dari kedua jurnal diatas (nomor 1 dan 2)


A. Persamaan
Kedua jurnal tersebut sama-sama memiliki keterkaitan antar satu sama lain,
yaitu dimana keduanya memiliki kesamaan dalam topik bahasan, yaitu “Empati
dan Simpati dalam Konseling”. Selain itu, kedua jurnal menggunakan bahasa
yang mudah dan cukup jelas untuk dipahami oleh para pembaca.
B. Perbedaan
Pada jurnal satu, pembahasan mengenai empati dan simpati dalam konseling
disajikan dengan tersendiri. Sedangkan dalam jurnal kedua, pembahasan
mengenai topik bercampur dengan pembahasan topik yang lain.
C. Kedalaman isi
Pada jurnal pertama, pembahasan materi lebih luas karena yang menjadi
pokok bahasan utama adalah adalah Empati dan Simpati dalam Konseling.
Sedangkan pada jurnal kedua, pembahasan mengenai materi tidak begitu luas
karena fokus penelitian dan isi jurnal tidak pada topik pembahasan.

57
BERITA ACARA PRESENTASI TUGAS KELOMPOK

Pada hari ini: Rabu tanggal : 16 Maret 2022 Pukul 11.20 s/d. 13.50 WIB di zoom
meetings telah dipresentasikan makalah dalam rangka tugas kelompok.
Oleh :
Kelompok : Kelompok 5
: Edy Andriarto Habib (Ketua)
: Yogi Yosafat Ginting (Anggota)
: Adelia Mauritia Shalsa (Anggota)
: Indah Ramayanti Berutu (Anggota)
: Viviayu Azhar Saragih (Anggota)
Kelas : Regular C
Matakuliah : Konseling Multibudaya
Jurusan/Prodi : Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Fak/Univ : Fakultas Ilmu Pendidikan/Universitas Negeri Medan
Dengan Judul/Topik Bahasan :
Pendekatan Perilaku dalam Konseling Multibudaya

Demikianlah berita acara ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Medan, 16 Maret 2022


Diketahui oleh, Ketua Kelompok 5
Komisaris Tingkat/Kelas

Tengku Muhammad Fajar Edy Andriarto Habib


58
NIM. 1193351027 NIM 1193151022

Disetujui Oleh;
Dosen Pengampu Mata Kuliah

Dr. Nur’aini., MS
NIP. 195906201986092001

LAMPIRAN
REKAMAN AKTIVITAS DISKUSI

Berikut aktivitas diskusi berupa pertanyaan, kritik/saran, masukan dari peserta diskusi
terhadap presentasi tugas kelompok oleh kelompok 5 serta tanggapan dari penyaji.

1. Pertanyaan
Dari Sekar Ayu Anjarani Sipayung Kelas BK Reguler C 2019, Di makalah
kalian, terdapat penjelasan bahwa "Berani mempertentangkan kepercayaan dan
perilaku diri sendiri dengan konseli yang berbeda budaya tanpa menghakimi".
Bukannya itu sama saja tidak memberikan kebebasan kepada konseli dalam
berbudaya?

Jawaban:
Dari Yogi Yosafat Ginting yaitu alam pernyataan tersebut, dimana berani
mempertentangkan kepercayaan dan perilaku diri sendiri dengan konseli yang
berbeda budaya tanpa menghakimi. Konselor berani mempertentangkan kepercayaan
beserta perilaku dari konselor kepada konseli tanpa adanya niat menghakimi kepada
konseli. Mempertentangkan kepercayaan tersebut tentu dengan niat untuk membuka
pemahaman dan menambah wawasan serta membantu konseli dalam mengatasi
permasalahannya. Seperti halnya, konselor mempercayai bahwa minuman bandrek
berkhasiat untuk mengurangi masuk angin dari budaya konselor. tetapi konseli lebih
percaya dengan daun rebusan daun pepaya untuk mengatasi masuk angin. tentu dalam

59
hal ini terjadi pertentangan kepercayaan antara konseli dengan konselor. Konselor
tentu harus menghormati kepercayaan konseli tersebut tanpa menghakimi.

2. Pertanyaan
Dari Lidya Munawarah Siregar Kelas BK Reguler C 2019, yaitu dalam makalah
kalian memaparkan ada 3 pendekatan dalam konseling lintas budaya yaitu 1)
pendekatan universal/etik 2) pendekatan emik 3) pendekatan inklusif. Pertanyaan saya
bagaimana cara konselor yang biasa menggunakan pendekatan konseling modern
dalam menjalankan konseling multibudaya yang menerapkan pendekatan etik dan
emik?

Jawaban:
Dari Indah Ramayanti Berutu BK Reguler C 2019, yaitu cara konselor
yang biasa menggunakan pendekatan konseling modern dalam menjalankan kegiatan
konseling. Konseling multibudaya digunakan ketika kita menemui konseli yang
memilik kebudayaan yang berbeda dengan kita. Baik itu perbedaan suku, ras, agama,
warna kulit, bahasa, dll. Indonesia sendiri merupakan salah satu Negara yang
multicultural . Untuk memahami nilai-nilai dan budaya kita, kita harus memahami
sejarah budaya tersebut. Jadi sebagai seorang konselor kita perlu memahami
kebudayaan yang dianut oleh konseli yang kita hadapi. Suatu pelayanan konseling
tidak akan efektif jika tidak memperhatikan budaya klien.
Cara konselor mengetahui kebudayaan mengenai klien berasal darimana,
bagaimana sikap dasar kebudayaannya seperti yang kita tau setiap budaya pasti
memiliki ciri khas dan sikap yang khas dalam masing-masing budaya, agar kita dapat
memahami klien dan konseling berjalan dengan baik karena sikap konselor yang
terbuka kepada klien dan klien yang merasa dimengerti dan dipahami oleh
konselornya

3. Pertanyaan
Dari Nurul Inaya Kelas BK Reguler E 2019, yaitu Salah satu pembahasan
pada materi kalian kan ada mengenai "tugas konselor di sekolah multibudaya adalah
mengembangkan kesadaran multibudaya".
Maka dari itu, yang ingin saya tanyakan adalah coba jelaskan bagaimana cara
konselor mengembangkan kesadaran multibudaya nya tersebut?
60
Jawaban:
Dari Edy Andriarto Habib BK Reguler C 2019, yaitu Menurut Sue & Sue
(2008) terdapat tiga kompetensi multikultural yang harus dimiliki oleh konselor,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Kesadaran konselor sendiri berdasarkan asumsi, nilai, dan bias
Dalam konseling atau terapi multikultural menekankan pentingnya tidak
membiarkan bias, nilai-nilai diri sendiri, atau menyerah dengan kemampuan kita
untuk bekerja dengan klien.
2) Pemahaman pandangan dunia dari klien dengan budaya beragam
Sangat penting bahwa konselor dan terapis memahami dan dapat berbagi
pandangan dari dunia klien mereka yang beragam budaya. Pernyataan ini tidak
berarti bahwa penyedia harus memegang pandangan dunia ini sebagai milik
mereka, melainkan bahwa mereka dapat melihat dan menerima pandangan dunia
lainnya dengan cara yang tidak menghakimi.
3) Mengembangkan strategi intervensi dan teknik yang tepat
Efektivitas kemungkinan besar ditingkatkan ketika konselor menggunakan
terapi modalitas dan mendefinisikan tujuan yang konsisten dengan pengalaman
hidup dan nilai-nilai budaya dari klien.

4. Pertanyaan
Dari Santi Florida Situngkir Kelas BK Reguler C 2019, yaitu Dimana
dalam makalah kelompok penyaji memaparkan “Sikap konselor dalam konseling
multibudaya sangat mempengaruhi kualitas dan keberlangsungan konseling secara
efektif. Melalui sikap yang ditibulkan oleh konselor dapat menumbuhkan perasaan-
perasaan hangat dan nyaman bagi konselor. Konselor mampu menghormati nilai-nilai
kepercayaan adat, agama, serta sikap klien merupakan suatu hal yang harus dimiliki
oleh konselor”.
Jadi pertanyaan saya, bagaimana jika konselor tsb tidak dapat menerapkan sikap
tersebut? Lalu apakah solusi yg tepat untuk kasus pertama, jika kelak kalian menjadi
seorang guru BK?

Jawaban:

61
Dari Adelia Mauritia Shalsa Kelas BK Reguler C 2019, yaitu tentu saja jika
konselor tidak dapat menghormati kepercayaan, adat istiadat dan nilai-nilai
kepercayaan sudah dipastikan konseli tidak akan merasa nyaman, tidak mau terbuka
dan percaya kepada konselor yang akhirnya bisa menyebabkan konseling tidak
berjalan dengan efektif. Sebab, Bersikap peka atau sensitif bagi konselor terutama
dalam menyikapi perbedaan budaya merupakan salah satu elemen dasar bagi seorang
konselor terutama dalam melaksanakan layanan konseling. Dimana konselor harus
mampu memahami diri sendiri serta konseli secara menyeluruh baik secara fisiologis
dan psikologis yang merupakan atribut dalam proses konseling. Adanya pemahaman
mendalam mengenai karakteristik diri sendiri dan konseli mengarahkan konselor
untuk mampu mengembangkan pendekatan-pendekatan konseling berdasarkan
pemahaman budaya antara konseli dan konselor.
Untuk kasus pertama, bisa dilakukan bimbingan kelompok maupun klasikal
untuk memberikan informasi serta arahan kepada para siswa mayoritas untuk lebih
memerhatikan siswa yang berasal dari minoritas. Karena kesalahpahaman bisa saja
terjadi sebab adanya perbedaan, jadi sebagai konselor bisa mengadakan diskusi
mengenai penggunaan bahasa di sekolah secara berkelompok dengan siswa mayoritas
maupun minoritas itu untuk dicaritahu bagaimana pandangan dan pendapat dari
kacamata para siswa. Serta dapat dilakukan layanan konseling individu kepada para
siswa minoritas seperti SA yang mengalami masalah sulit bergaul sebab penggunaan
bahasa yang berbeda di lingkungan sekolah, dicaritahu apa saja kebutuhan yang
dibutuhkan SA, apa saja kegelisahan dan kekhawatirannya selama di sekolah tersebut
untuk dicari bersama jalan keluarnya dengan tidak menyinggung etnis manapun.

5. Pertanyaan
Dari Trisna Febrina Kelas BK Reguler C 2019, yaitu coba kelompok kalian
dapat lebih menjelaskan tentang tiga pendekatan dalam konseling lintas budaya.

Jawaban:
Dari Viviayu Azhar Saragih Kelas BK Reguler C 2019, yaitu Palmer and
Laungani (2008 : 97-109) mengajukan tiga model konseling lintas budaya, yakni (1)
culture centred model, (2) integrative model, dan (3) ethnomedical model.
1) Model Berpusat pada Budaya (Culture Centred Model)
62
Palmer and Laungani (2008) berpendapat bahwa budaya-budaya barat
menekankan individualisme, kognitifisme, bebas, dan materialisme, sedangkan
budaya timur menekankan komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan
spiritualisme. Konsep-konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus. Pengajuan
model berpusat pada budaya didasarkan pada suatu kerangka pikir (framework)
korespondensi budaya konselor dan konseli. Diyakini, sering kali terjadi
ketidaksejalanan antara asumsi konselor dengan kelompok-kelompok konseli
tentang budaya, bahkan dalam budayanya sendiri.
Konseli tidak mengerti keyakinan-keyakinan budaya yang fundamental
konselornya demikian pula konselor tidak memahami keyakinan-keyakinan
budaya konselinya. Atau bahkan keduanya tidak memahami dan tidak mau
berbagi keyakinan-keyakinan budaya mereka. Oleh sebab itu pada model ini
budaya menjadi pusat perhatian. Artinya, fokus utama model ini adalah
pemahaman yang tepat atas nilai-nilai budaya yang telah menjadi keyakinan dan
menjadi pola perilaku individu. Dalam konseling ini penemuan dan pemahaman
konselor dan konseli terhadap akar budaya menjadi sangat penting. Dengan cara
ini mereka dapat mengevaluasi diri masing-masing sehingga terjadi pemahaman
terhadap identitas dan keunikan cara pandang masing-masing.

2) Model Integratif (Integrative Model)


Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitam Amerika, Jones
(Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel sebagai suatu
panduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni sebagai berikut :
a) Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial oppression).
b) Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
c) Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
d) Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and family
experiences and endowments).

Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya sungguh


sulituntuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel tersebut. Menurutnya,
yang menjadi kunci keberhasilan konseling adalah asesmen yang tepat terhadap
pengalaman-pengalaman budaya tradisional sebagai suatu sumber perkembangan
pribadi. Budaya tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang
63
memfasilitasi individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Yang
tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972) dengan istilah
colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai-nilai budaya yang
diturunkan dari generasi ke generasi. Oleh sebab itu kekuatan model konseling ini
terletak pada kemampuan mengakses nilai-nilai budaya tradisional yang dimiliki
individu dari berbagai varibel di atas.

3) Model Etnomedikal (Ethnomedical Model)


Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser (1979) yang
dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993). Model ini merupakan
alat konseling transkultural yang berorientasi pada para digmamemfasilitasi dialog
terapeutik dan peningkatan sensitivitas transkultural. Pada model ini
menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya dengan sembilan
model dimensional sebagai kerangka pikirnya.
a) Konsepsi sakit (sickness conception)
Seseorang dikatakan sakit apa bila :
 Melakukan penyimpangan norma-norma budaya
 Melanggar batas-batas keyakinan agama dan berdosa
 Melakukan pelanggaran hukum
 Mengalami masalah interpersonal

b) Causal/healing beliefs
 Menjelaskan model healing yang dilakukan dalam konseling
 Mengembangkan pendekatan yang cocok dengan keyakinan konseli
 Menjadikan keyakinan konseli sebagai hal familiar bagi konselor
 Menunjukkan bahwa semua orang dari berbagai budaya perlu berbagi
(share) tentang keyakinan yang sama

c) Kriteria sehat (wellbeing criteria)


Pribadi yang sehat adalah seseorang yang harmonis antara dirinya
sendiri dengan alamnya. Artinya, fungsi-fungsi pribadinya adaftif dan secara
penuh dapat melakukan aturan-aturan sosial dalam komunitasnya.
 Mampu menentukan sehat dan sakit

64
 Memahami permasalahan sesuai dengan konteks
 Mampu memecahkan ketidakberfungsian interpersonal
 Menyadari dan memahami budayanya sendiri

d) Body function beliefs


 Perspektif budaya berkembang dalam kerangka pikir lebihbermakna
 Sosial dan okupasi konseli semakin membaik dalam kehidupansehari-hari
 Muncul intrapsikis yang efektif pada diri konseli

e) Health practice efficacy beliefs


Ini merupakan implemetasi pemecahan masalah denganpengarahan
atas keyakinan-keyakinan yang sehat dari konseli.

Medan, 16 Maret 2022


Diketahui oleh,
Komisaris Tingkat/Kelas Ketua Kelompok
Notulen,

Tengku Muhammad Fajar Edy Andriarto Habib


NIM 1193351027 NIM 1193151022

65

Anda mungkin juga menyukai