MODUL PERKULIAHAN
W612100028 –
Gangguan-
Gangguan
Psikologis
Abstrak Sub-CPMK 4
Gangguan masa anak (Disabilitas Belajar, Mampu memahami dan menjelaskan Gangguan masa anak
School Refusal, Gangguan Fisik: CP dan (Disabilitas Belajar, School Refusal, Gangguan Fisik: CP dan
Epilepsi) Epilepsi)
04
Agustini, M.Psi.,Psikolog
Psikologi Psikologi
Untuk mengklasifikasi perilaku abnormal pada anak-anak, para ahli diagnostic
pertama-tama harus mengetahui apa yang dianggap normal pada usia tersebut.
Diagnosis bagi anak-anak yang merebahkan tubuhnya di lantai seraya menendang-
nendang dan menjerit-jerit bila keinginannya tidak dituruti harus mempertimbangkan
apakah si anak berusia 2 atau 7 tahun. Bidang psikopatologi perkembangan mempelajari
berbagai gangguan di masa kanak-kanak dalam konteks perkembangan normal
sepanjang hidup sehingga kita dapat mengidentifikasi berbagai perilaku yang wajar pada
satu tahap, namun pada tahap yang berbeda dianggap sebagai gangguan.
1. Disabilitas Belajar
Nelson Rockefeller pernah menjadi gubernur Negara Bagian New York dan wakil
presiden Amerika Serikat. Dia sangat pandai dan berpendidikan tinggi. Namun,
meskipun telah belajar dari guru-guru terbaik, dia selalu mengalami kesulitan
membaca. Rockefeller menderita disleksia (dyslexia), istilah yang berasal dari bahasa
Yunani dys, yang berarti “buruk”, dan lexikon, yang berarti “kata-kata”. Disleksia
adalah jenis gangguan pembelajaran (learning disorder) (disebut juga disabilitas
belajar) yang paling umum, yang mungkin berjumlah 80% kasus. Orang yang
a. Gangguan Membaca
Anak-anak yang mengalami gangguan pembelajaran spesifik yang meliputi
kesulitan membaca memiliki masalah persisten dengan keterampilan dasar membaca.
Meskipun DSM-5 tidak menggunakan istilah disleksia, istilah ini masih digunakan
secara luas di kalangan guru, klinisi, dan peneliti untuk menggambarkan
kekurangan/deficit yang signifikan dalam keterampilan membaca.
Anak-anak yang menderita disleksia kesulitan dalam memahami atau mengenali
kata dasar ataupun memahami apa yang mereka baca, atau mungkin membaca
secara perlahan (lambat) ataupun dengan terputus-putus. Disleksia menyerang
sekitar 4% anak usia sekolah dan jauh lebih banyak menyerang anak laki-laki
ketimbang anak perempuan (Rutter et al., 2004). Anak laki-laki yang menderita
disleksia juga cenderung menunjukkan perilaku yang mengganggu di kelas ketimbang
anak perempuan dan sehingga lebih besar kemungkinan untuk dievaluasi.
Anak-anak yang menderita disleksia mungkin membaca dengan lambat dan
kesulitan, serta mengubah, menghilangkan, atau mengganti kata-kata ketika
b. Gangguan Menulis
Defisiensi ini ditandai oleh kesalahan dalam mengeja, tata bahasa, atau tanda
baca; oleh gangguan legibilitas atau kelancaran menulis; atau oleh kesulitan
Menyusun kalimat atau paragraph yang jelas dan teratur. Kesulitan menulis yang
parah biasanya tampak pada usia 7 tahun (kelas dua SD), meskipun kasus yang lebih
ringan mungkin tidak disadari sampai usia 10 tahun (kelas lima SD) atau setelahnya.
e. School Refusal
School refusal atau penolakan sekolah mengacu pada gangguan emosional yang
dialami anak dalam hal kehadiran di sekolah. Anak-anak yang menolak sekolah
biasanya tidak terlibat dalam perilaku antisosial yang berhubungan dengan
pembolosan, seperti berbohong, mencuri atau merusak properti. Sebagian besar
anak-anak kadang-kadang enggan untuk pergi ke sekolah atau memiliki beberapa
kecemasan tentang kegiatan sekolah.
Selain itu, pengertian School Refusal adalah masalah emosional yang serius yang
dihubungkan dengan akibat jangka pendek dan akibat jangka panjang yang signifikan
(Fremont, 2003). Pendapat lain mengemukakan bahwa school refusal adalah masalah
emosional yang dimanifestasikan dengan ketidakinginan anak untuk menghadiri
sekolah dengan menunjukkan symptom fisik, yang disebabkan karena kecemasan
berpisah dari orang terdekat, karena pengalaman negatif di sekolah atau karena
punya masalah dalam keluarga. Seorang anak dikatakan mengalami school refusal
jika anak tersebut tidak mau pergi ke sekolah atau mengalami distres yang berat
berkaitan dengan kehadiran di sekolah. Anak yang mengalami school refusal merasa
tidak nyaman karena perasaan cemas terhadap sesuatu yang berkaitan dengan
sekolah sehingga mereka dapat kehilangan kemampuan untuk menguasai tugas-
tugas perkembangan pada berbagai tahap pada masa perkembangan mereka
(Davison, John & Ann, 2006).
Penolakan sekolah adalah masalah serius yang memerlukan penanganan dari
awal. Ketika seorang anak absen yang berkepanjangan berarti bahwa anak-anak
kehilangan bagian penting dari kurikulum, yang merugikan pembelajaran dan
perkembangan mereka. Anak-anak yang bolos sekolah sebagai akibat dari penolakan
mungkin juga menghadapi masalah jangka panjang. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa penolakan sekolah dapat memberikan kontribusi untuk masalah
kesehatan mental, masalah emosional dan sosial, keluar sekolah di kemudian hari.
Beberapa karakteristik umum siswa yang mengalami masalah School Refusal
karena alasan emosional bervariasi, diantaranya meliputi:
1) Kecemasan Berpisah (Separation anxiety) Anak yang menolak sekolah
karena kecemasan berpisah khawatir tentang keselamatan dan takut sesuatu
yang buruk akan terjadi pada siswa. Umumnya anak-anak mengeluh pada
Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak mulai dituntut dan kadangkala
menuntut dirinya agar selalu berbuat sebaik mungkin dan menyesuaikan dirinya
dengan standar tingkah laku tertentu. Standar tingkah laku tersebut dipandang
sesuai dengan tuntutan guru/ sekolah, orang tua maupun teman. Adakalanya
anak tidak dapat memenuhi tuntutan yang dikenakan kepada mereka atau
berkaitan dengan kegiatan belajar, terutama dalam hal prestasi akademik..
Keadaan ini menimbulkan tekanan pada anak dan dapat menjadi pemicu
timbulnya masalah dalam kegiatan belajar dan proses belajar anak, antara lain
menghindari atau menolak pergi ke sekolah. Perilaku tersebut juga digolongkan
sebagai School Phobia atau School Refusal. Anak yang mengalami School
Refusal menunjukkan penolakan untuk hadir di sekolah dengan cara
mengungkapkan berbagai keluhan fisik dalam upaya menyakinkan orang tua agar
dirinya diijinkan tetap tinggal di rumah. Misalnya: sakit kepala, sakit perut, sakit
tenggorokan, diare, muntah, dan sebagainya. Disamping itu mereka sering pula
mengungkapkan keluhan sehubungan dengan keadaan-keadaan di sekolah yang
dirasa tidak nyaman bagi mereka dan membuat mereka menolak ke sekoIah.
Misalnya: guru yang galak, tugas-tugas terlalu sukar atau terlalu mudah, teman-
teman yang tidak menyenangkan, dan lain-lain.
Pada umumnya school refusal disebabkan oleh dua hal mendasar, yaitu (1)
pola asuh orang tua yang menimbulkan kecemasan berpisah (separation anxiety)
pada anak, dan (2) adanya peristiwa-peristiwa pencetus yang dapat menimbulkan
kecemasan anak untuk berada di sekolah ataupun berada terpisah dari orang tua.
Penyebab terjadinya school refusal bervariasi, Setzer & Salzhauer (2006)
menyebutkan empat alasan untuk menghindari sekolah yaitu: (1) untuk
menghindari objek –objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang
mendatangkan distress; (2) untuk menghindar dari situasi yang mendatangkan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua terhadap anak yang
memiliki masalah school refusal, yaitu menekankan pentingnya bersekolah,
berusaha untuk tidak menuruti keinginan anak untuk tidak sekolah, konsultasikan
masalah kesehatan anak pada dokter, bekerjasama dengan guru kelas atau
asisten lain di sekolah, luangkan waktu untuk berdiskusi atau berbicara dengan
anak, lepaskan anak secara bertahap, dan konsultasi pada psikolog atau konselor
jika masalah terjadi. Anak yang mengalami school refusal masih bisa terus
sekolah asalkan orangtua dan guru mau bekerjasama untuk mengetahui
penyebabnya dan membantu anak yang mengalami school refusal untuk dapat
mengatasi masalahnya, yaitu dengan menjalin komunikasi untuk mengetahui
perkembangan anak baik di sekolah maupun di rumah, sehingga masalah yang
dihadapi anak, khususnya school refusal dapat segera diketahui dan dapat pula
dengan segera diatasi bersama.
2) Epilepsi
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan
kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang
berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara
sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf)
peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik,
sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan
lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006, h. 3).
Epilepsi memiliki gejala yang menyerupai gangguan histeria yaitu
hilangnya kesadaran dan kontrol terhadap anggota tubuh. Epilepsi merupakan
gangguan yang terjadi karena adanya ketidaknormalan fungsi seluruh atau
sebagian otak yang dapat dilihat melalui pemeriksaan elektro ensefalografi (EEG)
atau magnetic resonance imaging (MRI). Sedangkan pada penderita histeria tidak
ditemukan adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut
dan terdapat bukti adanya penyebab secara psikologis dalam bentuk hubungan
kurun waktu yang jelas dengan masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang
menimbulkan stres atau hubungan interpersonal yang terganggu (PPDGJ-III,
2002, h. 81).
Kondisi fisik dan psikis dari penderita epilepsi membawa dampak negatif
bagi perkembangan psikologisnya. Ada beberapa bentuk gangguan yang muncul
dalam kondisi tersebut antara lain: rasa malu, rendah diri, hilangnya harga diri dan
kepercayaan diri. Bentuk gangguan tersebut dapat menyebabkan penderita
mengalami depresi yang berkepanjangan apabila tidak segera diatasi. Depresi
yang dialami oleh penderita dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima
diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya
Nevid, J.S, Rathus, S.A., &Greene, B. (2014). Psikologi Abnormal. Edisi ke-9 Jilid 2.
Davison, Gerald C., Neale, John M., & Kring, Ann M. (2018). Psikologi Abnormal.
Nasional Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Wahyuni, Prisnia Dwi. (2017). Penerimaan Ibu Terhadap Anak Cerebral Palsy (CP).
Anindita, R. A., & Apsari, N.C. (2019). Pelaksanaan Support Grup Pada Orangtua
Anak Dengan Cerebral Palsy. Jurnal Pekerjaan Sosial. ISSN: 2620-3367. Vol. 2 No. 2.
Hal. 208-2018.