Anda di halaman 1dari 13

1

MODUL PERKULIAHAN

W612100028 –
Gangguan-
Gangguan
Psikologis

Abstrak Sub-CPMK 4
Gangguan masa anak (Disabilitas Belajar, Mampu memahami dan menjelaskan Gangguan masa anak
School Refusal, Gangguan Fisik: CP dan (Disabilitas Belajar, School Refusal, Gangguan Fisik: CP dan
Epilepsi) Epilepsi)

Gangguan Masa Kanak

Fakultas Program Studi Tatap Muka Disusun Oleh

04
Agustini, M.Psi.,Psikolog
Psikologi Psikologi
Untuk mengklasifikasi perilaku abnormal pada anak-anak, para ahli diagnostic
pertama-tama harus mengetahui apa yang dianggap normal pada usia tersebut.
Diagnosis bagi anak-anak yang merebahkan tubuhnya di lantai seraya menendang-
nendang dan menjerit-jerit bila keinginannya tidak dituruti harus mempertimbangkan
apakah si anak berusia 2 atau 7 tahun. Bidang psikopatologi perkembangan mempelajari
berbagai gangguan di masa kanak-kanak dalam konteks perkembangan normal
sepanjang hidup sehingga kita dapat mengidentifikasi berbagai perilaku yang wajar pada
satu tahap, namun pada tahap yang berbeda dianggap sebagai gangguan.

Sebagian besar gangguan di masa kanak-kanak, seperti gangguan anxietas


perpisahan, merupakan gangguan khas pada anak-anak. Namun, banyak gangguan yang
lain, seperti gangguan kurangnya konsentrasi/hiperaktivitas (ADHD attention
deficit/hyperactivity disorder), dikonseptualisasi utamanya sebagai gangguan di masa
kanak-kanak. Namun demikian, gangguan tersebut dapat berlanjut hingga dewasa.
Deskripsi DSM mengenai gangguan-gangguan yang spesifik pada anak-anak tersebut
ditampilkan dalam table-tabel DSM di bagian tepi.

Gangguan di masa kanak-kanak yang lebih tinggi prevalensinya sering kali


dikelompokkan dalam dua kelompok yang lebih luas, yang disebut gangguan
eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai dengan perilaku yang
lebih diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan, overaktivitas, dan
impulsivitas, dan termasuk berbagai kategori DSM-IV-TR, yaitu ADHA, gangguan tingkah
laku (GTL), dan gangguan sikap menentang (GSM). Gangguan internalisasi ditandai
dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus ke dalam diri seperti depresi,
menarik diri dari pergaulan sosial, dan kecemasan, termasuk gangguan anxietas dan
mood di masa kanak-kanak. Anak-anak dan remaja dapat menunjukkan simtom-simtom
dari kedua kelompok tersebut.

1. Disabilitas Belajar
Nelson Rockefeller pernah menjadi gubernur Negara Bagian New York dan wakil
presiden Amerika Serikat. Dia sangat pandai dan berpendidikan tinggi. Namun,
meskipun telah belajar dari guru-guru terbaik, dia selalu mengalami kesulitan
membaca. Rockefeller menderita disleksia (dyslexia), istilah yang berasal dari bahasa
Yunani dys, yang berarti “buruk”, dan lexikon, yang berarti “kata-kata”. Disleksia
adalah jenis gangguan pembelajaran (learning disorder) (disebut juga disabilitas
belajar) yang paling umum, yang mungkin berjumlah 80% kasus. Orang yang

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


2 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
menderita disleksia mengalami kesulitan dalam membaca meskipun faktanya mereka
memiliki kecerdasan/intelegensi rata-rata.
Gangguan pembelajaran biasanya akan menjadi gangguan kronis yang
mempengaruhi perkembangan sampai masa dewasa. Anak-anak yang menderita
gangguan pembelajaran cenderung memiliki prestasi yang buruk di sekolah dalam
hubungannya dengan tingkat inteligensi dan usia mereka. Mereka sering dinilai gagal
oleh guru dan keluarga mereka. Tidak mengherankan bahwa anak-anak yang
menderita gangguan pembelajaran sering mengalami masalah psikologis lainnya,
seperti rendahnya harga diri. Mereka juga memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami
ADHD.
DSM-5 menerapkan diagnosis tunggal atas gangguan pembelajaran spesifik untuk
mencakup berbagai jenis gangguan pembelajaran atau disabilitas yang melibatkan
kekurangan yang signifikan dalam keterampilan membaca, menulis, aritmetika dan
matematika, serta fungsi eksekutif. Kekurangan/deficit ini berdampak signifikan
terhadap prestasi akademis. Ini biasanya muncul selama usia sekolah, tetapi mungkin
tidak disadarisampai tuntutan akademis melebihi kemampuan individunya, seperti
ketika pertama kali menjalani tes berjangka waktu (timed test). Diagnosisnya juga
mengharuskan bahwa kekurangan pembelajaran tidak dapat dijelaskan dengan lebih
baik oleh keterlambatan perkembangan intelektual yang umum (yaitu ID) ataupun oleh
kondisi neurologis atau medis lainnya.

a. Gangguan Membaca
Anak-anak yang mengalami gangguan pembelajaran spesifik yang meliputi
kesulitan membaca memiliki masalah persisten dengan keterampilan dasar membaca.
Meskipun DSM-5 tidak menggunakan istilah disleksia, istilah ini masih digunakan
secara luas di kalangan guru, klinisi, dan peneliti untuk menggambarkan
kekurangan/deficit yang signifikan dalam keterampilan membaca.
Anak-anak yang menderita disleksia kesulitan dalam memahami atau mengenali
kata dasar ataupun memahami apa yang mereka baca, atau mungkin membaca
secara perlahan (lambat) ataupun dengan terputus-putus. Disleksia menyerang
sekitar 4% anak usia sekolah dan jauh lebih banyak menyerang anak laki-laki
ketimbang anak perempuan (Rutter et al., 2004). Anak laki-laki yang menderita
disleksia juga cenderung menunjukkan perilaku yang mengganggu di kelas ketimbang
anak perempuan dan sehingga lebih besar kemungkinan untuk dievaluasi.
Anak-anak yang menderita disleksia mungkin membaca dengan lambat dan
kesulitan, serta mengubah, menghilangkan, atau mengganti kata-kata ketika

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


3 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
membaca dengan suara keras. Mereka mengalami kesulitan dalam menguraikan
huruf-huruf dan kombinasi huruf serta kesulitan menerjemahkannya menjadi suara
yang tepat (Meyler et al., 2008). Mereka juga mungkin salah mengartikan huruf seperti
jungkir balik (misalnya bingung antara w dan m) atau melihatnya secara terbalik (b
dan d). Disleksia biasanya tampak pada usia 7 tahun., bertepatan dengan kelas dua
SD, mesipun kadang-kadang sudah disadari pada usia 6 tahun. Anak-anak dan
remaja yang menderita disleksia cenderung lebih rentan terhadap masalah seperti
depresi, harga diri yang rendah, dan ADHD.
Banyaknya penderita disleksia bervariasi sesuai dengan bahasa asli (bahasa ibu).
Jumlah yang lebih tinggi terdapat di negara-negara berbahasa Inggris dan Perancis,
dimana bahasa tersebut memilki berbagai cara untuk mengeja kata-kata yang
bunyinya sama (misalnya, huruf bunyi “o” yang sama dalam kata “toe” dan “tow”).
Jumlah yang lebih rendah terdapat di Italia, di mana bahasanya memiliki rasio yang
lebih kecil antara jenis suara dan kombinasi huruf (Paulesu et al., 2001).

b. Gangguan Menulis
Defisiensi ini ditandai oleh kesalahan dalam mengeja, tata bahasa, atau tanda
baca; oleh gangguan legibilitas atau kelancaran menulis; atau oleh kesulitan
Menyusun kalimat atau paragraph yang jelas dan teratur. Kesulitan menulis yang
parah biasanya tampak pada usia 7 tahun (kelas dua SD), meskipun kasus yang lebih
ringan mungkin tidak disadari sampai usia 10 tahun (kelas lima SD) atau setelahnya.

c. Gangguan Keterampilan Berpikir Aritmetika dan Matematika


Anak-anak mungkin memiliki masalah dalam memahami fakta aritmetika dasar,
seperti mengerjakan penjumlahan atau pengurangan, melakukan perhitungan atau
mempelajari table perkalian, atau menyelesaikan soal matematika. Masalah ini
mungkin tampak sejak anak duduk di kelas 1 (6 tahun) tetapi umumnya tidak disadari
sampai anak duduk di kelas 2 atau 3 SD.

d. Gangguan Pada Fungsi Eksekutif


Keterampilan fungsi eksekutif adalah serangkaian kemampuan mental yang lebih
tinggi dalam melakukan tugas-tugas pengorganisasian, perencanaan, dan
pengkoordinasian yang dibutuhkan untuk mengelola tugas yang diemban seseorang.
Meskipun banyak anak kesulitan dengan jenis tantangan ini, anak-anak yang
mengalami kekurangan/deficit fungsi eksekutif menghadapi kesulitan yang jelas dan
terus-menerus dalam mengorganisasikan dan mengkoordinasikan aktivitas yang

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


4 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
berhubungan dengan sekolahnya. Mereka mungkin sering mengabaikan tugas
sekolah, tidak mengerjakan tugas pekerjaan rumah, atau tidak mempunyai rencana
untuk menyelesaikan tugas secara tepat waktu.

e. School Refusal
School refusal atau penolakan sekolah mengacu pada gangguan emosional yang
dialami anak dalam hal kehadiran di sekolah. Anak-anak yang menolak sekolah
biasanya tidak terlibat dalam perilaku antisosial yang berhubungan dengan
pembolosan, seperti berbohong, mencuri atau merusak properti. Sebagian besar
anak-anak kadang-kadang enggan untuk pergi ke sekolah atau memiliki beberapa
kecemasan tentang kegiatan sekolah.
Selain itu, pengertian School Refusal adalah masalah emosional yang serius yang
dihubungkan dengan akibat jangka pendek dan akibat jangka panjang yang signifikan
(Fremont, 2003). Pendapat lain mengemukakan bahwa school refusal adalah masalah
emosional yang dimanifestasikan dengan ketidakinginan anak untuk menghadiri
sekolah dengan menunjukkan symptom fisik, yang disebabkan karena kecemasan
berpisah dari orang terdekat, karena pengalaman negatif di sekolah atau karena
punya masalah dalam keluarga. Seorang anak dikatakan mengalami school refusal
jika anak tersebut tidak mau pergi ke sekolah atau mengalami distres yang berat
berkaitan dengan kehadiran di sekolah. Anak yang mengalami school refusal merasa
tidak nyaman karena perasaan cemas terhadap sesuatu yang berkaitan dengan
sekolah sehingga mereka dapat kehilangan kemampuan untuk menguasai tugas-
tugas perkembangan pada berbagai tahap pada masa perkembangan mereka
(Davison, John & Ann, 2006).
Penolakan sekolah adalah masalah serius yang memerlukan penanganan dari
awal. Ketika seorang anak absen yang berkepanjangan berarti bahwa anak-anak
kehilangan bagian penting dari kurikulum, yang merugikan pembelajaran dan
perkembangan mereka. Anak-anak yang bolos sekolah sebagai akibat dari penolakan
mungkin juga menghadapi masalah jangka panjang. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa penolakan sekolah dapat memberikan kontribusi untuk masalah
kesehatan mental, masalah emosional dan sosial, keluar sekolah di kemudian hari.
Beberapa karakteristik umum siswa yang mengalami masalah School Refusal
karena alasan emosional bervariasi, diantaranya meliputi:
1) Kecemasan Berpisah (Separation anxiety) Anak yang menolak sekolah
karena kecemasan berpisah khawatir tentang keselamatan dan takut sesuatu
yang buruk akan terjadi pada siswa. Umumnya anak-anak mengeluh pada

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


5 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
saat pergi ke sekolah dan terlibat perdebatan dipagi hari sebelum berangkat
sekolah, hal ini biasanya dilakukan anak dengan menangis, berteriak,
menendang, atau melarikan diri.
2) Kecemasan kinerja (Performance anxiety). Biasanya anak yang mengalami
kecemasan ini dikarenakan karena mereka memiliki masalah ketidak
mampuan anak dalam melakukan sesuatu yang ditugaskan oleh gurunya. Hal
ini menimbulkan anak menjadi malas ke sekolah karena takut ditunjuk oleh
gurunya untuk melakukan hal yang ditugaskan tersebut. Selain itu, pada saat
mereka tidak bisa melakukan hal yang tidak mampu dilakukan, teman sekolah
akan memberikan cibiran negative, ini yang menimbulkan anak merasa
minder dan tidak percaya diri.
3) Kecemasan sosial (Social anxiety). Beberapa siswa mungkin merasa
kecemasan sosial atau khawatir tentang interaksi sosial dengan teman
sebaya dan / atau guru. Mereka tidak nyaman dalam situasi sosial dan
mungkin takut bersosialisasi dengan teman di sekitarnya.
4) Kecemasan umum (Generalized anxiety). Beberapa siswa memiliki
kecenderungan untuk melihat lingkungan luar sebagai ancaman dan memiliki
kekhawatiran umum tentang sesuatu yang buruk terjadi. Mungkin anak
tersebut juga memiliki ketakutan tertentu terhadap bencana seperti tornado
atau perang.
5) Depresi (Depression). Beberapa siswa mengalami depresi dan kecemasan
atau keduanya, termasuk gejala kesedihan, kurangnya minat dalam kegiatan,
kesulitan tidur, perasaan lelah, merasa tidak berharga, perasaan bersalah,
dan mudah tersinggung. Gejala yang sangat serius dari depresi adalah bunuh
diri. Seorang anak yang mempunyai gejala depresi yang serius harus segera
dikonsultasikan dengan pihak yang terkait, karena dapat membahayakan diri
sendiri dan orang lain.
6) Intimidasi (Bullying). Beberapa siswa takut ditindas oleh temannya. Anak yang
mengalami hal tersebut ingin menghindari sekolah karena mereka merasa
situasi di sekitar mereka sudah tidak nyaman. Secara fisik mereka merasa
terancam, tertindas, atau ditinggalkan oleh anak-anak lain.
7) Masalah kesehatan (Health-related concerns). Beberapa siswa memiliki
keluhan fisik. Dokter dan perawat sekolah dapat membantu orang tua dan staf
sekolah dalam menentukan apakah seorang anak memiliki fisik yang baik
atau masalah jika terkait dengan kecemasan.

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


6 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Dalam sumber lain, tingkah laku school refusal dapat dilihat dari satu atau
kombinasi dari beberapa karakteristik (Kearney, 2001), yaitu : a) Absen dari
sekolah, menolak pergi ke sekolah, tidak mau pergi ke sekolah, b) Hadir di
sekolah tapi kemudian meninggalkannya sebelum jam sekolah usai, c) Hadir di
sekolah tapi menunjukkan tingkah laku yang tidak diharapkan, dari tingkah laku
menyendiri, tidak ingin pisah dari figure attachment-nya (orang terdekat), agresif,
tidak kooperatif sampai temper tantrum (rewel dan mengamuk), dan d)
Mengemukakan keluhan fisik dan keluhan lain (di luar keluhan fisik) dengan
tujuan agar tidak pergi ke sekolah.

Ketika anak memasuki dunia sekolah, anak mulai dituntut dan kadangkala
menuntut dirinya agar selalu berbuat sebaik mungkin dan menyesuaikan dirinya
dengan standar tingkah laku tertentu. Standar tingkah laku tersebut dipandang
sesuai dengan tuntutan guru/ sekolah, orang tua maupun teman. Adakalanya
anak tidak dapat memenuhi tuntutan yang dikenakan kepada mereka atau
berkaitan dengan kegiatan belajar, terutama dalam hal prestasi akademik..
Keadaan ini menimbulkan tekanan pada anak dan dapat menjadi pemicu
timbulnya masalah dalam kegiatan belajar dan proses belajar anak, antara lain
menghindari atau menolak pergi ke sekolah. Perilaku tersebut juga digolongkan
sebagai School Phobia atau School Refusal. Anak yang mengalami School
Refusal menunjukkan penolakan untuk hadir di sekolah dengan cara
mengungkapkan berbagai keluhan fisik dalam upaya menyakinkan orang tua agar
dirinya diijinkan tetap tinggal di rumah. Misalnya: sakit kepala, sakit perut, sakit
tenggorokan, diare, muntah, dan sebagainya. Disamping itu mereka sering pula
mengungkapkan keluhan sehubungan dengan keadaan-keadaan di sekolah yang
dirasa tidak nyaman bagi mereka dan membuat mereka menolak ke sekoIah.
Misalnya: guru yang galak, tugas-tugas terlalu sukar atau terlalu mudah, teman-
teman yang tidak menyenangkan, dan lain-lain.

Pada umumnya school refusal disebabkan oleh dua hal mendasar, yaitu (1)
pola asuh orang tua yang menimbulkan kecemasan berpisah (separation anxiety)
pada anak, dan (2) adanya peristiwa-peristiwa pencetus yang dapat menimbulkan
kecemasan anak untuk berada di sekolah ataupun berada terpisah dari orang tua.
Penyebab terjadinya school refusal bervariasi, Setzer & Salzhauer (2006)
menyebutkan empat alasan untuk menghindari sekolah yaitu: (1) untuk
menghindari objek –objek atau situasi yang berhubungan dengan sekolah yang
mendatangkan distress; (2) untuk menghindar dari situasi yang mendatangkan

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


7 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
rasa tidak nyaman baik dalam interaksi dengan sebaya atau dalam kegiatan
akademik; (3) untuk mencari perhatian dari significant others di luar sekolah; dan
(4) untuk mengejar kesenangan di luar sekolah.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan orangtua terhadap anak yang
memiliki masalah school refusal, yaitu menekankan pentingnya bersekolah,
berusaha untuk tidak menuruti keinginan anak untuk tidak sekolah, konsultasikan
masalah kesehatan anak pada dokter, bekerjasama dengan guru kelas atau
asisten lain di sekolah, luangkan waktu untuk berdiskusi atau berbicara dengan
anak, lepaskan anak secara bertahap, dan konsultasi pada psikolog atau konselor
jika masalah terjadi. Anak yang mengalami school refusal masih bisa terus
sekolah asalkan orangtua dan guru mau bekerjasama untuk mengetahui
penyebabnya dan membantu anak yang mengalami school refusal untuk dapat
mengatasi masalahnya, yaitu dengan menjalin komunikasi untuk mengetahui
perkembangan anak baik di sekolah maupun di rumah, sehingga masalah yang
dihadapi anak, khususnya school refusal dapat segera diketahui dan dapat pula
dengan segera diatasi bersama.

2. Gangguan Fisik : CP dan Epilepsi


1) CP (Cerebral Palsy)
Cerebral palsy bukanlah sebuah penyakit yang mengancam jiwa,
melainkan sebuah kondisi, kecuali anak yang terlahir dengan kasus yang sangat
parah (Maimunah, 2013). Dikarenakan cerebral palsy ini adalah sebuah kondisi,
maka kerusakan yang terjadi pada otak tidak bisa disembuhkan atau dengan kata
lain bersifat permanen, namun perawatan dan terapi dapat membantu mengatur
dampaknya pada tubuh. Cerebral palsy ini juga bukanlah sesuatu yang menular,
karena cerebral palsy terjadi disebabkan adanya kerusakan pada perkembangan
otak. Terdapat obat, terapi, dan teknologi yang dapat membatu anak dengan
cerebral palsy bertahan hidup, seperti kursi roda, penyangga kaki, kawat gigi, dan
lainnya. (Eliyanto & Hendriani, 2013; Maimunah, 2013; Listiani & Savira, 2015).
Anak dengan cerebral palsy akan mengalami gangguan motorik yang
dikarenakan adanya kerusakan pada jaringan otak, khususnya pada pusat motorik
atau jaringan penghubungnya. Kerusakan pada otak ini dapat terjadi pada masa
kehamilan, persalinan atau selama proses pembentukan syaraf pusat. Anak

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


8 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
dengan cerebral palsy juga bisa mengalami berbagai gangguan penyerta, yaitu
gangguan kognitif dan gangguan fisik. (Eliyanto & Hendriani, 2013).
Anak dengan cerebral palsy memiliki kondisi fisik yang berbeda dengan
anak tanpa cerebral palsy. Kondisi fisik anak cerebral palsy akan berbeda
tergantung pada tingkatan kondisinya, tetapi sebagian besar anak dengan
cerebral palsy tidak mampu bergerak dan beraktivitas dengan bebas (Maimunah,
2013). Anak dengan cerebral palsy biasanya memiliki kesulitan dalam memegang
objek, merangkak, dan berjalan. Selain itu, anak dengan cerebral palsy memiliki
kelemahan dalam mengendalikan otot pada tenggorokkan, mulut, dan lidah yang
menyebabkan anak dengan cerebral palsy tampak selalu berliur, kesulitas makan,
dan menelan (Maimunah, 2013). Hal ini akan menyebabkan gangguan nutrisi
berat pada anak dengan cerebral palsy (Bagnara, Bajraszewski, Carne, Fosang,
Kennedy, Ong, Randall, Reddihough, & Touzel, 2000 dalam Maimunah, 2013).
Anak dengan kondisi cerebral palsy akan mengalami gangguan dalam
pergerakannya. Cerebral palsy mempengaruhi otot dan kemampuan seseorang
untuk mengontrolnya. Otot anak dengan cerebral palsy dapat berkontraksi secara
berlebihan, atau sangat sedikit, atau semuanya di saat bersamaan. Anggota tubuh
dapat menjadi kaku, membentuk posisi yang aneh. Kontraksi otot yang
berfluktuasi dapat membuat anggota tubuh gemetar, goyang, dan bergelayut.
Keseimbangan, postur, dan koordinasi tubuh juga dapat dipengaruhi oleh cerebral
palsy. Kegiatan seperti berjalan, duduk, atau mengambil sebuah objek akan sulit
dilakukan. Anak dengan cerebral palsy juga berpotensi untuk mengalami
kedisabilitasan lainnya seperti gangguan intelektual, kejang, gangguan
penglihatan dan pendengaran.
Selain itu, anak dengan kondisi cerebral palsy biasanya memiliki gangguan
penyerta baik gangguan fisik maupun kognitif, menurut penelitian yang diterbitkan
ke dalam sebuah poster dalam merayakan World Cerebral Palsy Day menyatakan
bahwa terdapat 1 dari 3 anak tidak mampu berjalan, 1 dari 4 anak tidak dapat
berbicara, 3 dari 4 anak mengalami nyeri, 1 dari 4 anak memiliki epilepsi, 1 dari 4
anak memiliki gangguan perilaku, 1 dari 2 anak memiliki gangguan intelektual, 1
dari 10 anak memiliki gangguan penglihatan yang berat, 1 dari 4 anak memiliki
masalah mengontrol kandung kemih, 1 dari 5 anak memiliki gangguan tidur, dan 1
dari 5 anak memiliki masalah mengontrol air liur.
Menurut Yulianto (Hendriani, 2013), cerebral palsy diklasifikasikan menjadi
enam, yaitu:

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


9 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
a. Spasticity, anak yang mengalami kekakuan otot atau ketegangan otot,
menyebabkan sebagian otot menjai kaku, gerakan-gerakan lambat dan
canggung.
b. Athetosis, merupakan salah satu jenis cerebral palsi dengan ciri
menonjol, gerakan-gerakan tidak terkontrol, terdapat pada kaki, lengan,
tangan, atau otot-otot wajah yang lambat bergeliatgeliut tiba-tiba dan
cepat.
c. Ataxia, ditandai gerakan-gerakan tidak terorganisasi dan kehilangan
keseimbangan. Jadi keseimbangan buruk, ia mengalami kesulitan untuk
memulai duduk dan berdiri.
d. Tremor, ditandai dengan adanya otot yang sangat kaku, demikian juga
gerakannya, otot terlalu tegang diseluruh tubuh, cenderung menyerupai
robot waktu berjalan tahan-tahan dan kaku.
e. Rigiditi, ditandai dengan adanya gerakan-gerakan yang kecil tanpa
disadari, dengan irama tetap. Lebih mirip dengan getaran.
f. Campuran, yang disebut dengan campuran anak yang memiliki beberapa
jenis kelainan cerebral palsy.
Berdasarkan gejala dan tanda neurologis cerebral palsy dapat dibagi
menjadi beberapa jenis (Somanttri, 2006), yaitu :
a. Cerebral Palsy Spastic
Ciri-cirinya: Otot-otot berkontraksi dan Tangan bengkok kearah tubuh.
b. Cerebral Palsy dyskinetic
Ciri-ciri : Otot lengan,tungkai dan badan secara spontan bergerak
perlahan, menggeliat dan tak terkendali, Bisa juga timbul gerakan yang
kasar dan mengejang, Luapan emosi menyebabkan keadaan semakin
memburuk , dan Gerakan akan menghilang jika anak tidur
c. Cerebral Palsy Ataxic
Ciri-cirinya: Mengalami gangguan dalam keseimbangan badan dan gerak,
Kehilangan rasa gerak pada jari-jari tangan dan Gerak mata tidak
terkontrol
d. Cerebral Palsy Dystonic
Ciri-cirinya: Penderita yang mengalami distonik dapat mengalami
misdiagnosis, Gerakan distonia tidak seperti kondisi yang ditunjukkan oleh
distonia lainnya, Umumnya menyerang otot kaki dan lengan sebelah
proximal, Gerakan yang dihasilkan lambat dan berulang–ulang, terutama
pada leher dan kepala.

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


10 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
e. Cerebral Palsy Choreoathetoid.
Ciri-cirinya : memiliki otot variabel sering dengan otot menurun (hypotonia).
f. Cerebral Palsy Hipotonik
Ciri-ciri : memiliki kesulitan yang lebih dari semua anakanak dengan
cerebral palsy dalam mencapai tonggak keterampilan motorik dan
perkembangan kognitif normal.
g. Cerebral Palsy Campuran
Ciri-ciri : kerusakannya terletak pada daerah pyramidal dan extrapyramidal
dan bentuk kelainannya berupa spastic di kaki dan rigid di tangan.

2) Epilepsi
Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan
kronik otak yang menunjukkan gejala-gejala berupa serangan-serangan yang
berulang-ulang yang terjadi akibat adanya ketidaknormalan kerja sementara
sebagian atau seluruh jaringan otak karena cetusan listrik pada neuron (sel saraf)
peka rangsang yang berlebihan, yang dapat menimbulkan kelainan motorik,
sensorik, otonom atau psikis yang timbul tiba-tiba dan sesaat disebabkan
lepasnya muatan listrik abnormal sel-sel otak (Gofir dan Wibowo, 2006, h. 3).
Epilepsi memiliki gejala yang menyerupai gangguan histeria yaitu
hilangnya kesadaran dan kontrol terhadap anggota tubuh. Epilepsi merupakan
gangguan yang terjadi karena adanya ketidaknormalan fungsi seluruh atau
sebagian otak yang dapat dilihat melalui pemeriksaan elektro ensefalografi (EEG)
atau magnetic resonance imaging (MRI). Sedangkan pada penderita histeria tidak
ditemukan adanya gangguan fisik yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut
dan terdapat bukti adanya penyebab secara psikologis dalam bentuk hubungan
kurun waktu yang jelas dengan masalah-masalah atau kejadian-kejadian yang
menimbulkan stres atau hubungan interpersonal yang terganggu (PPDGJ-III,
2002, h. 81).
Kondisi fisik dan psikis dari penderita epilepsi membawa dampak negatif
bagi perkembangan psikologisnya. Ada beberapa bentuk gangguan yang muncul
dalam kondisi tersebut antara lain: rasa malu, rendah diri, hilangnya harga diri dan
kepercayaan diri. Bentuk gangguan tersebut dapat menyebabkan penderita
mengalami depresi yang berkepanjangan apabila tidak segera diatasi. Depresi
yang dialami oleh penderita dapat mempengaruhi kemampuan untuk menerima
diri sendiri. Penderita yang tidak dapat menerima diri sendiri akan merasa dirinya

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


11 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
tidak berarti, tidak berguna, sehingga akan semakin merasa terasing dan terkucil
dari lingkungannya (Monty dkk, 2003).
Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi
menderita epilepsi, tetapi tidak ditemukan perbedaan ras.Angka kejadian lebih
banyak pada laki-laki, serupa dengan penelitian di Turki didapatkan 59,3% laki-
laki, sebagai faktor risiko terjadinya epilepsy. Sebagian besar pasien tidak
mempunyai Riwayat kejang demam sebelumnya dan tidak ada riwayat epilepsy
pada keluarganya. Kajian literatur mendapatkan fakta bahwa anak dengan
cerebral palsy sering disertai dengan beberapa penyakit penyerta di antaranya
epilepsy.
Gangguan bahasa bisa dialami terkait dengan gangguan neurologis,
termasuk epilepsy (misalnya, afasia atau syndrome Landau-Kleffner). Diantara
anak-anak yang berumur lebih dari 3 tahun, kehilangan bahasa mungkin
merupakan gejala dari kejang, dan penilaian diagnostic diperlukan untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya epilepsy (misalnya elektroensefalogram rutin
dan tidur). Epilepsi sebagai diagnosis komorbiditas, dikaitkan dengan kecacatan
intelektual yang lebih besar dan kemampuan verbal yang lebih rendah. Sifat yang
mendasari kondisi medis cenderung berubah sepanjang umur, dengan kelompok
usia yang lebih muda lebih banyak dipengaruhi oleh epilepsi, trauma kepala,
autoimun, dan penyakit neoplastic awal hingga paruh baya, dan kelompok usia
yang lebih tua lebih terpengaruh oleh penyakit stroke, kejadian anoksik, dan
multiple komorbiditas system.

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


12 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/
Daftar Pustaka

Nevid, J.S, Rathus, S.A., &Greene, B. (2014). Psikologi Abnormal. Edisi ke-9 Jilid 2.

Penerbit Erlangga, Jakarta.

Davison, Gerald C., Neale, John M., & Kring, Ann M. (2018). Psikologi Abnormal.

(Edisi ke-9). PT Raja Grafindo Persada, Depok.

Arifin, F. (2020). Mengenal School Refusal Mengapa Anak Menolak Bersekolah ?.

Seminar Nasional : Professional Learning untuk Indonesia Emas. Proceeding Seminar

Nasional Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI). UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Wahyuni, Prisnia Dwi. (2017). Penerimaan Ibu Terhadap Anak Cerebral Palsy (CP).

Skripsi Thesis, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

Anindita, R. A., & Apsari, N.C. (2019). Pelaksanaan Support Grup Pada Orangtua

Anak Dengan Cerebral Palsy. Jurnal Pekerjaan Sosial. ISSN: 2620-3367. Vol. 2 No. 2.

Hal. 208-2018.

2021 Gangguan-Gangguan Psikologis


13 Agustini, M.Psi.,Psikolog
Biro Bahan Ajar E-learning dan MKCU
http://pbael.mercubuana.ac.id/

Anda mungkin juga menyukai