Anda di halaman 1dari 122

BAHAN AJAR

PSIKOLOGI KESULITAN BELAJAR

Penulis :
Dr. Farah Aulia, S.Psi.,M.Psi.,Psi

Jurusan Psikologi
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019

1
Kata Pengantar
Dalam dunia pendidikan, sejatinya tidak semua anak memiliki kemampuan yang
memadai dalam berbagai hal yang dipelajari, baik dalam hal kognitif, motoric ataupun emosi.
Dalam jumlah tertentu di populasi, terdapat anak-anak yang memiliki keterbatasan dalam
berbagai hal seperti berbahasa, berhitung, motoric, emosi, social dan keterbatasan lainnya.
Hanya saja terkadang, tidak semua guru atau pendidik memahami kesulitan-kesulitan khusus
yang dialami oleh anak-anak ini, sehingga akhirnya mereka mendapatkan perlakuan yang tidak
tepat seperti diperlakukan sama dengan anak-anak normal, mendapatkan labelling tertentu,
dianggap tidak mampu, bodoh dan sebagainya. Akibatnya, kondisi anak-anak yang mengalami
kesulitan menjadi semakin memburuk seiring dengan semakin meningkatnya jenjang
pendidikan yang mereka tempuh. Padahal kesulitan-kesulitan belajar yang dialami oleh anak-
anak ini dapat diperbaiki melalui asesmen yang dilakukan sejak dini, dan program intervensi
yang sesuai dengan kebutuhan anak yang mengalami kesulitan tersebut.
Buku ini diilhami oleh pengalaman penulis dalam mengampu mata kuliah Kesukaran
Belajar di Prodi Psikologi Universitas Negeri Padang, dan pengalaman-pengalaman
menghadapi kasus-kasus kesulitan belajar dalam sesi konsultasi psikologi, serta reviu literature
dan penelitian-penelitian terkini terkait dengan kesulitan belajar dan beberapa gangguan
perkembangan pada anak. Buku ini akan terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian yang
membahas kesulitan belajar dan bagian yang membahas gangguan terkait dengan
perkembangan.Pada bab-bab awal dari buku ini akan lebih banyak membahas tentang kesulitan
belajar khususnya yang terkait dengan akademik seperti disleksia, diskalkulia, disgrafia dan
dispraksia. Pada bab-bab berikutnya akan membahas terkait dengan masalah atau gangguan
perkembangan yang kemudian dapat mempengaruhi akademik anak seperti gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas, gangguan perkembangan pervasive, gangguan
Autisme dan Asperger, sindrom Tourette dan gangguan emosi bipolar dan mutisme selektif.
Dalam setiap bagian dari buku ini akan membahas tentang karakteristik gangguan , asesmen
serta intervensi yang dapat dilakukan oleh professional, baik guru maupun psikolog.
Buku ini ditujukan untuk memberikan pemahaman pada mahasiswa, guru, professional
psikolog terkait dengan berbagai kondisi khusus yang dialami oleh anak dan kaitannya dengan
pendidikan. Besar harapan dari penulis bahwa buku ini akan memberikan manfaat pada para
pembacanya.
Padang, Maret 2016

Penulis
2
Bab 1.
Memahami Kesulitan Belajar

Apa yang kita pelajari pada bab ini?


a. Memahami definisi dan karakteristik Kesulitan Belajar
b. Menjelaskan perbedaan karakteristik dari masing-masing kesulitan belajar
c. Memahami penyebab dari kesulitan belajar

Definisi kesulitan belajar


Terdapat dua istilah tentang kesulitan belajar yaitu ketidakmampuan belajar (learning
disability) dan kesulitan belajar (learning difficulties). Dari segi bahasa, istilah yang mungkin
lebih tepat adalah learning difficulties yang berarti kesulitan belajar dan bukan learning
disabilities yang berarti ketidakmampuan belajar. Walaupun terlihat perbedaan secara bahasa,
namun dalam penjelasan literatur mengenai istilah ini memiliki kesamaan.
Istilah kesulitan belajar pertama kali dicetuskan oleh Samuel Kirk pada tahun 1963
dalam pertemuan orangtua di kota New York. Istilah ini dianggap mengkompromikan
kebingungan tentang berbagai macam label yang diberikan untuk menjelaskan anak yang
inteligensinya normal namun memiliki masalah belajar (dalam Hallahan & Kaufman, 1988).
Terdapat beberapa definisi yang menjelaskan tentang kesulitan belajar dan sepertinya
tidak ada suatu kesepakatan khusus terkait dengan definisi tersebut.
The Federal Government tahun 1977 (dalam Hallahan & Kaufman, 1988) menjelaskan bahwa
kesulitan belajar spesifik adalah gangguan pada satu atau lebih proses psikologis dasar yang
melibatkan pemahaman atau penggunaan bahasa baik lisan maupun tulisan, yang mungkin
terlihat kekurangan dalam kemampuan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis,
mengeja atau menyelesaikan hitungan matematika. Istilah ini temasuk kondisi gangguan
perseptual, kerusakan otak (brain injury), difungsi minimal otak (minimal brain dysfunction),
disleksia dan apasia perkembangan. Yang tidak termasuk dalam definisi ini adalah anak yang
mengalami masalah belajar yang utamanya disebabkan oleh gangguan pada visual,
pendengaran, motorik, retardasi mental, gangguan emosi, atau disebabkan oleh lingkungan,
budaya, ekonomi yang kurang menguntungkan .
Kesulitan belajar adalah suatu istilah umum yang mengacu pada beragam kelompok
gangguan yang eterlihat pada kesulitan dalam menguasai dan menggunakan kemampuan
mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, berpikir, atau kemampuan matematis.
3
Gangguan-gangguan ini bersifat internal bagi individu dan diperkirakan penyebabnya adalah
tidak berfungsinya sistem syaraf pusat, dapat muncul selama rentang kehidupan. Kesulitan-
kesulitan dalam mengatur sikap diri sendiri, persepsi sosial dan interaksi sosial dapat terjadi
bersamaan dengan kesulitan belajar namun tidak merupakan bentuk dari ketidakmampuan
belajar. Meskipun kesulitan belajar dapat terjadi bersama-sama atau disertai dengan kondisi
kecacatan (handicapped) lainnya misalnya gangguan sensorik, retardasi mental,
ketidakstabilan emosi yang serius, atau dengan pengaruh eksternal (misalnya perbedaan
budaya, pengajaran yang tidak tepat atau tidak memadai-gangguan ini bukan penyebab
keadaan itu, dan/atau tidak mempengaruhinya (The National Joint Comitte for Learning
Disabilities, tahun 1985 dalam Smith, 2009).
Definisi lain dikemukakan oleh The Special Educational Needs Code of Practice yang
menjelaskan kesulitan belajar yaitu anak yang menunjukan tampilan kesulitan belajar ringan,
sedang atau berat atau kesulitan belajar spesifik seperti disleksia atau dispraksia, yang
membutuhkan program khusus untuk membantu kemajuan dalam kognisi dan belajar.
Persyaratan tertentu juga mungkin berlaku pada anak dengan gangguan fisik dan sensori dan
juga spektrum autisme. Beberapa dari anak ini mungkin juga memiliki kesulitan yang berkaitan
seperti sensori, fisik dan perilaku yang menjadi variasi dari kebutuhannya (dalam Farrel, 2006).
Definisi yang banyak diterima tentang kesulitan belajar adalah definisi yang dijelaskan
oleh The Individual with Disabilities Education Act (IDEA), yang menjelaskan kesulitan
belajar spesifik adalah gangguan pada satu atau lebih proses psikologis dasar yang melibatkan
pemahaman atau penggunaan bahasa, lisan maupun tulisan, dimana dapat terlihat pada kurang
sempurnanya kemampuan untuk mendengar, berpikir, berbicara, membaca, mengeja atau
mengerjakan hitungan matematika. Pengertian ini termasuk kondisi gangguan perseptual,
kerusakan otak, disfungsi otak minimal, disleksia dan aphasia perkembangan. Pengertian ini
tidak berlaku pada anak yang mengalami masalah belajar yang disebabkan oleh gangguan
visual, pendengaran atau gangguan gerak, retardasi mental, gangguan emosi atau karena
lingkungan, budaya dan ekonomi yang kurang menguntungkan.
Walaupun terdapat beberapa definisi tentang kesulitan belajar, namun dari definisi-
definisi terdapat beberapa kesamaan yaitu :
a. Adanya ketimpangan antara IQ dengan prestasi akademik
b. Asumsi adanya disfungsi pada sistem syaraf
c. Gangguan pada proses psikologis
d. Masalah belajar bukan disebabkan karena lingkungan yang kurang memadai, retardasi
mental atau gangguan emosi.
4
Dalam istilah yang lain, ada juga yang kemudian membagi kesulitan belajar berdasarkan
area-area yang memiliki masalah, yaitu kesulitan belajar non bahasa (non verbal learning
disability), kesulitan motorik (motoric disability), dan verbal learning disability.
Selain itu, kesulitan belajar juga dapat dijelaskan dengan beberapa kriteria berikut ini
(dalam Ormrod, 2008) :
a. Siswa mengalami hambatan yang signifikan dalam satu atau lebih proses kognitif
tertentu.
b. Hambatan kognitif tersebut tidak dapat diatribusikan ke hambatan-hambatan yang lain
seperti keterbelakangan mental, gangguan emosi dan perilaku, gangguan visual atau
kehilangan pendengaran.
c. Hambatan kognitif dapat menganggu prestasi akademik; oleh karenanya sampai pada
taraf tertentu siswa tersebut perlu mendapatkan layanan pendidikan yang khusus.

Walaupun cukup banyak definisi-definisi tentang kesulitan belajar yang dikemukakan


oleh berbagai literatur yang ada, namun kelemahan dari definisi-definisi tersebut adalah tidak
secara eksplisit memberikan panduan tentang bagaimana kondisi kesulitan belajar tersebut
dapat diidentifikasi atau di diagnosa. Oleh karena itu sistem klasifikasi dari kesulitan belajar
berkembang dan yang saat ini paling banyak digunakan adalah sistem klasifikasi dari
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM
IV-TR), International Classification od Disease (ICD 10) dan Individual with Disabilities
Education Improvement Act (IDEA).
Berikut ini perbandingan dari sistem klasifikasi diagnostik untuk kesulitan belajar dari
DSM IV-TR, ICD 10 dan IDEA (dalam Flanagan & Alfonso, 2011)
Sistem Tipe Gangguan Belajar Contoh Kriteria Klasifikasi
Klasifikasi
DSM IV-TR Gangguan Membaca Gangguan Matematika :
(Reading Disroder) A. Kesulitan matematis, diukur
Gangguan Matematika dengan tes individual terstandar,
(Mathematic Disorder) yang secara substansi dibawah
Gangguan Ekspresi kemampuan sesuai usia
Tertulis (Written kronologis, inteligensi dan
Expression Disorder) pendidikan sesuai usianya.

5
B. Gangguan pada kriteria A secara
signifikan mempengaruhi prestasi
akademik atau aktivitas kehidupan
sehari-hari yang membutuhkan
kemampuan matematika
C. Jika terdapat kelemahan dalam
sensori, kesulitan dalam
matematika akan mempengaruhi
kemampuan yang berhubungan
dengan itu
D. Harus dibedakan dengan : variasi
normal dalam pencapaian
akademik, kurangnya kesempatan,
pengajaran yang buruk, faktor
budaya, kerusakan penglihatan
dan pendengaran, dan retardasi
mental
ICD 10 Gangguan Membaca Gangguan Membaca Spesifik
Spesifik 1. Gangguan spesifik dan signifikan
Gangguan Mengeja dalam perkembangan keterampilan
Spesifik membaca yang tidak semata-mata
Gangguan Keterampilan ditentukan oleh usia mental,
Aritmatika Spesifik masalah ketajaman visual atau
Gangguan Keterampilan pendidikan yang tidak adekuat
Skolastik Campuran 2. Keterampilan pemahaman
membaca, pengenalan kata dalam
membaca, keterampilan membaca
oral dan performansi tugas yang
membutuhkan membaca akan
terpengaruh semuanya.
IDEA Kesulitan Belajar Kesulitan Belajar Spesifik :
Spesifik dalam : 1. Gangguan pada dua atau lebih
Ekspresi Oral proses psikologis dasar

6
Pemahaman mendengar 2. Termasuk didalamnya kondisi
Ekspresi Tulisan seperti kesulitan perseptual,
Keterampilan Membaca kerusakan otak, disfungsi otak
Dasar minimal, disleksia dan apasia
Kelancaran Membaca perkembangan
Pemahaman Membaca 3. Kesulitan belajar tidak disebabkan
Kalkulasi Matematika oleh gangguan visual,
Pemecahan Masalah pendengaran dan motorik,
Matematika retardasi mental, gangguan emosi,
faktor budaya, kekurangan dalam
ekonomi dan lingkungan.
Tabel 1. Perbandingan dari sistem klasifikasi diagnostik untuk kesulitan belajar

Bagaimana prevalensi dari kesulitan belajar?


Prevalensi dari kesulitan belajar masih mengalami perdebatan, sehubungan dengan
perbedaan definisi yang dijelaskan oleh beberapa ahli. Beberapa penelitian menyebutkan, di
Amerika, prevalensi kejadian kesulitan belajar berkisar 5 % dari populasi. Namun ada juga
peneliti yang menyebutkan angka yang lebih besar yaitu antara 8-15 % dari populasi sekolah.
Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa terdapat 6 % dari populasi sekolah yang memiliki
kesulitan dalam matematika yang tidak dapat dikaitkan dengan inteligensi yang rendah,
gangguan sensori atau kelemahan ekonomi.

Karakteristik Kesulitan Belajar


Membahas tentang karakteristik kesulitan belajar untuk membantu menegakkan
diagnosa terkadang juga menimbulkan kontroversi karena dianggap pemberian label tertentu
pada anak akan mempengaruhi harga diri anak, perlakuan guru terhadap anak dan juga
perlakuan lingkungan terhadap anak. Namun hal yang krusial disini adalah bahwa penentuan
karakteristik diagnosa yang tepat untuk setiap kesulitan belajar yang dialami anak, akan sangat
membantu dalam penentuan langkah intervensi yang tepat kedepannya untuk membantu anak
berhasil dalam akademik dan kehidupan sosialnya.
Agar seorang anak yang mengalami kesulitan belajar dapat tertangani dengan baik,
tentunya dibutuhkan sebuah diagnosa yang tepat tentang gangguan belajar yang dialami oleh
anak. Dalam hal ini yang menjadi masalah adalah beberapa kesulitan belajar memiliki

7
kesamaan gejala/ karakteristik sehingga dapat menjadi kesulitan/kebingungan dalam
melakukan diagnosa yang tepat. Misalnya, sekitar 50 % anak yang didiagnosa disleksia juga
memiliki koordinasi yang buruk yang merupakan komponen karakteristik dari dispraksia.
Konsentrasi yang buruk dan memori jangka pendek yang buruk (sebagai komponen yang
mungkin pada disleksia dan dispraksia) juga dapat ditemukan pada anak-anak yang mengalami
gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktifitas yang sebelumnya didiagnosa mengalami
sindrom Asperger. Kondisi ini akan menjadi tantangan besar bagi profesional terutama
Psikolog untuk melakukan penggalian data yang benar-benar lengkap untuk mendapatkan
diagnosa yang tepat.
Menurut Smith (2009), anak yang mengalami kesulitan belajar memiliki masalah dalam
beberapa hal berikut ini yaitu :
a. Masalah bahasa
Dalam penelitian yang dilakukan pada siswa sekolah dasar, ditemukan bahwa hampir 90
% dari 242 siswa yang telah diklasifikasikan mengalami kesulitan belajar ternyata mengalami
kesulitan dalam bahasa pada tingkatan ringan sampai dengan berat (Gibbs dan Cooper, 1989
dalam Smith, 2009). Hambatan dalam bahasa ini kemudian mempengaruhi prestasi akademik
anak, selain juga mempengaruhi kehidupan sosialnya. Pada pendidikan dasar terdapat
kompetensi-kompetensi tertentu yang diharapkan dapat dikuasai anak diantaranya berkaitan
dengan bahasa baik lisan maupun tulisan, sehingga ketika seorang anak mengalami hambatan
dalam hal ini akan sangat berdampak pada perolehan prestasi akademiknya. Dalam hubungan
sosial dengan orang lain yang membutuhkan pemahaman bahasa orang lain dalam komunikasi,
berbicara dengan jelas, mengemukakan ide dan berkomunikasi dengan efektif merupakan
sarana untuk berinteraksi dengan orang lain. Jika seorang anak tidak dapat melakukannya
dengan baik, maka ia dapat terpinggirkan dari pergaulannya dengan teman-temannya, dianggap
terbelakang dan mungkin dikucilkan. Kondisi ini kemudian dapat berdampak pada harga diri
dan kepercayaan diri anak.
b. Masalah perhatian dan aktivitas
Terkadang menjadi sedikit membingungkan untuk mendiagnosa masalah perhatian dan
aktivitas pada anak, karena secara perkembangannya kemampuan anak-anak untuk
memfokuskan perhatiannya terhadap sebuah objek memang tidak lama. Namun kemampuan
ini akan meningkat seiring dengan pertambahan usianya. Hanya saja, pada sebagian anak,
mereka secara terus menerus tidak dapat memusatkan perhatiannya pada sebuah objek,
memiliki rentang perhatian yang pendek, mudah sekali terganggu perhatiannya atau memiliki
kemunduran dalam perhatian. Selain itu terdapat aktivitas/gerakan-gerakan yang mengikuti
8
masalah mereka dalam memfokuslkan perhatian. Anak ini akan terlihat banyak bergerak,
berlari-lari, banyak berbicara, tidak dapat duduk tenang dalam waktu yang agak lama sehingga
menjadi sangat menganggu bagi anak yang lain atau guru di dalam kelas.
c. Masalah ingatan
Sebagian besar anak yang mengalami kesulitan belajar memiliki masalah dalam mengingat
fakta, instruksi dan aturan-aturan.
d. Masalah kognisi
Masalah yang berkaitan dengan kognisi berkaitan dengan kemampuan untuk
menggunakan proses kognisi dalam pemecahan masalah, yang terlihat dari ketidakmampuan
dalam melakukan analisa, membuat pengaturan dan perencanaan sebuah masalah.
e. Masalah sosial emosi
Masalah sosial dapat muncul pada anak yang mengalami kesulitan belajar karena
ketidakmampuan mereka untuk menangkap informasi komunikasi emosional dan sosial dari
orang lain.
Secara lebih detail lagi, siswa yang teridentifikasi memiliki kesulitan belajar spesifik
menunjukkan sejumlah karakteristik tertentu, diantaranya seperti berikut ini :
a. Intelektual
Anak yang mengalami kesulitan belajar terlihat memiliki inteligensi rata-rata atau diatas rata-
rata dengan berdasarkan pada hasil tes inteligensi terstandar namun tidak menunjukkan
performansi yang sesuai dengan tingkat prestasi yang seharusnya dapat dicapai dengan
menggunakan strategi pembelajaran yang konvensional.
Dalam bidang akademik terlihat ciri-ciri yang dapat diamati selama proses belajar seperti a)
memiliki rentang perhatian yang pendek;tidak mampu berkonsentrasi dalam satu tugas dalam
waktu yang lama, b) mudah terganggu dengan stimulus-stimulus yang tidak relevan, c)
Disorganisasi dalam menggunakan buku-buku dan benda-benda lainnya, d) Tidak mampu
untuk mengikuti dan memahami diskusi kelas; terlihat tidak tertarik atau melamun, e)Kesulitan
memahami makna waktu dan gagal untuk memahami persyaratan untuk melengkapi tugas
dalam waktu yang telah ditentukan.
Guru dapat melihat ciri-ciri ini pada anak selama di kelas, karena ada karakteristik yang
cukup jelas terlihat seperti mudah terganggu dengan stimulus yang tidak relevan seperti orang
lewat, atau bunyi atau warna, sangat mudah teralih dari tugas yang diberikan karena rentang
perhatian yang pendek atau justru sebaliknya tidak terlihat menunjukkan perhatian atau minat
pada pelajaran di kelas, mudah kehilangan benda-benda pribadi seperti alat tulis, buku dan

9
lainnya. Anak yang mengalami kesulitan belajar juga akan terlihat susah memahami instruksi
dan mengerjakan tugas yang diberikan sesuai dengan waktunya.
Masih terkait dengan akademik, pada kemampuan membaca terdapat sejumlah
kelemahan yang ditunjukkan anak yang mengalami kesulitan belajar khususnya pada
pemprosesan visual dan pemprosesan auditori. Dalam pemprosesan visual, anak akan terlihat
mengalami kesulitan dalam membedakan tampilan visual, seperti sulit membedakan huruf atau
kata yang mirip. Contohnya : kata dengan bata, huruf b dengan d. Penulisan atau membaca
huruf atau kata juga terbalik-balik dan mengalami kesulitan dalam mengikuti urutan visual atau
gambar. Dalam membaca, anak yang mengalami kesulitan belajar juga akan terlihat mengalami
masalah dengan melompatai atau melewati huruf-huruf yang dibacanya, menghilangkan kata-
kata, frase atau kalimat tertentu dan menunjukkan kemampuan pengenalan huruf yang lambat.
Dalam pemrosesan auditoria atau suara, anak dengan kesulitan belajar akan terlihat
mengalami kesulitan dalam memisahkan kata dalam komponen fonem dan suku kata atau
dalam mencampurnnya ke dalam kata, kesulitan dalam mengingat kembali secara spontan
bunyi yang berhubungan dengan huruf dan karan serta masalah dalam mengurutkan bunyi.
Dalam kemampuan motoric halus seperti menulis atau menggambar, kesulitan dapat
dilihat pada ketidakmampuan untuk menulis huruf atau angka dengan benar, kesulitan dalam
menulis garis, menilai panjang dan lebar angka, organisasi spasial, identifikasi atau
mencocokkan bentuk dan aatu rotasi atau distorsi dari gambar bentuk geometri, terbalik-balik
dalam menulis huruf dan angka serta kesulitan dalam membedakan kiri dan kanan.
Terkait dengan kemampuan aritmatika, anak dengan kesulitan belajar akan
menunjukkan masalah dalam menganalisa masalah matematika kompleks dan bervariasi,
kesulitan dalam menghubungkan antara bentuk lisan dengan materi cetak yang benar, kesulitan
dalam memahami arti dari tanda proses, kesulitan memahami pengaturan angka dalam
halaman, mengikuti dan mengingat urutan lengkap yang digunakan dalam operasi matematika,
dan kesulitan memahami konsep jarak, waktu, ukuran, jumlah dan pengukuran linear.

✓ Perilaku
✓ Hiperaktivitas, gangguan perhatian : gerakan konstan, ketidak mampuan
untuk menyelesaikan tugas tertentu dalam periode waktu yang diharapkan.
✓ Emosi yang labil : mudah putus asa, cemas, toleransi frustasi yang rendah,
dapat menunjukan perubahan yang cepat dari satu suasana hati ke suasana
hati lainnya.

10
✓ Impulsif : bertindak tanpa berpikir
✓ Mudah terganggu : kesulitan untuk memperhatikan stimulus yang dominan,
yang secara abnormal terhenti pada detail atau stimulus yang tidak penting.
✓ Perhatian dapat terhenti pada satu tugas tertentu yang dilakukan secara
berulang-ulang terus menerus.
✓ Sering menunjukkan ketidakmampuan untuk mengasimiliasi, menyimpan
atau mengingat kembali stimulus visual atau auditori; ketidakmampuan
untuk mengidentifikasi atau membedakan stimulus visual dan auditori.
✓ Mengalami kebingungan dalam hubungannya dengan lingkungan fisik dan
menjadi disorrientasi dalam situasi yang familiar seperti sekolah, taman
berlamin atau lingkungan rumah.
✓ Sering mengganggu di kelas, membutuhkan perhatian dalam tingkatan yang
tidak sesuai, berbicara atau menunjukkan ketidakmmapuan dalam
mengontrol respons.
✓ Kurang menghargai atau gagal memahami perasaan orang lain
✓ Menunjukkan toleransi yang rendah terhadap perubahan, dan dapat bereaksi
tidak sesuai terhadap stimulus
✓ Jarang menunjukan kemampuan diri yang cukup, jarang berinisiatif
terhadap aktivitas yang sesuai, memiliki pengetahuan yang terbatas atau
penerimaan terhadap peran sesuai usia yang dikompensasikan dengan
berprilaku konyol atau membuat orang lain senang.

✓ Kemampuan komunikasi
1. Gagal untuk menangkap arti dari kata sederhana
2. Memahami kata-kata secara tersendiri namun gagal memahami dalam bentuk
kalimat ucapan.
3. Sering menggunakan kalimat yang tidak lengkap dan memiliki kesalahan tata bahasa
yang sangat banyak sebagai bukti dari penggunaan kata benda dan kata kerja yang
buruk
4. Tidak mampu untuk mengatur dan mengekspresikan ide ketika informasi yang
adekuat tersedia, terkait dengan detail yang kecil atau tidak relevan.
5. Tidak dapat memberikan arah yang jelas dan tepat.
11
6. Tidak mengenali dan memahami bahasa figuratif seperti metafora, personifikasi dan
idioms.
7. Menggunakan gerak tubuh dengan sangat ekstensif saat berbicara
8. Tidak dapat memprediksi hasil, membuat penilaian, menyimpulkan atau mencari
alternatif setelah diskusi.
9. Memiliki masalah dalam menginterprestasi atau menggunakan vokal, intensitas dan
waktu untuk kegunaakn komunikasi
10. Bertanya atau merespon pertanyaan secara tidak tepat (terutama dalam bentuk apa
dan bagaimana )
11. Memiliki kesulitan dalam memahami dan menggunakan kalimat yang secara bahasa
kompleks/rumit.
12. Memiliki masalah dalam menghasilkan atau menggunakan aturan gramatikal dan
pola untuk kata dan bentuk kalimat
13. Memiliki kesulitan dalm mnginterpretasi atau memformulasikan bahasa kompleks
(oral atau tertulis), kalimat yang menunjukkan perbandingan atau perbedaan yang
kontras atau menunjukkan hubungan sebab akibat.
14. Tidak dapat menulis dan mengorganisasikan paragraf menggunakan kalimat yang
berhubungan dengan tingkat kerumitan yang bervariasi.

✓ Fisik
1. Koordinasi umum yang buruk; kekakuan dalam melompat, memanjat, berlari,
berjalan,
2. Sering jatuh atau tersandung atau berusaha untuk menjaga keseimbangan dengan
memegang meja, kursi atau benda lain saat keluar dari ruangan
3. Menunjukkan kesulitan dengan tugas-tugas yang menuntut kemampuan motorik halus
4. Memiliki kesulitan dalam membedakan kiri dan kanan, kebingungan dalam
menentukan arah

12
Penyebab Kesulitan Belajar
Terdapat sejumlah kajian yang mencoba menjelaskan tentang penyebab dari kesulitan
belajar, diantaranya adalah faktor organis dan biologis, faktor genetis, dan faktor lingkungan.
1. Faktor organis dan biologis
Beberapa literatur mengaitkan antara adanya kerusakan otak dengan kesulitan belajar.
Namun karena kesulitan belajar bukan masalah yang tergolong parah dan bukti-bukti
neurologis tidak terlalu meyakinkan, maka anak yang mengalami kesulitan belajar lebih
disebutkan mengalami gangguan otak minimal atau kerusakan otak minimal. Istilah lain yang
banyak digunakan saat ini adalah minimal brain difunction atau disfungsi minimal pada otak.
Beberapa penelitian mencoba untuk menjelaskan pengarung biologi dalam kesulitan
belajar. Penelitian yang dilakukan oleh Waldrop & Halverson 1971 melaporkan bahwa
sejumlah penelitian menghubungkan adanya anomali fisik minor pada gangguan GPPH pada
anak usia mulai dari pra sekolah sampai denga awal sekola dasar. Penelitian ini menunjukkan
bahwa anak yang hiperaktif cenderung untu mengalami anomali fisik minor (misalya : lingkar
kepala yang abnormal, posisi telinga yang turun) lebih sering terjadi dibandingkan dengan
anak-anak yang tidak mengalami kecacatan. Karena anomali-anomali ini lebih banyak
berhubungan dengan gangguan kongenital seperti down syndrome, maka Waldrop dan
Halverson menjelaskan bahwa beberapa anak hiperaktivitas mungkin memiliki iregularitas
pada kromosom tertentu atau mungkin memiliki perkembangan emobrio yang agak terganggu.
Namun pernyataan ini juga masih banyak diperdebatkan saat ini.
2. Faktor genetis
Saat ini , disadari bahwa kesulitan belajar berlangsung dalam keluarga. Hal ini ditinjau
dari faktor hereditas dan lingkungan belajar yang sama yang dapat mempengaruhi munculnya
kesulitan belajar. Penelitian yang dilakukan pada anak kembar menunjukkan setidaknya
beberapa kesulitan belajar itu diturunkan. Beberapa penelitian secara umum menunjukkan
bahwa ketika salah seorang anak kembar mengalami gangguan membaca, kembar yang lain
setidaknya juga memiliki masalah dalam membaca jika mereka adalah kembar identik
(monozigot) dibandingan dengan kembar tidak identik (dizigot).
3. Faktor lingkungan
Lingkungan dianggap berkaitan dengan kesulitan belajar. Beberapa bukti menunjukkan
bahwa lingkungan yang kurang menguntungkan bagi anak cenderung lebih mungkin
menyebabkan gangguan. Faktor lain yang dianggap juga berperan sebagai penyebab
lingkungan dari kesulitan belajar adalah pengajaran yang buruk. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 90 % anak yang mengalami kesulitan belajar disebabkan oleh pengajaran yang salah.
13
Walaupun hasil ini belum sepenuhnya disepakati, namun jika guru dapat mendeteksi lebih
awak kesulitan belajar yang dialami oleh siswa maka masalah-masalah yang berkaitan dengan
belajar dapat segera ditangani dan mencegah efek yang lebih buruh di masa depannya.

Kesimpulan
Definisi terkait dengan kesulitan belajar cukup beragam, bahkan tidak ada satu
kesepakatan yang sama tentang definisi ini. Namun, dari berbagai bahasan yang ada dapat
disimpulkan karakteristik utama dari kesulitan belajar adalah adanya kesenjangan antara skor
IQ dengan prestasi akademik, mengalami disfungsi psikologis, bukan disebabkan oleh
lingkungan yang buruk atau retardasi mental.
Penyebab dari kesulitan belajar dapat dilihat dari sudut padang organis dan biologis,
genetic, dan lingkungan. Terdapat sejumlah karakteristik yang ditunjukkan oleh anak yang
mengalami kesulitan belajar dalam area akademik seperti membaca, berhitung, menulis dan
motoric serta masalah dalam perilaku dan social emosi.

Diskusi

Apa yang membedakan antara belum matang dalam membaca dengan kesulitan belajar terkait
dengan membaca pada anak-anak dikelas awal sekolah dasar?

14
Bab 2.
Asesmen untuk Kesulitan Belajar

Apa yang kita pelajari pada bab ini? :


1. Memahami tujuan dilakukannya asesmen
2. Memahami berbagai teknik yang dapat digunakan untuk asesmen

Pendahuluan
Pemberian label yang salah tentang anak menjadi masalah yang jamak terjadi di
sekolah. Anak-anak yang mengalami masalah dalam belajar sering mendapatkan label buruk
dari guru sebelum adanya pemeriksaan psikologis yang jelas. Label ini dapat memberikan
dampak negatif pada anak, karena label yang salah akan membuat anak mendapatkan perlakuan
yang salah juga dalam proses pembelajaran.
Anak yang mengalami kesulitan belajar tidak dapat diidentifikasi jika tidak disertai
dengan penggalian data yang lengkap dan komprehensif. Penggalian data ini disebut juga
dengan istilah asesmen. Asesmen adalah proses mengamati sebuah sampel dari perilaku
seorang siswa dan mengambil kesimpulan tentang pengetahuan dan kemampuan siswa tersebut
(Ormrod, 2008).
Ormrod (2008) menjelaskan bahwa terdapat beberapa macam asesmen yang dapat
dilakukan yaitu :
1. Asesmen informal vs asesmen formal
Asesmen informal dilakukan dengan pengamatan yang dilakukan secara spontan dan
tidak terencana tentang suatu yang dikatakan atau di lakukan oleh siswa di kelas.
Sedangkan asesmen formal melibatkan perencanaan sebelumnya dan disertai dengan
tujuan tertentu. Asesmen formal bersifat formal dalam arti bahwa ada waktu tertentu
yang diluangkan untuk asesmen tersebut, dan ditujukan untuk menghasilkan informasi
tentang tujuan pengajaran tertentu atau standar isi
2. Asesmen tertulis vs asesmen performa
Asesmen tertulis dilakukan dengan menyajikan pertanyaan untuk dijawab, topik-topik
untuk dibahas, atau masalah yang akan dipecahkan, dan siswa menuliskan jawaban diatas
kertas. Sedangkan asesmen performa dilakukan dengan cara mendemonstrasikan atau
menampilkan kemampuan yang dimiliki siswa.
3. Asesmen tradisional vs asesmen otentik

15
Asesmen tradisional merupakan asesmen pendidikan yang berfokus pada pengukuran
pengetahuan dan keterampilan dasar secara relatif terpisah dari tugas-tugas yang
biasanya ditemukan di dunia luar. Sedangkan asesmen otentik mengukur pengetahuan
dan keterampilan siswa dalam sebuah konteksi kehidupan yang nyata (otentik).
4. Asesmen tes terstandarisasi vs asesmen yang dikembangkan guru
Tes terstandarisasi merupakan tes yang dikembangkan oleh ahli penyusun tes dan
dipublikasikan di berbagai sekolah, dapat digunakan untuk menilai prestasi umum dan
tingkat kemampuan siswa. Berbeda dengan asesmen yang dikembangkan oleh guru
merupakan alat asesmen yang dapat digunakan oleh guru di kelasnya sendiri.
5. Asesmen acuan kriteria vs asesmen acuan norma
Asesmen yang mengindikasikan bagaimana siswa berkinerja relatif terhadap sebuah
kelompok sebaya disebut dengan asesmen acuan norma. Sebaliknya asesmen mengacu
pada kriteria adalah instrumen asesmen yang dirancang untuk menentukan apa yang
telah dan belum dicapai siswa relatif terhadap standar atau kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya.

Untuk menegakkan diagnosa pada kesukaran belajar yang dialami oleh anak, perlu
diperhatikan berbagai macam metode yang relevan untuk mendapat informasi tentang
karakteristik gangguan. Beberapa metode digunakan untuk mendeteksi kesukaran belajar yang
dialami yaitu :
1. Metode observasi dan wawancara
2. Tes prestasi terstandar
3. Tes Proses
4. Inventori informal membaca
5. Metode evaluasi formatif
Informasi-informasi yang didapatkan dari metode-metode asesmen diatas digunakan
untuk menentukan perlakuan yang tepat pada anak yang mengalami kesukaran belajar sesuai
dengan diagnosa yang didapatkan.

1. Observasi dan wawancara


Observasi adalah pengamatan yang dilakukan pada objek/perilaku yang menjadi tujuan.
Observasi dapat digunakan untuk menggali data tentang perilaku siswa di berbagai setting
misalnya di rumah, di sekolah dan ditempat bermain. Wawancara dapat digunakan untuk
menggali penyebab dari gangguan dari orang-orang yang signifikan dari anak yang mengalami
16
kesukaran belajar sehingga didapatkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap masalah
yang dialami anak. Observasi dapat dilakukan di berbagai setting terkait dengan kesukaran
yang dialami misalnya di sekolah, dirumah, setting pekerjaan dan lainnya

Gambar 1. Observasi

Observasi dapat dilakukan dalam beberapa cara yaitu :


a. Anecdotal record
Metode observasi anecdotal secara langsung mengamati kejadian yang secara jelas ditulis
tanpa ada judgment atau penilaian tertentu. Kejadian yang dicatat meliputi siapa, apa, dimana,
kapan dan bagaimana. Dalam metode pencatatan tidak diperkenankan sama sekali adanya
interpretasi atau kata-kata subjektif dari pengamat, namun benar-benar apa yang dilihat dan
didengar oleh pengamat itu sendiri. Misalnya, guru ingin mengamati perilaku anak tertentu
selama rentang waktu 30 menit. Dengan menggunakan pencatatan anecdotal maka guru akan
mencatat semua perilaku yang ditampakkan oleh anak selama waktu tersebut berdasarkan apa
yang dilihat dan didengar secara langsung, tanpa adanya interpretasi atau subjektifitas dari
guru.
Keuntungan dari anecdotal adalah guru, orangtua atau psikolog memiliki data yang kaya, tidak
hanya terkait dengan perilaku khusus yang diamati, namun juga dapat merekam perilaku-
perilaku lain yang mungkin diperlukan terkait dengan asesmen.

b. Time sampling
Time sampling merupakan pengamatan terhadap perilaku tertentu yang didasari pada tujuan
observasi pada jangka waktu yang telah ditentukan. Biasanya munculnya suatu perilaku,
frekuensi, maupun durasi. Misalnya, guru ingin mengamati perilaku agresif anak selama 30
menit dikelas. Maka selama waktu tersebut, guru akan mencatat frekuensi, durasi dari setiap

17
perilaku agresif yang dilakukan oleh anak, seperti memukul, menendang, mencubit dan
lainnya.

c. Event sampling
Event sampling merupakan suatu teknik pengamatan yang fokus pada pencatatan perilaku-
perilaku pada saat kejadian tertentu yang dianggap penting. Waktu pengamatan dalam hal ini
tidak dibatasi hingga perilaku yang diamati muncul. Contohnya : guru ingin mengamati
perilaku agresif anak saat waktu istirahat. Dalam hal ini guru akan mengamati sampai dengan
perilaku agresif yang dimaksud dilakukan oleh anak dan pada kejadian apa perilaku tersebut
muncul.

Pengamatan yang dilakukan dapat dibantu dengan menggunakan checklist perilaku yang
diamati. Berikut ini contoh checklist yang dapat dibuat oleh guru terkait dengan kesulitan
belajar :

Nama anak : Tanggal/hari :


Tanggal lahir : Tempat :
Tanggal Pengamatan : Pengamat :
Waktu pengamatan :

No Perilaku checklist
1 Ketidakmampuan untuk menulis bentuk huruf ✓
atau digit secara benar
2 Kesulitan dalam menulis dalam garis ✓
3 Kesulitan dalam menilai panjang dan lebar ✓
dari angka
4 Kesulitan dalam organisasi spasial, ✓
identifikasi atau mencocokkan bentuk, dan
atau rotasi atau distorsi dari gambar bentuk
geometri
5 Terbalik-balik dalam menulis huruf dan angka ✓
6 Kesulitan dalam membedakan kiri dan kanak

Tabel 2. Contoh behavioral checklist masalah menulis dan menggambar

Selain dari data observasi, untuk dapat lebih memahami masalah yang dialami anak dan
untuk menegakkan diagnosa yang tepat, maka wawancara menjadi salah satu asesmen penting
yang harus dilakukan. Penggalian informasi tentang anak dapat dilakukan pada orang-orang
terdekat dari anak seperti orangtua, guru atau teman.

18
Wawancara dilakukan untuk menggali riwayat anak, mulai dari :
a. data anak seperti nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, sekolah dan alamat;
b. data orangtua yang meliputi nama, tempat tanggal lahir, pendidikan dan pekerjaan,
c. saudara baik kandung maupun tiri;
d. riwayat kelahiran : mulai dari kehamilan ibu, proses melahirkan dan setelah
melahirkan, termasuk didalamnya berat badan, panjang badan, tindakan tertentu yang
dilakukan saat kelahiran (misalnya operasi, vacuum dll) ;
e. riwayat makanan : ASI sampai dengan usia berapa dan makanan yang dikonsumsi
berikutnya,
f. riwayat perkembangan fisik, mulai dari tengkurap, duduk, berdiri, berjalan, berbicara,
sakit yang pernah diderita ,
g. kondisi keluarga dan riwayat keluarga, termasuk didalamnya adalah informasi tentang
kondisi sosial ekonomi ekluarga, riwayat status sosial maupun ekonomi keluarga,
riwayat orangtua dan garis keturunan yang terkait dengan kondisi genetis/penyakit
tertentu.
h. riwayat pendidikan dan kebiasaan belajar. Informasi yang dapat diungkap adalah : 1)
apakah anak pernah mengalami tidak naik kelas dan penyebabnya, apakah memiliki
prestasi yang menonjol dan pendukungnya; 2) nama-nama dan lokasi-lokasi sekolah
tempat belajar dan kualitas sekolah-sekolah tersebut, maupun perpindahan tempat
tinggal keluarga dan sekolah; 3) hubungan dengan guru secara individual, sikap
terhadap pelajaran-pelajaran dan prestasi yang menonjol atau yang rendah; pelajaran
yang disukai dan tidak disukai.4) kebiasaan belajar, sikap kerja dan lainnya.
i. Perkembangan sosial, yang meliputi perkembangan sosial waktu kecil, hubungan
sosial dengan teman sebaya, hubungan dengan orang dewasa lainnya, penerimaan
terhadap aturan sosial dan moral, proses belajar peran jenis kelamin, perilaku dalam
kerjasama.

19
Gambar 2. Proses Wawancara
Diambil dari www.paulmullan.ie
Jika data dari observasi dan wawancara dianggap belum sepenuhnya menyajikan informasi
yang komprehensif dan mendalam tentang anak, maka penggunaan tes psikologis yang
terstandar dapat dilakukan dengan bantuan professional psikolog.

2. Tes prestasi terstandar


Tes yang paling umum dilakukan untuk anak yang mengalami kesulitan belajar adalah
tes prestasi terstandar. Alasannya adalah prestasi akademik yang rendah menjadi masalah
utama /karakteristik utama pada anak yang mengalami kesulitan belajar. Tes terstandar berarti
bahwa tes itu di administrasikan dalam kelompok yang luas sehingga skor yang didapatkan
seorang anak dapat dibandingkan dengan norma atau rata-rata. Tes prestasi terstandar dapat
dirancang untuk menggali area yang banyak (multiple area) atau hanya satu area prestasi saja.
Contoh tes standar yang dapat menggali area prestasi yang umum yaitu : California
achievement test, Iowa Test of Basic Skills, Stanford Achievement Tes. Sedangkan yang khusus
pada kemampuan membaca yaitu Stanford Diagnostic Reading Test, Roswell-Chall Diagnostiv
test of Word Analysis Skills.
Tes standar dapat berguna atau menjadi salah guna. Jika guru menggunakan hasil tes
hanya untuk mendapatkan tingkat prestasi saja maka data dari hasil tes terstandar tidak terlalu
berguna. Namun jika guru menggunakan hasil tes untuk mencari tahu di area manakah seorang
siswa mengalami masalah untuk dapat ditentukan apa perlakuan yang tepat, maka tes prestasi
terstandar menjadi sangat berguna.
Dalam evaluasi kesulitan belajar yang dialami anak, tes prestasi yang dilakukan
biasanya bersifat individual, dengan seorang anak akan diberi soal-soal tes prestasi didepan
seorang tester. Tes prestasi ini akan menghasilkan data normatif tentang kemampuan yang

20
dimiliki anak. Kelebihan dari tes prestasi yang dilaksanakan secara individual ini adalah bahwa
tester memiliki kesempatan untuk mengamati hal-hal khusus yang yang bersifat klinis dari
performansi yang ditunjukkan oleh anak dan menjadikannya sebagai data tambahan untuk
menguatkan diagnosa terkait kesulitan belajar yang dialami.
Tes standar dapat berguna atau menjadi salah guna. Jika guru menggunakan hasil tes
hanya untu mendapatkan tingkat prestasi saja maka data dari hasil tes terstandar tidak terlalu
berguna. Namun jika guru menggunakan hasil tes untuk mencari tau di area manakah seorang
siswa mengalami masalah untuk dapat ditentukan apa perlakuan yang tepat, maka tes prestasi
terstandar menjadi sangat berguna.

3. Tes Inteligensi
Terdapat berbagai pengertian yang diungkapkan oleh ahli tentang inteligensi dan tidak ada
satu kata sepakat untuk satu pengertian inteligensi yang sama. Berikut ini beberapa pengertian
inteligensi yang diungkapkan oleh ahli (dalam Gregory,2011) :
1. Inteligensi merupakan kemampuan umum yang melibatkan sebagian besar
pengembangan relasi dan hubungan timbal balik (Spearman, 1904,1923)
2. Menurut Binet & Simon tahun 1905, inteligensi adalah kemampuan menilai, memahami
dan berpikir logis dengan baik.
3. Terman tahun 1916 menjelaskan inteligensi sebagai kapasitas membentuk konsep dan
memahami signifikansinya.
4. Thorndike tahun 1921, inteligensi adalah kekuaran merespons dengan baik dari sudut
pandang kenyataan atau fakta.
5. Wechsler tahun 1939, inteligensi adalah kapasitas agregat atau global dari individu untuk
bertindak secara sengaja, berpikir secara rasional dan menghadapi lingkungan secara
efektif.
6. Sternberg, 1985 menjelaskan inteligensi sebagai kapasitas mental untuk mengolah
informasi secara otomatis dan menghasilkan perilaku yang sesuai secara kontekstual
sebagai tanggapan terhadap hal-hal baru; inteligensi juga mencakup metakomponen,
komponen kinerja dan komponen kemahiran pengetahuan.

Walaupun banyak sekali definisi yang diungkapkan oleh para ahli tentang inteligensi
serta perbedaan budaya yang juga mempengaruhi definisi tersebut, para ahli memiliki
kesepakatan tentang inteligensi dalam dua hal yaitu (a) merupakan kemampuan belajar dari
pengalaman, (b) kapasitas untuk beradaptasi dengan lingkungan (Smith, 2011).
21
Kenapa penting membahas tentang inteligensi? karena salah satu ciri dari anak yang
mengalami kesulitan belajar adalah adanya diskripansi antara potensi dengan prestasi menjadi
salah satu kriteria dari kesulitan belajar, sehingga asesmen dengan menggunakan tes inteligensi
penting dilakukan untuk mengetahui kemampuan inteligensi anak. Tes inteligensi dapat
mengukur kemampuan anak dalam berbagai hal seperti pemahaman, kemampuan verbal,
persepsi, dan aspek lainnya yang dapat digunakan untuk membantu menentukan potensi
akademik dari si anak. Penggalian data untuk membantu diagnosa dengan menggunakan tes
inteligensi biasanya menggunakan tes inteligensi yang diadministrasikan secara individual.
Salah satu keunggulan dari tes inteligensi individual adalah bahwa tester dapat mengukur
tingkat motivasi dari testee serta menilai faktor-faktor lain yang relevan dengan hasil tes
(misalnya kecemasan, impulsifitas dan lain-lain).
Tes Inteligensi yang dapat disajikan secara individual diantaranya adalah :
1. Weschler Intelligence Scale for Children (WISC)
Tes ini dipublikasikan pertama kali pada tahun 1949 oleh Weschler sebagai turunan dari
tes WB yang asli. WISC terdiri atas subtes-subtes verbal dan subtes performance yang
harus diselesaikan oleh testee untuk mendapatkan skor IQ. Saat ini pengembangan dan
revisi yang dilakukan terhadap tes ini yang terakhir adalah WISC-IV yang terdiri atas 15
subtes.
2. Tes Stanford Binet (SB)
Dibuat awalnya pada tahun 1905, oleh Binet dan Simon, tes ini saat ini sudah sampai
pada edisi kelima. Item-item yang terdapat pada Tes Stanford-Binet ini diperuntukkan
kepada anak-anak mulai usia 2 sampai 23 tahun. Pada tes ini terdapat skala yang
mengungkap kemampuan verbal yang terdiri dari subtes informasi, rentang angka, kosa
kata, pemahaman dan kesamaan dan skala yang mengungkap performance yang terdiri
dari menyusun gambar, rancangan balok, merakit objek dan symbol angka. Salah satu
keunggulan dari tes ini adalah dapat digunakan untuk usia anak-anak dan juga dari
pengukuran yang dilakukan dapat ditemukan usia mental dari anak.
3. Raven Coloured Progressive Matrices
Raven Progressive Matrices diciptakan oleh J.C. Raven pada tahun 1938. Tes ini
merupakan tes non verbal yang dikembangkan di Inggris. Tes ini
dirancang untuk mengukur kemampuan untuk mengerti dan melihat hubungan antara
bagian gambar serta mengembangkan pola berpikir sistematis. Aspek-aspek yang diukur
dalam tes ini antara lain general factor, spatial aptitude, inductive reasoning, perceptual
accuracy. Untuk anak-anak, Raven menyusun tes dalam bentuk berwarna yang dinamai
22
dengan Coloured Progressive Matrices. Keunggulan dari penggunaan tes ini adalah
dapat mengungkap inteligensi pada anak-anak yang memiliki masalah dalam komunikasi
verbal.
Tes formal terstandar lainnya yang juga banyak digunakan untuk asesmen adalah
Wechsler Intelligence Scale for Children-Revised (WISC-R), yang terdiri dari subtes verbal
dan performance, dan Tes Inteligensi dari Raven seperti Coloured Progressive Matrices
(CPM). Alat tes inteligensi yang disusun oleh Raven ini memiliki keunggulan karena dapat
digunakan untuk mengetahui tingkat inteligensi anak yang mengalami kesulitan dalam
berbahasa karena alat tes ini hanya menggunakan stimulus berupa gambar.

4. Tes Proses (Processing test)


Penggunaan tes proses psikologis adalah untuk mendiagnosa defisiensi proses yang
terjadi pada seseorang . Yang dimaksud dengan proses adalah pada apa individu meletakkan
setelah memperoleh sesuatu informasi dari fungsi sensorinya-bagaimana individu
menginterpretasi/mempersepsi makna secara intelektual. Tes proses adalah asesmen dari
proses psikologis (biasanya adalah perseptual atau linguistik) satu atau lebih area yang
diasumsikan oelh tester sebagai penyebab masalah akademik. Dengan pendekatan ini, anak
dengan kesukaran belajar membaca tidak akan ditangani pada masalah membaca saja. Tes ini
diberikan untuk mengidentifikasi proses psikologis tertentu dimana anak mengalami
kekurangan. Remediasi direncanakan setelah hasil tes didapatkan
Program pendidikan fokus pada masalah proses yang terjadi dibandingkan dengan langsung
pada masalah membaca yang dialami.
Terdapat dua tipe tes proses (dalam Hallahan dan Kaufman, 1988) yaitu :
1. Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA)
ITPA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1961 dan direvisi pada tahun 1968, terdiri
atas :
a. Channel of Communication (auditory-vocal-visual motor)
b. Psycholinguistic Process (reception-organization-Expression)
c. Levels of Organization (representational & automatic)
Channel of communication adalah modal sensori yang beragam dimana informasi dapat
datang dan pergi (visual, auditory, motor dan vocal). Dalam psikolinguistik proses
resepsi adalah kemampuan untuk menangkap informasi ;organisasi adalah manipulasi
internal dari konsep dan linguistik informasi; ekspresi berkaitan dengan transmisi

23
informasi. Level representasi melibatkan pikiran/berpikir simbolik dimana level
automatis berhubungan dengan rantai kebiasaan.
ITPA sangat membantu dalam mengumpulkan informasi yang relevan secara pendidikan
dan membantu meningkatkan kewaspadaan bahwa tes psikologi dan pendidikan harus
sensitif pada kebutuhan pendidikan anak.

2. Marriane Frostig Developmental Test of Visual Perception


Dikembangkan oleh Marriane Frostig dan kolega untuk menggali aspek persepsi visual
yang menjadi penting berkaitan dengan kemampuan membaca. Alat ini mengukur aspek
yang relatif spesifik dari persepsi visual. Hasil tes dapat digunakan untuk melihat
kekurangan perseptual tertentu dari anak. Terdapat lima subtes dalam alat tes ini yaitu :
a. Eye-motor coordination
Tes koordinasi mata dan tangan yang melibatkan menggambar garis yang
tersambung, kurva, atau garis antara batas dengan lebar yang beragam antara satu poin
ke poin yang lain tanpa ada panduan
b. Figure Ground
Tes yang melibatkan urutan persepsi terhadap gamar berlawanan secara meningkat
pada lokasi yang kompleks. Interseksi dan geometri tersembunyi digunakan dalam
subtes ini.
c. Constant shape
Tes yang melibatkan rekognisi dari bentuk geometri tertentu dan perbedaannya
dengan bentuk geometri yang sama.
d. Position in space
Tes yang melibatkan diskriminasi dari pembalikan dan rotasi dari gambar dalam seri
gambar skematik yang ditimbulkan.
e. Spatial relationship
Tes yang melibatkan analisis dari bentuk sederhana dan pola. Terdiri atas garis dengan
panjang dan sudut pandang yang diminta anak-anak untuk menyalinnya,
menggunakan titik-titik sebagai panduan.

5. Inventori membaca informal


Metode asesmen umum yang digunakan guru untuk panduan kemampuan membaca.
Sebuah seri paragraf bacaan atau list kata-kata yang bertingkat urutan kesulitannya. Siswa akan
membaca dari seri urutan atau paragraf, mulai dari yang dianggap paling mudah oleh guru.
24
Selama membaca dianggap tidak terlalu sulit, siswa akan terus membaca dengan tingkat
kesulitan yang semakin tinggi. Saat siswa membaca, guru akan mencatat kesalahan-kesalahan
yang terjadi dalam membaca (misalnya salah pengucapan, pengulangan dll). Level dari
kemampuan membaca siswa akan terlihat dari akurasi dalam membaca dan menjawab
pertanyaan.
Adapun prosedur yang biasa dilakukan dalam inventori membaca formal yaitu :
a. Siswa diminta untuk membaca satu set daftar kata.
b. Kemampuan membaca lisan dan kesesuaian dalam menjawab pertanyaan
pemahaman ditentukan dengankesuksesan pada 95% untuk ketepatan pengucapan kata
dan 75% untuk pertanyaan pemahaman.
c. Membaca dalam hati dan lisan dilakukan berganti-ganti dari satu bagian ke bagian
berikutnya

6. Metode evaluasi formatif


Dalam metode evaluasi formatif, Hallahan & Kaufman (1988) menjelaskan bahwa terdapat
lima bentuk umum dari model evaluasi formatif yaitu :
a. Asesmen ini biasanya dilakukan oleh guru dibandingkan oleh psikolog sekolah atau yang
lain.
b. Guru menggali perilaku secara langsung relevan dengan fungsi kelas.
c. Guru mengobservasi dan mencatat perilaku anak secara rutin dan selama periode waktu
tertentu. Sebagian besar tes diberikan sekali atau dua kali dalam setahun, dengan
mengukur performansi setidaknya dua atau tiga kali dalam seminggu.
d. Guru menggunakan evaluasi formatif untuk mengetahui kemajuan anak dalam tujuan
pendidikan.
e. Guru menggunakan tes formatif untuk memonitor efektifitas program pendidikan.

Kesimpulan
Untuk dapat mendiagnosa area-area yang mengalami masalah pada anak yang
menyebabkan ia mengalami kesulitan dalam belajar, perlu dilakukan serangkaian asesmen
yang komprehensif yang dapat meliputi observasi, wawancara, tes prestasi, tes inteligensi,
asesmen membaca formal, tes proses dan evaluasi formatif.

25
Diskusi

Bentuk asesmen apa saja yang dapat dilakukan guru secara langsung pada siswa di setting
sekolah?

26
Bab 3.
Pendekatan Intervensi untuk Kesulitan Belajar

Apa yang kita pelajari pada bab ini? :


1. Menjelaskan berbagai pendekatan intervensi dalam mengatasi kesulitan belajar
2. Membandingkan efektivitas berbagai pendekatan dalam mengatasi kesulitan belajar

Dalam upaya untuk mengatasi kesulitan belajar terdapat sejumlah metode yang dapat
dilakukan diantaranya adalah modifikasi perilaku, terapi medis, pembelajaran individual, dan
instruksi langsung. Pada bagian berikut ini akan dibahas masing-masing metode secara umum
dan contoh penggunaannya pada kesulitan belajar.

A. Modifikasi Perilaku
Menurut EyseModifikasi perilaku merupakan usaha untuk mengubah perilaku dan
emosi dengan cara yang menguntungkan berdasarkan hukum-hukum teori belajar.
Dasar Pemikiran Modifikasi Perilaku
Terdapat beberapa asumsi yang menjadi dasar pemikiran dari modifikasi perilaku yaitu :
a. Perilaku sebagai hasil belajar
Sebagian besar perilaku mal adaptif dan simptom-simptom gangguan sampai pada
tingkat tertentu diperoleh sebagai hasil dari belajar .
b. Pendekatan simptomatis
i. Modifikasi perilaku memusatkan perhatian pada perilaku/simptom yang
menjadi masalah (perilaku/sasaran)
ii. Dalam memodifikasi perilaku, mencapai insight saja tidak cukup, sasaran yang
harus dicapai adalah mengurangi atau menghilangkan simptom/gejala-gejala.

Asumsi Keliru tentang Modifikasi Perilaku


a. Menggunakan reward sebagai pengubah perilaku adalah bentuk penyuapan
Dalam modifikasi perilaku, reward digunakan sebagai bentuk penguatan terhadap
perilaku yang ingin dibentuk yang kemudian berbeda dengan term penyuapan.
b. Modifikasi perilaku melibatkan penggunaan obat-obatan, operasi psikologis, dan
penggunakan ECT dalam terapi.

27
Pendekatan yang digunakan dalam modifikasi perilaku adalah melakukan perubahan
pada perilaku yang tampak dan jelas terlihat serta terukur sehingga sama sekali tidak
menggunakan obat-obatan atau penggunaan ECT dalam proses terapi.
c. Modifikasi perilaku hanya mengubah simptom dan tidak menyentuh masalah
d. Modifikasi perilaku hanya berhasil pada masalah sederhana seperti toilet training dan
tidak dapat digunakan untuk masalah yang lebih kompleks
e. Terapis dalam modifikasi perilaku kaku dan tidak berperasaan serta tidak
mengembangkan empati pada kliennya
f. Modifikasi perilaku hanya berkaitan dengan perilaku tampak dan tidak berubungan
dengan pikiran dan perasaan klien
g. Modifikasi perilaku adalah pendekatan yang sudah kuno
Modifikasi perilaku baru ditemukan pada tahun 1950, sehingga belum dapat disebut
dengan pendekatan yang kuno.

Karakteristik Modifikasi Perilaku


1. Penekanan kuat pada menjelaskan masalah dalam bentuk perilaku yang dapat diukur,
dan menggunakan perubahan yang terjadi pada perilaku bermasalah sebagai indikator
terbaik untuk mengetahui apakah masalah terselesaikan atau tidak
2. Teknik dan prosedur treatmen melibatkan lingkungan tempat individu berada untuk
membantu individu berfungsi secara utuh dalam masyarakat
3. Metode dan rasionalisasinya dideskripsikan dengan sangat jelas dan detail
4. Teknik modifikasi perilaku sering digunakan oleh individu dalam kehidupan sehari-
hari
5. Dalam lingkup yang lebih luas, teknik yang digunakan berakar dari teori dan applied
research dalam psikologi belajar secara umum, dan prinsip belajar operan dan
kondisioning Pavlov secara khusus.
6. Modifikasi perilaku menekankan pada demonstrasi ilmiah yaitu intervensi tertentu
hanya digunakan untuk mengubah perilaku tertentu pula
7. Modifikasi perilaku melibatkan aplikasi yang sistematis dari prinsip-prinsip dan teknik
belajar untuk meningkatkan perilaku tampak dan tidak tampak (covert) untuk
membantu individu berfungsi secala penuh dalam lingkungan sosialnya,

Analisis Fungsi
Terdapat beberapa langkah yang dilakukan dalam modifikasi perilaku yaitu :
28
1. Langkah 1 modif :
a. Mengumpulkan berbagai informasi yang relevan dengan masalah yang ditangani
(analisis fungsi)
b. Tiga hal yang diungkap
 A (Antecedent) : pencetus perilaku yang menjadi masalah , Mis : situasi, tempat,
waktu
 B (Behavior) : perilaku yang menjadi masalah, mis: intensitas, frekuensi dan
lamanya
 C (Consequence) : akibat dari perilaku
c. Hasil analisis ABC digunakan untuk menyimpulkan :
 Siapa yang akan memerlukan perlakuan
 Perilaku yang menjadi sasaran
 Teknik yang akan digunakan
2. Behavior Assesment
a. Perilaku yang ingin diubah/ditingkatkan dalam modifikasi perilaku sering disebut
dengan target perilaku (target behaviors)
b. Asesmen perilaku (behavior assesment) ditujukan untuk mengumpulkan data dan
menganalisisnya denga tujuan untu k :
1) Menentukan dan mendeskripsikan target perilaku
2) Mengidentifikasi penyebab dari perilaku
3) Panduan untuk menentukan treatmen perilaku yang tepat
4) Mengevaluasi hasil treatmen

Keunggulan Modifikasi Perilaku


1) Langkah-langkah dalam modifikasi perilaku dapat direncanakan terlebih dahulu
2) Perincian pelaksanaan dapat diubah selama perlakuan/terapi berlangsung, disesuaikan
dengan kebutuhan
3) Jika dari hasil monitoring ternyata teknik gagal untuk menimbulkan perubahan, dapat
dideteksi dan ditemukan penggantinya
4) Teknik-teknik dapat diterangka dan diatur secara rasional. Hasil perlakuan dapat
diramalkan dan dievaluasi secara objektif
5) Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan perubahan lebih singkat daripada
menganggantungkan perubahan yang terjadi pada insight yang diperoleh oleh subjek
Kelemahan Modifikasi Perilaku
29
1) Membutuhkan perencanaan dan pertimbangan yang matang.
2) Masing-masing teknik dalam modif memiliki keunggulan dan kelemahan masing-
masing.
3) Modif masih tergolong relatif muda (muncul tahun 1950an) sehingga masih
membutuhkan riset-riset mutakhir untuk menguji efektivitas teknik yang digunakan .

Gambar. Bentuk Modifikasi Perilaku


Teknik-teknik dalam modifikasi perilaku :
1. Reinforcement dan punishment
2. Shaping dan token economy
3. Extinction dan stimulus control

Contoh penerapan modifikasi perilaku untuk intervensi anak kesulitan belajar

B. Terapi Medis
Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan masih menjadi kontroversi saat ini. Walaupun hanya terdapat
sedikit pertanyaan tentang efektivitas obat-obatan untuk membantu anak yang mengalami
kesukaran belajar, namun terdapat kekhawatiran bahwa penggunaan obat-obatan tersebut akan
mengarah pada penyalahgunaan obat-obatan pada masa remaja.
Obat-obatan seperti Ritalin yang merupakan obat-obatan stimulan cukup sukses untuk
mengurangi perilaku hiperaktif dan meningkatkan perhatian. Namun tetap saja kekhawatiran
tentang kecanduan menjadi perhatian bagi orangtua dan guru. Obat tidak dapat menggantikan
pengajaran yang baik. Selain itu, efek samping dari obat yang digunakan dalam jangka waktu
lama juga menjadi perhatian serius dari guru, orang tua dan psikolog.

30
Diet
Terdapat beberapa teori Diet tentang penyebab atau penyembuhan kesukaran belajar
dan GPPH, diantaranya 1) bahan tambahan makanan (food additives), 2) hipolisemia, 3)
megavitamins. Penggunaan bahan tambahan makanan seperti penguat rasa, pemanis dan
pewarna buatan dapat menjadi penyebab gangguan GPPH sehingga dalam penanganan
gangguan ini diet yang mengurangi konsumsi zat-zat tambahan dalam makanan dapat
dilakukan untuk mengurangi gejala. Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya, sekelompok anak yang hiperaktif menunjukkan respons yang baik dalam
pengaturan makanan (diet) yang bebas dari bahan tambahan makanan.

Megavitamins
Penelitian yang dilakukan oleh Alder dan Cott (dalam Abdurrahman,2003)
menunjukkan bahwa pemberian vitamin dengan dosis yang tinggi secara oral dalam bentuk
kapsul, pil atau cairan efektif untuk anak-anak yang mengalami kesukaran belajar.

C. Instruksi Langsung (Direct Instruction)


Pengajaran langsung merupakan pendekatan yang menggabungkan elemen-elemen
pengajaran ekspositoris dan pembelajaran tuntas dengan menggunakan berbagai macam teknik
agar siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran dan menerapkan pembelajaran di kelas
(Ormrod, 2008). Program pengajaran langsung (direct instruction) memfokuskan pada
pengajaran langsung berbagai keterampilan belajar khusus yang dipilih oleh guru. Guru
berperan dalam merancang dan menstrukturkan pengalaman belajar anak untuk membangun
keterampilan pra akademik dan akademik.
Instruksi langsung, memiliki kemiripan dengan modifikasi perilaku. Sedikit berbeda,
pada fokusnya khusus pada proses pembelajaran. Penekanan dari instruksi langsung adalah
lebih pada analisis logis dari konsep yang akan diajarkan dibandingkan dengan karakteristik
siswa.Instruksi langsung memiliki kemiripan dalam tiga hal yaitu : a) penekanan pada
pentingnya meningkatkan probabilitas dari respon yang benar dengan memberikan reward
pada respon benar yang diberikan siswa, b) perhatian pada kemajuan dari pengukuran yang
dilakukan untuk menentukan apakah intruksi dilanjutkan, c)tergantung pada lingkungan
belajar yang terstruktur untuk memelihara guru yang berorientasi tugas dan perilaku siswa, dan
d) penekanan pada pengajaran langsung dari keterampilan khusus yang dibutuhkan oleh tugas-
tugas akademik.
31
Instruksi langsung berbeda dengan analisis perilaku pada banyak penekanan yaitu : a)
struktur antara strategi solusi diajarkan pada siswa, b) seleksi contoh yang digunakan dalam
pembelajaran. Dalam instruksi langsung, siswa diajarkan sistem yang berjalan dan
memecahkan masalah dan sistem ini diseleksi dan dikembangkan untuk mendapatkan
keuntungan dari hubungan antar masalah.
Sebagai tambahan, pengajaran langsung (direct instruction) melibatkan sebagian besar
atau semua komponen berikut ini yaitu (Ormrod,2008) :
1. Reviu atas materi yang telah dipelajari sebelumnya.
2. Pernyataan tentang sasaran-sasaran yang akan dicapai dalam suatu pelajaran.
3. Presentasi materi baru dalam langkah-langkah kecil yang terurut secara logis.
4. Latihan siswa yang terbimbing dan asesmen setelah setiap langkah.
5. Latihan mandiri
6. Tinjauan tindak lanjut yang sering dilakukan.
Menurut Rosenshine & Steven ( dalam Ormrod,2008) pengajaran langsung dianggap
pendekatan yang paling tepat dalam mengajarkan informasi dan keterampilan yang
terdefinisikan dengan baik dan yang harus diajarkan secara bertahap.

3. Program Pembelajaran Individual


Program pembelajaran individual gunanya adalah menjamin bahwa setiap anak yang
mengalami kesukaran belajar memiliki suatu program yang diindividualkan untuk
mempertemukan kebutuhan-kebutuhan khas mereka dan mengkomunikasikan program
tersebut pada orang-orang yang berkepentingan.
Tim yang terlibat dalam program pembelajaran individual antara lain adalah :
1. Guru khusus,
Guru khusus ditujukan untuk membantu siswa dalam proses pembelajaran yang dialami di
kelas. Kondisi kesulitan belajar yang dialami akan mendapat pendampingan dari guru
khusus selain guru kelas yang dilakukan secara individual.
2. Guru kelas,
Guru kelas dapat membantu mendeteksi masalah belajar yang dialami siswa dan kemudian
melaporkan kesulitan yang dialami terhadap pihak yang memiliki kewenangan seperti
psikolog sekolah.
3. Kepala sekolah,
Kepala sekolah dalam hal ini bertugas untuk melakukan kontrol dan pengawasan terhadap
program individual yang sedang berjalan.
32
4. Orangtua,
Orangtua di rumah dapat memperkuat treatmen yang diberikan pada anak sesuai dengan
program yang telah dibuat. Orangtua juga perlu memonitor perkembangan anak selama
program pembelajaran di lakukan dan melaporkan pada guru dan psikolog tentang
kemajuan-kemajuan yang dialami oleh anak.
5. Psikolog,
Psikolog melakukan diagnosa terhadap kesulitan belajar yang dialami anak, membuat
rancangan intervensi yang sesuai dengan kondisi anak dan memonitor perkembangan anak
selama intervensi dilakukan.
6. Terapis bicara,
Terapis bicara khusus digunakan untuk membantu anak yang memang mengalami masalah
yang terkait dengan kemampuan bicara.
7. Dokter anak.
Dokter anak ditujukan untuk melakukan pemantau dan juga jika diperlukan memberikan
treatmen medis terhadap anak.
8. Fisioterapis
Terapis ini dibutuhkan untuk membantu anak mengatasi masalah yang berkaitan dengan
kondisi fisik tertentu.

Semua pihak dalam tim ini berkolaborasi untuk membantu anak untuk mengatasi
kesulitan belajar yang di alaminya.

33
Bab. 4
Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH)

Apa yang dapat kita pelajari pada bab ini?


1. Memahami karakteristik gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
2. Memahami penyebab ganguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
3. Memahami metode asesmen untuk mendiagnosa gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas
4. Memahami metode intervensi untuk mengatasi gangguan pemusatan perhatian dan
hiperaktivitas

Kasus :
D seorang anak laki-laki usia 8 tahun. Di kelas dia sering dianggap menganggu teman-
temannya karena dia tidak bisa duduk dengan tenang di bangkunya sendiri selama pelajaran
berlangsung. Saat guru memberikan tugas, D biasanya tidak bisa menyelesaikan dengan tuntas,
hanya dalam beberapa saat saja ia akan melesat berlari kearah belakang kelas atau menganggu
temannya yang sedang menulis. Ia juga sering menunjukkan perilaku memukul-mukul meja
dengan pensil yang ada ditangannya dengan cepat. Perhatiannya juga mudah beralih ketika
melihat aktivitas diluar kelas. Prestasi belajarnya rendah, dan ia mendapat label “si penganggu”
di kelas. Apa yang dapat dilakukan dengan D?apakah ia mengalami gangguan pemusatan
perhatian?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu membahas lebih jauh tentang gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (attention deficit and hyperactivity disorder).

Pendahuluan
Gangguan pemusatan perhatian dan /hiperaktivitas merupakan gangguan yang dapat
ditemui pada semua golongan social ekonomi, dan lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan (perbandingan 3-6 kali lebih banyak). Gangguan ini
onset kemunculannya adalah sebelum usia 7 tahun. Prevalensi anak yang mengalami gangguan
pemusatan perhatian dan hiperaktivitas adalah 3-10% pada anak usia sekolah, dan 35-50 %
dapat berlangsung sampai remaja atau dewasa. Di Indonesia tercatat prevalensi sebesar 26,2
%.
Dalam sejarahnya, pada tahun 1930an dan 1940an, perilaku tidak bisa diam dan tidak
mampu memperhatikan dihubungkan dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas
34
diatribusikan dengan disfungsi minimal otak yang disebabkan oleh trauma pada lobus frontalis.
Namun teori terkait dengan disfungsi minimal otak ini tidak mampu menguatkan klaim yang
dibuat sehingga beberapa tahun berikutnya pada DSM III dikategorikan dalam Reaksi
Hiperkenetik pada Anak. Pada akhirnya di DSM IV, gangguan ini kemudian dikategorikan
dalam domain gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (Wilmshurst, 2005).

Pengertian dan karakteristik


Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas adalah ketidakmampuan yang
ditunjukan anak dengan ciri-ciri : (1) kurang perhatian; (2) hiperaktif dan (3) impulsif. Gejala-
gejala dari gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas antara lain :
a. Overreaktif
Kondisi ini terlihat dari ketidakmampuan untuk berhenti bergerak secara berlebihan khususnya
dalam situasi yang membutuhkan untuk duduk tenang. Hal ini tergantung situasi yang
melibatkan aktivitas anak melompat, memanjat, berlari, berpindah dari satu kursi ke kursi yang
lain saat mereka diharapkan untuk duduk tenang, berbicara dengan berlebihan dan membuat
gaduh, gelisah dan tidak tenang.
b. Gangguan perhatian
Kondisi ini termanifestasi dalam kegagalan dalam menyelesaikan tugas-tugas dan
meninggalkan aktivitas yang belum selesai. Anak berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas
yang lain, terlihat kehilangan minat pada satu tugas dan terbagi perhatian pada yang lain.
c. Perilaku anti sosial
Perilaku anti sosial terlihat dalam bentuk perilaku implusif, tidak dapat dilarang, sembrono.
d. Mengganggu aktivitas orang lain

Etiologi
Faktor Biologis
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa GPPH bersifat turunan.
Terdapat resiko 6-8 % seseorang yang memiliki keluarga yang juga mengalami GPPH untuk
terkena GPPH jika dibandingkan dengan sampel yang tidak memiliki keluarga yang
mengalami GPPH. Selain itu penelitian pada anak adopsi dan anak kembar juga menunjukkan
bukti yang menguatkan bahwa GPPH memiliki faktor heritabilitas sebagai penyebabnya.
Komplikasi yang terjadi pada masa prenatal, perinatal dan postnatal menjadi salah satu
faktor yang berkaitan dengan predisposisi GPPH. Barkley, (2006) dan Biederman & Faraone
( 2002), menjelaskan komplikasi ini termasuk di dalamnya adalah durasi waktu kelahiran, fetal
35
stress, fetal post maturity, penggunaan forceps saat proses melahirkan, toksemia atau
eklampsia, kesehatan ibu yang buruk, usia kehamilan yang lebih muda, berat lahir rendah
(dalam Brock, Jimerson & Hansen, 2009). Lebih jauh lagi, setiap komplikasi diatas
berhubungan dengan hipoksia, yang diasumsikan akan mempengaruhi struktur otak yang
berhubungan dengan GPPH. Penelitian O’Callaghan, and Mohay (2008, menemukan bahwa
anak yang lahir premature (kurang dari 27 minggu) atau lahir dengan berat badan yang sangat
rendah (kurang dari 1kg) memiliki lebih banyak masalah dengan perhatian (yang diukur
dengan tes psikologi dan rating dari guru/orangtua) dibandingkan dengan kelompok control
usia 7-9tahun.
Reviu literature yang dilakukan oleh Das Banerjee et al. (dalam Brock, Jimerson &
Hansen, 2009) menunjukkan bahwa terdapat paparan sejumlah racun berbeda yang
berhubungan dengan peningkatan resiko GPPH, termasuk didalamnya adalah racun merkuri,
timah, mangan dan polychlorinated biphenyls . Namun penjelasan ini juga masih menjadi
perdebatan karena sebagian besar anak yang mengalami GPPH tidak terpapar oleh racun ini
dan yang terpapar racun tersebut juga tidak semua yang menunjukkan gejala GPPH.
Selanjutnya, terpapar racun dari rokok dan alcohol pada masa pra natal juga dianggal menjadi
faktor resiko untuk GPPH.
Kerusakan otak diasumsikan juga memiliki kaitan dengan GPPH. Awalnya sejumlah
peneliti mengaitkan perkembangan gejala GPPH dengan epidemic radang otak di tahun 1917
dan 1918. Namun penelitian terus berkembang dan kemudian GPPH terdokumentasi terjadi
pada kerusakan otak sekunder seperti trauma kepala, stroke pada masa kanak-kanak dengan
kemunculan GPPH berkorelasi positif dengan peningkatan keparahan kerusakan otak.
Terkait dengan struktur otak, melalui pemeriksaan fMRI dan single photon emission
computed topography (SPECT), hasil scan otak pada anak dengan GPPH menunjukkan adanya
aktivitas yang kurang pada bagian lobus frontalis dan aktivitas yang lebih tinggi pada gyrus
cingulate jika dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami GPPH.
Secara genetic, dalam penelitian yang dilakukan oleh Biederman et al (2005)
menunjukkan bahwa 50% anak yang mengalami GPPH juga memiliki orangtua yang memiliki
gangguan yang sama. Oleh karena itu faktor genetic menjadi faktor yang cukup berperan dalam
etiologi dari GPPH.
Hampir tidak ada penelitian yang menunjukkab bahwa keluarga atau lingkungan secara
khusus memberikan kontribusi sebagai penyebab dari GPPH. Namun sejumlah besar penelitian
menunjukkan bahwa faktor keluarga dan lingkungan berperan dalam memelihara atau

36
memperparah gangguan. Sikap orangtua terhadap perilaku tidak terkontrol dan impulsivitas
dari anak GPPH menjadi faktor keluarga yang berperan memperburuk keadaan anak.

GPPH dan Gangguan Penyerta Lainnya


Tidak jarang GPPH juga disertai dengan gangguan lainnya seperti kesulitan belajar dan
masalah internal lainnya. Terkait dengan kesulitan belajar, Frick et. Al (1991) menjelaskan
bahwa terdapat persentase 16-21 % rata-rata komorbiditas dari kedua gangguan ini (GPPH
dan kesulitan belajar).
GPPH juga dikaitkan dengan gangguan emosi seperti depresi dan kecemasan. Pada riset
yang dilakukan oleh Biederman et al (1995) ditemukan bahwa lebih dari 70% anak yang
mengalami depresi memiliki gangguan GPPH juga. Selain itu, GPPH juga terkait dengan
gangguan prilaku disruptif (Disruptive Behavior Disorder). Studi menunjukkan bahwa antara
35-60 % anak yang mengalami GPPH juga memiliki gangguan perilaku disruptif (dalam
Wilmhurst, 2005).
Lebih jauh lagi, terkait dengan hubungan social dengan orang lain, setidaknya setengah
dari anak dengan GPPH akan mengalami masalah dalam menjalin relasi dengan teman
sebayanya. Terdapat diskripansi signifikan dalam kemampuan social dan kemampuan
kognitifnya sehingga mereka dapat dilabeli sebagai “tidak mampu secara social”. Resiko lebih
jauh dari ketidakmampuan ini terkait dengan tingkat penyalahgunaan obat-obatan yang lebih
tinggi, masalah keluarga, kecemasan, gangguan mood dan kenakalan.

GPPH dan Masalah Akademik


GPPH cukup sulit untuk dideteksi sebelum usia 3 tahun, namun melalui wawancara
yang bersifat restrospektif dengan orangtua, deteksi dini dari gejala awal dapat dilakukan.
Sebagai bayi, biasanya anak dengan temperamen yang sulit cenderung memiliki resiko lebih
besar untuk berkembang menjadi GPPH. Gejala-gejala awal yang dapat diamati dapat berupa
aktivitas yang berlebihan, pola tidur yang buruk, dan mudah terganggu. Pada usia 1-1,5 tahun,
anak yang memiliki resiko menunjukkan tingkat perilaku yang tak terkendali yang lebih tinggi,
kurangnya control diri dan dalam masa transisi ke pra sekolah (usia 3-6 tahun) kurangnya
control diri akan cenderung menetap, ketika anak normal menunjukkan kematangan dan
control diri yang lebih besar (Wilmshurts, 2005).
Pada usia sekolah, anak normal biasanya akan menunjukkan perkembangan dalam
kemampuan penguasaan yang terkait dengan tugas-tugas perkembangannya, namun pada anak
dengan GPPH justru menghadapi sejumlah tantangan untuk memnuhi tuntutan akademik dan
37
social. Mereka akan mengalami sejumlah kesulitan terkait dengan akademik, namun kesulitan
ini lebih disebabkan karena masalah impulsifitasnya dan ketidakmampuan mereka untuk
merespon secara tepat pembelajaran yang efektif. Terkait dengan tugas di sekolah, anak-anak
dengan GPPH akan menunjukkan perilaku buru-buru dalam mengerjakan tugas, tidak akurat
mengerjakan karena terlalu cepat, menunjukkan toleransi frustasi yang rendah dan cenderung
mengabaikan tugas yang tidak memberikan penyelesaian segera.
GPPH dapat berlanjut pada usia remaja jika tidak tertangani dengan baik. Terkait
dengan tuntutan akademik dan keterampilan untuk studi mandiri yang juga semakin berat,
remaja dengan GPPH akan menghadapi masalah dengan akademiknya. Kebiasaan pengerjaan
tugas yang buruk, kemampuan organisasi diri yang rendah kemudian menyebabkan mereka
mengalami kesulitan dalam belajar.

Asesmen
Anak dengan GPPH membutuhkan asesmen dari kelompok profesional yang multi
disiplin termasuk didalamnya adalah dokter anak, guru dan psikolog sekolah. Kolaborasi dari
profesional ini penting untuk mengidentifikasi masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan
anak dan keluarga.
Asesmen yang dapat dilakukan adalah observasi, di sekolah oleh guru kelas dan di
rumah oleh orangtua. Observasi ini ditujukan untuk mendokumentasikan tingkat perhatian dan
distraktibilitas anak.
Observasi harus dilakukan dalam berbagai setting, diantaranya adalah :
a. Dalam permainan sendirian, paralel dan kelompok
b. Di rumah dengan orangtua, saudara dan orang-orang signifikan lainnya.
c. Di supermarket
d. Dalam situasi/lingkungan lainnya seperti sesi terapi dan ruangan konsultasi psikolog.

Selain melakukan observasi, asesmen juga harus dilengkap dengan wawancara pada orangtua
atau orang signifikan dari anak dengan GPPH. Wawancara ini ditujukan untuk menggali
informasi terkait dengan sejarah perkembangan anak, termasuk didalamnya riwayat kelahian,
tahapan perkembangan, riwayat medis, riwayat pendidikan, riwayat perkembangan social
emosional, dan dinamika keluarga, termasuk tekanan keluarga, tampilan klinis, hubungan
dengan saudara dan keluarga besar.

38
Lebih jauh lagi, sejumlah alat ukur juga dapat diberikan pada orangtua, guru dan anak
seperti rating scales yang berisi kriteria diagnostic yang melihat perilaku dalam berbagai
setting yang berbeda seperti di rumah, di sekolah dan situasi lainnya.

Intervensi
Strategi-strategi pengajaran untuk anak dengan masalah perhatian (Smith, 2009)
a. Mengubah cara mengajarkan dan jumlah materi baru yang diajarkan.
Kesulitan utama yang dialami oleh anak dengan masalah perhatian adalah mereka sering
ketinggalan materi pelajaran jika materi yang diberikan terlalu cepat atau jumlahnya terlalu
banyak. Untuk membantu siswa mengatasi masalah perhatiannya, maka guru dapat
mengurangi kecepatan dalam menyajikan materi; menjaga siswa agar tetap terlibat dalam
memberi pertanyaan pada saat materi diberikan dan menggunakan perangkat visual untuk
membantu memberikan gambaran pada siswa tentang materi yang diajarkan.
b. Mengadakan pertemuan dengan siswa
Pertemuan secara personal yang menjelaskan masalah perhatian tanpa disertai dengan
hukuman dan tanpa ancaman, akan membantu siswa untuk meningkatkan fokus
perhatiannya.
c. Membimbing siswa lebih dekat dengan proses pengajaran
Lebih dekat dengan proses pengajaran diartikan dengan sikap dan tindakan guru yang dapat
membantu siswa memfokuskan perhatiannya pada tugas-tugas yang diberikan. Guru dapat
memberikan perhatian dan mendekatkan diri secara fisik pada anak dan menjalin kontak
mata, agar anak dapat memusatkan perhatiannya pada guru dan materi yang diajarkan.
d. Memberikan dorongan secara langsung dan berulang-ulang
Guru harus menunjukkan pada siswa bahwa guru melihat siswa jika mereka sedang
memperhatikan pelajaran. Guru juga dapat memberikan penghargaan verbal atau non verbal
untuk perilaku-perilaku siswa yang menunjukan perhatian pada materi yang diajarkan dan
juga pada guru.
e. Mengutamakan ketekunan perhatian daripada kecepatan menyelesaikan tugas.
Membuat penyesuaian dan jumlah tugas yang harus diselesaikan maupun waktu yang
disediakan untuk menyelesaikan tugas berdasarkan kemampuan individual anak yang dapat
membantu memotivasi anak.
f. Mengajarkan monitoring diri terkait dengan perhatian

39
Anak dapat dilatih untuk memonitor perhatian mereka sendiri dengan menggunakan timer
atau alarm. Mereka juga dapat mencatat interval perhatian yang dapat mereka lakukan pada
pengajaran atau materi yang disampaikan oleh guru.
Selain itu dalam setting sekolah, untuk membantu anak dengan gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas dapat belajar dengan optimal maka lingkungan kelas dan situasi
belajar juga harus dimodifikasi, dengan cara (Smith, 2009) :
1. Mengurangi stimulus lingkungan terutama stimulasi tang tidak diperlukan dalam
pembelajaran dan prestasi anak.
2. Ruang belajar yang lebih kecil. Ruangan yang tidak terlalu luas dan tidak memberikan
stimulasi dengan materi pelajaran sebagai pusat perhatian.
3. Optimalisasi unsur-unsur stimulasi pada materi yang diajarkan berupa warna, suara
dan benda-benda lain yang kontras untuk menarik perhatian anak terhadap materi
pelajaran.

40
Disleksia

Apa yang dipelajari di bab ini?


1. Memahami karakteristik disleksia
2. Menentukan metode asesmen yang tepat untuk disleksia
3. Memahami intervensi yang dilakukan untuk membantu siswa yang mengalami
disleksia

Pendahuluan
Membaca merupakan kemampuan dasar yang harus dikuasai oleh anak pada usia
sekolah dasar. Namun tidak semua anak dapat menguasai kemampuan ini, sebagian anak
mengalami kesulitan untuk membaca, mengeja dan memahami bacaan. Kondisi ini kemudian
dikenal dengan istilah disleksia atau gangguan membaca.
Gangguan dalam membaca membuat anak menjadi kesulitan untuk mengikuti
pembelajaran di sekolah, sehingga prestasi akademik pun rendah. Kurangnya pemahaman guru
akan kondisi siswa yang mengalami gangguan membaca dapat membuat guru juga
memperlakukan siswa ini dengan salah. Guru mungkin saja berpikir bahwa siswa tersebut
memiliki kemampuan intelektual yang rendah, sehingga ia akan bermasalah pada semua mata
pelajaran.
Pengetahuan terhadap karakteristik gangguan membaca (disleksia) dan kemampuan
deteksi dini menjadi hal yang penting untuk dikuasai oleh guru, karena akan sangat membantu
dalam penanganan dini terhadap anak yang mengalami disleksia. Artikel ini akan membahas
definisi disleksia, karakteristik, etiologi, kajian neuropsikologi dan metode yang dapat
dilakukan untuk mendeteksi disleksia sejak dini.

Definisi Disleksia
Definisi untuk menjelaskan disleksia cukup beragam. Beberapa literatur tidak
menyebutnya sebagai disleksia, namun gangguan membaca (reading disorder/reading
difficulty). Pada awalnya gangguan membaca (disleksia) dijelaskan sebagai diskripansi antara
skor IQ dan skor kemampuan membaca. Namun perkembangan selanjutnya, definisi lain pun
muncul dengan tidak lagi mengaitkan gangguan membaca dengan IQ karena dianggap IQ tidak
dapat dijadikan sebagai predictor yang kuat. Berikut ini akan dijelaskan sejumlah definisi dari
disleksia dari beberapa sumber.

41
Istilah disleksia yang dikembangkan oleh British Psychological Society pada tahun
1999 menjelaskan bahwa disleksia adalah bukti ketika akurasi dan kelancaran kata dalam
membaca dan /atau mengeja berkembang dengan sangat tidak lengkap atau dengan kesulitan
yang besar (dalam Farrel, 2006). Definisi lain disleksia diungkapkan oleh The British Dyslexia
Association pada tahun 2009 yaitu kesulitan belajar spesifik yang sebagian besar
mempengaruhi perkembangan kemampuan yang berkaitan dengan literasi dan bahas. Kondisi
ini muncul saat lahir dan memberikan efek seumur hidup. Karakteristiknya adalah kesulitan
dalam proses fonologi, penamaan cepat (rapid naming), working memory, kecepatan
pemprosesan dana perkembangan otomatis dari keterampilan yang tidak akan sesuai dengan
kemampuan kognitif individu lainnya. Kondisi ini cenderung bertolak belakang dengan
metode pengajaran konvensional, namun efeknya dapat dikurangi dengan intervensi khusus
yang tepat, termasuk didalamnya aplikasi teknologi informasi dan konseling suportif (dalam
Riddick,2010).
Di Amerika, Asosiasi Disleksia Internasional (IDA) pada tahun 2007 mendefinisikan
disleksia sebagai kondisi yang ditandai dengan kesulitan-kesulitan dengan pengenalan bahasa
yang akurat dan lancar dan kemampuan mengeja dan pengenalan kode yang buruk. Kesulitan
ini secara khusus dihasilkan dari kekurangan dalam komponen fonologi dari bahasa yang
sering tidak diharapkan dalam hubungannya dengan kemampuan kognitif lainnya dan
ketetapan dari instruksi pembelajaran yang efektif.
Menurut International Statistical Classification of Diseases and Related Health
Problems 10th Revision (ICD-10), disleksia perkembangan didiagnosa pada anak yang gagal
untuk mengembangkan kemampuan membaca normal diluar inteligensi yang normal, motivasi
dan pembelajaran yang adekuat, dan tidak adanya gangguan neurologis dan psikiatri. Kriteria
diagnostic utama adalah bahwa kemampuan membaca berada dibawah rata-rata populasi
(biasanya, skor membaca butuh setidaknya 2 SD dibawah rata-rata populasi), dengan IQ
normal rata-rata.
Walaupun terdapat beberapa definisi tentang disleksia dengan penekanan yang
berbeda-beda, namun penting untuk memahami ciri-ciri disleksia dengan pendekatan yang
lebih kontemporer seperti yang diungkapkan oleh Miles & Miles (dalam Riddick, 2010).
Mereka menjelaskan indikator dari disleksia pada usia kanak-kanak awal, yaitu :
1. Kebingungan antara kiri dan kanan
2. Kesulitan dalam mengucapkan kalimat yang panjang
3. Kesulitan dalam pengurangan
4. Kesulitan dalam mempelajari tabel
42
5. Kesulitan dalam mengucapkan nama-nama bulan dalam setahun
6. Kebingungan membedakan huruf b dengan d pada hampir sebagian besar anak
7. Kesulitan dalam mengingat angka
8. Memiliki sejarah keluarga dengan kesulitan yang sama

Gambar 1 . Bentuk tulisan penderita disleksia

Prevalensi Disleksia
Estimasi yang berkaitan dengan prevalensi disleksia cukup beragam. Menurut data dari
United States Department of Education (2006) setidaknya 80% siswa yang diidentifikasi
mengalami kesulitan belajar secara primer memiliki kelemahan dalam keterampilan membaca
(Flanagan & Olson, 2011). Data lain menyebutkan bahwa disleksi perkembangan setidaknya
mempengaruhi 5 % dari populasi global (Ramus, 2001 dalam Farrel, 2006).

Etiologi
Penyebab dari disleksia masih menjadi perdebatan antara ahli karena sesuai dengan
definisinya faktor penyebab yang mungkin dapat beragam dalam hubungannya dengan
kesulitan pada literasi.Studi terdahulu mencoba mengkaji pengaruh genetik terhadap
kemunculan gangguan disleksia. Penelitian yang dilakukan oleh Hallgren pada tahun 1950
menemukan bahwa 88 % individu dengan disleksia juga setidaknya memiliki satu orang
keluarga dekat dengan kondisi yang sama. Selain itu penelitian terhadap anak kembar juga
menguatkan hasil temuan diatas dan mengkonfirmasi bahwa terdapat komponen genetik dalam
disleksia (dalam Riddick, 2010). Perkembangan penelitian berikutnya menfokuskan temua
pada gangguan atau masalah pada keterampilan kognitif yang membawahi bahasa dan
membaca. Temuan dari Olson et.al pada tahun 1990, memperjelas hal ini dengan hasil bahwa
keterampilan fonologis untuk memecah kata menjadi huruf dan untuk membaca kata yang
tidak bermakna sangat mungkin di turunkan secara genetik sedangkan pemahaman bahasa

43
tidak. Hal ini menjelaskan bahwa beberapa anak mewarisi kesulitan fonologis khusus yang
dapat memiliki dampak serius pada kemampuannya untuk membaca.

Tinjauan Neuropsikologi tentang Disleksia


Penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan teknologi imaging seperti functional magnetic resonance imaging (fMRI),
positron emission tomography (PET) dan magnetoencephalography (MEG) menunjukkan
bahwa cetakan kata dan kata semu (pseudoword) diproses pada hemisfer kiri bagian posterior
yang memiliki sistema membaca yang terdiri dari komponen ventral dan dorsal. Sirkuit ventral
meliputi area ekstratriat lateral dan area inferior occipito-temporal bagian kiri adalah area yang
teraktivasi ketika diberikan tugas membaca kata atau kata semu (pseudoword). Lebih jauh lagi
sejumlah temua pada studi neuroimaging menemukan bahwa disfungsi pada area ini akan
menyebabkan gangguan pada membaca (dalam Pugh et.al,2000).
Sirkuit temporo-parietal pada Wernicke’s Area juga memiliki implikasi pada membaca.
Sejumlah besar literature terkait dengan ketidakmampuan dalam membaca menjelaskan lesi
neuroanatomik pada angular gyrus, daerah yang dianggap sangat penting dalam membawa
integrasi crossmodal untuk membaca (misalnya pemetaan persepsi visual pada cetakan struktur
fonologis dari bahasa).
Sejumlah penelitian tentang proses membaca menemukan bahwa anak yang mengalami
disleksia atau gangguan membaca menunjukkan kekurangan pada tiga area dari kognisi yang
memiliki peranan penting dalam pemahaman bahasa (Siegel, dalam Nelson & Allison, 2009).
Area tersebut adalah pemprosesan fonologi, kesadaran sintaks dan working memory.
Pemprosesan fonologi adalah operasi decoding yang berkaitan dengan pemetaan huruf ke
fonem dan identifikasi huruf cetak. Kesadaran fonologis merupakan pemahaman
metalinguistic dimana kata yang diucapkan dapat didekomposisi menjadi fonologi primitif,
yang pada gilirannya dapat diwakili oleh karakter abjad. Anak yang mengalami disleksia
menunjukkan gangguan pada satu atau ketiga area ini. Hal menarik lainnya yang ditemukan
adalah bahwa ternyata anak yang mengalami disleksia tidak mengalami masalah dalam proses
semantic dan pemprosesan ortografik.

44
LEXICAL-
SEMANTIC
PROCESSES

ORTHOGRAPHIC PHONOLOGICAL
PROCESESS PHONOLOGICAL PROCESSES
ASSEMBLY

Gambar. 5 Proses komponen dari identifikasi kata dalam membaca (Pugh et.al, 2000)

Proses dalam membaca dapat dibagi dalam dua bagian yaitu : a) pembaca harus
melakukan decoding terhadap kata-kata yang dibacanya menjadi elemen fonologis; b)
pembaca harus memahami kata-kata yang mereka baca dan memaknainya dari kalimat. Dalam
proses ini, jika pembaca tidak dapat melakukan hal yang pertama yang merupakan
keterampilan yang fundamental yaitu decoding, maka ia juga akan mengalami hambatan untuk
mencapai proses yang lebih kompleks yaitu memahami bacaan. Hampir sebagian besar anak
yang mengalami disleksia menunjukkan kelemahan dalam fonologis (Nelson & Allison, 2009).
Fine et.al (2007) melakukan penelitian tentang pengaruh keluarga terhadap
perkembangan gangguan membaca pada 24 keluarga dari anak yang didiagnosa mengalami
gangguan ini. Penelitian ini menemukan bahwa area dan volume dari corpus callosum, bersama
dengan volume dari area midsagital, memberikan kontribusi yang signifikan terkait dengan
kelancaran membaca. Selain itu, segmen tengah dari corpus callosum juga ditemukan
berkorelasi paling tinggi dengan kelancaran membaca oral. Area ini terlibat dalam level
pemprosesan auditori yang akan berdampak pada kemampuan membaca seseorang.
Kesimpulannya dari penelitian ini adalah bahwa heritabilitas dari gangguan membawa terkait
dengan perkembangan dari corpus callosum (Nelson & Allison, 2009).

45
Studi lainnya yang menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI)
menunjukan bahwa anak yang mengalami disleksia mengalami disfungsi pada bagian posterior
dari otak sebelah kiri, jika dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami disleksia. Lebih
khusus lagi, bagian yang ditemukan berbeda adalah temporo-parieto-occipital brain.

Gambar diambil dari acbrown.com

Selain kekurangan pada fonologi dan metafonologi, sejumlah tampilan deficit lain juga
tampak pada anak yang mengalami disleksia yaitu memori verbal jangka pendek dan jangka
panjang, working memory, persepsi visual, persepsi auditori, otomatisasi dan fungsi belajar dan
atensi spasial (dalam Lorusso, Facoetti & Bakker, 2015).

Karakteristik Disleksia
Dalam DSM IV, tidak terdapat sebutan secara khusus dengan nama disleksia, namun
karakteristik disleksia disebutkan dalam gangguan membaca (reading disorders). Terdapat
empat subtipe dari gangguan membaca dalam DSM IV, yaitu :
1. Dysphonetic dyslexia : kesulitan dalam membunyikan kata sesuai dengan kaidah
fonologis.
Karakteristik dari tipe ini adalah ketidakmampuan dalam penggunaan rute fonologis
secara sukses untuk menjembatani huruf dan bunyi. Ada kecenderungan untuk lebih
mempercayai tampilan visual dan ortografis untuk mengenali kata yang tercetak.
Contohnya kata ‘cat” mungkin akan dibaca menjadi couch atau corn. siswa yang
mengalami ini akan memiliki kesulitan yang besar dalam membuat strategi untuk
membuat mereka mampu memecah kata-kata sesuai dengan bunyi hurufnya, sering
46
menjadi pembaca yang tidak akurat, dan cenderung membaca dengan sederhana dengan
mengingat keseluruhan huruf.
2. Surface dyslexia: kesulitan dengan pengenalan cepat dan otomatis kata yang tercetak.
Siswa dengan jenis kesulitan ini siap dengan kemampuan untuk membunyikan kata
namun kekurangan dalam kemampuan mengenali kata-kata yang tercetak secara
otomatis dan tanpa usaha. Kondisi ini membuat siswa yang mengalami gangguan ini
menjadi cenderung pembaca huruf perhuruf dan bunyi perbunyi.
3. Mixed dyslexia : kekurangan membaca ganda yang ditandai oleh kerusakan fonologis
dan keterampilan proses ortografis. Kondisi ini merupakan kondisi paling parah dari
disleksia. Siswa yang mengalami gangguan ini mengalami kesulitan dalam spektrum
bahasa dan ditandai dengan kombinasi dari keterampilan pemprosesan fonologi yang
buruk,keterampilan pengenalan huruf cepat dan otomatis yang lebih lambat, tidak
konsisten dalam pemahaman bahasa, dan pola kesalahan membaca yang aneh.
4. Comprehension dyslexia : sisi mekanisitis dari membaca baik namun kesulitan menetap
pada memahami makna dari tulisan. Pada sub tipe ini siswa memiliki kemampuan
decoding yang baik namun memiliki kesulitan khusus dengan pemahaman membaca.
Anak dengan gangguan ini berusaha keras untuk memahami makna dari yang tertulis
disamping membaca mekanistis yang baik.

Lebih jauh lagi, terdapat sejumlah gejala yang ditunjukkan oleh anak yang mengalami
disleksia sejak usia pra sekolah. Gejala-gejala tersebut antara lain : Berbicara lebih lambat
dibandingkan dengan sebagian besar anak yang lain.
1. Memiliki kesulitan dalam mengucapkan kata-kata
2. Lambat dalam menambahkan kosa kata baru
3. Tidak mampu mengingat kembali kata yang benar
4. Memiliki masalah dengan alfabet, angka, hari dalam seminggu, warna, bentuk,
bagaimana mengeja dan menulis namanya
5. Memiliki masalah dalam berinteraksi dengan teman sebayanya
6. Mungkin tidak mampu untuk mengikuti petunjuk bertahap atau rutin
7. Keterampilan motorik halus yang berkembang lebih lambat
8. Memiliki masalah dalam bercerita atau menceritakan kembali dalam urutan yang
benar
9. Sering mengalami kesulitan dalam membedakan bunyi dalam kata-kata dan
mencampurkan bunyi dalam kata-kata.
47
Selain itu, pada usia sekolah, terdapat sejumlah gejala yang dapat diamati yaitu :
1. Memiliki kesulitan dalam mendekoding kata-kata tunggal
2. Lambat dalam memperlajari hubungan antara huruf dan bunyi.
3. Mengalami kebingungan dengan kata pendek
4. Melakukan kesalahan yang konsisten dalam membaca dan mengeja, seperti huruf
yang terbalik, kata yang terbalik, transposisi dan subtitusi dari kata.
5. Melakukan transposisi urutan angka dan kebingungan pada simbol-simbol
matematika
6. Memiliki masalah dalam mengingat fakta-fakta

Deteksi Dini Disleksia


Seperti yang telah dijelaskan di atas, disleksia sebenarnya sudah bisa diketahui sejak
anak pra sekolah. Namun tentu saja tidak bisa buru-buru menetapkan seorang anak mengalami
disleksia ketika ia mengalami kesulitan membaca pada usia pra sekolah tanpa melakukan
asesmen yang komprehensif. Hal yang perlu menjadi perhatian penting bagi orangtua dan guru
adalah jika kesulitan membaca dialami anak secara terus menerus sampai ia memasuki usia
yang matang untuk bisa membaca.
Lalu apa yang dapat dilakukan oleh guru atau orangtua untuk dapat mendeteksi lebih
dini gangguan disleksia pada anak? Untuk penggalian data /asesmen, perlu melihat satu persatu
area dari kesulitan literasi yang dimiliki oleh anak, sehingga intervensi yang dilakukan sesuai
dengan kesulitan yang dialami.
1. Kesulitan membaca
Kesulitan yang dialami anak dalam membaca dapat terlihat dalam karakteristik berikut
ini :
a. Meragukan kata-kata
b. Kebingungan dalam huruf dengan bentuk yang mirip seperti “u” dan “n”, kata
yang tampilan visualnya mirip seperti “sama” dan “masa”
c. Membuat kesalahan dalam kata yang secara semantik berhubungan, kata-kata
yang polisilabel dan dalam tata bahasa.
Untuk mengidentifikasi kesulitan membaca maka asesmen yang dapat dilakukan
adalah :
a. Membuat profil kesalahan membaca yang dibuat oleh anak, dengan meminta anak
untuk membaca cerita dan kemudian diobservasi kesalahan-kesalahan yang dibuat.
b. Indikasi bagaimana anak membaca
48
c. Indikasi apakah anak cenderung memilih membaca diam atau membaca keras dan
mengetahui apakah salah satunya akan membuat kesalahan lebih sedikit
dibandingkan dengan yang lain.

2. Kesulitan menulis
Anak yang mengalami kesulitan menulis dapat menunjukkan perilaku seperti ini :
a. Menolak untuk menulis
b. Memiliki kesulitan khusus pada menyalin tulisan dari papan tulis dan merasakan
lebih mudah untuk menyalin dari materi di mejanya sendiri
c. Memiliki pola tulisan tangan yang tidak konsisten

Untuk melakukan asesmen pada anak yang kesulitan menulis, dapat dilakukan pemeriksaan
berikut ini :
a. Mengetahui pendekatan anak pada tugas-tugas tertulis (apakah ia menolak atau tidak)
dengan melakukan observasi saat anak diberikan tugas-tugas menulis.
b. Mengetahui apakah menyalin dari papan tulis terlihat lebih sulit. Ini dapat dilihat
dengan mengamati saat anak diberikan tugas menulis.
c. Mengetahui konsistensi pola tulisan tangan dengan membandingkan tulisan-tulisan
tangan yang sudah dibuat oleh anak.
3. Kesulitan mengeja
Pada anak yang mengalami kesulitan dalam mengeja, ia mungkin akan tampak
memiliki kesulitan dalam mengeja kata yang diakhiri dengan akhiran yang mirip seperti
“er”, “or” dan “ar”; membunyikan “s” sama dengan “z”

Selain itu, guru juga dapat melakukan asesmen dengan menggunakan tes membaca
formatif pada anak dengan meminta anak membaca sebuah bacaan dan kemudian menanyakan
beberapa pertanyaan terkait dengan bacaan tersebut. Berdasarkan tes ini guru dapat melihat
kesulitan-kesulitan yang dialami anak terkait dengan membaca, misalnya apakah ada kata atau
huruf yang hilang atau tidak dibaca, apakah anak membaca dengan benar kata-kata yang ada
atau terbalik, dan apakah anak memahami bacaan yang dibacanya.

Penutup
Deteksi dini terhadap gangguan membaca (disleksia) sangat menentukan kesuksesan
akademik dari anak yang mengalami gangguan ini. Semakin dini gangguan ini dapat dideteksi
49
maka penanganan yang cepat pun dapat segera dilakukan. Untuk upaya deteksi, guru dapat
melakukan sejumlah asesmen membaca serta mengamati perilaku anak di sekolah terutama
terkait dengan tugas yang berhubungan dengan membaca. Selain itu, guru juga dapat
melibatkan professional seperti psikolog pendidikan serta dokter anak atau neurology untuk
mengetahui bagian otak anak yang mengalami gangguan serta menentukan rencana
penanganan yang tepat . Keterlibatan orangtua juga menjadi factor yang berperan penting untuk
keberhasilan dalam penanganan anak yang mengalami disleksia.

50
Memahami Diskalkulia

Apa yang kita pelajari pada bab ini?


a. Memahami definisi diskalkulia dan karakteristiknya
b. Memahami metode asesmen yang dapat dilakukan untuk diskalkulia
c. Memahami pendekatan intervensi untuk diskalkulia

Pendahuluan
Banyak anak yang merasa bahwa matematika adalah pelajaran yang sulit, namun ini
bukan berarti mereka mengalami kesulitan belajar. Sulitnya pelajaran matematika lebih
disebabkan oleh karena matematika adalah pelajaran yang rumit yang membutuhkan usaha dan
fokus yang palin utama pada apa yang dipelajari. Matematika merupakan materi yang
kompleks, melibatkan bahasa, bentuk dan kuantitas. Kemampuan-kemampuan kompleks yang
terlibat dalam berhitung /aritmatika diantaranya melibatkan keterampilan berikut ini :
a. Memahami kata-kata angka (satu, dua...sebelas...dua puluh tiga), angka dan hubungan
keduanya.
b. Mampu menggunakan mental aritmatika menggunakan empat operasi dasar dari
aritmatika yaitu penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian.
c. Mampu menggunakan aritmatika multidigit dalam bentuk tertulis menggunakan empat
operasi dasar.
d. Mampu menyelesaikan masalah bagian yang hilang dalam soal matematika
e. Mampu menyelasaikan “masalah kata’ dimana bentuk soal matematika dalam konteks
sebenarnya khususnya dengan menggunakan uang dan kembalian (Butterworth,2003).

Definisi Diskalkulia
Istilah untuk kesulitan yang berkaitan dengan matematika cukup banyak digunakan
misalnya istilah diskalkulia perkembangan, kesulitan matematika, kesulitan belajar
matematika, gangguan dalam fakta angka dan gangguan psikologis dalam matematika (dalam
Butterworth,2003). Walaupun terdapat berbagai macam istilah, namun tetap merujuk pada
gangguan yang sama yang menjelaskan kondisi diskalkulia.
Edisi keempat dari The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-
IV) menjelaskan diskalkulia dengan istilah gangguan matematika, dengan kriteria diagnosis
sebagai berikut :
51
Kemampuan matematika, yang diukur dengan tes individual terstandar, secara
substansi berada di bawah kemampuan yang diharapkan pada usia kronologis individu,
inteligensi yang diukur, pendidikan sesuai dengan usia, yang secara signifikan
mempengaruhi prestasi akademik atau aktivitas sehari-hari yang membutuhkan
kemampuan matematika (American Psychiatric Association, 1994, Section 315.1).

Definisi lain diskalkulia dari Department for Education and Skills yaitu kondisi yang
mempengaruhi kemampuan untuk mempelajari keterampilan dalam matematika. Siswa yang
mengalami diskalkulia akan mengalami kesulitan dalam memahami konsep angka sederhana,
kekurangan dalam memahami angka secara intuitif, dan memiliki masalah dengan mempelajari
fakta dan prosedur angka. Walaupun mereka mampu menjawab atau menggunakan metode
yang tepat, mereka juga sangat mekanistis dan tanpa keyakinan diri (DfES, 2001c dalam Farrel,
2006).

Etiologi Diskalkulia
Sebagai salah satu bentuk dari kesulitan belajar spesifik, diskalkulia atau disebut juga
gangguan belajar matematika dalam studi tentang anak kembar dalam keluarga ditentukan oleh
kontribusi dari genetik dan juga lingkungan. Studi yang dilakukan oleh Shalev dan koleganya
(dalam Flanagan dan Alfonso, 2011) menemukan bahwa anggota keluarga (orangtua dan
saudara kandung) dari anak yang mengalami diskalkulia memiliki kemungkinan 10 kali lebih
besar juga didiagnosa mengalami diskalkulia dibandingkan dengan populasi umum. Studi lain
yang dilakukan oleh Kovas et.al pada anak kembar di sekolah dasar menemukan bahwa genetik
yang dibagi antara pasangan kembar dan lingkungan yang unik memberikan kontribusi
terhadap prestasi matematika dan diskalkulia.
Penelitian-penelitian ini menjelaskan bahwa tidak terdapat gen diskalkulia secara khusus,
namun terdapat pengaruh genetik pada diskalkulia yang sama dengan pengaruh prestasi
matematika pada anak yang berada pada tingkat rata-rata ke atas. Pembagian pengaruh genetik
pada prestasi akademik dapat menjelaskan kenapa banyak anak dengan diskalkulia juga
mengalami masalah disleksia atau kesulitan belajar lainnya.
Penyebab dari diskalkulia salah satunya diasumsikan karena adanya fetal alcohol syndrom
yang dialami saat bayi lahir dengan kondiri lobus parietal yang belum berkembang dengan
sempurna. Bagian ini merupakan bagian otak yang penting fungsinya untuk kaitannya dengan
numerikal dan kurang berkembanganya bagian ini berhubungan dengan kesulitan yang dialami
oleh anak berikutnya dengan kognisi matematika dan pemprosesan angka.
52
Prevalensi Diskalkulia
Agak sulit sebenarnya untuk memperkirakan kejadian diskalkulia pada populasi karena
seringnya gangguan ini tidak dapat beridir sendiri atau dipisahkan dengan gangguan yang lain
seperti disleksia dan dispraksia. Namun diperkirakan setidaknya 7 % anak dan remaja
didiagnosa mengalami diskalkulia sebelum mereka menyelesaikan sekolah menengah atas.

Karakteristik Diskalkulia
Anak yang mengalami diskalkulia akan menunjukkan karakteristik seperti :
a. kesulitan dalam menyelesaikan kalkulasi sederhana seperti penambahan
b. mengalami masalah dalam mengetahui bagaimana merespon informasi matematika
c. mengganti satu angka dengan angka yang lain (misalnya angka 6 dan 9)
d. angka yang terbalik-balik (misalnya angka 2 dan 5)
e. salah meletakkan simbol, misalnya saat menggunakan angka desimal
f. menulis, menamai dan membaca simbol matematika dengan salah.

Gambar 5 . Contoh Diskalkulia dalam mengerjakan soal Matematika

Untuk memperluas pemahaman dalam mengidentifikasi dan membedakan berbagai tipe


dari diskalkulia, berikut ini dijelaskan beberapa tipe dari diskalkulia yaitu (dalam Farrel, 2006)
:
a. Spatial dyscalculia, berkaitan dengan kesulitan dalam asesmen visuo-spasial dan
organisasi.

53
b. Anarithmetria, melibatkan kebingungan dengan prosedur aritmatika, misalnya
menggabungkan operasi tertulis seperti penambahan, pembagian dan perkalian.
c. Lexical dyscalculia (alexia), khusus pada kebingungan dengan bahasa dalam
matematika dan hubungannya dengan simbol (misalnya : membagi, mengambil, minus
dan tanda (-))
d. Graphic dyscalculia (agraphia) yaitu masalah dalam menulis simbol dan digit yang
dibutuhkan untuk penghitungan.
e. Practographic dycalculia, khusus pada gangguan dalam kemampuan untuk
memanipulasi objek kongrit atau objek yang diilustrasikan dengan grafik. Anak
mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan secara praktis pengetahuan dan prosedur
matematika. Anak juga tidak mampu mengatur objek dalam urutan ukuran,
membandingkan dua aitem menurut ukuran, atau bentuk saat dua aitem identik dalam
ukuran dan berat (Senzer, dalam Farrel, 2006).

Beberapa literatur menyebutkan bahwa tipe-tipe dari diskalulia ini dapat saja muncul
berkaitan dengan disleksia atau dispraksia, misalnya spatial dyscalculia dapat berhubungan
dengan dispraksia, atau lexical dan graphic dycalculia dapat berhubungan dengan disleksia
(Farrel, 2006).

Asesmen untuk mendiagnosa diskalkulia


Untuk melakukan penggalian data tentang diskalkulia, guru sendiri harus memiliki
pemahaman yang baik tentang karakteristik diskalkulia. Serangkaian tes prestasi terstandar
dapat dilakukan oleh guru untuk mendeteksi kesulitan yang dialami oleh siswa. Selain itu,
guru harus benar-benar dengan jelas membedakan antara diskalkulia dengan gangguan lain
yang mungkin juga menyertai diskalkulia seperti disleksia dan dispraksia.
Tujuan utama dari asesmen adalah lebih ke arah untuk menyusun program
pembelajaran yang sesuai dari pada hanya fokus pada diagnosa. Intervensi yang dilakukan
harus berdasarkan pada asesmen diagnostik yang detail tentang kekuatan dan kelemahan
dengan aktivitas yang menjadi target hal tersebut.
Asesmen yang dilakukan pada anak yang mengalami diskalkulia ditujukan untuk
mengetahui area kesulitan yang dialami misalnya :
1. Screening awal untuk kesulitan dengan jumlah
2. Asesmen terstandar untuk kemampuan matematika

54
3. Asesmen untuk kemampuan kognisi verbal dan non verbal, memori jangka pendek dan
kecepatan pemprosesan
4. Sejarah pribadi terutama yang berhubungan dengam matematika, termasuk didalamnya
bagaimana anak mengataso situasi sehari-hari dimana angka dan matematika
digunakan.

Selain itu sebagaimana performansi aktual anak di nilai, maka asesmen juga termasuk
mengevaluasi aspek emosional dan motivasional dari anak yang didalamnya termasuk :
1. Kepercayaan diri anak dan motivasinya sebagai pembelajar
2. Level kecemasan yang dialami terkait dengan matematika
3. Memperluas ke arah dimana anak meras mampu untuk mengambil resiko dengan
belajarnya
4. Bagaimana anak merespons ketika mereka melakukan kesalahan
5. Bagaimana anak merespons pujian.
.
Hal-hal yang dibutuhkan di atas dapat digali dengan menggunakan :
1. Observasi di kelas
Mengamati anak dalam konteksi yang menyediakan informasi yang berguna tentang
kemampuan mendengarkan, motivasi, keterampilan belajar mandiri dan keterampilan
sosial.
2. Wawancara
Wawancara dapat dilakukan pada orangtua atau pengasuhnya. Melibatkan orangtua
atau pengasuh adalah bagian yang penting dari asemen. Informasi yang detail dan unik
yang didapatkan dari mereka dapat memberikan kita pemahaman yang lebih holistik
tentang anak.
3. Data-data dari sekolah
Asesmen ditujukan untuk merancang intervensi dan evaluasinya sehingga data yang
terkait dengan pekerjaan anak di sekolah, laporan hasil belajar dan catatan-catatan
prestasi lainnya diperlukan. Hal yang penting juga digali adalah faktor yang
berkontribusi terhadap kesulitan yang dialami anak seperti akses terhadap kesempatan
belajar, adanya kemungkinan gangguan pendengaran dan visual, kehadiran yang jarang,
perpindahan sekolah dan gangguan emosi atau motorik.

55
Intervensi untuk mengatasi diskalkulia
Pengembangan keterampilan yang terkait dengan hitungan aritmatika yang dapat
dilakukan oleh guru dapat dimulai sejak awal. Tujuan pembelajaran dini yang memberikan
kesempatan bagi anak untuk mengalami pelajaran matematika meliputi :
a. Menghitung dan menggunakan angka setidaknya pada sepuluh konteksi yang
familiar
b. Mengenali angka 1 sampai 9
c. Berbicara tentang dan membuat pola sederhana
d. Memulai memahami penambahan sebagai perpaduan dua kelompok objek dan
pengurangan sebagai pengambilan.
e. Menjelaskan bentuk dan ukuran dari bentuk padat dan tipis
f. Menggunakan kalimat sehari-hari untuk menjelaskan posisi
g. Menggunakan ide matematika dini untuk memecahkan masalah praktis.

Pengajaran yang tepat merupakan cara yang dapat dijadikan sebagai intervensi untuk
membantu anak yang mengalami diskalkulia.

56
Memahami Dispraksia

Apa yang kita pelajari pada bab ini?


a. Mengenali karakteristik dispraksia
b. Mengetahui metode asesmen untuk mendiagnosa dispraksia
c. Memahami pendekatan intervensi untuk membantu anak yang mengalami dispraksia

Pendahuluan

Berkaitan dengan perkembangan fisiknya, anak usia sekolah akan mengembangkan


keterampilan motorik halus dan motorik kasarnya dalam berbagai aktivitas yang dilakukannya.
Keterampilan motorik halus melibatkan aktivitas/gerakan yang diatur secara halus seperti
menggenggam mainan, mengancingkan baju, atau aktivitas lainnya yang memerlukan
keterampilan tangan. Keterampilan motorik kasar melibatkan keterampilan yang meliputi
aktivitas otot besar seperti menggerakan lengan, berjalan, berguling dan aktivitas lainnya
(Santrock, 2007).
Sejumlah anak pada usia sekolah, menunjukkan beberapa kesulitan yang berkaitan
dengan motoriknya, seperti kesulitan untuk memasang tali sepatu, menaiki sepeda,dan menulis
namanya dengan benar. Kesulitan dalam hal motorik ini kemudian dikenal dengan istilah
dispraksia. Dalam literatur yang berkaitan dengan integrasi sensori, istilah dispraksia
perkembangan biasanya digunakan untuk menjelaskan anak yang mengalami kesulitan dalam
belajar gerakan-gerakan baru, menggeralisasi gerakan yang sudah dipelajari ke tugas-tugas
yang lain, atau mengorganisasi dan mengkoordinasikan gerakan untuk melengkapi tugas
tertentu (Polatajko & Cantin, 2006).

Pengertian Dispraksia
Istilah dispraksia berasal dari bahasa Yunani yang berarti kesulitan (dys) melakukan
atau bergerak (praxia). Melakukan tidak sesederhana sebuah perilaku yang terjadi secara
reflektif, namun membutuhkan kesadaran pikiran dalam mengatur dan mengarahkan perilaku
yang bermakna. Pengertian dispraksia lainnya diungkapkan oleh The Dyspraxia Foundation
sebagai gangguan atau ketidakmatangan dalam organisasi gerakan. Nama lainnya yang
digunakan untuk menjelaskan dispraksia adalah clumsy child syndrome, disfungsi perseptual
motor, disfungsi otak minimal, dan gangguan koordinasi perkembangan (developmental co-
ordination disorder) (Lee & Smith, 1998).
57
Penyebab Dispraksia
Secara spesifik, penyebab pasti dari dispraksia tidak diketahui. Ada yang berasumsi
bahwa pada sebagaian anak, sel syaraf pada serebral korteks memiliki interkoneksi yang
diperkuat lebih sedikit dibandingkan dengan anak normal (Portwood,1999 dalam Farrel, 2006).
Jika neuron di otak tidak membentuk koneksi yang adekuat, maka akan membuat kemampuan
otak untuk memproses informasi menjadi lebih lambat. Hal ini kemudian berefek pada
kemampuan anak untuk mengintegrasikan informasi sensoriknya dari sensasi yang berbeda,
yang kemudian perkembangan skema tubuh untuk perencanakan gerakan akan terganggu.
Salah satu faktor yang mungkin menjadi penyebab adalah pada fase perinatal atau proses
kelahiran ( Padsman et.al, 1998 dalam Farrel, 2006).
Gubbay pada tahun 1978 (dalam Miyahara & Mobs,1995) mencoba menjelaskan
penyebab dari dispraksia dalam temuannya bahwa terdapat insiden yang tinggi (51 %)
abnormalitas perinatal pada 39 anak yang mengalami DCD/dispraksia. Temuan lain yang
menguatkan penelitian Gubbay, dilakukan oleh Johnson et.al tahun 1987, yang menemukan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam komplikasi perinatal, berat badan lahir dan
usia kelahiran antara anak dengan dispraksia dan norma lokal. Penelitian-penelitian lain juga
memunculkan spekulasi tentang penyebab dispraksia karena adanya kerusakan otak minimal.
Untuk mendeskripsikan kekakuan motorik pada anak dispraksia, Barnet et. al (dalam Boon,
2001) mengatakan bahwa bukti media menyebutkan bahwa gangguan dalam menerima dan
mengirimkan pesan ke dan dari otak menghasilkan kekurangan dalam koordinasi dari gerakan
mata dan tubuh, dan terkadang dapat menyebabkan gangguan bicara. Faktor penyebab lain
yang dijelaskan adalah tentang metabolisme dari asam lemak yang memiliki peran dalam
gangguan perkembangan neurologis termasuk didalamnya adalah dispraksia.

Karakteristik Dispraksia
Dalam DSM-IV, dispraksia termasuk dalam subtipe dari Developmental Coordination
Disorders (DCD). Adapun kriteria diagnostik DCD dalam DSM-IV antara laian :
A. Performansi dalam aktivitas sehari-hari yang melibatkan koordinasi motorik secara
substansial dibawah kemampuan yang diharapkan sesuai dengan usia kronologis
dan pengukuran inteligensinya. Kondisi ini akan termanifestasi dengan
keterlambatan dalam mencapai gerakan motorik (misalnya berjalan, merayap,
duduk), menjatuhkan benda-benda, kekakuan, performansi yang buruk dalam
olahraga dan tulisan tangan yang buruk.
58
B. Gangguan pada kriteria A secara signifikan mempengaruhi prestasi akademik dan
dalam aktivitas sehari-hari.
C. Gangguan ini tidak disebabkan oleh kondisi medis umum (misalnya serebral palsy,
hemiplegia, atau distropi muskular) dan tidak termasuk kriteria dari gangguan
perkembangan pervasif.
D. Jika disertai dengan retardasi, gangguan motorik berlebihan biasanya berhubungan
dengan hal tersebut.

Untuk fokus secara khusus pada dispraksia, definisi yang ada cenderung untuk
menekankan pada organisasi dari koordinasi motorik yang terganggu, sehingga dispraksia
dapat dijelaskan dengan kondisi berikut ini :
a. Adanya gangguan atau ketidakmatangan pada organisasi gerakan
b. Organisasi pikiran dan persepsi yang terganggu
c. Terkadang organisasi bahasa juga terganggu
d. Kesulitan tidak dimiliki oleh kesulitan belajar secara umum, namun spesifik dengan
sebagian besar orang yang mengalami dispraksia memiliki inteligensi rata-rata.
e. Tidak terdapat tanda-tanda medis yang berkaitan dengan neurologis.

Tabel . Contoh Kesulitan Motorik yang dialami anak yang mengalami DCD (Polatajko &
Cantin, 2006)
Di rumah Berpakaian, mengenakan kaus kaki,memasang
risteling,memasang sepatu, mengikat tali sepatu,
menggunakan peralatan mandi, mencuci rambut

Di sekolah Lambat dan/atau gambar/tulisan yang berantakan


Menggunakan gunting, menempel dengan lem
Keterampilan menggambar
Memegang pensil
Penampilan pada kelas olahraga
Laporan anak jatuh dari kursi atau menimpa benda-
benda

Saat Bermain Gaya berjalan yang aneh


Kesulitan dalam keseimbangan
Memanjat pada struktur permainan
Mengendarai sepeda
Berselancar
Melompat
berolahraga
melempar/menangkap/menendang bola

59
Anak-anak yang mengalami dispraksia akan mengalami kesulitan dalam merespons dan
berprilaku pada waktu yang tepat sesuai dengan instruksi yang disampaikan, saat melihat
sebuah tugas didemonstrasikan atau saat menginterpretasikan stimulus sensorik (Dixon and
Addy, 2004 dalam Farrel, 2006). Anak mengetahui bagaimana melakukan sebuah aktivitas
namun mengalami kesulitan mengorganisasi gerakannya untuk melengkapinya.

Asesmen untuk Dispraksia


Idealnya, penggalian data untuk dispraksi dilakukan secara integratif oleh beberapa
profesi seperti fisioterapis, terapi bicara dan bahasa dan psikolog pendidikan. Terdapat
beberapa tes terstandar yang dapat digunakan untuk asesmen dispraksia seperti The Movement
ABC Theory for Children yang digunakan untuk anak usia 4 sampai 12 tahun dan The
Developmental Coordination Disorder Questionaire yang merupakan laporan persepsi
orangtua terhadap kemampuan anaknya. Namun dalam beberapa laporan, tes ini masih belum
secara konsisten dapat mengidentifikasi gangguan dispraksia pada anak sehingga metode
observasi dan wawancara dianggap menjadi penting untuk dilakukan.

Intervensi untuk mengatasi Dispraksia


Dispraksia mungkin tidak sepenuhnya dapat disembuhkan, namun seiring perjalanan waktu,
anak dapat mengalami perubahan dan peningkatan kemampuan. Semakin dini gangguan ini
terdeteksi maka akan semakin baik/cepat teratasi.
Berikut ini intervensi yang dapat dilakukan pada anak yang mengalami dispraksia oleh
beberapa profesional yaitu :
1. Terapi okupasi
Terapis dalam hal ini akan mengobservasi bagaimana anak berfungsi dalam
kesehariannya di rumah dan di sekolah. Selanjutnya terapis akan membantu anak
untuk mengembangkan keterampilan khusus pada aktivitas yang mengalami masalah.
2. Terapi bicara dan bahasa
Terapis bicara dan bahasa akan membantu anak untuk berkomunikasi dengan efektif,
sesuai dengan asesmen yang dilakukan sebelumnya.

60
3. Latihan persepsi motorik
Latihan ini melibatkan usaha untuk meningkatkan keterampilan bahasa, visual,
gerakan dan auditori dari anak. Serangkaian tugas yang secara bertahap sampai
dengan tingkat mahir akan disusun dengan tujuan untuk melatih anak agar
kemampuannya meningkat. Namun tugas-tugas ini juga dirancang tidak terlalu berat
agar anak tidak mengalami frustasi atau stress.

61
Memahami Disgrafia

Apa yang kita pelajari pada bab ini?


a. Mengenal karakteristik disgrafia
b. Memahami metode asesmen yang digunakan untuk diagnose disgrafia
c. Memahami pendekatan intervensi untuk membantu mengatasi disgrafia

Pengertian Disgrafia
Definisi dari disgrafia cukup beragam. Disgrafia dijelaskan sebagai gangguan neurologis
yang ditandai dengan kesulitan menulis (NINDS,2009). Pengertian yang lain menjelaskan
bahwa disgrafia merupakan tipe dari gangguan motorik yang terlihat pada kualitas tulisan yang
buruk ( dalam Flanagan & Alfonso, 2011). Miceli & Capaso (dalam Flanagan & Alfonso, 2011)
menjelaskan disgrafia berhubungan dengan ketidakmampuan untuk mengeja kata yang
dikenali. Selain itu, disgrafia juga dianggap tidak sebagai gangguan yang tunggal dan individu
dapat menunjukkan fungsi yang buruk dalam beberapa atau semua segi performansi menulis
yang berbeda-beda (Wiznitzer & Scheffel, dalam Flanagan & Alfonso, 2011).
Dalam DSM IV-TR, disgrafia disebut sebagai salah satu subtipe dari gangguan pada
ekspresi tulisan dengan kriteria diagnostik sebagai berikut :
a. Keterampilan menulis secara substansial berada dibawah usia kronologis yang
diharapkan, inteligensi dan pendidikan sesuai usianya.
b. Gangguan ini mempengaruhi prestasi akademik atau aktivitas di kehidupan sehari-hari
yang membutuhkan tulisan/menulis.
Gambar. Bentuk Tulisan dari anak yang mengalami Disgrafia

62
Etiologi Disgrafia
Penyebab dari gangguan menulis /disgrafia dijelaskan dengan berbagai macam faktor
diantaranya adalah kondisi medis, neurobiologis, neuropsikologis dan juga faktor lingkungan.
Dari sisi medis, terpapar racun karbon monoksida dan sindrom alkohol pada janin dianggap
memiliki hubungan dengan gangguan menulis (Bernstein, 2008 dalam Flanagan & Alfonso,
2011). Selain itu, trauma yang dialami pada bagian lobus parietal dari otak juga menjadi faktor
medis yang menyebabkan gangguan menulis. Berkaitan dengan sisi genetik, penelitian yang
dilakukan pada keluarga dan anak kembar menunjukkan bahwa terdapat komponen genetik
yang terlibat dalam gangguan ini. Dari sisi neuropsikologis, anak yang mengalami gangguan
menulis, disebabkan oleh kesulitan pada keterampilan motorik halus, kemampuan visual
spasial perhatian, ingatan atau keterampilan sekuensial.
Terkadang, gangguan menulis/disgrafia pada anak belum dapat terdeteksi sampai
dengan si anak menginjak kelas satu di sekolah dasar, karena pada kelas berikutnya penekanan
dari belajar banyak pada perkembangan membaca dan menulis. Ketika tuntutan dari
pembelajaran di kelas sudah mencakup pada kemampuan membaca dan menulis, maka dari
sini lah kemudian anak yang mengalami gangguan menulis/disgrafia mulai terlihat.

Prevalensi Disgrafia
Insiden disgrafia tidak dapat dipisahkan dari kesulitan belajar lainnya seperti gangguan
membaca karena ia dapat menjadi kesulitan yang menyertai. Pada populasi anak usia sekolah
di Amerika didapatkan estimasi 5-6 % anak mengalami disgrafia, dan masalah yang terkait

63
dengan ekspresi tulisan terjadi dalam 2-8 % di usia sekolah dengan kemungkinan terjadi lebih
besar pada anak laki-laki jika dibandingkan dengan anak perempuan.

Asesmen Disgrafia
Tidak terdapat tes khusus yang digunakan untuk mendeteksi disgrafia, namun
profesional psikolog sekolah dapat melakukan serangkaian asesmen untuk anak yang dicurigai
mengalami disgrafia. Beberapa alat tes yang dapat digunakan untuk mendeteksi disgrafia
antara lain :
1. Skor Indeks kecepatan pemprosesan pada WISC
2. Tes Perkembangan Visual Motor Integration (VMI)
Tes VMI adalah tes untuk mengetahui persepsi visual anak terkait dengan bagaimana
interpretasi otak anak terhadap apa yang dilihatnya. Tes ini dapat digunakan pada anak
usia 3-18 tahun.
3. Tes Bender Gestalt

Intervensi untuk Mengatasi Disgrafia


Anak yang mengalami gangguan dalam tulisan tangan akan mendapatkan keuntungan
dari aktivitas-aktivitas yang mendukung belajar dari bentuk huruf-huruf, misalnya :
1. Bermain dengan clay untuk meguatkan otot tangan
2. Tetap berada dalam garis untuk mengembangkan kontrol motorik
3. Menghubungkan titik-titik atau garis-garis untuk membuat bentuk huruf yang lengkap.
4. Mengikuti jejak huruf dengan indeks jari atau ujung penghapus di pensil
5. Meniru bentuk huruf yang dicontohkan oleh guru
6. Menyalin huruf dari contoh
Setelah itu, sekali anak dapat belajar bentuk dari huruf-huruf dengan benar, kelebihan
mereka dari belajar yang membantu mereka mengembangkan penulisan huruf secara otomatis,
menggunakan langkah langkah praktis setiap 26 huruf dari alfabet dengan urutan yang berbeda
setiap harinya :
1. Mempelajari petunjuk angka yang menyediakan bentuk huruf yang konsisten
2. Menutupi angka dengan kertas dan membayangkan huruf dalam pikiran
3. Menulis huruf dari ingatan setelah interval waktu tertentu yang kemudian akan
ditingkatkan terus selama pelajaran menulis.
4. Menulis huruf dengan didikte.

64
Selain itu guru disekolah juga dapat membantu anak yang mengalami disgrafia dengan
akomodasi, modifikasi dan teknik berikut ini :
1. Bersabar dan bersikap positif saat latihan menulis
2. Mendorong anak untuk menggunakan alat tulis dengan benar dan juga postur tubuh
yang benar
3. Menggunakan ujian oral dan memberikan kesempatan bagi anak untuk didiktekan
tugas-tugasnya
4. Menghindari kritik terhadap kejorokan atau perilaku yang kurang tepat
5. Menggunakan kertas tulis yang memiliki garis
6. Mendorong siswa untuk menggunakan latihan tangan saat ia kelelahan
7. Meminta siswa untuk mengerjakan aktivitas menulis dalam langkah-langkah kecil.

65
Gangguan Autisme pada Anak

A. Pengantar
Autism menjadi salah satu gangguan perkembangan yang banyak dikaji saat ini.
Penelitian yang dilakukan di Amerika pada tahun 2008 menunjukkan bahwa perbandingan
autism pada anak umur 8 tahun yang terdiagnosa dengan autism adalah 1: 80. Penelitian yang
dilakukan di Hongkong pada tahun yang sama melaporkan tingkat kejadian di Asia mencapai
1,68 per 1000 untuk anak usia dibawah 15 tahun. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik,
diperkirakan terdapat 2,4 juta orang penderita autism di Indonesia dengan data pada tahun
2010. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia pada saat itu, rasio yang
didapatkan adalah satu orang autis pada setiap 100 orang bayi yang lahir (sumber :
republika.co.id).
Pembahasan tentang autism menjadi penting karena gejala autis sebenarnya dapat
dideteksi sejak dini sebelum anak berusia 3 tahun. Pengetahuan tentang gejala dan karakteristik
autism akan sangat membantu dalam deteksi dini dari gangguan ini. Belum ditemukan bukti
bahwa intervensi yang dilakukan pada penderita autism dapat memberikan kesembuhan,
namun deteksi dini dan intervensi dini akan sangat membantu untuk meningkatkan kualitas
hidup dari penderita autis.
Autisme sendiri termasuk pada gangguan perkembangan pervasif, yang didalamnya
juga termasuk gangguan Asperger dan Gangguan Rett’s. Namun Asperger memiliki beberapa
kesamaan dan perbedaan gejala dengan Autisme sehingga dianggap termasuk dalam masih
berada pada spectrum dari autism. Artikel ini akan menjelaskan tentang defisini autism, gejala
dan kriteria diagnostic, etiologi dari gangguan autism, tinjauan neuropsikologi terkait dengan
penyebab autism serta asesmen yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnose autism.

B. Definisi
Autism adalah gangguan perkembangan pervasif yang ditandai dengan tiga tampilan
gejala utama yaitu : gangguan pada interaksi social, aktivitas dan minat yang terbatas dan
gangguan komunikasi. Autism pertama kali di dokumentasikan oleh Leo Kanner pada tahun
1943, pada saat ia mendeskripsikan adanya karakteristik yang tidak sesuai dan tidak biasa pada
sejumlah kasus yang ia tangani. Anak pada kasus dari Kaner ini terlihat tidak komunikatif, dan
terlihat terlibat pada aktivitas yang tidak produktif dan tidak berguna, termasuk obsesif pada
kesamaan. Selanjutnya sejumlah label diagnosis diberikan pada tampilan gangguan ini seperti
autism infantile, psikosis dan skizofrenia anak.
66
Autisme kemudian dimasukkan pada kategori gangguan di DSM IV dan ICD 10, dan
kemudian disusul dengan sindrom Asperger. Anak yang mengalami autism dan Asperger
memiliki beberapa kemiripan yaitu pada gangguan social yang bersifat kualitatif dan aktivitas
atau minat yang terbatas, namun pada Asperger tidak ditemukan adanya keterlambatan dalam
bahasa yang signifikan (Wilmshurt, 2005).

C. Etiologi
Etiologi autism cukup kompleks dan melibatkan multifaktor baik kaitannya dengan
predisposisi genetic dan factor lingkungan. Secara khusus, belum dapat dipastikan penyebab
utama dari autisme. Hanya saja autisme ini termasuk pada golongan gangguan perkembangan
neurologis. Berikut ini akan dikaji etiologi dari autism dilihat dari awal perkembangan, factor
genetic dan hereditas serta factor fisiologis.
a. Masalah pada Awal Perkembangan
Anak dengan autism mengalami masalah kesehatan yang lebih banyak selama
kehamilan, kelahiran dan setelah lahir dibandingkan dengan anak lainnya. Sejumlah masalah
seperti berat badan lahir yang rendah, premature, pendarahan selama kehamilan, keracunan
dalam darah (toxemia), infeksi virus, ditemukan pada sedikit persentase dari anak autism
(dalam Mash & Wolfe,2010). Namun masalah ini tidak disebutkan sebagai penyebab utama
dari autism, hanya saja pre natal, dan neo natal menjadi perhatian terkait dengan autism.
Terdapat pendapat lain yang cukup kontroversi yaitu menghubungkan antara autism
dengan pemberian vaksinasi pada anak terutama vaksin untuk campak, gondok dan rubella.
Namun pendapat ini juga tidak disertai dengan dukungan empiric yang cukup kuat.

b. Faktor Genetik dan Hereditas


Factor genetic dan hereditas dianggap memiliki peran yang penting dalam menjelaskan
sebab dari gangguan autism. Sejumlah bukti penelitian membuktikan bahwa keterlibatan gen
berperan dalam penurunan gangguan autism.
Penelitian yang dilakukan pada kembar monozigot dan dizigot menunjukkan bahwa
terdapat efek genetic yang sangat jelas, dengan estimasi dari proporsi resiko terkait dengan
factor genetis berkisar sampai dengan 90 %. Dalam model poligenik, resiko adalah hasil dari
interaksi dari sejumlah gen yang berbeda. Hasil penelitian yang ada menunjukan bahwa
autisme berhubungan dengan gangguan yang diturunkan secara genetic termasuk didalamnya
dalam sindrom fragile X dan tuberous sclerosis (dalam Parritz & Troy, 2014). Fragile X
sindrom adalah kondisi genetic yang menyebabkan sejumlah masalah perkembangan termasuk
67
didalamnya adalah kesukaran belajar dan gangguan kognitif. Tuberous sclerosis atau juga
disebut tuberous sclerosis complex (TSC) merupakan penyakit multi system dari gen yang
menyebabkan tumor berkembang di otak dan organ vital lainnya seperti ginjal, hati, mata, paru-
paru dan kulit. Hal ini kemudian akan berefek pada system syaraf pusat yang kemudian
menyebabkan kejang, keterlambatan perkembangan, masalah perilaku, abnormalitas kulit dan
gangguan ginjal.
Penelitian terkait dengan molekul gen menunjukkan bahwa terdapat area tertentu pada
sejumlah kromosom yang berbeda sebagai lokasi gen yang memiliki kerentanan untuk autism.
Gen yang rentan ini berimplikasi menjadi penyebab dari munculnya autism namun tidak secara
langsung. Namun tetap saja disebutkan bahwa autism dapat muncul dari interaksi dari sejumlah
factor genetic yang juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan.

c. Faktor fisiologis
Factor fisiologis berkaitan dengan struktur dan fungsi dari otak, dan kimiawi otak.
Bagian dari otak yang sering diidentifikasi dalam penelitian –penelitian autism adalah lobus
frontalis, amigdala dan cerebellum.
Terdapat beberapa hal yang dikaji terkait dengan fisiologis dari autism yaitu mirror
neuron system dan disregulasi perkembangan. Mirror neuron system berada pada system
motor korteks dan merespons pengamatan dari perilaku motoric orang lain. Deficit pada
kognisi social yang terjadi pada anak autis dijelaskan melalui disfungsi pada bagian mirror
neuron system ini yang menjadi komponen utama dari gangguan. Menurut Bernier & Dawson,
(dalam Parritz & Troy, 2014), disfungsi yang dialami ini menghalangi individu dengan autism
untuk mendapatkan pengalaman langsung dari orang lain melalui internal representasinya.
Hambatan social termasuk didalamnya adalah melakukan imitasi, berempati dianggap sebagai
penyebab dari kekurangan dalam pemahaman pengalaman secara langsung terhadap orang lain
dalam kehidupan social.
Hasil studi dengan menggunakan brain imaging menunjukkan bahwa terdapat
abnormalitas pada structural dan fungsi dari perkembangan otak atau secara konsisten lesi pada
otak berhubungan dengan gejala-gejala autism (dalam Mash & Wolfe,2010). Terdapat
abnormalitas pada frontal korteks, dan abnormalitas pada cerebellum dan lobus medial
temporal serta struktur system limbic secara konsisten ditemukan pada anak dengan gangguan
autism.
Cerebellum merupakan bagian otak yang cukup luas yang dekat dengan batang otak,
dan sering berkaitan dengan gerakan motoric. Selain itu, cerebellum juga terlibat dalam bahasa,
68
belajar, emosi, berpikir dan perhatian. Pada anak autis, ditemukan bahwa area tertentu pada
cerebellum secara signifikan lebih kecil dibandingkan dengan anak normal. Hal ini kemudian
dianggap sebagai penyebab masalah atensi yang mudah terpecah pada anak autism.
Abnormalitas pada lokasi di otak lainnya yang ditemukan adalah pada lobus temporal
dan koneksi struktur system limbic seperti amigdala dan hipkampus. Area ini pada otak
berhubungan dengan fungsi yang sering mengalami gangguan pada anak autis yaitu regulasi
emosi, belajar, dan memori. Amigdala memiliki peran penting dalam mengenali stimulus
emosi yang signifikan, yang tujuannya adalah pada stimulus social, dalam persepsi arah mata,
dengan hipokampus pada memori jangka panjang. Walaupun tidak terjadi pada semua kasus
autism, namun abnormalitas pada struktur dan fungsi pada amigdala menjadi penyebab dari
masalah yang dialami oleh anak autis.
Studi tentang metabolisme otak pada individu dengan autisme menunjukkan penurunan
pada aliran darah di lobus frontalis dan temporal. Penelitian juga menemukan bahwa penurunan
pada koneksi fungsional antara korteks dan subkorteks seperti yang terlihat pada penurunan
aliran darah otak pada wilayah frontal pada anak usia pra sekolah yang mengalami autism
(dalam Mash & Wolfe,2010).

D. Gejala dan Karakteristik


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Autisme dan Asperger memiliki beberapa
karakteristik yang sama, namun juga terdapat perbedaan. Karakteristik utama dari autism
terlihat pada dua domain yaitu deficit pada komunikasi dan social dan perilaku repetitive dan
minat yang terfiksasi.
Lebih lanjut, kriteria diagnostik untuk gangguan autisme menurut DSM-IV TR yaitu :
A. Total dari enam (atau lebih) aitem dari (1),(2), dan (3) dengan setidaknya dua dari (1) dan
satu utuk setiap poin (2) dan (3) :
1). Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang terlihat setidaknya dalam dua hal berikut
ini :
a. Gangguan yang ditandai dengan penggunaan sejumlah perilaku non verbal seperti
gerakan mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan gerak tubuh untuk melakukan interaksi
sosial
b. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan sebaya yang tepat sesuai dengan tahap
perkembangan.

69
c. Kekurangan dalam membagi secara spontan kesenangan, minat atau prestasi dengan
orang lain (misalnya kekurangan dalam memperlihatkan, membawakan, atau
menunjukkan objek minat)
d. Kekurangan dalam membangun hubungan sosial dan emosional yang timbal balik
2) Gangguan kualitatif dalam komunikasi yang terlihat setidaknya pada satu aitem dibawah ini
:
a. Keterlambatan atau kekurangan total pada perkembangan bahasa lisan ( tidak diikuti
dengan usaha untuk melakukan kompenssasi dengan menggunakan moda komunikasi
alternatif seperti bahasa tubuh (gestures atau mimik wajah)
b. Pada individu dengan kemampuan lisan yang adekuat, ditandai dengan gangguan pada
kemampuan untuk memulai atau menjaga percakapan dengan orang lain
c. Penggunaan bahasa atau bahasa yang idiosinkratik secara stereotip dan berulang-ulang.
d. Kekurangan dalam variasi, permainan yang spontan atau permainan yang imitatif
secara sosial yang sesuai dengan tahap perkembangannya
3) Pola perilaku, minat dan aktivitas yang berulang-ulang/repetitif dan stereotip, yang
termanifestasi setidaknya dalam satu hal dibawah ini :
a. Mencakup ketertarikan pada satu atau lebih pola minat yang stereotip dan terbatas, yang
abnormal dalam intensitas atau fokus.
b. menunjukkan ketidakfleksibelan fokus pada rutinitas atau ritual tertentu.
c. perilaku gerak yang stereotip dan berulang-ulang ( misalnya tangan atau jari
dibengkokkan atau di kepakkan, atau gerakan seluruh tubuh yang kompleks).
d. secara menetap terokupasi pada bagian dari benda tertentu.
4) Keterlambatan atau abnormalitas dalam fungsi dari setidaknya satu dari area berikut ini ,
yang terjadi sebelum usia tiga tahun : 1)Interaksi sosial, 2) bahasa yang digunakan dalam
komunikasi sosial atau 3) permainan simbolik dan imajinatif.
5) Gangguan ini tidak termasuk didalam Gangguan Rett atau gangguan disintegrasi anak.
Dalam kondisi sehari-hari, kita dapat melihat tampilan dari anak autis dalam
komunikasi dan social sebagai berikut :

70
Tabel.1 Gangguan dalam interaksi social dan komunikasi
Gangguan dalam interaksi sosial Gangguan dalam komunikasi
Mudah terpengaruh stimulasi sosial Memiliki keterbatasan dalam
komunikasi atau kecenderungan untuk
berbicara dengan bebas hanya tentang
topik tertentu saja
Menunjukkan penolakan yang ekstrem Menggunakan kosakata yang khas untuk
saat dipaksa atau diminta untuk kelompok sosial seusianya
bersegera
Tidak mau bekerjasama dalam aktivitas Menjelaskan dirinya sendiri sebagai
di kelas “kamu”, atau “dia” ( setelah usia 3
tahun)
Menunjukkan perilaku yang tidak sesuai Mendemonstrasikan bentuk
saat bermain (misalnya agresif atau abnormalitas bahasa lainya (misalnya
menganggu echolalia)
Gagal untuk bermain bersama dengan Membisu dan aneh atau menggunakan
anak-anak lain rima/sajak yang tidak tepat
Terlalu intens atau menarik diri dalam
hubungan dengan orang dewasa
Bereaksi dalam bentuk perilaku yang
ekstrem dalam menghadapi gangguan
terhadap ruang pribadinya

Gangguan autism memang dapat dideteksi sejak awal masa perkembangan, namun
gangguan ini dapat menetap sampai dengan usia dewasa. Orangtua dan guru juga dapat
mengamati tanda-tanda/gejala perkembangan umum yang terlihat pada anak autism sejak awal,
mulai dari pra sekolah. Berikut ini table yang menunjukkan tanda-tanda kemungkinan anak
mengalami autism.

Tabel.2 Tanda-tanda perkembangan umum dari kemungkinan Autisme pada usia pra sekolah
Tanda-tanda
Keterlambatan atau tidak adanya bahasa lisan
Melihat orang lain, tidak menyadari kehadiran orang lain
Tidak responsif terhadap ekpsresi wajah atau perasaan orang lain
Kekurangan dalam permainan pura-pura; sedikit atau tanpa imajinasi
Tidak menunjukkan minat tertentu atau bermain dekat dengan teman sebaya dengan
tujuan tertentu
Ketidakmampuan mengambil peran
Tidak mampu berbagi kesenangan
Gangguan kualitatif dalam komunikasi non verbal

71
Tidak menunjuk objek untuk mengarahkan orang lain untuk melihatknya
Kekurangan dalam monitoring tatapan mata
Kekurangan dalam memulai aktivitas sosial
Perilaku tangan atau jari yang tidak biasa dan berulang-ulang
Reaksi yang tidak biasa atau kekurangan reaksi terhadap stimulus sensori

Tabel.3 Tanda-tanda kemungkinan Autisme pada usia Sekolah


Tanda-tanda
Gangguan komunikasi
Abnormalitas dalam perkembangan bahasa termasuk membisu
Menggunakan ekspresi yang aneh dan tidak tepat
Ekolalia yang menetap
Memanggil diri sendiri dengan sebutan kamu atau dia setelah usia tiga tahun
Menggunakan kosakata yang tidak biasanya untuk ukuran anak seusianya
Keterbatasan dalam bahasa untuk komunikasi dan atau tendensi untuk berbicara
dengan bebas hanya pada topik tertentu
Gangguan sosial
Ketidakmampuan bergabung dalam permainan dengan anak lainnya atau usaha
untuk bergabung dengan cara yang tidak tepat seperti agresif atau disruptif
Mudah terganggu oleh stimulasi sosial
Gagal untuk berhubungan dengan normal dengan orang dewasa
Menunjukkan reaksi yang ekstrem pada invasi ruang pribadi
Gangguan dalam minat, aktivitas dan atau perilaku
Kekurangan dalam bekerjasama salam permainan imajinatif dan kreatif
Kesulitan dalam mengatur diri dalam hubungan dengan ruang yang tidak
terstruktur
Ketidakmampuan untuk mengatasi perubahan dalam situasi yang tidak terstruktur,
walaupun anak yang lain menikmatinya (misalnya dalam acara jalan-jalan
sekolah, guru tidak ada di kelas dll)
Faktor lainnya
Kekurangan keterampilan yang tidak biasa
Berbagai bukti yag lain dari perilaku aneh termasuk respons yang tidak biasa
terhadap stimulus sensori

72
Tabel. 4 Gejala-gejala Autis tambahan yang mungkin tampak pada remaja
Tanda-tanda
Gambaran Umum
Kesulitan yang bertahan lama dalam perilaku sosial, komunikasi dan mengatasi
perubahan, terutama saat terjadi transisi (perpindahan sekolah atau meninggalkan
sekolah)
Diskripansi signifikan antara kemampuan akademik dan inteligensi sosial, sebagian
besar kesulitan dalam situasi sosial yang tidak terstruktur misalnya saat istirahat
sekolah atau kerja
Naif secara sosial, kekurangan akal sehat dan tidak mandiri sebagai teman sebaya
Bahasa, keterampilan non verbal, dan komunikasi sosial
Masalah dalam komunikasi, bahkan dalam penggunaan kosakata dan struktur yang
luas.
Tidak mampu beradaptasi dengan gaya komunikasi dari situasi sosial
Memiiliki keanehan dalam pembicaraan yang tidak termodulasi, pengulangan, dan
penggunaan frase yang stereotip
Pengunaan dan waktu yang tidak biasa dalam interaksi verbal (misalnya kontak
mata, isyarat dan ekspresi wajah)
Masalah Sosial
Kesulitan dalam menjalin dan menjaga hubungan pertemanan, yang biasanya lebih
mudah dilakukan dengan orang dewasa atau anak yang lebih kecil
Dapat terlihat tidak menyadari atau tidak tertarik dengan norma kelompok sebaya,
teralienasi oleh perilaku yang dianggap menabrak aturan tidak tertulis
Mengalami kekurangan dalam kesadaran akan area pribadi, atau menjadi tidak
toleran dengan gangguan pada area pribadinya sendiri
Rigiditas dalam Berpikir dan Perilaku
Preferensi pada minat atau hobi yang sangat khusus dan dangkal atau mungkin
menikmati mengumpulkan , menomori atau membuat daftar
Preferensi yang kuat pada rutinitas yang familiar, melakukan perilaku repetitif
Bermasalah dalam menggunakan imajinasi dalam menulis atau rencana masa depan
Mungkin menunjukkan reaksi yang tidak biasa terhadap stimulus sensori tertentu
seperti bunyi, rasa, bau, sentuhan, ,panas atau dingin.

73
Masalah Perilaku dan Gangguan yang Menyertai (comorbid disorder)
Anak yang mengalami gangguan autism biasanya juga disertai gejala klinis lain diluar
kriteria diagnosis dari autism itu sendiri, seperti retardasi mental; respons sensori yang tidak
biasa; isu medis terkait dengan gangguan tidur dan epilepsi serta sejumlah gejala psikiatri dan
gejala perilaku. Gangguan penyerta (comorbid disorder) dijelaskan sebagai satu atau beberapa
kondisi yang ikut muncul dalam kondisi primer gangguan dari individu (Gabriels & Hill, 2007).
Berikut ini beberapa gangguan yang dapat menyertai gangguan autism, yaitu :
a. Gangguan kognitif
Sejumlah besar populasi dari penderita autism (70-75 %) juga memiliki kriteria
diagnosis yang sesuai dengan retardasi mental pada DSM IV. Gangguan intelektual ini
membuat indvidu yang menderita autism juga mengalami ketidakmampuan dalam
memahami harapan yang kemduian membuat mereka menjadi mudah frustasi dan
temper tantrum atau masalah perilaku lainnya.
b. Respons sensori yang tidak biasa
Pada sejumlah studi yang telah dilakukan didapatkan bahwa individu yang mengalami
autism memiliki abnormalitas daalam respons sensorinya. Gangguan abnormalitas ini
terligat pada input sensori yang berlebihan atau yang kurang responsive seperti halnya
mencari stimualsi sensori tambahan dan melibatkan domain auditori,
visual,vestibular,taktil, dan sensori oral.
c. Masalah medis
Studi yang membandingkan antara anak autis dengan non autis dengan retardasi mental
atau gangguan kesukaran belajar lainnya mengindikasikan bahwa walaupun anak autis
terlihat memiliki waktu tidur yang sama dengan anak yang lain, namun pendamping
anak melaporkan perbedaan signifikan pada kualitas tidurnya. Sejumlah perilaku yang
membuat orangtua bangun pada malam hari disebabkan oleh perilaku tidur anak autis
misalnya berteriak dan berjalan saat tidur, frekuensi yang tinggi pada masalah
mengorok saat tidur dan gigi gemeretak (teeth grinding) (Gabriel & Hill, 2007).
Selain itu, sejumlah 30-45 % dari individu dengan autism juga mendapatkan
diagnose terkait dengan gangguan seizures. Pada populasi autism ini seizures biasanya
muncul pada usia 5 tahun atau pada awal pubertas. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Elia et.al (1995) dan Tuchman et.al (1991) individu dengan autism memiliki resiko
yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan seizures termasuk juga gangguan lain
74
seperti gangguan motoric, kognitif dan bahasa, atau yang memiliki sejarah keluarga
yang mengalami seizures.
Bukti lain dari penelitian yang dilakukan oleh Gilberg & Steffenbur (dalam
Gabriel & Hill,2007) menunjukkan bahwa hiperaktivitas, agresifitas, perilaku merusak
barang-barang, menyakiti diri sendiri dan menjadi semakin buruk selama memasuki
usia pubertas pada anak yang didiagnoda mengalami kombinasi dari autism, seizures
dan metal retardasi sedang sampai dengan berat.
d. Gejala psikiatri
Tidak banyak literatur yang menjelaskan tentang adanya gangguan psikiatri yang
menjadi penyerta pada gangguan autism. Hanya saja jika dibandingkan dengan anak
yang non autis dengan retardasi mental, anak yang autis terlihat lebih tinggi gangguan
psikiatri dan perilaku seperti mood, kecemasan, dan gangguan psikotik. Gangguan
mood ditemukan pada anak dengan autism, baik gangguan depresi maupun ganggu
bipolar dan tingkat keparahan dapat berkisar dari gangguan mood sampai dengan
psikosis. Laporan dari penelitian yang ada menyebutkan bahwa terdapat peningkatan
rata-rata depresi pada individu yang mengalami gangguan autism (dalam Gabriel &
Hill, 2007).
Temuan lain, terkait dengan gangguan kecemasan pada anak yang mengalami autism
diteliti oleh Evans et al (dalam Gabriel & Hill, 2007). Studi ini menemukan bahwa
anak dengan autism memiliki situasi pobia (misalnya di bioskop, mall, ruangan sempit,
elevator,atau kereta bawah tanah) dan ketakutan medis (misalnya mengeluarkan darah
atau membersihkan gigi) yang secara signifikan lebih banyak dibandingkan dengan
kelompok control. Sebagai tambahan, studi yang dilakukan oleh Leyfer et al (2006)
menjelaskan bahwa gangguan penyerta pada anak autis yang diteliti sebanyak 109
orang usia 5-17 tahun, adalah pobia spesifik dan 10 % dari kelompom ini memiliki
pobia pada suara keras.
Gangguan lain yang juga ditemukan pada anak autism adalah gangguan pemusatan
perhatian dan hiperaktivitas (GPPH). Masih terkait dengan penelitian yang dilakukan
Leyfer, menemukan bahwa terdapat variasi 29 % sampai 73 % anak dengan autism
juga menunjukkan gejala gangguan GPPH.

E. Tinjauan Neuropsikologi dari Gangguan Autis


Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian yang dilakukan terkait dengan
struktur dan fungsi dari otak dari pasien autism banyak mengkaji tentang bagian lobus frontalis,
75
amigdala dan cerebellum. Sejumlah ahli neurologi berpendapat bahwa autism terkait dengan
anomali yang terlokalisasi (misalnya pada migrasi neural atau konektivitas) yang memiliki
potensi untuk mengganggu struktur dan fungsi dari otak. Berikut ini akan dijelaskan beberapa
pendapat tentang pathogenesis dari autism dari segi neurobiologi (Watts, 2008) :
a. Konektivitas syaraf
Salah satu teori menjelaskan bahwa perkembangan awal yang berlebihan dari otak dan
konektivitas yang berlebihan menjadi kunci dari pathogenesis. Adanya jumlah neuron
yang berlebihan dapat mendorong terjadinya gangguan pada pola syaraf dengan
interaksi korteks jangka pendek yang over energetic menghambat interaksi jarak
panjang yang berkomunikasi antara bagian otak yang kritis. Adanya anomaly anatomi
syaraf ini memiliki potensi untuk menyebabkan deficit pada fungsi komunikasi dan
social emosional yang diamati pada anak autis (Courchesne dalam Watts, 2008).
b. Migrasi neural
Adanya malformasi pada korteks serebral pada anak autism dapat disebabkan oleh
adanya kerusakan pada migrasi neural ke korteks serebral selama perkembangan enam
bulan pertama. Disgenesis pada bagian korteks terlihat pada pasien autism dengan
gangguan migrasi neural termasuk diantaranya adalah penebalan korteks, kepadatan
neuron yang tinggi, batas grey-white dan ectopic grey yang buruk.
c. Aktivitas neural excitatory-inhibitory
Teori ketidakseimbangan jaringan excitability-inhibitory pada autism juga menjelaskan
pathogenesis pada autism. Sejumlah riset yang ada menunjukan bahwa pengaturan ulang
kromosom melibatkan reseptor kelompok gen GABA berimplikasi pada abnormalitas
pada system syaraf dan fungsinya.
d. Morfologi dendrit
Adanya abnormalitas pada susunan dari sinapsis dan spinal dendrit juga dianggap
sebagai factor yang berkontribusi pada pathogenesis dari autism. Temuan dari Minshew
& Wiliam serta Pickett & London (dalam Watts, 2008) menunjukkan bahwa tampilan
dari otak anak autis menunjukkan peningkatan jumlah pada spinal dendrit yang panjang
dan tipis. Morfologi dendrit yang penting adalah adanya bangunan dari protein yang
memediasi konektivitas antara membran protein dan cytoskeleton. Lebih khusus lagi
gen SHANK3 yang melakukan encoding sinapsis protein yang melibatkan induksi dan
pemeliharaan spinal dendrit tampak hilang pada pasien autism.
e. Sinyal kalsium

76
Pensinyalan kalsium juga berkontribusi pada autism melalui sumber penting dari
activity-dependant calcium influx pada neuron yang mengatur sinapsis korteks
eksitatori. Perubahan sinyal kalsium dapat menjadi factor yang fundamental pada
dorongan disfungsi synaptogenesis. Adanya gangguan pada sinyal kalsium juga
bertanggungjawab terhadap ketidakseimbangan pada jaringan eksitatori-inhibitori.

f. Fungsi eksekutif
Rogers (1998) menjelaskan tentang fungsi eksekutif yang mengalami masalah pada
penderita autism. Fungsi eksekutif (executive function) adalah perilaku yang digunakan
untuk merancang, mengatur, dan melakukan aktivitas yang kompleks, berorientasi pada
masa yang akan datang dan memiliki tujuan. Keterampilan fungsi eksekutif melibatkan
kemampuan untuk menetapkan tujuan, menggerakkan perilaku untuk mencapai tujuan,
memonitor kemajuan dari tujuan dan menjaga tujuan dan rencana aktif di working
memory sampai dengan penyelesaian.
Individu yang mengalami gangguan pada lobus frontalis akan menunjukkan
masalah dengan fungsi eksekutif pada sejumlah perilaku tertentu. Orang dengan
masalah pada fungsi eksekutif akan menunjukkan inisiatif yang kurang, kurangnya
dorongan dan masalah dalam mengganti ide atau perilaku pada yang lainnya.
Kekurangan pada bagian ini juga akan membuat seseorang mengalami kesulitan untuk
mengontrol atensi secara adaptif dan tetap berada pada urutan tugas sampai dengan
selesai.
Masalah pada fungsi eksekutif juga ditemukan pada anak yang mengalami
autism, khususnya pada bagian gejala yang melibatkan perilaku yang repetitif dan
stereotip, begitu juga halnya dengan kurangnya inisiatif interpersonal. Jarrold et.al
(dalam Watts, 1998) menjelaskan bahwa masalah pada fungsi eksekutif, khususnya
pada kesulitan untuk menunjukkan respons dan perubahan setting, dapat
mempengaruhi kemampuan bermain simbolik pada anak autis.

g. Sistem Limbik
Sejumlah area dari fungsi emosi juga mengalami masalah pada anak yang
mengalami autism. Area otak yang berkaitan dengan fungsi emosi adalah sistem limbic,
yang ditemukan mengalami abnormalitas pada anak autis. Anak autis terlihat memiliki
kekurangan dalam menampilkan respons emosi yang tepat terkait dengan respon
emosional yang ditampilkan oleh orang lain. Untuk menjelaskan hal ini Dawson et.al
77
tahun 1991 (dalam Rogers, 1998) membuat hipotesis bahwa anak dengan autism
memiliki jarak arousal nyaman yang sangat dangkal dan mengalami kesulitan untuk
menerima stimulus sensori. Disebabkan oleh kondisi mereka yang tidak konsisten,
interaksi social yang terjadi muncul menjadi level yang kurang nyaman bagi anak autis
sehingga membuat mereka menjadi menarik diri dari interaksi social dalam upaya untuk
mengurangi level stimulasi.
Asumsi lain disampaikan oleh Sigman dan kolega, terkait dengan kesulitan
emosional yang dialami oleh anak autis. Menurut Sigman (dalam Rogers, 1998), anak
autis tidak memahami tampilan dari emosi dari orang lain karena mereka tidak memiliki
koneksi dengan pikiran orang lain. Jika seseorang tidak dapat memahami pikiran orang
lain, maka ia juga tidak mampu menginterpretasi makna dari perilaku emosional orang
lain dan tidak dapat belajar bagaimana menggunakan sinyal emosi untuk merespons
orang lain dengan cara yang tepat.

h. Cerebellum
Bagian lain dari otak yang dianggap juga mengalami masalah pada autism
adalah cerebellum. Penelitian yang dilakukan oleh Murakami et al., 1989; Hashimoto
et al., 1995; Courchesne et al., 2001; Scott et al., 2009 (dalam Molli et.al, 2015),
melakukan imaging study yang menemukan bahwa individu dengan autism
menunjukkan pengurangan pada volume di vermis cerebral. Walaupun kerusakan pada
cerebellum dapat menyebabkan kekurangan pada kemampuan kognitif, gejala utama
dari kerusakan serebral adalah gangguan pada belajar motoric (motoric learning).
Cerebellar dependent motor learning diyakini terjadi dalam konstruksi dari model
internal perilaku dimana otak memprediksi konsekuensi sensoris dari gerakan. Jika
umpan balik sensori yang actual berbeda dari yang diprediksikan akan menyebabkan
kesalahan prediksi pada dorongan motor learning dengan update model internal.
Individu dengan autism menampilkan sejumlah gangguan motoric, termasuk gangguan
pada gerakan waktu yang sederhana, tulisan tangan, bahasa tubuh dan imitasi. Masalah-
masalah ini secara potensial dapat disebabkan karena ketidakmampuan dari individu
dengan autism untuk belajar model internal dengan tepat, sepanjang proses
perkembangannya (dalam Molli et.al, 2015)

78
F. Asesmen untuk Autisme
Untuk menegakkan diagnosa yang tepat pada autism dibutuhkan asesmen yang
komprehensif. Hal ini juga terkait dengan adanya gangguan penyerta yang juga mungkin
dialami oleh individu dengan autism seperti epilepsy, gangguan atensi dan lainnya. Menurut
Sparrow (dalam Lord & Mc Gee, 2001) terdapat sejumlah prinsip yang harus diperhatikan
dalam melakukan asesmen terhadap anak dengan autism atau gangguan spectrum autism, yaitu
:
1. Beberapa fungsi area yang harus di periksa termasuk kemampuan intelektual dan
keterampilan komunikasi, tampilan perilaku dan penyesuaian diri.
2. Perspektif perkembangan menjadi hal yang kritis untuk diperhatikan. Memberikan
hubungan yang kuat antara retardasi mental dengan autism, penting untuk melihat hasil
dari konteks level perkembangan secara keseluruhan.
3. Variabilitas keterampilan khas, sehingga sangat penting untuk mengidentifikasi profil
anak secara spesifik baik kekuatan dan kelemahan bukan hanya menyajikan rerata
global secara keseluruhan. Demikian pula, penting untuk tidak menggeneralisasi satu
keterampilan untuk kesan keseluruhan tingkat umum kemampuan, karena kemampuan
tersebut dapat terlalu menggambarkan seorang anak yang lebih khas.
4. Variabilitas dari perilaku pada setiap setting dapat berbeda. Perilaku dari anak dapat
beragam tergantung pada aspek tertentu dari kebaruan, tingkat struktur yang disediakan
dan kompleksitas lingkungan. Oleh karena itu, pengamatan fasilitasi dan lingkungan
akan membantu.
5. Penyesuaian fungsional harus dinilai. Hasil penilaian tertentu yang diperoleh dalam
situasi yang lebih sangat terstruktur harus dilihat dalam
konteks yang lebih luas dari tingkat harian dan lebih khas anak dari fungsi dan respon
terhadap tuntutan kehidupan nyata. Perilaku adaptif anak (yaitu,kapasitas untuk
menerjemahkan keterampilan dalam pengaturan dunia nyata) sangat penting.
6. Disfungsi sosial adalah ciri utama autis dan kondisi terkait, sehingga sangat penting
bahwa efek dari anak gangguan dalam sosial terhadap perilaku dipertimbangkan.
7. Gangguan perilaku juga harus diperhatikan, karena mereka mempengaruhi
kedua fungsi sehari-hari anak dan pertimbangan untuk intervensi.

Dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip diatas, beberapa bentuk asesmen yang


dapat dilakukan yaitu :
1. Wawancara dengan orangtua atau pengasuh
79
Wawancara ini untuk menggali sejarah klinis yang mencakup :
a. Deskripsi tentang masalah yang dialami oleh orangtua atau pengasuh, anak dan
individu lainnya seperti guru dengan fokus utama untuk memunculkan
konsistensi dari tampilan gangguan dalam aspek sosial, komunikasi dan
perilaku.
b. Riwayat kesehatan anak sejak dari pra natal, perinatal, sejarah perkembangan
(termasuk faktor sosial dan emosional) sampai dengan usia anak saat asesmen
berlangsung.
c. Riwayat keluarga termasuk bukti-bukti jika ada yang mengalami autisme,
gangguan bicara dan bahasa, gangguan psikiatris, kesulitan belajar, epilepsi atau
gangguan perkembangan neurologis laiinya.
d. Deskripsi tentang siapa di keluarga dan sejarah masalah dalam keluarga yang
dapat berdampak pada perilaku anak.

2. Observasi klinis
Salah satu bentuk alat diagnostik untuk mengobservasi gejala autisme adalah
Childhood Autism Rating Scale (CARS) yang digunakan untuk mengetahui sejarah dan
observasi perilaku spontan yang relevan dengan autisme.

3. Asesmen terkait dengan fungsi kognitif dan keterampilan bahasa anak.


Asesmen ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat tes inteligesi, salah satunya seperti
WISC yang dapat menggali kemampuan verbal dan performances anak; Tes Binet , yang
dapat mengukur IQ serta usia mental dari anak.

4. Asesmen untuk menggali kekuatan dan kebutuhan dari keluarga anak yang mengalami
autism secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk mengetahui dukungan social yang
dimiliki anak terkait dengan intervensi yang akan dilakukan.
5. Asesmen medis
Asesmen ini melibatkan sejumlah tes medis tertentu termasuk didalamnya tes kromosom
dan fragile X, dan investigasi dari kemungkinan hal-hal yang terkait dengan response
sensori yang tidak normal dan gangguan dalam koordinasi motoric yang mungkin dialami
(Pasco, 2011)

80
G. Penanganan Autisme dalam setting Pendidikan
Jumlah anak yang mengalami autisme meningkat setiap tahunnya. Kondisi ini tentunya
juga akan berdampak pada pendidikan. Orangtua dan guru perlu memiliki pemahaman
bagaimana pendidikan yang tepat untuk membantu anak dengan autis. Bentuk upaya
penanganan yang dapat dilakukan pada anak autism digambarkan oleh skema berikut ini :

Anak dengan
Deteksi Dini Intervensi
karakteristik
autisme

Orangtua/Guru Asesmen &


Diagnosa
Pendidikan
lanjutan :
Inklusi/kelas
terpadu

Gambar 6. Skema Penanganan Anak Autis

Berdasarkan skema diatas dapat digambarkan bahwa sebelum menentukan program


pendidikan yang tepat untuk anak autis, perlu dilakukan beberapa tahapan yaitu a) deteksi dini,
yang dilakukan oleh orangtua dan guru bekerjasama dengan professional yang ahli dalam
bidang ini seperti psikolog, dokter anak, dan psikiater. Deteksi ini melibatkan asesmen yang
komperehensif pada anak sehingga diagnose autism dapat ditegakkan, b) intervensi, pemberian
perlakuan/treatmen untuk membantu fungsi-fungsi yang mengalami masalah pada anak,
misalnya komunikasi, bahasa, social dan lainnya, c) pendidikan lanjutan, dapat diberikan pada
anak ketika anak dianggap sudah memiliki keterampilan yang dapat digunakannya untuk
beradaptasi dengan kondisi di sekolah, baik sekolah khusus ataupun inklusi. Pemilihan
pendidikan lanjutan ini juga perlu mempertimbangkan kondisi perkembangan dari anak itu
sendiri.

Intervensi untuk Menangani Autisme


Pada bagian sebelumnya, sudah dibahas terkait dengan metode asesmen apa saja yang
dapat dilakukan untuk dapat mendiagnosa gangguan autism atau gangguan spectrum autism
81
pada anak. Berikut ini akan dijelaskan, sejumlah metode intervensi yang dapat diberikan pada
anak, sebelum anak autis melanjutkan pendidikan lanjutan.
Terdapat beberapa bentuk intervensi evidence-based yang dapat dilakukan pada anak
autism (Ryan et.al, 2011) yaitu :
1. Developmental, Individual-Difference, Relationship-Based Model (DIR/Floortime; Wieder
& Greenspan, 2001).
Model ini adalah pendekatan intervensi yang komprehensif dan interdisipliner untuk anak
yang mengalami masalah disabilitas khususnya autism. Fokusnya adalah pada kebutuhan
perkembangan individual dari anak termasuk didalamnya adalah fungsi social emosional,
keterampilan komunikasi, ketrampilan motoric, kesadaran fisik, berpikir dan proses belajar
dan rentang perhatian.
Model ini menggunakan cara pandang untuk memahami profil perkembangan dari bayi atau
anak dan keluarga dengan mengembangkan hubungan dan interaksi antara anak dengan
orangtua. Pendekatan ini memungkinkan pengasuh, pendidik dan klinisi untuk merancang
asesmen dan intervensi yang ditujukan untuk kebutuhan khusus dari anak dan keluarganya.
Elemen penting dari model DIR ini adalah Floortime yang menjadi filosofi sekaligus
intervensi untuk berinteraksi dengan anak. Tujuannya adalah untuk menciptakan
kesempatan bagi anak untuk mengalami tahap perkembangan kritis yang mereka kurang
melalui pengalaman bermain yang intensif. Hal ini dapat dilakukan sebagai prosedur di
rumah, sekolah atau sebagai bagian dari terapi anak.
Floortime ini melibatkan pengalaman satu-satu antara anak dengan orangtua atau
pengasuhnya. Pengalaman ini biasanya berlangsung selama 20-30 menit ketika orangtua
atau pengasuh berada di lantai bersama anak, berinteraksi dan bermain dengan cara yang
menantang perilaku tertentu (misalnya perilaku repetitif, isolasi dan pola bermain yang tidak
tepat) dan mendorong permainan yang interaktif, sesuai dan sosialisasi melalui model
langsung orangtua.
Intervensi ini bertujuan untuk melatih orangtua dan guru untuk melibatkan emosi bahkan
pada anak yang menarik diri sekalipun dengan memasuki dunia anak tersebut.
Melalui pengalaman bermain yang menantang, psikolog, orangtua dan guru dapat belajar
tentang kekuatan dan kelemahan anak, sehingga dapat merancang intervensi yang tepat
sekaligus dapat memperkuat ikatan orangtua dan anak serta mengembangkan kemampuan
social dan emosional anak.
Program ini biasanya berlangsung selama 14-35 minggu dan menunjukkan efikasi treatment
pada peningkatan dari fungsi social, fungsi emosional dan pengumpulan informasi.
82
Penggunaan Floortime sebagai intervensi terlihat cukup efektif dalam menunjukkan
progress peningkatan perkembangan fungsional pada anak dengan gangguan spectrum
autism (Wieder & Greenspan,2001)

2. Discrete Trial Training ( DTT, Lovaas, 1987)


Intervensi ini menggunakan pendekatan Applied Behavior Analysis (ABA) berdasarkan
konsep kondisioning operan dan reward positif dari Skinner. ABA adalah proses sistematis
untuk mempelajari dan memodifikasi perilaku yang tampak melalui manipulasi dari
lingkungan. Intervensi ini focus pada mengatur kesempatan anak untuk belajar dengan
mengajarkan tugas-tugas yang spesifik dan dapat diatur sampai anak mampu menguasi
dalam usaha yang terus menerus untuk membangun keterampilan penguasaan.
Waktu yang dibutuhkan untuk intervensi ini adalah 20-30 jam per minggu dalam setting
yang berbeda-beda.Pendekatan intervensi ini menunjukkan efikasi pada peningkatan level
ketermpilan kognitif, keterampilan bahasa, keterampilan adaptif dan keterampilan
kepatuhan.

3. Lovaas Method ( Lovaas, 1987)


Intervensi ini focus pada pengaturan kesempatan belajar anak dengan tugas-tugas yang
spesifik sampai anak mampu menguasai tugas-tugas tersebut menjadi keterampilan
penguasaan. Waktu yang dibutuhkan 20-40 jam per minggu. Pendekatan intervensi ini
menunjukkan efikasi dalam peningkatan level keterampilan adaptif, keterampilan kognitif,
keterampilan kepatuhan, keterampilan bahasa, IQ dan keberfungsian social.
Intervensi ini ditujukan untuk anak usia 2-12 tahun

4. Picture Exchange Communication System (PECS, Bondy & Frost, 1994)


Siswa yang normal biasanya mampu mengkomunikasikan keinginan dan kebutuhanny
dengan cara verbal atau menggunakan isyarat tubuh yang dapat diterima secara social, namun
tidak begitu pada anak yang mengalami autism. Hal ini membuat intervensi untuk
meningkatkan kemampuan komunikasi menjadi sangat penting bagi anak autism. Salah satu
metode intervensi yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan komunikasi adalah
Picture Exchange Communicatioan System (PECS) yang merupakan program yang betujuan
untuk meningkatkan komunikasi melalui pertukaran antara symbol taktil dan objek. Simbol
yang digunakan dapat berupa foto, gambar, foto objek atau objek yang berhubungan dengan

83
mainan yang diinginkan, orang atau aktivitas. Terdapat tiga tahapan dari metode PECS ini
yaitu :
a. meminta aitem atau aktivitas dengan memberikan gambar, symbol atau objek yang
berhubungan dengan partner anak
b. menggeneralisasi aktivitas dengan membawa permintaan symbol pada pasangan
yang mungkin berada di area yang berbeda dengan anak
c. membedakan antara dua symbol permintaan sebelum membawanya pada partner
anak.
Metode ini mengajarkan anak untuk meminta aktivitas yang ia ingin dengan melalui
modeling (menunjukkan perilaku yang diinginkan). Anak diarahkan oleh guru untuk
menggunakan symbol taktil untuk membuat permintaan yang spesifik.
System komunikasi yang dikembangkan untuk membantu siswa untuk membangun
keterampilan bahasa yang fundamental sampai dengan komunikasi yang spontan. Intervensi
ini mendukung siswa untuk mengidentifikasi, mendiskriminasi dan kemudian menukar symbol
berbeda dengan pasangan sebagai upaya untuk mengkomunikasikan keinginan.
Intervensi ini menunjukkan efikasi pada peningkatan level perkembangan bicara dan bahasa
dan perilaku komunikatif social. Waktu yang dibutuhkan selama anak terlibat, biasanya 20-30
menit persesi.

5. Social Stories ( Gray, 1993)


Cerita social (social stories) menyediakan cerita deskriptif untuk anak agar
membantunya memhami situasi social yang spesifik dengan lebih baik. Cerita social ini
mendeskripsikan situasi, keterampilan atau konsep dalam bentuk yang relevan dengan
petunjuk social, perspektif dan respons umum dalam gaya dan format yang khusus.
Tujuan dari metode ini bukan untuk mengubah perilaku individual, namun mengekspos
anak untuk memahami situasi dengan lebih baik, dengan tujuan untuk mendorong respons
alternative dan tepat.Guru dan siswa akan membuat cerita tertentu yang secara eksplisit
memberi tahu siswa apa yang diharapkan dalam situasi yang diberikan yang terbukti sulit di
masa lalu dan mengubah bagaimana anak harus berprilaku dalam situasi tertentu.
Cerita social ini dapat digunakan untuk mendorong penggantian dari perilaku
maladaptive anak (misalnya berteriak pada guru atau orangtua untuk mendapatkan perhatian)
atau untuk mendorong perilaku prososial (misalnya mengenalkan diri pada orang lain).
Cerita yang dibuat ini setidaknya terdiri atas 5- 10 kalimat yang harus a) menjelaskan
target perilaku yang spesifik yang menjadi perhtian, b) mengidentifikasi penggantian perilaku
84
yang tepat, c) ditulis berdasarkan perspektif anak, d) memasukkan anak berhubungan dengan
perilaku yang diharapkan dan e) memasukkan rasio dari satu kalimat direktif untuk setiap dua
sampai lima kalimat yang deskriptif, perspektif atau keduanya.Kalimat deskriptif adalah
kalimat yang memberikan detail tentang kejadian, seting, pikiran atau perilaku orang pada
situasi yang sama.Kalimat perspektif biasanya berhubungan dengan konsekuensi atau hasil dari
situasi dan menjelaskan bagawimana orang lain akan bereaksi atau merasakan pada aksi dari
karakter utama dalam cerita tersebut.
Cerita yang dipersonalisasi secara sistematis mendeskripsikan situasi, keterampilan
atau konsep dengan petunjuk social yang relevan, perspektif dan respon umum, modeling dan
menyediakan pilihan perilaku social yang dapat diterima.Waktu yang dibutuhkan untuk
intervensi ini adalah kira-kira 5-10 menit terutama pada situasi yang sulit.Intervensi ini
menunjukkan efikasi pada peningkatan level perilaku prososial.

6. Treatment and Education of Autistic and Communication Handiccaped Children


(TEACCH; Schopler & Reichler, 1971)
Program TEACCH ini telah digunakan untuk mengedukasi anak dengan autism selama tiga
decade terakhir. Program intervensi ini menggunakan pengajaran yang terstruktur dengan
penekanan pada penggunakan dukungan visual untu kemaksimalkan fungsi independen dari
anak dengan autis atau gangguan lainnya yang berhubungan.
TEACCH memiliki empat komponen pengajaran terstruktur yaitu :
a. struktur fisik dan organisasi dari ruang kerja
b. jadwal yang menunjukkan detail tentang tugas-tugas yang dibutuhkan
c. system kerja yang menggambarkan secara detail harapan dari individu selama tugas
d. organisasi tugas yang menjelaskan tugas-tugas belajar
Intervensi TEACCH membutuhkan lingkungan yang diatur dseusai dengan kebutuhan unik
dari anak pada situasi yang diberikan. Selain itu TEACCH juga memberikan anak instruksi
yang eksplisit tentang bagaimana memaksimalkan penggunaan ruang fisik melalui petunjuk
fisik atau visual.
Selain itu, program ini juga membutuhkan area meja di rumah yang diatur sedemikian rupa
untuk membantu anak melakukan monitor terhadap perilakunya sendiri saat mengerjakan
tugas-tugas rumah yang penting. TEACCH juga membutuhkan siswa yang lebih tua (kakak
kelas) untuk membantu menyiapkan anak autis pada ruang kerjanya untuk memaksimalkan
independensi tugas. Lebih lanjut lagi, TEACCH membutuhkan anak untuk menerima instruksi
yang spesifik tentang bagaimana memaksimalkan penggunaan dari petunjuk fisik dan visual.
85
Supervisor anak dapat menjadi model terhadap bagaiman ruang yang teratur digunakan untuk
memberikan petunjuk bagi anak untuk menguasai tugas-tugas tersebut. Penguatan dapat
diberikan untuk perilaku-perilaku yang diinginkan dari anak.
Selain bentuk intervensi di atas, beberapa intervensi tambahan untuk mengatasi
masalah terkait dengan motoric dan bahasa anak autis yang dapat dilakukan antara lain adalah
:
a) Terapi bicara, ditujukan untuk membantu anak melancarkan organ-organ yang terkait
dengan kemampuan bicara sehingga menjadi berfungsi dengan lebih baik.
b) Terapi okupasi, bertujuan untuk melatih kemampuan motoric anak.
c) Terapi bermain, mengajarkan anak melalui belajar sambil bermain.
d) Terapi integrasi sensori, memperbaiki masalah yang terkait dengan gangguan pada
sensori.
e) Terapi integrasi auditori, memperbaiki kemampuan pendengaran.

Pendidikan Inklusi untuk Anak Autisme


Setelah anak mendapatkan intervensi dini terkait dengan gangguan autism yang
dialaminya, maka pendidikan lanjutan dapat diberikan pada anak. Pendidikan lanjutan ini dapat
berupa pendidikan di sekolah yang menggunakan sistem inklusi, dimana anak akan belajar
bersama teman-teman sebayanya yang lain yang memiliki kondisi yang norma.
Pendidikan inklusi menjadi isu penting bagi anak yang mengalami gangguan autisme.
Inklusi dipandang sebagai praktek yang tepat bagi pendidikan untuk anak autism karena
sejumlah keuntungan yang didapatkan dalam program ini. Keuntungan tersebut antara lain
adalah meningkatkan kesempatan anak autism untuk berinteraksi social dengan teman sebaya
yang normal, kemungkinan untuk mengembangkan persahabatan, mengembangkan
keterampilan komunikasi, social dan perilaku yang adaptif dan partisipasi dalam aktivitas-
aktivitas yang dapat meningkatkan kompetensi social dan mendorong kesuksesan penyesuaian
diri pasca sekolah (dalam McCurdy & Cole, 2014). Namun, selain keuntungan dari pendidikan
inklusi bagi anak autism, terdapat beberapa halangan yang mungkin terjadi dalam
implementasi prakteknya. Halangan pertama terkait dengan dukungan dari system sekolah,
dalam hal ini staff dan administrasi. Walaupun program sekolah inklusi sudah menjadi program
pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah, namun tidak semua sekolah siap untuk dapat
mempraktekkan pendidikan yang tepat untuk anak austime di kelas inklusi. Guru mungkin
tidak terlalu paham bagaimana memperlakukan anak autis di kelas umum atau tidak adanya
guru semu yang dapat membantu guru kelas dalam penanganan anak autis di sekolah.
86
Tantangan kedua adalah terdapat potensi halangan bagi kelas inklusi untuk anak autism di kelas
umum terkait dengan adanya perilaku disruptif atau menganggu dan perilaku terkait dengan
tugas. Siswa-siswa dengan gangguan autism menunjukkan perilaku repetitive dan level
inatensi yang tinggi. Perilaku menganggu dan dan perilaku tidak mengerjakan tugas dapat
menganggu suasana belajar dan menyebabkan menurunya kesempatan untuk belajar, tidak
hanya pada siswa autis itu sendiri namun juga pada siswa di kelas tersebut secara keseluruhan.
Untuk mengatasi tantangan yang ada, setiap sekolah yang memiliki kelas inklusi harus
memiliki guru pendamping khusus dan atau guru pendamping (shadow teacher). Keberadaan
guru ini bukanlah untuk membantu anak autis dalam segala hal namun bertanggungjawab
dalam : a) menjadi fasilitator antara guru kelas dengan anak, b) membantu mengendalikan
perilaku anak di kelas, c) membantu anak untuk dapat berkonsentrasi dengan pelajaran di kelas,
d) membantu anak untuk berinteraksi dengan teman sebayanya di sekolah, e) menjadi
pendamping guru kelas dalam memberikan informasi terkait dengan perkembangan belajar
anak di kelasnya.
Inkusi didefinisikan oleh Booth (dalam Macintyre & Deponimo,2003) sebagai proses
peningkatan partisipasi dari siswa dan mengurangi ekslusifitasnya dari budaya, kurikulum, dan
komunitas pusat pembelajaran. Inklusi muncul sebagai respons dari anggapan bahwa cukup
banyak anak yang menjadi termarginalkan dalam kelas karena kesalahpahaman.
Dalam banyak penelitian, pendekatan inklusi menunjukkan bahwa siswa yang
mengalami hambatan di kelas pendidikan umum dapat merasakan beberapa keuntungan
dibandingkan dengan menempatkan mereka pada pendidikan khusus. Ormrod (2008)
menjelaskan keuntungan-keuntungan itu sebagai berikut :
1. Anak akan mendapatkan gambaran diri yang lebih positif.
2. Keterampilan sosial menjadi lebih baik
3. Lebih sering berinteraksi dengan teman-teman sebaya yang normal.
4. Perilaku lebih sesuai di kelas
5. Prestasi akademik yang setara dan kadang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
ditempatkan di kelas khusus.
Disisi lain, pada anak normal, adanya inklusi memberikan pengalaman bagi mereka
yang dapat menggugah kesadaran tentang adanya perbedaan kondisi mereka dengan anak- anak
yang lain dan bahwa anak-anak berkebutuhan khusus sebenarnya juga memiliki hak yang sama
dengan mereka.
Kelas inklusi cukup mendukung untuk perkembangan dari anak-anak yang mengalami
masalah kesulitan belajar, karena sifat kelas inklusi yang baik (Smith, 2009) yaitu :
87
1. Pengajaran proses berbagi yang aktif dan kreatif
2. Siswa ditempatkan dalam kelompok dengan tujuan untuk keragaman kegiatan dan
karena mereka memiliki kebutuhan yang sama bagi aktivitas yang lain.
3. Dari pada siswa meninggalkan kelas untuk pelayanan pembelajaran khusus, lebih baik
dukungan sumber daya dibawa ke kelas bagi siswa berkebutuhan khusus
4. Siswa ditempatkan pada tingkatan yang sesuai dengan usianya dan disediakan
pengajaran menurut kebutuhannya.
5. Kurikulum untuk setiap siswa adalah individual
6. Personil pendidikan khusus dan sumber daya khusus dimanfaatkan untuk membantu
setiap siswa yang memiliki kebutuhan agar dapat dipenuhi oleh layanan pendidikan.
7. Semua kemajuan siswa dinilai menurut tujuan dan standar individual.
Selain itu, strategi pembelajaran yang diterapkan di kelas inklusi juga harus
memperhatikan kebutuhan yang khas dari masing-masing anak. Berikut ini contoh tujuan dan
strategi pengajaran yang secara khusus cocok untuk siswa yang memiliki kesulitan belajar
seperti yang diungkapkan oleh Ormrod (2008).
Kategori Karakteristik yang mungkin Strategi yang
diamati disarankan di kelas
Siswa yang Sulit berfokus pada tugas dan Pantau siswa secara dekat
mengalami masalah aktivitas di kelas selama tugas perorangan
kognitif atau Misbehavior seperti hiperaktif, Pastikan bahwa siswa
akademik spesifik impulsif, suka mengganggu, memahami tugas mereka
kurangnya atensi jika perlu beri mereka
Keterampilan mengatur waktu waktu tambahan untuk
yang buruk dan atau menyelesaikan tugas
pendekatan yang tidak Perjelaslah ekspektasi
terorganisir untuk bagi perilaku dan
menyelesaikan tugas tegakkan aturan kelas
secara konsisten
Berilah isyarat bagi siswa
berkenaan dengan
perilaku yang sesuai
Berilah penguatan
misalnya dalam bentuk
pujian terhadap perilaku
yang diinginkan dengan
segera
Untuk siswa-siswa
hiperaktif rencanakan
aktivitas pendek dan
membantu mereka agar
tenang kembali setelah
melakukan aktivitas fisik

88
Bagi siswa impulsif
ajarkan instruksi diri
Ajarkan strategi untuk
mengatur waktu dan
pekerjaan misalnya
menempel jadwal
aktivitas harian di meja
siswa, menyediakan yang
dapat digunakan siswa
untuk membawa tugas

Siswa yang Seringnya misbehavior yang Tentukan secara jelas


mengalami masalah terang-terangan seperti luapan perilaku mana yang dapat
sosial atau perilaku emosi yang tidak terkontrol, dan tidak dapat diterima
agresi, bandel atau mencuri kelas
Kesulitan menahan impuls Tetapkan dan tegakkan
Misbehavior yang dipicu aturan berperilaku
perubahan lingkungan atau Pertahankan jadwal yang
rutinitas harian atau stimulus dapat diprediksi
sensori yang berlebihan (pada Ingatkan siswa terlebih
siswa autis) dahulu tentang perubahan
Sulit berinteraksi efektifdalam rutinitas kelas
dengan teman-teman sekelas Gunakan teknik regulasi
Sulit fokus pada tugas dan diri dan pendekatan
aktivitas di kelas behavioris untuk
Cenderung terlibat dalam meningkatkan perilaku
perilaku adu kekuatan dengan yang produktif di kelas
guru Ajarkan keterampilan-
keterampilan sosial
Pantau siswa dari dekat
selama tugas
perseorangan
Beri siswa perasaaan
selfdetermination tentang
beberapa aspek
kehidupan kelas;
minimalkan penggunaan
teknik yang bersifat
memaksa
Lakukan usaha ekstra
untuk menunjukkan pada
siswa agar anda peduli
terhadap mereka sebagai
manusia
Siswa yang Perilaku mengganggu di kelas Tetapkan aturan yang
mengalami yang sesekali terjadi jelas dan konkrit tentang
keterlambatan umum Ketergantungan terhadap perilaku di kelas
dalam fungsi panduan orang lain tentang Berikan isyarat ke siswa
kognitif dan sosial bagaimana berperilaku berkenaan dengan
perilaku yang tepat;

89
Perilaku yang lebih baik dalam usahakan agar petujuk
kelas ketika ekspektasi jelas yang diberikan sederhana
Gunakan teknik regulasi
diri dan pendekatan
behavioris untuk
meningkatkan perilaku
yang diinginkan
Berikan umpan balik
eksplisit mengenai di titik
mana siswa telah
melakukan sesuatu yang
tepat dan di titik mana
sebaliknya
Siswa yang Menjauhkan diri dari teman- Bangunlah perasaan
mengalami masalah teman sekelas kebersamaan yang kuat di
fisik dan sensori Sulit menyelesaikan tugas kelas
secepat siswa yang lain Jika perlu beri waktu
Sulit menafsirkan isyarat tambahan untuk
verbal, arahan, dan pesan- menyelesaikan tugas
pesan lisan lainnya Meminimalkan
kegaduhan yang tidak
perlu jika satu atau
beberapa siswa
mengalami masalah
pendengaran
Siswa yang Perilaku yang tidak ada Berilah tugas yang sesuai
perkembangan hubungannya pelajaran di dengan kemampuan
kognitifnya tinggi kelas pada beberapa siswa kognitif siswa
seringkali disebabkan
kebosanan selama tugas dan
aktivitas yang mudah

Jika diatas telah dijelaskan tentang stategi umum yang dapat dilakukan untuk proses
pembelajaran di kelas inklusi dengan bantuan orang dewasa/guru, namun sebenarnya teman
sebaya juga memiliki peranan penting dalam upaya untuk intervensi bagi anak autism. Terdapat
beberapa keuntungan melibatkan teman sebaya dalam intervensi anak autism di kelas inklusi
yaitu : a) teman sebaya tersedia di berbagai setting di sekolah. Dalam setiap kelas, terdapat
sejumlah siswa yang mau membantu intervensi, b) teman sebaya secara alami terlibat dengan
anak autis sehingga dapat saling mempengaruhi perilaku satu sama lainnya. Teman sebaya
dapat menjadi petunjuk/model bagi anak autis untuk mengingat perilaku yang tepat yang ia
pelajari selama intervensi berlangsung, c) menggunakan teman sebaya dapat secara efektif
membantu kebutuhan anak autis yang dapat memberikan waktu yang lebih berharga bagi guru
untuk merancang program yang sesuai dengan kebutuhan (McCurdy & Cole, 2014).

90
Penggunaan intervensi dukungan teman sebaya untuk mendukung keterlibatan
akademik siswa autism pada setting pendidikan umum telah diteliti oleh McCurdy & Cole
(2014). Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi dengan dukungan teman sebaya efektif untuk
mengurangi perilaku off-task pada siswa autism di setting kelas inklusi. Perilaku off-task disini
dijelaskan sebagai melakukan pekerjaan lain diluar tugas yang diberikan guru, memainkan
benda-benda yang ada diatas meja, berbicara dengan teman dibandingkan dengan mengerjakan
tugas yang diberikan, melihat kearah luar jendela kelas, berguling di lantasi kelas dan berjalan-
jalan di dalam kelas. Tiga orang anak autis yang menjadi subjek pada penelitian ini didampingi
oleh teman sebayanya yang secara akademik memiliki performansi yang bagus dan kemudian
diukur perilaku off-tasknya.

H. Pengembangan Riset tentang Autisme


Sejak awal ditemukan sampai saat ini setidaknya tercatat terdapat 3.400 penelitian yang
dipublikasikan terkait dengan tema autism. Hal ini menunjukkan bahwa autism masih menjadi
tema yang banyak diteliti dan terus berkembang saat ini. Damiano et al (2014) mencatat bahwa
ada beberapa peluang riset terkait dengan autism yang dapat dikembangkan yaitu :
1. Model Pra klinik dari Autisme
Model pra klinik akan terus menjadi alat yang kritis untuk menyediakan pencerahan
terkait dengan etiologi dan untuk mengidentifikasi target mekanis untuk eksperimen obat-
obatan. Binatang yang dijadikan model dalam penelitian memberikan informasi yang terkait
dengan mediator relevan pada autism, sehingga memberikan insight baru terkait dengan
etiologi dan target treatmen yang akan dilakukan. Selain itu, binatang yang dijadikan sebagai
model dalam penelitian ini juga penting untuk memahami epigenetic dari autism dan
bagaimana lingkungan mempengaruhi ekspresi dari resiko genetic dari autism.
Area penelitian yang juga cukup menjanjikan terkait dengan autism adalah model
binatang yang digunakan untuk meneliti stem sel dari syaraf manusia. Pendekatan ini relevan
dengan gangguan neurodevelopmental yang ada pada autism.

2. Terapi eksperimental
Berbagai penelitian pada decade terakhir telah menemukan sejumlah treatmen yang
berhasil meningkatkan kemampuan kognitif, kemampuan social, keterampilan komunikasi
dan regulasi emosi dan anak yang mengalami autism. Namun menurut Damiano et al (2014),
arah baru yang perlu dikembangkan dalam penelitian terkait dengan autism adalah pada

91
seleski dari target metrik treatmen yang tepat (misalnya fMRI) pada individu yang
kemampuan kognitifnya lebih rendah.
3. Deteksi dini dan intervensi
Autism dijelaskan sebagai gangguan yang baru akan dapat dideteksi setelah usia 4 tahun.
Hal ini menjadi tantangan penelitian untuk mengetahui etiologi dari autism sejak usia yang
lebih dini, sehingga penanganan pun dapat diberikan lebih awal. Namun yang menjadi
pertanyaan adalah bagaimana mendiagnosa autism sejak balita? Hal ini menjadi tantangan
bagi peneliti selanjutnya untuk menyusun sistem yang dapat mengkategorisasikan bayi pada
resiko tinggi autis sehingga dapat memperoleh intervensi yang lebih dini dan hasil yang lebih
baik.

4. Neurotechnologies
Teknologi neuro adalah teknologi yang berinteraksi dengan sistem syaraf pusat manusia.
Dalam tema inteligensi artifisial, teknologi neuro (neurotechnology) melibatkan penggunaan
dari teknologi untuk mempengaruhi pikiran manusia atau persepsi. Neuro teknologi cukup
mudah diadopsi dan menyenangkan untuk digunakan, tidak memiliki efek samping. Conton
neuro teknologi disini misalnya adalah brain computer interface (BCI) yang digunakan untuk
permainan digital, untuk membantu penyembuhan dan managemen gejala dari stroke,
kelumpuhan dan kondisi degenerative. Penelitian terkait dengan penggunaan neuro teknologi
ini pun saat ini cukup berkembangan dengan pesat. Tantangan peneliti selanjutnya adalah
bagaimana mendesain neuro teknologi yang digunakan untuk menggali etiologi, identifikasi
dan intervensi untuk autism.

5. Penggunaan teknologi untuk sebagai intervensi untuk autisme


Penelitian yang melibatkan teknologi memberikan hasil yang baik untuk penggunaan
computer, video, petunjuk mekanik dan berbagai teknologi lainnya untuk anak autis (dalam
Goldsmith & LeBlanck, 2004). Tantangan penelitian selanjutnya adalah bagaimana membuat
intervensi berbasi teknologi yang lebih handal, efektif biaya dan menyenangkan bagi anak yang
mengalami autism.Peneliti harus melakukan investigasi terkait dengan desain tampilan dari
teknologi yang digunakan yang dapat memberikan efek terapeutik dan mendesain tampilan
yang menciptakan dampak (misalnya untuk memahami bagaimana mekanisme perubahan
terjadi). Hambatan terbesar dalam hal ini mungkin adalah bahwa klinisi membutuhkan
professional lain terutama ahli IT untuk mendesain dan mengembangkan alat ini sehingga
menjadi alat yang nyaman untuk digunakan.
92
Penutup
Sejak lebih dari 70 tahun yang lalu sejak Leo Kanner menemukan autism, terjadi
perkembangan yang cukup signifikan dalam penelitian-penelitian yang terkait dengan autism
terutama untuk memahami tentang etiologi, identifikasi dini dan intervensi untuk menangani
autism. Autisme dijelaskan sebagai gangguan perkembangan yang bersifat pervasive dengan
tampilan utama berupa gangguan pada interaksi social, komunikasi social dan imajinasi social.
Kombinasi pada ketiga area ini menyebabkan anak yang menderita autis memiliki kesulitan
yang terlihat pada minat yang terbatas, perilaku repetitive dan abnormalitas dalam sensori.
Asesmen yang dilakukan untuk mengidentifikasi autism melibatkan penggalian data
yang komprehensif terkait dengan riwayat perkembangan, riwayat kesehatan, kemampuan
kognitif, kemampuan bahasa, sensori motoric, kemampuan social serta pemeriksaan medis
terkait dengan kromosom dan fragile X. Etiologi autism sendiri masih menjadi perdebatan
terkait dengan factor biologis dan lingkungan serta interaksi antara keduanya.
Dari tahun ke tahun, jumlah penderita autisme dikatakan meningkat, sehingga menjadi
tantangan untuk para peneliti pada bidang ini untuk menggali lebih jauh tentang aspek-aspek
yang terkait dengan autism seperti etiologi yang masih jadi perdebatan, bagaimana mendeteksi
autism lebih dini dan intervensi yang efektif, serta penggunaan teknologi dalam penelitian
terkait dengan autism.

93
Sindrom Asperger

Tujuan Instruksional :
1. Memahami karakteristik gangguan Asperger
2. Memahami penyebab gangguan Asperger
3. Memahami metode asesmen untuk mendiagnosa gangguan Asperger
4. Memahami teknik intervensi untuk mengatasi gangguan Asperger

Pada bab sebelumnya, kita sudah membahas tentang gangguan Autisme. Sindrom
Asperger sebenarnya termasuk dalam spektrum gangguan autisme, hanya saja Asperger tidak
ditandai dengan keterlambatan bahasa, dan juga kemampuan intelektual anak yang mengalami
Asperger biasanya rata-rata atau di atas rata-rata. Secara lebih lengkap lagi, pada bab ini akan
dibahas tentang Asperger.
Pada awalnya terdapat perdebatan tentang klasifikasi dari Sindrom Asperger apakah
menjadi satu kategori khusus atau dimasukkan ke dalam ke dalam gangguan autism karena
terdapat kemiripan gejala. Namun pada manual DSM IV TR, Asperger kemudian dimasukkan
dalam klasifikasi spektrum dari autism.
Karakteristik utama dari sindrom Asperger dalam kesulitan utama pada interaksi social
dan pola yang tidak biasa pada minat dan perilaku anak yang secara relative berkaitan dengan
keterampilan kognitif dan komunikasi. Anak Asperger menunjukkan tampilan yang sama
dalam hambatan social dan minat yang stereotip seperti anak autis, namun tidak sama pada
keterlambatan umum pada bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan keterampilan sesuai
dengan usia, perilaku adaptif atau keingin tahuan tentang lingkungan.
Anak dengan Asperger memiliki mental age verbal yang lebih tinggi, keterlambatan
bicara yang lebih sedikit, dan minat pada kontak social yang lebih besar jika dibandingkan
dengan anak autism. Secara umum tampilan dari anak Asperger terlihat egosentris, secara
social aneh, terpaku pada minat yang abstrak namun dangkal yang membuat mereka terlihat
tampil eksentrik (dalam Mash & Wolfe,2010).
Tampilan lainya dari anak asperger adalah terlihat kaku dan kurang baik dalam
koordinasi gerakan dan posture tubuh yang aneh. Mereka memiliki empati yang kurang,
terlibat dengan cara yang tidak sesuai, interaksi sosialnya satu aarah, menunjukkan sedikit
kemampuan untuk membentuk hubungan pertemanan dan secara social diisolasi. Mereka juga
menampakkan komunikasi non verbal yang buruk, sedikit bicara. Pada anak yang lebih besar
94
akan ditandai dengan kesulitan pada keterampilan dalam pervakapan dan kemampuan
pragmatis lainnya.
Diagnosis untuk gangguan Asperger memiliki kriteria yang sama dengan autism pada
gangguan kualitatif pada interaksi social dan aktivitas yang terbatas. Namun sebagai tambahan,
untuk menentukan diagnosa untuk gangguan Asperger, juga harus memperhatikan kriteria
berikut ini, yaitu :
a. Tidak terdapat keterlambatan klinis yang signifikan pada bahasa
b. Tidak terdapat gangguan kualitatif pada komunikasi
c. Tidak terdapat keterlambatan kognitif yang signifikan secara klinis (keterampilan
membantu diri sendiri atau keterampilan adaptif lain).

Kriteria diagnostik sindrom Asperger


Berdasarkan kriteria diagnostik pada DSM-IV, Sindrom Asperger menunjukkan tampilan
seperti berikut ini :
B. Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial yang terlihat pada setidaknya dua hal berikut
ini :
1. Gangguan dalam menggunakan perilaku non verbal majemuk seperti
memandang tatapan mata, ekspresi wajah, postur tubuh dan isyarat untuk
mengatur interaksi sosial.
2. Kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan sebaya yang sesuai
dengan tahap perkembangannya.
3. Kekurangan dalam usaha spontan untuk berbagi kesenangan, minat atau
prestasi dengan orang lain (misalnya kekurangan dalam menunjukkan,
membawa atau menunjuk objek minat pada orang lain)
4. Kekurangan dalam hubungan sosial dan emosional yang timbal balik
C. Pola perilaku, minat dan aktivitas yang terbatas berulang-ulang dan stereotip, yang
termanifestasi setidaknya dalam satu hal berikut ini :
(1) preokupasi pada satu atau lebih minat dengan pola yang terbatas dan stereotip
yang abnormal dalam intensitas atau fokus.
(2) Terlihat terpaku pada rutinitas atau ritual khusus dan tidak fungsional.
(3) Perilaku motorik yang stereotip dan berulang-ulang (tangan atau jari ditekuk atau
mengepak, atau gerakan seluruh tubuh yang kompleks)
(4) Preokupasi yang menetap pada bagian dari objek tertentu.

95
4. Gangguan ini menyebabkan gangguan klinis yang signifikan dalam sosial,
pekerjaan, atau area berfungsi lainnya.
5. Tidak terdapat keterlambatan umum klinis yang signifikan dalam bahasa
(misalnya, kata tunggal digunakan pada usia 2 tahun, frase komunikatif digunakan
pada usia 3 tahun)
6. Tidak terdapat keterlambatan signifikan dalam perkembangan kognitif atau dalam
perkembangan keterampilan membantu diri sendiri sesuai usia, perilaku adaptif
(selain dalam interaksi sosial), dan rasa ingin tahu tentang lingkungan pada masa
kanak-kanak
7. Kriteria ini tidak termasuk dalam gangguan perkembangan pervasif lainnya atau
skizofrenia.
Guru dapat mewaspadai tampilan yang ditunjukkan oleh anak dibawah ini terkait dengan
kemungkinan gangguan sindrom Asperger yang dialami oleh siswa (Herbert,2003).

B. Masalah Sosial
Anak yang mengalami sindrom Asperger menunjukkan tampilan seperti dibawah ini :
1. Sering menjadi sangat tertarik pada orang lain dengan bertambahnya usia, namun
mereka secara sosial ceroboh dan berprilaku tidak tepat.
2. Menunjukkan abnormalitas dalam imajinasi sosial
3. Cenderung egosentris
4. Gagal untuk belajar dari pengalaman dalam cara yang memberikan makna sosial
dan panduan yang berguna untuk hidup
5. Akumulasi dari pengetahuan yang terpisah-pisah, kurang adanya akal sehat
(common sense)
6. Kekurangan dalam kemampuan untuk memahami dan menggunakan aturan dalam
perilaku sosial
7. Tidak memiliki pengetahuan intuitif tentang bagaimana beradaptasi dengan
kebutuhan-kebutuhan dan kerpibadian orang lain
8. Memiliki hubungan dengan jenis kelamin lain yang menyedikan contoh bahwa
perilaku sosial mereka lebih tidak sesuai
9. Cenderung menyampaikan gambaran yang naif dan kekanak-kanakan. Beberapa
orang dewasa merespons kepribadian ini dengan pemahaman empatik bahwa apa
yang mereka alamai sebagai pengalam buruk pada masa kanak-kanak.

96
10. Orangtua sering mengeluh bahwa anaknya terlihat sebagai anak yang normal
namun pada kenyataanna tidak begitu.

C. Gangguan komunikasi
Anak dengan sindrom Asperger menunjukkan gangguan komunikasi berikut ini :
1. Perkembangan bahasa mungkin akan berlangsung lambat dengan dan juga aneh
dalam caranya menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.
2. Kemampuan untuk berbicara dengan lancar pada usia 5 tahun tercatat sebagai
tampilan dari sindrom
3. Isi dari percakapan cenderung suka menonjolkan diri dan sering berisi uraian
panjang tentang subjek yang disukai
4. Menggunakan bahasa yang terlihat lebih untuk kepuasan diri dari pada
berkomunikasi
5. Kegagalan dalam memahami gurauan verbal
6. Kesalah menginterpretasi saat mengabaikan isyarat non verbal
7. Ketidakmampuan untuk menggunakan atau memahami ekspresi wajah, suara,
isyarat tubuh dan bahasa tubuh lainnya untuk mengekspresikan emosi
8. Menggunakan intonasi vokal yang cenderung monoton dan berdengung atau
berlebih-lebihan
9. Kontak mata yang abnormal, baik menghindari tatapan atau tatapan panjang yang
intens
10. Kecenderungan untuk menginterpretasi ucapan secara harafiah

D. Minat dan Keterampilan


1. Anak dengan sindrom Asperger cenderung untuk memiliki inteligensi rata-rata atau
diatas rata-rata
2. Secara umum, dalam tes psikologis yang membutuhkan memori yang baik dapat
dikerjakan dengan baik, namun memiliki kekurangan dalam hal yang berkaitan dengan
konsep yang abstrak atau urutan yang dibatasi oleh waktu.
3. Kemampuan visual spasial beragam, dan skor tes cenderung menunjukkan tanda yang
lebih rendah dibandingkan dengan bahasa ekspresif.
4. Olahraga bagai anak dengan Asperger bukan lah cara untuk mengurangi ketegangan

97
5. Sebagian besar anak dengan sindrom Asperger buruk dalam permainan yang
melibatkan keterampilan motorik, karena motorik kasar mereka kaku dan kurang
koordinasi.
6. Postur tubuh dan gaya berjalan yang aneh
7. Minat artistik mungkin terhambat karena masalah eksekutif kadang mempengaruhi
kemampuan untuk menulis atau menggambar.
8. Mereka mungkin bagus dalam permainan dengan papan seperti catur, yang
membutuhkan memori yang baik.
9. Hobi secara umum terdiri atas satu atau dua fokus area yang dangkal, seperti astronomi,
prangko atau hewan pra sejarah.
10. Mereka secara obsesif mengumpulkan dan mengatur setiap fakta yang diketahuinya
tentang minat yang mereka pilih dan bicara terus menerus tentang hal tersebut tanpa
menyadari bahwa mereka sudah membuat audiens menjadi bosan.

Penyebab Gangguan Asperger


Berbagai studi menyepakati bahwa Asperger lebih banyak terjadi pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan. Apa sebabnya belum dapat dijelaskan sampai saat ini.
Secara umum, gangguan Asperger juga berhubungan dnegan tipe diagnosa lainnya –yang juga
tidak dapat dijelaskan sebabnya- seperti gangguan Tic, gangguan perhatian dan gangguan
mood seperti depresi dan kecemasan. Dalam beberapa kasus, sangat jelas ditemukan adanya
komponen genetik, dimana salah satu orangtua (paling sering adalah ayah ) menunjukan
tampilan yang lengkap dari Asperger atau setidaknya beberapa tampilan kepribadian dari
Asperger. Terkadang terdapat hubungan positif dengan sejarah keluarga yang juga mengalami
Asperger. Kepribadian temperamental seperti memiliki intensi dan minat yang terbatas,
kompulsif atau gaya yang rigid dan keanehan secara sosial juga biasanya ditemukan dalam
keluarga anak dengan sindrom Asperger.
Penyebab dari sindrom Asperger sampai saat masih dalam penelitian. Banyak ahli
menyatakan bahsa pola perilaku dari mana sindrom Asperger didiagnosa mungkin tidak
dihasilkan dari penyebab tunggal. Terdapat bukti yang kuat bahawa sindrom Asperger dapat
disebabkan oleh berbagai faktor fisik, yang semuanya mempengaruhi perkembangan otak-
tidak termasuk didalamnya deprivasi emosional atau bagaimana cara seseorang dididik.

98
Asesmen
Untuk dapat mengetahui apakah seorang anak mengalami sindrom Asperger atau tidak,
profesional dapat melakukan asesmen dalam beberapa hal beriku t ini yaitu :
1. Asesmen Psikologis
Asesmen psikologi yang dilakukan ditujukan untuk mengevaluasi fungsi intelektual
dan gaya belajar anak. Dalam hal ini, profesional dapat melakukan pengetesan inteligensi untuk
mendapatkan skor IQ dan juga informasi tentang area yang mungkin mengalami masalah
dalam kemampuan kognitifnya. Selain itu, tes kepribadian mungkin juga diperlukan untuk
mengetahui sifat-sifat atau profil kepribadian dari anak.

2. Asesmen Komunikasi
Dalam penggalian data terkait dengan kemampuan komunikasi yang harus di evaluasi
adalah tentang bahasa formal dan bicara anak. Anak dapat di tes untuk mengetahui sejauh
mana mereka memahami dan menggunakan bahasa dalam komunikasi dengan orang lain.
Profesional juga dapat melakukan pengetesan terhadap pemahaman anak akan bentuk-bentuk
komunikasi non verbal dan kemampuan bahasa non literal, seperti memahami humor atau
metafora. Profesional dalam hal ini juga dapat mendengarkan suara anak terkait dengan
volume, tekanan dan nadanya.

3. Pemeriksaan Psikiatrik
Pemeriksaaan psikiatrik dilakukan oleh profesional untuk mengetahui hubungan anak
dengan keluarga dan teman sebaya, reaksi anak pada situasi baru, dan kemampuan untuk
memahami perasaan orang lain serta tipe komunikasi tidak langsung seperti mengejek dan
sarkasme. Profesional dalam hal ini dapat saja meminta untuk melakukan observasi perilaku
anak di rumah dan di sekolah. Selain itu juga untuk mengetahui apakah terdapat kondisi yang
lain seperti kecemasan atau depresi yang sering ditemukan pada individu yang mengalami
sindrom Asperger.

Intervensi
Secara umum, Asperger merupakan bentuk tertentu dari spektrum autisme, sehingga perlu
dipertimbangkan bagaimana guru di sekolah dapat membantu siswa dalam proses belajarnya.
Kondisi anak dengan sindrom Asperger sebenarnya cukup menantang bagi guru dan orangtua,
sehingga perlu pendekatan intervensi yang juga disesuaikan dengan area-area yang mengalami

99
masalah. Barnhill (2003) menjelaskan beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh orangtua
dan guru dalam membantu anak yang mengalami sindrom Asperger, yaitu :
1. Strategi Keterampilan sosial
Orangtua dan guru dapat menciptakan dukungan sosial dan meningkatkan
perkembangan keterampilan dalam beberapa cara beriku ini :
a. Menjaga anak dari kemungkinan mengalami bullying atau ejekan dengan
menyediakan aktivitas yang disupervisi. Libatkan anak dalam kelompok
keterampilan sosial seperti lingkaran teman dimana dia dapat diajari bagaimana sara
membaca dan merespons petunjuk-petunjuk sosial , memulai pertemanan, dan
mangatasi frustasi; mengatur kesempatan untuk mempraktekkan bagaimana menjadi
seorang teman bagi sebayanya.
b. Memberikan kesempatan di sekolah untuk pembelajaran keterampilan sosial seacara
langsung fokus pada area seperti membaca dan dan merespons petunjuk-petunjuk
sosial, berteman dan mengatasi frustasi
c. Menggunakan pengingat visual untuk meningkatkan keterampilan sosial, secara
informal atau melalui tulisan-tulisan visual, kartu-kartu atau cerita-cerita sosial.
d. Menyadari bahwa anak mungkin sudah mengalami kontak sosial yang cukup banyak
di sekolah dan membutuhkan waktu sendiri selama waktu sekolah atau saat
beristirahat di rumah.
2. Strategi Komunikasi
Orangtua dan guru dapat membantu mengembangkan, menggunakan dan memahami
komunikasi sosial yang tepat dengan cara :
a. Menjelaskan sesuatu dengan cara yang sederhana. Menggunakan bahasa yang lebih
sedikit biasanya lebih baik dilakukan.
b. Mengungkapkan permintaan dengan bahasa yang kongrit dan spesifik.
c. Membuat anak memberikan perhatiannya sebelum memberikan petunjuk
d. Mengecek pemahaman anak, sehingga tidak hanya berasumsi bahwa anak sudah
paham dengan apa yang dimaksudkan.
e. Melakukan latihan keterampilan komunikasi non verbal termasuk didalamnya bunyi
suara, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan jarak personal.
f. Menyediakan pembelajaran langsung (direct instruction) dalam sejumlah makna
kata atau ungkapan.
g. Mengajarkan bagaimana memulai, mengakhiri dan menjaga percakapan dengan
orang lain.
100
3. Strategi dukungan perilaku di rumah dan di sekolah
Orangtua dan guru dapat membantu anak dengan sindrom Asperger untuk mengatasi
masalahnya sehari-hati dengan lebih efektif dengan cara :
a. Menyediakan lingkungan yang aman dan dapat diprediksi untuk menghindari
sesuatu yang dapat memicu amukan dan memasukkan rutinitas dan aturan yang
jelas.
b. Menyusun rutinitas yang konsisten dengan harapan-harapan yang jelas setiap hari.
Mengingatkan anak akan adanya transisi dan menghindari adanya kejutan-kejutan.
c. Membatasi kesempatan untuk berbicara secara obsesif tentang minat tertentu dengan
menyediakan waktu khusus dalam sehari untuk perilaku ini.
d. Saat mencoba untuk mengubah perilaku yang tidak sesuai, ajari anak perilaku sesuai
untuk mengubahnya. Misalnya dengan mengajari anak untuk mengantri dengan
menjari cara untuk mengisi waktu misalnya dengan menghitung dengan lambat
sampai dengan 10 dibandingkan dengan berteriak-teriak.
e. Mengunakan humor untuk membagi ketegangan
f. Mengajari anak mengontrol kemarahan
g. Mengajari anak konsep penyebab dan efek
h. Menciptakan tempat yang aman bagi anak untuk pergi saat mereka merasa butuh
untuk memperoleh kembali kontrol.
i.
4. Strategi akademik
Orangtua dan guru dapat mendukung kemajuan akademik anak dengan menggunakan
stategi berikut ini :
a. Guru harus berperan besar dalam memori yang luar biasa pada anak Asperger dan
menyediakan kesempayan bagi mereka untuk mendemostrasikan pengetahuan
faktualnya di kelas, dan pendekatan yang dapat dikuatkan oleh orangtua di rumah.
Misalnya : jika anak tertarik dengan mainan tertentu seperti kereta api, maka orangtua
dapat menggunakan kereta api untuk mengajari anak untuk mberhitung atau
menyelesaikan persoalan matematika.
b. Guru harus menyediakan jadwal visual sehingga anak dapat mengetahui apa yang akan
dilakukan sepanjang hari dan dapat memahami dunia dengan lebih baik.
c. Guru harus mendesain program akadeik sehingga anak dapat mengalami kesuksesan
yang konsisten. Orangtua dapat mendiskusikan modifikasi kelas dengan guru anak
untuk memastikan kesempatan yang konsisten untuk sukses.
101
d. Guru harus mengecek pemahaman, selalu mengingat bahwa anak dengan sindrom
Asperger sering dapat mengkode kata namun tidak selalu memhami apa yag mereka
baca dengan lancar.
e. Orangtua harus memberi tahu guru tentang minat obsesif dari anak sehingga guru dapat
menghubungkan minat itu dengan pelajaran di kelas.
f. Pelajaran menulis biasanya merupakan tantangan. Jika anak mengalami kesulitan
dengan menulis, guru dapat memperpendek atau memodifikasi tugas-tugas anak.

102
Kesulitan dalam Komunikasi : Mutisme Selektif (Selective Mutism)

Apa yang kita pelajari pada bab ini?


1. Memahami karakteristik Mutisme Selektif
2. Memahami penyebab gangguan Mutisme Selektif
3. Memahami metode asesmen untuk mendiagnosa Mutisme Selektif
4. Memahami intervensi untuk gangguan Mutisme Selektif

Pendahuluan
Berbicara merupakan sarana untuk berkomunikasi yang penting bagi kehidupan sosial
anak karena melalui berbicara anak memperoleh tempat di dalam kelompok sosialnya. Pada
anak tertentu, berbicara pada situasi/ tempat, atau dengan orang tertentu menjadi suatu hal
yang membuat mereka merasa tidak nyaman, takut atau bahkan cemas, sehingga mereka
menolak untuk melakukannya. Kondisi ini kemudian didefinisikan sebagai Mutisme Selektif.
Mutisme Selektif (MS) terjadi ketika anak mengalami kegagalan yang persisten untuk
berbicara pada suatu situasi sosial tertentu (misalnya : disekolah) diluar kemampuan untuk
berbicara dan memahami bahasa diucapkan (VandenBosh, 2007 ). Misalnya, anak dengan
gangguan MS secara khusus dapat berbicara dengan lancar dengan orangtua atau saudaranya
di rumah, namun menolak/tidak mau berbicara dengan guru atau teman sebaya ketika dia
memasuki sekolah. Kriteria diagnosis untuk menentukan gangguan ini berdasarkan DSM-IV
TR (Van den Bosh, 2007), yaitu :
a. Kegagalan berbicara pada situasi sosial tertentu namun dapat berbicara pada situasi
yang lain.
b. Gangguan ini mempengaruhi akademis
c. Durasi dari gangguan minimal 1 bulan (tidak termasuk bulan pertama saat awal masuk
sekolah yang anak biasanya malu dan menolak untuk berbicara)
d. Kegagalan berbicara bukan disebabkan kurangnya pengetahuan atau pemahaman
terhadap bahasa yang digunakan dalam situasi sosial .

MS terjadi pada situasi yang menuntut anak untuk mampu berbicara, seperti sekolah
atau lingkungan pergaulan sosial (Shipon-Blum, 2003). Anak MS mengalami kesulitan untuk
merespon atau memulai komunikasi dalam situasi sosial karena rasa takut dan cemas untuk
melakukannya. Rasa takut atau cemas ini diekspresikan dalam bentuk yang berbeda-beda. Pada
sebagian anak, ada yang menjadi sama sekali membisu atau tidak berbicara pada siapapun di
103
situasi sosial, sedangkan yang lain mau berbicara hanya pada orang-orang tertentu atau
berbicara dengan suara yang sangat pelan atau berbisik. Kumpulainen et.al (1998) menjelaskan
situasi-situasi anak MS menolak/tidak mau berbicara dalam penelitian yang dilakukannya pada
38 anak MS, sebagai berikut :
Tabel . Tempat/Situasi Anak MS Menolak Bicara
Tempat/situasi (%)
Selalu didalam kelas 47
Pada situasi tertentu dalam kelas 37
Selama waktu istirahat di sekolah 32
Secara total menolak berbicara di sekolah 21
Di rumah 3
Tidak pernah berbicara pada guru 21
Tidak pernah bicara pada guru tertentu 18
Tidak pernah berbicara pada teman 45
Tidak pernah bicara pada teman tertentu 13

Anak MS menunjukkan tampilan sebagai anak yang sangat pemalu (APA, Black and
Uhde; Cook;Knell; Powell & Dalley, dalam Landreth, 2001), ketakutan akan dipermalukan
dalam situasi sosial, pencemas, terisolasi secara sosial, cenderung temper tantrum, berprilaku
oppositional,moody, agresif, keras kepala (dalam Landreth, 2001). Dalam keluarga dengan
anak MS, ibu dan anak seringkali memiliki hubungan yang dekat bahkan ketergantungan.
Sebaliknya ayah dijelaskan sebagai orang yang pasif. Diluar berkomunikasi dengan verbalisasi
standar, anak dengan gangguan ini mungkin akan berkomunikasi dengan gestures,
mengangguk atau menggelengkan kepala, mendorong atau menarik, atau pada beberapa kasus
dengan kata-kata tunggal, pendek dan tanpa suara.

Prevalensi Mutisme Selektif


Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa prevalensi MS cukup jarang,
berkisar antara 0,038% sampai 0,069 % pada sampel siswa sekolah dasar (Brown & Llyod,
1975; Fundudis, Colvin & Garside, 1979 dalam Cunningham, et al, 2004). Namun penelitian
terbaru di Eropa melaporkan prevalensi 2 % dengan lebih banyak pada perempuan
dibandingkan laki-laki dan sebagian besar sudah mengalami MS sejak mereka memasuki
sekolah dasar (Kumpulainen, et al, 1998). Dummit (dalam Gray et.al, 2002) juga menguatkan
asumsi ini dengan mengatakan bahwa MS secara umum terlihat lebih banyak terjadi pada
wanita. Selain itu, Segal (dalam Gray et.al, 2002) memperkirakan kemungkinan anak kembar
yang menderita MS kira-kira 1 dalam 40.000 orang. Gangguan ini dilaporkan terdapat pada

104
semua tingkat sosial ekonomi dan umumnya pada anak dengan latar belakang imigran
(Steinhausen & Juzi, dalam Gray et.al, 2002).

Etiologi Mutisme Selektif


Penjelasan mengenai etiologi MS cukup bervariasi. Beberapa ahli mengatakan bahwa
penyebab MS belum dapat diketahui secara jelas (Jackson et.al, 2005). Pada teori terdahulu,
gangguan MS sering dijelaskan sebagai respon dari masalah atau kesulitan yang terjadi dalam
keluarga hasil dari gangguan artikulasi atau reaksi terhadap trauma (Pustrom & Speers;
Meyers; Meijer ;Mac1 Gegor et. al, dalam Bell and Espie 2003). Reaksi terhadap kejadian
besar dalam hidup atau trauma juga disebutkan menjadi faktor penyebab yang potensial (Dow
et.al, dalam Gray et.al, 2002), namun tinjauan utama dari anak MS mengindikasikan bahwa
tekanan psikologis juga dapat berpengaruh. Selain itu, kekerasan dan trauma cukup jarang
menjadi faktor yang dihubungkan dengan perkembangan gangguan (Gordon; Kolvin &
Fundudis; Steinhauzen & Juzi, dalam Gray et.al, 2002). Beberapa teori mengaitkan gangguan
MS ini dengan latar belakang keluarga. Gilberg dan Gilberg (dalam Kumpulainen, 1998)
melaporkan MS dapat disebabkan karena ibu yang over protektif, anak yang sering
ditinggalkan sendiri pada usia awalnya dan lebih sering bermain sendiri sebagai seorang anak
kecil. Anak MS juga dilaporkan berasal dari 2 keluarga orangtua yang mengalami
permasalahan perkawinan yang mendekati perceraian (Kumpulainen, 1998). Selain itu, Black
& Uhde (1995) melaporkan bahwa sejarah keluarga yang berkaitan dengan gangguan
kecemasan juga tercatat mempengaruhi anak MS, dari 30 sampel anak ditemukan 70 % berasal
dari keluarga yang menunjukkan gejala pobia sosial dan MS tercatat pada 37 % keluarga.
Ahli psikodinamika memandang MS sebagai sebuah manifestasi dari konflik yang tidak
terselesaikan (Dow et.al, 1995). Sebagai contoh seorang anak yang mengalami fiksasi oral atau
anal dan berkeinginan untuk menghukum orangtuanya dengan memilih tidak berbicara pada
situasi tertentu. Anak mungkin menyimpan rahasia tertentu dari keluarganya, memindahkan
(displacing) kemarahannya pada selain orangtua, atau regresi pada tahap non verbal tertentu
dari perkembangannya (Giddan et.al, 1997). Oleh karena itu, MS dianggap sebagai cara untuk
mengatasi kemarahan dan kecemasan atau untuk mencapai tujuan menghukum orangtuanya.
Pandangan dari psikodinamika tidak terlalu populer dibandingkan dengan teori behavioral
yang lebih empiris.
Para ahli behavioral memandang MS sebagai sebuah produk dari pola belajar jangka
panjang yang diperkuat secara negatif atau sebagai respon yang dipelajari yang menjadikan
penolakan untuk berbicara sebagai cara untuk memanipulasi lingkungan (Porjes,1992).
105
Dengan kata lain, MS muncul karena adanya interaksi anak dengan lingkungannya. Peneliti
behavioral merasa bahwa perilaku diam anak sebagai fungsi bahwa lingkungan
mempertahankan cara ini untuk berinteraksi (Anstendig, 1998). Oleh karena itu, perilaku anak
ini dipandang sebagai perilaku yang adaptif dan tidak patologis.
Beberapa peneliti lain berpendapat bahwa MS merupakan bentuk variasi dari pobia
sosial (social phobia). Black and Uhde (1995) menemukan bahwa kecemasan sosial (social
anxiety) yang berlebihan menjadi karakteristik umum pada semua partisipan dalam
penelitiannya yang semuanya juga didiagnosa mengalami MS. Kebanyakan anak mengalami
gangguan yang signifikan dalam kehidupan sosial, akademik dan hubungan keluarga karena
kecemasan sosial ; gangguan ini ditandai dengan kegagalan untuk berbicara di situasi tertentu.
Black and Uhde (1995) juga menemukan bahwa pada keluarga anak MS terdapat insiden yang
tinggi gangguan MS dan prevalensi pobia sosial yang lebih tinggi. Penolakan berbicara pada
situasi publik menjadi gejala yang umum pada orang dewasa yang mengalami pobia sosial.
Kesimpulan yang diungkapkan oleh Black and Uhde (1995) yaitu penolakan untuk berbicara
pada anak MS tidak memiliki perbedaan dengan penolakan berbicara pada situasi yang memicu
kecemasan yang terlihat pada anak normal dan orang dewasa dengan tingkat kecemasan sosial
yang rendah.
Pandangan teori etiologi yang berdasarkan pada perspektif sistem keluarga memandang
bahwa anak MS terlibat dalam hubungan keluarga yang salah yang memicu munculnya gejala-
gejala mutisme ( Anstendig, 1998). Subak, West dan Carlin (1982) memandang mutisme
sebagai hasil dari variasi dari hubungan yang neurotik antara ibu dan/atau ayah dan anak yang
ditandai dengan ketergantungan dan ambivalensi dengan kebutuhan berlebihan untuk
mengontrol situasi. Hubungan neurotik dengan orangtua ini terbawa oleh anak pada
interaksinya dengan orang lain. Keluarga yang memiliki anak mutisme selektif memiliki
karakteristik kelekatan yang intens ( mis. Dominans, overprotektif, dan kaku), interdependensi,
ketakutan dan ketidakpercayaan pada dunia luar, ketakutan dan ketidakpercayaan pada orang
asing, kesulitann dalam asilimilasi budaya dan bahasa, kehidupan rumah tangga yang tidak
harmonis atau tidak adanya latihan berbicara yang dilakukan oleh satu atau kedua orangtua di
rumah ( Meyers, 1984).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa MS sangat dekat hubungannya dengan
gangguan kecemasan (jika bukan gejala gangguan kecemasan atau secara khusus merupakan
variasi dari pobia sosial) dan juga merupakan ekspresi simptomatik dari berbagai gangguan
psikiatri lainnya (Kumpulainen, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Black & Uhde (1995)
menyebutkan bahwa pada sampel 30 orang anak yang menderita MS, didapatkan bahwa 97 %
106
sesuai dengan kriteria pobia sosial, avoidant disorder, atau keduanya, hanya 13% yang
dilaporkan memiliki sejarah mengalami kekerasan fisik atau seksual dan hanya 10 % memiliki
diagnosa oppositional defiant disorder. Hal ini membuat banyak peneliti mempercayai bahwa
MS adalah gangguan yang berada pada spektrum gangguan kecemasan pada masa kanak-kanak
(Dow et.al dalam Krysanski, 2003). Pada penelitian yang dilakukan Calhoun et.al (1995)
didapatkan bahwa pengalaman traumatis dan rasa malu menjadi salah satu faktor
perkembangan yang menjadi penyebab pobia sosial.

Dampak Mutisme Selektif Bagi Anak


MS dapat berdampak negatif pada anak karena gangguan ini membuat kesempatan anak
untuk berinteraksi menjadi terbatas, keterlambatan dalam perkembangan kemampuan bahasa
dan mengurangi keterlibatan dalam aktivitas sehari-hari di sekolah dengan murid yang lain
(Gidden et.al dalam Krysanski, 2003). Bergman et al. (2002), juga melaporkan bahwa dalam
perbandingan dengan kelompok kontrol, guru menilai anak MS mengalami kekurangan dalam
kemampuan akademik dan kemampuan berfungsi secara umum. Mereka juga mengatakan
kelemahan dalam kemampuan akademik merupakan masalah kedua setelah kurangnya
interaksi verbal dalam situasi kelompok. Kemampuan verbal menjadi strategi utama yang
digunakan pada tingkat sekolah dasar untuk mengetahui pengetahuan dan pemahaman anak
terhadap konsep-konsep dasar yang telah diajarkan, sehingga ketidakmampuan anak untuk
berbicara akan membuat guru mengalami kesulitan dalam menilai anak dalam dua kemampuan
diatas. Selain itu, hal ini juga membuat kemampuan guru untuk menyediakan atau memberikan
umpan balik korektif yang dapat meningkatkan kemampuan akademik mereka juga menjadi
terbatas.
Dalam penelitian terbaru dengan subjek anak-anak Kanada, orangtua dan guru
melaporkan bahwa anak MS memiliki kekurangan dalam perilaku sosial secara verbal
(Cunningham et.al, 2004). Hasil ini mengindikasikan bahwa anak MS jarang terlibat dalam
kelompok, mengenalkan diri, memulai percakapan atau mengundang teman-teman ke rumah
mereka. Kekurangan ini kemudian menjadi berkembang lebih jauh menjadi sebuah masalah
dalam interaksi sosial dengan teman-teman sebayanya karena mereka jarang mempraktekkan
dan memperbaiki kemampuan komunikasinya tersebut. Bagaimanapun, penelitian-penelitian
yang ada mengindikasikan bahwa kekurangan dalam kemampuan sosial pada anak MS akan
dapat meningkatkan resiko terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan sosial
anak pada masa yang akan datang (Cunningham et.al, 2004).

107
Selain itu, gangguan MS juga akan berdampak pada kondisi akademis, sosial emosional,
yaitu (http/:www.selectivemutismcenter.org) :
a. Membuat gangguan kecemasan semakin memburuk
b. Menjadi depresi dan memunculkan gangguan kecemasan lainnya,
c. Mengalami isolasi sosial dan withdrawal
d. Penghargaan diri dan rasa percaya diri yang rendah
e. Penolakan sekolah, prestasi belajar yang rendah dan kemungkinan untuk berhenti
sekolah
f. Menjadi underachievement secara akademis dan di tempat kerja

Metode Asesmen dalam Mendiagnosis Mutisme Selektif


Asesmen yang dilakukan untuk mendiagnosa gangguan Mutisme Selektif harus
meliputi evaluasi yang komprehensif untuk mendapatkan kejelasan tentang gangguan dalam
penggunaan bahasa dan menggali kemungkinan adanya gangguan lain yang menyertainya
(Krysanski, 2003). Untuk mendiagnosa anak dengan gangguan mutisme selektif terdapat
beberapa metode yang dapat dilakukan yaitu :
1. Rekaman audio dari pembicaraan klien dengan orangtuanya untuk mengetahui masalah
komunikasi atau fonologi yang ada pada klien (Jackson et.al,2005).
2. Observasi perilaku klien dalam interaksi dengan orang lain, baik keluarga atau orang
lain dalam berbagai situasi. Cara lain untuk melihat kemampuan komunikasi klien
melalui tiga tugas komunikasi yang menunjukkan berfungsinya secara utuh
kemampuan komunikasi sosial yaitu :
a. Keterlibatan dengan orang lain
b. Merespons komunikasi yang dimulai oleh orang lain
c. Memulai komunikasi untuk melayani keinginan atau kebutuhannya sendiri.
3. Wawancara dengan significant person untuk menggali sejarah gangguan, rekam medis
kesehatan yang berkaitan dengan gangguan fisiologis yang berhubungan dengan
berbicara dan mendengar.
Beberapa literatur lain menambahkan beberapa metode asesmen yang lain untuk
memperkuat diagnosa mutisme selektif, yaitu :
1. Karakteristik kepribadian
Hal yang umum dilakukan oleh praktisi menggunakan metode nonverbal dalam pendekatan
kepribadian dan psikopatologi. Walaupun memiliki kekurangan berkaitan dengan validasi
empiris dari metode ini, namun beberapa ahli masih menggunakan metode asesmen
108
kepribadian ini. Terdapat beberapa pendekatan nonverbal dalam asesmen kepribadian,
yaitu :
a. Drawing Technique, yang meliputi gambar, atau reproduksi seseorang, benda dan
figur (misalnya : Tes Bender Gestalt, Draw a Person, House Tree Person, Kinetic
Family Drawing)
b. Object placement and play technique, yang meliputi pengaturan benda
dan manipulasi dalam makna dan interpretasi (mis : Erica Method, Family System
Test, Mosaic Test and World Technique)
c. Self rating and Self Report techniques, yang melibatkan rating pada stimulus
gambar yang secara individual berhubungan dengan diri sendiri ( misalnya : Five
Factor Non verbal Questionnaire, Visual Analog Mood Scales)

2. Nonverbal Neuropsychological Assesment


Dalam asesmen ini yang diukur adalah :
a. Perhatian, meliputi selective attention, sustained attention and divided attention
b. Hambatan respons
c. Perencanaan dan Pengaturan
d. Fleksibilitas berpikir dan Perpindahan set mental
e. Persepsi visuospasial
f. Integrasi persepsi-motorik
g. Ingatan dan pembelajaran, Ingatan jangka panjang dan memori.

3. Family Assessment
Cukup penting dalam semua kasus untuk mendapatkan informasi detail tentang
keluarga klien yang mengalami mutisme selektif. Hal ini mengikuti fakta bahwa orang tua
menjadi pendidik utama dari aak dan diyakini bahwa karakter, sikap, perilaku, fungsi
interpersonal dan pengalaman emosional mereka akan memberika efek pada pertumbuhan
anaknya. Informasi ini dapat dikumpulkan melalui wawancara dengan orangtua,
pengukuran formal dari keberfungsian keluarga atau kombinasi dari pendekatan-
pendekatan ini. Selain itu, observasi tentang interaksi keluarga juga menjadi informasi
yang cukup penting.

109
Pendekatan dalam Intervensi Mutisme Selektif
Berbagai pendekatan digunakan dalam intervensi terhadap gangguan mutisme selektif.
Pendekatan tersebut antara lain dengan menggunakan farmakologi, psikodinamika, intervensi
keluarga dan pendekatan behavioral.

1. Pendekatan farmakologi
Berdasarkan asumsi teoritis bahwa MS merupakan bentuk dari pobia sosial,
penggunaan farmakoterapi terbukti cukup efektif untuk mengobati MS dengan pengurangan
gejala dalam waktu beberapa minggu (Black & Uhde; Golwyn & Weinstock; Golwyn & Sevlie,
dalam Jackson et.al, 2005). Penelitian yang dilakukan oleh Thomsen et.al (1999), pada subjek
yang menderita MS berusia 17 tahun menggunakan citalopram berhasil meningkatkan
kemampuan bicara subjek dan kemampuan terlibat dalam situasi sosial. Selain itu, penggunaan
fluoexetine dalam dosis yang diberikan secara gradual pada penelitian yang dilakukan oleh
Dummit et.al (dalam Thomsen et.al, 1999) juga mampu mengurangi tingkat kecemasan dan
meningkatkan kemampuan bicara di situasi umum pada 76% pasien MS. Namun sebagaimana
gangguan psikologis lainnya, pendekatan medis tidak dapat diterapkan pada semua klien, dan
resiko mengandalkan medis sebagai satu-satunya treatmen menjadikan faktor lingkungan yang
mempengaruhi MS tidak dapat teridentifikasi dan secara aktif dapat diubah (Jackson et.al,
2005).

2. Pendekatan Psikodinamika
Ahli psikodinamika melihat MS sebagai manifestasi dari konflik yang tidak
terselesaikan (Dow et.al, 1995). Terapi dengan pendekatan psikodinamika juga telah
digunakan dalam beberapa kasus, namun pendekatan ini membutuhkan waktu yang lama,
bahkan sampai bertahun-tahun untuk melakukan sebuah treatmen. Kondisi ini secara
signifikan lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan untuk treatmen dengan farmakoterapi
atau pendekatan lainnya. Selain itu, menurut Krysansky (2003), cukup sulit untuk menentukan
apakah perubahan yang terjadi dalam terapi dengan pendekatan ini benar-benar akibat dari
terapi yang diberikan, atau ini hanya karena perjalanan waktu (karena semua treatmen
berlangsung dalam waktu yang lama) dan klien sembuh dari MS dengan sendirinya. Penelitian-
penelitian yang menggunakan psikoanalisis dilaporkan memberi hasil yang bervariasi. Dalam
beberapa kasus, klien dilaporkan dapat berbicara hanya pada situasi tertentu (Giddan, Ross,
Sechler, & Becker, dalam Jackson et al, 2005). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Adam
dan Glasner (dalam Jackson et.al, 2005) pada empat orang anak MS selama 3 bulan, didapatkan
110
hasil bahwa keempat anak tersebut hanya dapat berbicara beberapa kata saja setelah terapi
selesai. Lesser-Kazt (dalam Jackson et.al, 2005) menggunakan psikodinamika pada dua orang
subjek dalam terapi selama 2 tahun memperlihatkan hasil, satu orang subjek dapat berbicara
dengan spontan pada siswa yang lain dan menjawab pertanyaan guru, dan subjek kedua dapat
berkomunikasi dengan baik, namun pada follow up satu tahun berikutnya subjek mengalami
regresi dan kembali menjadi mutisme.

3. Pendekatan Terapi Keluarga (family therapy)


Terapi keluarga (family therapy) digunakan pula dalam mengatasi gangguan MS,
dengan fokus utama pada kesalahan yang terjadi dalam hubungan keluarga (Astendig,1999)
kecurigaan terhadap dunia luar, ketakutan pada orang asing, kehidupan rumah tangga yang
tidak harmonis (Meyers, 1999) dan hubungan dengan sistem lain yang berkaitan. Asumsi
utama dari pendekatan ini adalah pola interaksi dan konflik dalam keluarga yang menjadi
penyebab gangguan MS. Tujuan terapi keluarga adalah untuk merubah sistem keluarga yang
tidak sehat menuju kesadaran akan masalah yang melibatkan orangtua dan anak. Pendekatan
ini dilaporkan juga cukup berhasil, dengan laporan klien yang bebas dari gejala MS setelah
terapi kira-kira 1 sampai 2 tahun. Namun, sikap orangtua yang cenderung membela diri sendiri
(defensive) dalam intervensi membuat terapis mengalami kesulitan untuk menyembuhkan
keluarga yang menjadi faktor penyebab gangguan MS pada anak (Jackson et.al, 2005). Selain
itu, menurut Krysansky (2003), tidak ditemukan literatur yang menjelaskan secara detail
tentang proses intervensi dalam terapi keluarga dan analisis dari hasil intervensi yang
dilakukan, sehingga membuat pendekatan ini menjadi lebih jarang digunakan saat ini.

4. Pendekatan Behavioral
Pendekatan behavioral melihat MS sebagai hasil dari pola belajar yang diperkuat secara
negatif dalam jangka waktu yang panjang (Leonard& Topold, dalam Giddan et.al, 1997) atau
sebagai respons yang dipelajari yaitu menolak untuk berbicara merupakan metode anak untuk
memanipulasi lingkungan (Porjes, dalam Krysansky, 2003). Dalam kata lain, MS muncul
karena interaksi antara anak dengan lingkungan. Pendekatan behavioral berusaha untuk
mengurangi kecemasan ketika berbicara dan/atau memberikan penguatan (reinforcing) anak
untuk berbicara. Teknik behavioral terbukti efektif dalam treatmen MS (Dow et.al ; Spasaro
et.al, dalam Jackson et.al 2005) dan yang paling banyak digunakan (Astendig; Dow et.al dalam
Jackson et.al, 2005). Metode ini menggabungkan anak dengan lingkungan dalam proses
asesmen dan treatmen. Penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan teknik ini seringkali
111
fokus pada unimodal intervensi behavioral, seperti contingency management, stimulus fading,
shaping, atau escape-avoidance. Contingency management melibatkan penguat positif
(positive reinforcement) untuk verbalisasi (Moldan, 2003). Stimulus fading merupakan
intervensi behavioral lain yang secara perlahan memperluas situasi anak MS akan berbicara.
Dua teknik behavioral yang penting dalam penanganan anak mutisme selektif adalah
desensitisasi dan penguat positif (Shipon-Blum, 2003). Jackson et.al (2005) mencatat beberapa
penelitian yang menggunakan teknik desensitisasi yang terbukti efektif dalam mengatasi
gangguan MS dengan durasi treatmen yang berkisar antara 1 hari sampai 1 tahun. Teknik ini
pertama kali dikembangkan oleh John Wolpe pada tahun 1958 (Spiegler & Guevremont,
2003). Desensitisasi adalah teknik untuk mengurangi/ menghambat /menghilangkan respon
kecemasan secara bertahap dengan cara memunculkan respon yang berlawanan. Wolpe
menggunakan asumsi bahwa treatmen yang tepat digunakan untuk pobia adalah dengan
mengenali respon-respon yang memunculkan rasa takut dan mengajarkan klien untuk melawan
respon tersebut pada situasi yang dapat memunculkan rasa takut (Martin & Pear, 2003).
Perilaku yang berlawanan dengan rasa takut yang ditemukan oleh Wolpe adalah dengan
relaksasi.
Adapun tahapan dalam prosedur desensitisasi yaitu :
a. Terapis pertama kali akan membantu klien untuk membuat hirarki kecemasan yang
berupa urutan situasi yang memunculkan rasa takut pada klien dengan yang paling
sedikit memunculkan rasa takut di bagian paling bawah dan yang paling kuat
memunculkan rasa takut di urutan paling atas.
b. Klien diajak untuk melakukan prosedur relaksasi yang awalnya membuat dia merasa
tegang dan kemudian relaks sehingga kemudian menjadi jauh lebih relaks mengikuti
ketegangan yang dirasakannya sebelumnya. Strategi relaksasi ini diaplikasikan pada otot
disemua area utama dari tubuh (seperti tangan, leher, wajah dan bahu) dan setelah
beberapa sesi, membuat klien mampu untuk relaks secara mendalam dalam beberapa
menit. Relaksasi adalah yang paling sering digunakan sebagai respon berlawanan dalam
desensitisasi. Dengan pertimbangan bahwa orang tidak akan merasakan cemas dan relaks
dalam waktu yang bersamaan. Relaksasi otot membantu dalam beberapa komponen fisik
dari kecemasan seperti meningkatnya ketegangan otot, detak jantung, tekanan darah dan
pernafasan.
c. Klien berusaha untuk bekerja dalam hirarki kecemasan. Klien disuruh untuk
membayangkan hirarki rasa takut. Setelah beberapa detik, klien diminta untuk relaksasi
15-20 detik dan membayangkan kembali. Dalam hal ini, terapis memproses hirarki
112
dengan klien membayangkan setiap tempat dua kali dan khususnya bekerja dalam 3-5
tempat dalam setiap sesinya dengan membentuk image dari setiap tingkat hirarki
kecemasan yang kemudian dihubungkan dengan relaksasi. Idenya adalah dengan
memasangkan situasi yang menakutkan dengan kondisi yang menyenangkan pada
relaksasi untuk menghilangkan asosiasi negatif dan menggantikannya dengan sesuatu
yang membuat lebih relaks (Martin & Pear, 2003)

Walaupun desensitisasi biasanya dilakukan dengan membayangkan namun teknik ini juga
dapat dilakukan dengan in vivo (Spiegler & Guevremont, 2003). Teknik desensitisasi in vivo
mengharuskan klien untuk bekerja pada hirarki kecemasan dalam lingkungan yang
memunculkan pobia atau pada stimulasi dari situasi nyata yang membuat klien merasa takut.
Teknik ini mengubah hambatan menjadi generalisasi dari perilaku yang diharapkan karena
klien belajar untuk menunjukkan perilaku ini pada situasi sebenarnya yang memunculkan rasa
takut. Saat menggunakan desensitisasi in vivo, terapis secara terus menerus menemani klien
dalam hirarki (Martin & Sundel, 2005).
Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan teknik desensitisasi
untuk mengatasi gangguan MS. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rasbury (dalam Jackson
et.al, 2005) pada satu orang subjek berusia 11 tahun dengan menggunakan metode desensitisasi
selama 14 sesi dengan 10 menit untuk setiap sesinya didapatkan hasil selama fase akhir dari
treatmen, klien dapat berbicara dengan spontan pada anggota keluarganya dan bukan anggota
keluarganya. Selain itu, dengan menggunakan teknik desensitisasi dan fading-in, penelitian
yang dilakukan oleh Reid (dalam Jackson et.al, 2005) secara marathon selama 1 hari, dapat
membuat klien mampu berbicara dengan bebas pada semua orang. Dalam follow-up 3 minggu,
ibu subjek melaporkan subjek dapat terus berbicara dengan orang lain di semua situasi.
Penelitian lain yang juga menggunakan pendekatan behavioral, dilakukan oleh Croghan &
Carven (dalam Jackson et.al, 2005), dengan menggunakan treatmen dengan metode
desensitisasi sistematis selama 2 bulan pada satu orang klien. Hasil dari penelitian ini, klien
dilaporkan mampu berbicara pada siswa yang lain dan guru di kelas. Dan pada follow up 5
bulan berikutnya, kemajuan kemampuan berbicara klien tersebut terus berlanjut.
Berdasarkan prinsip bahwa setiap perilaku mempunyai konsekuensi, penguat positif
atau hadiah dipercaya menguntungkan untuk mengurangi kecemasan anak serta membentuk
dan menjaga perilaku verbal yang diharapkan (Gosch, 2006). Namun bentuk hadiah yang
diberikan harus disesuaikan dengan keinginan dan pilihan anak.

113
Penggunaaan penguat positif dalam menangani gangguan MS terlihat berhasil pada
penelitian yang dilakukan oleh Amari, et.al (1999). Dalam penelitian yang dilakukannya,
Amari et al. (1999) menggunakan teknik reinforcement untuk meningkatkan kemampuan
verbal anak perempuan usia 7 tahun dengan gangguan MS. Penelitian lain yang menguatkan
keberhasilan penggunaan teknik desensitisasi dan penguat positif adalah yang dilakukan oleh
Jackson et.al (2005) pada anak laki-laki usia 6 tahun dengan gangguan mutisme selektif.
Dilaporkan setelah terapi yang dilakukan, subjek mulai berbicara di area publik, sekolah dan
tempat terapi.

Penutup
Mutisme selektif merupakan salah satu gangguan yang menarik untuk diteliti. Secara
statistik gangguan ini cukup jarang terjadi, namun memberikan dampak negatif pada
perkembangan penderitanya. Perlu asesmen yang lengkap untuk menegakkan diagnosa
mutisme selektif yang meliputi wawancara dengan significant persons, observasi kemampuan
komunikasi subjek, penelusuran rekam medis dan pemeriksaan fisiologis terutama berkaitan
dengan organ yang berkaitan dengan pendengaran dan bicara.
Berbagai pendekatan memberikan ulasan tentang penyebab terjadinya gangguan
mutisme selektif, begitu juga dengan metode penanganannya. Namun secara umum, masing-
masing pendekatan memiliki kelebihan dan kelemahan. Bagi praktisi yang berwenang dalam
penanganan gangguan mutisme selektif ini hal yang paling penting untuk diperhatikan adalah
kelengkapan data dalam penegakan diagnosa dan pendekatan yang tepat sesuai dengan klien,
karena satu pendekatan tidak dapat diterapkan pada semua klien.

114
Gangguan Perkembangan Pervasif (Pervasive Developmental Disorders/PDD)

Apa yang kita pelajari pada bagian ini?


a. Mengenal gangguan perkembangan pervasive dan karakteristiknya

Istilah gangguan perkembangan pervasive pertama kali digunakan pada tahun 1980an
untuk menjelaskan kelompok gangguan. Kelompok gangguan ini ditandai dengan sejumlah
karakteristik yaitu gangguan pada interaksi social, aktivitas imjinatif, keterampilan komunikasi
verbal dan non verbal dan jumlah minat terbatas serta aktivitas yang cenderung dilakukan
secara berulang-ulang. Dalam manual DSM IV TR terdapat lima gangguan yang dimasukkan
dalam kategori gangguan perkembangan pervasive yaitu Autism, gangguan Rett’s, gangguan
Disintegrative Kanak-kanak (Childhood Disintegrative Disorder), Asperger dan Gangguan
perkembangan pervasive yang tidak terspesifikasi (Pervasive Developmental Disorder Not
Otherwise Specified/PDDNOS.

Gangguan Rett’s dan Gangguan Disintegratif Kanak-kanak


Anak yang menunjukkan tampilan gangguan Rett’s biasanya tidak mengalami masalah dalam
perkembangan prenatal atau perinatal dan menunjukkan perkembangan mmotoricyang normal
sampai usia lima bulan pertama kehidupan. Pada saat lahir, lingkar kepala anak tersebut
normal,sampai usia 5-48 bulan, namun pada usia tahun pertama dan kedua, gangguan dari
fungsi-fungsi tertentu dapat diprediksi dengan perlambatan pertumbuhan kepala, kehilangan
sejumlah fungsi dari tangan (yang digantikan dengan gerakan stereotip tangan meremas-
remas), kehilangan keterikatan dengan social, kehilangan koordinasi dan sejumlah gangguan
yang parah pada keterampilan bahasa dan psikomotor.
Gangguan ini biasanya memiliki hubungan dengan retardasi mental tingkat menengah atau
parah dan hanya ditemukan pada perempuan.

Adapun kriteris diagnosis untuk gangguan Rett’s dalam DSM IV-TR , adalah :
A. Semua karakteristik dibawah ini :
1. Menunjukkan tampilan perkembangan pra natal dan perinatal yang normal
2. Menujukkan perkembangan psikomotor yang normal selama lima bulan pertama
kehidupan
3. Memiliki lingkar kepala normal saat lahir
B. Munculnya semua gejala dibawah ini setelah periode normal perkembangan
115
1. Penurunan pertumbuhan kepala antara usia 5 dan 48 bulan
2. Kehilangan sejumlah keterampilan tangan berguna antara usia 5 dan 30 bulan dan
mengembangkan gerakan tangan yang stereotip (misalnya tangan meremas atau
mencuci tangan).
3. Kehilangan keterikatan social (walaupun interaksi social selanjutnya berkembang)
4. Menampilkan gaya berjalan atau koordinasi tubuh yang buruk
5. Gangguan perkembangan yang parah pada bahasa ekspresif dan reseptif dengan
retardasi psikomotor yang buruk.

Childhood Disintegrative Disorder


Pada gangguan ini perode perkembangan normal berlangsung lebih lama dibandingkan
dengan gangguan Rett’s dengan waktu kejadian mengikuti setidaknya dua tahun dari
keberfungsian normal. Sebaliknya dengan Rett’s yang hanya ditemui pada perempuan, maka
CDD lebih banyak dialami oleh anak laki-laki. Setelah anak melewati masa perkembangan
normalnya sampai dua tahun, maka terjadi kemunduran progresif pada sejumlah kemampuan
social, kognitif dan perkembangan motoric. Area-area yang mengalami kemunduran
diantaranya adalah bahasa, social dan keterampilan adaptif, fungsi usus atau kandung kemih,
keterampilan motoric dan bermain dan kerusakan kualitatif pada interaksi social, komunikasi
dan aktivitas yang terbatas.

Dalam DSM IV-TR, kriteria dari gangguan Childhood Disintegrative Disorder adalah :
A. Menunjukkan tampilan perkembangan yang normal pada setidaknya dua tahun setelah
kelahiran dengan adanya kemampuan komunikasi verbal dan non verbal, relasi social,
bermain dan perilaku adaptif yang sesuai dengan usianya.
B. Secara klinis mengalami kehilangan sejumlah keterampilan yang sudah dikuasai
sebelumnya (sebelum usia 10 tahun) dalam setidaknya dua atau lebih area berikut :
a. Bahasa ekspresif dan reseptif
b. Keterampilan social dan perilaku adaptif
c. Control usus dan kandung kemih
d. Bermain
e. Keterampilan motoric
C. Abnomalitas dari fungsi dalam setidaknya dua atau lebih area berikut ini :

116
a. Kerusakan kualitatif dalam interaksi social (gangguan dalam perilaku non
verbal, kegagalan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya,
kelemahan dalam relasi social dan emosional yang resiprokal.
b. Kerusakan kualitatif dalam komunikasi ( misalnya keterlambatan atau
kekurangan dalam bahasa verbal, ketidakmampuan memulai atau memelihara
percakapan, penggunaan bahasa yang stereotip dan berulang-ulang (repetitive)
c. Perilaku terbatas, berulang-ulang, dan stereotip pola perilaku, minat dan
kegiatan, termasuk gerakan dan minat yang stereotip.
D. Gangguan ini tidak termasuk dalam gangguan perkembangan pervasive yang lain
yang psesifik atau skizofrenia.

Bagaimana mendeteksi dini gangguan perkembangan pervasive pada anak?


Gejala yang paling umum yang ditampilkan oleh anak dengan gangguan perkembangan
pervasive adalah keterlambatan bicara. Untuk mendeteksi hal ini sejumlah asesmen dapat
dilakukan salah satuany melalui wawancara dengan orangtua meliputi beberapa pertanyaan
dibawah ini :

Tabel. Pertanyaan untuk skrining gangguan perkembangan pervasive (Szatmari, 1995).


Apakah anak terlihat mau berkomunikasi?
Apakah anak tertarik untuk bermain atau berinteraksi dengan orang dewasa atau
teman sebaya yang familiar?
Apakah anak mau berbagi kesenangan dengan orang lain?
Apakah anak merespons perhatian dari orang lain?
Apakah anak terlibat dalam sejumlah aktivitas bermain atau melakukan sesuatu
secara berulang-ulang?
Apakah anak bermain dengan mainannya dalam cara yang sesuai atau tidak?
Apakah ia mudah terganggu?
Apakah anak menunjuk objek yang diinginkannya, mengangguk dan mengelengkan
kepalanya untuk berkomunikasi?

117
Daftar Pustaka
Amari, A.A, Slifer, K.J, Gerson, E.S, Kane, A. (1999). Treating Selective Mutism in paediatric
rehabilitation patient by altering environmental reinforcement contingencies.
Paediatric Rehabilitation, 3 :2, 59-64.

American Psychiatric Association. 1994. The Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders (DSM-IV).

Barnhill, Gena.P. 2003. Asperger Syndrome : A Guide for Parents and Educators. National
Association of School Psychologist.

Barret, P.M , Duffy, A.L, Dadds, M.R & Rapee, R.M. (2001). Cognitive-behavioral treatment
of anxiety disorder in children : Long-term (6 year) follow up. Journal of Consulting
and Clinical Psychology, 69:1, 135-143.

Beidel, D.C, Turner, S.M, Young, B, and Paulson, A. (2005). Social effectiveness
therapy for children.Journal of Consulting and Clinical Psychology, 73:4, 721-725.
Bell, D.M, & Espie, C.A. (2003). Overcoming mutism in adults with learning disabilities : A
case study. British Journal of Learning Disabilities, 31, 46-53.
Boon, Maureen. 2001. Helping Children with Dyspraxia. Philadephia : Jessica Kingsley
Publishers.

Butterworth, Brian. 2003. Dyscalculia Screener.London : nferNelson Publishing Company

Bergman, R. L., Piacentini, J., & McCracken,J. T. (2002). Prevalence and description of
Mutisme Selective in a school-based sample. Journal of the American Academy of
Child and Adolescent Psychiatry, 41 [B],938-946.

Brock, Stephen E., Jimerson, Shane R., Hasen, Robin. L. (2009). Developmental
Psychopathology at School : Identifying, Assessing & Treating GPPH at School.
London : Springer.

Calhoun, K.S, Stemberger, R.T, Turner, S.M & Beidel, D.B. (1995). Social phobia : An
analysis of possible developmental factors. Journal of Abnormal Psychology, 104: 3,
526-531.
Cunningham, C.E, McHolm, A, Boyle, M.H & Patel, S . (2004). Behavioral and emotional
adjusment, family functioning, academic performance, and social relationships in
children with Mutisme Selective. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 45:8,
1363-1372.

Cunningham, C.E. (2004). The Diagnosis and Treatment of Mutisme Selective. Mc McMaster
University dalam www.slf.se/pages/7592/Swedish%20Selective%20Mutism.pdf.
Diunduh tanggal 18 Juli 2008

Crundwell,R.M. (2006). Identifying and teaching children with Mutisme Selective.Teaching


Exceptional Children, 38 :3,48-54.

Dahar, Ratna Wilis. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Penerbit Erlangga.

118
Damiano, Cara R., Mazefsky, Carla A., White, Susan W., Dichter, Gabriel S. 2014. Future
Directions for Research in Autism Spectrum Disorders. Journal of Clinical Child &
Adolescent Psychology, 43 (5), 828-843. Routledge Taylor & Francis Group.
Farrel, Michael. 2006. The Effective Theacher’s Guide to Dyslexia and Other Specific Learning
Difficulties.New York : Routledge

Flanagan , DP & Alfonso, VC. 2011. Essential of Specific Learning Disability Identification.
New Jersey : John Wiley & Sons Inc.

Gabriel, Robin L & Hill, Dina E. 2007 (editors). Growing Up with Autism : Working with
School Age Children & Adolescent. New York : The Guilford Press.

Giddan, J.J, Ross, G.J, Sechler, L.L & Becker, B.R. (1997). Mutisme Selective in Elementary
school : Multidisciplinary interventions.Language, Speech, & Hearing Services in
Schools, 28:2, 127.

Goldsmith, Tina R., LeBlanc, Linda A. 2004. Use of Technology in Interventions for Children
with Autism. JEIBI Volume 1, Issue Number 2.
Gosch, E. A., Flannery-Schroeder, E., Mauro, C. F., & Compton, S. N. (2006). Principles of
cognitive-behavioral therapy for anxiety disorders in children. Journal of Cognitive
Psychotherapy: An International Quaterly, 20, 247-260
Gray, R.M, Jordan, C.M, Ziegler, R.S, Livingstone, R.B. (2002). Two sets of twins with
Mutisme Selective : Neuropsychological findings. Child Neuropsychology, 8:1, 41-
51.
Grover, R.L, Hughes, A.A, Bergman, R.L, Kingery, J.N. (2006). Treatmen modification based
on childhood anxiety disorder diagnosis : Demonstrating the flexibility in manualized
treatmen. Journal of Cognitive Psychotherapy : An International Quarterly, 20:3.
Gregory, R.J.2011. Tes Inteligensi : Sejarah, Prinsip dan Aplikasi, Edisi Keenam, Jilid
1.Jakarta : Erlangga

Hallahan, D.P & Kaufman, J.M. 1988. Exceptional Children : Introduction to Special
Education, 4th edition. New Jersey : Prentice Hall

Herbert, Martin. 2003. Developmental Problems of Childhood and Adolescence : Prevention,


Treatmen dan Training. BPS Blackwell

Herbert, Martin. 2003. Developmental Problems of Childhood and Adolescence : Prevention,


Treatmen dan Training. BPS Blackwell

Lord, Catherine., Gee, James G (eds). 2001. Educating Children with Autism. Committee on
Educational Interventions for Children with Autism, Division of Behavioral and
Social Sciences andEducation, National Research Council. Washington DC : National
Research Council.

Mash, Eric J., Wolfe, David A. 2010. Abnormal Child Psychology, 4nd Edition. California :
Wadsworth, Cengage Learning Inc.

McCurdy, Erin E., Cole, Christine L. 2014. Use of a peer support intervention for promoting
academic engagement of students with autism in general education settings. Journal

119
of Autism Developmental Disorder, 44: 883-893. New York : Springer Science &
Bussiness Media.

Mollie, K. Marko.,Deana, Crocetti.,Thomas, Hulst.,Opher, Donchin.,Reza, Shadmehr.,


Stewart, H. Mostofsky. 2015. Behavioural and neural basis of anomalous
motor learning in children with autism. Brain, Journal of Neurology, 138; 784–797.

Lorusso, Maria Lulsa.,Facoetti, Andrea.,Bakker, Dirk J. 2015. Neuropsychology treatmen od


Dyslexia : Does Type of Treatmen Matter?.Journal of Learning Disabilities, 44(2),
136-149. Hammil Institute od Disabilities

Nelson, Amy & Ellison, Phyllis Anne Teeter. 2009. The Neuropsychology of Dyslexia :
Differences by Gender. The Neuropsychology of Women. Springer Science Business
Media.

Ormrod, Jeanne Ellis. 2008. Psikologi Pendidikan : Membantu Siswa Tumbuh dan Kembang
(terjemahan). Jakarta : Erlangga

Pugh, Kenneth R.,Mencl, W Einar., Jenner, Annette R., Katz, Leonard., Frost, Stephen J., Lee,
Jun Run., Shaywitz, Sally E., Shaywitz, Bennett A. 2000. Functional neuroimaging
studies of reading and reading disability (developmental dyslexia). Mental
Retardation and Developmental Disabilities Research Reviews 6:207-213. Wiley Liss
Inc.

Parritz, Robin Hornik., Troy, Michael F. 2014. Disorders of Childhood Development and
Psychopathology. 2nd Edition. California : Wadsworth, Cengage Learning Inc.

Pasco, Greg. 2011. The diagnosis and epidemiology of autism. Tizard Learning Disability
Review, Vol. 16, No. 4, pp. 5-19. Emerald Group Publishing.

Riddick, Barbara. 2010. Living with Dyslexia : The Social and Emotional Consequences of
Specific Learning Difficulties/Disabilities. New York : Routledge

Rogers, Sally J. 1998. Neuropsychology of autism in young children and its implications for
early intervention. Mental Retardation and Developmental Disabilities Research
Review, 4 : 104-112. Wiley-Liss Inc.

Ryan, Joseph B.,Hughes, Elizabeth., Katsiyannis, Antonis., McDaniel, Melanie., Sprinkle,


Chynthia. 2014. Research-Based Educational Practices for Students with Autism
Spectrum Disorders. Teaching Exceptional Children, Vol. 47, No.2, pp 94-102.

Smith, David,J.2009. Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua (terjemahan). Bandung : Penerbit
Nuansa.

Szatmari, P. 1995. Identification and eraly intervention in pervasive developmental disorders.


Recent Advances in Pediatrics, Chap.7, Vol.13, pp. 123-138.

Watts, Timothy John. 2008. The Pathogenesis of Autism. Clinical Medicine : Pathology, 1,
99-103.

120
Wilmshurst, Linda. 2005. Essentials of Child Psychopathology. New Jersey : John Wiley &
Sons Inc.

http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/13/04/09/mkz2un-112000-anak-indonesia-
diperkirakan-menyandang-autisme

Kumara, Amitya. 2014. Kesulitan Berbahasa pada Anak : Deteksi Dini dan Penanganannya.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Hergenhahn, B.R & Olson, M. 2008. Theories of Learning (Teori Belajar)Terjemahan. Edisi
Ketujuh . Jakarta : Kencana

Jackson, M.F, Allen, R.S, Boothe, A.B, Nava, M.L, & Coates, A. (2005). Innovative analyses
and interventions ini the treatment of Mutisme Selective.Clinical Case Studies, 4: 1,
81-112.
Krysanksi, V.L. (2003). A brief review of Mutisme Selective literature. Journal of Psychology.
137:.1, 29-40.
Kumpulainen, K, Rasanen, E, Raaska, H, and Somppi, V .(1998). Mutisme Selective among
second-graders in elementary school. European Child & Adolescent Psychiatry, 7:1 ,
24-29.
Kumpulainen, K .(2002). Phenomenology and treatmen of Mutisme Selective. CNS Drugs,
16:3, 175-180. Email : kirsti.kumpulainen@kuh.fi
Landreth, G.L (Editor). (2001). Innovation in Play Therapy : Issues, Process, and Special
Populations. Philadelphia : Brunner-Routledge
Lee, Michele & Smith, Graham. 1998. The Effectiveness of Physiotherapy for
Dyspraxia. Physiotherapy, Vol.84, No.6.
Martin, G & Pear, J. (2003). Behavior Modification : What It Is and How To Do it. New Jersey
: Prentice-Hall.Inc
Martin, S & Sundel, S. (2005). Behavior Change in Human Services : Behavioral and
Cognitive Principles and Applications. London : Sage Publication.
Marholin, David And Warren M. Steinman. 1977. Stimulus Control In The Classroom As A
Function Of The Behavior Reinforced. Journal Of Applied Behavior Analysis ,10,
465-478
Miltenberger, Raymond G. 2008. Behavior Modification Fifth Edition. Canada: University of
South Florida
Miyahara, Motohide & Mobs, Isabelle. 1995. Developmental Dispraxia and Developmental
Coordination Disorder. Neuropsychology Review, VoL 5, No. 4. Plenum Publishing
Coorporation.
Moldan, M. B. (2005). Mutisme selective and self regulation. Clinical Social Work Journal,
33: 3.
Ormrod, Jeanne Ellis. 2008. Psikologi Pendidikan : Membantu Siswa Tumbuh dan Kembang
(terjemahan). Jakarta : Erlangga
Polatajko, Helene & Cantin, Noemi. 2006. Developmental Coordination Disorder
(Dyspraxia): An Overview of the State of the Art. Seminars in Pediatric Neurology. Elsevier.

Riddick, Barbara. 2010. Living with Dyslexia : The Social and Emotional Consequences of
Specific Learning Difficulties/Disabilities. New York : Routledge

121
Remschmidt, H, Poller, M, Dahlmann, B.H, Hennighausen, K, Gutenbrunner, C. (2001). A
follow up study of 45 patients with elective mutism. Eur Arch Psychiatry Clin
Neurosci, 251, 284-296.
Santrock, JW.2007. Perkembangan Anak (terjemahan). Jakarta : Erlangga

Smith, David,J.2009. Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua (terjemahan). Bandung : Penerbit
Nuansa.

Suryabrata, Sumadi. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Sharp, W.G, Sherman,C, Gross, A.M. (2004).Mutisme Selective and Anxiety:A Review of the
Current Conceptualization of the Disorder. Mississippi : University Of Mississippi
Publication.
Shipon-Blum, E. 2003. When the Words Just Won’t Come Out. Understanding Mutisme
Selective, dalam
http://www.selectivemutism.org/smg/WhenWordsWontComeOut.htm, diambil
tanggal 1 September 2006
Spiegler, M.D & Guevremont, D.C.(2003). Contemporary Behaviour Therapy. Belmont :
Wadsworth.
Subandi, M.A (Editor). (2003). Psikoterapi : Pendekatan Konvensional dan Kontemporer.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar dan Unit Publikasi Fakultas Psikologi UGM.
Thomsen, P.H, Rasmussen, G, & Andersson, C.B. (1999). Elective mutism : A 17- years-old
girl treated succesfully with citalopram. Nord J Psychiatry, 53, 427-429.
Van den Bosh, G.R (editor).2007. APA Dictionary of Psychology. Washington : American
Psychological Association

Wade, Carole & Tavris, Carol. 2007. Psikologi (edisi kesembilan) jilid 1. Jakarta : Erlangga
Wilmhurst, Linda. (2005). Essentials of Child Psychopathology. New Jersey : John Wiley &
Sons Inc.

122

Anda mungkin juga menyukai