Anda di halaman 1dari 31

BAB II

LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR


DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Hakikat Anak Berkesulitan Belajar Bahasa


a. Pengertian Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan suatu konsep multidisipliner yang digunakan di
lapangan ilmu pendidikan, bahasa, psikologi, maupun ilmu kedokteran. Pada ilmu
pendidikan menggunakan istilah kesulitan belajar spesifik, ilmu psikologi
menggunakan istilah penyimpangan persepsi dan tingkah laku, bahasa menggunakan
istilah disleksia, disgrafia dan apasia perkembangan, sedangkan ilmu kedokteran
menggunakan istilah disfungsi minimal otak.
Istilah kesulitan belajar (learning disabilities) oleh Samuel A Kirk digunakan
sebagai penyatuan berbagai istilah disfungsi minimal otak (minimal brain
dysfunction), gangguan neurologis (neurological disorders), disleksia (dyslexia), dan
afasia perkembangan (developmental aphasia). Untuk dapat memahami tentang
anak berkesulitan belajar, di bawah ini akan dipaparkan beberapa definisi dari para
ahli mengenai hakikat kesulitan belajar.
Definsi kesulitan belajar pertama kali dikemukakan oleh The United States
Office of Education (USOE) yang dikenal dengan Public Law (PL) seperti yang
dikutip oleh Hallahan, Kaufman dan Lloyd dalam Mulyono Abdurrahman (1999: 6)
mengemukakan definisi kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu gangguan dalam satu atau lebih dari
proses psikologi dasar yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa
ujaran atau tulisan. Gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam
bentuk kesulitan mendengarkan, berfikir, berbicara, membaca, menulis,
mengeja, atau berhitung. batasan tersebut mencakup kondisi-kondisi seperti
gangguan perseptual, luka pada otak, disleksia, dan afasia perkembangan.
Batasan tersebut tidak mencakup anak-anak yang memiliki problema belajar
yang penyebab utamanya berasal dari adanya hambatan dalam penglihatan,

8
9

pendengaran atau motorik, hambatan karena keterbelakangan mental, karena


gangguan emosional, atau karena kemiskinan lingkungan, budaya, atau
ekonomi.

Definisi di atas merupakan definisi resmi yang digunakan oleh pemerintah


Amerika Serikat, tetapi definisi tersebut menimbulkan banyak kritik karena berbagai
alasan.
Alasan- alasan mengenai kritik tersebut antara lain karena, kajian kesulitan
belajar bisa juga mencakup orang dewasa, maka istilah “anak” secara eksklusif perlu
dihindari. Proses psikologis dasar dapat menimbulkan banyaknya perdebatan di
bidang kesulitan belajar. Memisahkan mengeja dari ekspresi pikiran dan perasaan
secara tertulis adalah tidak pada tempatnya, karena mengeja merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari ekspresi pikiran dan perasaan secara tertulis. Penyebutan
berbagai kondisi gangguan lain (gangguan perseptual, disleksia, disfungsi minimal
otak) dapat membingungkan dan dapat menimbulkan banyak kesalahpahaman,
karena kesulitan belajar mungkin terjadi bersama dengan kondisi-kondisi lain atau
tanpa adanya kemiskinan lingkungan, budaya, atau ekonomi.
The National Joint Committee for Learning Disabilities (NJCLD)
mengemukakan definisi mengenai kesulitan belajar yang dikutip oleh Hammill
dalam Mulyono A (1999: 7) sebagai berikut:
Kesulitan belajar menunjuk pada sekelompok kesulitan yang
dimanifestasikan dalam bentuk kesulitan yang nyata dalam kemahiran dan
penggunaan kemampuan mendengarkan, bercakap-cakap, membaca, menulis,
menalar, atau kemampuan dalam bidang studi matematika. Gangguan
tersebut intrinsik dan diduga disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf
pusat. Meskipun suatu kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan dengan
adanya kondisi lain yang mengganggu (misalnya gangguan sensoris,
tunagrahita, hambatan sosial dan emosional) atau berbagai pengaruh
lingkungan misalnya perbedaan budaya, pembelajaran yang tidak tepat,
faktor-faktor psikogenetik, berbagai hambatan tersebut, bukan penyebab atau
pengaruh langsung.
Definisi ini menekankan bahwa kesulitan belajar tidak dikaitkan secara
eksklusif dengan anak-anak, menghindari ungkapan proses psikologis dasar,
10

dan secara jelas menyatakan bahwa kesulitan belajar mungkin terjadi bersamaan
dengan kondisi-kondisi lain.
The Board Association for Children and Adulth with Learning Disabilities
(ACALD) yang dikutip oleh Lovit dalam Mulyono A (1999: 8) mengemukakan
pengertian kesulitan belajar, sebagai berikut:
Kesulitan belajar khusus adalah suatu kondisi kronis yang diduga bersumber
dari neurologis yang secara selektif mengganggu perkembangan integrasi
dan/ atau kemampuan verbal dan/ atau non verbal. Kesulitan belajar khusus
tampil sebagai suatu kondisi ketidakmampuan yang nyata pada orang-orang
yang memiliki inteligensi rata-rata hingga superior yang memiliki sistem
sensoris yang cukup dan kesempatan untuk belajar yang cukup pula. Berbagai
kondisi tersebut bervariasi dalam perwujudan dan derajatnya. Kondisi
tersebut dapat berpengaruh terhadap harga diri, pendidikan, pekerjaan,
sosialisasi, dan/ atau aktivitas kehidupan sehari-hari sepanjang kehidupan.
Menurut sumber yang penulis kutip dari (http://gulit.wordpress.com)
mengatakan bahwa:
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : 1)
learning disorder; 2) learning disfunction; 3) underachiever; 4) slow learner,
dan 5) learning disabilities”. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing
pengertian tersebut.
1) Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses
belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan.
Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak
dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya
respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya
lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah
terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya,
mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut
gerakan lemah gemulai.
2) Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang
dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa
tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat
dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang memiliki
postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley,
namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak
dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3) Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki
tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi
belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites
kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat
11

unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau
malah sangat rendah.
4) Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses
belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan
sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5) Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala
dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga
hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.

Menurut Anton Sukarno (2004: 99) mengatakan bahwa “Kesulitan belajar


berada sebagai pembeda kondisi kecacatan dalam keadaan intelegensi rata-rata
sampai dengan superior sistem motorik sensorik penuh dan kesempatan belajar
maksimal”.
Menurut H. Abin Syamsudin Makmun (2000: 307) “Kesulitan belajar adalah
suatu kejadian atau peristiwa yang menunjukkan bahwa dalam mencapai tujuan
pengajaran, sejumlah siswa mengalami kesulitan dalam menguasai secara tuntas
bahan yang diajarkan atau dipelajari”.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa anak
berkesulitan belajar adalah seseorang yang memiliki IQ rata-rata hingga superior,
yang mengalami kesulitan atau gangguan dalam mempelajari bidang akademik dasar
tertentu sebagai akibat dari terganggunya sistem syaraf pusat yang terkait, atau
pengaruh tidak langsung dari berbagai faktor lain seperti gangguan sensoris,
tunagrahita, hambatan sosial dan emosional atau berbagai pengaruh lingkungan,
budaya. Kesulitan ini ditandai oleh kesenjangan antara kemampuan umum seseorang
dengan kemampuan yang ditunjukannya dalam mempelajari bidang tertentu.
Kesulitan belajar dapat dialami oleh siapa saja. Menurut Osman dalam
Wardani (1995: 6) “Tokoh-tokoh dunia dan ilmuan terkenal seperti Thomas Alfa
Edison, Albert Einsten, Winston Churchill dan Nelson Rockefeller, dikenal sebagai
orang-orang yang mengalami kesulitan belajar”.
Bertitik tolak dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar
sebenarnya bukan merupakan hambatan bagi seseorang untuk dapat berprestasi.
Masalahnya adalah bagaimana keluarga dan lingkungan memperlakukan mereka.
12

Jika mereka hanya dicap sebagai anak bodoh dan tidak dipedulikan, mereka mungkin
benar-benar menjadi anak yang bodoh. Sebaliknya, jika mereka diberi bantuan yang
sesuai dengan hakikat kesulitan yang dihadapi, mereka mungkin akan berkembang
seperti anak-anak lainnya yang mampu untuk berprestasi.

b. Prevalensi Anak Berkesulitan Belajar


Prevalensi anak berkesulitan belajar adalah prosentase jumlah anak kesulitan
belajar terhadap kelompok seusiannya. Hallahan dan Kauffman dalam Sunardi
(1996: 6) mengatakan “Perkiraan prevalensi anak berkesulitan belajar sangat
bervariasi, dari yang rendah 1% sampai yang tinggi 30%”.
Menurut Mulyono Abdurrahman & Nafsiah Ibrahim dalam
(http://eppypurnamabakty.blogspot.com) mengenai prevalensi anak berkesulitan
belajar di Indonesia adalah sebagai berikut:
Di Indonesia terdapat beberapa penelitian terhadap keberadaan anak
berkesulitan belajar, antara lain penelitian yang dilakukan terhadap 3.215
murid kelas satu hingga kelas enam SD di DKI Jakarta. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa terdapat 16,52% yang oleh gurunya
diperkirakan sebagai murid yang termasuk berkesulitan belajar.

Menurut hasil penelitian Wijono dkk (1999: 36) mengenai prevalensi anak
berkesulitan belajar di sekolah biasa, mengatakan bahwa:
Prevalensi anak berkesulitan membaca menempati peringkat yang paling
tinggi (63,01), berturut-turut disusul oleh kesulitan dalam memusatkan
perhatian (48,77), kesulitan belajar berhitung/matematika (44.11), kesulitan
menulis (35,07), kemudian baru kesulitan dalam bidang-bidang studi tertentu
dan kesulitan lainnya.

Menurut Kazuhiko dalam Mulyono Abdurrahman (1999: 10) “Estimasi


prevalensi anak berkesulitan belajar adalah 1% hingga 4% dengan perbandingan
anak laki-laki dan anak perempuan antara 4 berbanding 1 hingga 7 berbanding 1”.
Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa prevalensi anak yang mengalami
kesulitan belajar cenderung meningkat. Hal ini juga terjadi di Amerika Serikat.
Masalah peningkatan jumlah anak berkesulitan belajar yang ada di Amerika Serikat
13

masih menimbulkan perdebatan diantara pakar pendidikan luar biasa. Algozzine dan
Yseldike dalam Sunardi (1996: 6-7) mengatakan “Ada yang berpendapat bahwa
semakin banyaknya anak yang teridentifikasi kesulitan belajar ini memang benar, ada
juga yang menganggap ini menunjukkan lemahnya proses diagnosa yang dipakai”.
Jika hal ini berlanjut, maka perhatian dan layanan khusus bagi anak berkesulitan
belajar dapat berkurang, karena perhatian mengenai masalah ini menjadi terpusat
pada siapa yang teridentifikasi kesulitan belajar dan yang tidak.

c. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar


Kesulitan belajar merupakan suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai
oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat
bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, internal dan eksternal. Penyebab
utama kesulitan belajar adalah faktor internal, yaitu kemungkinan adanya disfungsi
neurologis, sedangkan penyebab utama masalah/ problem belajar adalah faktor
eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan
kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian
penguatan (reinforcement) yang kurang tepat.

Menurut Mulyono Abdurrahman (1996: 13) disfungsi neurologis yang dapat


menyebabkan kesulitan belajar antara lain: (1) faktor genetik, (2) luka pada
otak, (3) biokimia yang hilang, (4) biokimia yang dapat merusak otak, (5)
pencemaran lingkungan, (6) gizi yang kurang memadai, (7) pengaruh
psikologis dan psikis yang dapat merugikan anak.

Menurut Micharl L Hardman dalam Anton Sukarno (2004: 114) mengatakan


“Faktor penyebab kesulitan belajar adalah: (1) penyebab neurologis (Neurological),
(2) kemasakkan terlambat, (3) penyebab genetik, (4) penyebab lingkungan”. Untuk
lebih jelasnya, dapat diuraikan sebagai berikut:
14

(1) Penyebab Neurologis


Penyebab neurologis kesulitan belajar adalah kerusakan neurologis, struktur
syaraf, atau beberapa tipe aktivitas syaraf yang tidak normal. Kerusakan pada
sistem syaraf terjadi pada kelahiran bayi sempurna tetapi posisi janin tidak normal
pada masa kehamilan sampai melahirkan atau bisa juga karena kekurangan
oksigen (anoxia).
(2) Kemasakkan terlambat
Kemasakan terlambat ada kaitannya dengan penyebab neurologis.
Perkembangan terlambat dari sistem neurologis menyebabkan kesulitan yang
dialami oleh beberapa orang kesulitan belajar. Mereka kerap kali terhambat
perkembangannya dalam keterampilan berbahasa, permasalahan daerah motor
visual dan beberapa daerah akademik.
(3) Penyebab Genetik
Faktor genetik sebagai penyebab kesulitan belajar telah menyumbangkan satu
atau lebih dari permasalahan kategori dalam kesuitan belajar. Abnormalitas
genetik ini selalu merupakan keprihatinan orangtua dengan menganggap semua
perilaku belajar adalah perilaku yang menyimpang.
(4) Penyebab Lingkungan
Pengaruh lingkungan kerap kali disebut sebagai kemungkinan penyebab
kesulitan belajar. Faktor-faktor seperti diet yang tidak dapat penambahan
makanan, stress, perokok, peminum minuman keras dan pengajaran sekolah yang
tidak tepat merupakan beberapa faktor yang dapat menyebabkan kesulitan belajar
yang dipengaruhi oleh lingkungan.
Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab langsung dari
kesulitan belajar adalah karena adanya faktor disfungsi neurologis yang terjadi di
otak, yang merupakan faktor intrinsik pada diri anak. Sedangkan faktor eksternal
seperti strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak
membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan
15

(reinforcement) yang tidak tepat, merupakan pengaruh yang secara tidak langsung
muncul bersamaan sebagai penyebab kesulitan belajar.

d. Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar


Menurut baurnel dan Harvell dalam (http://www.sekolah-
dasar.blogspot.com). “Gambaran mengenai anak berkesulitan belajar yaitu
perkembangan bahasa yang lambat, rendahnya koordinasi motorik, dan gangguan
pemusatan perhatian”.
Sedangkan menurut Greatheart dalam Wijono, dkk (1999: 30) adalah sebagai
berikut:
Berbagai macam ciri yang dapat dilihat pada anak yang mengalami kesulitan
belajar tetapi yang paling utama yang selalu terlihat pada anak tersebut adalah
adanya kesenjangan (discrepancy) yang besar antara prestasi dengan
kemampuan intelektualnya dalam beberapa bidang seperti penampilannya
dalam lisan, tertulis, pemahaman dan pendengaran, pemahaman membaca,
kemampuan hitung menghitung, atau matematik. Perbedaan dalam belajar
inilah yang dipandang sebagai dasar dalam menentukan seorang anak
mengalami kesulitan belajar.

Menurut Anton Sukarno (2004: 101) mengemukakan karakteristik kesulitan


belajar sebagai berikut:
1) Gangguan perhatian adalah hiperaktif, pengalihan perhatian.
2) Kegagalan untuk mengembangkan dan memobilisasi strategi untuk
belajar, mengorganisasi belajar, kerangka belajar aktif, dan fungsi-fungsi
metakognitif.
3) Lemah dalam kemampuan gerak antara koordinasi gerakan halus dan
kasar, kegagalan umum dan canggung, persoalan-persoalan spasial.
4) Permasalahan-permasalahan persepsi antara lain: perbedaan stimulus,
pendengaran, penglihatan, closure dan cequensi pendengaran dan
penglihatan.
5) Kesulitan bahasa lisan antara lain: pendengaran, berbicara, daftar kata,
kemampuan linguistik.
6) Kesulitan membaca antara lain: pengkodean, keterampilan dasar
membaca, membaca komprehensif.
7) Kesulitan menulis antara lain: mengeja, tulisan tangan, mengarang,
8) Kesulitan matematika antara lain: pemikiran kuantitatif, berhitung,
waktu, ruang, dan menghitung fakta.
16

9) Tingkah laku sosial yang tidak pantas antara lain: persepsi sosial, tingkah
laku emosi, penegakan saling hubungan.
Sedangkan menurut sumber yang penulis kutip dari
(http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id-10413) ciri- ciri anak yang mengalami
kesulitan belajar antara lain:
1. Terlambat dalam berbicara
2. Kosakata terbatas
3. Sulit mengikat tali sepatu
4. Sulit mengikuti perintah
5. Sulit berkonsentrasi
6. Mudah lupa
7. Sering kehilangan barang
8. Sulit berinteraksi dengan lingkungan

Dari berbagai pendapat di atas mengenai karakteristik anak berkesulitan


belajar, pada intinya sama yakni anak berkesulitan belajar mengalami gangguan
hubungan keruangan, gangguan persepsi visual dan auditori, gangguan penghayatan
tubuh, gangguan konsentrasi, kesulitan dalam bahasa, yang terkait juga dengan
penguasaan kosakata dan membaca serta kesulitan matematika atau berhitung.

e. Bidang Kesulitan Belajar


Wardani (1995: 16-19) mengatakan bahwa “Gejala-gejala kesulitan belajar
dapat muncul dalam tiga bidang utama yaitu bahasa dan pengembangan konsep,
keterampilan perseptual, dan manifestasi perilaku”. Untuk lebih jelasnya, dapat
diuraikan sebagai berikut:
1) Bahasa dan Pengembangan Konsep
Bidang kesulitan dalam belajar bahasa dan pengembangan konsep merupakan
gejala awal dari anak-anak yang rawan terhadap kelainan atau bahaya. Bahasa
yang digunakan seseorang mencerminkan berbagai hal seperti tingkat pemahaman
atau pengertian serta kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan. Oleh
karena itu jika seseorang mendapat kesulitan dalam berbahasa berarti ia mendapat
kesulitan dalam memahami suatu konsep serta dalam mengungkapkan perasaan
17

dan pikirannya. Ia tidak mungkin mampu mengembangkan konsep yang


dimilikinya karena keterbatasan bahasa yang dikuasainya.
2) Keterampilan Perseptual
Bidang kesulitan keterampilan perseptual mengacu kepada kemampuan untuk
memahami dan memproses informasi yang datang melalui indera atau dengan
kata lain kemampuan untuk membentuk tanggapan. Persepsi memegang peranan
sangat penting dalam belajar. Gangguan dalam persepsi akan berpengaruh pada
kemampuan seseorang dalam belajar matematika dan geometri, di samping
penampilan dalam kinestetik. Gangguan persepsi ini mengakibatkan anak
mengalami masalah dalam belajar.
3) Manifestasi Perilaku
Selain dua bidang kesulitan yang telah dibahas, masalah belajar dapat pula
muncul dalam bentuk perilaku menyimpang. Misalnya, anak yang selalu bergerak ke
sana ke mari tanpa mengenal lelah, suka termenung, keras kepala, kurang hati-hati
serta ketakutan. Tidak jarang pula terjadi dalam satu kelas ada anak yang suka
mengganggu temannya-temannya, ada pula anak yang suka menyendiri, dan sangat
sukar mencari teman. Perilaku yang demikian itu tentu menimbulkan masalah di
dalam belajar, baik belajar dalam bidang kognitif, afektif, maupun psikomotor.
Bentuk lain dari masalah belajar yang berkaitan dengan manifestasi perilaku dapat
muncul dalam tulisan cakar ayam yang sukar dibaca. Tulisan ini mungkin
dimunculkan oleh anak yang mempunyai kesulitan motorik terutama dalam
mengontrol gerakan tangan, yang mungkin disertai oleh lemahnya kemampuan
visualisasi sehingga dia sangat sukar membedakan huruf yang satu dengan yang lain.

f. Klasifikasi Kesulitan Belajar


Berdasarkan definisi-definisi kesulitan belajar yang telah dikemukakan
sebelumnya, dalam membuat klasifikasi mengenai kesulitan belajar tidaklah mudah,
karena kesulitan belajar merupakan kelompok yang heterogen. Berbeda dengan jenis
keluarbiasaan yang lain seperti tuna netra, tuna rungu, atau tuna grahita yang bersifat
18

homogen. Kesulitan belajar memiliki banyak tipe yang masing-masing memerlukan


diagnosis dan remidiasi yang berbeda-beda. Betapa pun sulitnya membuat klasifikasi
kesulitan belajar, klasifikasi tampaknya memang diperlukan karena bermanfaat untuk
menentukan berbagai strategi pembelajaran yang tepat.
Menurut Janet Lerner dalam Anton Sukarno (2004: 104) mengatakan bahwa
“Banyak penelitian yang tertarik dalam mengklasifikasikan sub tipe ( bagian-bagian)
dari kesulitan belajar. Penelitian semacam ini dapat membantu untuk
mengklarifikasikan definisi dan memberi arahan yang lebih efektif terhadap
asesment dan remidiasi”.
Kirk dan Calfant dalam Anton Soekarno (2004: 105) mengusulkan atas dua
tipe kesulitan belajar yaitu: kesulitan belajar perkembangan dan kesulitan
belajar akademik. Kesulitan belajar perkembangan termasuk keterampilan
prosant yang diperlukan siswa agar supaya menguasai mata pelajaran
akademik (perhatian, memori, keterampilan persepsi, keterampilan berpikir,
keterampilan bahasa lisan). Kesulitan belajar akademik mengacu pada
perolehan hasil belajar di sekolah (membaca, berhitung, menulis, mengeja,
eksplorasi tulisan).

Menurut Munawir Yusuf, Sunardi, Mulyono Abdurrahman (2003: 12)


Kesulitan belajar dikelompokkan ke dalam dua kategori diantaranya yaitu:
1. Kesulitan belajar umum adalah kesulitan belajar yang ditandai dengan
prestasi belajar rendah untuk hampir semua mata pelajaran.
2. Kesulitan belajar khusus yaitu kesulitan belajar pada kemampuan tertentu
saja. Kesulitan belajar ini dapat dikelompokkan menjadi dua:
a. Kesulitan belajar pra akademik terdiri dari:
1) Gangguan motorik dan persepsi atau disebut disfraksia meliputi
gangguan motorik kasar, penghayatan tubuh, dan motorik halus.
2) Kesulitan belajar kognitif meliputi kesulitan dalam fungsi
persepsi, pikiran, simbolisasi, penalaran, dan pemecahan masalah.
3) Gangguan perkembangan bahasa yang ditandai keterbatasan
menggunakan simbol linguistik dalam berkomunikasi verbal.
4) Kesulitan dalam penyesuaian perilaku sosial sehingga perilaku
anak tidak dapat diterima oleh lingkungan sosial.
b. Kesulitan belajar akademik
1) Kesulitan belajar membaca (disleksia)
2) Kesulitan belajar menulis (disgrafia)
3) Kesulitan belajar berhitung ( diskalkulia)
19

Sedangkan menurut Mercer dalam Mulyono Abdurrahman dan Sudjadi S


(1994: 139) mengklasifikasikan kesulitan belajar menjadi 5 macam yaitu:
1. Kesulitan bahasa
2. Kesulitan membaca
3. Kesulitan berhitung
4. Gangguan persepsi dan perseptual motor
5. Problema sosial emosional

Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak


berkesulitan belajar berdasarkan atas jenis kesulitan yang dialami seseorang, yakni
kesulitan belajar pra akademik yang meliputi gangguan perkembangan motorik,
perseptual (auditori & visual), bahasa, tingkah laku sosial, dan kesulitan belajar
kognitif. Sedangkan kesulitan belajar akademik meliputi kesulitaan belajar
membaca, menulis, dan berhitung. Masing-masing jenis kesulitan tersebut memiliki
assesmen dan strategi pembelajaran yang berbeda-beda.
Berdasarkan lima macam pengklasifikasian yang telah disebutkan menurut
Mercer di atas, maka subjek dalam penelitian ini adalah anak berkesulitan belajar
yang mengalami kesulitan belajar bahasa.

g. Anak Berkesulitan Belajar Bahasa


Istilah kesulitan belajar bahasa sudah sangat sering dipakai, namun definisi
atau batasan yang tegas tentang istilah tersebut belum pernah ditemui. Untuk
mengembangkan batasan yang meyakinkan mengenai kesulitan belajar bahasa ini,
maka terlebih dahulu mengetahui apa yang dimaksud dengan bahasa. Secara umum
bahasa dianggap sebagai alat komunikasi, yaitu salah satu alat yang digunakan oleh
seseorang untuk dapat berinterksi dengan orang lain.
Menurut Gorys Keraf (1998: 4) “Bahasa sebagai alat komunikasi antar
anggota masyarakat terdiri atas dua bagian utama, yaitu bentuk (arus ujaran) dan
makna (isi). Bentuk bahasa adalah bagian dari bahasa yang dapat dicecap panca
indera entah dengan mendengar atau membaca”.
20

Sedangkan menurut Wirjosoedarmono dalam Husain Junus dan Aripin


Banassuru (1996: 14) mengatakan bahwa “Bahasa adalah alat komunikasi antar
anggota masyarakat yang berupa bunyi suara atau tanda/ isyarat atau lambang yang
dikeluarkan oleh manusia untuk menyampaikan isi hatinya kepada manusia lainnya”.
Dengan demikian, maka semua sistem yang bersimbol, kompleks, dan dinamis dapat
dianggap sebagai bahasa, termasuk bahasa isyarat dan tanda atau lambang termasuk
bahasa. Namun dalam pembahasan ini, pengertian bahasa hanya sebatas bahasa yang
dapat diucapkan dan didengar, di samping dapat dibaca dan ditulis. Bahasa isyarat
serta simbol/ lambang yang lain tidak akan dimasukkan ke dalam definisi ini.
Menurut Lerner dalam Mulyono Abdurrahman (1999: 182-183) mengatakan
“Bahasa merupakan salah satu kemampuan terpenting manusia yang memungkinkan
ia unggul atas makhluk-makhluk lain di muka bumi. Bahasa merupakan suatu sistem
komunikasi yang terintegrasi, mencakup bahasa ujaran, membaca dan menulis”.
Urutan perkembangan dalam sistem bahasa adalah mendengarkan, berbicara,
membaca dan menulis. Ketiga urutan perkembangan sistem bahasa tersebut
merupakan aspek-aspek dari keterampilan berbahasa. “Brown, membagi bahasa
menjadi komponen-komponen bentuk, isi, dan penggunaan” (Wardani, 1995: 39).
Bertitik tolak dari aspek-aspek keterampilan dan komponen-komponen
bahasa ini, Wardani (1995: 39) mengatakan bahwa:
Kesulitan belajar bahasa adalah gangguan atau kesulitan yang dialami
seseorang yang berkemampuan rata-rata ke atas, dalam memperoleh
kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, yang mencakup
penguasaan tentang bentuk, isi, serta penggunaan bahasa. Gangguan tersebut
mungkin disebabkan oleh terganggunya sistem syaraf pusat atau oleh faktor
lain yang berpengaruh secara tidak langsung.

Menurut Lovitt dalam (http://hasanroch.wordpress.com) mengatakan “Ada


berbagai penyebab kesulitan bahasa, yaitu: (1) kekurangan kognitif; (2) kekurangan
dalam memori; (3) kekurangan kemampuan melakukan evaluasi; (4) kekurangan
kemampuan memproduksi bahasa; dan (5) kekurangan dalam bidang pragmatik atau
penggunaan fungsional bahasa”.
21

Karakteristik anak berkesulitan belajar bahasa menurut Mulyono


Abdurrahman dan Sudjadi. S (1994: 162) adalah sebagai berikut:
1. Kesulitan memahami dalam membedakan makna bunyi wicara.
2. Kesulitan membentuk konsep dan mengembangkan ke dalam unit-unit
semantik.
3. Kesulitan mengklasifikasikan kata atau mengelompokkan kata.
4. Kesulitan dalam relasi semantik
5. Kesulitan dalam memahami semantik.
6. Kesulitan dalam transformasi semantik.
7. Kesulitan dalam implikasi semantik.

Adapun jenis-jenis kesulitan belajar bahasa yang sesuai dengan pelajaran


Bahasa Indonesia di SD menurut Wardani (1995: 55-63) dikelompokkan menjadi
tiga, antara lain:
1. Kesulitan Belajar Membaca dan Menulis Permulaan
Manifestasi dari kesulitan belajar membaca permulaan yang mungkin
sering muncul antara lain tidak dapat membedakan bentuk huruf, tidak
dapat mengucapkan kata dengan benar, melompati bagian yang harus
dibaca, membaca dengan menghafal, dan kesulitan dalam intonasi.
Kesulitan yang mungkin dialami anak dalam belajar menulis permulaan
dapat diperkirakan sebagai berikut: (1) Bentuk huruf tidak sempurna dan
kacau, (2) Kesulitan atau salah ejaan. Kesulitan yang demikian bersumber
dari banyak aspek, sebagai contoh ketidakmampuan membedakan huruf
dan mengenal kata.
2. Kesulitan Belajar Berbahasa Lisan
Keterampilan bahasa yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa lisan
adalah mendengarkan dan berbicara. Berkaitan dengan kemampuan
tersebut, maka kesulitan belajar yang mungkin muncul antara lain (1)
Persepsi yang keliru terhadap kata atau kalimat yang didengar karena
pendengaran yang terganggu atau anak tidak mengenal kata atau kalimat
yang didengar, (2) Tidak dapat menangkap informasi atau pesan yang
didengar karena miskinnya perbendaharaan kata, atau tidak mampu
memahami struktur kalimat yang didengarnya, (3) Anak tidak dapat
memahami pesan atau informasi yang didengar karena informasi tersebut
terlampau asing baginya atau latar belakang pengalaman yang dimiliki
tentang informasi yang didengar sangat terbatas, (4) Tidak mampu
membedakan kata-kata yang bunyinya serupa atau mirip, (5) Tidak dapat
menangkap pesan yang didengar karena tidak dapat memusatkan
perhatian.
22

3. Kesulitan Belajar Berbahasa Tulis


Kesulitan belajar berbahasa tulis berbeda dengan membaca menulis
permulaan. Keterampilan yang tercakup dalam keterampilan berbahasa
tulis adalah membaca dan menulis, sedangkan membaca menulis
permulaan menekankan pada kemampuan menyuarakan tulisan dan
membuat tulisan. Belajar berbahasa tulis adalah belajar berkomunikasi
secara tertulis. Berdasarkan kemampuan tersebut yakni membaca dan
menulis, maka kesulitan yang dialami anak dalam belajar membaca
adalah:
1) Kesulitan dalam mengenal kata-kata yang terdapat dalam bacaan.
2) Kesulitan dalam memahami arti kata dan istilah yang terdapat dalam
bacaan.
3) Kesulitan dalam memahami makna kalimat.
4) Kesulitan mengenal pikiran pokok dalam paragraf.
5) Tidak dapat menandai informasi yang penting atau bagian-bagian
kalimat yang penting.
6) Tidak mampu melihat hubungan antara berbagai informasi yang ada
dalam wacana.
7) Tidak dapat mengenal situasi atau konteks penggunaan bahasa.
8) Tidak dapat menarik kesimpulan dari informasi yang dibaca.
Sedangkan dalam kemampuan menulis yang merupakan kemampuan yang
lebih kompleks dari kemampuan membaca, maka kesulitan yang dialami
anak dalam belajar menulis adalah sebagai berikut:
1) Kesulitan dalam memilih kata yang tepat.
2) Tidak mampu menyusun kalimat dengan struktur yang benar.
3) Kesulitan dalam ejaan.
4) Kesulitan dalam menggunakan tanda baca.
5) Kesulitan dalam menuangkan pikiran secara sistematis.

Berdasarkan jenis-jenis kesulitan belajar bahasa yang telah dipaparkan di


atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesulitan yang mereka alami dalam belajar
bahasa ada kaitannya dengan kurangnya penguasaan kosakata yang mereka miliki.
Meskipun hal tersebut bukanlah pengaruh langsung dari penyebab munculnya
kesulitan belajar bahasa.
23

2. Hakikat Penguasaan Kosakata Bahasa Indonesia


a. Pengertian Kosakata Bahasa Indonesia
Kosakata adalah perbendaharaan kata atau sejumlah kata yang dimiliki
seseorang. Para ahli bahasa dalam mendefinisikan tentang pengertian kosakata
berbeda- beda, tetapi mereka sepakat bahwa kosakata merupakan alat utama yang
harus dimiliki seseorang dalam belajar bahasa. Sebab kosakata berfungsi untuk
membentuk kalimat dan mengutarakan isi pikiran dan perasaan baik secara lisan
maupun tulisan.
Istilah kosakata tidak terlepas dari pengertian kata. Kata merupakan suatu
unit dalam bahasa yang memiliki komposisi tertentu dan secara relatif
memiliki distribusi yang bebas. Kata adalah unsur bahasa yang diucapkan
atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran
yang dapat digunakan dalam berbahasa (Gorys Keraf, 1998: 21).

Soedjito (1992: 11) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kosakata


adalah:
1) Semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa
2) Kata yang diakui seseorang atau kata-kata yang dipakai oleh segolongan
orang di lingkungan yang sama
3) Kata-kata yang dipakai dalam ilmu pengetahuan
4) Seluruh morfem dalam semua bahasa
5) Daftar sejumlah kata dan frase dari suatu bahasa yang disusun secara
alfabetis disertai batasan dan keterangan.

Sedangkan Menurut Harimurti Kridalaksana dalam Sabarti Akhadiah dkk


(1991: 40) menjelaskan bahwa kosakata sama dengan leksikon, yaitu:
1) Komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna
pemakaian kata dalam bahasa.
2) Kekayaan kata yang dimiliki seseorang pembicara, penulis, atau suatu
bahasa.
3) Daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang
singkat dan praktis.

Badudu dan Sutan Muhammad Zain (1996: 750) mengemukakan bahwa


kosakata adalah “Kata yang dipakai dalam suatu bahasa sebagai hasil buah pikiran
dan perbuatan dalam kehidupan masyarakat”. Pendapat ini mendeskripsikan bahwa
24

kata-kata yang dipakai dalam suatu bahasa merupakan hasil buah pikiran bangsa
pemilik bahasa. Selain itu termasuk nama suatu perbuatan dapat menjadi sumber
kosakata, termasuk pergaulan antar bangsa atau kelompok masyarakat.
Dari berbagai pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa kosakata
adalah kekayaan kata yang dimiliki seseorang yang mengandung unsur bahasa yang
diucapkan atau dituliskan yang merupakan hasil buah pikiran bangsa pemilik bahasa
yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran serta perbuatan dalam
kehidupan masyarakat yang dapat digunakan dalam berbahasa.

b. Perkembangan Kosakata Anak


Perbendaharaan kata anak berkembang dengan pesat. Kata-kata ini mulai dari
nama-nama benda yang berada disekitarnya atau kata-kata yang sangat diperlukan
dalam menyampaikan kebutuhan utamanya. Misalnya susu, bobok, minum, dsb.
Kemudian kata-kata ini akan meluas kepada nama-nama benda yang paling dekat
dengan anak. Perkembangan jumlah penguasaan kosakata anak dimulai pada usia 15
bulan.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini mengenai
perkembangan perbendaharaan kata pada anak-anak menurut Wardani (1995: 29)

Tabel 1. Perkembangan Perbendaharaan Kata Anak-Anak


Usia Jumlah Perbendaharaan Kata
15 bulan 4 – 6 kata
18 bulan Lebih kurang 20 kata
24 bulan 200 – 300 kata
3 tahun 900 – 1000 kata
4 tahun 1500 – 1600 kata
5 tahun 2100 – 2200 kata
6 tahun ekspresif: 2600 kata
reseptif 20.000 – 24.000 kata

12 tahun 50.000 kata


25

c. Arti Penting Penguasaan Kosakata Bahasa Indonesia


Pada hakikatnya penguasaan adalah kemampuan seseorang dalam
menggunkan dan memanfaatkan sesuatu hal, dengan demikian penguasaan kosakata
berarti kemampuan seseorang dalam memahami karakteristik, ciri dan manfaat dari
penggunaan kosakata. Penguasaan kosakata tidak hanya menggunakan dan
memanfaatkan sesuatu hal melainkan juga mengetahui arti secara mandiri dan
mampu menerapkan kata-kata tersebut dalam membuat kalimat secara baik dan
benar.
Menurut Suhendi (1991: 34) “Menguasai kosakata adalah mengerti arti kata
baik secara lepas maupun mengerti arti kata apabila sudah berada dalam konteks
yang lebih luas, bahkan mampu menerapkan kata-kata tersebut secara benar dalam
kalimat atau lebih luas lagi ke dalam bentuk paragraf atau wacana”.
Kosakata Bahasa Indonesia sangatlah penting perannya, terlebih bagi siswa
yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Karena dengan penguasaan kosakata
yang cukup akan memperlancar siswa dalam belajar bahasa. Dengan kosakata akan
membantu siswa lebih mudah memahami bahan bacaan seperti buku pelajaran,
koran, majalah, novel, dan karya tulis lainnya. Siswa tidak hanya mengetahui kata-
kata tersebut dari membaca atau mendengar dari orang lain saja, tetapi suatu saat
siswa juga mampu menggunakan secara produktif kosakata yang telah diketahuinya
didalam penulisan maupun dalam berkomunikasi secara lisan.
Seperti yang diungkapkan oleh Burhan Nurgiyantoro (1988: 154) bahwa
“Untuk dapat melakukan kegiatan komunikasi dengan bahasa diperlukan penguasaan
kosakata dalam jumlah yang memadai. Penguasaan kosakata yang lebih banyak lebih
memungkinkan kita untuk menerima dan menyampaikan informasi yang lebih luas
dan kompleks”. Lebih lanjut Burhan Nurgiyantoro (1988: 196) mengatakan
“Kosakata merupakan alat utama yang harus dimiliki seseorang yang akan belajar
bahasa, sebab kosakata berfungsi untuk membentuk kalimat dan mengutarakan isi
pikiran serta perasaan dengan sempurna baik secara lisan maupun tertulis”.
26

Menurut Sri Hastuti (1979: 24) “Pentingnya penguasaan kosakata adalah


agar siswa mampu memahami kata atau istilah dan mampu menggunakannya
didalam tindak berbahasa baik itu menyimak, berbicara, membaca maupun menulis”.
Sedangkan Henry Guntur Tarigan (1984: 24) mengatakan bahwa: “Dengan
penguasaan kosakata yang baik diharapkan dapat: (1) Meningkatkan taraf
kemampuan mental siswa, (2) Meningkatkan taraf konseptual siswa, (3)
Meningkatkan proses berfikir siswa, (4) Meningkatkan pandangan hidup siswa”.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas tentang pentingnya penguasaan
kosakata, maka dapat disimpulkan bahwa peran penguasaan kosakata Bahasa
Indonesia bagi siswa khususnya sekolah dasar sangatlah penting. Terlebih bagi siswa
yang mengalami kesulitan belajar bahasa. Penguasaan kosakata yang mereka kuasai
diharapkan dapat meningkatkan taraf kemampuan mental, konseptual, serta
meningkatkan proses berfikir dan meningkatkan pandangan hidup mereka atas
dirinya. Sehingga dengan penguasaan kosakata yang baik akan mempelancar mereka
untuk belajar bahasa, dan dengan bahasa mereka dapat mengutarakan isi hati dan
pikiran mereka, baik secara lisan maupun tertulis.

d. Teknik Pengajaran Kosakata


Pengembangan kemampuan penguasaan kosakata dapat dilakukan dengan
berbagai teknik. Menurut Sri Hastuti (1979: 14) mengemukakan teknik pengajaran
kosakata adalah sebagai berikut:
a. Menciptakan suasana yang sesuai dengan situasi untuk dapat mengenal
kata- kata semakin banyak.
b. Latihan mengisi teka teki silang.
c. Menambah kalimat berdasarkan arah gerak ke depan atau ke belakang.
d. Dengan teori bertanya menggunakan kata-kata Tanya.
e. Dengan menyusun kata-kata kacau atau menyusun kalimat kacau agar
kata- kata tersebut menjadi teratur dan bermakna.
f. Mencari padan kata, lawan kata, persamaan kata atau akronim.
27

Menurut Gorys Keraf (1998: 67) Perluasan kosakata dapat ditempuh dengan
jalan:
1. Proses belajar
2. Melalui konteks
3. Melalui kamus sinonim
4. Dengan analisis kosakata.

Selain itu teknik pengembangan kata dalam hubungannya untuk


mengembangkan perbendaharaan kata menurut Edgar Dale, Yoseph O’Rourke &
Henry A. Bamman, dalam Henry Guntur Tarigan (1984: 18) mengemukakan:
17 kategori kata menjadi 13 kategori, yaitu (1) ujian sebagai pengajaran, (2)
petunjuk konteks, (3) sinonim,antonim, homonim, (4) asal usul kata, (5)
prefix, (6) sufiks, (7) akar kata, (8) ucapan dan ejaan, (9) semantik, (10)
majas, (11) sastra dan pengembangan kosakata, (12) penggunaan kamus, (13)
permainan kata.

Berikut ini penjelasannya mengenai sinonim, antonim dan semantik atau


makna kata:
Sinonim berarti sebuah kata yang dikelompokkan dengan kata-kata lain di
dalam klasifikasi yang sama berdasarkana makna umum, dengan kata lain sinonim
adalah kata-kata yang mengandung arti sama tetapi berbeda dalam nilai kata, atau
sinonim adalah kata-kata yang mempunyai denotasi yang sama tetapi berbeda dalam
konotasi. Sedangkan antonim adalah kata yang mengandung makna yang berlawanan
dengan kata yang lain.
Menguasai suatu bahasa berarti dapat memahami kosakata dan ejaan dengan
baik, serta memahami makna kosakata tersebut dan dapat menggunakannya dalam
kalimat. Dalam mengartikan kata-kata, seseorang harus memperhatikan makna yang
tersurat dan tersirat. Soedjito (1992: 52-59) membagi makna kata menjadi beberapa
bagian, yaitu:
a) Makna leksikal dan gramatikal
(1) Makna leksikal adalah makna kata secara lepas tanpa ada kaitannya
dengan kata lain dalam sebuah kalimat atau makna yang
sesungguhnya.
Contoh: rumah adalah bangunan untuk tempat tinggal manusia.
28

(2) Makna gramatikal adalah makna baru yang timbul akibat terjadinya
proses gramatika (pengimbuhan/ pengulangan/ pemajemukan).
Contoh: kata rumah bila diberi imbuhan ber menjadi berumah yang
artinya mempunyai rumah.
b) Makna konotatif dan makna denotatif
(1) Makna konotatif adalah makna tambahan terhadap makna dasar yang
berupa rasa / gambaran tertentu.
Contoh: kata merah dapat berkonotasi berani.
(2) Makna denotatif adalah makna kata didasarkan pada penunjukan yang
lugas dan apa adanya.
Contoh: merah artinya warna seperti warna darah.
c) Makna lugas dan makna makna kiasan
(2) Makna lugas adalah makna sebenarnya/ makna yang acuannya sesuai
dengan makna kata yang bersangkutan.
Contoh: kata kaki : - kaki didik
- Kaki kucing
(3) Makna kiasan adalah makna yang acuannya tidak sesuai dengan
makna kata yang bersangkutan.
Contoh: kata kaki: - kaki gunung
- kaki langit

Berdasarkan penjelasan di atas, maka seperti halnya sinonim, antonim dan


makna kata dapat menolong para siswa mempelajari kata-kata melalui proses
pengklasifikasian. Penggunaan kamus tidak hanya sekedar pencatat atau perekam
makna kata, tetapi lebih dari itu. Dalam beberapa hal kamus merupakan tempat
penyimpanan pengalaman-pengalaman manusia yang telah diberi nama dan dengan
demikian merupakan sarana penting bagi pengajaran kosakata. Kamus memberikan
informasi penting mengenai definisi kata, makna kata, ejaannya, dan ucapannya.
Dalam hal ini agar anak tertarik, dalam proses pembelajaran mengembangkan
kosakata maka proses pembelajaran tersebut dapat menggunakan teknik permainan.
Menurut Henry Guntur Tarigan, (1984: 256-263) “Diantara permainan kata untuk
mengembangkan kosakata diantaranya adalah anagram, asosiasi, konsep awal dan
akhir, teka teki, teka teki silang dan polindrom”. Kecenderungan siswa sekolah dasar
yang masih pada masa antara bermain dan belajar, perlu dicarikan teknik
29

pembelajaran yang menarik, tanpa mengesampingka kegiatan proses pembelajaran.


Salah satu teknik yang memadukan hal tersebut adalah permainan kata anagram.
Sabarti Akhadiah dkk (1991: 51) memaparkan ada beberapa langkah-langkah
dalam pengajaran kosakata, yaitu:
1) Menentukan tujuan untuk pokok bahasan yang akan diberikan, mencakup
kompetensi dasar dan indikator.
2) Mengembangkan bahan pengajaran sesuai dengan indikator yang ingin
dicapai. Selain itu, sebaiknya menyiapkan bahan latihan yang menunjang
pencapaian tujuan tersebut.
3) Merencanakan kapan menyampaikannya, bagaimana caranya, bagaimana
cara memotivasi atau mengaktifkan siswa. Untuk penyampaian pokok
bahasan kosakata, sebaiknya menggunakan metode penugasan, latihan,
tanya jawab, widyawisata.
4) Menyuruh siswa mengerjakan latihan.
Bahan-bahan latihan dapat berupa:
a) Siswa disuruh menjelaskan kata umum yang telah dibuat guru dengan
kata-kata sendiri.
b) Siswa disuruh melengkapi kalimat dengan kata yang tepat dari kata
yang telah disediakan.
c) Siswa disuruh membuat kalimat dengan menggunakan kata-kata umum.
Kata-kata umum tersebut dapat berasal dari buku pelajaran ataupun
dibuat oleh guru.
5) Untuk mengetahui atau mengukur sejauh mana tujuan yang telah
ditetapkan dapat dicapai, guru dapat menggunakan tes formatif. Tes
formatif dibuat berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dan dapat
dilakukan secara lisan ataupun tertulis.

Dengan demikian, dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa


teknik pengajaran kosakata dapat dilakukan dengan cara-cara yang menyenangkan,
yang dapat menimbulkan kreativitas siswa dalam menguasai kosakata, dan dilakukan
dengan langkah-langkah pembelajaran yang sistematis agar dapat mencapai tujuan
pembelajaran yang diinginkan.
30

3. Hakikat Permainan Anagram


a. Pengertian Permainan
Menurut Sudono (2000: 1) “Permainan adalah suatu kegiatan yang dilakukan
dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau
memberikan informasi, memberi kesenangan maupun memberikan imajinasi pada
anak”.
Permainan itu sendiri oleh Lewis dan Leroad dalam Sudono (2000: 4)
didefinisikan sebagai “Suatu kegiatan yang menyenangkan yang memiliki peraturan
dan diikuti oleh siswa, perorangan maupun kelompok yang berlomba dan
berinteraksi untuk mencapai tujuan tertentu”. Tujuan tersebut bila hubungannya
dengan pembelajaran maka berarti tujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Sedangkan menurut Mayke S. Tedjasaputra (2001: 1) Bermain adalah
“Kegiatan menyenangkan dan merupakan kebutuhan yang sudah melekat dalam diri
anak”. Melalui bermain dapat dimanfatkan untuk perkembangan budaya dan seni.
Melalui bermain dapat dimanfaatkan untuk perkembangan aspek fisik, motorik,
kecerdasan, dan emosional. Bila ketiga aspek tersebut tidak memperoleh kesempatan
untuk berkembang maka akan terjadi ketimpangan. Bermain merupakan dunia kerja
anak menjadi hak setiap anak dan tanpa dibatasi usia.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa permainan merupakan suatu
kegiatan yang menyenangkan yang melibatkan diri sendiri atau orang lain dalam
situasi tertentu untuk berinteraksi dengan orang lain serta melatih siswa untuk
berinisiatif dan berimajinasi untuk mencapai tujuan tertentu. Adanya interaksi yang
kuat antara siswa dalam permainan akan menghasilkan ikatan emosi yang kuat
sehingga mereka dapat saling bertukar pengetahuan dan pengalaman.

b. Manfaat dan Tujuan Permainan


Permainan memiliki manfaat dalam proses pembelajaran, Mariana Karim dan
Fatmi A. Hisbullah (1986: 533) mengemukakan “Bahwa permainan dapat digunakan
dalam proses kegiatan belajar mengajar”. Permainan dapat menimbulkan motivasi
31

belajar siswa dan membantu mengurangi atau menghilangkan kebosanan siswa


dalam belajar, sehingga siswa terpacu berperan semaksimal mungkin untuk
mendapatkan hasil yang terbaik.
Sedangkan menurut Mayke S. Tedjasaputra (2001: 38) manfaat permainan
adalah sebagai berikut:
1) Untuk perkembangan aspek fisik
Dalam bermain anak mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan
yang banyak melibatkan gerakan tubuh, hal ini akan menjadikan tubuh
anak sehat dan oto-otot tubuh menjadi kuat.
2) Untuk perkembangan aspek motorik halus dan kasar
Anak usia 3 bulan mulai belajar meraih mainan yang ada didekatnya, hal
ini anak belajar mengkoordinasikan gerakan mata dengan tangan, secara
tidak langsung anak belajar melakukan gerakan motorik halus. Aspek
motorik kasar dapat dikembangkan melalui gerakan bermain. Salah satu
contohnya, pada awal ia belum terampil berlari, tapi dengan bermain
kejar-kejaran, maka anak berminat untuk melakukannya dan akhirnya
sampai berlari.
3) Untuk perkembangan aspek sosial
Bermain dapat bermanfaat dalam belajar komunikasi dengan sesama
teman, dalam hal ini anak belajar mengemukakan isi pikiran dan
perasaannya maupun belajar memahami apa yang diucapkan oleh teman
tersebut, sehingga hubungan social anak dapat terbina dan dapat saling
bertukar informasi.
4) Untuk perkembangan aspek Emosi dan Kepribadian
Anak akan mempunyai penilaian terhadap dirinya tentang kelebihan
ataupun kekurangan sehingga dapat membantu pembentukan konsep diri
dan diharapkan akan mempunyai rasa percaya diri dan harga diri. Melalui
bermain, anak belajar bagaimana harus bersikap dan bertingakah laku
agar dapat bekerjasama dengan temannya, bersikap jujur, berani, murah
hati, dan sebagainya.
5) Untuk Perkembangan Kognisi
Banyak konsep dasar yang mempelajari anak melalui bermain, tanpa
disadari hal ini anak mulai belajar, misalkan untuk memperkenalkan
warna dan ukuran bisa menggunakan kegiatan bermain memancing ikan
yang terdiri dari bermacam-macam warna dan ukuran. Hal ini aspek
kognisi diartikan sebagai pengetahuan, kreativitas, kemampuan berbahasa
serta daya ingat.
6) Untuk Mengasah Ketajaman Penginderaan
Aspek penginderaan yang menyangkut penglihatan, pendengaran,
penciuman, pengecapan, dan perabaan perlu untuk diasah agar anak
menjadi lebih tanggap terhadap hal-hal yang berlangsung di
32

lingkungannya. Hal ini melalui bermain, anak diharapkan menjadi aktif


dan kritis terhadap kejadian-kejadian yang muncul di sekitarnya.
7) Untuk keterampilan Olah raga dan menari
Perkembangan fisik sebagai dasar untuk mengembangkan keterampilan
dalam bidang olah raga dan menari, bila menari anak terampil melakukan
kegiatan tersebut, ia akan lebih percaya diri, yang terpenting adalah anak
menyukai dan senang pada kegiatan tersebut yang nantinya akan
dikembangakan sesuai dengan minat, bakat dan pada akhirnya akan
menjadi hobi bahkan menjadi sumber mata pencaharian di kemudian hari.

Sedangkan menurut Kartini Kartono (1992: 117) mengatakan bahwa


“Dengan jalan bermain-main, anak melakukan eksperimen-eksperimen
tertentu, dan eksplorasi, sambil mengetes kemampuannya. Melalui permainan
anak akan mendapatkan pengalaman yang menyenangkan, sambil
menggiatkan usaha belajar dan melaksanakan tugas-tugas perkembangan”.
Manfaat lain dari permainan adalah permainan dapat diterapkan dalam semua
bidang studi, seperti matematika, ilmu sosial, IPA, bahasa, dan lain sebagainya.
Permainan bahasa dalam proses pembelajaran bahasa menurut John D. Latuheru
(1998: 109) diantaranya adalah “Untuk mengembangkan perbendaharaan kata”.
Permainan dalam pembelajaran bahasa bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
berbahasa. Keterampilan berbahasa meliputi terampil menyimak, terampil berbicara,
terampil membaca dan terampil menulis. Keempat keterampilan berbahasa tersebut
saling berkaitan dan saling mendukung. Penguasaan bahasa yang baik merupakan
modal utama agar terampil berbahasa. Jadi permainan bahasa dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia diantaranya untuk mengembangkan perbendaharaan kata dan
mengembangkan kemampuan berbahasa.

c. Macam- Macam Alat Bermain


Pengelompokkan alat bermain berdasarkan pada tempat dan fungsinya,
menurut Mayke S. Tedjasaputra (2001: 74) “Alat bermain dibedakan menjadi dua
yaitu alat bermain yang ada di lingkungan sekitar anak dan alat bermain edukatif”.
Berikut penjelasannya:
33

1) Alat bermain dari lingkungan anak


Alat permainan yang dapat ditemukan di sekitar anak misalnya; biji-bijian, batu-
batuan, pelepah dan bunga pisang, bermacam-macam daun, serabut dan
tempurung kelapa, jerami, padi, lidi, dan daun kelapa, mendong, bahan tikar, jail-
jail, bahan mainan yang terbuat dari tanah liat, piring kertas, biskuit huruf, pasta
gigi, tusuk sate, bintang, dan angka kecil-kecil.
2) Alat permainan edukatif
Adalah alat permainan yang dirancang secara khusus untuk kepentingan
pendidikan dan mempunyai ciri-ciri:
a) Dapat digunakan dalam berbagai cara, maksudnya dapat digunakan dalam
berbagai macam tujuan, manfaat, dan berbagai maacam bentuk.
b) Ditujukan terutama untuk anak-anak usia pra sekolah dan fungsi
mengembangkan berbagai aspek perkembangan kecerdasan serta motorik
anak.
c) Segi keamanan sangat diperhatikan baik dari bentuk maupun penggunaan cat.
d) Membuat anak secara aktif terlibat.
e) Sifatnya konstruktif. Setiap alat permainan edukatif dapat difungsikan secara
multi fungsi, meskipun alat-alat tersebut memiliki beberapa kekhususan.
Sebagai alat permainan dikenal sebagai alat manipulatif yang
mengembangkan keterampilan dan imajinasi.
Berdasarkan macam alat bermain di atas maka alat bermain dalam
permainan anagram termasuk alat permainan edukatif, yakni berupa kartu huruf
dan kata. Media/ alat yang digunakan dirancang untuk kepentingan pendidikan,
yakni untuk belajar kosakata.
John D Latuheru (1998: 112-113) mengatakan bahwa salah satu fungsi
dari permainan dengan menggunakan kartu adalah “ Pada umumnya permainan
kartu dapat meningkatkan motivasi belajar anak didik, permainan dapat juga
mendorong siswa untuk saling membantu satu sama lain”. Dengan demikian,
34

kartu huruf sebagai alat permainan edukatif dalam permainan anagram bermanfaat
untuk kepentingan pendidikan.

d. Anagram
Anagram merupakan sebuah tipe permainan kata yang dahulu populer di
Eropa pada abad pertengahan. Seni beranagram diciptakan oleh seorang penyair
Yunani Lycophron. Sebelum era komputerisasi, anagram dibangun menggunakan
pulpen dan kertas dengan memainkan kombinasi huruf dan bereksperimen dengan
variasi.
“Anagram adalah salah satu jenis permainan kata, dimana huruf-huruf di
kata awal biasa diacak untuk membentuk kata lain atau sebuah kalimat”.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Anagram)
Sumber lain mengatakan bahwa “Anagram adalah sejenis permainan kata
berupa penyusunan kembali huruf-huruf dari sebuah kata atau frase untuk
menghasilkan sebuah kata/ frase yang baru, dengan benar-benar menggunakan
semua huruf sebelumnya”. (http://www.wikimu.com/News/Print.aspx/id=14095)
“Anagram adalah salah satu jenis permainan tebak kata. Objektif permainan
anagram adalah menebak kata-kata dengan huruf-huruf yang telah diacak. Huruf
yang tersedia harus dipakai sebanyak jumlahnya”.
(http://www.informatika.org/~rinaldi/Stmik/2006-
2007/Makalah_2007/MakalahSTMIK2007-106.pdf)
Contoh: Pemain diberikan lima huruf a-s-l-i-m. Maka pemain harus menebak kata
menggunakan huruf a-s-l-i-m dengan tiap huruf yang tepat sebanyak jumlahnya.
Sehingga kata yang dapat terbentuk adalah; islam, silam, salim, dan limas. Kata yang
di tebak harus benar/ valid. Artinya, kata tersebut termasuk dalam suatu database
yang ditentukan, misalnya termasuk dalam kamus besar Bahasa Indonesia.
“Anagram mengambil asal kata dari bahasa yunani ana = lagi dan gramma
= huruf/ kata. Anagram secara harfiah berarti permainan kata yang mencoba
merangkai suatu kata atau kalimat baru dari suatu kata atau kalimat yang sudah ada
35

menggunakan semua huruf asal dengan sama persis”.


(http://wehaveforgotten.wordpress.com).
Sedangkan menurut John M. Echols dan Hassan Shadily (2003: 28)
anagram artinya “ Penukaran huruf dalam kata-kata sehingga kata itu mempunyai
arti kata lain”.
Dengan demikian, anagram adalah pengubahan urutan huruf suatu kata
menjadi kata lain yang memiliki arti. Henry Guntur Tarigan (1984: 34)
“Mencontohkan dari kata kain dapat dibentuk menjadi kata kina, naik, dan ikan. Dari
kata gula dapat dibentuk kata lagu, gaul dan agul”.
Contoh:
Kain Kina Gula lagu
Naik gaul
Ikan agul
Harimurti Kridalaksana (1992: 56) mengemukakan bahwa “Anagram adalah
kata atau kelompok kata yang disusun dengan huruf yang sama dari kata atau
kelompok kata yang lain”.
Contoh:
Pertama, urutan hurufnya belum membentuk kata yang bermakna dan
kemungkinan kata yang dibentuk hanya satu. Dalam contoh ketiga perubahan urutan
huruf dalam kata tersebut lebih dari satu. Walaupun terdapat perbedaan, pada
hakikatnya anagram merupakan pengubahan huruf sehingga dapat membentuk
sebuah kata yang bermakna. Dalam penerapannya anagram dapat berbentuk seperti
contoh pertama.
Aink Kain Kita kait
Kina kiat
Naik ikat
Dari contoh di atas juga dapat dilihat mobilitas huruf yang dapat dibentuk
dalam permainan anagram. Mobilitas huruf yang dapat dibentuk dapat berjumlah
satu buah atau lebih. Anagram sangat menarik untuk diterapkan sebagai salah satu
36

teknik pembelajaran bahasa, karena anagram merupakan salah satu jenis permainan.
Permainan anagram dapat membangkitkan kreativitas anak. Anak berusaha kreatif
mengerjakan huruf-huruf untuk mencari dan menentukan kata-kata yang baru.
Kesalahan anak ketika melakukan permainan anagram menjadi pelajaran berharga
bagi anak.
Pencarian dan penemuan kata baru tersebut dengan sendirinya akan
diklasifikasikan oleh anak-anak dengan cara dapat membedakan kata yang bermakna
dan tidak. Di samping itu anak akan diperkaya dengan kata-kata yang belum dikuasai
sebelumnya.
Dari penjelasan di atas, bahwa permainan anagram adalah permainan
mengubah urutan huruf suatu kata menjadi kata lain atau mengubah kelompok kata
menjadi kelompok kata lain atau kalimat yang bermakna. Adapun permainan
anagram ditunjukkan dengan: a. mengubah huruf dari kata; b. membangkitkan
kreativitas; c. membedakan kata.

B. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir merupakan arahan penalaran untuk dapat sampai pada
penemuan jawaban sementara atas masalah yang dirumuskan. Penyusunan kerangka
berpikir berarti membuat argumentasi-argumentasi rasional berdasarkan teori-teori
yang telah diutarakan dalam kajian teori. Dengan demikian, penyusunan kerangka
berpikir dalam penelitian ini dapat dipaparkan sebagai berikut:
Anak berkesulitan belajar (learning disabilities) menunjukkan hambatan
dalam belajar bahasa, berbicara, mendengarkan, menulis, membaca, dan berhitung,
sedangkan mereka ini memiliki potensi kecerdasan yang baik tetapi berprestasi
rendah, yang bukan disebabkan oleh tunanetra, tunarungu, keterbelakangan mental,
gangguan emosional, gangguan ekonomi, sosial atau budaya.
Kesulitan bahasa adalah gangguan atau kesulitan yang dialami seseorang
yang berkemampuan rata-rata ke atas, dalam memperoleh kemampuan
37

mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, yang mencakup penguasaan tentang


bentuk, isi, serta penggunaan bahasa. Gangguan tersebut mungkin disebabkan oleh
terganggunya sistem syaraf pusat atau oleh faktor lain yang berpengaruh secara tidak
langsung, sebagai contoh kurangnya stimulasi mengenai perbendaharaan kata dan
bahasa dari lingkungan, pengajaran bahasa di sekolah yang tidak efektif dan
sebagainya.
Adapun jenis-jenis kesulitan belajar bahasa yang sesuai dengan pelajaran
Bahasa Indonesia di SD dikelompokkan menjadi tiga antara lain: (1) Kesulitan
belajar membaca dan menulis permulaan, (2) Kesulitan belajar berbahasa lisan, (3)
Kesulitan belajar berbahasa tulis.
Berdasarkan jenis-jenis kesulitan belajar bahasa, bahwa kesulitan yang
mereka alami dalam belajar bahasa ada kaitannya dengan kurangnya penguasaan
kosakata yang mereka miliki. Meskipun hal tersebut bukanlah pengaruh langsung
dari penyebab munculnya kesulitan belajar bahasa.
Pengembangan kemampuan penguasaan kosakata dapat dilakukan dengan
berbagai teknik, salah satunya adalah permainan. Teknik permainan memiliki tujuan
dan manfaat. Permainan dapat digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar
guna untuk menimbulkan motivasi siswa dalam belajar, oleh karena itu permainan
dapat membantu mengurangi atau menghilangkan kebosanan siswa dalam belajar.
Sehingga siswa terpacu berperan semaksimal mungkin untuk mendapatkan hasil
yang terbaik.
Diantara permainan kata untuk mengembangkan kosakata diantaranya adalah
anagram, asosiasi, konsep awal dan akhir, teka teki, teka teki silang dan polindrom.
Kecenderungan siswa sekolah dasar yang masih pada masa antara bermain dan
belajar, perlu dicarikan teknik pembelajaran yang menarik, tanpa mengesampingka
kegiatan proses pembelajaran, dan salah satu teknik yang memadukan hal tersebut
adalah permainan kata anagram.
Dengan demikian, teknik pembelajaran kosakata melalui permainan anagram
ini diharapkan dapat meningkatkan penguasaan kosakata Bahasa Indonesia pada
38

siswa berkesulitan belajar bahasa. Agar nantinya kesulitan yang mereka alami dapat
terminimalisir, sehingga mereka dapat berprestasi seperti siswa lainnya yang tidak
mengalami kesulitan belajar bahasa.
Berdasarkan pemaparan yang telah dikemukakan, maka dalam penelitian ini
dapat di buat bagan kerangka berpikir sebagai berikut:

Anak berkesulitan Penguasaan


belajar bahasa Permainan kosakata anak
memiliki anagram berkesulitan
penguasaan belajar bahasa
kosakata terbatas meningkat

C. Perumusan Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara atas masalah yang diteliti dan
masih dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir
maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
“Ada pengaruh positif permainan anagram terhadap penguasaan kosakata Bahasa
Indonesia pada anak berkesulitan belajar bahasa kelas III di SDN Petoran Surakarta
tahun ajaran 2009/2010”.

Anda mungkin juga menyukai