Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara harfiah kesulitan belajar merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris
Learning Disability yang berarti ketidakmampuan belajar. Learning disabilities
terkadang tidak disadari oleh orangtua dan guru, akibatnya anak yang mengalami
kesulitan belajar sering diidentifikasi sebagai anak yang underachiever, pemalas,
atau aneh. Anak-anak ini mungkin mengalami perasaan frustrasi, marah, depresi,
cemas, dan merasa tidak diperlukan (Harwell, dalam Suryani 2010).
Sekitar 51% siswa di kelas pendidikan luar biasa didiagnosa dengan
ketidakmampuan belajar (LDs, learning disabilities). Konselor professional
sekolah dapat membantu siswa sukses secara akademis dan mengatasi masalah-
masalah pribadi dan sosial akibat ketidakmampuan mereka. Ketidakmampuan
belajar (LDs,learning disabilities), adalah gangguan menarik dan
membingungkan. Ini menjadi perhatian pendidik, orang tua, peneliti, konselor
sekolah, dan siswa sendiri (Coplin& Morgan, 1988; Kirk, Gallagher,
&Anastasiow, 2000). Aspek menarik LD adalah bahwa LD ini memiliki satu
spesifik penyebab, terdiri dari beberapa jenis, dan siswa dengan jenis LD yang
sama memiliki kekurangan berbeda. Ketidakmampuan belajar ini
membingungkan karena siswa ini mungkin memiliki kecerdasan normal atau
berbakat, tetapi mereka tidak selalu berhasil di sekolah-sekolah. Para peneliti telah
mempelajari LD sejak 1800-an, dan istilah ketidakmampuan belajar pertama kali
diusulkan oleh orang tua dan Samuel Kirk pada tahun 1963 menggambarkan
kondisi gangguan ini (Kirk et al., 2000).

B. Tujuan Penulisan Makalah


1. Mengetahui definisi dari learning disabilities (ketidakmampuan belajar)
2. Mengetahui karakteristik dan identifikasi siswa dengan learning
disabilities
3. Mengetahui strategi konseling untuk siswa dengan learning disabilities

1
2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Learning Disabilities (Ketidakmampuan Belajar)


Ketidakmampuan belajar (learning disabilities) adalah gangguan yang
mempengaruhi pemahaman atau penggunaan bahasa, tertulis atau lisan, yang
diperlihatkan oleh diri dalam kesulitan mendengarkan, berpikir, membaca,
menulis, mengeja, dan perhitungan matematika (Dinas Pendidikan AS, seperti
dikutip dalam Smith &Luckasson, 1995). Gangguan ini mempengaruhi
kemampuan siswa dalam menafsirkan apa yang mereka lihat dan dengar, atau
menghubungkan informasi dari berbagai bagian otak (National Institute of Mental
Health [NIMH], 2002). Yang lainnya mendefinisikan LD sebagai ketidaksesuaian
antara prestasi akademik dan kemampuan belajar (Brody & Mills, 1997; Marsh &
Wolfe, 1999). Satu atau lebih standar deviasi di bawah rata-rata pada tes prestasi
dapat menunjukkan ketidakmampuan belajar (Mendaglio, 1993). Siswa dengan
ketidakmampuan belajar dapat berada ke dalam salah satu dari tiga kategori
kemampuan intelektual: berbakat, rata-rata, atau berat dengan defisit kognitif
(Skinner &Schenck, 1992).
LD dapat memanifestasikan dirinya dalam beberapa cara, seperti kesulitan
dengan bahasa lisan dan tertulis, koordinasi, pengendalian diri, atau perhatian
(NIMH, 2002). Siswa dengan LD mungkin mengalami masalah dengan tugas-
tugas belajar, memori, dan pembelajaran (Bender, 2001). Banyak peneliti
menunjukkan bahwa gangguan ini disebabkan oleh disfungsi sistem saraf pusat
menyebabkan otak dan sistem persepsi otak siswa yang mengalami LD bekerja
secara berbeda dengan fungsi pada otak siswa tanpa LD (Kirk et al, 2000;
Obrzut&Hynd, 1983; Rourke, 1994). Faktor gizi seperti alergi makanan,
diusulkan sebagai penyebab lain yang mungkin untuk LD, dan bukti terbaru yang
berhubungan dengan prevalensi LD adalah keturunan (Thompson & Rudolph,
2000).
Gangguan tersebut berupa gangguan intrinsik yang diduga karena adanya
disfungsi sistem saraf pusat. Kesulitan belajar bisa terjadi bersamaan dengan
gangguan lain (misalnya gangguan sensoris, hambatan sosial, dan emosional) dan
3

pengaruh lingkungan (misalnya perbedaan budaya atau proses pembelajaran yang


tidak sesuai). Gangguan-gangguan eksternal tersebut tidak menjadi faktor
penyebab kondisi kesulitan belajar, walaupun menjadi faktor yang memperburuk
kondisi kesulitan belajar yang sudah ada. (Suryani, 2010)
Diperkirakan bahwa 15% populasi Amerika Serikat (Cramer & Ellis,
1996) dan 54% anak-anak yang menerima layanan pendidikan khusus memiliki
ketidakmampuan belajar spesifik (Thompson & Rudolph, 2000). Departemen
Pendidikan AS (1996) melaporkan bahwa sekitar 39% anak-anak ini berada di
kelas reguler, 60% dalam kelas khusus, dan sejumlah kecil (1%) dalam fasilitas
terpisah. Siswa-siswa ini mengalami kesulitan akademik, dan beresiko lebih
mengalami kegagalan di sekolah dibandingkan rekan-rekannya (Lombana, 1992).
Semua siswa dengan LD dapat memperoleh mendapatkan keuntungan khusus
yang disediakan oleh konselor sekolah profesional.

B. Karakteristik dan Identifikasi Siswa dengan Learning Disabilities


Karakteristik siswa dengan LD akan berbeda antara individu-individu
yang mungkin menunjukkan domain kognitif, motorik, atau sosial (Cartwright,
Cartwright. & Ward, 1995). Mereka kesulitan secara kognitif dan mengalami
masalah dalam membaca, aritmatika, atau berpikir; beberapa masalah dengan
keterampilan motorik perseptual; yang lain mungkin memiliki kekurangan sosial.
Kekurangan paling umum di antara siswa dengan LD adalah istilah disleksia yang
identik dengan kekurangan dalam membaca. Banyak siswa dengan LD mungkin
juga memiliki kekurangan dalam ejaan tulisan tangan, dan kesulitan dengan tata
bahasa dan tanda baca. Seorang siswa dengan kesulitan bahasa mungkin
mengalami masalah dalam memahami apa yang dikatakan dan mengekspresikan
dirinya.
Menurut Valett (dalam Suryani, 2010) terdapat tujuh karakteristik yang
ditemui pada anak dengan kesulitan belajar.
1. Sejarah kegagalan akademik berulang kali
Pola kegagalan dalam mencapai prestasi belajar ini terjadi berulang-ulang.
Tampaknya memantapkan harapan untuk gagal sehingga melemahkan usaha.
4

2. Hambatan fisik/tubuh atau lingkungan berinteraksi dengan kesulitan


belajar
Adanya kelainan fisik, misalnya penglihatan yang kurang jelas atau
pendengaran yang terganggu berkembang menjadi kesulitan belajar yang jauh di
luar jangkauan kesulitan fisik awal.
3. Kelainan motivasional
Kegagalan berulang, penolakan guru dan teman-teman sebaya, tidak
adanya reinforcement. Semua ini ataupun sendiri-sendiri cenderung merendahkan
mutu tindakan, mengurangi minat untuk belajar, dan umumnya merendahkan
motivasi atau memindahkan motivasi ke kegiatan lain.
4. Kecemasan yang samar-samar, mirip kecemasan yang mengambang
Kegagalan yang berulang kali, yang mengembangkan harapan akan gagal
dalam bidang akademik dapat menular ke bidang-bidang pengalaman lain.
Adanya antisipasi terhadap kegagalan yang segera datang, yang tidak pasti dalam
hal apa, menimbulkan kegelisahan, ketidaknyamanan, dan semacam keinginan
untuk mengundurkan diri. Misalnya dalam bentuk melamun atau tidak
memperhatikan.
5. Perilaku berubah-ubah, dalam arti tidak konsisten dan tidak terduga
Rapor hasil belajar anak dengan kesulitan belajar cenderung tidak konstan.
Tidak jarang perbedaan angkanya menyolok dibandingkan dengan anak lain. Ini
disebabkan karena naik turunnya minat dan perhatian mereka terhadap pelajaran.
Ketidakstabilan dan perubahan yang tidak dapat diduga ini lebih merupakan
isyarat penting dari rendahnya prestasi itu sendiri.
6. Penilaian yang keliru karena data tidak lengkap
Kesulitan belajar dapat timbul karena pemberian label kepada seorang
anak berdasarkan informasi yang tidak lengkap. Misalnya tanpa data yang lengkap
seorang anak digolongkan keterbelakangan mental tetapi terlihat perilaku
akademiknya tinggi, yang tidak sesuai dengan anak yang keterbelakangan mental.
7. Pendidikan dan pola asuh yang didapat tidak memadai
Terdapat anak-anak yang tipe, mutu, penguasaan, dan urutan pengalaman
5

belajarnya tidak mendukung proses belajar. Kadang-kadang kesalahan tidak


terdapat pada sistem pendidikan itu sendiri, tetapi pada ketidakcocokan antara
kegiatan kelas dengan kebutuhan anak. Kadang-kadang pengalaman yang didapat
dalam keluarga juga tidak mendukung kegiatan belajar.

Kebanyakan siswa dengan LD dalam bidang akademis berada di bawah


tingkat yang diharapkan di bidang akademik terlepas IQ dalam rentang
kecerdasan normal atau lebih tinggi (Thomson Rudolph, 2000). Karakteristik lain
para siswa ini mencakup disorganisasi, tidak perhatian, ketidakmampuan untuk
tetap pada tugas dalam waktu yang lama, kurangnya motivasi, dan kemampuan
memecahkan masalah (Smith &Luckasson, 1995). Beberapa anak juga dapat
mengalami hiperaktif dan impulsif dan gangguan mudah (Ariel, 1992). Toro,
Weissberg dan Liebenslein (1990) menemukan bahwa siswa dengan LD tidak
mampu menghasilkan banyak solusi alternatif terhadap situasi pemecahan
masalah jika dibandingkan dengan siswa tanpa LD. Studi dengan siswa LD
cenderung lebih mengganggu di kelas, memiliki lebih banyak masalah perilaku
kelas dan menunjukkan kurang toleransi terhadap rasa frustrasi. Selain itu, mereka
lebih rentan dibandingkan siswa non-LD yang memiliki masalah berhubungan
dengan keluarga seperti kesulitan keuangan dan kurangnya rangsangan
pendidikan.
Penelitian menunjukkan bahwa siswa LD memiliki konsep diri akademik
lebih rendah dibandingkan rekan-rekan mereka (Hagborg, 1996), dan defisit
ditunjukkan dalam keterampilan pemecahan masalah sosial dibandingkan dengan
mahasiswa non-LD (Thompson & Rudolph, 2000;. Toro et al, 1990). Mereka
mengalami kesulitan membuat dan menjaga teman-teman dan menunjukkan
perilaku tidak pantas secara sosial (Cartwright et al, 1995;.Thompson & Rudolph,
2000). Satu studi yang diminta pada individu dengan LD untuk peringkat area
urutan di mana mereka merasa kekurangan menunjukkan bahwa mereka terdaftar
dalam hubungan sosial dan keterampilan, mengembangkan diri dan kepercayaan
diri, dan mengatasi ketergantungan sebagai area atas mereka (Chelser, 1982,
dikutip dalam Skinner &Schenck , 1992).
6

Pemerintah federal menggambarkan secara spesifik untuk


mengidentifikasi siswa dengan LD sebagai proses yang harus diikuti dalam
mengevaluasi siswa ini di bawah Undang-Undang Pendidikan untuk Anak Cacat
1975 (PL94-142) dan Undang-Undang Pendidikan Individu Penyandang Cacat
(IDEA) tahun 1997 (PL 105 -107) (Cartwright et al, 1995;Kirk et al, 2000).
Kegagalan untuk mengikuti proses ini dapat mengakibatkan tindakan pengadilan
sipil, sanksi negara bagian dan federal, dan hilangnya dana distrik sekolah.
Sebuah timmultidisiplin (misalnyaguru, psikolog sekolah, karya sosial konselor
sekolah, spesialis perilaku) harus melakukan evaluasi, dan orang tua siswa harus
dilibatkan. Konselor sekolah sering berpartisipasi dalam tim multi-disiplin
(Parette& Holder-Brown, 1992). Instrumen penilaian harus diberikan sebagai
bahasa ibu anak dan lebih dari satu kriteria (misalnya ekspresi lisan atau tertulis,
mendengarkan, pemahaman, membaca, penalaran matematika dan perhitungan)
harus jelas untuk diagnosis ini. Ketidakmampuan belajar menonaktifkangangguan
yang lain (misalnyavisual, keterbelakangan mental, gangguan emosional), atau
kerugian pada lingkungan, budaya, atau ekonomi (Thompson & Rudolph, 2000).
Program Pendidikan Individual (IEP, Individualized Education Program)
dikembangkan berdasarkan kebutuhan khusus siswa (Ariel, 1992). IEP
menentukan layanan pendidikan dan berhubungan (misalnyakonseling) akan
diberikan dan bertindak sebagai perangkat pemantauan untuk menjamin siswa
sebenarnya sebagaimana disepakati oleh orang tua dan personel sekolah. IEP
harus meliputi (a) penilaian (misalnya, medis,fungsi perilaku pribadi-sosial,
kinerja pendidikan saat ini, prestasi akademik, kognitif dan fungsi motorik), (b)
tujuan dan sasaran jangka pendek dan jangka panjang; (c) layanan pendidikan
yang akan diberikan, nama individu yang akan menyediakan layanan tersebut, dan
jadwal tertentu, dan (d) prosedur evaluasi tahunan.

Kebutuhan Personal, Sosial dan Pendidikan Siswa LD


Siswa dengan pengalaman LD frustrasi dalam menyelesaikan tugas sehari-
hari.Mereka mungkin menunjukkan takut gagal, takut belajar, dan enggan
mengerjakan tugas.Hal yang mungkin sering didengar mereka berkata, "Saya
tidak bisa melakukan ini," "Saya tidak tahu bagaimana," atau "Saya tidak akan
7

pernah belajar tentang hal ini."Selain itu, siswa ini mungkin menunjukkan
toleransi frustrasi rendah dan rentan untuk menunjukkan perilaku amarah yang
mengganggu ketika dihadapkan dengan situasi belajar (Ariel, 1992).Perasaan
tidak berharga, dan rendah diri dalam masalah pembelajaran; Oleh karena itu,
siswa dengan LD membutuhkan konseling individual untuk membantu mereka
mengatasi perasaan mereka dan menyesuaikan dengan kecacatan mereka
(Thompson & Rudolph, 2000; Vernon, 1993). Mereka akan membutuhkan
dorongan dan dukungan dari orang tua, guru, konselor sekolah profesional, dan
orang dewasa penting lainnya dalam hidup mereka. Mereka juga perlu
mengembangkan strategi akademik yang akan membantu mereka mengatasi
kekurangan tertentu yang berhubungan dengan LD.
Siswa mengalami kesulitan membentuk hubungan interpersonal, atau yang
dapat bertindak sosial secara tepat, akan mendapatkan keuntungan dari konseling
kelompok dan keterampilan pelatihansosial. Orang dengan masalah perilaku dapat
membantu dengan strategi modifikasi perilaku dan kontingensi kontrak yang
dilaksanakan konselor sertaguru di dalam kelas.Siswa usia sekolah tinggi akan
membutuhkan bantuan dalam mengembangkan tujuan dan rencana karir (Skinner
&Schenck, 1992). Siswa dengan LD juga membutuhkan konselorsekolah
profesional untuk bertindak sebagai pendukung bagi mereka untuk meyakinkan
mereka menerima layanan yang diidentifikasi dalam IEP.

C. Strategi Konseling
1. Konseling Singkat Berfokus Solusi
Penggunaan singkat konseling yang berfokus pada solusi telah
direkomendasikan dan terbukti efektif untuk digunakan dengan siswa SMP dan
SMA dengan LD (Amatea, 1989; Littrell, Malia, Undwerwood & 995).
Pendekatan ini dapat diimplementasikan dalam kedua intervensi konseling
individu dan kelompok.Thompson dan Littrell (1998) menggunakan empat
langkah, Model konseling singkat dengan sampel kecil siswa SMA dengan LD
yang mengalami masalah pribadi. Empat langkah termasuk (1) mengidentifikasi
dan mendefinisikan masalah, (2) membahas solusi dan hasil yang telah
8

diupayakan sebelumnya, (3) menggunakan Pertanyaan Keajaiban (yaitu,


"Misalkan dalam satu malam, sementara Anda tertidur, ada keajaiban dan
masalah ini selesai. Bagaimana Anda tahu? Apa yang akan berbeda? Bagaimana
orang tua, teman, dan guru akan tahu tanpa Anda mengucapkan kata tentang hal
itu? De Shazer, 1988, hal. 4), dan (4) memiliki siswa yang menghasilkan tugas
atau kegiatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan oleh mereka. Para peneliti
melaporkan bahwa semua siswa yang berpartisipasi dalam studi menyatakan
kemajuan tujuan mereka, dengan semua kecuali mencapai tujuan yang
diinginkan.Perubahan positif kognisi juga dilaporkan.

2. Teknik Bermain Seni, Musik, dan Tulisan Ekspresif


Teknik bermain, seni, musik, dan tulisan-tulisan ekspresif dapat digunakan
dengan siswa sekolah dasar dalam konseling individu untuk memperoleh dan
mengungkapkan perasaan terhadap ketidakmampuan belajar terkait dengan
pengalaman, konflik rekan, dan kesulitan keluarga (Lockhart, 2003). Intervensi ini
memgembangkan kreatifitas siswa dengan tingkat perkembangan, kebutuhan, dan
kekhawatiran yang unik (Newsome, 2003). Latihan menulis dapat mendorong
eksplorasi dan refleksi diri (Bradle, 1999; Gladding, 1998).
Beberapa berpendapat bahwa dalam membantu siswa dengan LD,
kegiatan kelompok mungkin lebih efektif dibandingkan kegiatan individual
Kecuali yang berkaitan dengan masalah sosial, personal, dan harga diri karena
sifat interaksi dengan orang lain (Elbaum& Vaughn, 2001; Lombana, 1992).
Konseling kelompok terbukti berhasil dengan siswa dengan LD untuk
meningkatkan harga diri, keterampilan sosial, kompetensi, dan meningkatkan
perilaku (Omizo). Kegiatan kelompok kecil meliputi penggunaan peran dan
boneka dengan anak-anak LD telah meningkatkan kehadiran di sekolah dan
mengurangi suspensi (Schmidt). Kelompok pendidikan di semua tingkatan kelas
dapat membantu siswa LD mengidentifikasi penggunaan strategi dan teknik
untuk membantu mereka mengkompensasi kekurangan akademis.Beberapa
strategi ini termasuk memeriksa kesalahan ejaan sebelum menggunakan
kalkulator untuk menjamin akurasi, menuliskan semua pekerjaan rumah,
9

menggunakan cara-cara alternatif belajar (misalnya melalui film, kunjungan,


kegiatan tangan). Biblioterapi dan sumber daya audiovisual dengan anak-anak
usia SD dengan LD juga dapat menunjukkan perilaku tepat dalam situasi tertentu
(Vernon, 1993). Siswa dengan kesulitan mengingat dapat diajarkan strategi
mnemonic (perangkat memori) dan dibuat oleh siswa sendiri (Reigel, Mayle,
Henkel, 1988). Intervensi akademik dengan penekanan pada kolaboratif teman
sebaya telah terbukti sukses untuk diberikan kepada siswa sekolah menengah
dalam meningkatkan akademik harga diri (Elbaum& Vaughn, 2001).

3. Pendekatan Perilaku Kognitif


Teknik konseling perilaku kognitif dapat diterapkan dalam konseling
individu untuk mengajarkan keterampilan dan strategi koping.Teknik ini dapat
dilakukan pada siswa dengan LD yang menunjukkan tidak perhatian, impulsif,
dan hiperaktivitas (Mennuti, 1997); Tetapi hal ini juga dapat digunakan dengan
siswa yang menunjukkan rasa takut belajar tentang konsep diri.Dirancang untuk
siswa LD dan remaja yang lebih tua, pendekatan perilaku kognitif dapat paling
efektif bila dikombinasikan dengan konsultasi dan pelatihan orang tua dan guru
secara bersamaan.Konselor sekolah profesional menghubungkan sekolah dan
rumah sehingga memberikan hal integratif, multi-modal, holistik, pendekatan
kolaboratif untuk mengatasi kebutuhan.Sesikelompok dan orang tua dan pelatihan
guru dapat terjadi secara bersamaan, konselor sekolah profesional mungkin ingin
memberikan kesempatan ini. Pendekatan tujuan harus mencakup (a)
meningkatkan pengetahuan, dan penyesuaian pada LD, (b)
mengajarkanpendekatan perilaku kognitif dan pikiran terdistorsi sebagai pikiran,
perasaan, dan perilaku yang dapat dihasilkan, (c) mengubah perilaku diri sendiri,
dan (d) mengubah dan perasaan yang terkait dengan negatif pola ini. Perilaku
manajemen diri harus disertakan bersama dengan kontraskontingensi dan
pekerjaan rumah mingguan perilaku kognitif untuk memantau siswa memotivasi
seluruh proses intervensi (Corey, 2001; Williams &Mennuti, 1997).
Omizo dan Omizo (1987) berhasil menggunakan hal ini pada kelompok
pendekatan konseling dengan siswa yang menghilangkan perilaku diri sendiri dan
10

meningkatkan harga diri dan locus of control internal siswa sekolah dengan LD.
Intervensi terdiri dari tujuh sesi dansatusetengah jam difokuskan untuk membantu
siswa mengidentifikasi perilaku yang merugikan diri sendiri, perasaan
konsekuensi yang terkait dengan perilaku ini, dan pilihan-pilihan yang diperlukan
untuk menghilangkan aktivitas citra yang digunakan di mana anggota kelompok
manajer divisualisasikan dengan hambatan untuk mencegah mereka
menghilangkan perilaku diri sendiri dan cara mengatasi hambatan ini.

4. Pendidikan Citra dan Pelatihan Relaksasi


Dengan cara yang sama,Omizo dan Omizo (1987) menggabungkan citra
visual dalam intervensi konseling mereka, konselor sekolah profesional dapat
menggunakan citra visual, relaksasi, teknik pengurangan dalam sesi konseling
individu dan kelompok (Romas& Sharma, 1993). Citra visual adalah teknik yang
kuat dan dapat digunakan untuk membantu siswa terlebih dahulu terhadap situasi
yang mungkin berpotensi mengancam atau stres (misalnyaberbicara di kelas,
mengikuti ujian, meminta rekan untuk acara sosial).Latihan teratur secara visual
terbukti meningkatkan kinerja kompetitif (Romas& Sharma, 2000). Saran atau
berbicara dengan diri sendiri juga dapat membantu siswa membangun rasa
percaya diri (Romas& Sharma, 2000). Siswa dapat berbicara dengan diri sendiri
menggunakan metode relaksasi relaksasi otot atau meditasi.Beberapa contoh self-
talk adalah, "Saya bisa tenang dalam situasi stres," "Saya bisa melakukan yang
terbaik sesuai dengan kemampuan saya," dan "Saya adalah orang yang
kompeten."Siswa dapat membuat afirmasidiri mereka sendiri dan mengulanginya
secara berkala sepanjang hari.

5. Konseling
Dibandingkan dengan rekan-rekan non-LD mereka, siswa dengan LD
cenderung tidak memiliki keterampilan dalam mengidentifikasi pilihan karir dan
telah digambarkan sebagai kurang matang dalam sikap yang berhubungan dengan
pekerjaan (Rojewski, 1993).Akibatnya, menyediakan layanan konseling karir
untuk remaja LD adalah penting.Merupakan faktor penting bagi konselor sekolah
11

profesional untuk memahami kapan layanan karir memberikan efek kecacatan


pada persyaratan kerja spesifik yang dipilih dan ini harus disajikan secara realistis
kepada siswa (Lockhart, 2003). Rujukan ke lembaga layanan tepat untuk
membantu siswa dengan LD mengembangkan transisi dan mendapatkan pelatihan
atau pekerjaan setelah lulus dari sekolah tinggi. IDEA mensyaratkan bahwa
timmultidisiplin menyiapkan rencana transisi bagi siswa penyandang cacat ketika
dia berusia 14 tahun.
Siswa akan membutuhkan bantuan mengidentifikasi lembaga pasca
sekolah menengah yang sesuai dan mengakomodasi kebutuhan khusus mereka.
Akibatnya, konselor sekolah profesional harus memberikan ringkasan diri dengan
kebijakan penerimaan, layanan dukungan, dan lembaga-lembaga persyaratan
akademik di daerah sekitarnya (Skinner &Schenck, 1992).Perekrutperguruan
penerimaan dihubungi untuk mengatur janji berbasis sekolah, berbicara secara
individual pada siswa dengan program LD yang menyediakan tutor, dukungan
akademis, pembaca, book-on-tape, penilaian pendidikan, layanan kecacatan, dan
konseling. Siswa dengan LD harus disarankan bahwa akomodasi pengujian
khusus dapat dibuat untuk mengambil penerimaan ujian (ACT dan SAT) melalui
American College Testing (ACT) dan Educational Testing Services.
Sistem bimbingan karir dibantu komputer seperti DISCOVER (American
College Testing Program, 1984) dan Sistem Bimbingan Interaktif dan Informasi
(SIGI dan SIGI Plus) dan sumber daya Internet dapat membantu siswa SMA lebih
terlibat dalam proses kesadaran dan eksplorasi (Zunker, 2002). Siswa dapat
bekerja secara individual dengan komputer dan menerima umpan balik
segera.Akses ke database besar di area ini, dan negara dapat memberikan para
siswa penerimaan pada perguruan tinggi, bantuan keuangan, magang, dan
informasi beasiswa. Konselor sekolah profesional dapat membantu siswa
menafsirkan dan membahas hasil pencarian mereka secara bersama dengan
membantu mereka, pekerjaan wawancara, melakukan pencarian pekerjaan, dan
belajar karir lain yang berhubungan dengan menggunakan program bimbingan
bantuan komputer dan internet. Konselor mungkin ingin membeli buku berjudul,
12

The Internee A Tool for Career Planning (Harris & Sampson, 1998) yang
diterbitkan oleh Asosiasi Pembangunan Karir Nasional, 326-1750).

6. Program Teman Sebaya


Helper (penolong) teman sebaya dapat digunakan untuk bekerja pada
siswa dengan LD untuk membantu mereka menyesuaikan situasi, untuk
memberikan bimbingan, dan bertindak sebagai teman istimewa (Myrick, 1997).
Konselor sekolah dapat memasangkan penolong sebagai rekan terlatih
berdasarkan kebutuhan khusus siswa dengan LD. Penolong ini bertindak
sebagai model peran, dapat membantu untuk meredakan atau dimediasi dan
memberikan saran dan bimbingan dalam membantu siswa dengan LD untuk
menavigasi lingkungan sekolah secara sukses. Konselor sekolah dapat memonitor
interaksi umpan balik pengawasan selama program teman sebaya.

7. Konsultasi Guru dan Orang Tua


Beberapa menyarankan bahwa guru dan orang tua cenderung memiliki
perasaan dan atau sikap yang lebih negatif terhadap siswa yang LD dibandingkan
anak-anak lain (Rothman &Cosden, 1995). Lebih lanjut, guru merasa kurang siap
untuk bekerja dengan siswa penyandang cacat di kelas mereka (Luckasson, 1995).
Mereka melaporkan membutuhkan bantuan dengan strategi pengajaran dan kelas.
Konselorsekolah dapat berkonsultasi dengan guru secara individu atau membantu
membangun keterampilan dan mengembangkan intervensi akademik yang efektif.
Konselor dapat membantu para guru mempelajari lebih lanjut tentang efek LD
pada belajar siswa dan perilaku dengan melakukan workshop dan pelatihan in-
service selama pertemuan strategi kelas dengan siswa dengan LD meliputi:
a. menugaskan pekerjaan dalam jumlah yang lebih kecil (misalnya, 8 soal
matematika bukan 20),
b. menyediakan demonstrasi tugas yang diharapkan dan memberikan penjelasan
langkah-langkah
c. bahan pengorganisasian dalam folder kode warna
d. bergerak di sekitar ruangan lebih sering untuk memeriksa kemajuan siswa
13

e. membuat siswa menulis petunjuk ke bawah dan menggunakan ujung pena


untuk informasi
f. mengulangi poin penting
g. arah pita rekaman
h. menggunakan daftar yang ditulis
i. menggunakan isyarat individual dan petunjuknya
j. menyajikan materi dalam berbagai cara (visual, lisan, kinestetik)
k. siswa menunjukkan perilaku yang sesuai (berburu Riege, 1988).
Demikian pula, diskusi kelompok dapat dilakukan bagi orang tua untuk
membantu mereka menyusun strategi agar siswa sukses. Satu studi menunjukkan
bahwa siswa yang orang tuanya berpartisipasi selama sembilan minggu lokakarya
dapat meningkatkan konsep diri siswa LD dibandingkan dengan orang tua yang
tidak berpartisipasi (Elbarum& Vaughn, 1999). Selain orangtua yang telah
mengikuti lokakarya, konselor sekolah juga dapat membantu orang tua dengan
mengajarkan teknik manajemen; (b) bagaimana membantu anak-anak mereka
dengan tugas-tugas sekolah; (c) struktur rumah dan belajar lingkungan; dan (d)
bagaimana berkomunikasi lebih efektif pada anak-anak dan guru
mereka(Lombana, 1992). Banyak orang tua akan membutuhkan bantuan dalam
memahami reaksi perilaku anak-anak mereka dengan kecacatan dan tantangan
mereka yang menunjukkan kelompok siswa LD dapat dikembangkan untuk
membantu orang tua dengan berbagi strategi sukses, berbagi frustrasi dan
tantangan yang sama (Lombana, 1992; Thompson, 2000).

8. Advokasi dan Kolaborasi


Advokasi dimulai dengan membantu untuk memastikan bahwa siswa
dengan LD diidentifikasi dengan pendidikan dan dapat diberikan layanan
konseling yang tepat untuk memfasilitasi keberhasilannya sekolah. Konselor
sekolah dapat memfasilitasi proses identifikasi dengan mendidik guru, staf
sekolah lainnya tentang karakteristik dan kebutuhan siswa tersebut. Advokasi
yang dilakukan secara terus menerus, konsultasi kolaboratif dengan anggota tim
multi-disiplin agar sumber daya efektif, mengidentifikasi dan menyelesaikan
14

masalah, dan berbagi pengambilan keputusan dan tanggung jawab Segmentasi


strategi pendidikan (Van Tassel Baska, 1991). Hal ini juga penting bahwa
konselor sekolah berfungsi sebagai anggota sekolah dan komite strategis sebagai
jalan lain untuk advokasi.
Konselor sekolah dapat membantu orang tua menjadi pendukung yang
efektif bagi mereka dengan membantu mereka untuk belajar sebanyak mungkin
tentang LD, kebutuhan anak-anak mereka, kebijakan dan undang-undang yang
berkaitan dengan LD, dan program pendidikan khusus (Udall, 1985). Orang tua
akan memerlukan bantuan dalam menavigasi melalui sistem pendidikan karena
mereka berusaha untuk anak-anak mereka dan berpartisipasi dalam proses IBP
(Lockhart, 2003). Konselor sekolah harus menjadi pengetahuan sumber daya
masyarakat dan spesialis yang tepat agar dapat membantu siswa dengan LD dan
keluarga mereka di luar lingkungan sekolah (Lockhart, 2003). Sebagai solusi,
konselor sekolah menunjukkan kepekaan dan pemahaman dengan budaya berbeda
atau pengetahuan tentang harapan sekolah atau kecacatan anak mereka (Lockhart,
2003). Akhirnya, siswa dengan kebutuhan ini diajarkan untuk menjadi motivator
bagi diri mereka sendiri. Keterampilan advokasi diri dapat membantu siswa ini
terlibat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi tujuan akademik dan
karir mereka. Advokasi dapat diajarkan dan dipraktekkan oleh siswa dalam
kelompok kecil dan besar untuk intervensi bimbingan kelompok (Bailey, getch, &
Chen-Hayes, 2003).
15

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ketidakmampuan belajar mempengaruhi pemahaman atau penggunaan
bahasa dan dapat bermanifestasi secara berbeda pada masing-masing siswa. Ini
mungkin termasuk kekurangan kognitif secara tertulis, ejaan, aritmatika, dan
berpikir; keterampilan motorik kasar atau persepsi-mungkin juga akan
terpengaruh. Masalah hiperaktif, impulsif, distractibility, pemecahan masalah, dan
keterampilan sosial jelas. Siswa yang mengatasi LD mungkin mengalami rendah
diri, perasaan gagal, frustasi, dan kesulitan menjaga teman-teman.
Strategi bimbingan dilaksanakan melalui konseling individu dan kelompok
yang dapat membantu siswa dengan LD di semua tingkatan untuk
mengembangkan pemecahan masalah sosial, dan keterampilan akademik secara
efektif untuk membantu mereka sukses di sekolah. Beberapa di antaranya solusi
singkat fokus pada konseling, teknik bermain, seni ekspresif dan tulisan-tulisan,
bermain peran, boneka (usia SD), terapi, teknik perilakukognitif, pengurangan
stres, relaksasi, panduan citra visual, dan eksplorasi karir. Untuk membantu para
siswa ini mengkompensasi kesulitan akademik, kelompok terfokus pada
pendidikan dapat dilakukan untuk mengajari teknik tertentu seperti strategi
mnemonic, pengorganisasian materi sekolah, menggunakan kalkulator dan
komputer untuk memeriksa matematika dan ejaan, dan penggunaan audiovisual
dan alat bantu pembelajaran lainnya .
Pemerintah federal telah digambarkan sebagai prosedur khusus dalam
Undang-Undang Pendidikan bagi Semua Anak Cacat (PL 94-142) dan IDEA (PL
105-107) yang melibatkan pendekatan multidisplinary untuk mengidentifikasi
siswa dengan LD di lingkungan belajar yang sesuai rencana pendidikan individual
dikembangkan untuk setiap siswa yang menguraikan pendidikan dan konseling
yang akan diberikan.
Konselor sekolah juga dapat melakukan lokakarya dimana guru membantu
mereka dalam menangani lebih efektif kebutuhan siswa ini di rumah.Kelompok
pendukung dapat membantu orang tua berhubungan dengan orang lain yang
16

berbagi keprihatinan yang sama dan kolaborasi dengan staf sekolah dan personil
masyarakat sangat penting untuk memastikan hak-hak siswa dengan LD dipenuhi.
Mengajar siswa dengan LD yaitu advokasi diri juga membantu mereka menjadi
lebih mandiri dalam membuat pilihan akademik dan karir .
17

DAFTAR RUJUKAN
Erford, Bradley T., 2004. Professional School Counseling: A Handbook of
Theories, Program & Practices.
Suryani, Y. E., 2010. Kesulitan Belajar. Jurnal Magistra No. 73 Th. XXII

Anda mungkin juga menyukai