Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PSIKODIAGNOSTIKA

PENGUKURAN INTELEGENSI PADA ANAK TUNARUNGU PADA

TES INTELEGENSI INDIVIDU MENGGUNAKAN SNIJDERS-OOMEN

NONVERBAL INTELLIGENCE TEST

Mata Kuliah Psikodiagnostika 11B1

Disusun oleh:

TITANIKA (190810134)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbilal’alamin, makalah “Pengukuran Intelegensi

Pada Anak Tunarungu Pada Tes Intelegensi Individu Menggunakan

Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence Test” dapat selesai tepat waktu

guna memenuhi tugas ujian akhir semester, mata Psikodiagnostika kelas

11B1, fakultas psikologi, Universitas Mercu Buana Yogyakarta.

Pada makalah ini, membahas mengenai unsur unsur dalam tes

itelegensi individu terutama pada anak berkebutuhan khusus atau disabilitas

tunarungu menggunakan tes Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence Test

yang sangat diutuhkan dan terus dikembangkan pada akhir-akhir ini.

Dengan tetap berpegang pada prinsip bahwa “tidak ada gading yang

tidak retak” maka dengan segala kerendahan hati, segala pandangan dan

saran untuk makalah ini akan saangat saya nantikan demi sesuatu yang lebh

baik. Semoga makalah ini dapat berguna bagi para pembaca.

Yogyakarta, 21 December 2020

Titanika

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................... 1

KATA PENGANTAR................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................... 3

BAB I : PENDAHULUAN ......................................................................... 3

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................. 3

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 7

1.3. Tujuan Penulisan Makalah............................................................... 7

1.4. Manfaat penulisan Makalah.............................................................. 8

BAB I :PEMBAHASAN..............................................................................9

2.1. Intelegensi …....................................................................................9

2.2. Tes Intelegensi................................................................................11

2.3. Tes Intelegnsi Individu....................................................................13

2.4. Tes Intelegensi Anak Berkebutuhan Khusus…………...................13

2.5. Tes Intelegensi pada Anak Tunarungu………................................17

2.6.Tes Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence...................................18

BAB III: PENUTUP ................................................................................ 19

3.1. Kesimpulan ................................................................................... 19

3.2. Saran ............................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Inteligensi adalah perwujudan dari suatu daya dalam diri

manusia yang mempengaruhi kemampuan seseorang di berbagai

bidang. Intelegensi berperan dalam menyimpan dan mengikat

kembali suatu informasi, menyusun konsepkonsep, menangkap

adanya hubungan-hubungan dan membuat kesimpulan, mengolah

bahan-bahan dan menyusun suatu kombinasi dari bahan tersebut

(Spearman dalam Nur‘aeni, 2012: 24). Pintner dan Patterson (1917)

dalam (Vernon, 2005) menyatakan bahwa berdasarkan hasil

penelitiannya terhadap kelompok anak tunarungu, diketahui bahwa

IQ anak tunarungu berada pada level tunagrahita. Hal serupa juga

ditemukan ketika mereka melakukan penelitian kembali pada tahun

1924, IQ anak tunarungu berada di bawah anak mendengar (normal)

pada umumnya. Vernon (2005) melaporkan berdasarkan hasil

investigasi hasil penelitian tentang tes IQ anak tunarungu pada tahun

1930-1967 diperoleh data bahwa sebagaian besar hasil penelitian

menunjukkan hasil yang sama yakni IQ anak tunarungu di bawah

anakanak pada umumnya terutama untuk anak tunarungu berat.

Meskipun telah banyak hasil penelitian yang menyatakan

bahwa intelegensi anak berkebutuhan khusus di bawah rata-rata,

seharusnya perlu dianalisis kembali tentang alat ukur yang

4
digunakan dalam mengukur IQ anak tunarungu. Hal ini sesuai

dengan pendapat Vernon (2005) yang menyatakan bahwa

berdasarkan konferensi Milan tahun 1988, terdapat banyak

penelitian bias dari para psikolog, kebiasan pengukuran IQ anak

tunarungu ini terdiri atas bias dalam metode tes, sampel subyek

penelitian, dan kurangnya pengalaman dari tester Gargiulo

(2012:410) menambahkan bahwa karakteristik intelegensi anak

tunarungu pada umunya memiliki distribusi skor IQ yang sama

seperti anak-anak mendengar pada umumnya. Jikapun ada kesulitan

yang muncul, lebih diasosiasikan pada bicara, membaca dan menulis

tetapi hal-hak tersebut tidak terkait dengan tingkat intelegensi. Hal

ini diperkuat dengan pendapat Somantri (2007:97) yang menyatakan

bahwa pada umumnya, intelegensi anak tunarungu tidak berbeda

dengan anak-anak pada umumnya. Jadi, seperti halnya anak pada

umunya, anak tunarungu ada yang memiliki tingkat kecerdasan di

atas rata-rata (superior), rata-rata (average) dan di bawah rata-rata

(under-average).

Untuk saat ini, tes intelegensi yang sering digunakan masih

berupa alat tes intelegensi yang bersifat verbal. Sehingga ketika anak

tunarungu dites intelegensinya, hasilnya berada di bawah rata-rata.

Hal ini terjadi bukan karena intelegensi mereka rendah, tetapi karena

alat ukur yang dipakai tidak bisa mengukur intelengensi mereka

dengan tepat karena gangguan perkembangan Bahasa yang dialami

anak tunarungu akibat kehilangan pendengaran. Efendi (2006:79)

5
menyatakan bahwa untuk mengukur intelegensi anak tunarungu

dengan tepat, seharusnya alat tes dibuat dalam bentuk performance

test, misalnya form board test, picture completion, block design dan

bentuk lainnya yang lebih bersifat visual. Selain itu tester juga

seharusnya adalah orang yang bepengalaman dalam berinteraksi

dengan mereka, sehingga penyimpangan hasil tes tidak terjadi

Wagino dan Rafikayati (2013) menyatakan bahwa akibat gangguan

fungsi pendengaran, anak tunarungu mengalami kesulitan dalam

berkomunikasi secara verbal, baik secara ekspresif (bicara) maupun

reseptif (memahami pembicaraan orang lain). Keadaan tersebut

menyebabkan anak tunarungu mengalami hambatan dalam

berkomunikasi dengan lingkungan orang lain. Pada tes intelegensi

verbal, anak tunarungu kurang dapat menunjukkan kemampuannya

karena gangguan perkembangan Bahasa yang dialaminya. Hasil tes

intelegensi anak tunarungu rendah bukan karena anak tidak bisa

menjawab pertanyaan tetapi karena anak tidak memahami instruksi

yang diberikan.

Berdasarkan fenoma yang dipaparkan, diketahui bahwa

sering terjadi ketidaktepatan dalam pengukukuran intelegensi pada

anak tunarungu. Hal ini dikarenakan alat tes yang ada tidak

mengukur intelegensi anak secara tepat karena sifat alat tes yang

bersifat verbal sedangkan anak tunarungu mengalami gangguan pada

perkembangan Bahasa dan komunikasi verbal. Oleh karena itu,

6
diperlukan pengembangan alat tes intelegensi yang disesuaikan

dengan karakteristik anak tunarungu

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarakan uraian di atas, dirumuskan beberapa rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Apa yang disebut dengan Intelegensi?

2. Bagaimana metode pengukuran Tes Intelegensi Individual?

3. Bagaimana pengaruh intelegensi dengan anak berkebutuhan

khusus?

4. Bagaimana metode pengukuran Intelegensi anak berkebutuhan

khusus?

5. Bagaimana metode tes Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence

dapat mengukur intelegensi pada anak berkebutuhan khusus?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari makalah

ini adalah:

1. Mengetahui apa yang disebut dengan Intelegensi.

2. Mengethui metode pengukuran Tes Intelegensi Individual.

7
3. Mengetahui pengaruh intelegensi pada anak berkebutuhan

khusus.

4. Mengetahui metode pengukuran Intelegensi anak berkebutuhan

khusus.

5. Mengetahui metode tes Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence

untuk mengukur intelegensi pada anak berkebutuhan khusus.

1.3 Manfaat Penulisan Makalah

1. Pembaca akan lebih memahami Pengukuran Intelegensi Pada

Anak Tunarungu Pada Tes Intelegensi Individu Menggunakan

Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence Test.

8
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Intelegensi

Intelegensi merupakan sebuah konsep abstrak yang sulit

didefinisikan secara memuaskan. Hingga sekarang, masih belum

dijumpai sebuah definisi tentang intelegensi yang dapat diterima secara

universal. Meskipun demikian, dari sekian banyak definisi tentang

intelegensi yang dirumuskan oleh para ahli, secara umum dapat

dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga klasifikasi berikut: (1)

kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan, beradaptasi dengan

situasi-situasi baru atau menghadapi situasi-situasi yang sangat

beragam; (2) kemampuan untuk belajar atau kapasitas untuk menerima

pendidikan; dan (3) kemampuan untuk berpikir secara abstrak,

menggunakan konsepkonsep abstrak dan menggunakan secara luas

simbol-simbol dan konsepkonsep (Phares, 1998).14 Memperhatikan

beberapa definisi di atas, intelegensi dapat diartikan sebagai

kemampuan berpikir secara abstrak, memecahkan masalah dengan

menggunakan simbol-simbol verbal, dan kemampuan untuk belajar dari

dan menyesuaikan diri dengan pengalamanpengalaman hidup sehari-

hari. Belakangan, sejumlah psikolog memperluas pengertian intelegensi

dengan memasukkan berbagai macam dimensi bakat (seperti bakat

musik) dan keterampilan jasmani.

9
Meskipun demikian, diskusi-diskusi tentang intelegensi masi

didominasi oleh pandangan tradisional, yang lebih berorientasi pada

dimensi pemikiran dan pemecahan masalah, sehingga banyak standar

test yang dikembangkan untuk mengukur bentuk-bentuk intelegensi

ini.14 b. Macam-Macam Intelegensi 1) Intelligence Quotient (IQ) a)

Pengertian Tes kecerdasan memungkinkan kita untuk menghitung IQ

atau Intellince Quotient seseorang. IQ adalah harga numerik yang

memungkinkan kita membuat perbandingan pada tingkat kecerdasan

orang-orang. Pada anak-anak, IQ dapat dihitung dengan perbandingan

antara usia nyata (usia kronologis) seorang anak dengan usia mentalnya.

Usia mental ditentukan dengan cara memberikan tes IQ kepada

beberapa anak yang berbeda usianya dan kemudian rata-rata nilai

masing-masing kelompok usia disusun. Seorang anak yang mendapat

nilai sama dengan rata-rata nilai bagi kelompok usia delapan tahun

dikatakan memiliki usia mental delapan tahun, tanpa memandang

berapa usia anak tersebut sebenarnya. Jelasnya, seorang anak yang

berusia enam tahun dengan usia mental delapan tahun dikatakan

sebagai anak cemerlang, namun sebaliknya bagi seorang anak berusia

sepuluh tahun, sekalipun nilai kedua anak tersebut sama. Untuk

menyusun nilai IQ digunakan rumus sebagai berikut:

IQ = Usia mental / Usia kronologis × 100

Seorang anak yang memiliki usia kronologis delapan tahun dan usia

mental juga delapan tahun, dikatakan memiliki IQ setinggi 100 (yang

merupakan rata-rata nilai IQ), namun seorang anak yang berusia

10
kronologis sepuluh tahun yang memperoleh jumlah jawaban benar yang

sama dengan anak berusia delapan tahun dikatakan memiliki usia

mental delapan tahun, dan dengan demikian memiliki nilai IQ setinggi

80 Tes-tes IQ pertama kali digunakan secara luas pada awal tahun

1900-an oleh A. Binet sebagai suatu instrumen bagi Departemen

Pendidikan di Paris, Peranciss. Kegunaan utama tes Binet ini adalah

untuk memilih secara khusus anak-anak yang tidak mungkin mencapai

harapan baik di sekolah pada masa itu. Dengan demikian, tes Binet ini

adalah suatu tes untuk permasalahan keterbelakangan mental. Anak-

anak yang gagal mencapai nilai digunakan sebagai alat untuk seleksi

dan penyuluhan hingga sekarang.

Faktor –faktor yang mempengaruhi IQ anak Individu tidak

dilahirkan dengan IQ yang tidak dapat berubah, tetapi IQ menjadi stabil

setelah secara bertahap selama masa kanak-kanak dan hanya berubah

sedikit setelah itu (Loekito, 2004). Menurut Boeree (2003) intelegensi

anak dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut

digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) faktor genetik, (2) faktor gizi dan

(3) faktor lingkungan.

2.2. Tes Intelegensi

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan yang semakin maju dan

pesat, ilmu dalam bidang Psikologi juga turut berkembang.

Perkembangan dalam ilmu Psikologi memberi pengaruh besar bagi

masyarakat, terutama dalam penggunaan tes psikologi.

11
Saat ini tes psikologi sudah banyak digunakan dalam berbagai

bidang kehidupan seperti bidang pendidikan, klinis, sosial, maupun

bidang industri. Kaplan dan Saccuzzo (dalam Rahmadani, 2019)

mengemukakan bahwa tes psikologi merupakan tes yang terdiri dari

seperangkat item serta dirancang untuk mengukur dan memberikan

informasi mengenai karakteristik dari individu yang berhubungan

dengan perilaku. Penggunaan alat tes psikologi yang populer dalam

masyarakat salah satunya adalah tes inteligensi.

Sejarah tes inteligensi sendiri dimulai pada awal tahun 1895. Pada

tahun tersebut Alfred Binet dan rekannya Victor Henri

mempublikasikan beberapa artikel yang menyatakan bahwa

kemampuan memori dan pemahaman akan hubungan sosial dapat

diukur. Artikel tersebut menjadi awal dari apa yang akan dinamakan tes

inteligensi.

Sepuluh tahun setelah artikel mengenai memori dan pemahaman

akan hubungan sosial yang dapat diukur dipublikasikan ke publik, Binet

dan rekannya Theodore Simon mempublikasikan skala ukur inteligensi

yang disebut 30-Item. Skala ukur 30-Item pada awalnya bertujuan

untuk membantu mengidentifikasikan anak-anak yang memiliki mental

retardasi di sekolah Paris Schoolchildren. Lalu, skala ukur 30-Item ini

akhirnya dikembangkan, ditingkatkan dan diadaptasi ke dalam beberapa

bahasa sehingga dapat digunakan pada bidang-bidang lain seperti di

sekolah, rumah sakit, persidangan hingga penjara (Cohen & Swerdlik,

2009). Namun, sejarah ini hanya menceritakan satu pandangan

12
mengenai tes inteligensi. Sementara itu, tes inteligensi memiliki arti

yang lebih luas dan lebih terperinci. 

2.3.Tes Intelegensi Individu

Dilakukan terhadap satu orang pada satu waktu tertentu.

Dalam pelaksanaannya lebih berfokus pada global atau holistic serta

tester berhadapan langsung dengan testee, tujuan utama tes individu

yaitu untuk mengukur kemampuan umum (general trait) dari individu,

Time consuming, Observasi terhadap testee bisa dilakukan dengan

lebih intensif, Skor tidak tergantung pada kemampuan membaca

testee.

2.4. Intelegensi anak berkebutuhan Khusus.

Perlu dikatahui bahwa sering terjadi ketidaktepatan dalam

pengukukuran intelegensi pada anak tunarungu. Hal ini dikarenakan

alat tes yang ada tidak mengukur intelegensi anak secara tepat karena

sifat alat tes yang bersifat verbal sedangkan anak tunarungu

mengalami gangguan pada perkembangan Bahasa dan komunikasi

verbal. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan alat tes intelegensi

yang disesuaikan dengan karakteristik anak tunarungu. Berdasarkan

hasil wawancara, observasi dan dokumentasi terhadap subyek

penelitian, dalam hal ini psikolog, guru anak tunarungu, dan anak

tunarungu diperoleh data-data sebagai berikut. 1. Alat tes yang sering

digunakan oleh para tester adalah alat tes inteligensi WISC. Menyusul

13
selanjunya adalah alat tes inteligensi Binet Simon dan alat tes

inteligensi lainnya. 2. Alat tes intelegensi yang cocok untuk anak

tunarungu adalah yang bersifat non-verbal. Jikapun terpaksa

menggunakan tes verbal, perintah atau instruksi tes harus diisyaratkan.

3. Instruksi tes dapat divisualisaikan melalui video dan mengemasnya

dalam multimedia interaktif dengan software Adobe Macromedia

Media Flash.

Lebih lanjut, diperoleh data bahwa alat tes inteligensi yang tepat

untuk anak tunarungu adalah alat tes inteligensi yang memiliki

karakteristik sebagai berikut.

1. Instruksi harus singkat Tes inteligensi bagi anak tunarungu

sebaiknya menggunakan instruksi yang singkat. Hal ini dikarenakan

gangguan perkembangan Bahasa yang dialami anak tunarungu.

Sehingga berdampak pada keterampilan menyimak, berbicara,

membaca, dan menulis anak. Dengan instruksi yang lebih singkat

diharapkan anak dapat lebih mudah memahami perintah yang

diberikan oleh tester.

2. Menggunakan kata yang mudah dipahami Wagino dan Rafikayati

(2013) menyatakan bahwa akibat gangguan fungsi pendengaran, anak

tunarungu mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara verbal,

baik secara ekspresif (bicara) maupun reseptif (memahami

pembicaraan orang lain). Keadaan tersebut menyebabkan anak

tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi dengan

14
lingkungan orang lain. Pada tes intelegensi verbal, anak tunarungu

kurang dapat menunjukkan kemampuannya karena gangguan

perkembangan Bahasa yang dialaminya. Mengingat kedaaan tersebut,

maka dalam melakukan tes inteligensi kepada anak tunarungu,

diusahakan menggunakan Bahasa yang mudah dipahami. Pilihan kata

(diksi) sebaiknya menggunakan kata yang lebih singkat dan kata yang

sering digunakan anak sehari-hari.

3. Menggunakan paraphrase Paraphrase adalah pengungkapan

kembali suatu konsep dengan cara lain dalam bahasa yang sama,

namun tanpa mengubah maknanya. Dengan cara ini diharapkan tester

dapat meningkatkan kreativitasnya dalam menyampaikan instruksi

dengan Bahasa lain. Anak tunarungu memiliki hambatan dalam

memahami kalimat yang kompleks. Dengan paraphrase diharapkan

tester dapat menjelaskan instruksi tes dengan kalimat yang lebih

sederhana dan lebih dapat dipahami oleh anak tunarungu.

4. Instruksi harus dalam bentuk visual (yang dapat dibantu dengan

gambar dan video) Anak tunarungu memahami sesuatu lebih banyak

dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar. Oleh

sebab itu sering kali anak tunarungu disebut sebagai ―insan permata‖.

Dengan kondisi seperti itu anak tunarungu lebih banyak memerlukan

waktu dalam proses pembelajarannya terutama untuk mata pelajaran

yang diverbalisasikan (Somantri, 2007:98). Prestasi anak tunarungu

seringkali lebih rendah daripada prestasi anak normal karena

dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam memahami

15
pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak

diverbalkan, anak tunarungu memiliki perkembangan yang sama

cepatnya dengan anak normal. Aspek intelegensi yang bersumber

pada verbal seringkali rendah, namun aspek intelegensi yang

bersumber pada penglihatan dan motorik akan berkembang dengan

cepat (Efendi, 2006:81). Dalam melakukan tes inteligensi kepada anak

tunarungu, perlu dilakukan penyesuaianpenyesuaian (adaptasi) sesuai

dengan karakteristik anak, salah satunya melalui adaptasi visual.

Meskipun anak tunarungu memiliki hambatan dalam hal Bahasa, anak

tunarungu tidak memiliki masalah pada kemampuan visual dan

motoriknya. Mengingat kondisi tersebut, maka perlu dilakukan adptasi

pengubahan instruksi yang awalnya verbal menjadi visual. Instruksi

visual dapat silakukan dengan berbagai cara misalnya dengan bantuan

gambar atau melalui video.

5. Menggunakan bahasa isyarat Akibat hambatan bahasa yang dialami

anak tunarungu, anak tunarungu menggunakan pendekatan komuniksi

yang berbeda dngan anak pada umumnya, hal ini dikarenakan akibat

gangguan pendengaran, anak tunarungu juga mengalami hambatan

dalam berbicara. Adapun pendekatan komunikasi yang digunakan

salah satunya melalui Bahasa isyarat. Bahasa isyarat adalah Bahasa

yang digunakan anak tunarungu dalam berkomunikasi. Dalam

penggunaanya, tiap negara memiliki Bahasa isyarat sendiri-sendiri

sesuai dengan kesepakatan dan budaya masng-masing negara. Di

16
Indonesia bahasa isyarat yang umum digunakan adalah Sistem Isyarat

Bahasa Indonesia (SIBI).

2.5. Tes Intelegensi Anak Tunarungu

Akibat kemiskinan kemiskinan bahasa yang dialami sebagai

dampak dari gangguan pendengaran, anak dengan gangguan

pendengaran tidak bisa mengoptimalkan kecerdasan mereka. Oleh

karena itulah hanya sedikit dari mereka yang dapat menunjukkan

prestasinya. Pada umumnya, anak dengan gangguan pendengaran

ratarata berpendidikan rendah dan hanya sedikit yang bisa

melanjutkan ke pendidikan tinggi (universitas). Rendahnya

pencapaian prestasi anak dengan gangguan pendengaran bukan

berasal dari hambatan intelekualnya melainkan karena pencapaian

prestasi membutuhkan kemampuan berbahasa yang baik. Akibat

kurangnya kemampuan bahasa, keterbatasan informasi dan kurangnya

daya abstraksi, mereka menjadi tertinggal dari anak-anak pada

umumnya dalam pencapaian prestasi. Untuk saat ini belum ada anak

dengan gangguan pendengaran yang bergelar Doktor di Indonesia dan

hanya sedikit yang merasakan bangku kuliah itupun rata-rata jurusan

yang bersifat non-verbal seperti seni rupa, desain fashion, desain

grafis, dan jurusan-jurusan non-verbal lainnya.

2.6. Tes Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence

SON merupakan akronim dari Snijders Oomen Non Verbal

Scale. SON merupakan salah satu tes inteligensi non verbal digunakan

17
untuk individu dengan rentan usia 3 – 16 tahun. Alat tes ini juga tidak

hanya sebatas untuk individu dalam kondisi normal namun juga dapat

digunakan untuk individu dengan disabilitas seperti tunarungu. Alat

tes ini dapat digunakan oleh individu dengan tunarungu dikarenakan

tes SON berbentuk puzzle dan rangkaian gambar yang perlu

dicocokan dan peserta tidak dituntut untuk menjawab perintah yang

diberikan.  SON sendiri dirancang mulai pada tahun 1939 – 1942, di

Amsterdam dan kemudian dalam perkembangannya banyak dilakukan

revisi-revisi pada aitem alat tes ini (Nuraeni, 2012)

BAB III

PENUTUP

18
3.1. Kesimpulan

Hasil menunjukkan bahwa karakteristik alat tes inteligensi untuk

anak tunarungu adalah (1) instruksi harus singkat, (2) menggunakan

kata yang mudah dipahami, (3) menggunakan paraphrase, (4) instruksi

harus dalam bentuk visual (yang dapat dibantu dengan gambar dan

video), (5) menggunakan Bahasa isyarat, dan (6) menggunakan

demonstrasi.

3.1. Saran

Saran yang bisa penulis berikan:

Bagi penelitian lebih lanjut dapat membahas mengenai

pengembangan kebutuhan Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence

Test dengan lebih mendalam guna memenuhi kebutuhan

pengembangan tes intelegensi guna pengukuran psikologis terutama

anak berkebutuhan khusus dengan berbagai kondisi psikis dan fisik

pada disabilitas.

DAFTAR PUSTAKA

19
 Mudhar, M., & Rafikayati, A. 2017. Analisis kebutuhan

pengembangan alat tes intelegensi wechsler intelligence scale for

children (WISC) untuk anak tunarungu. Prosiding Seminar Nasional

Bimbingan Konseling Universitas Ahmad Dahlan.

 Ed by: Hamers JHM et al. 2007. Learning Potential Assesment:

Metodologica and Practical Issues. Amsterdam: Taylor & Francis.

 Vernon, MsCay. Fifty years of research on the intelligence of deaf

and hard-of-hearing children: a review of literature and discussion of

implications. J. Deaf Stud. Deaf Educ. (Summer 2005) 10 (3): 225-

231.

 Soemantri, Sutjihati. 2007. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung:

Refika Aditama

 Sarant, Z Julia dan Hughes, Kathryn. 2010. The effect of IQ on

spoken language and speech perception development in children

with impaired hearing. The University of Melbourne, Australia.

Cochlear implants international, Vol. 11 Supplement 1, June, 2010,

370–74

20

Anda mungkin juga menyukai