Anda di halaman 1dari 32

TUGAS PSIKODIAGNOSTIK IV (INTELIGENSI)

Disusun Oleh:

NURHAYATI PURNAMA NINGSIH


(1824090154)
Kelas : Online
Hari/Waktu : Kamis, 15.20-17.50
Dosen :

FEBI HERDAJANI, S.Psi., M.Si., Psi

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA Y. A. I
2020
PEMBAHASAN

JENIS-JENIS ALAT TES INTELIGENSI

Tes inteligensi merupakan salah satu alat yang digunakan dalam mengasesmen individu
(Cohen & Swerdlik, 2009). Definisi dari tes inteligensi terbagi menjadi dua, yaitu definisi tes dan
inteligensi. Tes dalam konteks tes psikologi merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
atribut psikologi pada individu. Contoh atribut psikologi seperti kepribadian, ketertarikan, nilai-
nilai, sikap dan inteligensi (Cohen & Swerdlik, 2009). Sedangkan, inteligensi merujuk pada
kecerdasan, namun terdapat banyak pandangan yang mendefinisikan mengenai inteligensi.
Inteligensi diartikan sebagai macam-macam kemampuan yang dimiliki oleh individu yang sesuai
dengan rentang usianya (Cohen & Swerdlik, 2009). Definisi tersebut memberikan gambaran
bahwa inteligensi terdiri dari banyak jenis kemampuan dan berbeda tingkat kemampuan pada
masing-masing usia. Secara umum, kemampuan-kemampuan tersebut terdiri dari mampu
mendapatkan dan menggunakan pengetahuan, berpikir logis, membuat perencanaan yang efektif,
mengartikan persepsi, membuat keputusan dan pemecahan masalah, memahami konsep visual,
dapat fokus memberikan perhatian, dapat menggunakan intuisi, mengucapkan kata-kata dan
memikirkan hal-hal yang sesuai dengan lingkungan serta kemampuan untuk beradaptasi dan
menyesuaikan diri pada lingkungan baru (Cohen & Swerdlik, 2009).

Tujuan tes inteligensi dapat digunakan untuk menempatkan siswa pada jurusan tertentu,
mengidentifikasi siswa yang memiliki IQ di atas normal, mendiagnosa kesukaran pelajaran dan
mengelompokkan siswa yang memiliki kemampuan setara, memprediksi hasil siswa dimasa yang
akan datang, dan juga sebagai media untuk mengawali proses konseling, untuk mengenali dan
memahami dirinya sendiri dengan lebih baik, serta mengetahui kemampuannya, mengukur
kemampuan verbal, mencakup kemampuan yang berhubungan dengan simbol numerik dan
simbol-simbol abstrak lainnya dan merupakan alat prediksi kinerja yang efektif dalam banyak
bidang pekerjaan serta aktivitas-aktivitas lain dalam hidup sehari-hari.

Sampai saat ini sudah banyak tes inteligensi yang disusun oleh para ahli baik tes inteligensi
untuk anak-anak maupun orang dewasa, tes inteligensi yang disajikan secara individual maupun
secara kelompok, tes verbal dan tes performansi, dan tes inteligensi untuk orang cacat khusus
misalnya tuna rungu dan tuna netra. Beberapa bentuk tes inteligeni antara lain ;

a. Tes inteligensi untuk anak-anak, seperti tes Binet, WISC, WPPSI, CPM, CFIT skala 1 &
2, dan TIKI dasar.
b. Tes inteligensi untuk remaja hingga dewasa, seperti TIKI menengah, TIKI tinggi, WAIS,
SPM, APM, CFIT skala 3.
c. Tes inteligensi untuk tuna rungu seperti, tes SON.

Hasil tes inteligensi umumnya berupa skor IQ (Intelligence Quotient). Meski begitu, ada pula
tes inteligensi yang menghasilkan tingkatan atau grade. Pertama kali seorang ahli psikologi
berkebangsaan Jerman yaitu William Stern mengemukakan istilah IQ. Kemudian istilah IQ
digunakan secara resmi oleh Lewis Madison untuk hasil tes inteligensi Stanford Binet Intelligence
Scale di Amerika Serikat pada tahun 1916. Jika dalam perhitungannya, menurut William Stern
menggunakan rasio antara MA dan CA dengan rumus IQ = (MA/CA) x 100. MA mengacu pada
mental age, sedangkan CA mengacu pada chronological age yang memiliki angka konstan sebesar
100 (Nuraeni, 2012).

Tes inteligensi sendiri memiliki berbagai macam jenis. Berikut ini merupakan macam-
macam tes inteligensi yang turut serta digunakan di Indonesia, antara lain:

1. Tes Binet

Tes Binet Simon dipublikasikan pertama kali pada tahun 1905 di Paris-Prancis. Binet
mendapatkan tugas dari pemerintahan untuk mendeteksi anak-anak yang memiliki kecerdasan
terbelakang. Binet berasumsi bahwa kecerdasan dapat diukur melalui tugas-tugas yang
menggunakan penalaran dan pemecahan masalah bukan pada keterampilan motorik (fisik). Binet
dalam melakukan tugasnya bekerja sama dengan ahli psikologi Prancis. Theodore Simon
menerbitkan skala Binet-Simon yang pertama. Awalnya test ini, terdiri dari 30 masalah atau tes yg
diatur dalam urutan tingkat kesulitan yang makin tinggi. Pada revisi ini hanya digunakan untuk
kelompok umur 3, 5, 7, 9, dan 11. Untuk mengukur kecerdasan anak-anak (3-13 tahun) ia lebih
menekankan kepada keterampilan verbal yang memiliki tingkat kesulitan yang teratur.

Tes ini digunakan untuk mengukur kemampuan mental seseorang. Inteligensi digambarkan
oleh Alfred Binet sebagai sesuatu yang fungsional. Komponen dalam inteligensi sendiri terdiri dari
tiga hal, yaitu kemampuan untuk mengarahkan pikiran atau tindakan, kemampuan untuk
mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan dan kemampuan untuk
mengkritik diri sendiri. Tes Binet yang digunakan di Indonesia saat ini adalah Stanford Binet
Intelligence Scale Form L-M, dimana tes tersebut merupakan hasil revisi ketiga dari Terman dan
Merril pada tahun 1960 (Nuraeni, 2012). Kegunaan saat ini untuk tes termasuk penilaian klinis
dan neuropsikologis, penempatan pendidikan, evaluasi kompensasi, penilaian karir, perawatan
neuropsikologis dewasa, forensik, dan penelitian tentang bakat.

Tahapan-tahapan administrasi tes binet, diantaranya adalah:

• Prolognya meliputi, ucapan terima kasih, mejelaskan tujuan pemeriksaan psikologis,


menjelaskan prosedur pemeriksaan, penjelasan tentang alat yang akan digunakan, prosedur
izin kebelakang, menanyakan kesiapan testee, dan etika hasil.

• Mengecek alat-alat yang akan digunakan.

• Melaksanakan tes Binet.

• Melakukan skoring tes Binet.

• Membuat laporan.

Beberapa hal yang harus diperhatikan untuk menentukan awal test binet, yaitu memastikan
umur kronologis anak (CA) dan tes dimulai pada titik dimana anak mempunyai kemungkinan
untuk berhasil, akan tetapi dengan usaha. Pada umumnya test Binet dimulai setengah tahun atau 1
tahun dibawah umur kronologis anak.

Tes Binet dengan skala Stanford–Binet berisi materi berupa sebuah kotak yang berisi berbagai
macam mainan yang akan diperlihatkan pada anak-anak, dua buah buku kecil yang berisi cetakan
kartu-kartu, sebuah buku catatan yang berfungsi untuk mencatat jawaban beserta skornya, dan
sebuah petunjuk pelaksanaan dalam pemberian tes. Pengelompokkan tes-tes dalam skala
Stanford–Binet dilakukan menurut berbagai level usia, dimulai dari usia 2 tahun sampai dengan
usia dewasa. Meski begitu, dari masing-masing tes yang berisi soal-soal tersebut memiliki taraf
kesukaran yang tidak jauh berbeda untuk setiap level usianya. Skala Stanford–Binet dikenakan
secara individual dan pemberi tes memberikan soal-soalnya secara lisan. Meski begitu, skala ini
tidak cocok untuk dikenakan pada orang dewasa, sekalipun terdapat level usia dewasa dalam
tesnya. Hal ini karena level tersebut merupakan level intelektual dan hanya dimaksudkan sebagai
batas-batas dalam usia mental yang mungkin dicapai oleh anak-anak. Skala Stanford-Binet versi
terbaru diterbitkan pada tahun 1986. Konsep inteligensi dikelompokkan menjadi empat tipe
penalaran dalam revisi terakhir ini dan masing-masing diwakili oleh beberapa tes (Rohmah, 2011).

Kelebihan dari tes Binet adalah sebagai berikut (Rachmawati, 2012).

- Mengukur secara objektif kemampuan pemahaman dan penalaran seorang anak.


- Tes Stanford-Binet masih menjadi salah satu tes yang paling banyak digunakan untuk
menilai inteligensi siswa dan sangat luas.
- Tes inteligensi Binet dilakukan berdasarkan basis individual. Peneliti dapat mengamati
bagaimana minat dan perhatian murid secara mudah.

Sedangkan kekurangan dari tes Binet, yaitu (Rachmawati, 2012).

- Bahwa kecerdasan ditentukan secara lahir dan tidak dapat diubah, hasil penelitian Buzan,
Machado; Bernard Devlin (Rachmawati, 2012) menyatakan selain gen yang bertanggung
jawab, kecerdasan juga ditentukan oleh perawatan otak pra-kelahiran, lingkungan, serta
pendidikan.
- Gagasan akan kecerdasan verbal maupun lainnya diukur oleh tes IQ merupakan syarat
mutlak kecerdasan (pendapat ini ditolak oleh Gardner).
- Skala Stanford-Binet dikenakan secara individual dan soal-soalnya diberikan secara lisan,
dan akan menemui kendala bila dikenakan pada anak dengan gangguan atensi, karena ada
beberapa instruksi yang tidak boleh.
- Skala tidak cocok untuk dikenakan orang dewasa, karena level tersebut mempunyai level
intelektual dan dimaksudkan hanya sebagai batas-batas usia mental yang ingin dicapai oleh
anak-anak,
- Biaya produksi dan peralatan lebih mahal serta kurang.

Tanggapan: Tes Binet Simon dipublikasikan pertama kali pada tahun 1905 di Paris-Prancis. Tes
Binet digunakan untuk pengukuran kecerdasan anak, yaitu materi berupa sebuah kotak yang berisi
berbagai macam mainan yang akan diperlihatkan pada anak-anak. Dengan adanya tes Binet ini
kita dapat mendiagnosis defisiensi perkembangan atau intelektual pada anak-anak. Kegunaannya
di Indonesia pun beragam diantaranya untuk penilaian klinis dan neuropsikologis, penempatan
pendidikan, evaluasi kompensasi, penilaian karir, perawatan neuropsikologis dewasa, forensik,
dan penelitian tentang bakat. Selain itu, salah satu kelebihan tes ini adalah dilakukan berdasarkan
basis individual, hal ini membuat peneliti dapat mengamati bagaimana minat dan perhatian murid
secara mudah, namun hal ini juga memiliki kendala yaitu karena tes bersifat individual, soal-
soalnya diberikan secara lisan, dan akan menemui kesukaran bila dikenakan pada anak dengan
gangguan atensi, karena ada beberapa instruksi yang tidak boleh.

2. WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)

Tes inteligensi Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) adalah salah satu tes yang
sering dan umum digunakan di dunia psikologi serta sering digunakan oleh para psikolog.
Wechsler Intelligence Scale for Children dikembangkan oleh David Wechsler yang
mempublikasikannya pada tahun 1939, dimana tes ini mengukur fungsi intelektual yang lebih
global. Tes inteligensi WISC digunakan untuk tes inteligensi pada anak usia 5-15 tahun. Tes WISC
terdiri atas tes verbal dan tes performance. Tes verbal terdiri atas materi perbendaharaan kata,
pengertian, informasi, hitungan, persamaan, rentangan angka. Sedangkan tes performance terdiri
atas mengatur gambar, melengkapi gambar, rancangan balok, merakit objek, mazes dan simbol.
(Mudhar & Rafikayati, 2017).

Dua subtes tambahan (khusus) pada WISC:

• Subtes Mazes

Subtes ini berisi 8 maze, dua yang pertama diberikan hanya pada anak usia dibawah 8 atau
yang lebih tua dengan mengalami gangguan mental. Subtes ini berdasar pada konsep bahwa
kemampuan untuk merencanakan kedepan dan bergerak secara akurat dapat diprediksikan melalui
kertas yang berisi maze. Kelebihan tes ini adalah subtes tidak menggunakan kata-kata (non verbal),
anak-anak merasa seperti bermain dalam subtes ini. Sementara kekurangannya subtes ini yaitu
kurang terstandarisasi sebagai bagian dari WISC. Korelasi dengan skor total agak kurang.

• Subtes Coding
Subtes ini menuntut anak untuk menemukan symbol yang sama dan memberikan tanda yang
sesuai pada kotak kosong yang disediakan. Tes ini berdasar pada konsep bahwa kemampuan untuk
mempelajari simbol dan bentuk atau simbol dan angka, juga untuk mengkreasi ulang kombinasi
ini dengan kertas dan pensil dalam limit waktu adalah salah satu kriteria inteligensi. Subtes ini
mengukur visual motor dexterity (ketangkasan/kecekatan visual motor). Juga kemampuan untuk
menyerap material baru yang disajikan didalam konteks hubungan. Kecepatan dan ketepatan juga
dibutuhkan. Subtes ini merupakan yang dapat paling cepat diadministrasikan. Kekurangan subtes
ini adalah anak sering memandang subtes ini tidak bermutu, tidak inspiratif dan anak-anak cepat
bosan. Anak dengan kordinasi visual motor yang rendah akan mengalami kesulitan dalam subtes
ini.

Melalui Tes WISC dapat mendeskripsikan berbagai aspek kecerdasan anak dan dapat
mengukur kemampuan kognitif seseorang dengan melihat pola-pola respon pada tiap-tiap subtes.
Andayani (2001) mengungkapkan bahwa kemampuan yang diukur oleh masing-masing subtes
antara lain:

1. Operasi ingatan jangka panjang, kemampuan untuk memahami, kapasitas berpikir asosiatif
dan juga minat dan bacaan anak.
2. Kemampuan anak untuk menggunakan pemikiran praktis didalam kegiatan sosial sehari-
hari, seberapa jauh akulturasi sosial terjadi, dan perkembangan conscience atau
moralitasnya.
3. Kemampuan anak untuk menggunakan konsep abstrak dari angka dan operasi angka, yang
merupakan pengukuran perkembangan kognitif, fungsi non-kognitif yaitu konsentrasi dan
perhatian, kemampuan menghubungkan faktor kognitif dan nonkognitif dalam bentuk
berpikir dan bertindak.
4. Kemampuan untuk menerjemahkan masalah dalam bentuk kata-kata ke dalam operasi
aritmatika.
5. Penyerapan fakta dan gagasan dari lingkungan dan kemampuan melihat hubungan penting
yang mendasar dari hal-hal tersebut.
6. Kemampuan belajar anak, banyaknya informasi, kekayaan ide, jenis dan kualitas bahasa,
tingkat berpikir abstrak, dan ciri proses berpikirnya.
7. Identifikasi visual dari objek-objek yang dikenal, bentuk-bentuk, dan makhluk hidup, dan
lebih jauh lagi kemampuan untuk menemukan dan memisahkan ciri-ciri yang esensial dari
yang tidak esensial.

Setelah itu, akan dibuat profil berdasarkan skala Bannatyne dari skor masing-masing subtes.
Profil ini menunjuk pada empat kelompok kemampuan yaitu (1) Kemampuan spatial yang
mencakup skor pada subtes-subtes yaitu melengkapi gambar, rancangan balok, dan merakit objek;
(2) Kemampuan konsep yang meliputi skor pada subtes-subtes pengertian, persamaan, dan
perbendaharaan kata (3) Pengetahuan serapan yang meliputi skor pada subtes-subtes informasi,
hitungan, dan perbendaharaan kata; dan (4) Kemampuan mengurutkan yang mencakup skor pada
subtes-subtes rentang angka, mengatur gambar, dan coding (Andayani, 2001).

Melalui profil tersebut dapat memberikan gambaran secara umum bagaimana kemampuan
seorang anak serta dapat digunakan untuk mendeteksi kesulitan belajar anak (Andayani, 2001).
Beberapa penelitian juga telah menggunakan WISC untuk mengungkap gejala-gejala gangguan
klinis pada anak, diantaranya seperti main brain disfunction/brain damage, emotional disturbance,
learning disabilities, anxiety, delinquency, dan lain-lain (Mudhar & Rafikayati, 2017).

Tanggapan: Tes inteligensi Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) adalah salah satu tes
yang sering dan umum digunakan di dunia psikologi serta sering digunakan oleh para psikolog.
Dimana tes ini mengukur fungsi intelektual yang lebih global dan digunakan untuk tes inteligensi
pada anak usia 5-15 tahun. Melalui tes WISC ini kita dapat mendeskripsikan berbagai aspek
kecerdasan anak, memberi gambaran umum bagaimana kemampuan seorang anak, mendeteksi
kesulitan belajar anak dan dapat mengukur kognitif seseorang dengan melihat pola-pola respon
pada tiap-tiap subtes. Beberapa penelitian juga telah menggunakan WISC untuk mengungkap
gejala-gejala gangguan klinis pada anak, diantaranya seperti main brain disfunction/brain damage,
emotional disturbance, learning disabilities, anxiety, delinquency, dan lain-lain.

3. WPPSI (Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence)

Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI) dikembangkan oleh Weschler
pada tahun 1967. Sesuai dengan namanya, alat tes ini dirancang dan ditujukan untuk anak-anak
pada usia sebelum masuk sekolah atau anak-anak yang ada pada tingkat taman kanak-kanak,
perkiraan usia dimulai dari 2 tahun atau saat anak mulai masuk ke taman kanak-kanak hingga umur
7 tahun saat anak mulai masuk ke sekolah dasar. Alat tes ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
kecerdasan anak secara keseluruhan serta dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi
karakteristik keterlambatan atau kesulitan anak tersebut (Cloudida, 2018).

Atribut psikologis dan kemampuan-kemampuan yang diukur oleh alat tes ini terdiri dari 2
penilaian besar, yaitu tes verbal yang mencangkup atas tes kemampuan menerima informasi,
kemampuan pemahaman, kemampuan berhitung, kemampuan melihat persamaan dan pengertian;
serta tes prestasi yang terdiri atas rumah binatang dengan mencocokan nama binatang dan tempat
tinggalnya, penyelesaian gambar dengan melengkapi gambar yang kosong, mencari jejak,
bentuk geometris, labirin dan puzzle balok (Siswina et al., 2016).

Alat tes WPPSI juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan dan mengklasifikasikan
anak-anak dengan keterlambatan kemampuan kognitif, mengevaluasi keterlambatan kemampuan
kognitif, gangguan intelektual dan autisme. WPPSI juga dapat digunakan untuk menentukan jenis
sekolah yang tepat bagi anak hingga melihat apakah anak mengalami kerusakan pada otak
(Wechsler, 2012).

Tanggapan: Sesuai dengan namanya, alat tes WPPSI dirancang dan ditujukan untuk anak-anak
pada usia sebelum masuk sekolah atau anak-anak yang ada pada tingkat taman kanak-kanak,
perkiraan usia dimulai dari 2 tahun atau saat anak mulai masuk ke taman kanak-kanak hingga umur
7 tahun saat anak mulai masuk ke sekolah dasar. Alat tes ini bertujuan untuk mengetahui tingkat
kecerdasan anak secara keseluruhan serta dapat juga digunakan untuk mengidentifikasi
karakteristik keterlambatan atau kesulitan anak tersebut. Dengan adanya alat tes ini pula, kita dapat
memporeleh informasi pada dua hal yaitu kemampuan kognitif dan prestasi akademik pada anak-
anak. WPPSI juga dapat digunakan untuk menentukan jenis sekolah yang tepat bagi anak, potensi
ini digunakan dalam setting pendidikan dan intervensi pendidikan.

4. IST (Intelligenz Struktur Test)

Intelligenz Struktur Test (IST) merupakan alat tes inteligensi yang telah diadaptasi di
Indonesia. Tes ini dikembangkan oleh Rudolf Amthaeur di Frankfrurt Main Jerman pada tahun
1953. Amthauer mendefinisikan inteligensi sebagai keseluruhan struktur dari kemampuan jiwa-
rohani manusia yang akan tampak jelas dalam hasil tes. Inteligensi hanya akan dapat dikenali
(dilihat) melalui manifestasinya misalnya pada hasil atau prestasi suatu tes.

Berdasarkan pemikiran ini Amthauer menyusun sebuah tes yang dinamakan IST dengan
hipotesis kerja sebagai berikut: “Komponen dalam struktur tersebut tersusun secara hierarkis;
maksudnya bidang yang dominan kurang lebih akan berpengaruh pada bidang-bidang yang lain;
kemampuan yang dominan dalam struktur inteligensi akan menentukan dan mempengaruhi
kemampuan yang lainnya.”

Tes ini dipandang sebagai gestalt (menyeluruh), yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berhubungan secara makna (struktur). Dimana struktur inteligensi tertentu meggambarkan pola
kerja tertentu, sehingga akan cocok untuk profesi atau pekerjaan tertentu. Berdasarkan hal tersebut
IST umum digunakan untuk memahami diri dan pengembangan pribadi, merencanakan
pendidikan dan karier serta membantu pengambilan keputusan dalam hidup individu.

Intelligenz Struktur Test (IST) terdiri dari 9 subtes antara lain Satzerganzung (SE) yaitu
melengkapi kalimat, Wortauswahl (WA) yaitu melengkapi kata-kata, Analogien (AN) yaitu
persamaan kata, Gemeinsamkeiten (GE) yaitu sifat yang dimiliki bersama, Rechhenaufgaben (RA)
yaitu kemampuan berhitung, Zahlenreihen (SR) yaitu deret angka, Figurenauswahl (FA) yaitu
memilih bentuk, Wurfelaufgaben (WU) yaitu latihan balok, dan Merkaufgaben (ME) yaitu latihan
simbol. Tes IST terdiri dari 9 sub tes terdiri dari 176 aitem soal. Waktu pengerjaan yang dibutuhkan
dalam penyajian tes IST ini kurang lebih selama 90 menit dengan instruksi yang berbeda-beda
pada setiap sub tesnya. Tes IST ini membutuhkan seorang tester yang memiliki keterampilan
dalam menyajikan tes dan proses skoring serta interpretasi yang memakan waktu. Tes ini dapat
dilakukan secara individual maupun klasikal (Kumolohadi & Suseno, 2012).

Kumolohadi & Suseno (2012) menjelaskan bahwa melalui tes IST, dapat diperoleh skor
inteligensi umum dan skor kemampuan khusus secara mendetail yang diungkap dengan sembilan
sub tes dalam IST, diantaranya yaitu:

1. Sub tes Satzerganzung (SE) mengungkap kemampuan berpikir kongkrit praktis,


mengukur keinginan berprestasi, pengambilan keputusan, kemampuan memahami
realitas, common sense, pembentukan pendapat atau penilaian, dan kemandirian
dalam berpikir.
2. Sub tes Wortauswahl (WA) mengungkap kemampuan bahasa dengan menangkap
inti kandungan makna dari sesuatu yang disampaikan, kemampuan empati serta
kemampuan berpikir induktif dengan menggunakan bahasa.
3. Sub tes Analogien (AN) mengungkap kemampuan berpikir secara fleksibilitas,
kemampuan menghubung-hubungkan atau mengkombinasikan, resistensi, serta
kemampuan untuk berubah dan berganti dalam berpikir.
4. Sub tes Gemeinsamkeiten (GE) mengukur kemampuan memahami esensi
pengertian suatu kata untuk kemudian dapat menemukan kesamaan esensial dari
beberapa kata, serta mengukur kemampuan menemukan ciri-ciri khas yang
terkandung pada dua objek dalam upaya menyusun suatu pengertian yang
mencakup kekhasan dari dua objek tersebut.
5. Sub tes Rechhenaufgaben (RA) mengukur kemampuan berpikir logis, kemampuan
bernalar, memecahkan masalah praktis dengan berhitung, matematis, dan
kemampuan berpikir runtut dalam mengambil keputusan.
6. Sub tes Zahlenreihen (ZR) mengukur kemampuan berhitung dengan didasari pada
pendekatan analisis atas informasi faktual yang berbentuk angka sehingga
ditemukan suatu kesimpulan.
7. Adanya kemampuan mengikuti komponen irama dalam berpikir. Sub tes
Figurenauswahl (FA) mengungkap kemampuan membayangkan secara
menyeluruh dengan cara dengan menggabung-gabungkan potongan suatu objek
visual secara konstruktif sehingga menghasilkan suatu bentuk tertentu.
8. Sub tes Wurfelaufgaben (WU) mengukur kemampuan analisis yang turut disertai
dengan kemampuan membayangkan perubahan keadaan ruang secara antisipasif.
Dalam kemampuan ini terdapat peran imajinasi, kreativitas, fleksibilitas berpikir
dan kemampuan menyusun atau mengkonstruksi perubahan.
9. Sub tes Merkaufgaben (ME) mengukur daya ingat seseorang yang didalamnya
terdiri dari kemampuan memperhatikan, kemampuan menyimpan atau mengingat
dalam waktu lama.

IST (Intelligenz Struktur Test), dilakukan secara manual dikerjakan didalam suatu ruangan
tertentu dengan waktu tertentu dan pengawasan lansung dari penguji, adapun kelebihan dan
kekurangan test IST yang dilakukan secara manual adalah sebagai berikut
- Kelebihan: Dapat diawasi langsung oleh penguji, meminimalisasi manipulasi ataupun
kecurangan dan dapat dijelaskan secara merinci karna lansung betatap muka dengan
penguji.
- Kekurangan: Pemeriksaan membutuhkan waktu yang lama, pemeriksaan membutuhkan
ketelitian, membutuhkan tempat khusus dan menggunakan bahan kertas yang banyak.

Tes IST digunakan untuk individu usia 13-60 tahun. IST adalah alat tes yang kompleks dan
memiliki tingkat kesulitan pada tugas-tugas di setiap bagian yang tinggi. Meski begitu, melalui tes
IST individu dapat mengetahui IQ total dan per bagian (Kumolohadi & Suseno, 2012).

Tanggapan: Tes ini dikembangkan oleh Rudolf Amthaeur di Frankfrurt Main Jerman pada tahun
1953. Amthauer mendefinisikan inteligensi sebagai keseluruhan struktur dari kemampuan jiwa-
rohani manusia yang akan tampak jelas dalam hasil tes. Tes IST digunakan untuk individu usia
13-60 tahun. IST umum digunakan untuk memahami diri dan pengembangan pribadi,
merencanakan pendidikan dan karier serta membantu pengambilan keputusan dalam hidup
individu. Tes IST ini membutuhkan seorang tester yang memiliki keterampilan dalam menyajikan
tes dan proses skoring serta interpretasi yang memakan waktu. IST adalah alat tes yang kompleks
dan memiliki tingkat kesulitan pada tugas-tugas di setiap bagian yang tinggi. Meski begitu, melalui
tes IST individu dapat mengetahui IQ total dan per bagian. Kelebihan yang saya suka dari tes ini
adalah dapat diawasi langsung oleh penguji sehingga meminimalisasi manipulasi ataupun
kecurangan serta dapat dijelaskan secara merinci karena langsung betatap muka dengan penguji.

5. SPM (Standard Progressive Matrices)

Standard Proggressive Matrices (SPM) adalah tes inteligensi yang dirancang oleh J.C Raven
pada tahun 1936 serta diterbitkan pertama kali di tahun 1938. SPM merupakan salah satu tes
inteligensi yang dikenal luas di Indonesia. SPM yang dijumpai di Indonesia yaitu hasil revisi pada
tahun 1960. Tes SPM mengukur kecerdasan orang dewasa. Tes ini mengungkapkan faktor general
(G faktor) atau kemampuan umum seseorang, yaitu kemampuan memahami figur yang tidak
berarti dengan mengobservasi dan berpikir jernih pada saat mengerjakan tes, kemudian melihat
hubungan antara figur-figur yang ada yang pada gilirannya mampu mengembangkan penalaran.
Disamping itu untuk mengukur kemampuan seseorang untuk membentuk hubungan persepsi. Tes
SPM digunakan secara individual atau klasikal dan waktu penyajian yang dibutuhkan 30 menit
(Kumolohadi & Suseno, 2012).

SPM dikelompokkan sebagai tes non verbal artinya materi soalnya tidak diberikan dalam
bentuk tulisan ataupun bacaan melainkan dalam bentuk gambar-gambar. Selain itu juga SPM
masuk dalam jenis tes speed karena bertujuan untuk mengukur kecepatan atau ketangkasan dalam
mengatasi masalah, skor biasanya menunjukan frekuensi masalah yang diatasi. SPM juga masuk
dalam jenis tes individual maupun kelompok karena tes ini bisa dilakukan sendiri atau kelompok.

Tes SPM memuat 60 soal yang didalamnya terbagi menjadi lima seri yaitu seri A, B, C, D dan
E. Setiap seri terdiri dari 12 soal yang berbentuk gambar-gambar. Setiap soal terdiri dari satu
gambar besar yang tidak lengkap dan terdapat pilihan jawaban untuk melengkapi gambar tersebut.
Dalam penyajian tesnya, set A dan B menyediakan enam gambar kecil sebagai pilihan, sedangkan
untuk set C, D, dan E, disediakan delapan pilihan. Penyusunan soal bertingkat dari soal yang
mudah ke soal yang sukar (Rahmadani, 2019).

Secara operasional, subjek diberi soal dan diminta memilih jawaban yang paling tepat serta ia
dapat menuliskan jawabannya di lembar jawaban khusus yang telah disediakan. Didalam tes SPM
terdapat soal seri A nomor 1 dan 2 sebagai contoh soal sehingga dalam pengerjaannya soal seri A
nomor 1 dan 2 dikerjakan oleh subjek bersamaan dengan tester saat memberikan instruksi
pengerjaan tes SPM. Subjek harus bekerja dengan cepat dan teliti pada saat tes dimulai sampai
akhir tes (Kumolohadi & Suseno, 2012).

Pemberian skor dengan memperoleh nilai 1 untuk aitem soal yang dijawab benar dan memberi
nilai 0 untuk jawaban yang tidak benar. Soal seri A nomor 1 dan 2 hanya digunakan sebagai contoh
dan harus dipastikan benar sehingga secara teoritis range nilai akan bergerak dari 2 sampai dengan
60. Skor total adalah jumlah jawaban benar yang dapat dikerjakan oleh subjek yang kemudian
akan diinterpretasikan secara normatif menurut norma penilaian tes SPM (Kumolohadi & Suseno,
2012).

Raven (dalam Kumolohadi & Suseno, 2012) menjelaskan bahwa tes SPM tidak memberikan
skor berupa suatu angka IQ seseorang, melainkan dengan tingkatan (grade) inteligensi menurut
besarnya skor total dan usia subjek. Tingkat inteligensi subjek dikelompokkan berdasarkan atas
nilai persentil sebagai berikut:

1. Grade I yaitu Intellectually superior ditujukan bagi subjek yang memiliki nilai persentil 95
ke atas.
2. Grade II yaitu Difenitelly above the avarage in intellectual capacity ditujukan bagi subjek
yang memiliki nilai terletak diantara persentil 75 sampai dengan persentil 95.
3. Grade III yaitu Intellectually avarage ditujukan bagi subjek yang memiliki nilai terletak
diantara persentil 25 sampai dengan 75.
4. Grade IV yaitu Difenitelly below the avarage in intellectual capacity ditujukan bagi subjek
yang memiliki nilai terletak diantara persentil 5 sampai dengan persentil 25.
5. Grade V yaitu Intellectually defective ditujukan bagi subjek yang memiliki nilai yang
terletak pada dan di bawah persentil 5.

SPM adalah alat tes yang lebih sederhana dan tugas yang diberikan juga lebih mudah. Namun
melalui SPM, seseorang hanya dapat mengetahui kategorisasi atau tingkatan (grade) rata-rata dari
inteligensinya (Kumolohadi & Suseno, 2012).

Tanggapan: Standard Proggressive Matrices (SPM) adalah tes inteligensi yang dirancang oleh J.C
Raven pada tahun 1936 serta diterbitkan pertama kali di tahun 1938. Standard Progressive
Matrixes, merupakan salah satu tes inteligensi yang dikenal luas di Indonesia. Digunakan untuk
mengukur kemampuan seseorang dalam membentuk hubungan persepsi, sehingga dapat terungkap
mengenai sejauh mana seseorang memahami figur yang tidak berarti dengan mengobservasi dan
berfikir jernih pada saat mengerjakan tes, kemudian melihat hubungan antara figur-figur yang ada
yang pada gilirannya mampu mengembangkan penalaran. Menurut pendapat saya, SPM adalah
alat tes yang lebih sederhana dan tugas yang diberikan juga lebih mudah.

6. APM (Advanced Progressive Matrices)

Tes Advanced Progressive Matrices (APM) dikembangkan oleh Raven pada tahun 1943
yang merupakan tipe tes kedua dari tes yang ia kembangkan. Tes Advanced Progressive Matrices
mengukur kinerja intelektual dari mereka yang memiliki inteligensi di atas rata-rata. Selain itu, tes
ini juga mampu membedakan secara tajam antara mereka yang tergolong memiliki inteligensi
unggul dari yang lainnya. APM merupakan salah satu alat tes non verbal yang biasa digunakan
untuk pengaturan pendidikan. APM dipakai untuk mengukur kemampuan dalam hal pengertian
dan melihat hubungan-hubungan bagian gambar yang tersaji serta mengembangkan pola fikir yang
sistematis penyajiannya dapat dilakukan secara klasikal dan individu.

APM tidak memberikan suatu angka IQ akan tetapi menyatakan hasilnya dalam tingkat atau
level intelektualitas dalam beberapa kategori, menurut besarnya skor dan usia subjek yang dites,
yaitu:

• Grade I : Kapasitas intelektual Superior.

• Grade II : Kapasitas intelektual Di Atas Rata-raya.

• Grade III : Kapasitas intelektual Rata-rata.

• Grade IV : Kapasitas intelektual Di Bawah Rata-rata.

• Grade V : Kapasitas intelektual Terhambat.

Tujuan dari tes APM yaitu :

• Untuk mengukur kemampuan intelektual orang normal, tanpa batasan waktu umur dan dipakai
diatas 11 tahun.

• Digunakan untuk kemampuan observasi.

• Untuk mengukur tingkat inteligensi.

• Untuk analisis tujuan klinis.

APM dilihat dari tingkat kesukarannya memiliki prosentase soal yang hapir seimbang antara
soal yang mudah, sedang, dan sukar secara berimbang, setiap soal memiliki indeks homogenitas
yang baik, daya pembeda setiap soal secara umum baik, dan pilihan-pilihan jawabaannya telah
berfungsi secara baik pula (tidak ada yang tidak pernah tidak dipilih). Tes ini terdiri dua set yaitu
set I mencangkup 12 soal dengan waktu pengerjaan 5 menit dan tes II mencangkup 36 soal dengan
waktu pengerjaan 40 menit. Pemberian soal set I kepada testi ditunjukkan dengan maksud untuk
menjelaskan prinsip-prinsip kerjanya, dan kemudian dilanjutkan ke set II dimana pengukuran
sebenarnya dilakukan. Soal-soal pada set II meliputi persoalan-persoalan yang mampu menjadi
alat pengukur pada proses berpikir tinggi secara analitis sehingga APM berguna untuk
mendapatkan gambaran tentang laju kecepatan dan keberhasilan belajar yang mungkin dicapai
seseorang didalam suatu bidang studi (Sunarya, 2017).

Tanggapan: Tes Advanced Progressive Matrices (APM) dikembangkan oleh Raven pada tahun
1943 yang merupakan tipe tes kedua dari tes yang ia kembangkan. Tes APM merupakan salah satu
alat tes non verbal yang biasa digunakan untuk pengaturan pendidikan dimaksudkan untuk
mengungkap kemampuan efisiensi intelektual yakni mendapatkan gambaran tentang laju
kecepatan dan keberhasilan belajar yang mungkin dicapai seseorang didalam suatu bidang studi.
Tes APM ini sesungguhnya untuk membedakan secara jelas antara individu-individu yang
berkemampuan intelektual lebih dari normal bahkan yang berkemampuan intelektual superior.
Tujuannya untuk mengatur tingkat intelegensi, di samping untuk tujuan analisis klinis.

7. CFIT (Culture Fair Intelligence Test)

Culture Fair Intelligence Test (CFIT) merupakan salah satu tes inteligensi yang sering
digunakan oleh psikolog dan lembaga psikologi di Indonesia. Pertama kali tes inteligensi CFIT ini
dikembangkan oleh Raymond B. Cattell pada tahun 1940. Di dalam tes CFIT ini Raymond ingin
menciptakan instrumen yang secara psikometrika sehat dan di dasarkan pada teori yang
komprehensif dan juga memiliki nilai reliabilitas dan validitas yang tinggi. Nilai Reliabitiasnya
untuk skala 1 memiliki nilai .91 dan untuk skala 2 memiliki nilai .87 dan skala 3 miliki .85 Untuk
SMA keatas. Sedangkan untuk Validitas konsep sebesar .92 dan validitas konkrit sebesar .69.
Dalam proses administrasinya, Tes CFIT relatif tidak memakan waktu yaitu hanya sekitar 30 menit
sehingga tes CFIT populer digunakan di kalangan praktisi (Suwandi, 2015).

Tes ini dipergunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan faktor kemampuan mental umum
atau kecerdasan. Menurut Cattell (dalam Suwandi, 2015) inteligensi terbagi menjadi 2 komponen,
yaitu fluid dan crystallized intelligence. Fluid intelligence merupakan kecerdasan yang berasal dari
sifat bawaan lahir atau hereditas. Sedangkan crystallized intelligence adalah kecerdasan yang
sudah dipengaruhi oleh lingkungan, misalnya kecerdasan yang didapat melalui proses
pembelajaran di sekolah.
Tes ini dikembangkan sebagai tes non verbal untuk mengukur fluid intelligence (Gf), yaitu
kecerdasan yang meliputi kemampuan analisis dan penalaran. Tes CFIT memiliki tiga jenis skala,
yaitu: Skala 1 ditujukan untuk usia 4 sampai 8 tahun atau mereka yang mengalami retardasi
mental, skala 2 ditujukan untuk usia 8 sampai 13 tahun, dan skala 3 ditujukan untuk individu
dengan kecerdasan di atas rata-rata. Skala 2 dan 3 berbentuk paralel (A dan B) sehingga tes ini
yang dapat digunakan untuk pengetesan kembali. Umumnya tes-tes ini dapat diberikan pada
sekelompok individu secara kolektif, namun terkecuali beberapa subtes dari skala 1. Skala 1
memiliki delapan subtes, namun yang benar-benar adil secara budaya hanya separuhnya (Suwandi,
2015). Terdapat kemiripan antara skala 2 dan 3 tes CFIT, yang membedakan hanya tingkat
kesukarannya.

Suwandi (2015) menjelaskan bahwa skala ini terdiri dari 4 subtes, yaitu:

1. Series terdiri dari 13 item, peserta diinstruksikan untuk melanjutkan gambar secara logis
dari 3 gambar yang telah disajikan sebelumnya.
2. Classification terdiri dari 14 item, peserta diinstruksikan untuk mencocokan 2 gambar
dari setiap seri. Kemudian pada gambar yang cocok dipasangkan bersama.
3. Matrice terdiri dari 13 item, peserta diinstruksikan untuk menentukan mana dari 5
alternatif yang paling logis untuk melengkapi pola matriks yang telah disajikan.
4. Topology terdiri dari 10 item, peserta diinstruksikan untuk mencari aturan umum dimana
titik ditempatkan dengan menyimpulkan aturan dan memilih gambar yang berlaku.

CFIT merupakan bentuk battery test, karena itu membutuhkan waktu, dan peserta atau klien
dituntut untuk mampu menjawab soal pada masing-masing subtest dalam waktu tertentu. Masing-
masing subtest pada CFIT memiliki karekteristik yang berbeda-beda, sehingga peserta atau klien
nantinya harus konsentrasi dan juga fokus terhadap instruksi yang diberikan oleh tester pada saat
pelaksanaan test.

Skoring pada test CFIT ini dilakukan dengan melihat jawaban yang diberikan oleh peserta
atau klien, dan menghitung total jawaban benar yang dimiliki oleh klien setelah melaksanakan test.
Total jawaban yang benar akan disebut sebagai RS atau Raw Score, yang harus diubah atau
dikonversi ke dalam Scaled Score. Setelah itu, skor tersebut kemudian dipasangkan degnan norma
yang sudah baku, untuk kemudian melihat tingkat kecerdasan dari peserta atau klien. Sama seperti
test APM, CFIT cenderung hanya memberikan gambaran berupa tingkat kecerdasan ataupun
kategori kecerdasan klien saja, dan tidak memberikan nilai IQ.

CFIT bisa dibilang merupakan test inteligensi sederhana yang mudah dan juga simple, baik
dalam mengerjakan, menskoring, dan juga melakukan interpretasi, sama seperti test Matrices
(APM, SPM, dan CPM). Hal ini membuat CFIT banyak digunakan dalam rangkaian psikotes
singkat, misalnya rekrutmen, tes kecerdasan awal, assesmen awal. Namun tentu saja CFIT
cenderung terbatas, sehingga jarang digunakan sebagai alat test dalam tujuan assesmen klinis,
karena hasilnya yang kurang detail dan tidak kompleks.

Tanggapan: Culture Fair Intelligence Test (CFIT) merupakan salah satu tes inteligensi yang sering
digunakan oleh psikolog dan lembaga psikologi di Indonesia. Tes CFIT relatif tidak memakan
waktu yaitu hanya sekitar 30 menit sehingga tes CFIT populer digunakan di kalangan praktisi.
CFIT bisa dibilang merupakan test inteligensi sederhana yang mudah dan juga simple, baik dalam
mengerjakan, menskoring, dan juga melakukan interpretasi, sama seperti test Matrices (APM,
SPM, dan CPM). Hal ini membuat CFIT banyak digunakan dalam rangkaian psikotes singkat,
misalnya rekrutmen, tes kecerdasan awal, assesmen awal. Namun tentu saja CFIT cenderung
terbatas, sehingga jarang digunakan sebagai alat test dalam tujuan assesmen klinis, karena hasilnya
yang kurang detail dan tidak kompleks.

8. Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS)

Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) dikembangkan oleh David Wechsler. Akibat
rasa ketidakpuasan dengan batasan dari teori Stanford-Binet dalam penggunaannya, khususnya
dalam pengukuran kecerdasan untuk orang dewasa sehingga dikembangkanlah tes ini. David
Wechsler kemudian meluncurkan tes kecerdasan baru yang dikenal sebagai Wechsler Adult
Intelligence Scale (WAIS) pada 1955. Revisi terhadap WAIS telah dilakukan dan diterbitkan pada
tahun 1981 dengan nama WAIS-R.

Tes ini digunakan oleh orang dewasa usia 16-75 tahun atau lebih. Pelaksanaan tes ini
dilakukan secara individu (Maarif et al., 2017). WAIS menjadi alat tes yang paling populer karena
paling banyak digunakan di dunia saat ini. Tes ini semula bernama Wechsler Bellevue Intellegence
Scale (WBIS).
Tes inteligensi ini memiliki enak subtes yang terkombinasikan dalam bentuk skala
pengukuran keterampilan verbal dan lima subtes membentuk suatu skala pengkuran keterampilan
tindakan (Rohmah, 2011).

Maarif (2007) menjelaskan materi tes WAIS terbagi menjadi 11 subtes. Adapun sub-sub tes
tersebut terdiri atas:

a) Bentuk Verbal: Kemampuan dalam bekerja menggunakan symbol-simbol abstrak, jumlah


dan tingkat manfaat seseorang berdasarkan latar belakang pendidikannya, kemampuan
memori verbal dan kefasihan dalam kemampuan berbahasa.

1. Informasi

2. Pemahaman

3. Hitungan

4. Persamaan

5. Rantang Angka

6. Pembendaharaan Kata

b) Bentuk Perfomance: Tingkat dan kualitas kontak nonverbal individu dengan


lingkungan, kemampuan mengintegrasi stimulus perseptual dengan respon motoric yang
relevan, kapasitas kerja dalam situasi konkrit, kemampuan bekerja secara cepat dan
kemampuan mengevaluasi informasi visuo-spatial.

1. Simbol Angka

2. Melengkapi Gambar

3. Rancang Balok

4. Mengatur Gambar

5. Merakit Objek

Kelebihan tes ini adalah dapat mendiagnosis kesulitan belajar, karena tes ini mencakup
aspek verbal dan performance sehingga hasilnya dapat mendiagnosis kesulitan belajar klien pada
aspek performance atau verbal, dari sini juga dapat diketahui kecerdasan verbal dan non-verbalnya
dan kekurangannya adalah kurangnya pendasaran teoritis yang menyulitkan penemuan basis
interpretasi yang koheren. Selain itu juga komposisi skala-skala ini tampak menganggap bahwa
domain kemampuan yang dipilih oleh subtesnya dalam semua tingkat umur sama.

Tanggapan: Tes WAIS adalah tes pengukuran kecerdasan untuk orang dewasa usia 16-75 tahun
atau lebih. Kelebihan tes ini adalah dapat mendiagnosis kesulitan belajar, karena tes ini mencakup
aspek verbal dan performance sehingga hasilnya dapat mendiagnosis kesulitan belajar klien pada
aspek performance atau verbal, dari sini juga dapat diketahui kecerdasan verbal dan non-
verbalnya. Kekurangannya adalah kurangnya pendasaran teoritis yang menyulitkan penemuan
basis interpretasi yang koheren. Bentuk verbal dari tes WAIS artinya adalah kefasihan seseorang
dalam kemampuan berbahasa sedangkan bentuk performance dari tes WAIS adalah tingkat dan
kualitas kontak nonverbal individu dengan lingkungan. Tujuan pemisahan subtes verbal dan
performance IQ dalam tes WAIS adalah untuk keperluan diagnose jika misalnya seseorang
mendapat handicap dalam bidang verbal atau cultural. WAIS menjadi alat tes yang paling populer
karena paling banyak digunakan di dunia saat ini

9. TIKI (Tes Intelegensi Kolektif Indonesia)

TIKI (Tes Intelegensi Kolektif Indonesia) merupakan hasil kerjasama antara “Fakultas
Psikologi Universitas Padjajaran (UNPAD)” Bandung, dengan “Department of Industrial and
Organizational Psychology and Test Development” yang merupakan sub fakultas “Vrije
Universiteit” (UV) di Amsterdam, yang kemudian bernama “Laboratory of Psychodiagnostic and
Industrial Psychologycal Research”.
Penanggung jawab dalam proyek kerja sama ini adalah Prof. Dr. P. J. D. Drent dari UV
dan B. Dengah, Dipl. Psych. dari UNPAD yang dibantu oleh tim riset untuk TIKI yaitu Drs. N.
Bleichrodt dari UV, Soemarto, Dipl. Psych dan Drs. P. Poespadibrata dari UNPAD. Kelima orang
inilah merupakan penulis dari tes TIKI tersebut.
Tentu saja, disamping para penulis turut serta pula orang-orang yang tak terhitung
jumlahnya berkontribusi dalam proses kontruksi dan validasi dari serial tes tersebut. Dalam
pengumpulan data, baik data tes maupun data-data pembuatan norma turut, banyak staf, students
assistants, dan mahasiswa-mahasiswa UNPAD itu sendiri yang turut berpartisipasi dan
berkolaborasi dalam kerjasama ini.
Motivasi utama dari kerjasama ini adalah permintaan dari Drs. J. Wullur yakni lecturer
responsible untuk training di psikologi industri fakultas psikologi UNPAD, untuk membantu
proyek yang ditujukan guna keberhasilan dalam pengembangan dan seleksi mahasiswa yang fair
untuk Universitas Padjajaran. Setelah perbincangan awal dengan staf fakultas psikologi UNPAD
bersama dengan Prof. Soeria Admaja, rektor saat itu, ruang lingkup dari proyek tersebut diperlebar
menjadi beberapa tes untuk level pendidikan yang berbeda serta populasi di luar Bandung.
Bertujuan untuk menentukan dan mengungkap inteligensi dengan standar Indonesia.
Akhirnya proposisi proyek gabungan tersebut didaftarkan pada “Neteherland
Universities Foundation For International Cooperation” (NUFFIC) dengan judul “Proyek
Standardisasi Tiga Baterai Tes” dan dukungan finansial diusulkan dari dana yang disediakan untuk
proyek kerjasama inter universitas. Proyek akhirnya diterima oleh NUFFIC. Pemerintah
Indonesia, dalam surat keputusan dari Kementrian Luar Negeri tertanggal 12 September 1970,
dengan senang hati menerima Dutch Aid, sehingga proyek tersebut dimulai pada tanggal tersebut.
Tujuan dari dibuatnya tes ini adalah untuk melihat standar intelegensi di Indonesia serta membuat
alat tes intelegensi yang berdasarkan norma Indonesia (Nuraeni, 2012). Tes ini secara keseluruhan
dibagi menjadi tiga tes, TIKI Dasar, TIKI Menengah dan TIKI Tinggi.

a. TIKI Dasar

TIKI Dasar merupakan tes intelegensi yang paling awal dari ketiga tes yang ada. Tes
intelegensi ini diperuntukkan untuk mengungkapkan tingkat kecerdasan bagi anak-anak kelas 6
SD, 1 SMP dan 2 SMP. Sajiannya dapat digunakan individual atau klasikal. TIKI Dasar mengukur
intelegensi dengan berhitung angka, penggabungan bagian, eksklusi gambar, hubungan kata,
membandingkan beberapa gambar, labirin/maze, berhitung huruf, mencari pola, eksklusi kata dan
terakhir mencari segitiga (Nuraeni, 2012). Waktu penyajian dibagi menjadi total waktu 100 menit
untuk mengerjakan semua sub tes TIKI dan total waktu 41 manit untuk mengerjakan TIKI bentuk
singkat, ditambah dengan waktu instruksi per sub tes 3-5 menit.

b. TIKI Menengah

TIKI Menengah merupakan alat tes intelegensi kedua dalam rangkai TIKI yang
diperuntukkan untuk anak yang berada pada tingkat sekolah menengah pertama kelas tiga hingga
sekolah menengah atas. Penggunaan TIKI-M di Indonesia antara lain untuk seleksi Peserta Didik
Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa (PDCI-BI), seleksi siswa Rintisan Sekolah Berstandar
Internasional (RSBI), seleksi masuk sekolah, maupun untuk keperluan diagnostik yang lain
(Departemen Pendidikan Nasional, 2007).

Sebagai sebuah alat ukur psikologis, TIKI-M tidak dapat di lepaskan dari tiga prinsip yang
mendasari sebuah tes psikologi, yaitu validitas, reliabilitas, dan standardisasi (Firmin, Hwang,
Burger, Sammons, & Lowrie, 2005). Reliabilitas merujuk pada konsistensi sebuah pengukuran
ketika prosedur sebuah tes diulang kembali (AERA, APA, NCME, 1999). Konsep kedua adalah
validitas, yaitu bahwa suatu tes harus mengukur apa yang ingin diukur, sebuah estimasi seberapa
baik sebuah tes mengukur apa yang ingin diukur (Cohen & Swerdlik, 2005; Firmin, Hwang,
Burger, Sammons, & Lowrie, 2005).

Konsep yang ketiga adalah standardisasi. Standardisasi merupakan sebuah patokan yang
diperlukan dalam administrasi tes, yaitu kondisi dimana seharusnya tes di administrasikan sesuai
dengan kondisi saat proses penormaan tes. Sehingga ketika sebuah tes dilakukan oleh orang lain
dengan proses yang sama, hasilnya akan cenderung ekuivalen (Firmin, Hwang, Burger, Sammons,
& Lowrie, 2005).

Penyusunan TIKI-M didasarkan pada the factor-model dari French dkk. Tahun 1963 dan
the structure-of-intellect model dari Guilford tahun 1971 (Drenth & Dengah, 1977). Dari dua teori
tersebut kemudian muncul 12 subtes TIKI-M. Dua belas subtes TIKI-M tersebut antara lain,
berhitung angka, gabungan bagian, hubungan kata, eksklusi gambar, berhitung, meneliti,
membentuk benda, eksklusi kata, bayangan cermin, berhitung huruf, membandingkan benda, dan
pembentukan kata (Drenth & Dengah, 1977). Hasil analisis faktor pada masa penyusunan TIKI-
M tahun 1977, menunjukkan bahwa TIKI-M mengukur 4 faktor kecerdasan, antara lain space and
non verbal reasoning, perceptual speed, numerical aptitude, dan verbal comprehension.

Sejak disusun pada tahun 1977 hingga sekarang, belum ada studi mengenai validitas dan
reliabilitas TIKI-M. TIKI-M, selain mengungkapkan kemampuan umum (taraf inteligensi) juga
dapat mengungkap kemampuan-kemampuan khusus yang terlihat pada subtes-subtesnya.
Perkembangan kemampuan khusus tesebut dipahami sebagai proses belajar (Djunaidi, 1997).
Seiring dengan perkembangan zaman, globalisasi, akses teknologi, dan informasi sejak
penyusunan TIKI-M, tentunya membuat semua orang dapat memperoleh informasi kapan saja dan
dimana saja.
c. TIKI Tinggi

TIKI Tinggi menjadi alat tes inteligensi yang termasuk ke dalam rangkaian TIKI yang berada
paling akhir dan memiliki tingkat kesusahan yang paling kompleks dalam TIKI. TIKI Tinggi
sendiri diperuntukan bagi individu yang ada pada tingkat perguruan tinggi serta orang dewasa.
Pada TIKI Tinggi, peserta tes akan diminta untuk berhitung angka, penggabungan bagian,
menghubungkan kata, abstraksi non verbal, deret angka, meneliti, membentuk benda, eksklusi
kata, bayangan cermin, menganalogi kata, bentuk tersembunyi dan terakhir adalah pembentukan
kata (Nuraeni, 2012). Peran alat tes TIKI tingkat tinggi ditujukan untuk kelas tertinggi SMA (Kelas
3 SMA) dan awal pendidikan tinggi terutama digunakan untuk keputusan mengenai masuk ke
universitasa atau bentuk lain dari pendidikan tinggi dan dunia kerja (Drenth & Dengah, 1976).

Dalam dunia industri, alat tes TIKI-T berhubungan dengan seleksi karyawan, evaluasi dan
promosi. Seleksi adalah suatu proses pemilihan individu yang dinilai paling sesuai untuk
menduduki jabatan atau posisi tertentu dalam perusahaan. Evaluasi adalah pemeriksaan psikologis
yang bertujuan untuk membantu perusahaan menilai apakah posisi yang ditempati saat ini telah
sesuai dengan kemampuan yang dimiliki karyawan yang bersangkutan. Promosi adalah
pemeriksaan psikologis yang bertujuan untuk menilai kemampuan seseorang apakah telah
memenuhi syarat untuk dapat menduduki jabatan atau posisi yang lebih tinggi dalam perusahaan.
Pemeriksaan psikologis secara garis besar dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) Level Staff
(Non-Manajerial), aspek-aspek yang perlu dan dapat diungkap mencakup kemampuan umum (in-
telegensi), kesesuaian kepribadian, sikap dan kemampuan bekerja dalam menghadapi persoalan
praktis sehari-hari. (2) Level Supervisor, aspek-aspek yang perlu dan dapat diungkap mencakup
kemampuan umum (inteligensi), kesesuaian kepribadian, sikap dan kemampuan kerja, gaya
kepemimpinan dan pengambilan keputusan. (3) Level Manajerial, aspek-aspek yang perlu dan
dapat diungkap mencakup kemampuan umum (inteligensi), pengambilan keputusan dan
kemampuan pemecahan masalah secara strategis, gaya kepemimpinan, kepribadian, hubungan
interpersonal dan sikap kerja.
Menurut beberapa direktur biro psikologi di kota Bandung, TIKI- T sudah banyak
digunakan untuk pemetaan potensi karyawan pada pemerintahan atau bidang lainnya, seleksi dan
rekrutmen karyawan dengan TIKI-T telah terbukti efektifitasnya dalam menangkap potensi
intelegensi seseorang dari sudut daya tangkap, logika berpikir, ketelitian, potensi menghitung, dan
daya abstraksi. Tes ini sangat umum digunakan dalam tes psikologi dan masih efektif dalam
menganalisa potensi intelegensi seseorang.
Tes ini terdiri dari 11 subtes, yang pelaksanaannya dilakukan secara tertulis dan secara
klasikal. Tes ini dapat diberikan secara individual dan kelompok, yang secara keseluruhan
mengungkapkan kemampuan umum (taraf inteligensi). Namun juga ada kemampuan-kemampuan
khusus yang terlihat pada subtes-subtesnya. Perkembangan kemampuan khusus tersebut dipahami
sebagai proses belajar (Djunaidi, 1997).

11 subtes TIKI-T meliputi: Berhitung angka (7 menit), gabungan bagian (7 menit),


hubungan kata (5 menit), abstraksi non verbal (12 menit), deret angka (10 menit), meneliti (4
menit), membentuk benda (5 menit), bayangan cermin (10 menit), analogi kata (4 menit), bentuk
tersembunyi (6 menit) dan pembentukan kata (4 menit). Jumlah keseluruhan soal pada alat tes ini
adalah 424 item (Drenth & Dengah, 1977).

Sebagai sebuah alat ukur psikologis, TIKI-T tidak dapat dilepaskan dari tiga prinsip yang
mendasari sebuah tes psikologi, yaitu validitas, reliabilitas, dan standardisasi (Firmin, Hwang,
Burger, Sammons, & Lowrie, 2005). Konsep pertama adalah validitas, yaitu bahwa suatu
tes harus mengukur apa yang ingin diukur, sebuah estimasi seberapa baik sebuah tes mengukur
apa yang ingin diukur (Cohen & Swerdlik, 2005; Firmin, Hwang, Burger, Sammons, & Lowrie,
2005). Jenis-jenis validitas yang dapat dipakai sebagai kriterium dalam menetapkan tingkat
kehandalan tes, diantaranya adalah : a) Validitas Permukaan (Face Validity), b) Validitas Konsep
(Construct Validity), dan c) Validitas Isi (Content Validity).
Pengujian validitas konstruk, terutama validitas struktur sebuah tes sangat diperlukan
karena analisis empiris dari stuktur sebuah tes dapat mendukung atau menolak asumsi dari
pembuat tes bahwa tes tersebut konsisten mengukur apa yang secara teoritis ingin diukur (Boehm,
2011; Devena, Gay, & Watkins, 2013). Sehingga diperlukan pengujian validitas konstruk dan
reliabilitas Tes Inteligensi Kolektip Indonesia Tingkat Tinggi.
Konsep yang kedua adalah reliabilitas, yaitu merujuk pada konsistensi sebuah pengukuran
ketika prosedur sebuah tes diulang kembali (AERA, APA, NCME, 1999). Kerlinger (1986:443)
mengemukakan bahwa reliabilitas dapat ukur dari tiga kriteria yaitu: (1) Stability yaitu kriteria
yang menunjuk pada keajegan (konsistensi) hasil yang ditunjukan alat ukur dalam mengukur
gejala yang sama pada waktu yang berbeda. (2) Dependability yaitu kriteria yang mendasarkan
diri pada kemantapan alat ukur atau seberapa jauh alat ukur dapat diandalkan.
(3) Predictability: Oleh karena perilaku merupakan proses yang saling terkait dan
berkesinambungan, maka kriteria ini mengidealkan alat ukur yang dapat diramalkan hasilnya dan
meramalkan hasil pada pengukuran gejala selanjutnya.
Konsep yang ketiga adalah standardisasi. Standardisasi merupakan sebuah patokan yang
diperlukan dalam administrasi tes, yaitu kondisi dimana seharusnya tes diadministrasikan sesuai
dengan kondisi saat proses penormaan tes. Sehingga ketika sebuah tes dilakukan oleh orang lain
dengan proses yang sama, hasilnya akan cenderung ekuivalen (Firmin, Hwang, Burger,
Sammons, & Lowrie, 2005). Namun sampai saat ini belum ada studi yang di publish mengenai
validitas dan reliabilitas TIKI-T.
Dalam mengisi alat Tes Inteligensi Kolektip Indonesia tingkat Tinggi (TIKI-T) ini terdapat
satu tester untuk mengarahkan responden mengisi soal yang telah ditentukan dalam memilih
jawaban yang dianggap benar oleh responden. Sedangkan penyekoran dari jawaban responden
dapat dilakukan dengan menjumlahkan terlebih dahulu jawaban yang benar dari setiap subtes, lalu
dijumlahkan secara keseluruhan. Untuk melihat skor IQ dapat melihat norma dari alat tes Tes
Inteligensi Kolektip Indonesia tingkat Tinggi (TIKI-T).

Tanggapan: TIKI memiliki banyak manfaat dan fungsi baik untuk kaum akademisi ataupun
praktisi keilmuan psikologi, yaitu yang pertama adalah TIKI-D yang digunakan untuk
mengungkapkan tingkat kecerdasan bagi anak-anak kelas 6 SD, 1 SMP dan 2 SMP. Kedua adalah
TIKI-M yang diperuntukkan untuk anak yang berada pada tingkat sekolah menengah pertama
kelas tiga hingga sekolah menengah atas, penggunaan TIKI-M di Indonesia begitu penting antara
lain untuk seleksi Peserta Didik Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa (PDCI-BI), seleksi siswa
Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI), seleksi masuk sekolah, maupun untuk
keperluan diagnostik yang lain (Departemen Pendidikan Nasional, 2007). Kemudian, TIKI-T
ditujukan untuk kelas tertinggi SMA (Kelas 3 SMA) dan awal pendidikan tinggi terutama
digunakan untuk keputusan mengenai masuk ke universitas atau bentuk lain dari pendidikan tinggi
dan dunia kerja (Drenth & Dengah, 1976). Namun dibalik semua kegunaan tersebut, kebijaksanaan
dalam menggunakan tes sangat berpengaruh untuk ke-validan TIKI ini. Oleh sebab itu, kerja sama
antar pihak terkait perlu dilakukan demi menjaga validitas dan reliabilitas TIKI.

10. CPM (Coloured Progressive Matrices)


CPM (Colours Progressive Matrices) merupakan salah satu alat tes terbaik untuk mengatur
intelegensi umum, dimana CPM dapat mendeskripsikan kemampuan abstrak atau pemahaman non
verbal. CPM dipergunakan mengukur taraf kecerdasan bagi anak-anak yang berusia 5 sampai 11
tahun. CPM selain dapat digunakan bagi anak normal dapat pula digunakan bagi anak abnormal
atau mental defective. Dimana tes ini dapat disajikan secara individual atau klasikal.
CPM dikeluarkan pada tahun 1938 M oleh John C. Raven. merupakan salah satu tes
Raven’s Progressive Matrices (sering disebut hanya sebagai Matriks Raven’s) dari 2 tes lainnya,
yaitu Standar Progressive Matrices (SPM) dan Advanced Progressive Matrices (APM). Pertama
kali digunakan di Britania Raya pada tahun 1938 dalam penelitian mengenai asal usul genetic dan
lingkungan dari “kemampuan kognitif”.
Tes ini disusun berdasarkan pengukuran Spearman atas faktor umum. Bentuk tes CPM ada
dua macam yaitu berbentuk cetakan buku dan yang lainnya berbentuk papan dan gambar-
gambarnya tidak berbeda dengan yang di buku cetak. Aspek yang di ukur pada CPM adalah :
1. Berpikir logis atau bernalar, yaitu kemampuan untuk menarik kesimpulan yang sah menurut
aturan logika dan dapat membuktikan bahwa kesimpulan itu benar sesuai dengan pengetahuan
sebelumnya.
2. Kecakapan pengamatan ruang, yaitu kemampuan untuk membayangkan dan menganalisa ruang
dengan baik.
3. Kemampuan berpikir analogi, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah dengan
menggunakan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya untuk menyelesaikan masalah yang
baru.
4. Kemampuan memahami hubungan antara keseluruhan dan bagian, yaitu kemampuan untuk
memahami hubungan antara pola gambar besar dengan pola gambar kecil.

Kelemahan dan Kelebihan Tes CPM:


- Kelemahan
a. Tes tersaji dalam bentuk gambar atau simbol-simbol dan bukan uraian kata.
b. Dibutuhkan keahlian tester untuk menghadapi anak-anak karna instruksi pengerjaan yang harus
dipahami secara jelas oleh anak-anak.
- Kelebihan
a. Berwarna-warni sehingga menarik untuk anak-anak.
b. Dapat dipergunakan pula bagi orang tua berusia 60 tahun dengan jenjang pendidikan SMA.
c. Dapat disajikan secara individual maupun klasikal.

CPM terdiri dari 36 gambar, gambar-gambar tersebut dikelompokkan menjadi 3 kelompok


atau 3 set yaitu set A, set Ab, set B yang masing-masing terdiri dari 12 soal. Persoalan CPM
bergerak dari mudah ke sulit, yang menuntut keakuratan diskriminasi. Soal-soal yang lebih sulit
melibatkan analogi, permutasi, perubahan poin dan hubungan yang logis (Anastasi & Urbina,
2003). Setiap item terdiri dari sebuah gambar besar yang berlubang dan dibawahnya terdapat 6
gambar penutup.

Tanggapan: CPM dikeluarkan pada tahun 1938 M oleh John C.Raven. merupakan salah satu tes
Raven’s Progressive Matrices (sering disebut hanya sebagai Matriks Raven’s). Pertama kali
digunakan dalam penelitian mengenai asal usul genetic dan lingkungan dari “kemampuan
kognitif”. CPM (Colours Progressive Matrices) merupakan salah satu alat tes terbaik untuk
mengatur intelegensi umum, dimana CPM dapat mendeskripsikan kemampuan abstrak atau
pemahaman non verbal. Peserta tes CPM adalah anak-anak berusia 5-11 tahun baik normal
maupun bagi anak abnormal atau mental defective, dapat juga digunakan untuk orang-orang yang
lanjut usia dan bahkan untuk anak-anak defective. Salah satu kelemahannya adalah tes tersaji
dalam bentuk gambar atau simbol-simbol dan bukan uraian kata sedangkan salah satu
kelebihannya adalah gambar disajikan berwarna-warni sehingga menarik untuk anak-anak.
Persoalan CPM bergerak dari mudah ke sulit, yang menuntut keakuratan diskriminasi. Soal-soal
yang lebih sulit melibatkan analogi, permutasi, perubahan poin dan hubungan yang logis.

11. SON (Snijders Oomen Non Verbal Scale)

SON merupakan akronim dari Snijders Oomen Non Verbal Scale. SON merupakan tes
kecerdasan yang sesuai untuk anak-anak dan orang dewasa dari usia dua setengah sampai empat
puluh tahun. Yang pada umumnya digunakan untuk individu dengan rentang usia 3-16 tahun. Versi
pertama tes SON dikembangkan lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu oleh psikolog Nan Snijders-
Oomen, untuk mempelajari fungsi kognitif anak-anak tunarungu. Tujuan dari rangkaian tes ini
adalah untuk mematahkan kesebelasan tes kinerja non-verbal pada waktu itu dan untuk
memperluas fungsi yang dapat diakses untuk penelitian kecerdasan non-verbal. Revisi pertama
dari tes tersebut diterbitkan pada tahun 1958 oleh Dr. Nan Snijders-Oomen dan suaminya, profesor
Psikologi Jan Snijders. Rangkaian tes ini mencakup norma-norma untuk anak-anak tunarungu dan
pendengaran.

Tes ini disebut nonverbal karena dapat dilakukan tanpa harus menggunakan bahasa tertulis
atau lisan. Buku pedoman juga berisi instruksi verbal, tetapi teks lisan tidak mengandung informasi
tambahan dibandingkan dengan instruksi non-verbal. Alat tes ini juga tidak hanya sebatas untuk
individu dalam kondisi normal namun juga dapat digunakan untuk individu dengan disabilitas
seperti tuna rungu. Alat tes ini dapat digunakan oleh individu dengan tunarungu dikarenakan tes
SON berbentuk puzzle dan rangkaian gambar yang perlu dicocokan dan peserta tidak dituntut
untuk menjawab perintah yang diberikan.

Cara pemberian tes disesuaikan dengan kemampuan komunikatif subjek untuk


menciptakan situasi tes yang alami. Tes tersebut memberikan skor kecerdasan yang menunjukkan
bagaimana kinerja seseorang dibandingkan dengan orang lain pada usia yang sama. SON sendiri
dirancang mulai pada tahun 1939 – 1942, di Amsterdam dan kemudian dalam perkembangannya
banyak dilakukan revisi-revisi pada aitem alat tes ini (Nuraeni, 2012).

Tanggapan: Tes SON dikembangkan lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu oleh psikolog Nan
Snijders-Oomen, SON merupakan tes kecerdasan yang sesuai untuk anak-anak dan orang dewasa
dari usia dua setengah sampai empat puluh tahun. Yang pada umumnya digunakan untuk individu
dengan rentang usia 3-16 tahun. Tes ini disebut nonverbal karena dapat dilakukan tanpa harus
menggunakan bahasa tertulis atau lisan. Karena tes SON adalah tes yang non-lingualisme maka
tes ini sangat tepat untuk menilai individu dengan masalah atau cacat di bidang bahasa,
perkembangan bicara dan komunikasi. Tes ini merupakan tes ramah anak karena sifat adaptif
mereka dan umpan balik yang diterima peserta. Ini membuat tes dapat diterapkan dengan baik
untuk menilai anak-anak yang sulit diuji. Cara pemberian tes disesuaikan dengan kemampuan
komunikatif subjek untuk menciptakan situasi tes yang alami. Tes tersebut memberikan skor
kecerdasan yang menunjukkan bagaimana kinerja seseorang dibandingkan dengan orang lain pada
usia yang sama.

12. TKD (Tes Kemampuan Diferensial)


TKD atau yang merupakan kependekan dari Test Kemampuan Diferensial merupakan
sebuah test inteligensi, dan termasuk ke dalam battery test, yang mencakup beberapa macam aspek
inteligensi individu. TKD ialah test yang merupakan pengembangan tes psikologi, yang mana ia
juga bisa juga disebut sebagai penerus dari tes yang bernama TINTUM Test yang mulai
dikembangkan pada tahun 1976. Diperuntukkan untuk usia 15 tahun ke atas atau lulusan sekolah
lanjutan atas (untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun memasuki
pekerjaan), yang memiliki tujuan untuk seleksi, diagnosis, atau lainnya, dalam bidang pendidikan
ataupun pekerjaan. Saat ini, TKD sudah disesuaikan dengan kebudayaan dan juga kondisi nilai-
nilai yang berlaku di Indonesia, sehingga menjadi salah satu test inteligensi yang banyak
digunakan secara general dan umum.

Dasar teori dari pengembangan TKD ini sendiri adalah teori inteligensi yang diungkapkan
oleh Thurstone. Thurstone mengatakan bahwa inteligensi manusia merupakan sebuah Primary
Mental Abilities, dimana terdapat 7 buah aspek kecerdasan dan juga kemampuan yang ada pada
diri manusia. TKD sendiri secara teknis hanya menggunakan 5 aspek kecerdasan, yaitu verbal
meaning, perceptual speed, reasoning, number facility, dan spatial relation.

1. Verbal Meaning

Merupakan aspek kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan verbal individu, memahami
bentuk-bentuk verbal, misalnya seperti memaknai suatu ucapan, ataupun mendefinisikan suatu
informasi yang ada.

2. Perceptual Speed

Merupakan kemampuan atau aspek kecerdasan individu yang berhubungan dengan kemampuan
perseptual yang cepat dan efektif.

3. Reasoning

Merupakan kemampuan individu dalam melakukan penalaran dan juga menggunakan rasio dan
pemikiran dalam melakukan sesuatu.

4. Number Facility
Aspek kecerdasan ini berhubungan dengan kemampuan individu dalam mengolah angka, baik
dalam bentuk pengolahan hitungan, dan juga pemahaman mengenai angka, seperti misalnya pada
deret angka.

5. Spatial Relation

Merupakan aspek kecerdasan manusia yang berhubungan dengan kemampuan dalam hubungan
spasial atau hubungan antar ruang.

Dalam penerapannya, TKD biasa menggunakan lembar jawaban dan juga buku TKD yang
terdiri dari 10 buah subtest. Berikut ini adalah kesepuluh subtest yang ada di dalam TKD:

1. Comprehension

Pada subtest ini, peserta atau klien akan dihadapkan pada soal-soal yang berhubungan dengan
penalaran, dan juga pemahaman mereka terhadap aturan-aturan yang berlaku.

2. Information

Subtest ini sama seperti subtest informasi pada skala inteligensi Wechsler, yaitu menuntut peserta
atau klien untuk memahami mengenai informasi dan juga pengetahuan-pengetahuan umum yang
ada.

3. Analogi Verbal

Pada subtest analogi verbal, klien atau peserta diminta untuk melakukan analogi dan penalaran
terhadap persoalan-persoalan verbal yang disajikan dalam subtest ketiga ini.

4. Logika

Subtest ini menuntut peserta atau klien untuk melakukan proses penalaran menggunakan logika,
dan menuntut munculnya adaptasi dan juga proses berpikir rasional.

5. Aritmethic

Merupakan subtest yang berhubungan dengan operasi matematika alias hitungan.

6. Deret Angka
Klien atau peserta diminta untuk melanjutkan deret angka yang tersedia, bisa dengan
menggunakan perkalian, pertambahan, pengurangan, ataupun kombinasi dari beberapa fungsi dan
operasi matematika yang baku.

7. Sinonim

Klien atau peserta diminta untuk memilih persamaan kata atau sinonim dari masing-masing kata
yang tersedia didalam subtest ke 7 ini.

8. Difference

Peserta atau klien diminta untuk memilih pola-pola yang berbeda di antara serangkaian pilihan
jawaban yang tersedia.

9. Spatial Relation

Peserta atau klien akan dihadapkan pada serangkaian bentuk dua dimensi. Peserta diminta untuk
fokus pada satu titik atau bagian, lalu membayangkan bentuk tersebut sehingga berbentuk 3
dimensi, dan bias diputar, dibalik, ataupun dirubah posisinya, lalu memilih satu pilihan jawaban
berdasarkan pola yang paling mungkin muncul.

10. Perceptual Speed

Merupakan subtest terakhir yang membutuhkan kemampuan persepsi yang baik. Peserta dan juga
klien dituntut untuk mengoptimalkan kemampuan persepsi mereka dalam mengerjakan soal.

TKD adalah bentuk battery test, yang dapat dilakukan secara klasikal alias berkelompok.
Dalam melaksanakan test ini, baik tester maupun peserta atau klien harus fokus dan juga
konsentrasi, karena TKD diadministrasikan tidak secara berurutan, dan beberapa subtest pada
TKD membutuhkan penjelasan yang detail mengenai instruksi dan juga cara pengerjaan, misalnya
pada subtest spatial dan juga perceptual speed.

Secara umum, TKD mampu untuk mengungkapkan inteligensi yang dimiliki oleh individu
secara penuh, berdasarkan teori dan juga aspek inteligensi yang dikemukakan oleh Thurstone.

Tanggapan: TKD atau yang merupakan kependekan dari Test Kemampuan Diferensial merupakan
sebuah test inteligensi, dan termasuk ke dalam battery test, yang mencakup beberapa macam aspek
inteligensi individu. Diperuntukkan untuk usia 15 tahun ke atas atau lulusan Sekolah Menengah
Atas (untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun memasuki pekerjaan). Yang
memiliki tujuan penting yaitu untuk seleksi, diagnosis, atau lainnya, dalam bidang pendidikan
ataupun pekerjaan. Secara umum, TKD mampu untuk mengungkapkan inteligensi yang dimiliki
oleh individu secara penuh, berdasarkan teori dan juga aspek inteligensi yang dikemukakan oleh
Thurstone. Saat ini, TKD sudah disesuaikan dengan kebudayaan dan juga kondisi nilai- nilai yang
berlaku di Indonesia, sehingga menjadi salah satu test inteligensi yang banyak digunakan secara
general dan umum.

Anda mungkin juga menyukai