Disusun Oleh :
1.Ana Nur Hidayah (16.1.01.11.0003)
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah rahmat dan karunia-Nya
sehingga makalah yang berjudul “anak tunalaras” dapat terselesaikan dalam waktu yang telah
ditentukan dan tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Rosa Imani Khan,M.Psi.
yang telah membimbing kami pada mata kuliah penanganan anak berkelainan
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat
kekurangan, khususnya menyangkut masalah pembahasan yang kesemuanya itu disebabkan oleh
minimnya pengetahuan kami, maka dari itu kami butuhkan saran dan kritik yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………….
C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………………
BAB II Pembahasan………………………………………………………………………
A. Kesimpulan ……………………………………………………………………………
B. Saran ……………………………………………………………………………………
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian anak tuna laras
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab anak tuna laras
3. Untuk mengetahui karakteristik anak tuna laras
4. Untuk mengetahui cara menangani anak tuna laras
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah resmi “tuna laras” baru dikenal dalam dunia Pendidikan Luar Biasa (PLB).
Istilah tersebut berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” yang berarti
sesuai. Jadi, anak tuna laras berarti anak yang bertingkah laku kurang/ tidak sesuai
dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku di dalam masyarakat tempat ia berada. Anak tuna laras sering disebut dengan
anak tuna sosial karena tingkah laku mereka menunjukkan penentangan yang terus
menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri,
mengganggu dan menyakiti orang lain (Soemantri, 2006).
Menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 12 Tahun 1952, anak
tuna laras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/ berkelainan,
tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan/ norma-norma sosial
dengan frekuensi cukup besar, tidak/ kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok
dan orang lain, serta mudah terpengaruh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri
sendiri maupun lorang lain.
Dalam dokumen kurikulum SLB bagian E tahun 1977 menyebutkan, yang
disebut tuna laras adalah:
(1) anak yang mengalami gangguan/ hambatan emosi dan tingkah laku sehingga
tidak/ kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap lingkungan, sekolah,
maupun masyarakat;
(2) anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang berlaku
dimasyarakat;
(3)anak yang melakukan kejahatan.
Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih
terarah pada definisi Eli M Bower (1981) yang menyatakan bahwa anak dikatakan memiliki
hambatan emosional atau kelainan perilaku apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari
lima komponen berikut ini:
a. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, pengindraan atau
kesehatan
b. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang menyenangkan dengan teman dan guru
c. Bertingkahlaku yang tidak pantas pada keadaan normal
d. Perasaan tertekan atau tidak bahagia terus-menerus
e. Cenderung menunjukkan gejala-gejala fisik seperti takut pada masalah-masalah sekolah
(Delphie, 2006)
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang diidentifikasikan mengalami
gangguan atau penyimpangan perilaku adalah individu yang :
a. Tidak mampu mendefinisikan dengan tepat kesehatan mental dan perilaku yag normal
b. Tidak mampu mengukur emosi dan perilakunya sendiri
c. Mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi sosialisasi (Hallahan& Kauffman, 1991)
Beberapa komponen yang penting diperhatikan dalam menilai seorang anak mengalami
gangguan emosi/ perilaku atau tidak, yaitu :
a. Adanya penyimpangan perilaku yang terus menerus menurut norma yang berlaku sehingga
menimbulkan ketidakmampuan belajar dan penyesuaian diri
b. Penyimpangan itu tetap ada walaupun telah menerima layanan belajar serta bimbingan.
1. Anak yang mengalami gangguan perilaku yang kacau (conduct disorder) mengacu pada anak yang
melawan pada peraturan, hiperaktif dll.
2. Anak yang cemas-menarik diri (anxicus-withdraw) yaitu anak yang pemalu, suka menyendiri,
minder dll. Mereka tertekan batinnya.
3. Dimensi ketidakmatangan (immaturity) mengacu pada anak yang lambat, kurang perhatian,
pemalas dll. Mereka mirip anak autistik.
4. Anak agresi sosialisasi (sozialized-aggressive) memiliki ciri yang mirip dengan gangguan perilaku
yang bersosialisasi dengan “genk” tertentu. Umumnya mereka menjadi ancaman bagi masyarakat
umum.
Pendapat lain menyebutkan bahwa anak yang dikategorikan mengalami kelainan penyesuaian
perilaku adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku dirumah, disekolah dan dimasyarakat lingkungannya (Mackie, 1957). Subgrup dari bentuk
kelainan penyesuaian sosial (social maladjusted) ini adalah delinquent. Batasan tentang delinquent itu
sendiri hanya diberikan jika anak terlibat dalam konflik atau pelanggaran hukum, children who have
in conflict with the law (Kirk, 1970).
Sebagaimana jenis ketunaan yang lain, anak yang dikategorikan berkelainan perilaku (tuna
laras) dapat dikelompokkan dalam jenjang, mulai jenjang sangat ringan sampai sangat berat.
Berikut ini beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas berat
ringannya ketuna larasan (Riadi, 1978; Patton, 1991).
a. Besar kecilnya gangguan emosi. Makin dalam perasaan negatif, makin berat penyimpangan
b. Frekuensi tindakan. Semakin sering dan kurangnya penyesalan setelah melakukan
perbuatan yang tidak baik, dianggap makin berat penyimpangannya
c. Berat ringan kejahatan yang dilakukan. Disesuaikan dengan peraturan hukum pidana
d. Tempat dan situasi pelanggaran/ kenakalan dilakukan. Dianggap berat jika berani
melakukannya di lingkungan masyarakat
e. Mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik.
f. Tunggal atau gandanya ketunaan yang dialami. Jika mempunyai ketunaan lain, masuk
dalam kategori berat dalam pembinaannya.
Selain karakteristik diatas, berikut ini karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik, sosial/
emosional dan fisik/ kesehatan anak tuna laras.
1. Karakteristik Akademik :
Kelainan perilaku mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibatnya,
dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Hasil belajar dibawah rata-rata
b. Sering berurusan dengan guru BK
c. Tidak naik kelas
d. Sering membolos
e. Sering melakukan pelanggaran, baik disekolah maupun dimasyarakat, dll
2. Karakteristik Sosial/ Emosional :
Karakteristik sosial/ emosional tuna laras dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Karakteristik Sosial
1) Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain :
- Perilaku itu tidak diterima masyarakat, biasanya melanggar norma budaya
- Perilaku itu bersifat menggangu, dan dapat dikenai sanksi oleh kelompok sosial
2) Perilaku itu ditandai dengan tindakan agresif, yaitu :
- Tidak mengikuti aturan
- Bersifat mengganggu
- Bersifat membangkang dan menentang
- Tidak dapat bekerjasama
3) Melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan remaja
b. Karakteristik Emosional
a) Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, misalnya tekanan batin dan rasa cemas
b) Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat perasa/ sensitif
2. Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas.
Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena
kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.
Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa pendidikan yang tepat untuk anak-anak
Tunalaras ini adalah pendidikan Inklusi.
1. Pendidikan inklusi ini sendiri merupakan pendidikan tidak berpihak pada homogenitas
sekelompok siswa. Dengan kata lain secara implikasi pendidikan ini merupakan
pendidikan yang tidak mengenal penyetaraan baik kemampuan akademik maupun non
akademik bagi calon siswa, dan tidak pula mengenal istilah „mengeluarkan‟ siswa dari
sekolah karena bermasalah. Pendidikan ini memungkinkan siswa untuk belajar bersama
dengan anak normal lainnya, dan menyatakan penerimaan sepenuhnya pada anak
berkebutuhan khusus, termasuk didalamnya anak-anak tunalaras.
3. Pendidikan inklusi selalu melakukan checks dan balances. Pendidikan inklusi bukan
hanya diatur oleh pihak formal, pemerintah dan sekolah sebagai penyelenggara. Dimana
pendidikan ini memerlukan keseimbangan terkait pihak-pihak yang berkaitan dengan
siswa itu sendiri, seperti orang tua, masyarakat, serta ahli terkait dengan karakteristik
khusus (Farrell, 2008).
Sejalan dengan pendidikan Inklusi, hal yang juga penting untuk pendidikan anak Tunalaras
adalah Welcoming school. Ketika komunitas sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja
bersama-sama untuk meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan
mempromosikan keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan salah satu ciri
dari sekolah yang ramah (Welcoming School).
Welcoming School ini telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca (Salamanca
Statement 1994) yang ditetapkan pada konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus
tahun 1994 yang mengakui bahwa “Pendidikan untuk Semua” (Education for All) sebagai suatu
institusi. Hal ini bisa dimaknai bahwa setiap anak dapat belajar (all children can learn), setiap
anak berbeda (each children are different) dan perbedaan itu merupakan kekuatan (difference ist
a strength), dengan demikian kualitas. proses belajar perlu ditingkatkan melalui kerjasama
dengan siswa, guru, orang tua, dan komunitas atau masyarakat.
Di Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) semua komunitas sekolah mengerti bahwa
tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa
aman dan nyaman (to be save and secure), untuk mengembangkan diri (to develop a sense of
self), untuk membuat pilihan (to make choices), untuk berkomunikasi (to communicate), untuk
menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup dalam situasi
dunia yang terus berubah (live in a changing world), untuk menghadapi banyak transisi dalam
hidup, dan untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued contributions).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak tuna laras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak
tuna laras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma
masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. Selain
itu, anak tuna laras merupakan anak yang mengalami hambatan/ kesulitan untuk
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-
norma yang berlaku dan dalam kehidupan sehari-hari sering disebut anak nakal sehingga
dapat meresahkan/ mengganggu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Faktor penyebab tuna laras dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu faktor internal
seperti keturunan, kondisi fisik dan psikis. Sedang faktor eksternal berupa lingkungan, baik
keluarga, sekolah ataupun masyarakat.
Secara umum, anak tuna laras dibagi menjadi 4 kategori yang masing-masing
mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu :
1. Anak yang agresif bersosialisasi
2. Anak yang kurang dewasa
3. Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri
4. Anak yang mengalami gangguan perilaku
Anak tuna laras sebagaimana anak luar biasa lainnya berhak memperoleh pendidikan
agar dapat berkembang optimal dan mampu mencapai kehidupan yang layak. Tujuan
diselenggarakannya layanan pendidikan bagi anak tuna laras adalah untuk membantu anak
didik penyandang perilaku sosial dan emosi, agar mampu mengembangkan sikap,
pengetahuan dan keterampilan baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat
dalam menggalakkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam
sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti
pendidikan selanjutnya.
B. Saran
Berdasarkan dari kesimpulan yang penulis paparkan diatas, maka dapat disarankan
bahwa:
1. Para guru di sekolah reguler perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan beserta karakteristik
anak dengan gangguan emosi dan perilaku agar mampu melakukan identifikasi terhadap mereka,
baik yang sudah menjadi terdaftar sebagai peserta didik pada sekolah yang bersangkutan maupun
yang belum masuk sekolah yang ada atau bertempat tinggal di sekitar sekolah.
2. Seorang guru diharapkan bias membedakan cirri-ciri serta karakteristik anak berkebutuhan
khusus
3. Dengan mengetahui penyebab anak memiliki hambatan emosi dan perilaku maka seorang guru
diharapkan dapat mencegah terulang kembali pada anak yang normal.
4. Dengan mengetahui layanan bimbingan anak berkebutuhan khusus disni hambatan emosi dan
perilaku diharapkan seorang guru dapat maksimalkan dalam memberikan pengajaran di kelas.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.ditplb.or.id/profile.
http://id.wikipedia.org/wiki.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132318126/ARTIKEL%202006%20IDENTIFIKASI.pdf
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/13
http://singkrof.blogspot.com/2012/06/anak-dengan-gangguan-emosi-dan-perilaku.html
http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=74 (diakses 20 September 2019, pukul
21.00)