Anda di halaman 1dari 17

ANAK TUNA LARAS

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI MATA KULIAH

PENANGANAN ANAK BEKELAINAN

Dosen Pengampu : ROSA IMANI KHAN, M.Psi.

Disusun Oleh :
1.Ana Nur Hidayah (16.1.01.11.0003)

2. Yesi Karela ( 16.1.01.11.0011)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU ANAK USIA DINI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NUSANTARA PGRI KEDIRI
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT karena atas berkah rahmat dan karunia-Nya
sehingga makalah yang berjudul “anak tunalaras” dapat terselesaikan dalam waktu yang telah
ditentukan dan tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Rosa Imani Khan,M.Psi.
yang telah membimbing kami pada mata kuliah penanganan anak berkelainan
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini banyak terdapat
kekurangan, khususnya menyangkut masalah pembahasan yang kesemuanya itu disebabkan oleh
minimnya pengetahuan kami, maka dari itu kami butuhkan saran dan kritik yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah ini.

Kediri, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………….

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………

DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. ……..

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………

A.Latar Belakang ………………………………………………………… ………………

B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………….

C. Tujuan Penulisan………………………………………………………………………

BAB II Pembahasan………………………………………………………………………

A. Pengertian anak Tuna laras .……………………………………………….. ……….

B. Klasiikasi anak Tuna laras .…………………………………………………………..

C. Faktor-Faktor penyebab Tuna laras …………………………………………………

D. Karakteristik anak Tuna laras .. ……………………………………………………..

E. Cara menangani anak Tuna laras…………………………………………………….

F. Vidio anak tunagrahita…………………………………………………………………

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………

A. Kesimpulan ……………………………………………………………………………

B. Saran ……………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………..


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Semua anak, baik normal maupun tuna (berkelainan) memiliki kesempatan sama di
dalam hal pendidikan dan pengajaran. Namun harus diakui bahwa anak yang mengalami
ketunaan memiliki berbagai hambatan dan kelainan baik dalam kondisi fisik maupun
psikisnya sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dalam
kehidupannya.
Anak luar biasa diasumsikan berkaitan dengan kondisi jasmani maupun rohani yang
berkelainan dibanding anak normal. Oleh karena itu anak digolongkan luar biasa apabila anak
itu tidak masuk pada kategori sebagai anak normal baik fisik, mental maupun intelegensinya.
Permasalahan mendasar bagi anak-anak luar biasa, biasanya ditunjukkan dengan perilakunya
ketika melakukan aktivitas bersama dengan anak-anak normal pada umumnya. Contoh, ketika
bergaul mereka menghadapi sejumlah kesulitan baik dalam kegiatan fisik, psikologis maupun
sosial. Keadaan seperti ini mempengaruhi kemampuan dalam hal sosialisasi dan interaksi
sosial terhadap lingkungan sekitarnya atau dalam pergaulan sehari-harinya. Keluarbiasaan
jenis apapun yang disandang anak tuna merupakan pengalaman personal. Ini berarti siapapun
yang berada diluar dirinya tidak akan merasakan tanpa ia mengerti, memahami dan
mengalaminya. Anak atau siswa tuna laras yang satu dengan yang lain belum tentu sama apa
yang dipikirkannya.
Jadi meskipun sama-sama mengalami ketunaan, belum tentu apa yang dirasakan
seseorang sama dengan yang dirasakan anak tuna-tuna lainnya. Dengan adanya keluarbiasaan
dalam diri seseorang sering eksistensinya sebagai makhluk sosial dapat saja terganggu.
Sebagai akibat dari ketunaan dan pengalaman pribadi anak itu maka efek psikologis yang
ditimbulkannya juga tergantung dari seberapa berat ketunaan yang disandangnya itu, kapan
saat terjadinya kecacatan, seberapa besar kualitas kecacatan dan karakteristik susunan
kejiwaan anak atau siswa tersebut sangat mempengaruhi kondisi psikologisnya Dari beberapa
kajian yang telah dilakukan terhadap isolasi sosial anak, menunjukkan anak sering menjadi
kaku, mudah marah dan bila dihubungkan dengan perilakunya menunjukkan seakan bukan
pemaaf dan tidak mempunyai rasa sensitif terhadap orang lain. Hal lain menunjukkan bahwa
anak-anak seperti itu mempunyai kesulitan mendasar dalam hal sosialisasi dan bahkan
komunikasi.
Sifat-sifat seperti itu merupakan rintangan utama dalam melakukan kepuasan
hubungan interpersonal bagi anak-anak luar biasa.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian anak tuna laras ?
2. Apa saja klasifikasi anak tuna laras ?
3. Apa saja faktor-faktor penyebab anak tuna laras ?
4. Apa saja Karakterstik anak tuna laras?
5. Bagaimana cara menangani anak tuna laras ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian anak tuna laras
2. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab anak tuna laras
3. Untuk mengetahui karakteristik anak tuna laras
4. Untuk mengetahui cara menangani anak tuna laras
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak Tuna Laras

Istilah resmi “tuna laras” baru dikenal dalam dunia Pendidikan Luar Biasa (PLB).
Istilah tersebut berasal dari kata “tuna” yang berarti kurang dan “laras” yang berarti
sesuai. Jadi, anak tuna laras berarti anak yang bertingkah laku kurang/ tidak sesuai
dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku di dalam masyarakat tempat ia berada. Anak tuna laras sering disebut dengan
anak tuna sosial karena tingkah laku mereka menunjukkan penentangan yang terus
menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri,
mengganggu dan menyakiti orang lain (Soemantri, 2006).
Menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 12 Tahun 1952, anak
tuna laras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/ berkelainan,
tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan/ norma-norma sosial
dengan frekuensi cukup besar, tidak/ kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok
dan orang lain, serta mudah terpengaruh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri
sendiri maupun lorang lain.
Dalam dokumen kurikulum SLB bagian E tahun 1977 menyebutkan, yang
disebut tuna laras adalah:
(1) anak yang mengalami gangguan/ hambatan emosi dan tingkah laku sehingga
tidak/ kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap lingkungan, sekolah,
maupun masyarakat;
(2) anak yang mempunyai kebiasaan melanggar norma umum yang berlaku
dimasyarakat;
(3)anak yang melakukan kejahatan.

Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih
terarah pada definisi Eli M Bower (1981) yang menyatakan bahwa anak dikatakan memiliki
hambatan emosional atau kelainan perilaku apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari
lima komponen berikut ini:
a. Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, pengindraan atau
kesehatan
b. Ketidakmampuan menjalin hubungan yang menyenangkan dengan teman dan guru
c. Bertingkahlaku yang tidak pantas pada keadaan normal
d. Perasaan tertekan atau tidak bahagia terus-menerus
e. Cenderung menunjukkan gejala-gejala fisik seperti takut pada masalah-masalah sekolah
(Delphie, 2006)
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang diidentifikasikan mengalami
gangguan atau penyimpangan perilaku adalah individu yang :
a. Tidak mampu mendefinisikan dengan tepat kesehatan mental dan perilaku yag normal
b. Tidak mampu mengukur emosi dan perilakunya sendiri
c. Mengalami kesulitan dalam menjalankan fungsi sosialisasi (Hallahan& Kauffman, 1991)
Beberapa komponen yang penting diperhatikan dalam menilai seorang anak mengalami
gangguan emosi/ perilaku atau tidak, yaitu :
a. Adanya penyimpangan perilaku yang terus menerus menurut norma yang berlaku sehingga
menimbulkan ketidakmampuan belajar dan penyesuaian diri
b. Penyimpangan itu tetap ada walaupun telah menerima layanan belajar serta bimbingan.

B. Klasifikasi Tuna Laras


Secara garis besar anak tuna laras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami
kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial (social maladjusted) dan anak yang
mengalami gangguan emosi (emotional disturb). William M. C (1975) mengemukakan kedua
klasifikasi tersebut sebagai berikut :
1. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial :
a. The semi-socialize child
Anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial namun terbatas
hanya pada lingkungan tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan norma/ aturan yang ada
dikelompok/ keluarganya dengan norma/ aturan yang ada di masyarakat.
b. Children arrested at a primitive level of socialization
Anak pada kelompok ini perkembangan sosialnya berhenti pada tingkatan yang rendah. Hal
ini disebabkan mereka tidak mendapat bimbingan dan dorongan dari orangtuanya kearah sikap sosial
yang benar, sehingga dalam berperilaku mereka cenderung didorong oleh nafsu.
c. Children arrested with minimum socialization capacity
Anak dalam kelompok ini sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk belajar sikap-
sikap sosial. Hal ini disebabkan mereka tidak pernah mengenal kasih sayang, sehingga mereka
cenderung bersikap apatis dan egois.
2. Anak yang mengalami gangguan emosi, yaitu :
a. Neurotic behavior
Anak dikelompok ini masih dapat bergaul dengan orang lain, namun mereka mempunyai
masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Anak seperti ini biasanya disebabkan oleh sikap
keluarga yang menolak atau terlalu memanjakan mereka, kesalahan pengajaran atau karena kesulitan
belajar yang berat
b. Children with psycotic processes
Mereka mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih
khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan nyata, hal tersebut disebabkan oleh gangguan
pada sistem syaraf akibat keracunan, minuman keras atau narkoba.
Menurut Quay (1979) dalam Samuel A. Kirk and James J. Gallagher (1986) yang dialih bahasakan
oleh Moh. Amin dkk (1991 : 51) mengelompokkan sebagai berikut :

1. Anak yang mengalami gangguan perilaku yang kacau (conduct disorder) mengacu pada anak yang
melawan pada peraturan, hiperaktif dll.
2. Anak yang cemas-menarik diri (anxicus-withdraw) yaitu anak yang pemalu, suka menyendiri,
minder dll. Mereka tertekan batinnya.
3. Dimensi ketidakmatangan (immaturity) mengacu pada anak yang lambat, kurang perhatian,
pemalas dll. Mereka mirip anak autistik.
4. Anak agresi sosialisasi (sozialized-aggressive) memiliki ciri yang mirip dengan gangguan perilaku
yang bersosialisasi dengan “genk” tertentu. Umumnya mereka menjadi ancaman bagi masyarakat
umum.
Pendapat lain menyebutkan bahwa anak yang dikategorikan mengalami kelainan penyesuaian
perilaku adalah anak yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku dirumah, disekolah dan dimasyarakat lingkungannya (Mackie, 1957). Subgrup dari bentuk
kelainan penyesuaian sosial (social maladjusted) ini adalah delinquent. Batasan tentang delinquent itu
sendiri hanya diberikan jika anak terlibat dalam konflik atau pelanggaran hukum, children who have
in conflict with the law (Kirk, 1970).
Sebagaimana jenis ketunaan yang lain, anak yang dikategorikan berkelainan perilaku (tuna
laras) dapat dikelompokkan dalam jenjang, mulai jenjang sangat ringan sampai sangat berat.
Berikut ini beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk menentukan intensitas berat
ringannya ketuna larasan (Riadi, 1978; Patton, 1991).
a. Besar kecilnya gangguan emosi. Makin dalam perasaan negatif, makin berat penyimpangan
b. Frekuensi tindakan. Semakin sering dan kurangnya penyesalan setelah melakukan
perbuatan yang tidak baik, dianggap makin berat penyimpangannya
c. Berat ringan kejahatan yang dilakukan. Disesuaikan dengan peraturan hukum pidana
d. Tempat dan situasi pelanggaran/ kenakalan dilakukan. Dianggap berat jika berani
melakukannya di lingkungan masyarakat
e. Mudah sukarnya dipengaruhi untuk bertingkah laku baik.
f. Tunggal atau gandanya ketunaan yang dialami. Jika mempunyai ketunaan lain, masuk
dalam kategori berat dalam pembinaannya.

C. Faktor-faktor Penyebab Tuna Laras


Secara tepat beberapa penyebab dari gangguan emosi dan perilaku dalam individu
biasanya tidak diketahui karena sejumlah variabel yang terlibat. Kita jarang mampu melacak
setiap satu variabel dengan kepastian sebagai penyebab gangguan emosi dan perilaku. Namun
demikian, empat area umum diidentifikasi turut berperan untuk terjadinya gangguan emotioal
dan perilaku: biologis, lingkungan atau keluarga, sekolah, dan masyarakat. Diantaranya
sebagai berikut:
1. Faktor biologis
Beberapa penyebab biologis telah ditemukan berhubungan dengan gangguan emosi
dan perilaku tertentu. Contohnya termasuk anak-anak yang lahir dengan sindrom alkohol
janin yang menunjukkan masalah dalam pengendalian impuls dan hubungan interpersonal
yang dihasilkan dari kerusakan otak. Malnutrisi dapat juga menyebabkan perubahan perilaku
dalam penalaran dan berpikir (Ashem dan Janes, 1978). Selain itu, kelainan seperti
skizofrenia mungkin memiliki dasar genetik.
2. Faktor lingkungan atau keluarga
Keluarga sangat penting dalam perkembangan anak-anak. Interaksi negatif atau tidak
sehat di dalam keluarga seperti pelecehan dan penelantaran, kurangnya pengawasan, minat,
dan perhatian, dapat
3. Faktor Sekolah
Guru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam interaksi dengan siswa. Interaksi
positif dan produktif guru-murid dapat meningkatkan pembelajaran siswa dan perilaku
sekolah yang sesuai serta memberikan dukungan ketika siswa mengalami masa-masa sulit.
Lingkungan akademik yang tidak sehat dengan guru yang tidak terampil atau tidak sensitif
dapat menyebabkan atau memperburuk perilaku atau gangguan emosi yang sudah ada.
4. Faktor Masyarakat
Masalah masyarakat, seperti kemiskinan ekstrim disertai dengan gizi buruk, keluarga
yang tidak berfungsi, berbahaya dan lingkungan yang penuh kekerasan, dan perasaan putus
asa, dapat mengakibatkan atau memperburuk gangguan emosi atau perilaku.

D. Karakteristik Anak Tuna laras


Karakteristik yang dikemukakan Hallahan dan kauffman (1986) berdasarkan dimensi tingkah
laku anak tuna laras adalah sebagai berikut :
1. Anak yang mengalami gangguan perilaku
a. berkelahi, memukul menyerang
b. Pemarah
c. Pembangkang
d. Suka merusak
e. Kurang ajar, tidak sopan
f. Penentang, tidak mau bekerjasama
g. Suka menggangu
h. Suka ribut, pembolos
i. Mudah marah, Suka pamer
j. Hiperaktif, pembohong
k. Iri hati, pembantah
l. Ceroboh, pengacau
m. Suka menyalahkan orang lain
n. Mementingkan diri sendiri

2. Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri


a. Cemas
b. Tegang
c. Tidak punya teman
d. Tertekan
e. Sensitif
f. Rendah diri
g. Mudah frustasi
h. Pendiam
i. Mudah bimbang
3. Anak yang kurang dewasa
a. Pelamun
b. Kaku
c. Pasif
d. Mudah dipengaruhi
e. Pengantuk
f. Pembosan

4. Anak yang agresif bersosialisasi


a. Mempunyai komplotan jahat
b. Berbuat onar bersama komplotannya
c. Membuat genk
d. Suka diluar rumah sampai larut
e. Bolos sekolah
f. Pergi dari rumah

Selain karakteristik diatas, berikut ini karakteristik yang berkaitan dengan segi akademik, sosial/
emosional dan fisik/ kesehatan anak tuna laras.
1. Karakteristik Akademik :
Kelainan perilaku mengakibatkan penyesuaian sosial dan sekolah yang buruk. Akibatnya,
dalam belajarnya memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Hasil belajar dibawah rata-rata
b. Sering berurusan dengan guru BK
c. Tidak naik kelas
d. Sering membolos
e. Sering melakukan pelanggaran, baik disekolah maupun dimasyarakat, dll
2. Karakteristik Sosial/ Emosional :
Karakteristik sosial/ emosional tuna laras dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Karakteristik Sosial
1) Masalah yang menimbulkan gangguan bagi orang lain :
- Perilaku itu tidak diterima masyarakat, biasanya melanggar norma budaya
- Perilaku itu bersifat menggangu, dan dapat dikenai sanksi oleh kelompok sosial
2) Perilaku itu ditandai dengan tindakan agresif, yaitu :
- Tidak mengikuti aturan
- Bersifat mengganggu
- Bersifat membangkang dan menentang
- Tidak dapat bekerjasama
3) Melakukan tindakan yang melanggar hukum dan kejahatan remaja

b. Karakteristik Emosional
a) Hal-hal yang menimbulkan penderitaan bagi anak, misalnya tekanan batin dan rasa cemas
b) Ditandai dengan rasa gelisah, rasa malu, rendah diri, ketakutan dan sifat perasa/ sensitif

c. Karakteristik Fisik/ kesehatan :


Pada anak tuna laras umumnya masalah fisik/ kesehatan yang dialami berupa
gangguan makan, gangguan tidur atau gangguan gerakan. Umumnya mereka merasa ada yang
tidak beres dengan jasmaninya, ia mudah mengalami kecelakaan, merasa cemas pada
kesehatannya, seolah-olah merasa sakit, dll. Kelainan lain yang berupa fisik yaitu gagap,
buang air tidak terkontrol, sering mengompol, dll.

E. Cara menangani anak tuna laras

Di dalam pelaksanaannya beberapa bentuk penyelenggaraan pendidikan anak tunalaras


antara lain adalah sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler.
Jika diantara murid di sekolah tersebut ada anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan
segera para pembimbing memperbaiki mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di
kelas, hanya mereka mendapat perhatian dan layanan khusus.

2. Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada satu kelas.

Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah lakunya


dipelajari.Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas khusus itu ada pada tiap
sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang
oleh seorang pendidik yang berlatar belakang PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh
seorang guru yang cakap membimbing anak.

3. Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama

Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah belajarnya dengan kata kawan yang lain karena
kenakalannya cukup berat atau merugikan kawan sebayanya.

4. Sekolah dengan asrama.


Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus terpisah dengan kawan maupun
dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama. Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara
kontinyu dapat terus dibimbing dan dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.

Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa pendidikan yang tepat untuk anak-anak
Tunalaras ini adalah pendidikan Inklusi.
1. Pendidikan inklusi ini sendiri merupakan pendidikan tidak berpihak pada homogenitas
sekelompok siswa. Dengan kata lain secara implikasi pendidikan ini merupakan
pendidikan yang tidak mengenal penyetaraan baik kemampuan akademik maupun non
akademik bagi calon siswa, dan tidak pula mengenal istilah „mengeluarkan‟ siswa dari
sekolah karena bermasalah. Pendidikan ini memungkinkan siswa untuk belajar bersama
dengan anak normal lainnya, dan menyatakan penerimaan sepenuhnya pada anak
berkebutuhan khusus, termasuk didalamnya anak-anak tunalaras.

2. Pendidikan inklusi menghindarkan semua aspek negatif seperti labeling. Labeling


merupakan hal yang dapat memberikan dampak buruk pada mereka yang diberi label
negatif, dan sering kali mereka yang mendapat label adalah anak-anak kebutuhan khusus.
Dengan penerimaan pada anak kebutuhan khusus dan normal dalam satu lingkungan
belajar, tentu perasaan inferioritas tersebut bisa dihindarkan.

3. Pendidikan inklusi selalu melakukan checks dan balances. Pendidikan inklusi bukan
hanya diatur oleh pihak formal, pemerintah dan sekolah sebagai penyelenggara. Dimana
pendidikan ini memerlukan keseimbangan terkait pihak-pihak yang berkaitan dengan
siswa itu sendiri, seperti orang tua, masyarakat, serta ahli terkait dengan karakteristik
khusus (Farrell, 2008).

Sejalan dengan pendidikan Inklusi, hal yang juga penting untuk pendidikan anak Tunalaras
adalah Welcoming school. Ketika komunitas sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja
bersama-sama untuk meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan
mempromosikan keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan salah satu ciri
dari sekolah yang ramah (Welcoming School).
Welcoming School ini telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca (Salamanca
Statement 1994) yang ditetapkan pada konferensi Dunia tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus
tahun 1994 yang mengakui bahwa “Pendidikan untuk Semua” (Education for All) sebagai suatu
institusi. Hal ini bisa dimaknai bahwa setiap anak dapat belajar (all children can learn), setiap
anak berbeda (each children are different) dan perbedaan itu merupakan kekuatan (difference ist
a strength), dengan demikian kualitas. proses belajar perlu ditingkatkan melalui kerjasama
dengan siswa, guru, orang tua, dan komunitas atau masyarakat.

Di Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools) semua komunitas sekolah mengerti bahwa
tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa
aman dan nyaman (to be save and secure), untuk mengembangkan diri (to develop a sense of
self), untuk membuat pilihan (to make choices), untuk berkomunikasi (to communicate), untuk
menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup dalam situasi
dunia yang terus berubah (live in a changing world), untuk menghadapi banyak transisi dalam
hidup, dan untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued contributions).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Anak tuna laras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak
tuna laras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma
masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. Selain
itu, anak tuna laras merupakan anak yang mengalami hambatan/ kesulitan untuk
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-
norma yang berlaku dan dalam kehidupan sehari-hari sering disebut anak nakal sehingga
dapat meresahkan/ mengganggu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Faktor penyebab tuna laras dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu faktor internal
seperti keturunan, kondisi fisik dan psikis. Sedang faktor eksternal berupa lingkungan, baik
keluarga, sekolah ataupun masyarakat.
Secara umum, anak tuna laras dibagi menjadi 4 kategori yang masing-masing
mempunyai karakteristik yang berbeda yaitu :
1. Anak yang agresif bersosialisasi
2. Anak yang kurang dewasa
3. Anak yang mengalami kecemasan dan menyendiri
4. Anak yang mengalami gangguan perilaku
Anak tuna laras sebagaimana anak luar biasa lainnya berhak memperoleh pendidikan
agar dapat berkembang optimal dan mampu mencapai kehidupan yang layak. Tujuan
diselenggarakannya layanan pendidikan bagi anak tuna laras adalah untuk membantu anak
didik penyandang perilaku sosial dan emosi, agar mampu mengembangkan sikap,
pengetahuan dan keterampilan baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat
dalam menggalakkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam
sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti
pendidikan selanjutnya.

B. Saran

Berdasarkan dari kesimpulan yang penulis paparkan diatas, maka dapat disarankan
bahwa:
1. Para guru di sekolah reguler perlu dibekali dengan berbagai pengetahuan beserta karakteristik
anak dengan gangguan emosi dan perilaku agar mampu melakukan identifikasi terhadap mereka,
baik yang sudah menjadi terdaftar sebagai peserta didik pada sekolah yang bersangkutan maupun
yang belum masuk sekolah yang ada atau bertempat tinggal di sekitar sekolah.

2. Seorang guru diharapkan bias membedakan cirri-ciri serta karakteristik anak berkebutuhan
khusus

3. Dengan mengetahui penyebab anak memiliki hambatan emosi dan perilaku maka seorang guru
diharapkan dapat mencegah terulang kembali pada anak yang normal.

4. Dengan mengetahui layanan bimbingan anak berkebutuhan khusus disni hambatan emosi dan
perilaku diharapkan seorang guru dapat maksimalkan dalam memberikan pengajaran di kelas.
DAFTAR PUSTAKA

http://www.ditplb.or.id/profile.
http://id.wikipedia.org/wiki.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/132318126/ARTIKEL%202006%20IDENTIFIKASI.pdf
http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/13
http://singkrof.blogspot.com/2012/06/anak-dengan-gangguan-emosi-dan-perilaku.html
http://www.slbk-batam.org/index.php?pilih=hal&id=74 (diakses 20 September 2019, pukul
21.00)

http://vharsa.wordpress.com/2009/10/20/pembelajaran-tuna-laras/ (diakses 20 September


2019,pukul 20.30

Anda mungkin juga menyukai