i
Pelaksanaan Asesmen; (6) Prosedur Pelaksanaan dan
Instrumen Asesmen Perkembangan; dan (7) Prosedur
Pelaksanaan dan Instrumen Asesmen Akademik.
Sasaran pada buku ini adalah para asesor, guru, calon
guru, mahasiswa dan umum, terutama yang berhubungan
langsung dengan anak berkebutuhan khusus. Diharapkan para
pembaca mampu mampu memahami materi buku secara lebih
mudah dan mendalam untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan serta wawasan yang dimiliki. Selain itu, pembaca
juga dapat mengimplementasikan pengetahuan yang
diperoleh untuk mepraktikkan secara langsung program
identifikasi dan asesmen serta menyusun program intervensi
bagi anak berkebutuhan khusus.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I
HAKIKAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS .................................. 1
A. Anak Tunanetra ...................................................................... 2
1. Definisi Anak Tunanetra .................................................. 2
2. Perkembangan Fisik Anak Tunanetra .............................. 3
3. Perkembangan Kognitif Anak Tunanetra ......................... 5
4. Perkembangan Sosial-Emosional Anak Tunanetra .......... 7
5. Perkembangan Kepribadian Anak Tunanetra .................. 9
6. Penanganan Masalah Anak Tunanetra ............................ 10
7. Tes Formatif Anak Tunanetra .......................................... 14
iii
7. Tes Formatif Anak Tunagrahita ....................................... 34
BAB II
KONSEP DASAR IDENTIFIKASI .................................................... 58
A. Definisi Identifikasi ................................................................. 58
B. Aspek-aspek yang Perlu Diidentifikasi .................................... 61
C. Tujuan Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus ..................... 63
D. Sasaran Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus .................... 45
E. Tes Formatif Bab II .................................................................. 71
BAB III
PELAKSANAAN IDENTIFIKASI ..................................................... 72
A. Pelaksanaan Identifikasi ......................................................... 72
B. Tindak Lanjut Identifikasi ........................................................ 75
C. Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus .......................... 77
iv
D. Tes Formatif Bab III ................................................................. 85
BAB IV
KONSEP DASAR ASESMEN .......................................................... 86
A. Definisi Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus ....................... 86
B. Aspek yang Perlu Diasesmen .................................................. 88
C. Ruang Lingkup Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus ............ 95
D. Tujuan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus ........................ 96
E. Tes Formatif Bab IV ................................................................. 101
BAB V
PELAKSANAAN ASESMEN ........................................................... 102
A. Langkah-langkah Penyusunan Instrumen Asesmen Anak
Berkebutuhan Khusus.............................................................. 102
B. Pengembangan Instrumen Asesmen ...................................... 104
C. Prosedur Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus ..................... 109
D. Teknik-teknik Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus .............. 112
E. Tes Formatif Bab V .................................................................. 115
BAB VI
PROSEDUR PELAKSANAAN DAN INSTRUMEN ASESMEN
PERKEMBANGAN FISIK DAN MOTORIK ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS ..................................................................................... 116
A. Prosedur Asesmen Perkembangan Fisik dan Motorik Anak
Berkebutuhan Khusus ............................................................. 116
B. Instrumen Asesmen Perkembangan Fisik dan Motorik Anak
Berkebutuhan Khusus.............................................................. 124
C. Tes Formatif Bab VI ................................................................. 135
v
BAB VII
PROSEDUR PELAKSANAAN DAN INSTRUMEN ASESMEN
PERKEMBANGAN BAHASA DAN BICARA ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS ..................................................................................... 136
A. Prosedur Asesmen Perkembangan Bahasa dan Bicara Anak
Berkebutuhan Khusus ............................................................. 136
B. Instrumen Asesmen Perkembangan Bahasa dan Bicara Anak
Berkebutuhan Khusus.............................................................. 145
C. Tes Formatif Bab VII ................................................................ 153
BAB VIII
PROSEDUR PELAKSANAAN DAN INSTRUMEN ASESMEN
PERKEMBANGAN SOSIAL DAN EMOSIONAL ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS ..................................................................................... 154
A. Prosedur Asesmen Perkembangan Sosial dan Emosional Anak
Berkebutuhan Khusus ............................................................. 154
B. Instrumen Asesmen Perkembangan Sosial dan Emosional Anak
Berkebutuhan Khusus.............................................................. 160
C. Tes Formatif Bab VIII ............................................................... 170
BAB IX
PROSEDUR PELAKSANAAN DAN INSTRUMEN ASESMEN
PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS .... 171
A. Prosedur Asesmen Perkembangan Kognitif Anak Berkebutuhan
Khusus .................................................................................... 171
B. Instrumen Asesmen Perkembangan Kognitif Anak Berkebutuhan
Khusus ..................................................................................... 174
C. Tes Formatif Bab IX ................................................................. 180
vi
BAB X
PROSEDUR PELAKSANAAN DAN INSTRUMEN ASESMEN
PERKEMBANGAN KOGNITIF ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS .... 181
A. Prosedur Asesmen Perkembangan Persepsi dan Sensori Anak
Berkebutuhan Khusus ............................................................. 181
B. Instrumen Asesmen Perkembangan Persepsi dan Sensori Anak
Berkebutuhan Khusus.............................................................. 182
C. Tes Formatif Bab X .................................................................. 190
BAB XI
PROSEDUR PELAKSANAAN DAN INSTRUMEN ASESMEN AKADEMIK
MEMBACA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS .............................. 191
A. Prosedur Asesmen Akademik Membaca Anak Berkebutuhan
Khusus .................................................................................... 191
B. Instrumen Asesmen Akademik Membaca Anak Berkebutuhan
Khusus ..................................................................................... 196
C. Tes Formatif Bab XI ................................................................. 203
BAB XII
PROSEDUR PELAKSANAAN DAN INSTRUMEN ASESMEN AKADEMIK
MENULIS ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ................................. 204
A. Prosedur Asesmen Akademik Menulis Anak Berkebutuhan
Khusus ..................................................................................... 204
B. Instrumen Asesmen Akademik Menulis Anak Berkebutuhan
Khusus .................................................................................... 207
C. Tes Formatif Bab XII ................................................................ 212
BAB XIII
PROSEDUR PELAKSANAAN DAN INSTRUMEN ASESMEN AKADEMIK
MATEMATIKA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ......................... 213
A. Prosedur Asesmen Akademik Menulis Anak Berkebutuhan
Khusus .................................................................................... 213
vii
B. Instrumen Asesmen Akademik Menulis Anak Berkebutuhan
Khusus .................................................................................... 219
C. Tes Formatif Bab XIII ............................................................... 226
DAFTAR TABEL
viii
BAB I
HAKIKAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
1
ANAK TUNANETRA
2
2. Neonatal (Saat Kelahiran)
Neonatal merupakan periode saat anak dilahirkan.
Penyebab ketunanetraan pada periode ini yaitu anak lahir
sebelum waktunya (prematurity), kesalahan dalam
menggunakan bantuan alat saat proses kelahiran (tang
verlossing), posisi bayi yang tidak normal, kelahiran ganda
dan keadaan bayi yang tidak sehat.
3
bahaya, mempertahankan keberanian dan rasa percaya diri
untuk melakukan banyak kegiatan serta melakukan banyak
gerakan tubuh. Masalah tersebut menjadikannya kurang
memaksimalkan fungsi fisik dalam melakukan aktivitas motorik.
Anak tunanetra melewati tahapan perkembangan yang
sama dengan anak normal. Dalam usahanya untuk mulai dapat
berjalan, anak tunanetra melalui tahapan menegakkan kepala,
telungkup, merayap, merangkak, dan seterusnya sampai
akhirnya mampu berjalan, akan tetapi prosesnya lebih lambat
karena rangsangan visualnya yang kurang. Hal itu
mengakibatkan perkembangan koordinasi tangan dan badan
mengalami hambatan yang kemudian mempengaruhi
kemampuan motorik di masa mendatang.
Ketika bayi, anak tunanetra mengalami kesukaran dalam
melewati periode di mana ia berusaha mengikuti dan
menjangkau benda dengan menggunakan indera penglihatan.
Anak tunanetra tidak mampu memaksimalkan pengalaman dan
percobaan koordinasi mata dengan tangan. Mereka kesukaran
untuk menjangkau benda dan mengetahui apa saja yang ada di
sekitarnya.
Pada usia lima belas bulan, anak normal sudah mampu
berjalan dan mengeksplorasi sesuatu sendiri. Saat
keseimbangan tubuhnya mencapai tahap lebih sempurna, anak
akan belajar berlari dan melompat. Namun, hal yang sama tidak
terjadi pada anak tunanetra. Ia mulai berjalan pada usia lebih
dari lima belas bulan, tergantung seberpa tangguh dirinya untuk
terus belajar berjalan. Problema yang dialami anak tunanetra
tersebut didorong oleh faktor motivasi yang kurang atau bahkan
tidak ada sama sekali akibat dari keparahan kelainan yang
dimiliki. Motivasi yang dimaksud dapat bersifat internal atau
eksternal dalam mencapai tujuan untuk dapat melangkahkan
4
kakinya pada posisi berdiri, misalnya untuk mengambil benda
atau menjangkau keberadaan orang lain di sekitarnya.
Anak tunanetra tidak mampu mengobservasi dan
menirukan sesuatu melalui visual secara langsung terhadap
gerakan atau aktivitas yang dilakukan orang lain sehingga
menghambat perkembangan tingkah laku motoriknya.
Keterbatasan anak tunanetra juga mencakup kemampuan
melakukan mobilitas, seperti berpindah-pindah tempat. Hal
yang sering ditampakkan anak tunanetra ketika berjalan,
melakukan sesuatu yang belum familiar dengan memfungsikan
tangannya dan melakukan gerakan tubuh yang sukar adalah
munculnya ketegangan, gerakan kaku, kelambanan, tempo
gerakan yang pelan, terlalu was-was, dan penuh kehati-hatian.
5
dengan distribusi 12,5% memiliki IQ kurang dari 80 dan 37,5%
memiliki IQ di atas 120, serta 50% memilki IQ antara 80-120.
Dilandasi oleh gangguan perkembangan kognitif yang
dialami, kegiatan pembelajaran anak tunanetra lebih
menekankan pada pemanfaatan fungsi indera lain untuk
membantu menerjemahkan informasi yang diterima. Hal
tersebut juga bermanfaat terhadap proses pendefinisian dan
pembentukan konsep dalam yang bersifat visual. Kesulitan
pemahaman visual akibat disfungsi indera penglihatan
menyebabkan anak tunanetra mengalami kesukaran dalam
berorientasi dengan lingkungan sekitar. Pada dasarnya, layanan
pendidikan bagi anak tunanetra sama dengan yang diberikan
untuk anak normal. Perbedaannya ada pada Teknik
penyampaian yang disesuaikan dengan kemampuan,
ketidakmampuan dan karakteristik masing-masing anak
tunanetra (Wardani, dkk., 2008).
Berdasarkan kebutuhan untuk tetap mengenal dunia
sekitarnya, anak tunanetra menjadikan indera pendengaran
sebagai sarana utama dalam menerima informasi dari luar,
meskipun hanya berupa suara. Dari suara yang didengar, anak
hanya dapat mendeteksi dan membentuk gambaran mengenai
sumber, arah dan jarak objek informasi serta ukuran dan
kualitas ruangan, tetapi tidak mampu menggambarkan dengan
konkret terhadap bentuk, kedalaman, warna dan dinamikanya.
Pemenuhan kebutuhan anak tunanetra atas rangsangan
sensoris mampu menambahkan informasinya terkait benda-
benda dan kejadian-kejadian di sekelilingnya. Aktivitas imitasi
anak dengan ketunanetraan dirangsang terlebih dahulu melalui
stimuli pendengaran dan dibantu oleh indera-indera yang lain.
Dalam pemahaman bahasa, kosakata yang dimiliki anak
tunanetra cenderung bersifat definitif dan diperoleh melalui
pengalaman pribadi dalam memaknai kata-kata yang berarti
6
serta melalui orang lain yang memberikan kata-kata verbalistis
di mana ia sering tidak memahaminya. Ia dapat
mempertahankan pengalaman-pengalaman khusus meskipun
kurang terintegrasi dan cenderung menghadapi masalah
konseptualisasi yang bersifat abstrak berdasarkan pandangan
yang konkret dan fungsional.
7
kesulitan atau permasalahan sehingga memerlukan
bantuan orang lain untuk menyelesaikannya. Dalam hal ini,
anak akan terus mengharapkan pertolongan orang lain di
segala aktivitas, termasuk pada hal-hal kecil yang
sebetulnya dapat dilakukannya sendiri.
3. Mudah Tersinggung
Dari pengalaman-pengalaman yang telah dilalui anak
tunanetra, tentu terdapat beberapa yang merupakan
pengalaman buruk bagi dirinya. Mungkin sebagian anak
tidak akan mempermaslahkan hal tersebut terlalu jauh,
namun tidak untuk tunanetra. Pengalamannya yang buruk
tetap membekas dalam ingatan dan membentuk rasa
trauma. Hal tersebut dapat memicu kondisi emosional yang
kurang stabil karena persepsi orang lain tentang dirinya,
terutama pada kondisi fisik yang menjadikannya mudah
tersinggung.
8
emosinya. Bentuk pernyataan emosi nonverbal banyak
dilakukan dari proses belajar imitasi, yakni dengan melakukan
pengamatan visual terhadap orang-orang sekitar dalam
mereaksi situasi tertentu. Anak kurang atau tidak memiliki
kemampuan belajar secara visual mengenai penentuan
stimulus-stimulus yang harus diberikan respon emosional dan
pemberian respon yang terhadap stimulus-stimulus tersebut.
Anak tunanetra mengalami hambatan pada kemampuan
komunikasi emosional yang dicerminkan melalui ekspresi atau
reaksi-reaksi wajah dan tubuh lainnya sebagai penyampaian
perasaan yang hendak diinformasikan kepada orang lain. Emosi
lebih sering dinyatakan secara verbal yang seiring
bertambahnya usia, kematangan kognitif, keterampilan
berbicara dan pembendaharaan bahasa yang dimiliki semakin
menunjukkan peningkatan dan ketepatan. Perkembangan
emosi anak tunanetra cenderung menurun ketika mengalami
deprivasi emosi atau keadaan di mana dirinya kurang
berkesempatan untuk menghayati pengalaman emosi yang
menyenangkan. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan aspek-aspek psikologis anak tunanetra.
9
namun di sisi lain ia disebut anak tunanetra karena mengalami
keterbatasan penglihatan. Jika dibandingkan dengan kondisi
tunanetra sejak lahir, ketunaan yang terjadi setelah anak
dilahirkan memberikan pengaruh lebih besar terhadap sukarnya
penyesuaian diri.
Anak tunanetra cenderung menunjukkan perilaku dengan
karakteristik spesifik dan unik sebagai kompensasi dari
ketunanetraan. Mereka sering mempertahankan gagasan dan
keyakinannya yang menurut penilaian secara umum masih
perlu dipertanyakan tentang kebenaran dan keakuratannya.
Sifat dan sikap berlebihan yang biasa dimiliki oleh mayoritas
anak tunanetra meliputi rasa ragu, mudah curiga, rendah diri,
menghindari kontak sosial, menolak kehadiran orang baru,
mudah menyalahkan orang lain atas permasalahannya,
mempertahankan pendapat yang belum tentu benar dan sulit
menanamkan rasa percaya kepada orang lain.
10
dalam bergerak, berpindah-pindah tempat, menentukan
sesuatu yang bersifat visual dan menghindari bahaya. Selain
bertujuan untuk meningkatkan kualitas kognitif, pendidikan
bagi penyandang tunanetra juga diperuntukkan sebagai upaya
mengembangkan keterampilan dan kemandirian.
Secara umum, kepribadian anak tunanetra cenderung lebih
dapat dikontrol jika dibandingkan dengan anak dengan
gangguan intelektual dan perilaku. Keutamaan masalah yang
ada pada penglihatan tanpa disertai masalah intelektual yang
kronis masih belum cukup kuat untuk menurunkan kemampuan
anak tunanetra dalam membentuk konsep pribadi secara
drastis. Namun, pembentukan kepribadian anak juga tidak
terlepas dari peranan sosial, baik dari lingkungan maupun
subjek dalam lingkungan tersebut. Dorongan motivasi yang
utuh mampu menguatkan kondisi psikologis anak. Ditambah
lagi dengan penanganan yang tepat akan meminimalisasi
problema pada anak tunanetra.
Sebagai langkah awal penanganan anak dengan gangguan
penglihatan, hendaknya mengidentifikasi terlebih dahulu
terkait karakteristik anak. Hal yang telah kita ketahui, bahwa
setiap anak tunanetra memiliki karakteristik spesifik yang tidak
sama antara satu dengan lainnya. Mereka memiliki ciri khas
hambatan, permasalahan di luar gangguan penglihatan,
kemampuan, dan cara menangani problema yang dimiliki.
Setelah itu, dapat dirancang pembelajaran dan terapi untuk
memperbaiki keabnormalitasan anak tunanetra. Menurut
Putranto (2015), terdapat beberapa prinsip pembelajaran bagi
tunanetra yang dapat dijadikan bahan acuan, yaitu sebagai
berikut:
1. Prinsip Individual
Prinsip ini adalah kaidah pokok dalam setiap jenis
pembelajaran, termasuk pada sekolah luar biasa maupun
11
inklusi. Guru diwajibkan untuk memahami setiap
perbedaan masing-masing anak tunanetra yang lebih luas
dan kompleks. Diperlukan pembelajaran dan pola
pengajaran yang berbeda antara anak buta total dan low
vision. Pentingnya penerapan IEP (Individual Education
Program) dalam pendidikan anak tunanetra adalah agar
guru mampu merancang strategi pembelajaran yang benar-
benar disesuaikan dengan kondisi anak untuk mencapai
hasil pembelajaran yang maksimal.
3. Prinsip Totalitas
Totalitas yang dimaksud dalam prinsip ini adalah usaha
anak tunanetra untuk memaksimalkan penggunaan funsgi
alat indera yang masih berfungsi secara menyeluruh
mengenai suatu objek. Dengan memanfaatkan beberapa
12
indera sekaligus, pengalaman anak terhadap sesuatu akan
dijangkau lebih luas dan utuh dibandingkan hanya dengan
menggunakan satu indera. Pendengaran, perabaan dan
pengecapan merupakan beberapa indera yang secara
umum lebih memberikan peran penting dalam
pengoptimalan hasil belajar anak.
13
TES FORMATIF
14
ANAK TUNARUNGU
15
2. Kelompok II
Kelompok ini disebut dengan ketunarunguan sedang atau
moderate hearing losses. Penderita kehilangan
pendengaran sekitar 31-60 dB dengan kemampuan
menangkap hanya sebagian dari suara cakapan manusia.
3. Kelompok III
Penderita kehilangan 61-90 dB dari kemampuan
mendengarnya. Kondisi ini diistilahkan sebagai
ketunarunguan berat atau severe hearing losses di mana
tidak ada daya tangkap penderita atas suara cakapan
manusia.
4. Kelompok IV
Disebut sebagai ketunarunguan sangat berat atau profound
hearing losses. Penderita sama sekali tidak dapat
menangkap suara cakapan manusia karena kehilangan
pendengaran berkisar 91-120 dB.
5. Kelompok V
Kehilangan pendengaran yang dialami penderita lebih dari
120 dB yang menyebabkan ketidakmampuan secara utuh
dalam menangkap suara cakapan manusia. Kelompok ini
dinamakan ketunarunguan total atau total hearing losses.
16
c. Campak (Rubella, Gueman measles)
d. Toxaemia (keracunan darah)
e. Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah
berlebihan
f. Kekurangan oksigen (anoxia)
g. Kelainan organ pendengaran sejak lahir
17
1. Cara Berjalan Kaku dan Sedikit Membungkuk
Kondisi yang dialami anak tunarungu ini terjadi
gangguan pada organ keseimbangan di telinga. Hal inilah
yang menyebabkan anak dengan ketunarunguan
mengalami ketidaksempurnaan dalam keseimbangan pada
aktivitas fisik sehingga membentuk pola berjalan yang
cenderung kaku dan sedikit membungkuk.
18
C. Perkembangan Kognitif Anak Tunarungu
Perkembangan kognitif anak tunarungu berkaitan erat
dengan tingkat kemampuannya dalam berbahasa, menghimpun
dan memahami informasi, berpikir secara abstrak, kondisi psikis
dan pengaruh lingkungan. Aspek-aspek tersebut pada
umumnya tidak dicapai anak tunarungu dengan sempurna
akibat ketunarunguan yang dialami sehingga proses belajar
anak menjadi terhambat. Biasanya aspek kognitif yang
terganggu bersifat verbal, seperti merangkum cerita,
mengutarakan pendapat, mendefinisikan sesuatu,
memprediksikan peristiwa dan menyimpulkan bacaan.
Aktivitas perkembangan kognitif anak tunarungu yang
memfungsikan penglihatan dan motorik memberikan peranan
yang lebih besar terhadap pengembangan dan penyesuaian
dirinya. Ia memanfaatkan peran keduanya ke dalam banyak
kegiatan agar informasi atau hal yang diharapkan dalam
kegiatan tersebut tetap dapat dicapai. Kondisi keterbelakangan
anak tunarungu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor
ketunarunguannya saja, melainkan juga pada tingkat
kecerdasan, rangsangan mental dan dukungan lingkungan yang
rendah. Diperlukan banyak kesempatan dan upaya agar anak
dapat meningkatkan kemampuan kognitifnya secara efektif.
19
yang seperti ini memiliki pengalaman kurang menyenangkan
dengan orang lain di masa lalu sehingga muncul rasa trauma dan
tidak ingin mengalaminya kembali.
Dengan adanya permasalahan perkembangan sosial ini,
menambah ketidaktertarikan anak dalam mengembangkan
potensi verbalnya dan diikuti dengan kecenderungan
menyendiri serta sifat egosentris. Situasi lingkungan dengan
jumlah orang yang terlalu banyak kurang memberikan
kenyamanan bagi anak tunarungu. Hal tersebut diakibatkan
oleh keberagaman budaya lingkungan, karakteristik setiap
orang yang dijumpai dan ramainya komunikasi antar individu
yang dapat membingungkan anak.
Minimalnya pembendaharaan bahasa dan
ketidakmampuan berbicara membuat anak tunarungu sulit
terlibat dalam situasi sosial secara baik karena antara dirinya
dan orang yang diajak berinteraksi memerlukan usaha keras
dalam memahami masing-masing bentuk dan cara berbicara
serta makna dari pembicaraan. Selanjutnya, orang lain juga
harus mampu memahami perasaan dan pemikiran anak
tunarungu untuk mempertahankan hubungan sosial di antara
mereka, sementara hal ini merupakan upaya yang sulit
dilakukan, baik oleh orang normal ataupun sesama tunarungu.
Perkembangan psikologis anak tunarungu dari segi sosial
yang mengalami sedikit gangguan tersebut memberikan
pengaruh negatif bagi perkembangan emosional anak. Tidak
jarang terlalu sedikitnya pemahaman bahasa lisan dan tulisan
menjadikan anak tunarungu keliru dalam menafsirkan informasi
atau sesuatu. Masalah ini menyebabkan tekanan batin yang
diwujudkan melalui emosi-emosi negatif sehingga
mempengaruhi perkembangan pada aspek psikologi lainnya.
Sikap yang ditampakkan biasanya berupa kebimbangan, keragu-
raguan, menutup diri dan bertindak lebih agresif.
20
E. Perkembangan Kepribadian Anak Tunarungu
Kepribadian anak tunarungu terbentuk oleh hasil
perkembangan pada aspek-aspek psikologi lainnya, meliputi
aspek fisik, kognitif, sosial dan emosional. Apabila semua aspek
dapat dicapai dengan hasil yang baik meskipun dipengaruhi
keterbatasan yang dimiliki akan membentuk pola kepribadian
yang baik pula. Perilaku anak dalam menyesuaikan diri dengan
orang lain dan lingkungan mencerminkan kondisi kepribadian.
Semenjak anak dilahirkan, seharusnya kepribadian sudah
dikonsep sejak awal karena selain faktor bawaan, kepribadian
juga dibentuk melalui dukungan lingkungan. Pernyataan ini
diasumsikan berdasarkan teori bahwa kebiasaan dapat
mengubah kepribadian. Hambatan pada anak tunarungu
memberikan dampak kurang baik bagi perkembangan
psikologisnya sehingga diperlukan penanganan khusus agar
emosi dan sosial anak semakin membaik serta berkontribusi
positif terhadap pola kepribadian yang dimiliki.
21
tunawicara. Cara berkomunikasi anak tunarungu dapat
menggunkan bahasa oral dan bahasa isyarat. Abjad jari pada
bahasa isyarat telah dipatenkan secara internasional sedangkan
untuk isyarat bahasa mengalami keberagaman atau berbeda-
beda di setiap negara, bahkan di daerah. Telah dikembangkan
komunikasi total di setiap sekolah yang melibatkan bahasa
verbal, bahasa isyarat, dan bahasa tubuh untuk meminimalisasi
ketidakmampuan anak dalam memahami konsep abstrak
(Mudjito, dkk., 2012).
Penanganan anak tunarungu tidak terlepas dari kata
intervensi dini. Intervensi dini diberikan sebagai bentuk
penerapan bantuan bagi anak tunarungu dalam keoptimalan
pertumbuhan dan perkembangannya. Partisipasi yang aktif dari
orang tua, lingkungan keluarga, pendidik, masyarakat, terapis,
dan pemerintah akan memaksimalkan hasil penyelenggaraan
program intervensi dini. Dalam tujuan menurunkan tingkatan
hambatan, memaksimalkan bakat atau potensi dan
meningkatkan kemampuan di berbagai hal, perlu adanya
program-program untuk memenuhi tujuan tersebut, di
antaranya yaitu:
1. Program bimbingan pada orang tua dan guru
2. Program pengembangan sosial dan emosional
3. Program pengembangan kemampuan mendengar
4. Program pengembangan kemampuan berbahasa
5. Program pengembangan kemampuan berkomunikasi
6. Program pengembangan konsep diri atau kepribadian
7. Program pengembangan kognitif
8. Program pengembangan fungsi fisik
22
TES FORMATIF
23
ANAK TUNAGRAHITA
24
memperhatikan tingkat keabnormalitasan perilaku dan
penyesuaian diri anak. Terdapat pengklasifikasian tunagrahita
yang telah ditentukan oleh para ahli atau pakar. Berikut
dipaparkan mengenai pengelompokkan tunagrahita menurut
AAMD (American Association on Mental Deficiency), yakni
sebagai berikut:
1. Tunagrahita Ringan (Mampu Didik)
Pada kelompok ini, tingkat kecerdasan atau IQ yang
dimiliki penyandang tunagrahita adalah 50–70. Mereka
masih mampu untuk mengembangkan dalam bidang
akademik meskipun kemampuannya tetap berada di bawah
rata-rata anak normal. Di samping itu, tunagrahita ringan
masih memiliki kemampuan di beberapa hal, seperti
berinteraksi sosial, melakukan pekerjaan sederhana,
memiliki keterampilan dalam bidang vokasional,
menyesuaikan diri dengan lingkungan yang lebih luas dan
dapat mempertahankan kemandirian.
25
3. Tunagrahita Berat dan Sangat Berat (Mampu Rawat)
Tingkat kecerdasan atau IQ penyandang tunagrahita
berat dan sangat berat mencapai nilai kurang dari 30.
Mereka hampir sama sekali tidak mampu untuk
mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan bidang
akademik dan keterampilan. Mayoritas dari mereka
merasakan kesulitan yang berlebihan untuk mengurus
dirinya sendiri melalui kegiatan sehari-hari yang sederhana,
walaupun ada beberapa tunagrahita dengan klasifikasi ini
yang masih mampu untuk diajarkan secara perlahan
mengenai keterampilan mengurus diri, komunikasi yang
sangat sederhana dan adaptasi lingkungan.
26
lain. Dengan keterbatasan ini, mereka kehilangan sebagian atau
seluruh dampak positif dari gerakan fundamental yang sangat
berperan penting bagi kualitas hidupnya.
2. Tunagrahita Sedang
Tunagrahita sedang yang memiliki IQ 30-50 tidak
mampu untuk dihadapkan dalam penyelesaian masalah di
bidang akademik yang cukup rumit. Ia masih bisa diajarkan
membaca, menulis dan berhitung, namun dengan materi
yang sangat sederhana sesuai dengan kemampuan anak.
Namun, tidak jarang anak tunagrahita sedang kehilangan
kemampuan secara utuh dalam mengikuti aktivitas
27
akademik. Mereka masih mampu untuk diberikan keilmuan
mengenai keterampilan-keterampilan yang secara
pengajarannya ditujukan untuk peningkatan kemandirian
dan memfungsikan kembali anggota tubuh yang lemah.
Selain itu, anak tunagrahita sedang juga tidak mengalami
kesulitan yang signifikan untuk mengurus dan merawat
dirinya sendiri dalam hal-hal sederhana, misalnya kegiatan
makan, minum, mandi, dan memakai baju.
28
berinteraksi anak tunagrahita. Dalam bersosialisasi, anak
tunagrahita lebih nyaman untuk menjalin interaksi dengan anak
di bawah usianya. Topik dan cara anak normal dalam
berkomunikasi dianggap terlalu sukar untuk dipahami anak
tunagrahita dengan daya kognitif rendah.
Sebagian anak tunagrahita masih mampu berkomunikasi
dengan orang lain, namun dengan pembahasan yang masih
dapat dipahaminya. Penentuan pembahasan yang dijadikan
bahan interaksi dengan anak tunagrahita hendaknya
disesuaikan dengan tingkat keparahan dalam ketunagrahitaan
anak. Anak tunagrahita cenderung menampakkan emosinya
yang tidak terkontrol, ditunjukkan dengan amarah dan sikap
menghindar apabila tidak memahami makna pembahasan
dalam proses interaksi. Ia memilih untuk menyendiri atau
mengganti subjek sebagai teman berkomunikasi yang dianggap
dapat memahami dan menanggapi cara bersosialisasinya.
Dalam bukunya, Mangunsong (1998) mengemukakan
penjelasan mengenai kemampuan bersosial anak tunagrahita
yang terbentuk dalam komponen-komponen tertentu. Berikut
pemaparan beberapa komponen tersebut:
1. Komponen penyesuaian diri dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari, misalnya merawat diri sendiri, menata dan
membersihkan rumah, dan mengerjakan keterampilan
dalam rangka peningkatan kemandirian.
2. Komponen penyesuaian diri di dalam keluarga yang
mencakup komunikasi, kontribusi dan partisipasi di dalam
lingkungan keluarga.
3. Komponen penyesuaian diri di dalam pekerjaan, seperti
sikap terhadap jenis pekerjaan dan penghasilan yang ia
peroleh.
4. Komponen penyesuaian diri dalam kehidupan senggang
dan kehidupan sosial, meliputi partisipasi dalam aktivitas
29
kelompok, memiliki teman atau sahabat dan mengikuti
kehidupan sosial sesuai dengan norma-norma yang
berlaku.
30
cenderung mudah dipengaruhi, kurang sabar, ceroboh, kurang
dapat menahan diri, dan sering melanggar aturan. Sedangkan
anak tunagrahita dengan jenis kelamin laki-laki cenderung
menunjukkan ciri kepribadian berupa sikap tidak ramah,
emosional, mudah depresi, sering menyendiri, kurang dapat
dipercaya, lancang, senang merusak, dan mengganggu, serta
impulsif.
31
penting untuk diajarkan kepada anak tunagrahita, terutama
pada tunagrahita sedang dan berat di mana hambatan yang
dialami cukup parah sehingga sering membutuhkan
pertolongan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
dirinya. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan
kemandirian anak dengan cara memberikan pengetahuan
dan keterampilan tentang aktivitas sehari-hari agar anak
mampu merawat diri tanpa sering bergantung pada
bantuan orang lain.
32
4. Terapi Bermain (Play Therapy)
Terapi ini diterapkan pada anak tunagrahita melalui
kegiatan bermain. Permainan dalam terapi ditujukan untuk
mengembangkan semua kebutuhan psikologis anak,
seperti kebutuhan meningkatkan daya kognitif,
keterampilan bersosialisasi, mengontrol emosi,
membentuk konsep diri positif dan memaksimalkan fungsi
anggota tubuh.
5. Life Skill
Keterampilan merupakan hal yang berperan penting
bagi pertahanan hidup anak tunagrahita. Sebagai dampak
menurunnya intelektual anak dan perkembangan kognitif
yang jelas mengalami gangguan, maka keterampilan yang
dimiliki dapat membantu anak dalam mengatasi
permasalahan hidup, misalnya dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan dan masyarakat, serta
mempertahankan sikap kompetitif.
33
TES FORMATIF
34
ANAK TUNADAKSA
35
2. Faktor penyebab tunadaksa yang terjadi pada masa
kelahiran, mencakup:
a. Kesalahan pada saat memberikan obat bius pada saat
kelahiran.
b. Kesalahan dalam menggunakan alat-alat bantu untuk
melahirkan, misalnya vacuum, tang dan tabung.
36
f. Congenital hip dislocation: kelumpuhan yang terjadi
pada bagian paha.
g. Spina-bifida: kondisi di mana sebagian dari sumsum
tulang belakang yang tidak menutup.
h. Polydactylism: jumlah jari yang lebih dari lima pada
masing-masing tangan atau kaki.
i. Syndactylism: kondisi jari yang berselaput atau
menempel antara jari satu dengan jari lainnya.
j. Clefpalats: langit-langit mulut yang berlubang.
k. Torticollis: kerusakan yang terjadi pada leher sehingga
kepala terkulai ke muka.
l. Herelip: gangguan pada bibir dan mulut.
m. Coxa valga: gangguan pada sendi paha yang
menyebabkan paha membesar.
n. Congenital ampulation: kondisi bayi yang dilahirkan
tanpa anggota tubuh tertentu.
o. Syphilis: kondisi tulang dan sendi yang rusak karena
dampak dari penyakit syphilis.
p. Fedresich ataxia: kerusakan yang terjadi pada sumsum
tulang belakang.
3. Dampak Infeksi:
a. Poliomyelitis: terjadinya infeksi karena virus yang
menyebabkan kelumpuhan.
b. Tuberkulosis pada lutut atau sendi lain.
37
c. Tuberculosis tulang: menyerang sendi paha sehingga
menjadi kaku.
d. Still’s disease: adanya peradangan pada tulang yang
menyebabkan kerusakan permanen pada tulang.
e. Osteomyelitis: terjadi peradangan di dalam dan di
sekeliling sumsum tulang yang diakibatkan oleh
bakteri.
f. Pott’s disease: tuberculosis sumsum tulang belakang.
5. Tumor:
a. Osteosis fibrosa cystica: adanya kista atau kantang
yang berisi cairan di dalam tulang.
b. Oxostosis: terjadinya tumor pada tulang
6. Kondisi-kondisi lainnya:
a. Lordosis: bagian muka sumsum tulang belakang yang
cekung.
b. Kyphosis: bagian belakang sumsum tulang belakang
yang cekung.
c. Scilosis: tulang belakang yang berputar, bahu, dan paha
yang miring.
d. Flat-feet: telapak kaki yang rata dan tidak berteluk.
e. Rickets: tulang yang lunak karena nutrisi dan
mengakibatkan terjadinya gangguan pada tulang dan
sendi.
f. Perthe’s disease: kerusakan atau kelainan pada sendi
paha.
38
B. Perkembangan Fisik Anak Tunadaksa
Secara umum, perkembangan fisik anak tunadaksa tentu
mengalami hambatan dan gangguan sehingga terbatas dalam
memfungsikan anggota tubuh yang rusak. Secara spesifik,
perkembangan fisik anak tunadaksa disesuaikan dengan jenis
kelainan dan waktu terjadinya kelainan tersebut. Masing-
masing klasifikasi memiliki karakteristik fisik sendiri-sendiri yang
mungkin menjadi ciri khas dalam pengidentifikasian dan
pengenalan jenis tunadaksa yang dimiliki.
Potensi pengembangan diri pada aspek fisik anak
tunadaksa tidak berkembang dengan baik dan optimal karena
dampak ketidaksempurnaan anggota tubuh. Dalam
pengaktualisasian diri, anak tunadaksa mengkompensasikan
bagian tubuh yang kehilangan fungsi kepada bagian tubuh yang
masih dapat dimanfaatkan. Pada beberapa khusus, kerusakan
yang terjadi pada satu anggota tubuh dapat mempengaruhi
anggota tubuh yang lain. Akibatnya, anggota tubuh yang
sebenarnya masih utuh secara bentuk, jumlah dan fungsinya
akan mengalami kerusakan karena dampak gangguan tubuh
yang lain.
39
berkaitan dengan kemampuan verbal, ia mampu
mengerjakannya. Namun, pada tugas-tugas yang harus
melibatkan fungsi tangannya, ia mengalami kesulitan. Ia sulit
untuk menulis sehingga sering terlambat dalam pengumpulan
tugas dan tidak maksimal saat mengerjakan tugas tersebut.
Singkat cerita, ia memperoleh nilai akhir yang kurang maksimal
dan dianggap mengalami hambatan pada kognitifnya karena
sering tidak sanggup menyelesaikan tuntutan tugas yang
memanfaatkan fungsi tangan.
Problema tersebut tidak jarang terjadi pada mayoritas
anak tunadaksa. Diperlukan pemahaman yang penuh dan
bijaksana terhadap kondisi anak tunadaksa. Selain itu, perlu
untuk menyesuaikan proses belajar mengajar dengan batasan
kemampuan yang dimiliki anak. Penyesuaian tersebut dapat
berupa cara atau teknik belajar yang diganti, perpanjangan
waktu dalam pengerjaan tugas dan motivasi atau dukungan
penuh dari pengajar dan orang terdekat agar anak bersedia
belajar dengan maksimal.
Kondisi tunadaksa dengan keterampilan motorik yang
terganggu mempengaruhi perkembangan motorik yang lebih
kompleks pada tahap selanjutnya sehingga membatasi ruang
gerak dalam aktivitas sehari-hari. Hambatan ini berpengaruh
terhadap perkembangan kognitif karena kurang atau hilangnya
kesempatan dalam melakukan kegiatan eksplorasi lingkungan.
Hal tersebut menimbulkan gangguan pada sensoris terutama
pada masa formatif sehingga mengurangi stimulus yang
diperoleh. Semakin besar hambatan yang dialami anak dalam
berasimilasi dan berkomunikasi dengan lingkungannya, maka
semakin besar pula hambatan yang terjadi pada perkembangan
kognitifnya.
40
D. Perkembangan Sosial-Emosional Anak Tunadaksa
Gangguan sosial dan emosional dapat terjadi akibat
ketunadaksaan yang dimiliki anak. Masalah berinteraksi sosial
anak tunadaksa sering disebabkan oleh perlakuan anak normal
terhadap dirinya sehingga menimbulkan keinginan untuk
menarik diri dari kegiatan interaksi tersebut. Menurut pendapat
Somantri (2018), anak yang memilki kondisi tunadaksa sejak
kecil mengalami perkembangan emosi sebagai anak tunadaksa
secara bertahap. Sedangkan perkembangan emosi anak dengan
kondisi tunadaksa setelah bertumbuh besar atau lebih dewasa
akan lebih menampakkan emosi yang menyangkal kondisi fisik
saat ini. Hal tersebut dialaminya karena pernah menjalani
kehidupan sebagai anak dengan kondisi fisik normal sehingga
kondisi tunadaksa dianggap sebagai suatu kemunduran yang
sulit untuk diterima. Adanya rasa depresi atau stres merupakan
masalah emosi yang menyertai ketunadaksaan.
Penyesuaian diri anak tunadaksa bergantung respon
masyarakat terhadap dirinya. Apabila lingkungan sekitar
mendukung dan tidak mendiskriminasi anak tersebut, maka
tidak ada gejala penyimpangan sosial. Keadaan tunadaksa yang
tidak nampak lebih memungkinkan anak untuk menyesuaikan
diri dengan wajar dibandingkan jika ketunadaksaan tersebut
nampak. Perkembangan sosial dan emosional anak juga
dipengaruhi oleh faktor usia di mana semakin tinggi usia anak,
semakin besar pula perasaan takut ditolak dari kelompok
sosialnya.
Kurang adanya rasa percaya diri, depresi, malu karena
kondisi ketunagrahitaan dan sikap buruk lainnya mengakibatkan
anak semakin jauh dari aktivitas sosial. Anak yang cenderung
lebih sering berada di rumah karena alasan-alasan tertentu akan
memiliki pengalaman sosial dan emosional yang lebih sedikit
dibandingkan dengan anak tunadaksa yang sering berinteraksi
41
dengan orang lain selain keluarganya. Semakin sering ia
melakukan kontak sosial, maka semakin banyak teman yang
dimiliki dan pengetahuan atau hal-hal baru yang diterima. Hal
tersebut menjadikan emosinya berkembang dengan stabil dan
terkontrol dengan baik.
42
5. Penerimaan orang lain terhadap keberadaan anak
tuandaksa yang ditunjukkan melalui hubungan sosial yang
baik dan tidak menunjukkan adanya diskriminasi terhadap
kondisi ketunadaksaan yang dialami anak.
43
7. Mematangkan moral dan spiritual
8. Meningkatkan kemampuan mengekspresikan perasaan
dengan tepat
9. Mempersiapkan masa depan anak yang lebih baik
44
TES FORMATIF
45
ANAK AUTIS
46
ditampakkan pada beberapa sikap negatif yang bisa menyakiti
dirinya sendiri dan orang lain, seperti menjerit, melempar
barang, mencakar, memukul, menyepak, menggigit dan lain-
lain. Sedangkan yang ditunjukkan pada jenis perilaku defisit
adalah gangguan bicara, penyimpangan perilaku sosial, defisit
sensoris, emosi tidak tetap ,dan pola bermain di luar kewajaran
(Handojo, 2004).
47
anak-anak seusianya. Terdapat gerakan-gerakan dan kegiatan-
kegiatan aneh yang dilakukannnya dengan sering atau berulang-
ulang (repetitive). Gerakannya menyimpang dan berbeda
dengan anak normal, misalnya melakukan gerakan yang terlalu
aktif atau terlalu lamban. Anak autis tidak mampu
memperkirakan ketinggian dan kedalaman sehingga sering
merasakan ketakutan yang berlebihan ketika berjalan atau
melangkah di lantai yang memilki ketinggian yang berbeda.
Masalah motorik seperti kelemahan pada otot menjadikannya
kurang mampu merencanakan gerakan motorik sesuai dengan
situasi yang dihadapi dan berjalan dengan kaki yang menjinjit.
48
tersebut dianggap tepat karena anak autis lebih cepat
memahami hal konkret yang dapat dilihat dan dipegang dari
pada hal abstrak yang sulit dijangkau oleh daya kognitifnya serta
lebih mudah untuk memperoleh informasi secara visual, baik
dua atau tiga dimensi daripada stimulus pendengaran (Quill
dalam Dettmer dkk, 2000).
Dalam meningkatkan kemampuan kognitif anak autis,
diperlukan penanganan yang tepat dengan mengaktifkan fungsi
otak sebagai pusat perkembangan kognisinya. Sebenarnya,
keautisan tidak menghilangkan sepenuhnya pada daya ingatan
anak, namun yang menjadi masalah adalah kurangnya
kemampuan dalam berimajinasi secara benar sehingga memiliki
sifat ketidaktertarikan yang kompleks pada hal yang
membutuhkan banyak energi untuk berpikir.
49
aktivitas sosial yang melibatkan orang lain, termasuk aktivitas
berbagi, bergantian, bekerja sama dan memberi serta
menerima hubungan interaksi dengan orang lain, terutama
yang bukan anggota keluarganya.
Menyendiri dan menampakkan kegiatan seperti sibuk
dengan dunianya sendiri merupakan hal yang sangat mereka
sukai. Pola bermain anak autis berbeda dengan kebanyakan
anak seusianya, yaitu bermain dengan benda-benda yang
berputar, misalnya roda dan kipas angin. Hambatan dalam
berinteraksi sosial juga ditampakkan pada beberapa hal yang
sering ia lakukan, seperti sikap acuh tak acuh terhadap hal di
sekelilingnya, menarik diri dari keramaian, emosional,
menunjukkan perilaku yang tidak hangat, mudah marah, tidak
mau mengalah, tidak ada kontak mata dengan orang lain dan
lebih suka bermain sendirian.
50
juga menyukai hal-hal yang memiliki keteraturan secara
berlebihan.
Dalam kepribadiannya, anak autis sulit untuk
menentukan mana hal yang semestinya ia takuti dan yang tidak
ditakuti. Ia mengalami kesukaran dalam menyadari dan
menghindari hal-hal yang berbahaya karena tidak memahami
secara benar dan utuh mengenai konsekuensi dan dampak dari
bahaya tersebut. Pemahamannya yang kurang tentang keadaan
lingkungan dan norma-norma sosial menjadikannya pribadi
yang kurang memiliki rasa malu. Sebagai contoh, anak autis
sering berteriak dan mengucapkan perkataan dengan suara
kencang tanpa mengetahui makna dan tujuan hal yang ia
lakukan. Apabila ada keinginannya yang belum terpenuhi, ia
tidak malu untuk menangis dan meraung di hadapan banyak
orang sebagai cara agar keinginannya dikabulkan. Namun,
terkadang anak autis menjadi pribadi yang pendiam, terutama
saat ia merasakan letih dan ketika asik dengan dunianya sendiri.
51
1. Pengajar hendaknya menyadari bahwa anak autis akan
terus bergantung padanya.
2. Pengetahuan yang mendalam tentang anak autis dengan
segala karakteristik dan masalah yang dihadapi penting
sekali untuk dikuasai oleh pengajar.
3. Keterlibatan orang tua sebagai orang yang memahami anak
autis secara utuh diperlukan untuk membantu memberikan
segala data dan informasi dalam mempermudah
penanganan anak.
4. Membuat analisis mengenai hambatan-hambatan yang
dialami anak autis.
5. Membuat catatan hasil analisis tentang penyebab-
penyebab masalah perilaku yang muncul pada anak autis.
Kegiatan ini bertujuan agar faktor penyebab masalah
perilaku tersebut dapat dihindari.
6. Menyadari bahwa perilaku yang tidak dapat dijelaskan
sering disebabkan oleh asosiasi abnormal atau tidak wajar
dari anak autis.
7. Segera melakukan penanganan setelah analisis masalah
yang ada.
8. Menjelaskan kepada anak autis tentang perilaku baik yang
hendaknya dilakukan anak.
9. Mengajarkan keterampilan sosial dan diskusi secara jelas
dan bahasa yang mudah dipahami anak.
10. Mendorong anak untuk berbicara secara benar dan tepat.
11. Mengupayakan agar gejala spesifik yang dialami anak tidak
terjadi lagi.
12. Membuat peraturan yang tegas sebagai konsekuensi.
13. Mengajarkan segala bentuk kemandirian pada anak autis.
14. Menggunakan bahasa yang sederhana, singkat dan jelas
untuk berkomunikasi dengan anak autis.
52
15. Menyadari dan mengembangkan kemampuan anak autis
dengan segala upaya.
16. Menganalisis dan menyadari bahwa secara umum perilaku
yang memancing perhatian sebenarnya merupakan
permintaan untuk suatu reaksi yang dapat diprediksinya.
17. Melatih anak autis tentang arti sebuah kiasan dan bahasa
metafora untuk meminimalisasi penggunaan bahasa
harafiah serta memahami makna lain dari kata-kata
tertentu.
18. Memberikan tugas-tugas baru dan keterampilan individual
pada anak.
19. Menggunakan metode visual untuk isi dari tugas dan
instruksinya.
20. Membuat program pendidikan yang dapat mengurangi
perilaku stereotip anak dan menerapkan metode
pembelajaran yang beragam dan tidak monoton.
53
masing anak autis untuk disesuaikan dengan materi tugas
yang akan diberikan kepada anak.
5. Prinsip Kekonkretan
Keterbatasan anak autis untuk memahami sesuatu yang
abstrak dapat diatasi dengan penggunaan media
pembelajaran yang lebih konkret dan mudah dipelajari.
Cara lain adalah anak secara langsung diajak ke tempat-
tempat yang sesuai dengan topik pembahasan pada materi
yang sedang diajarkan.
54
1. Terapi Musik
Terapi yang menggunakan musik atau bunyi-bunyian
sebagai medianya. Tujuannya adalah untuk
mengembangkan potensi dan meningkatkan kepekaan
fungsi kognitif, afektif dan psikomotorik anak autis.
3. Terapi Bermain
Terapi yang menggunakan permainan atau kegiatan
bermain sebagai cara anak mengembangkan kemampuan
di berbagai hal, di antaranya kemampuan berkomunikasi,
berbicara, berinteraksi sosial dan motoriknya.
4. Terapi Okupasi
Terapi yang diterapkan untuk upaya penyembuhan atau
pemulihan yang menggunakan aktivitas atau kegiatan
sebagai medianya. Anak secara aktif dilibatkan dalam
pemulihan fungsi-fungsi psikis dan fisik dengan tujuan
meningkatkan kemandirian, harkat, martabat, serta
kualitas hidup (Sudjarwanto, 2005).
5. Terapi Biomedis
Terapi yang diperuntukkan bagi upaya perbaikan kesehatan
dan kebugaran tubuh agar dijauhkan dari faktor-faktor yang
55
dapat merusak, seperti keracunan logam berat, efek
casomorphine, allergon, gliadorphine dan lain sebagainya.
6. Terapi Sosial
Terapi yang menekankan pada perbaikan kemampuan
komunikasi dan sosial anak autis. Terapi ini harus diberikan
secara intensif dengan cara melibatkan anak ke dalam
kegiatan yang mampu mengembangkan keterampilan
komunikasi dua arah, menambah teman dan menyesuaikan
diri dengan lingkungan serta segala situasi.
56
TES FORMATIF
57
BAB II
KONSEP DASAR IDENTIFIKASI
A. Definisi Identifikasi
Secara umum, anak berkebutuhan khusus akan
membutuhkan penanganan dan pelayanan akademik maupun
non akademik secara terus menerus sampai pada tahap mereka
memiliki kemandirian yang mumpuni. Intervensi tersebut tidak
semata-mata diberikan begitu saja, melainkan ditentukan
terlebih dahulu dengan melihat hasil identifikasi dan asesmen.
Hasil tersebut dijadikan dasar pemilihan model atau jenis
intervensi yang paling tepat bagi masing-masing anak
berkebutuhan khusus. Dengan begitu, anak akan memperoleh
pelayanan terbaik sesuai dengan karakteristik, hambatan dan
kebutuhannya.
Program identifikasi dan asesmen dilaksanakan agar
kekhususan atau ketunaan yang dialami anak dapat terdeteksi
berdasarkan analisis karakteristik yang muncul pada anak
tersebut. Ketunaan seyogyanya diketahui sedini mungkin agar
intervensi yang diberikan dapat segera meminimalisir hambatan
yang dimiliki anak. Tidak hanya hambatan yang berkurang
melainkan potensi pada diri anak juga dapat dikembangkan.
Program pelayanan yang telah disesuaikan dengan kebutuhan
anak dapat dievaluasi keefektivannya. Pelayanan tersebut
dapat berupa penanganan medis, terapi, pelayanan akademik
dan non akademik dengan tujuan mengembangkan
kemampuan anak berkebutuhan khusus.
Sebelum dilaksanakan identifikasi dan asesmen kepada
anak berkebutuhan khusus, diperlukan pengetahuan dan
58
pemahaman mengenai berbagai jenis dan tingkat kelainan anak,
di antaranya adalah kelainan fisik, mental, kognitif, sosial dan
emosi. Selain jenis kelainan tersebut, terdapat pula anak yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat yang berada di atas rata-
rata atau sering disebut sebagai anak dengan Cerdas Istimewa
Bakat Istimewa (CIBI). Masing-masing memiliki ciri-ciri atau
karakteristik khusus yang dapat diidentifikasi dan dijadikan
dasar untuk mengasesmen anak berkebutuhan khusus.
Identifikasi diistilahkan sebagai langkah awal untuk
mengetahui, mendeteksi, menemukenali dan menandai kondisi
yang abnormal pada diri anak. Proses penjaringan ini dilakukan
sebagai usaha untuk mengetahui apakah seorang anak
mengalami kelainan atau penyimpangan pada pertumbuhan
dan perkembangan fisik, intelektual atau kognitif, sosial,
emosional dan atau sensoris neurologis jika dibandingkan
dengan anak-anak normal seusianya (Lerner, 1988). Setelah
dilakukan identifikasi dapat diketahui kondisi awal anak, apakah
pertumbuhan dan perkembangannya normal atau abnormal
(berkelainan atau menyimpang). Jika mengalami kelainan,
dapat diketahui pula klasifikasi anak tersebut, di antaranya
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
kesulitan belajar spesifik dan autis (Mursitowarti, 1990). Hasil
tersebut kemudian dijadikan dasar kegiatan asesmen.
Apabila dibandingkan dengan asesmen, identifikasi bersifat
lebih sederhana karena masih di tahap menemukenali secara
kasar. Kendati demikian, kegiatan ini perlu dilaksanakan dengan
cara yang tepat dan teliti serta pendekatan-pendekatan khusus
agar memperoleh informasi yang akurat. Identifikasi dilakukan
oleh beberapa pihak yang berkontribusi pada keberhasilan
program. Biasanya orang-orang tersebut memiliki hubungan
erat dan sering bergaul dengan anak, seperti orangtua, keluarga
besar, pengasuh, para pendidik dan para ahli yang menangani
59
kasus tersebut (Wallace & Larsen, 2002). Mereka dianggap
mampu memberikan kemudahan bagi terlaksananya
identifikasi.
Teknik sederhana dapat diterapkan pada proses
identifikasi, seperti wawancara dan tes. Melalui hasil teknik
yang dilakukan dengan pihak-pihak tertentu, kita akan
mendapatkan informasi mengenai anak berkebutuhan khusus.
Data tersebut masih belum dapat dijadikan pedoman kuat
dalam menyusun program layanan atau pembelajaran untuk
mereka. Sejak awal mengajar, seorang guru diharuskan untuk
memahami cara atau proses pengamatan, penilaian,
pencatatan dan pendokumentasian secara terus menerus dan
sistematis agar memperoleh kesimpulan yang tepat tentang
kondisi yang dialami anak berkebutuhan khusus.
Kondisi diidentifikasi merupakan kondisi yang menyimpang
atau mengalami kelainan. Kondisi tersebut cenderung bersifat
kurang baik bagi kelangsungan hidup anak. Penemuan masalah
rata-rata ditemukan sejak anak masuk sekolah yang biasanya
dikeluhkan oleh orangtua atau pihak-pihak terkait yang memiliki
kedekatan hubungan dengan anak. Masalah yang dialami dapat
diakibatkan oleh beragam faktor internal dan eksternal. Setiap
anak berkebutuhan khusus memiliki penyebab masalah yang
berbeda-beda. Dengan adanya program identifikasi,
keberadaan mereka dapat dideteksi sedini mungkin.
Menemukenali anak-anak berkebutuhan khusus
merupakan suatu hal yang memerlukan perhatian serius. Hal
tersebut dikarenakan terdapat dua tipe anak berkebutuhan
khusus jika dilihat dari cara menemukenali, yaitu anak-anak
yang dengan mudah dapat dikenali sebagai anak berkebutuhan
khusus, misalnya anak dengan kelainan fisik signifikan dan anak-
anak yang membutuhkan pendekatan serta peralatan khusus
untuk menentukan bahwa anak tersebut termasuk anak
60
berkebutuhan khusus, misalnya anak dengan hambatan
intelektual, emosional, sosial dan kepribadian yang masih
memerlukan instrumen khusus serta alasan rasional tertentu
untuk dapat memastikan keberadaannya.
61
perencanaan program, pelaksanaan program, merefleksi
progam, mereview kasus dan melakukan evaluasi. Jika
identifikasi dan asesmen berhasil dilakukan, maka dapat
diimplementasikan program-program pelayanan, baik
akademik maupun non akademik yang telah disesuaikan dan
dikembangkan berdasarkan pada hambatan, kebutuhan dan
potensi anak berkebutuhan khusus. Pelayanan yang diberikan
dapat berupa pendidikan, terapi, bantuan medis dan lain
sebagainya.
Pengamatan yang dilakukan dengan teliti dan tepat sasaran
mengenai keseluruhan kondisi anak sangat penting dilakukan
dalam proses identifikasi anak-anak berkebutuhan khusus.
Identifikasi dapat dilaksanakan di sekolah oleh guru pada awal
siswa masuk sekolah. Sebagai upaya memperoleh informasi
yang lebih lengkap dan akurat, maka identifikasi perlu dilakukan
dengan cara yang bervariasi. Di samping melakukan
pengamatan secara seksama, wawancara dengan orangtua
ataupun pihak-pihak yang bersangkutan juga perlu dilakukan.
Informasi yang telah diperoleh selanjutnya dapat digunakan
untuk menemukenali dan menentukan anak-anak yang memiliki
kebutuhan khusus.
Menurut Gunawan (2017), identifikasi yang dilakukan
untuk menemukenali keberadaan anak-anak berkebutuhan
khusus berorientasi pada ciri-ciri atau karakteristik ada pada
sesorang anak, meliputi kondisi fisik, kemampuan intelektual
atau kognitif, komunikasi, maupun sosial emosional. Pernyataan
tersebut dirincikan sebagai berikut:
1. Kondisi Fisik
Kondisi fisik yang dimaksud mencakup keberadaan kondisi
fisik secara umum (anggota tubuh) dan kondisi indera
seorang anak, baik secara organic maupun fungsional, dalam
artian apakah kondisi yang ada mempengaruhi fungsinya
62
atau tidak, misalnya apakah ada kelainan mata yang
mempengaruhi fungsi penglihatan.
3. Kemampuan Komunikasi
Kemampuan komunikasi merupakan kesanggupan seorang
anak dalam memahami dan mengekspresikan gagasannya
dalam berinteraksi terhadap lingkungan sekitarnya, baik
secara lisan atau ucapan maupun tulisan.
4. Sosial Emosial
Sosial emosional dalam hal ini meliputi aktivitas sosial yang
dilakukan seorang anak dalam kegiatan interaksinya dengan
teman-teman ataupun dengan gurunya serta perilaku yang
ditampilkan dalam pergaulan kesehariannya, baik di
lingkungan sekolah maupun di lingkungan lainnya.
63
penyimpangan pada salah satu atau lebih dari satu aspek
psikologis jika dilakukan perbandingan dengan anak-anak
normal seusianya. Kelainan atau penyimpangan dapat
terjadi pada aspek fisik, mental, intelektual, emosi, sosial
dan kepribadian.
Informasi dan data hasil identifikasi dihimpun untuk
dilaksanakan tindak lanjut berupa kegiatan asesmen guna
menyusun program pelayanan khusus berupa
pembelajaran akademik maupun non akademik. Pelayanan
berupa pendidikan, keterampilan, terapi, medis dan lain-
lain disusun berdasarkan karakteristik, hambatan serta
potensi masing-masing anak.
64
semua anak atau siswa di kelas pada awal masuk
sekolah.
Penjaringan dilakukan dengan menggunakan alat
identifikasi anak berkebutuhan khusus guna
mengetahui dan menemukenali jenis dan tingkat
hambatan yang dialami anak berdasarkan gejala-gejala
yang muncul. Penggunaan alat identifikasi bermanfaat
bagi guru, orangtua, maupun tenaga profesional dalam
melakukan kegiatan penjaringan dan penyaringan. Jika
tahap ini dapat dilakukan dengan maksimal, maka
hasilnya dapat digunakan untuk bahan penanganan
lanjutan bagi anak berkebutuhan khusus dalam
rangkaian kegiatan identifikasi.
b. Pengalihtanganan (Referal)
Setelah melewati tahap penjaringan, maka
diketahui gejala-gejala pada anak berkebutuhan
khusus yang dijadikan bahan dasar untuk tahap
selanjutnya, yaitu pengalihtanganan (referral). Pada
tahap ini dapat diambil kesimpulan mengenai
pengelompokan anak-anak berkebutuhan khusus.
Pengelompokan tersebut dibagi menjadi dua, meliputi:
1) Anak berkebutuhan khusus yang masih dapat
ditangani sendiri oleh guru dalam upaya
pemberian pelayanan khusus. Pelayanan khusus
dapat berupa pembelajaran yang telah
disesuaikan terlebih dahulu dengan kemampuan
masing-masing anak dan terapi sederhana
(mampu dilakukan guru) sehingga tidak perlu
dirujuk kepada ahli atau profesional lain.
2) Anak berkebutuhan khusus yang memerlukan ahli
atau profesional lain untuk menindaklanjuti
65
penanganann kepada dirinya yang tidak dapat
dilakukan sendiri oleh guru. Kondisi anak tersebut
perlu dikonsultasikan atau dirujuk terlebih dahulu
kepada para ahli yang berkontribusi, seperti
dokter, konselor, psikiater, psikolog, terapis dan
orthopedagog (ahli PLB). Proses perujukan anak
oleh guru kepada ahli lain ini disebut
pengalihtanganan dalam rangka mengatasi
problematika anak yang disebabkan oleh dampak
ketunaannya.
c. Klasifikasi
Tujuan yang dibentuk dalam kegiatan identifikasi
pada tahap klasifikasi memiliki tujuan khusus yaitu
untuk menentukan apakah anak yang telah dirujuk ke
tenaga ahli tertentu benar-benar membutuhkan
penanganan lebih lanjut atau dapat diberikan
pelayanan pendidikan khusus oleh guru secara
langsung. Jika kesimpulan dari tahap pengalihtanganan
menyatakan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan
ditemukan permasalahan serius pada anak sehingga
memerlukan penanganan lebih lanjut dari ahli
tertentu, seperti pengobatan medis, latihan atau
aktivitas khusus, terapi, pelayanan kesehatan mental
dan lain-lain, maka guru akan mengomunikasikan
kepada orang tua anak yang bersangkutan mengenai
hal ini.
Pada prinsipnya, guru hanya memberikan layanan
pendidikan sesuai dengan kondisi anak dan tidak dapat
mengobati serta memberikan terapi secara langsung,
melainkan menyajikan fasilitas dan meneruskan
informasi tentang kondisi anak kepada pihak keluarga.
66
Namun, jika anak tidak mengalami gejala-gejala yang
mengharuskannya ditangani lebih lanjut oleh para ahli
yang lain, maka anak yang bersangkutan dapat
dikembalikan ke kelas semula untuk memperoleh
pelayanan pendidikan khusus di kelas reguler.
d. Perencanaan Pembelajaran
Tahap perencanaan pembelajaran dalam proses
identifikasi anak berkebutuhan khusus ditujukan untuk
keperluan penyusunan Program Pembelajaran
Individual (PPI). Namun, PPI belum dapat disusun
hanya dengan mengandalkan hasil dari proses
identifikasi, melainkan perlu dilakukan terlebih dahulu
kelanjutan program yang disebut dengan asesmen.
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus
membutuhkan program pembelajaran yang tidak sama
antara satu dengan yang lainnya, oleh karena itu PPI
yang dirancang bagi masing-masing anak memiliki
perbedaan-perbedaan tertentu dengan menyesuaikan
kondisi setiap anak. Kegiatan yang dilakukan dalam
tahap ini yaitu menganalisis dan mendeskripsikan hasil
asesmen yang nantinya akan dijadikan bahan dasar
untuk menyusun PPI.
67
Jika anak tidak mengalami kemajuan yang
signifikan dalam kurun waktu tertentu, maka perlu
diadakan evaluasi atau peninjauan ulang mengenai
ketepatan dan kesesuaian diagnosis, metode, media
pembelajaran, PPI, cara guru dalam menyampaikan
materi dan faktor-faktor lain yang mendukung.
Sebaliknya, apabila intervensi yang diberikan
menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan pada
anak, maka pemberian layanan atau intervensi
tersebut dapat diteruskan dan dikembangkan.
Tahap-tahap dalam tujuan khusus di atas harus
dilakukan dengan maksimal dan tepat agar
permasalahan-permasalahan yang dialami oleh anak
berkebutuhan khusus pada akhirnya dapat ditangani
secara keseluruhan, baik dari segi akademik maupun
non akademik. Selain meminimalisir hambatan atau
gangguan, terselenggaranya tahapan ini juga berperan
penting dalam peningkatan potensi yang dimiliki anak
berkebutuhan khusus.
Kegiatan indentifikasi perlu dilakukan secara
berkelanjutan oleh guru. Apabila terdapat kendala
atau hal-hal tertentu yang tidak dapat ditangani sendiri
oleh guru, maka disarankan untuk meminta bantuan
dan atau bekerja sama dengan tenaga ahli lain yang
mampu memberikan kontribusi dalam penanganan
anak yang bersangkutan.
D. Sasaran Identifikasi
Sasaran yang dituju dalam pelaksanaan kegiatan
identifikasi anak berkebutuhan khusus secara umum adalah
seluruh anak dengan kebutuhan khusus yang berada di usia pra-
68
seolah dan sekolah dasar. Sedangkan sasaran khusus
(operasional) identifikasi anak berkebutuhan khusus meliputi:
1. Anak yang Telah Bersekolah di Sekolah Reguler
Dalam hal ini, pihak yang melaksanakan identifikasi
ialah guru kelas dan atau tim khusus yang ditugasi oleh
sekolah. Identifikasi dilakukan dengan menggunakan
panduan identifikasi sederhana dalam rangka menjaring
seluruh siswa di sekolah tersebut. Tujuan dilaksanakannya
identifikasi yaitu untuk menemukenali anak-anak yang
mengalami kelaianan atau penyimpangan jika
dibandingkan dengan anak normal seusianya sehingga
membutuhkan pelayanan atau penanganan khusus. Perlu
dilakukan langkah-langkah dalam memberikan bantuan
pendidikan khusus kepada anak-anak yang yang terjaring
melalui proses identifikasi sesuai dengan kebutuhannya.
69
Kelurahan, Ketua RW dan RT di lingkungan setempat (lokasi
pelaksanaan identifikasi) dalam melakukan pendataan anak
berkebutuhan khusus usia sekolah di lingkungan setempat
yang belum bersekolah. Apabila anak berkebutuhan khusus
di usia sekolah yang belum bersekolah dan terjaring melalui
pendataan ini telah ditentukan, maka selanjutnya dilakukan
langkah-langkah untuk pemberian tindakan pendidikan
sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Identifikasi
dilakukan oleh tim khusus yang mencakup guru kelas, guru
mata pelajaran, guru bimbingan dan konseling (BK), guru
pendidikan khusus, orang tua atau keluarga anak dan
tenaga ahli yang terkait.
70
TES FORMATIF
71
BAB III
PELAKSANAAN IDENTIFIKASI
A. Pelaksanaan Identifikasi
Dalam pelaksanaan identifikasi anak berkebutuhan khusus,
terdapat langkah-langkah yang perlu dilaksanakan. Jika
identifikasi dilakukan pada anak di usia sekolah yang belum
bersekolah atau drop out, maka sekolah yang bersangkutan
perlu melakukan pendataan di masyarakat dan bekerjasama
dengan Kepala Desa atau Lurah, RT, RW setempat dan
posyandu. Apabila dalam pendataan tersebut telah ditemukan
anak dengan gejala berkebutuhan khusus, maka selanjutnya
dapat dilakukan pembicaraan dengan orangtua atau keluarga,
komite sekolah dan perangkat desa setempat untuk
merencanakan tindak lanjut. Sedangkan bagi anak-anak yang
telah masuk dan menjadi siswa di sekolah, indentifikasi
dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini:
1. Menghimpun Data Anak
Pada tahap ini, petugas identifikasi mengumpulkan
data-data mengenai kondisi seluruh siswa di kelas. Data
tersebut dihimpun sesuai dengan gejala-gejala yang
nampak pada siswa. Kegiatan ini dilakukan dengan
menggunakan Alat Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus.
72
memiliki kebutuhan khusus dapat ditemukenali. Jika
kelainan atau ketunaan dapat segera ditemukan pada diri
anak, maka pelayanan atau penanganan khusus dapat
segera diberikan pula pada anak yang bersangkutan.
Petugas identifikasi perlu membuat daftar nama anak
yang diindikasikan berkelainan sesuai dengan gejala yang
muncul. Apabila ditemukan anak yang memenuhi syarat
untuk disebut atau berindikasi kelainan sesuai dengan
ketentuan tersebut, maka dimasukkan ke dalam daftar
nama-nama anak dengan indikasi berkebutuhan khusus
sesuai dengan format khusus yang telah disediakan.
Sebaliknya, untuk anak-anak yang tidak menunjukan gejala
atau tanda-tanda berkelainan, tidak perlu dimasukkan ke
dalam daftar khusus tersebut.
73
memperoleh tanggapan atau saran dan cara-cara
pencegahan serta penanggulangannya.
74
berkelanjutan dan sisitematis guna memperoleh kesimpulan
yang tepat tentang kondisinya.
75
asesmen membutuhkan tenaga professional sesuai
dengan kewenangannya. Guru dapat membantu dan
memfasilitasi terselenggaranya asesmen tersebut
sesuai dengan kemampuan orangtua dan sekolah.
2. Perencanaan Pembelajaran
Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah
menganalisis hasil asesmen untuk kemudian
dideskripsikan, ditentukan penempatan untuk selanjutnya
dan disusun program pembelajaran berdasarkan hasil
asesmen. Berikutnya yaitu menganalisis kurikulum agar
dapat memilih bidang studi yang perlu diadakan
penyesuaian. Hasil dari pelaksanaan analisis kurikulum ini
akan diselaraskan dengan program hasil asesmen sehingga
tersusun sebuah program yang utuh berupa Program
Pembelajaran Individual (PPI).
Penyusunan PPI dilakukan dalam sebuah tim yang
sekurang-kurangnya terdiri dari guru kelas dan mata
pelajaran, kepala sekolah, orang tua atau wali serta guru
pembimbing khusus. Pertemuan perlu dilakukan untuk
menentukan kegiatan yang sesuai dengan anak serta
penentuan tugas dan tanggung jawab pelaksanaan
kegiatan.
3. Pelaksanaan Pembelajaran
Pada tahap ini, guru melaksanakan program
pembelajaran serta pengorganisasian siswa berkelainan di
kelas regular sesuai dengan rancangan yang telah disusun.
Pelaksanaan pembelajaran dapat dilakukan melalui
individualisasi pengajaran dimana anak mempelajari topik
yang sama, dalam waktu dan ruang yang sama, namun
dengan materi yang bervariasi.
76
Cara lain proses pembelajaran dilakukan secara
individual dimana anak diberi pelayanan secara individual
dengan bantuan guru khusus. Proses ini dapat dilakukan
jika dianggap memiliki rentang materi atau keterampilan
yang sifatnya mendasar. Proses layanan ini dapat dilakukan
secara terpisah atau masih kelas tersebut sepanjang tidak
mengganggu situasi belajar secara keseluruhan.
77
ALAT IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Petunjuk Pengisian
1. Alat indetifikasi ini diperuntukkan bagi anak yang diindikasi
memiliki hambatan pada aspek psikologisnya.
2. Beri tanda ceklis (V) pada kolom pernyataan sesuai dengan
gejala yang muncul.
Catatan:
1. Usahakan untuk melihat gejala-gejala yang nampak pada
setiap anak dengan teliti dan jangan terburu-buru. Kegiatan
ini dapat memerlukan waktu beberapa hari.
2. Agar gejala mudah dikenali, pada beberapa pernyataan,
anak dapat terlebih dahulu diberi tugas tertentu baru
kemudian diamati pada saat mereka mereka mengerjakan
tugas tersebut.
3. Terdapat kemungkinan bahwa seorang anak mengalami
lebih dari satu jenis kelainan (kelainan ganda).
78
INFORMASI PERKEMBANGAN ANAK
(Diisi oleh Orang tua)
Petunjuk:
Isilah daftar berikut pada kolom yang tersedia sesuai dengan kondisi
anak yang sebenarnya. Jika ada yang kurang jelas, konsultasikan
kepada guru kelas tempat anak Bapak/Ibu bersekolah.
A. Identitas Anak:
Nama: ..........................................................................................
Tempat dan tanggal lahir/umur: ..................................................
Jenis kelamin: ...............................................................................
Agama: .........................................................................................
Status anak: .................................................................................
Anak ke dari jumlah saudara: ......................................................
Nama sekolah: .............................................................................
Kelas: ...........................................................................................
Alamat: ........................................................................................
B. Riwayat Kelahiran:
Perkembangan masa kehamilan: .................................................
Penyakit pada masa kehamilan: ..................................................
Usia kandungan: ..........................................................................
Riwayat proses kelahiran: ............................................................
Tempat kelahiran: ........................................................................
Penolong proses kelahiran: ..........................................................
Gangguan pada saat bayi lahir: ....................................................
Berat bayi: ....................................................................................
Panjang bayi: ................................................................................
Tanda-tanda kelainan pada bayi: .................................................
79
C. Perkebangan Masa Balita:
Menyusu ibunya hingga umur: .....................................................
Minum susu kaleng hingga umur: ................................................
Imunisasi (lengkap/tidak): ...........................................................
Pemeriksaan atau penimbangan rutin/tidak: ..............................
Kualitas makanan: ........................................................................
Kuantitas makan: .........................................................................
Kesulitan makan (ya/tidak): .........................................................
D. Perkembangan Fisik:
Dapat berdiri pada umur: .....................................................
Dapat berjalan pada umur: ....................................................
Naik sepeda roda tiga pada umur: ................................................
Naik sepeda roda dua pada umur: ........................................
Bicara dengan kalimat lengkap: ...................................................
Kesulitan gerakan yang dialami: ...................................................
Status gizi balita (baik/kurang): ....................................................
Riwayat kesehatan (baik/kurang): ...............................................
Penggunaan tangan dominan: …………………………………………………
E. Perkembangan Bahasa:
Meraba/berceloteh pada umur: .................................................
Mengucapkan satu suku kata yang bermakna kalimat (missal:
“Pa” berarti “bapak”) pada umur: ………….....................................
Berbicara dengan satu kata bermakna pada umur: ......................
Berbicara dengan kalimat lengkap sederhana pada umur: ……….
F. Perkembangan Sosial:
Hubungan dengan saudara: .........................................................
Hubungan dengan teman: ..........................................……………….
Hubungan dengan orangtua: .......................................................
Hobi: ............................................................................................
80
Minat khusus: ..............................................................................
G. Perkembangan Pendidikan:
Masuk TK umur: ...........................................................................
Lama Pendidikan di TK: ................................................................
Kesulitan selama di TK: .............................................................
Masuk SD umur: ...........................................................................
Kesulitan selama di SD: ................................................................
Pernak tidak naik kelas: ..............................................................
Pelayanan khusus yang pernah diterima anak: ………………………….
Prestasi belajar yang dicapai: ……………………………………………………
Mata Pelajaran yang dirasa paling sulit: .......................................
Mata Pelajaran yang dirasa paling disenangi: ..............................
Keterangan lain yang dianggap perlu: .....................................
( …………………………….. )
81
DATA ORANG TUA/WALI SISWA
(Diisi orang tua/wali siswa)
Ibu:
Nama Ibu: ...........................................................................
Umur: .................................................................................
Agama: ...............................................................................
Status Ibu: ...........................................................................
Pendidikan Tertinggi: ..........................................................
Pekerjaan Pokok: ...............................................................
Alamat tinggal: ....................................................................
82
Wali:
Nama: …………………………………………………………………………….
Umur: ………….………………………………………………………………….
Agama: ……..…………………………………………………………………….
Status perkawinan: ………………………………………………………….
Pendidikan Tertinggi: ………………………………………………………
Pekerjaan: ……………………………………………………………………….
Alamat: ………………………………………………………………………….
Hubungan Keluarga: ………………………………………………………..
83
Bantuan yang diharapkan orang tua untuk anak ybs: .........
( ………………….……… )
84
TES FORMATIF
85
BAB IV
KONSEP DASAR ASESMEN
86
peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus. Dengan dilaksanakannya asesmen,
program pendidikan dapat disusun secara tepat disesuaikan
dengan kekhususan dan kebutuhan anak. Selain itu, melalui
kegiatan asesmen, dapat juga dilakukan penilaian mengenai
keberhasilan dan kegagalan Program Pembelajaran Individual
(PPI) yang telah diterapkan kepada anak.
Asesmen merupakan kegiatan profesional yang dilakukan
secara khusus untuk menentukan diagnosa dari gangguan atau
kelainan yang dialami seseorang. Asesmen didefinisikan sebagai
proses pengumpulan informasi tentang seseorang anak yang
akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan
yang berhubungan dengan keadaan anak yang bersangkutan.
Dalam rangka mengumpulkan data pada proses asesmen
dibutuhkan alat ukur atau metode. Kegiatan tersebut dapat
dilakukan oleh satu atau sekumpulan pengukur. Secara
universal, asesmen didefinisikan sebagai:
1. Proses sistematis yang bersifat komprehensip;
2. Berupa informasi data untuk mengetahui gejala dan
intensitasnya, kendalakendala yang dialami, serta
kelemahan dan kekuatan anak;
3. Adanya pembanding informasi tersebut dengan suatu
parameter atau ukuran dengan menggunakan instrumen;
4. Adanya orang yang mengumpulkan informasi;
5. Digunakan untuk menyusun suatu program pembelajaran
yang dibutuhkan anak yang bersifat realistis, sesuai dengan
kenyataan secara objektif.
87
pada saat itu. Asesmen digunakan untuk menemukan dan
menetapkan di mana letak masalah yang dihadapi serta apa
yang menjadi kebutuhan belajar seorang anak. Selanjutnya,
informasi yang telah diperoleh akan dijadikan acuan dasar untuk
menentukan kebutuhan pembelajaran anak yang bersangkutan.
Berdasarkan informasi yang ada, guru dapat menyusun program
pembelajaran yang bersifat realistis sesuai dengan kenyataan
obyektif dari anak tersebut.
Perlunya asesmen dalam pendidikan anak berkebutuhan
khusus didasari oleh dua hal, yaitu:
1. Pada dasarnya tindakan asesmen merupakan tindak lanjut
dari kegiatan deteksi. Pada kegiatan detiksi semata-mata
hanya menelusuri keadaan perkembangan anak sehingga
akhirnya dapat diduga anak tersebut diklasifikasikan
sebagai anak berkebutuhan khusus.
2. Anak berkebutuhan khusus memiliki perbedaan-perbedaan
individual, baik perbedaan inter individual yaitu perbedaan
kemampuan anak berkebutuhan khusus dengan teman-
temanya yang sejenis, ataupun intra individual yaitu
perbedaan kemampuan didalam anak berkebutuhan itu
sendiri.
88
ketercapaian potensi dan prestasi belajar anak, seperti
keterampilan membaca, menulis dan berhitung.
1. Asesmen Perkembangan
Asesmen perkembangan dimaknai sebagai proses
pengumpulan data atau informasi tentang aspek-aspek
perkembangan anak yang dibutuhkan sebagai bahan
pertimbangan dalam merencanakan program
pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. Meskipun
bidang yang diases pada asesmen perkembangan adalah
aspek-aspek non akademik, namun aspek-aspek tersebut
membawa pengaruh besar terhadap kebutuhan pelayanan
dan prestasi anak di bidang akademik.
Setiap anak, termasuk yang memiliki kebutuhan
khusus tentu memiliki kondisi yang berbeda pada aspek-
aspek perkembangannya walaupun terdapat pola-pola
yang cenderung sama dan berlaku bagi sebagian besar
manusia. Anak yang berada di golongan abnormal sering
didefinisikan sebagai anak yang mengalami perbedaan atau
kelainan pada pola umum tersebut.
Aspek-aspek perkembangan dalam bidang pendidikan
anak berkebutuhan khusus perlu diperhatikan dan
dipahami, terutama oleh guru PLB. Apabila terjadi
ketidakpahaman atas hal ini, maka besar kemungkinan
akan mengalami kesukaran dalam memberikan pelayanan
yang tepat bagi anak. Hambatan atau kelainan aspek
perkembangan yang dialami anak berkebutuhan khusus
akan berimplikasi pada kelancaran perkembangan
akademik anak.
Informasi melalui asesmen perkembangan dihimpun
secara sistematis dan profesional. Aspek-aspek yang
diasesmen di antaranya berupa perkembangan kognitif
atau intelektual, perilaku adaptif, atensi atau perhatian,
89
emosi, bahasa, komunikasi dan motorik. Setelah
diasesmen, data yang terkumpul digunakan sebagai alat
pengambilan keputusan terkait program pembelajaran
yang akan diberikan kepada anak sehingga dapat mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
2. Asesmen Akademik
Asesmen akademik anak berkebutuhan khusus
ditekankan pada upaya untuk mengetahui kemampuan
yang sudah dimiliki, hambatan atau kesulitan yang dialami,
latar belakang mengapa hambatan dan kesulitan tersebut
muncul dan mengetahui kebutuhan belajar anak dalam hal
atau bahan pelajaran tertentu yang ada dalam lingkup
kurikulum sekolah. Asesmen akadmik lebih difokuskan
kepada tiga hal yaitu asesmen membaca, menulis dan
aritmatika atau matematika.
Seorang guru yang akan melakukan asesmen akademik
harus memahami isi kurikulum secara mendalam tentang
urutan hirarkis (urutan vertikal) dan keluasan isi kurikulum
(rangkaian horizontal) dari mata pelajaran yang akan
diases. Asesmen yang dilaksanakan berazaskan kurikulum
atau akademik dirincikan sebagai berikut:
a. Asesmen Membaca
Sebelum melakukan asesmen, seorang asesor harus
memahami terlebih dahulu ruang lingkup
keterampilan membaca sebagai objek asesmen.
Terdapat lima aspek keterampilan membaca yang
berjalan secara berurutan dimana keterampilan yang
ada di bawahnya menjadi prerequisite bagi
keterampilan berikutnya. Kelima aspek tersebut
meliputi:
1) Kesadaradan fonem (phonemic awareness)
90
2) Pengertian tentang alphabet (alphabet principles)
3) Ketepatan dan kelacaran membaca kata (accuracy
and fluency)
4) Penguasaan kosakata (vocabulary)
5) Membaca pemahaman (reading comprehension)
b. Asesmen Matematika
Pelajaran matematika memiliki logika terstuktur.
Para siswa pada tahap awal (dalam kognitifnya)
membangun relasi sederhana, kemudian berkembang
menjadi kompleks. Pemahaman konsep berjenjang,
pemahaman konsep yang ada di bawahnya menjadi
dasar untuk memahami konsep selanjutnya. Apabila
konsep yang ada di bawah belum dipahami maka akan
mengalami hambatan dalam memahami konsep
selanjutnya.
Oleh karena penguasaan pada level bawah sangat
esensial untuk memahami konsep pada level atas,
maka kesiapan (readiness) menjadi sangat penting
dalam pembelajaran. Misalnya jika seorang anak
belum atau tidak memahami fakta dasar perkalian
maka, ia belum siap untuk belajar pembagian.
Kegagalan dalam memahami konsep dasar pada awal
belajar matematika memberi dampak yang sangat kuat
terhadap kesulitan belajar matematika pada tahap
selanjutnya.
1) Asesmen Kesiapan Belajar Matematika
Piaget mendeskripsikan beberapa konsep
yang mendasari kesiapan dalam memahami
konsep kuantitaif yaitu pemahaman tentang: (a)
klasifikasi; (b) urutan dan seriasi; (c)
91
korespondensi dan (d) konservasi. Konsep-konsep
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
(a). Klasifikasi
Kemampuan mengklasifikasikan adalah
aktivitas intelektual yang paling pokok, dan
merupakan dasar bagi seorang anak untuk
memahami konsep bilangan. Klasifikasi
adalah aktivitas kognitif untuk melihat
hubungan, seperti mencari kesamaan dan
pebedaan atribut objek. Misalnya
mengelompokkan kancing yang wananya
sama, kemudian ukuran, bentuk dsb.
Kemampuan ini sebagai dasar untuk mengerti
konsep penjumlahan, karena hanya objek
yang atributnya sama yang dapat
dijumlahkan.
92
pasti lebih dahulu dari bilangan 2 dan
seterusnya.
(c). Korespondensi
Korespondensi diartikan sebagai dasar
untuk mampu memahami kemampuan
menghitung berapa banyak (how many) dan
penting untuk memahami konsep komputasi.
Korespondensi adalah pengertian tentang
jumlah objek di satu tempat jumlahnya sama
dengan yang ada di tempat lain meskipun
memiliki atribut yang berbeda. Misalnya,
sebuah kelereng di dalam gelas sama dengan
sebuah bola sepak di atas lemari.
(d). Konservasi
Konservasi sebagai dasar untuk
memahami konsep numerik lebih lanjut.
Konservasi artinya bahwa kuantitas objek
tidak akan berubah meskipun terjadi
tranformasi bentuk dan posisi. Misalnya air di
dalam gelas akan tetap sama banyaknya
meskipun air itu dituangkan ke dalam ember.
Contoh lain, deretan kelereng yang berjumlah
tujuh buah disusun vertikal sama banyak
dengan deretan kelereng yang disusun secara
horizontal.
93
untuk tahap berikutnya, yaitu belajar pada tahap
kongkret, semi kongkret dan belajar pada tahap
abstrak.
(a). Tahap Kongkret
Belajar pada tahap kongkret artinya
belajar konsep matematika melalui
manipulasi objek nyata. Tahap ini membantu
anak dalam proses komputasi. Pada tahap ini
siswa belajar memanipulasi objek dan
sekaligus belajar proses simbolik. Kita bisa
melakukan Asesmen pada tahap ini, misalnya
dengan menggunakan permen, kelereng, dan
lain-lain.
94
hasil belajar yang sangat baik pada anak-anak
berkebutuhan khusus, khususnya bagi anak yang
mengalami ketunagrahitaan ringan.
c. Asesmen Menulis
Pada saat asesmen guru dapat melakukan observasi
kemampuan menulis anak dalam hal:
Menulis dari kiri ke kanan
Memegang pensil
Menulis nama sendiri
Menulis huruf-huruf
Menyalin kata dari papan tulis ke buku atau kertas
Menulis pada garis yang tepat
Posisi kertas
Penggunaan tangan dominan
Posisi duduk
95
Dalam penyelenggaraan pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus, secara garis besar asesmen dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu: asesmen akademik, dan
asesmen perkembangan. Asesmen akademik menekankan pada
upaya mengukur pencapaian prestasi belajar siswa. Pada
asesmen akademik aspek yang diases adalah bidang-bidang
kemampuan dan keterampilan akademik seperti keterampilan
membaca, menulis dan matematika. Sedangkan asesmen
perkembangan mengutamakan pada aspek-aspek yang
berkaitan dengan keterampilan prasyarat yang diperlukan
untuk keberhasilan bidang akademik.
Adapun aspek-aspek yang diases dapat berupa
perkembangan kognitif, yang meliputi: aspek bahasa dan
komunikasi, persepsi, konsentrasi, dan memori; perkembangan
motorik, perkembangan social, dan perkembangan emosi..
Sedangkan Harwell (dalam Rafikayati) mengemukakan bahwa
aspek-aspek perkembangan yang perlu diases khususnya bagi
anak berkesulitan belajar, mencakup:
a) Gangguan motorik;
b) Gangguan persepsi;
c) Gangguan perhatian atau atensi;
d) Gangguan memori;
e) Hambatan dalam orientasi ruang atau arah;
f) Hambatan dalam perkembangan bahasa;
g) Hambatan dalam pembentukan konsep; dan
h) Mengalami masalah dalam perilaku.
96
pembuatan program dan materi pelajaran agar sesuai dengan
kebutuhan siswa. Sesuai dengan tujuan umum tersebut,
asesmen mempunyai tujuan yang spesifik yang dapat
diklasifikasi sebagai berikut:
1. Identifikasi dan Sreening, untuk mengidentifikasi anak-anak
yang memiliki kebutuhan khusus.
2. Klasifikasi, untuk mengklasifikasikan jenis dan berat atau
ringannya kebutuhan khusus anak yang bersangkutan.
3. Perencanaan Program Pengajaran.
4. Evaluasi Siswa.
5. Penempatan.
6. Grading atau Penilaian.
7. Prediction, untuk memperkirakan potensi atau kinerja anak
atau kelompok anak di masa datang.
8. Guidance, dapat digunakan untuk bimbngan sehubungan
karir.
97
2. Untuk keperluan pengklasifikasian, penempatan, dan
penemuan program pendidikan anak berkebutuhan
khusus.
3. Untuk menentukan arah atau tujuan pendidikan serta
kebutuhan ABK. Tujuan pendidikan ABK pada dasarnya
sama dengan tujuan pendidikan pada umumnya.
Mengingat kemampuan dan kebutuhan mereka berbeda-
beda dan perbedaan tersebut sedemikian rupa, sehingga
perlu dirumuskan tujuan khusus yang disesuaikan dengan
kemampuan dan kebutuhan tersebut.
4. Untuk mengembangkan program pendidikan yang
diindividualisasikan yang dikenal dengan IEP (Individualized
Educational Program). Dengan data yang diperoleh sebagai
hasil asesmen dapatlah diketahui kemampuan dan
ketidakmampuan ABK. Kemampuan dan ketidakmampuan
menjadi dasar untuk mengembangkan kemampuan
berikutnya. Dengan demikian program yang dikembangkan
akan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
anak.
5. Untuk menentukan strategi, lingkungan belajar dan
evaluasi pengajaran.
98
screening adalah untuk mengidentifikasi siswa yang
memiliki gangguan atau permasalahan belajar.
Permasalahan tersebut dapat diakibatkan oleh ketunaan
pada dirinya yang kemungkinan belum terdeteksi.
2. Fungsi Pengalihtanganan
Berdasarkan hasil data yang diperoleh dari tahap
screening, maka dapat dilakukan pengelompokkan anak
yang diindikasi sebagai penyandang kebutuhan khusus dan
tidak. Anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan
atau penyimpangan pada kondisi psikologis (fisik, kognitif,
emosi, sosial dan lainnya) diberikan pelayanan khusus
untuk menangani gejala yang ada pada dirinya dan dapat
dialihtangankan ke ahli PLB atau ahli lain yang berkontribusi
bagi penanganan anak yang bersangkutan. Proses ini
berfungsi sebagai alat untuk pengalihtanganan kasus dari
kasus pendidikan menjadi kasus kesehatan, kejiwaan
ataupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian yang tidak
mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga memerlukan
keterlibatan profesional lain.
99
dimiliki dan ada pula program yang sifatnya terapeutik atas
aspek yang secara nyata mengalami gangguan atau deficit.
100
TES FORMATIF
101
BAB V
PELAKSANAAN ASESMEN
102
Masing-masing sub komponen dapat dijabarkan lagi ke
dalam sub-sub komponen yang lebih kecil. Muatan pada
komponen kecil tersebut mencakup indikator-indikator
yang dijadikan landasan pada penyusunan butir-butir soal
dalam instrumen asesmen. Materi yang disajikan dalam
bentuk matriks, bagan, tabel atau daftar dapat memberikan
gambaran mengenai bidang yang diases secara
komprehensif sehingga membantu guru atau asesor agar
lebih mudah saat menyusun instrumen asesmen.
103
yang menyeluruh apabila disusun dalam bentuk tabel atau
daftar yang berisi kolom keterampilan, kolom sub
keterampilan dan kolom indikator.
104
khusus. Guru mengobservasi tingkah laku anak dalam
kesehariannya pada saat menyelesaikan tugas atau tes di bidang
tertentu berdasarkan kurikulum. Kegiatan untuk menghimpun
data ini dijadikan landasan untuk menentukan keserasian
pelayanan pengajaran dengan kondisi masing-masing anak.
Jenis instrumen asesmen informal yang dapat digunakan guru
(Yusuf, 2005), yaitu:
1. Observasi
Observasi merupakan suatu strategi pengukuran yang
dilakukan dengan cara mengamati perilaku siswa secara
langsung. Observasi yang biasanya dilakukan adalah dalam
bidang keterampilan sosial, keterampilan akademik dan
kebiasaan belajar. Teknik yang dapat digunakan pada saat
pelaksanaan observasi meliputi:
a. Mencatat berdasarkan frekuensi kejadian (event
recording)
b. Mencatat perilaku berdasarkan lamanya kejadian
(duration recording)
c. Mencatat hasil pengamatan berdasarkan interval
waktu kejadian (interval time sample recording).
105
2. Analisis Sampel Kerja
Salah satu jenis pengukuran informal dalam proses
asesmen anak berkebutuhan khusus adalah analisis sampel
kerja. Guru menggunakan sampel hasil pekerjaan siswa
(hasil tes, karangan, karya seni, respon lisan) untuk
dijadikan bahan dasar dalam pengukuran. Analisis sampel
kerja memiliki beberapa tipe yang mencakup analisis
kesalahan dari suatu tugas dan analisis respon, baik respon
yang benar maupun yang salah. Proses pemisahan,
pengurutan dan penguraian komponen penting dari semua
tugas disebut dengan analisis tugas. Analisis tugas biasanya
digunakan untuk mengukur dan merencanakan
pengajaran. Secara umum, penggunaan Analisis tugas
berkaitan dengan pengajaran pada aspek kemandirian anak
berkebutuhan khusus.
3. Inventori Informal
Pada umumnya, inventori Informal digunakan untuk
mengamati prestasi siswa dalam bidang akademik. Selain
itu, inventori informal juga dapat digunakan untuk
mengukur bidang non akademik dan berperan penting bagi
perolehan informasi mengenai hal-hal yang bersifat lebih
umum, seperti kemajuan dari kemampuan belajar anak,
tingkah laku anak di kelas, kebiasaan yang dilakukan anak,
dan lain sebagainya. Hal-hal umum ini kemudian akan
dijabarkan ke dalam beberapa bagian yang dapat diuji,
seperti dalam pengenalan atau pemahaman bacaan, dan
lain-lain.
4. Daftar Cek
Seorang guru atau asesor dapat mengamati siswa dari
segi perilaku dan aspek-aspek perkembangan lainnya
106
dengan menggunakan daftar cek. Daftar cek biasanya
digunakan sebagai acuan kenormalan atau
ketidaknormalan kondisi siswa. Beberapa informasi yang
dapat diperoleh dari penggunaan daftar cek di antaranya
yaitu mengenai pencapaian hasil belajar siswa pada masa
lalu dan saat ini, kinerja siswa ketika di luar sekolah,
keberhasilan atau kegagalan belajar siswa yang disesuaikan
dengan kurikulum dan lain-lain.
5. Skala Penilaian
Penggunaan skala penilaian dalam suatu kegiatan
asesmen bukan sebagai catatan yang berisi hasil
pengamatan perilaku anak, melainkan berguna untuk
perolehan informasi mengenai opini dan penilaian.
Beberapa contoh penggunaan skala penilaian adalah
mengamati sikap terhadap suatu obyek, persepsi anak
mengenai pengasuhan orang tua, konsep diri anak dan
seterusnya.
6. Wawancara
Wawancara adalah salah satu teknik penilaian atau
jenis instrumen yang sering digunakan oleh guru atau
asesor dalam mengasesmen anak berkebutuhan khusus.
Teknik ini digunakan untuk menilai hasil dan proses belajar
mengajar serta menggali informasi tentang anak
berkebutuhan khusus secara lebih luas. Keunggulan jika
mengasesmen dengan menggunakan instrumen berupa
wawancara ialah dapat secara langsung menemui dan
mengamati subyek yang bersangkutan sehingga dapat
melakukan tanya jawab dengan bebas dan mendalam.
Selain itu, wawancara dianggap mampu mempererat
hubungan emosional antara semua pihak yang terkait,
107
misalnya orang tua dengan anak, guru dengan keluarga
siswa, guru dengan siswa dan pakar lain juga dapat mejadi
teman atau sahabat bagi siswa.
Dengan memanfaatkan kedekatan tersebut, maka data
dan informasi mengenai anak atau siswa yang diases akan
diperoleh lebih banyak dan mudah. Untuk memudahkan
proses penghimpunan informasi yang diperoleh dari
wawancara, maka asesor dapat merekam proses
wawancara berlangsung sehingga jawaban siswa atau pihak
yang dituju dapat ditranskrip secara lengkap. Data yang
diperoleh bersifat kualitatif, kuantitatif atau gabungan
antara keduanya, tergantung kebutuhan asesmen.
Keunggulan lain ialah pada saat pertanyaan yang diajukan
dirasa kurang jelas, maka pertanyaan tersebut dapat
diulang atau dijelaskan kembali. Sebaliknya, jawaban yang
dianggap belum jelas dapat diulang atau diminta Kembali
dengan lebih terarah dan lebih bermakna.
7. Kuesioner
Kuesioner merupakan alat untuk mengumpulkan data
asesmen secara tertulis. Keunggulan kuesioner di
antaranya dapat memperoleh informasi yang dibutuhkan
dalam jumlah yang besar, relatif murah, cepat dan efisien.
Dengan menggunakan kuesioner, guru atau asesor dapat
lebih efektif mengukur perilaku, sikap, preferensi, opini dan
hal yang ingin dicapai subjek dalam jumlah yang besar.
Selain itu, kuesioner tidak memerlukan biaya yang mahal
dan waktu yang lama dalam proses penghimpunan data
apabila dibandingkan dengan instrumen yang lain.
Wawancara dan kuisioner merupakan teknik asesmen yang
cukup tepat untuk menghimpun informasi seseorang
termasuk informasi masa lalu, seperti pengalaman masa
108
kecil, kebiasaan di rumah, sejarah perkembangan anak dan
sebagainya.
109
Pada pelaksanaannya, identifikasi dapat dilakukan
dengan cara mengamati secara seksama melalui kegiatan
observasi mengenai kondisi fisik, perilaku anak
berkebutuhan khusus saat belajar dan menganalisis hasil
kerja anak. Melalui hasil identifikasi, dapat diketahui siapa
saja yang akan dilakukan tahap asesmen kemudian dan
dalam aspek apa asesmen itu perlu dilakukan.
110
4. Pelaksanaan Asesmen
Setelah melewati langkah identifikasi dan penentuan
tujuan asesmen, guru yang bertindak sebagai asesor mulai
melaksanakan proses asesmen. Asesmen yang diterapkan
perlu disesuaikan dengan aspek-aspek yang akan
diasesmen dalam waktu dan di tempat tertentu. Waktu
dalam proses asesmen telah disesuaikan dengan alat
asesmen dan kemampuan anak dalam memusatkan
perhatian sesuai usia dan kondisi ketunaannya. Perlu
diperhatikan pula mengenai penataan ruangan atau
tempat asesmen. Diupayakan tempat tersebut jauh dari
hal-hal tertentu yang dapat mengganggu atensi anak agar
dapat menciptakan rasa nyaman dan aman bagi anak
berkebutuhan khusus serta menjadikan proses asesmen
tetap berjalan secara efektif dan kondusif hingga akhir.
5. Penafsiran
Tahap penafsiran dilakukan setelah pelaksanaan
kegiatan asesmen berakhir. Guru menafsirkan hasil
asesmen yang telah diolah kemudian mengambil
keputusan untuk menentukan pembelajaran yang sesuai
dengan anak berkebutuhan khusus. Tahap ini memiliki
peranan yang penting bagi keberhasilan proses belajar
anak. Kegiatan ini dilakukan secara cermat dan teliti agar
tidak terjadi kekeliruan dalam memastikan program
pelayanan atau intervensi yang akan diimplementasikan.
Hasil data yang diperoleh dari asesmen dikaitkan dengan
kurikulum dan materi pelajaran yang disesuaikan dengan
jenjang kelas anak. Jika tidak ditemukan materi yang tepat
dengan hasil asesmen pada kurikulum yang ada, maka
perlu dicari pada jenjang di bawahnya. Namun, apabila
masih belum ditemukan juga, maka perlu dicari kembali
111
pada jenjang di bawahnya lagi, demikian dengan
seterusnya, sampai ditemukan materi yang selaras
dengan hasil asesmen.
3. Inventori Informal
Penggunaan teknik inventori informal oleh asesor
dalam pelaksanaan asesmen anak berkebutuhan khusus
bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap prestasi
112
anak. Prestasi tersebut dihubungkan dengan
pemberlakuan kurikulum di sekolah. Penyusunan
inventori informal dimaksudkan sebagai cara asesor
mengetahui prestasi anak di beberapa bidang, seperti
membaca, berhitung dan menulis.
5. Analisis Tugas
Teknik analisis tugas yang diterapkan asesor dalam
program asesmennya berguna pada proses penjabaran
tugas belajar ke dalam beberapa komponen (unit yang
terajarkan) untuk mencapai tujuan pembelajaran. Teknik
ini bertujuan untuk memudahkan keberlangsungan
kegiatan asesmen dan perencanaan program layanan
pembelajaran. Selain itu, menganalisis tugas anak yang
bersangkutan dapat memudahkan asesor ketika
memisahkan, mengurutkan dan menggambarkan
komponen-komponen tugas dalam bentuk unit yang
terinci.
6. Observasi
Dalam kegiatan asesmen anak berkebutuhan khusus,
observasi merupakan teknik dasar yang perlu dilakukan.
Tujuan dilaksanakannya observasi yaitu untuk mengamati
113
dan mencatat gejala-gejala yang diselidiki secara
sistematik. Teknik ini difungsikan sebagai salah satu cara
asesor dalam memperoleh data-data mengenai tingkah
laku anak yang berisfat spesifik, seperti keterampilan
sosial, kemandirian, kemampuan akademik, kebiasaan
belajar dan keterampilan menolong diri sendiri.
114
TES FORMATIF
115
BAB VI
Prosedur Pelaksanaan dan Instrumen Asesmen
Perkembangan Fisik dan Motorik
Anak Berkebutuhan Khusus
116
motorik anak berkebutuhan khusus. Hambatan motorik yang
dialami anak diprediksi dapat mempengaruhi hasil prestasi
akademiknya. Informasi yang diperoleh dari asesmen
perkembangan ini adalah kondisi anak saat menggerakkan
bagian-bagian tubuhnya secara sengaja, otomatis, cepat dan
akurat.
Asesmen perkembangan bertujuan untuk menghimpun
informasi mengenai aspek-aspek perkembangan motorik anak
yang diindikasi memiliki kelainan khusus. Aspek-aspek
perkembangan yang diases mencakup aspek motorik kasar,
motorik halus dan aspek keseimbangan. Dengan
dilaksanakannya asesmen ini, guru atau asesor dapat lebih
mudah menganalisis kemampuan dan hambatan motorik anak
yang bersangkutan.
Kemampuan gerakan kasar ialah gerak tubuh yang
menggunakan sebagian besar otot-otot atau sekumpulan otot
besar dan biasanya memerlukan tenaga. Sedangkan
kemampuan motorik halus dijabarkan sebagai kemampuan
gerak tubuh yang menggunakan otot-otot tertentu dan
dilakukan oleh otot-otot kecil yang membutuhkan koordinasi
gerak dan daya konsentrasi yang baik.
Kegiatan yang menggunakan motorik kasar di antaranya:
1. Berdiri
2. Duduk
3. Berjalan (ke depan, ke belakang dan menyamping)
4. Merangkak
5. Mengambil
6. Menarik
7. Mendorong
8. Menaiki atau menuruni tangga
9. Berjingkrak
10. Melompat
117
11. Meloncat
12. Menendang
13. Mengendarai
14. Melempar
15. Menangkap
16. Memanjat
118
Daftar perkembangan motorik dari usia dua belas bulan
sampai dengan sembilan tahun (Moh. Amin, 1995) dipaparkan
sebagai berikut:
119
19-20 bulan Berusaha berjalan di atas garis lurus
(sampai kira-kira tiga meter dengan 1-3
kali membuat kesalahan).
Mampu dan mau bermain dengan alat
yang menyerupai tongkat.
Memasukkan pasak ke dalam lubangnya
(yang mempunyai garis tengah kira-kira
1,5 cm).
21-22 bulan Naik tangga sambil berpegang dengan
satu pegangan.
Turun tangga dengan dipegang sebelah
tangan.
Berjongkok waktu bermain.
Berdiri diatas satu kaki dengan bantuan
Berjalan mundur.
25-27 bulan Dapat berlari.
Naik dan turun tangga tanpa berganti
kaki.
Menyepak bola atas perintah.
Bangun miring, melompat dari bawah
dengan satu kaki.
2,5 tahun Berjalan dengan ujung jari kaki.
Melompat dengan dua kaki bersama-
sama.
Mencoba berdiri di atas satu kaki.
Berdiri dengan dua kaki di atas balok
keseimbangan tanpa bantuan.
Berjalan mengikuti garis yang dibuat
pada lantai, kadang-kadang melompat.
120
3 tahun Berlari dengan jari kaki (jinjit)
Mengendarai sepeda roda tiga.
Naik tangga dengan kaki berganti-ganti.
Melompat dengan dua kaki.
Berdiri dengan satu kaki.
Berjalan mundur dengan mudah.
121
6 tahun Sangat aktif, tingkah lakunya konstan.
Keseimbangan badan aktif dalam
permainan (meloncat).
Melompat setinggi 30cm dan jatuh
dengan jari kaki.
Berdiri pada salah satu kaki dengan
mata tertutup.
Melempar jauh.
122
Setelah itu, dilakukan analisis hasil observasi perkembangan
motorik anak. Melalui kegiatan analisis, diperoleh informasi
tentang aspek-aspek motorik yang mengalami kelemahan dan
dianggap masih cukup baik dalam keberfungsiannya. Hasil
analisis dijadikan acuan dasar oleh guru untuk menentukan
tujuan pembelajaran yang berkaitan dengan upaya menstimulasi
perkembangan motorik yang mengalami gangguan atau
kelainan. Penetapan tujuan berfungsi sebagai landasan dalam
pengembangan program stimulasi perkembangan motorik anak
berkebutuhan khusus yang sedang diases.
Keterampilan motorik yang dimiliki tidak hanya berkembang
sesuai dengan perkembangan yang berlaku saja, melainkan juga
memerlukan hal-hal yang perlu dipelajari sebagai pendukung
keberhasilan intervensi pada aspek motorik. Ada pun hal-hal
penting dalam mempelajari keterampilan motorik ialah sebagai
berikut:
1. Kesiapan belajar
2. Kesempatan belajar
3. Kesempatan berpraktik
4. Model yang baik
5. Bimbingan
6. Motivasi
123
Waktu yang paling tepat untuk melatih keterampilan
motorik adalah pada masa kanak-kanak. Beberapa alasan
mengenai hal tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Tubuh anak-anak lebih lentur jika dibandingkan dengan
tubuh orang remaja atau dewasa.
2. Anak belum banyak memiliki keterampilan yang akan
berbenturan dengan keterampilan yang baru dipelajarinya.
3. Secara keseluruhan, anak lebih berani pada usia muda
daripada saat menginjak usia dewasa.
4. Para remaja dan orang dewasa biasanya bosan melakukan
pengulangan, tetapi anak-anak justru menggemari hal
tersebut.
5. Anak memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang lebih
ringan dan sedikit apabila dibandingkan dengan remaja dan
dewasa.
6. Anak-anak memiliki waktu yang lebih banyak untuk melatih
dan mengembangkan keterampilan motoriknya.
124
2 Menaiki dan menuruni tangga.
3 Melompat di atas benda setinggi
15cm.
4 Meloncat dengan satu kaki (kaki
bergantian).
5 Berjalan mengikuti garis yang
dibuat di lantai dengan berjalan
biasa, berjalan dengan tumit dan
berjinjit.
6 Berlari, kemudian menaiki
beberapa kursi atau balok dengan
ketinggian yang beragam.
7 Baris berbaris sederhana
8 Melompat dari benda yang
memiliki ketinggian 30cm.
9 Bergerak aktif
10 Berperilaku konstan
11 Menyeimbangkan tubuh saat
melakukan aktivitas motorik.
12 Melompat dari ketinggian 30cm
dan jatuh dengan kaki jinjit,
13 Berdiri dengan satu kaki saat mata
tertutup.
14 Melempar benda dengan jarak
yang jauh.
125
Keterangan:
Kemampuan dalam melakukan gerakan kasar (gross motor):
………………………………………………………………………………………………..………
………………………………………………………………………………………..………………
………………………………………………………………………………………………..………
………………………………………………………………………………………..………………
Instrumen Wawancara
Identitas Anak
Nama : ……………………………………………………..
Jenis Kelamin : ……………………………………………………..
Tempat dan Tanggal Lahir: ……………………………………………………..
Sekolah : ……………………………………………………..
Kelas/Semester : ……………………………………………………..
Riwavat Kelahiran
Perkembangan pada masa keharnilan: ....................................
Penyakit ibu pada saat kehamilan : ....................................
Cara persalinan : ....................................
126
Gizi ibu selama masa kehamilan : ....................................
Tempat kelahiran : ....................................
Penolong proses kelahiran : ....................................
Reaksi anak pada awal dilahirkan : ....................................
Lingkar kepala bayi : ....................................
Berat badan bayi : ....................................
Panjang badan bayi : ....................................
Asuhan bayi ban lahir : ....................................
Tanda-tanda kelainan pada bayi : ....................................
Perkembangan Fisik
Menelungkup pada umur : ………………………………
Merangkak pada umur : ………………………………
Duduk sendiri pada umur : ………………………………
Berdiri sendiri pada umur : ………………………………
Berjalan sendiri pada urnur : ………………………………
Mengucapkan "ma ma" pada umur : ………………………………
Menucapkan "pa pa" pada umur : ………………………………
Memakai dan melepas pakaian pd umur: ………………………………
Kesulitan gerak yang dialami : ………………………………
Riwayat kesehatan (baik/kurang) : ………………………………
Perkembangan Sosial
Hubungan dengan ayah : ………………………………
127
Hubungan dengan ibu : ………………………………
Hubungan dengan keluarga serumah : ………………………………
Hubungan dengan teman-teman : ………………………………
Anak satu rumah dengan orang tua : ………………………………
Anak diasuh oleh (orang tua/wali) : ………………………………
Instrumen Asesmen
Identitas Anak
Nama:
Jenis Kelamin:
Usia:
Kelas/Semester:
Alamat:
Nama orangtua/wali:
128
7 Bibir anak tidak sumbing
8 Bentuk kedua tangan anak
normal
9 Kedua tangan anak dapat
berfungsi secara optimal
10 Jari anak normal dan lengkap
11 Jari anak dapat digerakan
12 Bentuk kedua kaki anak
normal
13 Jari kaki anak normal dan
lengkap
14 Anak dapat membalikkan
badannya
15 Anak dapat bergerak ke arah
kiri dan kanan
16 Gerakan anak tidak kaku
129
7 Anak dapat berlari
8 Anak dapat menirukan tarian
9 Anak dapat bermain perang
perangan
10 Anak dapat melompat
11 Anak dapat meloncat
130
9 Anak dapat memotong kue
dengan pisau plastik
10 Anak dapat menggambarkan
lingkaran diatas pasir
11 Anak dapat memetik bunga
12 Anak dapat meloncat
13 Anak dapat menyisir rarnbut
14 Anak dapat menulis
15 Anak dapat menggambar
atau melukis
131
7 Anak dapat mengikuti garis
lingkaran
8 Anak dapat berjalan dengan
menjinjit
9 Anak dapat berjalan dengan
satu kaki dengan bergantian
10 Anak dapat melompat dengan
satu kaki
11 Anak dapat membuat garis
lingkaran diatas pasir dengan
jari kaki
132
7 Anak dapat melompat ke
arah belakang
8 Anak dapat
mengelompokkan bentuk
yang berbeda-beda
9 Anak dapat
mengelompokkan bentuk
yang sama dengan ukuran
yang berbeda-beda
10 Anak dapat menggambar
bentuk atau benda dengan
ukuran berbeda
Instrumen Asesmen
Perkembangan Koordinasi Mata dan Tangan
133
5 Anak dapat melepaskan
buah baju
6 Anak dapat mengikat kayu
dengan tali
7 Anak dapat mematahkan
korek api
8 Anak dapat melepaskan
buhulan benang
9 Anak dapat memasang ikat
pinggang sendiri
10 Anak dapat memasukan
kelereng kedalam botol
134
TES FORMATIF
135
BAB VII
Prosedur Pelaksanaan dan Instrumen Asesmen
Perkembangan Bahasa dan Bicara
Anak Berkebutuhan Khusus
136
Terdapat fungsi-fungsi dari bahasa, yakni sebagai berikut:
1. Alat Komunikasi
Bahasa dimaknai sebagai alat komunikasi karena pengguna
bahasa dapat mengekspresikan perasaannya sendiri dan
mengungkapkan pendapat secara leluasa terhadap lawan
bicara sehingga komunikasi antara komunikator dan
komunikan dapat tersampaikan dengan baik.
2. Alat Penyimpanan
Bahasa digunakan sebagai alat penyimpanan berarti
komunikasi yang dilakukan komunikator melalui bahasa
tersebut disampaikan dan diterima oleh komunikan.
Informasi yang sampai kemudian disimpan dalam bentuk
tulisan.
3. Alat Penolong
Bahasa merupakan alat komunikasi yang bersifat abstrak
atau tidak dapat dilihat maupun disentuh. Bahasa dianggap
sebagai alat penolong karena mampu mengubah hal-hal
yang abstrak menjadi konkret dan mampu diterima serta
dipahami oleh pikiran manusia. Dengan menggunakan
bahasa, kita dapat menyampaikan segala hal kepada orang
lain, baik berupa bahasa lisan atau pun tulisan.
137
5. Berkaitan dengan Fakta
Bahasa yang digunakan manusia sehari-hari berguna untuk
penyampaian fakta-fakta dan dimanfaatkan sebagai suatu
penghayatan dan pemahaman melalui perilaku, benda dan
hal lain yang dapat diamati sehingga komunikan mampu
melihat kenyataan dari fakta yang ada.
138
normal dan keterampilan berbahasa yang baik. Sedangkan,
seorang anak yang terhambat dalam daya kognisinya, maka
diindikasi dapat mengalami keterlambatan dan atau
keterhambatan pada perkembangan serta keterampilan
berbahasanya. Setiap anak, termasuk yang berkebutuhan khusus
memiliki perasaan, pikiran dan kehendak yang ingin
diungkapkan, namun kemampuannya dalam memaksimalkan
fungsi-fungsi bahasa tidak cukup baik. Mereka sukar
menyampaikan perasaan, pikiran dan keinginannya kepada
orang lain. Diupayakan orang yang berada di sekitar anak mampu
memahami kode atau isyarat yang disampaikan anak agar proses
komunikasi tetap dapat dilakukan.
Hambatan yang biasanya dialami anak berkebutuhan khusus
dengan gangguan intelektual, bahasa dan bicara dapat dilihat
dari penguasaan kosakata, jumlah kosakata yang dikuasai,
penguasaan gramatikal bahasa dan cara berkomunikasi.
Hambatan yang terjadi akan mempersulit siswa untuk
menangkap instruksi maupun memahami dan menangkap isi
teks bacaan sehingga berpengaruh secara signifikan terhadap
potensi akademiknya. Adanya kelainan pada perkembangan
bahasa dapat diakibatkan oleh gangguan yang terjadi pada
proses pendengaran, penerusan impuls ke otak, otot atau organ
pembuat suara.
Hambatan atau keterlambatan bicara dapat disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu gangguan pada beberapa sistem
tubuh seperti otak, pendengaran dan fungsi motorik lainnya,
kelainan organ bicara, retardasi mental, kelainan genetik atau
kromosom, autis, mutism selektif, keterlambatan maturasi atau
keterlambatan bicara fungsional, afasia reseptif dan deprivasi
lingkungan. Contoh deprivasi lingkungan yang mempengaruhi
munculnya kelainan perkembangan bicara adalah kondisi
lingkungan yang terlalu sepi, kurangnya kepedulian orang
139
terdekat terhadap perkembangan bahasa dan bicara anak, status
ekonomi sosial, teknik pengajaran yang salah, lingkungan yang
kurang mendapatkan stimulasi yang cukup, pemakaian beberapa
bahasa dan sikap orangtua yang kurang mendukung
keberhasilan penanganan kasus tersebut. Berikut akan dirincikan
mengenai perkembangan bahasa pada anak usia 12 bulan
sampai dengan 7 tahun.
140
15 – 16 Menggunakan 7 kata atau lebih dengan
bulan pengertian yang tetap (dengan mimik).
Lebih sering menggunakan konsonan, t, d,
w, dan h.
Melaksanakan perintah verbal, memilih dan
mengambil sesuatu dari orang lain.
Mengenal dan ingat terhadap benda-benda
dan gambar-gambar yang diberi nama.
Mengenal nama berbagai bagian tubuh.
17 – 18 Menunjukkan mata, hidung, dan telinga.
bulan Mengulang kata-kata yang didengarnya.
Memahami pertanyaan sederhana.
Melaksanakan dua perintah yang berurutan
mengenai benda-benda.
Membuat asosiasi dan mengingat kata-kata
berdasarkan pada kategori (misalnya:
makanan, binatang dan seterusnya).
Mulai bicara tanpa bantuan gerak.
19 – 20 Meniru kalimat yang terdiri dari dua atau
bulan tiga kata.
Meniru sesuatu yang terdapat di
lingkungan ketika bermain Jika disuruh,
dapat menunjukkan bagian-bagian badan,
bagian-bagian pakaian pada gambar besar.
Tepat dalam memberikan reaksi terhadap
kata-kata.
Mengerti perintah yang mengandung kata
panggilan.
21 – 22 Menggabungkan dua kata yang
bulan mengandung perbedaan arti, misalnya:
“ayah kerja”, “ibu minum” dan lain-lain.
141
Mengikuti 2 atau 3 perintah sederhana
yang berhubungan.
Mengenal banyak benda dan gambar waktu
disebut namanya.
23 –24 Mulai mampu menggunakan kalimat
bulan sederhana.
Menunjuk kepada diri sendiri dengan
namanya.
Memilih satu kata dari 5 atau 6 kata yang
disebutnya.
Mempelajari nama binatang dari buku.
25 – 27 Biasanya menggunakan kalimat-kalimat
bulan yang terdiri dari 2 atau 3 kata (merupakan
kata panggilan, kata kerja dan kata benda).
Sering menggunakan kata panggilan dengan
tepat.
Memilih gambar-gambar tingkah laku atau
hal yang sedang dikerjakan orang (kata
kerja).
Mulai memahami instruksi untuk
menunjukkan bagian-bagian kecil dari
tubuh.
Meminta sesuatu dengan menyebutkan
namanya.
Memberikan reaksi terhadap gambar
dengan dua kata (perkembangan bahasa
nampak dari panjang reaksi terhadap
gambar atau alat permaian).
27 – 30 Mengulang menyebut dua bilangan atau
bulan lebih, mengerti arti kata “satu”.
142
Mengerti ukuran (misalnya: kecil,besar,
dsb).
Mengenal nama dan gambar (umumnya
benda).
Mengerti konsep berdasarkan fungsi.
Dapat menyebut sekurang-kurangnya satu
warna.
30 – 33 Mengerti kata kerja dan kebanyakan kata
bulan sifat.
Menjawab dengan tepat pertanyaan “kamu
laki-laki atau perempuan?”.
Membicarakan gambar buatannya sendiri.
33 – 36 Mengikuti tiga perintah sederhana.
bulan Mengerti arti kata posisi, misalnya: “atas”,
“bawah”, “depan”, “belakang” dan lain-lain.
Menggunakan bunyi-bunyi, t, n, k, g, ng,
pada kata (menjelang 2,5 tahun menguasai
27 bunyi).
3 tahun Mengucapkan bunyi huruf y, f, v, dalam
kata-kata.
Mengulang tiga kata.
Menggunakan kalimat yang terdiri dari
empat kata.
Senang berbisik dan memberikan reaksi
pada bisikan.
Menerangkan jenis kelamin, menyebut
nama lengkap dan menerangkan peristiwa
secara sederhana.
4 tahun Menjawab pertanyaan sederhana.
Mengucapkan sh, zh, th, dalam kata-kata.
Menggunakan kalimat yang kompleks.
143
Berkomunikasi untuk menghubung-
hubungkan pengalaman dan mencari
pengetahuan yang diperlukannya.
Membuat kesalahan artikulasi terhadap
bunyi konsonan l, r, s, t, sh, ch, j, atau th;
menguasai bunyi: b, p, m, w, dan h.
Mengenal warna.
Mengetahui 4 sampai 5 kata depan, seperti:
“di atas”, “di bawah”, “di depan”, “di
belakang”.
Memberikan reaksi terhadap gambar
dengan lima kata.
5 tahun Mengetahui banyak lawan kata.
Menghitung benda sampai 10.
Mengulang 4 bilangan.
Memberikan definisi benda-benda
berdasarkan kegunaan, misalnya: garpu,
pensil, gunting dan seterusnya.
Membuat kekeliruan artikulasi.
6 tahun Menguasai bunyi huruf: f,v,s, dan z.
Memberikan respon terhadap gambar
dengan 7 kata.
Menanti gilirannya yang tepat dalam
pembicaraan.
Memberi dan menerima keterangan
7 tahun Menjawab pertanyaan mengenai
persamaan, misalnya: “apakah persamaan
kedua benda ini?”
144
B. Instrumen Asesmen Perkembangan Bahasa dan Bicara Anak
Berkebutuhan Khusus
145
7 Mengulang menyebut
dua bilangan atau lebih,
mengerti arti kata “satu”.
8 Mengerti ukuran
(misalnya: kecil, besar,
dll).
9 Mengenal nama dan
gambar (umumnya
benda).
10 Mengerti konsep
berdasarkan fungsi.
11 Menyebut sekurang-
kurangnya satu warna.
12 Memahami dan
menyebutkan kata kerja
serta kata sifat.
13 Menjawab dengan tepat
pertanyaan “kamu laki-
laki atau perempuan?”.
14 Membicarakan gambar
buatannya sendiri.
15 Mengikuti tiga perintah
sederhana.
16 Mengerti arti di atas, di
bawah, di depan,
belakang, dll.
17 Menggunakan bunyi-
bunyi, t, n, k, g,ng, pada
kata (menjelang 2,5
tahun menguasai 27
bunyi).
146
18 Mengucapkan bunyi
huruf y, f, v dalam kata-
kata.
19 Mengulang tiga kata.
20 Menggunakan kalimat
yang terdiri dari empat
kata.
21 Senang berbisik dan
memberikan reaksi pada
bisikan.
22 Menerangkan jenis
kelamin, menyebut nama
lengkap dan
menerangkan peristiwa
secara sederhana.
147
tidak kelihatan
surnbernya
4 Bersenandung
5 Merespon pembicaraan
yang sedang didengar
B Komunikasi
1 Mengerti bahasa lisan
2 Beraksi ketika namanya
dipanggil
3 Mengerti perintah
sederhana
4 Mengerti lebih dari satu
perintah
5 Untuk mengerti perintah
tidak memerlukan
bantuan alat atau sarana
(isyarat, foto, gambar)
C Komunikasi Ekspresif
1 Dapat kontak mata
2 Dapat bicara (berkata-
kata)
3 Menarik mendorong
kearah obyek yang
diingininya
4 Menunjuk benda atau
orang yang dituju
5 Menunjukkan benda-
benda tanpa berkata-
kata
148
6 Menunjukkan foto-foto
tanpa berkata-kata
7 Menggunakan isyarat
atau bahasa isyarat
8 Teman-temannya
mengerti pembicaraan
anak
9 Nampak kurang senang
ketika komunikasinya
tidak di pahami orang
lain
10 Anak mengerti
pembicaraan teman-
temannya
11 Anak berusaha
berkomunikasi sampai
orang yang diajak bicara
mengerti
D Bahasa dan Bicara
149
6 Teman-teman dapat
berbicara dengannya
7 Kurang senang apabila
orang lain tidak mengerti
bahasanya
8 Bicara anak dimengerti
oleh orang yang baru
dikenal
9 Bicara anak tidak gagap
E Suara
1 Anak bersuara saat bicara
2 Suara anak normal, tidak
parau atau melengking
3 Suara bernada rendah
4 Suaranya tidak monoton
(intonasi tepat)
150
Fonem e
Fonem o
Fonem b
Fonem p
Fonem m
B Lidah
1 Menjulurkan lidah ke depan
2 Menjulurkan lidah ke kiri
3 Menjulurkan lidah ke kanan
4 Menyentuh lidah ke gigi atas
5 Mendorong pipi ke kiri
6 Mendorong pipi ke kanan
7 Menyapu bibir atas
8 Menyapu bibir bawah
9 Mengucapkan:
“La la la”
“Ta ta ta”
“Da da da”
C Rahang
1 Membuka mulut selebar-
lebarnya
2 Menutup mulut serapat-
rapatnya
D Velum
1 Meniup udara keluar melalui
mulut
2 Menghirup udara melalui
mulut dan menahannya
hingga hitungan 10
E Pita Suara
151
1 Dapat mengucapkan bunyi
vocal dengan suara yang
baik:
Huruf a
Huruf i
Huruf u
Huruf e
Huruf o
2 Dapat mengucapkan
konsonan berikut dengan
baik:
Huruf b
Huruf m
Huruf g
Huruf d
Huruf n
F Nafas
1 Ambil nafas tahan sampai
hitungan ke-10
2 Mengucapkan vocal
“aaaaaa………..” sampai
hitungan ke-10 tanpa
berhenti
152
TES FORMATIF
153
BAB VIII
Prosedur Pelaksanaan dan Instrumen
Asesmen Perkembangan Sosial dan Emosional
Anak Berkebutuhan Khusus
154
merespon hal-hal yang tidak menyenangakan melalui tangisan,
jeritan dan gerakan yang tidak terarah.
Adapun aspek-aspek dan tahapan perkembangan sosial dan
emosional yang dialami oleh anak-anak tanpa gejala kelainan.
Hal ini dapat dijadikan acuan untuk mengidentifikasi dan
mengasesmen perkembangan anak berkebutuhan khusus
dengan membandingkan kondisi hambatan atau gangguan
dengan kondisi normal pada umumnya. Aspek-aspek dan
tahapan perkembangan sosial dan emosional pada anak dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Perkembangan Pemahaman Diri
a. Masa Bayi dan Balita
Pada masa ini, bayi yang berusia beberapa bulan
mulai mempelajari kesadaran diri dan pengenalan diri.
Pada usia 3 sampai 4 bulan, bayi melatih
kemampuannya untuk berinteraksi dengan orang lain,
terutama orang-orang terdekat. Saat bayi mencapai
usia hampir 2 tahun, dia semakin mengembangkan
kemampuannya dalam mengenali diri sendiri dan
orang-orang sekitar.
Pada masa balita, keahlian yang mulai diperlukan
secara signifikan adalah memperbanyak dan
mempelajari pembendaharaan kata untuk mendukung
usahanya dalam meningkatkan kesadaran dirinya. Hal
tersebut sama halnya dengan anak memahami makna
kepemilikan, yaitu mengenali apa saja yang dimiliki dan
dialami oleh dirinya serta orang lain. Kemampuan
tersebut perlu dimiliki agar anak dapat secara mudah
menemukan dan memahami persamaan serta
perbedaan antara dirinya dan orang lain.
155
b. Masa Kanak-kanak Awal
Ketika anak memasuki masa kanak-kanak awal, ia
mulai belajar menyadari karakteristik diri. Ia perlahan
mengenali keunikan yang dimiliki. Karakteristik pada
aspek-aspek psikologisnya mulai dipahami dan
berpengaruh terhadap langkah tindakan sederhana
yang akan ia pilih. Pada umumnya, anak-anak
cenderung lebih memfokuskan pada karakteristik diri
yang bersifat positif atau menyenangkan.
156
sendiri. Upaya berinteraksi sosial lebih diperlihatkan
oleh bayi setelah berusia 6 bulan.
Pada usia 2 tahun ke atas, interaksi yang dilakukan
anak cenderung kepada teman-teman sebayanya
dibandingkan dengan orang dewasa. Masa balita
merupakan masa dimana anak mengembangkan
kemampuan bersosialisasi yang lebih kompleks dengan
mengutarakan kata atau kalimat sederhana dan
gerakan tubuh yang mulai beragam serta bermakna.
157
penyesuaian diri untuk mempertahankan hubungan
sosial.
158
c. Masa usia sekolah
Selama masa sekolah, keterampilan prososial anak
terus meningkat. Kemajuan tersebut dapat
diidentifikasi dari seringnya anak menunjukkan
tindakan-tindakan menolong dan mempedulikan orang
lain atau lingkungan sekitar dari hasil pengamatannya.
Kualitas tindakan akan berkembang seiring
bertambahnya usia hingga anak dapat menawarkan
solusi terbaik yang realistis untuk mengatasi masalah,
baik yang terjadi pada dirinya sendiri maupun pada
orang lain yang hendak ia bantu.
4. Perkembangan Empati
a. Masa Bayi dan Balita
Perkembangan empati ditunjukkan anak melalui
kemampuannya dalam menempatkan diri pada posisi
orang lain dan merasakan apa yang orang lain rasakan
dalam situasi tertentu. Secara umum, bayi dapat
menunjukkan rasa empati global sebagai respons ketika
batasan yang jelas antara perasaan dengan kebutuhan
diri dan perasaan dengan kebutuhan orang lain belum
terbentuk. Pada usia sekitar 2 tahun, kesadaran anak
terhadap kebebasan individu termasuk dirinya sendiri
untuk memiliki dan mengungkapkan beragam perasaan
yang dialami merupakan suatu hal yang wajar.
Kesadaran tersebut membentuk kepedulian dan rasa
ingin menolong.
159
memiliki ragam perspektif dan reaksi setiap pada
situasi-situasi tertentu dan memungkinkan adanya
perbedaan dengan perspektif serta reaksi yang
dimunculkannya sendiri.
160
c Dapat bekerjasama
dengan anggota
keluarga
2 Teman Sebaya di
Lingkungan Rumah
a Tidak suka
menyendiri
b Tidak memilih-milih
teman
c Memiliki banyak
teman
d Tidak pemalu
e Tidak memiliki
permasalahan
pertemanan
f Mau berbagi
dengan teman
g Tidak
mementingkan diri
sendiri
h Empati pada teman
i Menghibur ketika
temannya sedang
sedih (bersimpati)
j Mudah memulai
percakapan
k Kerjasama dalam
bemain
3 Lingkungan Sekolah
a Mudah
menyesuaikan diri
161
dengan lingkungan
sekolah
b Mau bekerjasama
dengan teman-
teman di sekolah
c Mau berbagi
dengan teman-
teman di sekolah
d Bersaing secara
sehat dalam suatu
permainan
e Saling menghargai
satu sama lain
f Mengerjakan tugas-
tugas yang
diberikan guru
g Dapat mematuhi
aturan sekolah
h Santun terhadap
guru
162
Instrumen Asesmen Perkembangan Emosional
163
Lelah
Khawatir/Cemas
Merasa Bersalah
c Memperhatikan
orangtua/keluarga
saat memberikan
instruksi
d Melaksanakan
instruksi
orangtua/keluarga
e Menaati
peraturan/norma
dalam keluarga
2 Teman Sebaya di
Lingkungan Rumah
a Dapat
mengekspresikan
rasa:
Senang
Sedih
Malu
Marah
Lega
Merajuk
Kecewa
Takut
Lelah
Khawatir/Cemas
Merasa Bersalah
b Dapat mengontrol
diri ketika:
164
Senang
Sedih
Malu
Marah
Lega
Merajuk
Kecewa
Takut
Lelah
Khawatir/Cemas
Merasa Bersalah
c Menjalin hubungan
yang baik dengan
teman
d Tidak suka berkelahi
dengan teman
e Tidak suka
mengejek teman
f Tidak suka merusak
barang milik teman
g Tidak suka
mengambil barang
milik teman
h Dapat dipercaya
i Sopan
j Kemampuan
mengatasi masalah
saat berteman
k Berbicara dengan
kata/kalimat yang
baik
165
l Dapat mengontrol
rasa iri
m Dapat mengontrol
keinginan
n Dapat diandalkan
o Menunjukkan rasa
sedih jika dihindari
teman
p Tidak memiliki sifat
atau sikap dendam
3 Lingkungan Sekolah
a Dapat
mengekspresikan
rasa:
Senang
Sedih
Malu
Marah
Lega
Merajuk
Kecewa
Takut
Lelah
Khawatir/Cemas
Merasa Bersalah
b Dapat mengontrol
diri ketika:
Senang
Sedih
Malu
Marah
166
Lega
Merajuk
Kecewa
Takut
Lelah
Khawatir/Cemas
Merasa Bersalah
c Hubungan dengan
Warga Sekolah:
Menjalin hubungan
yang baik
Tidak suka berkelahi
Tidak suka
mengejek
Tidak suka merusak
barang milik orang
lain
Tidak suka
mengambil barang
milik orang lain
Dapat dipercaya
Sopan
Kemampuan
mengatasi masalah
Berbicara dengan
kata/kalimat yang
baik
Dapat mengontrol
rasa iri
Dapat mengontrol
keinginan
167
Dapat diandalkan
Menunjukkan rasa
sedih jika dihindari
orang lain
Tidak memiliki sifat
atau sikap dendam
d Berkaitan dengan
Aktivitas di Sekolah:
Rajin berangkat ke
sekolah
Tidak jengkel atau
marah jika
dinasihati guru
Reaksi ketika
diminta tampil ke
dapan kelas
Berani dan percaya
diri dalam
berinteraksi
Tidak mudah
tersinggung
Tidak cengeng
Tidak suka melamun
di dalam kelas
Tidak mengantuk
selama di sekolah
Rajin belajar
Rajin mengerjakan
tugas di sekolah
168
Rajin mengerjakan
pekerjaan rumah
(PR)
Merasa puas
dengan hasil belajar
yang baik
Konsentrasi salam
belajar
Tidak jenuh saat
belajar
Reaksi saat tidak
mampu
mengerjakan tugas
Patuh terhadap
peraturan sekolah
Mengerjakan/me-
laksanakan instruksi
guru, teman dan
warga sekolah yang
lain
169
TES FORMATIF
170
BAB IX
Prosedur Pelaksanaan dan Instrumen
Asesmen Perkembangan Kognitif
Anak Berkebutuhan Khusus
171
mampu memperoleh, menyimpan dan memanfaatkan berbagai
ilmu pengetahuan.
Pada umumnya, daya kognitif seseorang berkembang
seiring dengan pertambahan usia. Perkembangan tersebut
dimulai dari hal yang sederhana menuju kompleks, konkret
menuju abstrak, subyektif menuju obyektif dan yang dikenal
menuju yang asing atau belum dikenali sebelumnya. Informasi
akurat yang diterima guru tentang kemampuan kognitif anak
dapat mendukung pemahamannya terhadap kondisi
perkembangan kognitif anak yang bersangkutan, baik dari segi
potensi yang masih dapat dimaksimalkan maupun segi
hambatan yang kemungkinan besar dapat mengganggu proses
belajarnya.
Anak perlu dilatih kemampuan kognitif dasarnya sebelum
mendalami bidang akademik secara formal, seperti membaca,
menulis dan matematika. Adapun empat komponen
kemampuan kognitif dasar yang perlu dikuasai anak
berkebutuhan khusus, yaitu dijelaskan sebagai berikut:
a. Mengklasifikasikan
Kemampuan anak pada aktivitas intelektual ini dapat
diidentifikasi melalui keahliannya untuk mengelompokkan
obyek berdasarkan karakteristik yang dimiliki obyek
tersebut, misalnya warna, bentuk dan ukuran. Langkah
sebelum mengajarkan pengklasifikasian adalah
mengenalkan dan memberikan pemahaman kepada anak
mengenai warna, bentuk dan ukuran. Apabila anak belum
mampu mengklasifikasi obyek berdasarkan karakteristik
obyek tersebut, maka anak akan mengalami kesukaran
untuk mempelajari bilangan.
172
b. Mengurutkan
Pada komponen ini, anak diajarkan menyusun dan
menghitung setiap obyek secara berurutan sehingga
terbentuk keteraturan. Contoh tugas yang dapat diberikan
kepada anak adalah mengurutkan susunan obyek-obyek
berdasarkan karakteristik ukurannya, merangkaikan obyek
secara berturut-turut berdasarkan ukurannya, misalnya dari
yang terkecil sampai yang terbesar, dari yang terpendek
sampai yang terpanjang atau sebaliknya. Keberhasilan anak
dalam mengerjakan tugas tersebut memungkinkannya
untuk mampu secara tepat memahami dan membandingkan
lambang-lambang, seperti sama dengan, tidak sama dengan,
lebih kecil, lebih besar dan lain-lain.
c. Korespondensi
Kemampuan anak pada komponen ini ditunjukkan
dengan pemahamannya terhadap konsep bahwa jumlah
atau nilai sesuatu obyek akan sama walaupun memiliki
karakteristik yang berbeda, misalnya: terdapat dua buah
apel berwarna merah dan dua apel berwarna hijau atau satu
buku dan satu tempat pensil. Masing-masing obyek memiliki
perbedaan karakteristik, namun memiliki nilai atau jumlah
yang sama. Contoh tugas yang dapat diberikan kepada anak
adalah menjodohkan atau memasang-masangkan obyek,
baik berupa benda nyata maupun gambar.
d. Konservasi
Anak yang memiliki keahlian pada komponen ini dapat
memahami bahwa jumlah anggota suatu kelompok obyek
akan tetap meskipun terjadi perubahan posisi atau tempat,
misalnya satu keranjang berisi enam buah jeruk yang
173
sebelumnya berada di atas dapur meja dipindahkan ke meja
makan.
174
Mengelompokkan
obyek berdasarkan
bentuk
Mengelompokkan
obyek berdasarkan
ukuran
Mengurut- Mengurutkan obyek
kan berdasarkan pola
ukuran bentuk
Mengurutkan obyek
berdasarkan pola
ukuran warna
Menghitung setiap
obyek satu kali
secara berurutan
Menyusun obyek
berdasarkan ukuran
panjang-pendek
Menyusun obyek
berdasarkan ukuran
besar-kecil
Korespon- Memasangkan atau
densi menjodohkan dua
kelompok obyek
dengan jumlah yang
sama tetapi
memiliki
karakteristik yang
berbeda
Memasangkan atau
menjodohkan tiga
175
kelompok obyek
dengan jumlah yang
sama tetapi
memiliki
karakteristik yang
berbeda
Konservasi Menentukan jumlah
anggota dalam
kelompok obyek
tertentu setelah
terjadi perubahan
posisi atau tempat
Menentukan
panjang suatu
obyek tertentu
setelah terjadi
perubahan posisi
atau tempat
Menentukan berat
suatu obyek
tertentu setelah
terjadi perubahan
posisi atau tempat
176
Instrumen Asesmen Perkembangan Kognitif
177
5. Dapat menunjukkan angka
1 sampai 10 secara
berurutan.
6. Dapat menunjukkan angka
1 sampai 10 secara acak.
7. Dapat menyebutkan angka
1 sampai 10 secara
berurutan.
8. Dapat menyebutkan angka
1 sampai 10 secara acak.
9. Dapat menunjukkan huruf
secara berurutan
10. Dapat menunjukkan huruf
secara acak.
11. Dapat menyebutkan huruf
secara berurutan.
12. Dapat menyebutkan huruf
secara acak.
13. Dapat menebalkan titik-
titik.
14. Dapat menjiplak tulisan
atau gambar.
15. Dapat meniru tulisan atau
gambar.
16. Dapat melakukan role
playing dengan tepat
(permainan imajinatif).
17. Dapat menyebutkan nama
sendiri.
18. Dapat menyebutkan nama
anggota keluarga.
178
19. Dapat menyebutkan nama
orang lain yang dikenalnya.
20. Dapat menggambar
sederhana.
21. Dapat menyebutkan nama-
nama benda di sekitarnya.
22. Dapat memahami makna
instruksi sederhana.
23. Dapat melaksanakan
instruksi sederhana.
179
TES FORMATIF
180
BAB X
Prosedur Pelaksanaan dan Instrumen
Asesmen Perkembangan Persepsi dan Sensori
Anak Berkebutuhan Khusus
181
1. Gizi yang kurang baik dan tidak seimbang.
2. Sering mengonsumsi makanan dan minuman yang
mengandung bahan pengawet.
3. engaruh obat-obatan.
4. Dampak polusi udara.
5. Menderita suatu penyakit.
6. Kurangnya perhatian dari orangtua dan keluarga.
7. Budaya yang tidak mendidik.
182
Membedakan warna
Mengelompokkan
benda sesuai warna
Ukuran Menyebutkan
ukuran
Membedakan
ukuran pada gambar
Membedakan ukuran
benda nyata
Menggambar bentuk
dengan ukuran yang
berbeda
Jumlah Menyebutkan
jumlah
Membedakan jumlah
Mengelompokkan
benda berdasarkan
jumlah
Persepsi Kinestetik (Sensori)
Merasakan Menyebutkan
dan tekstur permukaan
Meraba benda:
Benda a. Kasar
b. Halus
Membedakan tekstur
permukaan benda:
a. Kasar
b. Halus
Menyebutkan
kondisi suhu:
a. Panas
183
b. Dingin
Membedakan kondisi
suhu:
a. Panas
b. Dingin
Gerak Menyebutkan
aktivitas gerak:
a. Berdiri
b. Duduk
c. Berjalan di
tempat
d. Berjalan biasa
e. Jongkok
f. Melompat
g. Meloncat
h. Merayap
i. Merangkak
j. Berguling
k. Berlari
Menirukan aktivitas
gerak:
a. Berdiri
b. Duduk
c. Berjalan di
tempat
d. Berjalan biasa
e. Jongkok
f. Melompat
g. Meloncat
h. Merayap
i. Merangkak
184
j. Berguling
k. Berlari
Melakukan aktivitas
gerak tanpa meniru:
a. Berdiri
b. Duduk
c. Berjalan di
tempat
d. Berjalan biasa
e. Jongkok
f. Melompat
g. Meloncat
h. Merayap
i. Merangkak
j. Berguling
k. Berlari
Persepsi Auditori
Respon Menoleh ketika
Bunyi atau dipanggil namanya
Suara Memahami dan
menyebutkan bunyi
atau suara:
a. Tepuk tangan
b. Petikan jari
c. Tepukan benda
d. Hentakan kaki di
lantai
Melaksanakan
instruksi untuk
menghasilkan bunyi
atau suara yang
185
telah didengar
sebelumnya:
a. Tepuk tangan
b. Petikan jari
c. Tepukan benda
d. Hentakan kaki di
lantai
Memahami dan
menyebutkan suara
hewan:
a. Kucing
b. Anjing
c. Tikus
d. Kambing
e. Sapi
f. Burung
g. Ayam
Menirukan suara
hewan:
a. Kucing
b. Anjing
c. Tikus
d. Kambing
e. Sapi
f. Burung
g. Ayam
Persepsi Pengecapan
Rasa Memahami dan
menyebutkan rasa:
a. Asin
b. Manis
186
c. Asam
d. Pedas
e. Pahit
Konsep Ruang
Anggota Memahami dan
Gerak menunjukkan
anggota tubuh yang
dapat digerakkan:
a. Tangan kanan
b. Tangan kiri
c. Kaki kanan
d. Kaki kiri
e. Kepala
f. Pinggul
Posisi Memahami dan
menunjukkan posisi:
a. Depan
b. Belakang
c. Atas
d. Bawah
e. Tengah
f. Samping kanan
g. Samping kiri
h. Utara
i. Selatan
j. Timur
k. Barat
Menggerakkan
anggota tubuh ke
berbagai posisi:
a. Atas
187
b. Bawah
c. Samping kanan
d. Samping kiri
e. Depan
f. Belakang
Konsep
Konsep Menunjukkan jumlah
Kuantitas benda yang ada:
a. Semua
b. Banyak
c. Sedikit
d. Sedang atau
beberapa
e. Tidak ada atau
tidak satu pun
Mengelompokkan
sejumlah benda
berdasarkan konsep
kuantitas:
a. Semua
b. Banyak
c. Sedikit
d. Sedang atau
beberapa
e. Tidak ada atau
tidak satu pun
Konsep Memahami konsep
Urutan urutan dari beberapa
benda:
a. Pertama
b. Terakhir
188
c. Di tengah
d. Di depan
e. Di belakang
f. Di antara
Konsep Membedakan ukuran
Ukuran benda:
atau Relasi a. Panjang-Pendek
b. Tinggi-Rendah
c. Luas-Sempit
d. Berat-Ringan
e. Tebal-Tipis
Kardinasi Memahami dan
menyebutkan
bilangan kardinasi:
a. Memahami
bilangan 1 – 5
b. Menyebutkan
bilangan 1 – 5
c. Pengoperasionala
n bilangan 1 - 5
189
TES FORMATIF
190
BAB XI
Prosedur Pelaksanaan dan Instrumen
Asesmen Akademik Membaca
Anak Berkebutuhan Khusus
191
hambatan yang dialami anak saat ini dalam aktivitas membaca,
termasuk pada ketepatan membaca dan pemahaman terhadap
isi teks yang dibacanya. Hasil asesmen tersebut digunakan
sebagai acuan untuk membentuk program pembelajaran
khususnya membaca. Tingkat kesulitan program telah
disesuaikan dengan kondisi nyata anak. Anak yang diduga
mengalami hambatan khusus pada aspek membaca perlu segera
diberikan intervensi agar kesulitan yang dialami tidak semakin
meningkat dan dapat merugikan masa depannya.
Dalam pelaksanaan asesmen membaca, seorang asesor
perlu memahami terlebih dahulu mengenai ruang lingkup
keterampilan membaca sebagai obyek asesmen. Jennings dalam
Gunawan (2017) mengemukakan lima aspek keterampilan
membaca yang berjalan secara berurutan, artinya keterampilan
yang ada di bawahnya menjadi prerequisite bagi keterampilan
berikutnya. Kelima aspek tersebut yaitu:
1. Kesadaradan Fonem (Phonemic Awareness)
Fonem merupakan istilah dari unsur terkecil bunyi
bahasa berperan sebagai pembeda makna. Kesadaran
fonem penting untuk dimiliki anak pada kemampuan
membacanya. Apabila terjadi hambatan pada proses belajar
membaca, maka perlu dideteksi apakah anak yang
bersangkutan telah memiliki kesadaran bunyi bahasa atau
belum sehingga dapat ditentukan program asesmennya.
Beberapa permisalan asesmen kesadaran fonem (phonemic
awareness) dijabarkan sebagai berikut:
a. Asesmen keterampilan membedakan bunyi. Pelaksanaan
asesmen ini ditujukan untuk memastikan bahwa anak
telah memiliki keterampilan dalam membedakan bunyi
kata, terutama dalam bahasa Indonesia.
b. Asesmen penghilangan atau penambahan fonem. Tujuan
dilakukannya asesmen ini ialah untuk memastikan
192
bahwa anak telah memiliki keterampilan dalam
memahami bunyi yang dihilangkan.
c. Asesmen segentasi bunyi. Asesmen ini diupayakan untuk
memastikan anak telah menyadari bahwa setiap kata
memiliki segmentasi fonem.
193
telah dikenal oleh anak; (2) kata-kata yang tingkat
kesulitannya sedang; dan (3) kata-kata yang termasuk sukar
dan jarang dibaca oleh anak.
194
5. Membaca Pemahaman (Reading Comprehension)
Membaca pemahaman memiliki peranan penting dalam
peningkatan kualitas membaca. Pembaca mengkonstruksi
arti melalui interaksi antara jalan pikiran pembaca dengan
teks bacaan. Dalam memahami isi bacaan terjadi proses
kognitif yang aktif untuk mengekstrak makana atau arti dari
teks yang dibaca. Untuk mengases keterampilan memahami
isi bacaan (reading comprehension) dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu:
a. Menceritakan kembali isi bacaan yang sudah dibaca
dengan membuat ringkasan isi cerita. Anak diminta
untuk membaca teks baik dengan membaca nyaring
(oral reading) atau membaca diam (silent reading).
Setelah selesai membaca, anak menceritakan isi tesk
dengan menggunakan bahasanya sendiri, baik
dilakukan secara oral maupun dalam bentuk tulisan.
b. Menjawab petanyaan yang berkaitan dengan isi teks
bacaan. Jenis pertanyaan yang dimaksudkan dalam hal
ini harus bersifat lateral, imferensial dan evaluatif.
195
B. Instrumen Asesmen Akademik Membaca Anak Berkebutuhan
Khusus
196
14 Kemampuan analisis
struktural lemah
15 Tidak mampu
memanfaatkan konteks
16 Tingkat pemahaman
rendah
17 Penguasaan dalam
memanfaatkan konteks
18 Kurang mampu
mengingat isi bacaan
19 Jawaban tidak
terstruktur secara baik
20 Tidak mampu mencari
informasi tertentu
21 Tidak mampu
membaca sepintas
22 Banyak salah ejaan
pada jawaban
23 Lambat dalam
membaca
24 Membaca cepat tetapi
tidak tepat/banyak
salah
25 Membaca sambil
berbisik
26 Tidak menguasai abjad
197
Instrumen Asesmen Keterampilan Membaca
198
nga
kha
9 Melafalkan gabungan
huruf konsonan dan
vokal:
ke
di
ba
bi
bu
ku
da
10 Membaca kata dengan
tepat:
aba, abi, abu, abe,
abo
nana, nini, nunu,
nene, nono
nama, mami, nari,
niru
dada, dadi, dadu, dari
11 Membaca huruf vokal
rangkap:
aan
iin
uun
een
oon
12 Membaca kata yang
mengandung “ny”:
nyamuk
199
nyuci
nyanyi
nyimak
nyari
13 Membaca kata yang
mengandung “ng”:
ngunyah
nangka
mangga
minggu
pisang
tangan
14 Membaca kata dengan
dua suku kata yang
dipisah:
ma – ma
pa – pa
bu – ku
da – du
ma – kan
mi – num
ti – dur
sa – ku
ni – lai
15 Membaca kata dengan
tiga suku kata yang
dipisah:
ber – nya -nyi
me – na – nam
me – na – ri
ber – ma -in
200
me – nga – yun
ber – cer - min
16 Membaca kalimat
dengan dua kata:
mira cantik
aku pintar
buku baru
meja kayu
rambut hitam
17 Membaca kalimat
dengan tiga:
ini ibu saya
ayah pergi bekerja
aku menyiram bunga
pohon itu tinggi
kakak makan apel
18 Membaca kalimat lebih
dari tiga kata:
saya suka minum
sirup
ibu berkunjung ke
rumah nenek
rara memetik bunga
mawar
andi pergi ke rumah
johan
B Membaca Pemahaman
1 Mengingat isi bancaan
2 Mencari informasi
tertera dalarn bacaan
3 Membaca sepintas
201
4 Mengenal ide pokok
dalam bacaan
5 Mambaca dengan
ekspresi sesuai isi
bacaan
6 Membaca tanpa hams
menunjuk setiap baris
bacaan
7 Menunjukkan
ketertarikan dalam
membaca
C Mengenal Tanda Baca
1 Koma (,)
2 Titik (.)
3 Sama dengan (=)
4 Tanda tanya (?)
5 Tanda seru (!)
6 Tanda kutip (“)
7 Garis miring (/)
202
TES FORMATIF
203
BAB XII
Prosedur Pelaksanaan dan Instrumen
Asesmen Akademik Menulis
Anak Berkebutuhan Khusus
204
b. Mencari perbedaan dan persamaan berbagai benda,
bentuk, warna, bangun dan posisi.
c. Menentukan arah kiri, kanan, atas, bawah, depan dan
belakang.
205
b. Deskripsi (uraian)
Penulis mengemukakan sesuatu sesuai dengan kenyataan
yang ada dalam bentuk kalimat atau paragraf. Pada
penulisan ini siswa harus juga menentukan awal dan akhir
deksripsi.
c. Ciptaan
Penulis merumuskan pikiran, perasaan dan kehendak yang
belum pernah dirumuskan terlebih dahulu oleh orang lain.
Cerita atau atau teks yang ditulis dapat berlandaskan
kenyataan yang benar-benar ada atau terjadi, namun
penulis harus mencampurkannya dengan karangan baru
sebagai hasil murni dari ciptaannya sendiri.
d. Karangan Penjelasan
Penulis mendeksripsikan alasan atau latar belakang dari
suatu wacana, berita maupun cerita, misalnya mengapa
pekerjaan itu harus dikerjakan, bagaimana cara
mengerjakan pekerjaan itu dan sebagainya. Topik karangan
yang biasanya digemari anak-anak adalah mengenai
pengalaman pribadi, petualangan, peristiwa-peristiwa
yang sedang terjadi, khayalan, dongeng, permainan, hal-hal
yang berkenaan dengan anak dan orang tuanya, hal-hal
mengenai binatang dan ceritera tentang orang-orang
istimewa atau terkenal.
206
B. Instrumen Asesmen Akademik Menulis Anak Berkebutuhan
Khusus
Berikut ini merupakan aspek-aspek yang perlu diases kepada anak
berkebutuhan khusus perihal kemampuannya dalam menulis:
207
14 Kondisi fisik anak saat
menulis (adanya kecacatan
atau tidak)
15 Kondisi mental anak saat
menulis (frustasi, depresi,
emosional, tegang)
16 Sikap yang ditunjukkan
anak (negatif atau positif)
17 Meniru gerakan
18 Menulis di udara
19 Menebalkan bentuk benda
20 Menirukan gerakan (naik,
turun, berkelok)
21 Membentuk gambar benda
22 Menebalkan gambar
23 Menebalkan kata
24 Melengkapi suku kata
menjadi kata
25 Mencontoh tulisan huruf
dengan menyalin
26 Mencontoh tulisan kata
dengan menyalin
27 Mencontoh tulisan kalimat
sederhana dengan
menyalin
28 Melengkapi kata dengan
huruf yang tepat
29 Melengkapi kalimat sesuai
dengan gambar
30 Menebalkan kalimat
208
31 Menuliskan kalimat dengan
didekte
32 Menyusun kalimat acak
33 Menuliskan kata sesuai
gambar
34 Menuliskan nama diri
sendiri
35 Menulis nama orang-orang
yang dikenal:
Orang tua
Saudara kandung
Teman-teman
Guru
dll
36 Menuliskan nama-nama
obyek yang diketahui:
Buah
Benda
Kendaraan
Hewan
dll
37 Menuliskan kalimat sesuai
gambar
38 Menuliskan kata sesuai
pertanyaan/soal
39 Menuliskan kalimat sesuai
pertanyaan/soal
40 Mengarang kalimat
41 Merangkum paragraf
sederhana
209
42 Menulis karangan dalam
bentuk paragraf sederhana
43 Menulis teks bacaan sesuai
dengan topik yang
ditentukan (berita
nyata/benar terjadi)
210
18 Pemahaman makna kata
19 Pemahaman makna kalimat
20 Pemahaman makna paragraf
211
TES FORMATIF
212
BAB XIII
Prosedur Pelaksanaan dan Instrumen
Asesmen Akademik Matematika
Anak Berkebutuhan Khusus
213
Dalam rangka menghimpun informasi mengenai
penguasaan anak di bidang matematika, diperlukan pelaksanaan
asesmen untuk menentukan intervensi berupa program
pembelajaran matematika. Tingkat kesulitan materi pada
program tersebut harus diselaraskan dengan kebutuhan dan
hambatan masing-masing anak agar tujuan asesmen dapat
tercapai dengan optimal. Sebelum mengasesmen, asesor
memerlukan pemahaman mendalam tentang ruang lingkup,
unsur-unsur, urutan materi dan tahapan belajar mengajar
matematika. Jenis pengelompokkan bidang matematika yang
dapat diajarkan kepada anak berkebutuhan khusus yaitu
pengelompokkan berdasarkan isi materi dan berdasarkan hasil
belajar yang diharapkan. Keduanya dijabarkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Isi Materi
Materi matematika yang dibahas di antaranya adalah
aritmetika dan geometri.
a. Aritmetika
Aritmatika didefinisikan sebagai cabang
matematika yang berkaitan dengan sifat, hubungan-
hubungan bilangan nyata dengan perhitungan terutama
menyangkut penjumlahan, pengurangan, perkalian dan
pembagian. Materi utama dalam aritmetika adalah
bilangan dan operasi bilangan atau komputasi yang
memiliki istilah operasi hitung.
b. Geometri
Materi geometri yang diajarkan meliputi aspek
bidang atau bangun datar dan bidang atau bangun
ruang. Bidang datar ialah bangun yang dapat kita
bayangkan sebagai sesuatu yang datar seperti
permukaan cermin, permukaan meja dan sebagainya.
Sifat-sifat yang dimiliki bidang datar mencakup: (a) tidak
214
mempunyai batas; (b) berdimensi dua (mempunyai
panjang dan lebar); (c) mempunyai arah lebih dari dua
arah; dan (d) tidak mempunyai tebal.
Bangun datar secara umum ini dibagi menjadi dua
bagian besar, yaitu bangun bersisi lurus dan bangun
bersisi lengkung. Bangun bersisi lurus terdiri dari: a) segi
tiga (siku-siku, tumpul, dan lancip), b) segi empat yang
meliputi jajaran genjang (persegi panjang, belah
ketupat, segi empat sama sisi), trapesium (siku-siku,
sebarang, sama kaki), dan laying-layang, c) segi lima, d)
segi enam, dan e) segi banyak. Bangun bersisi lengkung
terdiri dari lingkaran, elips dan bangun lain.
Bangun ruang merupakan bidang yang memiliki
tiga dimensi, yaitu panjang lebar dan tinggi. Suatu
bangun dalam bangun ruang tidak seluruhnya terletak
dalam bidang. Bangun ruang dibentuk oleh sisi. Contoh
bangun ruang di antaranya prisma, kerucut, piramida,
kubus, silinder dan bola.
215
Namun, hasil pembelajaran anak belum benar-benar
optimal karena hal yang dipelajarinya belum dapat
difungsikan dalam kehidupannya.
Dimensi kualitatif dalam hal ini ditujukan pada keahlian
anak saat mampu secara tepat mengaplikasikan konsep,
prinsip dan keterampilan yang diperolehnya untuk
memecahkan persoalan matematika yang sesungguhnya
terjadi di dalam kehidupannya. Keunggulan tersebut
menjadikan ilmu pengetahuan tentang konsep, prinsip dan
keterampilan di bidang matematika menjadi lebih berfungsi,
memiliki makna atau arti dan menyumbangkan kontribusi
yang signifikan ke dalam kehidupan anak yang
bersangkutan. Jenis soal matematika dari dimensi kualitatif
yang biasanya sering diberikan kepada anak-anak termasuk
penyandang kebutuhan khusus adalah soal cerita. Soal-soal
tersebut akan lebih mudah dipahami anak jika dikaitkan
dengan kehidupan realita yang pernah atau sedang ia jalani.
Kemampuan anak pada kesiapannya untuk belajar
matematika perlu diasah lebih mendalam karena kesiapan
dasar mengantarkannya kepada kesiapan yang memiliki
tingkat kesulitan lebih tinggi. Pada tahap kesiapan dasar
dalam konsep kuantitaif, anak memperdalam
pemahamannya mengenai klasifikasi, urutan atau seriasi,
korespondensi dan konservasi. Keempat kemampuan
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Klasifikasi
Klasifikasi dikaitkan dengan proses bekerjanya daya
kognitif untuk mengidentifikasi hal-hal yang saling
berhubungan. Mencari kesamaan dan pebedaan dari
obyek-obyek tertentu kemudiannya menghimpunnya
menjadi beberapa kelompok sesuai dengan
karakteristik obyek tersebut merupakan contoh dari
216
kegiatan ini. Kemampuan mengklasifikasi dapat
dijadikan landasan untuk memahami konsep
matematika yang lain, seperti penjumlahan dan
pengurangan.
c. Korespondensi
Aktivitas kognitif ini mendasari keahlian anak
dalam menghitung berapa banyak dan penting untuk
memahami konsep komputasi. Kemampuan
mengorespondensi yang dimiliki anak dapat dinilai dari
tingkat pemahaman terhadap persamaan jumlah obyek
di beberapa tempat yang berbeda dengan karakteristik
yang berbeda pula, misalnya tiga botol dalam keranjang
sama dengan tiga kaleng susu di atas meja.
d. Konservasi
Konsep konservasi yang perlu dipahami yaitu
kuantitas objek tidak akan berubah meskipun terjadi
transformasi bentuk dan posisi. Sebagai contoh,
sepuluh kue di dalam kardus akan tetap sama
217
jumlahnya meskipun dipindahkan ke dalam piring atau
deretan lima batang korek api yang disusun vertikal
sama jumlahnya meskipun disusun ulang secara
horizontal.
3. Tahap Abstrak
Dalam proses pembelajaran matematika di tahap abstrak,
anak dapat menggunakan simbol angka sebagai teknik
pemecahan masalah pada materi atau soal matematika.
Sebelum mencapai tahap ini, diupayakan bagi anak untuk
terlebih dahulu memperbanyak pengalaman belajar dan
memastikan pemahamannya pada tahap-tahap sebelumnya
agar mampu menggunakan simbol-simbol secara maksimal
di tahap abstrak.
218
B. Instrumen Asesmen Akademik Matematika Anak Berkebutuhan
Khusus
219
5 Menulis angka secara
berurutan tanpa tulisan huruf
(jumlah angka tergantung
kemampuan anak)
6 Menulis angka secara acak
tanpa tulisan huruf dengan
didekte oleh asesor (jumlah
angka tergantung
kemampuan anak)
7 Mengisi angka-angka yang
dikosongkan dalam tabel.
8 Memahami nilai tempat
(satuan, puluhan, ratusan dan
ribuan)
9 Mengurutkan angka-angka
dari nilai terkecil ke nilai
terbesar yang disusun secara
acak
10 Mengurutkan angka-angka
dari nilai terbesar ke nilai
terkecil yang disusun secara
acak
B Konsep Hitungan
1 Memahami dan menyebutkan
lambang operasi hitung:
Tambah (+)
Kurang (-)
Kali (x)
Bagi (:)
Sama dengan (=)
Lebih kecil (<)
220
Lebih besar (>)
2 Memahami dan menyebutkan
konsep hitungan:
Penambahan
Pengurangan
Perkalian
Pembagian
Penentuan tanda besar
Penentuan tanda kecil
Penentuan sama dengan
3 Menyatakan banyak benda
dari sekumpulan benda
4 Membandingkan dua
kumpulan benda melalui
istilah lebih banyak, lebih
sedikit atau sama banyak
5 Menentukan urutan
kumpulan benda dari yang
terkecil ke yang terbesar dan
sebaliknya
C Komputasi
Penjumlahan
1 Membaca angka dan simbol
penjumlahan serta
menjumlahkannya:
1+2=3
4+3=7
5 + 6 = 11
8 + 4 = 12
Dan seterusnya
221
2 Menjumlahkan angka yang
bersifat puluhan
3 Mengisi angka yang
dikosongkan dalam sebuah
penjumlahan:
7 + ...= 12
4 Menyelesaikan soal cerita
sederhana mengenai
penjumlahan
Pengurangan
1 Membaca angka dan simbol
pengurangan serta
mengurangkannya:
9–2=7
7–4=3
15 – 5 = 10
12 – 8 = 4
Dan seterusnya
2 Mengurangkan angka yang
bersifat puluhan
3 Mengisi angka yang
dikosongkan dalam sebuah
pengurangan:
21 – …. = 17
4 Menyelesaikan soal cerita
sederhana mengenai
pengurangan
Perkalian
1 Membaca angka dan simbol
perkalian serta
mengalikannya:
222
2x3=6
5 x 2 = 10
7 x 3 = 21
Dan seterusnya
2 Mengalikan angka yang
bersifat puluhan
3 Mengisi angka yang
dikosongkan dalam sebuah
perkalian:
2 x …. = 8
4 Menyelesaikan soal cerita
sederhana mengenai
perkalian
Pembagian
1 Membaca angka dan simbol
pembagian serta
membagikannya:
6:2=3
12 : 6 = 2
15 : 3 = 5
Dan seterusnya
2 Membagikan angka yang
bersifat puluhan
3 Mengisi angka yang
dikosongkan dalam sebuah
pembagian:
20 : … = 4
4 Menyelesaikan soal cerita
sederhana mengenai
pembagian
223
D Geometri dan Pengukuran
1 Menunjukkan konsep waktu
dalam kegiatan sehari-hari
yang berkaitan dengan pagi,
siang, sore dan malam hari
2 Membaca dan menuliskan
waktu pukul “…...” dari
gambar yang ditunjukka jarum
jam (secara bulat)
3 Menunjukkan konsep waktu
kegiatan sehari-hari yang lama
atau yang sebentar
4 Menunjukkan benda-benda
yang panjang atau yang
pendek
5 Membandingkan panjang atau
pendek suatu benda
6 Menceritakan kegiatan sehari-
hari yang berhubungan
dengan jam sehari (dari
bangun sampai tidur kembali)
7 Mengenal dan mengurutkan
nama hari dan bulan
8 Menyebutkan urutan nama
hari secara acak:
Hari ke 3 dalam satu
minggu adalah…
Dalam satu minggu, hari
Jumat adalah hari ke …..
9 Menyebutkan urutan nama
bulan secara acak:
224
Bulan ke 5 dalam satu
tahun adalah…
Dalam satu tahun, bulan
Juni adalah bulan ke …..
10 Mengukur jarak suatu benda
dengan satuan ukuran tidak
baku (jengkal, depa, langkah,
kaki)
E Bangun Ruang
1 Menemukan karakteristik
atau ciri-ciri bangun ruang
sederhana (balok, prisma,
tabung, bola dan kerucut)
2 Menemukan benda di sekitar
berdasarkan bentuk bangun
ruang
3 Menggambar model bangun
ruang sederhana
4 Membuat model bangun
ruang sederhana
5 Mengklasifikasikan bentuk-
bentuk bangun ruang
6 Mengurutkan benda-benda
bangun ruang dari yang
terbesar sampai yang terkecil
atau sebaliknya
225
TES FORMATIF
226
DAFTAR PUSTAKA
227
Jong, W. D. 2018. Pertolongan Pertama pada Siswa Berkebutuhan
Khusus. Jakarta: Prenadamedia Group.
Lerner. 1988. Observing Activities: Assessing Science in The Primary
Classroom. London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Mangunsong, F., dkk. 1998. Psikologi dan Pendidikan Anak Luar
Biasa. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran
dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.
McLoughlin, James, A. & Lewis, Rena, B. 1986. Assessing Special
Students (2nd). USA: Merril Publishing Company.
Mudjito, Harizal & Elfindri. 2012. Pendidikan Inklusif. Jakarta:
Baduose Media Jakarta.
Mursitowati B. 1990. Prosiding Seminar: Peran Kesehatan Anak
dalam Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang. Surabaya:
YPAC Cabang.
Nurgiyantoro, Burhan. 2011. Penilaian Pembelajaran Bahasa
Berbasis Kompetensi. Yogyakarta: BPFE.
Putranto, B. 2015. Tips mengenai Siswa yang Membutuhkan
Perhatian Khusus. Yogyakarta: DIVA Press.
Rafikayati, A. Identifikasi dan Asesmen Anak Berkebutuhan Khusus.
Surabaya: Adi Buana University Press.
Rochyadi & Alimin, Z. 2005. Pengembangan Program Individual bagi
Anak Tunagrahita. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Somantri, T. S. 2007. Evaluasi Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan.
Somantri, T. S. 2018. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: PT Refika
Aditama.
Sudjarwanto. 2005. Terapi Okupasi untuk Anak Berkebutuhan
Khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan
Penddidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagakerjaan
Perguruan Tinggi.
228
Sunardi & Muchlisoh. 1997. Menangani Kesulitan Belajar Membaca.
Jakarta: Depdikbud.
Sundari, T. & Abdurahman, M. 2013. Asesmen Anak Berkebutuhan
Khusus. Bandung: Jurusan Pendidikan Khusus, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Tarigan, Henry Guntur. 2015. Pengajaran Kosakata. Bandung:
Angkasa.
Wallace G & Larsen SC. 2002. Speech Handicapped School Children.
New York: Harper and Brothers Pub.
Wardani, dkk. 2008. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Winarsih, M. 2007. Intervensi Dini bagi Anak Tunarungu dalam
Perolehan Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Ketenagaan.
Yusuf, M. 2005. Asesmen perkembangan pada anak tunagrahita.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
229