Anda di halaman 1dari 6

KEPERGIAN DAN KEHILANGAN

gua? Gua kan sayang banget sama kalian berdua. Gua ikut sedih, tauk,” kata Noni kecewa. “Kalian kan
pasangan legen daris, bikin orang-orang ngiri, kalian tuh cocok banget ...”

Kugy tersenyum getir. “Please, deh, Non. Gua sama Ojos itu bedanya kayak langit dan sumur. Semua ini
kayak bom waktu yang tinggal tunggu meledak.”

Tampang Noni langsung berubah serius. “Gy, lu sahabat gua. Gua pasti belain elu. Tapi terus terang, kali
ini gua nge lihat lu memang jadi berubah. Lu kayak sengaja menarik diri. Ojos juga ngerasa gitu, dan dia
udah lama ngomong ke gua. Dia ngerasa ada sesuatu yang aneh. Gua dan Eko juga ngerasa kehilangan
lu,” Noni terdiam sejenak, “gua nggak enak ngomong gini. Tapi sebagai sahabat, gua harus jujur sama lu.
Kita semua kehilangan Kugy yang dulu.”

Lama Kugy membisu. Dalam benaknya ia berusaha keras untuk merangkai penjelasan demi penjelasan,
tapi yang ia temukan hanya sebongkah benang kusut. Ia tak tahu lagi harus memulai dari mana. Semua
sudah bercampur aduk.

“Thanks for your concern, Non,” kata Kugy akhirnya, “tapi gua baik-baik aja, kok. Gua nggak tahu Kugy
yang dulu itu yang mana. Tapi inilah gua. Kalau memang ternyata ber ubah, ya terimalah gua apa
adanya. Sama seperti gua me nerima lu, Eko, Ojos, Keenan ... apa adanya. Menurut gua, itu yang bisa
kita lakukan sebagai sahabat.”

Jelas terlihat ekspresi protes di muka Noni, tapi kata-kata Kugy seperti membungkam mulutnya. Noni
pun bangkit berdiri. “Whatever, Gy. Terserah,” ujarnya dingin.

Pintu kamar itu kembali menutup. Kugy termenung di kursi komputernya. Sekilas ia melihat
bayangannya di cer min. Ia mengerti kehilangan yang dimaksud Noni. Sama se perti sahabatnya, ia pun
merasakan kehilangan itu. Namun, Kugy tak tahu harus ke mana mencari. Semua terlalu kusut baginya.

Atmosfer di ruangan itu terasa mengimpit. Di meja makan segi empat yang kosong tanpa makanan itu,
Keenan dan ayahnya duduk berhadap-hadapan. Ibunya duduk di tengah tengah seumpama wasit tinju
yang mengamati pertarungan dengan tegang. Sementara Jeroen mengurung diri di kamar, ia paling tidak
tahan mendengar orang bertengkar.

“Inilah yang membuat saya nggak pernah setuju dia pergi ke Amsterdam! Ini!” ayah Keenan berkata
lantang, “Lena ... lihat anak kamu, dia pikir dia siapa? Berani-berani minta berhenti kuliah hanya gara-
gara lukisannya laku segelintir.

Dia nggak mikir bahwa saya, bapaknya, sudah setengah mati banting tulang buat bayar seluruh biaya
sekolahnya dari dia kecil sampai sekarang,” ayahnya lalu menoleh pada Keenan, “bawa sini kalkulator!
Kita hitung-hitungan siapa yang keluar biaya paling besar. Bisa nggak kamu bayar Papa un tuk
menggantikan uang sekolah kamu dari cek yang kamu terima dari Warsita? Ayo! Kita hitung!”

Dari wajahnya, Keenan tampak sudah mau meletus, tapi ia menahan diri, mengeraskan rahangnya kuat-
kuat. “Ini bukan soal uang, Pa,” ujarnya tertahan. “Sampai kapan pun saya nggak bisa menggantikan
semua yang sudah Papa ka sih. Tapi saya benar-benar nggak kuat lagi untuk pura-pura betah kuliah.
Saya nggak kuat meneruskan sesuatu yang saya nggak suka. Sementara hati saya ada di tempat lain.”
“Apa sih masalah kamu? Tanpa banyak usaha saja kamu bisa dapat IP paling tinggi! Apa susahnya kamu
teruskan kuliah?” tanya ayahnya gemas.

“Itu bukan dunia saya, Pa,” Keenan menyahut pelan, “bukan itu jalan hidup yang saya mau.”

Adri tertawa kecil, menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kamu tahu apa tentang hidup? Kamu masih dua puluh tahun. Kamu nggak tahu apa-apa!”

“Saya cukup tahu bahwa hidup yang sekarang ini saya jalankan adalah hidup yang Papa mau, bukan yang
saya mau,” kata Keenan getir. “Saya ingin berhenti kuliah mulai dari semester depan. Dan saya tidak
akan membebani Papa lagi. Saya akan cari uang dan membiayai hidup saya sendiri.”

“Keenan! Let op je woorden!21” Lena menyambar seketika, “ga niet al te ver.22 Jangan asal ngomong
kamu ....”

Adri pun sontak bangkit berdiri, menatap anaknya tak percaya. “Kamu—kamu belum tahu seujung kuku
pun ten tang hidup! Jangan pikir saya terkesan dengan usaha kamu yang sok kepingin mandiri itu. Kamu
nggak tahu apa yang kamu hadapi di luar sana—”

“Maaf, saya bukannya mau menyakiti kalian berdua dengan keputusan saya ini, tapi saya betul-betul
nggak bisa maksain diri lagi,” sela Keenan tegas.

Lena sudah ingin berbicara, tapi tangan suaminya terangkat menahannya, “Oke. Kalau memang itu
yang kamu mau, silakan.” Suara Adri terdengar tegas dan garang. “Mulai detik ini, saya berhenti
membiayai kamu. Mandirilah sana. Silakan kamu rasakan sendiri hidup yang sebenarnya.

Kamu urus diri kamu sendiri. Saya tidak mau tahu lagi.”

Lena pun tak bisa menahan diri lagi, “Adri! Kamu juga jangan ikutan ngawur. Kita bicarakan lagi semua
ini baikbaik ....”

Keenan malah ikut bangkit berdiri. “Sudah, Ma. Het is goed zo23. Memang itu yang saya inginkan. Saya
mau beresberes sekarang, lalu pulang ke Bandung,” ujarnya tenang.

“Ya. Biarkan dia pergi,” Adri menyahut, “jangan ditahantahan.”

“Adri! Keenan! Kalian berdua sama saja, keras kepala dan gengsi tinggi!” protes Lena. “Ayo, duduk lagi,
bukan begitu cara menyelesaikan masalah ini. Pasti ada jalan keluar yang lebih baik.”

Namun, baik Keenan maupun ayahnya tidak tertarik un tuk duduk kembali. Keduanya tetap berdiri di
tempat masing-masing dengan sorot mata beradu.

“Laat maar zitten24, Lena. Kita lihat saja nanti, siapa yang akan kembali ke pintu rumah ini, merengek
minta maaf, dan menelan kembali semua ucapannya,” ucap Adri dingin.

Keenan tersenyum samar. “Ya, kita lihat saja nanti.”

Sekembalinya ke Bandung, Keenan tak menunda-nunda lagi rencananya. Ia sadar bahwa ia tengah
melakukan perom bakan hidup besar-besaran. Perasaannya bercampur antara semangat sekaligus
gentar. Namun, Keenan tahu ia tak bisa mundur lagi.
Selama libur jeda semester ini, bolak-balik Keenan mengurus surat pengunduran dirinya ke bagian
administrasi kampus. Dibantu Bimo, Keenan pun pindah dari tempat kos nya dulu ke tempat kos yang
jauh lebih kecil, di dalam se buah gang di daerah Sekeloa, yang ongkos sewanya berkali lipat lebih
murah dibandingkan tempat kosnya yang dulu.

Keenan mulai menata ulang hidupnya di Bandung. Cek dari Warsita tak disentuhnya sama sekali. Ia
hanya berniat mencairkannya jika kelak kondisinya sudah sangat kepepet.

Keenan hanya mengandalkan sisa tabungan pribadi yang ia miliki. Sebagai konsekuensinya, ia tahu
dirinya tidak bisa lagi bergaya hidup seperti dulu. Segalanya berubah seka rang.

Bimo meletakkan dus yang terakhir ke lantai. Kamar kos kecil itu bahkan terlalu sesak rasanya
menampung mereka berdua. Buru-buru Bimo membuka pintu agar udara segar masuk.

“Lu adalah orang paling gila yang pernah gua tahu,” Bimo menggeleng-gelengkan kepalanya, “entah itu
karena lu nekat atau bloon, tapi gua salut sama keberanian lu.”

Keenan hanya nyengir sambil mengusap-usap kepalanya sendiri, “Gua juga nggak ngerti ini gila atau
malah waras.

Yang jelas, inilah rasanya hal paling benar yang pernah gua lakukan.”

“Lu emang sinting nggak kepalang. IP terbaik dua semester berturut-turut, ee ... malah cabut! Transfer
ilmu dulu, kek. Kasihani orang-orang kayak gua yang IP-nya satu koma gini,” Bimo tergelak.

“Tenang. Selama gua masih di Bandung, gua pasti bisa bantuin lu. Udah tahu harus cari gua ke mana,
kan?”

Keenan tersenyum.

“Siapa aja yang udah tahu lu di sini?”

“Belum ada siapa-siapa lagi.”

“Eko?”

Keenan menggeleng.

Bagi Bimo, itu menjadi petunjuknya untuk tidak perlu bilang pada siapa-siapa soal kepindahan Keenan.
Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya, tapi Bimo merasa lebih baik menunda hingga saat yang
tepat. “Angkatan kita akan kehilangan silumannya,” Bimo menghela napas seraya menepuk bahu
Keenan.

“Siapa tahu setelah nggak jadi mahasiswa, gua malah jadi macan kampus.”

“Gua mohon jangan, Nan. Bentar lagi ada cewek-cewek angkatan baru, dan gua ogah bersaing sama lu,
monyong!” Bimo tergelak lagi, dan tak lama kemudian ia pamit pulang.

Sepeninggal Bimo, Keenan termenung di kamar barunya yang terletak sendirian di loteng. Juntaian tali
jemuran yang saling silang di depan jendelanya akan menjadi peman dangan rutin setiap hari. Kucing-
kucing yang berjemur santai di atap tetangga akan menjadi teman setianya. Udara panas ini akan ia
hirup sampai entah berapa lama. Barang barangnya yang padahal tak banyak itu bahkan terasa
me nyesaki saking kecilnya kamar itu. Namun, untuk pertama kalinya setelah pulang ke Indonesia,
Keenan merasakan ke bebasan.

Kugy memutuskan mengambil semester pendek bulan ini.

Terkadang, ia merasa keputusannya itu adalah usaha pelarian dari suasana tidak enak yang
mengungkungnya ketimbang melulu keputusan akademis. Lebih baik membenamkan diri dalam
pelajaran dan tugas menumpuk ketimbang berhadapan dengan Noni yang menjaga jarak, Eko yang juga
ikut meng hilang, Keenan yang lebih tak tentu rimbanya, dan perasaan bersalahnya pada Ojos yang
belum surut-surut juga.

Sepulang dari kampus dan mengajar di Alit siang itu, Kugy benar-benar penat dan ingin langsung cepat
mendarat di kasur. Namun, langkahnya yang gegap gempita berangsur menjadi pelan dan berjingkat
ketika ia melihat si Fuad ter parkir di halaman tempat kosnya. Sehati-hati mungkin, Kugy menyelinap
masuk menuju kamarnya.

“Gy!” Eko muncul di hadapannya dari balik pintu kamar Noni. Bertepatan dengan Kugy yang sudah
membuka handel pintu kamar. “Manusia satu ini ... lama ngilang,” sambung Eko lagi.

Mau tak mau Kugy melayani dulu basa-basi itu. “Lu kali yang ngilang. Gua kan di sini terus,” katanya
sambil nyengir lebar.

“Masa? Kok, tiap kali gua ke sini lu juga nggak pernah ada. Tiap gua ajak pergi lu nggak pernah mau. Kata
anak anak, lu ambil SP, ya? Pingin cepat lulus terus ninggalin kita, ya?” Eko menoyor jidat Kugy pelan,
“Huuuh ... curang.

Ke mana aja, sih? Kangen tauk.”

“Iya, gua juga kangen. Tapi gua sibuk banget belakangan ini, Ko,” jawab Kugy jujur. Jangankan untuk
main dengan Eko dan teman-temannya yang lain, tidur siang pun sudah jadi kesempatan langka baginya.

“Sibuk boleh sibuk, tapi minggu depan sempatkan datang, ya?”

“Datang ke mana?” tanya Kugy.

“Ultah Noni. Masa lu belum tahu, sih?” Eko berdecak gemas, “Dia kan mau bikin acara di Jakarta, gede-
gedean. Kita justru mau berangkat ke Jakarta sore ini, dia mau siapsiapin acaranya ....”

Mendengar Eko berbicara dengan seseorang, Noni ikut menongolkan diri. Mukanya tampak berubah
ketika tahu orang yang ngobrol dengan Eko ternyata Kugy. “Hei, Gy.

Baru pulang?” sapanya enggan.

“Hai, Non,” jawab Kugy setengah bergumam.

Eko melihat Noni dan Kugy bergantian. “Kayaknya kalian berdua perlu bicara, deh. Gua tunggu di depan
aja, ya.” Ia pun langsung melenggang dari sana, tanpa memedulikan pelototan dari kedua perempuan
itu.

“Katanya minggu depan mau bikin acara, ya? Seru, dong,” Kugy mencoba membuka pembicaraan. Kaku.
“Iya. Mudah-mudahan. Semua teman gua udah pada tahu, kok. Anak-anak yang dari Jakarta udah mau
datang.

Sebagian anak-anak dari Bandung juga pada ikut,” sahut Noni dengan penekanan, seolah-olah
menunjukkan fakta bahwa Kugy secara ironis malah menjadi orang yang bela kangan tahu.

Kugy menyadari betul maksud yang tersimpan di balik intonasi Noni. “Sori ya, gua tahu pembicaraan kita
terakhir agak kurang enak. Jujur, gua juga nggak nyaman jadi dingin-dinginan sama lu begini. Sekali lagi
maaf ya, Non.

Kayaknya memang gua yang nggak sensitif dan jadi terlalu cuek sama lu, sama kalian.”

Noni mengangkat mukanya dan menatap Kugy. Ia pun menyadari dirinya terlalu sayang pada makhluk
aneh di ha dapannya itu, dan tak mungkin ia marah berlama-lama.

“It’s okay, Gy. Gua juga minta maaf kalo terlalu nyampurin urusan lu sama Ojos. Gua yakin lu pasti
punya alasan lu sendiri, dan gua nggak berhak ngutak-ngatik. Gimanapun juga, lu tetap sahabat gua,”
kata Noni. Seulas senyum mulai terbit di wajahnya. “Tapi, gua boleh request sesuatu, nggak?”

“Anything,” Kugy membalas tersenyum.

“Gua minta lu datang ke pesta ultah gua minggu depan, ya. Lu adalah sobat gua terlama, Gy. Lu tahu gua
dari kecil sampai umur kepala dua begini. Sangat berarti buat gua kalo lu bisa hadir. Please?” Noni
memohon.

“Gua pasti datang,” jawab Kugy mantap.

Noni langsung menghambur memeluk Kugy. “Jangan ngilang lagi ya, ‘Nyet,” bisiknya.

“Kecuali kalo lagi berburu pisang,” bisik Kugy lagi.

Noni tertawa. “Gua cabut ke Jakarta dulu. Gua tunggu minggu depan di rumah Wanda, ya!”

Kugy menelan ludah. Jantungnya terasa mengkeret sekian senti. “Rumah Wanda?” ia berusaha
meyakinkan pen dengarannya.

“Yup. Gua bikin garden party, minjem halaman rumahnya Wanda yang segede setan. Pokoknya bakal
mantap ba nget. Wanda yang jadi EO-nya. Tugas lu tinggal datang dan have fun, oke?” kata Noni ceria.
“Dah, Gy! See you next week!”

Kugy balas melambai. Lama memandangi Noni yang ber lari-lari kecil dengan riang gembira sampai
bayangan sa habatnya itu menghilang di balik pintu gerbang. Terasa ada beban baru yang menghunjam
pundak Kugy begitu tahu di mana pesta itu diadakan. Benaknya seketika bergerak maju, membayangkan
suasana pesta itu nanti, dan aneka peman dangan yang sekiranya akan menusuk mata. Kugy masuk ke
kamarnya dengan langkah terseret. Sore ini terasa semakin penat.

Wanda nyaris pingsan ketika dibawa masuk ke tempat kos Keenan yang baru. Untung saja ia masih
sanggup mengum pulkan kekuatan untuk bertahan duduk di atas kasur tipis di situ.

“Nan, kamu ngapain sampai harus tinggal di tempat kayak gini? Aku hargai banget keberanian kamu
untuk ber henti kuliah demi serius melukis, tapi ... ini ... ekstrem nama-nya! Kamu ke Jakarta aja. Nanti
aku yang carikan tempat,” bujuk Wanda sambil sesekali mengelap wajahnya sendiri dengan tisu.
Bandung memang lebih sejuk dibandingkan Jakarta, tapi kamar Keenan yang berada di loteng dan
ber-atapkan asbes itu terpanggang sinar matahari siang hingga terasa panas dan pengap.

“Saya lebih baik di Bandung, Wan. Biaya hidup di sini lebih murah. Dan saya bisa mempersiapkan diri
untuk me lukis tanpa banyak diganggu,” ujar Keenan sambil membuka jendela dan pintu lebar-lebar
agar ada angin yang berembus masuk.

“Gimana mungkin kamu melukis di tempat busuk

Anda mungkin juga menyukai