Anda di halaman 1dari 112

*C E R B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*

*Part_2*

Suasana di ruang tengah mendadak hening saat Abi mulai membuka suara.

“Tujuan dari Abi mengumpulkan kita semua di sini adalah untuk menyampaikan sebuah kabar gembira
untuk kita semua, terutama untuk Jihan,” Abi menatapku penuh rahasia. Semua mata pun tertuju
padaku dan mereka semua tersenyum seolah menggoda. Kecuali Hakim. Lelaki itu seolah tak peduli
dengan keadaan, ia malah asik memainkan ponselnya.

“Ada apa sih, Bi? Bikin penasaran aja deh!”

Abi tertawa kecil. “Sabar dong, Nak,” ujar lelaki berpeci putih itu. Jenggotnya terlihat sudah sedikit
memutih, menandakan usianya tak lagi muda.

Aku mengalihkan pandangan pada Umi yang terlihat anggun dengan jilbab coklat mudanya malam ini.
“Mi, ini ada apa sih?” tanyaku tak sabaran.

Umi yang duduk di samping Abi melirik suaminya lalu berkata, “biar Abi aja yang menyampaikan,”
sahutnya.

Aku memanyunkan bibirku. Apa-apaan sih mereka bikin penasaran saja!

“Sabar aja kenapa sih? Tungguin Abi selesai ngomong!” celetuk Fadil yang duduk berseberangan
denganku.
Terpaksa aku mengunci bibirku.

“Jadi begini Jihan, kemarin abinya Hakim, bercerita pada Abi. Kalau ada sepupu jauhnya Hakim sedang
mencari jodoh, dan...” Abi menggantung kalimatnya, “kami berencana menjodohkanmu dengan lelaki
itu,” lanjut Abi.

Aku terperanjat. ‘Apa? Tanpa sepengetahuanku mereka main jodohin aja, ketemu juga kagak pernah!’
batinku.

“Siapa namanya Nak Hakim? Abi lupa,”

Hakim yang tengah asyik dengan ponselnya segera mengangkat wajah lalu menjawab dengan berat,
“Amran,” ia memandangku, lalu menoleh pada Abi, “namanya Amran, Bi.”

“Oh iya, Amran. Dia baru saja pulang dari Malaysia menyelesaikan S3-nya. Anaknya baik dan santun. Dia
juga seorang hafizh. Abi sudah bertemu dengannya waktu itu. Kamu bersedia kan untuk nadzhar
dengannya besok sebelum berangkat?”

Aku tak menimpali. Hanya diam menunduk sambil menarik-narik benang di sarung bantal kursi
berbentuk love itu.

Tiba-tiba Azizah menyikut lenganku. “Jihan, Abi lagi gomong sama kamu lho, kok diam aja?” bisiknya.

Aku tergagap dan segera menegakkan kepala. Menatap Abi yang menunggu jawabanku.

“Terserah Abi saja,” sahutku pelan, “aku menurut kalau sekiranya dia baik menurut pendapat Abi.”
Pungkasku.
“Alhamdulillaah...,” terdengar suara mereka semua mengucap syukur mendengar jawabanku.

Entah aku harus bahagia atau bagaimana. Tapi tak ada salahnya menuruti kata-kata Abi. Karena aku
yakin beliau tidak sembarangan dalam memilih calon menantu. Contohnya saja Azizah dan... Hakim.

***

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Suasana rumah sudah sepi, karena
penghuninya sudah kembali ke peraduan masing-masing untuk menunaikan hak tubuh. Sedangkan aku
masih setia duduk di sini, di depan televisi. Aku mengambil chanel kartun. Sebab sampai usia 26 tahun
ini aku masih suka dengan film kegemaran anak-anak itu meskipun pikiranku tidak fokus pada acara
yang sedang kutonton.

“Jihan?” tiba-tiba suara Fadil membuatku terkejut.

“Abang, bikin kaget aja. Aku kira siapa,”

“Maaaaf,” ucapnya sambil menghempaskan tubuhnya di sebelahku. Di tangannya ada segelas minuman
dingin yang baru saja ia ambil dari lemari es. Ia meneguknya beberapa kali dan menaruh sisanya di atas
meja.

“Kapan dewasanya kalau nonton Doraemon terus?” ledeknya.

“Biarin ah, lumayan buat ngilangin bete,” sahutku cuek.

“Kenapa belum tidur? Udah malam lho ini,” matanya melirik jam di dinding.

“Belum ngantuk, Bang.”


“Harusnya tilawah bukannya nonton,”

“Udah kok Bang, tapi tetep aja nggak bisa tidur. Makanya melipir kemari,”

Fadil menarik napas dalam. “Mikirin apa sih?”

Aku tak menjawab.

“Apa soal perjodohanmu?” tebaknya.

Terpaksa aku mengangguk. “Iya, Bang.”

“Jihan, yakinlah bahwa pilihan orang tua itu InsyaaAllah baik. Meskipun kita tak mendapatkan apa yang
kita inginkan. Tapi Allah lebih tahu siapa yang terbaik untuk kita,” tuturnya. “Abang tahu, masih sulit
untukmu menerima pernikahan Hakim dan Madya, tapi kamu harus move on. Berarti Hakim bukan
jodohmu, ada seseorang yang jauh lebih baik sedang menantimu di sana,”

Aku membalas tatapan Fadil. “Apa aku terlihat selemah itu? Abang kira aku belum move on dari
Hakim?”

“Yang abang lihat sih begitu,”

“Enak aja, makanya jangan sok tahu! Udah ah, aku mau tidur, minggir! Ntar telat subuhnya,” aku bangkit
dan meninggalkan Fadil sendirian dengan wajah bete karena di cuekin.
Sebelum ke kamar aku mampir ke dapur dulu untuk mengambil air minum. Dan ketika di ambang pintu
aku melihat Hakim dan Madya ada di sana. Terlihat Madya tengah mengambil minuman dingin dari
kulkas, sedangkan Hakim menungguinya. Mereka memang sengaja menginap di sini malam ini.

Aku menghentikan langkahku, ada rasa sesak kembali menyeruak kala melihat kemesraan mereka. Lalu
aku membalikkan badan dan mengurungkan niatku untuk mengambil apa yang kubutuhkan.

“Kak Jihan?” suara Madya menghentikan langkahku. “Kakak mau kemana?”

“Nggak ada, tadinya mau ambil minum tapi...ah sudahlah, kakak mau kekamar dulu,” bergegas aku
meninggalkan mereka menuju kamarku di lantai dua. Aku tahu ada tatapan aneh dari sepasang mata
teduh itu.

‘Ya Allah! Kenapa rasanya masih sakit? Dia suami adikku. Dia adik iparku. Tapi kenapa setiap melihat
mereka aku cemburu? Kenapa harus Madya? Kenapa?’ Aku menangis sambil berlari menaiki anak
tangga satu persatu. Sesampai di kamar aku membenamkan wajahku ke atas bantal berwarna putih itu.
Menahan agar suara tangisku tak terdengar oleh abi dan umi yang kamarnya persis di samping kamarku.

***

Pagi ini aku membawa sarapanku ke teras belakang. Karena tak lagi ingin menyaksikan adegan romantis
pengantin baru itu di meja makan. Akan bertambah luka di hatiku jika tetap memaksakan diri berkumpul
dengan mereka. Aku menikmati potongan brownies kukus buatan Umi sambil membuka laptopku.
Terlihat Fadil tengah asyik menyiram tanaman bersama Abi.

“Kenapa sarapan di situ, Jihan?” Tanya Abi.

“Lagi nyari udara segar, Bi,” sahutku.

Sementara Fadil hanya tersenyum seolah paham isi hati adiknya ini.
Aku tak lagi mempedulikan mereka, asyik dengan laptop dan browniesku.

“Boleh aku duduk di sini?” Tiba-tiba Hakim muncul, di tangannya ada secangkir kopi hitam. Aku terkejut
dengan kehadirannya.

“Kenapa harus di sini? Kenapa tidak menemani istrimu di dalam?”

“Madya lagi mau ke toko kue sama Kak Azizah, boleh kan ngobrol sebentar?”

Fadil dan Abi memandang heran dari jauh. Apalagi Fadil, terlihat sekali dahinya berkerut.

“Maaf, aku sedang sibuk. Lagian tidak baik ngobrol dengan ipar berduaan begini.” Sahutku tegas tanpa
memindahkan pandanganku dari layar laptop.

“Ada abi dan bang Fadil di sana, jadi kita tidak berdua,” kilahnya sambil mendaratkan tubuhnya di kursi
yang terletak persis di depanku.

Tahu apa yang kurasakan?

Jantungku berdetak sangat cepat meskipun aku tidak melihat wajahnya.

“Jihan..,”

“Panggil aku Kakak, karena kamu menikah dengan adikku. Walau usiamu lebih tua dariku, tapi sat ini
kamu adalah adik iparku!” Potongku.

“Panggilan kakak hanya berlaku di tengah keluarga, tidak dalam situasi sekarang.” Bantahnya datar.
Aku menghela napas. “Bicaralah cepat apa yang ingin dibicarakan. Aku tak punya banyak waktu.”

Hakim terdiam. Mungkin heran dengan sikapku yang mendadak judes. Padahal kejudesanku ini hanya
karena aku ingin menutupi rasa gugup.

“Kamu tahu Jihan? Kalau sebenarnya bukan Madya yang ingin aku lamar waktu itu,” akunya, “tapi
kamu.”

Aku tersedak. Lalu buru-buru meraih tehku dan meneguknya beberapa kali.

“Apa yang sedang kamu bicarakan?” aku menutup laptop dan melempar pandangan ke arah taman.

“Aku bicara yang sesungguhnya, Jihan. Waktu itu...” Hakim menggantung kalimatnya saat melihat Fadil
mendekat. Sepertinya Fadil cemas melihat kami.

“Jihan! Kenapa masih di sini? Sana mandi! Siap-siap bentar lagi keluarga Amran datang!” Perintahnya.
Rautnya terlihat tak senang dengan kehadiran Hakim di sini.

“Baik, Bang,” sahutku patuh. Lalu bangkit dan berlalu begitu saja dari hadapan mereka. Padahal aku
begitu penasaran dengan apa yang akan di sampaikan Hakim tadi. Kenapa dia bilang kalau sebenarnya
yang mau dia lamar itu aku? Lalu kalau itu benar kenapa Madya yang dia khitbah? ‘Ah, sudahlah Jihan!
Jangan berharap sesuatu di luar batas kewajaran, dia suami adikmu, dia adik iparmu!’ hati kecilku
berkata.

[Jika saja orang tuaku tidak salah sangka waktu itu, mungkin kamu yang sekarang mendampingiku, Jihan.
Tapi ketika aku menyadari semua sudah terlambat, semua sudah ditetapkan dan aku tak kuasa menolak]
Mataku membesar membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselku. Lututku terasa lemas. Tapi
apalah gunanya ia memberitahuku saat ini apapun masalahnya. Nasi sudah jadi bubur. Semua sudah
terlambat. Dia sudah menikahi Madya dan tidak terlihat ada paksaan di sana. Ia tetap memperlakukan
Madya selayaknya istri yang sangat ia cintai.

Perlahan aku duduk di sisi ranjangku, mencoba mencerna semua yang terjadi. Tapi kenapa Hakim selalu
menunjukkan sikap mesranya pada Madya kalau di depanku? Apa dia mau membuatku cemburu? Jadi
kalau aku cemburu apa untungnya buat dia?

Tanpa berniat membalas pesannya aku menaruh ponselku di atas nakas, lalu melangkah menuju kamar
mandi. Aku harus segera bersiap, sebentar lagi Amran dan keluarganya akan datang. Aku harus move on
dari sosok adik iparku itu.

*B E R S A M B U N G*

*C E R B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*

*Part_3*

Tok!Tok!Tok!

“Jihan, umi boleh masuk?” terdengar suara umi dari luar kamar.

“Boleh Umi, masuk aja nggak di kunci kok,” sahutku sembari mengikat rambut.

Tak lama wajah ayu itu muncul. Beliau tersenyum, melangkah mendekatiku.
“Udah siap, Nak?”

“Udah, Mi. Tinggal pasang kerudung, kok,” sahutku sambil membalas senyumannya.

Umi duduk di sisi ranjangku. “Jihan, duduklah sebentar di sini, ada yang ingin Umi sampaikan,” pintanya.
Kulihat raut wajah umi sedikit risau.

Tanpa menunggu aku langsung mematuhi perintahnya. Kami saling berpandangan. “Ada apa, Mi?”

Tangannya menyentuh pipiku, bibirnya bergetar seolah menahan tangis. “Maafkan Umi,” lirihnya.

Dahiku berkerut. “Ada apa Umi? Apa yang terjadi?” kuusap air mata yang jatuh di sudut netranya.

“Maaf kalau Umi tidak jujur mengenai Hakim dan Madya,”

Aku semakin tidak paham arah pembicaraan Umi.

“Sebenarnya waktu itu orang tua Hakim salah dalam...melamar,” suara Umi terbata. Kubiarkan ia
menuntaskan kalimatnya. “Seharusnya yang ia lamar adalah kamu, tapi...”

“Tapi apa Mi?”

“Tapi orang tua Hakim tidak sadar kalau sesungguhnya wanita yang di tuju Hakim adalah kamu bukan
Madya,”

Aku menahan napas, terngiang ucapan Hakim tadi pagi.


“Tapi karena Hakim lupa menyebutkan namamu, sehingga mereka mengira bahwa Madya-lah yang
dimaksud Hakim. Karena kebetulan waktu itu hanya Madya yang ada di rumah, dan Madya langsung
menerima lamaran itu. Sebab Madya bilang kalau sebenarnya ia sudah lama juga menaruh hati pada
Hakim, jadi...Umi tak kuasa membatalkan lamaran itu saat orang tua hakim memberitahu umi bahwa
mereka salah orang, umi takut kalau...kalau Madya terluka. Apalagi Hakim akhirnya mau menerima
Madya meskipun awalnya dia keberatan,” ada beban yang begitu berat terdengar dari setiap kata yang
ia ucapkan.

Rumit kedengarannya, tapi begitulah yang namanya takdir. Harus ada yang dikorbankan demi
kebahagiaan seseorang. Bahkan Hakim sendiri rela mengorbankan itu semua agar Madya tidak terluka.

“Nggak apa-apa, Mi. Lagian, Madya lebih cocok buat Hakim. Dia lebih cantik, pintar, periang...sedangkan
aku?” Aku menertawai diriku. “Meskipun orangtuanya tahu kalau sebenarnya aku yang Hakim tuju,
mereka takkan mau. Siapa yang mau punya menantu sepertiku? Hanya seorang wanita biasa, tidak
menarik dari sisi manapun, yang selalu mementingkan pendidikan. Mana pantas bersanding dengan
anaknya yang tampan itu,”

“Jihan!” Umi menarikku kedalam pelukannya. Ia menangis. “Hentikan! Jangan berkata seperti itu lagi,
cukup!”

“Tapi memang begitu kenyataannya kan, Mi? Madya selalu nomor satu dalam segala hal, sedangkan
aku?” Suaraku sedikit meninggi karena ego sedang menguasai.

“Tidak Jihan, demi Allah jangan bicara seperti itu!” Umi melepas pelukannya dan menatap nanar
mataku. “Kalian semua sama dimata Umi, baik itu kamu, Madya maupun Fadil. Tak pernah ada niat
untuk membedakan kalian. Ini semua takdir, Jihan.”

“Bahkan dalam soal jodoh pun aku harus mengalah,” lirihku, “padahal aku sangat menyukai lelaki itu,”

“Tapi kamu tidak pernah mengatakan apapun tentang Hakim pada Umi, Nak.”
“Karena aku berniat mengatakannya setelah S2-ku selesai, Mi!”

Umi menggeleng, “tapi semua sudah terlambat Jihan, Umi minta maaf, andai umi tahu dari awal, tentu
semua tidak akan terjadi,” ia terisak.

Aku menarik napas panjang, menatap wajah Umi yang penuh lelahan air mata. Menyesal karena
barusan aku telah mendebat wanita ini. Astaghfirullaah!

Kuraih tangan Umi. “Mi..., maaf kalau kata-kataku tadi tidak berkenan di hati umi,” air mata mulai
berjatuhan di pipiku.

“Tidak, kamu tidak salah. Kami yang salah sebagai orang tua. Maaf jika kamu harus berkorban demi
Madya, dan maafkan umi jika harus menceritakan ini padamu sekarang. Karena umi tak ingin
menanggung rasa bersalah seumur hidup jika kamu tidak mengetahui kebenaran ini,” Umi kembali
memelukku. Erat.

“InsyaaAllah, aku tidak apa-apa.” Sungguh jawaban yang penuh dengan kebohongan demi
memperlihatkan ketegaran seorang Jihan.

Umi melepas pelukannya dan mengusap air mataku dengan tangannya. “Sebentar lagi Amran datang,”
Umi mencoba tersenyum meski terlihat getir. “Pergilah ambil wudhu agar wajahmu kembali segar dan
cepat kenakan kerudungmu, Umi akan menunggu di bawah,”

Aku mengangguk patuh meski hati terasa ada yang mengganjal setelah mendengar penuturan beliau.

Wanita itu menghilang di balik pintu. Aku masih bergeming. Seakan tak percaya semua ini terjadi.
Memang sukar untuk di mengerti dan ini semua seperti sebuah sandiwara yang sengaja dibuat untuk
menyatukan Madya dan Hakim. Sehingga dibuat seolah-olah sebuah kesalahan dan akhirnya...akulah
korbannya.
Mereka terlalu sibuk menjaga hati Madya agar tak terluka. Lalu bagaimana dengan luka hatiku? Adakah
yang peduli?

Kuusap air mata yang kembali menetes sebelum akhirnya masuk ke dalam kamar mandi untuk
berwudhu.

Aku ingin berpura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku ingin berpura-pura tidak tahu
bahwa sebenarnya Hakim juga menyukaiku. Aku ingin berpura-pura tidak tahu kalau telah terjadi
sesuatu yang ganjil di rumah ini. Memang seharusnya Umi maupun Hakim tak memberitahuku, jadi aku
takkan seterluka ini.

“Kak Jihan, buruan! Tamunya sudah datang, Kak.” Kepala Madya muncul dari balik pintu kamarku.

Entah kenapa perasaan ini tiba-tiba terasa ganjil pada Madya, ada sedikit iri dihati saat menyadari
bahwa ia memang sangat beruntung karena bisa menikah dengan laki-laki seperti Hakim.

“Iya sebentar, kamu duluan aja. Kakak sebentar lagi turun.” Sahutku datar sambil mengenakan kerudung
hitam.

“Oke deh, buruan ya, Kak!” ucapnya sekali lagi sebelum pergi.

Hanya kujawab dengan anggukan dan sebuah senyum yang dipaksakan.

***

Aku menuruni anak tangga dengan perlahan. Malas sebenarnya bertemu orang-orang dalam situasi hati
seperti ini. Apalagi melihat mereka, Umi, Abi dan Hakim yang seolah telah berkhianat padaku. Mereka
telah melakukan sesuatu yang menurutku tidak adil.
Aku sampai di ruang tamu. Semua sudah hadir di sana. Umi berdiri dan menarik tanganku untuk duduk
di sampingnya. Ada seorang lelaki asing yang tak sengaja saling bertemu pandang denganku. Hanya
beberapa detik sebelum kami sama-sama membuang pandangan. Mungkin dia yang bernama Amran.
Orangnya berperawakan tinggi, gagah dan terlihat sangat santun. Ah, lagi-lagi aku merasa minder. Mana
mungkin orang seperti dia mau dengan perempuan sepertiku. Dia begitu terplajar dan juga seorang
hafizh, bodoh sekali kalau dia mau menerima perjodohan ini.

“Jihan, ini Amran dan keluarganya,” Abi membuka suara.

Aku mengedarkan pandangan pada orang yang dimaksud abi, lalu berusaha tersenyum setulus mungkin.

“Nak Amran, ini dia Jihan yang kita bicarakan tempo hari. Bagaimana?” Tanpa basa basi abi langsung
pada pokok permasalahan.

Terlihat laki-laki itu mengangkat kepalanya, menatapku sambil memberikan sebuah senyuman, lalu
menoleh pada abi, “iya Om, insyaaAllah...saya bersedia menjadi imam untuk Jihan.” Jawabnya yakin.

Aku terkesiap. Apa aku tidak salah dengar? Amran mau menerimaku? Apa matanya tidak salah lihat?

“Alhamdulillaah.” Ucapan syukur menggema di ruangan itu.

“Kalau begitu kita aka segera tentukan tanggal pernikahan secepatnya.” Pungkas Abi.

Ingin rasanya aku membuka suara tapi lidahku terasa kelu. Hanya ada rasa sesak di dada, ketika melihat
rona bahagia terpancar di wajah mereka semua.
Akhirnya aku minta izin pada mereka untuk kembali ke atas setelah beberapa menit aku tak jua mampu
mengeluarkan suara. Setengah berlari aku menaiki anak tangga diiringi tatapan sepasang mata teduh.
Aku menuju balkon, dan menumpahkan tangisku di sana.

‘Ini tidak adil, sungguh tidak adil! Aku tidak menginginkan lelaki itu, meskipun pilihan Abi tidak akan
pernah salah. Tapi...tapi bukankah aku juga berhak mendapatkan apa yang aku inginkan? Seperti
Madya? Tak bolehkah aku juga memiliki kebahagiaan seperti dia?’

‘Mereka dengan seenaknya mengatur hidupku tanpa memberiku kesempatan untuk memutuskan.
Bahkan saat lamaran itu salah alamat mereka juga tak berusaha memberitahuku atau mencoba
memperbaikinya. Kenapa? Kenapa hanya Madya yang berhak bahagia? Apa mereka tidak tahu
bagaimana sakitnya hatiku melihat kemesraan Hakim dan Madya? Apa mereka sama sekali tak
memikirkan perasaanku?’

“Andai ada yang bisa abang lakukan untuk menghentikan tangismu, maka akan abang lakukan,” tiba-tiba
saja Fadil sudah berdiri di depanku. Tatapannya nanar.

Aku terdiam, mengatupkan bibir agar tangis segera berhenti. Lalu melempar pandangan ke langit biru,
berharap ia bisa menghentikan lara ini.

“Berusahalah untuk menerima semua takdir Allah, Jihan. Abang tahu ini sulit, tapi jika kamu ikhlas dan
berusaha pasti lama-lama akan terbiasa.”

Fadil belum tahu saja apa yang sebenarnya terjadi. Kalaupun dia tahu entah apa yang akan dia lakukan.

“Amran laki-laki baik. Kamu beruntung mendapatkan dia,” Fadil tersenyum memandangku.

“Tapi aku tidak menyukainya,” sanggahku, “aku masih belum bisa menerima kenyataan kalau Hakim
adalah adik iparku,” aku kembali menangis. “Aku masih belum bisa melupakannya, Bang. Aku...aku
mencintainya dan...” kalimatku terhenti saat mataku menangkap sosok Hakim berdiri terpaku di ambang
pintu demi mendengar semua kata-kataku barusan. Fadil pun tampak terkejut karena kehadirannya
yang tiba-tiba.

Aku dan Fadil saling berpandangan.

“Maaf kalau kehadiranku mengganggu, tapi Amran dan keluarganya akan segera pulang, mereka
mencari Abang dan...kak Jihan,” Hakim pun terlihat gugup.

“Abang saja yang turun, aku mau di sini saja,” ujarku pada Fadil sambil menyusut sisa air mata.

Fadil mengangguk mengiyakan. Lalu melangkah meninggalkanku. Sementara Hakim masih terpaku di
tempatnya.

“Sampai kapan kamu mau berdiri di situ?” Tanyaku tanpa menoleh padanya.

“Maaf,” hanya itu yang terucap dari bibirnya.

“Pergilah! Lupakan semua yang kamu dengar tadi!” Tegasku.

“Tidak akan aku lupa, sampai aku melihatmu menikah dan bahagia bersama Amran.” Pungkasnya
sebelum melangkah meninggalkanku seorang diri.

Aku membalikkan tubuhku dan hanya bisa menatap punggungnya yang berangsur menghilang dari
pandangan.

Dan tangisku kembali pecah.


*B E R S A M B U N G*

*C E R B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*

*PART_4*

Pagi ini aku akan bertolak ke Jakarta bersama Fadil dan keluarganya. Mungkin aku akan merasa sedikit
lega karena tidak akan melihat Hakim dan Madya lagi untuk sementara waktu. Tapi hatiku? Perlu waktu
untuk menerima semua yang sudah terjadi.

“Jihan, jaga dirimu baik-baik. Nanti tanggal pernikahan akan segera kami kabari. Mungkin dalam waktu
dekat,” ujar Abi.

“Apa tidak bisa menunggu sampai kuliahku selesai, Bi?” Harapku.

“Tidak. Itu terlalu lama. Pernikahanmu lebih penting. Kalau rasanya mengganggu...kamu berhenti saja
kuliahnya.” Jawaban Abi tegas.

Aku membelalakkan mata, “berhenti? Apa tidak ada pilihan lain, Bi?” Rengekku.

“Jihan,” Umi menengahi, “jangan membantah Abi. Semua demi kebaikanmu,”

‘Apa? Kebaikanku atau kebaikan mereka?’ batinku.

Aku diam, tak lagi menjawab. Hanya menahan rasa kesal dalam hati.
Kemudian dengan malas aku memeluk mereka satu persatu. Abi, umi, Madya...lalu saat sampai pada
lelaki itu aku hanya menangkupkan tangan di dada, begitupun yang ia lakukan.

“Jaga adikku baik-baik!” Kalimat itu keluar begitu saja dari bibirku.

Sempat kulihat ia hanya mengangguk pelan.

Kemudian aku bergegas masuk ke dalam taksi yang akan mengantar kami ke bandara. Fadil dan
keluarganya sudah menunggu di dalam.

Aku memandang mereka yang mengiringi kepergian kami. Bahkan ketika mesin beroda empat itu
bergerak perlahan, kulihat Hakim menyeka sudut matanya, dan mencoba terenyum meski terlihat sekali
kalau itu dipaksakan. Perih rasanya. Tapi aku tak kuasa berbuat apa-apa. Hanya bisa berdoa semoga
mereka bahagia meskipun dada terasa sesak.

[Jaga dirimu baik-baik...kak Jihan]

Sebaris pesan yang masuk ke ponselku benar-benar membuat air mataku akhirnya jatuh. Azizah
memegang tanganku erat, seolah ia tahu apa yang sedang kurasakan. Mungkin juga dia memang sudah
tahu dari Fadil tentang apa yang sudah terjadi.

“Semua akan baik-baik saja, Jihan. Percayalah!” lirihnya.

Aku mengigit bibir bawahku, berusaha agar luka ini tak terlalu sakit rasanya. “Tapi rasanya begitu sakit,
Kak,” sahutku dengan suara hampir tak terdengar.
Fadil yang duduk di depan menoleh ke belakang, lalu ia juga mengulurkan tangannya padaku dan ikut
menggenggam tanganku. “Ingatlah bahwa sabar dan shalat adalah sebaik-baik penolong.” Ucapnya
lugas. “Ada abang dan kakakmu yang akan membantu merawat luka itu. Kamu nggak sendiri,”

Aku hanya terdiam mendengar ucapan Fadil. Ya, hanya Fadil yang sangat mengerti aku. Sejak aku masih
kecil ia sangat menyayangiku. Selalu melindungi dan tak sedikitpun pernah menyakitiku. Hingga kini saat
kami telah dewasa, rasa itu masih sama. Ia tak pernah berubah.

“Tapi aku nggak mau berhenti kuliah, Bang,” ujarku diantara isak tangis, “abi terlalu egois, selalu
mementingkan diri sendiri.”

“Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu. Walau bagaimanapun dia orang tua kita. Kalau soal kuliahmu,
masih bisa kita bicarakan nanti. Yang jelas sekarang kamu jalani saja hari-harimu seperti biasa. Minta
sama Allah apa saja yang kamu inginkan.” Pungkasnya.

Aku menarik napas panjang, berusaha menghentikan tangis yang masih terasa menyesak di dada. Fadil
benar, aku harus berusaha menjalani hari-hariku seperti biasa. Menunggu takdir yang telah digariskan
untukku.

***

Sebulan berlalu.

Aku baru saja sampai di rumah selepas zuhur berlalu saat melihat Azizah sibuk menata makanan yang
lumayan banyak di meja makan.

“Banyak banget Kak makanannya? Mau ada tamu’kah?”

Azizah tersenyum sumringah. “Iya, kita ada tamu spesial hari ini,” ia mencolek pipiku sebelum kembali
ke dapur. Aku pun mengekorinya.
“Siapa sih, Kak?” tanyaku seraya mengambil minuman dingin dari lemari es.

“Mau tahu aja atau mau tahu bangeeet?” Godanya.

“Ishhh, pake rahasia-rahasia segala,” aku ngeloyor pergi seolah tak peduli menuju kamar dengan segelas
minuman dingin di tangan.

“Amran dan Hakim datang hari ini.” Ucap Azizah. Seketika langkahku terhenti. Membalikkan tubuh dan
memandang heran pada Azizah.

“Mereka udah di sini sejak kemaren, nginap di Hotel. Katanya mereka mau membeli sesuatu untuk
persiapan pernikahanmu dan Amran,” Azizah kembali membawa beberapa piring di tangan.

Tenggorokanku tercekat. “Apakah tanggal pernikahan sudah ditetapkan?”

Wanita berparas manis itu menatapku, lalu mengangguk. “Iya, sudah. Dua hari yang lalu abimu sudah
mengabarkan pada abangmu. Apa dia belum memberitahumu?”

Aku menggeleng. “Belum, Kak.”

“InsyaAllah akhir bulan ini, kurang lebih tiga minggu lagi kayaknya. Kakak lupa tanggal persisnya. Nanti
tanya sama abangmu, ya? Dia lagi jemput Hakim dan Amran ke hotel,”

Kemudin aku kembali melangkah menuju kamar. Menutup pintu, mendaratkan tubuhku di tepi ranjang.
Lalu meneguk minuman dingin itu hingga setengahnya. Entah aku harus bahagia atau sedih dengan
rencana pernikahan ini.
Kuletakkan gelas di atas nakas dan membaringkan tubuh yang terasa lelah. Entah sampai berapa lama
aku tertidur hingga aku terbangun ketika Azizah mengetuk pintu.

“Jihan, kakak masuk ya?”

“Iya Kak, masuk aja!” Sahutku dengan suara serak khas orang bangun tidur.

“Kamu tidur? Maaf ya, kakak jadi bangunin kamu,” ujarnya saat ia sudah berada di dalam kamarku.

Dengan malas aku pun bangkit. “Nggak apa-apa Kak,”

“Kamu belum mandi ya? Tidur sampe nggak ganti baju begitu,”

Aku cuma nyengir.

“Sana mandi dulu, Amran dan Hakim udah datang.”

“Lalu? Emangnya kita mau makan bareng sama mereka?”

“Ya enggak sih, itu mereka sudah hampir selesai makannya. Katanya kamu mau nganter Lathifah ke toko
buku, udah jam tiga lo ini,” Azizah mengingatkan.

Aku menepuk dahi. “Astaghfirullaah...iya Kak, aku lupa. Ya udah suruh siap-siap ya Kak, aku mandi dulu,”

“Udah siap dari tadi malahan, dia udah nggak sabaran nungguin Ammah-nya. Mukanya udah cemberut,”
Aku tertawa kecil membayangkan wajah perempuan berusia tujuh tahun itu. “Iya, iya maaf...bentar ya
Kak aku mandi dulu,” aku pun bangkit dan bergegas masuk ke kamar mandi.

Setengah jam kemudian aku sudah selesai mandi dan mengenakan pakaian. Gamis dan jilbab coklat tua,
warna kesukaanku.

“Lathifah-nya mana Kak?” tanyaku saat melihat Azizah merapikan meja makan.

“Tuuh udah nungguin di mobil,”

“Ya Allah, beneran nggak sabar dia. Ya udah Kak, aku jalan dulu ya?” Aku menyalami tangan Azizah dan
menciumnya penuh hormat.

“Iya, hati-hati ya? Jangan ngebut! Pulangnya juga jangan kemalaman,”

“Iyaaa, kakak bawel,” sahutku sambil mencubit pipinya gemas. Azizah hanya tertawa kecil sambil
meringis.

Aku melangkah meninggalkannya. Saat akan melewati ruang tamu, langkahku terhenti saat mataku
bertemu pandang sejenak dengan Hakim. Laki-laki itu segera membuang pandangan, begitupun
denganku. Amran pun demikian, ketika menyadari kehadiranku dia hanya tersenyum sesaat sebelum
kemudian juga mengalihkan pandangannya.

“Bang, Jihan jalan dulu ya?” Pamitku pada Fadil. Menyalami dan mencium tangannya.

“Lho? Mau kemana sore begini?” Fadil tampak heran.

“Mau ke toko buku bentar nganter Lathifah,” sahutku.


“Ooh, ya udah. Hati-hati ya, jangan ngebut, jangan kemalaman.” Hufft! Kata-katanya hasil nyontek
Azizah.

“InsyaaAllah,” sahutku singkat. Lalu pandanganku mengarah pada Amran dan Hakim, “saya jalan dulu,
Mas Amran, Hakim.”

“Iya, silahkan,” jawab mereka hampir serentak.

Aku pun berlalu meninggalkan tiga lelaki itu.

“Jihan!” Sebuah suara membuatku mengurungkan niat untuk membuka pintu mobil. Aku membalikkan
badan, dan melihat Amran sudah berdiri di sana.

“Ada apa?” Tanyaku tanpa memandang wajahnya. Canggung rasanya karena ini pertama kalinya dia
menegurku.

“Maaf, kalau abang lancang. Tapi abang berdiri di sini sekarang sudah seizin abangmu,” ujarnya, “abang
hanya ingin bertanya sesuatu, karena waktu itu kamu tidak bicara apa-apa saat pertemuan kita,”

“Mau bertanya apa? Jangan lama-lama ya? Kasihan Lathifah udah nungguin,”

“Oh, ya sudah kalau gitu. Kamu jalan aja dulu! Abang tunggu kamu pulang!” Pungkasnya.

“Baiklah, aku pergi dulu. Assalaamu’alaykum!” aku pun masuk ke dalam mobil tanpa basa basi.

“Wa’alaykumusalaam, hati-hati Jihan!”


Hanya anggukan sebagai jawabanku. Lalu membawa mesin beroda empat itu bergerak meninggalkan
halaman rumah. Membelah jalanan ibu kota yang mulai ramai karena jam pulang kantor sudah di mulai.

Amran, dia memang terlihat baik. Dia memiliki segalanya. Tapi sayangnya hatiku belum mampu
menerima kehadirannya. Dia sepupu jauh dari Hakim, usianya juga lebih tua dari Hakim. Ah, dia terlihat
begitu sempurna di mataku. Bagaimana mungkin dia bisa memilihku sebagai istrinya? Dalam segi fisik
saja kami begitu jauh berbeda, apa dia tidak malu punya istri sepertiku? Karena aku tidak seperti Madya,
yang begitu sempurna sebagai seorang wanita.

***

Baru saja aku menyelesaikan tilawah saat terdengar tiga lelaki itu kembali dari masjid untuk menunaikan
shalat Isya.

[Maaf jihan, sepertinya tidak memungkinkan untuk kita bicara, karena sudah malam, besok kami pulang
jadi harus segera siap-siap. Mungkin pertanyaannya abang simpan saja sampai kita menikah nanti, akan
lebih leluasa untuk kita bicara dan tidak ada syaithan yang akan ikut campur. Abang pamit dulu, jaga diri
dan jangan suka keluyuran. Ini Jakarta, tidak baik untuk wanita sepertimu sering keluar tanpa mahram
begitu. Oh ya, ada hadiah kecil untukmu, abang titipkan sama bang Fadil. Assalaamu’alaykum]

Beberapa baris pesan tertera di layar ponselku. Meski nomor itu tidak kukenal, tapi aku yakin itu adalah
Amran. Tak ada niat untuk membalas pesan itu, hingga ponsel kuletakkan kembali di atas tempat tidur.
Menarik napas dan mengembuskannya perlahan.

“Dia bilang aku keluyuran? Memangnya aku wanita apaan?” Desisku kesal.

[Jihan, aku pamit ya. Jaga diri baik-baik]

Satu pesan singkat dari Hakim. Ah, lagi-lagi dia! Tak bisakah dia bersikap cuek padaku? Nggak usah gini
juga, pake pamit segala. Bikin nyesek aja!
Kembali tak ada niat untuk membalas. Aku lebih memilih mengutak atik laptop untuk mengerjakan
beberapa tugas kuliah. Dari pada pikiranku tertuju pada adik iparku itu lagi.

***

“Jihan, abang masuk ya?” Terdengar suara Fadil.

“Iya bang, masuk aja nggak di kunci,”

Dan Fadil muncul, ditangannya ada sebuah kotak kado yang cukup besar.

“Kamu nggak makan dulu?”

“Tadi udah makan di luar sama Lathifah,” sahutku sambil tetap memainkan jari-jariku di atas keyboard.

Fadil mendekat dan menyodorkan kado yang tadi di bawanya.

“Amran menitipkan ini untukmu tadi,”

Aku menatap lekat kado itu. Dengan ragu mengambilnya dari tangan Fadil.

“Pernikahanmu tiga minggu lagi.”

“Iya Bang, aku tahu. Tadi kak Zizah sudah bilang,” sahutku pelan tanpa memandang wajahnya.
Terdengar helaan napasnya. Lalu ia mengusap kepalaku. “Semua akan baik-baik saja,” ucapnya.

“Oh ya, tadi abang sempat menanyakan perihal kuliahmu pada Amran. Katanya biar itu di bicarakan
setelah menikah, karena itu akan jadi urusan kalian berdua nantinya,”

“Iya Bang, nggak apa-apa. Terima kasih,” ucapku.

“Ya sudah, abang mau tidur dulu. Ngantuk banget. Kamu juga tidur, jangan begadang, bentar lagi mau
jadi pengantin,” selorohnya.

“Apaan sih!” Hampir saja lengannya kucubit kalau saja ia tak berhasil menghindar. Kemudian tubuhnya
hilang di balik pintu kamarku.

Suasana kembali hening. Kupandangi kado yang terletak di atas mejaku. Perlahan aku membuka
tutupnya. Dan...MaasyaaAllah! Mataku membesar saat melihat isinya. Sepasang gaun pengantin ala
India muslim berwarna maroon kombinasi gold. Ini pernah kulihat disebuah olshop dan harganya
lumayan, jutaan. Dan sekarang benda itu ada di hadapanku. Amran memberikan ini untukku?
Bagaimana dia tahu tentang pernikahan impianku?

Ada secarik kertas kecil terselip di dalamnya.

‘Aku tahu tentang pernikahan impianmu dari Fadil beberapa hari yang lalu. Dan aku sengaja datang ke
Jakarta hanya untuk mencari gaun ini. Pakailah disaat hari pernikahan kita, aku ingin melihatmu dengan
gaun ini setelah ijab qabul di ucapkan.’

*B E R S A M B U N G*

*C E R B U N G*
*MENENTANG_TAKDIR*

*PART_5*

‘Aku tahu tentang pernikahan impianmu dari Fadil beberapa hari yang lalu. Dan aku sengaja datang ke
Jakarta hanya untuk mencari gaun ini. Pakailah disaat hari pernikahan kita, aku ingin melihatmu dengan
gaun ini setelah ijab qabul di ucapkan.’

Kuhela napas dalam-dalam. Menyimpan kembali gaun itu ke dalam kotak berwarna keemasan dan
membiarkannya begitu saja di meja. Mencoba kembali fokus dengan tugas kuliahku. Tapi percuma,
semua buyar. Akhirnya aku menutup laptop, lalu meraih ponselku. Karena aku mendengar ada notifikasi
WA masuk.

Amran : [Jihan, abang harap kamu suka dengan hadiahnya. Oh ya, abang lupa bertanya, kamu mau
mahar apa? Mumpung abang masih di jakarta, siapa tahu masih bisa abang penuhi malam ini. Takutnya
kamu minta mahar yang susah di cari lagi]

Aku : [Jika aku meminta hafalanmu, tentu sangat mudah bagimu kan? Bagaimana kalau aku meminta...]
aku menggantung kalimatku sambil berpikir.

Amran : [Apa Jihan?]

Aku : [Kembalikan kebahagiaanku]

Arman : [Apa maksudmu? Apa kamu tidak bahagia dengan rencana pernikahan kita?]

Aku : [Wanita mana yang tidak bahagia jika dapat bersanding dengan laki-laki seperti abang?]

Amran : [Jangan bercanda terus Jihan, abang serius. Kamu mau mahar apa? ]
Jihan : [Tanyakan pada Hakim, mahar apa yang dia berikan pada Madya, maka aku juga mau yang seperti
itu]

Amran tak lagi membalas. Pesanku hanya dia baca. Aku menghela napas, kembali ada sesak di dalam
dada.

‘Apa yang barusan kulakukan? Meminta sesuatu yang sama dengan Madya? Konyol sekali rasanya
tindakanku. Ah tapi biar saja, aku juga tidak tahu apa yang diberikan Hakim pada Madya sebagai mahar.
Soalnya waktu mereka ijab qabul, aku tak begitu mendengar dengan jelas. Dan aku pun tak mau tahu.’

Aku tersenyum. Pahit. Lalu merebahkan diri di ranjang. Menikmati masa-masa lajang yang sebentar lagi
akan segera berakhir dan memulai hidup baru dengan laki-laki yang belum pernah kukenal sama sekali.

[Maaf jihan, abang tidak bisa memberikan mahar seperti yang di berikan Hakim untuk adikmu]

Akhirnya setelah 15 menit Arman membalas pesanku.

Aku : [Kenapa?]

Amran : [Kamu konyol sekali. Bagaimana mungkin aku harus ke Mesir dulu untuk mendapatkannya?]

Aku tertawa geli membayangkan ekspresi wajah Arman.

Amran : [ Jangan mempersulit Jihan]

Aku : [Ya sudahlah, aku juga nggak mau menyusahkan. Aku akan terima apa saja mahar pemberianmu]
Amran : [Alhamdulillaah...baiklah, terima kasih Jihan]

Semua bukan berarti aku sudah bisa menerimamu begitu saja Amran. Masih butuh waktu bagiku.

***

“Ka Jihaaan, aku hamiiiil!” Teriak Madya dari ujung telepon.

“Oh y? Alhamdulillaah, selamat kalau gitu dek,” sambutku. Meskipun di hati ada setitik rasa yang sulit
kugambarkan.

“ Jaga kesehatan ya Madya, jangan kecapean. Suruah saja Hakim yang ngerjain semua pekerjaan,”
selorohku disusul tawa renyah Madya.

“Pasti itu kaaaaak, ha...ha...ha..”

‘Madya, beruntungnya dirimu. Apalagi sudah ada benih milik Hakim di rahimmu. Hasil buah cinta kalian
berdua. Entah aku harus bahagia atau sedih, karena lelaki itu telah menunjukkan kalau dia mencintaimu.
Dan pastinya, karena kehadiranmu di sampingnya setiap saat, akan membuatnya lupa kalau seharusnya
aku yang mendampinginya.’

Kuusap setetes air mata yang mengalir di sudut netra. Air mata yang sama sekali tak ada gunanya.
Karena mulai sekarang aku harus meyakinkan diri, bahwa Hakim bukan jodohku dan Amran...mungkin
dialah jodohku. Meskipun butuh waktu untuk bisa menerimanya.

***
“SAAAH!”

Dadaku bergetar saat mendengar suara mereka di balik pintu kamar. Ada air mata yang tak berhenti
mengalir. Ada rasa perih juga yang aku tak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, detik ini aku adalah
seorang istri. Istri dari seorang laki-laki bernama Amran. Laki-laki yang telah memintaku pada abi
beberapa waktu yang lalu.

Tok!Tok!Tok!

Aku terkejut mendengar ketukan itu. Jantungku berdetak sangat kencang.

“Jihan, ayo keluar! Suamimu sudah menunggu di depan pintu,” suara Azizah terdengar memanggil.

“Kak Jihaaan, ayo buruaaaan!” kali ini Madya ikut bersuara.

Menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Aku bangkit dari dudukku. Menatap wajah
dicermin, menghapus sisa air mata, kemudian menyeret langkah menuju pintu dengan balutan gaun
maroon yang telah diberikan Amran beberapa minggu yang lalu.

Perlahan aku menekan handle pintu. Hingga saat pintu terkuak, “Baarakallaahu lakumaa wabaraka
‘alaykuma, wajama’a baynakumaa fii khair,” lantunan doa langsung menggema. Sosok Amran berdiri
tepat di depanku, tapi aku tak sanggup untuk mengangkat kepala saat mata teduhnya menatap lekat
padaku.

“Jihan...,” Amran mengulurkan tangannya padaku.

Kuberanikan mengangkat wajah, hingga mata kami saling bertemu pandang. Amran tersenyum,
memberi isyarat agar aku menerima uluran tangannya.
Dengan ragu kusambut tangan kokoh itu, dan menciumnya dengan ta’dzhim layaknya seorang istri
kepada suami. Amran menggandeng tanganku, mengajakku melangkah menyusuri anak tangga menuju
lantai dasar untuk bertemu dengan keluarga dan para kerabat yang sudah hadir.

“Kamu terlihat cantik sekali dengan gaun ini, Jihan.” Pujinya dengan suara berbisik.

“Emangnya kemarin-kemarin nggak cantik?”

“Mana abang tahu, abang kan nggak gitu pernah melihatmu dengan jelas. Belum halal juga,”

“Nanti abang akan tahu, dan pasti akan menyesal karena menikah denganku,”

“Apa sih kamu?” Wajah Amran terlihat tak senang.

“Sssttt, nanti kita bahas!” Pungkasku.

Semua tampak begitu bahagia, tak terkecuali Hakim. Ada senyum penuh arti yang ia tunjukkan padaku.
Seolah mengatakan ‘selamat berbahagia, aku pun turut bahagia dengan pernikahanmu.’ Lalu aku mulai
menyadari, bahwa aku tak lagi boleh memiliki sebuah rasa yang dulu pernah ada untuk Hakim ketika
melihat Madya berdiri di sampingnya. Karena kini, aku sendiri sudah menikah dengan Amran.

***

“Kenapa memilihku?” Sebuah tanya yang terlontar saat kami berjalan bergandengan menaiki anak
tangga menuju lantai dua. Kami harus segera mengganti pakaian, sebab pesta akan segera dimulai.

“Menurutmu?”
“Aku kan bertanya, kenapa malah balik tanya?” Sungutku.

Amran tertawa kecil. Ia menahan langkahku saat kami sampai di depan pintu kamar. Tubuh kami saling
berhadapan.

“Kamu tahu kenapa?” Ia menatap lekat mataku.

Aku menggeleng.

“Karena... Allah yang memilihkanmu untukku. Paham istriku?”

“Mungkin,” sahutku asal. “Ya sudah, ayo ganti pakaian, nanti kelamaan,” ujarku sambil masuk ke kamar.
“Eits, tapi aku duluan ya, abang belakangan!” kudorong tubuhnya agar dia menjauh.

“Lho? Kan kita suami istri, udah sah kan? Berarti udah boleh dong sekamar?” Sanggahnya.

“Eeeeeeh, Amran. Jangan masuk dulu. Nggak sabaran amat sih!” Celetuk Azizah yang tiba-tiba sudah
berada di sana.

“Bukannya nggak sabaran Kak, tapi kan memang udah halal, jadi boleh dong aku ikut ganti baju di
dalam!” Sahutnya.

“Ssssstttt, nggak boleh. Kakak mau ikutan ke dalam dandanin Jihan, emangnya boleh begitu kamu ikut
masuk sementara ada kakak di dalam?”

Amran menggaruk kepalanya yang tak gatal sambil nyengir. “Ya udah Kak, aku tunggu di luar aja,”
“Nah gitu dong!” ucap Azizah sambil masuk dan menutup pintu kamarku.

***

Sudah pukul dua belas malam. Pesta telah usai. Tapi suasana di luar masih ramai karena masih ada
beberapa kerabat yang masih berkumpul.

Aku memilih mendekam dalam kamar. Meninggalkan Amran bersama mereka.

Setelah membersihkan tubuhku dengan air hangat, aku mencoba membaringkan tubuhku yang terasa
sangat lelah di ranjang pengantin yang begitu indah. Hingga saat aku hampir tertidur, Amran masuk.

“Abang, biasakan kalau masuk kamar itu diketuk dulu!” Omelku. Entah dapat keberanian darimana aku
bisa berkata sesuka hatiku padanya.

Amran tertawa. “Sejarah dari mana itu? Seorang suami masuk ke kamar istrinya pake ketuk pintu dulu?”
Ejeknya.

“Tapi kan...”

“Tapi kan kita udah menikah.” Potongnya cepat. Lalu berjalan mendekatiku, dan duduk di sisi ranjang.

“Abang mau ngapain?” Tanyaku ketus sambil beringsut menjauh.

“Ya Allah, aku baru tahu istriku ini galak banget ya Allah,” ucapnya dengan mimik wajah lucu. Tak
kusangka ia sekonyol ini. Semua wibawanya yang terlihat olehku hilang seketika.
“Kamu udah mandi ya? Wangi amat. Pasti udah nggak sabaran yaaa?” godanya sambil mengendus.

“Apaan sih?” Wajahku terasa panas digoda begitu.

“Santai aja, Sayang. Kita punya banyak waktu kok. Abang mandi dulu ya? Awass, jangan tidur duluan!
Kita shalat sunnah dua rakaat dulu,”

“Iyaa, makanya buruan!”

“Hayoooo...nggak sabaran kaaaan?” Tubuhnya menghilang di balik pintu kamar mandi saat aku hendak
melemparkan bantal ke arahnya.

Tak sadar aku tersenyum sendiri melihat tingkahnya. Dia mampu menghangatkan suasana yang
seharusnya terasa kaku. Padahal belum sehari aku menjadi istrinya, tapi kenapa terasa begitu dekat?

***

“Tidurlah, kamu kelihatan capek banget,” ucapnya setelah kami selesai shalat dan dia membacakan doa
sambil meniup ubun-ubunku.

“Abang mengizinkan?” tanyaku dengan mata berbinar.

“Kenapa tidak? Abang juga capek banget ini,” sahutnya sambil membaringkan tubuhnya. “Ayo sini, kita
tidur. Kan udah suami istri, kenapa masih malu aja sih?” Amran menarik tanganku hingga aku berbaring
di sisinya. Ia menjadikan lengannya sebagai alas kepalaku. Kami begitu dekat, aku bisa mendengar
detakan jantungnya. Mungkin juga dia mendengar detakan jantungku yang tak karuan iramanya.

“Bang?”
“Hmh? Kenapa?” Suara Amran mulai melemah, sepertinya dia memang begitu lelah.

“Nggak apa-apa,”

Amran memiringkan tubuhnya, hingga kini kami saling berhadapan. Embusan napasnya yang segar
menghadirkan sebuah rasa yang tak mampu kugambarkan. Tangan kokohnya ia lingkarkan ke tubuhku.
Matanya sudah terpejam. Kurasa ia sudah terlelap karena ada dengkuran halus yang terdengar.

Tak pernah kubayangkan akan memiliki seorang suami setampan dia. Dan kini, ia benar-benar nyata dan
berada dalam satu selimut bersamaku. Amran memiliki banyak kelebihan dibanding Hakim. Mungkin
inilah yang di bilang Fadil, sesuatu yang terbaik dari Allah. Allah mengambil sesuatu dari tanganmu
hingga tanganmu kosong, agar bisa menerima “hadiah” yang jauh lebih besar lagi dibanding apa yang
telah hilang darimu.

Entah keberanian dari mana, hingga aku mengecup dahi Amran sebelum aku memejamkan mata dikala
kantuk mulai menyerang. Tanpa kusadari Amran terbangun, dan ia tersenyum memandang wajah
lelapku.

***

Aku menggeliat, tatkala sayup kudengar lantunan ayat-ayat Allah begitu merdunya di lafadzkan. Tak
kutemukan Amran di sampingku. Melirik jam di dinding masih pukul tiga dini hari. Terlihat Amran tengah
khusyuk dengan Alqur’an di tangannya. Duduk di atas sajadah.

Padahal dia baru tidur tiga jam saja, bahkan mungkin kurang. Karena aku tak tahu sejak kapan dia
bangun. Aku lupa, dia kan seorang hafidzh. Tentu saja ini waktunya untuk memuraja’ah hafalan dan
mungkin juga ini sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu.

Lalu aku bangkit dan turun dari tempat tidur. Aku mendekatinya dan tanpa meminta izin menyambung
tidur di pangkuannya. Amran sedikit terkesiap dengan tingkahku. Tapi ia tampak tak terganggu,
meneruskan bacaannya sambil tangan kanannya mengusap-usap kepalaku hingga tidurku kembali
nyenyak dibuai suara merdunya. Rasanya adegan ini lebih romantis dibanding film Korea.

***

“Jihan, kok habis subuh tidur lagi?” Celetuk Amran saat ia baru saja pulang dari masjid. Ia menarik
selimut yang menutup tubuhku.

“Aku capek banget Bang, please izinkan aku tidur sejam dua jam lagi yaa. Biasanya aku juga nggak
pernah kok tidur habis subuh. Ini karena benar-benar kecapean, Bang. Boleh yaaaa?” rengekku dengan
mata berat.

Tak tega juga dia melihatku hingga akhirnya ia mengangguk. “Ya sudah kalau gitu, nanti jam delapan
abang bangunin ya?” Amran kembali menutup tubuhku dengan selimut.

“Makasih, Bang,” ucapku hingga aku tak lagi sadar. Terlelap dalam rasa kantuk yang begitu mendera.
Pesta kemarin benar-benar menguras tenaga. Kami tak punya waktu istirahat menemui para tamu
kecuali jam shalat dan makan. Kedua orang tua kami sengaja membuat pesta besar-besaran, mengingat
aku yang terakhir menikah dikeluargaku dan Amran juga anak terakhir yang menikah meskipun dia
adalah anak pertama.

*B E R S A M B U N G*

*C E R B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*

*PART_6*.
Aku terbangun ketika jam menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Aah, kepalaku terasa berat
sekali.

“Jihan? Sudah bangun?” Sapa Amran yang baru saja keluar dari kamar mandi. Wajah dan rambutnya
basah terkena air wudhu.

Hanya kujawab dengan anggukan pelan.

“Sana mandi dulu, habis itu kita sarapan bareng.” Amran membentangkan sajadah.

“Abang belum sarapan?”

“Ya belumlah, kan nungguin nyonya besar bangun dulu. Nggak enak dong abang turun sendiri ke bawah
tanpa kamu. Bisa diledek habis-habisan abang nanti,” sahutnya. Lalu ia fokus menghadap kiblat.
Menunaikan shalat Dhuha.

Amran. Ibadahnya membuatku iri, bahkan sungguh terasa kerdilnya diri ini di hadapannya.

***

Amran berdiri di belakangku saat aku tengah menyisir rambut. Hingga wajah kami berdua terpampang
jelas di kaca. Sebab postur tubuhnya yang lebih tinggi dariku. Di situ aku menyadari, betapa jauhnya
perbedaan kami. Dia terlalu sempurna sebagai laki-laki.

“Hayoooo, mikirin apa?” Amran memelukku dari belakang, membuat aku benar-benar terkejut dengan
perlakuannya.

Aku tak menjawab, hanya tertunduk menatap jemarinya yang tengah mendekap tubuhku.
“Aku tidak pantas bersanding denganmu, Bang. Kamu terlalu sempurna untukku,”

Amran melepas pelukannya. Lalu memutar tubuhku hingga kami saling berhadapan. Wajahnya begitu
dekat denganku.

“Jangan pernah bicara seperti itu lagi, abang tidak suka!” Tegasnya pelan. “Abang memilihmu bukan dari
segi fisik, tapi dari sini,” Amran menunjuk dadaku, “kamu memiliki hati yang baik, dan mungkin kamu
tidak menyadarinya. Tapi abang bisa melihatnya,”

Aku tak menimpali, membuang pandanganku dari mata teduhnya. “Tapi aku merasa...kita tak
sebanding. Bukan hanya dari segi fisik, tapi...,”

“Jihan!” Amran memotong ucapanku. “Jika membicarakan soal itu takkan ada habisnya. Yang jelas,
abang memilihmu dan kamu sekarang adalah istri abang. Titik.” Pungkasnya.

“Sekarang ayo kenakan bajumu, kita sarapan.”

Aku mengangguk patuh. Kemudian mengganti pakaian tidurku dengan gamis dan hijab panjang.

Entah kenapa saat aku mengganti pakaian Amran selalu membuang muka, tak pernah ia melihat atau
melirik sedikit pun. Padahal jika ia ingin melihat ya sah-sah saja, atau melakukan lebih dari itu juga
bukan masalah. Tapi tidak, ia lebih memilih mengutak-atik ponselnya atau pura-pura sibuk membolak-
balik mushaf. Aneh! Biasanya pengantin baru itu suka tidak sabaran ingin menuntaskan malam
pertamanya, tapi Amran berbeda ia belum membahas soal itu semalam atau pun hari ini. ‘Kenapa?
Apakah aku memang tidak menarik di matanya sama sekali?’ Tiba-tiba saja beribu pertanyaan bersarang
di benakku.

***
Sejak menyelesaikan S3-nya, Amran diangkat sebagai rektor di universitas tempat ia mengajar. Ia pernah
mengajakku ke kampus dan memperkenalkanku pada teman-temannya. Selama di kampus, tangannya
selalu menggandengku kemana-mana. Tak peduli tatapan aneh atau ledekan dari teman-teman atau
pun mahasiswanya. Hanya aku saja yang merasa minder dan malu.

Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Kenapa sudah seminggu menikah dia sama sekali belum
pernah menyentuhku. Menyentuh hanya sebatas kecupan di dahi atau di pipi saja, atau hanya sekedar
memelukku. Tak pernah ia meminta lebih dari itu. Ia selalu bersikap baik dan mesra padaku. Walaupun
saat kami sedang berdua atau sedang di depan keluarga dan orang lain. Bahkan ia cenderung selalu
menuruti apa saja kemauanku mulai dari hal kecil sampai hal besar sekalipun. Termasuk saat aku
meminta izin untuk kembali ke Jakarta menyeleaikan S2-ku.

“Silahkan kalau memang itu keinginanmu,” sahutnya sambil tersenyum dan membelai lembut kepalaku.
Saat itu kami tengah menyusuri pinggiran pantai menikmati masa-masa yang disebut orang dengan
honeymoon.

Kutatap wajahnya tak percaya. “Abang serius?” kuhentikan langkahku.

“Apa kedengarannya seperti main-main?” ia balik bertanya sambil melotot.

“Abang tidak keberatan?” Aku kembali meyakinkannya.

“Selama itu bisa membuatmu selalu tersenyum untuk abang, dan selama itu bisa membahagiakanmu,
abang akan izinkan,” jawabnya.

“Ya Allah, makasih Bang,” kupeluk lengannya. Lalu kami kembali berjalan menyusuri bibir pantai.
Deburan ombak yang memecah pantai seakan ikut merasakan kebahagiaan di hatiku. Embusan angin
juga seakan membisikkan senandung bahagia di telinga. Akhirnya aku masih bisa meneruskan kuliahku,
meskipun harus berpisah dengan suamiku.

***
Besok aku akan segera bertolak ke Jakarta setelah mengantongi izin dari Amran. Siang tadi aku sudah
selesai berkemas. Semua yang aku perlukan sudah masuk ke dalam tas besar. Betapa rindunya aku
bertemu dengan para dosen dan teman-temanku. Aku juga rindu dengan suasana kelas yang begitu
hangat. Ah, jadi tersenyum sendiri membayangkannya.

“Hey, kenapa senyum-senyum sendiri?” Tanya Amran yang sejak tadi memperhatikanku. Kami sama-
sama berbaring di ranjang malam itu.

“Ah, nggak Bang. Cuma rindu aja membayangkan suasana kampus,” sahutku sumringah.

Amran terdiam, terdengar helaan napasnya.

“Abang yakin mengizinkanku pergi? Nanti yang ngurus abang siapa?”

“Jangan bertanya lagi, atau surat izinnya abang cabut,” ancamnya.

“Iiiih, jangan dong Bang!” Rajukku sambil beringsut mendekatinya. Lalu meletakkan kepalaku di
lengannya hingga dengan leluasa ia bisa memelukku. Kembali wajah kami berdekatan, mata saling
berpandangan. Ada deru napas yang tak biasa terdengar. Aku menahan napas, berusaha menduga apa
yang akan dia lakukan malam ini padaku. Aku ingin dia menuntaskan sebuah gelora yang harusnya
sudah terbayar sejak malam pertama kami menikah, agar ia tak merasa tersiksa saat berjauhan
denganku nanti.

“Tidurlah, besok kita harus berangkat pagi ke bandara,” ucapnya memecah keheningan. Dan seperti
biasa, hanya berakhir dengan kecupan di dahi.

Aku tersadar dari khayalan, dan segera menguasai diri.


Kulihat Amran sudah memejamkan matanya. Deru napasnya sudah kembali tenang. Hanya detakan
jantungnya yang masih terdengar kencang.

“Bang Amran?”

“Ya?”

“Apa nanti abang akan merindukanku?”

Amran tak menjawab. Hening. Bahkan sampai aku terlelap, aku tak mendengar sepatah kata pun dari
bibirnya.

*B E R S A M B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*

*PART_7*

“Hafalanmu udah sampai di mana? Juz 30 udah hafal semua kan?” Tanya Amran saat dalam perjalanan
menuju bandara.

“Sudah Bang, memangnya kenapa?”

“Sampai di Jakarta nanti kamu harus mulai menambah hafalan. Masuk juz 29 ya? Nanti setor sama
abang melalui telepon tiap akhir pekan. Paham?”

Aduh, kenapa sih dia? Tiba-tiba kayak jadi guru tahfidzh begini?
“InsyaaAllah, Bang,” sahutku singkat.

“Selama di Jakarta jangan suka pergi sendirian, kalau pergi harus sama abangmu. Jangan keluar malam,
jangan terlalu banyak interaksi dengan lawan jenis, jangan lupa...” Amran menggantung kalimatnya,
“jangan lupa shalat tepat waktu.” Sepertinya bukan itu yang akan dia katakan, hanya mencoba berkilah.

Aku menatap wajahnya dari samping. Dia begitu cerewet dan banyak aturan, tapi aku tahu tujuannya
baik.

“Apa abang akan merindukanku?” pertanyaan yang belum sempat terjawab semalam kembali
kulontarkan.

Amran mengusap wajah dengan tangan kirinya dan menghela napas. Ia juga tak menjawab
pertanyaanku kali ini.

“Bang, kenapa tidak menjawab?”

“Pertanyaanmu tidak membutuhkan jawaban dari abang, kamu sendiri nanti yang bisa menjawabnya.”
Pungkasnya tanpa menoleh padaku.

“Abang menyesal menikah denganku?”

“Kenapa bertanya seperti itu lagi?”

“Karena...sampai hari ini...abang belum memperlakukanku sebagai seorang istri layaknya pasangan
pengantin yang lain,” kuberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang sedang kurasakan. “Kita menikah
sudah seminggu lebih, dan hari ini abang mengizinkanku untuk kembali kuliah ke Jakarta. Seolah abang
nggak keberatan kalau aku jauh dari abang,” tuturku pelan. Tenggorokanku terasa tercekat. “Apa
aku...apa aku tidak menarik di matamu?”

Amran menghentikan laju mobil dan menepi di pinggir jalan. Ia menghela napas lalu beristighfar.

“Jihan, kamu dengarkan abang! Abang menikahimu karena abang memang suka denganmu. Dan yang
terpenting adalah...karena Allah. Jadi jangan berpikir yang tidak-tidak.”

“Lalu kenapa tak pernah menyentuhku?”

“Karena belum saatnya, Jihan!” Tegasnya.

“Saat seperti apa yang abang tunggu?”

Lelaki itu menatapku tajam, “saat nama Hakim hilang dari hati dan pikiranmu.”

DEG!

Aku terperanjat.

“Abang tidak mau, saat ragamu abang dapatkan tapi jiwamu bersama orang lain.” Pungkasnya. Lalu ia
menyalakan mesin mobil, dan kembali membelah jalanan. Rautnya terlihat menahan amarah, tapi hanya
seketika. Setelah kudengar bibirnya selalu beristighfar.

Aku bergeming. Tidak tahu harus berkata apa untuk menimpali. Hanya ada setitik air mata yang turun
membasahi pipi, tapi buru-buru kuhapus sebelum Amran melihatnya.

“Kita pulang!” Pintaku akhirnya ketika setengah perjalanan telah dilalui. Rasanya semangatku untuk
kembali ke Jakarta memudar.
“Apa maksudmu? Ini sudah setengah perjalanan Jihan!” Amran tampak bingung.

“Pokoknya aku mau pulang!” Aku sedikit menekan suaraku agar tidak terdengar meninggi.

Amran menepikan mobilnya kembali. Menelan saliva yang terasa pahit baginya.

“Mau kamu apa sebenarnya Jihan? Ini sudah separo perjalanan dan kamu minta kita balik?”

Aku bergeming.

“Tiket sudah di beli, dan...”

“Pokoknya aku mau pulang!” Potongku.

Amran menatap dengan raut wajah tak mengerti dengan kemauan istrinya.

“Baiklah, kita pulang!” Pungkasnya. Lalu memutar balik arah tujuan. Kembali ke Bukittinggi.

Suasana kembali hening. Tak ada yang bicara atau pun bertanya lagi. Aku berusaha menahan desakan-
desakan di sudut mata. Berusaha agar mereka tak berhasil berlarian di pipiku.

Amran menyalakan murattal dan bibirnya tak berhenti mengikuti alunan suara Misyari Rasyid itu.
Membiarkanku hanyut dalam setiap huruf yang ia lantunkan.
Aku sendiri tidak tahu kenapa tiba-tiba saja aku memutuskan untuk tidak ke Jakarta hari ini. Semua
semangatku memudar kala nama Hakim ia sebut. Padahal aku sudah bersusah payah melupakannya dan
mulai mencoba menerima keberadaan Amran.

“Maaf kalau kata-kata abang membuatmu tersinggung,” Amran menggenggam tanganku.

Aku tak menjawab. Menepis tangannya dengan pelan. Hingga lelaki itu terlihat serba salah.

“Abang tidak bermaksud...”

“Dari mana abang bisa tahu semua itu?” Tanyaku datar.

Gantian Amran yang terdiam. Ia mencoba fokus dengan kondisi jalanan di depannya yang mulai ramai.

“Kita baru menikah, tapi keadaannya sudah seperti ini,” sesalku.

Amran menghela napas, menahan sesuatu yang mungkin ia coba sembunyikan.

“Menikah hanya untuk saling menyakiti, apakah itu dibenarkan dalam syari’at? Lebih baik dulu abang
tidak menikahiku jika hanya ingin membuatku seperti ini.” Air mata mulai turun perlahan membasahi
pipiku.

“Jihan, Jihan jangan menangis!” Amran segitu paniknya melihat air mataku. “Abang sungguh-sungguh
menyayangimu Jihan, abang tidak pernah main-main dalam menikahimu. Tapi...” ia menggantung
kalimatnya. “Tapi abang tidak mau, jika kamu sudah bersama abang tapi pikiranmu pada lelaki lain.”

“Oh ya? Hebat sekali abang bisa membaca pikiranku.” Ucapku dingin.
Amran terdiam.

“Abang tahu? Betapa sulitnya aku mencoba menerima kehadiran abang dalam hidupku? Betapa sulitnya
aku melupakan lelaki itu?” Tangisku benar-benar pecah. “Dan saat abang menikahiku, aku melepas
semua cerita tentangnya, aku melepas semua rasa padanya. Dan aku mulai belajar mencintai abang.
Tapi apa? Abang hanya menyakitiku, memperlakukanku seolah aku bukan istrimu. Memperkenalkanku
kepada semua orang bahwa aku istrimu, tapi tidak pernah memperlakukanku layaknya istri. Aku hanya
seperti pajangan dan sebagai bukti bahwa abang memiliki istri.”

“Jihan hentikan!” Napasnya tampak tersengal. “Astaghfirullaah...” ucapnya lirih. Amran kembali
menepikan mobilnya dan mengatur napas yang naik turun. Wajahnya memerah menahan amarah. Ia
beristighfar berulang kali.

Sekian detik, lalu ia menoleh padaku. Mencoba menghapus air mataku dengan sapuan jarinya yang
kokoh.

“Kamu siap mendengar semua yang akan abang katakan? Berjanji kalau kamu tidak akan membenci
abang?”

Aku menatap nanar padanya. “Beritahu aku walau sepahit apa pun!”

“Abang tahu apa yang terjadi diantara kamu, Hakim dan juga Madya. Hakim sudah menceritakan
semuanya pada abang. Dia tahu betapa terlukanya dirimu, begitupun dia...sangat terluka. Tapi dia hanya
mencoba menjalani takdir Allah, meskipun terasa berat. Karena dia sadar bahwa kamu bukan jodohnya.
Hingga suatu hari dia meminta abang untuk melamarmu,”

Aku terkesiap mendengar kalimat terakhir Amran. Tapi tak berusaha menimpali.

“Dia ingin abang menikah denganmu. Awalnya abang menolak, tapi setelah dia memperlihatkan fotomu
pada abang...kamu tahu?” Amran menatapku sambil tersenyum. “Abang jatuh cinta padamu.” Matanya
terlihat berbinar. “Walaupun abang belum pernah berjumpa denganmu tapi entah kenapa, abang
merasa kamu adalah jodoh abang. Akhirnya abang menyetujui permintaan Hakim. Lalu abang
mengutarakannya pada kedua orang tua abang, lalu mereka memberitahu orang tua Hakim dan orang
tua Hakim memberi tahu abimu. Dan sekarang... kamu sudah menjadi istri abang.” Pungkasnya.

“Hakim sebenarnya sangat menyayangimu, karena itulah dia ingin abang membahagiakanmu. Dia tidak
ingin melihatmu terus terluka. Dia ingin kamu melupakannya dan memulai hidup baru. Begitu juga
dengannya, ia berusaha keras mulai mencintai Madya.”

Aku tercekat. Tenggorokanku terasa sakit sekali. “Kalau abang memang mencintaiku, kenapa
memperlakukanku seperti ini?” Tanyaku lirih.

“Karena abang ingin, kamu mulai belajar mencintai abang dulu dan menerima kehadiran abang
sepenuhnya dalam hatimu. Abang rela menunggu saat itu tiba, Jihan,”

“Lalu kenapa dengan mudah membiarkanku pergi? Bukankah dengan kita saling berjauhan malah akan
semakin sulit untukku menerima abang?”

“Karena abang ingin tahu, seberapa kuat kamu bisa menjauh dari abang. Dan abang juga ingin
memberimu waktu untuk sendiri, agar kamu tahu betapa besarnya rasa cinta yang abang miliki
untukmu.” Pungkasnya.

Aku tercenung demi mendengar semua kata-kata Amran. Hingga aku tidak tahu apa yang harus
kuperbuat. Semua terasa menyesakkan dada. Dan air mata tak lagi menetes.

*BERSAMBUNG*

*C E R B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*
*PART_8*

Aku berlari menaiki anak tangga menuju kamar. Tak kuhiraukan pertanyaan abi dan umi yang keheranan
melihatku kembali ke rumah. Biarlah Amran yang menjelaskan pada mereka.

Kurebahkan diri di ranjang tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu. Ingin terlelap walau sejenak.
Melupakan apa yang sudah terjadi hari ini.

Amran, apa yang harus kuperbuat padamu?

***

Aku terbangun saat jam menunjukkan pukul dua siang.

‘Astaghfirullaah, aku belum shalat Zuhur.’

Segera aku melompat turun dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi. Membersihkan diri sejenak
sebelum berwudhu’ dan menunaikan shalat zuhur yang sudah begitu terlambat.

‘Kenapa Amran tidak membangunkanku? Tega sekali dia membiarkanku tidur hingga shalatku terlewat.’
Umpatku dalam hati seraya melipat mukenaku. ‘Kemana dia?’

Semua barang bawaanku tadi tergeletak begitu saja di sudut kamar. Tapi Amran tidak kelihatan.

Aku menyeret langkah keluar kamar setelah mengenakan hijabku. Memeriksa balkon sejenak, siapa tahu
Amran tengah bersantai di sana. Tapi tak kutemukan.
Lalu setengah berlari aku menuruni anak tangga. Berharap menemukan sosoknya di ruang tengah, tapi
tetap nihil. Kuperiksa juga teras belakang, tak ada siapapun di sana. Abi dan umi juga tidak kelihatan.
Sepi sekali rumah ini. Di mana mereka semua?

Aku pun melangkah ke ruang tamu, dan serta merta langkahku terhenti saat mataku menangkap sosok
laki-laki yang tengah asyik membolak-balik sebuah buku tebal di ruangan itu. Dadaku tiba-tiba kembali
bergemuruh. Tapi aku berusaha mengabaikannya dan melanjutkan langkahku menuju teras depan.

“Amran tidak di rumah,” lelaki itu membuka suara tanpa melihat dengan siapa dia sedang bicara. “Aku
tidak tahu dia kemana, tapi tadi setelah shalat zuhur dia pergi, hanya pamit mau ke luar sebentar
katanya,”

Aku tertegun di ambang pintu.

“Kamu ngapain di sini?” Selidikku sambil membalikkan badan hingga aku dapat menemukan lelaki itu
masih tak beralih dari buku di tangannya.

“Ada Madya dan umi di dapur. Jadi jangan takut kalau kamu berpikir hanya kita berdua di rumah ini.”
Ujarnya seolah tahu apa maksudku.

“Ooh,” hanya itu yang kuucapkan sambil berlalu meninggalkannya. Aku tak ingin berlama-lama di sini.
Tak ingin mengungkit kembali sebuah rasa yang hampir terkubur bersama kehadiran Amran di sisiku.

“Madya? Kapan datang?” Sapaku ketika kulihat ia tengah asyik membuat kue bersama umi.

“Eh, Kak Jihan? Udah bangun?” Wajah Madya tampak berseri. Ia mengambil tanganku dan menciumnya
dengan hormat.

“Udah, Kakak tadi ketiduran. Mana kebablasan lagi nggak ada yang bangunin shalat zuhur.” Sahutku
sambil merengut.
“Kakak kenapa nggak jadi ke Jakarta?”

Aku terdiam sebelum akhirnya menggeleng sambil menyeduh teh hangat. “Kakak tunda dulu sementara
waktu,”

“Haaaa...pasti nggak mau jauh-jauh dari Bang Amran yaaa?” Ejeknya.

“Apa sih kamu?”

“Madya, jangan goda kakakmu terus! Ini lanjutin kerjaan kamu, pamali kalau anak perempuan
kerjaannya nggak beres,” tegur umi yang sejak tadi hanya tersenyum melihat kedua putrinya.

“O iya, maaf umi. Aku sampai lupa!” Sahutnya sambil menyeringai.

“Lagi ngidam apa nih? Tumben bikin kue sampai datang ke rumah?”

“Lagi ngidam brownies kak, tapi bikinnya di sini,” Madya tertawa geli.

“Ishhh, ada-ada saja,” aku mendaratkan tubuhku di kursi yang terletak di dapur. Menikmati secangkir
teh hangat agar tubuhku terasa sedikit rileks.

“Mi, Bang Amran kemana sih?” Tanyaku.

“Umi nggak tahu, tadi habis shalat zuhur pamit mau keluar sebentar katanya ada perlu.” Jawaban umi
sama dengan yang di katakan Hakim tadi.
“Ooh,” sahutku singkat. Kembali meneguk teh hangat yang tinggal separuh.

“Kalian kenapa? Ada masalah? Baru menikah kenapa udah kayak orang marahan begitu?” Tanya umi.

“Nggak ada apa-apa, Mi.”

“Lalu? Kenapa kamu nggak jadi ke Jakarta? Bukannya Amran sudah memberi izin untuk kamu kuliah
lagi?” Selidik umi.

“Aku tunda sementara dulu, Mi. Nanti nyari waktu yang tepat untuk kembali ke sana. Sementara aku
konsultasi materi via online aja.”

“Kamu nggak ada masalah apa-apa kan sama Amran?” Sepertinya umi masih tak percaya dengan
jawaban yang kuberikan.

“Nggak ada kok, Mi. Kami baik-baik saja.” Pungkasku.

“Alhamdulillaah, syukurlah kalau begitu.”

“Umi ada-ada aja deh,” celetuk Madya, “masa iya pengantin baru punya masalah, lagian kak Jihan dan
bang Amran itu saling mencintai, ya kan Kak?”

“Sok tahu kamu!” Cibirku.

Aku meneguk sisa tehku, mencuci gelasnya lalu melangkah meninggalkan dapur.
“Jihan, kamu belum makan siang kan? Sana makan dulu! Nanti lemes lho!” Suara umi menghentikan
langkahku.

“Belum lapar Mi, nanti saja,” sahutku sambil berlalu.

“Pengantin baru nggak boleh lemes yaaaaa,” teriak Madya sambil cekikikan.

Apaan sih anak satu itu? Ngeledek terus bawaannya, mentang-mentang... ‘BRUK!’

“Aduuh!” Erangku sambil memegang lengan kanan. Karena jalannya sambil menggerutu aku tak sadar
sudah menabrak kursi di ruang makan yang terbuat dari kayu jati khas ukiran jepara itu. Aku meringis
kesakitan sambil mengusap-usap lengan yang terasa ngilu. Saking ngilunya air mataku sampai menetes.

“Jihan, kamu kenapa?” Tiba-tiba Hakim muncul di hadapanku.

Aku mengangkat kepalaku hingga menemukan raut khawatir terpeta di wajahnya.

“Nggak apa-apa,” aku menggeleng dan bergegas menghapus air mataku. Lalu aku bangkit,
meninggalkannya menuju lantai dua kamarku sambil menahan rasa sakit yang masih terasa di lengan.

“Amran sangat menyayangimu, Jihan. Jangan sia-siakan lelaki sebaik dia,” ucap Hakim.

Aku tertegun di tengah anak tangga. Tapi tak berusaha melihat kepadanya.

“Amran jodohmu, dia jauh lebih baik dari lelaki mana pun termasuk aku. Amran lebih pantas
bersamamu di banding aku. Percayalah Jihan, cobalah menerimanya! Berbahagialah bersamanya!”
Tak kuhiraukan kata-kata Hakim. Kembali meneruskan langkah menyusuri anak tangga. Masuk ke dalam
kamar dan langsung membuka gamisku untuk melihat bekas benturan tadi. Benar saja, lenganku terlihat
membiru. Pantas rasanya ngilu banget. Kuraih minyak zaitun yang terletak di meja rias dan mengolesnya
sambil memijat pelan memar yang membiru itu. Rasanya lumayan membuat air mataku kembali
menetes. Aku memang termasuk perempuan cengeng dalam hal seperti ini.

Aku duduk di tepi ranjang, sambil terus memijat pelan lenganku agar memarnya sdikit berkurang.
Terngiang kata-kata Hakim tadi. Lalu teringat kembali akan Amran. Kemana lelaki itu belum juga pulang.

Kuraih ponselku, berharap ada sebuah pesan darinya. Tapi nihil. Tak ada pesan atau pun panggilan tak
terjawab.

‘Cekrek!’

Pintu kamar terbuka dan wajah Amran muncul. Aku buru-buru memasang gamisku agar Amran tak
melihat lenagnku, tapi tak berhasil. Karena tangan kananku terasa sakit untuk diangkat. Ada apa ini?
Bukankah tadi baik-baik saja? Hanya memar dan ngilu saja. Kenapa sekarang sakit sekali?

Arman tak bersuara. Ia seolah acuh. Mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi tanpa aku sempat
bertanya dia dari mana.

Sementara aku masih berusaha memasang gamisku, tapi tak berhasil. Rasanya sakit sekali hingga
akhirnya aku menyerah dengan hanya menggunakan baju tanpa lengan itu. Tak peduli apakah Arman
akan melihatnya atau tidak.

Tak sampai sepuluh menit Amran pun keluar hanya dengan balutan handuk yang menutupi pinggang
sampai lututnya. Aku memalingkan pandanganku dari tubuhnya. Amran tak juga bersuara. Ia sibuk
memakai pakaiannya, seolah tak melihatku di sana.

“Abang dari mana?” Akhirnya aku mencoba memecah keheningan.


“Dari kampus, tadi ada yang harus abang selesaikan sedikit,” sahutnya datar.

“Kenapa tidak memberitahuku?”

“Bagaimana caranya bicara dengan orang yang sedang tidur?” Ia balik bertanya.

Aku tertegun mendengar jawabannya. “Kenapa tidak membangunkanku?”

Kali ini ia tak menjawab.

“Abang marah padaku?”

“Tidak ada alasan untuk marah padamu, Jihan.”

“Lalu? Kenapa bersikap dingin seperti ini?”

“Agar kamu tidak semakin terluka,” sahutnya enteng.

“Apa maksud abang?”

“Agar kamu tidak merasa terpaksa hidup dengan abang, dan bisa melakukan apa pun yang kamu
inginkan tanpa harus abang batasi. Abang tidak ingin, cinta yang abang miliki untukmu membuatmu
merasa tidak nyaman,”

“Tapi aku lebih merasa tidak nyaman jika abang bersikap seperti ini,”
“Sampai detik ini abang belum berhasil membuatmu jatuh cinta pada abang. Dan itu membuat abang
sedikit lelah, dan abang menyerah. Abang tak ingin memaksamu lagi untuk mencintai abang.”
Pungkasnya. Kemudian ia pun berlalu hendak meninggalkanku.

“Kalau begitu ceraikan aku!” Ucapku sambil berlinang air mata.

Amran menghentikan langkahnya sebelum tangannya sempat menggapai handle pintu, lalu menoleh
padaku.

“Jangan ucapkan lagi kata-kata itu, Jihan! Allah sangat membencinya!” Raut wajahnya terlihat marah.

“Kalau begitu berhentilah bersikap dingin padaku! Kembalikan suamiku yang tadi pagi masih
mengatakan kalau dia mencintai dan menyayangiku. Dan katakan padanya...” aku merasa tercekat,
“katakan padanya kalau aku...kalau aku juga sedang jatuh cinta padanya.”

Amran menatap nanar padaku. Mata teduhnya terlihat berkaca-kaca. Ia melangkah perlahan
mendekatiku. “Jihan...,” lirih suaranya terdengar. “Kamu bilang apa? Kamu...kamu sedang jatuh cinta?
Benarkah? Benarkah itu?”

Aku tak menjawab. Hanya mengangguk pelan dalam deraian air mata.

“Bagaimana bisa?” Tanyanya tak percaya.

“Aku tidak tahu, hanya saja sejak aku terbangun dari tidurku dan tak melihatmu di sampingku, aku
merasa begitu kehilangan. Ada rindu yang menghunjam saat menunggumu pulang,” jelasku dengan
suara lirih.

Ada setetas air mata yang mengalir di sudut netra milik Amran. Lalu ia menarikku ke dalam pelukannya.
Membelai rambutku dan mencium ubun-ubunku berkali-kali. “Terima kasih Jihan, terima kasih istriku.”
“Aduh!” Aku mengerang saat tangan Amran tak sengaja menyentuh lengan kananku.

Amran terperanjat,langsung melepas pelukannya dan memeriksa lengan kananku.

“Ini kenapa Jihan? Kenapa bisa memar seperti ini?” Tanyanya khawatir.

“Tadi aku jalan nabrak kursi makan, jadinya begini. Sakit buat digerakin.”

“Makanya kalau jalan itu hati-hati, jangan sambil ngedumel! Sini abang urut, biar enakan,”

“Nggak mau ah, sakiiiiit,”

“Eeh, jangan bandel! Itu karena darahnya membeku, kalau diurut nanti darah bekunya pecah dan nggak
sakit lagi,”

Dengan ragu kuulurkan tangan kananku padanya. Dan ia mulai memijatnya perlahan. Aku hanya bisa
meringis menahan sakit.

“Nanti malam kita honeymoon yuk!” Ajaknya disela aktivitas mengurut lenganku.

“Kemana?”

“Ke hotel,” bisiknya pelan.

“Honeymoon apaan? Abang suka PHP, males ah! Natar cuma di anggurin doang kayak kemarin-
kemarin.” Ejekku.
“Kali ini enggak deh, abang janji. Abang mau bayar hutang yang sudah tertunda hampir dua minggu
sejak kita menikah,”

“Nggak mau ah, lenganku masih sakit, lain kali aja!”

“Nggak bisa, harus malam ini. Abang nggak mau menunda lagi. Pegel tau ditunda terus,”

“Salah siapa?”

“Salah kita berdua,” sahutnya asal sambil tertawa kecil.

“Tapi...”

“Ssst, dilarang membantah keinginnan suami. Dosa besar. Dilaknat malaikat sampai pagi.” Potongnya.

“Iiiih, ngancem ya?”

“Dikiit,” Arman tergelak. Matanya tak berhenti menatapku.

“Apa masih berniat mau kuliah lagi dan meninggalkan abang?”

Aku menggeleng pasti. “Tidak, aku mau tetap di sini. Bersama suamiku,”

Amran tersenyum begitu bahagia. Tangannya memegang pipiku, mengusapnya lembut. Membuatku
sedikit terbuai dalam hangat telapak tangan miliknya.
Lalu kami terdiam untuk beberapa saat. Hanya mata yang saling bicara. Mata yang saling menatap
dalam mengungkapkan perasaan masing-masing. Hingga rasa sakit di lengan tak lagi kurasakan, ketika
deru napas kami bertemu dalam sebuah rasa cinta yang baru saja terjalin. Rasa cinta yang baru saja
kurasakan saat aku mulai memahami akan arti dari sebuah takdir yang telah Allah tetapkan untukku.
Sebuah takdir yang awalnya terasa pahit, tapi begitu indah saat aku mencoba untuk tidak
menentangnya.

‘Ana uhibbuka Amran.’ Dan aku tenggelam, dalam pelukan kasih sayangnya.

*B E*C E R B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*

*PART_9*

“Jihan, Jihan bangun Sayang. Ini sudah pagi,” suara Amran membuatku seketika membuka mata.
Menemukan wajah tampan itu sedang tersenyum. Aroma wangi tercium dari tubuhnya. Sepertinya dia
baru saja selesai mandi. Terlihat dari rambutnya yang juga basah.

“Udah jam berapa sih, Bang?” tanyaku sambil menggeliat malas.

“Udah jam empat subuh,”

“Aaah, masih satu jam lagi kan Subuhnya, aku tidur lagi ya? Ngantuuuk,” pintaku sambil menarik
kembali selimut tebal itu.
“Eeeh, jangan malas!” Amran membuka kembali selimut yang menutupi tubuhku dan segera
menjauhkannya. “Kita tahajjud dulu,”

“Bang, aku masih ngantuuuuk,pleeeeease!”

“Jangan cari alasan, ayo bangun! Sana mandi! Abang udah siapin air hangat buat kamu,” Amran menarik
tanganku.

Dengan malas aku pun bangkit. “Abang ih, kok nggak ada toleransinya? Kita kan lagi ...”

“Udaaah, nggak usah ngedumel!” Amran mencubit pelan pipiku.

Dengan wajah cemberut dan mata yang masih mengantuk aku berjalan terhuyung menuju kamar mandi.

“Tangannya masih sakit?”

“Udah enggak, kan semalam udah di urutin semua sama abang dari ujung rambut sampai ujung kaki,”
jawabku asal sambil tersenyum menggoda.

“Jihaaaaaaan,” Amran melotot. Aku hanya tertawa sambil menghilang di balik pintu kamar mandi.

Ya, ini malam pertama kami menginap di sebuah hotel yang terletak di tengah kota. Sebuah hotel
mewah berbintang lima. Sengaja Amran mengajakku ke sini, menginap selama tiga hari ke depan.
Katanya untuk membuat kami saling mengenal lebih dekat.

***
Sudah pukul enam, matahari pun sudah muncul di ufuk timur untuk menemani pagi dengan
kehangatannya. Tapi Amran belum juga kembali dari masjid yang terletak tak jauh dari hotel.

Aku menutup mushafku. Melipat mukena. Lalu meraih ponsel dengan maksud hendak menelepon
Amran, dan baru kusadari jika ponsel Amran juga tergeletak di sebelah ponselku. “Kemana sih dia? Jam
segini belum balik juga?” gumamku.

Setengah jam berlalu membuatku sedikit cemas. Aku memasang gamis dan hijab, mengenakan kaos kaki
dan bersiap keluar dari kamar. Aku berniat menyusul Amran ke masjid. Mungkin saja dia masih di sana
dan tak sengaja tertidur.

Setelah memastikan aurat tertutup sempurna, aku pun melangkah meninggalkan kamar hotel. Turun ke
lantai dasar menggunakan lift yang terletak di sudut lantai tiga itu. Tak berapa lama pintu lift terbuka
dan aku sampai di lantai dasar. Berjalan sedikit cepat dan langkahku terhenti saat mataku menangkap
sosok Amran tengah ngobrol dengan seorang laki-laki seusia abi. Dan di dekat lelaki itu duduk, ada
seorang perempuan berhijab lebar, terlihat ia selalu menunduk. Tapi sesekali bisa kulihat dengan jelas,
kalau ia sedang mencuri pandang pada Amran, suamiku.

Tiba-tiba jantungku terasa terbakar melihat tingkah laku perempuan itu. Siapa dia? Wajahnya cantik
sekali. Kenapa dia memandang suamiku sebegitunya? Amran dan laki-laki itu pun seperti terlibat dalam
pembicaraan yang begitu serius.

Karena penasaran, aku pun mendekati mereka.

“Bang Amran!” Tegurku.

Amran seperti terkesiap melihat kehadiranku. Raut wajahnya sedikit gugup.

“Ji-Jihan, kamu...kamu ngapain turun? Kenapa nggak tunggu abang di atas saja?” Ia bangkit dari sofa
tempat ia duduk.
Aku melirik wanita yang matanya sekarang tengah menyelidikiku.

“Abang kelamaan, hampir saja aku mau nyusulin ke masjid,” sahutku sambil menggamit lengannya.

“Maaf, tadi abang ketemu sama ustaadz Zainal, kebetulan kami sama-sama shalat subuh di masjid.
Kamu kenal beliau kan?”

Aiiih, aku baru sadar ternyata beliau adalah salah satu ustaadz yang sering kudengar kajiannya.

“Oh iya, ustaadz Zainal, salam kenal,” aku menangkupkan tangan di dada sambil menganggukkan kepala.
Beliau membalas dengan perlakuan yang sama.

“Ini istrimu?” Tanya beliau.

“Iya ustaadz, ini istri saya. Namanya Jihan,” jawab Amran.

Ustaadz Zainal hanya tersenyum.

Aku menoleh pada perempuan itu, karena sedari tadi tidak ada yang memperkenalkan kami.

“O ya hampir lupa, Jihan kenalkan ini putri beliau, namanya Zainab.” Akhirnya Amran memperkenalkan
juga siapa dia. Dari cara dia memperkenalkan, seolah mereka sudah lama saling mengenal.

Aku mengulurkan tangan dan disambut suka cita oleh perempuan yang bernama Zinab itu. Dia
tersenyum, manis sekali.
“Ya sudah kalau begitu Amran, saya mau kembali ke kamar dulu. Mau mempersiapkan materi untuk
acara nanti. Nanti kita lanjutkan pembahasan kita tadi ya Amran. Mari saya duluan,
assalaamu’alaykum!”

“Wa’alaykumussalaam,” jawabku dan Amran bersamaan. Zainab mengikuti ayahnya setelah sebelumnya
ia sempat menatap lama pada Amran. Tatapan yang aku sendiri tak paham maksudnya.

“Siapa Zainab itu, Bang?” Tanyaku sambil menggamit lengannya menuju pintu lift.

Amran memegang tanganku, “nadanya cemburu banget ya?” ejeknya sambil tersenyum menggoda.

“Aku serius bertanya, Bang!”

“Lho? Kan kamu udah tahu kalau dia anak ustaadz Zainal,”

“Itu aku memang sudah tahu, tapi...” aku menggantung kalimatku saat pintu lift terbuka, dan kami
berdua masuk ke dalamnya.

“Tapi apa?” Amran memencet tombol untuk ke lantai tiga.

Dan lift pun bergerak perlahan, hingga dalam hitungan detik kami sudah berada di tempat yang di tuju.
Melangkah bersamaan keluar dari lift, dan berjalan beriringan menuju kamar.

“Kamu belum jawab pertanyaan abang. Tapi apa Jihan?”

“Apa hubungan abang dengan perempuan itu?”


Amran terdiam. Sepertinya ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.

“Kenapa diam?” Aku menghentikan langkah saat kami sudah berada tepat di depan pintu kamar.
Kutatap lekat wajah tampannya yang terlihat gusar.

“Lihat aku, Bang!”

Ia pun berusaha membalas tatapanku.

“Dan jawab pertanyaanku!”

“Jihan, kamu ini kenapa? Kamu cemburu?” Amran mencoba berkilah.

“Istri mana yang tak cemburu saat melihat ada wanita cantik sering mencuri pandang pada suaminya?
Bahkan saat ia akan pergi pun masih sempat ia menatapmu, padahal ada aku di sampingmu!” Aku
merasa benar-benar cemburu saat membayangkan cara perempuan itu menatap Amran.

Lelaki itu tertawa menatapku. “Kamu benar-benar sedang terbakar cemburu. Ana uhibbuki, Jihan,”
Amran berusaha memelukku tapi segera kutepis.

“Jangan sentuh aku sebelum abang menjelaskan siapa perempuan itu!” Kubuka kunci pintu kamar yang
kami sewa dan bergegas masuk ke dalam. Amran mengekori dari belakang sambil menutup kembali
pintu bercat putih itu.

“Astaghfirullah, Jihan. Kok gitu banget sih? Baruuuu aja kita mulai dekat, kamu udah merajuk begini,”
Amran ikut mendaratkan tubuhnya di sofa tempatku duduk. Menatap wajahku yang cemberut menahan
kesal.

Beberapa saat kami salaing terdiam.


“Abang lapar niiih, kita cari sarapan keluar yuk? Kita cari tempat yang enak biar bisa sambil kencan,”
Bujuknya memecah keheningan, berusaha agar aku tak lagi membahas perempuan itu.

“Nggak mau, abang aja sendiri. Atau ajak aja si Zainab itu!” Sahutku ketus.

Lagi-lagi Amran tertawa melihat tingkahku yang kekanakan. “Oke, oke, kalau begitu,” Amran bangkit dari
duduknya. Mengambil ponsel miliknya yang terletak di atas meja kecil di samping tempat tidur. Lalu
berjalan mendekati pintu keluar. “Abang mau ke kamar Zainab dulu ya, mau ajak dia sarapan pagi
seperti permintaanmu,” ejeknya.

Aku bergeming. Candaannya sama sekali tidak lucu. Aku pun bangkit dan melangkah menuju ranjang,
membuka hijabku lalu merebahkan diri di atasnya.

Amran yang masih berdiri di dekat pintu akhirnya berjalan mendekatiku. Ia duduk di pinggir ranjang.
“Jihan, kamu marah beneran sama abang?”

“Pikir aja sendiri!”

Amran terdiam beberapa saat. Menghela napas yang terdengar berat.

“Abang bukannya tidak mau memberitahumu tentang Zainab. Tapi memang tidak ada sesuatu yang
penting tentangnya,” Amran merebahkan diri di sampingku. Matanya menerawang menatap langit-
langit kamar.

“Beritahu aku yang tidak penting saja, jika memang yang penting tidak ada,” ujarku datar.

Amran bergerak memiringkan tubuhnya menghadapku, menarik tanganku agar tubuh kami saling
berhadapan. Lalu mata teduhnya menatap lekat mata bermanik coklat muda milikku.
“Jihan, untuk apa membicarakan hal yang tidak penting, jika wanita yang paling penting dalam hidup
abang ada di sini,”

Kubalas tatapan matanya, mencari sesuatu yang berusaha ia sembunyikan dariku. Sebuah kecupan
hangat mendarat di bibirku. Membuatku terbuai beberapa detik lalu mendorong tubuh lelaki itu agar
menjauh. “Ayo kita cari sarapan, bukannya abang lapar?” Aku pun berusaha bangkit. Tapi tangan kokoh
Amran kembali menarikku hingga aku kembali jatuh dalam pelukannya.

“Sarapannya nanti saja, kita sarapan yang lain dulu,” Amran berbisik dan mengedipkan matanya. Dan
aku tak kuasa menolak permintaan lelaki yang telah berhasil membuatku jatuh cinta hanya dalam
sekejap itu. Melupakan sejenak sebuah pertanyaan yang masih belum menemukan jawabannya.

***

Siang ini Madya datang ke rumah diantar oleh Hakim. Entah kenapa wajahnya terlihat begitu sedih saat
ia menemuiku di kamar.

“Kamu kenapa Madya? Kamu sakit?” Kuraba keningnya, tapi suhunya normal, hanya wajahnya sedikit
pucat.

Madya menggeleng sambil tersenyum getir.

“Kandunganmu baik-baik saja kan?” Tanyaku khawatir.

“Alhamdulillaah baik, Kak,”

“Lalu kenapa wajahmu pucat begini? Harusnya kamu istirahat, gak usah keluyuran kesana kemari.
Bandel banget!” Gerutuku.
Tiba-tiba saja Madya menghambur ke dalam pelukanku dan menangis terisak. Aku bingung dengan
sikapnya. “Madya, ada apa ini? Kamu ada masalah?”

“Kak..., maafkan aku, maafkan aku! Aku tidak tahu kalau selama ini kakak menyukai Hakim, aku tidak
tahu kalau...” tangisnya benar-benar pecah kali ini.

Aku terperanjat. Dari mana ia tahu semua itu?

“Kamu bicara apa, Madya?” Kulepas pelukannya, menatap wajahnya yang basah bersimbah air mata.

“Aku tidak tahu kalau selama ini kakak menyukai Hakim, aku sungguh tidak tahu. Hingga akhirnya semua
ini terjadi...semua kesalahan ini terjadi...harusnya kakak yang menikah dengan Hakim bukan aku.”
Pungkasnya lalu tangisnya semakin menjadi. Kembali ia memelukku.

Aku terpaku. Tak tahu harus berbuat apa.

“Siapa yang memberitahumu? Apakah Hakim?”

Madya menggeleng kuat-kuat. “Aku tak sengaja menemukan buku harian milik Hakim yang sudah lama
ia simpan jauh-jauh, di sana ada nama kakak, semua hal yang terjadi pun tertulis di sana. Aku minta
maaf kak, aku minta maaf,” ada penyesalan dalam setiap kata-katanya.

Kurenggangkan pelukannya dan ku tatap wajah cantik itu. Lalu menghapus air matanya dengan sapuan
jariku.

“Kamu tahu Madya? Peristiwa yang sudah kita lewati ini mengajarkan kakak akan banyak hal tentang
hidup ini, bahwa apa yang menurut kita baik belum tentu baik menurut Allah, begitupun sebaliknya,”
aku mencoba tersenyum. Tak tega melihat isak adikku satu-satunya ini, meskipun aku pernah merasa
tersakiti olehnya yang tak tahu apa-apa.

“Hakim adalah jodohmu, meskipun caranya sangat melukai kakak. Tapi ...tahukah kamu Madya? Amran
datang dalam kehidupan kakak, dan membuat kakak mampu melupakan semuanya dalam sekejap.
Lelaki itu mengobati semua luka yang kakak derita.”

“Tapi Kak...,”

“Sssstttt, sudahlah! Jangan berpikir macam-macam lagi. Ingat, kamu sedang mengandung buah cintamu
dengan Hakim. Jangan kecewakan suamimu. Jaga benihnya dengan baik,” kuusap pelan perut Madya.

“Kakak tidak membenciku?” Madya menatap nanar mataku.

Aku tersenyum. “Dulu ..., kakak sempat membencimu. Tapi setelah kakak sadar bahwa semua yang
terjadi adalah sebuah takdir, maka tidak ada alasan bagi kakak untuk membencimu.” Pungkasku.

“Benarkah?” Mata Madya membesar.

“Iyaaa bawel!” Kucubit hidung bangirnya. “Udah ah, nggak usah ngomongin itu lagi. Sana pulang!
Suamimu udah menunggu lama di bawah, kasihan dia.”

Madya mengahapus sisa air matanya lalu mencoba tersenyum. “Terima kasih, Kak,” ia mengambil
tangan kananku dan menciumnya.

Kupegang kedua pipinya, lalu mengecup keningnya. “Apakah Hakim memperlakukanmu dengan baik?”

Madya mengangguk pasti.


“Apakah dia mencintaimu?”

“Sangat.”

“Bagus. Beritahu kakak kalau dia menyakitimu.” Pungkasku.

Madya tertawa kecil. Lalu ia bangkit, “aku pulang dulu ya, kak? Berjanjilah untuk tidak membenciku atau
Hakim walau sedikit pun!” Pintanya.

“InsyaaAllah, kakak janji!”

Madya melangkah meninggalkan kamarku, hingga di ambang pintu ia berbalik, “kak?”

“Ya?”

“Kakak masih mencintai Hakim?”

Aku begitu terkejut mendengar pertanyaan Madya. Tapi segera berusaha menguasai diri dan menjawab
dengan lugas, “cintaku pada Amran melebihi segalanya. Jadi jangan khawatir, hanya ada Amran di hati
kakakmu ini. Hakim hanya milikmu. Jiwa raga dan juga cintanya hanya kamu yang berhak memiliki,”

Madya tersenyum bahagia, lalu kembali menyeret langkahnya menuju anak tangga. Menemui kekasih
hatinya yang sudah menunggu lama di ruang tamu.

Menghela napas yang sedikit terasa menyesak di dada sebelum aku menutup pintu kamar. Ada
genangan yang berusaha keluar, tapi kutahan. Aku tak ingin lagi menangisi sesuatu yang tak berguna.
Sesuatu yang sudah mulai terlupakan seiring tumbuhnya cintaku untuk Amran.
“Amran? Dimana dia? Seharusnya jam makan siang ini dia sudah di rumah. Bukankah ia berjanji
mengajakku makan siang di luar?”

*B E R S A M B U N G*

*C E R B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*

*PART_10*

Jihan, maaf ya Sayang. Kayaknya kencan makan siang kita batal deh hari ini, ada masalah di kampus dan
abang nggak bisa ninggalin. Kayaknya sore abang baru bisa pulang. Nggak apa-apa kan?]

Sebuah pesan masuk melalui ponselku. Sedikit bernapas lega karena tanya di hati sudah terjawab.

Sambil tersenyum aku membalas pesannya.

[Iya bang nggak apa-apa kok. Oh ya, mau diantar nggak makan siangnya ke kampus? Tapi aku beli jadi
aja, nggak apa-apa?]
[Boleh Sayang. Dengan senang hati. Abang tunggu ya? Fii amaanillaah]

Aku pun bergegas menyambar tasku. Lalu keluar dari kamar dan setengah berlari menuruni anak tangga.

“Jihan, pelan-pelan kalau turun tangga itu. Nanti kamu jatuh!” Tegur abi.

“Iya Bi, aku buru-buru.” Kuambil tangan beliau dan menciumnya dengan hormat.

“Mau kemana?”

“Ke kampus Bi, antar makan siang buat bang Amran.” Sahutku sambil setengah berlari menuju pintu
keluar.

Abi hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak perempuannya.

***

Aku turun dari motor begitu sampai di pakiran kampus. Dengan riang berjalan menuju ruangan Amran.
Menenteng sekotak makanan kesukaannya.

Di sepanjang jalan aku berpapasan dengan beberapa mahasiswa dan mahasiswi yang diantara mereka
sudah mengenalku sebagai istri Amran. Mereka menyapa dengan ramah, meskipun tak sedikit yang
saling berbisik. Tapi aku tak peduli, mencoba fokus dengan tujuanku datang ke sini.

Angin siang menyapa saat kakiku menginjak lantai di depan ruangan Amran. Membuat ujung jilbab
lebarku menari-nari. Seolah ia merasa bahagia saat diri ini akan bertemu dengan kekasih hati.
“Assalaamu’alaykum!” Aku mengucap salam. Dan aku terkejut saat sosok yang kutemui bukanlah
Amran. Tapi adik iparku yang tengah duduk sendiri sambil mengutak atik ponselnya.

“Wa’alaykumussalaam warahmatullaah,” jawabnya. Dan ia pun tampak terkejut saat mengetahui


kehadiranku. “Jihan?”

“Hakim? Kamu ngapain di sini? Bang Amran mana?” Tanyaku tanpa beranjak dari depan pintu.

“Aku juga lagi nunggu Amran. Tadi dia ada perlu sebentar, katanya ada tamu dan minta diantar untuk
melihat beberapa ruangan kampus ini.” Jelasnya.

“Ooh, ya sudah,”

“Eh, kamu duduk aja di dalam biar aku yang di luar,” Hakim beranjak dari kursinya.

“Nggak, nggak usah, aku mau nyusul bang Amran aja!” Tolakku.

“Mau diantar?”

Aku menoleh padanya sambil mengernyitkan dahi dengan raut tak suka, “jangan konyol!” ucapku sambil
berlalu meninggalkannya.

“Jihan?” Suara Amran menghentikan langkahku. Ia datang ke hadapanku bersama beberapa rekannya.
Dan...perempuan itu? Bukankah itu Zainab?

Ada Hakim yang berdiri terpaku di belakangku. Tatapan mata Amran pun terlihat penuh selidik.
“Kamu udah lama?”

“Baru saja,” jawabku singkat.

“Pak Amran, kalau begitu kami permisi dulu ya.” Salah satu dari rekannya yang laki-laki meminta izin.
Diikuti rekannya yang lain.

“Oh iya, silahkan, silahkan! Tolong antar Bu Zainab juga ke ruangannya ya?”

“Baik, Pak. Permisi. Mari Bu Jihan,”

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Mataku sempat melihat Zainab melirikku sebentar, tapi tak
menyapa. Dan ia ikut berlalu bersama yang lain setelah ia menatap suamiku sejenak. Aiiih, ingin rasanya
aku berbuat kasar melihat caranya menatap Amran.

“Kenapa dia bisa ada di sini?” Selidikku setelah mereka semua berlalu. Sedang Hakim masih setia berdiri
di tempatnya tadi.

Sejenak ia melirik pada Hakim. “Dia ..., dosen baru di sini. Menggantikan dosen Fiqih yang sedang cuti
melahirkan,”

“Oh ya?” Aku menatap tak percaya pada suamiku itu. “Tidak ada alasan lain kan?”

“Jihaaan, jangan mulai deh!” ucapnya setengah berbisik.

“Tapi cara dia melihatmu tidak lazim, Bang!”


“Jihan..., kita bicarakan ini di rumah. Jangan di sini.” Matanya mengamati keadaan sekitar.

“Oke,” aku mengambil tangan kanannya dan menyerahkan makan siangnya. Kemudian tanpa berkata
apa-apa aku pun berlalu. Menyisakan tatapan bingung dari dua pasang mata yang menatap
kepergianku.

“Jihan, tunggu!” Sempat terdengar Amran memanggil, tapi tak kuhiraukan. Aku tetap bergegas
meninggalkan tempat itu.

Amran menatap Hakim, dan lelaki itu hanya bisa mengangkat kedua bahunya. Pertanda dia juga tidak
tahu harus bagaimana.

‘Pernikahan seperti apa ini? Baru seumur jagung sudah ada saja masalah. Apa Amran mau
menduakanku? Apa dia mulai tertarik dengan kecantikan wanita itu? Atau di amulai sadar kalau
sebenarnya kami tak sepadan?’

Berbagai pertanyaan melintas di benakku. Kuusap air mata yang mulai menggenang di sudut netra. Lalu
menambah kecepatan laju motorku.

Aku tidak langsung menuju pulang, tapi mampir dulu di masjid yang tak jauh dari komplek perumahan
tempatku tinggal. Waktu zuhur akan masuk satu jam lagi. Aku memutuskan untuk menunggu di sini.
Setidaknya aku bisa menenangkan emosi yang sedang meraja di hati.

‘Dimana kejujuran Amran? Kenapa tidak memberitahuku tentang Zainab? Apa ada yang ia
sembunyikan?’

Aku membuka helm-ku. Melangkah perlahan ke teras masjid, lalu duduk menyandar di salah satu
tiangnya. Suasana masih sepi, dan masjid masih dalam keadaan terkunci. Sebab waktu zuhur masih
lama.
Kutatap bangunan yang tidak terlalu besar itu. Di sinilah pertama kalinya aku bertemu Hakim dan
terlibat kegiatan pengajian remaja dengannya. Kami yang membimbing para remaja sekitar daerah sini
untuk mau kembali mengenal masjid. Lalu di sanalah benih-benih cinta mulai tumbuh di hatiku. Ketika
setiap akhir pekan kami bertemu dan membahas tentang rencana-rencana kegiatan di masjid ini
bersama.

Sebenarnya Hakim tidak tinggal di daerah sini, tapi entah kenapa dia begitu di kenal di lingkungan ini.
Mungkin karena orang tuanya salah satu pengasuh pondok pesantren terbesar, sehingga banyak
masyarakat yang mempercayakan pengelolaan remaja masjid ini padanya. Tak jarang kami sering
bertengkar karena beda pendapat, hingga akhirnya dia sering mengalah meskipun aku tahu dia yang
benar.

Aku tersenyum sendiri ketika mengenang masa-masa itu. Sebuah kenangan yang hanya boleh diingat
saja, tanpa boleh berharap untuk mengulangnya.

Tak terasa waktu zuhur sudah mulai dekat. Pintu masjid pun sudah terbuka. Saking asyiknya melamun
sampai aku tidak tahu kapan pintu itu di buka. Sudah ada beberapa orang yang datang dan
melaksanakan shalat tahyatul masjid di dalamnya.

“Jihan?”

Langkahku terhenti saat hendak menuju ke tempat berwudhu. Lalu membalikkan badanku. “Hakim?”

“Kamu di sini? Bukannya tadi pulang?”

“Aku mau shalat dulu di sini,” sahutku datar.

Dan ketika aku hendak berlalu ia pun berkata, “apa pun yang terjadi, tetaplah percaya pada suamimu,”
ucapnya. Lalu ia beranjak meninggalkanku.
Aku tertegun. Tapi tak berusaha menimpali. Memilih untuk segera mengambil wudhu, agar aku tak
ketinggalan untuk melaksanakan shalat sunnah.

Selesai shalat zuhur, kulihat Hakim masih duduk di teras masjid. Entah siapa yang dia tunggu.

“Kenapa masih di sini?” Tanyaku.

“Nungguin kamulah,”

“Mau ngapain?”

“Mau memastikan kalau kakak iparku ini benar-benar pulang ke rumah habis ini. Soalnya dia kan lagi
merajuk sama suaminya, takutnya dia kebut-kebutan terus bunuh diri lagi,” sahutnya sambil tertawa
mengejek.

Aku mendengus. “Kurang kerjaan kamu!” Umpatku seraya mengenakan sepatuku. Kemudian aku berlalu
tanpa menghiraukan lelaki itu.

“Fii amaanillaah, Jihan!” Ia berjalan mendekatiku. Kebetulan mobilnya terparkir dekat dengan motorku.
“Ingat, apa yang kamu lihat belum tentu seperti yang kamu bayangkan,” ujarnya. “Yang terpenting,
kamu harus percaya pada Amran apapun yang akan ia katakan nanti,”

“Berhentilah mengoceh, aku pusing!” ucapku sambil memasang helm.

Hakim hanya tersenyum, hingga aku berlalu dari hadapannya. Entah apa maksud kata-katanya itu.
Seolah dia tahu dan paham apa yang sedang terjadi. Lalu apakah dia juga mengenal perempuan
bernama Zainab itu? Ih, risih sekali kalau mengingat cara dia memandang suamiku, ganjen! Apa ayahnya
yang seorang ustaadz itu tidak memberi tahunya bagaimana cara menundukkan pandangan?
Astaghfirullaah! Ampuni aku yaa Rabb!
Begitu sampai di rumah, kulihat mobil Amran sudah terparkir di garasi. Dia lebih dulu sampai dariku.
Bukannya dia mau pulang sore ya? Kuraih ponselku, dan ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Amran.
Aku lupa mengaktifkan nadanya sehabis shalat di masjid tadi.

***

Kutemukan Amran sedang berkhalwat dengan mushafnya di teras balkon. Khusyuk sekali sampai ia tak
menyadari kehadiranku. Lalu aku ikut mendaratkan tubuhku di sampingnya, hingga ia tampak sedikit
kaget. Amran menyudahi tilawahnya, lalu meletakkan mushaf kecil itu di meja. Meraih tangannya dan
menciumnya penuh ta’dzhim.

“Katanya pulang sore, kok udah sampai aja jam segini?” Tanyaku.

“Kamu lebih penting dari urusan kampus, makanya abang buru-buru pulang.”

“Gombal!”

Amran tersenyum. “Kenapa baru sampai di rumah? Kamu dari mana saja?”

“Tadi mampir ke masjid dulu buat shalat zuhur,” sahutku datar.

“Lalu kemana lagi?” ia menatapku dengan mata yang membulat.

“Nggak kemana-mana,” kilahku.

“Serius?”
“Kalau nggak percaya tanya aja sama Hakim, tadi aku ketemu kok sama dia di masjid,” sahutku mulai
kesal.

Wajah Amran seketika berubah, “Hakim?”

“Iya, kenapa?”

“Kenapa kalian bisa ketemu?” Ada nada curiga dalam kalimatnya.

“Kita kebetulan aja kok ketemu di masjid yang sama. Kenapa? Cemburu juga? Satu sama dong!” jawabku
cuek.

Amran menghela napas. Wajahnya mulai serius. “Jihan...,”

“Zainab itu siapa? Tolong beri penjelasan!” Potongku. Aku tak tahan lagi ingin tahu siapa perempuan itu.
Tak ingin juga Amran berkilah membahas soal yang lain.

“Apa sebegitu pentingnya untukmu mengetahui siapa dia?”

“Kenapa tidak? Aku tidak tahan melihat caranya memandangmu, Bang. Rasanya pengen aku ...”

“Dia pernah menjadi bagian dari cerita hidup abang,” potongnya.

“Maksudnya?”
“Ayahnya dulu sangat berharap kalau abang yang menjadi pendamping hidup Zainab. Karena Zainab
sendiri juga menaruh hati pada abang, tapi sayangnya... abang tidak tertarik sedikit pun dengannya.
Meskipun dia memiliki segalanya,”

“Kenapa? Bukankah dia cantik?” Ada gemuruh di dada saat kata-kata itu terucap.

Amran tertawa kecil. “Abang tidak mencari perempuan cantik,” ujarnya, “tapi abang mencari
perempuan penuh cinta, yang tentunya akan menjadi ibu dari anak-anak abang nantinya.” Ia
merebahkan kepalaku di bahunya.

“Lalu, kenapa dia bisa mengajar di kampus abang? Apa maksudnya? Apa dia bermaksud mencari
perhatianmu lagi?’

Amran terkekeh. “Karena cuma dia yang berkompeten di bidang itu. Dia lulusan terbaik, dan kampus
abang membutuhkan orang seperti dia. Jadi mau tidak mau, dia harus berada di sana,”

“Bagaimana kalau dia berusaha merebut abang dariku?” aku menegakkan kepala dan menatap lekat
wajah suamiku.

“Apa semudah itu bagi seorang wanita merebut hati abang?” Ia balik bertanya.

“Kenapa tidak? Bukankah kalian akan bertemu setiap hari? Dan ...”

“Jihan,” ia memotong kalimatku, “cukup percaya dengan abang, itu saja!”

“Tapi cara dia memandang abang membuat aku kesal Bang!”

“Biarkan saja dia begitu, toh suamimu ini tidak melakukan hal yang sama kan?”
“Di depanku memang tidak, tapi di belakangku siapa yang tahu?” Sungutku.

“Jihan, kamu memang pencemburu banget ya? Tapi nggak apa-apa, itu tandanya kamu memang
mencintai abang,” ia tersenyum seakan penuh kemenangan.

“Awas ya, kalau aku dengar ada gosip begini begitu dari kampus!”

“Awas juga kalau kamu juga sering ketemuan sama Hakim di belakang abang!” Amran tak mau kalah.

Aku membelalakkan mata. “Wallaahi, aku tidak pernah melakukan itu Bang, itu hanya kebetulan saja!”
Sanggahku tidak terima akan tuduhannya.

Amran tertawa lebar. “Iya, iya, abang percaya. Gitu aja kok marah,” ia mencubit hidungku. Aku hanya
memanyunkan bibir sambil menjatuhkan kepalaku ke dadanya yang hangat. Melingkarkan tanganku di
pinggangnya, dan merasakan detak jantungnya yang terdengar begitu indah di telinga. Walau Amran
sudah mengatakan dengan jujur tentang Zainab, tapi hatiku belum bisa tenang. Zainab itu cantik dan
pintar, apa mungkin kalau nanti Amran tidak akan tergoda olehnya?

“Oh ya, kamu mau nggak kalau kita hidup mandiri?”

Aku melepas pelukanku. “Maksud abang, abang mau kita pindah?”

Amran mengangguk. “Kita ambil rumah dekat kampus saja, mau?” Matanya berbinar.

“Kalau kita tetap di sini, apa abang keberatan? Kasihan umi dan abi nggak ada yang menemani mereka,”
bujukku.
“Tapi akan jauh lebih besar mudharatnya jika kita tetap di sini,”

“Kenapa?”

Lelaki itu menatapku. “Karena kamu dan Hakim pasti akan sering ketemu meskipun dia tidak tinggal di
sini. Dan abang tidak suka itu. Abang takut kalau...kalau sesuatu terjadi diantara kalian. Meskipun kalian
sudah sama-sama menikah, tapi yang namanya syaitan akan tetap menggoda dengan jalan apa pun.
Kamu paham kan maksud abang?”

Pelan aku mengangguk. Menghela napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Amran ada benarnya
juga, tapi walau bagaimanapun aku juga tidak tega membiarkan umi dan abi tinggal berdua saja di
rumah sebesar ini. Pasti mereka akan kesepian. Namun mentaati Amran lebih utama bagiku, karena dia
suamiku.

“Nanti kita bicarakan sama abi dan umi ya, Bang?”

“Iya, insyaaAllah. Pasti itu,” Amran tersenyum.

Tiba-tiba ponsel Amran yang terletak di atas meja berdering. Secara spontan aku meraihnya dan
membaca nama yang tertera di layarnya. Zainab?

Aku dan Amran saling berpandangan. Ah, baru saja aku menuntaskan masalah ini, dia langsung
mengganggu waktu berdua kami. Ada apa sih dia?

Kusodorkan ponsel itu pada Amran.

“Boleh abang angkat? Siapa tahu penting,”

Aku menggeleng kuat-kuat. “Nggak boleh.” Tegasku.


“Oke kalau begitu,” Amran merijek panggilan itu dan menon-aktifkan selulernya. Kemudian tangannya
kembali ia lingkarkan ke bahuku, membawa kepalaku rebah di bahu kokoh miliknya.

Lantunan ayat-ayat suci mengalir indah dari bibir Amran, membuat jiwa terasa damai dan enggan
beranjak dari sisinya.

*B E R S A M B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*

*PART_11*

Tak semua kehidupan akan berjalan dengan mulus. Begitupun dengan kehidupan rumah tangga. Pasti
ada saja ujian demi ujian yang akan menempa. Tak peduli apakah usia pernikahan itu masih seumur
jagung atau sudah setengah abad lamanya. Hanya tinggal kita saja yang harus tahu bagaimana cara
menyikapinya.
*** *** *** ***

Sudah sebulan lamanya aku tinggal berdua dengan Amran. Sebuah perumahan sederhana yang terletak
dekat dengan kampusnya. Umi dan abi tidak keberatan saat kami mengutarakan niat kami untuk belajar
mandiri. Hanya saja setiap akhir pekan, orang tuaku meminta agar kami menginap di rumah mereka.

Seperti Sabtu sore ini, ketika kami berdua hendak berangkat ke rumah abi, tiba-tiba saja ada tamu yang
datang tanpa diduga. Ustaadz Zainal. Beliau ingin bertemu Amran katanya dan ada hal penting yang
ingin ia sampaikan. Hingga kami menunda untuk berangkat.

Setelah menyajikan minuman hangat dan sedikit cemilan, aku pun memilih untuk duduk di ruang
sebelah, tepatnya di ruang keluarga tempat kami berdua biasa menonton televisi. Tapi suara mereka
cukup jelas terdengar dari sini. Sehingga aku bisa mendengar tanpa perlu hadir diantara mereka.

“Maaf, Amran. Jika kedatangan saya mengganggu acaramu dan istri,” ujarnya sungkan.

“Ah, tidak sama sekali ustaadz, kami hanya mau nginap di rumah orang tua Jihan kok. Dan kebetulan
rumah beliau dekat saja, masih di dalam kota,” sahut Amran.

“Ooh, begitu...,” ucapnya.

Sejenak suasana menjadi hening. Hanya bunyi detik jam di dinding yang terdengar.

“Amran...,” Ustaadz Zainal memecah keheningan. “Saya tahu kalau ini adalah untuk yang kesekian
kalinya saya meminta kepadamu, walaupun saya tahu mungkin jawabanmu masih sama seperti
kemarin-kemarin. Tapi demi Zainab, saya tidak akan pernah merasa lelah, saya akan terus mencoba
untuk mengetuk hatimu, agar mau menerima Zainab. Meskipun putri saya harus jadi istri kedua,”

‘Apa? Zainab ingin menjadi istri kedua Amran? Ternyata benarkan apa yang aku kira selama ini, kalau
Zainab ada maksud tertentu dengan suamiku.’ Tiba-tiba dadaku terasa sesak, menahan sebuah amarah
yang bersarang di dada. Kucoba beristighfar berulang kali. Toh aku belum mendengar jawaban Amran
kan?

“Maaf ustaadz, seperti jawaban saya kemarin, saya belum mampu untuk berpoligami. Apalagi saya
sangat mencintai istri saya, rasanya kalau saya menduakan dia, sungguh tidak adil untuknya,” jawab
Amran lugas.

“Tapi Zainab juga sangat mencintaimu Amran, bahkan sampai sekarang dia masih menunggumu,”

“Sekali lagi saya mohon maaf ustaadz, saya tidak bisa,”

“Apa syarat yang harus saya penuhi agar kamu mau menerima Zainab?” Sepertinya beliau belum juga
menyerah.

Amran menghela napas, ia bingung bagaimana menghadapi lelaki di hadapannya yang terkesan
memaksakan kehendak.

“Saya tidak akan mengajukan syarat apa-apa ustaadz, karena memang saya tidak bisa menerima Zainab.
Saya sudah memiliki Jihan, dan itu sudah cukup untuk saya!”

“Walau saya memohon kamu tetap menolak?” Mata beliau berkabut. Suaranya juga terdengar lirih.
“Saya tidak sanggup melihat Zainab yang terlalu mencintaimu. Tahukah kamu waktu Zainab mendengar
berita pernikahanmu dia hampir saja nekat bunuh diri?”

Mata Amran membesar. “Bunuh diri?”

“Iya, bahkan saya hampir saja kehilangan anak saya satu-satunya itu. Saya hanya ingin melihat anak saya
bahagia. Dan satu-satunya kebahagiaannya adalah kamu Amran,”
Amran tercekat. Ia jadi merasa serba salah.

Kenapa beliau seperti memaksa Amran? Bukankah Amran sudah jelas-jelas menolak?

“Jadi sekali lagi, saya mohon, pikirkan sekali lagi Amran! Saya mohon!”

“Ustaadz jangan memohon begitu. Saya bukan siapa-siapa, masih banyak lelaki shalih yang lebih pantas
mendampingi Zainab ketimbang saya. Atau kalau perlu nanti saya akan ta’arufkan dengan rekan saya,”

Beliau menggeleng sedih. “Zainab hanya mau menikah denganmu, katanya kalau bukan denganmu dia
tidak akan menikah seumur hidup.” Pungkasnya.

Amran terdiam. Lama sekali. Hingga akhirnya Ustaadz Zainal pamit undur diri. Tapi ia masih sempat
berkata sesuatu sebelum meninggalkan rumah kami.

“Tolong pikirkan sekali lagi Amran, saya akan selalu menunggu kabar baik darimu,”

“InsyaaAllah ustaadz,” hanya jawaban itu yang kudengar dari bibir Amran.

“InsyaaAllah?” Aku langsung keluar dan menemui Amran setelah memastikan ustaadz Zainal pergi.
Lelaki itu tampak terkejut. Mungkin ia tak menyangka kalau sedari tadi aku mendengar percakapan
mereka. Sebab dia pikir aku tadi di kamar, seperti kebiasaanku saat dia ada tamu.

“Kalau jawaban abang InsyaaAllah, berarti ada kemungkinan abang mau menerima perempuan itu kan?”

“Jihan kamu salah paham. Bukan begitu maksud abang, abang hanya nggak tahu harus jawab apa.
Ustaadz Zainal cenderung memaksa, abang bingung,”
“Tapi sebenarnya abang juga senangkan? Punya fans sejati seorang wanita cantik seperti Zainab?”
Tuduhku sambil tersenyum sinis.

“Jihan, sudahlah! Jangan memperkeruh suasana. Seharusnya kamu bantu abang untuk keluar dari
dilema ini, bukan malah sebaliknya!” Amran sedikit emosi.

“Kenapa harus merasa dilema? Nikahi saja dia! Gampang kan? Dan masalah selesai. Bukankah abang
sebenarnya juga menyukai dia?”

“Astaghfirullaah, Jihan! Bukankah abang sudah pernah bilang kalau abang sama sekali tidak tertarik
dengan wanita itu. Kalau memang abang suka sama dia, sudah dari dulu abang menikahinya. Dan bukan
kamu yang ada di sini sekarang! Paham?” Suara Amran meninggi. Tampaknya ia mulai emosi. Entah
karena kata-kataku entah karena sedang merasa tertekan akibat permintaan Ustaadz Zainal yang
cenderung memaksa.

Napasnya tampak tersengal. Begitu pun denganku. Emosi sedang menguasai kami berdua.

Menyambar kunci motor di atas meja, lalu aku bergegas keluar dari rumah.

“Jihan, kamu mau kemana? Jihan, tunggu!”

Tak kupedulikan teriakan Amran. Dan terus melaju dengan motor matic-ku.

Aku tahu ini salah, meninggalkan rumah tanpa izin suami. Tapi aku harus apa? Amran bilang tidak mau
menduakanku, dia belum siap untuk poligami, tapi kenapa dia seolah memberi harapan pada
perempuan itu ketika Ustaadz Zainal memaksa? Ah, laki-laki memang suka begitu, munafik!

*B E R S A M B U N G*

#MENENTANG_TAKDIR
#PART_12

Ketika ilmu agama hanya di telan sampai tenggorokan. Ketika tingginya ilmu tidaklah menjamin akhlaq
seseorang. Ketika cinta tidak diletakkan pada tempatnya. Ketika nafsu lebih diutamakan dibanding akal.
Di sanalah syaithan ikut berperan.

************************************************************

Tok! Tok! Tok!

“Jihan! Abang boleh masuk?” Terdengar ketukan pintu dan suara Amran di balik pintu kamar yang
sengaja kukunci.

Aku tak menjawab. Mencoba mengabaikan panggilannya. Terus saja menarikan jari-jariku di atas
keyboard laptop.

“Jihan! Abang minta maaf kalau abang salah, semua bisa kita bicarakan baik-baik,”

Kuhela napas perlahan. Mencoba berpikir jernih atas semua kejadian ini. Sebenarnya memang bukan
salah Amran, tapi cara dia memberikan jawaban pada ustaadz Zainal itu yang membuatku kesal. Seolah
dia memberi harapan untuk perempuan itu. Bukannya menentang poligami, hanya saja aku belum siap
dan belum mampu untuk menjalankan syariat yang satu itu. Aku tidak siap berbagi cinta.

“Jihaaan...,” Amran masih saja tidak menyerah.

Bangkit dari duduk, menuju ke arah pintu, memutar kunci dan menguak pintu berukuran cukup besar
itu. Kutemukan raut wajah lelaki yang tengah gundah di sana. Senyumnya mengembang saat ia
melihatku.
“Jihan?”

Aku memalingkan wajahku darinya. “Abang pulang saja, biar aku yang menginap di sini sendiri.”

Senyumnya surut, lalu tangannya menggapai jemariku. Kubiarkan ia menggenggamnya.

“Jihan, kamu salah paham. Sungguh tidak ada niat sedikit pun di hati abang untuk membawa wanita lain
dalam kehidupan kita. Mendidik seorang istri itu penuh tanggung jawab besar, sebab itulah abang tidak
mampu untuk berpoligami. Satu istri saja belum tentu mampu abang pertanggungjawabkan,” jelasnya.

Aku masih bergeming.

“Apalagi pernikahan kita baru beberapa bulan, ini hanya ujian Jihan. Jangan kalah dengan ujian kecil
seperti ini. Sudah abang bilang bukan, percaya pada abang!”

Kutepis tangannya dengan halus. “Aku sedang ingin sendiri,”

Amran menghela napas lalu ia mencoba tersenyum. Senyuman itu selalu terlihat tulus dalam kondisi apa
pun.

“Baiklah kalau begitu maumu. Tapi besok sore abang jemput ya?”

Aku tak menjawab.

“Abang pulang dulu. Jangan lupa untuk shalat tepat waktu, tilawah dan murajaah. Meskipun abang tidak
di sini hapalanmu harus tetap ditambah.” Pesannya.
Lelaki itu membalikkan tubuhnya, berjalan gontai menuruni anak tangga. Hanya mampu kutatap hingga
punggungnya tidak lagi kelihatan. Ego wanita mengalahkan segalanya.

Baru saja aku hendak menutup pintu kembali, Umi datang tergopoh dari ujung tangga.

“Jihan!” Panggilnya.

Kuurungkan niat untuk menutup pintu. “Ada apa, Mi?”

“Umi mau bicara sebentar, kita duduk di balkon yuk!”

Aku mengangguk dan mengekori beliau. Lalu kami sama-sama mendaratkan tubuh di sofa berwarna
coklat tua itu.

“Mau bicara apa sih, Mi? Kayaknya penting banget ya?” Tanyaku penasaran.

Umi tersenyum, lalu menatap lekat mata bermanik coklat muda milikku.

“Apapun masalahmu, jangan pernah menjauh dari suami. Kamu harus tetap berada di sisinya,”

Aku tertegun. Membuang pandangan dari tatapan mata umi.

“Bukannya umi mau ikut campur dalam urusan rumah tangga kalian, tapi umi wajib memberimu
nasehat. Sebab umi tak ingin kamu salah dalam bersikap. Ingat Nak, suamimu adalah surga dan
nerakamu. Kamu tahu itu kan Sayang?”
Mengangguk pelan, lalu kembali kutatap matanya.

Umi tersenyum. Ia mengusap kepalaku. “Kamu sudah dewasa, pasti tahu mana yang baik dan mana
yang tidak baik. Ada kalanya masalah itu harus segera diselesaikan, tanpa membiarkannya berlarut-
larut.”

“Tapi saat ini Jihan lagi pengen sendiri Mi, bolehkan?”

“Boleh, asal Amran sudah memberimu izin. Tapi jika Amran belum memberi izin, umi terpaksa harus
menyuruhmu pergi dari sini.” Jawabnya tegas.

“Iya Mi, tadi bang Amran udah kasih izin kok. Besok sore dia jemput Jihan ke sini.”

“Baiklah kalau begitu,” Umi bangkit dari duduknya, “Umi mau lihat abi dulu ke kamar ya, udah mau
maghrib, beliau pasti mau berangkat ke masjid. Kamu udah mandi belum?”

Aku menggeleng sambil nyengir, “belum Mi.”

“Ishhh, sana mandi dulu!” Umi pun berlalu dari hadapanku.

Menatap langit yang berwarna jingga. Ada semburat lembayung menemani jingga, memberi keindahan
tersendiri pada lukisan alam itu. Jingga yang akan segera hilang ditelan pekat malam, berganti temaram
sinar bulan.

Bangkit dari duduk menuju kamar. Membasuh diri, bersiap menghadap sang Maha Pembolak-balik hati.

***
Sedang apa lelaki itu sekarang? Sudah makankah ia malam ini?

Ya Allah! Dia mau makan apa? Bukannya aku hari ini tidak masak karena kami rencana awalnya mau
nginap di sini? Kasihan dia, padahal dia tidak bisa terlambat makan. Bisa-bisa maag-nya kambuh.

Segera aku berlari ke bawah. Mengambil rantang dan memasukkan makanan secukupnya. Kemudian
memesan ojek online untuk mengantarnya buat Amran. Marahku tak membuat rasa cinta dan perhatian
ini surut untuknya.

[Terima kasih makanannya Sayang, hampir saja abang mati kelaparan]

Begitu pesan yang Amran kirim melalui WA.

Aku tersenyum. [Lebay, kan bisa beli di luar makanannya]

[Tapi makanan dari istri tercinta lebih enak. Jazaakillaah khairan Jihan, uhibbuki fillaah]

Jiaaah, dia ngegombal! [Nggak usah ngegombal! Aku lagi marah lho ini]

[Tapi kenapa masih mau kirim makanan buat abang?]

Aku tidak membalas pesannya.

[Jihan, abang ke sana sekarang ya?]

[Jangan! Udah malam]


[Kangen]

[Bodo]

Aku mengulum senyum. Membayangkan wajah lelakiku itu.

[Ya udah deh, kangennya ditunda sampai besok aja. Tidur yang nyenyak ya Sayang, mimpinya sama
abang, jangan sama Hakim]

[Abang juga, mimpinya harus sama aku jangan sama Zainab]

[Mudah-mudahan ketemu dua-duanya dalam mimpi]

[Abaaaaaaaaaaang, cepetan kesini! Aku tungguin!]

[Meluncuuuuuur]

Huh! Walaupun itu cuma guyonan tapi aku tetap nggak rela. Dia berhasil memancingku. Terpaksa
ngambeknya udahan, dari pada dia benar-benar mimpi sama itu perempuan.

Akhirnya aku duduk di teras depan, menunggu Amran datang.

***

Hujan lebat mengguyur kota wisata saat aku baru saja sampai di depan kampus Amran. Baju dan hijabku
basah karena hujan yang datang tiba-tiba. Aku sengaja berjalan kaki dari rumah yang kebetulan memang
dekat dari kampus, cuma butuh waktu sepuluh menit saja.
Sengaja aku datang ke sini, sebab Amran tidak sempat pulang untuk makan siang. Jadi aku berinisiatif
untuk membawakan makanan untuknya. Aku juga tidak memberitahu Amran perihal kedatanganku,
hitung-hitung ngasih surprise sekali-sekali.

Tak peduli dengan pakaianku yang basah, aku melangkah penuh percaya diri menuju ruangan Amran.
Membayangkan senyum bahagia yang akan kudapat darinya. Serta kata-kata gombal yang biasanya akan
selalu menyertai ucapan terima kasih darinya.

Seketika langkahku terhenti. Ketika melihat seorang perempuan keluar dari ruangan Amran. Dadaku
bergemuruh. Jantung seakan terbakar.

Kebetulan kami berpapasan. Aku menghadang langkahnya.

“Maaf, Bu Zainab. Bisa bicara sebentar?”

Mata Zainab membesar saat menyadari siapa yang berdiri di hadapannya kini. Ia menatapku dari kepala
sampai kaki. Ada senyum sinis terlukis meskipun tidak terlalu kentara. Tapi aku bisa melihatnya.

Berusaha menahan emosi agar tak meledak, dan mencoba bersikap elegan di hadapan perempuan ini.

“Iya boleh,” sahutnya. Paras cantiknya semakin terlihat dengan hijab merah muda yang ia kenakan.
Mungkin lelaki bodoh yang bisa menolak pesonanya.

“Maaf kalau saya lancang, ada keperluan apakah ibu di ruangan suami saya tadi?”

Zainab menatap tak suka padaku. “Saya di sini sebagai karyawan, dosen pengajar, jadi tidak ada
salahnya jika saya harus keluar masuk ruangan bang Amran,”
Apa? Bang Amran? Dia sebut bang Amran? Sok dekat sekali dia dengan suamiku.

“Iya, saya tahu itu. Tapi saya tidak terlalu suka jika anda terlalu sering mendekati suami saya. Apalagi
mencari-cari alasan agar bisa bertemu suami saya. Jaga pandangan matamu dari laki-laki yang bukan
mahrammu!” Tegasku.

Lagi-lagi perempuan itu tersenyum sinis. “Makanya, kamu tahu diri. Kamu itu tidak pantas bersanding
dengan Amran. Dia terlalu sempurna untukmu. Bodoh sekali rasanya Amran tidak mau menikah
denganku dan lebih memilihmu!”

Ucapannya begitu menghunjam jantungku. Tapi aku tetap berusaha tenang, menjaga kewarasan agar
tak terlihat begitu bodoh dan rendah di matanya. Tidak pernah kuduga lisannya begitu tajam. Tertutup
oleh penampilannya yang terlihat begitu shalihah.

“Seharusnya anda yang sadar diri, berpikirlah! Kenapa dia lebih memilih saya yang buruk rupa ini
ketimbang anda yang cantik rupawan,” ah, aku sendiri tak suka dengan kata-kata yang kulontarkan.

Zainab terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan berkata seperti itu padanya.

“Oh ya satu lagi! Kalau memang benar anda merasa lebih segala-galanya dari saya, maka katakan pada
ayah anda, untuk tidak lagi mengemis cinta pada Amran. Bukankah dengan segala kelebihan yang anda
miliki, anda bisa saja mendapatkan lelaki mana pun yang anda mau tanpa merebut suami orang?”

Napas Zainab naik turun, emosinya benar-benar naik kali ini mendengar setiap kata yang kuucapkan. Ia
bersiap mengangkat tangan kanannya untuk ia layangkan ke pipiku.

“Zainab!” Sebuah teriakan membuat perempuan itu terperanjat dan menghentikan aksinya. Ia sungguh
tak menyangka, jika Amran datang disaat yang tepat.

Lelaki itu berjalan mendekati kami berdua. Wajahnya terlihat marah bercampur khawatir melihatku.
“Apa yang kalian lakukan?”

“ Tanyakan pada istrimu yang suka menghinaku ini!” Sahut Zainab seakan berusaha membalikkan fakta.
Mataku membesar menatapnya, lalu kutatap Amran dan menggeleng kuat-kuat sebagai kode bahwa
ucapan Zainab itu sama sekali tidak benar.

“Silahkan kembali keruanganmu!” Perintah Amran pada Zainab.

“Aku tidak mau.”

“Jangan membantah! Aku bisa saja membuatmu berhenti dari kampus ini.”

“Aku tidak peduli. Aku hanya ingin kamu melihatku sedikit saja, aku ingin kita bisa ...”

“Zainab, sudahlah hentikan! Tidak ada gunanya membahas hal yang sama di sini. Ini tempat umum.
Lagian kamu sudah lihat sendiri kalau aku sudah memiliki istri. Jadi tidak mungkin aku bisa menikah
denganmu! Ini juga salah satu alasan kenapa dulu aku tidak memilihmu sebagai istri, kamu terlalu egois,
hanya mementingkan diri sendiri tanpa peduli dengan orang perasaan orang lain.” Tegas Amran.

“Tapi aku mau berubah demi kamu, dan aku juga rela jadi istri keduamu, bang!”

Aiiih, tak punya harga diri sekali perempuan ini.

“Maaf Zainab, aku tidak mampu untuk berpoligami. Dan aku juga tidak mau menyakiti hati istriku
dengan membagi cintaku untukmu. Paham kan?”

Zainab bergeming. Hujan turun semakin deras menampar bumi.


Amran menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya. Menuntunku menuju sebuah ruangan yang tadi
hendak kutuju. Untung suasana di sini sepi, hingga tak ada yang melihat kejadian memalukan ini. Zainab
masih terpaku di tempatnya berdiri hingga tubuh kami berdua menghilang di balik ruangan yang cukup
besar itu.

“Kamu tidak apa-apa, Jihan?” Tanya Amran begitu kami sudah berada di ruangannya.

“Iya, aku baik-baik saja.” Sahutku.

“Bajumu basah, kamu kehujanan ya?”

Aku mengangguk. “Tadinya aku bermaksud mengantar makanan ini untuk abang, eeeh rupanya
kehujanan,” aku menaruh makanan itu di meja. Dan terkejut ketika melihat ada rantang lain terletak di
sana.

“Ini punya siapa?”

“Zainab.”

“Apa?” Aku terbelalak.

“Jangan melotot dulu. Tadi dia ngasih makanan itu buat abang, sudah di tolak tapi dia bersikeras. Dari
pada dia kelamaan di ruangan ini ya abang suruh tarok di situ. Nanti kita kasih ke security aja dari pada
mubazir.” Jelasnya panjang lebar.

Aku mendelik. “Serius jalan ceritanya seperti itu?”


“Astaghfirullaah..., istriku ini selalu nggak percaya ama suaminya.” Amran mencubit hidungku. “Ayo
abang antar pulang, ganti bajumu biar nggak masuk angin.” Amran beranjak mengambil tas kerjanya.

“Truss makanannya?”

“Kita bawa lagi, nanti makan di rumah aja sama-sama.”

“Lho? Katanya tadi nggak bisa pulang buat makan siang!”

“Itu kan tadi, sekarang beda. Nggak tega lihat kamu pakaiannya basah begini.”

“Isshhh, gombal lagi!” Sungutku.

“Tapi kamu suka kaaaaaaan?”

Kucubit pinggangnya hingga ia meringis menahan sakit.

***

“Tadi itu kenapa sih bisa berantem gitu sama Zainab?” Tanya Amran saat kami baru selesai menyantap
hidangan makan siang.

“Bukan berantem, Bang. Tapi tadi itu aku cuma ngajak dia bicara baik-baik kok. Eeeh, dia nyolot. Ya aku
ladenin,”

Amran tertawa kecil. “Harusnya kalau bicara itu jangan di tempat umum begitu. Kalau didengar orang
kan malu.”
“Habis aku kesal aja kalau lihat dia, nggak bisa menjaga pandangan dan sikap. Percuma aja hijabnya
panjang tapi...”

“Ssstttt! Jihan, jangan berkata seperti itu. Hijab itu nggak ada hubungannya sama tingkah laku
seseorang. Hijab itu kewajiban, sedangkan tingkah laku itu tergantung pribadi masing-masing,”

Aku terdiam, membenarkan ucapan Amran. “Iya Bang, maaf. Aku terlalu emosi,”

“Kamu kan memang selalu emosian, suka meledak kayak petasan. Hal kecil bisa jadi besar,” ejeknya.

“Jangan mulai deh!” Sungutku.

Amran terbahak. Matanya menatap tubuhku yang tengah merapikan meja makan.

“Kamu gendutan ya?”

“Masa sih?” Aku mulai gusar dengan perkataan Amran.

“Iya, kamu nggak nyadar apa itu perut rada maju? Pipi juga sedikit tembam,”

Aku meraba perut dan pipiku. Iya benar. Apa karena akhir-akhir ini aku suka ngemil ya? Nafsu makanku
juga naik drastis. Oh ya, aku lupa kalau bulan ini aku belum haid. Apa aku...

“Udaaah, nggak usah gusar gitu. Baguslah kalau kamu gendutan, berarti aku sukses jadi suami yang baik
untukmu.” Ujarnya dengan wajah bangga.
“Bukan begitu bang!”

“Lalu?”

“Antar aku ke dokter sore nanti!”

“Mau ngapain? Mau sedot lemak?”

“Jangan bercanda terus!” Jawabu ketus.

Terpaksa ia diam dan mengiyakan tanpa banyak bertanya lagi.

*C E R B U N G*

*MENENTANG_TAKDIR*

*PART_13*

“Selamat ya, Bu. Ibu tengah hamil 4 minggu.” Wanita berkerudung putih itu tersenyum, seakan ikut
merasakan kebahagiaanku mendengar pernyatannya.
Mataku membesar. “Saya hamil, Dok?” Tanyaku tak percaya.

Wanita itu mengangguk yakin.

“MaasyaaAllah, walhamdulillaah, suami saya pasti senang sekali mendengar berita ini, Dok.”

“Pastinya dong, Bu. Oh ya, tapi...Bu Jihan harus menjaga kandungan trimester pertama ini dengan baik.
Nggak boleh terlalu capek, kontrol emosi, dan makan makanan yang bergizi. Jangan terlalu banyak
berpikir yang berat-berat, rileks aja agar janinnya juga happy di dalam sana.” Ujarnya seraya tersenyum
dan menulis sesuatu disehelai kertas resep.

“InsyaaAllah, siap Dokter.” Sahutku tak dapat menyembunyikan rasa bahagia ini.

“Ini saya kasih resep vitamin untuk Bu Jihan, jika di rasa butuh silahkan di tebus, jika tidak juga tidak apa-
apa. Yang penting pola makan dijaga, makan makanan yang bergizi,” beliau menyerahkan secarik kertas
itu padaku.

“Baik, Dokter. Terima kasih banyak.” Kuterima kertas itu. “Kalau begitu saya permisi dulu ya, Dok?
Assalaamu’alaykum!”

“Wa’alaykumussalaam,”

Dengan raut wajah yang begitu bahagia, aku melangkah keluar dari ruangan itu. Tak sabar rasanya untuk
memberitahu Amran. Aku sengaja memintanya menunggu di luar saja.

“Jihan, gimana? Apa kata dokter? Kamu beneran hamil?” Ia memberondongku dengan pertanyaan saat
aku baru saja tiba di luar.

Aku tersenyum, begitu sumringah, lalu mengangguk. “Iya, Bang. Aku hamil.”
“MaasyaaAllah, walhamdulillaah!” Lelaki itu langsung memelukku dan mengangkat tubuhku sambil
berputar-putar layaknya film bollywood. Seolah tak peduli tatapan orang-orang sekitar yang hanya bisa
senyum-senyum saja melihat tingkahnya.

“Abang apa-apaan sih? Turunin aku, malu tahu dilihat orang,”

“Kenapa malu? Sama istri sendiri kok, bukan istri orang.” Tukasnya cuek.

“Tapi aku pusing, Bang!”

Amran langsung menghentikan aksinya lalu menurunkan tubuhku. “Maaf, Sayang. Abang terlalu
bahagia,” ia memegang kedua belah pipiku. Matanya terlihat berbinar.

“Sebentar lagi abang akan menjadi ayah. Ya Allah, kenapa jadi nggak sabaran gini ya?”

“Sabar Bang, masih delapan bulan lagi,”

Amran tertawa kecil. Lalu ia menggandeng tanganku untuk segera meninggalkan tempat praktek dokter
kandungan itu.

“Kak Jihan? Bang Amran? Kalian ngapain di sini?”

Kami terkejut saat menjumpai Madya dan Hakim di pintu keluar.

Aku dan Amran saling berpandangan dan tersenyum penuh arti.


“Jangan-jangan...kak Jihan hamil ya?” Tebaknya.

Aku mengangguk dan tersenyum. “Iya, Madya. Alhamdulillaah,”

“Waaah, maasyaaAllah,” Madya memelukku erat, “selamat ya Kak, aku seneng banget dengernya,”

Lalu ia melepas pelukannya.

“Selamat ya Amran!” Hakim menepuk pundak sepupunya.

“Terima kasih. Aku baru tahu, ternyata begini rasanya saat tahu kalau istri kita hamil,” ujarnya sambil
tertawa kecil.

“Eh, kamu ke sini ngapain?” Tanyaku pada Madya.

“Mau kontrol aja kok, Kak. Ini Bang Hakim suka cerewet kalau dalam sebulan aku nggak kontrol.” Ia
melirik suaminya. Hakim cuma tersenyum simpul menanggapi ucapan Madya. Sejenak mata kami
sempat beradu pandang, namun beberapa detik hingga kami sama-sama membuang muka.

“Oh ya, kalau gitu kakak duluan ya? Udah sore nih!”

“Oke, Kak. Hati-hati ya?” Madya mencium punggung tangan kananku.

“InsyaaAllah, kamu juga hati-hati. Jaga kesehatan ya?”

Madya mengangguk dan tersenyum. Lalu kami pun berpisah. Amran kembali menggandeng erat
tanganku menuju parkiran.
Sempat aku menoleh ke belakang, dan di saat yang sama Hakim pun tengah melakukan hal yang sama
denganku. Beberapa lama hingga ia tersenyum. Ada sedikit celah luka yang berdarah. Sedikit sekali. Tapi
terasa perih.

Kulirik Amran, lelaki itu rupanya sedang memperhatikanku. Ia tersenyum. Lalu berbisik tepat di
telingaku, “abang tidak mau kalau nanti anak kita miripnya sama Hakim, bukan sama abang,”

Wajahku langsung terasa panas, sepertinya Amran melihat apa yang barusan terjadi. Aku hanya diam
tak menimpali. Rasanya untuk sesaat tadi aku merasa telah menjadi pengkhianat. Tapi sungguh, tidak
ada maksud sedikit pun. Hanya kebetulan. Dan terjadi begitu saja.

“Apa kamu belum bisa melupakan lelaki itu, Jihan?” Pertanyaan Amran membuat darahku berdesir.

“Ma-maksud abang apa?”

Lagi-lagi ia tersenyum, tulus. Meskipun ada semburat kecewa yang berusaha ia sembunyikan.

“Apa cinta yang abang berikan tidak cukup untuk mebatmu lepas dari bayangannya? Dan bukankah
kamu bilang kalau kamu sudah melupakannya dan mulai mencintai abang?”

“Bang...aku...,” entahlah aku harus jawab apa.

“Sudahlah, jangan gugup begitu,” Amran mengusap kepalaku, “abang mengerti, semua butuh proses,”
pungkasnya.

Hanya mampu tersenyum getir. Terbuat dari apa hati lelaki ini?
***

Kehamilanku ditrimester pertama ini sedikit menyulitkanku. Morning sickness, selalu muntah kalau
makan, serta rasa lelah yang berkepanjangan akibat tidak adanya makanan yang masuk ke perut.
Sempat di rawat selama beberapa hari, tapi aku tidak betah sehingga memutuskan untuk dirawat di
rumah saja. Dan rumah orang tuaku adalah pilihan tepat. Sebab saat Amran bekerja, ada mereka yang
menjagaku.

Sempat Amran ingin membayar perawat khusus untuk menjagaku tapi orang tuaku melarang. Karena
kata mereka, mereka masih sanggup menjagaku selama Amran tidak ada.

Fadil yag mendengar kabar tentangku menyempatkan diri untuk pulang. Ia begitu khawatir dengan
keadaanku.

“Azizah titip salam untukmu, maaf kalau dia tidak sempat ikut, sebab anak-anak semua pada sekolah,”
ujar Fadil pelan. Ia terenyuh melihatku terbaring lemah di atas ranjang.

“Iya, Bang. Nggak apa-apa kok. Abang sebetulnya juga nggak usah repot-repot datang ke sini. Ini cuma
sakit orang hamil kok. Bukan sakit yang berarti.”

“Abang belum pernah melihat wanita hamil kayak kamu, gimana abang nggak khawatir,” tukasnya
sambil mengacak rambutku. “Kenapa bisa kayak gini sih? Kamu terlalu banyak pikiran ya? Malas
makan?” Cecarnya.

“Enak aja, ini bawaan hamil Bang. Kondisi setiap wanita itu kan beda-beda,”

Fadil tersenyum. Ia menatapku lekat. “Kamu bahagia kan, Dik?”

“Wanita mana yang nggak bahagia saat ia merasa sempurna sebagai seorang istri?”
“Bukan, bukan itu maksud abang,”

Aku mengernyitkan dahi, “lalu?”

“Kamu bahagia bersama Amran?”

“Apa aku terlihat menderita?”

Fadil menggeleng. “Kamu terlihat bahagia, tapi hatimu masih sedikit terluka, dan sampai saat ini masih
sulit untuk disembuhkan.”

“Abang sok tahu!” Kilahku memukul pelan lengannya.

“Aku abangmu, aku tahu siapa dirimu, Dik. Bahkan sorot matamu tak bisa membohongiku.”

Mencoba tersenyum, “Amran sangat mencintaiku Bang. Aku sangat bahagia dan merasa beruntung
mendapatkan suami seperti dia,”

“Dan kamu sendiri? Apa kamu mencintainya?”

Aku menghela napas, “ya, aku mencintainya, lebih tepatnya mulai mencintainya dan belajar mencintai
seutuhnya,”

“Baguslah kalau begitu, abang senang mendengarnya. Setidaknya abang sudah lega, melepasmu ke
tangan seorang lelaki shalih seperti Amran. Oh ya, kamu mau abang belikan apa? Dari tadi belum makan
kan?”
Aku menggeleng lemah. “Aku nggak mau apa-apa, Bang. Pengen istirahat aja,”

“Jangan bandel, harus makan walau sedikit. Abang beliin bakso kesukaan kamu mau nggak?”

Seketika perutku mual membayangkan makanan yang biasanya jadi favoritku itu. “Nggak ah Bang,
membayangkannya saja aku mual sekali. Kalau boleh, aku minta dibikinkan jus saja boleh? Tapi yang
asem-asem yah?”

Fadil tersenyum, “everything for you!” ia kembali mengusap kepalaku. “Tunggu yaaa,” ia lalu bangkit
dan menghilang dari balik pintu kamarku.

Fadil, kasih sayangnya padaku tak pernah berubah sedikit pun. Bahkan di saat ia sudah memiliki keluarga
sendiri, aku tak pernah ia abaikan. Entah kenapa aku sendiri tidak tahu. Sedangkan dengan Madya dia
cenderung bersikap biasa saja, bahkan terkesan sedikit dingin.

***

Siang ini suasana rumah terasa sepi sekali. Kemana mereka semua? Biasanya Fadil sudah melancong ke
kamarku untuk sekedar menghibur dengan cerita-cerita konyolnya. Tapi sejak tadi batang hidungnya
tidak kelihatan. Sementara abi dan umi setahuku sedang pergi menghadiri kajian.

Dengan segenap tenaga yang masih tersisa aku mencoba bangkit dari ranjang. Mengenakan hijab lalu
menyeret langkah menuju pintu. Kepala terasa berat, tapi keinginan untuk melihat sinar matahari begitu
kuat setelah seminggu lamanya aku hanya berbaring di kamar.

Saat sampai di pintu kamar, aku merasakan udara masuk dari arah balkon menyapa wajah. Sejuk sekali.
Membuat seutas senyum mengembang di sudut bibir.
Kemudian aku menuruni satu persatu anak tangga dengan berpegangan pada sisinya. Kaki terasa
gemetar, hampir tak sanggup menahan masa tubuh. Hingga di pertengahan tangga aku merasa dunia
seakan berputar, mata terasa berkunang-kunang. Hampir saja aku jatuh kalau saja tidak ada sepasang
tangan kokoh yang menahan tubuhku. Saat lelaki itu baru saja masuk dan melihatku terhuyung di
tengah tangga, ia pun berlari mengejarku.

“Jihan!”

Wajahnya begitu khawatir.

Lalu di saat yang bersamaan, ketika tangan kokoh itu menahan tubuhku, Amran datang. Wajahnya
penuh amarah ketika ia melihat tubuh istrinya tersentuh oleh laki-laki yang bukan mahramnya.

“Apa yang kamu lakukan?” Amran mendekat dan berusaha menjauhkan tubuhku dari tangan lelaki itu.

“Aku hanya...”

“Menjauhlah!” Ia mendorong tubuh sepupunya itu dengan kasar.

“Amran jangan salah paham dulu, tadi aku...,”

Amran mengangkat tubuhku yang dalam keadaan setengah sadar ke kamar. Wajahnya masih penuh
amarah. Ia meletakkan tubuhku perlahan di atas ranjang. Tanpa berkata apa-apa ia kembali keluar.
Berlari menuruni anak tangga.

“Kamu sengaja datang ke sini saat tidak ada orang di rumah?” Cecarnya.

“Bukan, bukan begitu, aku hanya mengantar makanan buat Jihan dari Madya, dan aku tidak tahu kalau
di rumah tidak ada orang sama sekali,”
“Jangan banyak alasan!”

‘BUK!’ Satu pukulan mendarat di wajah Hakim. Membuat tubuh lelaki itu jatuh ke lantai. Ada darah
segar mengucur di sudut bibirnya.

“Amran, demi Allah kamu salah paham!” Ucapnya sambil berusaha bangkit.

Mendengar suara ribut mereka kesadaranku kembali seratus persen. Aku mencoba bangkit, dengan
terhuyung mencoba menyeret langkah keluar dari kamar.

“Jangan bersumpah dengan nama Allah! Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri, kamu
berusaha menyentuh Jihan saat dia sedang tidak berdaya! Laki-laki seperti apa kamu ini, ha?” Amran
sepertinya benar-benar sudah dikuasai amarah. Ia memegang kerah kemeja Hakim dan berusaha
kembali melayangkan pukulannya.

“Bang Amran!” Teriakku tertahan dari lantai atas. “Sudah hentikan!” Mereka berdua mendongakkan
kepala ke atas. “Abang salah paham, semua yang terjadi tidak seperti yang abang pikirkan!” Tiba-tiba
saja air mataku menganak sungai. Aku terluka saat melihat posisi Hakim.

“Kamu mau membela laki-laki ini? Kenapa? Karena kamu masih mencintainya? Iya?” Amran balik
mencecarku.

Aku menggeleng kuat-kuat. “Bukan, bukan seperti itu. Tapi dia memang tidak melakukan apa-apa. Dia
hanya melakukan apa yang seharusnya ia lakukan, ia tidak bermaksud apa-apa Bang. Percayalah!”

Amran bergeming. Namun tangannya masih mengepal.


“Apapun yang terjadi aku minta maaf! Permisi, assalaamu’alaykum!” Hakim memandangku sebentar
sebelum ia berlalu. Ada baiknya ia segera pergi, sebelum emosi Amran kembali memuncak.

“Wa’alaykumussalaam,” jawab Amran dengan suara nyaris tak terdengar. Napasnya masih memburu. Ia
mendaratkan tubuhnya di sofa, menunduk, memegang kepala dengan kedua tangannya. Lalu lisannya
beristighfar berulang kali. Kulihat sudut matanya berair. Lelaki itu menangis.

Aku kembali masuk ke kamar, meneguk air mineral yang tersedia di atas nakas sebelum merebahkan
tubuh lemahku ke atas ranjang. Mengusap sisa air mata yang masih mengalir di pipi.

‘Kenapa harus jadi seperti ini? Sebesar itukah kecemburuan Amran pada Hakim? Sampai-sampai ia tak
bisa menggunakan akal sehatnya saat Hakim mencoba berkata jujur.’

***

“Jihan? Kamu tidur?”

Mendengar suara Amran aku pura-pura memejamkan mata seolah tertidur. Aku merasakan ia duduk di
sisi ranjang, menatapku nanar. Sebuah kecupan hangat terasa menyentuh dahi, serta belaian lembut
tangannya terasa damai menentramkan jiwa. Mungkin emosinya sudah reda.

“Maafkan abang, Jihan. Abang hanya tidak rela ada laki-laki lain yang menyentuhmu apapun alasannya,
apalagi laki-laki itu adalah Hakim. Orang yang pernah singgah di hatimu. Wallaahi abang tidak rela,” lirih
ia berkata.

Aku membuka mata, menemukan laki-laki itu masih meneteskan air mata. Kugenggam tangannya, ia
terkesiap dan buru-buru menghapus air matanya.

“Tapi cemburu tak lantas harus mengesampingkan akal sehat, Bang,” ujarku pelan.
Amran terdiam menatap mataku. “Maafkan abang!”

“Minta maaflah pada Hakim!”

Amran membuang pandangannya dari mataku, seolah tidak suka dengan ucapanku barusan.

“Bang, meminta maaf tak akan menurunkan harga diri seseorang bukan?” Aku bangkit, lalu mengusap
wajah suamiku itu. “Aku tahu, abang bukan seorang pendendam, abang hanya terbawa emosi karena
kecemburuan yang begitu besar. Tapi...”

“Baiklah, nanti abang temui dia.” Pungkasnya memotong ucapanku.

Aku tersenyum, mengecup pipinya perlahan. “Terima kasih, ini yang membuatku jatuh cinta pada
abang,”

Amran mencubit pipiku, “Hmm, udah pintar ngegombalin suami ya sekarang!” Wajahnya terlihat
sumringah. “Udah makan belum?”

Aku menggeleng, “belum,”

“Mau makan apa?”

“Nggak ada,”

“Abang buatkan jus lagi mau?”


“Nggak ah, tadi udah di buatkan bang Fadil kok. Itu masih ada,” aku menunjuk jus yang masih tersisa
setengah gelas.

“Bang Fadil-nya kemana? Kenapa kamu di tinggal sendirian?”

“Aku nggak tahu juga, Bang. Dia nggak pamit, mungkin karena ngeliat aku tidur dia nggak tega
bangunin,”

Amran menatapku. “Fadil sayang banget ya sama kamu?”

“Bangeeeet,”

“Kenapa bisa begitu?”

“Ya karena dia kakakku lah Bang, abang ada-ada saja pertanyaannya,”

Lelaki itu tertawa kecil.

“Jihan...”

“Ya?”

“Kita kembali ke rumah saja gimana?”

“Kenapa?”
“Abang nggak mau kejadian yang sama berulang lagi.”

Aku menarik napas dalam. “Kalau begitu keinginan abang, aku menurut saja. Tapi siapa yang menjagaku
kalau abang ke kampus?”

“Abang udah berniat mengundurkan diri dari kampus,” sahutnya tenang.

“Apa?” Mataku membesar. Terkejut mendengar pernyataan Amran.

“Iya, abang tidak bisa lagi di sana. Terlalu banyak mudharat. Abang takut, jika iman yang sebutir debu ini
terbang tertiup angin,”

“Salah satu mudharatnya?” Selidikku.

Amran terdiam sejenak, seolah ragu ingin menyampaikan.

“Zainab,” ucapnya datar.

Darahku seketika berdesir. Perempuan itu lagi. Apa dia belum berhenti mengejar cinta Amran sampai-
sampai Amran berniat mengundurkan diri?

“Kenapa tidak dia saja yang di keluarkan?”

“Dia bukan alasan satu-satunya, terlalu banyak yang bertentangan dengan prinsip hidup abang di sana.
Dan kebetulan, pemilik pondok pesantren khusus ikhwan yang di Payakumbuh menawarkan abang
untuk menjadi guru tahfidzh di sana. Sudah lama sih beliau menawarkan tapi abang masih ragu waktu
itu.”
“Payakumbuh? Yang boarding school itu?”

Amran mengangguk. Wajahnya terlihat bahagia.

“Apa kita harus pindah ke sana juga?”

“Nanti kita lihat gimana-gimananya. Abang mau buat surat pengunduran diri dulu, setelah disetujui,
baru abang datang ke sana untuk memastikan. Abang hanya butuh dukungan darimu,” harapnya.

“InsyaaAllah aku selalu mendukung apa pun keputusan abang selama itu masih di jalan Allah.”

“Terima kasih, Jihan.” Ia kembali mengecup dahiku.

“Oh ya, jangan lupa Bang!”

“Apa?”

“Minta maaf pada Hakim.”

“Iyaaa, insyaaAllah nanti abang temui dia.” Wajahnya langsung berubah, sedikit tak suka. “Ya sudah,
abang mau ke masjid dulu, udah Zuhur.” Ia bangkit menuju kamar mandi.

Aku sedikit lega meskipun rasa bersalah pada Hakim sedikit mengganggu pikiran. Kasihan dia. Apa kata
Madya kalau dia melihat memar di wajah suaminya itu? Apakah Hakim akan berkata jujur dengan semua
yang terjadi? Dan itu akan menambah masalah baru bukan? Ah, kepalaku jadi pusing lagi memikirkan
semua ini.
*B E R S A N B U N G*

Anda mungkin juga menyukai