Hindon seorang gadis desa, suatu hari pergi ke kota atas ajakan
sepupunya bernama Siti, untuk melanjutkan Sekolah Menengah
Atas (SMA).
Menghadapi sikap orang tua Hindon yang tegas dalam sekali kata,
pada akhirnya mereka berdua tetap jadi bersama. Bagaimana
kisah cinta Uma dan Hindon, silahkan dibaca.
Calitra
Uma dan Hindon
Talak Kinayah
“Ya sudah diamlah, jangan menangis lagi. Dari dulu sudah ibu
peringatkan jangan mau sama dia. Kini sudah kamu rasakan
sendiri akibatnya,” ucap Juwairyah.
“Tapi bu ...” “Tidak ada tapi-tapi lagi, sekarang juga ibu akan urus
persidangan perceraian kalian karena dia sudah keterlewatan
mengusirmu.” Juwairyah segera menemui kepala desa di kantor
membicarakan persoalan pengurusan surat perceraian anaknya
itu.
“Biar ibu yang urus semua ini yah, ibu lebih mengerti tekanan
batin anak sendiri.”
“Saya lihat istri saya seperti sedang banyak pikiran. Dia sering
termenung saat duduk sendiri maupun saat duduk bersama
tetangga, Semangatnya nampak menurun. Pernah saya tanyakan
apakah dia sakit, jawabnya tidak. Saya coba bawa dia ke rumah
sakit untuk diperiksa, itupun tidak mau. Saya ikut merasa susah
dan tidak bersemangat, saya coba berpikir mungkin dia teringat
dengan orang tuanya. Saya bujuk dia untuk pulang ke desa
beberapa hari jika memang benar rindu kepada orang tua, dia
katakan tidak ada. Saya coba juga tanyakan apakah saya ada salah
terhadapnya, dia kembali menjawab tidak ada,”
“Apakah benar yang kamu katakan Uma?” “Benar Pak Hakim, saya
tidak berbohong.” “Apakah kamu masih ingin kembali bersama
istrimu.” “Sangat ingin, dan mungkin sebulan sudah cukup baginya
melepaskan kerinduan bersama orang tuanya,” jawab Uma
dengan tersenyum menatap istrinya yang sedang terharu bahagia
mendengar ucapan suaminya itu.
“Entah kenapa ragu bang, takut ini bukanlah pilihan terbaik untuk
abang.” “Jika belum dijelaskan kenapa berani menuduh tindakan
itu tidak baik.” Masih saja Hindon ragu mengungkapkannya.
Hingga desakan keyakinan dari Uma membuat dirinya jadi berani.
“Bukan hanya ngaji majelis bang.” “Lalu gimana juga dek.” Enggan
mengucap, tapi Hindon harus bisa mengungkapkan keinginannya
itu. “Hindon mau abang ngaji mondok bang.” Ucapannya terlepas.
Tiba di kota Lek-lap, kota yang dihuni oleh berbagai macam suku
dan agama yang ada di negeri itu. Lek-lap merupakan sebutan
orang Aceh kepada suatu yang bersifat campuran. Maka sangat
sesuai penamaan kota ini dengan nama tersebut, karena dihuni
warganya yang bercampur dari berbagai suku bangsa.
1
Kitab arab membahas permasalahan ilmu gramatika Arab (Ilmu Nahu).
Biasa dipelajari oleh kalangan santri salafi tingkat ibtidaiyah.
mempesona belajar, dan banyak modeling lokal berasal dari
sekolah ini.
2
Lembaga pendidikan islam tertua di Aceh. Dayah penyebutan di aceh
tempat pendidikan agama yang berbasis kitab kuning. Secara nasional
dinamakan pesantren.
bukannya membantu, tapi malahan tidur sepanjang hari. Saat
ibunya tanyakan, “Baka kamu dari tadi tidur saja, sana bantu
saudara kita mempersiapkan acara.” Baka menjawab, “Bu, Baka
ingin meng-qadha (menunaikan yang tertinggal) tidur yang kurang
saat di pondok.” Itulah Baka.
“Oh ... Uma ternyata. Apa kabar Uma. Duduk dulu udah cukup
lihat-lihatnya.” Baka keluar dari kamarnya menyapa Uma sambil
mengusap kelopak mata kanannya.
“Eleh ... eleh ... mentang-mentang saat ini ilmu agamamu lebih
tinggi dari padaku, seenak-enaknya merendahkanku heh.”
“Hahaha ... maafkanlah sahabatmu ini wahai ibnu Apa Suman.”
“Menurut yang aku kenal selama ini, aku tidak percaya Uma. Dan
rekan-rekan yang lain pasti juga akan terkejut sepertiku jika
mendengar keinginanmu mondok. Tapi, kalau hidayah dari Allah
itu tidak mustahil.” Baka meragukan pilihan Uma ini, karena yang
ia tau walau Uma saat kecil sangat rajin pergi mengaji. Tapi,
semenjak masuk SMA saat masa pubernya dimulai, dia mulai
malas mengaji bahkan sampai tidak lagi dengan alasan banyak
tugas di sekolah.
“Percaya diri kali kamu katakan begitu, apakah kamu tidak resah
dengan keadaan Hindon. Apakah kamu lupa dengan nasehat Pak
Jala saat resepsi acara perkawinanmu,
3
Kue kering berbentuk yang terbuat dari campuran santan, tepung
terigu, gula dan bahan lainnya. Kue ini sering dijumpai dirumah – rumah
masyarakat Aceh saat hari raya idul fitri dan idul adha
Menyei leupi Hindon gata yang meu-desya.”
“Lalu.”
“Dan, semoga hubungan kalian saat ini bagaikan Had Akbar dan
Had Ashragh yang dipisahkan oleh Had Wasad saat masih menjadi
qadiah, namun kalian akan berdampingan saat menjadi Natijah.”
Baka mengumpakan hubungan Uma dan Hindon dengan istilah
fan ilmu Mantiq.
“Baiklah Baka, aku pun ingin bertemu dengannya juga.” Ujar Uma
Naqish dan Fatimah
Itulah awal mula cinta bersemi di lubuk hati Naqish. Tapi, ia sadar
ia tidak pantas dengan Fatimah dari segi fisiknya mereka berdua
sangatlah tidak sepadan. Meski begitu harapan tidak putus. Ia
masih punya tuhan tempat mengadu keinginannya. Senantiasa
alarm diatur tepat sepertiga malam, bangun memohon penuh
harap agar hatinya bersemai dalam senandung cinta dengan
Fatimah.
"Assalamualaikum teungku."
"Waalaikumsalam." sahut teungku Saleh4
4
Teungku adalah sebutan di Aceh bagi orang ahli ilmu agama. Sama
tingkatannya seperti ustadz.
hidup indahmu hingga kamu lepaskan dia. Dan ternyata salah,
padahal ia adalah lelaki si lumba-lumba yang akan menemanimu,
membuatmu hidup senang setiap saat. " lanjut teungku Saleh.
" Nyak Mah tau kan ikan Lumba-lumba, ikan yang cerdas dan baik
hati."
"Tau teungku."
"Waalaikumsalam."
Dug..dug..dug..
Suara jantung dari keduanya bersatu dengan hentakan yang kuat
hampir terdengar oleh telinga yang bukan se-urat dengan jantung.
Waktu terasa berhenti, jarum jam seperti bengkok membuat
magnet perputaran tidak berfungsi.
"Saya berkata jujur, saya ini bukan Naqish yang kamu duga, nama
saya Anamunnisyan (makhluk yang terlupakan)." kebohongan
Naqish semakin menjadi-jadi.
"Tatimmah..."
Usai sudah kisah kasih sembilu rindu dari Naqish dan Fatimah,
kedua orangtua Zaidon. Kini Zaidon sudah tiba dirumah setelah
meminta izin dari dayah. Mengetahui itu, Uma dan Baka datang
menemuinya.
“Oh... aku udah paham, jadi atap rumahmu sudah pernah bolong
ya,” tanya Zaidon.
“Tapi, aku heran dengan Baka ini dia terlalu berlebihan dengan
ilmu itu sepertinya. Tadi dirumah sok-sok bahas pembahasan ilmu
mantiq di depan orang tidak tahu menahu sepertiku. Tapi, tunggu
saja, kesombonganmu itu akan hilang sendirinya saat aku mulai
mempelajarinya.” Uma melawan.
“Iya Don, sekarang dia baru sadar atas saran istrinya, Hindon. Dan
berencana mau mondok. Kira-kira kamu yakin gak Don,” kata
Baka.
“Benar itu Uma.” “Iya Don, aku mau mondok. Gimana
pendapatmu.”
“Iya benar itu. Tapi Uma, walaupun tanpa perahu jika kamu nekat
berenang walau nafas terengah-engah, lengan kebas. Yakinlah,
suatu saat kamu akan bisa melewati samudra itu walau tidak
terlalu dalam. Yang penting kamu berhasil melewatinya dan
singgah di pantai keindahan ilmu. Di sanalah nanti kamu dan
Hindon mendirikan rumah tangga yang bahagia,” kata Baka.
“Maksudnya.”
“Aku ketawa karena kamu itu aneh. Ada benarnya yang dikatakan
Baka. Bahwa, dalam memberi cinta kepada manusia tidak boleh
terlalu serius. Bisa jadi kita mudah dimanfaatkan. Ketika kita
terlalu menyerahkan hati kepada manusia, harapan akan muncul
kepadanya. Sedangkan memberi harapan kepada manusia itu
bagaikan bunuh diri. Ini berdasarkan prinsipku,” jawab Zaidon.
“Kalian berdua yang lucu. Jika sikap kalian selalu begitu kapan
kalian memberikan kesempatan bagi orang yang ingin tulus
kepada kalian. Tidak akan, karena kepercayaan kalian kepada
mereka bagaikan ungkapan orang melayu ; “Seperti durian
mentah.” Artinya buah durian mentah itu tidak akan jatuh, walau
digoyang-goyangkan atau angin bertiup kencang. Kecuali jika
batangnya dipotong. Itulah kalian, punya hati tapi enggan
memberikannya. Lebih baik kalian jadi pohon pinus, dari asalnya
memang tidak berbuah. Jadi, orang lain tidak akan berharap.”
“Udah,, udah. Ibnu Apa Suman. Jangan terlalu serius. Kami punya
hati dan akan kami serahkan hati kami kepada yang layak di waktu
yang layak pula. Tidak sepertimu, terlalu tergesa memberi hati.
Hahaha.” Baka membela diri.
“Eh Don. Coba berikan ungkapan kepada dia dulu. Biar ia lebih
semangat mengaji. Tadi aku mengaitkan dengan ilmu mantiq.”
Tantang Baka kepada Zaidon.
“Apa maksud kamu Don. Bingung aku.” “Maka, jangan ragu mari
mondok bersama kami. Disana nanti kamu akan ketahui
semuanya.”
“Aku tidak ragu. Kini aku yakin untuk belajar ilmu agama. Juga
niatku ini bukan karena Hindon, walau dialah yang
mencerahkanku. Ini kesadaranku. Aku telah banyak membuang
waktu memikirkan dunia dan luput dari akhirat.”
7
Abu Bisyr Amr bin Utsman bin Qanbar Al-Bishri, lebih dikenal dengan
nama Sibawaih, merupakan seorang pakar tata bahasa bahasa Arab yang
sangat berpengaruh. Karyanya yang berjudul Al-Kitab merupakan kitab
tata bahasa bahasa Arab yang pertama kali dibukukan. (wikipedia)
Masuk Dayah
Dari kejauhan Zaidon dan Baka yang sedang duduk di pos jaga
melihat Uma turun dari becak menetengkan tas dan barang
bawaan lainnya. Keduanya berdiri menghampiri Uma sambil
melantuntan Thala’al badru. Sebagai tanda kegembiraan mereka
menyambut sahabat memasuki kebun surga. Sebagaimana
kegembiraan kaum Anshar dan Muhajirin saat menyambut
kedatangan Rasulullah Saw ke Madinah saat itu.
“O... ini Uma. Saya sudah mendengar kabarmu dari Zaidon dan
Baka. Jadi, benarkah itu kamu mau mondok,” tanya Abu. “ Benar
Abu. Saya mau mondok di dayah Abu,” jawab Uma.
“Tapi Abu, dua sahabat saya ini katanya siap jadi guru privat dan
berusaha keras membimbing saya sampai boleh pulang,” kata
Uma.
“Benar begitu Zaidon Baka.” “Iya Abu. Kami berencana begitu
untuk membantunya lebih mudah dan cepat,” jawab Baka.
“Itu yang tidak boleh. Hak spesialmu tidak berlaku disitu. Kamu
tidak boleh membawa handphone kesini. Karena itu akan
mengganggu konsentrasi belajarmu. Juga ditakutkan mengganggu
santri yang lain,” jawab Abu menolak permintaan Uma.
Ummi istri Abu keluar menghidangan teh dan beberapa kue ala
kadar.
“Baca Bait itu memang perlu irama, biar mudah terhafal,” jawab
Zaidon kembali. “Kalian pastinya udah mahir dengan itu semua
ya.” “Dulu kami udah selesai menghafal semuanya saat ujian,”
jawab Baka. “Sekarang? Bisa jika dilihat kembali.”
Dilihatnya juga balai-balai kecil dari kayu dengan atap daun dihuni
para santri yang sedang duduk santai sambil bergurau dengan
sesama. Dipandanginya ke arah mushalla melihat beberapa santri
duduk terpisah diatas sajadah menghafalkan ayat-ayat alquran.
Kita kembali ke belakang sejak awal mula dua kekasih ini berpisah.
Bagaimanakah kondisi Hindon saat itu. Apakah air mata duka
mengalir, bara api kerinduan mulai terbakar, pahitnya lidah
mencegah asumsi makanan masuk ke lambung, badannya yang
langsing menjadi semakin kurus keronta. Atau malah sebaliknya,
ia merasa bahagia karena pengikatnya sudah pergi, ia merasa
bebas kembali tanpa dibebani status istri, apakah ia akan tampil
selayaknya gadis menggoda kumbang-kumbang menghisap
madunya. Apakah ini semua siasat buruknya dan ia berhasil
sebagaimana dugaan Zaidon. Apakah demikian.
Mari kita lepaskan semua dugaan itu, dan kita lihat secara nyata
apa yang terjadi setelah itu.
Usai salat Hindon keluar menutup wajah sedihnya. Tiba dan duduk
di meja makan sebagai bekas santri Hindon mengetahui adab saat
makan bersama orangtua bahwa tidak boleh mendahului
mengambil nasi dan lauk sebelum orangtua mengambil terlebih
dahulu.
8
Ikan tongkol atau semacamnya yang direbus lalu dijemur. Kadang
disebut juga ikan kayu.
mulai makan barulah Hindon bergerak mengambil piring dan
menaruh nasi serta lauk kesukaan di atasnya.
“Kamu lahir dari rahim ibu. Pada darahmu ada darah ibu.
Kesedihan yang kamu tutupi itu tidak berhasil mengelabuiku. Ada
apa kiranya dengan hubungan kalian. Sebelumnya ia pernah
mengusirmu ke rumah. Kini, ia tinggalkanmu dengan alasan
mondok mengaji. Ibu ragu dengan ketulusannya, ragu semenjak
pertama kali kamu memperkenalkannya. Kamu boleh
membantah, jika memang benar ia tulus kepadamu kenapa tega
meninggalkanmu disini. Mengaji tidak dilarang, berpisah begini
juga tidak baik untukmu sebagai perempuan. Setidaknya dia bisa
berpikir untuk mengaji tapi dengan tidak mondok. Kan banyak
diluar sana suami mereka mengaji dan selalu bersama istrinya. Ini
bagaimana?” Ibu Hindon meragukan ketulusan cinta menantunya.
“Ada bu... ada. Bang Uma beberapa kali menolak dan memohon
agar tidak menjauh. Tapi, Hindon tetap bersikeras hingga ia tidak
bisa menolak lagi bu.”
Maka, pada kesempatan ini kita akan lebih kenal dekat sosok Uma
dan Hindon serta tokoh-tokoh yang ada pada cerita ini. Akan kita
kupas juga alur cerita perjalanan hidup dan cinta Uma dan
Hindon, hingga mereka bertemu dalam bingkai perkawinan.
Umar bin Usman, itu nama lengkapnya. Uma nama panggilan dari
pasangan Usman dan Zainabon. Usman ayahnya biasa dipanggil
oleh masyarakat setempat saat remaja dipanggil Suman. Ketika
sudah menikah dan memiliki anak dia dipanggil Apa Suman.
Panggilan khas dari masyarakat Aceh sejak dahulu, mereka suka
memplesetkan nama panggilan seseorang tidak sesuai atau sedikit
melenceng dari nama aslinya. Seperti contoh lain ; Ismail dipanggil
Ma’e, Zulkifli dipanggil Don, Yusuf dipanggil Suh, Sulaiman
dipanggil Leman, Ahmad diserukan Amek, dan lain-lainnya lagi.
Begitulah logat seruan yang sering dijumpai dari lisan orang Aceh
dari dulu hingga sekarang.
Bayangkan saja jika anda seperti Usman saat itu, lalu membuka
tirai kain penutup wajah istri anda dan ternyata wajahnya tidak
sesuai standar pilihanmu. Apa yang terjadi. Sungguh tradisi
pernikahan Usman dan Zainabon sangat tidak cocok jika
dipraktekkan kepada anak milenial apalagi generasi Z saat ini.
9
Mumayyiz adalah anak yang sudah mencapai umur sekitar 6 tahun.
Yang sudah bisa membedakan mana yang bermanfaat dan berbahaya
bagi dirinya.
Kesenangan akan kemenangan membuat Uma benar – benar lupa
pekerjaannya. Baru teringat ketika sampai dirumah dan ia mulai
resah dan takut karena telat pulang tidak sempat lagi berjualan.
“Tugas apa? Sampai baju penuh keringat dan kotor begitu. Jangan
coba-coba bohongi ayah.”
“Benar, tindakan Uma sudah sangat benar. Tapi, ayah tidak mau
menerima permintaan maaf Uma begitu saja. Perlu waktu untuk
Uma menyadari dan menyesali kesalahan.”
“Ayah jahat. Uma tidak mau punya ayah seperti itu. Lihatlah
ayahnya kawan-kawan Uma mereka tidak suka marah, bahkan
sampai beberapa kali kesalahan dibuat mereka tidak juga
dimarahi malah disayang. Tidak seperti ayah Uma ini,” kata Uma
dengan wajah merengeknya sambil memukul piring dengan
sendok.
“Baiklah bu, Uma minta maaf. Tapi uang jajan gimana bu. Uma
akan kesulitan di sekolah jika tanpa uang jajan.”
“Ini ada uang dari ibu. Tapi ini rahasia kita berdua jangan sampai
ayah tau. Dan juga Uma harus janji dulu sama ibu.”
“Janji jangan ulangi kesalahan yang buat ayah marah. Juga jangan
sesekali lagi ibu mendengar Uma menyalahkan ayah dan
menyesali punya ayah seperti itu.”
“Iya bu, baik.” “Ini uang jajannya cepat sembunyikan nanti ayah
tau. Dan segera habiskan makanannya lalu bantu ibu
membereskannya.” “Siap bu.”
Selesai makan Uma bergerak membantu ibunya membereskan
meja makan dengan pikiran kembali terang dan tenang setelah
dinasehati ibunya.
“Tidak apa-apa bu, namanya aja dia masih kecil. Yang penting kita
harus bekerja sama mendidik anak kita, baik itu kesehatan
jasmaninya dan jiwanya. Kita bag- bagi tugas, ayah bersikap tegas
dan agak sedikit keras, ibu yang melembutkan dan
menenangkan.” Kata Apa Suman sambil memegang kedua bahu
istrinya.
“Siap yah. Ayuk tidur yah, ibu hari ini terasa sangat lelah.” “Mari
bu.” Keduanya berjalan sambil berpelukan menuju kamar.
Lihatlah kekompakan dari pasangan suami istri ini dalam mendidik
anak mereka. Senantiasa menjaga komunikasi yang baik dengan
berdiskusi dan mencari solusi memecahkan permasalahan dalam
keluarga secara bersama-sama. Tujuannya sepakat, amanah yang
dititipkan terdidik dengan baik dalam bingkai keharmonisan
rumah tangga.
Oleh karena itu, apa yang dilakukan ayah dan ibunya Uma patut
ditiru dan dipraktekkan bagi setiap insan yang berpasangan sah.
Agar mampu menciptakan anak yang berguna bagi kedua orang
tuanya, bagi masyarakat luas, agama dan bangsa.
Akan kita temui nanti sebagai bukti dalam cerita ini, bagaimana
Uma tumbuh menjadi orang penyabar, mudah sadar dan suka
menjaga perasaan orang lain.
“Ibu ... tolonglah temui bapak sekolah untuk bujuk Baka agar bisa
belajar di sekolah itu,” Harap Baka.
“Orang-orang seperti kamu ini yang hanya bisa makan jajan yang
banyak, tidur tidak pernah cukup tidak pantas masuk ke sekolah
berstandar internasional itu. Lagian ibu tidak mau malu-maluin
diri sendiri memohon kepada kepala sekolah diluluskan anak
bodoh sepertimu. Masuk sekolah yang dekat disini saja, itu cocok
untukmu.” Ibunya geram melihat Baka.
“Biarin, biar jadi pelajaran buat kamu yang malas, rajinnya makan
dan tidur. Lihatlah anaknya Kak Nabon, dia rajin belajar dan
membantu orang tuanya. Kenapa anak ibu yang satu ini tidak
seperti dia ...”
“iyaa, jika bisa. Ibu tidak tau lagi bagaimana mendidik kamu.”
“Baik bu, mulai hari ini Baka akan berusaha menjadi lebih baik
melebihi Uma. Dan akan membuat ibu senang.” Baka penuh
percaya diri mengatakan demikian.
“Tapi bu, Baka akan kesulitan menjadi baik jika temannya Baka itu
bukan orang baik. Apalagi di sekolah yang dekat itu, disitu banyak
anak-anak jahat dan bandel. Jika Baka masuk kesitu entar bukan
malah menjadi baik tapi bertambah buruk,” ujar Baka sambil
membelakangi ibunya dengan tersenyum kecil seperti ada sesuatu
yang direncanakan. Kemudian berbalik lagi, “Gimana bu, apakah
keinginan Baka bisa dipenuhi agar Baka bisa selalu dengan teman
yang baik seperti Uma.” Baka kini duduk berlutut memohon
kepada ibunya.
“yes ... baik bu.” Baka kegirangan atas siasat bujuk rayunya hampir
mencapai kesuksesan.
“Ayah ini gimana sih. Ibu serius nanya. Baka tetap saja dia mau ke
sekolah itu, tidak mau ke sekolah lain.” “Coba ajak dia masuk ke
dayah mau tidak. Aku lebih suka anakku ke dayah.” “Tidak mau
pasti. Dia itu orangnya gengsian. Tetap saja keinginannya ke
sekolah itu.”
“Ya sudah caranya gimana. Dia kan sudah tidak lulus selekesi.”
“Kita datangi kepala sekolahnya yah. Kebetulan istrinya itu teman
ibu semasa sekolah.” “Baiklah kita usahakan malam besok. Tapi
ingat, jangan bawa-bawa nama instansi ayah,” ucap ayah Baka
yang tidak mau menganggarkan jabatannya sebagai pegawai.
“Saya temannya Fira, istrinya Bapak dan ini suami saya. Kemana
dia ya, kok tidak nampak.” Ibu Baka memperkenalkan diri.
“Kebetulan dia tidak ada dirumah. Dia pulang kerumah ibunya
sebentar.”
“Fira tidak ada, bakalan sulit membujuknya kalau begini.” Ibu Baka
bergumam dalam hati. “Ada apa kiranya Ibu datang malam-malam
kesini.”
“Oh... maaf Pak begini. Anak saya kemarin sudah ikut tes seleksi di
sekolah Bapak tapi tidak lulus. Maka, hmmm sekiranya kami minta
tolong kepada Bapak agar diluluskan,” mohon ibu Baka sambil
tersenyum.
“Kali ini bagaimana Pak, saya tarik kembali atau bapak genggam.”
Ayah Baka menawari dengan pandangan tajam.
“Aduh ... gimana ya saya pun bingung. Tapi karena Bapak dan Ibu
terlalu mendesak saya. Saya tidak enak jika selalu menolak.
Baiklah ini atas kebijakan saya, hari pertama bawalah anak bapak
kesekolah lalu jumpai saya disana.” Paka Tony mengabulkan
permintaan orang tua Baka setelah menerima uang sebesar satu
juta Rupiah.
“Iya Yah. Baka disini.” Keluar Baka dari kamar. “Kesini kamu
cepat,” ucap ayahnya dengan gestur marah.
Usaha Baka untuk bisa masuk ke sekolah itu berhasil. Tapi ia harus
menanggung beban yang sangat berat yaitu meraih prestasi
minimal mendapat ranking sepuluh besar di sekolah.
“Anak-anak ini ada teman baru kita yang agak telat masuk. Mari
nak perkenalkan dirimu.” Wali kelas mempersilahkan.
“Apa itu?”
“Aku harus meraih ranking sepuluh besar Uma. Itu beban yang
akan kujalani. Kamu bisa bantu kan.”
“Bantu gimana?”
Naik kelas delapan atau kelas dua SMP. Memasuki tahun ajaran
baru. Uma, Baka dan murid-murid lain di kelas itu kedatangan
murid baru. Yang nantinya akan menjadi sahabat karib Uma dan
Baka, yang pernah diceritakan sebelumnya, ia adalah perwujudan
dedikasi Lebih dari ayahnya. Itulah dia Zaidon. Lelaki berbadan
kekar dan kuat. Lelaki yang tiada hari tanpa keringat.
“Hai, saya Uma.” “Saya Baka.” “Nama saya Zaidon.” Mereka saling
berkenalan kebetulan Zaidon duduk paling belakang sendiri jadi
mereka bertiga berdekatan. Uma dan Baka begitu ramah
kepadanya hingga membuat Zaidon tidak merasa canggung dan
tidak merasa bahwa ia murid baru di sekolah itu.
“Teng ... teng ... teng ...” Bunyi lonceng tanda pulang.
“Baka cepat ...” Seru Uma kepada Baka yang sedang mengantri
somay.
“Iya ini udah siap. Ini untuk kalian berdua.” Baka memperlihatkan
kedermawaannya.
“Tiada hari tanpa somay dan bakso. Itulah Baka. Kapan cita-citamu
menjadi kurus tercapai jika begitu.” Canda Uma.
“Kamu Uma woles aja. Aku hanya sedang menikmati nikmat lidah
merasakan enaknya makanan yang masih diberikan Allah Swt.”
Jawab Baka menampakkan jiwa religiusnya.
10
Transportasi umum fungsinya seperti ojek pada kota – kota besar.
“Aku mau turun disini gimana cara hentikannya ni.” Zaidon
kebingungan memberi tahu sopir untuk berhenti karena itu
perdana baginya naik sudek.
Tiba waktu asar, Uma bangun salat lalu mengajak Baka pergi
kerumah Zaidon seperti rencana sebelumnya.
Kulit bersih dan putih. Setiap harinya selalu anggun dan rapi.
Wangi harum parfume saat jam pertama masuk sekolah dan
berganti dengan wangi minyak kayu putih pada jam kedua hingga
pulang sekolah. Harum kemanjaan dari seorang gadis itu selalu
dihirup dinikmati oleh Zaidon yang duduk paling belakang.
Akan tetapi, rasa cinta cukup dia pendam. Dia tidak memiliki
keberanian untuk mengungkapkan perasaannya dihadapan Tasya.
Akhirnya perasaannya itu hanya bisa dituang pada lembaran
kertas berbentuk tulisan puisi.
Setelah rasa itu muncul Zaidon sering salah tingkah saat Tasya
terkadang sekedar bertanya halaman buku pelajaran kepadanya.
Setelah rasa itu menghinggap Zaidon lebih sering menghindar
dihadapan Tasya. Dia hanya punya keberanian menatapnya dari
belakang dan dari kejauhan. Penyembunyian rasa Zaidon terbilang
cukup handal mengingat Baka dan Uma sebagai sahabatnya tidak
menitik rasa curiga sedikit pun.
Aku pemalu
Malu menatap rembulan
Saat berpaling ke belakang menatapku
Aku pembohong
Bohong kepada hati
Atas rasa kelu untuk ku-ungkapkan
Aku perindu
Rindu dirimu bertanya
Apakah kamu mencintaiku
Maukah kamu
Yang telah kusebutkan
Menolong kemustahilan hati
Menginap keindahanmu.
Dari pintu kelas Zaidon baru kembali dari kantin melihat kejadian
tersebut. Proses penyerahan buku miliknya oleh Tasya kepada
Uma. Dan Uma langsung meletakkannya kembali ke meja Zaidon
tanpa sepengetahuan Tasya.
“Biasa saja lah. Kalian tidak salah, Cuma aku yang salah sudah
berteman dengan orang lemah seperti kalian,” jawab Zaidon lalu
pergi.
“Ya ampun Uma sayangku. Kamu lupa ya.” “Kamu jangan macam-
macam ya Tasya. Lupa apanya?”
“Kan kamu sudah menulis puisi cinta untukku. Dan aku pun
mencintaimu.” “Puisi yang mana? Tidak pernah aku buatkan puisi
untukmu apalagi puisi cinta.”
“hah ... ini puisinya anak kampung itu. Tidak mungkin, Uma
tolonglah jangan berbohong.” Tasya berkilah tidak menerima
kenyataan dengan menghina Zaidon. “Terserah kamu percaya
atau tidak. Yang jelas aku sudah berkata jujur,” jawab Uma.
“Hei Don. Apa benar ini kamu yang tulis heh.” Bentak Tasya sambil
mencampakkan lembaran puisi itu di atas mejanya.
Uma mulai paham penyebab Zaidon secara tiba – tiba marah dan
menjauhinya. Itu semua karena kesalahpahaman dari perasaan
cinta yang disentuh. Uma tidak meresponnya dan membiarkan
Zaidon sendiri terlebih dulu.
Rasa kecewa dan frustasi serta kesedihan yang dialami tidak boleh
disalahkan semuanya. Bisa jadi itu sebagai jalan bagi seseorang
menuju jalan terbaik.
“Di dayah kan tidak menyediakan ijazah Baka.” “Aku tau itu, soal
ijazah aku tidak mau memikirkan itu,” Jawab Baka sambil memetik
setangkai bunga Jarum.
“Tapi Baka perlu kamu ketahui, untuk jaman ini akan sulit
mendapat pekerjaan jika tanpa ijazah dan gelar sarjana.” Uma
kembali bertanya kini lebih serius.
“Uma ... Uma. Aku tidak mau bantah pendapatmu. Cuma ingin
kutanyakan. Ayahmu mendapat pekerjaan apakah butuh ijazah.”
Baka balik bertanya sambil menatap wajah Uma.
“Iya tidak. Cuma maksud aku ijazah dan sarjana itu perlu supaya
kita dapat diterima bekerja di perusahaan atau di kantor-kantor
pemerintahan. Itu kan termasuk pekerjaan yang diidam-idamkan
banyak orang,” jawab Uma
“Hahaha ... itu merupakan pekerjaan yang aku benci duhai ibnu
Apa Suman.” “Benci kenapa, kan enak kita bisa bekerja dalam
ruangan yang adem dan bersih.” “Kita beda-beda selera Uma, aku
tidak suka perkerjaan mengikat dan dibawah kontrol orang lain
seperti karyawan dan PNS,” ujar Baka sambil menggabungkan
bunga Jarum sebagai gambaran kepada Uma tentang apa yang
dikatakannya tadi. Baka sudah paham bekerja sebagai pegawai
yang sangat mengikat diketahui dari ayahnya yang bekerja sebagai
pegawai di kantor bupati.
Lalu melanjutkan, “Oleh karena itulah aku memilih masuk dayah.
Selain itu aku bosan dengan sistem mencatat pelajaran di sekolah.
juga ini harapan ayahku, beliau ingin anaknya alim ilmu agama.”
“Aku ikut jejakmu Baka,” Kata Zaidon yang semula hanya diam
mendengar percakapan keduanya.
“Pas kali itu Don, sesuai keinginanmu di dayah tempat yang sangat
cocok untuk orang sepertimu,” kata Baka menyemangati.
Keduanya memilih masuk ke dayah bukan atas pilihan sendiri.
Melainkan ada bawaan faktor lain yang mengarahkan mereka
memilih masuk ke dayah. Baka berinisiatif karena ia menyadari
akan pikirannya yang lemah mengejar pendidikan formal di
sekolah, kebosanannya dalam menempuh metode pendiktean
mencatat pelajaran, serta bosan menuruti perintah guru yang
berkata, “Anak-anak tolong buka halaman sekian, dan tolong
dicatat. Ibu keluar sebentar.”
11
Mubahasah adalah metode diskusi memecahkan sebuah masalah
hukum secara bersama-sama. Pendapat yang lebih banyak itu menjadi
landasan hukum.
12
Mutala’ah adalah sistem menkaji ulang pelajaran yang dipelajari
sebelumnya. Menjadi kewajiban dalam pendidikan di dayah bagi santri
memilih guru atau abang kelas untuk mendampingi dan menyimak
pelajaran diluar jadwal belajar.
Dari keduanya menjadi rahasia dari sang pencipta dalam alur
cerita keduanya. Baka diberikan pemahaman yang lemah dalam
bidang formal dan diberi kebosanan menjalani sistem di sekolah.
Dan Zaidon diberikan rasa kecewa kepada wanita yang
membuatnya memilih masuk dayah, keputusan yang tidak pernah
dipikirkan sebelumnya.
“Aku tidak bisa,” jawab Uma. “Kenapa? Kamu takut miskin, atau
kamu tidak mau jauh dari orang tua.” ujar Baka sambil tersenyum.
“Selamat berpisah anakku. Jangan sedih jauh dari ibu, ibu akan
selalu mendoakan agar kamu selalu sehat dan kuat dalam belajar.
Senantiasa ibu doakan yang terbaik sepanjang hidupmu. Kamulah
harapan penyelamat kami saat menghadap ilahi,” ucap ibu
mereka dalam hati menyembunyikan kesedihan saat berada
dalam mobil beranjak pulang.
Masa Pubertas
“Aku tidak ada cerita seperti kalian, Aku malam Minggu tetap
mengaji. Malam Jumat baru libur.” “O ... maaf pak Ustadz silahkan
duduk dengan mereka jangan gabung dengan kami. Nanti pak
Ustadz ikutan berdosa. Hahaha,” kata temannya sambil menunjuk
kumpulan anak-anak baik di lokal itu di barisan depan.
“Eh ... jaga mulutmu. Aku ini laki-laki normal.” Bantah Zaidon
sambil berdiri seperti menantang.
Perbuatan tercela kini sudah bukan hal aneh lagi baginya setelah
sebelumnya itu adalah perbuatan canggung baginya.
“Kemana lagi kita.” “Kita jalan-jalan dulu, nanti kita habiskan acara
anak muda kita dugem di diskotik. Gimana setuju.” “Mantap, aku
setuju,” seru kawan-kawan Uma di dalam mobil. “Kamu Uma
kenapa diam saja. Santai dan lepaskan, kita ini anak muda,” kata
Feri salah seorang dari mereka. Uma hanya diam dan
membalasnya dengan senyuman.
Selain itu, Uma yang sejak kecil sudah diajarkan membaca ayat
alquran, hatinya dari kecil sudah di isi dengan lantunan firman
ilahi. Menjadi benteng baginya dari melakukan dosa besar yang
sulit diampuni seperti berzina.
Sambil menunggu teman-temannya selesai berpesta pora, Uma
tertidur di pinggir jalan raya kota Metropolitan. Jam tiga pagi
barulah kawan-kawannya keluar berjalan tidak stabil karena dosis
mabuk miras masih ada. Mereka membangunkan Uma yang
tertidur pulas di pinggir jalan itu lalu masuk mobil. Semua nampak
lelah bau miras yang menyengat masih membekas di mulut
mereka. Uma menyarankan untuk menginap di kota itu semalam
agar pulang mereka dalam kondisi stabil. Dan mereka
menurutinya.
“Gimana seru gak tadi malam,” “Wah ... seru oi. Kapan-kapan kita
coba lagi oke,” “Seru, seru apanya baru teguk segelas miras sudah
teler,” “Aku baru pertama kali mencoba, maklumilah,” “Wanita
yang kalian tiduri bagaimana,” “Wih ... bla bla bla.” perbincangan
kawan-kawan Uma di kamar hotel. Uma hanya menyimak karena
ia memang tidak mengalami apa yang dialamai kawan-kawannya
itu.
Uma pun memulai tidur lebih awal agar terjaga di paruh waktu
sepertiga malam untuk bertaubat.
Bangun sesuai jam alarm berbunyi, Uma mandi taubat lalu shalat
sunat taubat, beristighfar dan bertafakkur :
“Wahai jiwaku. Apakah engkau tidak malu, apakah bukannya
sekarang waktunya engkau bertaubat, apakah engkau tidak takut
dengan azab tuhanmu, apakah mungkin engkau ingin kemarahan
Allah kepadamu, apakah engkau sanggup menjadi arang api
neraka.” Uma mengucapkan itu sambil merenungkan dosa-dosa
yang pernah dibuat. Dan membayangkan pedihnya api neraka lalu
menangis.
“Ya tuhanku, hambamu ini telah lari dari jalurmu ingin kembali ke
pintu rahmatmu. Hambamu yang telah bermaksiat ini ingin
kembali kepada jalan kebaikan. Hambamu telah berdosa yang
terjadi karena kesalahan yang tidak bisa dihindari, maka
ampunilah hambamu ini dengan kemurahanmu. Dan terimalah
taubatku dengan kebaikanmu, perlihatkanlah kepadaku kasih
sayangmu.”
“Hindon ...” “Uan ibu,” Hindon menjawab. “Ini Siti mau bicara
denganmu cepat.” “Baik bu.” Hindon meninggalkan pekerjaan
menyuci baju sementara menyambut panggilan Siti.
“Apa yang dibicarakann Siti.” “Begini bu, Siti ajak Hindon sekolah
disana bersamanya.” “Kamu mau pergi ke kota gitu.” “Iya bu.”
“Kota itu tidak sama dengan disini Ndon. Pergaulan disana terlalu
bebas, Ibu takut kamu terpengaruh.” Ibu Hindon meragukan
kepergian Hindon.
“Insya Allah tidak bu, kan disana ada makcik dan Siti yang jagain
Hindon.”
“Ya sudah nanti ibu bilang dulu sama ayah.” Jawab ibunya dan
Hindon melanjutkan cuci bajunya di air sungai yang mengalir di
sekitar sawah.
Karena jaringan listrik tidak ada televisi juga tidak berfungsi. Ada
sebagian warga yang memiliki televisi sebelumnya, kini sudah
lama menjadi pajangan. Di tengah kondisi demikian, hampir setiap
rumah di desa itu terdengar setiap usai magrib suara lantunan alif
ba ta tsa, dan suara ejaan alquran dari orang tua mengajarai anak-
anak mereka. Orang tua menjadi guru pertama bagi anak-anak di
desa itu sebelum mereka dititip dibawa ke TPA atau Dayah.
“Dia masih mau sekolah yah. Dan pergi ke kota, ini ajakan Siti dan
ia pun mau untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sekolah
di kota kan lebih terjamin pendidikannya,” ucap Juwairyah
kembali.
“Ibu bingung juga. Satu sisi ingin Hindon pergi keluar supaya
wawasannya lebih luas dan menjadi wanita yang berpendidikan
bagus.”
13
Kue tradisional khas Aceh yang terbuat tepung dan santan,
mengandung cita rasa manis, renyah, gurih dan rapuh.
Juwairyah. “Hati-hati nak Hindon, belajar yang giat dan menjadi
pekerja kantoran,” harap para ibu-ibu. “Iya benar Hindon, nanti
suatu saat aku juga akan nyusul kesana,” kata rekan seperjuangan
mengajinya. “Doakan saya selamat di jalan ya,” kata Hindon
sambil melambaikan tangan kepada seluruh orang di hamparan
sawah itu.
“Ya Allah Hindon, tidak lama menunggu kan,” sambut Siti sambil
memeluk Hindon. “Hampir seharian kami di sini, mana ibumu,”
ucap Juwairyah.
“Siti cepat siapkan makanan,” “Baik bu.” “Kak, nginap disini kan,”
ajak Rahmah. “Tidak, aku harus pulang segera. Kasihan ayah
Hindon sendiri disana,” jawab Juwairyah. “Kalau begitu mari kita
makan dulu.”
“Ini Hindon saya titip ya. Tolong jaga dia seperti anakmu. Dan
jangan segan-segan memarahinya jika dia buat kesalahan,” kata
Juwairyah kepada adiknya. “Baik kak, akan saya jaga.”
“Dan satu lagi. Jangan coba-coba dekat dengan pria disini (kota)
apalagi ada menjalin hubungan. Ibu tidak merestui itu.” “Baik bu,”
Hindon kembali menjawab singkat.
“Hahaha ... kamu lucu ya Ti. Masak menyuruh orang kepada yang
tidak baik. Aku sudah terbiasa begini. Dan yang ibumu katakan itu
benar sekali. Kita harus rajin membersihkan rumah, bukan hanya
rajin memperindah wajah sendiri,” ucap Hindon masih dengan
bahasa Indonesianya yang belum terbiasa.
“Halah, kamu pun sama seperti ibu. Oke, aku akan rajin bersih-
bersih tapi harus ada kamu ya.” “Siap Ti.”
“Hindon, nanti sore kita jalan-jalan yuk,” ajak Siti sambil
menggosok piring. “Kemana Ti.” “Pokoknya kamu ikut aja
denganku biar kuperkenalkan kota Lek-lap ini kepadamu. Agar
kamu tidak terlalu canggung nanti saat masuk sekolah.”
“Baru kali ini Ti. Indah ya kota Ini.” “Jelas dong, yang kamu lihat itu
belum seberapa. Nanti akan kubawa kamu ketempat rekreasi
yang selalu ramai saat liburan.”
“Ti, ibu saya berpesan agar jangan lupa pergi ngaji selama disini.
Bisa bantuin carikan tempat ngaji Ti,” minta Hindon di awal
singgahan mereka di cafe itu sembari menanti air pesanan tiba.
“Aman tu, kamu mau ngaji tetap tiap malamnya, atau hanya ikut
gabung majelis aja,” Siti memberi pilihan. “Majelis aja Ti, kalau
rutin takut nanti tidak terkejar. Dan usahakan yang jadwal siang
aja ya.” “Oke ... siap. Nanti kita bareng, aku pun udah lama gak
ngaji lagi selama naik kelas tiga SMP.”
“Ti, maaf tadi saya tahan tawa,” “Bentar Ndon, kamu harus ubah
gaya bicaramu,” Siti memotong bicara Hindon.
“Coba ubah kata saya menjadi aku. Itu lebih keren dan terlihat
anak kota. Kecuali jika saat berbicara dengan orang yang lebih tua
baru pake kata saya. Dan bahasamu itu, tapi tenang nanti kamu
akan terbiasa sendiri jika sering bicara denganku,” Siti
mengatakan gaya bahasa Hindon yang masih medok atau kentara
sekali bahasa daerahnya. “Baik Ti,” jawab Hindon singkat.
“O ... yaya. Ternyata begitu. Dan juga Ti, tadi kita berkeliling kota
banyak kulihat perempuan menggunakan celana ketat
menampakkan bentuk tubuhnya apakah itu tidak dilarang disini.”
Hindon bertanya sambil memelankan suaranya agar tidak
tersinggung perempuan di sebelah mereka yang menggunakan
celana ketat.
“Dan sistem disini Ndon, kita tidak boleh mengurusi urusan orang
lain. ini maaf sudah menceramahimu hehehe...” Siti melanjutkan.
“Tidak apa-apa Ti, dengan begitu aku bisa tahu situasi disini,” ucap
Hindon membalas senyuman yang diberikan Siti kepadanya lalu
lanjut bertanya. “Jika kita tidak boleh mengurusi urusan orang
lain. itu sangat aneh ya Ti, berarti disini semua orang bebas
melakukan kemaksiatan ya. Kan tidak ada yang peduli.”
“Aduh ... duh. Aku pikir saudaraku ini pintar. Begini Ndon, jika
sudah memasuki ranah sosial, masyarakat akan tetap bertindak.
Seperti ada dugaan perbuatan zina, masyarakat disini akan
bergerak menggrebek jika kedapatan akan dijalanankan
mekanisme hukum yang berlaku. Jangan kamu anggap kota itu
seburuk pikiranmu ya. Kami disini Cuma tidak peduli dengan
urusan pribadi orang lain itu saja. Lihatlah nanti bagaimana
kehidupan masyarakat disini, pasti kamu ingin menetap disini
selamanya,” Siti kembali menjelaskan pertanyaan Hindon.
“Ti kopinya pahit ni, tolong panggilkan pelayannya untuk
ditambahkan gula,” Hindon terkejut merasakan kopi ala kota yang
memang dominan tidak terlalu manis.
Dan tanpa disadarinya nanti akan menjadi sorotan para pria lajang
di sekolah.
Masuk Sekolah, Masuk Hati
Bangun pagi seperti biasanya salat, cuci piring, dan mandi. Hari itu
rutinitas mereka mulai berbeda, yaitu memakai baju seragam.
Menandakan mereka sudah memasuki tahun awal belajar di SMA.
“Hindon kamu mau ngaji apa mau sekolah,” tanya Siti. “Lihatlah
kan aku pake baju sekolah,” jawab Hindon.
“Hahahaha ...” Siti ketawa. “Ada yang salah Ti ya,” tanya Hindon
heran melihat Siti ketawa.
“Tidak apa-apa lah Ti. Biarin aja , yang penting ini bisa buat aku
nyaman,” jawab Hindon tidak memperdulikan tampilannya akan
ditertawakan atau menjadi sorotan nanti.
“Rencananya gitu, karena kupikir apa yang kita lakukan itu hal
yang bodoh. Aku terkadang membayangkan bagaimana
perasaanku jika saudariku diperlakukan seperti yang aku lakukan,”
curhat Feri.
“Baguslah itu jika kamu sadar, aku pun mau berhenti pacaran. Itu
sudah bukan zaman kita lagi,” sambung Ikbal.
“Udahlah Fer, itu salah kita semua. Tapi tidak apa-apa juga, satu
sisi itu baik bagi kita. Pernah merasakan masa muda lalu sadar
bahwa itu hal yang bodoh. Hahaha...” kata Ikbal.
“Hahaha ... jika dipikir-pikir memang benar. Apa yang kita lakukan
sebelumnya memang sangat bodoh. Mengemis mengharap pada
perempuan agar mau dimanja. Hahaha ...” sambung Feri.
“Hei ... coba liat cewek yang itu,” seru Imran. “Yang mana?” tanya
Ikbal.
Uma tanpa sadar dan disengaja apa yang dikatakan hatinya. Itu
sepenuhnya bisikan hatinya yang berjalan begitu saja. Kemudian
dia sadar dari melamunnya itu dan kembali berkata dalam hati kali
ini dengan kesadaran.
“Kenapa dia hadir disini dan membuatku seperti bukan diriku lagi.
Kehadirannya, pandanganku, ada apa ini semua. Apakah dia tanda
petunjuk untukku atau dia hadir di lingkunganku sebagai pemberi
berita duka dan kesengsaraan. Ya ampun,” Uma kembali melawan
agar pandangannya tidak menatap gadis itu (Hindon) dengan
melihat gadis-gadis yang lain.
Sikap mereka kepada para siswi juga sudah berbeda, kini tampak
lebih cuek dan tidak peduli. Dan kebetulan mereka semua
memiliki paras ganteng yang berbeda-beda dengan style ganteng
yang berbeda-beda membuat perkumpulan mereka menjadi
sorotan bagi para siswi. Ada juga yang membenci mereka
terutama wanita yang pernah mereka permaiknkan dengan
perasaan tapi ada juga yang mengharap mereka kembali. Tidak
kalah juga, dari siswi-siswi baru mereka kebanyakan mengagumi
penampilan abang kelas mereka itu.
Keluar dari kantor berjalan melewati tiap lokal kelas satu secara
berderet, Uma dibarisan depan. Mereka melewati setiap adik-adik
kelas mereka yang sedang duduk santai sebahagian menikmati
jajan di bangku depan lokal. Para siswi baru saling berbisik kagum
dengan pesona abang-abang kelas mereka itu. tapi rombongan
Uma tidak peduli dan terus berjalan.
Dan itulah sebabnya mereka tidak pernah ketemu lagi. Uma tidak
pernah menatapnya lagi. Inilah takdir yang sudah digariskan.
Harapan Terbentuk, Salah Paham Menyertai
Melakukan hal seperti ini, Hindon punya cukup alasan yang kuat.
Pertama, larangan dari ibunya untuk tidak dekat dengan pria kota.
Kedua, Siti sangat mengagumi Uma sedangkan Hindon juga
memiliki rasa yang berbeda sejak pertama kali lihat Uma. Karena
itulah untuk menghilangkan rasa terlarang itu Hindon harus
menghindar dari pandangan Uma. Yang membuat anggapan
halusinasi Uma itu benar.
“Ya Allah itu dia, iya tidak salah lagi itu dia ternyata nyata bukan
halusinasiku,” ucap Uma lalu memarkirkan keretanya.
Dari luar Uma hanya tersenyum melihat tingkah gadis itu tetap
berdiri menunggu mungkin ia akan keluar kembali dan
mempersilahkannya masuk. Dari dalam Hindon mengintip dibalik
celah gorden dan melihat Uma masih berdiri didepan rumah.
“Ngapaian dia masih berdiri disitu, jika dilihat sama Siti atau
makcik bagaimana ini?” Hindon susah dan takut Uma belum juga
beranjak pergi. Ia takut makcik dan Siti melihat Uma diluar dan
mereka akan salah sangka.
“Eh ... Hindon udah pulang. Maaf ya aku tidak bisa jemput kamu.”
Keluar Siti dari kamarnya karena mendengar suara pintu. “Kamu
pulang sama siapa Ndon, kok tidak terlalu basah,” tanya Siti
sambil melihat seluruh tubuh Hindon dari ujung kepala sampai ke
ujung kaki.
“Bang Uma ...” Siti menatap Hindon. “Bukan begitu Ti, kamu
jangan salah paham dulu,” Hindon coba menjelaskan.
“Alah ... tidak perlu. Baru tau aku ternyata saudaraku itu menusuk
dari dalam.” Siti melepaskan genggaman Hindon dan masuk ke
kamar dengan menghentakkan pintu.
“Hindon mari makan dulu,” ajak Rahmah. “Iya makcik, bentar lagi.
Hindon selesaikan ini dulu,” jawab Hindon dari kamar mandi yang
sedang mengeringkan baju seragamnya di mesin cuci. Juga
sengaja diperlambat kerjaannya menunggu Siti masuk kedalam
baru ia keluar makan.
“Ya Allah ... apa yang telah terjadi. Kenapa begini.” Hindon
kembali merebahkan badannya di kasur dan menutup mukanya
dengan bantal.
“Ini tidak boleh, aku tidak boleh berpikir ia menyukaiku. Dan juga
tidak boleh berharap ia untuk menyukaiku. Karena itu dilarang,”
ucap Hindon membuka bantal yang menutup mukanya tadi.
“Dasar gadis aneh, tidak tau ucap terima kasih kepada orang yang
telah menolongnya,” ujar Uma.
“Tapi aku juga bersalah telah berani memayungi gadis yang tidak
kukenal. Besok aku harus menemuinya meminta maaf. Mungkin ia
marah padaku makanya tidak mengucapkan terima kasih.” Tutup
Uma lalu tidur.
“Itu gadis incaranku beraninya kau payungi dia,” “Oh ... aku tidak
tau. Tapi aku sudah duluan melangkah gimana. Kau masih rencana
kan,” ujar Uma.
“Uma ... aku sudah lama memantaunya. Kenapa kau yang dapat,”
ucap Ikbal yang juga mengagumi Hindon.
“Tidak apa-apa lah untuk kawan sendiri. Tapi jika kemarin itu
orang lain bisa kuhajar dia,” ujar Ikbal.
“Berarti kau Bal udah lama memantaunya. Jadi kau tau kan
dimana lokalnya,” tanya Uma.
“Ini lokalnya, tapi dia tidak ada,” kata Ikbal menunjukkan lokal
Hindon kepadanya. “Biasanya dia duduk di samping perempuan
itu,” lanjut Ikbal sambil menunjuk ke arah Siti.
“Dik, boleh tolong panggil cewek itu,” kata Uma kepada salah satu
siswa lokal itu.
“Kamu kenal dengan ... siapa namanya Bal.” Uma lupa nama
Hindon. “Hindon,” sahut Ikbal. “E ...iya itu dia kamu kenal kan
sama dia, kemana dia,” tanya Uma pada Siti.
“Dia itu saudara aku bang, dia sakit jadi tidak masuk hari ini,”
jawab Siti. Siti mulai sedikit bingung.
“Ada apa memangnya bang,” tanya Siti kembali. “Aku Cuma mau
minta maaf kemarin sudah memaksa memayungi dia, dia sudah
beberapa kali menolak tapi aku tetap saja. Tolong sampaikan ya
sama dia,” jawab Uma lalu mereka meninggalkan lokal itu.
“Tidak ada dia,” ujar Imran. “Tidak apa-apa besok kita kembali
lagi,” sahut Uma.
“Tapi, semua itu menjadi omong kosong saat kulihat dia bersama
Uma berduaan saat hujan dibawah payung,” kali ini ekpresinya
sedih.
“Mau cari siapa bang,” tanya seorang siswa lokal itu. “Cari Hindon
kemana dia ya.” “Udah pergi ke kantin sama si Siti bang.” “Baiklah
terima kasih ya dik.”
Uma pun segera pergi ke kantin. Tiba di kantin dia melihat Hindon
dan Siti sedang makan dan kebetulan di depan bangku mereka
duduk ada yang kosong, kesempatan bagi Uma.
Uma mulai paham dengan yang dimaksud Imran. Bahwa gadis ini
spesial berbeda dengan yang lain. dia sangat sulit didekati dan
melahirkan tantangan. Mulai berpikir bagaimana cara mendekati
dan mengetahui karakter Hindon yang lebih dalam.
Uma punya rencana terbaik dengan Siti dia akan berteman dekat
dengannya dan secara bertahap akan mengorek informasi tentang
Hindon darinya.
“Aku merasa terganggu. Kalau jumpa abang itu lagi tolong bilang
jangan ganggu-ganggu Hindon ya Ti,” harap Hindon.
“Baik Ndon. Kami akan semakin dekat. Tadi dia meminta nomor
handphone-Ku,” kata Siti. “O ...itu mantap sekali Ti, tidak lama lagi
kalian akan menjalin hubungan,” dukung Hindon. “Amiin...semoga
saja bang Uma..” Siti penuh harap.
Setelah itu hubungan Siti dan Uma kian dekat dan akrab. Hampir
setiap harinya mereka chatting-an. Siti tidak sadar bahwa ia
sedang dimanfaatkan oleh Uma untuk bisa mencuri hati Hindon.
Selain itu Siti melihat Uma semakin dekat dan terbuka dengannya,
dia mulai terbawa perasaan dan beranggapan bahwa Uma juga
menyukainya hingga begitu dengannya.
Disisi lain, setelah beberapa kali Uma dan Siti berjumpa dan
mengobrol. Uma mendeteksi sebuah perasaan yang berbeda dari
Siti kepadanya. Yaitu Uma mulai menduga Siti menyukainya.
“Siti kamu ada waktu sore ini,” ajak Uma melalui pesan SMS.
“Aku mau ajak kamu duduk ditempat biasa mau kan.” “O ...bisa
bang.”
“Siti, tidak terasa kita telah menjadi dekat seperti ini,” kata Uma
yang membuat jantung Siti berdebar.
Siti mencoba bertahan dan terus bertahan dari panasnya hati yang
sudah terbakar.
“Dan aku yakin kamu sebagai sepupunya pasti akan setuju dan
mendukung agar Hindon menerimaku,” lagi-lagi Uma tidak sadar
perkataannya itu menghujam, menghantam perasaan Siti.
“Aku senang kamu menyukai sepupuku. Tapi aku belum tau pasti
apakah dia juga mencintaimu. Namun aku yakin dia pasti
menerima dengan senang hati perasaanmu ini,” ungkap Siti
membohongi dirinya sendiri.
Uma mengetahui apa yang dirasakan Siti, air mata itu. Uma
mengetahui penyebab berlinangnya. Memilih pura-pura tidak tau
karena ini juga menyangkut perasaannya sendiri. Dan Uma hanya
berdoa semoga Siti baik-baik saja.
“Iya pulang, aku tidak sanggup lagi seperti ini. Perasaan yang
belum pernah kurasakan sebelumnya sangat mengejutkanku. Dan
aku harus pulang,” ucap Hindon menyakinkan keinginannya itu.
“Gimana Ti, udah kamu bilang sama Hindon.” Pesan masuk dari
Uma.
“Belum bang, belum ada waktu yang tepat untuk mengatakan itu.
itu kan butuh waktu dan tempat yang pas untuk diungkapkan. Iya
kan .” Balas Siti. “Jangan lupa kabarin ya Ti.” “Oke siap bang.”
Bukannya tidak punya yang tepat. Siti memang sengaja tidak ingin
disampaikan, ia tidak dan belum sanggup mengungkapkan itu
kepada Hindon. Ia merasa itu sama saja seperti membunuh
dirinya sendiri. Karena perasaan yang diamanahkan ditutupi itu,
hingga di lain pihak membuat Hindon menduga Siti sudah
menjalin hubungan dengan Uma dan membuatnya cemburu dan
sakit, akhirnya tidak betah lagi tinggal di kota.
“Buk. Hindon mau balik ke kampung selesai semester ini. Dan mau
minta surat pindah,” ungkap Hindon kepada wali kelasnya di
kantor sekolah secara diam-diam agar Siti dan kawan yang lain
tidak mengetahui kepindahannya.
“Kenapa begitu Hindon? Ibuk lihat kamu baik-baik saja di sini, atau
ada masalah apa kok tiba-tiba minta pindah,” tanya wali kelasnya
heran.
“Baiklah besok kamu datang lagi kesini menemui saya ya,” “Baik
buk. Tapi Hindon boleh minta tolong buk.” “Tolongin apa?
Katakan saja.” “Tolong jangan ceritakan sama Siti dan kawan yang
lain soal kepindahan Hindon ya buk. Nanti Siti tau dan mencegah
kepulangan Hindon.” “Baik Hindon.”
“Makcik ini ada surat permintaan maaf Hindon kepada Siti karena
tidak mengkabarinya,” ucap Hindon sambil menyerahkan surat
kepada makciknya sebelum menaiki mobil yang siap untuk
berangkat.
“Dan ini oleh-oleh untuk ibu ya. Tolong ucapkan salam dari makcik
kepada ibu,” ujar Rahmah sambil menyerahkan oleh-oleh berupa
kecap asin dan terasi khas kota Lek-lap. “Insya Allah makcik,
Hindon berangkat dulu ya makcik.” “Hati-hati ya nak.”
“Ini Siti, surat dari Hindon untukmu.” Surat? Kemana Hindon bu.”
“Dia pulang teringat dengan orang tuanya dan tidak kembali lagi
kesini. Ini surat untukmu,” Rahmah menyerahkan surat itu kepada
Siti.
Assalamualaikum,
Doaku untukmu agar sehat selalu, ceria selalu, sehat, cantik dan
senantiasa berbaik hati. Maafkan kepulanganku ini, yang tidak
pernah kuceritakan atau kuberitahu kepadamu sebelumnya.
Wassalam.
Lalu Siti mencoba membuka dan membacakan surat dari Hindon
yang tertuju kepada Uma, yang berbunyi :
Assalamualaikum,
Dan, tolong jaga Siti, jangan khianati dia. Aku tau apa yang
dirasakannya. Dia selalu senang dan ceria setiap kali mendengar,
menyebut dan membalas pesan darimu.
Dia memiliki hati yang tulus untukmu, tolong sekali lagi jangan
sakiti dia. Semoga kamu benar-benar amanah.
Wassalam.
Setelah selesai membaca surat itu Uma menatap tajam Siti, lalu
berkata, “Ya sudah, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Kini Hindon-
nya mana.” “Dia sudah berangkat sekitar 30 menit yang lalu,”
jawab Siti. “Tolong tulis alamatnya cepat,” Uma meminta alamat
rumah Hindon kepada Siti entah apa yang akan dilakukannya. Siti
pun segera menulis alamat rumah Hindon.
“Ini tidak ada waktu lagi, aku harus bergegas,” ucap Uma
meninggalkan Siti dan kemeriahan acara hari itu.
Uma pulang kerumah sebentar mengambil perlengkapan surat
kereta dan helm, lalu meminta izin kepada ibunya dia akan pulang
agak telat.
“Hindon ...” seru Uma sambil berlari. Dan perempuan itu berhenti
membuatnya semakin yakin itu adalah Hindon.
“Hindon ... Aku belum terima ucapan terima kasih darimu atas
pertolonganku secara langsung,” ucap Uma ketika sudah dekat
dengan Hindon.
“Kamu jangan pura-pura tidak tau, aku sudah tau semuanya,” kata
Uma.
Hindon terdiam sejenak dan berpikir dia tidak boleh jujur karena
cintanya itu tidak mungkin bisa dilanjutkan. Dan menjawab,
“Terima kasih sudah mencintaiku, tapi maaf aku tidak
mencintaimu bang. Kamu salah duga, maaf.” Hindon mengambil
tasnya yang terjatuh saat melihat Uma datang.
“Mohon maaf bang, mungkin ini sudah waktunya abang pergi dari
sini. Aku tidak mau orang kampung melihat kita berdua disini dan
membuat orang tuaku malu.” Hindon berjalan pelan
membelakangi Uma untuk menutup air matanya yang hampir
berlinang.
14
Wali mujbir adalah ayah atau kakek yang menjadi wali, yang memiliki
hak paksa menikahkan anaknya yang bikir (perawan).
hatinya saling membicarakan perjuangan Uma menemuinya
terbalas dengan jawaban yang mengecewakan.
Pada tahun itu kondisi desa Catok Peng terlihat sudah banyak
perubahan. Bantuan pembangunan mulai tersentuh di desa yang
mayoritas penduduknya berprofesi petani itu. Jaringan listrik
sudah tersambung, di jalannya setiap 60 meter terpasang tiang
listrik penerang jalan, tiang telkom juga sudah dibangun di area
tanah warga membuat jaringan komunikasi semakin mudah.
Dengan adanya jaringan listrik, beberapa rumah mulai aktif
menonton televisi walau mereka tetap mengatur jadwal.
Pada hari itu, Hindon di rumah masih menikmati libur hari raya
dan kembali mondok pada hari raya sepuluh. Hindon sudah
memiliki handphone pribadi yang dibelikan ayahnya, hanya
berfungsi sebagai nelpon, SMS, dan main game ular. Sejak ada
handphone Hindon sering saling nelponan dengan Siti saat waktu
senggang.
“Saat ini belum ada bu, tapi Rahman pernah melihat salah satu
gadis di desa ini mengaji di sana. Namanya sudah lupa, ayahnya
kalau tidak salah wak Sop,” jawab Rahman yang mengagumi
Hindon.
“Ini berapa lama tahannya kak Yah,” tanya Asiah memulai basa-
basi. “Sepuluh kadang delapan hari sudah habis, tergantung
jumlah konsumsi,” jawab Juwairyah.
“Kak Yah, jangan pulang dulu. Boleh kita bicara sebentar,” ajak
Asiah.
“Kak Yah, kita sudah lama saling kenal satu sama lain. dan saya
sangat mengenal kak Yah, orangnya baik, rajin dan suka
membantu suami. Oleh karena itu, saya punya hajat agar
hubungan kita ini semakin erat dengan mengikat tali
persaudaraan,” ucap Asiah.
“Alhamdulillah jika begitu, saya pun senang bisa kenal dan dekat
dengan kak Siah,” kata Juwairyah.
“Jelas lah kak, kakak pasti kenal.” “Siapa? Gadis di desa kita juga.”
“Saya sangat setuju. Karena saya suka menantu saya orang yang
paham ilmu agama. Tapi saya harus tanya dulu pendapat Hindon
dan ayahnya. Apakah mereka setuju,” jawab Juwairyah.
“Baik kak, tolong kabarin ya kak biar segera kita laksanakan acara.
Lebih cepat kan lebih baik,” ucap Asiah. “Insya Allah kak,” kata
Juwairyah sambil berjalan keluar. “Bujuk ayahnya sebagai wali
mujbir. Manfaatkan dengan baik,” kata Asiah membisik di telinga
Juwairyah.
“Siapa suaminya,” tanya Yusuf. “Rahman anaknya toke Ali yah, dia
mau mendirikan dayah di sini, tapi sebelum itu dia ingin menikah
terlebih dahulu dan pilihannya adalah Hindon. Gimana yah, tidak
senang memiliki menantu pimpinan dayah.” Juwairyah benar-
benar senang dia kegirangan.
“Jangan gegabah, kita tanyakan dulu sama Hindon. Dia setuju atau
tidak,” jawab Yusuf. “Ayah kan wali mujbir bisalah memaksanya
untuk menikah,” kata Juwairyah.
“Nah, mereka berdua memiliki selisih umur yang jauh anak kita
belum genap 20 tahun. Apakah anak kita akan senang jika kita
memaksanya, apakah ibu bisa menjamin dia tidak tersiksa lahir
batin setelahnya, apakah ibu lupa bahwa makruh hukumnya
memaksakan anak menikah dengan orang yang jauh lebih tua
darinya. Gimana bu?” tanya kembali Yusuf untuk memperjelas
keinginan Juwairyah.
“Ayah tidak mau egois bu. Yang terpenting anak kita senang lahir
dan batin. Nanti malam kita tanyakan kepada Hindon dan tanpa
unsur pemaksaan. Ingat itu bu, demi anak kita, “ ucap Yusuf
mempertegas kebijakannya sebagai ayah yang berhak
mengemban wali mujbir tapi tidak egois memanfaatkan itu.
“Aku cek dulu ya. Nanti aku kirim setelah ini. Tapi sudah lama
tidak melihatnya kudengar dia pergi ke Kutaraja kuliah disana.
Tapi ada apa Ndon kok mendadak seperti ini.” jawab Siti.
Setelah itu Siti segera mengirim nomor seluler Uma. Dan Hindon
tidak seperti biasanya pemalu dan penakut. Hari itu dia tidak
sadar sudah berani menelepon Uma. Panggilan terhubung tapi
Uma tidak mengangkatnya.
“Ya Allah bang ...kenapa tidak diangkat?” Hindon susah. Lima kali
di teleponnya pada waktu yang sama, semuanya tidak diangkat.
“Duduk sini dulu nak, ada yang mau ibu dan ayah sampaikan,”
ucap ibunya. “Hindon boleh izin makan dulu bu,” minta Hindon
mengalihkan waktu lebih lama berharap ada telpon panggilan saat
jeda itu. Hindon sengaja memperlambat makannya, usaha
menunggu menanti telpon panggilan tak kunjung hadir. Hindon
kini hadir di meja makan bersama ibu dan ayahnya mendengarkan
tawaran yang sudah diketahuinya.
Juwairyah mulai murka tapi masih tertahan lalu berkata, “Ya Allah
Hindon ...kamu tidak dengar ya apa yang ibu amanahkan
kepadamu. Bahwa ibu tidak suka dan tidak merestui pria kota
manapun.”
“Kamu tidak perlu tau kenapa. Kamu hanya harus patuh ucapan
ibu karena itu yang terbaik bagimu,” jawab Juwairyah.
“Lihatkan bu, dia tidak setuju jangan dipaksa,” ucap Yusuf kepada
Juwairyah.
“Lalu ayah akan setuju dia bersama orang kota itu,” tanya
Juwairyah.
“Jika memang dia orang baik apa salahnya bu.” “Apakah ayah
belum tau karakter orang kota itu. mereka manja, malas, dan
tidak bertanggung jawab. Dan pergaulan mereka terlalu bebas
apakah ayah suka dengan menantu seperti itu,” ucap Juwairyah
diam sejenak lalu melanjutkan.
“Ibu jangan terlalu temperamen seperti itu. Ibu kan juga belum
tau bagaimana dia sebenarnya, kenapa berani menuduh
seseorang malas, manja, tidak bertanggung dan tidak beragama.”
“Ayah berkata begitu karena tidak mengalami apa yang ibu alami
yah.” Juwairyah mengungkapkan perasaan ketidaksukaannya
kepada suku diluar Aceh. Juwairyah belum bisa melupakan
kepergian ayahnya yang meninggal di tembak oleh TNI pada masa
Daerah Operasi Militer (DOM) saat konflik melanda Aceh
beberapa tahun silam. Dan berkeyakinan anggota TNI yang
berperang melawan pejuang GAM15 saat itu adalah mereka dari
suku Jawa dan suku lainnya di luar Aceh. Sejak saat itulah
Juwairyah benci dan dendam kepada suku di luar Aceh, dan
beranggapan mayoritas yang tinggal di kota itu bukanlah orang
Aceh murni. Itulah alasannya melarang Hindon menjalin
hubungan dengan mereka.
“Aku tau apa yang kamu rasakan bu. Ayah juga mengalami itu saat
adik saya ditembak karena dituduh sebagai separatis. Dan saat ini
waktunya kita membuang rasa dendam dan benci itu bu,” ungkap
Yusuf juga menceritakan kisah pilu kehilangan adik kandungnya
yang dituduh sebagai anggota GAM lalu dibawa ke hutan dan
ditembak oleh tentara.
15
Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM (bahasa Aceh: Geurakan Acèh
Meurdèka) adalah sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan
supaya Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik
antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan
ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya
hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh
Sumatra National Liberation Front (ASNLF). (Sumber: Wikipedia)
“Maka, mari kita buang rasa itu. kita beri kesempatan untuk
Hindon memilih berdasarkan hatinya. Ayah tidak ingin melihat
anak sengsara gara-gara pilihan orang tuanya,” sambung Yusuf.
Anggapan seperti ini tidaklah mutlak. Ada juga yang menikah dari
saling mencintai berakhir perceraian, ada juga menikah
dijodohkan berujung kebahagiaan.
Malam itu Hindon masih menanti jawaban dari Uma. Dia tidak tau
apa yang terjadi kenapa Uma tidak menelepon balik. Atau kenapa
tidak merespon pesannya. Dia coba hubungi lagi, ternyata
handphone-Nya masih belum aktif. Hindon merasa sedikit lega,
dengan berpikir Uma belum pasti mengabaikan dan
melupakannya.
Hari berganti, belum juga ada kabar dari Uma. Hindon menemani
ibunya pergi ke pasar untuk belanja. Tampak raut wajah ibunya
masih kecewa dengannya. Dan disela istirahat, ibunya sempat
bertanya perihal pilhannya itu, siapa orang tuanya, suku apa, ada
mengaji atau tidak, apakah rajin ibadat. Semua pertanyaan itu
Hindon jawab, “Tidak tahu bu. Yang Hindon yakini dia orang baik.”
Bukan suatu hal yang aneh bagi desa Catok Peng jika setiap
permasalahan itu diadakan musyawarah menanyakan pendapat
kepada orang tua kampung, walaupun itu persoalan rumah
tangga. Dan warga yang sedang mengalami masalah tidak segan
meminta pendapat, itu semua karena seluruh warga di desa itu
sudah seperti saudara sedarah. Itulah yang berlangsung di desa
Catok Peng hingga saat itu.
16
Geuchik merupakan sebutan masyarakat Aceh kepada kepala desa
atau lurah.
17
Tuha Peut merupakan unsur pemerintahan kampung yang berfungsi
sebagai badan permusyawaratan gampong yang disebut legislatif
gampong.
Hindon di kamar masih dengan mukenanya berdoa dan
membacakan ayat suci alquran selama acara musyawarah itu
berlangsung. memohon semoga Allah menghendaki keputusan
yang terbaik.
Yakob, ketua tuha peut desa Catok Peng menunjuk tangan sebagai
pemberi tanggapan yang pertama. Memberi salam lalu bertanya,
“Yusuf, apakah saudara tahu dia dari suku mana?”
“Belum tahu, karena anak saya tidak tahu. Dia belum pernah
bertanya itu,” jawab Yusuf.
Yakob melanjutkan tanggapannya, “Tegas saya katakan, jika
calonnya itu adalah bukan suku kita Aceh. Saya berjanji tidak akan
menghadiri acara pernikahannya. Mohon maaf saudara Yusuf jika
tersinggung.”
“Apa yang dikatakan saudara Yakob benar tapi keliru. Beliau benar
bahwa kita harus menjaga tradisi adat istiadat yang sudah
dilakukan leluhur kita, juga tradisi keagamaan yang harus dijaga
dan diterapkan kepada anak cucu kita. Itu saya mendukung dan
oleh kita semua pasti mendukung. Namun kelirunya adalah ketika
saudara Yakob menyalahkan orang luar yang akan datang kesini
untuk merusak itu semua. Saya tidak yakin dan saya tidak masuk
akal satu orang bisa mempengaruhi ratusan warga kita. Juga,
seandainya mampu kenapa kita tidak memperhatikan
perkembangan teknologi yang sudah masuk di kampung kita,
seperti televisi. Bukankah itu lebih nyata dan jelas membawa
pengaruh yang besar bagi perubahan akhlak moral anak kita.
Terima kasih,” tutup Ridwan, Sekdes Catok Peng.
Semua para hadirin diam tidak ada yang menunjuk tangan untuk
memberi tanggapan. Melihat kesunyian itu Geuchik Him
menyampaikan kesimpulan dan menutup acara musyawarah itu.
Asiah dan Juwairyah nampak tegang menanti kesimpulan dari
geuchik yang akan menjadi pertimbangan bagi Yusuf untuk
memberi kebijakan.
18
Bangunan fasilitas umum di Aceh, biasa di dirikan samping mesjid atau
mushalla. Berfungsi sebagai tempat melaksanakan perayaan agama,
pengajian, bermusyawarah dan lain-lain.
“Bismillahirrahmanirrahim. Berdasarkan tanggapan dari saudara
Sulaiman dan Yakob yang keberatan menerima orang dari kota
dan dari suku lain dengan alasan yang sangat jelas. Dan sebagian
sudah ditanggapi pernyataan tersebut oleh Teungku Imam dan
Bapak Sekdes, dan yang bersangkutan saudara Yusuf serta
semuanya sudah mendengarnya. Pasti kita semua dapat dipahami
dan bisa memilih pernyataan yang lebih cocok di hati masing-
masing.”
“Karena tadi ada menyinggung konflik masa lalu, maka saya selaku
pemimpin di kampung ini untuk menghimbau kepada seluruh
warga, agar senantiasa sama-sama kita jaga perdamaian ini. Mari
kita benah bersama demi kemajuan sumber daya manusia (SDM)
anak-anak kita. Sejarah tidak boleh dilupakan, kita harus bercerita
sejarah bangsa kita kepada anak cucu kita. Namun usahakan
sejarah itu jangan menyisakan rasa dendam dan benci, tapi
melahirkan pembelajaran dan pemahaman agar kedepan tidak
terulang kembali sejarah haru.”
“Oleh karena itu, jangan gara-gara satu dua orang politik berbuat
kesalahan membuat kita benci sejuta warga sipil. Juga,kita tidak
boleh menyalahkan dan menuduh etnis di luar kita buruk, dan
memfatwa etnis kita adalah yang terbaik. Marilah kita hidup
bersatu dalam keberagaman ini. Dan saya yakin saudara Yakob
dan Sulaiman kali ini pasti setuju,” sambung geuchik.
Kembali pulang larut malam Uma mencoba mencari lagi tidak juga
ketemu, Uma sudah pasrah hendak dihubungi, handphone-Nya
dimatikan. Maka, Uma berencana membeli handphone baru
besoknya.
Dari sini, harapan mereka untuk bertemu sudah pupus. Tidak ada
jalan bagi Hindon lagi untuk memberi tahu Uma soal
perjodohannya, juga tidak bisa mengetahui perasaan Uma saat ini.
Hindon yang tertidur di atas sajadah terjaga di tengah malam,
melihat handphone-Nya tidak ada panggilan atau pesan masuk
dari Uma. Hindon pasrah, dia menyagka mungkin tidak bersanding
dengan Uma, inilah yang terbaik.
“Jika memang pilihanmu itu serius dan tulus, tujuh hari itu
bukanlah waktu yang singkat,” ungkap Juwairyah seperti
mengejeknya.
Kemudian di buka pesan masuk dari nomor baru yang sama, yang
bertuliskan ; Assalamualaikum bang. Ini Hindon dari desa Catok
Peng. Jika ada waktu luang tolong hubungi kesini.
Sangat senang Uma pada malam itu, apa yang diinginkannya kini
hadir kembali. Segera dia telpon Hindon tanpa
mempertimbangkan malam sudah larut.
Di desa Catok Peng dalam kamar masih dirulung sepi, Hindon yang
sedang menatap hamparan sawah di kegelapan, untuk
menenangkan pikirannya yang tidak bisa tidur. Terdengar suara
surga penenang jiwa dari handphone berupa panggilan masuk dari
Bang Uma.
“Ini benar Hindon?” tanya Uma. “Iya bang, ini Hindon,” jawab
Hindon. "Sepertinya kamu sedang menangis. Ada apa Hindon?”
tanya Uma kembali.
“Dan apakah kali ini kamu akan kembali berbohong,” tanya Uma.
“Tidak bang ...kali ini Hindon tidak berbohong lagi. Suara tangisan
ini apakah bisa mewakili rasa haruku bang,” jawab Hindon yang
sedang menangis terharu.
“Pulang kenapa tidak kabarin nak,” tanya kak Nabon di siang hari
setelah Uma bangun dari tidur istirahatnya.
“Ada hal mendadak bu. Ayah mana bu,” jawab Uma.
“Ada apa pulang mendadak sekali,” tanya Apa Suman. “Uma ada
hajat ayah,” jawab Uma. “Baik silahkan katakan saja.”
“Pekerjaan belum ada bu. Nanti selesai kuliah Uma coba lamar
pekerjaan di apotik disini,” jawab Uma yang sebentar lagi akan
menyandang sarjana Farmasi.
“Baiklah Uma. Ibu nanti sore segera pergi ke rumah wak Mulah
untuk membantu persiapkan barang hantaran lamaran.” “Baik
yah.”
19
Kuwah beulangöng, atau sering disebut juga dengan gulèe sie kamèng,
adalah masakan Aceh sejenis gulai yang berbahan baku utama daging
kambing dan nangka muda yang dimasak dalam belanga, serta disertai
potongan pisang kepok, dan ditambah cabai kering, kelapa gongseng,
kayu manis, dan bumbu lainnya. (sumber : Wikipedia)
yang hanya sekali dilakukannya mengingat Hindon adalah anak
satu-satunya.
Pada malam hari acara, para pemuda dibantu orang tua kembali
bekerja. Ber-agendakan memotong daging kerbau yang sudah
disembelih pada sorenya. Juga daging sapi. Dan bagian memasak
kuah beulangöng itu menjadi spesialis para pria. Sedangakan ibu-
ibu di dalam hanya memasak yang ringan-ringan saja seperti
tauco, mie dan lain-lain.
20
Pahlawan Aceh
Keduanya digiring masuk kedalam duduk di pelaminan. Lalu
dilangsungkan acara saling menyuap makanan sebagai isyarat
kompak dan harmonis. Di sambung dengan acara peusijuk (tepung
tawar) oleh orang tua, saudara, tokoh agama dan perangkat
kampung masing-masing.
“Baiklah dek. Ada yang ingin abang tanyakan ini.” “Apa itu bang?”
“Dek, kok bisa bunyi?” tanya Uma heran. “Ini namanya serune
pade bang. Konon katanya para pemuda desa menggoda para
gadis dengan meniup ini,” jawab Hindon sambil menyerahkan
kepada Uma untuk dicoba tiup.
“Di balik gubuk itu para gadis duduk menikmati kesyahduan padi
menari sesuai arah angin. Datang pemuda memantau dari jauh,
tidak berani mendekat karena malu. Maka untuk menarik
perhatian gadis yang ada di gubuk. Pemuda tersebut mengambil
padi lalu meniupnya.”
“Lucu tapi romantis ya.” “Iya begitu bang. Orang dulu sangat baik
menjaga norma agama.” “Adek dari mana mengetahui cerita itu.”
“Tidak lama lagi akan tiba musim panen padi. Nanti abang ikut ya
dan lihatlah keseruan bermain layangan dan mengejar burung
pipit,” ajak Hindon. “Baik dek.”
Dan saat tiba musim panen Uma benar-benar ikut turun ke sawah
pengalaman perdananya. Merasakan duduk di gubuk menikmati
makan siang yang dibawa Hindon dalam rantang sambil
menyaksikan anak-anak mengejar burung pipit.
“Ini kitab apa Don?” tanya Uma sambil memegang kitab agak tipis
berwarna kuning.
“Yang ini kitab Tahrirul Aqwal biasa disebut kitab Awamel. Ini
kutargetkan dalam seminggu kamu sudah bisa memahami dan
menghafalnya. Kemudian dua minggu selanjutnya kamu harus
bisa meng-I’rabkan seluruh kalimat yang ada di sini,” jawab Uma
menjelaskan targetnya.
“Kalau yang ini Don,” tanya kembali Uma kini memegang kitab
berwarna hijau yang agak tebal.
“Ini kitab Tasrif, aku menargetkan dalam sebulan, kamu harus bisa
mengetahui nama-nama dan bentuk segala kalimat, menghafal
segala bab tasrif berserta Wazan-wazannya serta beberapa hal
penting yang tertulis dalam kitab ini. Sebulan selanjutnya fokus
kepada memahami kaedah-kaedah bentuk sebuah kalimat.
Sebulan selanjutnya lagi kita akan fokus kepada review dan
mempraktekkannya menggunakan kitab arab. Nanti akan
kutanyakan, apa nama kalimat itu, apa tasrifnya, tergolong ke
dalam bab apa, sebutkan wazannya serta menjelaskan kaedah
yang terkandung.”
“Dan yang ini, coba kamu jelaskan Don.” Uma bertanya persoalan
ilmu sharaf.
Di balai mini dari kayu, Uma masih membuka tutup dua kitab yang
akan dipelajarinya itu. kemudian timbul pertanyaan kembali.
“Baiklah jika begitu, kita harus kejar waktu. Tidak ada waktu bagi
kita bermain-main. Karena ada orang yang lagi sabar menanti,”
ucap Uma kini mulai paham fungsi ilmu yang akan dipelajari. Dan
bersungguh-sungguh mempelajarinya untuk memenuhi hajat
istrinya.
“Ini kita akan memepelajari ilmu yang butuh pikiran berjalan dan
berputar untuk memahami setiap rumus dan kandungan isinya.
Untuk orang sepertimu yang sudah biasa otaknya berjalan. Ilmu
ini, untuk di sekolah bagi siswa yang suka ilmu menantang seperti
matematika, fisika dan kimia. Jika mempelajari ilmu ini tidak akan
terlalu sulit baginya. Pikirannya sudah sering berpikir menentukan
rumus dan memberi hasil yang tepat.”
“Maka tidak ragu, jika untuk ilmu mantiq kita ambil kitab matan
sulam dengan tempo dapat memahami dan menghafalnya selama
enam bulan. Itu dibarengi dengan ilmu ushul kita langsung ke
kitab nufahat dan ilmu bayan menggunakan kitab Ahmad Shawi.
Semua itu aku targetkan selama dua tahun untuk kamu bisa
menguasainya.” Baka mengutarakan targetnya.
Kemudian Uma kembali bertanya sebagaimana saat bersama
Zaidon fungsi dan tujuan mempelajari ilmu tersebut. Baka pun
menjelaskan dengan jelas dan membuat Uma menerima dengan
tekad akan bersungguh-sungguh mencapai target.
“Kamu jam duha mempelajari ilmu nahu dan saraf. Maka saat
belajar bersamaku, jangan tanya pertanyaan yang berkaitan
dengan ilmu nahu dan saraf, itu ranah Zaidon. Jika ada yang
kurang paham permasalah kedua ilmu itu pada kitab yang aku
ajari ini, simpan pertanyaan tanya nanti saat bersama Zaidon.
Bersamaku hanya fokus dan terbatas memahami ilmu yang aku
ajari. Pahamkan Uma!” kata Baka.
Untuk nafakah, baik untuk Uma dan Hindon. Ditanggung oleh Apa
Suman, ayahnya Uma. Apa Suman siap memberi nafakah kepada
anak dan menantunya selayaknya mereka saat masih lajang.
Dua tahun berlalu, Uma dengan giatnya mempelajari ilmu alat
berhasil menghafal dan menguasainya. Baka dan Zaidon salut
dengan muridnya itu yang juga merupakan sahabat. Dia begitu
gigih dalam belajar, mengulang kitab dan menanyakan setiap yang
tidak diketahui.
Dua tahun memfokuskan diri kepada ilmu nahu dan saraf, Uma
kini sudah bisa membaca kitab arab gundul sendiri,
menerjemahinya sendiri dengan bantuan kamus Marbawi dan
Munawwir. Dan tentunya tetap atas bimbingan kontrol kedua
sahabatnya itu hingga ia nanti benar-benar sudah mahir.
Rasa restu yang tanggung dari ibu adalah yang diketahui Hindon,
membuat hubungan dengan suaminya itu kurang sempurna,
pikiran sering kacau walau sedang berdua bersama orang tercinta.
Dan itulah sebab Hindon dan Uma sempat pisah ranjang meski
tanpa perceraian. Kericuhan tiba-tiba terjadi dapat dirasakan
begitu dalam oleh Hindon, yang membuatnya berpikir bahwa ada
kejanggalan dari hubungan mereka, dan itu adalah restu yang
belum sempurna dari ibu.
“Mari Uma kita minta izin sama Abu dulu,” ajak Zaidon beserta
Baka.
Sayang ...
Aku sudah pulang,
Tolong ingatkanku jika suatu saat harus kembali jauh darimu
untuk tidak melupakanmu.
Baiklah,
Tolong ingatkanku juga untuk mencegah kepergianmu jika
kepergian itu tidak terlalu penting.
Aku mohon,
Tolong bantu peringatkanku saat mataku terlena melihat
pesonamu bahwa, ada pesona yang lebih dari ini untuk diriku
mengejarnya.
Kamu tidak perlu ragu, cintamu yang bersemi saat ini hingga
kedepannya, sudah cukup pelayanmu untukku sebagai suamiku.
Sayang ...
Kini aku pinta atas nama cinta ini, katakanlah dan tegurlah jika aku
sudah keterlewatan membantah saran dan ajakan darimu. Aku
siap sebagai istri menjadi budakmu, mendengar dan mematuhi
setiap perintah darimu suamiku.
Atas nama cinta yang kau agungkan, aku tidak mau jadi penghulu
atas orang yang kucintai. Aku menginginkan derajat yang sama,
tanpa pemimpin dan pembantu. Atas nama cinta itu, aku yakin
kita bisa sama-sama menjadi pemimpin, sama-sama menjadi
pembantu.
Tanpa egois,
Tanpa amarah,
Tanpa saling mencurigai.
Kita bentuk sama-sama rumah tangga kepercayaan berpondasi
ketakwaan berhiasi keindahan cinta.