Anda di halaman 1dari 262

Sinopsis

Hindon seorang gadis desa, suatu hari pergi ke kota atas ajakan
sepupunya bernama Siti, untuk melanjutkan Sekolah Menengah
Atas (SMA).

Saat belajar di sekolah Kota, Hindon dikagumi oleh abang kelas di


sekolah tersebut bernama, Uma. Uma merupakan pemuda yang
tampan, cukup menarik para wanita-wanita di sekolah tersebut.
Tidak ketinggalan, Hindon juga punya rasa dalam diam kepada
Uma.

Dengan rasa percaya diri yang tinggi, Uma mengungkapkan


cintanya kepada Hindon. Namun cinta Uma bertepuk sebelah
tangan, tanpa alasan yang tidak diketahui oleh Uma.

Hindon teringat dengan ucapan ibunya saat ia hendak pergi ke


kota. Bahwa, ia tidak boleh punya jalinan asmara dengan pria
kota. Keluarga Hindon hidup di pelosok desa di Provinsi Aceh,
yang mana kehidupan di sana sangat kental dengan keagamaan
dan adat istiadat yang belum tercemar. Itulah alasan ibu Hindon
melarangnya dekat dengan pria kota. Sebab, pria kota banyak
yang kurang paham tentang perihal agama. Begitulah yang
dipirkan ibu Hindon. Juga takut jika ada pria kota yang dikenali,
akan membuat anaknya ikut gaya anak kota yang pola hidupnya
sudah bercampur dengan budaya barat.

Menghadapi sikap orang tua Hindon yang tegas dalam sekali kata,
pada akhirnya mereka berdua tetap jadi bersama. Bagaimana
kisah cinta Uma dan Hindon, silahkan dibaca.
Calitra
Uma dan Hindon
Talak Kinayah

Tam Tum Kring gedebug, suara benda di dapur jatuh hancur


pecah.

Rumah yang diisi pasangan muda memecah kesunyian di sekitaran


rumah itu, mengejutkan tetangga sebelah.

”Cepatlah segera pulang ke rumah ibumu,” ucap Uma kepada


istrinya dalam keadaan keringat bercucuran dari kelelahan
mengamuk.

Hindon, sang istri tanpa bertanya alasan pengusirannya itu. Dia


langsung masuk ke kamar dalam keadaan ketakutan memasukkan
beberapa baju yang cukup muat bagi ukuran tasnya. Lalu keluar
dari rumah menuju jalan raya menunggu mobil transportasi
umum.

“Apa gerangan denganmu bang, kenapa begitu tiba-tiba. Apakah


tidak ada arti perjuangan kita dahulu. Kenapa hal sepele bisa
membuatmu begitu mengamuk,” ungkap Hindon dalam hatinya
saat sudah duduk di bangku mobil.

Meratapi kesedihan hati pilu terusir oleh suami tercinta. Hindon


seperti hilang roh duduk termenung sendiri dalam mobil itu.
mencoba mencari sebab kejadian ini bisa terjadi, tapi tidak dapat.
Hanya suaminya yang tau.

Menyusuri jalan sawah melewati lorong setapak dan tibalah di


rumah panggung. “Ibu ...” Hindon langsung memeluk ibunya
sambil menangis.
“Kamu kenapa nak? Mana suamimu. Kenapa sendiri kesini.”
Juwairyah, ibunya Hindon bertanya.

“Hindon kesini sendiri bu,” jawab Hindon. “Apakah kalian baru


saja ribut. Apakah kamu terluka nak.” Juwairyah memeriksa
seluruh tubuh anaknya itu memastikan apakah ada yang terluka.

“Ya sudah diamlah, jangan menangis lagi. Dari dulu sudah ibu
peringatkan jangan mau sama dia. Kini sudah kamu rasakan
sendiri akibatnya,” ucap Juwairyah.

“Hindon mencintainya bu ...” “Hindon ... cukup dengan semua


cinta omong kosong itu. Kamu tidak perlu mendengarkan bisikan
hatimu yang sudah tersesat gara-gara pria kota itu. kini dengar
dan patuhi perintah ibu tanpa membantah lagi.”

“Tapi bu ...” “Tidak ada tapi-tapi lagi, sekarang juga ibu akan urus
persidangan perceraian kalian karena dia sudah keterlewatan
mengusirmu.” Juwairyah segera menemui kepala desa di kantor
membicarakan persoalan pengurusan surat perceraian anaknya
itu.

Hindon tidak mampu berbicara banyak. Hatinya masih berpihak


kepada suami sedangkan pikirannya seperti membenarkan apa
yang dikatakan ibunya.

“Lihatlah yah, apakah salah dulu ibu menyarankan ayah


menggunakan hak wali mujbir. Kita sebagai orang tua sudah
terkecoh cerita cinta dari anak kita sebagai alasan
kebahagiaannya. Kini yang terjadi malah sebaliknya,” ungkap
Hindon kepada suaminya, Yusuf.
“Kita jangan gegabah menyalahkan. Kita juga sebagai orang tua
tidak boleh terlalu ikut campur urusan anak kita dengan
suaminya.” Yusuf menjawab tenang dalam keadaan masih lelah
pulang dari sawah.

“Biar ibu yang urus semua ini yah, ibu lebih mengerti tekanan
batin anak sendiri.”

Setelah berkonsultasi dengan kepala desa dan imam desa,


Juwairyah melanjutkan proses pengurusan perceraian ke
pengadilan. Sedangkan Hindon hanya pasrah bagaikan robot,
membiarkan ibunya bergerak memproses perceraiannya.Tanpa
ada kabar dari kota setelah beberapa hari berlalu dari kejadian
tersebut. Membuat Hindon semakin tidak menolak keputusan
ibunya.

Sering duduk sendiri berpikir kenapa ini bisa terjadi. Hubungan


rumah tangga yang dirancang melalui kasih sayang kenapa bisa
terjadi hal yang tidak di-Inginkan. Meski mengerti rumus cinta
manusia yaitu ; Cinta itu naik turun, kadang timbul kadang hilang.

Tibalah jadwal yang sudah ditetapkan, Uma hadir bersama orang


tuanya dan teungku imam. Juga demikian Hindon pergi bersama
orang tuanya didampingi kepala desa. Dalam ruangan persidangan
kedua pasangan ini tampak sikap dingin tanpa saling menoleh
atau memandang satu sama lain.

Hakim memasuki ruangan, setelah menyampaikan beberapa tata


cara persidangan yang harus dijalankan oleh yang disidang selama
proses persidangan, memberi nasehat serta peringatan. Lalu Uma
dipersilahkan berdiri di mimbar persidangan dan dipersumpah
untuk menjawab kesaksiaanya itu secara jujur.

“Apakah benar kamu Uma telah mengusir istrimu dari rumahmu


dengan ucapan, ‘Segera pulang ke rumah ibumu,’” tanya hakim
kepada Uma. “Benar Pak Hakim.”

“Apa maksud pengusiranmu itu,” hakim kembali bertanya dengan


kewibawaannya. “Mohon maaf, saat itu saya tidak terkendali,”
jawab Uma tertunduk menyesal.

“Apakah ada timbul niat menceraikan istri saat pengusiran itu?”


“Tidak ada Pak Hakim.” “Lantas apa penyebabnya jika tidak
begitu.”

Hindon dari bangku saksi duduk tertunduk menanti jawaban


suaminya.

“Saya lihat istri saya seperti sedang banyak pikiran. Dia sering
termenung saat duduk sendiri maupun saat duduk bersama
tetangga, Semangatnya nampak menurun. Pernah saya tanyakan
apakah dia sakit, jawabnya tidak. Saya coba bawa dia ke rumah
sakit untuk diperiksa, itupun tidak mau. Saya ikut merasa susah
dan tidak bersemangat, saya coba berpikir mungkin dia teringat
dengan orang tuanya. Saya bujuk dia untuk pulang ke desa
beberapa hari jika memang benar rindu kepada orang tua, dia
katakan tidak ada. Saya coba juga tanyakan apakah saya ada salah
terhadapnya, dia kembali menjawab tidak ada,”

“Lalu kenapa hidupnya tidak bersemangat, sering termenung


seperti memikirkan sesuatu. Membuat saya susah dan gelisah.
Dan saya sangat yakin bahwa, dia ingin pulang menjenguk orang
tuanya namun karena tidak enak dengan saya membuatnya
enggan meminta izin. Hingga pada hari itu, sarapan pagi yang saya
beli untuknya masih sisa tidak tersentuh, begitu pula makan siang
tidak terlihat dia ada makan. Maka saat itu kesempatan bagi saya
untuk membuatnya bisa pulang ke rumah orang tuanya agar bisa
menenangkan pikiran kerinduannya.” Uma terdiam sejenak
menatap Hindon yang masih tertunduk.

“Silahkan dilanjutkan, jika masih ada yang ingin disampaikan.”


Hakim mempersilahkan.

“Hingga saya berpura-pura mengamuk agar dia bisa pulang


menjenguk orang tuanya,” sambung Uma.

Hindon tercengang, dari tertunduk kepalanya terengah menatap


suaminya itu.

“Apakah benar yang kamu katakan Uma?” “Benar Pak Hakim, saya
tidak berbohong.” “Apakah kamu masih ingin kembali bersama
istrimu.” “Sangat ingin, dan mungkin sebulan sudah cukup baginya
melepaskan kerinduan bersama orang tuanya,” jawab Uma
dengan tersenyum menatap istrinya yang sedang terharu bahagia
mendengar ucapan suaminya itu.

“Dengan demikian dapat kita ambil putusan bahwa kedua


pasangan ini bisa kembali berkumpul tanpa perlu lafad rujuk. Dan
sidang ini resmi saya tutup.” Hakim mengetuk palu sebagai tanda
berakhirnya persidangan.
Persidangan yang sempat diduga akan melahirkan cerita sedih
dari berpisahnya kedua pasangan muda tersebut, ternyata
berakhir dengan kejutan bahagia melalui proses drama yang
dirancang oleh Uma.

Membuat Hindon terharu bahagia bersyukur memiliki suami yang


sangat paham perasaan istri. Suami yang mendalami perasaan istri
tanpa diberitahu kendala yang dialami.

Berbeda dengan Juwairyah. Ibu Hindon tersebut sangat menyesali


keputusan yang terjadi. Dia berharap mereka berpisah dan Hindon
bisa menikah dengan orang pilihannya. Yusuf hanya senyum
mengejek gestur istrinya itu yang tidak bisa menerima. Uma
kemudian membawa istrinya kembali pulang ke istana mereka
menginap.

Mereka kembali melanjutkan hubungan asmara yang sah. Namun


secara terselubung, pikiran karuan masih menghinggap di
kepalanya. Tapi kali ini dia menyembunyikan begitu dalam
pikirannya tersebut untuk mencegah kejadian sebelumnya
terulang kembali.

Tanpa curhat kepada siapa pun, Hindon mencoba bertahan


dengan pikiran kacau dan hati tidak tenangnya itu. Timbul
pertanyaan kepada dirinya sendiri, apa penyebab pikiran dan
hatinya begitu kompak mengahancurkan ketenangan hidupnya
bersama suami.

Lama dia berpikir, mengingat kembali perjalanan waktu ke


belakang tentang hal yang sudah terjadi yang mungkin ada
penyebabnya.
Dan dapat. Hindon telah menemukan penyebabnya dan akan
segera ditunaikan untuk menghilangkan kericuhan tersebut guna
dapat menjalani hidup asmara bersama kekasih penuh
ketenangan tanpa gangguan pikiran dan hati yang mengganggu.
Saran Mengejutkan

Dalam kamar minimalis di atas kasur empuk ranjang tempat tidur


kayu jati, bawaan Uma saat pernikahannya dengan Hindon. Di
temani penampakan bulan purnama yang mengintip di celah
jendela. Kedua suami istri tersebut berbincang mesra mendengar
ucapan kata masing-masing.

“Bang, Hindon punya keinginan. Maukah abang penuhi?” katanya


dengan pandangan sayu penuh harap. “Apa itu dek,” tanya Uma.
Hindon merasa ragu mengungkapkan keinginannya itu, mungkin
suatu yang besar. “Katakanlah dek, Jangan ragu.” Uma
menyakinkan Hindon.

“Entah kenapa ragu bang, takut ini bukanlah pilihan terbaik untuk
abang.” “Jika belum dijelaskan kenapa berani menuduh tindakan
itu tidak baik.” Masih saja Hindon ragu mengungkapkannya.
Hingga desakan keyakinan dari Uma membuat dirinya jadi berani.

“Hindon mau abang mengaji,” ucap Hindon masih dengan ragu.


“Itukah keinginanmu, itu pasti akan abang penuhi. Meski tidak
adik ajak, abang pun akan mengaji di majelis sekitar sini.”

“Bukan hanya ngaji majelis bang.” “Lalu gimana juga dek.” Enggan
mengucap, tapi Hindon harus bisa mengungkapkan keinginannya
itu. “Hindon mau abang ngaji mondok bang.” Ucapannya terlepas.

“Mondok dek. Hahaha... kamu bergurau ya. Tidak mungkinlah


dek, orang seperti abang yang sudah berkeluarga dan tidak lama
lagi akan berkepala tiga. Ini tidak mungkin dek,” jawab Uma tidak
yakin dengan keinginan Hindon tersebut.
“Kan benar, abang pasti menganggap lelucon keinginan Hindon
dan tidak yakin. Tapi Hindon sangat mengharap itu terjadi bang.”
Hindon sangat mengharap. “Bisa jelaskan alasan kenapa bisa
punya keinginan seperti itu.”

“Hindon trauma dengan kejadian sebelumnya. Kejadian abang


marah-marah mengamuk, meski sudah abang klarifikasi itu
hanyalah akting. Tapi Hindon menganggap itu benar, hingga
trauma itu masih ada, takut sesuatu akan terulang kembali yang
mungkin beneran bukan lagi drama.”

“Lantas apa kaitannya dengan mondok dek.” “Sangat berkaitan


bang, dengan abang mondok akan terlatih jiwa didik yang lebih
tenang dan sigap. Karena saat mondok abang akan bertemu,
bergaul dan hidup sosial dengan beberapa orang dari berbagai
daerah memiliki sikap yang berbeda-beda. Ditambah lagi
pemahaman ilmu agama dari bidang ilmu tasawuf. Dengan
demikian abang akan terbiasa hidup dalam keberagaman itu dan
akan bisa mengontrol diri saat menghadapi manusia. Terutama
saat hadapi Hindon dan anak nantinya bang,” pinta Hindon
menggunakan gaya bahasa lembutnya.

“Abang akan bisa mengontrol sikap emosional dek. Meski tidak


mengaji mondok. Kan, di sini di komplek tempat tinggal kita
banyak warga dari berbagai suku, itu kan bisa juga untuk abang
melatih. Kita tidak jauh, selalu bersama, ngaji pun abang bisa
mengikuti majelis di sini.”
“Kan, betul yang Hindon bilang. Abang pasti tidak mau memenuhi
keinginan Hindon ini. Sudahlah bang tidak apa-apa.” Hindon
memalingkan badannya.

Sedangkan Uma sebagai lelaki setia pastinya tidak sanggup


melihat kekasihnya itu kecewa atas perbuatannya. Uma mencoba
berpikir jika memenuhi hajat istrinya tersebut pasti akan
membuat mereka sengsara atas kerinduan yang akan tiba tanpa
diundang saat mereka jauh. Meski hanya sebulan.

“Jika abang mau mondok, berapa jangka waktunya dek,” tanya


Uma membisik di telinga. “Untuk apa ditanyakan itu jika keinginan
tidak mau dipenuhi,” jawab Hindon terlihat kecewa. “Coba
sebutkan aja dulu. Mungkin bisa abang pertimbangkan.”

“Hingga sampai abang sudah layak direkomendasi jadi staf


pengajar.” “Berapa jangka waktu minimalnya.” “Paling sedikit lima
tahun bang.”

“Astargfirullah, ini benar-benar keinginan yang aneh. Lima tahun


itu bukan lima menit, lima hari dan lima minggu dek. Apakah tidak
merasakan empat minggu kita tidak seranjang sebelumnya betapa
gejolak kerinduan yang membakar.”

Hindon berebalik badan lalu berkata, “Hindon merasakannya


bang. Sangat sesak rasanya, apalagi abang tidak memberi kabar
selama itu.” “Nah, jadi kenapa kali ini adik mau kita berpisah
selama lima tahun?” “Ini karena demi kebaikan kita berdua bang.”

“Kebaikan yang seperti gimana?” “Kebaikan untuk jiwa abang,


ilmu dan agama abang pribadi. Untuk Hindon, akan membuat
Hindon merasa lebih tenang dibentengi seorang suami yang
memiliki ilmu agama yang kuat. Juga untuk anak kita nantinya
bang.”

“Apakah kamu benar-benar yakin dengan keputusanmu ini dek.”


“Apakah Hindon nampak sedang bercanda bang?” “Tidak, Cuma
jika kita menjauh apakah kamu benar-benar rela.”

“Kita akan sama-sama bertahan menanti perjumpaan kita kembali


bang. Bukankah menjauh itu untuk memberi kejutan bahagia
tanpa batas saat kembali dekat. Bukankah perpisahan sementara
itu memberi kesan pengendapan rindu untuk dilampiaskan
sepenuhnya saat bertemu kembali. Bukankah begitu bang.”

Uma menikmati ajakan Hindon tersebut, sambil merasakan


belaian manja dari istri tercintanya itu. Suatu hal lumrah terjadi,
laki-laki akan mudah menurut mengikuti ajakan perempuan yang
dicintai. Enggan menolak demi menjaga perasaan orang yang
disayangi. Uma pada malam sunyi itu benar-benar terhipnotis
bujuk rayu Hindon untuk dirinya menjauh, menjalani proses
mondok mengaji. Sugesti-sugesti lembut yang diutarakan Hindon
benar-benar membuat Uma terlena terhanyut terbawa mengikuti
ajakan tersebut. Bantahan melalui pertanyaan, seperti memberi
kelonggaran bagi Hindon untuk semakin meyakinkan suaminya itu
untuk mengikuti keinginannya.

“Bagaimana Bang?” tanya Hindon di saat terlihat Uma sudah


melunak. “Jika menurutmu itu yang terbaik, abang siap dek.”
“Apakah ini benar bang, katakan jika bujukan Hindon membuat
abang terpaksa menerimanya. Maka Hindon akan mundur dari
keinginan ini.”

“Tidak dek, kepercayaan abang kepadamu yang membuat abang


tidak menolak. Kamu, sebagaimana saat pertama kali melihatmu
sudah terlihat bahwa, kamulah yang akan menjadi pendamping
cinta sekaligus jiwa emosionalku dek. Sebagaimana pecinta akan
selalu patuh pada yang dicintainya. Jadi, apapun yang kamu
sarankan itu bukanlah pertimbangan yang terlalu banyak
dipikirkan dek.” “Bang... bolehkah malam ini pelukan sampai
pagi.”

Kejadian biasa terjadi antara hubungan laki-laki dan perempuan


atau suami istri. Secara kebanyakan suami lebih menurut
terhadap ucapan lembut istri, kecuali suami yang berpinsip kuat.
Maka tidak jarang ditemui karena bujukan istri yang buruk, suami
rela menduakan kasih kepada orang tua kandungnya dengan
mertua atau kepada istrinya. Lebih memilih pendapat istri
dibandingkan orang tua saat terjadi perbedaan. Alasannya
beragam, ada karena cinta, ada karena menghindari ribut dengan
istri dan alasan lainnya.

Matahari terbit seperti biasanya memberi pencayahaan bagi


makhluk bumi setelah terlelap dalam kegelapan malam.

Uma telah menyutujui saran istrinya, Hindon. Hari itu keduanya


bersiap-siap memasukkan baju ke dalam tas untuk
menghantarkan Hindon ke rumah ibunya sementara waktu untuk
Uma melakukan perjalanan mondok.
“Dek, kamu yakin.” “Kita harus sama-sama bang, Insya Allah ini
yang terbaik,” ucap Hindon telapak tangannya tepat di hati Uma.

“Sudah setahun kita berumah tangga dan belum dikaruniakan


anak. Mungkin ini kesempatan yang tuhan berikan untuk kita
berbuat persiapan lebih baik sembari menanti dikirimkan amanah
bang.”

Keduanya sudah mantap untuk saling jauh sementara waktu.


Hindon pemberi saran tiba-tiba timbul keraguan saat baju mulai
dimasukkan ke dalam tas satu persatu. Sendi tangan terasa berat
mengangkat baju yang tersusun di lemari kayu jati itu. lemari jati
dari isi kamar masih tersisa bau khasnya. Keengganan tangan
bertenaga, karena bisikan hatinya sebagai pemimpin tubuh
sebenarnya menolak rencana ini.

“Kenapa dek,” tanya Uma melihat Hindon termenung memegang


baju yang akan dimasukkan ke dalam tas. “Oh ...tidak apa-apa
bang. Hindon cuma ingin abang ucapkan untaian kata sebagai
penenang perpisahan ini.”

“Maulana Jalaluddin Rumi pernah berkata ; ‘Perpisahan hanya


untuk orang-orang yang mencintai dengan matanya. Karena untuk
orang yang mencintai dengan hati dan jiwanya, tidak ada kata
perpisahan.’”

Telah siap barang dimasukkan. Keduanya menemui pemilik rumah


kontrakan itu untuk memutuskan akad sewa rumah. Dan soal
barang dalam rumah akan diangkut dilain waktu.
Selanjutnya keduanya pergi ke desa Catok Peng. Sebuah desa
pedalaman di provinsi Aceh. Menurut para tetua setempat,
sejarah penamaan desa tersebut dengan nama Catok Peng, ini
ditinjau dari ekosistem bumi di situ dipenuhi hamparan sawah
otomatis warganya berprofesi sebagai petani padi. Dalam proses
menanam ada tahapan Catok (mencangkul) yang mana nantinya
akan menghasilkan Peng (uang) dari hasil penjualan padi. Maka
inilah alasan orang tua dahulu menamakan desa tersebut dengan
Catok Peng. Karena warganya mencangkul untuk menghasilkan
uang. Menurut ilmu bayan penamaan ini bisa dikategorikan ini
sebagai majaz Mursal dari segi Iktibar Ma Yuawwalu ilaih (Iktibar
hasil kedepan).

Sampai di sana keduanya langsung disambut oleh Yusuf dan


Juwairyah, orang tua Hindon. Keduanya terkejut melihat anak dan
menantunya itu datang menetengkan banyak perlengkapan tidak
seperti kunjungan biasanya. Singkat cerita, dijelaskanlah oleh
Hindon maksud yang akan dijalani. Awalnya Juwairyah enggan
setuju dan menganggap gila ide yang mereka jalankan itu. hingga
Yusuf menyakinkannya untuk tidak ikut campur atas tindakan
yang dilakukan oleh anaknya.

Pada akhir pertemuan, Uma mengambil selembar foto pernikahan


mereka dalam album. “Untuk apa itu bang,” tanya Hindon.
“Sebagai pelepas kerinduan saat mengingatmu nanti dek.” “Kasih
sayangmu memang tidak kuragukan lagi bang. Tapi mohon jangan
bawa foto ini kesana. Itu akan mengganggu proses mengajimu.
Tinggalkan disitu, abang pergilah hanya membawa badan tanpa
dibebani pikiran mengingat ke sini. Hindon di sini juga tidak akan
mengganggu dan menghubungi abang setelah beranjak dari sini.”
“Kenapa begitu dek.” “Biarlah abang fokus satu urusan. Untuk
kita, mari sama-sama bersabar hingga tiba waktunya. Bisa kan
bang,” ucap Hindon membelai merayu pipi suaminya yang
terakhir kalinya untuk sementara waktu. “Jika ini tidak
membebanimu, abang tidak keberatan dan akan berusaha
semampu mungkin untuk pulang lebih cepat kepangkuanmu dek.”

Pelukan dengan tangisan haru menemani perpisahan mereka.


Uma mengecup kening istrinya lalu pamit pergi, juga setelah
meminta pamit restu pada kedua mertuanya.

Berjalan perlahan membelakangi rumah panggung itu tanpa


menoleh sedikit pun ke belakang. Hindon dari kamar menatap
jejak langkah suaminya secara perlahan menghilang dari
pandangannya.

Tiba di kota Lek-lap, kota yang dihuni oleh berbagai macam suku
dan agama yang ada di negeri itu. Lek-lap merupakan sebutan
orang Aceh kepada suatu yang bersifat campuran. Maka sangat
sesuai penamaan kota ini dengan nama tersebut, karena dihuni
warganya yang bercampur dari berbagai suku bangsa.

Menemui kedua orang tuanya, menceritakan maksud yang akan


dijalani. Berbeda dengan orang tua Hindon, orang tua Uma tidak
menolak dan tidak membantah rencananya itu, cuma nasehat
untuk tidak boleh ribut dalam rumah tangga.

Bahkan Apa Suman, ayahnya Uma. Siap menanggung rezeki


anaknya selama mondok. Juga siap mengirim uang kepada Hindon
mewakili nafakah wajib anaknya.
Kebersamaan Uma dan Hindon bagaikan mubtada dan khabar.
Dimana ada mubtada pasti ada khabar. Begitu pula Uma
keimanannya belum sempurna jika tanpa Hindon. Bagaikan
khabar yang bertugas sebagai penyempurna faedah mubtada.

Namun terkadang ada halangan diantara mereka berdua yang


membuat mereka harus rela berpisah. Selayaknya mubtada yang
wajib kehilangan khabar ketika datang ‫( لو ال‬imtinak).
Reuni Teman Lama

Usai bertemu dengan kedua orangtuanya dengan


kesimpulan akhir ridha dan restu dari orangtuanya untuk mondok
mengaji. Setelah itu, Uma hendak bertemu dengan Baka. para
santri yang mengaji kitab klasik pasti kenal sosok Baka ini.
Sebagaimana yang tergambarkan dalam amsilah (contoh) dalam
kitab Jarumiyah1 pada bab Tamyiz yaitu ; Penuhlah Baka Nisbah
Lemak. Iya benar sekali, Baka orangnya gemuk dan agak buncit.
merupakan tetangga berselang empat rumah. Sahabat sedari kecil
yang selalu bersama mulai dari Sekolah Dasar (SD) satu kelas
hingga ke tahap pendidikan selanjutnya Sekolah Menengah
Pertama (SMP) mereka juga sekelas. Yang membedakannya saat
SMP adalah Uma masuk lewat pintu sedangkan Baka masuk lewat
jendela. Oleh para pelajar mengistilahkan masuk lewat pintu itu
berarti dia lulus murni melalui seleksi. Dan masuk lewat jendela
itu teruntuk siswa yang tidak lulus murni, dengan sistem
menyogok pihak sekolah agar dia diluluskan.

Kenapa saat itu Baka rela menghabiskan uang ayahnya untuk


menyogok pihak sekolah tersebut, apakah tidak ada sekolah lain?
Ada bahkan banyak. Cuma ini persoalan gengsi, Baka sebagai
pemuda tanggung juga ingin terlihat hebat seperti sahabatnya
Uma. Yang mana sekolah itu merupakan sekolah tingkat SMP
terhebat di Kota Lek-lap. Sekolah tempat berkumpulnya orang-
orang hebat, para tajir, tempatnya cewek-cewek cantik nan

1
Kitab arab membahas permasalahan ilmu gramatika Arab (Ilmu Nahu).
Biasa dipelajari oleh kalangan santri salafi tingkat ibtidaiyah.
mempesona belajar, dan banyak modeling lokal berasal dari
sekolah ini.

Bahkan duta-duta kota dan kontestan Agam Inong mayoritas


jebolan dari sekolah ini, apa tidak hebat. Dan perlu diceritakan
sedikit bahwa, kelulusan Uma saat itu dari kalangan rekan se-SD-
nya banyak yang meragukan. Sebab Uma di sekolah dasar
termasuk murid yang tidak aktif dan tidak tampil, ranking kelas
jangan ditanya, sekalipun ia tidak memperolehnya. Hingga saat
kelas lima saat penyaringan ia dipindahkan dari lokal A ke lokal B.
Sungguh ironis kebanyakan yang mendapat ranking sepuluh besar
adalah hasil contekan darinya. Dan itulah Uma, kehebatan dan
kepintarannya tersembunyi. Maka wajar saja rekannya ragu akan
kelulusannya di Sekolah Berstandar Internasional (SBI) itu.

Setelah sekian lama mereka berpisah karena beralih profesi dan


pilihan belajar sejak tamat SMP. Baka memilih masuk Dayah dan
meninggalkan pendidikan Formal. Dan Uma memilih melanjutkan
SMA hingga ke perkuliahan. Uma kini ingin melepas kerinduan
guyonan mereka dahulu sekaligus menanyakan informasi perihal
mondok di Dayah2.

Kebetulan saat itu Baka lagi dirumah. Ia minta izin kepada


pengurus dayah untuk pulang dengan alasan ada acara walimatul
ursy saudara. Padahal kepulangannya saat itu tidak
mempengaruhi akan suksesnya acara. Tanpa dia pun acara akan
tetap terselenggara dengan sukses. Karena sampai di rumah dia

2
Lembaga pendidikan islam tertua di Aceh. Dayah penyebutan di aceh
tempat pendidikan agama yang berbasis kitab kuning. Secara nasional
dinamakan pesantren.
bukannya membantu, tapi malahan tidur sepanjang hari. Saat
ibunya tanyakan, “Baka kamu dari tadi tidur saja, sana bantu
saudara kita mempersiapkan acara.” Baka menjawab, “Bu, Baka
ingin meng-qadha (menunaikan yang tertinggal) tidur yang kurang
saat di pondok.” Itulah Baka.

“Assalamualaikum, Baka ... e ... Baka.” Uma memanggil.


“Wa’alaikumsalam.” Ibu Baka menjawab. “Ada Baka makcik?” “Oh
... bentar ya. Dia asik tidur aja dari tadi. Masuk dulu nyak Uma.”
“Baik Makcik.”

Uma masuk kerumah Baka, matanya lasak melengak-lengok


melihat seisi ruang tamu rumah Baka. Dinding ruangannya
dipenuhi foto-foto Baka bersama beberapa ulama karismatik dan
ulama muda di Aceh serta beberapa foto bersama habaib dalam
negeri dan luar negeri. Begitu pula lembaran sertifikat prestasinya
dalam mengaji dibingkai begitu indah, membuktikan kemampuan
dan keahliannya dalam mengaji.

“Oh ... Uma ternyata. Apa kabar Uma. Duduk dulu udah cukup
lihat-lihatnya.” Baka keluar dari kamarnya menyapa Uma sambil
mengusap kelopak mata kanannya.

“Alhamdulillah baik, asik tidur aja kamu Baka, kapan kurusnya,”


jawab Uma sambil hendak duduk.

“Hebat kamu sekarang ya Baka. Bisa foto dengan Ulama juga


banyak sertifikat prestasi. Ini apakah hasil sogok juga.” Uma
mengajak bercanda sambil mengingatkan kembali kejadian kelam
sogok Baka saat SMP.
“Ya ... alhamdulillah Uma berkat kerja kerasku. Tapi perlu kamu
camkan ya, aku ini lain dulu lain sekarang. Dulu kalian boleh
membully-Ku karena masuk lewat jendela. Sekarang, Heh...” Baka
menampik tuduhan Uma dengan kata-kata sinis.

“Astarghfirullah ... maafkan saya pak Teungku.” Ucap Uma sambil


menghampiri Baka dan mencium tangannya seperti layaknya
menicum tangan Ulama. Tapi maksud Uma ini adalah ta’dhim
istihza’ atau penghormatan dengan maksud mengolok-olok. “Ini
cium sekalian.” Sambil mengangkat telapak kaki ke arah Uma.

“Eleh ... eleh ... mentang-mentang saat ini ilmu agamamu lebih
tinggi dari padaku, seenak-enaknya merendahkanku heh.”
“Hahaha ... maafkanlah sahabatmu ini wahai ibnu Apa Suman.”

“Jadi, slewekmu mana Uma.” Baka menanyakan Hindon.

“Ia kutinggalkan di tempat orang tuanya aku sendiri kesini.”


“hah... cerai kalian ya atau gimana.” “tidak, kami tidak cerai.
Bahkan baik-baik saja. Aku tinggalkan ia karena mau mondok
sepertimu.”

“Bruuuhhhh.” Baka menyemburkan air teh yang sedang diminum.


“Aku belum bangun tidur ya.” Sambil menamparkan pipinya.

“Kenapa Baka, Kamu tidak percaya ya.” Sahut Uma.

“Menurut yang aku kenal selama ini, aku tidak percaya Uma. Dan
rekan-rekan yang lain pasti juga akan terkejut sepertiku jika
mendengar keinginanmu mondok. Tapi, kalau hidayah dari Allah
itu tidak mustahil.” Baka meragukan pilihan Uma ini, karena yang
ia tau walau Uma saat kecil sangat rajin pergi mengaji. Tapi,
semenjak masuk SMA saat masa pubernya dimulai, dia mulai
malas mengaji bahkan sampai tidak lagi dengan alasan banyak
tugas di sekolah.

“Memangnya kamu sanggup bertahan mondok Uma.” Baka


menantang.

“Apa sulitnya coba?” tanya Uma. “Untuk orang sepertimu,


perkiraanku palingan cuma bertahan dua hari disana.” Kata Baka
sambil menyantap kue boh u sen3, kue khas orang Aceh. Sisa hari
raya buatan ibunya.

“Baiklah, ini kita coba permainan anak kecil. Kita buat


kesepakatan. Jika aku tidak sanggup mondok di dayah dalam
rentan waktu lima tahun maka aku siap mencium telapak kakimu
selayaknya seorang anak mencium telapak kaki ibunya. Dan
sebaliknya, jika aku mampu. Maka heh ini cium telapak kakiKu.
Gimana Baka setuju dengan permainan masa kecil ini. Hahaha.”
Terlihat bercanda tapi Uma serius mengatakannya.

“Percaya diri kali kamu katakan begitu, apakah kamu tidak resah
dengan keadaan Hindon. Apakah kamu lupa dengan nasehat Pak
Jala saat resepsi acara perkawinanmu,

“Jak dumho jeut beutroh, yang bek tuwo ta gisa.


Sayang Hindon sigei-gei jipot lei angen ka leupi.
Menyei leupi bu na pat ta suop,

3
Kue kering berbentuk yang terbuat dari campuran santan, tepung
terigu, gula dan bahan lainnya. Kue ini sering dijumpai dirumah – rumah
masyarakat Aceh saat hari raya idul fitri dan idul adha
Menyei leupi Hindon gata yang meu-desya.”

(Pergi kemana pun boleh, tapi jangan lupa pulang.


Sayang Hindon sesekali ditiup angin ia kedinginan.
Jikalau nasi dingin masih bisa dikukus.
Tapi, jikalau Hindon kedinginan kamu berdosa.)

Nasehat ini mengarahkan kepada kewajiban suami memberikan


nafakah bathin kepada istri.

“Saya tau itu Baka. Bahkan masih teringat di pikiranku.”

“Lalu.”

“Pertama, ini permintaan Hindon agar aku pergi mondok mengaji.


Kedua, aku sangat mempercayainya sebagai istriku. Aku yakin ia
tetap amanah menjadi seorang istri yang tidak selingkuh atau
bermain dibelakang suami. Aku yakini itu kepadanya.
Ketulusannya sangat nyata terlihat. Itulah yang menghilangkan
keraguanku meninggalkannya Baka.”

“Sungguh rasa cinta yang belum kupahami. Dan kenapa tiba-tiba


Hindon berpikiran menyarankanmu mondok.”

Dan Uma menceritakan permasalahan yang terjadi sebelumnya.

“Oyaya ... Tapi aku senang mendengarnya. Baiklah Uma aku


percaya itu dan aku bantu doakan semoga ini pilihan terbaik
diantara kalian berdua. Dan semoga hubungan kalian akan tetap
langgeng hingga akhir hayat.”
“Terima kasih teungku Baka. Semoga doa yang keluar dari lisan
yang lazim dengan bacaan ayat al-quran disetiap usai salat subuh
dan magrib, Allah maqbulkan.”

“Amiin.” Baka mengaminkan dua doa. pertama doa kepada Uma


agar hubungannya dengan Hindon tetap Allah jaga. Kedua doa
untuk dirinya, agar apa yang dikatakan Uma itu benar-benar
mampu dipraktekkan. Mengingat semenjak ia dilantik menjadi
dewan guru di dayah dan diberi wewenang lebih, ia terkesan
mengabaikan ibadah tersebut. Berbeda saat ia masih menjadi
santri. Wirid dan bacaan al-quran usai subuh tidak luput ia
jalankan.

“Dan, semoga hubungan kalian saat ini bagaikan Had Akbar dan
Had Ashragh yang dipisahkan oleh Had Wasad saat masih menjadi
qadiah, namun kalian akan berdampingan saat menjadi Natijah.”
Baka mengumpakan hubungan Uma dan Hindon dengan istilah
fan ilmu Mantiq.

“Apa maksudmu baka. Apa itu had, had.” Tanya Uma.

“Hahaha... jawaban ini kutangguhkan hingga kamu paham sendiri


nanti saat mondok mengaji di dayah.” Jawab Baka lalu
mempersilahkan Uma untuk menghabiskan minumnya.

“Dari tadi kamu belum menjelaskan bagaimana, apa saja


persyaratan yang harus dipenuhi dan persiapan masuk ke dayah.”
“Oh iya ya. Bagaimana kalau kita tunggu sahabat yang satu lagi
pulang. Saat ini dia masih di dayah. Katanya, tiga hari lagi akan
minta izin pulang,” kata Baka mengajak menunggu sahabat lama
pulang.

“Baiklah Baka, aku pun ingin bertemu dengannya juga.” Ujar Uma
Naqish dan Fatimah

Selain Baka, ada satu lagi sahabat Uma yang disinggung


oleh Baka sebelumnya. Ia adalah Zaidon. Siapa yang gak kenal
dengan Zaidon, perawakannya sudah disebutkan berdampingan
dengan amsilah perawakan Baka. Yaitu dalam kitab Jarumiyah bab
Tamyiz ; Bercucuranlah Zaidon Nisbah keringat. Memberitahukan
bahwa, Zaidon ini orangnya aktif dan selalu mengeluarkan
keringat. Tidak luput dalam sehari dia tidak mengeluarkan
keringat. Dia akan berusaha mencari kegiatan yang membuatnya
mengeluarkan keringat, membuat tubuhnya kekar dan kuat.

Sembari Uma menunggu kepulangan Zaidon untuk membahas


perihal mondoknya lebih lanjut, maka kita akan membacakan
cerita cinta dari kedua orang tua Zaidon. Hingga Zaidon ada di
muka bumi ini.

Zaidon bin Naqish, keluarga yang unik dengan memadukan


kelebihan untuk menutup kekurangan yang lain. Ayahnya
bernama Naqish dalam bahasa Arab yang berarti ; Kurang. Dan
anaknya Zaidon diartikan ; Lebih. Penamaan Naqish sangat sesuai
dengan kejadian pemilik nama yang sebenarnya. Yaitu Naqish ini
orangnya serba kekurangan, dari bentuk tubuh kurang (pendek),
materi kurang (miskin), wajahnya kurang (jelek), dan gaya
bicaranya juga kurang (gagap).

Namun, ada satu kelebihannya yaitu hatinya. Hatinya penuh


dengan kesabaran dan rasa syukur. Ia sabar akan kekurangan yang
dimilikinya menjadi bahan ejekan dari sebahagian manusia. Juga
ia bersyukur walau begitu, Allah telah memberikan nikmat hidup
untuk berkesempatan menyembahnya.

Setiap cobaan atau kekurangan yang Allah berikan pasti disana


ada nikmat dan kelebihan pula yang Allah anugerahkan. Dan buah
hasil kesabaran Naqish atas kekurangannya itu, ia dipertemukan
dengan seorang gadis cantik jelita rupawan dermawan menawan.

Namanya Fatimah, tinggal bersebelahan dengan desa tempat


Naqish tinggal. Gadis desa, ayahnya berprofesi sebagai petani
padi. Fatimah senantiasa membantu ayahnya menanam padi,
kecantikannya tidak mengahalanginya berbakti kepada orangtua
dengan turun ke sawah. Juga karena keramahannya, Fatimah oleh
para pemuda menyebutnya Bunga Padi.

Suatu hari saat Naqish datang ke desanya Fatimah untuk meminta


bantu kerja di sawah pemilik warga setempat. Fatimah lewat
dengan sepeda menggunakan keranjang di depan, hendak
berbelanja untuk keperluan makan di rumah. Saat itu Naqish
sedang berbincang dengan pemilik sawah, spontan fokusnya
berpaling kepada gadis yang mengayuh sepeda itu dan bertanya
nama dan tempat tinggalnya kepada pemilik sawah tersebut.

Itulah awal mula cinta bersemi di lubuk hati Naqish. Tapi, ia sadar
ia tidak pantas dengan Fatimah dari segi fisiknya mereka berdua
sangatlah tidak sepadan. Meski begitu harapan tidak putus. Ia
masih punya tuhan tempat mengadu keinginannya. Senantiasa
alarm diatur tepat sepertiga malam, bangun memohon penuh
harap agar hatinya bersemai dalam senandung cinta dengan
Fatimah.

Dalam doanya Naqish menyebutkan Fatimah dengan sebutan


Tatimmah artinya ; penyempurna. Memberi tahu kepada
tuhannya bahwa semenjak ia melihat dan mulai jatuh hati kepada
Fatimah. Ia merasa sempurna, hatinya bergelora berbunga-bunga.
Dan menggambarkan dirinya ini sebelumnya adalah rawa semak
belukar, namun kini rawanya mulai terhias dengan adanya
Fatimah sang bunga teratai di lubuk hatinya. Begitulah setiap
malamnya tanpa bosan meminta kepada tuhannya semoga
keinginannya ini terkabulkan. Dan mengharap bunga teratai
bukan hanya menjadi penghias, tapi, akar serabutnya tertancap
kuat di tanah lumpur kerawaan hatinya.

Tidak cukup dengan doa, Naqish berusaha menarik hatinya


Fatimah dengan memberikan kejutan berupa kado yang isinya
sesuai dengan kemauan Fatimah. Sebelumnya, Naqish memantau
keinginan Fatimah bukan melalui teknologi pelacak atau
menyadap hanphone-nya. Tetapi, dengan mendengar
pembicaraannya secara diam -diam. Dan hari itu ia mendengar
Fatimah menginginkan sesuatu.

Segeralah Naqish dengan sigapnya mencari lalu membeli barang


keinginannya tersebut lalu dibungkus dengan lembaran koran
bekas dan diletakkannya di depan pintu rumah Fatimah sebelum
matahari terbit. Cara ini agar Fatimah tidak mengetahui secara
langsung yang memberikan kado tersebut. Adapun alasan Naqish
membungkus dengan koran bekas ingin mengisyaratkan bahwa,
walau penampilannya kurang tak bernilai seperti koran bekas tapi
hatinya punya ketulusan yang sangat berharga dimiliki oleh
Fatimah. Seperti isi yang ada dalam kado terbungkus koran
seperti.

Di pagi harinya Fatimah terkejut dengan adanya kado tersebut


bertuliskan ; “Fatimah kamu penyempurna hidupku, bolehkah
kupanggil dirimu dengan sebutan Tatimmah.” Fatimah mulai
membuka dan melihat isi di dalamnya. Adalah sebuah benda yang
diinginkannya kemarin berupa jam tangan. Fatimah ragu apakah
ini benar untuknya, tapi karena ada tulisan bertuliskan Fatimah ia
menyakini itu adalah untuknya.

Beberapa kali setiap keinginan yang diinginkannya selalu tercapai


di pagi hari dengan kado berbungkus kertas koran. Ia merasa
curiga dan mulai menyelidikinya. Serta mengucapkan nadzar
sebagai rasa terima kasih banyak, jika yang memberi itu
perempuan maka akan dijadikan saudaranya. Dan jika yang
memberi adalah laki-laki, maka ia bersedia menjadikannya suami.

Pada subuh bulan Juli, Fatimah sengaja berjaga agar bisa


memantau siapa yang membawa kado tersebut. Dia yakin bahwa
pagi itu si pembawa pasti membawakan kado, karena sebelumnya
Fatimah ada keinginan yang ingin dimiliki berbentuk barang.

Dan ternyata benar, pagi itu seperti biasa Naqish membawakan


kado berbungkus koran bekas. Dan meletakkannya perlahan
disandarkan di muka pintu. Matanya tertutup seperti berdoa
harapan agar si Teratai Fatimah segera menghiasi hati rawanya.

Fatimah di balik celah gorden mengintip dan terkejut setelah


mengetahui bahwa yang membawa kado tersebut adalah Naqish.
Keningnya berkerut, keringat suasana suhu dingin pagi mulai
keluar di keningnya. Ditampar wajahnya beberapa kali berharap
ini hanya mimpi buruk. Dan ternyata ini benar-benar nyata.

Pikirnya masak seorang Fatimah si Bunga Padi beristrikan Naqish


sang rawa semak ditumbuhi eceng gondok. Ia mencoba
berhalusinasi membayangkan rupa anaknya nanti jika benar-benar
menikah dengan Naqish.

“Jangan ... jangan. “ Fatimah menolak bayangan rupa anaknya


yang terbayang dari pertemuan bibit sperma Naqish dengan sel
telur ovum miliknya.

Tapi Fatimah tetap berniat menemui Naqish menanyakan maksud


gerangan pemberian kado tersebut. Jika alasan karena ingin balas
kebaikan yang pernah diperbuat ataupun untuk melunasi utang.
Maka setidaknya janjinya untuk dinikahi bisa teralihkan. Namun
jika benar-benar ini murni karena suka, maka terpaksa Fatimah
harus setuju menikah dengannya. Begitu pikirnya.

Naqish kemudian perlahan berjalan mundur meninggalkan rumah


Tatimmah (nama panggilan dari Naqish) mendekati pagar kayu
lalu badannya berbalik mengarah ke jalan. Tiba-tiba terdengar
panggilan surga dari arah pintu rumah.

“Naqish... Naqish... jangan pergi dulu.” Fatimah menyahut.

Bersamaan dengan Naqish berbalik badan, hujan gerimis bulan


Juli turun menyambut kegirangan hati dari sahutan perdana
Fatimah kepadanya.
“Apakah kamu memanggilku Fatimah.” “Iya Naqish, boleh kesini
sebentar.”

Jantungnya berdegup kencang menghantam tubuhnya,


hantamannya sekuat piston kereta motogp milik Valentino Rossi
saat menyalip Marc Marquez.

“Apakah benar selama ini kamu yang membawakan kado ini?”


tanya Fatimah.

“hmmmmm (kepalanya tidak tenang) iya Fatimah,” jawab Naqish.

“Kenapa? Untuk apa semua ini?”.Sambil menyodorkan kado


kepada Naqish.

“Tidak, saya memang orangnya suka memberi, tidak lebih dari


itu.”

“Bohong! Lalu apa maksud tulisan ini.” Fatimah menunjukkan


tulisan di kertas kado yang bertuliskan ; Fatimah kamu
penyempurna hidupku, bolehkah kupanggil dirimu dengan
sebutan Tatimmah.

Naqish tidak bisa mengelak lalu berkata jujur. “Mohon maaf


sebelumnya, saya mencintaimu Fatimah.”

Gedebummmm suara petir seperti mengisyaratkan suara


genderang perang kepada Naqish untuk melawan rasa takutnya.

Sejenak keduanya terdiam. Dan hujan bulan Juli semakin deras di


pagi itu.
“Aku tau kamu tidak akan menerimaku Tatimmah, oleh karena itu
hadiah ini sebagai penggantinya. Walau hatiku tidak bisa bersemai
di hatimu untuk kau miliki, setidaknya barang yang ku berikan ini
sudah bisa bersamamu, ini sudah membuat diriku sangat senang
Tatimmah. Walau nanti bisa jadi barang tersebut kau simpan di
bawah tempat tidur, tapi yang penting kamu sudah
menyentuhnya.” Kata Naqish tidak menghiraukan air hujan yang
turun dari loteng teras rumah membasahi sekujur tubuhnya.

Setelah mendengar pernyataan Naqish, Fatimah masuk kedalam


menutup pintu dengan hentakan yang kuat. Gedupppp.

Naqish terhujam, dari luar ia mencoba meminta maaf dengan


berkata di celah-celah pintu kayu jati agar terdengar oleh Fatimah.
“Fatimah, Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengulanginya
lagi jika memang itu mengganggumu. Jika pun kamu mau, aku
akan pergi jauh sejauh-jauhnya agar kelopak matamu tidak lagi
melihat wajahku.”

Tidak ada kata balasan dari Fatimah, lalu Naqish melanjutkan.

“Dan barang yang kuberikan mohon disimpan jika kamu


menyukainya. Jika tidak silahkan dibuang. Oh .. Jangan...jangan.
Berikan saja kepada anak yatim. Walau kita tidak bersama, tapi
kita bisa bersama-sama mendapat pahala. Sekali lagi saya mohon
maaf. Assalamualaikum Tatimmah.”

Naqish pergi berjalan menjauhi rumah Fatimah di lalui jalan


dengan basah kuyup guyuran hujan untuk mendinginkan hati
penyesalannya karena telah mengusik ketenangan sang pujaan
hati.
Fatimah di balik pintu berbahan jati itu bersandar merenung rasa
penyesalan. Merasa bingung gelisah bercampur aduk dan
berharap waktu bisa terulang kembali dan tidak akan berjanji
sebagaimana yang telah diutarakannya. Mengingat lelaki sasaran
janjinya merupakan lelaki serba kekurangan, tidak nampak
kelebihan sedikit pun untuk dijadikan pedoman alasan
mencintainya. Wajar saja perawakan Naqish seperti plok minyek
angen (diterjemahkan ; tutup minyak angin).

Bertekad dan mengambil kesimpulan bahwa janjinya ini tak perlu


ditunaikan. Mengingat kemudharatan lebih dominan di alaminya
jika nantinya bersanding dengan Naqish. Ekspetasi hayalan
ilusinya yang membayangkan bahwa si lelaki pembawa kado
adalah berparawakan gagah dan tampan. Tapi ternyata pikiran
ilusinya salah, malah sebaliknya yakni lelaki plok minyek angen.

Pagi itu si bunga padi berubah menjadi bunga Raflesia. Memiliki


kelopak bunga yang indah namun hatinya mengeluarkan bau
bangkai yang menyengat.

Beberapa hari berlalu setelah kejadian subuh itu, Naqish mulai


menghapus jejaknya di lingkaran hidup Fatimah, catatan harapan
dihapus permanen tanpa tersisa di penyimpanan sampah harddisk
pikirannya.

Walau serpihan rasa kecewa masih melekat, Naqish tetap harus


hidup bekerja seperti biasanya mencari sesuap nasi. Dia yakin
bahwa ketentuan Allah tidak ada yang iseng-iseng, semuanya ada
hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik. Ia meyakini suatu saat
akan ada pengganti lainnya yang melebihi kebaikan dan
kecantikan Fatimah, walau saat ini meyakini hatinya masih
mengharap bahwa orang lain itu juga Fatimah, artinya
sepenuhnya dzat Fatimah. Dasar bucin!

Di lokasi yang berbeda, pikiran aneh sering mengganggu


ketenangan sunyi sengap malam Fatimah diatas ranjang tempat
tidur. Setiap kali matanya dipejam selalu terlihat wajah laki-laki
remang-remang tak jelas. Hampir setiap malam seperti itu.

Pada siangnya pun demikian, kegiatan jak u Blang (pergi ke


sawah) Fatimah tidak berjalan lancar seperti biasanya. Saat itu lagi
masa penanaman benih padi yang sudah bertunas. Biasanya
Fatimah paling ahli dalam bidang ini, ia tidak perlu menarik tali
dari satu sisi ke sisi yang lain. Hanya dengan tangan magisnya
benih padi tersusun rapi tanpa kelak kelok. Mantrap!

Tapi hari itu melenceng, susunan benih padi bagaikan kelok


sembilan di jalan lintas Sumatera Barat, Fatimah semakin gelisah
dengan kericuhan perasaannya ini.

Di suatu malam Fatimah di tengah kesulitan tidurnya, tiba-tiba ia


bermimpi berada di sebuah lautan dengan gelombang ombak laut
yang tinggi. Di dalam perahu kecil ia masih tenang diatas perahu
tersebut sambil memancing ikan. Dan pancingannya mendapat
tarikan yang kuat, di dalam mimpi tersebut Fatimah sangat senang
membayangkan bahwa ia akan mendapatkan ikan yang besar dan
akan segera pulang untuk memakannya. Ketika ikan tarikan
pancingannya mulai mendekat, dari kejauhan terlihat sirip ikan
yang besar di duga itu ikan hiu. Ia pun melepaskan pancingannya
karena merasa takut akan ikan hiu. Namun ternyata itu adalah
ikan lumba-lumba yang mulutnya berdarah terkena mata pancing
miliknya.

Fatimah terjaga dengan nafas terengah-engah, mencoba tidur lagi


agar mimpinya bersambung dan menyelamatkan ikan lumba-
lumba tersebut. Tapi tidak berhasil.

Keesokan harinya ia menemui ahli tafsir mimpi di kampung


tersebut menanyakan perihal mimpi anehnya ini.

"Assalamualaikum teungku."
"Waalaikumsalam." sahut teungku Saleh4

"Jadi begini teungku. Semalam saya bermimpi bla, bla, bla..."


panjang lebar Fatimah menceritakannya.

"hmmmm, ini ada sangkut pautnya dengan kehidupan nyatamu


nyak Mah." kata teungku Saleh.

"Kehidupanmu yang tenang dan nyaman, mata pancing di


mimpimu mengisyaratkan kecantikanmu yang memikat beberapa
orang. Sehingga ada seorang yang termakan dengan umpan
kecantikanmu. Dia berusaha keras dan kamu pun demikian
berusaha keras mencoba menariknya. Tapi ketika ia mendekat
hampir meraihmu, kamu duga ia ikan hiu yang akan merenggut

4
Teungku adalah sebutan di Aceh bagi orang ahli ilmu agama. Sama
tingkatannya seperti ustadz.
hidup indahmu hingga kamu lepaskan dia. Dan ternyata salah,
padahal ia adalah lelaki si lumba-lumba yang akan menemanimu,
membuatmu hidup senang setiap saat. " lanjut teungku Saleh.

" Nyak Mah tau kan ikan Lumba-lumba, ikan yang cerdas dan baik
hati."

"Tau teungku."

"Maka sepertinya kamu telah menyakitinya."

"Lalu apa yang harus saya perbuat teungku?".

"hmmmm di alam mimpi sudah dipastikan kamu tidak bisa


memperbaikinya lagi. Tapi belum terlambat di dunia nyata untuk
kamu perbaiki yang kamu buat selama ini kepada si lelaki lumba-
lumba tersebut." ujar Tgk. Saleh.

"Baiklah Tgk, saya minta izin dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Fatimah keluar dengan kepala terasa meledak, berpikir


permasalahan yang sedang dihadapinya. Semua ini terjadi karena
benturan yang terjadi antara hati dan pikiran kepalanya. Si hati
ingin menerima Naqish karena kebaikannya, sedangkan kepala
menolak sebab melihat dari cover Naqish sang plok minyek angen
serba kekurangan.
Kedua insan kini sama-sama kacau balau. Hanya bisa diatasi jika
keduanya menyatu dan berkumpul. Bagaikan minus ditambah
minus maka nilainya plus. Dan sebenarnya rumus aritmatika ada
pada keduanya untuk menemukan titik temu angka yang benar
dan pasti. Hanya saja karena menghitung sebuah angka
menggunakan nilai koma hingga sulit untuk dijumlahkan. Padahal
jika si penyebut (Fatimah) menggunakan angka yang tunggal dan
mudah dihitung, apa pun besarannya pasti akan bertemu dan
mampu menyesuaikan antara dua nilai pecahan. Dan si pembilang
(Naqish) dengan mudahnya akan ditarik, dijumlahkan, dan
keduanya pun berkumpul dalam angka desimal. Begitulah Kira-
kira.

Hati Fatimah terasa terkutuk karena telah melanggar janji. Ia


sadar dan ingin menembusnya. Mulailah di cari Naqish kesana
sini. Baik sarana darat ataupun langit, memohon do'a agar
dipertemukan kembali dengan Naqish.

Hari, minggu, berbulan - bulan jejak Naqish hilang tak ada


petunjuk. Kecemasan Fatimah terbakar mengeluarkan api, hatinya
seperti arang terhembus angin.

Hingga suatu hari pada sebuah tempat di pasar. Fatimah


berbelanja bahan dapur berjalan santun tidak menoleh kesana sini
fokus terhadap arah tujuannya. Tibalah di tempat tujuan Fatimah
mengeluarkan selembar kertas bertuliskan bahan rempah-rempah
yang hendak dibeli diberikan kepada penjual, matanya melihat
dompet yang masih terbuka seraya berkata. "Tolong bang,
sediakan semua barang di daftar ini." "Baik kak," kata penjual
yang tengah sibuk menyusun sayuran dibawah meja sayur,
mengambil kertas dalam keadaan jongkok tidak melihat si
pembeli. Maka hanya kedua tangan mereka yang saling
bertatapan saat itu.

Fatimah berpaling duduk membelakangi penjual yang sedang


menimbang dan memasukkan barang ke dalam kantong plastik.

"Kak, ini sudah siap," ujar penjual.

Fatimah bangun disambut tiupan angin wajahnya tertutup jilbab


seperti memakai cadar. tiba di depan penjual sayur dengan jarak
hanya satu lengan orang dewasa saat akad transaksi jual beli
dimulai kain jilbabnya turun menampakkan wajah anggunnya. Dan
mereka kini saling bertatapan muka.

Dug..dug..dug..
Suara jantung dari keduanya bersatu dengan hentakan yang kuat
hampir terdengar oleh telinga yang bukan se-urat dengan jantung.
Waktu terasa berhenti, jarum jam seperti bengkok membuat
magnet perputaran tidak berfungsi.

Kenapa demikian! Naqish... Iya Naqish.

Ternyata penjual sayur tersebut adalah Naqish. Si pemuda plok


minyek angen, harum menyengat minyaknya yang semula
menghilang kini tercium kembali meresap di hidung Fatimah
merasuk melewati tenggorokan berbelok ke arah hati.
"Ini Naqish kan..." tanya Fatimah.

"Oh.. Bukan, nama saya bukan Naqish." Naqish berbohong.

"Kamu jangan berbohong, saya sangat kenal dengan Naqish. Dan


itu benar kamu."

"Bukan, kamu salah saya bukan Naqish." ia terus berusaha


berbohong. Karena nama Fatimah sudah terhapus permanen di
lembaran harapannya, dan tidak berencana menulis kembali
lembaran tersebut.

"Tolonglah, jangan berbohong. Naluri saya sangat kuat


menyatakan itu benar kamu Naqish."

"Saya berkata jujur, saya ini bukan Naqish yang kamu duga, nama
saya Anamunnisyan (makhluk yang terlupakan)." kebohongan
Naqish semakin menjadi-jadi.

"Ya sudah bang, mohon maaf telah mengejutkanmu." ujar


Fatimah sambil mengambil barang yang dibelinya. Kemudian
berpaling berjalan perlahan meletakkan barang tersebut di kereta,
lalu kembali ke penjual sayur tadi sambil memperlihatkan foto
Naqish yang tersimpan khusus di album galeri handphone-nya,
dan berkata, "Ini Naqish yang kumaksud, coba lihat mirip kan
denganmu." "Oh.. Iya. Memang benar mirip, di dunia ini katanya
kita memang ada beberapa kemiripan walau bukan sedarah."
pungkas Naqish. Lanjutnya.
"Memangnya jika boleh saya tahu ada hubungan apa antara kalian
berdua. Sepertinya hal yang sangat serius."

"Aku merasa bersalah dengannya, merasa sangat hina dan


sengsara jika tidak ku tunaikan janjiku kepadanya," kata Fatimah.

"Apa janjimu kepadanya hingga membuatmu sangat bersalah?"


tanya Naqish penasaran.

"Sebelumnya aku telah berjanji kepada orang yang memberikan


kado kepadaku. Jika perempuan akan kujadikan saudara, Jika laki-
laki maka aku bersedia jadi istrinya."

Naqish terkejut terguncang ketakutan bahagia bercampur rasa di


hatinya. Kemudian Fatimah melanjutkan.

" Dan ternyata si pemberi kado adalah laki-laki. Dan laki-laki


tersebut Naqish yang ku sebutkan tadi. Spontan diriku
menolaknya karena menilai fisik tubuh dan wajahnya tak sesuai
idamanku. Setelah itu, kericuhan hati merana gelisah,
ketenanganku terancam, bayang-bayang aneh menghantui
aktifitasku, sampai terbawa ke dalam mimpi disana terjawab
penyakit yang ku alami, bisa racun yang menyengat hati dan obat
penawar yang harus kucari dan itu kamu Naqish, oh maaf
Keceplosan, beginilah nasibku kini pikiranku dipenuhi raut Naqish.
Dan kuharap dia segera kutemukan untuk menyembuhkan hati
malang ini."

"Seandainya jika nanti kau temukan dia, apa tindakanmu." tanya


Naqish.

"Kuharap dia bersedia menyerahkan kembali hatinya sebagai


pengobat kemalangan hati ini." "Lalu bagaimana dengan tampang
idamanmu." "itu bukan lagi prioritas bagiku, paras tubuh dan
wajahnya telah ku abaikan. Kini yang kuharap kuyakini hanyalah
ketenangan jika hatiku bisa berhimpun bersama dengannya."

Naqish terdiam terkesima menatap wajah Fatimah bermata sayu


layu yang perlahan memalingkan tubuhnya meninggalkan Naqish
beranjak pulang.

"Ya sudah bang, mohon maaf sudah merepotkanmu mendengar


keluhanku. Saya izin dulu." Fatimah berjalan meninggalkan kedai
Naqish menuju sepeda motor miliknya.

"Fatimah, Fatimah, Fatimah..." Naqish menyahut tapi tanpa


balasan. Lalu..

"Tatimmah..."

Tersentak langkah Fatimah terhenti mendengar sahutan


Tatimmah.

"Fatimah kamu adalah penyempurna hidupku, bolehkah kupanggil


dirimu dengan sebutan Tatimmah," kata Naqish.

Genggaman kantong plastik kresek bungkusan sayuran terlepas.


Matanya datar seperti terhipnotis, berbalik arah sembilan puluh
derajat dan sempurna badannya berhadapan dengan Naqish
dalam hitungan beberapa detik. Kini keduanya saling bertatapan,
suara riuh keramaian pasar seperti menggunakan mode mute
(diam) pada remote televisi, tidak terdengar apapun. Yang mereka
rasakan dan dengarkan hanyalah genderang perang detakan
jantung pada masing – masing keduanya.

Naqish keluar dari lapak dagangannya menghampiri Fatimah yang


berdiri kaku.

“Fatimah, ini saya Naqish,” kata Naqish dengan senyuman


khasnya.

Mata Fatimah mulai berlinang terharu, ingin sekali memeluk


Naqish untuk menyembunyikan air matanya. Andaikan tidak ada
syariat yang menghalangi itu. Di coba sekuat tenaga agar air
matanya tidak terjatuh membasahi pipi, tapi tidak berhasil.

Melihat kondisi seperti demikian, dengan kemungkinan Fatimah


akan terjatuh sedangkan Naqish tidak mungkin menyambutnya
selayaknya film Bolywood. Naqish mempersilahkan Fatimah untuk
duduk, mencoba membuatnya tenang.

“Sudah, jangan menangis lagi. Aku sudah di sini disisimu.”

Fatimah mengusap pipi merahnya, seraya berkata, “Kapan kamu


menemui orang tuaku. Aku harap sesegera mungkin. Soal mahar
jangan terlalu kamu pikirkan, nanti biar saya bicara memohon
kepada orang tuaku agar dipermudah.”
“Aku tidak butuh tawaran kemudahanmu Fatimah. Dari dulu
sudah kuperjuangkan untuk mendapatkanmu, apapun rintang
resiko yang kuhadapi, walau kulitku terbakar, badanku kurus,
rambutku tak terurus dan sebagainya. Semua siap kujalani demi
mendapatkanmu, berapa pun jumlah mahar yang ditentukan
nanti akan ku-usahakan. Dan Insya Allah dalam waktu dekat ini
akan kubawa orang tuaku bertamu kerumahmu”

Kemudian Fatimah beranjak pulang dalam keadaan tenang


hatinya terlepas dari dahaga perjanjian.

Singkat cerita, beberapa hari kemudian orang tua Naqish bersama


teungku imam Ali pergi hendak cah ra’uh (istilah adat Aceh yang
berarti lamaran).

Terjadilah salam seumapa5 sebagaimna yang sering didengar saat


acara lamaran pada orang Aceh. Sebagai berikut.

“Assalamualaikum, lon kalen dirumoh nyoe na bungong keumang


yang harom that bei. Pukeh jeut kamoe pageu supaya bek troh
kumbang laen jak peudoda,” (Assalamualaikum, saya lihat dalam
rumah ini ada bunga kembang yang sangat harum. Apakah boleh
kami pagari agar tidak datang kumbang lain mengganggu). kata
Tgk. Ali juru seumapa dari pihak Naqish.

“Waalaikumsalam hai teungku polem6. Dengoen seunang hatei


kamoe seudiakan keu teungku neu pageu bungong kamoe. Tapi
kamoe harap bek that trep neukubah jitakot bungong ka layei
5
Salam penyambutan yang biasa dilakukan masyarakat Aceh saat
lamaran. Dengan berupa pantun dan kata – kata kiasan.
6
Polem merupakan sebutan kepada seseorang karena penghormatan
segolom neujak poet mangat dicoem sari bungong,”
(Waalaikumsalam wahai teungku polim. Dengan senang hati kami
sediakan untuk teungku mempagari bunga kami. Tapi kami harap
jangan terlalu lama disimpan ditakutkan bunga sudah layu
sebelum dipetik agar dicium sari bunga.) sawab Tgk. Sop dari
pihak Fatimah.

“Kumbang di kamoe hai teungku polem, sayep jih golom patah,


teunaga bek gata ragu. Usaha teungoh geucoba keuneik peusapat
aneuk rinyeun mangat dijak poet bungong gata,” (Kumbang kami
wahai teungku, sayapnya belum patah, tenaga jangan diragukan.
Usaha lagi dicoba untuk menghimpun anak tangga agar bisa
dipetik bunga.) ujar Tgk. Ali dengan anggukan kepala gaya khasnya
menyakinkan pendengar. “Teuma padim perlei aneuk rinyen untuk
mangat kamoe poet bungoeng nyan.” (Jadi berapa banyak anak
tangga yang harus kami sediakan agar bisa dipetik bunga
tersebut.)

“Hana lei hai teungku. Bungoeng kamoe ka geutundok, geusayum,


geusambot kumbang gata. Maka sep siploh aneuk rayeun
manteng, ka meumada,” (Tidak banyak wahai teungku. Bunga
kami sudah menunduk, menanti, menyambut kumbang kamu.
Maka cukup sepuluh anaka tangga saja sudah cukup.) jawab Tgk.
Sop

“Alhamdulillah, rahmat Allah bri menyei meunan. Pu keh jeut jino


laju ta susoen aneuk rinyeun?” (Alhamdulillah, rahmat Allah beri
bila begitu. Apakah bisa hari ini terus kita susun anak tangganya.)
Tanya Tgk. Ali kepada orang tua Naqish.
“Bek dile gata karat, bah neu puwo manteung aneuk rinyeun nyan
dile. Nibak saboh masa kamoe sambot teuma lom dengoen
rinyeun meu-teutah,” (Jangan terburu – buru, biarlah dibawa
pulang dulu anak tangga tersebut. Pada suatu saat nanti kami
sambut kemabli dengan tangga yang sudah tershias.) sahut Tgk.
Sop

Kemudian kedua pihak keluarga berpisah setelah saling


berpamitan dan meminta izin.

Sepuluh anak tangga saat lamaran mengisyaratkan mahar yang


harus dibayar yaitu sepuluh mayam emas murni. Terbilang
tawaran yang sangat membantu, mengingat pada zaman itu
ditengah harga emas semakin mahal. Maka sulit bagi para lelaki
bujang memenuhi mahar hingga mudah dan cepat terikat akad
pernikahan. Fatimah berserta keluarga paham permasalahan ini
hingga dipermudah harga mahar untuk membantu mempercepat
berhimpun dua kekasih asmara hati dalam ikatan suci akad nikah.

Tiga bulan usai khitbah, naqish beserta keluarga besarnya kembali


ke rumah Fatimah melangsungkan akad nikah. Hanya sekali
tarikan nafas, lelaki plok minyek angen ini tuntas lancar
mengucapkan lafad qabul. Dan “Sah..” sahut para saksi.

Seiring berjalannya waktu dari ikatan kasih kedua insan ini


dikaruniakan seorang anak lelaki yang diberi nama Zaidon.
Penamaan ini saran dari sang ayah, Naqish. Untuk
mendedikasikan perasaan lebih yang di dapatkannya setelah
mendapatkan Fatimah.

Karena Zaidon artinya lebih.


Bertemu Zaidon

Usai sudah kisah kasih sembilu rindu dari Naqish dan Fatimah,
kedua orangtua Zaidon. Kini Zaidon sudah tiba dirumah setelah
meminta izin dari dayah. Mengetahui itu, Uma dan Baka datang
menemuinya.

Sedikit cerita masa lalu, Zaidon dan Uma merupakan sahabat


sama seperti Baka mereka bertiga sahabat karib. Namun, Zaidon
dan Uma pernah berselisih karena kesalahpahaman. Hingga
Zaidon membenci Uma dan beberapa kali mencelakakannya. Ini
sebagai pembuktian dalam amsilah (contoh) yang banyak ditemui
oleh para santri ; Dharaba Zaidon Amran (Telah memukul oleh si
Zaidon akan Uma). Dari contoh itu kalimat fi’ilnya (Dharaba)
memiliki faedah Muta’adi bukan Musyarakah, dengan demikian
dapat dipahami bahwa mereka tidak saling bermusuhan. Hanya
Zaidon saja yang memusuhi Uma. Dan kejadiannya memang
begitu. Dan memang begitulah fitrahnya manusia memiliki hati
yang lunak dan suka berubah-ubah dari cinta menjadi benci dan
dari benci menjadi cinta. Oleh karena itu tidak salah dengan kata
bijak ; Jangan terlalu cinta kepada yang dicintai, bisa jadi suatu
saat akan dibenci. Dan jangan terlalu benci kepada yang dibenci,
bisa jadi suatu saat akan dicintai.

Adapun akar permasalahan keduanya hingga Zaidon sempat


membenci Uma. Ini akan diceritakan pada judul yang akan datang.
Maka teruslah membaca.

Sahabat mencarimu ketika yang lain mencacimu, mereka


merangkulmu ketika yang lain memukulmu.
Sahabat merupakan pengganti jiwa sendiri. Disaat jiwa kita buntu
tanpa solusi, maka hadir jiwa cadangan dari jiwa sahabat
memberikan solusi terbaik hingga jiwa kita terpetunjuk dalam
bertindak dan memecahkan suatu masalah. Inilah yang dikatakan
sahabat, yang ada dimana saja saat dibutuhkan. Memberi
masukan bukan untuk menjatuhkan. Sahabat bagikan bintang-
bintang jiwa pemberi petunjuk saat tersesat. Keindahan yang
menenangkan jiwa saat hati sedang gelisah dan bingung.
Sebagaimana Rasulullah pernah bersabda, “Para sahabatku
bagaikan bintang, siapa saja yang mengikuti mereka niscaya akan
terpetunjuk.”

Selain itu, sahabat juga sebagai penampung sampah kegelisahan


yang menumpuk, disaat kegelisahan sudah menumpuk lalu
ditumpahkan kepada tempat yang tepat yaitu sahabat. Dan
penampungan tersebut akan mencerna dan mendaur ulang
sampah gelisah, selanjutnya ditumpahkan kembali dalam bentuk
keceriaan. Dan begitulah gambaran sahabat yang sebenarnya.

Sebelumnya, Baka sebagai sahabat Uma. Ia mendengarkan


keluhan dari Uma lalu mencerna dengan baik, dan
ditumpahkanlah ketenangan penghilang kebingungan sahabatnya
antara pergi mondok tapi jauh dari istrinya, atau sebaliknya. Itulah
arti sahabat sebenarnya.

Dan kini keduanya sudah tiba dirumah Zaidon. Mereka disambut


oleh Naqish, mempersilahkan keduanya untuk masuk dan duduk.
Lalu memanggil Zaidon yang sedang mencuci baju.
“Assalamuaaikum.” “Waalaikumsalam.” “Uma apa kabar? Hindon
mana, kenapa sendiri. Tapi, tunggu sebentar ya. Aku jemur baju
dulu. Setelah itu kita ngopi. Sambil reunian sudah lama kita
bertiga tidak berkumpul lagi kan,” kata Zaidon.

Keluarlah Fatimah ibunya Zaidon membawakan teh, sebagai


bentuk kemuliaan kepada tamu.

Zaidon selesai dengan tugasnya, Baka dan Uma terdesak untuk


menghabiskan teh yang disediakan dalam keadaan panas, sebagai
bentuk penghormatan mereka kepada tuan rumah. Dan
menghabiskan minum yang disediakan oleh tuan rumah
merupakan bagian adab bagi tamu. Yang sekarang adab ini mulai
dilupakan dan dianggap remeh.

Tibalah mereka di warung kopi ala masa kini. Warung yang


dipenuhi suara ribut anak-anak muda yang sedang bermain game
online, sebagian mengerut kening mengerjakan project di depan
laptop, sebagian lain duduk semeja tapi seperti berjauhan, saling
mengabaikan satu sama lain karena sibuk menatap smartphone
masing-masing.

Sasaran pembicaraan tertuju kepada Uma, dengan pembahasan


topik paling trending sejagat kehidupan para lajang, yaitu
menikah.

“Bagaimana dengan nikah mudamu Uma. Baik-baik saja kan.


Cobalah ceritakan pengalaman indahmu kepada kami,” tanya
Zaidon mengawali pembicaraan.
“Alhamdulillah, hingga saat ini kami masih baik-baik saja. Namun
sebagaimana kebanyakan bahwa, dalam pernikahan itu kita
membangun rumah tangga. Dan kini kami telah berhasil
mewujudkannya. Selanjutnya setelah membangun kita harus
merawatnya agar rumah tangga itu tetap utuh, kokoh dan indah.
Tapi, dalam proses itu tentu ada rintangan dan kerusakan kecil.
Seperti rumah kebiasaannya, terkadang atap bocor, dinding retak,
lantai ambruk, warna cat memudar, dan semacamnya. Semuanya
kerusakan itu akan dapat diatasi segera sebelum rumah itu roboh
hingga akan sulit untuk diperbaiki. Dan dalam memperbaiki tidak
mungkin menggunakan satu tangan, kita membutuhkan dua
tangan yang keduanya sepakat bekerja sama untuk
memperbaikinya. Di sinilah tujuan memilih pasangan sebelum
menikah.”

“Jawaban itu tidak mewakili pertanyaanku sepenuhnya. Dan kamu


bicara seperti itu, apakah rumah tanggamu udah pernah retak?”

“Sebenarnya ini hal pribadi rumah tanggaku. Tapi karena kalian


sahabatku dan aku percaya dengan kalian. Juga maksud aku kesini
ingin menanyakan pendapatmu. Sebelumnya sudah kuceritakan
pada Baka.”

“Eh ... apa maksudnya ini?” Zaidon heran.

“Masalahnya adalah dia sudah mampu mendirikan rumah, tapi


bagaikan melayang mengapung. Hendak mendirikan pondasi
tanahnya tidak ada sebagai dasar,” jawab Baka.
“Baka kalau bisa bahasamu itu disesuaikan dengan lawan
bicaramu. Janganlah memakai perumpamaan yang
membingunkan.” Bantah Uma.

“Saya rasa itu sangat sederhana. Maksudnya adalah kamu sudah


menikah, tapi dasar-dasar ilmu menikah itu kamu belum ada atau
belum menguasainya. Itu kan,” jawab Baka kembali. “Hehehe...
iya Baka benar.”

“Oh... aku udah paham, jadi atap rumahmu sudah pernah bolong
ya,” tanya Zaidon.

“Iya Don. Maklumi saja namanya rumah apung mudah diterpa


angin. Begitukan Baka. Tapi untung saja masih bisa diperbaiki.”

“Cie... Uma udah mulai bisa memahami penggunaan kata logika.”


Singgung Baka.

“Tapi, aku heran dengan Baka ini dia terlalu berlebihan dengan
ilmu itu sepertinya. Tadi dirumah sok-sok bahas pembahasan ilmu
mantiq di depan orang tidak tahu menahu sepertiku. Tapi, tunggu
saja, kesombonganmu itu akan hilang sendirinya saat aku mulai
mempelajarinya.” Uma melawan.

“Kamu mau mempelajari ilmu mantiq Uma, Benarkah itu. Itu


membutuhkan waktu belajar yang lama. Sedangkan kamu sudah
menikah,” tanya Zaidon.

“Iya Don, sekarang dia baru sadar atas saran istrinya, Hindon. Dan
berencana mau mondok. Kira-kira kamu yakin gak Don,” kata
Baka.
“Benar itu Uma.” “Iya Don, aku mau mondok. Gimana
pendapatmu.”

Zaidon meneguk secangkir kopi lalu menjawab, “Aku pernah


dengar ungkapan ; Innathaliba idza tajawwaza fan katsarat
safinatuhu artinya penuntut ilmu jika sudah menikah maka
hancurlah perahunya. Paham maksudnya Uma.”

“Paham, tapi coba kamu jelaskan secara spesifik.”

“ini menurut versiku. Maksudnya, mencari ilmu itu bagaikan


mengarungi samudra. Dikaitkan dengan samudra karena ilmu itu
sangat luas dan kedalamannya sangat curam tidak ada habis-
habisnya bagaikan air di lautan, sebanyak dan sekuat apapun kita
membuang dan mengambil airnya tidak akan habis. Dan di saat
seseorang ingin menyelami samudra maka ia butuh sebuah
perahu. Dan bagi orang sepertimu yang sudah menikah perahunya
sudah hancur dalam artian kesempatan untuk menyelami
kedalaman samudra ilmu akan sulit. Sebab sudah ada kesibukan
dan kewajiban lain. Seperti ; mencari nafakah, melayani istri,
menjaga dan membimbingnya. Dan ungkapan itu kiasan yang
sangat bermakna, dimana kamu akan sulit untuk mendalami ilmu
karena ada halangan yang sulit kamu hindari. Benarkan begitu
Baka.”

“Iya benar itu. Tapi Uma, walaupun tanpa perahu jika kamu nekat
berenang walau nafas terengah-engah, lengan kebas. Yakinlah,
suatu saat kamu akan bisa melewati samudra itu walau tidak
terlalu dalam. Yang penting kamu berhasil melewatinya dan
singgah di pantai keindahan ilmu. Di sanalah nanti kamu dan
Hindon mendirikan rumah tangga yang bahagia,” kata Baka.

“Tapi, bagaimana dengan Hindon apa ia setuju dengan


keputusanmu,” tanya Zaidon yang masih bingung.

“Bahkan ini sarannya Don.” “Baiklah, apakah kamu tidak akan


gelisah dan merindu nantinya. Mengingat kalian ini pasangan
muda.” “Aku akan mengusahakan meredam itu.” “Dan
sebelumnya saya minta maaf, apakah tidak takut seorang istri
ditinggalkan sendiri terlalu lama. Apakah kamu tidak kepikiran ia
akan selingkuh misalnya, karena bosan sendirian.”

Uma terdiam sejenak sambil mengaduk secangkir kopi. Zaidon dan


Baka saling menatap menanti jawaban Uma.

“Sebelumnya sudah kujelaskan pada Baka. Bahwa aku sangat


mempercayainya. Kupercayai, kuyakini sepenuhnya kepada
Hindon bahwa ia sebagai istri yang taat tidak akan berpaling ke
lain hati dibelakangku. Bisa dikatakan kepercayaanku kepadanya
bagaikan bumi mempercayai semesta bahwa ia dijalankan
berputar mengelilingi matahari sesuai orbitnya hingga tidak
terbentur dengan planet yang lain. Kesetiaannya kuyakini
melebihi kesetiaan hamba sahaya kepada majikan yang baik.
Maka, ketika ia menyarankanku untuk mondok dan menjauh
sementara waktu darinya. Tidak pernah kepikiran sama sekali
seperti yang kalian pikirkan. Tidak, tidak sama sekali.” Uma
menjawab dengan penuh emosional.

Kedua sahabatnya mengembungkan kedua pipi menahan tawa.


Dan ketawa dari keduanya pun membuncah tak tertahan.
“Kenapa kalian ketawa,” tanya Uma.

“Hahaha ... tidak, tidak apa-apa. Kami hanya ketawa memikirkan


diri sendiri.”

“Maksudnya.”

“Aku heran dan sedikit geli mendengar ungkapan rasamu tadi


Uma. Aku membayangkan apakah suatu saat akan menjadi
sepertimu juga dan mengalami hal yang sama. Aku
membayangkan jika itu terjadi, pasti aku terlihat sangat bodoh,”
bata Baka.

“Dimana bodohnya.” “Cinta, bagiku sikap keterlewatan dalam


bercinta itu sifat yang bodoh.” “Pantesan sampai saat ini kamu
masih sendiri.”

“Kamu Zaidon kenapa Ketawa.”

“Aku ketawa karena kamu itu aneh. Ada benarnya yang dikatakan
Baka. Bahwa, dalam memberi cinta kepada manusia tidak boleh
terlalu serius. Bisa jadi kita mudah dimanfaatkan. Ketika kita
terlalu menyerahkan hati kepada manusia, harapan akan muncul
kepadanya. Sedangkan memberi harapan kepada manusia itu
bagaikan bunuh diri. Ini berdasarkan prinsipku,” jawab Zaidon.

“Kalian berdua yang lucu. Jika sikap kalian selalu begitu kapan
kalian memberikan kesempatan bagi orang yang ingin tulus
kepada kalian. Tidak akan, karena kepercayaan kalian kepada
mereka bagaikan ungkapan orang melayu ; “Seperti durian
mentah.” Artinya buah durian mentah itu tidak akan jatuh, walau
digoyang-goyangkan atau angin bertiup kencang. Kecuali jika
batangnya dipotong. Itulah kalian, punya hati tapi enggan
memberikannya. Lebih baik kalian jadi pohon pinus, dari asalnya
memang tidak berbuah. Jadi, orang lain tidak akan berharap.”

“Udah,, udah. Ibnu Apa Suman. Jangan terlalu serius. Kami punya
hati dan akan kami serahkan hati kami kepada yang layak di waktu
yang layak pula. Tidak sepertimu, terlalu tergesa memberi hati.
Hahaha.” Baka membela diri.

“Ya sudah, kalau memang begitu pilihanmu Uma kami


mendukung. Dan sebagai sahabat tetap akan mendoakan
kebaikan hubungan kalian,” kata Zaidon.

“Eh Don. Coba berikan ungkapan kepada dia dulu. Biar ia lebih
semangat mengaji. Tadi aku mengaitkan dengan ilmu mantiq.”
Tantang Baka kepada Zaidon.

“Oke baiklah.” “Apa yang kalian bicarakan.”

“Dengarlah baik-baik ini untukmu. Kamu Uma dan istrimu Hindon.


Kalian berdua sama – sama tergolong Isim ghairu munsarif. Yakni
tertegah Tanwin (baris dua) yang berarti kalian tidak akan
mendua. Juga tertegah baris kasrah yang arti kasrah itu hancur,
jadi hubungan kalian tidak akan hancur. Itu menurut rumus nahu
menyatakan demikian, Jadi tenang aja.”
“iya...iya... inilah dia Sibawaihi7-Nya kota Lek-lap.” Baka memberi
aplaus kepada Zaidon.

“Apa maksud kamu Don. Bingung aku.” “Maka, jangan ragu mari
mondok bersama kami. Disana nanti kamu akan ketahui
semuanya.”

“Aku tidak ragu. Kini aku yakin untuk belajar ilmu agama. Juga
niatku ini bukan karena Hindon, walau dialah yang
mencerahkanku. Ini kesadaranku. Aku telah banyak membuang
waktu memikirkan dunia dan luput dari akhirat.”

Akhirnya Uma semakin mantap untuk mondok. Zaidon dan Baka


setelah itu menjelaskan persyaratan dan persiapan yang harus
disiapkan untuk mondok.

Mereka sepakat untuk membawa Uma mengaji ditempat mereka


mengaji, agar Uma terorganisir dengan baik, mudah mendapat
ilmu dalam waktu yang singkat. Dan mereka berdua siap menjadi
guru privat Uma agar pelajaran lebih efisien dipahami. Mereka
berjanji akan tulus dan ikhlas memberi kemampuan mereka
sepenuhnya agar cita-cita sahabat mereka Uma tercapai dan
cepat kembali kepangkuan Hindon dengan ilmu yang mumpuni
dalam membina rumah tangga yang lebih baik dan layak.

7
Abu Bisyr Amr bin Utsman bin Qanbar Al-Bishri, lebih dikenal dengan
nama Sibawaih, merupakan seorang pakar tata bahasa bahasa Arab yang
sangat berpengaruh. Karyanya yang berjudul Al-Kitab merupakan kitab
tata bahasa bahasa Arab yang pertama kali dibukukan. (wikipedia)
Masuk Dayah

Kegelapan malam hilang disetiap pagi tatkala mentari muncul di


ufuk timur menyebarkan kemilau cahayanya yang memancar luas.
Lukisan alam hasil goresan dari yang maha agung menjadikan
perputaran kondisi dari gelap menjadi terang, ini sebagai petunjuk
bagi makhluknya bahwa masih ada kesempatan bagi mereka
memperbaiki diri menjadi lebih baik, menerangkan gelapnya hati
kejahilan dengan cahaya ilmu pengetahuan.

Kemudian sang pencipta melukiskan gambaran alam kembali


menjadi gelap, sebagai iktibar bagi makhluknya bahwa akan tiba
saatnya kesempatan itu menjadi redup, penyesalan atas
kesempatan yang diabaikan hanya sia-sia, memohon kembali ke
masa terang memperbaiki apa yang dilewati ini juga tidak
mungkin. Ketika kegelapan kematian yang pasti akan ditemui bagi
semua makhluk.

Khusus bagi makhluk bernama manusia. Mereka telah diberikan


akal untuk berfikir apa yang sudah terjadi dan apa yang akan
terjadi. Tapi, kenapa diantara mereka banyak mengabaikan
kejahilannya, terutama jahil dalam ibadahnya, membiarkan
kebodohannya berlarut. Apakah mereka tidak pernah berpikir
akan dirinya sendiri, bagaimana kondisi jiwanya sendiri. Jika sadar
kenapa tidak dijalankan perubahan. Apa sebenarnya yang
menghalangi mereka. Tidak lain itu semua hanyalah kehendak
Allah Swt. Menentukan mana yang terpetunjuk dan mana yang
tidak.
Disaat masih ada kesempatan itu, Uma terjaga oleh ajakan Hindon
memperbaiki jiwa dengan ilmu agama, bertekad menyirami
kejahilan jiwanya dengan ilmu yang akan dicari. Sekaligus sebagai
tanda bahwa ia telah mendapat hidayah dari ilahi setelah
menikah.

Hari itu tepatnya hari Rabu. Uma melakukan persiapan hendak


memusafirkan tubuhnya ke ladang ilmu, tempat berkumpulnya
pendahaga ilmu, tempatnya penyemai ilmu agama
menginvestasikan sebagai pahala jariyah di akhirat kelak. Dayah
Ash-Shaleh namanya, tempat Zaidon dan Baka mencari ilmu
agama. Dan Uma atas permintaanya, mereka membawakannya
juga ke tempat yang sama, bersama-sama memanfaatkan nikmat
akal berpikir kepada yang harus dipikir.

Setelah berpamitan dan memohon doa restu kepada kedua orang


tuanya. Uma pergi sendiri tanpa didampingi kedua orang tuanya
menuju dayah. Disana Baka dan Zaidon sudah menanti
kedatangannya dan siap menyambut.

Datang menggunakan transportasi umum dan turun di lorong


melanjutkan perjalanan dengan becak, ia tiba di tempat tujuan
pada sore hari.

Abu, panggilan kehormatan para santri dan masyarakat setempat


kepada pimpinan dayah Ash-Shaleh. Sebelumnya sudah
mengetahui perihal kedatangan Uma yang akan mengaji di
tempatnya melalui Baka dan Zaidon.

Juga telah mengetahui status Uma sebagai suami. Awalnya


sempat menolak karena akan sulit bagi seseorang yang berstatus
menikah menjadi seorang santri murni. Mereka akan sulit
menjalankan peraturan yang ditetapkan. Namun, karena desakan
dari Zaidon dan Baka, dan juga mengingat Uma mengaji ingin
menuntaskan fardhu ain. Setidaknya walau dia nanti tidak menjadi
kader penerus para ulama sebagaimana cita-cita para santri
secara umum. Ia sudah menyelematkan dirinya sendiri dengan
menuntaskan fardhu ain yang dibebankan bagi setiap individu.
Dan akhirnya menerima. “Ini jadi pelajaran bagi kalian. Jangan
menikah bila ilmu belum cukup. Untung saja sahabat kalian itu
memiliki istri yang pengertian.” Saran Abu saat itu kepada Zaidon
dan Baka.

Tibalah Uma menggunakan peci agak menguning. Peci milik


ayahnya, Apa Suman. Sengaja tidak membeli yang baru untuk
mengambil berkat dengan peci ayahnya di awal mondok.

Dari kejauhan Zaidon dan Baka yang sedang duduk di pos jaga
melihat Uma turun dari becak menetengkan tas dan barang
bawaan lainnya. Keduanya berdiri menghampiri Uma sambil
melantuntan Thala’al badru. Sebagai tanda kegembiraan mereka
menyambut sahabat memasuki kebun surga. Sebagaimana
kegembiraan kaum Anshar dan Muhajirin saat menyambut
kedatangan Rasulullah Saw ke Madinah saat itu.

Keduanya senang karena sahabat mereka mendapat petunjuk


untuk memahami ilmu agama dan menjadi tanda sebagai
tergolong orang baik. Seperti hadist Nabi Saw yang artinya ; “Siapa
saja yang Allah kehendaki dia menjadi orang baik. Maka Allah
memberi ia pemahaman agama.”
Baka mengambil tas Uma dan memberikannya kepada tugas piket
untuk dibawakan ke asrama (bilek) yang telah disediakan.
Sekaligus dengan semua barang-barang bersama Uma, Baka
memerintahkan untuk tolong dibawakan.

Selanjutnya, keduanya membawa Uma menemui Abu yang sedang


duduk membaca kitab untuk persiapan pengajian majelis pada
malamnya di teras rumah. Mereka bertiga naik, Zaidon
mendahului dan mencium tangan Abu dengan cara membolak-
balikkan tangan, disusul Baka dan Uma juga meniru cara mencium
tangan mereka berdua, cara yang belum pernah ia lakukan
sebelumnya.

“Silahkan duduk.” Abu mempersilahkan.

“Ini dia Uma, Abu. Yang kami bicarakan sebelumnya.” Zaidon


memperkenalkan Uma kepada Abu.

“O... ini Uma. Saya sudah mendengar kabarmu dari Zaidon dan
Baka. Jadi, benarkah itu kamu mau mondok,” tanya Abu. “ Benar
Abu. Saya mau mondok di dayah Abu,” jawab Uma.

“Nah, kalau memang begitu berarti kamu akan menjadi santri di


sini. Dan jika sudah menjadi santri, semua aturan dan peraturan
yang ditetapkan disini harus dilaksanakan dan dipatuhi. Dan perlu
Uma tahu, semua kegiatan dan jadwal santri disini itu semua
sudah diatur. Mulai dari ; jam makan, mandi, jadwal mengaji,
shalat berjamaah hingga waktu tidur. Itu semua sudah diatur, dan
para santri harus menjalankan sesuai dengan prosedur yang
diatur, tidak boleh melanggar. Jika melanggar maka harus siap
menerima konsekuensi berupa denda atau hukuman yang juga
sudah ditetapkan. Perlu Uma tahu, semua ini dilakukan untuk
menjaga kedisiplinan para santri. Karena kunci kesuksesan itu
terletak pada kedisiplinan.”

“Kedisplinan disini bersifat memaksa, jika melanggar seperti yang


saya katakan tadi harus siap menerima hukuman. Untuk
hukumannya tanyakan saja pada Baka dan Zaidon. Mereka sudah
sangat berpengalaman. Hehehe.” Abu menyelipkan sedikit
candaan ditengah keseriusannya.

“Insya Allah saya siap menjalaninya Abu.” Uma optimis siap


menjalani semua ketentuan yang berlaku karena ia sudah terbiasa
seperti ini sejak kecil. Dilatih kedisiplinan.

“Untuk kitab-kitabnya bagaimana Abu,” tanya Uma

“Itu nanti kamu konsultasikan saja sama mereka berdua,” jawab


Abu sambil menunjuk Baka dan Zaidon. Lalu melanjutkan. “Dan
khusus buatmu Uma. Walau statusmu sebagai santri. Tapi santri
pengecualian.” “Maksdunya gimana Abu.” Uma bingung.

“Kamu saya berikan hak istimewa. Mengingat kamu sudah


menikah, maka kamu pasti tidak memiliki banyak waktu untuk
mengejar minimal pemahaman fardhu ain. Dan kamu bebas boleh
naik dikelas manapun itu terserah bagimu.”

“Tapi Abu, dua sahabat saya ini katanya siap jadi guru privat dan
berusaha keras membimbing saya sampai boleh pulang,” kata
Uma.
“Benar begitu Zaidon Baka.” “Iya Abu. Kami berencana begitu
untuk membantunya lebih mudah dan cepat,” jawab Baka.

“Alhamdulillah. Itu lebih baik. Berarti Uma saya serahkan kepada


kalian berdua. Kalian yang mengatur waktu dan jadwalnya. Juga
kurikulum yang akan dipelajari.” Abu menyutujui permintaan
mereka. “Dan khusus juga untuk kamu Uma, peraturan yang
diterapkan disini, sebagai kebijakan pribadi dari saya, untukmu
tidak dibebankan. Tapi, walau begitu usahakan tetaplah
melaksanakan prosedur yang ada agar tidak terlalu tampak
pengecualian untukmu hingga tidak terjadi cemburu sosial
diantara santri lainnya.”

“Baik Abu, dibebankan pun saya siap menerimanya dengan


senang hati. Tapi, sedikit Abu. Bolehkan saya bawa handphone
untuk sesekali menghubungi istri saya.” Mohon Uma.

“Itu yang tidak boleh. Hak spesialmu tidak berlaku disitu. Kamu
tidak boleh membawa handphone kesini. Karena itu akan
mengganggu konsentrasi belajarmu. Juga ditakutkan mengganggu
santri yang lain,” jawab Abu menolak permintaan Uma.

“Tapi Abu mohon maaf. Jika begitu bagaimana saya mengetahui


kabar istri saya.” Uma kembali memohon.

Ummi istri Abu keluar menghidangan teh dan beberapa kue ala
kadar.

“Mari minum dulu.” Abu mempersilahkan.


“Jadi begini Uma. Saya paham kondisi kamu. Maka, saya berikan
dua opsi bagimu untuk memilih. Pertama, Mondok dan rela
berjauhan dengan istri. Baik itu pandangan atau kabar. Kedua,
mengaji tapi tidak mondok dan kamu tetap bisa bersama dengan
istrimu setiap hari. Coba pikirkan baik-baik pilihan diantara kedua
ini. Karena kebijakannya berbeda-beda. Saya tidak memaksa,”
jawab Abu yang membuat Uma kembali ragu setelah sebelumnya
sudah mantap dan yakin untuk mondok.

“Dan seperti santri lainnya. Jika kamu mondok, setiap bulannya


para santri diizinkan pulang selama dua hari. Jika lebih sehari
maka dendanya bulan depan tidak diizinkan pulang. Begitulah
seterusnya. Dan itu mungkin bisa jadi pertimbangan bagimu untuk
mengunjungi istrimu.” Abu melanjutkan.

Uma berpikir sejenak, lalu matanya memandang Baka dan Zaidon


seperti mengisyaratkan pendapat dari mereka. Dan mereka
membalasnya dengan menggerakkan punduk sebagai intruksi
tidak tau dan terserah.

“Saya pilih mondok Abu.” Uma menjawab penuh keyakinan.

“Alhamdulillah. Semoga itu pilihan terbaik dan semoga istiqamah.


Maka, jaga waktu baik-baik. Fokuslah belajar agar kamu cepat
dapat rekomendasi bisa pulang,” kata Abu menutup pembicaraan.

Selesai diskusi sore itu. Ketiganya menyalami Abu dan meminta


izin turun. Selanjutnya Uma diarahkan ke ruang sekretariat untuk
didaftarkan. Setelah formulir selesai di isi dan persyaratan lainnya
dipenuhi. Uma digiring mengelilingi dayah untuk melihat situasi
dan kondisi yang ada, biar tidak terlalu menjamu.
Setengah perjalanan tepat berada di sekitaran asrama. Uma
melihat para santri duduk khusyuk di teras asrama membaca
kitab. Ada yang membaca sendiri, ada juga yang didampingi
sebagai penyimak. Mereka fokus dengan kegiatannya masing-
masing dan mengabaikan Uma sebagai santri baru.

Lalu, Uma melihat beberapa santri bersemangat menyanyikan


lagu berbahasa arab sambil menggoyangkan badan. Dan Uma
heran lalu bertanya, “Di sini ada kontes nyanyi ya Don,” tanya
Uma kepada Zaidon sambil tersenyum.

“Hahaha... ada-ada aja kamu mana ada. Itu mereka bukan


bernyanyi. Tapi melantunkan syair-syair buhurajat dari beberapa
matan kitab. Ada Matan Sulam Mantiq, Matan Jauhar, Bait Alfiyah
Nahu dan lain-lain,” jawab Zaidon.

“Tapi iramanya sedap ya. Enak didengar, apalagi serentak.” Uma


kagum.

“Baca Bait itu memang perlu irama, biar mudah terhafal,” jawab
Zaidon kembali. “Kalian pastinya udah mahir dengan itu semua
ya.” “Dulu kami udah selesai menghafal semuanya saat ujian,”
jawab Baka. “Sekarang? Bisa jika dilihat kembali.”

Dilihatnya juga balai-balai kecil dari kayu dengan atap daun dihuni
para santri yang sedang duduk santai sambil bergurau dengan
sesama. Dipandanginya ke arah mushalla melihat beberapa santri
duduk terpisah diatas sajadah menghafalkan ayat-ayat alquran.

Mereka terus berjalan menikmati setiap bangunan asrama dan


balai. Dihiasi dengan kesibukan para santri sore itu dan dewan
guru petugas berkeliling mengontrol santri. Sampailah di dapur
umum santri. Uma melihat setiap sudut ruangan itu. Dilihatnya
pula lemari kompor berjejer rapi memenuhi pinggiran ruangan itu.
Lemari dengan dua ruang pintu, satu pintu sebagai tempat
penyimpanan alat makanan. Pintu lainnya sebagai tempat letak
gas yang salurannya tersambung dengan kompor diatasnya.

Zaidon dan Baka menunggu di pintu dapur memegang rotan


sebagai gertakan kepada santri untuk disiplin menggunakan
waktu. Karena pukul setengah enam tidak dibolehkan lagi ada
aktifitas di dapur. Saat itu masih tersisa setengah jam lagi untuk
santri memasak dan makan. Zaidon dan Baka bersama guru
lainnya hari itu kena jatah piket mengawal itu.

Uma berjalan paralel dan berada di tengah ruang dapur


menyaksikan kebisingingan yang terjadi. Suara bising campur aduk
dari suara gesekan spatula dengan wajan, percikan kompor gas,
suara gelembung air dari nasi yang dikukus, suara ulekan cabai di
batu ulek, suara percikan minyak dari bawang basah yang dituang.
Ditambah asap harum dari telur ceplok dan dadar, bau pedas dari
cabai sambalado meresap ke hidung serta pedih di mata. Uma
menikmati itu.

Hiruk pikuk para santri terburu-buru dan bergegas menyiapkan


makan malam. Ada untuk dirinya sendiri ada juga dimasak untuk
berbagi dengan rekan-rekan lainnya.

Di sudut yang lain Uma melihat santri telat memasak dan


melakukannya dalam keadaan terburu. Nasi selesai dimasak
dihidangkan bersama mie instan. Dituangkan dalam baskom lalu
mereka berempat makan bersama dalam satu baskom dalam
keadaan nasi masih berasap. Uma sangat menikmati
pemandangan itu.

Pemandangan mengharap solidaritas sesama dari mereka yang


habis belanja kepada rekan yang memiliki kemudahan. Dengan
berkeliling membawa piring kosong, lalu rekan yang lain
menuangkan sedikit makanan berdasarkan kemudahan.
Kenikmatan meneguk nasi hangus karena lupa dibalik saat
dikukus. Terpancar kenikmatan meneguk nasi ditaburi garam. ada
juga yang meneguk nasi kosong tanpa lauk hanya dituangkan
kecap asin sebagai perasa.

Sungguh pemandangan yang belum dilihatnya sebelumnya.


Banyak santri yang jauh selisih dari umurnya hidup mandiri
memasak sendiri, hingga ada yang menginjit kaki agar tangannya
sampai untuk mengaduk di wajan. Tidak pernah ia lihat
sebelumnya anak-anak seumuran mereka tergesa – gesa
memakan nasi panas demi mengejar waktu. Pemandangan
perdana baginya melihat anak-anak seumuran mereka memakan
dengan lauk apa adanya tanpa merengek hingga tidak mau
makan.

Ingin sekali ia potret dijadikan dokumentasi suasana sore itu,


pemandangan perdana baginya.

Kini Uma takjub akan usaha keras santri pondokan dalam


menimba ilmu khususnya santri di dayah tersebut. Selain mereka
difokuskan terhadap hafalan dan pemahaman isi kitab. Mereka
juga dituntut mengerjakan sendiri keperluan sehari secara
mandiri, seperti ; memasak dan mencuci. Dan sungguh ini selain
mereka membutuhkan pikiran fokus saat belajar juga mereka
harus menyediakan konsep waktu yang tepat agar terselesaikan
semua kebutuhan.

Kehidupan tersebut, membagi waktu sudah lazim dirasakan oleh


anak asrama. Kecuali asrama yang menyediakan jasa catering dan
laundry. Dan tempat Uma belajar merupakan Dayah salafiyah
mengikuti tradisi ulama dahulu dalam belajar. Para santri dituntut
mandiri, diterapkan kedisiplinan tinggi, menentukan waktu setiap
aktifitas ; aktifitas mengaji, berjamaah, makan hingga tidur,
mereka sudah diteribkan.

Penerapan ini merupakan bagian pembelajaran jiwa santri,


menyesuaikan hidup dan mempersiapkan diri menghadapi gejolak
hidup bermasyarakat kelak. Selain dari pada pendidikan wawasan
pemahaman ilmu, mempraktekkan ibadah sesuai ketentuan al-
quran, hadist dan ijmak.

Ketika tiba waktunya terjun kedalam masyarakat menyebarkan,


mendidik dan membimbing umat memahami ilmu agama. Saat itu
mereka tidak memadai dengan nalar pikiran cerdas. Tapi, harus
disandingkan dengan jiwa emosional yang kuat. Dan yang kuat itu
adalah mereka yang telah melewati tahapan-tahapan proses saat
masa mondok. Di saat mereka sudah terlatih menahan lapar
tatkala belanja telat dibawa, jiwa sudah terbiasa mengalami
kegelisahan jauh dari orang tua, terbiasa merasakan kegundahan
hati (meuawo) ketika membandingkan rekan sejawat sudah
meraih kesuksesan duniawi. Ketika rintangan kejiwaan itu sudah
dilewatinya maka otomatis jiwanya akan kuat dan tangguh
menghadapai gempuran dalam hidup bermasyarakat.

Kegelisahan dan kesusahan yang sudah dijalani akan memberikan


rasa ikhlas. Ikhlas beribadah menyebarkan ilmu tanpa mengharap
materi, juga rasa sabar. Sabar disaat mendidik orang lain hingga
mencapai tingkat memadai. Dan penerapan itulah yang dilihat
Uma.

Di sore berhias senja berlangit jingga menjadi saksi tekad Uma


yang siap menjalani semua tahapan itu untuk jiwanya yang lebih
sabar dan terkontrol. Juga siap menempuh perjalanan
membentengi jiwa dan sikap moral adab bagi dirinya sendiri
seperti; meninggalkan ujub, riya, takabur, sombong, angkuh, egois
dan sikap buruk lainnya. Juga adab kepada tuhannya dengan
bertawakkal, tawadhuk, serta taqwa. Begitu juga adab jiwanya
kepada sesama. Hari itulah awal titik semuanya bagi Uma melatih
jiwa yang lebih kuat dan siap menjalani hidup bersama Hindon
yang lebih baik dari sebelumnya. Itulah tekadnya.

Hari itulah titik awal mula kesungguhan Uma mengenal lebih


dalam tuhan yang menciptakannya hingga ia akan benar – benar
memanusiakan kemanusiaannya. Hari itu juga proses
memperbaharui praktek ibadatnya agar sesuai aturan yang
membawaki sah.

“Bismillah.” Permulaan kalam lisan Uma menaiki awal tangga


mushalla. Bekasan sidik jari kakinya pada kayu anak tangga itu
menjadi saksi bisu keinginannya memperbaiki apa yang diabaikan
sebelumnya.
Pilu Nestapa

Sejenak kita tinggalkan Uma yang sedang fokus mencari ilmu,


mengejar ketertinggalan, memperbaiki apa yang kurang mengenai
ilmu agama. Berkonsentrasi mempelajari berbagai bidang ilmu
yang dipelajari yang terdiri dari ; tauhid, fiqah, tasawuf, nahu,
sharaf, mantiq, tafsir, bayan, hadist, serta balaghah.

Kita kembali ke belakang sejak awal mula dua kekasih ini berpisah.
Bagaimanakah kondisi Hindon saat itu. Apakah air mata duka
mengalir, bara api kerinduan mulai terbakar, pahitnya lidah
mencegah asumsi makanan masuk ke lambung, badannya yang
langsing menjadi semakin kurus keronta. Atau malah sebaliknya,
ia merasa bahagia karena pengikatnya sudah pergi, ia merasa
bebas kembali tanpa dibebani status istri, apakah ia akan tampil
selayaknya gadis menggoda kumbang-kumbang menghisap
madunya. Apakah ini semua siasat buruknya dan ia berhasil
sebagaimana dugaan Zaidon. Apakah demikian.

Mari kita lepaskan semua dugaan itu, dan kita lihat secara nyata
apa yang terjadi setelah itu.

Dibalik celah gorden jendela kamar ia menatap kepergian sang


suami tercinta melangkahkan kaki perlahan meninggalkannya. Dia
terus menatap penuh hening pergerakan suaminya itu. Dalam hati
terucap, “Mohon kembalilah aku tidak sanggup.” Itu hanya
ucapan hati bukan lisannya yang tergerak hingga yang dituju tidak
mendengar harapan itu. Lalu sirna, Uma hilang dari pandangannya
secara perlahan dimulai pandangan buram dari air mata yang
membasahi penglihatannya. Dan benar-benar hilang. Uma
suaminya tidak kembali seperti harapan hatinya.

Ia berpaling dari arah itu. Duduk bersandar dibawah jendela


tatapan terakhirnya. Rasa pilu ketidakrelaan tiba-tiba
menghinggap. Air mata awalnya hanya membasahi kini mengalir
ke pipi. Hindon mulai terdesak, ia coba bangun dan menatap
kembali keluar, terlihat di matanya dari arah yang sama seorang
laki-laki berjalan menetengkan tas menuju ke arahnya.
Senyumnya mulai terpancar akhirnya suami kembali tidak jadi
pergi. Begitu pikirnya.

Pandangan masih buram, ia hapus air matanya agar bisa melihat


dengan jelas. Tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan.
Pandangan tadi tidaklah benar adanya, itu hanya fatamorgana
kegelisahan Hindon akan kepergian suaminya, Uma. Ia kembali
terdesak tangisannya tidak terhenti. Lalu, ditutup rapat jendela
itu.

Ia mencoba melawan kegelisahan itu, karena ini adalah pilihannya


sendiri. Keputusan inisiatif dirinya sendiri. “Aku harus kuat,tidak
boleh begini,” kata Hindon dalam hatinya mencoba menyapu air
matanya yang terus mengalir.

Ia beroleh ke arah yang lain. berputar-putar mengelilingi kamar


seraya berbicara dengan jiwanya sendiri, “Wahai jiwa
kelemahanku. Kesendirianmu ini tidak selamanya, ini hanya
sementara. Tegar dan sabarlah menanti kepulangan belahan jiwa
berkelana mengembara ilmu demi kesempurnaan perkumpulan
jiwa ini kembali.” “Bukankah baru sebentar ia meninggalkanku,
kenapa begini resahnya diri ini.” “Wahai jiwaku, bertahanlah
dengan masa sulitmu ini. Nanti kamu akan terbiasa dengan
sendirinya.” “Apakah itu bisa menjamin. Bagaimana jika
kegelisahan ini berlarut begitu lama. Bagaimana diri ini menjalani
hidup?” “Duhai jiwa lemahku. Cukuplah mengeluh seperti itu.
Ingat, bahwa ini keputusanmu sendiri, ini pilihanmu, ini
keinginannmu. Kenapa kini menyalahkan keinginan sendiri.
Sadarlah tugas kita saat ini tegar dan sabar.”

Hindon terus memutari kamar keheningan itu hampir tidak ada


celah lantai yang tidak dipijakinya. Kaki dan pikirannya sepakat
saling memutar. Kaki berputar mengitari ruang kamar. Pikirannya
berputar memikirkan kegelisahan yang sedang dialami dan
kekhawatiran akan gelisah yang bagaimana lagi terjadi
kedepannya.

Jiwa pilunya adalah punca permasalahan yang membuat


pikirannya tidak terkontrol, kakinya tidak ada yang menghentikan
dari berputar. Pada akhirnya dia tersungkur di atas kasur, pegal
kakinya belum terasa, badan penompang seluruh sendi bagian
tubuh tidak sanggup menahan lagi hingga rebah di tempat tidur.
Matanya terlelap tak terduga karena lelah mengerluarkan air
mata.

Cukup lelap ia tertidur sampai azan magrib berkumandang di


mesjid setempat ia tidak menyadarinya. Sungguh nikmat tidur dari
sang pencipta kepada Hindon untuk meredam kegelisahannya.
“Hindon... mari nak kita makan malam bersama. Ayah sudah
menunggu tu.” Ibunya memanggil sambil mengetuk pintu
menggunakan bahasa Aceh.

Lama Hindon tidak menyahut dari jaganya yang belum sempurna.

“Hindon...” ibunya kembali memanggil.

“Baik bu, bentar lagi Hindon keluar.” Hindon bangun menuju


kamar mandi mencuci muka dari kerakan air mata yang
mengering. berwudhuk lalu shalat.

Diruang makan, ayah dan ibunya sudah menunggu sang putri


tunggal keluar untuk menikmati hidangan makan malam bersama.
Ibunya memasakkan lauk spesial kesukaan Hindon sejak kecil
yaitu; asam udang dan gule rampoe (kuah rebus) dipadukan
dengan ikan keumamah8 tumis serta ikan asin yang masih panas
dan renyah. Sebagai perayaan akan kembali sang buah hati ke
pangkuan ibu dan ayahnya.

Usai salat Hindon keluar menutup wajah sedihnya. Tiba dan duduk
di meja makan sebagai bekas santri Hindon mengetahui adab saat
makan bersama orangtua bahwa tidak boleh mendahului
mengambil nasi dan lauk sebelum orangtua mengambil terlebih
dahulu.

“Hindon... kenapa diliatin saja. Ambillah ini ibu masak lauk


kesukaan kamu.” Ibunya menawari. Setelah ibu dan ayahnya

8
Ikan tongkol atau semacamnya yang direbus lalu dijemur. Kadang
disebut juga ikan kayu.
mulai makan barulah Hindon bergerak mengambil piring dan
menaruh nasi serta lauk kesukaan di atasnya.

Seperti biasanya usai makan ayahnya Hindon bergegas keluar


untuk menanti waktu salat Isya di mesjid setempat. Tinggallah
Hindon dan ibunya di meja makan itu. Selesai makan Hindon
bangun untuk membereskan meja makan.

“Nak, jangan terburu-buru. Duduklah sebentar ada yang ingin ibu


bicarakan.” “Baik bu.” Hindon duduk kembali menunda beres-
beresnya.

“Kamu lahir dari rahim ibu. Pada darahmu ada darah ibu.
Kesedihan yang kamu tutupi itu tidak berhasil mengelabuiku. Ada
apa kiranya dengan hubungan kalian. Sebelumnya ia pernah
mengusirmu ke rumah. Kini, ia tinggalkanmu dengan alasan
mondok mengaji. Ibu ragu dengan ketulusannya, ragu semenjak
pertama kali kamu memperkenalkannya. Kamu boleh
membantah, jika memang benar ia tulus kepadamu kenapa tega
meninggalkanmu disini. Mengaji tidak dilarang, berpisah begini
juga tidak baik untukmu sebagai perempuan. Setidaknya dia bisa
berpikir untuk mengaji tapi dengan tidak mondok. Kan banyak
diluar sana suami mereka mengaji dan selalu bersama istrinya. Ini
bagaimana?” Ibu Hindon meragukan ketulusan cinta menantunya.

“Ibu... jangan berpikir yang bukan-bukan. Hindon percaya akan


kesetiaan dan ketulusan suami Hindon. Soal ia mondok dan
meninggalkan Hindon disini. Itu keputusan Hindon bu, Hindon
yang bersikeras agar ia mondok agar lebih totalitas dalam
mengaji.” Hindon menjelaskan.
“Ibu heran, di saat kamu bersikeras meminta ia mondok. Kenapa
ia tidak membantah agar keinginanmu tidak sepenuhnya dituruti.
Misalnya, ia boleh membantah dan memohon mengaji dengan
cara non mondok. Ini apa tidak mencurigakan.”

“Ada bu... ada. Bang Uma beberapa kali menolak dan memohon
agar tidak menjauh. Tapi, Hindon tetap bersikeras hingga ia tidak
bisa menolak lagi bu.”

Ibunya terdiam sesaat seperti memikirkan sesuatu. Lalu bertanya


kembali, “Kenapa kamu bersikeras menjauh darinya. Apakah
kamu tidak nyaman lagi dengannya atau kamu sudah tau sikap
aslinya dan kamu tidak betah lagi hidup bersamanya.”

“Astarghfirullah bu...tidaklah demikian. Hindon sangat senang dan


nyaman bersama suami Hindon. Kesedihan ini buktinya,
kesedihan yang tidak bisa menipu ibu karena jauh dari suami.
Membayangkan belum penuh sehari berpisah, tapi sedih dan
keresahan ini sangat dahsyat. Bagaimana nanti jika seminggu,
sebulan bahkan bertahun-tahun.” Hindon menahan tangis lalu
melanjutkan.

“Ibu... tolonglah jangan buat beban Hindon semakin berat karena


pikiran ibu yang bukan-bukan. Hindon harap doa dari ibu agar
Hindon tegar menjalani ini dan hubungan kami selamanya dalam
keadaan baik. Tolonglah restui hubungan kami dengan tulus.”
Hindon kini mulai mengeluarkan setetes air mata.

“Ibu mana yang tidak sayang kepada anaknya, tidak mendoakan


yang terbaik untuk anaknya. Tapi situasi ini, kalian masih
tergolong pasangan muda. Kalian semestinya banyak
menghabiskan waktu berdua, berbulan madu dan sebagainya. Ini
bukan. Dari dulu ibu sudah tidak yakin dengannya.” Ibu Hindon
pergi meninggalkan Hindon dengan raut tidak menerima
kenyataan yang dialami anaknya.

Hindon duduk menumpang dahinya dengan pergelangan tangan


sambil mengurut-urut lembut dahi kerutan. Perasaannya semakin
linglung setelah kesedihan atas kepergian suami ditambah lagi
komentar dari ibunya, membuatnya semakin gelisah takut
terpancing dan terbawa apa yang dipikirkan ibunya.
Menyebabkan rencananya gagal.

Hampir saja saat pertama kali ibunya berkomentar yang bukan-


bukan ingin berkata begini, “Salah satu kehancuran rumah tangga
adalah ikut campur pihak lain walau itu orangtua dalam
mengurusi permasalahan yang bisa diatasi oleh pasangan suami
istri.” Hampir saja terucap ucapan itu jika teringat akan adabnya
kepada orang tua. Bahkan hampir terpikirkan untuk diucapkan
agar ibunya paham dan kedepannya tidak mengulang kejadian
serupa. Tapi hadir rasa takut, bahwa itu bisa menyinggung hati
ibunya dan murka.

Hindon bergerak membersihkan dan merapikan meja makan lalu


kembali masuk kedalam kamar keheningan.

Sambil berbaring memeluk bantal guling pandangannya tertuju


kepada bantal kosong disebelahnya. Terlihat bayangan suaminya
saat pertama kali mereka tidur berdua di atas ranjang kasur
tertutup kelembu biru itu. Tiupan angin dari celah jendela
menyentuh pipinya terasa itu adalah belaian tangan suaminya.
Suara tokek berbunyi diatas loteng, pikirannya kembali teringat
disaat malam pertama mereka tidur suara tokek berbunyi dan
suaminya bertanya, “Itu suara apa dek.” “Suara tokek bang. Di
kota tidak ada tokek ya.” Bayangan itu membuatnya tersenyum
mengingat kenangan malam itu.

Dibalik kamar keheningan berpemandangan bayangan kenangan


bersama suami, suara melodi tokek bersenandung dengan tiupan
angin di malam kesunyian itu. Rindu Hindon mengembang
ledakannya hampir tak tertahan, digenggam hanphone miliknya
mengetik sepucuk pesan bertuliskan, “Assalamualaikum bang,
boleh Hindon telpon sebentar.” Selesai diketik tapi tidak jadi
dikirim bahkan pesan tersebut dihapus seketika dan handphone
dicampakkannya. Alasan tidak jadi mengirim pesan keinginannya
itu adalah karena itu akan semakin menyulitkannya membiasakan
diri sementara waktu, hidup sendiri tanpa suami tercinta.

Jika kerinduan itu dituruti, itu akan terus berlanjut dan


membuatnya akan semakin menderita, sekaligus fokus suaminya
dalam mencari ilmu akan terganggu menyebabkan keinginannya
akan semakin lama terwujud.

Handphone yang tadi dicampakkan dibiarkan tergeletak dekat


bantal diambilnya kembali. Dibacakannya kembali pesan – pesan
kenangan dahulu perjalanan cintanya dengan Uma. Sengaja
dipenuhi memori dengan pesan-pesan itu sebagai kenang -
kenangan disaat berdua dengan suami menjadi bahan cerita. Juga
sebagai teman yang menemani tatkala sendiri.
Jari tangannya digerakkan kebawah untuk menemukan pesan
yang paling dasar sebagai bukti pertemuan, perjalanan cinta
mereka.

Dan beginilah ceritanya.


Latar Belakang

Telah kita nikmati berbagai macam cerita dari sebelumnya. Uma


sang suami disibukkan dengan mencari ilmu. Hindon diterpa
kegelisahan ditinggalkan oleh suami tercinta.

Maka, pada kesempatan ini kita akan lebih kenal dekat sosok Uma
dan Hindon serta tokoh-tokoh yang ada pada cerita ini. Akan kita
kupas juga alur cerita perjalanan hidup dan cinta Uma dan
Hindon, hingga mereka bertemu dalam bingkai perkawinan.

Umar bin Usman, itu nama lengkapnya. Uma nama panggilan dari
pasangan Usman dan Zainabon. Usman ayahnya biasa dipanggil
oleh masyarakat setempat saat remaja dipanggil Suman. Ketika
sudah menikah dan memiliki anak dia dipanggil Apa Suman.
Panggilan khas dari masyarakat Aceh sejak dahulu, mereka suka
memplesetkan nama panggilan seseorang tidak sesuai atau sedikit
melenceng dari nama aslinya. Seperti contoh lain ; Ismail dipanggil
Ma’e, Zulkifli dipanggil Don, Yusuf dipanggil Suh, Sulaiman
dipanggil Leman, Ahmad diserukan Amek, dan lain-lainnya lagi.
Begitulah logat seruan yang sering dijumpai dari lisan orang Aceh
dari dulu hingga sekarang.

Apa Suman dan kak Nabon (panggilan Zainabon) pertemuan


mereka tidak sedramatis selayaknya pasangan Naqish dan
Fatimah pada cerita sebelumnya. Memang benar mereka hidup
dalam era yang sama, tapi alur cinta mereka berbeda-beda.

Usman dan Zainabon bisa bertemu dan berumah tangga ini


karena saling kenal antara kedua orang tua mereka. Orang tua
mereka sudah saling kenal sejak kecil bahkan termasuk ada ikatan
saudara jauh. Mereka ada keterikatan pada nenek buyut. Dan saat
Usman dan Zainabon mulai menampakkan kedewasaannya dan
sudah layak untuk dijodohkan. Orang tua mereka lalu saling temu
dan memusyawarahkan perjodohan mereka berdua dengan hasil
saling menyetujui. Dan jadilah Usman dan Zainabon menikah
dengan tidak saling kenal sebelumnya, tidak saling memberi kasih
sebelumnya, tidak juga saling membalas puisi-puisi cinta
sebagaimana yang dilakukan oleh pasangan generasi setelah
mereka.

Keduanya baru bisa saling manatap wajah masing-masing di saat


akad nikah selesai, dan Zainabon ketika akad berlangsung ia
didiamkan dalam kamar bersolekan cantik dengan kebaya putih,
bau semerbak harum tubuhnya dari mandi kembang menyerbak
ke seluruh ruang kamar itu. Setelah akad selesai, Usman
dipersilahkan memasuki kamar Zainabon istrinya yang sah untuk
melihat dan melakukan apapun yang tidak boleh dilakukan
sebelumnya.

Memasuki kamar melihat Zainabon duduk di kasur, kakinya di atas


lantai wajahnya masih tertutup kain. Usman datang mendekatinya
dan membuka kain penutup itu. Dan itulah perdana mereka saling
bertatapan. Sungguh kisah cinta romantis ala orang zaman
dahulu. Yang pasti tak disangka dan bakalan tidak setuju dengan
kebijakan ini bagi para generasi-generasi milenial. Karena rasa
cinta itu lahir awal mula dari pandangan baru masuk ke hati.

Bayangkan saja jika anda seperti Usman saat itu, lalu membuka
tirai kain penutup wajah istri anda dan ternyata wajahnya tidak
sesuai standar pilihanmu. Apa yang terjadi. Sungguh tradisi
pernikahan Usman dan Zainabon sangat tidak cocok jika
dipraktekkan kepada anak milenial apalagi generasi Z saat ini.

Usman dan Zainabon saat itu mereka tidak menyanggah pilihan


kedua orang tua mereka. Mereka menerima dengan lapang dada
setiap pilihan orang tua, karena pilihan mereka pasti yang terbaik.
Mereka para orang tua sudah lama menjalani hidup rumah tangga
dan telah mengetahui lebih banyak bagaimana cara hidup bahagia
dalam rumah tangga. Begitulah yang ada pada pikiran mereka
berdua saat itu hingga tidak menolak pilihan orang tua.

Saat detik-detik pembukaan penutup wajah, tangan Apa Suman


gemetaran saat membukanya. Wajar saja dia tidak pernah dekat
dengan perempuan seperti saat itu sebelumnya. Mulailah dibuka
sambil menutup kedua mata dan terbuka dengan sempurna
tampaklah wajah Zainabon, Usman masih dengan matanya yang
tertutup begitu juga dengan Zainabon matanya juga tertutup.

Usman coba memberanikan diri membuka mata dan terlihatlah


pemandangan yang sungguh indah. Wajah Usman memucat ia
masih sangat malu tapi dalam hatinya berkata, “Sungguh aku
sangat bersyukur mendapat istri seperti ini.” Usman menikmati
pemandangan wajah itu sembari Zainabon belum membuka
kedua matanya. Lalu, Zainabon mulai membuka kedua matanya
secara perlahan dan ia pun sudah bisa melihat suaminya dengan
jelas. Mereka kini saling bertatapan maksudnya dengan sama-
sama malu.

Karena rasa malu dari keduanya begitu dahsyat membuat


keduanya tidak berani melakukan hal-hal aneh saat itu. Usman
membangunkan Zainabon dengan tidak menyentuhnya tapi
dengan menyuruh, “Mari bangun kita keluar menemui orang tua
kita.” Aduh...duh... Apa Suman kok tidak romantis sih!. Maklumi
saja saat itu keluarganya belum ada televisi jadi Usman tidak bisa
mempraktekkan keromantisan yang dilakukan artis-artis
bollywood. Eaakk.

Mereka pun keluar menemui kedua orang tua masing-masing


bersalaman dan saling meminta doa restu. Begitulah terjadi
seterusnya hingga sepuluh tahun umur pernikahan mereka, baru
mereka diberi amanah dari sang pencipta seorang anak laki-laki.

“Aku ingin memberi namanya Umar. Sebagaimana doa rasulullah


dulu; Islam akan megah dengan masuk islamnya Umar. Maka,
saya doakan rumah tangga kami akan selalu baik dan harmonis
dengan kehadirannya Umar ini. Dan menjadi teladan bagi
masyarakat untuk kebahagiaan kedua orang tuanya.” Kata Usman
sambil menggendong selepas meng-Azani di telinga anaknya yang
baru lahir itu.

Setelah kelahiran Umar, keluarga Usman dan Zainabon menjadi


lebih lengkap dan bahagia.

Sekian waktu berlalu Uma nama panggilan Umar beranjak tumbuh


besar. Ia hidup dalam didikan keluarga yang sederhana, tidak
terlalu kaya mencolok tidak juga terlalu miskin ber-Iba. Ayahnya
kesehariannya bekerja sebagai pedagang rempah-rempah, ikan ,
sayur-sayuran dan kebutuhan lainnya. Mulai meniti karir sejak
masih remaja bekerja mencari uang untuk dirinya sendiri karena
Usman lahir dalam golongan keluarga miskin. Saat itu ia bekerja
dengan seorang toke asal tionghoa, biasa dipanggil Koko.
Bersama Koko, Usman banyak belajar cara berdagang yang baik.

Dengan sistem manajemen keuangan yang rapi dan teratur. Ilmu


manajemen yang diperoleh tanpa teori di pendidikan formal tapi
langsung secara praktek. Sebab Usman putus sekolah setelah
SMP. Dengan modal ilmu itulah Usman setelah menikah membuka
usaha dagang sendiri dan berhasil memberi nafakah kepada istri
dan anaknya dengan harta yang halal. Hasil pemberian nafakah
yang halal, Usman dianugerahi istri yang taat dan anak yang saleh
serta penurut. Sebagai pembuktian dari hadist Nabi Muhammad
Saw yang artinya ; “Sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima
kecuali yang baik-baik. Dan sesungguhnya Allah telah
memerintahkan orang-orang mukmin dengan apa yang
diperintahkannya kepada para rasul. Allah berfirman, ‘Wahai para
rasul makanlah dari segala sesuatu yang baik dan bekerjalah kamu
dengan pekerjaan yang baik.’” (HR.Muslim).

Kehidupan mandiri yang dijalani sejak kecil dipraktekkan langsung


kepada anaknya, Uma. Apa Suman tidak ingin memanjakan putra
tunggalnya itu. Sejak masih sekolah dasar (SD) Uma sudah
dituntut bekerja membantu ayahnya pada waktu tertentu.
Dibiarkan bermain juga pada waktu yang sudah ditentukan.

Bahkan, Apa Suman memperingatkan Uma jika bermalas-malasan


dalam bekerja, maka diberi ganjaran hukuman yaitu tidak dapat
menerima uang jajan sekolah. Dan jika ia menuruti sesuai apa
yang diperintahkan, maka semua keinginannya akan dituruti.
Beginilah kondisi didikan Uma saat kecil.
Tinggal di tengah kehidupan glamor kota Lek-lap, kebanyakan
anak-anak di kota itu bersikap manja dan suka bertingkah. Uma
kecil oleh ayahnya tidak dibiarkan demikian, ketika Uma sudah
mencapai tingkat mumayyiz9. Ia dibiasakan makan sendiri, mandi
sendiri, pakai baju sendiri hingga pergi sekolah sendiri mengayuh
sepeda bekas yang dibeli ayahnya setelah sebelumnya setiap pagi
menerima kecupan kasih sayang dari ibunya, Zainabon.

Pulang sekolah menahan sedikit rasa lelah segera mengganti baju


seragam lalu makan dan salat. Uma bergegas keluar ke kedai
usaha ayahnya membantu berjualan sampai tiba jadwal tidur
siang. Bangun tidur dilanjutkan dengan aktifitas mengaji di TPA
(Tempat Pengajian Alquran) setempat. Selepas itu bermain jika
masih ada waktu. Begitulah rutinitas keseharian Uma kecil.

Sama halnya dengan kebanyakan karakter anak-anak suka lalai


dengan permainannya dan lupa akan rutinitas.

Suatu hari Uma bersama teman kelasnya lokal 6.B mengajak


bertanding sepakbola dengan lokal 6.A. Pertandingan berlangsung
usai pulang sekolah, euforia bertanding begitu membakar
semangat Uma dan teman-teman yang lain. hingga ia lupa akan
rutinitas yang dibebankan kepadanya selepas pulang sekolah
yaitu, berjualan. Pertandingan gengsi antar kelas siapa pemenang
dan pecundang dibuktikan siang itu dengan kemenangan diraih
tim Uma.

9
Mumayyiz adalah anak yang sudah mencapai umur sekitar 6 tahun.
Yang sudah bisa membedakan mana yang bermanfaat dan berbahaya
bagi dirinya.
Kesenangan akan kemenangan membuat Uma benar – benar lupa
pekerjaannya. Baru teringat ketika sampai dirumah dan ia mulai
resah dan takut karena telat pulang tidak sempat lagi berjualan.

“Assalamualaikum.” Uma masuk. “Waalaikumsalam.” Dari dapur


ayahnya yang lagi makan siang menjawab dengan suara lantang.

“Jam segini baru pulang, apa yang kamu kerjakan.” Bentak


ayahnya.

“maaf ayah, tadi ada tugas mendadak di sekolah makanya telat


pulang.” Uma berbohong.

“Tugas apa? Sampai baju penuh keringat dan kotor begitu. Jangan
coba-coba bohongi ayah.”

“Maaf ayah. Sebenarnya tadi ada pertandingan sepakbola antar


kelas. Jadi kawan-kawan semua butuh Uma untuk melengkapi tim
dan Uma tidak bisa menolak.”

“Bagus...bagus. Sesuai perjanjian jika tidak berjualan membantu


ayah maka dilarang ambil uang jajan. Besok biar disekolah kamu
makan batu, ada dengar,” jawab Apa Suman mempertegas
kesepakatan yang dibuatnya bersama anaknya. Tentang
kedisiplinan, tanggung jawab dan kemandirian. Jika tidak
dijalankan maka dilarang menerima uang jajan sekolah untuk esok
harinya.

“Tapi, Ayah...” Uma coba menjelaskan kembali. Tapi ayahnya


mengabaikannya dan bangun dari meja makan setelah selesai
makan melanjutkan aktifitas mencari rezeki.
Uma kecil merasa terpukul dan susah membayangkan keesokan
harinya bersekolah tanpa uang jajan. Ada uang tabungan di
simpan oleh ibunya dan ia tidak berani meminta karena ini
kesalahannya sendiri.

Menjalani sisa hari dengan penyesalan, sesekali menyalahkan


ayahnya yang terlalu ketat menjaga, dan terlalu keras dalam
mendidik. Tidak seperti ayah kawan-kawan sekolahnya yang
memberi kebebasan waktu bagi anaknya bermain penuh tanpa
dibebankan dengan pekerjaan seperti yang ia jalani.

Tiba waktu makan malam, Apa Suman tidak seperti biasanya


menanyakan kondisi belajarnya di sekolah dan tempat ngaji.
Malam itu duduk langsung makan diam seribu bahasa dan usai
makan makan langsung keluar menuju mesjid tanpa menoleh ke
arah Uma sedikit pun. Melihat tingkah ayahnya seperti itu, Uma
semakin yakin bahwa ayahnya sangat marah kepadanya dan
sangat merasa bersalah.

Datanglah ibunya duduk di samping sambil memperhatikan


tingkah Uma yang tidak selera makan. Mencoba memberi
semangat dan nasehat kepadanya.

“Ayah memang begitu. Beliau tidak mau anaknya melakukan


kesalahan sedikit pun,” kata ibunya.

“Tapi kan Uma sudah minta maaf bu.”

“Benar, tindakan Uma sudah sangat benar. Tapi, ayah tidak mau
menerima permintaan maaf Uma begitu saja. Perlu waktu untuk
Uma menyadari dan menyesali kesalahan.”
“Ayah jahat. Uma tidak mau punya ayah seperti itu. Lihatlah
ayahnya kawan-kawan Uma mereka tidak suka marah, bahkan
sampai beberapa kali kesalahan dibuat mereka tidak juga
dimarahi malah disayang. Tidak seperti ayah Uma ini,” kata Uma
dengan wajah merengeknya sambil memukul piring dengan
sendok.

“Umaaa... jaga mulutmu. Ibu tidak suka Uma merengek mengkek


begitu. Ayah lakukan ini semua demi kebaikanmu. Agar Uma
tumbuh menjadi anak yang disiplin dan bertanggung jawab atas
segala tugas. Uma harus bersyukur memiliki ayah yang perhatian
terhadap jiwa dan raga anaknya. Tidak ingin anaknya tumbuh
dengan jiwa yang tidak terdidik secara utuh.” Ibunya menjelaskan
dengan penuh perasaan dan dari hati. Suatu yang dari hati akan
masuk ke hati.

“Baiklah bu, Uma minta maaf. Tapi uang jajan gimana bu. Uma
akan kesulitan di sekolah jika tanpa uang jajan.”

“Ini ada uang dari ibu. Tapi ini rahasia kita berdua jangan sampai
ayah tau. Dan juga Uma harus janji dulu sama ibu.”

“Janji apa bu.”

“Janji jangan ulangi kesalahan yang buat ayah marah. Juga jangan
sesekali lagi ibu mendengar Uma menyalahkan ayah dan
menyesali punya ayah seperti itu.”

“Iya bu, baik.” “Ini uang jajannya cepat sembunyikan nanti ayah
tau. Dan segera habiskan makanannya lalu bantu ibu
membereskannya.” “Siap bu.”
Selesai makan Uma bergerak membantu ibunya membereskan
meja makan dengan pikiran kembali terang dan tenang setelah
dinasehati ibunya.

Karena terlalu lelah pada siangnya, Uma tertidur pulas di depan


televisi yang masih menyala. Ayahnya pulang dari mesjid melihat
kondisi Uma yang sedang terbaring tidur lalu mengangkatnya
dengan tanpa membangunkannya dibawa kedalam kamar dan
diletakkan di atas tempat tidur. Ibunya datang membantu
menyelimutinya. Dan keduanya keluar secara perlahan agar Uma
tidak terjaga.

Dibalik pintu ibunya sambil tersenyum masih menatap Uma yang


tertidur dengan pulas. Ayahnya juga ikut menyaksikan sambil
keduanya berdiskusi,

“Gimana bu. Sukses,” tanya Apa Suman. “Alhamdulillah, sukses


yah. Meski tadi dia sempat merengek menyalahkan ayahnya.”
Zainabon menjawab sambil berbalik menghadap suaminya.

“Tidak apa-apa bu, namanya aja dia masih kecil. Yang penting kita
harus bekerja sama mendidik anak kita, baik itu kesehatan
jasmaninya dan jiwanya. Kita bag- bagi tugas, ayah bersikap tegas
dan agak sedikit keras, ibu yang melembutkan dan
menenangkan.” Kata Apa Suman sambil memegang kedua bahu
istrinya.

“Siap yah. Ayuk tidur yah, ibu hari ini terasa sangat lelah.” “Mari
bu.” Keduanya berjalan sambil berpelukan menuju kamar.
Lihatlah kekompakan dari pasangan suami istri ini dalam mendidik
anak mereka. Senantiasa menjaga komunikasi yang baik dengan
berdiskusi dan mencari solusi memecahkan permasalahan dalam
keluarga secara bersama-sama. Tujuannya sepakat, amanah yang
dititipkan terdidik dengan baik dalam bingkai keharmonisan
rumah tangga.

Kasih sayang yang disembunyikan dari sang ayah dan


menampakkan sikap keras kepada anak sebagai isyarat agar anak
tidak hidup dan tumbuh dalam keadaan manja dan malas. Pihak
lain, sang ibu secara nyata memperlihatkan kasih sayang terhadap
anak dan memberi sikap lembut sebagai peredam atau
penyeimbang agar psikis anak tidak tertekan. Serta agar ibu selalu
menjadi tempat sandaran bagi anak tatkala ditimpa masalah serta
tempat pengaduan bagi anak ketika kebimbangan menghinggap.
Selanjutnya ibu berkompromi dengan ayah berdiskusi
memecahkan masalah bersama-sama.

Beginilah contoh keharmonisan dari cinta kasih dalam rumah


tangga yang bisa diperlihatkan. Kasih sayang keduanya berkumpul
lalu dicurahkan kepada anaknya. Rasa kasih itulah yang membuat
anak menjadi taat, patuh dan tumbuh memiliki rasa cinta kepada
dirinya sendiri juga kepada orang lain.

Menjadi perhatian bagi setiap insan yang berpasangan. Terlebih


pada zaman ini informasi dan komunikasi begitu mudah diperoleh.
Manfaatkan kelebihan itu untuk memilah dan memilih pasangan
yang akan dipersuntingkan dalam akad. Kenali baik-baik lalu
persiapkan kerja sama dalam membina menjaga rumah tangga.
Karena, suksesnya anak itu tergantung dan dipengaruhi oleh
keharmonisan ayah dan ibundanya.

Sebaliknya, kondisi broken home yang terjadi akan membuat anak


depresi. Dia akan terbiasa melihat kekerasan yang terjadi, akan
terbiasa mendengar carut marut dari kedua orang tuanya.
Membuatnya tumbuh menjadi orang pembangkang dan jahat.
Seperti ini sungguh disayangkan, gara-gara tidak siap ayah dan
ibunya membina rumah tangga membuat anak yang terlahir
dalam keadaan fitrah tanpa dosa tumbuh menjadi anak yang tidak
baik.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan ayah dan ibunya Uma patut
ditiru dan dipraktekkan bagi setiap insan yang berpasangan sah.
Agar mampu menciptakan anak yang berguna bagi kedua orang
tuanya, bagi masyarakat luas, agama dan bangsa.

Akan kita temui nanti sebagai bukti dalam cerita ini, bagaimana
Uma tumbuh menjadi orang penyabar, mudah sadar dan suka
menjaga perasaan orang lain.

Terus membaca agar kita bisa merasakannya.


Persahabatan

Lambat laun berjalannya waktu tidak terasa Uma sudah tumbuh


lebih besar. Kini ia akan memulai belajar di tingkat selanjutnya
pada tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Bersama Baka, teman sekaligus tetangga yang selalu bersama saat


bermain, sekolah dan mengaji. Setelah sebelumnya mereka satu
sekolah dan satu lokal saat Sekolah Dasar (SD). Kini mereka
sepakat untuk kembali bersama di Sekolah Menengah Pertama
(SMP).

SMP N 300 Kota Lek-lap adalah pilihanya. Sekolah Berstandar


Internasional (SBI) seperti yang sudah diceritakan sebelumnya,
untuk masuk kesini harus melewati tahapan seleksi berupa ujian
tertulis.

Alhasil, Uma dengan kepintaran alaminya ditambah lagi


kepintaran biologis dari asupan makanan yang cukup dan
bernutrisi membuatnya lolos seleksi dan layak menjadi siswa di
sekolah berstandar internasional itu. Sial bagi Baka, ia tidak lolos.

Sulit memang bagi Baka untuk lolos seleksi ini. Mengingat


makanan favoritnya adalah makanan ringan yang berpengawet,
tidur melebihi waktu standar. Membuatnya tubuhnya gemuk dan
kurang pintar di sekolah.

Tapi, Baka sebagai pemuda tanggung merasa gengsi dan sangat


ingin bersekolah disitu. Dengan membujuk ibunya agar bisa
dimasukkan ke sekolah itu dengan berdalih agar Uma tidak
sendirian di sekolah. Baka tau bahwa ibunya sangat sayang
kepada Uma yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.

“Ibu ... tolonglah temui bapak sekolah untuk bujuk Baka agar bisa
belajar di sekolah itu,” Harap Baka.

“Orang-orang seperti kamu ini yang hanya bisa makan jajan yang
banyak, tidur tidak pernah cukup tidak pantas masuk ke sekolah
berstandar internasional itu. Lagian ibu tidak mau malu-maluin
diri sendiri memohon kepada kepala sekolah diluluskan anak
bodoh sepertimu. Masuk sekolah yang dekat disini saja, itu cocok
untukmu.” Ibunya geram melihat Baka.

“Gak mau bu sekolah disitu. Kata mereka itu sekolah monyet.


Karena setiap hari selalu masuk monyet kedalam lokal. Malu lah
Baka bu, sama kawan – kawan.”

“Biarin, biar jadi pelajaran buat kamu yang malas, rajinnya makan
dan tidur. Lihatlah anaknya Kak Nabon, dia rajin belajar dan
membantu orang tuanya. Kenapa anak ibu yang satu ini tidak
seperti dia ...”

“Ibu mau Baka ikuti jejak Uma ya bu.”

“iyaa, jika bisa. Ibu tidak tau lagi bagaimana mendidik kamu.”

“Baik bu, mulai hari ini Baka akan berusaha menjadi lebih baik
melebihi Uma. Dan akan membuat ibu senang.” Baka penuh
percaya diri mengatakan demikian.

“Tapi bu, Baka akan kesulitan menjadi baik jika temannya Baka itu
bukan orang baik. Apalagi di sekolah yang dekat itu, disitu banyak
anak-anak jahat dan bandel. Jika Baka masuk kesitu entar bukan
malah menjadi baik tapi bertambah buruk,” ujar Baka sambil
membelakangi ibunya dengan tersenyum kecil seperti ada sesuatu
yang direncanakan. Kemudian berbalik lagi, “Gimana bu, apakah
keinginan Baka bisa dipenuhi agar Baka bisa selalu dengan teman
yang baik seperti Uma.” Baka kini duduk berlutut memohon
kepada ibunya.

“Nanti ibu coba tanyakan pendapat ayah dulu,” kata ibunya.

“yes ... baik bu.” Baka kegirangan atas siasat bujuk rayunya hampir
mencapai kesuksesan.

Pada malamnya Baka menguping pembicaraan ibu dan ayahnya


diruang televisi.

“Ayah, si Baka gimana ini. Ia sangat ingin masuk ke sekolah yang


sama dengan Uma.” “Ya sudah masukkan saja.” “tapi dia tidak
lulus seleksi yah.” “Jika begitu masukin ke sekolah lain.” Ayahnya
menjawab santai seperti cuek dan tidak terlalu memikirkannya.

“Ayah ini gimana sih. Ibu serius nanya. Baka tetap saja dia mau ke
sekolah itu, tidak mau ke sekolah lain.” “Coba ajak dia masuk ke
dayah mau tidak. Aku lebih suka anakku ke dayah.” “Tidak mau
pasti. Dia itu orangnya gengsian. Tetap saja keinginannya ke
sekolah itu.”

“Ya sudah caranya gimana. Dia kan sudah tidak lulus selekesi.”
“Kita datangi kepala sekolahnya yah. Kebetulan istrinya itu teman
ibu semasa sekolah.” “Baiklah kita usahakan malam besok. Tapi
ingat, jangan bawa-bawa nama instansi ayah,” ucap ayah Baka
yang tidak mau menganggarkan jabatannya sebagai pegawai.

Dibalik kamar Baka sangat senang, harapannya mencapai titik


terakhir.

Besok malamnya ibu dan ayahnya pergi kerumah bapak Antoni


kepala sekolah SMP N 300 Kota Lek-lap.

“Bagaimana kabarnya Pak.” Ibunya baka bertanya. “Alhamdulillah


baik buk. Ibu dan Bapak ini siapa ya,” tanya Pak Tony.

“Saya temannya Fira, istrinya Bapak dan ini suami saya. Kemana
dia ya, kok tidak nampak.” Ibu Baka memperkenalkan diri.
“Kebetulan dia tidak ada dirumah. Dia pulang kerumah ibunya
sebentar.”

“Fira tidak ada, bakalan sulit membujuknya kalau begini.” Ibu Baka
bergumam dalam hati. “Ada apa kiranya Ibu datang malam-malam
kesini.”

“Oh... maaf Pak begini. Anak saya kemarin sudah ikut tes seleksi di
sekolah Bapak tapi tidak lulus. Maka, hmmm sekiranya kami minta
tolong kepada Bapak agar diluluskan,” mohon ibu Baka sambil
tersenyum.

“Mohon maaf Buk. Sekolah kami sudah berstandar internasional.


Yang boleh belajar di situ hanyalah siswa-siswa yang layak melalui
proses seleksi.”

“Saya mohon Pak, tolonglah dengan kebaikan Bapak.”


“Mohon maaf buk sekali saya tidak bisa bantu.”

Ayah Baka sebelumnya hanya duduk diam mendengar percakapan


istrinya dengan Pak Tony. Mulai bergerak berdiri mengeluarkan
dompet dari celananya lalu mengeluarkan lima lembar uang
warna merah diletakkan di atas meja. “Bisa tolong Pak.” Ujar ayah
Baka.

“Hehehe ... tetap tidak bisa pak,” jawab Pak Tony.

Ayah Baka kembali membuka dompetnya dan mengeluarkan lima


lembar uang merah lagi. Total uang kini diatas meja sebesar satu
juta Rupiah.

“Kali ini bagaimana Pak, saya tarik kembali atau bapak genggam.”
Ayah Baka menawari dengan pandangan tajam.

“Aduh ... gimana ya saya pun bingung. Tapi karena Bapak dan Ibu
terlalu mendesak saya. Saya tidak enak jika selalu menolak.
Baiklah ini atas kebijakan saya, hari pertama bawalah anak bapak
kesekolah lalu jumpai saya disana.” Paka Tony mengabulkan
permintaan orang tua Baka setelah menerima uang sebesar satu
juta Rupiah.

Sampai dirumah ayah Baka langsung menerobos masuk ke rumah


tanpa memberi salam dan mencampakkan tubuhnya di atas sofa.

“Sial, bagaimana mau maju pendidikan di negeri kita. Jika


setingkat kepala sekolah masih saja mau disuap.” “Udah lah Yah.
Ini kan demi kebaikan anak kita juga. Anggap aja uang itu sedekah
dari kita.”
“Udah terlanjur tidak ikhlas.” “Jika tetap menyalahkan, Ayah juga
salah. Karena dalam suap pemberi dan penerima itu sama-sama
salah.”

Ayah Baka terdiam masih geram dengan tindakan pak Tony.

“Baka mana dia. Coba panggilkan dia kemari.” Ayah baka


menyuruh memanggil Baka.

“Iya Yah. Baka disini.” Keluar Baka dari kamar. “Kesini kamu
cepat,” ucap ayahnya dengan gestur marah.

“Lihatlah dompet ayah, kosong. Tau ini kenapa.” “Tidak yah.”

“Gedebug!...” Ayah baka mencampakkan dompetnya. “Ini gara-


gara memberi suap kepala sekolah favoritmu.” “Maaf yah.”
“Permintaan maaf saja tidak cukup, kamu harus ganti rugi dengan
prestasi yang kamu raih di sekolah nanti.” “Baik yah, Baka
usahakan.”

Usaha Baka untuk bisa masuk ke sekolah itu berhasil. Tapi ia harus
menanggung beban yang sangat berat yaitu meraih prestasi
minimal mendapat ranking sepuluh besar di sekolah.

Tibalah hari pertama masuk sekolah. Uma beserta seluruh siswa


baru sekolah itu berbaris melangsungkan upacara perdana.
Sekaligus pengumuman pembagian lokal. Satu persatu siswa
dipanggil dibariskan di depan lalu berjalan mengikuti wali kelas
menuju lokal.

Giliran Uma yang dipanggil. Seperti siswa-siswa sebelumnya, Uma


dan siswa yang lain mengikuti wali kelas yang ditunjuk dibawa
kedalam lokal yang dituju. Memasuki lokal semua siswa
dipersilahkan memilih sendiri tempat duduk yang disukai. Uma
memilih duduk di bangku paling belakang dan kebetulan sendiri.
Kemudian para murid satu persatu dipersilahkan maju kedepan
untuk maju kedepan. Pada giliran terakhir, Uma berjalan menuju
ke depan untuk memperkenalkan dirinya.

Di lorong sekolah Baka bersama pak Tony dan ibunya berkekeliling


mencari lokal yang cocok dengan keinginan Baka. Berjalan di
depan ruang kelas Uma, Baka melihat Uma sedang berdiri
memperkenalkan diri. Baka minta berhenti dan menunjukkan
kepada pak Tony bahwa ini lokal pilihannya.

Selesai Uma memperkenalkan diri berarti selesailah semua murid


di kelas itu memperkenalkan diri mereka. Barulah pak Tony
memanggil wali kelas untuk membawa masuk Baka kedalam kelas.

Dengan penuh percaya diri Baka berjalan masuk kedalam lokal,


menaikkan dada kegemukannya, seolah-olah lokal itu adalah milik
ayahnya.

“Anak-anak ini ada teman baru kita yang agak telat masuk. Mari
nak perkenalkan dirimu.” Wali kelas mempersilahkan.

“Nama saya Abu Bakar, nama panggilan Baka.” Baka terdiam


sejenak karena seluruh seisi lokal ketawa mendengar nama
panggilannya.

“Sudah ... sudah diam. Mari nak lanjutkan.” Wali kelas


mempersilahkan kembali.
“Alamat saya sama seperti kalian di Kota Lek-lap. Cita – cita ingin
menjadi kurus. Adapun hobi saya sama seperti kalian, yaitu suka
menatap orang ganteng seperti saat ini.” Kembali disambut tawa
oleh seisi lokal plus aplaus tepukan tangan dari semuanya. Baka
kemudian dipersilahkan duduk. Dan betapa beruntungnya, dia
bisa duduk satu meja dengan Uma.

“Hahaha Baka. Awal masuk sudah buat kocak. Tapi bagaimana


ceritanya kamu bisa masuk kesini?” tanya Uma.

“Kamu tenang Uma. Aku memang bodoh dalam bidang pelajaran


di sekolah. Tapi aku punya kelebihan akalku yang cerdik. Dan
bagaimana ceritanya aku bisa kesini panjang ceritanya tak perlu
lah diceritakan.”

“O ... begitu ya.”

“Tapi aku masuk kesini punya beban yang besar Uma.”

“Apa itu?”

“Harapanku hanya kamu Uma sahabatku yang terbaik.”

“Ya sudah apa itu.”

“Aku harus meraih ranking sepuluh besar Uma. Itu beban yang
akan kujalani. Kamu bisa bantu kan.”

“Bantu gimana?”

“Ajari aku setiap pelajaran. Bagaimana pun caranya yang penting


aku meraih ranking.”
“Kalau kamu yakin, Insya Allah aku akan selalu membantumu
Baka.”

“Ini dia sahabatku. Terima kasih Uma.”

Begitulah berlanjut hubungan keduanya kian dekat dan akrab.


Baka menjalani sekolahnya dengan beban yang sangat berat, yaitu
meraih ranking. Dan Uma hadir memberi keringanan beban
tersebut.

Setiap hari setiap tugas berupa ulangan dan sebagainya.


Semuanya ada campur tangan Uma. Terkadang diajari, terkadang
langsung diberikan tugas tersebut untuk dicontet oleh Baka.

Hingga genap setahun masa belajar kelas satu. Pada pengambilan


rapor ibu Baka dengan hati senang dan tersenyum melihat hasil
rapor anaknya yang meraih ranking urutan delapan dari tiga puluh
siswa. Ranking perdana yang diraih Baka sejak sekolah.

Keberhasilan Baka ini tidak terlepas berkat bantuan Uma.

“Terima kasih sahabat,” ucap Baka.


Murid Baru

Naik kelas delapan atau kelas dua SMP. Memasuki tahun ajaran
baru. Uma, Baka dan murid-murid lain di kelas itu kedatangan
murid baru. Yang nantinya akan menjadi sahabat karib Uma dan
Baka, yang pernah diceritakan sebelumnya, ia adalah perwujudan
dedikasi Lebih dari ayahnya. Itulah dia Zaidon. Lelaki berbadan
kekar dan kuat. Lelaki yang tiada hari tanpa keringat.

Zaidon merupakan murid pindahan dari sekolah pedesaan, tempat


tinggal ia bersama ayah dan ibunya sebelum mereka pindah ke
kota Lek-lap. Karena Naqish ayahnya menerima tawaran kerja
sebagai buruh pada perusahaan perkebunan sawit. Karena itulah
mereka pindah ke kota.

Zaidon pada sekolah sebelumnya termasuk murid berprestasi,


maka saat kepindahannya ke kota oleh pihak sekolah memberi
surat rekomendasi agar Zaidon diterima di sekolah berstandar
internasional.

“Hai, saya Uma.” “Saya Baka.” “Nama saya Zaidon.” Mereka saling
berkenalan kebetulan Zaidon duduk paling belakang sendiri jadi
mereka bertiga berdekatan. Uma dan Baka begitu ramah
kepadanya hingga membuat Zaidon tidak merasa canggung dan
tidak merasa bahwa ia murid baru di sekolah itu.

“Kudengar kamu murid berprestasi disana ya,” tanya Baka. “Tidak


lah.” “Jangan berkilah, aku suka berteman dengan orang pintar
jadinya aku ketularan pintar.” Siasat Baka kembali dimulai.
Sebelumnya ia memiliki Uma untuk mencapai nilai terbaik kini
bertambah Zaidon yang membuatnya semakin leluasa dan bebas
mengutip nilai terbaik.

Semenjak itu, Uma dan Zaidon mereka tidak pernah keberatan


memberi contekan kepada Baka. Mengingat Baka memang super
malas dalam berpikir pelajaran sekolah. Sebagai balasan terima
kasihnya, Baka sering beberapa kali mentraktir makan mereka
berdua.

“Teng ... teng ... teng ...” Bunyi lonceng tanda pulang.

“Zaidon kamu pulang dengan siapa?” tanya Uma. “Aku pulang


sendiri menggunakan sudek10,” jawab Zaidon. “Kalau begitu kita
pulang bareng aja,” ajak Uma.

“Baka cepat ...” Seru Uma kepada Baka yang sedang mengantri
somay.

“Iya ini udah siap. Ini untuk kalian berdua.” Baka memperlihatkan
kedermawaannya.

“Tiada hari tanpa somay dan bakso. Itulah Baka. Kapan cita-citamu
menjadi kurus tercapai jika begitu.” Canda Uma.

“Kamu Uma woles aja. Aku hanya sedang menikmati nikmat lidah
merasakan enaknya makanan yang masih diberikan Allah Swt.”
Jawab Baka menampakkan jiwa religiusnya.

“Kamu turun dimana Don .” Uma bertanya di dalam sudek.


“Hampir lagi sudah sampei.”

10
Transportasi umum fungsinya seperti ojek pada kota – kota besar.
“Aku mau turun disini gimana cara hentikannya ni.” Zaidon
kebingungan memberi tahu sopir untuk berhenti karena itu
perdana baginya naik sudek.

Lalu Uma menekan bel sambil memperlihatkannya kepada Zaidon


dan mobil sudek pun berhenti.

Zaidon turun menghampiri supir untuk membayar tagihannya.


Kembali ke belakang ia dikejutkan dengan Uma dan Baka yang
juga turut turun dan membayar tagihan.

“Kalian kenapa turun disini?” tanya Zaidon.

“Rumah kami dibelakang itu.” jawab Uma.

“Berarti rumah kita berdekatan. Rumah aku masuk lorong ini.”

“Bagus jika begitu, nanti sore kami ke rumahmu kita main


bersama,” ajak Uma.

Mereka berpencar pulang kerumah masing-masing. Uma seperti


biasanya pulang sekolah makan, salat lalu keluar membantu
ayahnya berjualan. Setelah itu tidur siang, jadwal ngajinya sudah
berpindah pada malam.

Tiba waktu asar, Uma bangun salat lalu mengajak Baka pergi
kerumah Zaidon seperti rencana sebelumnya.

Sampai dirumah Zaidon mereka pun bermain dengan anak-anak


lainnya di sekitaran tempat tinggal mereka. Zaidon yang
merupakan anak desa ia lebih paham akan permainan yang seru
juga berkeringat. Diajarilah olehnya kepada anak-anak kota itu
berupa permainan seperti : patok lele, cemerlang, pekong, kaki
raksasa, main kodok, main tembakan dari rotan dan semacamnya.
Semua itu adalah permainan anak-anak desa yang penuh keringat
dan membuat anak menjadi lebih sehat dan aktif. Uma, Baka dan
teman-teman sepermainan mereka saat itu sangat senang dengar
hadirnya Zaidon. Jadi mereka lebih kreatif dan aktif dengan
permainan baru itu bagi mereka.

Di sekolah saat memasuki semester genap kelas tiga SMP, Zaidon


secara diam-diam memiliki rasa suka kepada gadis kota satu lokal
dengannya, gadis memilki darah campuran Aceh dan Batak itu
bernama Tasya Nasution.

Kulit bersih dan putih. Setiap harinya selalu anggun dan rapi.
Wangi harum parfume saat jam pertama masuk sekolah dan
berganti dengan wangi minyak kayu putih pada jam kedua hingga
pulang sekolah. Harum kemanjaan dari seorang gadis itu selalu
dihirup dinikmati oleh Zaidon yang duduk paling belakang.

Entah apa yang terjadi, Zaidon sangat mengaguminya. Setiap saat


ia memandang Tasya terkadang tersenyum sendiri. Karena
pikirannya melayang buana membayangkan mereka suatu saat
akan menikah berdua, sampai tingkat kepikiran rupa anak dari
penggabungan keduanya. Zaidon mulai dirasuki cinta ala remaja,
cinta pertama seolah itulah yang terakhir. Seolah itulah cinta yang
sebenarnya, cinta yang benar-benar akan terwujud menjadi cinta
sejati. Sungguh Zaidon lebih dahulu merasakan itu dibandingkan
kedua sahabatnya Baka dan Uma yang tidak tau apa-apa tentang
cinta.
Tubuh kekar dan energik Zaidon ternyata tidak mampu menahan
gejolak asmara yang menghinggap di hatinya.

Akan tetapi, rasa cinta cukup dia pendam. Dia tidak memiliki
keberanian untuk mengungkapkan perasaannya dihadapan Tasya.
Akhirnya perasaannya itu hanya bisa dituang pada lembaran
kertas berbentuk tulisan puisi.

Setiap kali hatinya tersentuh untuk mendekat dan mengajak


bicara Tasya. Pena dan kertas menjadi pelampiasan dari
keinginannya itu. Pena dan kertas menjadi pasangan sejati
pelepas dahaga perasaan Zaidon yang tidak berani muncul bahkan
berhadapan dengan Tasya pujaan hati.

Setelah rasa itu muncul Zaidon sering salah tingkah saat Tasya
terkadang sekedar bertanya halaman buku pelajaran kepadanya.
Setelah rasa itu menghinggap Zaidon lebih sering menghindar
dihadapan Tasya. Dia hanya punya keberanian menatapnya dari
belakang dan dari kejauhan. Penyembunyian rasa Zaidon terbilang
cukup handal mengingat Baka dan Uma sebagai sahabatnya tidak
menitik rasa curiga sedikit pun.

Petaka terjadi, objek sasaran salah menduga. Kejadiannya saat itu


Tasya meminta kepada Uma untuk dipinjamkan buku catatannya
agar bisa dicatat. Kebetulan Uma pun belum siap dan ia melihat di
meja Zaidon ada buku catatan milik Zaidon yang sudah siap. Tanpa
memeriksa dan meminta sebelumnya kepada Zaidon, Uma
langsung mengambil buku tersebut dan menyerahkannya kepada
Tasya tanpa memberitahukan bahwa itu buku Zaidon. Karena ia
terburu – buru.
Mulailah Tasya membuka lembar per lembar buku tersebut. Pada
bagian tengah buku ditemukanlah beberapa bait pusi yang tertuju
kepadanya, yang berbunyi :

Aku pemalu
Malu menatap rembulan
Saat berpaling ke belakang menatapku

Aku pembohong
Bohong kepada hati
Atas rasa kelu untuk ku-ungkapkan

Aku perindu
Rindu dirimu bertanya
Apakah kamu mencintaiku

Tapi, itu hanya harapan keraguanku.


-------------------
Kau bagaikan hujan manis
Disambut tanah kering

Kau bagaikan matahari


Diserap pohon buah

Kau bagaikan riak


Diratai ombak pasir

Kau bagaikan sari


Diagungi kumpulan kumbang
Sedangkan aku, bagaikan
Punguk menatap bulan
Kapal karam merindukan dermaga
Angin menatap cermin

Maukah kamu
Yang telah kusebutkan
Menolong kemustahilan hati
Menginap keindahanmu.

Untukmu yang kuharapkan, Tasya Nst.

Tasya menyangka itu goresan perasaan Uma kepadanya. Karena ia


menyangka itu buku milik Uma. Betapa senangnya Tasya, orang
yang dicintainya juga mencintainya. Iya, Tasya secara diam-diam
menyukai Uma sebagaimana Zaidon secara diam-diam menyukai
Tasya. Sungguh kisah cinta paralel yang tidak menyatu.

“Uma ini bukunya terima kasih ya,” ucap Tasya sambil


menyerahkan buku dengan raut pipi kemerahan.

Dari pintu kelas Zaidon baru kembali dari kantin melihat kejadian
tersebut. Proses penyerahan buku miliknya oleh Tasya kepada
Uma. Dan Uma langsung meletakkannya kembali ke meja Zaidon
tanpa sepengetahuan Tasya.

Zaidon duduk tanpa berkata apa-apa. Begitu juga Uma melihat


Zaidon sudah tiba ditempatnya juga tanpa memberitahu atau
meminta izin bahwa bukunya tadi diberikan kepada Tasya.
Keesokan harinya dan beberapa hari setelahnya, Zaidon
memperhatikan Tasya semakin aneh terhadap Uma yang semakin
dekat tidak seperti sebelumnya. Kesempatan bagi setan membisik
di telinga Zaidon menghasutnya agar api kemarahan tersebar di
hati Zaidon kepada Uma sahabatnya, “Lihatlah dan saksikanlah
secara nyata. Orang yang kau anggap sahabat secara diam-diam
merebut dan menikung kekasih yang kau pendam. Apakah ini
yang dikatakan sahabat, menunggu waktu yang tepat
memanfaatkan bait-bait puisi cintamu untuk merebut hatinya.
Apakah ini yang dikatakan sahabat, tidak memahami perasaan
sahabatnya sendiri. Tunggu apalagi Zaidon, perlihatkan
kekuatanmu cukuplah menjadi baik terhadapnya atas
perlakuannya terhadapmu. Cukuplah, sekarang saatnya
perlihatkan amarahmu.” Begitulah bisikan setan kepada Zaidon.

Dan setelah itu Zaidon benar-benar termakan oleh hasutan setan.


Zaidon mulai berubah, sikapnya mulai aneh kepada Uma. Ia mulai
memendam kemarahan. Tanpa kompromi dan penjelasan, Uma
dan Baka dibuat bingung dengan sikap Zaidon. Dan mereka saling
bertanya satu sama lain kenapa sahabatnya itu tiba-tiba sudah
berbeda.

Baka mencoba bertanya, “Don, kamu kenapa? Apa salah kami?”

“Biasa saja lah. Kalian tidak salah, Cuma aku yang salah sudah
berteman dengan orang lemah seperti kalian,” jawab Zaidon lalu
pergi.

“Ya sudah Baka jangan terlalu dipikirkan selama kita tidak


bermasalah. Biarkan saja,” kata Uma.
Zaidon setelah itu berpaling memilih berkawan dengan Anton,
Freddy, dan Hendry. Mereka bertiga terkenal malas dan sering
membangkang kepada guru. Hingga Zaidon pun ikut-ikutan malas
dan membangkang tidak seperti mulanya rajin dan sopan. Uma
dan Baka merasa prihatin melihat kondisi Zaidon berubah seperti
itu namun mereka tidak ada daya upaya membujuknya kembali ke
jalan yang benar.

Kedekatan Tasya dengan Uma semakin dekat. Kemarahan belum


terlampiaskan. Maka mulailah ia menghasut ketiga teman
barunya itu, diberikannya sumbu kedalam hati mereka lalu
mulutnya mengeluarkan minyak ditambah api percikan semangat
darinya untuk mencelakakan dan mempermalukan Uma di
kalangan ramai. Zaidon menyusun rencana mereka yang lakukan.

Rencana pertama, di saat ramai orang di kantin. Ketika Uma selagi


membawa makanan dan menuju ke tempat duduk, saat Uma
duduk mereka menarik kursi tersebut. Dan membuat Uma
terjatuh kakinya ke langit makanan yang dibawanya tumpah
mengenai baju seragamnya. Dan rencana ini berhasil sukses.
Mereka sukses mempermalukan Uma yang disambut tawa oleh
seisi kantin.

Kedua, ketika berlangsungnya upaca bendera. Atas stategi Zaidon


secara diam-diam Freddy melepaskan tali sepatu Uma. Kemudian
saat selesai upacara dan Uma beranjak pergi. Hendry menginjak
tali sepatu tersebut dan membuat Uma terjatuh di hadapan
seluruh murid sekolah itu. Zaidon berhasil dan puas telah
mempermalukan seorang sahabat yang tidak dianggapnya lagi.
Dari semua kejadian memalukan itu Uma hanya bersabar dan
tidak ada guna baginya untuk membalas kejahatan yang mereka
perbuat.

Semakin lama kedekatan Tasya kepada Uma sudah melebihi batas


dengan mulai berani memegang tangan Uma, wajahnya
disandarkan di bahu Uma di saat ia duduk samping Uma. Spontan
Uma menolak dan memarahinya. “Apa yang lakukan Tasya.” “Aku
melakukan selayaknya seorang kekasih.” “Siapa kekasih? kita
bukan siapa-siapa kecuali hanya teman selokal.”

“Ya ampun Uma sayangku. Kamu lupa ya.” “Kamu jangan macam-
macam ya Tasya. Lupa apanya?”

“Kan kamu sudah menulis puisi cinta untukku. Dan aku pun
mencintaimu.” “Puisi yang mana? Tidak pernah aku buatkan puisi
untukmu apalagi puisi cinta.”

“Kamu lupa ya, bentar aku ambilkan.”

Zaidon di sudut kelas menyaksikan adegan itu. Dan Tasya


mengambil lembaran puisi yang ia koyakkan di buku Zaidon saat
itu.

“Ini. Bacalah kembali mungkin kamu akan teringat puisi indahmu


untukku.” Kata Tasya sambil menyerahkan lembaran puisi itu.
Uma membaca seluruh bait puisi itu lalu menjawab, “Hahaha ...
kamu sudah salah paham Tasya, ini bukan puisi milikku. Mohon
maaf saat itu aku lupa katakan bahwa buku catatan itu bukan
milikku tapi miliknya Zaidon.” Zaidon yang tengah menyaksikan
perbincangan mereka berdua tiba-tiba terkejut saat Uma
menunjuk ke arahnya.

“hah ... ini puisinya anak kampung itu. Tidak mungkin, Uma
tolonglah jangan berbohong.” Tasya berkilah tidak menerima
kenyataan dengan menghina Zaidon. “Terserah kamu percaya
atau tidak. Yang jelas aku sudah berkata jujur,” jawab Uma.

Tasya lalu menghampiri Zaidon dengan raut wajah tidak


menerima.

“Hei Don. Apa benar ini kamu yang tulis heh.” Bentak Tasya sambil
mencampakkan lembaran puisi itu di atas mejanya.

“be...benar. iya benar.” Zaidon menjawab gugup campur rasa


takut.

“Dasar orang kampung. Besok-besok ngaca dulu. Liat wajahmu


tidak selevel denganku ini. Janganlah sok-sok romantis, sok-sok
hebat dihapadanku. Jijik tau.” Tasya benar – benar marah,
lisannya tak tertahankan untuk mencaci Zaidon. Lembaran puisi
cinta yang sepenuh hati dan penuh ketulusan ditulis dikoyak dan
dilemparnya ke wajah Zaidon. Harap-harap pujian yang dinanti
malah cacian yang dinikmati.

Zaidon terduduk lesu, kekuatan dan keperkasaan yang


diperlihatkan beberapa hari belakang hilang sirna. Kertas yang
dikoyak serasa hatinya yang dicabik – cabik. Mengharap cinta
pertama dan yang terakhir, berakhir dengan cinta bertepuk
sebelah tangan. Akhirnya kenyataan tidak sesuai ekspektasi.
Freddy, Anton dan Andre teman barunya itu tertawa terbahak-
bahak melihat ia dilecehkan oleh Tasya bukannya datang untuk
memberi semangat. Kini apa yang sudah dilakukannya kepada
Uma tertimpa juga kepadanya, dan mendapat balasan atas
perbuatan kejinya malahan lebih pedih dan memalukan. Karena
yang melecehkan itu adalah orang yang ia kagumi dan cintai.
Bayangkan saja.

Uma mulai paham penyebab Zaidon secara tiba – tiba marah dan
menjauhinya. Itu semua karena kesalahpahaman dari perasaan
cinta yang disentuh. Uma tidak meresponnya dan membiarkan
Zaidon sendiri terlebih dulu.

Sungguh percintaan remaja yang berlebihan membuat pemilik


cinta tersesat tak terarah. Karena rasa cinta yang berlebihan
kepada manusia, memang kebanyakan terbalas dengan
kekecewaan. Membuat hubungan persahabatan pupus hanya
karena kesalahpahaman yang tidak pasti.

Ini sering terjadi di lingkungan para pecinta yang terlalu over


dalam bercinta. Dugaan dari hal kecil berubah menjadi besar, suka
berburuk sangka kepada pasangan sendiri, juga kepada orang lain.
Dan yang paling disayangkan hubungan persahabatan yang sudah
berjalan bertahun-tahun menjadi putus hanya karena
kesalahpahaman tuduhan dekat dengan kekasih tercinta. Dan jika
ini hanyalah perasaan para remaja yang belum cukup mengenal
rasa cinta dapat dimaklumi. Bagaimana jika orang dewasa yang
memiliki rasa cinta yang demikian?. Waspada boleh, cemburu
berlebihan itu jangan.
Ketika keadaan mulai kondusif, barulah Baka dan Uma
mendatangi Zaidon mencoba menghibur dan meminta maaf atas
kejadian yang sudah terjadi. Zaidon menyesal dan menyadari
kesalahannya. Meminta maaf kepada kedua sahabatnya itu dan
berjanji tidak akan menuduh dan mencurigai apapun diantara
mereka berdua.

Dan hubungan persahabatan mereka kembali pulih setelah


sempat terluka gara – gara cinta yang tidak jelas.
Berpisah

Awan mendung terlihat seram dengan warna hitamnya siapa


sangka dibalik itu ada hujan rahmat bagi seisi bumi. Duri dari pada
durian seakan membunuh siapa saja yang menyentuhnya siapa
duga di dalamnya terdapat isi yang cukup menggairahkan bagi
penikmatnya.

Rasa kecewa dan frustasi serta kesedihan yang dialami tidak boleh
disalahkan semuanya. Bisa jadi itu sebagai jalan bagi seseorang
menuju jalan terbaik.

Tiga tahun menempuh perjalanan belajar di Sekolah Menengah


Pertama. Setelah selesai mengikuti ujian nasional dan semuanya
dinyatakan lulus. Para murid mulai berdiskusi dan saling bertanya
kemana tujuan selanjutnya. Dimana sekolah yang terbaik untuk
dituju. Apakah tetap dikawasan, atau memilih melanjutkan tingkat
selanjutnya keluar kota.

Begitupula suasana di taman sekolah itu, sesaat mereka selesai


mengambil ijazah mereka duduk di taman berpagarkan bunga
jarum berbincang membahas pilihan selanjutnya.

“Aku mau masuk Dayah,” ujar Baka.

“Kenapa?” tanya Uma.

“Sudah cukup aku berbohong atas prestasiku. Aku tidak mampu


mengejar pelajaran di sekolah. Sedangkan di dayah aku lebih
mudah memahami dan menguasai pelajarannya,” ungkap Baka
sambil mencabut satu persatu kelopak bunga jarum.
Menunjukkan seorang anak itu tidak ada yang bodoh. Cuma
mereka salah memilih formula yang layak dengan kemampuannya
hingga terlihat bodoh. Baka sudah memahami dimana
kemampuan pikirannya.

“Di dayah kan tidak menyediakan ijazah Baka.” “Aku tau itu, soal
ijazah aku tidak mau memikirkan itu,” Jawab Baka sambil memetik
setangkai bunga Jarum.

“Tapi Baka perlu kamu ketahui, untuk jaman ini akan sulit
mendapat pekerjaan jika tanpa ijazah dan gelar sarjana.” Uma
kembali bertanya kini lebih serius.

“Uma ... Uma. Aku tidak mau bantah pendapatmu. Cuma ingin
kutanyakan. Ayahmu mendapat pekerjaan apakah butuh ijazah.”
Baka balik bertanya sambil menatap wajah Uma.

“Iya tidak. Cuma maksud aku ijazah dan sarjana itu perlu supaya
kita dapat diterima bekerja di perusahaan atau di kantor-kantor
pemerintahan. Itu kan termasuk pekerjaan yang diidam-idamkan
banyak orang,” jawab Uma

“Hahaha ... itu merupakan pekerjaan yang aku benci duhai ibnu
Apa Suman.” “Benci kenapa, kan enak kita bisa bekerja dalam
ruangan yang adem dan bersih.” “Kita beda-beda selera Uma, aku
tidak suka perkerjaan mengikat dan dibawah kontrol orang lain
seperti karyawan dan PNS,” ujar Baka sambil menggabungkan
bunga Jarum sebagai gambaran kepada Uma tentang apa yang
dikatakannya tadi. Baka sudah paham bekerja sebagai pegawai
yang sangat mengikat diketahui dari ayahnya yang bekerja sebagai
pegawai di kantor bupati.
Lalu melanjutkan, “Oleh karena itulah aku memilih masuk dayah.
Selain itu aku bosan dengan sistem mencatat pelajaran di sekolah.
juga ini harapan ayahku, beliau ingin anaknya alim ilmu agama.”

“Ya sudahlah Baka, itu terserah kamu,” ungkap Uma.

“Aku ikut jejakmu Baka,” Kata Zaidon yang semula hanya diam
mendengar percakapan keduanya.

“Yakin kamu Don, Alhamdulillah. Kita bisa bareng nanti,” Sambut


Baka.

“Yang benar kamu Don, seperti mendadak gitu.” Uma heran.

“Baka, di dayah itu laki dan perempuan dipisahkan, kan?” “Iya


benar Don, dipisah.”

“Baguslah,” jawab Zaidon singkat.

“Apa kaitannya itu Don.” Uma masih heran.

Zaidon diam sejenak sambil menggaris-garis di tanah. Lalu


menjawab.

“Aku frustasi dengan semua para wanita. Cukup sekali aku


dilecehkan selayaknya sampah,” Ungkap Zaidon kini sambil
meremas kantong plastik air tebu di genggamannya. Dan
melanjutkan. “Maka aku mau melanjutkan belajar dimana di
dalamnya tidak ada wanita. Aku muak melihat mereka semua.”

“Pas kali itu Don, sesuai keinginanmu di dayah tempat yang sangat
cocok untuk orang sepertimu,” kata Baka menyemangati.
Keduanya memilih masuk ke dayah bukan atas pilihan sendiri.
Melainkan ada bawaan faktor lain yang mengarahkan mereka
memilih masuk ke dayah. Baka berinisiatif karena ia menyadari
akan pikirannya yang lemah mengejar pendidikan formal di
sekolah, kebosanannya dalam menempuh metode pendiktean
mencatat pelajaran, serta bosan menuruti perintah guru yang
berkata, “Anak-anak tolong buka halaman sekian, dan tolong
dicatat. Ibu keluar sebentar.”

Ia mulai lelah berpacu meraih nilai terbaik melalui pikiran orang


lain dan prestasi yang menipu. Pikirannya terbuka untuk berpikir
akan kelebihan dirinya sendiri, yaitu ia lebih mahir dan mumpuni
dalam mempelajari ilmu agama. Serta lebih menyukai metode
yang diterapkan di dayah seperti, mubahasah11 dan mutala’ah12.

Sedangkan Zaidon pilihannya terarah karena frustasi dan


kekecewaannya kepada seorang wanita yang telah
mempermalukannya. Karena itulah ia memilih tidak melanjutkan
sekolah dan memilih masuk dayah yang mana proses belajarnya
tidak bergabung atau dipisah dengan wanita. Bahkan bertekad
tidak akan pernah dekat dan berhubungan dengan wanita
manapun dalam beberapa waktu kedepan.

11
Mubahasah adalah metode diskusi memecahkan sebuah masalah
hukum secara bersama-sama. Pendapat yang lebih banyak itu menjadi
landasan hukum.
12
Mutala’ah adalah sistem menkaji ulang pelajaran yang dipelajari
sebelumnya. Menjadi kewajiban dalam pendidikan di dayah bagi santri
memilih guru atau abang kelas untuk mendampingi dan menyimak
pelajaran diluar jadwal belajar.
Dari keduanya menjadi rahasia dari sang pencipta dalam alur
cerita keduanya. Baka diberikan pemahaman yang lemah dalam
bidang formal dan diberi kebosanan menjalani sistem di sekolah.
Dan Zaidon diberikan rasa kecewa kepada wanita yang
membuatnya memilih masuk dayah, keputusan yang tidak pernah
dipikirkan sebelumnya.

Mereka berdua terarah berjalan pada arus menggolongkan diri


menjadi orang baik dengan memahami ilmu agama. Seperti hadist
nabi yang artinya ; “Siapa saja yang Allah kehendaki ia menjadi
orang baik, maka ia diberi pemahaman ilmu agama.”

“Gimana Uma, ikut gabung dengan kami,” ajak Baka.

“Aku tidak bisa,” jawab Uma. “Kenapa? Kamu takut miskin, atau
kamu tidak mau jauh dari orang tua.” ujar Baka sambil tersenyum.

“Bukan begitu, aku punya cita-cita menjadi seorang apoteker,”


Jawab Uma. Lalu bangun dan duduk menghadap keduanya dan
berkata, “Kalian yakin dengan pilihan kalian, cobalah pikirkan
kembali.”

“Alahai Uma ... kita punya keyakinan yang berbeda. Kamu


berkeyakinan hanya bisa mendapat pekerjaan dengan lembaran
kertas itu ya kan? Silahkan tempuh jalanmu. Dan kami
berkeyakinan mendapat pekerjaan itu tidak terbatas dengan
sebuah lembaran atau titel. Dunia ini luas, dan tuhan kita maha
kaya. Itu keyakinan kami, iya kan Don,” ungkap Baka sambil
mendorong Zaidon yang dari tadi tidak banyak bicara.
“Baiklah, berarti kita akan berpisah.” “Tenang saja, kita masih
berteman. Dan akan berkumpul lagi suatu saat,” Ucap Baka.

Selesai perbincangan di taman itu mereka beranjak pulang.


Keputusan sudah tepat, Uma berbeda haluan pilihan belajar. Ia
memilih pendidikan formal untuk mengejar cita-citanya, Baka dan
Zaidon memilih pendidikan non formal di dayah.

Sebulan kemudian, Zaidon dan Baka mulai pergi berkelana belajar


ilmu agama, memulai hidup mandiri jauh dari pangkuan orang
tua.

Hari pertama masuk dayah sekaligus titik awal mereka jauh


dengan orang tua diselimuti rasa haru dari masing – masing orang
tua mereka. Para orang tua mereka menitip harapan agar belajar
bersungguh-sungguh menjadi anak yang saleh dengan
pemahaman ilmu agama yang memadai, menjadi pertimbangan
saat masa timbang amal untuk mereka (orang tua) dimasukkan ke
surga, menjadi sumber penyelamat melalui dzikir dan doa dari
anak yang berbakti. Serta menjadi pembebas azab kubur dan
pemberi kunci surga melalui lantunan doa mustajabah dari anak
kepada orang tuanya, dengan memohon selamat iman saat
malaikat maut datang menjemput ajal.

“Selamat berpisah anakku. Jangan sedih jauh dari ibu, ibu akan
selalu mendoakan agar kamu selalu sehat dan kuat dalam belajar.
Senantiasa ibu doakan yang terbaik sepanjang hidupmu. Kamulah
harapan penyelamat kami saat menghadap ilahi,” ucap ibu
mereka dalam hati menyembunyikan kesedihan saat berada
dalam mobil beranjak pulang.
Masa Pubertas

Bagaikan pohon saat pertama kali tumbuh bunga, bunganya akan


mudah rontok. Begitupula manusia baik itu laki-laki dan
perempuan saat mereka mengalami awal mula pertumbuhan
transisi dari anak-anak menjadi remaja muda, lalu dari remaja
beranjak menuju dewasa. Saat transisi tersebut berlangsung
perubahan yang terjadi dari sebelumnya terkadang tidak
terkontrol dan membuat manusia itu terjatuh ke dalam jurang
yang tidak baik baginya.

Memasuki Sekolah Menengah Atas (SMA). Uma dikejutkan


dengan masa pubertas, masa perubahan fisik, psikis, sikap dan
bagian reproduksinya. Juga itu menandakan dia sudah akil balig
menunjukkan kini semua perintah kewajiban agama dibebankan
untuk dirinya sendiri, bukan lagi tanggungan orang tua.

Dan Uma sedang menjalaninya, tubuhnya bertambah panjang,


suara mulai nyaring dan serak, dan mulai timbul rasa suka kepada
lawan jenis. Sungguh masa sulit tapi unik bagi anak muda.

Masa pubertas Uma juga ditandai dengan penampilannya


berubah dari sebelumnya. Sebelumnya lebih terlihat culun dan
sopan, kini Uma berubah menjadi pria yang lebih keren,
ketampanannya mulai tampak. Celana sekolah, tumitnya
diperkecil mengikuti tren anak muda saat itu bergaya celana
kuncup ala Pasha vokalis Band Ungu.

Gaya rambut sebelumnya selalu terlihat rapi dan pendek seperti


ukuran rambut para tentara. Kini gaya rambutnya diubah lebih
lebat dan agak semak ala artis-artis Korea. Wah keren!
Semenjak berpisah dengan Baka dan Zaidon yang ditinggal karena
berbeda haluan belajar. Pergaulan Uma kini lebih nampak
kekotaan. Pakaian, celana dan alat aksesoris tubuh mulai dipilih-
pilih harus yang bermerek. Untuk baju dan celana harus mesti
barang pabrikan Bandung yang banyak diperjualbelikan di toko-
toko distro.

Penampilan kerennya ini didukung oleh kendaraan pribadi yang


dibeli pakai uang tabungan selama ia bekerja membantu orang
tuanya sejak kecil plus tambahan dari orang tua.

Uma yang bersekolah di SMA paling top di kota itu, ia benar –


benar termakan dan terbawa arus tren anak muda kota. Mulai
dari gaya bicaranya berubah nadanya agak sinis, kelembutan gaya
bahasanya mulai pudar kecuali cakap kotor ia masih anti. Sopan
santun gaya berjalan juga mulai melenceng kecuali dihapan orang
tua dan gurunya.

Tahun pertama sekolah dengan teman anak kota barunya, Uma


masih terkontrol dan terkendali dari perubahan sikap yang
merusak norma-norma agama dari kenalakan remaja. Walau
mulai punya rasa tapi ia masih ditutup rasa malu dan takut hingga
sampai saat itu ia belum merasakan bagaimana itu pacaran.
Begitu juga perbuatan-perbuatan agar dianggap keren dan macho
oleh anak muda tanggung seperti ; berjudi, merokok, mabuk-
mabukan serta cabut sekolah. Pada tahun pertama Uma belum
tersentuh.
Kepintaran pikiran dan kegantengan wajahnya membuat para
gadis-gadis kota di sekolah itu banyak yang meliriknya. Tapi
karena Uma masih takut akan dosa, ia tidak meresponnya.

Memasuki tahun kedua, tepatnya ia naik kelas dua SMA. Secara


perlahan sikap yang sebelumnya tertahan karena malu dan takut
mulai lepas dari kendali.

Setiap hari Senin saat duduk-duduk baik itu sambil menunggu


guru masuk mengajar atau saat jam istirahat. Teman-teman Uma
dilokal itu masing-masing dari mereka selalu menceritakan
kejadian di malam Minggu yang mereka lakukan dengan wanita
yang bukan mahram mereka. Pergaulan bebas melalui pacaran
yang salah secara gamblang mereka lakukan setiap malam
Minggu. Dan tidak pernah merasa bersalah dan menganggap
setiap perbuatan keji mereka yang lakukan itu suatu kebanggaan
untuk diceritakan kepada rekan yang lain.

Pergaulan bebas yang berlangsung membuat aib yang harus dicela


menjadi sebuah kebanggaan yang harus diperlihatkan. Inilah yang
terjadi dan sering Uma dengar setiap hari Senin.

Uma saat itu hanya sebagai pendengar budiman seketika menjadi


minder saat salah satu temannya bertanya kepadanya perihal
kejadian malam Minggu yang ia lakukan, “Kamu bagaimana Uma,
ceritakanlah kepada kami pengalaman malam minggumu jangan
tertutup begitu. Dengan siapa kamu jalan, dimana lapak lokasi,
bilang lah sama kami.”

“Aku tidak ada cerita seperti kalian, Aku malam Minggu tetap
mengaji. Malam Jumat baru libur.” “O ... maaf pak Ustadz silahkan
duduk dengan mereka jangan gabung dengan kami. Nanti pak
Ustadz ikutan berdosa. Hahaha,” kata temannya sambil menunjuk
kumpulan anak-anak baik di lokal itu di barisan depan.

“Tidak apa-apa aku disini aja bersama kalian,” jawab Uma


menolak bergabung dengan kelompok yang lebih baik dan
berakhlak dari mereka.

“Jangan-jangan kamu kelompok LGBT ya, makanya tidak tergiur


dengan perempuan. Hahaha...” Temannya yang lain mulai
memancing Uma masuk ke perangkap setan.

“Eh ... jaga mulutmu. Aku ini laki-laki normal.” Bantah Zaidon
sambil berdiri seperti menantang.

“Woles lah. Duduk ... duduk, jika memang normal buktikanlah


kejantananmu kepada kami.” “Baik, malam Minggu ini
kubuktikan.” Uma benar-benar masuk kedalam perangkap.

Tidak lama baginya menggaet perempuan sebagai teman


kencannya saat malam Minggu jumpa ini. Mengandalkan ganteng,
putih, tinggi ideal, juga pintar. Uma berhasil membujuk seorang
gadis lokal IPS bernama Ajeng.

Tibalah malam Minggu, Uma berbohong kepada ibunya tidak


mengaji malam itu karena ada tugas sekolah yang harus
dikerjakan secara kelompok. Ibunya tidak melarang dan memberi
izin Uma libur ngaji semalam. “Uma pergi dulu bu, ya.” “Baik nak
hati-hati.” Selepas keluar rumah Uma timbul penyesalan untuk
tidak akan mengulangi perbuatan membohongi orang tuanya itu.
Juga agenda jalan-jalan berboncengan dengan yang bukan
muhrim, Uma berjanji cukup malam itu saja.

Tapi Uma adalah manusia, ketika satu kesalahan bisa dilakukan


maka akan datang kesalahan lainnya lagi.

Uma berpenampilan ganteng sangat mirip artis Korea dengan


kemeja lengan panjang dipadukan celana hitam kuncup.
Mengendarai kereta hasil jerih payahnya menabung, pergi
mencari rumah Ajeng yang sudah menunggu jemputannya.

Tibalah dirumah Ajeng yang sudah menunggu di luar pagar.


Kecanggungan Uma saat pertama kali memboncengi perempuan
bukan muhrim, ditutupnya rapat-rapat agar tidak jadi bahan
pembicaraan di sekolah.

Awalnya mereka hanya duduk berjarak bagaikan supir ojek


dengan penumpangnya. Tapi Ajeng memahami perjalanan mereka
itu bukanlah sebagai penumpang dengan supir, mereka berdua
adalah teman kencan. Mulailah Ajeng memainkan perannya,
tangannya mulai bergerak melingkung di pinggang Uma. Uma
terkepak detakan jantungnya bertambah lebih kencang efek
pertama kali bersentuhan dengan perempuan seperti itu.

Perlahan jarak mereka semakin dekat dan lebih layak disebut


pelukan. Uma dan Ajeng terus berjalan mengelilingi kota dengan
kondisi seperti itu. Uma benar-benar lupa akan norma agama
telah dilanggarnya, ia terhanyut dalam kenikmatan setan. Tidak
ada tindakan pencegahan sedikit pun darinya untuk menolak atau
melarang Ajeng untuk dekat dan memeluknya. Dia menikmati
dosa yang dilakukannya demi pembuktian kejantanan di hadapan
kawan-kawannya. Tidak ada tanda-tanda penyesalan hingga ia
pulang ke rumah.

Hari Senin keesokan harinya Uma dengan percaya diri memasuki


lokal disambut oleh apresiasi dari teman sesatnya, “Ini dia baru
teman kita. Gimana seru kan.” “Biasa aja lah.” Uma menjawab
sinis seolah perbuatan itu sudah sering dilakukannya.

Begitulah selanjutnya waktu berjalan Uma mulai terbiasa


melakukan perbuatan tercela itu. Menggonta-ganti
memanfaatkan wanita lajang sebagai temannya di malam Minggu.
Meski sekedar duduk berdekatan di atas kereta, sama saja itu
tetap perbuatan dilarang. Mengandalkan nikmat berupa wajah
ganteng, akal cerdas, tubuh ideal yang diberikan penciptanya
untuk melakukan perbuatan yang dilarang oleh yang memberinya
segala itu.

Kehancuran dan ketidaksiapan Uma menghadapi masa transisi


terus berlanjut sampai kepada tidak lagi mengaji pada malamnya.
Ia terus berkilah mengkambing hitamkan tugas sekolah membuat
orang tuanya yang sudah mendidik sejak kecil dan
mempercayainya sepenuh hati. Percaya akan tipu daya
kedurhakaannya itu.

Perbuatan tercela kini sudah bukan hal aneh lagi baginya setelah
sebelumnya itu adalah perbuatan canggung baginya.

Untung saja orang tuanya sejauh ini belum mengetahuinya. Andai


saja mengetahui, bagaimanakah perasaan orang tua yang telah
sepenuh hati mendidik, menahan rasa lelah dan penat dalam
bekerja, mengatur strategi didikan bersama-sama. Bagaimanakah
perasaan mereka jika mengetahui Uma kini tumbuh besar tidak
seperti harapan mereka. Harapan menjadi anak yang disiplin,
bertanggung jawab dengan kewajiban, kasih kepada dirinya
sendiri dan orang lain. kenyataannya kini Uma tumbuh seperti
tidak terurus, menipu orang tua dan mempermainkan hati banyak
perempuan membuktikan rasa kasih itu tidak ada padanya.

Pada masa libur kenaikan kelas. Teman-teman Uma


merencanakan liburan ke kota Metropolitan dan Uma setuju ikut
liburan itu. Setelah meminta izin dari orang tuanya, Uma dan
teman-temannya itu pun berangkat menggunakan mobil rental.

Sorenya mereka tiba di kota Metropolitan menyaksikan berbagai


macam maran-maran dunia. Berkeliling melihat kota keindahan
dunia itu. Uma sebagai perdana pergi kesitu terkesima melihat
gedung-gedung mewah, memasuki mal dipenuhi dengan berbagai
macam ragam belanjaan. Mereka semua larut dalam kesenangan
dunia.

“Kemana lagi kita.” “Kita jalan-jalan dulu, nanti kita habiskan acara
anak muda kita dugem di diskotik. Gimana setuju.” “Mantap, aku
setuju,” seru kawan-kawan Uma di dalam mobil. “Kamu Uma
kenapa diam saja. Santai dan lepaskan, kita ini anak muda,” kata
Feri salah seorang dari mereka. Uma hanya diam dan
membalasnya dengan senyuman.

Hampir tengah malam, mereka pun sampai pada sebuah toko


warung kopi dibawahnya disediakan tempat dugem. Lokasinya
sengaja dibuat tertutup agar tidak mudah terdeteksi oleh petugas
razia. Untuk memasuki area tersebut mereka harus melewati
pemeriksaan dari bodyguard yang menjaga di pintu. Selesai
diperiksa mereka pun masuk.

Tiba di dalam ruangan cukup gelap, memakai penerangan lampu


kedap kedip merah, hijau, biru dan kuning. Bau miras yang
menyengat, suasana musik dj memekakan telinga dan botol-botol
miras tersebar dimana-mana.

Para pemabuk terhanyut berjoget menari mengikuti arus musik


yang dimainkan oleh disjoki. Para wanita penghibur berkeliling
mencari mangsa.

Uma tampak tegang melihat semua itu, pikirannya kacau, dan


hanya berdiri tegak bagaikan pohon. Semua kawannya menikmati
penuh gembira riya dan Uma hanya diam.

“Bang, kenapa berdiri saja. Mari bersenang-senang denganku,”


ajak wanita penghibur. “O ... maaf aku tidak punya uang untuk
membayarmu,” jawab Uma. “Untuk apa uang bang, untuk abang
yang ganteng ini gratis. Terserah mau lakukan apa saja,” ucap
wanita itu kembali.

Uma pun terbawa ajakan perempuan itu dibawa masuknya ke


kamar. Uma terbengung tidak melakukan apa-apa. Dan wanita itu
mulai menuangkan air miras ke dalam gelas dan diberikan kepada
Uma. Wanita itu mendekat mendorong air dalam gelas itu masuk
ke mulut Uma. Dan berhasil masuk ke dalam mulut, tapi tidak
sempat ditelan karena ia tidak sanggup mencium bau miras
tersebut. Wanita itu mulai merebahkan badan Uma dan naik
diatas tubuh Uma, dan Uma seperti terhipnotis dia seperti orang
bodoh hanya diam tidak melakukan apa pun.
Seketika ia sadar dan belum sempat wanita itu melakukan hal
lebih jauh.Uma menolak dan mendorong wanita itu lalu mencari
jalan keluar, sulit dicarinya pintu keluar karena tempatnya yang
agak gelap ditambah lagi suara musik yang besar. Akhirnya ia
menemukan pintu dan berhasil keluar.

Uma merasa sesak melihat kondisi kemaksiatan yang terjadi di


dalam dan yang hampir saja menimpanya. Seketika ia teringat
ibunya dan merasa sangat bersalah. Diantuknya kepala ke dinding
toko itu sambil berujar, “Apa yang aku lakukan. Betapa bodohnya
aku, kenapa diriku sendiri tidak bisa kuatasi.” Ia terduduk jongkok
sambil menjambak rambutnya, benar-benar menyesali segala
perbuatan yang diperbuatnya. Terutama telah membohongi orang
tuanya.

Uma sambil terduduk bersyukur kepada Allah Swt, serasa hatinya


disentuh untuk tidak melakukan kemaksiatan mabuk-mabukan
dan berzina. Ia juga bersyukur masih diberi hati penolakan atas itu
semua dan bersyukur menyesal pada saat penyesalan masih bisa
diperbaiki.

Ini tidak terlepas dari doa ibu kepada anaknya, tanpa


sepengetahuan Uma, Zainabon ibunya selalu mendoakan agar
anaknya diberi petunjuk. Memohon kepada Allah agar Uma
tergolong orang-orang yang mendapat petunjuk jalan lurus.

Selain itu, Uma yang sejak kecil sudah diajarkan membaca ayat
alquran, hatinya dari kecil sudah di isi dengan lantunan firman
ilahi. Menjadi benteng baginya dari melakukan dosa besar yang
sulit diampuni seperti berzina.
Sambil menunggu teman-temannya selesai berpesta pora, Uma
tertidur di pinggir jalan raya kota Metropolitan. Jam tiga pagi
barulah kawan-kawannya keluar berjalan tidak stabil karena dosis
mabuk miras masih ada. Mereka membangunkan Uma yang
tertidur pulas di pinggir jalan itu lalu masuk mobil. Semua nampak
lelah bau miras yang menyengat masih membekas di mulut
mereka. Uma menyarankan untuk menginap di kota itu semalam
agar pulang mereka dalam kondisi stabil. Dan mereka
menurutinya.

“Gimana seru gak tadi malam,” “Wah ... seru oi. Kapan-kapan kita
coba lagi oke,” “Seru, seru apanya baru teguk segelas miras sudah
teler,” “Aku baru pertama kali mencoba, maklumilah,” “Wanita
yang kalian tiduri bagaimana,” “Wih ... bla bla bla.” perbincangan
kawan-kawan Uma di kamar hotel. Uma hanya menyimak karena
ia memang tidak mengalami apa yang dialamai kawan-kawannya
itu.

Kembali dalam hati sangat bersyukur, masih diberikan hati


penyesalan. Diberikan hati yang tidak menghitam, yaitu hati yang
tidak takut melakukan dosa, tidak ada tanda-tanda untuk taat,
tidak membekas segala nasehat, tidak menganggap dosa yang
dilakukan itu adalah keburukan , hingga menyangka diri selalu
baik padahal ia hidup dalam keadaan berkekalan melakukan dosa.
Ia bersyukur hatinya tidak demikian hitam seperti yang nampak
pada kawan-kawannya yang penuh rasa bangga menceritakan
perbuatan aib yang mereka lakukan.
Tiba dirumah Uma disambut oleh ibunya, “O ... udah pulang. Udah
makan, belum kan?” “Udah bu, tadi dijalan. Tapi lapar lagi ni.” “Ya
sudah mari makan, ibu ada masak nasi goreng sambal terasi.”

Uma makan sambil memandang wajah ibunya, dia mulai


membayangkan apa yang terjadi jika ibunya mengetahui kelakuan
anaknya yang sebenarnya. Dia membayangkan bagaimana
kelihatan raut senyum wajah ibunya berubah menjadi sedih yang
tak terhingga, air mata yang selalu berlinang tatkala terdengar
namanya dipanggil. Nama anak yang sudah tumbuh besar tidak
seperti harapan.

Dan dia mengambil kesimpulan untuk tidak berkata jujur atas


perbuatannya selama ini. Dia harus menutup erat aib yang
dilakukan, agar ibunya selalu bisa tersenyum seperti yang
dilihatnya saat itu.

Uma masuk ke kamar melanjutkan tidur yang belum cukup.

Pada malamnya selesai makan malam dibalik pintu kamar Uma


kembali melihat kedua orang tuanya yang sedang duduk
beristirahat. Matanya mulai basah, air mata mulai berlinang. Uma
kecil yang dididik penuh kasih sayang tumbuh menjadi orang yang
tidak punya kasih sayang.

Uma pun memulai tidur lebih awal agar terjaga di paruh waktu
sepertiga malam untuk bertaubat.

Bangun sesuai jam alarm berbunyi, Uma mandi taubat lalu shalat
sunat taubat, beristighfar dan bertafakkur :
“Wahai jiwaku. Apakah engkau tidak malu, apakah bukannya
sekarang waktunya engkau bertaubat, apakah engkau tidak takut
dengan azab tuhanmu, apakah mungkin engkau ingin kemarahan
Allah kepadamu, apakah engkau sanggup menjadi arang api
neraka.” Uma mengucapkan itu sambil merenungkan dosa-dosa
yang pernah dibuat. Dan membayangkan pedihnya api neraka lalu
menangis.

Kemudian Uma menadahkan tangan berdoa kepada tuhannya :

“Ya tuhanku, hambamu ini telah lari dari jalurmu ingin kembali ke
pintu rahmatmu. Hambamu yang telah bermaksiat ini ingin
kembali kepada jalan kebaikan. Hambamu telah berdosa yang
terjadi karena kesalahan yang tidak bisa dihindari, maka
ampunilah hambamu ini dengan kemurahanmu. Dan terimalah
taubatku dengan kebaikanmu, perlihatkanlah kepadaku kasih
sayangmu.”

“Ya Allah, ampunilah segala dosaku yang sudah kuperbuat. Jaga


dan lindungilah aku sampai ajalku tiba. Karena semua kebaikan
ada dalam kekuasaanmu. Berikanlah petunjuk kepadaku yang
membimbing dan mengarahkanku kepada jalan yang benar.
Engkaulah tuhanku yang maha kasih sayang.”

Lalu, tangisan Uma semakin deras. Dan berdoa :

“Wahai tuhanku, yang tidak pernah kerepotan melayani segala


urusan hambanya yang datang bersamaan, yang tidak pernah
mengeluh mendengar dari suara permintaan hambanya. Wahai
tuhanku, yang tidak pernah menganggap berat dari banyaknya
permintaan. Wahai tuhanku, yang tidak pernah bosan menerima
permintaan hambanya. Berikanlah kepadaku ketenangan
kemaafanmu, manisnya keampunanmu, dengan rahmat engkau
wahai yang pengasih dan penyayang.”

Uma melanjutkan doa yang lain dan menutup doanya dengan


memuji kepada Allah dan bershalawat kepada rasulullah.

Dan bertekad tidak akan mengulangi dan mengikuti jejak-jejak


kemaksiatan.
Bunga Desa Menuju Kota

Tahun 2011, Desa Catok Peng.

Tit tit tit! bunyi handphone berlayar kuning berdering.

“Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” “Dari tadi ditelpon tidak


aktif-aktif kok wawak.” “Maklumilah nak, jaringan disini agak
sulit.” “Hindon mana wak, Siti ada perlu sama dia bentar.” “Bentar
ya, wawak panggil dulu.”

“Hindon ...” “Uan ibu,” Hindon menjawab. “Ini Siti mau bicara
denganmu cepat.” “Baik bu.” Hindon meninggalkan pekerjaan
menyuci baju sementara menyambut panggilan Siti.

“Assalamualaikum Ti.” “Waalaikumsalam, gimana kabarnya


Ndon.” “Baik Ti, kamu gimana.” “Alhamdulillah baik juga. Begini
Ndon, kamu udah tamat SMP kan. Mau lanjut SMA kemana?”
“Tentu disini Ti, yang dekat dengan rumah,” ucap Hindon dengan
bahasa Indonesianya masih kental logat Aceh.

“Aku mau mengajakmu sekolah disini Ndon, aku merasa canggung


masuk SMA sendiri jadi aku butuh kamu sebagai kawanku nanti,”
ajak Siti.

“Saya minta izin dengan ibu dan ayah dulu ya Ti.”

“Oke Ndon, usahakan ya. Biar kamu juga bisa menikmati


bagaimana suasana di kota. Semoga berhasil Ndon,
Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.”
Siti sepupu Hindon di kota Lek-lap. Mereka berdua tidak
seumuran Siti kelahiran tahun 1995 dan Hindon kelahiran 1996,
namun sebab Hindon lebih awal masuk sekolah maka itulah
mereka bisa berbarengan tamat dan masuk sekolah.

“Apa yang dibicarakann Siti.” “Begini bu, Siti ajak Hindon sekolah
disana bersamanya.” “Kamu mau pergi ke kota gitu.” “Iya bu.”

“Ngaji kamu gimana.” “Nanti bisa Hindon ajak Siti bantu


mencarikan tempat ngaji disana bu.”

“Kota itu tidak sama dengan disini Ndon. Pergaulan disana terlalu
bebas, Ibu takut kamu terpengaruh.” Ibu Hindon meragukan
kepergian Hindon.

“Insya Allah tidak bu, kan disana ada makcik dan Siti yang jagain
Hindon.”

“Ya sudah nanti ibu bilang dulu sama ayah.” Jawab ibunya dan
Hindon melanjutkan cuci bajunya di air sungai yang mengalir di
sekitar sawah.

Hindon gadis desa dari pasangan Yusuf dan Juwairyah. Ayahnya


seorang petani, ibunya berprofesi sebagai ibu rumah tangga kerap
membantu suaminya di sawah. Begitu juga Hindon, gadis berkulit
kuning langsat, memiliki mata agak masuk ke dalam, bulu mata
lentik dan kuat, hidungnya kecil dan mancung, dan bentuk
wajahnya bulat. Gadis berparas manis ini tidak pernah menolak
setiap kali orang tuanya membutuhkan bantuan di sawah.
Gadis tunggal ini selalu berlaku sopan dan berbakti kepada
orangtua. Tidak pernah meminta dan berharap dibelikan barang
bagus. Ia memakai apa yang dibeli dan memakan apa yang
mampu orangtuanya berikan.

Karena ibunya pernah mengatakan, “Jak ban laku linggang,


pinggang ban laku ija. Ngui ban laku tuboh pajoh ban laku atra.”
Ungkapan itu merupakan peribahasa nasehat yang diciptakan oleh
orang Aceh dahulu. Mengartikan bahwa kita harus menyesuaikan
penampilan dengan penghasilan yang didapat. Tidak bergaya
terlalu berlebih tapi cukup seadanya saja.

Desa Catok Peng berada di pedalaman provinsi Aceh termasuk


daerah tertinggal dan terisolasi. Lima tahun sudah perdamaian
konflik di Aceh berlangsung desa Catok Peng belum juga tersentuh
perbaikan pembangunannya. Karena proses pembangunan yang
bertahap maka masyarakat desa Catok Peng harus bersabar
hingga tiba waktunya.

Pencahayaan dalam rumah warga masih redup karena jaringan


listrik belum sampai perbaikan setelah jaringannya terputus saat
konflik berlangsung. Begitu juga lampu jalan tidak ada penerangan
di jalan yang dilalui warga. Masyarakat desa tersebut
memanfaatkan cemprong sebagai penerangan dalam rumah, dan
obor saat keluar berjalan di jalan. Bagi pemilik warung mereka
menggunakan lampu petromaks karena pencahayaannya yang
lebih luas.

Di desa tersebutlah Hindon lahir dan dibesarkan. Ia dikenal


sebagai gadis yang sopan, masyarakat sekitar terlebih kalangan
ibu-ibu banyak yang mengaguminya karena sikap kedewasaannya
sudah tampak walau di usia remaja. Gaya berjalannya pelan
seperti orang naik atas bukit, gaya bicaranya lembut, suaranya
halus. Dan kepala selalu menunduk tubuhnya sering membungkuk
menandakan ia gadis pemalu.

Hindon bersama gadis-gadis desa tersebut setiap malam mereka


pergi mengaji di mushalla terdekat, jarang diantara mereka yang
libur dari kegiatan mengaji malam karena tidak ada aktifitas lain
yang menggangu. Mereka saling mengajak dan menunggu satu
sama lain untuk bersama-sama menuju mushalla karena gelapnya
jalan yang dilalui, walau setiap mereka masing-masing membawa
obor sendiri, tetap rasa takut menghinggap kepada mereka para
gadis jika berjalan sendiri.

Siap mengaji para gadis-gadis itu langsung pulang ke rumah


masing juga secara bersama-sama. Tidak ada waktu mereka
singgah di warung duduk nongkrong atau singgah di rumah kawan
pada malam hari. Sebab di desa Catok Peng harga diri seorang
perempuan sangatlah dijaga, semua masyarakatnya paham dan
saling menjaga. Merupakan sebuah aib di desa tersebut jika
perempuan berkeluyuran sendirian dimalam hari, atau duduk-
duduk diwarung nongkrongan, atau menginap di rumah orang lain
selain rumah saudara.

Tradisi keagamaan yang masih kental dan dijaga begitu ketat


membuat masyarakatnya baik laki-laki dan perempuan, tua dan
muda mereka semua hidup saling menghormati dan sikap
bergotong royong adalah tubuh mereka. Tidak dibiarkan laki-laki
dan perempuan duduk berdua di luar rumah, jika bertamu ke
rumah perempuan mereka hanya dibolehkan duduk di dalam dan
tetap dalam jangkauan orang tua perempuan.

Karena jaringan listrik tidak ada televisi juga tidak berfungsi. Ada
sebagian warga yang memiliki televisi sebelumnya, kini sudah
lama menjadi pajangan. Di tengah kondisi demikian, hampir setiap
rumah di desa itu terdengar setiap usai magrib suara lantunan alif
ba ta tsa, dan suara ejaan alquran dari orang tua mengajarai anak-
anak mereka. Orang tua menjadi guru pertama bagi anak-anak di
desa itu sebelum mereka dititip dibawa ke TPA atau Dayah.

Suatu malam saat Hindon pergi mengaji. Ibu dan ayahnya


berdiskusi soal rencana Hindon sekolah di kota.

“Hindon mau sekolah di kota, gimana menuruh ayah,” tanya


Juwairyah.

“Ngapaian jauh-jauh ke kota, disini kan ada sekolah. Atau


bagaimana lebih baik lanjut ke dayah aja,” jawab Yusuf.

“Dia masih mau sekolah yah. Dan pergi ke kota, ini ajakan Siti dan
ia pun mau untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sekolah
di kota kan lebih terjamin pendidikannya,” ucap Juwairyah
kembali.

“Menurut ibu gimana,” tanya Yusuf.

“Ibu bingung juga. Satu sisi ingin Hindon pergi keluar supaya
wawasannya lebih luas dan menjadi wanita yang berpendidikan
bagus.”

“Satu sisi lagi.”


“Ibu takut jika dia ke kota nanti dia kenalan dengan anak laki di
kota dan menikah. Dan ibu tidak ingin Hindon menikah dengan
laki disana,” jawab Juwairyah mengagetkan Yusuf.

“Kamu masih dendam dengan mereka ya. Ya sudah kita izinkan


Hindon ke kota. Disana kan ada adikmu nanti yang menjaganya,”
Jawab Yusuf memberi keputusan.

Pulang mengaji ibunya langsung memberi tahu kepada Hindon


kabar bahagia untuknya. Juga mengatur jadwal persiapan untuk
berangkat ke kota.

Juwairyah mulai mempersiapkan keberangkatannya mencari oleh-


oleh untuk diberikan kepada adik perempuannya yaitu ibunya Siti.
Diambilnya padi di gudang hasil panen di sawah, lalu dibawa ke
gudang penggilingan padi untuk dibawa ke kota, turut dicarinya
telor bebek asin pada tetangga yang berternak bebek. Tidak lupa
ia membuat kue Keukarah13 sebagai pelengkap bawaan buah
tangan.

Begitu juga Hindon mempersiapkan persiapan pribadinya, berupa


baju dan semacamnya.

Sebulan sebelum pendaftaran di sekolah mereka berangkat.


Berjalan menetengkan tas dan barang bawaan diantara jalanan
sawah mereka disambut oleh ibu-ibu dan para gadis kawan
Hindon yang sedang bekerja di sawah. “Kemana itu lengkap sekali
persiapan.” “Mau ke Kota, Hindon mau sekolah disana,” jawab

13
Kue tradisional khas Aceh yang terbuat tepung dan santan,
mengandung cita rasa manis, renyah, gurih dan rapuh.
Juwairyah. “Hati-hati nak Hindon, belajar yang giat dan menjadi
pekerja kantoran,” harap para ibu-ibu. “Iya benar Hindon, nanti
suatu saat aku juga akan nyusul kesana,” kata rekan seperjuangan
mengajinya. “Doakan saya selamat di jalan ya,” kata Hindon
sambil melambaikan tangan kepada seluruh orang di hamparan
sawah itu.

Tiba di jalan yang lebih lebar datanglah Yusuf memboncengi istri


dan anaknya, dihantarkan ke jalan raya satu persatu. Tiba di jalan
raya dan siap mereka menempuh perjalanan menuju kota Lek-lap
setelah meminta izin kepada suami dan ayahnya. Menggunakan
transportasi umum tibalah mereka di kota Lek-lap dalam
perjalanan jarak tempuh lima jam.

Keduanya menggunakan pakaian kebaya hasil jahitan sendiri,


siapa saja yang melihat mereka berdua pasti mengenali bahwa
mereka bukanlah warga asli kota Lek-lap dan menyakini mereka
pendatang.

“Assalamualaikum ... assalamualaikum,” Juwairyah memanggil


beberapa kali sambil mengetuk pintu rumah bertingkat. Rumah
yang berada di area perumahan itu diyakini Juwairyah bahwa itu
rumah adiknya sesuai petunjuk yang diberikan warga setempat.

Tidak ada sahutan dari panggilannya dan ia yakin bahwa ada


orang di dalam karena sandal adalah petunjuknya.

“Lihatlah keadaan di kota. Rumah berjejeran saling berdempetan


tapi seperti tidak saling kenal. Mereka serentak semua mengunci
rumah masing-masing,” ucap Juwairyah kepada Hindon.
“Assalamualaikum.” Juwairyah mulai kesal.

Hindon menatap keatas pintu dilihatnya tombol bergambar


lonceng dan ditekannya. Terdengarlah suara dari dalam, tet tet
tet! Suara bel berbunyi diikuti suara orang berjalan dari dalam.

Dari dalam Siti tidak langsung membuka pintu tapi mengintipnya


dulu dibalik jendela dan terlihatlah Hindon dan ibunya.

“Ya Allah Hindon, tidak lama menunggu kan,” sambut Siti sambil
memeluk Hindon. “Hampir seharian kami di sini, mana ibumu,”
ucap Juwairyah.

“Eh ... kak. singgah. Masuk kedalam,” keluar Rahmah adiknya


Juwairyah, ibunya Siti dan makcinya Hindon.

“Siang-siang begini pintu ngapaian di gembok,” tanya Juwairyah.

“Beberapa hari ini sangat marak pencurian kak, maka kami


berwaspada,” jawab Rahmah.

”Ini ada oleh-oleh dari desa. Ini keukarah segera dimasukkan ke


dalam tempat yang tertutup agar tidak berangin.” Juwairyah
menyerahkan oleh-oleh yang ia bawa.

“Siti cepat siapkan makanan,” “Baik bu.” “Kak, nginap disini kan,”
ajak Rahmah. “Tidak, aku harus pulang segera. Kasihan ayah
Hindon sendiri disana,” jawab Juwairyah. “Kalau begitu mari kita
makan dulu.”

Selesai makan dan istirahat sebentar, Juwairyah kembali bersiap


untuk beranjak pulang.
“Suamimu mana kok tidak kelihatan,” tanya Juwairyah. “Lagi ada
acara diklat di Bandung kak selama sebulan,” jawab Rahmah.

“Ini Hindon saya titip ya. Tolong jaga dia seperti anakmu. Dan
jangan segan-segan memarahinya jika dia buat kesalahan,” kata
Juwairyah kepada adiknya. “Baik kak, akan saya jaga.”

Juwairyah menggiring Hindon untuk bisa berbicara berdua. “Ini


ibu mau pulang. Sebelum itu dengar baik-baik ucapan ibu.” Baik
bu.”

“Kamu disini sebagai tamu, maka jangan bertingkah sampai disini.


Selain itu anggap juga ini rumahmu, sebagaimana dirumah kamu
harus mencuci piring, memasak, menyapu, mengepel, dan kerjaan
rumah lainnya. Jangan buat makcik kerepotan. Bantu dia jangan
dia yang membantu mengerjakan tugasmu sendiri. Ada dengar
itu,” Juwairyah menasehati. “Ada bu,” Hindon menjawab.

“Dan satu lagi. Jangan coba-coba dekat dengan pria disini (kota)
apalagi ada menjalin hubungan. Ibu tidak merestui itu.” “Baik bu,”
Hindon kembali menjawab singkat.

Setelah itu pergilah Juwairyah diantarkan Rahmah ke terminal dan


berangkat kembali ke desa Catok Peng.

Mulailah Hindon tinggal dirumah bertingkat itu. Dirumah beton


tanpa celah angin malam masuk mendinginkan tubuh, dirumah
sistem pencucian baju didalam rumah dalam ruangan khusus,
dirumah setiap kamarnya tersedia Air Conditioner (AC), dirumah
kamar mandi tertutup rapat.
Sangat berbeda dengan rumah panggung orangtuanya di desa
meski sama-sama punya tangga tapi banyak perbedaan, dinding
kamarnya dari tepas sawit ketika hujan turun airnya tembus
kedalam, angin malam masuk melalui celah mengejutkan tubuh
karena kedinginan, disana mencuci baju di sungai, kamar mandi
hanya ditutupi dengan plastik terpal. Berada di tempat tinggal
barunya ini ia merasa nyaman dan senang, tapi juga diselimuti
rasa sedih mengingat kondisi orangtuanya masih tinggal di tempat
yang kurang layak.

Ia menikmati lampu rumah bersinar terang juga dijalan berjejer


lampu trotoar penerang jalan. Berbeda di kampungnya yang
masih menggunakan obor dan cemprong atau petromaks.

Beberapa hari tinggal disitu Hindon cukup mencuri hati makciknya


untuk menyukainya. Kebiasaannya yang rajin mencuci piring,
menyapu dan memasak tanpa disuruh membuat Rahmah kagum
kepada keponakannya itu. Dan membuatnya sangat terbantu
dengan kurang bebannya mengurus rumah. Sering melarang
Hindon agar tidak melakukan demikian, Hindon mengabaikan itu
dan melanjutkan tugasnya. “Hindon kamu disini bukan sebagai
pembantu Nak. Biar makcik aja kerjakan semua ini.” “Tidak apa-
apa makcik. Hindon sudah terbiasa seperti ini di desa. Makcik
seperti ibu Hindon juga, makcik istirahat saja biar Hindon yang
lakukan ini semua,” jawab Hindon.

Begitulah kerajinan Hindon, ia selalu cepat bangun pagi seusai


salat subuh ia akan memantau tugas yang perlu dikerjakan. Begitu
juga di waktu yang lain dia tidak akan duduk nonton televisi atau
istirahat lainnya jika masih ada tugas rumah yang harus
dikerjakan.

Rahmah pun mulai membandingkan anaknya, Siti dengan Hindon.


Mereka terlihat berbeda jauh, Hindon bekerja tanpa disuruh.
Sedangkan Siti baru melakukan jika disuruh itu pun jalannya agak
lambat. Siti lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar
handphone dan televisi. Sedangkan Hindon baru menikmati
tontonan itu jika tugas sudah selesai dikerjakan.

“Hei Siti, kamu ini tidak lelah-lelahnya menatap layar handphone


itu. Lihatlah Hindon bekerja tidak perlu disuruh. Tidak seperti
kamu,” Rahmah menegur Siti. “Ibu ini pun ternyata sama seperti
ibu-ibu yang lain. Suka membandingkan,” “Kalau membandingkan
untuk kebaikan agar bisa berubah tidak boleh ya nak.” “Hehehe ...
boleh bu. Baik bu Siti mulai gerak ni.”

Siti bangun dari berbaringnya meninggalkan handphone


membantu Hindon yang sedang mencuci piring.

“Heh Ndon, kamu jangan terlalu rajin bisa. Ibuku mebandingkanku


denganmu tadi,” ucap Siti menghampiri Hindon.

“Hahaha ... kamu lucu ya Ti. Masak menyuruh orang kepada yang
tidak baik. Aku sudah terbiasa begini. Dan yang ibumu katakan itu
benar sekali. Kita harus rajin membersihkan rumah, bukan hanya
rajin memperindah wajah sendiri,” ucap Hindon masih dengan
bahasa Indonesianya yang belum terbiasa.

“Halah, kamu pun sama seperti ibu. Oke, aku akan rajin bersih-
bersih tapi harus ada kamu ya.” “Siap Ti.”
“Hindon, nanti sore kita jalan-jalan yuk,” ajak Siti sambil
menggosok piring. “Kemana Ti.” “Pokoknya kamu ikut aja
denganku biar kuperkenalkan kota Lek-lap ini kepadamu. Agar
kamu tidak terlalu canggung nanti saat masuk sekolah.”

Bayangan sebuah benda sudah melewati bentuknya, menandakan


waktu sore sudah tiba. Hindon dan Siti sebagaimana rencana
awal, mereka akan berjalan-jalan mengelilingi kota Lek-lap.
Menggunkan kereta matic milik ibunya.

“Sudah berapa kali kesini Ndon,” tanya Siti di atas kereta.

“Baru kali ini Ti. Indah ya kota Ini.” “Jelas dong, yang kamu lihat itu
belum seberapa. Nanti akan kubawa kamu ketempat rekreasi
yang selalu ramai saat liburan.”

Setelah selesai berputar melihat suasana jalan trotoar kota. Siti


membawa Hindon ke tempat wisata buatan pemerintah kota itu,
yaitu hutan mangrove dan hutan lindung. Dua tempat favorit
kunjungan orang luar kota.

Hindon menikmati setiap keindahan itu dan merasa kagum dan


takjub. Seperti orang kebiasaannya, mereka melakukan swafoto
bersama dengan latar belakang pohon bakau dan rumah adat
Aceh di hutan lindung.

Kemudian Siti membawa Hindon di sebuah cafe tempat favorit


hangout para anak muda mudi.

Datanglah pelayan menghampiri mereka.


“Mau pesan apa kak?” tanya seorang pelayan perempuan
menggunakan celana lea ketat.

“Saya sama sepertimu aja Ti, saya tidak mengerti minuman di


menu ini,” ucap Hindon polos yang tidak mengetahui nama-nama
minuman yang tidak pernah dilihat dan didengarnya sebelumnya.
“Baiklah, kak kami pesan kopi espresso susu dingin dua ya,” jawab
Siti kepada pelayan.

“Ti, ibu saya berpesan agar jangan lupa pergi ngaji selama disini.
Bisa bantuin carikan tempat ngaji Ti,” minta Hindon di awal
singgahan mereka di cafe itu sembari menanti air pesanan tiba.

“Aman tu, kamu mau ngaji tetap tiap malamnya, atau hanya ikut
gabung majelis aja,” Siti memberi pilihan. “Majelis aja Ti, kalau
rutin takut nanti tidak terkejar. Dan usahakan yang jadwal siang
aja ya.” “Oke ... siap. Nanti kita bareng, aku pun udah lama gak
ngaji lagi selama naik kelas tiga SMP.”

“Ini kak pesanannya, silahkan dinikmati dan semoga memuaskan.


Kami izin kan,” ucap pelayan dengan senyum keramahannya.

“Ti, maaf tadi saya tahan tawa,” “Bentar Ndon, kamu harus ubah
gaya bicaramu,” Siti memotong bicara Hindon.

“Maksudmu gimana Ti,” tanya Hindon.

“Coba ubah kata saya menjadi aku. Itu lebih keren dan terlihat
anak kota. Kecuali jika saat berbicara dengan orang yang lebih tua
baru pake kata saya. Dan bahasamu itu, tapi tenang nanti kamu
akan terbiasa sendiri jika sering bicara denganku,” Siti
mengatakan gaya bahasa Hindon yang masih medok atau kentara
sekali bahasa daerahnya. “Baik Ti,” jawab Hindon singkat.

“Jadi apa yang ingin kamu katakan tadi,” tanya Siti.

“Begini Ti, penjual disini lucu ya, keramahannya terlihat dibuat-


buat. Tidak seperti penjual di kampung, mereka terbuka sesuai
karakternya masing-masing. Jika bawaannya keras ya keras, jika
lembut tetap lembut,” ucap Hindon.

“Bedalah Ndon, ini kota bukan kampung. Di sini banyak cafe-cafe


seperti ini. Yang pastinya itu melahirkan daya saing, dan agar cafe
milik mereka tidak kehilangan pelanggan mereka harus
menciptakan pelayanan yang membuat pelanggan nyaman dan
akan singgah kembali ditempatnya, maka itulah setiap orang yang
menawar pekerjaan sebagai pelayan mereka akan diuji terlebih
dahulu terutama penampilan dan gaya senyumnya,” Siti
menjelaskan.

“O ... yaya. Ternyata begitu. Dan juga Ti, tadi kita berkeliling kota
banyak kulihat perempuan menggunakan celana ketat
menampakkan bentuk tubuhnya apakah itu tidak dilarang disini.”
Hindon bertanya sambil memelankan suaranya agar tidak
tersinggung perempuan di sebelah mereka yang menggunakan
celana ketat.

“Inilah tujuanku mengajakmu jalan. Dan bagus kamu bertanya


berarti otakmu bermain, aku bangga punya saudara responsif kuat
sepertimu,” kata Siti lalu duduk lebih dekat dengan Hindon untuk
menjawab pertanyaannya.
“Sekali lagi kukatakan Ndon ini kota ya. Disini penduduknya
bercampur dari berbagai suku. Bukan hanya orang Aceh yang
tinggal disini sebagaimana di desa Catok Peng sana. Jadi wajar saja
pakaian mereka seperti itu. dan disini kita tidak boleh
menandakan yang memakai rok itu orang kita, yang memakai
celana itu orang dari luar tidak bisa seperti. Itu tidak bisa menjadi
penanda disini semua sudah membaur dan bercampur. Tinggal
kita pribadi menjaga diri sendiri.” Panjang Siti menjelaskan.

“hmmmm,” Hindon mulai paham.

“Dan sistem disini Ndon, kita tidak boleh mengurusi urusan orang
lain. ini maaf sudah menceramahimu hehehe...” Siti melanjutkan.

“Tidak apa-apa Ti, dengan begitu aku bisa tahu situasi disini,” ucap
Hindon membalas senyuman yang diberikan Siti kepadanya lalu
lanjut bertanya. “Jika kita tidak boleh mengurusi urusan orang
lain. itu sangat aneh ya Ti, berarti disini semua orang bebas
melakukan kemaksiatan ya. Kan tidak ada yang peduli.”

“Aduh ... duh. Aku pikir saudaraku ini pintar. Begini Ndon, jika
sudah memasuki ranah sosial, masyarakat akan tetap bertindak.
Seperti ada dugaan perbuatan zina, masyarakat disini akan
bergerak menggrebek jika kedapatan akan dijalanankan
mekanisme hukum yang berlaku. Jangan kamu anggap kota itu
seburuk pikiranmu ya. Kami disini Cuma tidak peduli dengan
urusan pribadi orang lain itu saja. Lihatlah nanti bagaimana
kehidupan masyarakat disini, pasti kamu ingin menetap disini
selamanya,” Siti kembali menjelaskan pertanyaan Hindon.
“Ti kopinya pahit ni, tolong panggilkan pelayannya untuk
ditambahkan gula,” Hindon terkejut merasakan kopi ala kota yang
memang dominan tidak terlalu manis.

“Hindon jangan malu-maluin aku ya. Itu memang sudah setelan


para barista handal.” “Hahaha ... sungguh kota yang aneh bagiku.
Kopi dikampung manis dan murah lagi, ini udah pahit mahal
pulak,” Hindon tetap dengan kepolosannya.

“Kamu belum terbiasa, terutama penampilanmu akan ku-sulap


nanti menjadi wanita cantik,” “Jangan Ti, aku mau begini saja. Aku
tidak cantik juga tidak ingin tampil cantik disini.” Hindon
merendahkan diri dengan kecantikan yang tidak disadarinya itu.

Sebulan tinggal di kota terbebas dari terkena pancaran sinar


matahari langsung seperti bekerja di sawah di desa, Hindon
terlihat lebih cantik dan manis dari sebelumnya dengan kulit
bersih dan lebih memutih.

Dan tanpa disadarinya nanti akan menjadi sorotan para pria lajang
di sekolah.
Masuk Sekolah, Masuk Hati

Mengikuti seleksi di sekolah pilihan, Hindon terkagum dan dengan


polosnya melongo melihat suasana dan bentuk gedung sekolah
yang begitu indah dan tertata rapi. Dihiasi dengan taman bunga di
setiap depan halaman kelas. Dan disentuhnya juga beberapa
kerajinan buatan tangan yang baru dia lihat dan ditemui.

Siti melihat sepupunya seperti itu membiarkan tidak menegur


karena belum masuk sekolah yang membuat Hindon akan malu
ditertawakan oleh murid yang lain karena terlalu nampak orang
baru masuk kota alias kolot. Setelah itu Siti baru menegur, “Ndon,
waktu udah masuk sekolah nanti jangan seperti ini lagi ya.”
“Seperti gimana tu Ti.” “Mata dan tanganmu itu loh, jangan terlalu
nampak kita baru datang kesini. Tapi ini kebetulan lagi tidak ada
orang maka silahkan lakukan lihat dan sentuhlah sepuasnya.” “O
... yaya aku paham, baik Ti. Maklum lah ya, aku baru lihat gedung
sekolah seperti ini indah, bersih dan rapi,” ujar Hindon dengan
matanya masih melongo menikmati seisi gedung.

Mereka berdua lulus seleksi di sekolah paling hits di kota itu,


melalui penilaian Nilai Ebtanas Murni (NEM). Dan mereka akan
berkumpul dengan orang-orang pintar, tajir, tampan , cantik dan
keren di sekolah itu.

Bangun pagi seperti biasanya salat, cuci piring, dan mandi. Hari itu
rutinitas mereka mulai berbeda, yaitu memakai baju seragam.
Menandakan mereka sudah memasuki tahun awal belajar di SMA.

Hari pertama masuk sekolah, Siti tampil dengan modis sederhana


ala anak-anak gadis sekolah di kota. Dan Hindon tampil beda dari
kebanyakan anak sekolah, ia menggunakan lebih dulu ciput
dikepalanya baru ditutupi dengan jilbab, memakai handsock
sebagai penutup aurat dibagian tangan serta menggunakan kaus
kaki panjang hampir mengenai lutut. Tampilan Hindon lebih cocok
sebagai santri di pesantren, tampilannya tidak sesuai dengan
modis ala anak SMA di sekolah itu yang menggunakan jilbab tanpa
bandana, tanpa handsock, dan kaus kaki pendek hanya sampai
mata kaki.

“Hindon kamu mau ngaji apa mau sekolah,” tanya Siti. “Lihatlah
kan aku pake baju sekolah,” jawab Hindon.

“Hahahaha ...” Siti ketawa. “Ada yang salah Ti ya,” tanya Hindon
heran melihat Siti ketawa.

“Tidak Ndon, Cuma penampilanmu akan menjadi sorotan nanti


disana karena yang paling beda diantara semuanya. Lihatlah
nanti.”

“Tidak apa-apa lah Ti. Biarin aja , yang penting ini bisa buat aku
nyaman,” jawab Hindon tidak memperdulikan tampilannya akan
ditertawakan atau menjadi sorotan nanti.

Tibalah di sekolah, mereka semua murid-murid kelas satu berdiri


mendengar arahan dari kepala sekolah sekaligus pembagian lokal.
Dan disambung dengan orientasi sekolah.

Dari lantai dua, Uma dan kawan-kawannya berdiri pada dinding


pembatas melihat dan memantau anak-anak baru.
“Apa kamu mau jadi predator lagi ya, tidak cukup dua tahun yang
lalu,” tanya Feri. “Siapa yang predator, aku ini baik orangnya
dengan perempuan. Ini aku mau lihat yang serius dulu,” jawab
Imran. “Kamu udah taubat ya,” tanya balik Imran kepada Feri.

“Rencananya gitu, karena kupikir apa yang kita lakukan itu hal
yang bodoh. Aku terkadang membayangkan bagaimana
perasaanku jika saudariku diperlakukan seperti yang aku lakukan,”
curhat Feri.

“Baguslah itu jika kamu sadar, aku pun mau berhenti pacaran. Itu
sudah bukan zaman kita lagi,” sambung Ikbal.

“Aku setuju, aku juga sudah bosan mempermainkan perasaan


perempuan. Kini aku hanya akan berkenalan dan dekat dengan
perempuan jika hendak menikah,” ungkap Ikhsan.

“Aku pun menyesal sudah ajak kalian dugem sebelumnya. Dan


sangat merasa bersalah,” Feri menyesal karena ia yang memandu
dan membawa kawan-kawannya dugem.

“Udahlah Fer, itu salah kita semua. Tapi tidak apa-apa juga, satu
sisi itu baik bagi kita. Pernah merasakan masa muda lalu sadar
bahwa itu hal yang bodoh. Hahaha...” kata Ikbal.

“Hahaha ... jika dipikir-pikir memang benar. Apa yang kita lakukan
sebelumnya memang sangat bodoh. Mengemis mengharap pada
perempuan agar mau dimanja. Hahaha ...” sambung Feri.

Mereka mulai bosan dengan kenakalan mereka dan ingin


berubah. Uma hanya duduk disudut lantai dua tidak ikut
memperhatikan anak baru bersama kawan-kawannya. Dia hanya
asik menikmati game di handphone-Nya.

“Hei ... coba liat cewek yang itu,” seru Imran. “Yang mana?” tanya
Ikbal.

“Yang ditengah di barisan kelima, lihatlah.” “Lalu kenapa?” Feri


bingung dengan maksud Imran.

“Tidak kalian perhatikan cewek itu, penampilannya paling beda


diantara yang lainnya.” Imran menjelaskan maksudnya.

“Iya benar, mungkin dia lulusan pesantren makanya


penampilannya begitu,” sambung Ikhsan.

“Beberapa hari sekolah disini, pasti penampilannya akan berubah,


dia akan minder dengan penampilannya yang berbeda dari yang
lain,” Feri memprediksi.

“Tapi meski begitu manis juga orangnya, lihatlah saat dia


senyum,” Imran kembali memperhatikan. “Jangan coba-coba kau
lecehkan dia, kelihatannya cewek itu orang baik dan polos.” Ikbal
memperingatkan.

Mereka sedang membicarakan penampilan Hindon yang jelas


terlihat beda dari kejauhan dengan siswi-siswi lainnya. Cuma dia
yang menggunakan ciput di kepala dan handsock. Membuat
pandangan beberapa siswa dan siswi dibarisan itu mengeluarkan
opini mereka sendiri, ada yang berpikir ; anak ulama, calon istri
ulama, lulusan dayah/pesantren dan cewek hijrah.
“Dengar tu Ndon, mereka berbisik mengatakanmu. Kan sudah
kubilang setelan itu tidak cocok di lingkungan sekolah modis ini,”
kata Siti. “Udahlah Ti, biarin aja. Paling lama cuma seminggu
mereka mengatakan itu, selanjutnya memaklumi,” Hindon
menjawab tidak goyah dengan apa yang didengarkannya dari
mereka.

Dari atas Uma berdiri untuk merenggangkan tubuhnya dan


bergabung dengan kawan-kawannya memantau anak baru. “Ini
dia Uma, hei coba lihat cewek dibarisan tengah itu,” Imran
menunjukkan Hindon dengan telunjuknya kepada Uma.

Uma semula tidak ingin menghiraukannya dan tidak ada rencana


mendekati perempuan manapun setelah ia bertaubat
sebelumnya. Tapi ketika pandangannya menatap Hindon dari
kejauhan sesuai arahan Imran tujuannya berbalik dan
memperhatikan lebih dalam wajah gadis desa itu, dan dalam hati
berkata.

“Gadis ini memiliki wajah yang tulus, kepolosannya terlihat alami,


kelopak matanya sayu mayu memberi isyarat kenyamanan. Siapa
dan dari mana dia, kenapa begitu berbeda dipandanganku.
Penampilannya sederhana, tapi terlihat mewah dipandanganku.
Kecantikannya alami, senyumnya begitu murni, keperawakannya
begitu indah. Ia bagaikan mutiara yang harus dijaga sepenuh
hati,”

Uma tanpa sadar dan disengaja apa yang dikatakan hatinya. Itu
sepenuhnya bisikan hatinya yang berjalan begitu saja. Kemudian
dia sadar dari melamunnya itu dan kembali berkata dalam hati kali
ini dengan kesadaran.

“Ya Allah ampunilah hamba, hamba sudah bertaubat. Kenapa


secara tiba-tiba hati ini bergerak seperti itu. Apakah maksud dari
ini semua, tidak pernah aku begini. Apakah ini tandanya taubatku
belum diterima hingga membuat mataku tetap kotor menatap
wanita. Atau ini petunjuk dari permohonanku, bahwa untuk
diberikan petunjuk yang membawaku menuju jalan kebenaran,
apakah dia orangnya. Sebagai pendamping yang membimbing
mengarahkanku ke jalan yang benar, sebagai penyemangat
bagiku menunaikan perintahnya. Apakah dia orangnya. Ya Allah
kenapa mataku tidak bisa berkedip dari menatap gadis ini. Ada
apa denganku?”

Uma mencoba melawan memalingkan wajahnya untuk tidak lagi


melihat gadis yang bernama Hindon itu. lalu pandangannya
kembali dan hatinya juga kembali berbisik.

“Kenapa dia hadir disini dan membuatku seperti bukan diriku lagi.
Kehadirannya, pandanganku, ada apa ini semua. Apakah dia tanda
petunjuk untukku atau dia hadir di lingkunganku sebagai pemberi
berita duka dan kesengsaraan. Ya ampun,” Uma kembali melawan
agar pandangannya tidak menatap gadis itu (Hindon) dengan
melihat gadis-gadis yang lain.

Matanya terus berjalan melihat sekeliling barisan itu, namun


kembali matanya tertuju ke tempat yang sama dan kembali
bergumam.
“Siapa kamu ini? Tidak lain hanyalah orang asing yang tidak
kukenal namanya, keluarganya, tempat tinggalnya dan sukunya.
Tapi hatiku berkata, engkau bagaikan rembulan penerang hati
gelapku, jika aku rawa engkau teratainya. Keindahanmu bagaikan
bunga Edelweis yang butuh perjuangan agar bisa menikmati
keindahannya. Siapakah engkau wahai rembulan, mengapa
hadirmu membuat hatiku bagaikan rumput kering yang
berbahagia menyambut turunnya hujan.”

Uma benar-benar tidak terkontrol, otak penggerak pikiran kini


diambil alih oleh bisikan hatinya. Otaknya membeku tidak bisa
menghentikan imajinasi hatinya.

Matahari mulai naik melewati bagian atap sekolah. Atap sekolah


semula menjadi bayangan peneduh bagi barisan itu kini
menghilang, dan pancaran sinar matahari menyilaukan mata
semua barisan itu. saat itu matahari ikut menyilaukan mata
Hindon, membuatnya terkesiap dan menampakkan gigi serinya
yang kecil dihiasi gigi kelinci didepannya. Uma tidak berpindah
pandangannya dan kembali bergumam.

“Engkaulah keindahan makhluk Allah yang baru kutemui sampai


saat ini, penciptaanmu oleh tangan yang maha agung begitu
sempurna di mataku. Ya Allah aku sudah bertaubat dan meminta
petunjuk pembawa jalan kebaikan. Jika memang dia orangnya
permudahkanlah jalanku, dan ridhailah keinginanku ini.”

Pancaran sinar matahari mengenai bros jilbab Hindon yang terhias


dari percikan kaca, cahanya memantul menyilaukan mata Uma.
Pantulan cahaya itu membuatnya tidak bisa melihat selama
beberapa menit. Ketika pandangannya kembali normal ia kembali
menatap Hindon namun hilang. Hindon menghilang dari
pandangannya.

Matanya terus berjalan mencari purnama yang menghilang itu,


tapi tetap saja tidak ketemu. Dan pikirannya yang tidak bisa
dikontrol kini kembali sadar dan berpikir bahwa itu hanyalah
halusinasinya atau itu adalah fatamorgana sebagai cobaan
baginya yang haus akan pendamping yang membimbingnya ke
jalan yang benar.

“Sial, kemana dia. Atau benarkah tadi hanya halusinasiku?”


“Gimana Uma, dari tadi kulihat matamu kebawah terus. Udah
dapat sasaran,” canda Imran. “Untuk kalian semua ajalah tidak
yang tertarik bagiku,” jawab Uma dan kembali duduk melanjutkan
game-Nya mengabaikan apa yang dipikirkan sebelumnya dan
yakin itu hanyalah halusinasinya tidak nyata.

Dari bawah Hindon menyelinap bersembunyi dibelakang orang


yang lebih tinggi dan besar darinya untuk menghindari silauan
cahaya matahari.

Selesai pembahagian kelas, Hindon dan Siti sangat beruntung


mereka bisa satu kelas dan bisa duduk berdua. Dan tibalah masa
orientasi murid baru selama tiga hari. Selama proses itu Uma dan
kawan-kawannya tidak masuk sekolah karena belum aktif belajar,
hingga ia tidak berkesempatan bertemu dan melihat Hindon
kembali.
Uma setelah itu hidup dengan normal tanpa memikirkan
bayangan Hindon sedikit pun. Ia melupakan dugaan halusinasinya
dan beranggapan apa yang dilihatnya itu tidak ada sama sekali.

Uma dan kawan-kawannya kini juga sudah berubah tidak seperti


sebelumnya mengincar anak baru untuk dijadikan teman kencan
di malam minggu. Kini mereka mulai fokus belajar untuk
mendapatkan nilai yang bagus agar bisa dengan mudah masuk ke
universitas.

Sikap mereka kepada para siswi juga sudah berbeda, kini tampak
lebih cuek dan tidak peduli. Dan kebetulan mereka semua
memiliki paras ganteng yang berbeda-beda dengan style ganteng
yang berbeda-beda membuat perkumpulan mereka menjadi
sorotan bagi para siswi. Ada juga yang membenci mereka
terutama wanita yang pernah mereka permaiknkan dengan
perasaan tapi ada juga yang mengharap mereka kembali. Tidak
kalah juga, dari siswi-siswi baru mereka kebanyakan mengagumi
penampilan abang kelas mereka itu.

Kelas Hindon berada paling ujung berderetan dengan kantor


sekolah yang berada ditengah. Suatu hari Uma, Imran, Ikshan,
Ikbal dan Feri serentak masuk ke kantor dipanggil wali kelas untuk
memberi nasehat bagi mereka agar berubah dan tidak bertingkah
seperti saat kelas dua. Dan mereka benar-benar sudah berubah
meski tidak dinasehati.

Keluar dari kantor berjalan melewati tiap lokal kelas satu secara
berderet, Uma dibarisan depan. Mereka melewati setiap adik-adik
kelas mereka yang sedang duduk santai sebahagian menikmati
jajan di bangku depan lokal. Para siswi baru saling berbisik kagum
dengan pesona abang-abang kelas mereka itu. tapi rombongan
Uma tidak peduli dan terus berjalan.

Dari ujung lokal Siti melihat rombongan itu dan memanggil


Hindon untuk melihat abang yang kelas yang dikaguminya yaitu,
Uma.

“Hindon cepat kemari.” Siti menarik tangan Hindon memaksanya


pergi untuk melihat. “Lihatlah itu bang Uma yang aku bilang,
manis kan,” kata Siti.

Hindon coba melihat pilihan Siti dengan bersembunyi dibalik bahu


Siti. Hindon menatap Uma dari jauh dengan jarak melewati tiga
lokal baru bisa sampai ke lokalnya. Pertama kali melihat, Hindon
merasakan hal yang berbeda, “Baru pertama kali aku lihat yang
seperti ini atau karena aku belum pernah keluar. Dan ini terlihat
sederhana tapi sungguh indah. Apakah mungkin ia akan
menyapaku, menegur, dan berkenalan denganku sebagai wanita
dari desa,” Hindon bergumam dalam hati ikut terkesima melihat
Uma.

Ketika Uma hampir dekat dengan lokalnya, Hindon teringat


dengan nasehat ibunya, “Jangan coba-coba dekat dengan pria
disini (kota) apalagi ada menjalin hubungan. Ibu tidak merestui
itu.” Hindon berbalik dan bersembunyi.

Apa yang dipikirkannya tadi segera dihilangkan dan dilenyapkan


agar tidak menjadi sebuah harapan. Akan terus mengingat
nasehat ibunya dan bertekad tidak akan mengingkarinya.
“Eh ... Hindon. kamu tidak liat tadi.” “Ada Ti, biasa aja bagiku.”
“Kamu jangan sok apatis gitu. Nanti tidak ada yang mau baru tau.”
“Jodoh itu tidak bisa dipungkiri Ti.”

Setelah itu, untuk mengemban amanah ibunya. Hindon selalu


menghindar dari Uma. Agar ia tidak saling bertemu dan ditakutkan
mereka menjadi dekat. Mengingat Siti juga gencar mencoba akrab
dengan Uma.

Dan itulah sebabnya mereka tidak pernah ketemu lagi. Uma tidak
pernah menatapnya lagi. Inilah takdir yang sudah digariskan.
Harapan Terbentuk, Salah Paham Menyertai

Satu semester sudah berlalu, Uma tidak pernah bertemu dengan


Hindon. Dan sama sekali tidak kepikiran akan menjumpainya lagi
semenjak dia yakin itu hanyalah halusinasinya.

Berbeda dengan Hindon, hampir setiap hari melihat Uma di


sekolah tapi dengan cara tertutup dan menghindar dengan cepat
saat Siti mencoba berjalan di dekat Uma.

Melakukan hal seperti ini, Hindon punya cukup alasan yang kuat.
Pertama, larangan dari ibunya untuk tidak dekat dengan pria kota.
Kedua, Siti sangat mengagumi Uma sedangkan Hindon juga
memiliki rasa yang berbeda sejak pertama kali lihat Uma. Karena
itulah untuk menghilangkan rasa terlarang itu Hindon harus
menghindar dari pandangan Uma. Yang membuat anggapan
halusinasi Uma itu benar.

Bagaikan pohon mati dihantam badai masih meninggalkan tunas


memberi harapan untuk pohon itu tumbuh kembali. Hari itu
pulang sekolah kota Lek –lap dan sekitarnya diguyur hujan yang
cukup lebat. Awan hitam memenuhi langit tanah kota Lek-lap dan
sekitarnya.

Kebetulan saat itu Siti tidak sekolah karena sakit. Membuat


Hindon terpaksa pulang sendiri. Biasanya mereka berdua dijemput
oleh Rahmah, ibunya Siti. Hari itu dalam guyuran hujan, Hindon
mencoba menunggu jemputan dari makciknya.

Hindon tidak memilki handphone guna menghubungi untuk


memastikan dijemput atau tidak.
Cukup lama Hindon menunggu jemputan belum juga datang,
hujan pun tidak ada tanda-tanda mau reda. Hindon mulai merasa
risih menunggu dan memilih pulang berjalan kaki ke rumah yang
berjarak kurang lebih 500 m dari sekolah.

Mulailah menyeberang jalan di persimpangan empat. Pergerakan


jalan Hindon menyeberang jalan dilihat oleh Uma yang sedang
berkendara dengan penglihatan agak samar karena matanya
dibasahi air hujan.

“Siapa itu, sepertinya pernah kulihat,” ucap Uma dari keretanya


dengan jarak tidak terlalu jauh dari Hindon.

Sampai di persimpangan Uma berhenti untuk memastikan orang


yang dilihatnya tadi, dan.

“Ya Allah itu dia, iya tidak salah lagi itu dia ternyata nyata bukan
halusinasiku,” ucap Uma lalu memarkirkan keretanya.

Melihat sekali lagi Hindon yang terus berjalan cepat menerobos


hujan untuk pulang, kepalanya ditutupi dengan tas untuk
menghindari basah yang berlebihan. Uma merasa kasihan dan
mulai dicari payung untuk dipinjamkan.

“Bang, boleh pinjam payung sebentar,” minta Uma kepada pemilik


kios setempat dan dikabulkan.

Uma berlari mengejar Hindon untuk memayunginya. Taubat yang


sudah bersungguh-sungguh ditangisi hari itu lenyap di pikirannya.
Pikirannya hanyalah bisa menolong gadis itu (Hindon) agar tidak
basah.
Tibalah disamping Hindon, payung ditempatkan di atas kepala.
Untuk menjaga jarak Uma rela basah kuyup tidak terkena payung
yang hanya ditempatkan diatas kepala Hindon.

Hindon terkejut, jantungnya berdegup kencang. Harapan yang


sengaja dihilangkan tiba-tiba hadir tanpa diundang. Pada momen
yang berbeda dengan jarak yang sangat dekat. Dia terdiam,
jalannya berhenti. Uma pun berhenti agar payung tetap diatas
kepala Hindon.

Uma menyaksikan sangat jelas wajah itu, wajah purnamanya yang


sedang bengong, pandangannya datar. Disaksikannya sangat jelas
tetesan air hujan mengenai selaput matanya yang turun dari
tasnya yang basah belum diturunkan. Uma ingin menurunkan tas
itu tapi ia tidak berani.

Hindon terjaga dari bengong terkejutnya dan berkata menolak,


“Maaf, apa-apaan ini semua. Kamu siapa,” ujar Hindon kini tidak
menatap Uma lagi. “Aku bukan siapa-siapa, Cuma mau menolong
seseorang yang sedang kehujanan,” jawab Uma.

“Aku bisa mengatasinya, aku tidak butuh pertolonganmu.” “Tapi


aku butuh menolong seseorang.”

Hindon bergeser ke kanan untuk menghindari payung, dan Uma


juga ikut bergeser untuk memayungi Hindon. Hindon terus
bergeser beberapa kali dan langkahnya semakin dipercepat.
“Kamu berjalan ditengah jalan, saat ketabrak jangan salahkan aku
mengangkatmu nanti,” ujar Uma.

Lalu Hindon kembali bergeser lebih ke pinggir.


“Mohon maaf, saya tidak suka seperti ini. Dan kamu tidak punya
hak menolongku,” Hindon kembali melarang kebaikan Uma. “Ini
payungku, kamu tidak punya hak mencegahku memayungimu,”
jawab Uma yang tetap bersikeras memayungi Hindon walau sudah
dilarang.

Hindon memilih diam tidak melanjutkan perdebatan itu, matanya


tertunduk kebawah terus berjalan. Dan tidak peduli terhadap Uma
yang basah kuyup diguyur hujan lebat. Tidak terpikir sedikit pun di
pikiran Hindon mengajak Uma mendekat dengannya untuk bisa
satu payung berdua, pikirannya penuh ketakutan takut makciknya
melihat ia berdua dengan lelaki yang bukan saudaranya di jalan
raya. Ia takut makcik memarahinya dan menghilangkan
kepercayaan makcik kepadanya. Ia takut makcik mengadu kepada
ibunya dan membuat ibunya murka. Ia juga takut Siti melihat
mereka berdua dan ia akan salah sangka bahwa ia ada hubungan
dengan Uma, lelaki yang dikagumi Siti, membuat Siti
membencinya karena telah merebut orang yang diharapkan. Dan
ia juga takut para tetangga melihat ia bersama lelaki akan
merusak reputasi makciknya. Begitulah pikiran Hindon berputar,
ingin melarang lebih tegas ia tidak terbiasa. Dan akhirnya dia
berdiam diri terus berjalan dan berharap apa yang ada
dipikirannya benar-benar tidak terjadi.

Sebaliknya dengan Uma, ia sangat menikmati suasana itu. Rasa


dingin ternetralisir dengan api cinta di hati membuatnya tetap
terasa hangat. Uma sesekali melihat Hindon melalui ujung
matanya, di tengah hujan rahmat itu teringat dengan pengaduan
pengampunan dosanya kepada tuhannya, tapi ia tetap
melanjutkan memayungi gadis yang bukan mahramnya dan
berniat untuk membantu orang yang kesusahan. Di tengah
guyuran hujan itu, Uma juga berharap perbuatannya ini tidak
dicela. Serta memohon di bawah rintikan hujan rahmat agar gadis
ini menjadi pilihannya yang tepat, menjadi cinta terakhirnya dan
menjadi pendamping di sisa umurnya.

Sampai dirumah tepatnya dihalaman rumah, Hindon langsung


berlari masuk kedalam rumah tanpa mengucapkan terima kasih
kepada Uma yang telah menolongnya dari kehujanan.

Dari luar Uma hanya tersenyum melihat tingkah gadis itu tetap
berdiri menunggu mungkin ia akan keluar kembali dan
mempersilahkannya masuk. Dari dalam Hindon mengintip dibalik
celah gorden dan melihat Uma masih berdiri didepan rumah.

“Ngapaian dia masih berdiri disitu, jika dilihat sama Siti atau
makcik bagaimana ini?” Hindon susah dan takut Uma belum juga
beranjak pergi. Ia takut makcik dan Siti melihat Uma diluar dan
mereka akan salah sangka.

“Eh ... Hindon udah pulang. Maaf ya aku tidak bisa jemput kamu.”
Keluar Siti dari kamarnya karena mendengar suara pintu. “Kamu
pulang sama siapa Ndon, kok tidak terlalu basah,” tanya Siti
sambil melihat seluruh tubuh Hindon dari ujung kepala sampai ke
ujung kaki.

“Sendiri Ti,” jawab Hindon. “Tidak mungkin, coba kulihat,” Siti


mencoba melihat siapa orang yang menghantar Hindon pulang.
“Eh ... Ti, jangan ...” Hindon mencoba menahan Siti agar tidak
melihat Uma diluar.
Tapi gagal, Siti berhasil melihat dibalik jendela sebelah lain. Siti
lalu berpaling memandang Hindon dengan pandangan yang
berbeda.

Di luar, Uma tidak mengetahui apa yang sedang terjadi dibalik


jendela itu. dan akhirnya berbalik dan kembali ke tempat
keretanya diparkirkan.

“Bang Uma ...” Siti menatap Hindon. “Bukan begitu Ti, kamu
jangan salah paham dulu,” Hindon coba menjelaskan.

“Salah paham apanya? Sangat jelas yang menghantarmu itu bang


Uma,” Siti tidak mau mendengar penjelasaan Hindon.

“Ti, dengar dulu penjelasanku.” “Tidak perlu, rupanya begini kamu


menjadi saudara. Bukankah kamu sudah tau bahwa aku
mengaguminya,” Siti kecewa.

“Ti, tolonglah dengarkan dulu,” Hindon mencoba menahan Siti


dengan memegang tangannya supaya mau mendengar
penjelasannya.

“Alah ... tidak perlu. Baru tau aku ternyata saudaraku itu menusuk
dari dalam.” Siti melepaskan genggaman Hindon dan masuk ke
kamar dengan menghentakkan pintu.

Dari sekian banyak yang ditakutkan Hindon salah satunya terjadi.


Siti melihat Uma menghantar Hindon dengan memayunginya dan
menyangka bahwa mereka menjalin hubungan secara diam-diam.
Yang membuat Hindon tertuduh sebagai orang yang mengkhianati
perasaan saudaranya sendiri.
“Gimana nak, udah sembuh,” tanya Rahmah kepada Siti di meja
makan pada malam hari.

“Udah lumayan bu,” jawab Siti dengan wajah murung.

“Alhamdulillah, berarti besok sudah bisa kembali masuk sekolah,”


kata Rahmah.

“Hindon mari makan dulu,” ajak Rahmah. “Iya makcik, bentar lagi.
Hindon selesaikan ini dulu,” jawab Hindon dari kamar mandi yang
sedang mengeringkan baju seragamnya di mesin cuci. Juga
sengaja diperlambat kerjaannya menunggu Siti masuk kedalam
baru ia keluar makan.

Malam itu Hindon tidur di kamar lainnya sendiri. Tidak seperti


biasanya mereka tidur berdua, malam itu Siti mengunci pintu dari
dalam dan membuat Hindon harus mencari kamar lain.

Hindon susah dan gelisah, tidurnya jadi terganggu. Pikirannya


berpikir antara pertanyaan dan cara membuat Siti tidak salah
paham.

Pikirannya bertanya, kenapa seorang Uma tiba-tiba datang


memayunginya. Ia coba berpikir apakah mereka ada ikatan
saudara, “Ah, tidak mungkin. Jika ada ikatan saudara mana
mungkin Siti menyukainya,” pungkas Hindon.

Lalu berpikir lagi, atau orang tuanya ada hubungan pertemanan


dengan orang tua Uma, “Ini juga lebih-lebih tidak mungkin, jika ia
pasti ibu dan ayah akan menceritakannya.”
Kemudian dia kembali berpikir, apakah ini ada berkaitan dengan
perasaan atau ia ikhlas untuk membantu, “Tapi jika memang
sekedar membantu kenapa ia rela kehujanan. Kenapa ia tidak
meminjamkan dua payung. Atau diberikan payung itu untukku
tidak mesti dengan memayungi.” pikiran Hindon terus berputar,
malam semakin larut dia belum juga bisa tidur.

Hindon bangun dan duduk didepan cermin sambil ngaca ia


berujar, “Apakah mungkin orang seperti bang Uma yang dikagumi
oleh banyak wanita menyukai wajah ini. Tidak mungkin, ini wajah
orang kampung tidak mungkin seorang bang Uma menyukai
tampang seperti ini.”

“Ya Allah ... apa yang telah terjadi. Kenapa begini.” Hindon
kembali merebahkan badannya di kasur dan menutup mukanya
dengan bantal.

“Ini tidak boleh, aku tidak boleh berpikir ia menyukaiku. Dan juga
tidak boleh berharap ia untuk menyukaiku. Karena itu dilarang,”
ucap Hindon membuka bantal yang menutup mukanya tadi.

“Siti bagaimana? Ia sudah salah paham, apakah besok aku harus


menemui bang Uma agar ia menjelaskan kepada Siti yang terjadi
sebenarnya. Aduhh ... tidak mungkin dan tidak boleh, aku harus
menjaga kehormatanku sebagai perempuan. Tidak baik jika
bertemu laki-laki lalu memohon kepadanya.” Hindon dibuat
bimbang dengan permasalahan yang sedang menimpanya.

Ia menyerah dan menyerahkan semuanya kepada Allah semoga


diberikan jalan keluar yang terbaik.
Di kamar yang lain, Uma masih membayangkan kejadian indah
siang tadi. Ia sangat senang bisa begitu dekat dengan
rembulannya. Ia masih membayangkan wajah Hindon saat
bengong terkejut melihatnya dan wajahnya yang gelisah dan
takut. Ia masih mengingat raut wajah itu dan tersenyum sendiri.

“Dasar gadis aneh, tidak tau ucap terima kasih kepada orang yang
telah menolongnya,” ujar Uma.

“Tapi aku juga bersalah telah berani memayungi gadis yang tidak
kukenal. Besok aku harus menemuinya meminta maaf. Mungkin ia
marah padaku makanya tidak mengucapkan terima kasih.” Tutup
Uma lalu tidur.

Keesokan harinya Hindon minta izin tidak sekolah karena


beralasan sakit terkena hujan kemarin. Padahal yang sebenarnya
ia mengantuk karena semalaman tidak bisa tidur. Dan kali ini Siti
pergi sendiri ke sekolah.

Di sekolah. “Memang kau ya Uma, tidak ngerti perasaan


kawannya,” ujar Imran kecewa. “Hahaha, kenapa kau apa
salahku.”

“Itu gadis incaranku beraninya kau payungi dia,” “Oh ... aku tidak
tau. Tapi aku sudah duluan melangkah gimana. Kau masih rencana
kan,” ujar Uma.

“Iya ... ya sudahlah aku tidak mau bersiteru. Untukmu ajalah,”


kata Imran pasrah.

“Apa ... Uma kau payungi si Hindon kemarin,” kata Ikbal.


“Siapa tu Hindon aku tidak kenal,” jawab Uma. “Itulah dia gadis
yang bersamamu kemarin namanya Hindon,” sahut Imran.

“Uma ... aku sudah lama memantaunya. Kenapa kau yang dapat,”
ucap Ikbal yang juga mengagumi Hindon.

“Hah... kau juga mengaguminya Bal. Sudahlah kita senasib berarti


ditikung oleh kawan sendiri,” kata Imran.

“Tidak apa-apa lah untuk kawan sendiri. Tapi jika kemarin itu
orang lain bisa kuhajar dia,” ujar Ikbal.

“Berarti kau Bal udah lama memantaunya. Jadi kau tau kan
dimana lokalnya,” tanya Uma.

“Tau, nanti kutunjukkan saat istirahat,” jawab Ikbal.

Tiba waktu istirahat Uma bergegas mengajak Ikbal menunjukkan


lokal Hindon. Dan Imran juga ikut serta.

“Ini lokalnya, tapi dia tidak ada,” kata Ikbal menunjukkan lokal
Hindon kepadanya. “Biasanya dia duduk di samping perempuan
itu,” lanjut Ikbal sambil menunjuk ke arah Siti.

“Dik, boleh tolong panggil cewek itu,” kata Uma kepada salah satu
siswa lokal itu.

Dia memanggil dan Siti pergi menghadap Siti.

“Kamu kenal dengan ... siapa namanya Bal.” Uma lupa nama
Hindon. “Hindon,” sahut Ikbal. “E ...iya itu dia kamu kenal kan
sama dia, kemana dia,” tanya Uma pada Siti.
“Dia itu saudara aku bang, dia sakit jadi tidak masuk hari ini,”
jawab Siti. Siti mulai sedikit bingung.

“Ada apa memangnya bang,” tanya Siti kembali. “Aku Cuma mau
minta maaf kemarin sudah memaksa memayungi dia, dia sudah
beberapa kali menolak tapi aku tetap saja. Tolong sampaikan ya
sama dia,” jawab Uma lalu mereka meninggalkan lokal itu.

“Tidak ada dia,” ujar Imran. “Tidak apa-apa besok kita kembali
lagi,” sahut Uma.

Dalam perjalanan mereka kembali ke lokal terlihat Feri mau


berjalan ke arah lokal Hindon dan berpas-pasan dengan
rombongan Uma tadi. “Hei, Fer mau kemana,” cegat Ikbal.

“Tidak, aku hanya mau kesitu bentar,” jawab Feri. “Kemana?


kadang kau mau jumpa Hindon juga ya.” Filing Ikbal sangat tepat.
“Eh ...kalian kok tau, iya aku mau minta nomor hanphone-Nya.
Sudah lama kupendam,” jawab Feri jujur.

“Balik...balik..mari ikut kami ke kantin,” ajak Imran. “Tunggu dulu


nanti aku nyusul.” “Cepaaattt...Hindon tidak masuk sekolah hari
ini. Dia sakit,” “Hei ...kau kok tau.” “Makanya ikut kami ke kantin,
nanti disana kita jelasin.”

Mereka pergi ke kantin, tiba disana mereka saling bercerita


tentang kekaguman mereka terhadap Hindon. Gadis desa
berparas manis berpenampilan sederhana.

“Jadi bukan hanya aku yang suka dengannya. Aduh, sainganku


kalian pulak lagi,” kata Feri terkejut. “Tidak usah dipikirkan lagi.
Kita telat. Uma sudah berhasil mendapatkannya di momen
spesial,” kata Imran. “Benar itu Uma,” tanya Feri untuk
menyakinkan. Uma hanya tersenyum menikmati nasi gurih di
kantin menandakan iya untuk jawaban dari pertanyaan Feri.

“Padahal aku sudah lama mau mendekatinya tapi aku segan


dengan sikap dan pakaiannya. Maka tadi coba beranikan diri,”
ucap Feri.

“Mungkin lebih duluan aku yang memantaunya hampir setiap hari


sengaja lewat lokalnya agar bisa jumpa. Dan beberapa kali kami
berpas-pasan di jalan entah kenapa lidahku kaku hanya untuk
berkata Hai kepadanya,” kata Ikbal juga mengutarakan suka
kepada Hindon.

“Kalau aku sudah saat ia pertama sekali masuk sekolah saat


berbaris waktu itu dari situ aku sudah menargetkannya. Hampir
setiap hari juga kupantau kuperhatikan sikap dan gayanya
semakin buat aku jatuh hati. Dan satu lagi dia bukan cewek biasa
yang mudah digoda, disitulah aku semakin merasa tertantang
untuk mendapatkannya,” ungkap Imran dengan penuh semangat.

“Tapi, semua itu menjadi omong kosong saat kulihat dia bersama
Uma berduaan saat hujan dibawah payung,” kali ini ekpresinya
sedih.

“Selamat Uma kami ucapkan, kami mundur demi persahabatan,”


Feri mengalah. Yang lainnya juga begitu mereka menyerahkan
Hindon incaran mereka kepada Uma yang paling dominan
berkesempatan mendapatkan hati Hindon.
Tak diduga, Hindon gadis desa menjadi daya pikat bagi kelompok
pria yang dikagumi banyak wanita di sekolah itu.

Siti setelah mendengar pernyataan Uma tadi, ia merasa bersalah


telah menuduh saudaranya, dengan tuduhan Hindon telah
mengkhianatinya.

Pulang sekolah Siti pun meminta maaf kepada Hindon dan


menyampaikan permintaan maaf Uma kepadanya.
Mulai Memahami Cinta

Hindon sudah sembuh tadi penyakit ngantuknya. Dan siap masuk


sekolah kembali keesokan harinya.

Seperti yang dikatakan Uma sebelumnya bahwa mereka akan


kembali menemui Hindon. Dan waktu istirahat tiba, Uma meminta
kepada kawan-kawannya untuk membiarkannya pergi sendiri
menemui Hindon. Mereka pun mengabulkan permintaan itu
setelah beberapa kali Uma memohon.

Uma datang ke lokal Hindon, tiba disana ia tidak melihat Hindon.


Begitu juga perempuan di samping tempat duduknya yaitu Siti
juga tidak ada.

“Mau cari siapa bang,” tanya seorang siswa lokal itu. “Cari Hindon
kemana dia ya.” “Udah pergi ke kantin sama si Siti bang.” “Baiklah
terima kasih ya dik.”

Uma pun segera pergi ke kantin. Tiba di kantin dia melihat Hindon
dan Siti sedang makan dan kebetulan di depan bangku mereka
duduk ada yang kosong, kesempatan bagi Uma.

“Hai ... udah terima permintaan maafnya,” ucap Uma tanpa


memberi salam.

“Udah bang. Dan dia sudah memaafkannya,” Siti yang menjawab.

“Tapi aku mau menyakini itu dengan jawaban langsung darinya.”


Uma berharap Hindon menjawab itu di depannya.
Hindon merasa risih, ia mulai tidak enak pertama dengan Siti,
kedua banyak siswa-siswi yang sedang di kantin memandang
mereka. Ia tidak tahan lalu pergi meninggalkan Uma dan Siti
dengan sisa makanan yang belum habis.

“Hindon ...mau kemana?” Siti menyeru. “Eh ...kenapa dia,” tanya


Uma. “Aku tidak salah kan...” tanya Uma kembali.

“Gak tau bang, nanti saya cari tau,” jawab Siti.

Uma mulai paham dengan yang dimaksud Imran. Bahwa gadis ini
spesial berbeda dengan yang lain. dia sangat sulit didekati dan
melahirkan tantangan. Mulai berpikir bagaimana cara mendekati
dan mengetahui karakter Hindon yang lebih dalam.

Ia memandang Siti dan dapat. Siti akan menjadi jembatan baginya


untuk bisa mendekati dan mengenal sosok Hindon.

“Boleh minta nomor handphone-Mu?” minta Uma.

“Boleh bang,” Siti memberikannya dengan senang hati.

Uma punya rencana terbaik dengan Siti dia akan berteman dekat
dengannya dan secara bertahap akan mengorek informasi tentang
Hindon darinya.

“Kamu tadi kenapa Ndon,” tanya Siti.

“Aku merasa terganggu. Kalau jumpa abang itu lagi tolong bilang
jangan ganggu-ganggu Hindon ya Ti,” harap Hindon.

“Baik Ndon. Kami akan semakin dekat. Tadi dia meminta nomor
handphone-Ku,” kata Siti. “O ...itu mantap sekali Ti, tidak lama lagi
kalian akan menjalin hubungan,” dukung Hindon. “Amiin...semoga
saja bang Uma..” Siti penuh harap.

Setelah itu hubungan Siti dan Uma kian dekat dan akrab. Hampir
setiap harinya mereka chatting-an. Siti tidak sadar bahwa ia
sedang dimanfaatkan oleh Uma untuk bisa mencuri hati Hindon.

Beberapa kali mereka nongkrong dan makan bersama di luar.


Setiap kali itulah, Siti menanyakan kegiatan dan kepribadian Uma.
Uma menjawab semua yang ditanyakan. Begitu juga Uma
bertanya balik perihal Siti dan diselipkan juga pertanyaan tentang
kepribadian Hindon, tempat tinggalnya, bagaimana ikatan mereka
berdua, dan keluarganya. Siti menjawab dengan terbuka
mengupas semua yang ditanyakan secara mendalam karena tidak
mencurigai apapun.

“Kekurangan Hindon adalah ia sangat sensitiv dengan perasaan


bang,” salah satu bocoran informasi Hindon dari Siti kepada Uma.

Kedekatan dengan Siti membuat Uma semakin mengenal sosok


Hindon dan membuatnya tidak salah memilih serta rasa cinta
kesungguhannya kepada Hindon semakin memuncak.

Selain itu Siti melihat Uma semakin dekat dan terbuka dengannya,
dia mulai terbawa perasaan dan beranggapan bahwa Uma juga
menyukainya hingga begitu dengannya.

Setiap pulang dari duduk dengan Uma, di rumah Siti menceritakan


semua yang terjadi kepada Hindon. Dengan penuh rasa bangga
dan bahagia Siti menceritakannya. Yang tidak diceritakannya
hanyalah tentang Uma menanyakan kepribadian Hindon.
Mulai saat itulah Hindon juga mulai mengenal sosok Uma dari
cerita Siti. Dan perasaan yang sudah pernah timbul kembali
muncul. Ia kagum dengan sosok Uma yang bekerja mandiri sejak
kecil, sadar dari kesalahan yang pernah diperbuat dan
penyesalannya pernah membohongi ibunya. Sikap karakter yang
dimiliki Uma itulah membuat Hindon tidak salah memberi rasa.
Dan benar-benar merasa jatuh cinta kepada Uma. Membuat Uma
menjadi cinta pertamanya.

Dibalik rasa cinta yang kian menggebu kepada Uma, Hindon


melihat Siti juga sangat mencintai Uma, terlihat dari
kegembiraannya setiap mendengar nama Uma, menerima dan
membalas chat Uma dan saat Uma mengajak Siti duduk. Seketika
Hindon mulai termakan perasaan, dalam hatinya mulai muncul
rasa cemburu kepada Siti.

Dan mulai memahami apa itu dan bagaimana rasanya cinta


kepada manusia. Itulah sesuatu rasa yang membuat hati bahagia
dan tersentuh ketika mendengar nama yang dicintai disebut.
Itulah cinta sebuah rasa yang melahirkan marah, benci dan
bermusuhan ketika orang yang dicintai dilecehkan atau direbut.
Dan itulah cinta, perasaan yang akan menciptakan rasa kecewa,
penyesalan dan sakit hati ketika yang dicintai berpaling. Dan
terakhir itulah cinta, pembawa perasaan susah, gelisah dan galau
ketika jauh atau tidak mengetahui kabar orang yang dicintai.

Perasaan perdana yang dialami Hindon, sesaat ia bahagia saat


seseorang menceritakan kekasihnya dan sesaat kemudian timbul
rasa marah dan cemburu ketika menyadari bahwa orang yang
menceritakan itu juga menginginkan kekasihnya. Tapi semua itu
disembunyikan oleh Hindon baik itu derusan sungai cinta maupun
letusan api cemburu.

Hindon sebagaimana yang diceritakan Siti kepada Uma, bahwa ia


memiliki perasaan yang sensitiv. Maksudnya disaat ia mencintai
seseorang maka sulit baginya melupakan dan melepaskannya.
Juga sensitivitas perasaan Hindon mempengaruhi lingkungan
sekitar, maksudnya dia mudah peka dengan perasaan orang
terdekatnya. Seperti dia mencintai Uma dan Siti juga mencintai
Uma, mereka berdua memiliki perasaan yang sama. Maka Hindon
saat itu mengambil sikap untuk tidak egois. Dan merelakan cinta
yang dipendamnya itu untuk dimiliki oleh sepupunya sendiri.

Benturan perasaanya ini ditambah lagi larangan ibunya untuk


dekat dan menjalin hubungan dengan laki-laki kota,
menggandakan perlawanannya kepada perasaan yang sudah
terbentuk.

Bagaimanakah Hindon menghadapi ini, menghadapi sensitivitas


perasaannya. Apakah ia akan berjuang meraih kebahagiaan atau
memilih menahan rasa cemburu, kecewa dan kegalauan atas
cinta pertamanya.

Disisi lain, setelah beberapa kali Uma dan Siti berjumpa dan
mengobrol. Uma mendeteksi sebuah perasaan yang berbeda dari
Siti kepadanya. Yaitu Uma mulai menduga Siti menyukainya.

Dan Uma juga menduga perasaannya itu muncul pasti karena


kedekatannya selama ini dengan Siti. Uma ingin menghilangkan
kesalahpahaman itu sebelum semuanya terlambat.
Uma ingin mengatakan perasaanya yang sebenarnya, perasaannya
kepada sepupu Siti. Tapi Uma diterpa susah dan takut jika
dugaannya bahwa Siti menyukainya adalah benar, ini akan
membuat perasaan Siti sangat terpukul dan terasa dipermainkan.

Maka sebelum semua itu nyata, sebelum Siti mengungkapkan


perasaannya kepada Uma. Uma akan terlebih dulu
mengungkapkan perasaanya.

“Siti kamu ada waktu sore ini,” ajak Uma melalui pesan SMS.

“Ada bang, ada apa bang?” balas Siti.

“Aku mau ajak kamu duduk ditempat biasa mau kan.” “O ...bisa
bang.”

Sorenya seperti biasa masing-masing menggunakan kereta sendiri


tanpa boncengan menuju cafe tempat biasa mereka duduk ngopi
dan mengobrol.

“Siti, tidak terasa kita telah menjadi dekat seperti ini,” kata Uma
yang membuat jantung Siti berdebar.

“Dan kamu itu sudah aku anggap sebagai teman selayaknya


sahabat. Kita saling terbuka satu sama lain. walau sebenarnya kita
memiliki batasan masing-masing. Dan hari ini aku mau
mengatakan sesuatu padamu.” Siti semakin tegang jantungnya
juga semakin kencang berdetak.

Siti dalam hatinya optimis bahwa Uma akan mengungkapkan


perasaan kepadanya.
“Bahwa ...” Uma terhenti dia ragu mengungkapkannya.

“Bahwa apa bang, bilang aja tidak apa-apa,” ucap Siti.

“Bahwa sebenarnya ...” kembali terhenti. “Katakan saja.” Siti


mendesak.

“Bahwa aku mencintai Hindon.” Lisan Uma terlepas.

Siti terkepak, jantungnya terasa copot, hatinya leleh terurai. Apa


yang dinantikan dan diharapkan selama ini tidak kesampaian. Dia
merasa sangat terpukul dan benar-benar seperti dimanfaatkan.
Ingin dia perlihatkan kemarahannya tapi ia tidak punya bukti
untuk menyalahkan Uma. Karena Uma belum mengetahui
perasaannya dan dia juga belum pernah mengungkapkannya.

Siti mencoba bertahan dan terus bertahan dari panasnya hati yang
sudah terbakar.

“Tidak pernah sebelumnya aku mengatakan perasaan setulus ini,”


Uma menyakinkan perasaanya kepada Hindon. Siti tidak bisa
berbuat apa-apa.

“Dan aku yakin kamu sebagai sepupunya pasti akan setuju dan
mendukung agar Hindon menerimaku,” lagi-lagi Uma tidak sadar
perkataannya itu menghujam, menghantam perasaan Siti.

“Tapi, bagaimana caranya aku mengungkapkan perasaanku


dihadapannya ya. Sedangkan dia selalu menghindar dan menjauh
dariku.”
Siti semakin terhujam. Perasaan marah dan sedih meliputi di
hatinya. Ingin dilampiaskan tapi dia tidak sanggup dan tidak tau
bagaimana. Akhirnya pemendaman itu membuat air matanya
mengalir.

“Siti kamu kenapa?” Uma terkejut melihat Siti mengeluarkan air


mata.

“Oh ...tidak apa-apa. Aku hanya terharu dengan perasaanmu


kepada sepupuku.” Siti menyapu air matanya sendiri dan
menenangkan diri terlebih dahulu lalu melanjutkan.

“Aku senang kamu menyukai sepupuku. Tapi aku belum tau pasti
apakah dia juga mencintaimu. Namun aku yakin dia pasti
menerima dengan senang hati perasaanmu ini,” ungkap Siti
membohongi dirinya sendiri.

“Aku mohon pertolonganmu ya Ti,” harap Uma.

“Baik. Nanti kucoba usahakan,” ungkap Siti dengan matanya


masih berlinang. “Terima kasih banyak atas bantuanmu Ti. Aku
tidak akan pernah melupakannya.”

Uma mengetahui apa yang dirasakan Siti, air mata itu. Uma
mengetahui penyebab berlinangnya. Memilih pura-pura tidak tau
karena ini juga menyangkut perasaannya sendiri. Dan Uma hanya
berdoa semoga Siti baik-baik saja.

Pulang ke rumah Siti menyembunyikan kesedihannya dan tetap


menampakkan kebahagiaan di hadapan Hindon dan ibunya. “Siti
nampak sangat bahagia hari ini tidak seperti biasanya. Apakah
mereka sudah menjalin hubungan,” ungkap Hindon dalam hatinya
menduga Uma dan Siti telah menjalin hubungan. Dia tidak tau
dibalik kebahagian palsu yang ditampakkan Siti ada duri kesedihan
yang menusuk di hati Siti.

“Hindon kamu tidur diatas malam ini boleh?” ajak Siti.

“Kenapa? Kalian kan sudah biasa tidur berdua,” tanya Rahmah.


“Begini bu, Siti banyak tugas yang belum dikerjakan jadi mau
tuntaskan malam ini, takut nanti Hindon terganggu,” jawab Siti.

“Iya tidak apa-apa Ti,” sahut Hindon dalam keadaan mengetahui


Siti telah membohongi ibunya karena sebenarnya tidak ada tugas
sekolah.

Siti sengaja membohongi ibunya agar bisa tidur sendiri,


meluapkan kesedihannya sendiri tanpa sepengetahuan siapapun.

Dalam kamar itu Siti terus menangis, dia terjebak kepada


perasaan cinta yang tidak tepat. Kesedihannya tidak bisa
dilampiaskan kepada siapa disalahkan. Menyalahkan Hindon dia
sudah secara terang-terangan menolak bertemu Uma dan tidak
mungkin mengkhianatinya. Ingin menyalahkan Uma juga tidak ada
alasan yang tepat. Hingga ia menyalahkan diri sendiri, kenapa
tidak dari awal dia mengungkapkan rasanya kepada Uma.

Malam itu Siti lama terhanyut dengan tangisan kesedihan sampai


datang tidur yang menenangkannya.
Pulang

Pada malam yang sama, malamnya Siti menangis sedih. Di kamar


lantai atas, Hindon hatinya linglung dan melahirkan dilema antara
cinta pertama, Siti dan ibunya. Hatinya meyukai Uma terbentur
dengan perasaan kepada Siti dan realita yang akan terjadi bahwa
cintanya itu sulit bersatu, terhalang restu dari sang ibu.

Hindon perlu merefleksikan pikirannya, hatinya butuh


ketenangan, itu semua akan terjadi jika ia menjauh dari Uma dan
orang yang dekat dengan Uma. Dan itu akan terwujud jika ia
melakukan sebuah tindakan, yaitu : Pulang.

“Iya pulang, aku tidak sanggup lagi seperti ini. Perasaan yang
belum pernah kurasakan sebelumnya sangat mengejutkanku. Dan
aku harus pulang,” ucap Hindon menyakinkan keinginannya itu.

Di rumah dan sekolah Hindon sangat pandai menutup perasaan


yang sedang menimpanya itu. Dan Siti pun begitu, walau dia ada
rasa cemburu dan agak benci kepada Hindon tapi dia
menyembunyikan itu tetap tampil ceria dan bahagia seolah-olah
tidak terjadi apa-apa.

“Gimana Ti, udah kamu bilang sama Hindon.” Pesan masuk dari
Uma.

“Belum bang, belum ada waktu yang tepat untuk mengatakan itu.
itu kan butuh waktu dan tempat yang pas untuk diungkapkan. Iya
kan .” Balas Siti. “Jangan lupa kabarin ya Ti.” “Oke siap bang.”
Bukannya tidak punya yang tepat. Siti memang sengaja tidak ingin
disampaikan, ia tidak dan belum sanggup mengungkapkan itu
kepada Hindon. Ia merasa itu sama saja seperti membunuh
dirinya sendiri. Karena perasaan yang diamanahkan ditutupi itu,
hingga di lain pihak membuat Hindon menduga Siti sudah
menjalin hubungan dengan Uma dan membuatnya cemburu dan
sakit, akhirnya tidak betah lagi tinggal di kota.

“Buk. Hindon mau balik ke kampung selesai semester ini. Dan mau
minta surat pindah,” ungkap Hindon kepada wali kelasnya di
kantor sekolah secara diam-diam agar Siti dan kawan yang lain
tidak mengetahui kepindahannya.

“Kenapa begitu Hindon? Ibuk lihat kamu baik-baik saja di sini, atau
ada masalah apa kok tiba-tiba minta pindah,” tanya wali kelasnya
heran.

“Tidak ada masalah apa-apa buk. Hindon Cuma teringat dengan


orang tua pergi ke sawah tidak ada yang bantu. Jika Hindon
sekolah di sana bisa meringankan beban orang tua,” jawab Hindon
mengalihkan alasan.

“Baiklah besok kamu datang lagi kesini menemui saya ya,” “Baik
buk. Tapi Hindon boleh minta tolong buk.” “Tolongin apa?
Katakan saja.” “Tolong jangan ceritakan sama Siti dan kawan yang
lain soal kepindahan Hindon ya buk. Nanti Siti tau dan mencegah
kepulangan Hindon.” “Baik Hindon.”

Begitulah strategi dari Hindon. Dia pulang secara diam-diam agar


tidak mengetahui oleh Siti, yang membuat Siti nanti akan
menanyai alasan kepulangan yang tiba-tiba itu. dan Hindon takut
tidak bisa menahan hingga mengungkapkan apa yang sedang
dialaminya itu.

Di rumah juga demikian Hindon secara diam-diam meminta izin


kepada makcik dengan alasan yang sama teringat kepada orang
tua. Dan juga meminta tolong agar jangan dibocorkan kepada Siti.

Keinginan Hindon sudah mantap, ia sudah mengatur waktu yang


tepat untuk ia pulang ke kampung tanpa sepengetahuan Siti.

Tibalah hari perpisahan siswa kelas tiga. Dibuat acara cukup


meriah, didirikan panggung bagi para siswa-siswi yang memilki
hobi bernyanyi dan bermain musik untuk memperlihatkan
penampilan terbaik mereka, jauh-jauh hari para murid kelas tiga
juga sudah berlatih drama bertemakan ; Terima Kasih Guru. Untuk
dipersembahkan kepada guru yang telah mengajari mereka
selama tiga tahun pada hari perpisahan.

Ada pula yang membuat puisi, bernyanyi duet dengan guru,


menari bersama guru dan murid, dan pertunjukan lainnya. Itu
semua dilakukan untuk memeriahkan acara perpisahan bagi
siswa-siswi kelas tiga sebagai kenangan bagi mereka dan sebagai
pembangkit semangat untuk melanjutkan pendidikan di
perguruan tinggi.

Sisiwa-siswi kelas tiga khusus hari itu menggunakan pakaian


bebas. Dengan tampilan yang elegan, keren, tampan dan cantik.
Secara kompak per kelas masing-masing menjahit atau membeli
baju yang sama kompak. Para siswi kebanyakan menggunakan
kebaya ngepas di tubuh mereka terlihat sangat cantik bagaikan
pengantin baru. Para siswa memilih memakai jas dengan corak
ragam warna dan model yang berbeda-beda. Untuk lokal Uma,
mereka memilih jas berwarna abu-abu dipadukan dengan kemeja
putih di dalamnya dan celana kain hitam model slim serta sepatu
kulit berkilat. Tampilan mereka yang paling menjadi sorotan para
guru dan murid-murid yang lain. Terutama kelompok Uma yang
beranggotakan ; Imran, Ikbal, Ikhsan dan Feri. Keren dan tampan
mereka sudah diragukan lagi, ditambah dengan penampilan ala
artis Korea pada hari itu membuat semua mata terpana
melihatnya.

Euforia kesenangan dengan suara musik yang besar, para siswa-


siswi sekolah itu mulai dari kelas satu hingga kelas tiga berloncat-
loncat menikmati musik yang dimainkan oleh grup band lokal.

Kecuali itu, kegembiraan yang tampak di sekolah berbanding


terbalik dengan kondisi di rumah Rahmah. Suasana haru pilu
merasuki rumah itu, seorang gadis jauh meninggalkan kampung
halaman pergi ke kota untuk belajar, hari itu dirudung kesedihan
memasukkan satu persatu baju ke dalam tas balik ke kampung
meninggalkan cinta pertamanya, demi kebaikan mereka berdua,
Siti dan ibunya.

Hindon sengaja tidak hadir memeriahkan acara perpisahan karena


saat itulah waktu yang tepat baginya untuk pulang ke kampung
tanpa sepengetahuan Siti. Setelah meminta tolong kepada wali
kelasnya agar nilai raportnya di isi terlebih dulu dari murid yang
lain dan setelah menerima surat pindahan.

Jadilah gadis yang sudah cukup menahan penderitaan di hatinya


karena cinta. Dia menyerah tidak sanggup menghadapi perasaan
yang baru dia alami itu. Pulang menghilangkan jejak dari kekasih
dambaan, menjauh dari orang yang dikagumi. Untuk menetralkan,
mensterilkan hati kembali seperti semula. Hati yang penuh
ketenangan dan ketentraman. Dengan hati tanpa percampuran
rasa Cinta, kecewa, susah, cemburu dan marah seperti yang ia
rasakan selama tinggal di kota.

Hindon sudah siap dan makcik Rahmah siap menghantarkannya ke


terminal.

“Makcik ini ada surat permintaan maaf Hindon kepada Siti karena
tidak mengkabarinya,” ucap Hindon sambil menyerahkan surat
kepada makciknya sebelum menaiki mobil yang siap untuk
berangkat.

“Dan ini oleh-oleh untuk ibu ya. Tolong ucapkan salam dari makcik
kepada ibu,” ujar Rahmah sambil menyerahkan oleh-oleh berupa
kecap asin dan terasi khas kota Lek-lap. “Insya Allah makcik,
Hindon berangkat dulu ya makcik.” “Hati-hati ya nak.”

Resmi Hindon balik ke kampung tanpa ada orang yang


menghalangi dan mencegahnya untuk pulang. Hindon mulai lega,
ia akan memulai hidupnya kembali. Hidup bersama orang tua,
turun ke sawah, menikmati hangatnya api obor di malam hari,
tanpa ada rasa gelisah yang lahir dari cinta. Ia akan melupakan
semuanya. Semua yang membuat hatinya berantakan.

Siti ketinggalan handphone-Nya dan pulang kerumah untuk


mengambilnya. “Pintu kok terkunci ya. Sandal ibu dan Hindon kok
tidak ada. Kemana mereka pergi. Aduh...acara foto-fotonya bentar
lagi mau dimulai pulak ni. Ibuk...Hindon...,” panggil Siti mendesak.
Rahmah sampai dirumah setelah menghantar dan menunggu
Hindon berangkat. “Siti. Kok cepat kali pulang.” “Hape Siti
tertinggal bu di dalam. Cepat mana kuncinya bu.” Siti bergegas
ambil handphone-Nya.

“Ini Siti, surat dari Hindon untukmu.” Surat? Kemana Hindon bu.”
“Dia pulang teringat dengan orang tuanya dan tidak kembali lagi
kesini. Ini surat untukmu,” Rahmah menyerahkan surat itu kepada
Siti.

Siti langsung membuka amplop surat itu. Di dalamnya terdapat


dua surat, yang satu untuk Siti dan yang satu lagi untuk Uma. Siti
lebih dulu membaca surat untuknya, yang berbunyi :

Assalamualaikum,

Doaku untukmu agar sehat selalu, ceria selalu, sehat, cantik dan
senantiasa berbaik hati. Maafkan kepulanganku ini, yang tidak
pernah kuceritakan atau kuberitahu kepadamu sebelumnya.

Mohon maaf juga atas semua kesalahan yang pernah kubuat.


Baik itu menurutmu nyata atau tersembunyi.

Terima kasih atas jamuanmu selama ini, terima kasih telaj


membawa dan mengenalkan kotamu yang indah yang tidak akan
tersampaikan jika tanpamu. Mungkin ini awal dan akhir
kunjunganku ke kotamu. Sekali lagi terima kasih dan mohon maaf.

Wassalam.
Lalu Siti mencoba membuka dan membacakan surat dari Hindon
yang tertuju kepada Uma, yang berbunyi :

Assalamualaikum,

Mohon maaf jika permintaan maafmu saat kita bertemu di kantin


dulu kuabaikan. Ini bukanlah kehendakku. Dan tenang saja,
semua kesalahanmu sudah kumaafkan meski tidak secara
langsung namun dengan lembaran surat ini bisa mewakili diriku
yang menerima permintaan maafmu secara bertatap.

Dan, tolong jaga Siti, jangan khianati dia. Aku tau apa yang
dirasakannya. Dia selalu senang dan ceria setiap kali mendengar,
menyebut dan membalas pesan darimu.

Dia memiliki hati yang tulus untukmu, tolong sekali lagi jangan
sakiti dia. Semoga kamu benar-benar amanah.

Dan semoga aku pulang tidak menyisakan dosa.

Wassalam.

Siti terduduk, apa yang disangkakannya terhadap Hindon bahwa,


gara-gara Hindon dia gagal menjalin hubungan dengan Uma. Dia
baru sadar betapa bersihnya perasaan saudaranya itu, betapa
dalam perasaan Hindon memahami perasaan saudaranya sendiri.

Sedangkan dia (Siti), tidak bisa memahami apa yang dirasakan


saudaranya (Hindon), Siti dengan mudah menuduh saudaranya itu
mengkhianatinya dan menutup sebuah pesan perasaan yang
harus disampaikan kepada saudaranya itu.
Siti merasa sangat bersalah, bersalah atas apa yang dipikirkannya
selama ini terhadap Hindon. Juga bersalah karena tidak
menyampaiakn pesan perasaan Uma kepada Hindon.

Siti tidak bisa berpikir apa yang harus dilakukannya. Apakah


menyerahkan surat itu kepada Uma, tapi itu akan membuat
kebohongannya terbongkar dan Uma akan berpikir bahwa Siti
sengaja tidak menyampaikannya karena dia menyukai Uma. Atau
surat itu dibinasakan, hingga Uma tidak mengetahui bahwa ia
telah berbohong dan tidak mengetahui perasaannya yang
sebenarnya, tapi itu jelas telah mengkhianati kebaikan saudaranya
selama ini.

Kemudian Siti tidak berpikir panjang lagi, dia akan menyerahkan


surat itu kepada Uma. Apa yang terjadi setelah itu, dia siap
menerimanya. Dia akan menembus kesalahannya.

Siti mencari Uma dan menemukannya sedang di atas pentas.


Dicoba hubungi tapi tidak diangkat. Lalu Siti mendekat memanggil
Uma, Uma menyahut dan turun. Siti menyerahkan surat itu sambil
meminta maaf dan berkata yang sebenarnya.

Setelah selesai membaca surat itu Uma menatap tajam Siti, lalu
berkata, “Ya sudah, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Kini Hindon-
nya mana.” “Dia sudah berangkat sekitar 30 menit yang lalu,”
jawab Siti. “Tolong tulis alamatnya cepat,” Uma meminta alamat
rumah Hindon kepada Siti entah apa yang akan dilakukannya. Siti
pun segera menulis alamat rumah Hindon.

“Ini tidak ada waktu lagi, aku harus bergegas,” ucap Uma
meninggalkan Siti dan kemeriahan acara hari itu.
Uma pulang kerumah sebentar mengambil perlengkapan surat
kereta dan helm, lalu meminta izin kepada ibunya dia akan pulang
agak telat.

Ternyata Uma pergi menancap gas mengejar mobil yang


ditumpangi Hindon atau pergi kerumahnya untuk memperjelas
semuanya.

Uma mulai memahami teka-teaki dari perasaan Hindon. Mulai


dari perasaan yang sensitiv seperti yang diceritakan Siti dan
sikapnya itu bukanlah kehendaknya sendiri, sebagaimana yang
tertulis pada surat. Uma mengutip kesimpulan yang berani bahwa,
Hindon menyukainya namun ia tidak bisa menampakkan itu demi
menjaga perasaan saudara yang juga menyukainya. Dan Uma juga
yakin bahwa alasan Hindon pulang balik ke kampung, karena
tekanan dihatinya seperti ada yang menghalangi Hindon untuk
memiliki cinta.

Uma membawa kereta dengan kecepatan tinggi beberapa kali


hampir terjadi kecelakaan yang tidak di-inginkan. Akhirnya Uma
tiba di mulut lorong menuju rumah Hindon. 30 menit lebih cepat
dibandingkan kendaraan umum.

“Assalamualaikum bang, numpang nanyak. Apakah ada melihat


seorang perempuan seumuran anak SMA turun disini,” tanya Uma
kepada salah satu sopir RBT/ojek. “Ada dik, belum lama dia
berjalan masuk di lorong ini,” jawab sopir ojek.

Uma masuk ke lorong itu dan melihat seorang perempuan


berjalan menetengkan tas di jalan sawah. Uma turun dan
memakirkan keretanya lalu berlari mengejar perempuan yang
diyakini adalah Hindon.

“Hindon ...” seru Uma sambil berlari. Dan perempuan itu berhenti
membuatnya semakin yakin itu adalah Hindon.

Dan benar, Hindon mendengar suara panggilan dan ia pun


berhenti. Lalu menoleh ke belakang dan tidak menyangka apa
yang dilihatnya itu adalah orang yang dikagumi dan hendak di
jauhi.

“Hindon ... Aku belum terima ucapan terima kasih darimu atas
pertolonganku secara langsung,” ucap Uma ketika sudah dekat
dengan Hindon.

“Ya Allah bang, ngapain jauh-jauh kesini,” tanya Hindon.

“Kamu jangan pura-pura tidak tau, aku sudah tau semuanya,” kata
Uma.

“Mohon maaf maksudnya ini gimana.” “Aku mencintaimu dan


kamu juga mencintaiku.” Uma langsung terus terang.

Hindon terdiam sejenak dan berpikir dia tidak boleh jujur karena
cintanya itu tidak mungkin bisa dilanjutkan. Dan menjawab,
“Terima kasih sudah mencintaiku, tapi maaf aku tidak
mencintaimu bang. Kamu salah duga, maaf.” Hindon mengambil
tasnya yang terjatuh saat melihat Uma datang.

“Sampai kapan kamu terus berbohong Hindon,” ucap Uma dengan


nafas masih terengah-engah tapi Hindon tidak merespon
pertanyaan dari Uma itu dan Uma melanjutkan, “Aku tau apa yang
sedang kamu alami, maka aku rela jauh-jauh datang kesini untuk
membantu perasaanmu.”

“Mohon maaf bang, mungkin ini sudah waktunya abang pergi dari
sini. Aku tidak mau orang kampung melihat kita berdua disini dan
membuat orang tuaku malu.” Hindon berjalan pelan
membelakangi Uma untuk menutup air matanya yang hampir
berlinang.

“Baiklah, aku sangat yakin dengan apa yang kurasakan tentang


perasaanmu. Dan aku menjamin kesetiaanmu untuk menungguku
siap melamarmu,” ungkap Uma.

“Kesetiaanku tidak sanggup mencegah ayahku sebagai wali


mujbir14. Dan tolong jangan terlalu berharap jika tidak ingin sakit,”
jawab Hindon langkahnya terus berjalan.

“Aku tidak akan berharap kepada seseorang yang tidak bisa


memenuhi harapannya sendiri. Aku hanya berharap kepada yang
pasti (Allah),” jawab Uma dengan suaranya yang lebih besar agar
terdengar Hindon yang mulai menjauh.

Hindon sama sekali tidak berbalik. Hatinya yang lemah membuat


air matanya berlinang. Kedua tangannya menetengkan tas dan
barang lainnya membuat air mata yang jatuh itu terus berlinang
membasahi kain jilbab di bagian dadanya. Hindon mencoba
menghentikan derusan air matanya itu tapi tidak bisa. Pikiran dan

14
Wali mujbir adalah ayah atau kakek yang menjadi wali, yang memiliki
hak paksa menikahkan anaknya yang bikir (perawan).
hatinya saling membicarakan perjuangan Uma menemuinya
terbalas dengan jawaban yang mengecewakan.

Inilah bukti cinta, ia memiliki telinga mendengar rintihan hati sang


kekasih, ia memiliki hati yang senyawa dengan hati sang kekasih.

Hindon bukan menangis hanya untuk kesedihannya sendiri, tapi


juga merasakan kekecewaan dari orang yang dicintainya, yang
telah berjuang melintasi jalan raya, menemuinya berharap
mendapat kabar bahagia untuk menghibur kelelahannya malah
menerima jawaban yang sangat mengecewakan. Hindon mengerti
perasaan itu, tapi dia tidak bisa menolong, dan membuat
kesedihannya semakin bertambah, kesedihannya bertindih. Kini
Hindon sudah merasakan beberapa maqasid (maksud) dari hasil
mabadi (permulaan) cinta, yaitu ; Sedih, susah, gelisah, cemburu,
dan kecewa. Tinggal satu lagi yang belum dirasakannya yaitu ;
Bahagia. Dan dia tidak tau bagaimana mencapai kebahagiaan itu.

Uma berdiri tidak langsung balik pulang untuk menyakinkan


dugaannya itu benar atau tidak. Ia menanti Hindon mengusap air
matanya menandakan dugaan Hindon mencintainya itu benar
terlihat dari kesedihannya itu. Lama Uma menanti tangan itu
tergerak tapi sampai Hindon hilang di pandangannya tidak juga
ada tanda-tanda air mata berlinang.

Kecewa, sangatlah kecewa. Begitulah yang dirasakan Uma.


Hamparan sawah tandus dan burung pipit terbang mencari biji
padi di celah-celah tanah retak menjadi saksi kekecewaannya. Dia
tidak menyangka orang seperti Hindon, orang yang dikagumi,
dipuji, dan dicintai. Tidak menghargai perasaan dan
perjuangannya sedikit pun.

Uma pun pulang membawa oleh-oleh sakit hati dicampakkan,


terbungkus kekecewaan.

“Kenapa denganmu? Atau aku yang salah menduga. Kusangka


menjadi tempat buatku tinggal, menjadi alasan meninggalkan
perbuatan keji sebelumnya. Hatiku telah terlanjur menilaimu
sebagai sutra yang lembut dan lentur memahami perasaan orang
lain, ternyata kenyataan hari ini membuktikan hatimu bagaikan
tembok bangunan permanen yang tidak bisa menembus suara
perasaan orang lain,”

“Bukan lelah perjalanan mengejarmu yang kusesali, tapi kelelahan


pikiran tidak berpikir jernih dalam menilaimu. Kini, kau telah
berhasil menjadi wanita kompleks. Hadir mengawali rasa kejut
cinta tak terhingga , lalu diakhiri rasa sakit hati yang belum
kurasakan sebelumnya,”

“Cukup sudah, kesimpulan sudah kutemukan. Aku tidak boleh


bodoh dalam menyalahkan diriku sendiri. Yang sudah memang
tidak bisa dihindari. Sudah cukup kuberpikir yang bukan-bukan
tentang dirimu. Tenang saja, dirimu tidak akan ku-Kutuk. Soal
sensitiv rasa, mungkin itu hanya berlaku untukmu saja, untuk
hatimu tidak hancur. Bukan hati yang lain. Atau bagaimana yang
sebenarnya? Ah! Sudahlah, masih banyak urusan yang harus
kupikirkan. Soal rasaku kepadamu, kupercayai kepada hatiku
secara perlahan pasti akan hilang.”
Sakit perdana yang baru dirasakannya. Tidak pernah ia merasakan
sakit hati karena cinta seperti itu sebelumnya. Uma terhujam,
hari-harinya berlalu tidak bergairah, mencoba bangkit dari
keterpurukan itu tapi sulit. Cinta yang begitu dahsyat dialaminya
berharap menghasilkan kebahagiaan ternyata kesedihan,
kehancuran dan kegalauan yang menimpa.

Hindon berharap kepulangannya ini menciptakan ketenangan


malah melahirkan kegelisahan. Gelisah akan perasaan yang
dicintainya itu, apakah akan berlangsung lama.

Seiring berjalan waktu. Uma bangkit dari keterpurukannya. Ia kini


ingin fokus melanjutkan perguruan tinggi di universitas kesehatan.
Memilih universitas di ibukota provinsi dan jauh dari orang tua.
Tidak ada hubungan dekat dengan wanita manapun setelah itu.
Alasannya, pertama karena trauma atas perlakuan sebelumnya.
Kedua, rasa cinta kepada Hindon belum sepenuhnya hilang dan
masih menyisakan secercah harapan.

Sedangkan Hindon masih terbayang rasa kekecewaan Uma. Dan


akan berusaha menebusnya suatu saat.

Hindon tidak melanjutkan sekolah. Hindon memilih masuk dayah.


Memperkuat karakternya sebagai wanita muslimah, memperbaiki
jiwanya kembali, menenangkan diri dengan wirid rutinitas di
dayah, dan doa memohon ampun atas merasa bersalah yang
masih membayangi serta meminta petunjuk agar dipermudah
jalan bertemu dengan cinta pertama yang sulit dilupakannya itu.

Seandainya takdir sudah menentukan mereka tidak berjodoh, doa


menjadi proposal agar takdir itu dibalik.
Imam Ghazali berkata : “Jika dikatakan, apa gunanya berdoa kalau
takdir tidak bisa ditolak? Ketahuilah bahwa, termasuk takdir
adalah menolak bencana dengan doa. Jadi doa itu merupakan
sebab tertolaknya bencana dan adanya rahmat, sebagaimana
perisai menjadi sebab untuk menolak senjata dan air menjadi
sebab keluarnya tanaman dari dalam tanah.”
Keputusan

2015, Desa Catok Peng.

Pada tahun itu kondisi desa Catok Peng terlihat sudah banyak
perubahan. Bantuan pembangunan mulai tersentuh di desa yang
mayoritas penduduknya berprofesi petani itu. Jaringan listrik
sudah tersambung, di jalannya setiap 60 meter terpasang tiang
listrik penerang jalan, tiang telkom juga sudah dibangun di area
tanah warga membuat jaringan komunikasi semakin mudah.
Dengan adanya jaringan listrik, beberapa rumah mulai aktif
menonton televisi walau mereka tetap mengatur jadwal.

Kekurangannya masih pada jaringan internet. Jaringannya


terputus jika sudah menginjak di desa tersebut dan sekitarnya.
Hingga nilai positifnya adalah warganya masih belum terpengaruh
dengan dunia luar, dan negatifnya mereka banyak tertinggal
informasi pemberi keluasan pikiran.

Pada hari itu, Hindon di rumah masih menikmati libur hari raya
dan kembali mondok pada hari raya sepuluh. Hindon sudah
memiliki handphone pribadi yang dibelikan ayahnya, hanya
berfungsi sebagai nelpon, SMS, dan main game ular. Sejak ada
handphone Hindon sering saling nelponan dengan Siti saat waktu
senggang.

Empat tahun sudah berlalu, Hindon dan Siti tidak membicarakan


tentang Uma lagi, Siti sudah melupakannya. Tidak dengan Hindon
dia masih teringat dengan Uma namun tidak pernah menceritakan
dan menanyakannya kepada Siti. Pembicaraan mereka sebatas
saling memberi informasi kondisi di desa dan di kota.
Hindon kembali ke dayah dan pulang lagi ke rumah saat perayaan
maulid nabi.

Di penghujung umur 19 tahun, badai menerpa hamparan sawah


menghantam rumah panggung yang di dalamnya ada seorang
gadis.

Abdurrahman dipanggil Rahman, umurnya memasuki 35 tahun.


Anak sulung toke Ali, ayahnya pengusaha pabrik penggilingan
padi. Rahman sudah 20 tahun beraktifitas belajar mengajar di
dayah, dan dia sudah dapat rekomendasi dari pimpinan dayah
tempatnya belajar untuk mendirikan dayah sendiri di desanya
Catok Peng.

Rahman pulang dan memberitahukan keinginannya dan gurunya


itu kepada ayahnya. Ayahnya sangat setuju, untuk pembangunan
sarana dan prasarana ayahnya siap menanggung semua itu.

Sebelum Dayah itu berdiri Rahman meminta kepada ayah dan


ibunya untuk menikah terlebih dahulu.

“Kamu sudah ada calon Nak?” tanya ibunya.

“Saat ini belum ada bu, tapi Rahman pernah melihat salah satu
gadis di desa ini mengaji di sana. Namanya sudah lupa, ayahnya
kalau tidak salah wak Sop,” jawab Rahman yang mengagumi
Hindon.

“O ... Yusuf. Istrinya sering membawa padi kesini untuk digiling,”


sahut ayah Rahman. “Berarti anaknya kak Yah, ya,” tanya ibunya.

“Iya bu,” jawab ayahnya.


“Iya mungkin itu bu, bisakah ayah dan ibu melamarnya. Karena
Rahman tidak lengkap jika sudah punya dayah tapi istri belum
ada,” ucap Rahman penuh harap bisa bersanding dengan Hindon.

Seperti biasanya seminggu sekali ibu Hindon, Juwairyah


membawa padi ke toke Ali untuk di giling. Asiah ibunya Rahman
sudah menanti kedatangan Juwairyah untuk membicarakan
perjodohan anak mereka berdua.

“Ini berapa lama tahannya kak Yah,” tanya Asiah memulai basa-
basi. “Sepuluh kadang delapan hari sudah habis, tergantung
jumlah konsumsi,” jawab Juwairyah.

Selesai padi digiling menjadi beras Juwairyah hendak pulang tapi


dicegat oleh Asiah.

“Kak Yah, jangan pulang dulu. Boleh kita bicara sebentar,” ajak
Asiah.

“O ...boleh,” Juawairyah menerima tawaran langka itu.

“Kak Yah, kita sudah lama saling kenal satu sama lain. dan saya
sangat mengenal kak Yah, orangnya baik, rajin dan suka
membantu suami. Oleh karena itu, saya punya hajat agar
hubungan kita ini semakin erat dengan mengikat tali
persaudaraan,” ucap Asiah.

“Alhamdulillah jika begitu, saya pun senang bisa kenal dan dekat
dengan kak Siah,” kata Juwairyah.

“Berarti kakak setuju?” “Setuju apanya ya, saya masih kurang


paham,” tanya Juwairyah.
“Begini kak, anak saya Rahman mau mendirikan dayah di desa
kita.” “O .. .Alhamdulillah itu sangat baik, saya sangat setuju.”
Juwairyah memotong bicara Asiah.

“Bukan hanya itu, tunggu dulu. Rahman ingin sebelum dayahnya


berdiri dia sudah memiliki istri.” “Siapa calonnya, pasti cantik dan
alim seperti Rahman,” tanya Juwairyah.

“Jelas lah kak, kakak pasti kenal.” “Siapa? Gadis di desa kita juga.”

“Iya kak. Hindon kak, anaknya kakak. Rahman menyukainya dan


meminta untuk segera melamarnya. Setuju kan kak,” Kata Asiah
dengan wajah penuh harap.

“Saya sangat setuju. Karena saya suka menantu saya orang yang
paham ilmu agama. Tapi saya harus tanya dulu pendapat Hindon
dan ayahnya. Apakah mereka setuju,” jawab Juwairyah.

“Baik kak, tolong kabarin ya kak biar segera kita laksanakan acara.
Lebih cepat kan lebih baik,” ucap Asiah. “Insya Allah kak,” kata
Juwairyah sambil berjalan keluar. “Bujuk ayahnya sebagai wali
mujbir. Manfaatkan dengan baik,” kata Asiah membisik di telinga
Juwairyah.

Juwairyah sangat senang mendengar kabar tersebut. Sepanjang


perjalanan pulang ia senyum sendiri saking senangnya akan
memiliki menantu yang alim ilmu agama plus pimpinan dayah.

“Ayah ... ayah ...” Juwairyah langsung menemui suaminya yang


sedang mengasah cangkul di bawah rumah.
“Ada apa? Kok kelihatannya senang sekali,” tanya Yusuf. “Ada
kabar bahagia Ayah.” “Kabar bahagia apa? Langsung saja.”

Hindon di atas dalam rumah panggung itu sedang menyapu


berhenti. Karena mendengar ada suara orang tuanya di bawah,
sebagai takdim.

“Hindon yah ... Hindon.” “Iyaaa apanya Hindon.” “Hindon


sebentar lagi akan ada suami yah,” ucap Juwairyah. Hindon dari
atas yang sudah berhenti dari menyapu tidak sengaja terdengar
ucapan ibunya itu.

“Siapa suaminya,” tanya Yusuf. “Rahman anaknya toke Ali yah, dia
mau mendirikan dayah di sini, tapi sebelum itu dia ingin menikah
terlebih dahulu dan pilihannya adalah Hindon. Gimana yah, tidak
senang memiliki menantu pimpinan dayah.” Juwairyah benar-
benar senang dia kegirangan.

“Jangan gegabah, kita tanyakan dulu sama Hindon. Dia setuju atau
tidak,” jawab Yusuf. “Ayah kan wali mujbir bisalah memaksanya
untuk menikah,” kata Juwairyah.

“Wali mujbir itu ada ketentuannya, tidak sekedar anak kita


seorang bikir (perawan), kita semena-mena kepadanya.” Yusuf
menjelaskan sambil batu asahnya menggosok di mata cangkul.

“Ketentuan seperti apa yah?” tanya Juwairyah.

“Wali mujbir itu harus melengkapi syarat,” jawab Yusuf.

“Ayah kan sudah mencukupi syarat, yaitu : antara ayah dan


Hindon tidak ada permusuhan, calon suami sekupu (sepadan)
sama-sama orang mengaji, calon suami orang kaya dan mampu
membayar mahar, dan antara Hindon dan Rahman tidak ada
permusuhan karena mereka tidak saling kenal sebelumnya.”
Juwairyah menjelaskan.

“Rahman itu berapa umurnya,” tanya Yusuf. “Kalau tidak salah


sekitar 35-an yah. Begitu kata ibunya,” jawab Juwairyah.

“Nah, mereka berdua memiliki selisih umur yang jauh anak kita
belum genap 20 tahun. Apakah anak kita akan senang jika kita
memaksanya, apakah ibu bisa menjamin dia tidak tersiksa lahir
batin setelahnya, apakah ibu lupa bahwa makruh hukumnya
memaksakan anak menikah dengan orang yang jauh lebih tua
darinya. Gimana bu?” tanya kembali Yusuf untuk memperjelas
keinginan Juwairyah.

“Ibu bisa menjamin kesenangan Hindon yah. Ibu sangat kenal


dengan Rahman dan keluarganya dan yakin Hindon akan senang
hidup bersama mereka,” jawab Juwairyah masih kuat dengan
keinginannya.

“Ayah tidak mau egois bu. Yang terpenting anak kita senang lahir
dan batin. Nanti malam kita tanyakan kepada Hindon dan tanpa
unsur pemaksaan. Ingat itu bu, demi anak kita, “ ucap Yusuf
mempertegas kebijakannya sebagai ayah yang berhak
mengemban wali mujbir tapi tidak egois memanfaatkan itu.

Hindon setelah mendengar ucapan ibunya itu timbul rasa gelisah.


Dia tidak suka kepada orang yang akan dicalonkan, dia masih
mengharap Uma yang datang melamarnya meski tidak tau
bagaimana caranya. Hindon mulai berpikir bagaimana cara
menghadapi orang tuanya nanti saat menanyakan perihal itu. Dan
berpikir apakah perasaan Uma kepadanya masih seperti dulu atau
sudah bersama orang lain, Hindon tidak mengetahui itu. dan
mencoba menghubungi Siti untuk memastikannya. Karena itulah
saatnya untuk menebus kekecewaan Uma dahulu.

“Assalamualaikum Ti, ada nomor bang Uma sama kamu,” tanya


Hindon melalui telpon.

“Aku cek dulu ya. Nanti aku kirim setelah ini. Tapi sudah lama
tidak melihatnya kudengar dia pergi ke Kutaraja kuliah disana.
Tapi ada apa Ndon kok mendadak seperti ini.” jawab Siti.

“Baik Ti, tolong segera Ti ya, nanti kuceritakan. Assalamualaikum.”


Hindon menutup telponnya.

Setelah itu Siti segera mengirim nomor seluler Uma. Dan Hindon
tidak seperti biasanya pemalu dan penakut. Hari itu dia tidak
sadar sudah berani menelepon Uma. Panggilan terhubung tapi
Uma tidak mengangkatnya.

Di sana Uma tengah sibuk di depan layar laptopnya dan melihat


handphone berdering dengan nomor tidak dikenal, Uma
membiarkannya tidak mengangkat.

“Ya Allah bang ...kenapa tidak diangkat?” Hindon susah. Lima kali
di teleponnya pada waktu yang sama, semuanya tidak diangkat.

“Siapa dulu ini, mengganggu saja.” Uma mematikan handphone-


Nya karena merasa terganggu.
Hindon mencoba percobaan ke-enam dan kali ini terdengar suara,
Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar
jangkauan. Cobalah beberapa saat lagi.

Dan, Hindon yakin bahwa Uma sudah mematikan handphone-Nya


karena merasa terganggu. Lalu Hindon mengirim pesan untuk
memberitahu bahwa itu dia dan meminta tolong telpon balik saat
ada waktu.

Sampai malam tiba, belum ada telpon balasan dari Uma.Hindon


mulai berpikir bahwa, Uma pasti sangat kecewa saat itu dan
melupakannya.

Dari magrib sampai isya Hindon meninggalkan makan bersama


keluarga seperti biasa, untuk tetap menunggu handphone
berdering panggilan dari Uma tapi hasilnya nol.

Usai isya Hindon dipanggil ibunya. Dia tahu apa tujuannya


dipanggil dan telah siap menerima apapun konsekuensinya.

“Duduk sini dulu nak, ada yang mau ibu dan ayah sampaikan,”
ucap ibunya. “Hindon boleh izin makan dulu bu,” minta Hindon
mengalihkan waktu lebih lama berharap ada telpon panggilan saat
jeda itu. Hindon sengaja memperlambat makannya, usaha
menunggu menanti telpon panggilan tak kunjung hadir. Hindon
kini hadir di meja makan bersama ibu dan ayahnya mendengarkan
tawaran yang sudah diketahuinya.

“Begini nak, kamu kan sudah besar dan semakin bertambah


cantik, saat ini banyak pria di desa kita menanyakanmu. Ibu takut
kamu disukai oleh orang yang tidak baik dan tidak memiliki ilmu
agama. Usiamu pun sudah tergolong matang. Dan tadi ibu
menerima kabar bahagia, bahwa Rahman anaknya toke Ali mau
mendirikan dayah, tapi sebelum itu dia mau melamarmu menjadi
istrinya. Ibu dan ayah setuju, kamu juga pasti setuju dengan
pilihan orang tuamu kan nak,” ucap Juwairyah.

Hindon bingung dalam menjawab. Menjawab tidak, ditakutkan


orang tuanya marah dan kecewa karena sebelumnya sudah
melarang menjalin hubungan dengan pria kota. Menjawab iya,
sama saja seperti membunuh jiwa kebahagiaanya karena
bayangan Uma pasti akan sangat sulit untuk dilupakan. Jika
menjawab tidak mau, apakah ucapannya nanti kepada orang tua
bahwa ada pria lain yang menantinya dari kota itu bisa mewakili
perasaan Uma saat ini. Sebab belum ada kepastian dari Uma
tentang perasaannya saat ini untuk Hindon.

“Kenapa bengong nak. Diam berarti tandanya setuju yah,” ujar


Juwairyah merasa bahagia anaknya hanya diam menandakan dia
setuju dengan keputusannya.

“Tidak bu. Maaf Hindon tidak setuju,” jawab Hindon nekat.

“Hah ...kenapa nak, dimana salahnya Rahman kenapa kamu tidak


mau,” tanya Juwairyah. “Rahman tidak salah bu, Hindon belum
mengenalnya. Juga Hindon sedang menanti seseorang untuk
melamar Hindon bu,” jawab Hindon semakin berani
mengungkapkan perasaannya.

“Orang mana Hindon ...orang mana? Sejak kapan kamu kenalan


dengan laki-laki?” tanya ibunya kembali yang terkejut seorang
Hindon yang jarang keluar rumah bisa kenalan dengan laki-laki.
“Saat Hindon sekolah bu,” jawab Hindon.

Juwairyah mulai murka tapi masih tertahan lalu berkata, “Ya Allah
Hindon ...kamu tidak dengar ya apa yang ibu amanahkan
kepadamu. Bahwa ibu tidak suka dan tidak merestui pria kota
manapun.”

“Kenapa bu? Kenapa?” tanya Hindon dengan menatap ibunya


dengan air mata yang mulai basah.

“Kamu tidak perlu tau kenapa. Kamu hanya harus patuh ucapan
ibu karena itu yang terbaik bagimu,” jawab Juwairyah.

“Tapi Hindon sangat mencintainya bu, belum pernah sebelumnya


merasakan perasaan seperti ini dan Hindon merasa bersalah
karena mengabaikan perasaannya dulu. Hindon sudah berusaha
melupakannya karena mengingat ucapan ibu, tapi sulit bu. Itu
membuat Hindon tersiksa dan selalu teringat-ingat bu. Tolonglah
bu, beri kesempatan bagi Hindon untuk memperbaiki kesalahan
itu, Hindon ingin bahagia bersamanya, bersamanya Hindon akan
terlepas dahaga kerinduan ini bu,” jawab Hindon air matanya
mulai jatuh.

“Ya Allah ...baru setahun kamu tinggal di kota sudah pandai


memainkan drama. Ayah, tolonglah bicara sama dia. Ucapanku
mungkin tidak laku lagi baginya,” ucap Juwairyah kecewa.

“Ya Allah ibu, tolonglah jangan begitu. Hindon sangat mengharap


ibu memberi kesempatan untuk ini bu. Tolonglah bu, kebahagiaan
Hindon tidak akan lengkap jika ibu seperti ini.” Hindon duduk
berlutut mendengar ucapan kekecewaan ibunya itu.
“Ya sudah Hindon, kamu silahkan masuk ke dalam. Biar ayah dan
ibu yang bicarakan ini. Besok apapun keputusan dari kami, kamu
tidak boleh menolaknya,” ucap Yusuf mempersilahkan Hindon
masuk.

Hindon masuk ke kamar menangisi kesedihannya.

“Lihatkan bu, dia tidak setuju jangan dipaksa,” ucap Yusuf kepada
Juwairyah.

“Lalu ayah akan setuju dia bersama orang kota itu,” tanya
Juwairyah.

“Jika memang dia orang baik apa salahnya bu.” “Apakah ayah
belum tau karakter orang kota itu. mereka manja, malas, dan
tidak bertanggung jawab. Dan pergaulan mereka terlalu bebas
apakah ayah suka dengan menantu seperti itu,” ucap Juwairyah
diam sejenak lalu melanjutkan.

“Apakah dia menunaikan shalat, puasa. Bagaimana dengan ilmu


agamanya, apakah ayah yakin dengan itu semua. Juga dia dari
suku mana, apakah ayah yakin dia orang kita.”

“Ibu jangan terlalu temperamen seperti itu. Ibu kan juga belum
tau bagaimana dia sebenarnya, kenapa berani menuduh
seseorang malas, manja, tidak bertanggung dan tidak beragama.”

“Kebanyakan orang kota begitu yah, makanya ibu sudah melarang


Hindon dekat dengan mereka tapi dia tidak mendengarkan
ibunya.”
“Soal suku bagi ayah suku manapun tidak masalah. Baik itu Aceh,
Jawa, Batak, Padang dan sebagainya. Selama dia seagama dan
orang baik,” ucap Yusuf.

“Ayah berkata begitu karena tidak mengalami apa yang ibu alami
yah.” Juwairyah mengungkapkan perasaan ketidaksukaannya
kepada suku diluar Aceh. Juwairyah belum bisa melupakan
kepergian ayahnya yang meninggal di tembak oleh TNI pada masa
Daerah Operasi Militer (DOM) saat konflik melanda Aceh
beberapa tahun silam. Dan berkeyakinan anggota TNI yang
berperang melawan pejuang GAM15 saat itu adalah mereka dari
suku Jawa dan suku lainnya di luar Aceh. Sejak saat itulah
Juwairyah benci dan dendam kepada suku di luar Aceh, dan
beranggapan mayoritas yang tinggal di kota itu bukanlah orang
Aceh murni. Itulah alasannya melarang Hindon menjalin
hubungan dengan mereka.

“Aku tau apa yang kamu rasakan bu. Ayah juga mengalami itu saat
adik saya ditembak karena dituduh sebagai separatis. Dan saat ini
waktunya kita membuang rasa dendam dan benci itu bu,” ungkap
Yusuf juga menceritakan kisah pilu kehilangan adik kandungnya
yang dituduh sebagai anggota GAM lalu dibawa ke hutan dan
ditembak oleh tentara.

15
Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM (bahasa Aceh: Geurakan Acèh
Meurdèka) adalah sebuah organisasi separatis yang memiliki tujuan
supaya Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik
antara pemerintah RI dan GAM yang diakibatkan perbedaan keinginan
ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya
hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh
Sumatra National Liberation Front (ASNLF). (Sumber: Wikipedia)
“Maka, mari kita buang rasa itu. kita beri kesempatan untuk
Hindon memilih berdasarkan hatinya. Ayah tidak ingin melihat
anak sengsara gara-gara pilihan orang tuanya,” sambung Yusuf.

“Baiklah, jika ayah berkata begitu. Apakah perangkat desa dan


para orang tua disini akan setuju dengan kebijakan ayah. Mereka
semua juga korban konflik sama seperti kita. Banyak diantara
mereka yang kehilangan keluarga,” ungkap Juwairyah.

“Itulah rencana ayah. Besok tolong pergi ke pasar kita buat


khanduri dan mengundang para perangkat dan orang tua
kampung untuk meminta dukungan dan pendapat mereka. Agar
kita tidak dicela nantinya,” tutup Yusuf.

Dalam kamar Hindon masih menangis melihat kekecewaan ibunya


terhadapnya. Dia terpaksa berani menungkap itu demi
mewaspadai tekanan hatinya saat dia beristrikan suami yang
bukan dia cintai.

Dia sadar apa yang sudah dilakukannya terhadap ibunya tidaklah


baik. Tapi hati sudah terlanjur cinta, berharap dapat memiliki
orang yang dicintainya tidak peduli penghalang yang menghadang
walau itu ibunya.

Sikap Hindon bisa dikomentari dari opini yang berbeda. Pertama


salah, dia salah sebagai anak meragukan pilihan orang tuanya,
yang sangat mengetahui cara anaknya hidup bahagia. Dia juga
telah salah menyukai seseorang yang sudah dilarang oleh orang
tua sebelumnya.
Kedua benar, tindakan Hindon bisa dikatakan benar karena
menyangkut soal hati. Mulut boleh melarang tapi jika hati sudah
tersentuh larangan apapun itu akan terabaikan, inilah fitrah
seorang manusia khususnya perempuan yang dominan di bidang
perasaan. Juga dapat dikatakan benar, Hindon tidak mau
mendustai kepatuhannya kepada orang tua, hari ini dia patuh
menerima pinangan tawaran dari orang tua, suatu saat dia akan
durhaka dengan orang tuanya karena telah berselingkuh,
mengkhianati suami pilihannya orang tuanya. Ini adalah hal yang
banyak terjadi di jaman ini, selingkuh karena tidak ada rasa saling
mencintai dari pasangan suami istri. Membuat salah seorang
pasangan berpaling ke hati yang dicintai hingga pasangannya yang
sah dikhianati. inilah kewaspadaan dari Hindon agar tidak terjadi
hal yang dilarang oleh agama suatu saat kelak.

Anggapan seperti ini tidaklah mutlak. Ada juga yang menikah dari
saling mencintai berakhir perceraian, ada juga menikah
dijodohkan berujung kebahagiaan.

Malam itu Hindon masih menanti jawaban dari Uma. Dia tidak tau
apa yang terjadi kenapa Uma tidak menelepon balik. Atau kenapa
tidak merespon pesannya. Dia coba hubungi lagi, ternyata
handphone-Nya masih belum aktif. Hindon merasa sedikit lega,
dengan berpikir Uma belum pasti mengabaikan dan
melupakannya.

Hari berganti, belum juga ada kabar dari Uma. Hindon menemani
ibunya pergi ke pasar untuk belanja. Tampak raut wajah ibunya
masih kecewa dengannya. Dan disela istirahat, ibunya sempat
bertanya perihal pilhannya itu, siapa orang tuanya, suku apa, ada
mengaji atau tidak, apakah rajin ibadat. Semua pertanyaan itu
Hindon jawab, “Tidak tahu bu. Yang Hindon yakini dia orang baik.”

Juwairyah tidak punya daya mencegah dan menolak pilihan


anaknya tersebut, kekuasaan ada di tangan suaminya sebagai
wali.

Matahari hampir menutup diri, malam hampir tiba. Uma belum


juga mengkabari Hindon.
Muwafakat

Hari sudah gelap langit masih menyisakan cahaya syafaq merah.


Di mesjid, masyarakat baru saja menyelesaikan shalat magrib
berjamaah.

Sebahagian warga menuju ke rumah Yusuf menghadiri undangan.


Yang terdiri dari ; Imam kampung, imam mesjid, imam dusun,
geuchik16, ketua tuha peut17 beserta anggota, kepala dusun,
sekdes, dan perangkat kampung lainnya.

Mereka menghadiri undangan Yusuf untuk acara samadiah dan


tahlil yang diqasadkan bagi seluruh arwah orang muslim yang
telah meninggal. Selesai berdoa dan khanduri, mereka dilanjutkan
dengan musyawarah mengenai hajat Yusuf, yaitu persoalan calon
menantu.

Bukan suatu hal yang aneh bagi desa Catok Peng jika setiap
permasalahan itu diadakan musyawarah menanyakan pendapat
kepada orang tua kampung, walaupun itu persoalan rumah
tangga. Dan warga yang sedang mengalami masalah tidak segan
meminta pendapat, itu semua karena seluruh warga di desa itu
sudah seperti saudara sedarah. Itulah yang berlangsung di desa
Catok Peng hingga saat itu.

16
Geuchik merupakan sebutan masyarakat Aceh kepada kepala desa
atau lurah.
17
Tuha Peut merupakan unsur pemerintahan kampung yang berfungsi
sebagai badan permusyawaratan gampong yang disebut legislatif
gampong.
Hindon di kamar masih dengan mukenanya berdoa dan
membacakan ayat suci alquran selama acara musyawarah itu
berlangsung. memohon semoga Allah menghendaki keputusan
yang terbaik.

Di dapur, para ibu-ibu yang membantu Juwairyah untuk jamuan


makan bagi para tamu undangan, ikut menyaksikan proses
musyawarah itu. Turut hadir juga Asiah, ibunya Rahman.

Ibrahim, geuchik desa Catok peng memulai kata sambutan setelah


memberi salam, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita
kesehatan hingga kita semua bisa berkumpul di rumah saudara
kita untuk memusyawarahkan hajat yang ingin dicapai. Shalawat
dan salam kepada baginda Rasulullah pemberi cahaya penerang
bagi umat dari kejahilan, serta bagi keluarga dan sahabat beliau
sekalian. Yang kami hormati, tanpa menyebut nama dan pangkat.
Kepada seluruh orang tua kami yang hadir di tempat yang
berbahagia ini. Bapak Yusuf meminta pendapat kepada kita
mengenai calon menantu yang dipilih oleh putrinya sendiri,
Hindon. Yang mana calon menantu tersebut berasal dari kota Lek-
lap. Kota tempat tinggal warga yang berasal dari beberapa suku di
negeri ini. Maka langsung saja, siapa yang terlebih dulu memberi
tanggapan silahkan.”

Yakob, ketua tuha peut desa Catok Peng menunjuk tangan sebagai
pemberi tanggapan yang pertama. Memberi salam lalu bertanya,
“Yusuf, apakah saudara tahu dia dari suku mana?”

“Belum tahu, karena anak saya tidak tahu. Dia belum pernah
bertanya itu,” jawab Yusuf.
Yakob melanjutkan tanggapannya, “Tegas saya katakan, jika
calonnya itu adalah bukan suku kita Aceh. Saya berjanji tidak akan
menghadiri acara pernikahannya. Mohon maaf saudara Yusuf jika
tersinggung.”

“Terima kasih kepada bapak Yakob yang sudah memberi


tanggapan. Yang lain silahkan,” ucap geuchik Him.

“Saya sependapat dengan bapak Yakob. Namun yang paling anti


bagi saya adalah suku Jawa,” sahut Sulaiman, kepala dusun.

“Boleh berikan alasan keberatannya masing-masing,” kata


Geuchik Him meminta penjelasan dari Yakob dan Sulaiman
tentang penolakan mereka.

“Saya duluan pak geuchik,” Sulaiman meminta terlebih dulu. “Ya


silahkan.”

“Apakah kita lupa sejarah. Siapa yang telah mengkhianati bangsa


Aceh, ketika masyarakat kita membantu membeli pesawat dan
kapal laut untuk negeri ini. Apa balasan dari presiden saat itu, apa
sukunya. Apakah kita juga lupa masa ketika ditetapkan Daerah
Operasi Militer (DOM) di bangsa kita, yang membuat keluarga kita
banyak yang meninggal. Anak menjadi yatim, istri menjadi janda,
kehilangan saudara. Presiden saat itu dari suku mana? Dan apakah
kita juga lupa, saat seorang perempuan mencalonkan diri sebagai
presiden lalu berkata, Cut Nyak tak akan membiarkan setetes
darah pun darah tumpah di Tanah Rencong. Lalu beberapa tahun
kemudian dia memimpin kembali meningkatkan operasi militer di
tanah kita. Perempuan itu dari suku mana? Kenapa kita
melupakan itu semua,” ungkap Sulaiman penuh emosional.
Suasana ruang yang ceria setelah menikmati khanduri seketika
menjadi haru, semua hadirin pengisi musyawarah yang
merupakan korban konflik terbayang kembali suara letusan
tembakan yang membuat mereka trauma dan takut jika
mengingatnya.

Di dapur kalangan ibu-ibu menangis tersedu-sedu, mereka


mengingat keluarga, suami dan anak yang meninggal saat masa
konflik. Suasana tegang dan ceria di ruang itu berubah menjadi
tangisan haru. Juwairyah yang duduk di samping Asiah ikut
menangis sambil memeluk Asiah, mengingat ayahnya yang
meninggal saat masa DOM.

“Selanjutnya kepada Yakob, silahkan berikan alasan kenapa tidak


mau menghadiri acara pernikahan jika menantunya bukan suku
Aceh,” Geuchik Him mempersilahkan.

“Baiklah terima kasih Pak Geuchik. Pernyataan yang diberikan


saudara Sulaiman telah mewakili perasaan yang saya alami. Selain
itu alasan saya adalah desa kita ini desa yang bersih, bersih dari
pengaruh luar. Adat istiadat masih kuat di desa kita ini, hidup
sosial keagamaan juga masih kental pada masyarakat kita. Dan
saya sebagai ketua tuha peut, tidak mau apa yang telah kita jaga
selama ini ternodai karena kedatangan orang luar yang tidak
paham adat istiadat bangsa kita dan hukum agama yang telah kita
tanamkan kepada anak-anak kita. Jadi itulah alasan saya semoga
menjadi pertimbangan. Terima kasih,” ungkap Yakob tegas dan
emosional.
Mendengar pernyataan kedua perangkat kampung itu, membuat
Asiah optimis, Yusuf akan menolak lamaran dari kota dan akan
menerima lamaran anaknya.

”Pak geuchik izin saya bicara,” ujar Teungku Muhammad, imam


kampung desa itu. memecahkan kesunyian dari kesedihan.

“Iya Teungku, silahkan.”

“Terima kasih kepada saudara Yakob dan Sulaiman yang sudah


memberi tanggapannya. Saya kelahiran tahun 40-an, jadi sangat
paham dan bisa merasakan gejolak yang terjadi di Tanah Rencong
ini. Saya juga korban konflik, kedua orang tua saya sama-sama
meninggal saat masa konflik, jadi jika dikatakan dendam saya
layak dendam, jika dikatakan benci saya juga sangat layak untuk
benci dan marah,” ucap Teungku Muhammad orang yang paling
tua dalam forum itu dan suaranya sangat berpengaruh. berhenti
sejenak mengatur nafas efek dari usianya, lalu melanjutkan.

“Dan maaf saya katakan kepada saudara saya semua. Rasa


dendam dan benci itu tidak layak lagi kita perlihatkan kepada anak
cucu kita yang sedang merasakan nikmatnya perdamaian di negeri
ini. Cukuplah kita yang merasakan kepedihan dan kesusahan.
Jangan kita tulari kepada anak cucu kita dengan provokasi yang
bisa memperkeruh persatuan. Biarkan mereka hidup selamanya
seperti saat ini, damai, tenang, bebas bergerak karena tidak takut
terkena peluru nyasar, dan telinga mereka tidak pekak mendengar
suara tembakan. Jadi sekali lagi saya kurang setuju dengan
pendapat kedua saudara saya.” Teungku Muhammad berhasil
membuat suasana hati panas para hadirin setelah mendengar
pendapat Yakob dan Sulaiman, menjadi adem dan tenang
kembali.

“Saya sangat setuju dan mendukung pernyataan dari teungku


imam,” ujar Sekdes. “Dan saya ingin berkomentar sedikit
pernyataan dari saudara Yakob,” minta Sekdes. “Baik silahkan.”
Geuchik mempersilahkan.

“Apa yang dikatakan saudara Yakob benar tapi keliru. Beliau benar
bahwa kita harus menjaga tradisi adat istiadat yang sudah
dilakukan leluhur kita, juga tradisi keagamaan yang harus dijaga
dan diterapkan kepada anak cucu kita. Itu saya mendukung dan
oleh kita semua pasti mendukung. Namun kelirunya adalah ketika
saudara Yakob menyalahkan orang luar yang akan datang kesini
untuk merusak itu semua. Saya tidak yakin dan saya tidak masuk
akal satu orang bisa mempengaruhi ratusan warga kita. Juga,
seandainya mampu kenapa kita tidak memperhatikan
perkembangan teknologi yang sudah masuk di kampung kita,
seperti televisi. Bukankah itu lebih nyata dan jelas membawa
pengaruh yang besar bagi perubahan akhlak moral anak kita.
Terima kasih,” tutup Ridwan, Sekdes Catok Peng.

Suasana di ruang tamu rumah panggung itu menjadi lebih tegang


dan lebih seru. Para perangkat kampung saling memberi
tanggapan masing-masing.

“Izin saya memberi tanggapan pak geuchik,” Yakob meminta


menyampaikan pembelaan tanggapannya. “Baik silahkan.”

“Bapak Sekdes kurang cermat menanggapi pernyataan saya. Saya


tidak mengatakan satu orang bisa mempengaruhi orang
sekampung. Tapi pernyataan saya itu memiliki makna tersirat, jika
satu orang dari luar sudah bisa masuk ke kampung kita, maka
tunggulah akan banyak orang dari luar dari bermacam suku tinggal
di sini. Saat itu saksikanlah anak cucu kita mengabaikan tradisi
adat dan hukum agama yang sudah dijaga sangat baik oleh ayah-
ayah mereka. Dan permasalahan teknologi saya setuju dengan
respon pak Sekdes. Bukan hanya televisi tapi internet yang tidak
lama lagi akan datang di kampung kita. Dan semoga kita bisa
mengantisipasinya sebelum mental dan moral anak kita hancur,”
tutup Yakob dengan senyuman kumisnya yang lebat.

“Bagaimana apakah ada yang memberi tanggapan lagi. Persoalan


mengantisipasi pengaruh teknologi mungkin bisa kita atur di lain
waktu di meunasah18 kampung,” ujar geuchik.

Semua para hadirin diam tidak ada yang menunjuk tangan untuk
memberi tanggapan. Melihat kesunyian itu Geuchik Him
menyampaikan kesimpulan dan menutup acara musyawarah itu.
Asiah dan Juwairyah nampak tegang menanti kesimpulan dari
geuchik yang akan menjadi pertimbangan bagi Yusuf untuk
memberi kebijakan.

“Saya kira tidak ada yang meberi tanggapan lagi, mengingat


malam sudah larut jadi langsung saja saya sampaikan kesimpulan
hasil forum malam ini,” ucap geuchik Him. Kemudian membuka
lemabaran catatan yang dicatatnya selama proses diskusi
berlangsung lalu dibacakan.

18
Bangunan fasilitas umum di Aceh, biasa di dirikan samping mesjid atau
mushalla. Berfungsi sebagai tempat melaksanakan perayaan agama,
pengajian, bermusyawarah dan lain-lain.
“Bismillahirrahmanirrahim. Berdasarkan tanggapan dari saudara
Sulaiman dan Yakob yang keberatan menerima orang dari kota
dan dari suku lain dengan alasan yang sangat jelas. Dan sebagian
sudah ditanggapi pernyataan tersebut oleh Teungku Imam dan
Bapak Sekdes, dan yang bersangkutan saudara Yusuf serta
semuanya sudah mendengarnya. Pasti kita semua dapat dipahami
dan bisa memilih pernyataan yang lebih cocok di hati masing-
masing.”

“Karena tadi ada menyinggung konflik masa lalu, maka saya selaku
pemimpin di kampung ini untuk menghimbau kepada seluruh
warga, agar senantiasa sama-sama kita jaga perdamaian ini. Mari
kita benah bersama demi kemajuan sumber daya manusia (SDM)
anak-anak kita. Sejarah tidak boleh dilupakan, kita harus bercerita
sejarah bangsa kita kepada anak cucu kita. Namun usahakan
sejarah itu jangan menyisakan rasa dendam dan benci, tapi
melahirkan pembelajaran dan pemahaman agar kedepan tidak
terulang kembali sejarah haru.”

“Dan ada tanggapan dari saudara Sulaiman yang belum


ditanggapi. Memang benar yang membuat konflik di Aceh adalah
orang Jawa, tapi kita lupa yang mengajak berunding melalui Mou
Helsinki untuk menjalin perdamaian itu adalah pada masa
kepemimpinan orang suku Jawa.” Geuchik menatap Sulaiman
dengan tersenyum disambut ketawa dari seluruh hadirin.

“Oleh karena itu, jangan gara-gara satu dua orang politik berbuat
kesalahan membuat kita benci sejuta warga sipil. Juga,kita tidak
boleh menyalahkan dan menuduh etnis di luar kita buruk, dan
memfatwa etnis kita adalah yang terbaik. Marilah kita hidup
bersatu dalam keberagaman ini. Dan saya yakin saudara Yakob
dan Sulaiman kali ini pasti setuju,” sambung geuchik.

Yakob dan Sulaiman paham dan menerima nasehat untuk mereka


berdua. Soal hati keduanya tidak ada yang mengetahui.

“Kepada saudara Yusuf silahkan bebas beri kebijakan untuk calon


menantu. Kami tidak akan mengintervensi dan mengintimidasi
keputusan dari saudara. Kita tiba di penghujung, memohon
semoga Allah meridhai pertemuan kita serta menjaga persatuan
dan persaudaran desa kita dalam bingkai bermusyawarah. Forum
ini resmi saya tutup. Kepada Teungku Imam kami minta bersedia
membacakan doa agar acara kita diberkati. Assalamualaikum.”
Geuchik Him menutup.

Selesai imam kampung membacakan doa, seluruh hadirin saling


bersalaman lalu pamit pulang kepada Yusuf selalu ahli bait.

Yusuf sudah mengantongi kebijakan yang akan diberikannya.


Karena malam itu terlalu lelah, Yusuf memilih besok untuk
menyampaikannya.

Dalam kamar, Hindon tidak mendengar diskusi itu. Dia terus


membaca alquran dan berdoa kepada Allah jalan yang terbaik,
sampai tertidur pada sajadah dengan kondisi alquran masih
terbuka.

Hindon yakin kehendak tuhannya adalah yang terbaik, dia siap


menerima takdir yang digariskan kepadanya. Apakah akan
bersanding di pelaminan bersama kekasih atau tidak. Dia sudah
menyerahkan semua itu kepada tuhannya.
Sirih dan Pinang Dalam Puan

Hampir dua malam berlalu sejak Hindon menghubungi Uma


belum juga ada tanda balasan.

Pada hari me-nonaktifkan handphone-Nya, Uma terlalu sibuk


mengerjakan skripsi yang harus diselesaikannya pada tahun uty.
Duduk di warung kopi mulai dari siang mengerjakan skripsi sampai
malam tiba dan pulang Uma sama sekali tidak mengeluarkan
handphone dari saku celananya. Sampai di rumah langsung tidur.

Keesokan harinya ia lupa dimana menaruh handphone semalam.


Karena lelah mencari, Uma melanjutkan mengerjakan skripsi di
warung kopi tanpa membawa telpon genggamnya.

Kembali pulang larut malam Uma mencoba mencari lagi tidak juga
ketemu, Uma sudah pasrah hendak dihubungi, handphone-Nya
dimatikan. Maka, Uma berencana membeli handphone baru
besoknya.

Dari sini, harapan mereka untuk bertemu sudah pupus. Tidak ada
jalan bagi Hindon lagi untuk memberi tahu Uma soal
perjodohannya, juga tidak bisa mengetahui perasaan Uma saat ini.
Hindon yang tertidur di atas sajadah terjaga di tengah malam,
melihat handphone-Nya tidak ada panggilan atau pesan masuk
dari Uma. Hindon pasrah, dia menyagka mungkin tidak bersanding
dengan Uma, inilah yang terbaik.

Esok harinya, Yusuf yang sudah mengantongi kebijakannya


memanggil Hindon dan Juwairyah untuk diperdengarkan.
“Saya sudah memutuskan memberi kesempatan kepada pilihan
Hindon untuk datang kesini melamar. Dalam tempo waktu
seminggu.” “Itu terlalu cepat dan mendesak ayah,” kata Hindon
terkejut.

“Hindon ...apa yang ayah katakan kemarin. Apapun keputusan


hari ini tidak bisa diganggu gugat. Ingat! Jika dalam tujuh hari ini
pilihanmu tidak datang, kamu harus rela menerima pinangan
Rahman,” ucap Yusuf lalu pergi.

“Jika memang pilihanmu itu serius dan tulus, tujuh hari itu
bukanlah waktu yang singkat,” ungkap Juwairyah seperti
mengejeknya.

Hindon stres. Waktu hanya seminggu sedangkan sampai sekarang


tidak ada kabar apapun dari Uma. Tapi dalam hati kecilnya Hindon
masih yakin bahwa, Uma masih mencintainya dan tidak ada kabar
ini mungkin ada halangan yang tidak bisa dihindari. Mencoba
hubungi Siti kembali, tidak jadi. Takut ditanyakan alasannya dan
Hindon tidak bisa memberi tahu Siti jika belum ada kejelasan.

Di Kutaraja, Uma sudah membeli handphone baru dengan nomor


baru. Beberapa kontak yang di-Ingatnya dihubungi guna memberi
tahu bahwa dia kini dengan nomor seluler yang baru. Dan Siti,
Uma sudah lupa dengan Siti maka dia tidak memberitahukannya.

Genap dua hari, dua malam. Uma tanpa kabar.

Pada malam ketiga, Uma dengan handphone barunya sudah


melupakan handphone lama dan tidak ingin mencarinya lagi. Saat
mau tidur keajaiban terjadi, Uma yang sedang merapikan sprei
melihat benda warna hitam di sudut tempat tidurnya. Dia
mendekat dan menggenggam, itulah dia handphone-Nya yang
hilang sudah ditemukan.

“Padahal sebelumnya sudah beberapa kali di cari sekitar sini,” ujar


Uma.

Lalu menghidupkan sambil ngecas handphone tersebut dilihatnya


beberapa panggilan tak terjawab dari nomor baru sampai lima
belas panggilan. “Siapa ini, apakah harus aku telpon balik. Tapi ini
sudah larut,” gumam Uma.

Kemudian di buka pesan masuk dari nomor baru yang sama, yang
bertuliskan ; Assalamualaikum bang. Ini Hindon dari desa Catok
Peng. Jika ada waktu luang tolong hubungi kesini.

Uma terkejut rada-rada tidak menyangka. Bayangkan orang yang


dicintai lalu tidak menghargai, ingin dilupakan tapi sulit dan kini
tiba-tiba dia hadir kembali memperkenalkan dirinya. Sungguh itu
bagaikan daerah oasis yang sudah tidak mencukupi air bagi
tumbuhan dan pemukiman manusia tiba-tiba turun hujan.
Semacam hujan yang berkepanjangan tiba-tiba keluar matahari
memberikan fotosintesis bagi tumbuhan untuk berbuah.

Sangat senang Uma pada malam itu, apa yang diinginkannya kini
hadir kembali. Segera dia telpon Hindon tanpa
mempertimbangkan malam sudah larut.

Di desa Catok Peng dalam kamar masih dirulung sepi, Hindon yang
sedang menatap hamparan sawah di kegelapan, untuk
menenangkan pikirannya yang tidak bisa tidur. Terdengar suara
surga penenang jiwa dari handphone berupa panggilan masuk dari
Bang Uma.

Melihat panggilan masuk itu, Hindon tidak langsung


mengangkatnya. Dia memeluk handphone itu dan bersyukur,
semoga ini kabar baik untuknya.

“Assalamualaikum,” Uma menyeru. Hindon tidak menjawab dia


menangis terharu mendengar suara Uma. Sampai salam yang
ketiga terjawab, “Waalaikumsalam,” dengan suara tersentak-
sentak menahan tangis.

“Ini benar Hindon?” tanya Uma. “Iya bang, ini Hindon,” jawab
Hindon. "Sepertinya kamu sedang menangis. Ada apa Hindon?”
tanya Uma kembali.

“Tidak bang, hindon tidak apa-apa,” Hindon menipu. Hindon ingin


bertanya apakah Uma masih memiliki rasa terhadapnya. Tapi rasa
takut dan malu serta untuk mempertahankan harga diri, Hindon
tidak jadi bertanya.

“Saya tidak percaya, sampai lima belas kali kamu menghubungi


kesini. Pasti ada hal yang sangat penting. Katakan saja tidak apa-
apa.”

Hindon masih ragu untuk mengatakannya. Tapi mengingat ini


demi kebaikannya karena waktu yang singkat akhirnya dia bicara.

“Mohon maaf bang jika saya tanyakan, apakah perasaan abang


masih seperti dulu kepada Hindon?”
“Bahagia yang kurasakan saat kamu menghubungiku, apakah itu
bisa mewakili,” jawab Uma. Hindon terharu bercampur bahagia
mendengar itu.

“Dan apakah kali ini kamu akan kembali berbohong,” tanya Uma.
“Tidak bang ...kali ini Hindon tidak berbohong lagi. Suara tangisan
ini apakah bisa mewakili rasa haruku bang,” jawab Hindon yang
sedang menangis terharu.

“Bisa Hindon ...bisa,” ucap Uma kini ikut terharu.

“Dalam enam hari ini adalah keputusan untuk menentukan


perasaan kita apakah akan berujung bahagia atau selamanya
dalam derita dan duka,” kata Hindon. “Maaf Hindon, itu
maksudnya,” tanya Uma.

Kemudian Hindon menceritakan perjodohannya, permohonannya


kepada orang tua dan sisa hari untuk Uma bisa melamarnya.

“Baik Hindon, abang tidak akan mengecewakan perjuanganmu.


Abang akan datang membawa orang tua untuk melamarmu
sebelum tenggat waktu,” ucap Uma penuh keyakinan bisa
melamar Hindon.

Keduanya mematikan telpon. Uma malam itu langsung bersiap


berangkat pulang ke kota Lek-lap menemui orang tua untuk
membahas ini. Dikirim pula satu pesan minta izin kepada dosen
pendampingnya untuk pulang.

“Pulang kenapa tidak kabarin nak,” tanya kak Nabon di siang hari
setelah Uma bangun dari tidur istirahatnya.
“Ada hal mendadak bu. Ayah mana bu,” jawab Uma.

“Ayah masih di kede, bentar lagi udah pulang.” “Kondisi di kede


gimana bu, apakah ada kesulitan.” “Tidak, selama kamu tidak ada.
Ayah memanggil Salim sepupu ayah di kampung untuk bekerja.”

Apa Suman pun pulang untuk makan siang.

“Itu ayah sudah pulang,” ucap kak Nabon.

“Ada apa pulang mendadak sekali,” tanya Apa Suman. “Uma ada
hajat ayah,” jawab Uma. “Baik silahkan katakan saja.”

“Uma mau melamar seseorang yah.” “Hah ...bukannya terlalu


cepat nak. Kuliah kamu kan belum selesai.” “Kuliah bentar lagi
udah selesai yah. Uma harap ayah dan ibu setuju dengan
permintaan Uma ini. Keluarga di sana hanya memberi tempo
tujuh hari untuk Uma melamarnya. Dan ini tinggal lima hari lagi.
Tolonglah yah bu,” mohon Uma.

“Gimana bu.” Apa Suman menanyakan pendapat istrinya. “Kalau


ibu, jika Uma sudah yakin ibu setuju. Jika itu memang pilihan
terbaiknya ibu tidak masalah. Untuk pekerjaan bagaimana nak,
kamu kan harus menafkahi istrimu nanti,” jawab dan tanya kak
Nabon.

“Pekerjaan belum ada bu. Nanti selesai kuliah Uma coba lamar
pekerjaan di apotik disini,” jawab Uma yang sebentar lagi akan
menyandang sarjana Farmasi.

“Untuk perkerjaan jangan terlalu dipikirkan. Selama setahun masa


pernikahanmu, biar ayah yang tanggung nafkah untukmu dan
untuk istrimu,” ucap Apa Suman sebagai ayah yang perhatian
terhadap anaknya. Ia akan membantu biaya hidup anaknya
setelah menikah selama setahun sembari anaknya mendapat
pekerjaan yang layak.

“Baiklah Uma. Ibu nanti sore segera pergi ke rumah wak Mulah
untuk membantu persiapkan barang hantaran lamaran.” “Baik
yah.”

Keinginan sepasang kekasih hampir tercapai. Kak Nabon sorenya


segera menemui wak Mulah nama lengkang Ramulah, orang tua
di kota itu yang paham dengan adat tata cara saat seseorang
datang hendak melamar dan bertunangan.

Dua hari kemudian perwakilan keluarga Apa Suman dan Kak


Nabon dari kampung tiba di kota untuk menemani saudaranya
yang ingin melamar sekaligus merangkap bertunangan. Wak
Mulah sudah menyiapkan semua barang hantaran saat lamaran
berupa, sirih dan pinang bertemu dalam puan. Disiapkan juga
beberapa kue khas Aceh yang sering ditemui saat acara lamaran
dan pernikahan yaitu ; kue bhoi, meuseukat, kue wajib, dodoi
(dodol) dan kue rasyidah. Semua dihidangkan dalam talam lalu
ditutup dengan kain berwarna kuning dan merah.

Dari desa Catok Peng, rumah Hindon sudah dihias sedemikian


rupa oleh gadis-gadis desa untuk menyambut kedatangan tamu
dari kota.

Bapak geuchik serta teungku Imam tempat tinggal Uma mewakili


perangkat yang lain untuk menemani keluarga Apa Suman ke desa
Catok Peng. Dan seperti biasa calon mempelai pria tidak diikut
sertakan dalam acara lamaran dan pertunangan.

Mulailah perjalanan menggunakan dua mobil pribadi. Masuk ke


lorong menyusuri jalan yang belum teraspal menikmati
pemandangan hamparan sawah di dua sisi menuju desa Catok
Peng. Perjalanan rombongan terhenti karena mobil tidak bisa
melewati jalan sempit menuju rumah Hindon.

Warga setempat sudah menunggu untuk memabantu mengangkat


barang hantaran.

“Bagaimana Uma bisa menemui dan memilih bunga di balik


rimbun ini. Padahal di sana banyak bunga mekar dan wangi-
wangi,” canda pak geuchik. “Uma ingin bunga mekar yang
bersembunyi di balik daun. Agar tidak kumbang lain yang melihat
kecuali hanya dia,” sahut wak Mulah mewakili jawaban Uma.

Tibalah di rumah panggung, tamu jauh dari kota disambut hangat


oleh tuan rumah pihak desa. Sesama geuchik kedua pihak saling
menyambut salam dan mempersilahkan masuk. “Silahkan masuk,”
geuchik Him mempersilahkan.

Tikar sudah dihamparkan, barang hantaran di letakkan di tengah.


Pihak pelamar dan penerima lamaran duduk pada arah kedua sisi
rumah saling berhadapan.

Dari pihak Hindon, semua perangkat desa yang mengisi acara


musyawarah hadir semua. Yakob dan Sulaiman juga turut hadir
untuk memastikan suku mana calon menantu Yusuf.
Selanjutnya dihidangkan makanan sebagai rasa penghormatan
dari pihak tuan rumah kepada tamu.

Dilanjutkan dengan acara balas pantun dalam bentuk seumapa


(menyapa). Pihak Uma yang di pimpin teungku Abdullah, sebagai
teungku imam mengawalinya menggunakan bahasa Aceh,
sebagaimana yang sudah kita baca sebelumnya pada kisah Naqish
dan Fatimah. Permintaan pihak kumbang untuk diserahkan bunga
mekar dari pemilik bunga.

“Ternyata orang kita Kob,” bisik Sulaiman. “Iya benar,” jawab


Yakob.

Selesai ucapan balas pantun sekaligus kesepakatan jumlah mahar,


serta waktu tempo melangsungkan pernikahan adalah setahun.
Pihak kumbang meminta agar bunga dikeluarkan untuk dilihat dan
dipandang, mengukur kepantasannya dengan sang kumbang yang
masih menanti kesepakatan.

Hindon di dalam sudah berhias diri, dibantu oleh gadis-gadis desa


rekannya. Ini adalah perdana bagi Hindon wajahnya di solek bak
seorang artis, tidak pernah baginya sebelumnya. Menggunakan
baju kebaya warna putih dikolaborasikan dengan kain batik warna
hitam bercorak coklat sebagai rok, bagian kepala menggunakan
ciput di dalamnya, lalu ditutupi dengan kain jilbab putih dengan
model kedua sisi di lingkarkan di bagian leher. Hindon tampil
sangat anggun.

Pemilihan busana yang tepat dan cocok dengan bentuk tubuhnya


yang memiliki pinggang yang ramping. Begitu juga style jilbab
sangat sesuai dengan wajahnya yang agak kecil dan bulat.
Hindon keluar dari kamar di dampingi dua rekannya,Nurmala dan
Sarah. Kepalanya tertunduk malu, raut wajahnya tersenyum manis
tersipu malu. Lalu duduk di atas kasur yang sudah di sediakan.

Ibu-ibu dan beberapa gadis desa yang memenuhi bagian dapur


takjub melihat keanggunan Hindon yang belum pernah terlihat
selama ini.

“Benar itu Hindon.” “Iyalah, baru tau ya dia manis orangnya.”


“Cup...cup...cup...sungguh sangat disayangkan pemuda di sini.
Gadis begitu cantik dan manis diambil orang luar.” Begitulah
percakapan di dapur.

“Uma tidak salah memilih pasangan. Dari wajahnya bisa diketahui


dia orang yang baik dan tulus. Dari tangannya menandakan dia
orang yang rajin dalam pekerjaan rumah. Kamu beruntung
Nabon,” bisik wak Mulah kepada kak Nabon.

Kemudian Zainabon dipersilahkan untuk memasang cincin


tunangan seberat tiga mayam kepada calon menantunya itu.

“Ibu percayakan anak ibu kepadamu nak, jagalah kekompakan


dalam keharmonisan berumah tangga,” ucap kak Nabon setelah
selesai memakaikan cincin, lalu disudahi dengan ciuman kasih di
kening dan pelukan hangat.

Usai sudah acara khitbah atau lamaran. Walau berbeda atmosfir


kehidupan, suasana kekeluargaan sangat terasa dari kedua pihak.
Beberapa keduanya saling tertawa atas candaan yang dibuat oleh
masing-masing pihak.
Harapan dua insan berkasih melalui doa-doa yang sering
dipanjatkan. Kini mulai terlihat mustajabahnya.
Raja Sehari

Perjuangan Uma menyelesaikan skripsi selesai, selanjutnya


dihadapkan sidang dan ditutup dengan wisuda, dan berhak
menyandang gelar sarjana Farmasi, dengan nama lengkap Umar
S.Farm. Satu perkara telah selesai kini Uma siap menunaikan akad
nikah.

Jadwal penikahan dan walimatul ursy (resepsi) ditetapkan pada


hari yang sama, dilaksanakan sesudah lebaran idul fitri. Tepatnya
di bulan Syawal tahun Hijriah. Kedua pihak sudah saling memberi
kabar untuk sama-sama melakukan persiapan.

Sebulan menuju acara, Yusuf merenovasi rumahnya. Dinding kayu


yang bolong diganti, lantai dari kayu diperbaiki pada setiap yang
rapuh, kamar mandi yang semula dindingnya dari plastik terpal
kini dibuat bangunan permanen yang tersambung dengan dapur,
tak lupa juga cat dinding diperbaharui.

Dalam sebulan itu Yusuf juga disibukkan berkekeliling desa-desa


sekitar untuk mengundang masyarakat menghadiri acara
walimatul ursy anaknya.

Sedangkan Hindon selama sebulan itu dilarang keluar rumah dan


melakukan pekerjaan yang terkena matahari langsung, agar
Hindon sebagai dara baroe (mempelai perempuan) harus tampil
cantik dan anggun saat di atas pelaminan nantinya.

Tiga hari menuju acara, perangkat kampung berkumpul bersama


pemuda-pemuda kampung mengadakan rapat membagi tugas
kerja membantu mensukseskan acara saudara kampung mereka
Yusuf.

Rapat yang di pimpin geuchik Him berjalan tertib dan teratur,


semua sudah dibagi mulai dari ; pencuci piring, penjaga parkir,
pengangkut piring kotor, penjaga hidangan, pengontrol hidangan,
penyambut tamu dan lain-lainnya. Semua sudah diatur tata kerja
bersamaan dengan struktur anggota dan ketuanya.

Dua hari menuju hari H, para pemuda-pemudi serta orang tua


kampung turut serta anak-anak di desa itu berkumpul di rumah
Yusuf membantu apa yang diperlukan. Sebahagian pemuda
membersihkan jalan setapak menuju ke rumah dan dihiasi dengan
rotan dilengkungkan dari dua sisi hingga terbentuklah setengah
lingkaran, ditengahnya di-Ikatkan janur kuning hasil buatan tangan
para gadis desa. Sebahagian pemuda yang lain mendirikan tenda
pelaminan dengan hiasan ala kadar.

Para ibu-ibu di dapur belakang rumah menggunakan bahan bakar


kayu mempersiapkan makanan dan minuman untuk para pemuda
yang sedang bekerja dan orang tua yang hadir menemani
persiapan itu.

Para gadis di dalam rumah mencuci dan mengelap piring,


sebahagian melipat tisu, sebahagian lagi merancang pelaminan di
dalam rumah juga hasil kerajinan para gadis di desa itu.

Laki-laki dan perempuan sangat dijaga dengan tidak boleh


bercampur dalam bekerja. Mereka diasingkan dan ditempatkan
pada tempatnya masing-masing. Sebagai bukti perhatian desa ini
terhadap norma-norma agama.
Pada malamnya para laki-laki memilih beristirahat dan tetap
berkumpul di rumah Yusuf. Mereka menghibur diri dengan
melantunkan dalael khairat, menyanyikan kasidah bahasa Aceh,
nazam Aceh, juga membawakan shalawat nabi. Orang tua dan
pemuda membaur bersama-sama melantunkannya dengan suara
yang keras sampai nimbul urat-urat leher. Tidak lupa para ibu-ibu
menyediakan air bandrek,teh dan kopi. Ditemani kue timphan
asoe kaya, kue wajib, dan beberapa kue khas Aceh lainnya.

Dalam kamar Hindon yang bersemayam mulai di ukir kaca oleh


dek Nurmala pada kaki dan tangannya.

Besoknya tugas bekerja berganti dengan mengambil kursi di


meunasah, mengambil belanga ukuran besar dan membuat dapur
untuk belanga besar tersebut, persiapan memasak Kuah
Beulangöng19. Biasanya kuah beulangöng dimasak dengan daging
kambing, tapi Yusuf memilih daging kerbau sebagi penggantinya.
Kerbau yang dulunya digunakan untuk membajak sawah sudah
lama di titipkan kepada orang lain selama sudah ada mesin
traktor. Dan kerbau tersebut sengaja dipelihara untuk persiapan
acara putri tunggalnya itu.

Yusuf juga mempersiapkan beberapa kilogram daging sapi untuk


dimasak rendang. Yusuf sangat serius menyelenggarakan acara

19
Kuwah beulangöng, atau sering disebut juga dengan gulèe sie kamèng,
adalah masakan Aceh sejenis gulai yang berbahan baku utama daging
kambing dan nangka muda yang dimasak dalam belanga, serta disertai
potongan pisang kepok, dan ditambah cabai kering, kelapa gongseng,
kayu manis, dan bumbu lainnya. (sumber : Wikipedia)
yang hanya sekali dilakukannya mengingat Hindon adalah anak
satu-satunya.

Pada malam hari acara, para pemuda dibantu orang tua kembali
bekerja. Ber-agendakan memotong daging kerbau yang sudah
disembelih pada sorenya. Juga daging sapi. Dan bagian memasak
kuah beulangöng itu menjadi spesialis para pria. Sedangakan ibu-
ibu di dalam hanya memasak yang ringan-ringan saja seperti
tauco, mie dan lain-lain.

Sungguh tiga hari yang indah, pemandangan kekeluargaan yang


sangat kental di desa tersebut. Mereka bergotong rorong
membantu saudara se-Kampung. Pemandangan kekompakan dari
perpaduan kekuatan pemuda dan ilmu pengalaman dari orang
tua. Inilah salah satu bentuk tradisi yang diharapkan oleh orang
tua untuk selalu dijaga.

Sedangkan suasana di kota Lek-lap tidak seramai dan semeriah


sebagaimana di desa Catok Peng. Rumah Uma hanya dipenuhi
oleh saudara kandung dari garis keturunan dibantu beberapa
orang terdekat dan orang tua kampung. Tidak semua ibu-ibu,
pemuda dan bapak-bapak dapat hadir, mungkin dapat dimaklumi
karena persiapan pihak Uma tidak sesibuk yang di sana. Juga
dimaklumi banyak warga kota aktif bekerja di malam hari, atau
siangnya bekerja malamnya istirahat. Ini menjadi alasan suasana
hadir membantu di daerah kota tidak seramai di daerah pedesaan.

Karena kondisi yang demikian, kebanyakan warga kota saat


mengadakan acara besar mereka harus menyewa jasa catering,
jasa cuci piring, jasa penjaga hidangan, jasa pelaminan, hingga
sampai menghias barang hantaran pun perlu uang jasa.

Berbeda dengan warga pedesaan, untuk bagian memasak para


tuan rumah tinggal meminta tolong para ibu-ibu untuk membantu
masak, bahkan mereka akan marah jika ada acara oleh pihak tuan
rumah tidak mengajaknya untuk membantu, pekerjaan cuci piring
dan lainnya saat acara sudah lumrah di desa itu urusan anak muda
tidak perlu uang sewa jasa, cukup minuman dan makanan serta
rokok bagi yang perokok. Untuk pelaminan sebagian kampung
atau desa sudah menyediakan pelaminan untuk setiap warganya,
jadi ketika ada warga yang hendak menyelenggarakan acara
mereka tinggal melapor kepada geuchik atau pengurus untuk
dipasangkan pelamin kampung di rumahnya. Begitu juga barang
hantaran malam acara rumah akan dipenuhi oleh saudara dan
tetangga untuk membantu menghias, jadi tidak perlu membayar
pihak lain untuk menghias barang hantaran. Sebagai ucapan
terima kasih, para tuan rumah akan membagikan lauk yang sudah
dibungkus lalu dibagikan kepada warga yang telah membantunya.

Ini semua ada nilai plus minus masing-masing. Disesuaikan dengan


kondisi atmosfir tempat tinggal. Di kota sudah lumrah semuanya
di sewa ini menguntungkan bagi tuan rumah tidak terlalu repot
dalam melaksanakan acara. Di desa atau kampung segalanya
dikerjakan secara bergotong royong memberi nilai sosial
kekeluargaan yang tinggi.

Acara yang dinantikan tiba. Mobil pribadi nan mewah rombongan


Uma berjejeran di jalan sawah. Mereka menuju mesjid setempat
untuk melangsungkan acara mat jaroe malem (akad nikah).
Beberapa waktu kemudian setelah selesai berganti baju, lalu
mereka berjalan kaki melewati lorong jalan berterowongan rotan
melengkung dihiasi janur yang indah. Tidak ada satu pun papan
bunga terpampang di jalan itu sebagaimana yang terjadi di kota
setiap kali ada acara jalanan di penuhi dengan papan bunga.
Sungguh acara yang begitu sederhana tapi tampak meriah.

Uma berpakaian baju adat Aceh berpenampilan gagah laksana


Teuku Umar20. Zaidon dan Baka minta izin pulang untuk
menemani sahabatnya itu, mereka berdiri di kedua sisi Uma.
Zaidon memegang payung kuning memayungi sang Linto Baro
(mempelai pria). Wak Mulah berdiri di barisan depan memimpin
rombongan membawa sirih tersusun rapi dalam puan warna
emas.

Di sana sudah menunggu Faridah di panggil Buk Dah selaku ibu


geuchik untuk menyambut sirih dalam puan, juga pemuda untuk
bertukar payung dan bersambut angkat barang hantaran.

Rombongan Linto Baro berjalan di sambut shalawat badar oleh


grup dzikir di atas mimbar. Anak-anak penari ranup lam puan juga
sudah siap menyambut tamunya.

Selesai tarian, Uma dibawa menemui dara baroe yang sudah


menanti di depan rumah. Hindon menggunakan baju adat Aceh
tampil anggun laksana Cut Nyak Dhien, menyambut dengan
mencium tangan suaminya sebagai isyarat takdim dan tunduk
serta patuh istri terhadap suami.

20
Pahlawan Aceh
Keduanya digiring masuk kedalam duduk di pelaminan. Lalu
dilangsungkan acara saling menyuap makanan sebagai isyarat
kompak dan harmonis. Di sambung dengan acara peusijuk (tepung
tawar) oleh orang tua, saudara, tokoh agama dan perangkat
kampung masing-masing.

Dalam pelaksanaan tradisi Peusijuek ada tiga hal yang paling


penting, yaitu perangkat alat serta bahan peusijuek, gerakan, dan
doa. Untuk perangkat dan bahan Peusijuek biasanya terdiri dari
talam, bu leukat (ketan), u mirah (kelapa merah), breueh pade
(beras), teupong taweue (tepung yang dicampur air), on sisikuek
(sejenis daun cocor bebek), manek manoe (jenis daun-daunan),
naleueng sambo (sejenis rumput), glok (tempat cuci tangan) dan
sangee (tudung saji). Bagi masyarakat Aceh, setiap bahan
Peusijuek ini memiliki filosofi dan arti khusus masing-masing. Yaitu
:

Talam mengandung makna bahwa orang yang dipeusijuek tetap


bersatu dalam lingkungan keluarga yang ditinggalkan.

Glok mengandung makna bahwa orang yang dipeusijuek itu tetap


berada dalam lingkungan keluarga yang di lingkungan keluarga
(persatuan) dan berhemat.

Tudung saji (sangee) mengandung makna diharapkan untuk


mendapatkan perlindungan dari Allah swt dari segala tipu daya
yang menyesatkan.

Beras padi mengandung makna bahwa orang dipeusijuek semakin


tua semakin berilmu, juga merupakan makan pokok atau benih
untuk menghasilkan.
Tepung tawar mengandung makna bahwa tepung berwarna putih
merupakan perlambang kebersihan dan kesejukan jiwa bagi orang
yang dipeusijuek.

On manek-mano mengandung makna bahwa sesuai dengan


deretan bunga diharapkan digalang persatuan dan kesatuan serta
keteraturan.

On sijuek mengandung makna obat penawar/ kesejukan meresap


kalbu.

Naleung Samboe mengandung makna dengan sifatnya yang kokoh


sulit untuk dicabut, pelambang sebagai kekokohan pendirian dan
etika, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun agama.

Bu leukat mengandung makna zat perekat, pelambang sebagai


daya tarik untuk tetap meresap dalam hati orang yang
dipeusijuek semua ajaran dan nasihat ke jalan yang diridhai oleh
Allah swt.

Suasana tenang dan adem dalam rumah berlawanan dengan


suasana di luar. Para tamu dari rombongan hampir tidak punya
tempat untuk duduk makan. Untung warga setempat paham dan
membiarkan tamu dari kota lebih dulu mengantri makanan dan
mengambil tempat.

Suasana begitu meriah dihadiri hampir seluruh warga desa Catok


Peng dan beberapa warga di desa tetangga. Dihibur dengan suara
syahdu nan merdu dari grup dzikir shalawat. Melantunkan
beberapa kasidah bahasa Aceh dan bahasa Indonesia dan
shalawat nabi berbagai variasi irama.
Acara selesai, terselenggara dengan sukses, aman terkendali dan
tertib.

Malamnya dilanjutkan dengan acara ucapan terima kasih dari tuan


rumah kepada warga yang telah membantu dan dilanjutkan
dengan acara buka kado bersama yang hanya dihadiri oleh
keluarga besar.

Pengantin baru sebagaimana sudah menjadi tugas mereka dari


tujuan menikah. Malam itu di atas ranjang ditutupi kelembu biru
kedua pasangannya menikmati malam yang belum pernah dialami
sebelumnya.

“Hindon,” panggil Uma. “Uan bang. Bang boleh enggak jangan


panggil sebut nama. Panggilnya adek aja,” jawab Hindon.
“Kenapa?” “Untuk takdim bang,” jawab Hindon sambil tersenyum
manis. “Takdim karena apa.” “Takdim atas kasih sayang...hehehe.”
kedua pasangan memperlihatkan keakraban dalam candaan.

“Baiklah dek. Ada yang ingin abang tanyakan ini.” “Apa itu bang?”

“Abang dengar adek berani membantah orang tua demi bisa


menikah dengan abang ya.” “Iya bang.” “kenapa se-nekat itu?”
“Agar nanti tidak membuat cerita cinta bohong kepada anak dan
cucu bahwa yang sebenarnya aktor cerita itu bukanlah ayah dan
kakeknya,” jawab Hindon.

“Beneran itu. ngeri juga perasaanmu dek,” ucap Uma.


“Hahaha...bercanda bang, tidaklah sampi begitu. Adek tidak akan
mengumbar orang yang tidak dimiliki dengan akad. Hanya
mengganggap bagi dia yang nyata dimiliki, bukanlah orang yang
cuma numpang atau singgah.”

“Inilah dia istriku. Bukan seperti sebahagian wanita yang masih


saja membayangkan, merenungkan kepergian orang yang bukan
miliknya. dan mengabaikan orang yang benar-benar sudah ada di
sisinya,” kata Uma sambil mencubit manja pipi istrinya.

“Sekarang adek yang nanya. Kenapa waktu itu abang memaksa


melamar adek. Bukankah waktu itu masih sangat sibuk dengan
kuliah.”

“Untuk menyelamatkanmu.” “Selamat dari apa?” “Dari dosa


membohongi anak dan cucu nanti.” Begitulah percakapan di
malam pertama bersenandungkan suara tokek.

Setelah menikah, Uma tidak langsung membawa Hindon ke kota.


Uma memilih tinggal di sana selama sebulan, membaur dan
bergaul dengan masyarakat desa. Uma diterima dan dikagumi
oleh masyarakat itu karena sikapnya yang ramah setiap kali jumpa
orang di jalan dia tidak pernah lupa mengucapkan salam. Juga
aktif pada setiap kegiatan sosial dan agama. Uma selalu hadir
membantu setiap kali ada pergelaran acara. Uma juga senantiasa
hadir mengaji di mesjid dan salat berjamaah. Sikap membaur
inilah membuatnya berhasil mencuri hati masyarakat.

Dia teringat dengan nasehat ayahnya yang pernah berkata, “Jika


kita tinggal di tempat orang jangan pernah sombong dan angkuh.
Tapi bersikaplah rahmah dan membaur. Hadiri setiap acara
bersifat sosial dan keagamaan. Karena dengan begitu, kemana
saja kita pergi kita akan mudah diterima.”
Menikmati suasana pagi dengan matahari baru setengah
menampakkan diri, kedua pasangan muda pergi berjalan kaki
mengitari sawah irigasi.

Hindon membungkuk lalu mengambil sebatang pohon padi ,


kemudian di tiupnya dan keluarlah suara seperti seruling.

“Dek, kok bisa bunyi?” tanya Uma heran. “Ini namanya serune
pade bang. Konon katanya para pemuda desa menggoda para
gadis dengan meniup ini,” jawab Hindon sambil menyerahkan
kepada Uma untuk dicoba tiup.

“Huff...huff...kok enggak bunyi.” Percobaan Uma gagal. “Berarti


abang gak bisa jadi pujangga desa.”

Mereka melanjutkan jalan sambil Hindon menceritakan kisah cinta


orang dahulu.

“Di balik gubuk itu para gadis duduk menikmati kesyahduan padi
menari sesuai arah angin. Datang pemuda memantau dari jauh,
tidak berani mendekat karena malu. Maka untuk menarik
perhatian gadis yang ada di gubuk. Pemuda tersebut mengambil
padi lalu meniupnya.”

“Bagaimana respon para gadis setelah itu.” tanya Uma.

“Pertama para gadis itu memastikan dulu kemana arah


pandangan pemuda tersebut. Jika tertuju kepadanya dan gadis itu
pun menyukai, maka dia akan menutup sebagian wajahnya
dengan jilbab.”
“Hahaha...respon yang lucu. Bukannya di datangi atau di
lambaikan tangan.”

“Tidak seperti itu lah. Mereka para gadis merespon menutup


wajah itu sudah maklum di pahami bahwa dia setuju, tapi masih
ada penghalang. Dan tugas pemuda tersebut jika serius harus
melepaskan penghalang itu, yaitu menemui orang tuanya dan
meminta restu untuk menikahinya.”

“Lucu tapi romantis ya.” “Iya begitu bang. Orang dulu sangat baik
menjaga norma agama.” “Adek dari mana mengetahui cerita itu.”

“Ini cerita ayah dan ibu bang.” “Hah....” “Iya...adek diceritakan


oleh ibu kawannya adek, sahabatnya ibu. Tapi jangan sampai ibu
dan ayah tau nanti mereka malu.”

Ternyata kisah tadi adalah cerita pertemuan kasih Yusuf dan


Juwairyah. Yusuf dulu dikenal pemuda paling handal memainkan
serune pade, dan telah membuat Juwairyah jatuh hati kepadanya
secara diam-diam. Hingga tiba waktu saat Yusuf memainkan
serune pade diperdengarkan kepada para gadis yang duduk di
gubuk termasuk Juwairyah. Saat itulah Juwairyah memberi tahu
kekagumannya dengan menutup wajah. Membuat cinta yang
menusuk ke dalam hati dan tidak lekang lagi itu membawa
mereka bertemu di pelaminan dan melahirkan buah hati satu-
satunya bernama Hindon.

“Tidak lama lagi akan tiba musim panen padi. Nanti abang ikut ya
dan lihatlah keseruan bermain layangan dan mengejar burung
pipit,” ajak Hindon. “Baik dek.”
Dan saat tiba musim panen Uma benar-benar ikut turun ke sawah
pengalaman perdananya. Merasakan duduk di gubuk menikmati
makan siang yang dibawa Hindon dalam rantang sambil
menyaksikan anak-anak mengejar burung pipit.

Sebulan tinggal di desa bersama orang tua, Hindon ikut suaminya


ke kota. Di sana mereka tinggal di rumah orang tua Uma. Dan
Uma melamar pekerjaan di toko apotik dan diterima lalu mereka
menyewa rumah kontrakan untuk tinggal berdua.

Begitulah seterusnya hingga terjadi tragedi Hindon diusir dan


damai kembali. Sampai kepada Uma pergi mondok mengaji atas
permintaan Hindon yang rela ditinggal untuk sementara waktu.
Proses Mengaji

Uma terus berpacu mengejar target secepat-cepatnya


mempelajari dan memahami ilmu yang harus dipahami.
Berkonsentrasi dalam menyelami kedalaman ilmu agar waktu
penantian Hindon lebih singkat. Dibantu oleh kedua sahabat,
Zaidon dan Baka. Keduanya senantiasa sepenuh hati memenuhi
hajat sahabatnya itu.

Zaidon dan Baka yang menentukan kapan jadwal Uma mengaji,


kitab apa yang harus dipelajari dan dengan siapa Uma
mempelajari itu memilih guru yang layak untuk Uma. Keduanya
sudah sepakat untuk membagi waktu dan keduanya sudah siap
menjadi guru. Mengajar secara efisien, cepat dan memakai
metode yang mudah dipahami supaya apa yang diharapkan cepat
terealisasi.

Zaidon mengambil waktu duha sebagai jadwalnya mengajari Uma.


Mengambil kitab-kitab kajian ilmu nahu dan sharaf sebagai mata
pelajaran untuk Uma darinya. Baka memfokuskan kepada ilmu
alat bersifat permainan logika seperti, ilmu mantiq, ilmu bayan
dan ushul.

Keduanya sudah menargetkan dalam dua tahun awal, Uma akan


menguasai semua ilmu alat itu.

“Ini kitab apa Don?” tanya Uma sambil memegang kitab agak tipis
berwarna kuning.

“Yang ini kitab Tahrirul Aqwal biasa disebut kitab Awamel. Ini
kutargetkan dalam seminggu kamu sudah bisa memahami dan
menghafalnya. Kemudian dua minggu selanjutnya kamu harus
bisa meng-I’rabkan seluruh kalimat yang ada di sini,” jawab Uma
menjelaskan targetnya.

“Kalau yang ini Don,” tanya kembali Uma kini memegang kitab
berwarna hijau yang agak tebal.

“Ini kitab Tasrif, aku menargetkan dalam sebulan, kamu harus bisa
mengetahui nama-nama dan bentuk segala kalimat, menghafal
segala bab tasrif berserta Wazan-wazannya serta beberapa hal
penting yang tertulis dalam kitab ini. Sebulan selanjutnya fokus
kepada memahami kaedah-kaedah bentuk sebuah kalimat.
Sebulan selanjutnya lagi kita akan fokus kepada review dan
mempraktekkannya menggunakan kitab arab. Nanti akan
kutanyakan, apa nama kalimat itu, apa tasrifnya, tergolong ke
dalam bab apa, sebutkan wazannya serta menjelaskan kaedah
yang terkandung.”

Zaidon sudah menargetkan waktu yang terlihat begitu singkat bagi


pemula seperti Uma untuk mempelajari ilmu dan sharaf. Zaidon
paham dengan kualitas daya tangkap dan daya ingat Uma yang
cepat dan kuat. Maka menurut Zaidon, memacu ilmu yang sulit
bagi pemula seperti Uma itu bukanlah masalah.

“Sebelumnya bolehkah kamu jelaskan sedikit pembahasan kedua


kitab ini dan untuk apa fungsingnya.” Uma benar-benar pertama
kali melihat kitab tersebut. Karena saat mengaji dulu dia tidak
diajari kitab arab klasik atau gundul, dia hanya mengaji kitab-kitab
arab jawi.
“Kitab awamil merupakan kitab dasar memahami ilmu nahu,
disusul dengan kitab Jarumiyah, Matammimah hingga matan bait
alfiyah serta syarahnya Ibnu Aqil dan selanjutnya. Ilmu nahu
berfokus kepada baris akhir kalimat menggunakan rumus i’rab
yang terdiri dari rafa’, nasab, jar, dan jazam. Nanti akan kita temui
dan pelajari cabang dari setiap rumus itu. Dari situ nanti akan lahir
beberapa hukum i’rab yang sesuai rumusnya. Dengan
mempelajari ilmu ini kita akan bisa membaca kitab para ulama
yang tergolong kitab arab gundul atau tanpa baris.” Zaidon
menjelaskan tentang dan untuk apa mempelajari ilmu nahu.

“Dan yang ini, coba kamu jelaskan Don.” Uma bertanya persoalan
ilmu sharaf.

“Ini mempelajari tentang sebuah kalimat. Karena setiap kalimat


itu berbeda-beda namanya, fungsinya serta pemakaiannya.
Istilahnya ilmu nahu tamsilan ibu, ilmu saraf tamsilan ayah. Jika
keduanya tidak dikuasai, tidak akan lahir kemampuan membaca
dan memahami isi kitab kuning,”

“Memang agak sedikit sulit dan terlihat membosankan. Tapi akan


menyenangkan bagi orang suka tantangan, tantangan memahami
pelajaran baru seperti kamu, Uma.”

Di balai mini dari kayu, Uma masih membuka tutup dua kitab yang
akan dipelajarinya itu. kemudian timbul pertanyaan kembali.

“Bagaimana kalau kita langsung mengaji kitab-kitab yang


mencantumkan tentang hukum-hukum Don. Tidak perlu
mempelajari kitab alat ini, dengan begitu waktuku sedikit
tercukur.”
“Aku tidak setuju begitu. Yang kumau, ketika kita membaca kitab-
kitab yang berkaitan hukum dan lainnya. Kamu bukan hanya
menjadi pendengar menerima setiap apa yang dibacakan, tapi aku
mau kamu ikut berpikir untuk menilai kekeliruan yang terjadi
selama dibaca. Jadinya kamu tidak dibodohi atas bacaan yang
salah. Begitu mauku Uma,” jawab Zaidon.

“Baiklah jika begitu, kita harus kejar waktu. Tidak ada waktu bagi
kita bermain-main. Karena ada orang yang lagi sabar menanti,”
ucap Uma kini mulai paham fungsi ilmu yang akan dipelajari. Dan
bersungguh-sungguh mempelajarinya untuk memenuhi hajat
istrinya.

Jam dua siang sampai waktu asar, Baka mengambil jatah


mengajari Uma kitab ilmu mantiq, bayan dan ushul.

“Ini kita akan memepelajari ilmu yang butuh pikiran berjalan dan
berputar untuk memahami setiap rumus dan kandungan isinya.
Untuk orang sepertimu yang sudah biasa otaknya berjalan. Ilmu
ini, untuk di sekolah bagi siswa yang suka ilmu menantang seperti
matematika, fisika dan kimia. Jika mempelajari ilmu ini tidak akan
terlalu sulit baginya. Pikirannya sudah sering berpikir menentukan
rumus dan memberi hasil yang tepat.”

“Maka tidak ragu, jika untuk ilmu mantiq kita ambil kitab matan
sulam dengan tempo dapat memahami dan menghafalnya selama
enam bulan. Itu dibarengi dengan ilmu ushul kita langsung ke
kitab nufahat dan ilmu bayan menggunakan kitab Ahmad Shawi.
Semua itu aku targetkan selama dua tahun untuk kamu bisa
menguasainya.” Baka mengutarakan targetnya.
Kemudian Uma kembali bertanya sebagaimana saat bersama
Zaidon fungsi dan tujuan mempelajari ilmu tersebut. Baka pun
menjelaskan dengan jelas dan membuat Uma menerima dengan
tekad akan bersungguh-sungguh mencapai target.

“Kamu jam duha mempelajari ilmu nahu dan saraf. Maka saat
belajar bersamaku, jangan tanya pertanyaan yang berkaitan
dengan ilmu nahu dan saraf, itu ranah Zaidon. Jika ada yang
kurang paham permasalah kedua ilmu itu pada kitab yang aku
ajari ini, simpan pertanyaan tanya nanti saat bersama Zaidon.
Bersamaku hanya fokus dan terbatas memahami ilmu yang aku
ajari. Pahamkan Uma!” kata Baka.

“Paham Baka,” jawab Uma.

Begitulah seterusnya proses perjalanan belajar Uma selama dua


tahun. Dia harus disiplin menjaga waktu, pikirannya fokus kepada
pelajaran yang diajari. Dan memanfaatkan masa libur yang
diberikan selama dua hari dalam sebulan untuk pulang menjenguk
istrinya.

Juga kepulangan itu untuk menepis tuduhan dari ibunya Hindon


yang kurang yakin dengan ketulusan Uma. Serta mencegah
omongan masyarakat yang mengatakan mereka telah berpisah
dan tidak hidup bahagia.

Untuk nafakah, baik untuk Uma dan Hindon. Ditanggung oleh Apa
Suman, ayahnya Uma. Apa Suman siap memberi nafakah kepada
anak dan menantunya selayaknya mereka saat masih lajang.
Dua tahun berlalu, Uma dengan giatnya mempelajari ilmu alat
berhasil menghafal dan menguasainya. Baka dan Zaidon salut
dengan muridnya itu yang juga merupakan sahabat. Dia begitu
gigih dalam belajar, mengulang kitab dan menanyakan setiap yang
tidak diketahui.

Dua tahun memfokuskan diri kepada ilmu nahu dan saraf, Uma
kini sudah bisa membaca kitab arab gundul sendiri,
menerjemahinya sendiri dengan bantuan kamus Marbawi dan
Munawwir. Dan tentunya tetap atas bimbingan kontrol kedua
sahabatnya itu hingga ia nanti benar-benar sudah mahir.

Selanjutnya, arah fokus pembelajaran Uma berpindah kepada


memahami surah-surah ilmu tauhid, fiqah, dan tasawuf. Untuk
ilmu fiqah diawali dengan kitab Matan Taqrib, dilanjutkan dengan
kitab syarahannya yaitu Fathul Qarib dengan bantuan hasyiah
Bajuri. Lalu selesai itu dilanjutkan dengan kitab Fathul Muin
dengan bantuan hasyiah I’anatutthalibin. Ketiga kitab fiqih
mazhab imam Syafi’i.

Untuk fan (mata pelajaran) fiqih, Zaidon dan Baka sepakat


membatasi Uma sampai tingkat kitab Fathul Muin, tidak
dilanjutkan ke tingkatan kitab selanjutnya. Karena mengingat Uma
sudah berkeluarga, juga kitab Fathul Muin sudah cukup mewakili
bagi seseorang untuk menuntaskan tuntutan ibadat fardhu ‘ain
sesuai aturan. Lain halnya jika ingin menjadi seorang ulama yang
memfatwakan hukum di tengah masyarakat tidak cukup sebatas
itu. tetapi harus melanjutkan ke tingkat kitab selanjutnya.
Untuk fan ilmu tauhid, ilmu aqidah yang sesuai dengan metode
Ahlussunnah wal jamaah (Aswaja). Uma diawali dengan belajar
kitab Aqidatul Islamiyah untuk dihafalkan segala iktikad 50. Lalu
berlanjut kepada kitab Kifayatul Awam dan Dusuki, untuk
menyelami lebih dalam pengetahuannya kepada tuhannya melalui
dalil ijmali dan tafsili. Dan untuk memperkuat kesadarannya
sebagai manusia, sadar bahwa dia merupakan ciptaan yang mesti
ada pencipta. Dan melahirkan keyakinan bahwa sesuatu yang
diciptakan wajib patuh dan tunduk atas setiap perintah sang
pencipta.

Kemudian, untuk bidang ilmu tasawuf. Pembersih jiwa


kemanusiaanya, Uma diawali dengan kitab Taisirul Khallaq.
Dilanjutkan dengan kitab Ta’lim Muta’alim dan ditutup dengan
kitab Minhajut Thalibin atas bantuan syarahnya Sirajut Thalibin.
Kitab yang dipelajari ini sudah cukup bagi Uma mengontrol
kejiwaannya yang lebih tenang atas sifat tawadhuk dan qanaah.
Lebih sabar dalam menghadapi lonjakan permasalahan rumah
tangga dan lainnya, nantinya. Serta menjadi manusia yang
bermoral dan beradab untuk dirinya sendiri, untuk tuhannya, dan
manusia lainnya.

Empat tahun berlalu, Uma menikmati kenikmatan mencari ilmu.


Ilmu baru yang dipelajari, ia begitu lalai memahami rumus i’rab
beberapa kalimat. Saat awal memahami, Uma sangat antusias
membuka kitab per kitab mencoba mengasah kemampuan
pemahaman i’rab-Nya yang kemudian dipastikan kebenarannya
kepada Zaidon, sahabat sekaligus gurunya.
Uma sangat larut dalam metode penamaan dan susunan sebuah
susunan kalimat dalam ilmu mantiq, mempersilangkan dan
memutuskan untuk ditindak layak dijadikan natijah atau tidak.

Begitu pula saat mempelajari ilmu Ushul Fiqh, Uma penuh


semangat ikut mempelajari metode para ulama mujtahid dalam
mengambil sebuah ketentuan hukum. Juga saat menitik pola kata
menentukan majaz atau hakikat saat mempelajari ilmu Bayan.

Selanjutnya, tiba saat maksud tujuan utamanya adalah


mempelajari hukum-hukum islam yang tercantum pada persoalan
ibadat, akad dan muamalat. Uma terlihat giat menyimak setiap
bacaan yang dibacakan gurunya saat membaca kitab kuning atau
arab gundul. Kemudian menyimak setiap surah atau penjelasan
dari yang dibaca itu, jika tidak ada yang paham Uma tidak segan
bertanya langsung. Begitu pula saat mempelajari kitab-kitab
lainnya dari fan atau bidang ilmu yang berbeda-beda.

Kegigihan, serius, tekad penuh, penyesalan, dan memaksimalkan


waktu. Menjadi kunci utam bagi Uma mampu dan bisa
menguasanyai ilmu yang dipelajari dalam waktu yang relatif
singkat bagi kalangan kebanyakan santri. Keterdesakkanlah yang
membuatnya demikian.

Tidak lupa juga Uma memenuhi kebutuhan bathin istrinya berupa


menemani setiap dua hari dalam sebulan, dalam keadaan
menahan proses reproduksi. Untuk rezeki, Apa Suman siap
menanggung semua beban nafakah yang dibebankan kepada
anaknya itu, selama Uma masih mondok mengaji.
Yusuf Meninggal, Uma Pulang

2020, Desa Catok Peng.

Di bawah redup awan hitam, masyarakat desa Catok Peng


dikejutkan dengan pengumuman di mesjid atas meninggalnya
salah satu warganya bernama, Yusuf.

Yusuf salah seorang warga yang amat dikagumi oleh masyarakat


sekitar. Tingkahnya yang tidak suka ikut campur urusan orang lain,
suka membantu, selalu aktif dalam kegiatan sosial dan keagamaan
dan tidak terlihat permusuhan dengan orang sekitar. Membuat
masyarakat sangat merasa kehilangan. Terlebih para kelompok
salat jamaah, Yusuf sebagai salah seorang yang selalu rutin
melaksanakan salat jamaah di mesjid tersebut. Kini celah saf-Nya
telah kosong.

Dikalangan keluarga, meninggalnya Yusuf membuat Juwairyah


menjadi janda dan Hindon menjadi yatim. Soal kematian tidak ada
yang menduga, ini adalah permasalahan misterius yang pasti akan
terjadi. Soal tempat, kapan, dan sebabnya hanya sang pencipta
yang maha tahu.

Uma mengetahui kabar tersebut, ia segera meminta izin pulang


untuk berziarah atas meninggal ayah mertuanya.

Sampai di rumah. Uma telah disambut dengan tiang bendera


merah di lorong, tenda telah berdiri dan masyarakat telah
memenuhi halaman rumah. Segera masuk dan kebetulan mayit
belum dimandikan. Uma ikut membantu memangku dalam proses
memandikan dan ikut hadir proses mengkafani.
Selanjutnya, mayit siap untuk disalatkan, dan Uma berdiri
dibarisan paling depan bertindak sebagai imam. Selesai salat dan
berdoa, Uma kembali mengambil perannya sebagai menantu
dengan bertindak sebagai pemberi tausiah pelepasan mayit.

“Saya berdiri dihadapan bapak dan ibu sekalian, mewakili ayah


kami telah berpulang kerahmatullah. Untuk memohon maaf atas
segala ucapan dan perbuatan yang pernah dilakukan semasa
hidup bermasyarakat. Apakah sudi kiranya bapak-bapak dan ibu-
ibu sekalian memberi kemaafan kepada ayah kami,” pinta Uma.

“Sudah kami maafkan,” sahut masyarakat serentak. Lalu Uma


melanjutkan.

“Alhamdulillah. Selanjutnya perihal utang piutang jika mungkin


ayah kami semasa hidup ada terjerat hutang pada bapak dan ibu
sekalian, mohon jangan segan-segan menemui kami beserta bukti
utang berupa bon atau semacamnya. Agar ayah kami tenang
hidup di alam barzakh hingga hari kiamat tanpa ada kendala dari
urusan manusia. Juga pada kesempatan ini, saya ingin
mempersaksikan kepada bapak dan ibu sekalian. Apakah ayah
kami ini orang islam ...” “Iya ...” “Apakah ayah kami ini orang
beriman ...” “Iya ...” kembali sahut masyarakat. “Alhamdulillah,
semoga kesaksian bapak dan ibu sekalian menjadi alasan bagi
ayah kami ditempatkan di tempat yang layak dalam surganya
Allah. Amiin.” Uma menutup dengan mengajak masyarakat hadir
mengikuti acara tahlilan dan samadiah untuk mendoakan ayah
mertuanya.
Selesai tausiah pelepasan dilanjutkan dengan mayit dibawa ke
kuburan untuk di kubur. Selesai mayit dikubur. Uma kembali
mengambil peran sebagai pentalqin mayit. “Ayah ... nanti akan
datang dua orang malaikat menjenguk ayah. Ayah jangan takut
dan terkejut, mereka berdua adalah makhluk Allah. Mereka
menemui ayah untuk bertanya kepada ayah : Siapa tuhanmu?
Siapa nabimu? Apa agamamu? Apa kiblatmu? Apa imammu? Dan
siapa saudaramu ?, Maka jawablah duhai ayah dengan lidah yang
fasih dan keyakinan yang sungguh : Allah adalah tuhanku,
Muhammad nabiku, Islam agamaku, Ka’bah kiblatku, Alquran
imamku, dan semua orang mukmin dan muslim adalah
saudaraku.”

Apa Suman ayahnya Uma melihat perkembangan anaknya itu


merasa sangat terharu. Dia sangat bersyukur telah memiliki anak
seperti Uma yang siap melakukan prosesi fardhu kifayah atas
kematiannya nanti. Dia bangga melihat anaknya itu tumbuh
menjadi seorang yang tidak hanya membantu perkara dunianya,
tapi juga siap membantu memandikan ketika sekujur tenaga
tubuh tidak berdaya membersihkan kotoran di tubuh, siap
memakaikan pakaian kain kafan saat badan terkujur kaku tak
berdaya menutup aurat, siap berdiri di depan menjadi imam
mensalatkan saat kewajiban salat untuk diri sendiri sudah tidak
mampu ditunaikan, siap mengantar mengangkat kerenda saat
kendaraan mewah yang diperoleh di dunia sudah tidak bisa
dibanggakan lagi, siap menidurkan di tempat singgahan terakhir
tempat pemisah antara dunia fana dan kekal, siap membisikkan
ucapan penyelamat saat datang dua orang yang menanyai.
Duduk jongkok menadahkan tangan menyahut ucapan amin dari
doa yang dipanjatkan anaknya. Apa Suman menatap ke bawah
menampakkan kerendahannya dihapadan tuhan yang telah
mengehandaki anaknya menjadi paham cara berbakti kepada
orang tua baik ketika masih hidup dan sesudah meninggal. Begitu
pula yang dirasakan kak Nabon.

Masyarakat ikut berdecak kagum menyaksikan menantu


alm.Yusuf itu berdiri di garda terdepan melakukan prosesi fardhu
kifayah. Sebuah dugaan awal yang salah, bahwa seorang Uma
berasal dari kota tidak paham persoalan agama. Bahwa orang kota
terlalu memikirkan gaya hidup dunia luput dari mengingat akhirat.
Hari itu Uma menepis semua dugaan dari masyarakat yang
berpikir lain dari demikian.

Di rumah, Hindon dan Juwairyah dua orang yang ditinggalkan


masih larut dalam kesedihan. Air mata sedih terurai jatuh tanpa
dikotori dengan tangisan ketidakrelaan, yang merusak kancing
baju melawan kehendak ilahi. Mereka hanya bersedih atas
meninggalnya orang yang dicintai dengan penuh kerelaan atas
setiap titah jalan yang tuhan kehendaki.

Tiga hari adat di desa tersebut dilangsungkan acara tahlilan dan


samadiah. Mendoakan untuk almarhum Yusuf dengan berkat
bacaan tahlil, surat al-ikhlas, dan dzikir yang lain serta doa. Supaya
diampunkan segala dosa dan ditempatkan ke dalam surga. Uma
berdiri di depan rumah menyambut para tamu yang datang ikut
mendoakan. Bacaan tahlil diserahkan kepada teungku imam dan
doa dibacakan olehnya. Selama tiga malam berlangsung seperti
itu. Malam keempat dihadiri khusus untuk para pemuda.
Begitulah seterusnya hingga malam ketujuh dan seterusnya,
warga sangat antusias menghadiri pergeralan acara adat
keagamaan itu.

Datang membawa buah tangan berupa gula, teh dan barang


kebutuhan lainnya. Mereka para warga tidak membebani keluarga
yang berduka untuk mempersiapkan semuanya, mulai dari
jamuan makan dan minum, penyediaan tempat dan sebagainya.
Semua masyarakat membantu bergotong royong membantu
terlaksananya acara doa tersebut.

Juwairyah semula ragu dengan calon menantunya itu, bahkan


sempat menolak untuk menerima. Karena berpikir calon
menantunya itu adalah orang yang tidak bertanggung jawab atas
kewajiban dunia dan akhiratnya, hanya karena dia pria asal kota.
Hingga setelah resmi menjadi menantu, lima tahun berlalu sampai
saat itu, Juwairyah masih mengemban rasa ketidakrelaannya dari
menjadikan Uma sebagai menantu.

Rasa restu yang tanggung dari ibu adalah yang diketahui Hindon,
membuat hubungan dengan suaminya itu kurang sempurna,
pikiran sering kacau walau sedang berdua bersama orang tercinta.
Dan itulah sebab Hindon dan Uma sempat pisah ranjang meski
tanpa perceraian. Kericuhan tiba-tiba terjadi dapat dirasakan
begitu dalam oleh Hindon, yang membuatnya berpikir bahwa ada
kejanggalan dari hubungan mereka, dan itu adalah restu yang
belum sempurna dari ibu.

Melahirkan inisiatif mengatur rencana bagaimana caranya agar


sang ibu sepenuh hati menerima dan memberi doa restu yang
ikhlas. mencoba dan menjalankan apa yang diketahui bahwa, sang
ibu sangat menginginkan menantu yang alim ilmu agama, menjadi
pengganti seorang putra kandung menjadi imam saat Juwairyah
meninggal kelak.

Dan akhirnya cita-cita mulia tercapai, berkat dukungan penuh dari


suami. Sama-sama menjaga perasaan saat jauh. Hindon berjuang
bertahan sendiri merasakan kurangnya belaian dari suami, sabar
atas ucapan sang ibu yang sering membedakan kehidupannya
yang lebih senang jika bersanding dengan Rahman, menutup
telinga dari ucapan beberapa warga yang mengatakan dia
ditinggalkan suami.

Uma berjuang mengejar pelajaran dalam waktu relatif singkat


untuk mempersingkat waktu jarak jauhnya dengan istri.
Memahami bukan hanya dipelajari setiap pelajaran, demi
kehidupan rumah tangganya kelak yang lebih baik. Dan berhasil.

Hari itu, tepatnya hari ketujuh meninggalnya Yusuf. Juwairyah


mulai terlihat lepas berbicara dengan menantunya, sudah terlihat
restu kesempurnaannya. Juwairyah kini menyadari pikirannya
dulu salah menduga. Menantunya yang diragukan telah
membuktikan kepantasannya memenuhi hajat ibu mertua
mengganti peran putra kandung.

Hindon begitu lega menyaksikan pemandangan itu, pemandangan


keharmonisan antara hubungan ibu dengan menantu. Mertua
bersikap seperti ibu kandung. Rencana Hindon sukses, dan semua
itu tidak akan diceritakan kepada suaminya. Yakni rencana utama
dari ajakannya kepada Uma untuk mondok mengaji, yaitu
memenuhi hajat sang ibu tercinta yang menginginkan menantu
alim ilmu agama.

Sepuluh hari dari meninggal Yusuf, sudah berlalu. Uma mengajak


Hindon dan ibunya pindah ke kota tinggal bersama di rumah
orang tuanya. Keduanya tidak menolak.

Selama tinggal bersama, Juwairyah dan Zainabon begitu kompak


membantu urusan rumah tanpa merasa keberatan dari satu sama
lain. Begitu pula rasa sayang Hindon kepada orang tua kandung
dan mertua disetarai, tanpa pilih kasih dalam memberi kasih.
Keduanya dianggap sama, sama-sama orang tuanya yang harus
diberikan kerja bakti sepenuh hati.

Dan Uma, memilih kembali ke dayah untuk menyelesaikan


pelajaran yang hampir mencapai target. Mengejar beberapa
halaman kitab yang tersisa supaya mencapai kepuasan dari nikmat
ilmu yang diperoleh.

Beberapa bulan berjalan, Uma berhasil menyelesaikan kurikulum


yang direkomendasikan. Kini dia siap pulang, bermukim kembali
bersama istri tercinta dalam satu atap.

“Mari Uma kita minta izin sama Abu dulu,” ajak Zaidon beserta
Baka.

“Saya pribadi salut dengan kalian para pemuda yang peduli


dengan agama. Disaat kebanyakan pemuda menghabiskan waktu
berfoya-foya dengan dunia, kalian memilih meninggalkan itu
semua. Kalian sungguh sabar atas maksiat kenikmatan dunia,
jangan ragu jika suatu saat kalian memperoleh kebahagiaan dari
sang pemberi segalanya. Teruntuk kalian bertiga, jangan jenuh
membantu penyebaran ilmu agama, jangan pernah bosan
mendidik jiwa-jiwa mencapai kebenaran. Insya Allah, Allah akan
melindungi kalian, memenuhi segala hajat kalian, memberi jalan
keluar setiap kali ada permasalahan serta mudah dikabulkan
setiap harapan yang dititip kepadanya.”

“Tugas kalian belum berakhir. Perjalanan hidup masih panjang,


manfaatkan sisa umur yang diberikan untuk belajar dan mengajari
ilmu agama. Bukankah hidupnya islam itu dengan ilmu, dengan
ilmulah islam ini berjaya. Kuatkan tekad kalian untuk terus belajar
dan belajar, dilanjutkan dengan mengajari ilmu yang sudah
dipahami. Syukuri dengan masih adanya beberapa ulama yang
Allah tinggalkan, carilah ilmu sepuas-puasnya selama mereka
(ulama) masih diberikan kesehatan dalam mengajar. Kasadkan
dalam hati semoga kebaikan berupa ilmu yang bermanfaat juga
ikut turun kepada kalian.” Abu memberi petuah kepada Uma,
Zaidon dan Baka. Saat hari terakhir Uma mondok disitu untuk
meminta izin pulang setelah sudah mendapat kelayakan dari
Zaidon dan Baka bahwa, ia sudah mencukupi keperluan fardhu ain
yang dibebankan.

“Jangan lupa main-main kesini. Jika belum ada pekerjaan,


kembalilah kesini ikut membantu mendidik anak-anak ilmu
agama,” ucap Abu saat Uma menyalaminya. “Insya Allah Abu,”
sahut Uma.

Uma resmi pulang, selesai memenuhi hajat sang istri memperbaiki


jiwa suami.
Kepulangan Uma sangat terasa seperti baru saja mereka menikah,
kerinduan begitu dipendam dan ditahan kini sudah bisa
dilepaskan semuanya. Rasa gelisah sesama hati kini sudah bisa
diredup. Keduanya sudah bersatu dalam ikatan rumah tangga
yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam belaian kasih yang lebih
hangat tanpa kericuhan pikiran membebani.

Dalam suasana rumah tangga yang harmonis nan berilmu, mereka


siap memberikan cucu untuk orang tua, siap sepenuh hati
mendidik amanah menjadi orang yang layak.

Kini mereka telah siap menjalankan itu semua.


Bait Syahdu

Sayang ...
Aku sudah pulang,
Tolong ingatkanku jika suatu saat harus kembali jauh darimu
untuk tidak melupakanmu.

Baiklah,
Tolong ingatkanku juga untuk mencegah kepergianmu jika
kepergian itu tidak terlalu penting.

Aku mohon,
Tolong bantu peringatkanku saat mataku terlena melihat
pesonamu bahwa, ada pesona yang lebih dari ini untuk diriku
mengejarnya.

Aku pun begitu,


Peringatkanku juga saat jiwa merasa begitu tenang di dekatmu
bahwa, ada tempat yang lebih nyaman untuk aku meraihnya
kelak.

Aku pun begitu,


Berilah peringatan kepadaku saat diriku lalai bersamamu bahwa,
kelalaian ini tidak bisa membendung panasnya uap api
melelehkan tubuh.

Aku pun begitu,


Berilah peringatan kepadaku saat aku terlalu berharap akan
cintamu bahwa, pengharapan itu akan sia-sia jika tidak
disandarkan kepada pemilik kunci pintu harapan.
Sayang ...

Aku masih bingung menumpahkan rasa syukurku telah memiliki


cintamu.

Kamu tidak perlu bingung, cukuplah sayangi diriku atas nama


ibadat sebagai istri.
Aku yang ragu, apakah aku bisa melayanimu sesuai kemauanmu.

Kamu tidak perlu ragu, cintamu yang bersemi saat ini hingga
kedepannya, sudah cukup pelayanmu untukku sebagai suamiku.

Sayang ...

Kini aku pinta atas nama cinta ini, katakanlah dan tegurlah jika aku
sudah keterlewatan membantah saran dan ajakan darimu. Aku
siap sebagai istri menjadi budakmu, mendengar dan mematuhi
setiap perintah darimu suamiku.

Atas nama cinta yang kau agungkan, aku tidak mau jadi penghulu
atas orang yang kucintai. Aku menginginkan derajat yang sama,
tanpa pemimpin dan pembantu. Atas nama cinta itu, aku yakin
kita bisa sama-sama menjadi pemimpin, sama-sama menjadi
pembantu.

Tanpa egois,
Tanpa amarah,
Tanpa saling mencurigai.
Kita bentuk sama-sama rumah tangga kepercayaan berpondasi
ketakwaan berhiasi keindahan cinta.

Dalam naluri menggapai cinta hakiki.

Anda mungkin juga menyukai