Anda di halaman 1dari 4

NYI DARSIH VS CORONA VIRUS

By:

Maylan Duan

Entah kenapa, beberapa minggu terakhir ini suasana terasa mencekam. Jangankan mau
‘ha-ha, hi-hi’ ke tetangga, mau ketawa di rumah sendiri saja harus mikir-mikir. Mikirin dosa.

“Pinarak, Ibu-ibu…”

Suara Nyi Darsih tak seperti biasanya membahana terdengar sampai telinga penghuni
sepuluh rumah tetangganya. Belum lagi kalau istri Pak Mandor mendengar dan menyahuti suara
Nyi Darsih. Bakal jadi lapak adu mulut. Astaghfirullah…

Rumah Nyi Darsih sangat dekat dengan masjid kampung. Saking dekatnya shalat lima
waktu berjamaah tak pernah ia tinggalkan, meski hujan lebat atau mati lampu sekalipun. Tak ada
alasan baginya untuk tidak menapakkan kakinya di masjid, rumah Allah di Desa Manggis ini.

“Saya itu ndak bisa ninggalin kebiasaan mulia ini, Mbak Yu!”

Selalu begitu yang ia katakana acapkali berpapasan dengan orang lewat saat hendak
berjamaah.

“Pahalanya saja dua puluh tujuh derajat kok, kan sayang kalau dilupakan. Kalau
dikumpulin bisa buat bekal perjalanan ke Syurga, lho!”

Pembicaraan akan terus berlanjut sebelum ia mendengar iqamah atau yang diajak bicara
pamitan pulang. Ada pula yang memilih jalan lain supaya tidak berpapasan dengan Nyi Darsih.
Bukan menghindar, hanya saja takut dirundung pembicaraan yang kurang penting. Dan ujung-
ujungnya, apalagi kalau bukan ghibah.

“Eh, itu Si Maemunah kagak pernah ke masjid. Ngakunya aja perempuan bisnis, buat
ibadah waktunya udah abis…”

Yu Surti celingak-celinguk dengerin sahabat kecilnya. Takut ada orang lain lewat dan
mendengar kalimat Nyi Darsih. Kalau boleh jujur, Yu Surti tidak suka dengan sikap sahabat
kentalnya ini. Mendengarkannya dan menimpali dengan positif, itu yang biasa Yu Surti lakukan.

“Lho, kan kita ndak tahu kegiatannya to, Jenk! Bisa saja di rumah dia ahli wiridan sambil
jagain dagangan.” Masih celingukan Yu Surti takut pembicaraan ini akan menjadi ajang gossip.

“Mana ada waktu coba, Hegh?”

Sambil memonyongkan bibirnya ke kiri dan ke kanan Nyi Darsih tak terima sahabatnya
membela saingannya.

“Gek gawean opo, kok sampek gak kober budhal neng mesjid!”

Suara Nyi Darsih mulai meninggi. Membuat Yu Surti mengajaknya pulang.


“Yuk, pulang aja, gak elok ngobrol di pinggir jalan!”

Tak mau ada kesalahpahaman pada sahabatnya Yu Surti melangkah pulang duluan.
Dengan muka sebel akibat pembicaraan yang dirasa belum selesai, Nyi Darsih iku pulang juga.
Masih terasa berat hatinya sebab ada beban sekian kilogram belum ia keluarkan dari benaknya.
Tepatnya beban mental.

***

Sekelompok ibu-ibu pulang dari masjid tak menemukan wujud Nyi Darsih petang ini.
Setahu mereka hanya saat berhalangan saja Nyi Darsih tidak hadir di masjid.

“Hari ini dia tak tampak sama sekali, Jenk!” seloroh seorang ibu bermukena ungu. Ibu
kalem itu tak punya maksud hendak ghibbah hanya heran kenapa Nyi Darsih pemecah rekor
shalat berjamaah kok tidak ada batang hidungnya.

“Biasanya meski lagi datang bulan dia akan duduk-duduk di teras rumah lho, kemana dia?”
sahut ibu bermukena hijau.

“Apa dia sakit, ya?” sahut ibu yang lainnya. Kali ini dia bermukena navy.

Duh, ibu-ibu jaman now emang suka menjelma pelangi, deh! Author dibikin gemes.

“Hust!” jari telunjuk ibu bermukena ungu terangkat tepat nempel di bibirnya.

“Jangan bahas penyakit, Jenk! Jadi merinding kalau ingat Covid-19…” lanjut ibu ungu itu.

“Kenapa harus merinding? Kita ikhtiar dengan menjaga kebersihan dan berdoa untuk
keselamatan. Selesai. Perkara Allah ‘azza wa jalla mau menentukan seperti apa, itu di luar
kemampuan kita.”

Ibu navy memilih kebijakan sosial ketimbang bimbang.

“Kita tetap berjamaah begini kan sebab tidak bisa meninggalkan istiqomah, bukan tidak
khawatir pada itu pirus…”

….

Di rumah Nyi Darsih menggigil di tempat tidur busanya. Kedua anaknya menunggui sambil
mengerjakan tugas online dari sekolah yang belum kelar juga. Biasanya Nyi Darsih selalu
mendampingi mereka saat mengerjakan tugas. Suara Nyi Darsih sudah mirip guru MI desa
sebelah. Lantang dan tegas.

Suaminya belum pulang dari masjid. Ada virus atau tidak si suami memang selalu pulang
lebih akhir daripada bapak-bapak lainnya.

“Bapakmu tadi wiridan kok lama banget, lupa sama ibumu yang sakit begini…” keluh Nyi
Darsih di pembaringan.

“Bapak nggak wiridan, Bu. Tadi kulihat dari jendela bapak lagi ngobrol banter sama jamaah
lain. Bahas corona itu.” sahut Ayu anak sulung Nyi Darsih.

“Lha kok malah bahas corona…”


Nyi Darsih merintih dalam hati. Sejak terjangkit demam yang tak kunjung pulih, Nyi Darsih
ketakutan sekali. Dia lihat di TV kalau gejala terjangkit virus corona itu diawali dengan demam
tinggi. Dan dia sedang dalam keadaan demam.

“Mana nggak ada yang jenguk lagi…” keluh Nyi Darsih dengan air mata yang mulai
mengalir.

“Orang-orang pada takut dengan penyakitku…”

NYi Darsih yang terbiasa berpikir negatif tak mudah untuk sekali saja berpikir positif.
Sekalipun itu berpikir untuk dirinya sendiri.

“Waduh, sudah dua hari aku nggak bisa bangun untuk shalat lagi… ini kutukan Allah…”

Semakin deras air matanya mengalir semakin dia berpikir yang tidak-tidak. Hingga dia
tertidur pulas. Tak sadar si suami telah meletakkan kompres di kepalanya, menungguinya hingga
subuh tiba.

Pagi itu Nyi Darsih sudah tidak demam lagi. Tapi batuk dan pusing menyerangnya. Dia
tambah berprasangka buruk pada Sang Pencipta bahwa ini ketidakadilan. Kemana ibadahnya
selama ini? Kenapa diganti dengan penyakit?

“Harusnya yang sakit begini itu ya si Maemunah, Pak. Kenapa aku?” sambil batuk Nyi
Darsih masih sempat menyebut nama perempuan yang tak pernah tampak ke masjid itu.

“Astaghfirullahal’adziem… Ibu kenapa bicara begitu? Apa salah Maemunah hingga apa saja
yang terjadi kok dikaitkan dengan perempuan itu. Dia baik, Bu…”

Suami yang sedang meracik obat mengelus dada. Selama ini laki-laki itu begitu sabar
member nasehat sang istri sekalipun selalu dibantah. Dia tak pernah menginginkan hal itu, tapi
Allah berkehendak lelaki tersebut bersitrikan perempuan yang demikian sifatnya.

“Bapak ini nggak pernah membela ibu, jangan-jangan bapak suka sama perempuan itu!”

Sambil istighfar berulang-ulang lelaki itu meminumkan obat pada sang istri yang terus
mengomel.

“Bu, kapan penyakitmu sembuh kalau bicara saja tidak pakai pikiran…”

Suami Nyi Darsih mulai risih juga dengan ocehan istrinya. Akhirnya dia pamit memetik
labu di sawah untuk di jual.

Tak berapa lama sepeninggal suaminya ada yang mengetuk pintu. Kedua putrinya ada di
teras depan sejak tadi menunggu tugas guru yang dikirim via whatsapp.

Pintu terbuka. Dan…

“Sugeng enjing, Mbak Dar!” senyum dari pemilik suara itu merekah cantik sekali.

Nyi Darsih mencoba mengucek matanya kalau saja dia salah lihat siapa yang datang di
hadapannya.
“Sudah sembuh demamnya, Mbak? Ini tak bawakan madu sama buah. Mungkin bisa
membantu memulihkan stamina.” ditaruhnya bungkusan keresek besar di meja dekat
pembaringan Nyi Darsih.

“Oh, ya, Mbak Darsih kemarin sebelum demam sempat bersin-bersin apa enggak?” masih
terus tersenyum Maemunah mengajak bicara Nyi Darsih yang sejak kedatangannya tampak
bengong.

“Eh, em…” kikuk Nyi Darsih mau menjawab.

Ini orang kok tiba-tiba datang padahal barusan Nyi Darsih membicarakannya dengan tidak
baik.

“Bersin, iya, bersin. Hehe!” Sedikit tawa semoga menutupi kegugupannya, harap Nyi
Darsih.

“Syukurlah, kalau begitu.”

Ucapan syukur Maemunah membuat Nyi Darsih ingin bertanya.

“Kenapa memang kalau bersin?” Sikap acuh Nyi Darsih muncul lagi.

“Ya, bersin itu yang membedakan flu biasa dan bukan, Mbak!”

Nyi Darsih merasa ada pencerahan tentang penyakitnya.

“Maksudmu aku tidak terkena corona?” raut muka Nyi Darsih tampak berbinar.

“Lho, emangnya Mbak udah ke dokter? Udah dinyatakan positif?” Pertanyaan Maemunah
sampai tak terdengar lagi oleh Nyi Darsih.

“Alhamdulillah… aku tidak kena corona ternyata!” tak sengaja Nyi Darsih telah memeluk
erat Maemunah.

“Iya, Mbak. Semoga wabah ini segera berlalu sehingga kita bisa beraktifitas seperti
biasanya dengan tenang.”

“Aammiiin…” mereka berdua amin bersama.

Tak disadari bahwa suami, kedua anak dan beberapa ibu-ibu sudah berada di ambang
pintu rumah Nyi Darsih. Mereka yang niatnya menjenguk malah menyaksikan adegan luar biasa.

Semoga wabah ini selain membawa kewaspadaan juga mengusung penuh kebaikan.
Aamiin…

(4 April 2020, 5:44)

Anda mungkin juga menyukai