Anda di halaman 1dari 6

Selesai

Di kota ini adalah awal langkah terberat di hidupku, menopang beban dari
kerasnya kota metropolitan dan ketidakadilan sang pencipta dimana aku
berusaha sekuat tenaga menjadi seorang kakak sekaligus orangtua bagi adikku.
Nadira namanya, gadis berumur 10 tahun yang menderita kanker sel darah putih
atau yang sering disebut leukima sejak dia berumur 1 tahun, yang harus
merasakan sakit yang teramat pada bagian kepala dan sering kali mengeluarkan
darah pada bagian hidung/mimisan, serta harus meminum ratusan obat-obatan
itu untuk menyambung hidupnya.

Dan aku Rindu, seorang remaja yang akan melakukan apapun demi
kesembuhan adiknya sekalipun harus menjadikan dirinya sebagai seorang kupu-
kupu malam, menjatuhkan harga dirinya untuk membeli sesuap nasi dan
perawatan adiknya. Kedua orangtua kami meninggal 7 tahun lalu karena
kecelakaan maut yang membuat kami hidup sebatang kara tanpa arah dan
tujuan, Nadira tak pernah tau apa pekerjaaanku selama ini, aku pun tak sampai
hati menceritakannya dia hanya tau aku bekerja di salah satu kafe setiap malam
sebagai kasir.

“kak Rindu hari ini tidak bekerja?” tanya Nadira


“bekerja kok dek, kenapa?”
“hmm obat Nadira habis kak”
“besok kita beli ya, kamu tenang saja dek”

Percakapan itu sering kali kami katakan yang membuat dada ini seketika sesak
memaksaku harus bekerja lebih keras lagi dan memaksaku menemani laki-laki
bejat itu, tapi aku tidak ada pilihan lain, aku tidak peduli tentang hidupku, aku
hanya mau Nadira tetap hidup dan aku tetap melihatnya setiap hari di rumah ini.
Tepat pukul 7 malam aku segera menyiapkan diri untuk berangkat bekerja,
pekerjaan kotor itu.

Memasukan pakaian-pakaian itu serta semua make up, aku selalu simpan
perlengkapanku di tempat yang aman berharap Nadira tidak menemukannya.

“Alena… om sudah sampai nih kamu dimana?”


“Tunggu didepan perempatan kota ya, aku segera kesana”
Mereka memanggilku Alena sengaja aku mengganti namaku agar tidak ada
yang mengetahui siapa aku sebenarnya. Tidak ada yang bahagia dengan
pekerjaan ini, sekalipun mereka memberiku begitu banyak uang dan
menjanjikan segala kebutuhanku dan Nadira. Aku tau ini sangat menjijikan
bahkan aku tak mampu mengampuni diriku sendiri. Tak sekali dua kali aku
dilabrak oleh salah satu istri laki-laki itu, bahkan sempat aku dilaporkan ke
polisi karna telah menjalin hubungan gelap dengan suaminya, namun aku
memohon bahkan sujud kepada mereka agar tidak dimasukan ke sel penjara.
Wanita mana yang tidak sakit hati ketika suaminya membayar gadis untuk
menemani malamnya dan menjalin hubungan gelap, akupun jika berada di
posisi mereka mungkin akan melakukan hal yang sama.

Sesampainya aku di perempatan jalan sesuai janji, aku segera masuk ke dalam
mobil dan menuju ke salah satu hotel bintang 5.

“Nanti uangnya aku transfer saja ya…” kata lak-laki itu


“tapi janji ya… soalnya aku butuh banget om” kataku merayu

Hari sangat cepat berganti, setelah pekerjaanku selesai aku bergegas kembali ke
rumah. Sebelum itu aku mampir ke apotek terlebih dahulu untuk membelikan
Nadira obat dan sebungkus nasi padang kesukaannya. Tidak ada yang paling
berarti di dunia selain kebahagiaan Nadira
“kak Rindu sudah pulang?” tanya Nadira yang menyambutku di ruang tamu

“sudah dek, eh kakak membawa nasi padang kesukaan kamu loh… dimakan ya
sayang” jawabku
“wahhh makasih ya kak… kakak memang terbaik deh”

Malam ini aku tidak bekerja karna memang tidak ada panggilan dan aku ingin
menemani Nadira karena ia mengeluh kepalanya sakit.
“kak kepala Nadira sakit lagi…” kata Nadira yang semakin pucat

“kakak ambilkan minum dulu ya dek”

Aku yang segera berlari ke dapur untuk membuatkan teh hangat, saat aku
membuatkan teh hangat terdengar sesuatu terjatuh dari arah kamar Nadira.
“GUBRAAKKK”
Sontak aku yang terkejut langsung berlari menuju kamar Nadira, saat aku
membuka kamarnya Nadira sudah terjatuh pingsan di bawah ranjang dengan
darah mengucur di hidungnya.

“Dek bangun… Nadira bertahan sayang kakak segera bawa kamu ke rumah
sakit yah” kataku.
Suasana semakin panik ketika mata Nadira mulai sayup dan setengah tertutup,
aku segera menelfon ambulance dan kami pun berangkat menuju rumah sakit
terdekat.
“kak Rindu… Nadira nggak papa kok, kak Rindu jangan menangis” suara
Nadira yang semakin melemas

“Nadira kakak disini, Nadira harus temani kakak terus ya kakak nggak mau
sendiri”
Air mataku yang tak terbendung di sepanjang perjalanan ke rumah sakit, kondisi
ini pernah terjadi 3 tahun yang lalu, namun Nadira masih selamat dan aku
berharap kali ini Tuhan masih berbaik hati padaku.

Sesampainya disana Nadira langsung diarahkan ke ruang operasi, dan aku


segera mengurus segala administrasi agar Nadira segera ditangani.

“Dok selamatkan adek saya ya…” kataku dengan suara sesegukan


“kami akan mengusahakan yang terbaik untuk saudara Nadira ya bu”

2 jam pun tak terasa sudah berjalan namun belum ada tanda-tanda dari pihak
dokter selesai, pikiran ini mulai cemas hiruk-pikuk suasana menambah
kegelisahan.
Jika Nadira mampu melewati masa sulit ini sekali lagi aku berjanji akan
memberikan apa saja yang dia mau, membawa dia mengelilingi dunia seperti
impiannya membelikan boneka sebanyak yang dia mau dan membuatkannya
kue kesukaannya setiap hari.

Terdengar suara pintu terbuka dari ruang Nadira, akupun bergegas


mengahampiri dokter spesialis yang menangani operasi Nadira.

“bagaimana keadaan adek saya dok, dia selamat kan? saya bisa melihatnya
sekarang?” kataku penuh harap.

Namun aku tidak melihat raut wajah kepuasan dari dokter tersebut, bahkan saat
aku menanyakan pertanyaan itu, dokter itu hanya tertunduk saja tanpa sepatah
kata pun keluar dari mulutnya.

“kok dokter diem aja sih?, saya sedang bertanya loh!!”


“maaf bu Rindu, kami sudah berusaha semampu kami namun Tuhan lebih
sayang saudara Nadira”
Kata-kata itu seakan merenggut juga nyawaku tangisku semakin menjadi-jadi,
lalu aku harus apa setelah ini? Ayah dan ibu sudah pergi lalu Nadira pun juga
ikut menyusul mereka.

Aku yang masuk ke ruang terakhir Nadira menangis berharap tuhan


mengembalikan nyawa adikku, tidak ada kata yang mampu aku ucapkan. Aku
melihat Nadira terbujur kaku dengan mulut membiru tanpa hembusan nafas.

Aku yang mengantarkan Nadira ke pemakaman merasa gagal menjaganya tetap


hidup, merasa gagal menjadi kakak yang baik merasa gagal atas titipan ayah
dan ibu.
Taburan bunga itu seakan mengugurkan hidupku pula, membawaku kedalam
kekelaman yang semakin dalam, semua orang di pemakaman itu hanya
memelukku dengan erat memintaku untuk ikhlas mengantarkan Nadira di
tempat peristirahatan terakhirnya.

Sebulan kemudian, aku tak lagi bekerja dalam pekerjaan kotor itu karena untuk
apa lagi bahkan hidupku sudah tidak berguna setelah ini. Aku masih mengingat
hentakan kaki Nadira melihat dia bermain di teras memasakan makanan untuk
kita sarapan dan masih banyak. Saat aku memutuskan untuk membersihkan
kamar Nadira dan membereskan sisa barang yang ada, aku melihat obat-obatan
itu yang setiap hari harus ia telan berbagai bentuk berbagai warna, aku yakin
Nadira tak menyukai itu namun aku selalu memaksanya untuk minum, sangat
jahat bukan.

Entah apa yang aku pikirkan saat itu, aku mengambil segenggam obat-obatan
itu dan mengambil segelas air. Aku tak tau apa yang akan terjadi setelah obat-
obatan itu aku paksa masuk kedalam tubuhku yang pasti setidaknya aku bisa
merasakan apa yang Nadira rasakan selama ini.
Perutku mulai terasa sangat panas dan tenggorokan ini terasa tercekik semua
saraf mulai tidak berfungsi sebagai mana mestinya, aku merasa ajalku sudah
sampai diujung mata aku tak mampu membuka mata dan merasakan sakit yang
teramat, aku terjatuh aku hanya mendengar teriakan beberapa orang memanggil
namaku dan meminta pertolongan namun aku tidak bisa merasakan apapun lagi.

Aku berharap Tuhan tidak menyelamatkanku setelah ini agar semua selesai dan
aku bisa berkumpul bersama ayah, ibu dan adiku Nadira di tempat yang abadi.

Anda mungkin juga menyukai