Anda di halaman 1dari 2

Perempuan tanpa Rasa Lelah

Oleh : Fitri Yuliana*


Sore itu, dengan membawa uang untuk ongkos bis dan membeli oleh-oleh di jalan, aku berangkat ke
terminal diantarkan oleh seorang teman baik untuk pulang kampung karena rindu perempuan berhati
malaikat, Ibu. Seperti kebiasaan Ibu setiap aku pulang kampung, Ibu tidak pernah lupa untuk memasak
makanan kesukaanku yaitu daun kelor, nasi jagung, dan tahu goreng. Makanan itu memang sederhana,
tetapi makanan paling mahal pun yang pernah aku beli di Bandung belum pernah berhasil menandingi
masakan Ibu tersebut.
“Kenapa sebentar sekali pulangnya ndhuk?”tanyanya, tenang dan pelan. “Iya bu, aku kan harus
mengurus persiapan wisuda dan kerjaku supaya bisa bawa ibu ke Bandung seperti impian Ibu”Jawabku
sambil mengambil uban di kepala Ibu sore itu.
“Ndhuk, Ibu pusing sekali, tolong belikan Ibu obat ya”Katanya menjelang hari keberangkatanku ke
Bandung.
Sejak hari itu, kesehatan Ibu menurun drastis bahkan untuk shalat pun, Ibu harus shalat berbaring. Aku
memutuskan untuk menunda keberangkatanku ke Bandung dan meminta tolong seorang teman untuk
mengurus semua syarat wisuda.
“Lestari, tadi Ibumu jatuh di kamar mandi”Ucap seorang tetangga ketika melihatku yang baru pulang
dari toko untuk membeli obat untuk Ibu karena obatnya sudah habis.
“Kasihan ya Lestari, anak tunggal dan ayahnya sudah meninggal pula”
“Iya, nggak kebayang duh kalau jadi dia”
“Kenapa dia tidak menikah saja supaya keluarganya mempunyai sosok laki-laki?”
Bisikan tetangga yang mulai ku dengar satu persatu setelah kejadian Ibu jatuh di kamar mandi.
“Ndhuk, bawa Ibu ke rumah sakit yuk, Ibu merasa semakin tidak baik”Ucap Ibu dengan suaranya yang
terdengar sangat lemah
Dengan meminta bantuan seorang kerabat, aku membawa Ibu ke rumah sakit dan setibanya di rumah
sakit, kami masih dibuat ribet oleh administrasi yang menurutku masih jauh lebih penting nyawa Ibu
dari pada adminsitrasi tersebut.
“Suster, tolong bawa Ibu saya ke ruang rawat, nanti administrasinya saya urus”Ucapku sambil
memohon kepada seorang suster sambil menangis karena Ibu sudah kritis
Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya Ibu dibawa ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD)
dan aku setia menungguinya walaupun kondisi Ibu masih koma. Duniaku saat itu seperti ingin runtuh
tetapi Ibu masih membutuhkanku, satu-satunya orang yang Ibu punya setelah ayah meninggal dua
belas tahun yang lalu.
“Tante, tolong jaga Ibu dulu ya, aku mau beli air hangat untuk mengompres Ibu karena badan Ibu
demam”Ucapku kepada tante yang baru tiba di rumah sakit.
“Ibumu sakit apa?”Tanyanya tanpa menjawab ucapanku
“Ibu divonis kanker hati tante”
“Oh iya, semoga cepat sembuh. Besok tante kesini lagi”Ucapnya sambil meninggalkanku yang masih
termenung sendirian sambil berdiri di ruang rawat Ibu.
Sikap tanteku tersebut membuatku sadar bahwa Tuhan memang sedang mengujiku dan Ibu. Kami
dituntut untuk mandiri walaupun sebenarnya ingin rasanya aku mengeluh sambil menangis.
Di umurku yang ke-20, merasakan kepahitan hidup dimana harus merawat Ibu sendirian di rumah
sakit, mengurus pembayaran dan administrasi rumah sakit lainnya membuat aku dipaksa untuk dewasa
sebelum waktunya.
Hari ketiga di rumah sakit, Ibu baru sadar dan membuka mata. Hal itu sudah cukup rasanya mengobati
rasa sedih dan membangkitkan semangatku walaupun Ibu masih sangat lemah dan sering menutup
mata karena pusing.
Ibu, perempuan yang selama aku berada di Bandung pasti tidak pernah absen menelfonku tiga kali
sehari hanya untuk memastikan apakah aku baik-baik saja dan apakah aku sudah shalat serta makan.
Ibu, perempuan yang omelannya terdengar sangat merdu di telingaku. Ibu, perempuan yang selalu
mengusahakan yang terbaik untuk kuliah dan hidupku selama di Bandung. Ibu, perempuan yang juga
berhasil menjadi seorang ayah untukku.
“Ndhuk, Ibu boleh minta tolong?”
“Boleh bu. Ibu mau apa?”
“Kalau di dunia ini tidak ada orang yang menurut kamu benar-benar baik dan tulus dan baik sama
kamu, tolong jangan jadikan itu alasan buat kamu berhenti menjadi orang baik ya”
Sejak itu, Ibu mengajariku bahwa di dunia ini memang tidak ada orang yang setulus Ibu sekalipun itu
adalah anggota keluarga sendiri. Kenangan perjuangan Ibu dalam merawatku selama 20 tahun berputar
memenuhi ruang ingatanku, mulai dari ketika keluarga kami tidak setuju kalau aku kuliah ke Bandung
karena dianggap hanya akan menghabiskan warisan kakek.
Selama Ibu di rumah sakit, aku hanya ditemani oleh dua bibi. Walaupun masih sering kelimpungan
dalam mengurus semua hal selama di rumah sakit, tetapi dua bibi sangat membantuku untuk menjaga
Ibu ketika aku harus keluar dan mengurus administrasi rumah sakit serta bertemu dokter.
Setelah melewati hari-hari yang berat selama di rumah sakit mulai dari melihat Ibu kritis selama dua
hari, menemani Ibu selama dua puluh empat jam, selalu berusaha siap siaga ketika Ibu terbangun dan
membutuhkan sesuatu, dan selalu mengontrol cairan infus Ibu dan melaporkan ke perawat apabila
habis, akhirnya Ibu boleh pulang dan keadaannya mulai membaik.
“Siapa yang akan jemput kita ndhuk?”Tanyanya ketika aku sibuk menelfon tante yang kebetulan
berjanji untuk menjemput kami.
“Ibu tenang saja biar Lestari yang mengurus semuanya”
“Lestari, saya diminta tantemu untuk menjemput kalian”
“Tante kemana pak? Kenapa tidak ikut?”
“Ada urusan pekerjaan di rumah katanya”
Mendengar jawaban pak Rahmat yang merupakan sopir pribadi tante membuat hatiku kembali teriris
karena di momen yang sulit seperti ini aku harus mandiri tanpa bantuan siapapun. Tak mau
memperlihatkan wajah sedihku, akhirnya aku meminta dua bibi dan Ibu masuk duluan ke mobil
sembari menungguku membereskan barang-barang kami selama di rumah sakit.
Rumah kami mulai ramai. Tante-tanteku berkumpul begitupun dengan tetangga ketika melihat mobil
tante memasuki halaman rumahku. Tumben mereka datang ke rumahku dengan memasang wajak sok
peduli.
“Bibi, tolong langsung bawa Ibu ke kamar ya supaya bisa istirahat”Ucapku kepada bibi sambil
menyapa tetangga-tetangga yang berniat menjenguk Ibu.
“Lestari, kamu sama siapa ndhuk merawat Ibumu di rumah sakit?”Tanya seorang tetangga yang
memang tau kalau aku adalah anak tunggal.
“Aku dan tante-tantenya yang lain yang menjaga Ibunya lestari di rumah sakit. Lestari kan masih anak
kecil. Tau apa sih dia, jadi kami bantu mengurus semuanya di rumah sakit bahkan kadang tidak tidur
semalaman”Jawab tanteku dengan wajah sok tenang.
Sebentar, hei, kenapa kalian bulshit sekali omongannya? Kenapa kalian seolah-olah menjadi orang
yang selalu membantu Ibu padahal hanya sekali ke rumah sakit dan itu pun hanya sebentar? Ibu, Ibu
harus lihat kebohongan-kebohongan yang tante lakukan bu. Ibu, mereka menganggapku masih anak
kecil yang tidak bisa merawat Ibu.
“Pasti Lestari beruntung sekali ya memiliki tante seperti kalian”
“Tidak, Lestari lebih beruntung kalau tantenya ini diam dan tidak perlu berbohong”
Sebentar, itu kan suara Ibu. Kenapa Ibu bisa keluar kamar? Bukannya tadi Ibu masih istirahat?
Benar, Ibu mendengar semua kebohongan tante dari balik jendela kamar dan ibu akan selalu menjadi
orang pertama yang akan membela anaknya.
Ibu, perempuan berhati malaikatku sudah kembali.

*) Alumni Santri Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Utara Pi dan berdomisili di Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai