Anda di halaman 1dari 3

Senin pagi, sekitar pukul 06.

30 WIB aku menuju ke teras rumah kecilku,


kupandangi anak anak SMA seusiaku yang bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
“Andai saja aku masih sekolah, mungkin sekarang aku akan berangkat ke sekolah
bersama mereka,” gumamku di dalam hati.
“Kak Nisrina, kok masih disana? kok belum siap-siap jualan?” suara Lestari, adikku,
terdengar sangat keras, serentak menyadarkanku dari lamunan.
“Eeeh, kamu ngagetin aja Dik, iya ini kakak udah mau siap-siap kok,” jawabku dengan
setengah kaget.
“Kakak lagi ngapain sih? ngeliatin anak-anak SMA itu ya?” Tanya Lestari kepadaku.
“E e enggak kok” jawabku gugup.
“Maafin Lestari ya Kak, gara-gara Lestari sekarang Kakak jadi enggak sekolah,” ujar
adikku sambil menggengam erat tanganku.
“Ah kamu apa-apaan sih Dik, itu kan memang sudah menjadi keputusan kakak. Jadi
kamu enggak perlu minta maaf, ini udah jam berapa?. Berangkat sana gih!” ucapku
sambil tersenyum padanya.
”Yaudah Kak, Lestari berangkat dulu ya Kak,” katanya sambil melangkahkan kakinya.

Kami berasal dari keluarga yang bisa dibilang tidak mampu. Ibuku seorang
penjual kerupuk keliling dan ayahku meninggal 2 tahun silam akibat penyakit yang
dideritanya. Lambat laun keuangan keluarga kami semakin menipis. Karena itu, ibu
harus membanting tulang menafkahi aku dan adikku. Selain itu, aku terpaksa putus
sekolah karena ibu tidak mampu membiayai sekolahku. Aku tidak tega jika hanya ibu
yang menafkahi keluarga kecil ini, dan aku pun mengalah agar adikku, Lestari saja yang
sekolah. Jika sekarang aku sekolah, pasti aku sudah kelas 3 SMA.

Sebagai anak yang pertama, aku harus dewasa karena aku tahu penghasilan ibu
sangat tidak seimbang dengan semua kebutuhan keluarga kami. Jangankan untuk
membayar sekolah Lestari, untuk makan sehari-hari pun terkadang hanya menunggu
uluran tangan tetangga. Ya, tetangga kami yang selalu membantu kami di saat
kesusahan. Kehidupan mereka memamg lebih beruntung di banding kami, tetapi kami
tetap harus bersyukur kepada Sang Pencipta. Jika terpaksa, tak jarang ibu harus
hutang sana dan sini demi sesuap nasi. Untuk mencari uang tambahan, aku membantu
ibu menjual es keliling di sekitar terminal. Jarak terminal dari rumah sekitar 3 km.
Padahal, di rumah hanya ada satu sepeda yang biasanya digunakan ibu untuk
berjualan. Jadi, kalau sepeda dipakai ibu, terpaksa jalan kaki menuju terminal.
“Bu, Nisrina jualan dulu ya,” pamitku pada ibu.
“Nis, maafin ibu ya, kamu tidak bisa menikmati masa remaja seperti layaknya anak-
anak seusia kamu,” ujar ibu.
“Bagi Nisrina, itu tidak penting Bu. Yang penting, keluarga kita rukun dan sehat.
Nisrina sudah sangat senang kok Bu,” jawabku pada ibu, lalu ibu memelukku.
“Kamu memang anak yang baik Nis,” kata ibu sambil memelukku.
“Itu sudah menjadi kewajiban Nisrina Bu, ya udah, Nisrina berangkat dulu,”
“Hati-hati ya Nak” ujar ibu sambil melepaskan pelukannya.

Setelah berjalan cukup jauh, aku tiba di terminal, aku segera berkeliling dan
mendekati anak kecil. Karena biasanya mereka lah yang sering membeli es
daganganku. Untungnya cuaca hari ini cukup panas. Jadi es daganganku sangat laku
dan terjual habis. Hasil penjualan esku hari ini cukup lumayan, yaitu Rp 35.000,00.
Karena aku terlalu lelah, aku beristirahat dan sholat dzuhur di mushola. Setelah sholat
dzuhur, tanpa terasa mataku terpejam cukup lama.

Tidak terasa matahari akan pulang ke peraduan. Aku harus segera pulang.
Karena ibu pasti khawatir. Setelah sampai dirumah uang dagangan ku berikan kepada
ibu. Namun, ternyata uang tersebut tidak ada. Aku mencarinya ke dalam kantong
celana dan tas kecil yang biasa aku gunakan untuk berjualan. Akan tetapi aku tidak
berhasil menemukan uang tersebut. Lantas aku menyusuri tiap jengkal jalan yang telah
aku lewati dengan harapan menemukan uang itu. Usahaku sia-sia. Uang itu seperti
ditelan bumi. Aku sangat sedih karena sebelumnya adikku bilang buku tulisnya sudah
habis. Aku berjalan gontai, lemah, letih, dan lesu menuju rumah. Di depan rumah
adikku sudah menungguku. Wajahnya terlihat sumringah. Hatiku semakin sakit.
Dalam hati aku mengatakan, “Maafkan kakak ya Dik, kakak tidak bisa membelikanmu
buku tulis.”
“Kak, nanti jadi beli buku kan?”, tanya adikku dengan penuh semangat. Dengan muka
yang pasrah, “Maafkan kakak ya Dik, kakak belum bisa memelikanmu buku tulis, uang
hasil jualan kakak hilang.”
“Ya sudah Kak, tidak apa-apa, lain kali saja kalau kakak ada rejeki dibelikan ya! Lestari
masih punya buku tulis, tadi Ibu Guru yang memberikannya karena aku mendapat
nilai ulangan fisika seratus.
Nisrina memeluk adiknya dengan penuh rasa syukur karena Tuhan masih sayang pada
keluarganya. Sambil melepas pelukanku, aku mengajak adikku makan. Ibu sudah
memasak makanan kesukaan kami. Sayur asem, tempe goreng, san sambel terasi.

Kami segera ke dapur dan makan. Seusai makan, aku menghidupkan radio yang
biasa dipakai ayah ketika beliau masih hidup, tembang-tembang lawas dari radio itu
cukup menghibur diriku sembari beristirahat sejenak melepas lelah setelah seharian
berjualan es keliling.

Anda mungkin juga menyukai