Anda di halaman 1dari 15

Tangis Melissa

Cerpen Karangan: Nisca Marsandi


Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 25 September 2022

Melisa datang menemui ibunya, ia berkata lirih takut jika ibunya memarahinya
“Ma”
Ibunya tak menjawab ia hanya menengok ke arah Melisa
“Apakah benar Melissa punya kakak?”
Ibunya tak menjawab hanya sedikit melotot karena terkaget
“Ma?”
“Iya anakku”
“Mama apakah benar kakak meli ikut dengan papa” tanya Melissa lirih
Ibunya tak bisa menjawab, ibu yang sedari tadi mengiris wortel menghentikan tugasnya, ia
memalingkan wajah ke Melissa dengan serius lalu duduk di kursi dapur, ia menghela nafas,
tak tahu apa yang hendak ia katakan

“Papamu sudah tiada nak, dan kamu tidak punya saudara, mama lah yang membesarkanmu”
Melisa tampak tak puas dengan pernyataan mamanya,
Gadis belia berumur kelas 2 SMP itu menarik baju ibunya, Melissa hendak menangis, tapi
ibunya tahu Melissa hanya berpura-pura tegar.

Hening sesaat, Melissa tak tahu harus melanjutkan pertanyaan karena tidak sesuai yang dia
harapkan. Ibunya tahu, ia menghela nafas, lalu dengan intonasi agak berat ia berkata
“Sayang, mungkin sudah saatnya meli tahu”
Sepertinya dadanya luluh bergetar namun ia pura pura tegar, lalu melanjutkan pernyataannya
“Sebenarnya ibu berbohong kepadamu sayang selama ini” ibu Melissa menarik Melissa lalu
mendekapnya, sambil mengusap rambut anak perempuan itu.
Melissa hanya diam, tak bertanya lagi, menunggu kata perkata dari ibunya

“Mama sebenarnya cerai dengan papa kamu”


Melissa berusaha tegar
“Mama tahu mama salah, namun Meli harus dengerin mama”
Di dalam dekap ibunya melissa mengangguk
“Mama tak bisa bertahan hidup dengan papamu, papamu mencampakkan mama ketika mama
mengandung meli”
Ibu Melissa berusaha memilih kata kata yang menurutnya paling tepat agar gadis itu tetap
baik baik saja

“Terus, kata om Ari papa lari dengan wanita lain?”


Tanya Melissa
Ibunya bergidik, om Ari adalah adik ipar dari kakaknya, tak sepantasnya pria tua lajang dari
kecil itu berkata seperti itu pada anaknya, namun ini tugasnya untuk menjelaskan apa yang
sebenarnya terjadi

“Melissa, mama mau bercerita, tenangkan hatimu sayang” ibunya menghela nafas
“Saat hamil kamu beberapa bulan, Papamu waktu itu mabuk, papamu seorang pemabuk
waktu itu, malam itu papamu mabuk berat, dia pulang ke rumah sambil meminta mama untuk
menyerahkan sertifikat tanah dan semua perhiasan yang mama punya, mama tidak kasih
waktu itu, tapi papamu malah membentak dan waktu itu mama disakitin oleh papamu”
Ibu Melissa menerawang masalalu, kini ia sendiri yang harus memilih memori di kepalanya
dengan hati hati agar tak terlalu sakit untuk mengingatnya

“Papamu menerobos kamar tempat menaruh semua perhiasan dan sertifikat tanah, mama
kewalahan bahkan mama waktu itu yang sedang mengandung kamu terpelanting ke lantai”
kata ibu Melissa
“Akhirnya semua barang berharga yang mama kumpulkan berdua dengan papamu terampas
habis, dan beberapa hari kemudian papamu pulang lagi mabuk dengan wanita lain”
Wajah ibu Melissa memerah, hendak menangis namun ia tahan

“Akhirnya semenjak itu papamu tak pernah pulang lagi, dan yang mama temui waktu itu
teman papamu yang meminta hutang papamu dilunasin, hingga akhirnya rumah terakhir
diminta oleh pihak bank”
Ibu Melissa menangis,
Tak kuasa menahannya sedari tadi, Ia menangis sambil mendekap anaknya yang ia sayangi,
yang ia pertahankan dari bayi hingga sekarang, anak yang apapun akan dia lakukan agar anak
satu satunya itu bahagia.

Melissa berdiri melepaskan diri dari tubuh ibunya,


Berkata lirih
“Ma, Melissa sayang mama”
Ibu Melissa mengangguk tak tahu harus berkata apa, lalu dipeluknya gadis belia itu.
Dalam hati ia berjanji, ia akan menjaga anak gadis itu hingga dewasa, hingga suatu saat ada
yang menjaganya ketika ia sudah tidak mampu lagi menjaganya.

Melissa melepas dekapan ibunya, ia berjalan pelan langkahnya gontai, di pikirannya


berkecamuk banyak hal, ia melangkah menuju kamar tidurnya, ditutupnya pelan pelan, lalu
berbaring diatas ranjang tidurnya.
Mulutnya ia tutup rapat rapat dengan bantal, lalu menangis, menangis sekencang yang ia bisa.
Perjalanan

Cerpen Karangan: El Dziken


Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 25 September 2022

Kali ini, niatku sudah pasti. aku mau pulang!.


Entahlah, sudah berulang kali aku punya niat pulang, namun selalu terhalang dengan sesuatu
hal.

“Sudah kau pikir kembali Nan, keputusanmu untuk pulang?” Tanya Bude Lastri.
“Iya, Bude, walaupun aku tidak tahu lagi wajah Ibu sekarang, tapi aku coba untuk mencari
alamatnya.”
“Kalau sudah bulat tekadmu, ini, Bude punya sedikit bekal untuk perjalananmu nanti, tak
banyak” kata bude Lastri menyodorkan beberapa lembar uang.
“Bude, apa tidak merepotkan?” Aku kembalikan lagi pemberian Bude.
“Jangan sungkan, Nan, perjalananmu jauh, kau perlu banyak ongkos di sana,” kata bude
menyodorkan kembali uang tersebut kepadaku.
“Terima kasih Bude, selama ini Bude banyak membantuku” bisikku, seraya mencium
punggung tangannya.

Bude Lastri, bukan soudara, namun berasa soudara, tetangga sebelah yang menanggap aku
sebagai anaknya. Dan aku memanggilnya Bude.
Bapak sudah meninggal, kami tiga bersaudara, Mba Nindi, Aku (Kinan), dan Ryan. Kami
terpisah, sejak perceraian bapak dengan ibu. Aku, ikut bapak, mba Kinan ikut ibu, dan Ryan
dibawa Tante Maya, adik kandung ibu.

Surat dari mba Nindi, dua tahun yang lalu masih aku simpan. Waktu itu, mba Nindi
memintaku untuk datang di acara pernikahannya .
Namun aku tidak menghadirinya, karena bertepatan dengan bapak yang meninggal waktu itu.
Dan setelah itu, tidak ada lagi komunikasi di antara kami, keberadaan mereka pun aku tidak
tahu menahu.
Ryan, adikku yang ikut Tante Maya, nampaknya sibuk sekali dengan kegiatan sekolahnya.
Akhirnya aku yang punya inisiatif harus aku kunjungi segera ibu dan kakakku.

Aku sudah di dalam bus menuju desa karang Sembung, sebuah desa di kota bawang. Aku
naik bus jurusan Pantura.
Kubuka lagi surat dari mba nindi, ada alamat tertera di sana, dengan bekal alamat ini aku
nekad mencari ibu dan Mba Nindi, yang sebenarnya aku sama sekali tak ada gambaran di
otakku.

Hampir tujuh jam perjalanan, akhirnya aku sampai di halte terakhir pemberhentian.
“Mba nya mau ke desa Karang Sembung kan?” Tanya sang kernet padaku.
“Iya, mas betul, apa di sini berhentinya?”
“Betul mba, turun di sini dan lanjut ke arah Utara pakai mobil angkutan desa mba, sini saya
bantu mba” sarannya dan aku pun segera turun dan menuruti perintah kernet naik angkotan
desa yang sudah dipilih.

“Mau kemana mba?” Supir pun bertanya.


“Ke desa karang Sembung pak, apa betul naik mobil ini pak?” Tanyaku agak ragu.
“Betul mba, mau ke tempat siapa?”
“Ke rumah ibu saya pak”
“Oh, nanti di sana dijemput atau gimana? Karena kalau ke daerah karang Sembungnya masih
jalan lagi mba, kalau ada ojek pakai ojeg mba.”
“Oh gitu ya pak, ya pak terima kasih pak.”
Dan mobil angkutan desapun melaju dengan banyak penumpang.

Hampir dua jam aku berdiri didepan bekas bengkel, katanya sebagai pangkalan ojeg, namun
nyatanya tak ada satupun ojeg mangkal. Kupikir aku salah alamat, tapi saat aku tanya
beberapa orang, mereka membenarkan alamat yang kusodorkan.
Namun mungkin lagi tak beruntung, semua ojeg tidak mangkal hari ini. Kulihat jam sudah
hampir mendekati angka lima, Ah coba aku jalan saja, biar aku tak kemalaman di jalan.

Dengan santai aku telusuri jalan menuju desa karang sembung.


Jalanan yang masih berbatu aku telusuri terus.
Banyak bertanya sepanjang jalan dan mereka menunjuk masih ke arah sana mba, begitu
jawabannya.
Aku semakin yakin inilah jalannnya. Kupercepat langkahku karena sore akan segera merapat.
Senja sudah turun, dan keadaan tubuh yang lelah pun sudah terasa.

Di persimpangan, aku kembali bingung, kemana lagi arahnya, dari jauh ada seseorang yang
bersepeda nampaknya, orang yang barusan pulang dari ngarit, karena seonggok rumput
bertengger di boncengan sepeda tersebut.
“Maaf pak, mau tanya, apa bapak kenal alamat ini?” dan aku menunjukan alamat ibuku.
“Oh ini sih, rumahnya Bu Giarti, masih ke atas lagi, ayo ikuti saya, tapi nggak bisa bonceng
mba ada rumputnya” jawab bapak itu.
Aku mengiyakan betul nama ibuku Sugiarti. Seakan ada harapan baru dan semangat baru.
“Nggak apa pak, saya jalan kaki.”
Dan kamipun melanjutkan jalannya, berjalan dengan cepat tentunya, karena aku harus
mengimbangi jalannya bapak itu, yang memang jalannya cepat, mungkin memburu waktu
karena gelap akan turun.

Kini rumah ibu sudah di hadapanku, rumah model kuno. Samar samar aku mencoba
mengingatnya, karena akupun pernah tinggal di sini, namun tak bisa aku ingat. Blank.

Kucoba mengetuk pintu rumahnya.


Sepi.
“Assalamuallaikum”
Sepi lagi… tak ada suara.
Aku mulai ragu dan takut.

“Wallaikumsalam…” tiba tiba ada yang menyahut dari dalam.


Pintu terbuka pelan, dan muncullah seorang wanita dengan wajah keibuan dan sudah
memutih di sebagian rambutnya. Gurat wajahnya… aku nampak tak mengenalinya.
“Maaf Bu, ini Bu Sugiarti?” Tanyaku pelan
Wanita itu mengangguk lemah.
Segera kusalami tangan ibuku.
“Kinan Bu, aku Kinanti” seruku sambil menunjuk diriku. Masih ibu ini tak mengenalku.
“Kinanti prinangsih Bu.. anak Bu, bapak saya Pak Sutomo Bu” selaku mencoba menjelaskan
padanya.
Mendengar nama bapak disebut, ibu langsung tersenyum dan berkata, “Kinan… Kinan adik
Nindi..” sahutnya senang.
“Iya, Bu.. aku Kinan” dan air mata pun tak terbendung.

Di dalam kami banyak bercerita, sepiring singkong habis aku makan, rasanya nikmat sekali.
Ibu tersenyum melihatku makan dengan lahap.
“Besok aku masakan, hari sudah gelap dan di rumah tak ada persediaan apapun” gumamnya
pelan.
“Besok kita ke pasar Bu” ajakku, ibu sambil terus memegangi tanganku.
Ibu banyak menceritakan tentang Mba nindi, setelah menikah, diboyong suaminya dan jarang
menengok dirinya lagi.
Malam ini aku tertidur nyenyak sekali, efek cape yang luar biasa.

Pagi menjelang, warna sinarnya nampak tembus di ventilasi rumah, jam berapa ini? Kulihat
jam tanganku, sudah jam delapan pagi! Aku terlambat bangun.
Segera aku turun dari ranjang dan keluar kamar, kudapati ibu sedang duduk di meja makan!
“Maaf Bu, aku kesiangan” kataku dan mendekati ibu yang sedang membuat sesuatu.
“Kau pasti cape semalam kan?, Ibu cuma ada kebun singkong di belakang rumah, jadi ibu
masak sayur bobor daun singkong dan sama ikan asin saja”
Aku tersenyum. Aku bilang tak masalah, dan aku ijin mandi dulu.

Badanku terasa segar kembali, kini baru bisa kuamati seluruh rumah ibuku, karena kemarin
hanya diterangi lampu lima Watt saja.
Rumah model kuno, hanya ada dua kamar saja ruang depan juga ruang tengah, dapur dan
kamar mandi.
Dan belakangnya sepetak tanah ditanami singkong dan beberapa pohon cabe dan tomat.
“Makanlah Kinan, ibu menunggumu”
“Kenapa ibu tidak makan duluan”
“Ibu ingin makan bersama kamu nak”
Bergegas aku duduk berseberangan dengan ibu.

Banyak keluh kesah seorang ibu, bahkan ibu pernah menikah lagi setelah cerai dengan bapak,
tapi mba nindi tak pernah akur dengan bapak sambungnya, selalu bertengkar, dan ibu yang
menjadi sasarannya.
Ibu mendapat suami kedua seorang pemabuk dan suka sekali berj*di, makanya nindi tidak
suka.
Aku terdiam, sebenarnya akupun ingin banyak menceritakan semua keluh kesahku, juga
masalah Ryan dan keberhasilanku yang sekarang aku sudah PNS. Dan ingin membawa ibu
serta, karena bapak sudah…
Aku belum sempat menceritakan kalau bapak sudah meninggal.

Banyak cerita, ternyata sudah jam tiga sore, terlihat ibu sudah tertidur siang, nyenyak sekali
kelihatannya.
Aku masuk kamar dan hoki masih lowbat lupa aku chest, dan kulihat tidak ada sinyal sama
sekali. Makanya dari tadi hpku anteng saja tak bersuara.

Semilir angin dari jendela membuat mataku berat, dan suasana desa yang jauh dari hiruk
pikuk. Tak lama mata ini pun terpejam, aku tertidur.
Menjelang malam terbangun aku tertidur nyenyak sekali.
Dan jendela kamarku sudah menutup mungkin ibu yang menutupnya. Dan lampu temaram
sudah dinyalakan, seharusnya siang tadi aku beli lampu yang lebih besar wattnya biar lebih
terang, besok wes aku akan ke pasar beli keperluan rumah.

“Bu, ibu…” Aku panggil ibu karena tak kulihat ibu yang biasanya duduk di meja makan.
“Bu.. ibu di mana?”
Kucari di kamar juga tidak ada, kemana ibu, padahal sudah gelap begini.
Kulihat keluar pun gelap sekali, aku yang penakut mundur lagi kalau harus keluar rumah
untuk mencari ibu.
Akhirnya aku hanya duduk termenung, lama sekali ibu pergi, apa ibu lagi pergi ke rumah
tetangga?.
Ah… aku kembali ke kamar saja, lama-lama aku jadi parno sendiri.
Lama di kamar, dan lagi aku terlelap lagi, rasa nyaman dan aman melanda batinku.
Makanya aku gampang sekali tertidur.

Dan pagi kudapatkan kembali, segera aku bangun, dan mencari ibu.
Kulihat ibu sedang ada di dapur.
“Ibu, … kemana ibu semalam?” tanyaku dan memeluk ibu dari belakang.
Ibu membelai tanganku dan tersenyum.
“Ibu semalam dari uwakmu, kulihat kau nyenyak sekali jadi ibu tak tega bangunin kamu.”
“Ibu ayo ke pasat kita beli beras dan segala keperluan ibu.”
“Tidak usah nak.”
“Ayo Bu, beli bohlam juga biar rumahnya jadi terang Bu.”
“Tidak usah nak, biarlah seperti ini.”
Kata ibu sambil melangkah ke meja makan.

Di atas meja makan sudah tersedia banyak makanan.


“Semalam ke rumah uwak dibawakan banyak makanan, makanlah nak.” Kata ibu pelan, dan
mengeser kursi dan duduk di hadapanku.
Kutatap ibuku, “Bu, ikutlah denganku, biar aku rawat ibu, karena bapak…”
“Tidak usah… biar ibu di sini, ibu bahagia melihat anak ibu sudah cantik dan sukses, biarlah
ibu dengan rumah ini.”
“Tapi ibu sendirian” kataku merajuk supaya ibu mau aku bawa serta.
Ibu menggeleng, “Tidak usah nak, terima kasih sudah mengunjungi ibu.”
Aku terdiam, kupandangi lekat wajah ibu sepuas puasnya.
“Makanlah…” Suruh ibu padaku.
Aku tersenyum, dan menikmati jajanan pasar yang ada dipiring.

Siang ini aku buka pintu rumah, dan baru keluar dari rumah sejak beberapa hari yang lalu.
Kulangkahkan kakiku menyusuri desa, melihat lihat suasana yang belum aku nikmati
semenjak aku datang ke rumah ibu.
Di sebuah batu aku duduk melepas lelah dan mengirup udara segar desa.

Tak berapa lama, aku mendengar sayup sayup namaku dipanggil. Apa ibu yang
memanggilnya atau siapa.
Ah mungkin hanya perasaanku saja.
Tapi beneran namaku dipanggil dan ini semakin jelas, sepertinya ibu yang memanggil aku,
akupun segera menyahut panggilan itu.
“Iya Bu… aku disini!” teriakku lantang.
Saat itu juga bumi yang aku pijak seakan bergoyang dan aku jatuh terduduk karena kaget aku
spontan berucap
“Astaqfirullohhaladzim…” dengan lantang.
“Hai… disini… orangnya di sini” teriak beberapa orang di sekitarku, kepalaku menjadi
pusing dan pandanganku berkunang kunang, gelap dan akupun tertidur.

Entah sudah berapa lama aku tertidur.


Aku terbangun di sebuah kamar yang asing, ini bukan kamar di rumah ibu.
Dimana ini, oh.. kepalaku pusing sekali.

Aku mencoba bangun dan membuka mataku.


“Alhamdulillah” ucap sebuah suara.
“Kinanti?” tanya sebuah suara.
“Iya ..aku Kinanti” jawabku bingung.
Dan wanita itu langsung memelukku, mencium keningku dan mendekap erat tubuhku.
Diusapnya air matanya.

“Aku kakakmu, aku Nindi” jawabnya lagi.


“Mba Nindi..” aku tersadar di hadapanku adalah kakakku, segera memeluknya dan menangis
dalam pelukannya.
“Maafkan Mba, nggak njemput kamu, dan kenapa mau pulang nggak bilang” isaknya lagi
dan masing memegang tanganku dengan erat.
“Maaf Mba… aku pulang ke rumah nggak bilang, aku beberapa hari ini bersama Ibu, dan Ibu
merindukan Mba, katanya jarang ke rumah Ibu” kataku.
Mba Nindi dan beberapa orang nampak kebingungan.

“Kinan,.. Ibu sudah nggak ada Nan, Ibu sudah meninggal, baru semalam Haul Ibu yang ke
dua tahun, aku mencarimu, karena ada yang cerita, katanya ada gadis mencari alamat rumah
Ibu, aku langsung tahu itu pasti kamu.”
Aku terdiam seribu bahasa, tubuhku kaku.

Ya Allah… akupun menangis dalam pelukan Mba Nindi.


Jejak Si Bungsu

Cerpen Karangan: Zifa Nadiyah


Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 17 September 2022

Bersama dengan mereka adalah hal yang sangat menyenangkan. Walau tak banyak hal yang
aku ceritakan. Hanya bersama dalam satu tempat yang sama, baginya itu sudah lebih dari
cukup.

Hari ini, aku memutuskan untuk melawan rasa kantukku, mengurungkan niat untuk tetap di
atas Kasur. Aku memilih untuk bangkit. Jam masih menujuk di angka 5, aku langsung
melangkahkan kaki ke kamar mandi, menyalakan keran dan membasuh muka aku yang masih
kusut. Hari yang baik katanya dimulai dari pagi harinya. Oleh karena itu, aku memaksakan
diri, melawan rasa mager dan bergerak ke depan. Ini adalah hari minggu, aku akan
mengelilingi indahnya Kota di pagi hari dengan udara yang masih sejuk karena jalanan masih
sepi dan belum banyak kendaraan yang melintas. Aku mulai mengenakan sepatu dan
memastikan tali sepatunya sudah terikat. Jarum jam sudah menunjuk angka 6 saat aku
melangkahkan kaki dari tempatku tinggal.

Sesampainya di tempat, aku seperti menemui seseorang yang dikenal.


“Bu Sari?” Aku mulai mendekat walaupun ragu, dan menyalaminya.
“Eh, siapa yaa” Bu Sari membalas sapaanya sambil mengingat kembali tentang seseorang
yang di depannya ini,
“Ini bu, saya temennya Fatih” aku mencoba membantu mengingatkan Bu Sari, sambil
melepas masker.
“Bu Sarah yaa? Aduh bu, maaf yaa. Saya kira bukan ibu” Aku kembali menyapa orang yang
ada di samping Bu Sari. “Kayanya beda aja bu, ibu yang disana sama yang disini” sambung
aku sambil tersenyum malu.
“Terlihat lebih tua atau muda nih?” Bu Sarah menanggapi pernyataannya sambil tersenyum
juga.
Aku hanya menjawabnya dengan senyuman.
“Kamu juga terlihat beda loh, biasanya saya lihat kamu disana pakai baju formal kan. Disini
pakai bajunya yang non formal” Bu Sari juga ikut menanggapi.
“Eh kamu sama siapa kesini, janjian sama teman?” Bu Sarah kembali bertanya kepadaku.
“Ngga bu, saya sendirian aja” Aku pun menjawab
“Ih niat banget yaa kamu, udah biasa lari ya? lagian ko bisa pede sih lari sendirian gini?” Bu
Sarah kembali bertanya kepadaku.

Aku mengawali jawaban dengan senyuman kemudian dilanjut dengan menanggapi


pertanyaan Bu Sarah. “Iya bu. Belum biasa banget sih bu, tapi lagi coba dikonsistenin.
Kemarin-kemarin udah pernah kesini juga. Toh, gada yang kenal juga sama yang lain jadi
pede aja” Jawabku beralasan. Ya, bisa jadi memang karena itu. Tapi alasan lain aku sendiri
yaitu karena aku tidak mempunyai teman yang cocok untuk diajaknya berlari waktu itu.

Setelah percakapan singkat tersebut Bu Sarah mengajaknya untuk lari bersama. Sedangkan
Bu Sari sedang istirahat, duduk di kursi panjang yang ada di tengah pusat kota. Tempat ini
memang telah dikhususkan untuk berlari. Ada rute khusus untuk orang yang berlari disini.
Bentuknya seperti lingkaran besar. Jadi saat kamu ingin berlari, kau cukup memutari tempat
ini. Diameter lingkarannya cukup besar. Sehingga satu kali putaran bagi yang belum terbiasa
sudah merasa lelah Bu Sari dan Bu Sarah adalah seniornya saat sedang melakukan magang.
Sedangkan Fatih adalah nama teman aku, yang bersamaan denganku dan 2 orang lainnya saat
melakukan magang. Fatih yang selalu aktif bertanya menjadikannya lebih dikenal daripada
teman yang lainnya.

“Nanti kita lari terus yaa, jangan jalan. Tapi larinya santai aja. Ga tau tuh si Sari dari tadi
udah diajak lari tapi jalan terus atau malah main handphone” Bu Sarah mengawali
percakapan sebelum kita mulai berlari.
Aku menjawabnya hanya dengan anggukan tanda aku menyetujuinya.

Ternyata Aku kalah cepat dengan Bu Sarah. Aku yang merupakan seseorang dengan jiwa
magernya harus berlari bersama dengan orang yang sudah terbiasa lari. Dan ini juga
menjadikan alasan baru, memilih untuk lari dengan seorang diri. Setelah cukup lelah berlari
aku memutuskan untuk duduk sebentar, bersama dengan Bu Sarah dan Bu Sari sambil
mengobrol ringan. Setelah itu, mereka memutuskan untuk pulang lebih awal.

Dan aku kembali sendiri …


Entah mengapa, aku sudah terbiasa dengan rasa ini. Rasa sepi diantara keramaian, rasa risih
saat ada yang menemani rasa gelisah saat ada yang bertanya tentang banyak hal tentang
dirinya. Terkadang aku merasa terganggu saat ada orang yang terlalu mengutik cerita
kehidupanku.

“Door…” Seseoang datang tiba-tiba menepuk pundakku.


“Ihh, kamu bikin aku kaget aja tau” aku menjawabnya dengan kesal.
“Lagian dari tadi aku sapa, diem mulu. Tanpa ada jawaban, jadilah aku kagetin weh, whahaa
maaf yaa” jawabnya sambil tertawa. Kemudian kembali menambahkan “Jangan bengong
mulu atuh dek, jangan banyak overthinking”

Aku tidak menjawab. Masih kesal dengannya, bagaimana mungkin tidak? Aku yang tengah
duduk di tempat sunyi, di antara pepohonan rindang sambil menikmati senja dan sepoi angin
sore. Seseorang datang dengan tiba-tiba dengan cara yang sangat mengagetkan, Aira.
Seseorang sahabat yang masih ada bersamanya, bahkan Aira selalu tahu bagaimana
perasaanku dan dimana tempat aku berlari.

“Semua orang tidak mungkin suka dengan apa yang kita lakukan, So terima aja sewajarnya.
Jangan tumbang saat dicaci dan jangan terbang saat dipuji. Kamu hebat dengan caramu, Fah.
Ngga usah minder sama banyak orang. Semua orang punya waktu terbaiknya masing-masing.
Dan inget, sebaik-baiknya kita berencana ada Sang Maha Perencana yang mungkin bisa
membuat cerita kita berbeda, tapi yakinlah itu yang terbaik. Walau kadang kamu susah
menerimanya saat ini, tapi next insyaAllah kamu akan mengerti akan semua rencana yang
sudah Dia berikan khusus untukmu. Khusus untukmu Fah. Karena ga ada yang sama, proses
yang dilalui oleh tiap orang. Semua orang punya keunikannya masing-masing” Aira
mengatakannya begitu pelan dengan penuh penghayatan seakan mengerti tentang apa yang
dirasakan sahabatnya.

Aku hanya membalasnya dengan pelukan dan tetesan air mata. Mulutku kaku untuk berbicara
banyak. Aku hanya mampu menjawabnya dengan tangisan dan air mata yang mulai mengalir
deras. Aira menyambut hangat pelukku. Dan menenangkan aku, setelah dirasa lebih baik ia
mengulurkan tangannya kepadaku dan mulai bangkit dari posisi duduknya.
“Kita nyeblak yuk, denger-denger di ujung jalan sana ada seblak yang enak loh” ia menawari
aku untuk makan siang bersama, menu favorit aku saat-saat tertentu.
Aku menerima tawaran Aira, setelah mengusap air mata aku menerima uluran tanggannya
dan mulai berjalan menuju tempat makan.
“Btw, kamu ke kamar mandi dulu gih, mukamu kusut banget. Cuci muka dulu sana” ia
memaksa aku untuk ke kamar mandi.

“Ra, nanti malem aku mau pulang duluu yaaa” aku memberikan kabar rencana pulangaku
kepada Aira saat sinar hangat sang mentari mulai menyapa.
“Lah, ko mendadak banget sih, ngapain kamu pulang? Terus berapa lama disana?” ia kaget
akan rencana pulang aku yang mendadak.
“Mungkin bisa semingguan. Biasalah.. Hehehe” aku menjawabnya.

Aku mulai mengemasi barang bawaanku, secukupnya. Aku yang kini kembali menjadi anak
rantau karena harus kembali berjuang untuk pendidikannya di pusat kota. Tak banyak barang
yang ia bawa, secukupnya saja. Karena Aku merupakan tipe orang yang tidak mau ribet dan
tidak mau rempong.

Bus yang hendak aku naiki sudah terparkir, beberapa orang sudah banyak yang mengisi
tempat duduknya. Aku memilih tempat duduk yang kosong, di pinggir jendela. Dan aku
berhasil mendapatkan tempat duduk. Bus berangkat saat menunjukan pukul 10.00 malam.
Aku suka perjalanan malam, dengan kondisi jalanan yang lenggang dan tentunya cuaca yang
tidak panas. Suasana yang sangat mendamaikan hati, dengan kelip lampu jalanan atau
kendaraan lain. Dan satu hal yang istimewa saat perjalanan di malam purnama dan di
sepanjang perjalanan bisa melihat sinar bulat purnawa yang begitu sempurna. Namun, hal itu
tidak aku rasakan untuk perjalanan malam ini.

Aku sampai di rumah disambut dengan terbitnya sang mentari. Sinar yang datang menayapa
begitu menghangatkan tubuh, setelah semalaman melakukan perjalanan dengan AC mobil
yang cukup membuat badan ini menggigil. Sinarnya pun begitu lembut, selembut rasa yang
pernah ada ditempat ini bersama dengan orang-orang yang hadir dan menemani sepanjang
perjalanan di tempat ini, tempat aku dilahirkan. Tempat yang jauh dari perkotaan dan masih
banyak terbentang sawah yang luas. Beberapa perkebunan juga cukup banyak ditemukan.
Hijaunya alam dan gemercik air sungai yang selalu kurindukan kini kembali terdengar.
Begitu mendamaikan segala rasa yang ada, mendamaikan dari segala rasa yang kemarin
membuat resah, gelisah ataupun kecewa.

Dari kejauhan mulai terlihat seseorang yang amat aku kenal, seseorang yang tak pernah
hentinya memberikan kasih sayangnya. Seseorang yang tak pernah lelah untuk memberikan
apapun yang terbaik untuk aku. Ia mulai melambaikan tangan. Aku mulai mempercepat
langkah dengan membawa sedikit makanan khas dari tanah rantau, khusus untuk mereka
yang masih setia, selalu menunggu kedatangan dan menantikan kabar bahagia dari aku.
Seseorang yang masih berjuang untuk menggapai semua mimpi dan menyelesaikan apa yang
telah dimulai.

Kaki aku telah sampai di tempat aku dilahirkan, dan memberikan salam kepada orang yang
ada di rumah.
“De, ko kamu kurusan sih?” kakak aku memulai percakapan.
Aku kembali menjawabnya dengan senyuman. Beberapa hari aku lakukan bersama dengan
orang yang selama ini aku rindukan. Lagi, tak banyak hal yang aku ceritakan.

Hari-hari demi hari terlewati, sama seperti hari yang dulu sebelum aku menjadi anak rantau.
Menemani Mamah membuat kue kecil yang sebagian ditempatkan di warung dan beberapa
tetangga rumah yang sengaja mengambilnya untuk kembali dijual di pasar. Bagiku itu sudah
cukup mengobati rasa rinduku yang kemarin, menemai mamah untuk membuat beraneka
macam kue. Dan mungkin hal itu membuat aku menyukai bekerja di dapur, banyak hal yang
ingin aku ketahui dan belajar. Karena dari dapur aku belajar banyak hal. Selain itu, aku juga
suka duduk bersama bapak, menemaninya menikmati kopi atau teh hangat saat pagi ataupun
sore hari.

Melihat banyak orang yang hendak pergi atau pulang bekerja, ada yang membawa cangkul,
pulang membawa rumput ataupun hasil kebun lainnya. Dan aku hanya duduk menemani juga,
tak banyak hal yang aku ceritakan kepada Bapak. Dan satu hal yang aku suka ketika pulang
ke rumah, menghabiskan waktu bersama Teteh. Aku selalu suka saat Teteh mengajak aku
keluar rumah, dengan menggunakan motornya. Kemanapun itu pergi, walau hanya pergi
membeli bensin. Aku cukup senang, menaiki motor sambil menikmati bentangan hijau sawah
dan matahari yang hampir tenggelam jika kami keluar menjelang sore. Atau jika di hari libur,
Teteh mengajak aku pergi saat siang hari, aku selalu suka birunya langit dan gumpalan awan
dengan berbagai macam bentuk.

Aku begitu menikmati masa itu. Dan akupun harus memanfaatkan sebaiknya masa itu, masa
aku bersama dengan orang yang lebih dari istimewa. Dan sebagai anak bungsu, terkadang
mereka masih juga menganggap puteri kecilnya walau kini aku telah tumbuh menjadi
perempuan dewasa. Namun, Mamah seringkali menceritakan kembali masa-masa kecil dan
terkadang saat aku dan Mamah melihat anak-anak disekitaran tetangga, mamah berkata,
“Dulu Ifah tuh segitu loh. Sekarang udah gede ya?” ucap Mamah. Mungkin baginya aku
tetaplah seorang puteri kecilnya yang selalu dimanja. Sambil terus menggandeng tangan aku
di sepanjang jalan.

Menjadi si bungsu adalah hal menyenangkan, katanya. Selalu dimanja dan banyak
permintaan yang terpenuhi juga kasih sayang yang lebih. Dan aku merasakan itu semua,
walau kasih sayang Mamah pada kakak pun sama halnya kepadaku, namun dengan cara yang
berbeda. Terkadang aku ingat akan lagu masa kecilku, dan lagu itu seringkali terngiang di
telinga.
Waktu ku kecil hidupku, amatlah senang. Senang dipangku, dipangku dipeluknya serta
dicium dicium dimanjakan namanya kesayangan.

Dan kadang air mata ini mudah menetes, saat banyak mengingat tentang mereka. Saat banyak
menyinggung tentang mereka, entah itu lewat cerita, lagu atau film. Memang benar, saat
jarak telah memisahkan kita rasa itu akan hadir lebih dalam, terutama tentang rindu dan
kebersamaan waktu yang dulu.

Jejak si bungsu yang kini tidak lagi puteri kecil mereka, namun si bungsu yang kini mulai
melangkahkan kaki, memulai dengan dunia barunya, mengenal begitu banyak orang dengan
tipe dan karakternya yang tentu tak sama dan tentang mimpi yang sedang diperjuangkan. Dan
satu hal yang menjadi tantangan dan dikhawatirkan si bungsu saat rambut mereka mulai
memutih, keriput di wajah, tangan dan lainnya telah terliahat namun si bungsu belum mampu
membuatnya terseyum, belum mampu mewujudkan apa yang dulu diimpikan juga oleh
mereka :’

Dan untuk kalian si bungsu, tetaplah menjadi orang yang kuat, orang yang katanya menjadi
harapan terakhir buat keluarga. Semoga waktu bisa mempertemukan dengan segala hal yang
kau impikan ya
Yang Terbuang

Cerpen Karangan: Pepen S. Abdurrahman


Kategori: Cerpen Kehidupan, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 28 August 2022

Pagi itu gerimis, seorang perempuan saat pulang pengajian ikut temannya, seorang lelaki
dengan kendaraan mobil mewah.

Turun dari mobil, nampak suaminya sedang membersihkan rumput di halaman rumahnya.
“Assalamu’alaikum”, sapanya kepada sang suami setelah sebelumnya menawarkan untuk
mampir kepada lelaki teman pengajian yang memberikan tumpangan itu.
“Waalaikum’salam”, jawab suaminya yang disambut dengan ciuman tangan oleh istrinya.

“Itu siapa, Bu?”, tanya suaminya.


“Teman pengajian, aku diajak pulang bersama dia, katanya kasihan karena gerimis”, jelas
istrnya.
“Selain Ibu, apa ada yang lain ikut di mobil itu?”, tanya suaminya.
“Tidak ada. Entah kenapa banyak ibu-ibu yang searah pulang, tapi hanya aku yang ditawari
tumpangan”, kata istrinya terlihat raut bangga di wajahnya.

Ya, memang istrinya itu cantik, suaminya selalu merasa bangga jika sedang berjalan dengan
istrinya. Istrinya rajin mengikuti pengajian. Mulai dari pengajian perkumpulan haji, sekloter,
sekabupaten, sekecamatan sampai sedesa. Dia juga rajin mengikuti pengajian baik umum
atau khusus ibu-ibu. Istrinya sudah berhaji, umroh dua kali, rajin baca quran, sholat tahajjud
dan hampir tak ketinggalan sholat duha, biar Alloh memberi limpahan rejeki, katanya.

“Hati-hati, Bu!”, suaminya mengingatkan saat tahu bahwa di dalam mobil itu hanya dia
berdua dengan lelaki itu.
“Ah, Bapak suka cemburu, kalau aku jalan dengan lelaki lain. Kalau aku mau dengan orang
kaya, sudah aku lakukan dari dulu dan aku tak mungkin menerima lamaran Bapak kalau aku
gila harta dan mau pilih suami kaya”, ujar istrinya.

Selalu saja kalimat itu yang dia sampaikan kepada suami jika suaminya merasa cemburu
terhadap dirinya karena bukan sekali dua kali ada lelaki lain yang menaksirnya. Karena
suaminya itu merasa hanya seorang yang tak punya, maka dia hanya senyum menanggapinya.

Saat sedang berlaha-leha berduaan di dalam kamar tidur, istrinya bercerita.


“Bapak yang mengantarku tadi itu orangnya culas”, ujar istrinya.
“Banyak ibu-ibu yang pulang pengajian searah pulangnya, tetapi hanya aku yang ditawari
tumpangannya”, lanjut istrinya.
“Saat di dalam mobil, dia curhat soal istrinya sedang sakit kanker, katanya dia sudah lama
tidak bisa “bermain” dengan istrinya”, ujar istrinya lagi dan suaminya kembali mengingatkan
agar berhati-hati menghadapi lelaki semacam itu. Bahkan suaminya menyayangkan kenapa
istrinya mau diajak menumpang hanya berdua saja dalam mobil. Tapi selalu saja sang istri
menjawab hal yang sama jika dianggap suaminya cemburu, kalau aku mau dengan orang
yang kaya … dan seterusnya.

“Sudah begitu, eh dia malah minta nomorku”, lanjut istrinya.


“Kamu kasih?”, tanya suaminya.
“Yah, Pak. Untuk apa memberi nomor kita ke suami orang. Nanti aku repot harus dengar
terus curhatannya soal istri yang katanya sudah lama tidak bisa dipakai. Malah bisa-bisa aku
dituduh “pelakor””, lanjut istrinya yang kemudian diacungi jempol oleh suaminya sambil
kemudian dikecup lembut kening istrinya.

Suaminya semakin sayang dan bangga kepada istrinya. Beberapa kali dia peluk erat sambil
dikecup kening dan pipi istrinya, seakan sedang memberi penghargaan atas kesetiaan istrinya
atas dirinya.

Sepekan kemudian, suaminya harus pergi ke luar kota untuk mencari nafkah di sana sebagai
buruh kontrak tanah pertanian.
Semenjak mereka terpisah, mereka berkomunikasi lewat telepon. Sesekali ber-video call, jika
dirasa sudah sangat kangen untuk saling bertatapan.

Hampir dua bulan suaminya di rantau. Sepekan terakhir istrinya mulai sulit dihubungi.
Kalaupun menjawab sms atau telepon itu sudah sangat larut malam dan itupun tak pernah
berlangsung lama. Suaminya memaklumi, karena istrinya kini bertambah momongan dengan
kehadiran cucu yang keempatnya dan hampir semua cucunya itu yang merawat adalah
istrinya, karena orangtua mereka bekerja.

“Pak, apakah bapak masih hubungan dengan Ibu?”, tiba-tiba dia dapat sms dari salah seorang
anak sambungnya.
“Masih. Memang kenapa?”, balas lelaki itu.
“Soalnya sejak sebulan lalu, Ibu bukan hanya diantar ke rumah setiap pulang pengajian, tapi
terus jalan dengan Bapak itu hingga larut sore, bahkan tak jarang hingga larut malam. Hampir
tiap hari Ibu pergi dengan lelaki itu. Kepada kami, anak dan cucu-cucunya sudah tak peduli.
Ibu hanya peduli kepada lelaki itu yang tiap hari, bisa pagi, siang, sore, bahkan menjelang
menjemput Ibu untuk pergi bersama.”

Sesaat berdesir darah lelaki itu saat membaca sms dari salah satu anak sambungnya. Ada rasa
sakit menusuk ulu hatinya. Tapi dia coba melanjutkan membaca isi pesan dari anak
sambungnya itu. Pesan yang sangat panjang.

“Kemarin kami, yaitu semua anak dan menantu ibu berkumpul untuk menasihati Ibu. Tetapi
Ibu tetap tak mau mendengar nasihat kami. Ibu berkata, selama ini Ibu hanya menemani dan
menghibur lelaki itu, karena kasihan istrinya sedang sakit kanker parah. Tapi katanya, sejak
sepekan yang lalu istrinya meninggal dunia dan Ibu semakin dekat dan semakin sering pergi
dengan lelaki itu. Jadi selama sebulan ibu selalu bersama lelaki itu dan tak peduli lagi kepada
kami. Ibu seperti sudah kehilangan kewarasannya. Kehilangan rasa malunya. Untung jika
pergi dengan mobil, kadang berboncengan dengan lelaki itu dengan motor”.

Sejenak ayah sambungnya memejamkan matanya. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dia seperti
menahan rasa sakit yang tak terkira. Dari matanya mengalir air bening membasahi pipinya.

“Bahkan sejak subuh tiga hari yang lalu Ibu sudah keluar dari rumah ini membawa kopor
dijemput lelaki itu dan saya dapat kabar, hari ini ibu mau menikah dengan dia. Karena kata
Ibu, bapak sudah jatuh talak dengan tidak pulang dua bulan. Hal itu dipertegas oleh lelaki,
bahwa jika suami dua bulan tidak pulang itu sudah jatuh talak dan bisa menikah. Karena
lelaki itu ahli agama dan berpendidikan tinggi, jadi lebih mengerti, katanya”, hampir saja
telepon jatuh dari genggamannya.
Gemetar seluruh tubuh lelaki itu. Airmatanya kini semakin deras mengalir. Dia tarik nafas
dalam-dalam. Dia coba menelepon istrinya, tak diangkat. Dikirimnya sms sebagai konfirmasi
kebenaran beritan, hanya dibaca tanpa jawaban.

Dia hubungi salah seorang sahabatnya, barangkali kenal dan memiliki nomor lelaki itu.
Alhamdulillah nomor dia dapatkan, lalu dia telepon nomor itu.

“Assalamu’alaikum!”, sapanya sambil menahan getaran hatinya yang semakin berdegup


kencang.
Yang menerima adalah istri yang sudah sangat kenal betul terhadap suara suaminya.

“Heh, kamu mau apa menelpon ke nomor ini?”, sergah isitrinya tanpa menjawab salam dari
suaminya.
“Aku mau bicara dengan pemilik nomor ini”, ujar suaminya.
“Kalau ada yang mau disampaikan lewat aku saja!”, suara istrinya semakin meninggi.
“Tidak, tapi tolong aku mau bicara sebentar saja dengan dia!”, pinta suaminya.
“Heh, kamu memang siapa mau menelpon dia. Dia tidak kenal kamu kenapa harus berbicara
sama kamu. Kamu tahu dirilah. Lelaki kok tidak punya harga diri sampai mengemis begini.
Memangnya kamu sebagai apa di depan dia?”, istrinya semakin marah dan merendahkan
suaminya.

“Aku hanya mau menjelaskan kalau kamu masih ada ikatan pernikahan dengan aku!”, kata
suami dengan mencoba tenang.
“Dia lebih tahu daripada kamu, karena dia berpendidikan tinggi dan lebih mengerti soal
agama. Dengan kamu tidak pulang dua bulan, kata dia, aku sudah dapat talak dari kamu. Jadi
kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Dan semua keluargaku juga sudah tidak suka
kepada kamu, karena kamu tidak membahagiakan aku. Kamu menyia-nyiakan hidupku.
Sudahlah, kita tak ada hubungan lagi dan sekarang terserah aku mau hidup dengan
siapapun!”, klik telepon diputus.

Suaminya jatuh tersungkur, tak disangka istrinya berubah sekejam itu. Sesombong dan
sekasar itu. Dia menangis meluapkan kesedihannya. Setelah itu, suaminya tidak bisa lagi
menghubungi baik nomor istrinya maupun nomor rivalnya karena diblokir.

Tiga hari setelah peristiwa itu, jam sembilan pagi teleponnya berdering. Telepon dari istrinya.
“Assalamu’alaikum!”, sapa suaminya. Namun yang dia dengar adalah isak tangis istrinya.
Beberapa saat dia biarkan, menunggu hingga isaknya mereda.

“Kenapa?”, tanya suaminya dengan suara lembut dan bersabar.


“Pak, sekarang ceraikan saya. Tidak apa, ceraikan saja saya lewat telepon sekarang!”,
pintanya sambil kembali terisak.
“Hei, bukankah kamu sudah kawin sirri dengan lelaki itu. Kenapa baru sekarang kamu minta
talak? Begini, ya, aku tak mau menceraikan kamu lewat telepon ini. Aku takut dimanipulasi
lagi. Aku tidak menceraikan saja, kamu bilang kepada lelaki itu dan juga anak-anakmu
bahwa sudah menceraikan kamu. Aku mau menceraikan kamu di depan anak-anakmu.
Supaya jelas dan ada saksi, jadi jelas apa yang aku ucapkan tanpa harus kamu manipulasi
demi keinginan kamu hidup dengan lelaki itu. Lelaki yang dulu kamu sebut culas, dan
sekarang kamu bela dia dengan cara menghina dan merendahkan aku di depannya …!”,
suaminya belum selesai bicara, telepon itu sudah diputuskan oleh istrinya.

Anda mungkin juga menyukai