Anda di halaman 1dari 9

Tema Besar FLS2N:

“MERDEKA BERPRESTASI, TALENTA SENI MENGINSPIRASI”

Sub Tema Cerita Pendek:


“SELIPAN CERITA DUNIA RUNI”

Ceritaku dimulai dengan belajar dalam ruang kelas di pagi hari yang cerah.
Tok tok tok …
Suara ketukan pintu membuat perhatian siswa kelas pada penjelasan guru di depan terhenti
sejenak.
Seorang siswa dari kelas lain muncul dengan wajah berkeringat diambang pintu.
“Permisi bu, Runi Bunaian dipanggil oleh guru kesiswaan secepatnya.”
Seketika perhatian siswa di kelas menuju kearahku.
Ah, aku benci situasi ini. Mengapa pada pagi nan cerah secerah masa depanku, tiba-tiba
menjadi kelam karena perhatian siswa kelas yang menjadi tertuju padaku.
“Baik, silahkan Runi.”
Dengan senyum penuh tanda tanya aku mengiyakan bu Nina, guru biologi yang dikenal asik
seantero penjuru sekolah. Namun, tampaknya takdir menyimpan masalah yang mengintai di
balik sudut yang tak terduga. Aku masih terlalu awam untuk mengetahui apa yang sedang
menanti di depan sana. Secepatnya aku berjalan menyusuri lorong sekolah dan turun tangga
dengan secepat kilat bak Quicksilver yang sedang dikejar oleh villain.
Sesampainya di ruang kesiswaan, aku mengatur nafas dan menyiapkan jantung sebelum
membuka pintu ruangan yang dikenal basecamp nya anak-anak nakal dan juga anak-anak
dengan prestasi segudang piala dan piagam.
Tok tok tok …
“Permisi bu, saya Runi Bunaian.”
“Silahkan masuk, Nak.” Terdengar dua suara berbeda dari dalam. Mungkin ada tamu lain,
pikirku. Langsung saja aku membuka pintu berwarna cokelat yang sudah sedikit terkelupas.
Aku menemukan sosok yang tak asing dan paling kukenal di seluruh dunia.
Ya, itu mamaku !
Kenapa mama ada disini? Dahiku mengerut dan sekarang kepalaku penuh dengan pertanyaan.
Mama datang dengan pakaian kerjanya, lengkap dengan lanyard id card yang masih
tergantung di leher, sepertinya mama terburu-buru.
“Runi…” mama tersenyum dan Bu Lina selaku guru kesiswaan sekolah mempersilahkanku
duduk disamping mama.
“Silahkan bu, Runi sudah berada disini” Ucap Bu Lina pada mama.
“Terima kasih sudah mengizinkan Runi, Bu. Ayo, Runi. Papa sudah menunggu di mobil!”
Papa, ada disini? Bagaimana mungkin. Dan mengizinkanku? Untuk apa?
Mama menarik tanganku dan sekarang kami berjalan bergandengan tangan menyurusuri
lorong menuju tempat parkir. Sepanjang perjalanan aku hanya diam tak berbicara pada mama
dan begitu pun mama juga tak berbicara padaku. Sesampainya di tempat parkir, aku
membuka mulut.
“Ma, sebenarnya ada apa ini? Kita mau kemana?”
“Kamu diberi izin libur selama sebulan penuh. Tak perlu memikirkan sekolah dan barang-
barangmu, semuanya sudah mama siapkan. Ayo, segera naik, nanti kita ketinggalan
pesawat.”
Pesawat? Seberapa jauh kami akan bepergian?
Kemana mama akan membawaku pergi? Pertanyaan demi pertanyaan terus berputar di
kepalaku. Namun akhirnya, lamunanku pudar karena suara mama.
“Kamu kenapa diam seperti patung begitu? Ayo masuk. Papa tak ada, hanya kita berdua saja.
Hore kita berpetualang, mama sudah mengatur semuanya. Kamu liburan, mama bekerja, mari
bersenang-senang.” Mama bicara begitu enteng, tapi aku akan ngikut saja, toh mama pasti
sudah mengurus semuanya, bahkan tas sekolahku yang masih berada di ruangan kelas.
Selama ini mama tak pernah mengajakku bepergian. Dan juga tentang papa, aku juga tak
terlalu dekat dengannya, papa selalu sibuk dengan pasiennya sehingga lupa terkadang aku
juga ingin memiliki sosok ayah sebagaimana mestinya.
Tapi baiklah, aku akan memasuki mobil hitam yang ntah punya siapa ini. Dengan mama
sebagai supir, kami melaju dengan tujuan pasti, yaitu bandara.
Setibanya di bandara yang dipenuhi oleh hingar bingar orang berlalu lalang, mama sibuk
mengurus berbagai urusan begini-begitu dan aku hanya tinggal duduk santai di dalam
pesawat dengan suasana hati campur aduk penuh tanya. Setelah pramugari mengumumkan
pesawat akan lepas landas, aku hanya diam melihat jendela pesawat memikirkan semua hal
yang akan kutinggalkan disini.
Beberapa jam di pesawat terbang diantara awan-awan.
Akhirnya kami tiba di tujuan. Perbedaan terlihat jelas begitu kami sampai di bandara ini.
Bandara tempat kami berangkat penuh dengan keramaian yang membuatku hampir kehabisan
napas, tetapi bandara ini? Hanya bandara yang sepi. Namun suasananya justru membuatku
bersemangat.
“Ayo, Runi. Sudah ada yang menjemput kita.”
Ucapan mama membuat lamunanku melayang. Mama mengarahkan pandangannya ke tiga
orang yang sedang menaiki motor di gerbang bandara. Aku, dengan langkah kecilku, berjalan
mengikuti langkah mama menuju tiga orang yang tak kukenal itu. Sesampainya disamping
mereka, mama langsung memulai percakapan dengan salah satu laki-laki paruh baya dengan
jenggot di dagunya. Mama tampak sudah lama mengenal kumpulan bapak-bapak ini.
“Ayo nduk, jangan melamun begitu, bahaya loh hehehe…” aku menganggukkan kepala
dengan canggung karena ucapan aneh bapak-bapak jenggotan ini.
“Kita langsung berangkat ke desa.” Ajak salah satu bapak-bapak lainnya.
Dengan senyum tipis aku langsung naik ke atas motor bapak-bapak berjenggot yang diajak
mama berbicara pertama kali setelah sesampainya disini. Mama dibonceng dengan bapak-
bapak kedua dan bapak-bapak ketiga membawa barang bawaan kami.
Aku takjub, daritadi aku memperhatikan, disini hijau, sangat hijau. Tak ada bangunan tinggi,
hanya hutan dan padang rumput yang luas. Namun jauh di ujung sana terlihat hamparan tanah
tandus dengan pepohonan kering berdiri di atasnya. Aneh.
Sepanjang perjalanan, sejauh mata memandang, banyak sekali sapi. Bapak yang
memboncengku bercerita katanya Ia juga punya sapi. Sapi-sapi disini terlihat bahagia dengan
rerumputan, walau warnanya sedikit kekuningan. Kalau kehidupan selanjutnya memang ada,
aku ingin menjadi sapi disini saja.
Kami terus melaju menyusuri jalan setapak, lalu beberapa jam kemudian motor berhenti.
Sudah sampai? Kelihatannya sudah. Mama sudah turun dari motor bapak-bapak kedua, dan
bapak-bapak ketiga sudah menuruni barang bawaan kami.
“Nduk, kalau mau lihat sapi-sapi, dibelakang rumah saya yang ramai itu, ada banyak sapi,
beraneka ragam.” dengan cengiran bak kuda aku sekali lagi mengiyakan bapak ini.
Kami turun didepan rumah sederhana milik bapak-bapak jenggotan tadi, dan hal yang
membuatku takjub sekali lagi ialah, rumah-rumah disini sekarang seperti berada diatas awan.
Karena baru saja tersadar dari lamunan, hawa dingin menusuk tubuh dan menggelitik bulu
tangan yang tak tertutupi seragam sekolahku.
Aku kabur ke samping mama. Rasanya perhatian semua orang tertuju padaku karena aku
memakai seragam sekolah dan berdiri tepat disamping bapak-bapak jenggotan tadi.
“Ma, aku boleh kebelakang rumah bapak-bapak jenggotan tadi? Mau lihat sapi-sapi.” dengan
suara meyakinkan aku berbicara pada mama.
“Kamu tahu rumahnya?” mama bertanya seakan tahu aku hanya akan kabur dari khalayak
ramai diteras rumah.
“Bapak-bapak jenggotan tadi sudah memberitahu rumahnya, lagipula rumah bapak itu yang
di depan ini, ma.” lalu mama berbicara padaku, tapi aku tak tahu apa yang mama bicarakan.
Suaranya tenggelam karena ajakan seorang perempuan muda yang mengajaknya ke
keramaian di teras rumah.
Akhirnya aku dapat mencapai belakang rumah bapak-bapak jenggotan. Hamparan padang
rumput terpampang luas didepan mata. Aku tak tahu apa yang mama pikirkan untuk
mengajakku kesini. Mama bekerja dengan benda-benda bersejarah Indonesia di pusat kota,
aku tak yakin ada hubungannya datang ke desa pegunungan ini dengan pekerjaannya.
"HOI! Kau siapa? Pengembala baru dari kota yang datang dengan pakde?”
Tiba-tiba seorang anak muncul dengan sapi disampingnya. Aku tak tau darimana dia muncul,
haruskah kujawab pertanyaan tak penting dari orang bau sapi ini.
"Aku Runi. Aku datang dari kota itu memang benar, tapi aku sang pengembala? Tentu saja
aku bukan pengembala. Bersosialisasi dengan manusia saja aku sudah tak pandai apalagi
dengan sapi-sapi."
"Hmm, bukan pengembala tapi tinggal di rumah pakde, buang-buang tempat saja.” Tatapan
matanya seakan menganggapku seperti orang yang akan merebut pakde-nya itu.
Lalu dia pergi begitu saja bagai angin lalu dengan sapi disampingnya. Kutebak teman
terdekatnya hanya seekor sapi. Aku jadi kesal dengan sapi-sapi sekarang, tapi apalah daya
sejauh mata memandang sekarang hanya sapi, anak sapi, kambing dan anak kambing.
Kulihat kebelakang, mama masih berbincang dengan sekumpulan warga desa di teras rumah
pakde. Anak tadi memanggil bapak-bapak jenggotan itu dengan pakde, jadi sekarang aku
akan memanggilnya dengan pakde juga. Aku melakukan kontak mata dengan mama, dengan
gerakan tangan seperti patung kucing yang biasa nongkrong di kasir toko, mama mengajakku
untuk bergabung dengan kumpulan orang-orang disekitarnya.
"Runi! Sini." kata mama dari teras rumah. Aku mengeluh malas, tetapi tetap berlari kecil
menuju ke tempat mama berada. Aku masih penasaran dengan pemandangan dibawah
dataran tinggi ini. Alam Indonesia yang tidak akan pernah terlihat di hiruk pikuk kota.
“Kate nginep ning kene tah?”
“Hoho, ya mbak”
“Mari melu reang, tak dudoen kamare”
“Suwun, mbak”
Aku mengerutkan kening, baru tahu mama dapat berbicara bahasa lokal desa ini. Mama
melihatku dan tersenyum. “Ayo Runi, kita istirahat.” Kata mama sambil berjalan memasuki
rumah sederhana ini.
Aku mengikuti mama dan berjalan dibelakangnya, disampingnya ada ibu-ibu yang daritadi
berbicara dengan mama. Kami berhenti disamping pintu kamar, aku tak sadar bahwa rumah
ini seperti memiliki aura. Menenangkan dan tampak begitu elegan. Tiba-tiba ibu-ibu yang
berada disamping mama membalik ke arahku. “Runi ya?” ucap dengan senyuman yang tak
luntur di wajahnya.
“Sudah berjumpa dengan Imbha? Dia suka bermain dengan sapi dibelakang rumah milik
pakde.”
Imbha? Jangan bilang anak songong yang berteman dengan sapi tadi?
“Ya, sudah bu.” Aku tersenyum dengan senyuman yang sudah kulatih.
“Maklum saja ya, Imbha memang seperti itu, tapi dia baik kok.”
Wah, ibu-ibu ini seperti bisa membaca pikiranku.
“Oh ya, panggil saja saya Mbak Put. Kalau begitu Ana maneh sing isa tak tulung?
“Nggak ada Mbak, suwun.” jawab mama dengan ramah.
“Yo wes, saya tinggal dulu, masi akeh kerjaan ntuk Upacara besok. Mari, Runi.” Ucap ibu-
ibu itu sambil berjalan ke arah keluar, meninggalkan kami di tempat ini untuk beristirahat.
Mama tersenyum sebelum masuk ke dalam ruangan kamar. Rumah ini dibangun dengan gaya
tradisional dan adatnya yang kental. Aku penasaran dengan ukiran di penyekat ruangan yang
berada ditengahnya, itu kosong. Sedangkan di sisi kanan dan kiri terdapat ukiran yang tampak
similiar untukku, tapi aku tak ingat apa itu.
Haah, suhu menjadi dingin tiba-tiba, tanpa pikir panjang aku langsung memegang gagang
pintu kamar dan membuka pintu ruangan kamar. Aku menemukan mama sudah tergeletak di
tempat tidur, mungkin kelelahan.
Aku ingin berbicara dengan mama, sekarang aku jadi bingung. Aku senggol badan mama
dengan takut-takut berharap mama langsung bangun saat ku senggol.
“Ada apa, Ni?” Aku kaget, mama terbangun.
“Ma, Runi mau pulang, disini sangat indah dan hijau, tapi…” Aku kehilangan kata-kataku
dan sekarang aku bagai anak manja yang sedang merengek. Tiba-tiba, mama bangkit dari
tempat tidurnya dan duduk di depanku.
“Runi, mama sudah menyusun rencana yang bisa membantu mama sekarang, kamu tak perlu
risau. Disini kamu bisa berjalan-jalan atau sekedar belajar di tepi danau. Kamu penting,
tanpamu mama tak akan pernah pergi dari sini.” Setelah berbicara panjang, mama kembali
tidur disampingku. Huftt. Apa yang sedang mama cari-cari sehingga membawaku ikut
bersamanya.
Dari luar, rumah ini terlihat sederhana, namun jika dilihat dari dalam sini, rumahnya begitu
mewah dengan sentuhan tradisionalnya. Lihatlah langit-langit kamar, terukir dengan
indahnya. Tampak ada sebuah gunung, sapi, dan.. yang dipinggir terlihat seperti danau! Aku
jadi teringat kata-kata mama tadi, ada danau disini. Mungkin besok aku akan pergi ke danau
itu. Ah! Aku jadi terlalu senang memikirkan danau. Tidak, tidak, aku harus tidur.

Esoknya…
Cahaya keemasan muncul dari ufuk timur, menerpa wajahku yang muncul dari
jendela kamar rumah, daun pohon nangka di samping rumah basah akan embun. Aku tak
pernah memandangi pemandangan pagi selama ini. Tapi toh apa yang bisa kupandangi?
Dahulu hanya bisa motor, mobil, motor, mobil, dan hanya itu-itu saja. Tapi sekarang berbeda,
pemandangan pagi bukan hirak pikuk transportasi, namun hanya bebek, ayam, sapi beserta
sang pengembalanya. Aku juga bukan sedang berada di kamar milikku atau rumah milik
keluarga kami, tapi sedang berada di rumah pakde. Pakde meminjamkan rumahnya untuk
kami, aku dan mama. Disamping rumah ini ada pohon nangka, hmm mungkin pakde suka
nangka.
Cukup tentang nangka, aku segera menuju ke kamar mandi dan akan berangkat menuju danau
yang kata mama jaraknya lumayan dekat dari sini. Lagi-lagi aku baru tersadar, cuaca di sini
begitu dingin walaupun aku sudah memakai pakaian dengan lengan panjang, suhu dingin
dipagi hari yang menerpa tubuh tetap membuatku sedikit menggigil kedinginan. Mama sudah
tak ada di kamar, mungkin sudah berangkat bekerja atau sekedar menemui warga yang cocok
untuk diwawancarai. Aku keluar dari kamar, ruangan tengah rumah ini masih membuatku
terpukau, dan yang menarik ialah ukiran di penyekat ruangan itu, aku seperti sudah pernah
melihat ukiran seperti itu. Tapi, aku malas memikirkannya dan akan segera mandi secepatnya
saja.
Air disini luar biasa, rasa dinginnya benar-benar menusuk! Setelah keluar dari kamar mandi
aku segera mempersiapkan diri. Setelah bebas dari huru-hara air, aku langsung menuju ke
danau. Sambil membawa roti untuk dimakan di tepi danau aku menuruni jalan dan melewati
beberapa warga lokal, tentu saja aku harus tersenyum. Walaupun masih pagi, namun orang-
orang sudah banyak beraktivitas. Mungkin untuk mempersiapkan upacara yang disebutkan
Mbak Put kemarin.
Aku melihat sosok pengembala sapi yang aku temui kemarin, dan ternyata namanya Imbha.
Dia juga memperhatikanku, namun ekspresinya terlihat bingung. Keningnya mengerut.
“Kau mau kemana, orang kota?” ucapan dari Imbha membuatku sedikit kesal.
“Namaku Runi. Terus, kenapa kau kepo sekali…”
“Apa itu kepo? Maksudmu kerupuk?” tanyanya dengan muka keheranan.
Hahaha, kerupuk? Jauh sekali pemikiran anak ini, mungkin dia sedang lapar.
“Aku mau ke danau, kau ikut? Aku juga punya roti, kita bias berbagi.” Aku berbaik hati
mengajaknya. Tetapi dia tidak memberikan jawaban atas pertanyaanku. Dia pergi dengan
membawa sapinya, dan aku heran dengan apa yang sedang dilakukannya. Dia menaruh
sapinya di samping rumah orang lain.
“Imbha, itu nggak kabur?” tanyaku sampai keceplosan menyebut namanya.
“Tidak.”
Tapi dia tak bertanya bagaimana aku tahu namanya, ya sudahlah.
Dia ternyata ikut bersamaku ke danau, wah aku tak menduga dia ikut. Imbha berjalan
didepanku seperti tour guide, tapi dia hanya diam saja dan sesekali berbicara saat disapa
warga lokal. “Kita sudah mau sampai.” kata-kata dari Imbha sang pengembala sapi
membuatku sedikit menaikkan garis bibirku.
Dan wah! Lihatlah, ada danau disana, airnya t erlihat berkilau, tapi disini sepi. “Kenapa disini
sepi? Padahal danaunya secantik ini. Bagaimana bisa aku ini tak tahu ada danau secantik ini
disini.”
“Hahaha, itu karena kau norak. Orang-orang disini lebih suka melihat ancala. Lagipula danau
akan lebih indah jika hujan turun.” Kata-katanya hari ini tak begitu menjengkelkan seperti
yang kemarin, mungkin dia memang baik. Tapi aku seikit kesal karena dikatai norak. Namun
apa artinya jika hujan turun? Aku tak mengerti apa yang Imbha bicarakan.
Menit-menit kami lalui hanya dengan duduk diam sambil memakan roti dan melihat nikmat
tuhan yang memberi keindahan untuk kami. Sejenak aku bersyukur bisa datang kesini.
Tapi, tiba-tiba ingatan itu sepintas lewat. Ukiran di penyekat ruangan itu sama seperti yang
ada di rumah. Aku ingat mama pernah membawa barang itu dari perjalanannya. Aku
bingung, kenapa ada pada mama? Mama pernah datang kesini sebelumnya? Aku akan
bertanya pada Imbha.
“Imbha, penyekat ruangan di rumah pakde yang sekarang kutempati itu, tengahnya memang
seperti ukiran yang tampak kosong?
“Hebat juga kau menyadarinya, kan mama mu yang mencurinya.” Imbha berbicara dengan
enteng. Dahiku mengerut, Apa maksudnya? Aku terkejut bukan main, roti yang kumakan
jatuh ke tanah. “Apa? Apa maksudmu? Mama? Mencurinya?” Imbha diam saja. Namun,
wajahnya memancarkan kesedihan. Hei, ada apa ini? Tiba-tiba, Imbha menarik tanganku,
memintaku untuk mengikutinya ke jalan berbatu yang berada diujung sana. Meskipun
kebingungan memenuhi diriku, aku tetap mengikuti langkahnya. Terlintas dibenakku bahwa
rencana mama datang kesini untuk mencuri ukirannya lagi.
Akhirnya kami sampai di padang rumput hijau yang jauh dari rumah pakde. Di tengah-tengah
kerumunan ada mama, mama disana, sedang apa? Aku berlari sekuat tenaga. Aku bertanya
dalam hati, mama ada apa? Kulihat mata mama sembab, mama habis menangis. Ukiran yang
sama kulihat di ruangan rumah pakde sekarang ada di tangan Mama.
“Maafkan mama Runi, mama salah, mencuri ukiran hanya karena ini bagian dari benda
bersejarah Indonesia, mama lupa benda ini sudah ada pemiliknya. Mama dibutakan oleh
kenaikan pangkat pekerjaan mama.” mama berkata dengan suara serak dan dengan posisi
berlutut ditengah keramaian warga. Mama! Aku harus menolong mama.
Aku berteriak minta maaf, maaf, maaf atas nama mama. Mama memang salah, tatapi
bukannya Ia sudah meminta maaf dan ingin mengembalikan ukirannya? Kulihat sekeliling,
Imbha berpegangan takut dengan Mbak Put. Bapak-bapak kemarin yang menjemput kami
dari bandara ada disamping mama. Aku menangis bertanya mengapa mama berperilaku
begini. Mama yang selalu mengingatkanku untuk selalu berbuat baik walau tak suka.
Tapi tiba-tiba petir menggelegar, rintik hujan turun. Semua orang tiba-tiba bertepuk tangan.
Aku merasa kebingungan melihat kegembiraan yang terjadi. Imbha menarikku menjauh dari
kerumunan dan berusaha berbicara kepadaku, namun suaranya tenggelam dalam riuh rendah.
Sementara itu, mulutnya terlihat mengucapkan kata terima kasih. Untuk apa dia
mengucapkan terima kasih? Tanpa dapat memahami lebih lanjut, aku tiba-tiba pingsan dan
kehilangan kesadaran.
Beberapa hari kemudian…
Aku pingsan. Saat tersadar, aku bukan berada di rumah pakde seperti sebelumnya. Ternyata,
upacara yang dimaksud Mbak Put kemarin adalah saat mama memohon meminta maaf pada
leluhur desa ini. Sejak mama mengambil ukiran itu secara diam-diam, desa ini belum pernah
lagi disiram oleh hujan. Warga bersorak ramai juga karena tiba-tiba hujan setelah sekian lama
tak pernah turun.
Aku dan imbha sekarang seperti teman dekat. Dia selalu berkata “Ayolah, namamu Runi tapi
kau tak terlihat bercahaya.” memang namaku artinya cahaya? Sepertinya bukan. Warga lokal
desa ini terkadang masih melihat sinis pada mama dan aku. Tapi masalah mama sudah
selesai. Kata-kata ‘aku ingin pulang sekarang’ terpancar di wajah mama yang sudah keriput.
Namun aku merasa aneh, karena kini aku sama sekali tidak merindukan kehidupan bising di
kota yang tak pernah tidur. Aku hanya ingin bermain di padang rumput belakang rumah
pakde, bersama Imbha dan sapi-sapi. Aku masih ingin menikmati suara Cordelia, kucing
hitam milik keluarga Imbha yang selalu mengeong berisik minta makan di teras rumah. Ini
pengalaman baru bagiku, berkumpul ceria dengan orang-orang baru dengan beragam canda
tawa. Dengan sapi-sapi dan danau favoritku. Jika dilihat kebelakang ini bukan seperti diriku,
tapi aku suka diriku yang seperti ini.
Aku tak mengerti dengan orang dewasa, tapi aku mengerti dengan Imbha yang sudah
menungguku seperti biasa di depan teras rumah pakde untuk memberi sapi-sapi
kesayangannya rumput.

THE END.

Anda mungkin juga menyukai