Sudah empat hari ini ia duduk di beranda rumah sore hari. Pandangannya tak lepas
dari tangga gunung di pinggir desa. Tak ada lagi yang ia tunggu kecuali suaminya
yang pergi ke seberang untuk mengais rezeki. Kalaupun ia bisa berlari, sepertinya ia
ingin mengejar kepergian orang yang sangat dicintainya.
Unsur yang menonjol dalam kutipan cerpen di atas adalah....
a. tema
b. latar
c. karakter tokoh
d. sudut pandang
3. Kuingin kau berbohong padaku. Seperti yang kau utarakan kemarin, dan yang
kemarin dulu itu. Ketika mentari meredup berpendar di pucuk daun sebelah barat
rumah dan ketika kerumunan itu tak lagi bersamamu, kau mulai dengan kisah
kebohonganmu yang pertama kepadaku.
Bukti bahwa kutipan cerpen tersebut berlatar waktu sore adalah.…
A. Mentari meredup
B. Ketika kerumunan tidak bersama
C. Mentari di sebelah barat
D. Kebohongan yang disampaikan tokoh kamu
6. Seperti teman-temannya yang lain, sebenarnya Andi ingin sekali memberi hadiah
untuk Tommy, tetapi ia tidak enak hati meminta uang pada ibunya. Apalagi, ibu
hanya diam ketika ia menyodorkan undangan pesta ulang tahun Tommy kemarin.
Saat itu, ibu sedang duduk-duduk di beranda sambil memandangi matahari yang
mulai tenggelam. Diamnya ibu, pertanda ibu belum punya uang untuk membeli
hadiah. Andi sadar, sejak ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu, ia dan ibunya
memang harus hidup hemat.
”Ah masa iya aku tak bisa memberi hadiah untuk Tommy temanku?” gumam Andi
seraya bangkit dari tempat tidur pembaringan. Ia beranjak menuju meja belajarnya.
Dimatikannya lampu tidurnya dan digantinya dengan lampu belajar. Ia mengambil
secarik kertas, pensil, dan spidol warna-warni. Tangannya mulai mencorat-coret.
Kini, ada senyum menghiasi bibirnya, “Besok pagi, aku sudah punya hadiah untuk
Tommy.”
8. (1) Boleh jadi, itu sikap angkuhnya seorang yang sukses dan kaya menghadapi
pemuda kere macam aku. (2) Sebagai pimpinan sebuah bank papan atas di negeri
ini, mungkin dia tak rela hati anak gadisnya kupacari. (3) Jadi, amat wajar dia
kelihatan tidak suka terhadapku. (4) Apalagi tampangku tidak keren kayak aktor
Nicholas Saputra, sementara wajah Mawar memang cakep. (5) Kamu sendiri bilang,
Mawar mirip Dian Sastro dengan bodi semampai macam Luna Maya (padahal
menurutku, Mawar lebih mirip penyanyi kesukaanmu, Mulan Jamila).
Bukti bahwa watak tokoh ‘dia’ pada kutipan cepen tersebut sombong terletak pada
kalimat bernomor .…
A. (1) dan (2)
B. (2) dan (3)
C. (3) dan (4)
D. (4) dan (5)
9. Ku tak mungkin jatuh cinta kan? Tidak sekarang, tidak denganmu. Pesonamu
menjeratku tapi aku tak kan membiarkan diriku jatuh cinta kepadamu. Tak kan
pernah kupercaya segala tuturmu kepadaku, dan ku akan selalu menganggap
bohong apa pun yang kau ucapkan kepadaku sejak itu, termasuk yang itu ... yang
dua kali kau sampaikan padaku. Sampai kapan pun kau merayuku, aku tak akan
pernah lagi percaya padamu. Kebohongan-kebohonganmu telah merusak cintaku.
Bukti bahwa watak tokoh kamu pembohong dapat diketahui melalui ….
A. Tingkah laku tokoh kamu
B. Tingkah laku tokoh aku
C. Dialog tokoh kamu
D. Dialog tokoh aku
12. Sudut pandang yang digunakan pengarang pada kutipan cerpen tersebut adalah
…
a. Orang pertama tokoh utama
b. Orang ketiga sebagai pengamat
c. Orang campuran
d. Orang ketiga manatahu
13. Parjimin adalah tukang batu, tetangga Kurdi. Lumayan bagi mereka, mendapat
proyek baru. Rupanya, proyek rumah gedong itulah yang selalu diperbincangkan
Kurdi di setiap kesempatan. Di tempat perhelatan nikah, supitan, di tempat kerja
bakti, sarasehan kampung, sampai ronda malam. Dia senantiasa tidak lupa
menceritakan rencananya membangun rumah gedungnya itu.
Berdasarkan kutipan cerpen tersebut, Kurdi bersifat …
a. pemberani
b. baik
c. sombong
d. egois
14. Bacalah kedua kutipan cerpen berikut!
Kutipan Cerpen I
"Sudah saya pikir masak-masak!"
Saya terkejut.
"Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"
Taksu menggeleng.
"Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru!"
"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"
Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi
mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan
kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri
membawa sebuah laptop baru yang paling canggih, sebagai kejutan.
Kutipan Cerpen II
"Jadi, apa yang membawamu kemari?"
"Kenangan."
"Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 10 tahun setelah
keluargamu kembali dan menetap 30 kilometer saja dari sini?"
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum katakata
obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari magasin.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami
dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di
ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya
lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan
setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi
penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan
wajahnya jika dia menunduk untuk menulis.
Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara
rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang
tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di
sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang.
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang
akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian
meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Kalimat langsung pada kutipan cerpen tersebut terdapat pada kalimat nomor .. ..
a. (1)
b. (2)
c. (3)
d. (4)
18. Sebuah penyajian permasalahan dalam sebuah cerita hingga sampai puncak
masalah disebut ...
a. komplikasi
b. resolusi
c. rangkaian peristiwa
d. Orientasi
19. Bacalah cerpen singkat berikut ini !
Senyum Karyamin
Karya : Ahmad Thohari
(1) Mereka tertawa bersama. Mereka, para pengumpul batu itu, memang pandai
bergembira dengancara menertawakan diri mereka sendiri. Dan Karyamin tidak ikut
tertawa, melainkan cukup tersenyum. Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama
sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol
kemenangan terhadap tengkulak, terhadap rendahnyaharga batu, atau terhadap
licinnya tanjakan. Pagi itu senyum Karyamin pun menjadi tandakemenangan atas
perutnya yang sudah mulai melilit dan matanya yang berkunang-kunang.
(2) Karyamin melangkah pelan dan sangat hati-hati. Beban yang menekan
pundaknya adalah pikulan yang digantungi dua keranjang batu kali. Jalan tanah
yang sedang didakinya sudah licin dibasahi air yang menetes dari tubuh Karyamin
dan kawan-kawan, yang pulang balik mengangkat batu dari sungai ke pangkalan
material di atas sana. Karyamin sudah berpengalaman agar setiap perjalananya
selamat. Yakni berjalan menanjak sambil menjaga agar titik berat beban dan
badannya tetap berada pada telapak kaki kiri atau kanannya. Pemindahan titik berat
dari kaki kirike kaki kanannya pun harus dilakukan dengan baik. Karyamin harus
memperhitungkan tarikannapas serta ayunan tangan demi keseimbangan yang
sempurna.
(3) Sebelum habis mendaki tanjakan, Karyamin mendadak berhenti. Dia melihat dua
buah sepeda jengki diparkir di halaman rumahnya. Denging dalam telinganya
terdengar semakin nyaring. Kunang-kunang di matanya pun semakin banyak. Maka
Karyamin sungguh-sungguh berhenti,dan termangu. Dibayangkan istrinya yang
sedang sakit harus menghadapi dua penagih bank harian. Padahal Karyamin tahu,
istrinya tidak mampu membayar kewajibannya hari ini, hari esok, hari lusa, dan
entah hingga kapan, seperti entah kapan datangnya tengkulak yang telah setengah
bulan membawa batunya.
(4) ”Ya, kamu memang mbeling , Min. di gerumbul ini hanya kamu yang belum
berpartisipasi.Hanya kamu yang belum setor uang dana Afrika, dana untuk
menolong orang-orang yang kelaparan di sana. Nah, sekarang hari terakhir. Aku tak
mau lebih lama kau persulit.” Karyamin mendengar suara napas sendiri. Samar-
samar Karyamin juga mendengar detak jantung sendiri. Tetapi karyamin tidak
melihat bibir sendiri yang mulai menyungging senyum.
(5) Kali ini Karyamin tidak hanya tersenyum, melainkan tertawa keras-keras.
Demikian keras sehingga mengundang seribu lebah masuk ke telinganya. Seribu
lunang masuk ke matanya. Lambungnya yang kampong berguncang-guncang dan
merapuhkan keseimbangan seluruh tubuhnya. Ketika melihat tubuh Karyamin jatuh
terguling ke lembah Pak Pamong berusaha menahannya. Sayang, gagal.
Berdasarkan cerpen singkat di atas, pembahasan dan telaah yang tepat adalah …
a. Dalam cerpen tersebut, terdapat unsur kebahasaan majas, kata teknis, dan kata
kerja mental. Sedangkan dari segi strukturnya terdiri atas orientasi,rangkaian
peristiwa, komplikasi, dan resolusi.
b. Dalam cerpen tersebut, terdapat unsur kebahasaan kata teknis, dan kata kerja
mental. Sedangkan dari segi strukturnya terdiri atas orientasi, komplikasi, dan
resolusi.
c. Dalam cerpen tersebut, terdapat unsur kebahasaan majas, dialog, dan konjungsi.
Sedangkan dari segi strukturnya terdiri atas orientasi dan resolusi.
d. Dalam cerpen tersebut, terdapat unsur kebahasaan majas, dialog, dan konjungsi.
Sedangkan dari segi strukturnya terdiri atas orientasi, rangkaian peristiwa,
komplikasi, dan resolusi.
21. Ketika tubuhnya digerogoti penyakit dengan enteng orang miskin itu melenggang
ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskim pada suster jaga. Karena
banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong.”begitulah
enaknya jadi orang miskin,” batinnya,”dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang
miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.
22. Seperti remaja lain di kampung saya, saya kebingungan dengan banyak hal.
Satu hal yang pasti, kita harus lebih dekat bersahabat dengan alam agar alam juga
bersahabat dengan kita. Pohon memang keramat, harus dihargai, dihormati, dijaga,
dipelihara. Tanpa pohon bencana akan lebih sering terjadi menimpa kita. Mbah
Jayasakti mestinya berubah menjadi kesadaran ilmu. Kakek benar, banyak orang
Cuma merasa pintar padahal sebetulnya tidak.
B. Terjadi bencana di suatu desa karena sudah tidak bersahabat dengan pohon
23. Aku duduk sendirian di halte depan sekolah menunggu angkot yang akan
mengantarku pulang. Kini aku harus membiasakan diri karena tak ada lagi mobil
mewah dan sopir pribadi.
B. terminal
C. depan rumah
Pulang dari mengontrol sawah, saya diajak Kakek berjalan-jalan ke pasar yang buka
seminggu sekali. Kakek membeli berbagai keperluan sehari-hari dan saya selalu
punya jajanan enak. Kalau tidak kue serabi, saya memiih kue pukis.
36. Dalam struktur teks cerpen terdapat orientasi yang memiliki arti...
A. Merupakan tahap pengenalan cerita, tokoh, dan latar cerita
B. Merupakan tahap munculnya permasalahan
C. Merupakan tahap penyelesaian masalah
D. Semua salah
37. Bagian ini merupakan tahapan penyelesaian masalah atau peleraian masalah,
merupakan pengertian dari...
A. Orientasi
B. Komplikasi
C. Resolusi
D. Reformasi
38. Pada bagian ini tokoh mengalami konflik, merupakan pengertian dari ...
A. Orientasi
B. Komplikasi
C. Resolusi
D. Reformasi
39. Tema, tokoh, watak, latar, dan amanat termasuk ke dalam bagian...
A. Unsur-unsur teks cerpen
B. Ciri-ciri teks cerpen
C. Struktur teks cerpen
D. Pengertian teks cerpen
42. Dari cerita di atas, yang termasuk ke dalam struktur teks cerpen bagian resolusi
adalah...
A. Ibu Elisa pun berencana untuk menjual biji jagung emas tersebut agar kehidupan
mereka menjadi lebih sejahtera.
B. Ibunya menyuruh Elisa untuk menanam biji jagung tersebut di belakang rumah.
C. Eliza mengobati luka yang ada di tubuh si kakek. Setelah itu, ia menawarkan diri
untuk mengantarkan si kakek pulang.
D. Di sebuah gubuk tua, terdapat seorang gadis bernama Elisa beserta ibu dan
adiknya.
43. Dari cerita di atas, yang termasuk ke dalam struktur teks cerpen bagian orientasi
adalah...
A. Ketika sudah panen, dan akan merebus jagung, alangkah terkejutnya Elisa,
karena biji jagung tersebut adalah emas.
B. Di sebuah gubuk tua, terdapat seorang gadis bernama Elisa beserta ibu dan
adiknya.
C. Suatu hari, saat Elisa hendak pergi bekerja, ia melihat seorang kakek tua
D. Ibu Elisa pun berencana untuk menjual biji jagung emas tersebut agar kehidupan
mereka menjadi lebih sejahtera.
––
Karya M. Kassim
BIASANYA orang yang bertengkar tidak dapat tidak akan melepaskan sekuat-kuat
suaranya dan berkata berebut-rebut dengan tidak mempedulikan koma dan titik.
Dalam ceritera ini, suatu pertengkaran yang disudahi dengan perkelahian yang
hebat, telah berlaku dengan berbisik saja.
Pada waktu itu matahari sudah jauh condong ke barat. Tiga orang musafir yang
berjalan kaki sedang dalam perjalanannya. Mereka itu mempercepat langkah, agar
dapat berbuka puasa di kampung orang. Menjelang akan sampai ke sebuah
kampung kecil, yang masuk bahagian Batangtoru, mereka itu berhenti sebentar
akan bermusyawarat.
“Di kampung ini tidak ada lepau nasi, kenalan kita pun tak ada. Di manakah kita
akan menumpang? Bertanak sendiri dalam bulan puasa begini, saya tak tak
sanggup rasanya,” kata yang seorang yang bernama si Burkat.
“Itulah sebabnya maka saya katakan tadi, lebih baik kita bermalam di Sitinjak saja.
Di sana ada warung nasi,” jawab temannya yang bernama si Togop.
“Saya sangka tadi, jika diburu-buru berjalan, dapat juga kita bermalam di Batangtoru,
tetapi rupanya tidak. Akan tetapi menyesal dan mengeluh tak ada gunanya. Lebih
baik kita cari akal supaya kita dapat makan petang ini.”
“Salah seorang di antara kita bertiga, kita jadikan kepala kampung ….”
“Kalau dijadikan kepala kampong saja saya rasa belum akan kenyang perut,” jawab
si Togop.
“Itu saya tahu. Tetapi bagaimana akal yang terpikir oleh saya itu, belum saya
keluarkan semuanya. Dengarlah baik-baik. Kita sama tahu, orang yang ternama
atau orang yang berpangkat lebih dimalui orang daripada orang sebarang saja. Jadi
salah seorang di antara kita, kita sebut kepala kampung, dua orang jadi
pengiringnya. Dengan hal yang demikian, di kampung ini kita menepat saja ke
rumah kepala kampungnya. Saya rasa dia suka menjamu kita buat semalam ini.”
“Menurut pikiran saya akal itu dapat dipakai. Tetapi karena engkau yang mendapat
akal itu, engkaulah pula kita angkat jadi kepala kampung itu, kami berdua jadi
pengiring,” kata si Togop.
“Baik. Tetapi mula-mula patutlah saya diberi bergelar dahulu. Sebut sajalah gelar
saya Sutan Menjinjing Alam. Tetapi hati-hati, jangan sesat, kalau-kalau terbuka
rahasia kita. Jika terbuka, bukan saja kita tidak dapat makan, tetapi badan kita akan
merasai pula orang buat. Sudah itu bungkusan dan payung saya ini, bawalah oleh
kamu berdua, karena tak pantas bagi seorang raja membawa bungkusan kalau saya
ada pengiringnya.”
Sudah itu berjalanlah Sutan Menjinjing Alam di muka, diiringkan si Togop dan si
Togu.
Sesampai di kampung yang disebut tadi, setelah bertanya kepada seorang orang
kampung itu, mereka itu pun teruslah menuju ke rumah kepala kampung. Mula-mula
naiklah si Togu mengabarkan kedatangan mereka itu kepada yang empunya rumah.
Tiada berapa lama, dengan bergegas turunlah seorang laki-laki yang setengah umur
dari rumah, dengan ramah-tamah dan senyum simpul memberi salam serta
mengajak Sutan Menjinjing Alam naik.
Setelah bercakap-cakap sejurus, waktu berbuka pun tibalah. Sebuah talam yang
berisi penganan diangkat oranglah ke hadapan Sutan Menjinjing Alam, sedang si
Togop dan si Togu dilayani seperti biasa saja.
“Tetapi buat makan, saya harap engku akan sabar kiranya sampai lepas
sembahyang isya.”
“Tiada mengapa, Engku. Kami telah mengganggu kesenangan Engku dan membuat
orang kaya di rumah ini bersusah-susah,” jawab Sutan Menjinjing Alam sambil
mengangkat sebuah gelas yang berisi seterup ke bibirnya.
Waktu hendak makan, sebuah talam diangkat orang pula ke hadapan Sutan
Menjinjing Alam. Pada piring gulainya tampaklah terbelintang sebuah paha ayam
dan pada piring yang lain sebelah dada ayam yang digoreng. Si Togop dan si Togu
hanya mendapat tulang-tulang rusuk dan tulang-tulang belakang saja.
Memandang perbedaan itu, terbitlah cemburu dalam hati kedua pengiring itu,
lebihlebih lagi si Togop.
Waktu akan tidur, yang empunya rumah mengembangkan sehelai kasur untuk
kepala kampung palsu itu, lengkap dengan bantal dan selimutnya, dan pengiringnya
hanya mendapat sehelai tikar dan dua buah bantal.
“Marilah kita tidur, Engku. Engku telah payah benar berjalan sehari ini,” kata yang
empunya rumah.
Tetapi baharu saja ia masuk dan menguncikan pintu dari dalam, datanglah si Togop
merangkak mendapatkan Sutan Menjinjing Alam.
“Engkau telah mendapat beberapa kelebihan dari kami,” katanya dengan berbisik.
“Waktu berbuka engkau mendapat pembukaan yang lebih baik, dan waktu makan
engkau kenyang makan dagingnya, kami hanya mendapat tulang-tulangnya.
Sekarang kita berganti, engkau tidur di tikar itu, kami berdua tidur di atas kasur ini.”
“Tidak, siapa mau begitu?” jawab Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula,
menampik permintaan si Togop itu.
“Benar, tetapi sebabnya engkau peroleh itu karena bantuan kami. Kami kurbankan
diri kami jadi pengiringmu dan kami sebutkan engkau kepala kampung. Jika tidak,
tentu engkau tidak akan mendapat segala kesenangan ini.”
“Bukan untuk saya saja. Kamu berdua pun tidak makan malam ini jika tidak karena
akalku.”
“Anak keparat rupanya engkau ini, curang, tamak, tidak setia berkawan, hanya
memikirkan kesenangan sendiri saja,” kata si Togop berbisik.
“Engkau ini pun tidak setia, tambahan khianat, dengki, iri hati melihat orang
mendapat kesenangan,” jawab Sutan Menjinjing Alam dengan berbisik pula, karena
takut kedengaran kepada yang empunya rumah.
“Ayo sudah, kasur ini biarlah kepadamu, tetapi selimut ini untukku,” kata si Togop
sambil menarik selimut itu.
“Tidak, tidak, biar bagaimana tidak akan aku berikan,” jawab Sutan Menjinjing Alam.
“Alangkah sombongnya engkau ini, Burkat. Baharu jadi kepala kampung icak-icak
saja, sudah sepongah itu. Dicekik hendaknya engkau ini biar mampus.”
Tetapi untung akan celaka, kebetulan pada waktu itu ia batuk, air ludahnya terpecik
ke muka si Togop, dan oleh karena itu si Togop seakan-akan kelupaan diri maka
dibalasnya penghinaan itu. Maka terjadilah perang ludah yang amat hebat, diiringi
tinju, sepak, dan terjang.
“Ia bukan raja, bukan kepala kampung, tetapi penipu … ia yang mengajak kami
menipu Engku, menyuruh kami menyebut dia kepala kampung ….”
“Engkau pun penipu!” kata kepala kampung palsu itu terengah-engah sebab
ketakutan.
“O, sekarang aku mengerti, kamu bertiga ini bangsat … penipu … menyungkahkan
nasiku dengan akal busuk …. Ayo kamu orang kampung ini, tangkap ketiga bangsat
ini, boleh kita bawa kepada Engku Jaksa di Batangtoru,” kata yang empunya rumah
kepada orang banyak, yang sementara itu datang berkerumun ke tempat itu.
Akan tetapi sebelum orang banyak dapat melakukan perintah itu, Sutan Menjinjing
Alam dengan kedua pengiringnya telah dapat meloloskan diri dari jendela dan hilang
di tempat yang kelam ….
3. Sebutkan unsur-unsur intrinsik dalam cerpen Bertengkar dan Berbisik!
-
4. Apa amanat yang bisa diambil dalam cerpen Bertengkar dan Berbisik?
.
5. Bagaimana watak Burkat, Togu, dan Togop dalam cerpen Bertengkar dan
Berbisik?