Anda di halaman 1dari 6

PUISI 1

Senandung Literasi
Senja ini semburat merah mewarna langit yang abu
Anganku terbang pada masa belajar mengeja
Kala itu, aku tersenyum mendengar dongeng pelajar nusantara
Sang penakluk bukit, penyisir sungai yang handal
Para pengejar ilmu, penggerak peradaban

Teruntuk pencinta ilmu


Membaca adalah bukti rindu yang menyeruak
Memaksa mata terkunci dengan baris dan baitnya
Lantas waktu bertransformasi jadi anak panah berkecepatan tak hingga
Dunia memang tak menjadi milikku, tapi aku mencipta duniaku sendiri

Aku ingin berkata lewat aksara, goresan pena


Merapal doa dan nasihat untuk maslahat
Diam untuk membaca, berkata untuk bercerita
Sebab literasi tak melulu tentang seni, tapi juga keinginan berbagi

Tinta senja adalah katalis bagi zaman yang tengah miris


Malam segera tiba, tapi fajar pasti menyingsing setelahnya
Maka mimpi dan usaha harus digerilya demi mentari yang lebih jingga.
(Oleh: Anisah Izdihar Nukma)
PUISI 2
Puisi Ibu (Khalil Gibran)

Ibu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir -bibir manusia.
Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.
Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang
memancar dari kedalaman jiwa. .
Ibu adalah segalanya.
Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan
kita dikala nista.
Ibu adalah mata air cinta, kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi.
Siapa pun yang kehilangan ibunya, ia akan kehilangan sehelai jiwa suci
yang senantiasa merestui dan memberkatinya.
Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu.
Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.
Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam
merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan
dan sesungaian.
Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan.
Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya.
Pepohonan dan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara
bebuahan dan bebijian.
Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud. Penuh cinta dan
kedamaian.
PUISI 3

“Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini” – Taufik Ismail


Tidak ada pilihan lain

Kita harus

Berjalan terus

Karena berhenti atau mundur

Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita

Dalam pengabdian tanpa harga

Akan maukah kita duduk satu meja

Dengan para pembunuh tahun yang lalu

Dalam setiap kalimat yang berakhiran

“Duli Tuanku?”

Tidak ada lagi pilihan lain

Kita harus

Berjalan terus

Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan

Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh

Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara

Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama

Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka

Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan

Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain


Kita harus

Berjalan terus.

PUISI 4
“Doa Serdadu Sebelum Berperang” – W.S. Rendra

Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal

Anak menangis kehilangan bapa


Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia

Apabila malam turun nanti


sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara

Waktu itu, Tuhanku,


perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku

Malam dan wajahku


adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.

Tak ada lagi pilihan


kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lenganMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu

Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku.

PUISI 5

Kami Adalah Penerusmu


Keluargamu terhormat, Raden
Hidupmu indah, Ajeng
Kaupun dikenal, Kartini
Seperti warna lukisan kehidupan
Perempuan Indonesia

Bukumu mengubah pola


Mengubah takdir perempuan Indonesia
Mengubah kejamnya masa lalu
Hingga perempuan bisa bebas
Dalam berkarya dan bergerak

Masa lalu kelam kau tulis


Untukmu dalam kisah ini
Dunia yang kau impikan
Sudah ada di depan mata kami
Kini perempuan sudah maju
Dan berbakti pada aturan negara

Terkadang masih penuh emosi


Dengan mata yang memerah
Terkadang masih dengan air mata
Dan senyum yang perlahan sirna
Yang ada di wajahmu
Dipaksa
Menjadi kekasih orang
Yang tak kau ingini
Kau tetap memberontak akan kegelapan

Namamu selalu di hari perempuan Indonesia


Revolusi wanita yang kau ciptakan
Kini kami setara
Kami penerusmu

Lagupun tercipta dengan haru untukmu


Semua tentangmu
Surat masa lalumu
Kuharap kau membacanya

Usia mudamu tenggelam


Tapi karyamu di atas permukaan
Tak ada pembatas
Bagai burung yang beberas terbang
Hingga kini menjadi kenangan

Matahari sudah terbit


Senyum perempuan mulai tersungging
Yang lalu tak teringat
Kami adalah penerusmu

Anda mungkin juga menyukai