Anda di halaman 1dari 17

Ema

Desember 25, 2010 awan sundiawan


Waktu ibun maseuhan buruan
Aya sora anu jentre dina telepon
Anaking
Syukur ari calageur mah
Eta nu dipenta ku ema beurang jeung peuting
Anaking.
Syukur ari aya dina keberkahan mah
Eta nu dipenta ku ema beurang jeng peuting
Anaking
Syukur ari aya dina rohmat-Na
Ema ngarasa bagja
Anaking
Hampura ema tina sagala kasalahan
Maklum sikep kolot ka anak
Ema hayang bebas tina sagala dosa ka anak
Anaking sakali, ema menta dihampura
Dungakeun ema sing sehat sing kuat nepi ka tutup ajal
Duh..
Ema sawangsulna abdi nu kedah dihampunten ku salira
Abdi tos nyesahkan ti lahir dugi ka ayeuna
Abdi teu malire, abdi joledar kanu jadi indung
Duh
Ema indung abdi, hampunten abdi tina sagala kelepatan
Rumaos abdi janten anak anu tos ngaraheutkeun manah
Nagiweurkeun emutan
Duh
Ema keclakna cipanon abdi nu murudul lir ibarat dosa abdi ka ema
Hapunten abdi

Ibu *
Ibu
Kumaha ridona anjeun
Parantos ngajaga diri abdi ti aalit
Tanpa menta bales jasa

Ibu
Kumaha mulyana anjeun
Hiji waktu atawa jaga
Diri abdi insya Allah
Ngajawab pangorbanan anjeun

PUISI-PUISI BARU

di antara musik-musik risauku


telah disisipkan zikir-zikir asing
yang meloncat ke masa depan
sekaligus merindukan pemakaman
selalu saja terdengar batuk ayahku
menggerayangi puisi-puisi baru
dan selalu aku memendam doa
dalam sehimpun diam yang tajam

seperti kesederhanaan yang kupilih


kembali kuhalau salam mikail
ke kampung halamanku yang cacat
masih juga sumpah-sumpahku
mengerangkengi kata-kata yang lelah
dan seperti kegelisahan yang lemah
akar-akar pikiranku memuai
membelit sajak-sajakku yang lunglai

tetapi di pangkal tidurku


harus kususun mimpi-mimpi
yang paling mengesankan
sekaligus paling mencekam
bukankah suatu saat akan tergilir

ribuan doa yang setiap malam kuukir


bukankah suatu saat akan menerkam
ribuan puisi yang setiap malam kugandakan

2003

SAJAK KEPULANGAN

pohon-pohon palma
tiang-tiang listrik yang menyala
ruas-ruas jalan raya yang murka
menjadi doa-doa yang kucerap
dengan kepala yang berat

demikian rindu mencapai kota


setelah tahun-tahun sulit
memindahkan wajah ibuku
ke kanvas basah yang dicelupkan
dan diwarnai warna kulitku

tetapi selalu harus ada yang dibunuh


sekolah rendah ayahku
sawah warisan kakek buyutku
tanah sempit pekuburan keluargaku
selalu meneteskan darah abu-abu

sampai aku memutar arah


setelah lelancip jam menikam langkah
selain maskumambang yang kutembang
bermungkin-mungkin aku terus berenang
menyebrang tangis mensorga remang

kini aku harus berburu


di tanah kuburan ari-ariku
di tapak payah 10 tahun sakit-gembiraku
demikian sulit melelang kota
yang terus membelukar di kepala

2003

TAHUN KELAHIRAN

Tahun kelahiran pun menjadi daun-daun


pisang yang merimbuni kebun keluargaku.
Dan musim biru mengasuh serdadu,
melampaui kecerdasan ibu-bapakku.
Lalu tiap kepala membentuk wajah serupa
dalam bait-bait sajak dukun beranak.

Pada pelepah usiaku yang mengusung


purnama di titik terlambat arah jarum jam,
tahun kelahiranku memahat gadis pada rumah,
ketika nada-nada minor siulan bapakku,
menghentikan biji-bijian mencinta tanah,
dan birahi yang dikucilkan musim basah.

Kini, Segala yang merambat membagi


jarak pada peta jiwaku yang berwarna. Tak ada
musim panen yang melahirkan tahun bisu,
selain ibuku, menunggu menantu di jalan buntu.
Selain aku, menanam tahun dalam puisi, tumbuh
menjadi anak-anak yang kulahirkan sendiri.

2003.

MANUSKRIP MASA LALU

Pada pori-pori ibuku, aku menyusu keringat


bersama rasa cinta yang mengkilap. Ke timur
arah kembara, telah kumuntahkan jarum jam
yang mendarah dan mendaging dalam ruhku.
Bukankah tak pernah tidur segala rasa sakit,

ketika rumah mesti dibangun puluhan tahun,


ketika jelaga mesti dihisap sebelum cahaya
bulan siap menginap.

Menuju fatamorgana, pada hari raya yang


mencerna duka cita. Aku menggoyang lonceng
dan memastikan kegembiraan telah bertengger
di ujung tanduk. Tapi bukankah ibu harus
memasak masa lalu, untuk disuguhkan pada
anak-anaknya dan ayahku yang menggadai
lapar pada tahun-tahun yang menggelegar.

Bersama nyanyian adikku yang menghibur


boneka kayu, aku mengira segala yang
sederhana, yang telah kuteguk dengan
terpaksa, harus kumuntahkan perlahan-lahan.
Tapi bukankah segala yang bersinar, menerangi
kesempurnaan. Sempurna memiliki hidup
yang bermakna bersama cacat beraneka rupa.

2003.

MASKUMAMBANG

Ribuan tahun sebelum Yesus, pada masa


dingin yang lama. Aku telah disiapkan menjadi
pengganti Adam untuk merindukan bau perempuan.
Sebau lumut yang menyulut bayang-bayang kabut
pada sajak-sajak yang menjemput. Sebau rumput
yang mengitari jeritan liar pada mantra garis tangan.

Di tanah lembab, bersama punggung binatang


yang memuai ke hutan-hutan. Ribuan tahun
setelah Nuh menurunkan berpasang-pasang
mahluk di pulau-pulau surut. Aku rupanya
telah disiapkan untuk berlayar bersama seratus
perahu yang dibangun di hutan-hutan.

Tapi lenguh kampung halaman mengirim kelambu


pada sajakku, ribuan hari setelah kakek buyutku
berpoligami. Bisakah mengucurkan kantuk, ketika
di jalan buntu tersusun serdadu. Bisakah bersembunyi,
ketika mimpi terus menari, menyihirku menjadi siput
yang berkarat di pohon-pohon yang terpahit .

2003.

KUPIKUL TAHUN-TAHUN UNIK

Kupikul tahun-tahun unik melewati sungai


merah yang membujur ke selatan menuskrip
kehidupanku. Puisi-puisi mengepulkan
amarah, melewati wajah teduh, melewati
daun bergetah, melewatiku besama peluru
yang menunggu di dini hari yang perih,
menunggu mulut senjata yang berpeluh.

Menulis lagi. Kata-kata jadi perahu yang


digerakkan kematian. Tinta menjelma ombak,
memuntahkan gairah pada sajak-sajak mentah.
Kupikul terus sampai ke batang telinga, menyisiri
bulu-bulu singa betina, bulir-bulir padi kering,
penganan cinta yang menyuguhkan diri sendiri.
Kupikul sampai ke langit-langit risauku,
sampai ke mulut-mulut masa lalu.

Lalu peluit kereta mengundang orang-orang


segera berperang. Aku bersenyawa dengan
angka sambil terus memikul dengan gembira.
Kepala-kepala suku, cahaya-cahaya lampu,

rumah-rumah beratap keriput, menyandera


makna-makna. Aku terus memikul, melewati
penyakit bumi, melewati karma yang ngeri,
mencapai mantra-mantra dengan sembilu
yang mengerat ribuan kembara.

2003.

KUIN CINTA
-buat gadis berkerudung yang terkurung
dalam kaca spion sebuah angkutan umum

Ijinkan kubakar dupa di hatimu. Sebab


doa-doa tak pernah cukup membuatmu
berpaling muka padaku. Ijinkan kukuliti
segala yang menatapmu. Sebab kutahu
tak ada yang lebih jingga dari matamu.

Di setiap dinding kapal karam, ijinkan


aku membungkam cemburu. Bersama
anak-anak telanjang yang menghamili
sungai-sungai perawan, ijinkan aku
menelan auramu yang paling tajam.

Biji kacang mana lagi yang berkecambah


dalam darahku, ketika kau akan memilih
memandangku dengan sangat hati-hati.
Maka ijinkan aku mengucurkan puisi ke
sungai yang bermuara di lesung pipimu.

Jika arang cintaku mengabu di lipatan

kerudungmu, ijinkan aku menyetubuhi


setiap helai rambutmu. Jika tidak, akan
kupastikan anak-anak yang kaulahirkan
kelak, menyerupai setiap sajak-sajakku.

2003.

MEMASUKI PETI MATI

Mimpi tentang datangnya sebuah kekasih,


mengembangbiakkan puluhan keris yang tumbuh
di taman-taman buku. Bagaimana harus kubusurkan
hati, ketika puisi tertancap di pohon-pohon lapuk.
0Bagaimana tak mengunyah bara, ketika musim paceklik
di ladang kata-kata, memercikkan api ke garis usiaku
yang melambat.

Aku memahami pekabungan sebagai ibu tiri dari


risau-risau yang memukau. Mengapa harus menjelagakan
asap-asap perih yang mengitari hari-hari kasat mataku.
Ketika ibuku terus menembang, tajam mendesak ke
sajak-sajak, ke rasa cemburu, ke rasa cemburu yang lantak,
ke masa depan yang memihak, ke anak-anak bulan,
anak-anak sunyi yang kusembunyikan di antara suap
dan kunyah zikir-zikir semediku.

Bersama kitab-kitab sastra yang membajak kematian,


aku mengairmatakan rayuan-rayuan. Ramalan bayi sinis
yang kelak merayap di punggungku, darah yang menyingkap
mitos rumit dari angka 13 selasa pahing kelahiranku,
tenung asmara, jimat-jimat dan mantra-mantra, melulu

menganaksungaikan kepenyairanku, melulu meninju


kepuasan dari sakitnya sumpah-sumpahku.

Mama..
yang sanggup beri warna cinta,

merah putih, hitam dalam hidup..


yang sanggup letakkan es dan api,
di meja makan setiap waktu
yang sanggup beri peluk cium,
berupa lebam di badan
yang sanggup buatmu sangsi,
tentang diri kandung ataukah tiri?
yang sanggup syairkan kuat,
tentang kualat dan kesaktian doa
yang sanggup kipas emosi,
berlarian tiada arah kendali
yang sanggup menjebakmu di satu titik,
terkunci mati pada ambigu dan kontradiktif
yang sanggup buatmu,
berpikir indahnya membunuh diri..

Anda mungkin juga menyukai