Ketika lapar menyerang dengkulmu yang cantik, ketika lupa menyergap alis matamu yang bernyanyi,
ketika rasa ingin tahu menguasai kukumu yang berdemonstrasi, ketika itulah sebuah republik
terhuyung-huyung mencari kekasih. Tapi, kita sedikit telat. Hamlet dan Pak Saloi telah mengajaknya
pelesiran ke hutan tembawang yang penuh copet. Jadi? Kita harus memenuhi syarat sebagai
pegawai negeri. Biarlah selulit menggumpal di bokong negara, yang penting kantong pemimpin
bangsa penuh kesombongan. Biarlah varises nongkrong di APBN, yang penting Hamlet dan Pak Saloi
tidak mengajaknya untuk sementara waktu ber-pedikur medikur.
Dengan demikian, kita bisa bertengger diayunan dengkulmu. Bukankah nenek moyang bilang
Belanda masih jauh? Sembari alismu berkaraoke The Greatest of Love Songs di antara piring-piring,
kita sempat bersin sepuas hati.
Amrin Zuraidi Rawansyah
PADA SEMBARANG MALAM
Pada sembarang malam yang kita tempuh hati-hati, seonggok cerita di selokan tentang horor urban
menggeliat malu-malu, seperti rajah kuno yang kita gambar ulang dengan sandi binari, seperti
serapah mantra purba yang kita wartakan di layar-layar televisi, seperti berhala-berhala teknologi
yang kita asapi di altar edukasi, seperti kau dan aku yang sibuk mencari tempat ber-reproduksi.
Pada sembarang malam di bulan ulang tahunmu, kita menemukan kau dan aku yang bersampan
menyeberang sungai tua membelah kota, memungut artefak-artefak mutakhir kiriman filsuf-filsuf
Yunani dan mengunyahnya lahap seperti makhluk kelaparan, seperti bayi yang berhari-hari
dihanyutkan, seperti anak yang bertahun-tahun dianiaya orangtua kandung, seperti remaja
bertahun-tahun puber dan demam tren, seperti orang-orang dewasa yang bertahun-tahun mabuk
menasehati, seperti orang-orang tua yang berabad-abad rindukan mati.
Pada sembarang malam yang lain, kau dan aku bersua kita di perempatan, berbincang dengan
pengemis junior yang menandaskan sebungkus nasi di separator jalan, bertanya tentang berapa
umurmu? Siapa orang tuamu? Punya berapa saudara? Tidak sekolah? Tidur di mana? Sehari dapat
berapa? Lalu kau dan aku melihat kita mengubah jawaban si junior dalam data-data kuantitatif,
mengolahnya sedemikian rupa menjadi statistik yang jauh dari bumi.
Lalu pada sembarang malam terpilih, kau dan aku melihat kita mengajari bayi hanyut rumus-rumus
statistik yang membeku di selokan.
Amrin Zuraidi Rawansyah
WARUNG KOPI MENGEJA MATA KAKI
Warung kopi mengeja mata kaki, pada malam siaran langsung liga sepak bola eropa, ketika sendok-
sendok berteriak, gelas-gelas berteriak, piring-piring berteriak, meja-meja berteriak, bangku-
bangku :berteriak, dinding-dinding berteriak, pintu-pintu berteriak, saat itulah tangisan beribu ibu
mendesak dari lipatan bajumu tentang anak-anaknya yang mati atas nama heroisme di papan-papan
catur.
Mata kakimu turut menangis. Seperti asbak yang meluapkan abu dan puntung-puntung rokok. "Atas
nama kemanusiaan, hentikan bisnismu!" Tapi, kita harus bikin perhitungan dengan wangi parfum,
tapi kita harus cukur jenggot sebelum kiamat, tapi kita harus candle night dinner bersama Solobodan
Milosevic, kita harus mewawancarai mata kakimu, tapi kita harus mengasamkan air mata beribu ibu
lain yang berebut diskon di pusat-pusat perbelanjaan, lantas masih sempatkah kita jalan-jalan di
buku harianmu?
Lihat baik-baik meja Mister Presiden kita yang jelita. Buku harianmu tergeletak begitu saja di salah
satu ruas jalan menuju pusat perbelanjaan, persis di samping mug kopi pancung. Pada sebuah
halaman yang terbuka, terdapat pintu menuju tangisan pilu sertifikat tanah yang diperkosa. Juga
hutan-hutan adat. Juga kuburan-kuburan leluhur. Sekarang, maukah buku harianmu meniti seutas
kalung menuju kuburan leluhur?
30.10.07
Amrin Zuraidi Rawansyah
SOLILOKUI SINER
08.11.02
Amrin Zuraidi Rawansyah
SEPETANG INI
02.
Amrin Zuraidi Rawansyah
KITA MENCATAT KEMARAU
Buat Ce
26 Agustus 2002
Amrin Zuraidi Rawansyah
BICARA URBAN
I.
Bagaimana hendak kumulai
diammu saja-sudah debarkan
Bagaimana harus kubuai
tenangmu cukup-hanyut lenakan
II.
Tunas-tunas beton menjalar di pematang
gambutku. Menjadi belukar ketidakpedulian
yang penuh cicit rem cakram, deru mesin
geram, siul klakson dan kerling lampu-
lampu sein nakal
III.
Bicara urban pada kota tua:
“Kau sapa-sapa aku dalam cemerlang mercu
dalam igau rambu-rambu…akan kau apung-
apungkan senantiasa aku, di riak-riak dua
sungai muara satu?”
02
Amrin Zuraidi Rawansyah
RAMADHAN KALI INI
Ramadhan kali ini sungguh menggetarkan. Sayup suara bocah kumandangkan azan dari surau ujung
gang urungkan beberapa rencana kecil (janji dengan rekan sejawat di sebuah warung kopi, merental
dvd film terbaru, membeli memory card, kemudian melayani curhat adik tingkat tentang pacarnya
yang pecemburu)
Kunci kendara dilepaskan dari kontak. Bergegas ke kamar. Tapi kain sarung, sajadah dan peci entah
terselip di mana. Padahal kealpaan pada-Mu selama ini, kutahu benar kutaruh di mana. Tentang
penjelajahan dan pergulatan dengan socratessian, sosialisme, komunisme, stoa, neo platonisme,
cartessian, relativitas. quantum dan lain-lain sampai pada bilangan sesangar atheisme, rapi
kusimpan dalam indeks-indeks sistematis dalam rak mutakhir bernama intelektual.
Padahal, telah kutempuh delapan jalan besar. Dan aku semakin nyasar. Aku menjadi pengembara
sepi yang merapal ayat-ayat tentang keruntuhan tuhan dari singgasana langit. Aku menjadi
revolusioner paling tenang yang mencemooh umat yang mabuk pada agama-agama lembaga.
Kuterima panggilan-Mu.
Menggetarkan
2007
Amrin Zuraidi Rawansyah
MENUJU KUBU
Di Kota ini, diskotik adalah kenangan akan malam perjamuan terakhir sebelum sahabatku itu di
serahkan. Hanya ada ruap bir, botol arak, sabu-sabu dan sigober.
“Terimalah, inilah darahku yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua pukimaknya itu”
Dikota ini, Pilatus tak lebih dari seorang ketua RT yang gemetar ketika serombongan pemabuk
berteriak-teriak minta Barabas siperampok tengik itu dilepaskan.
Di kota ini juga, taman Getsamani bagi mereka hanya ada dalam kitab suci. Padahal saat
sahabatku ditangkap malam itu, ada juga disana lentera, suluh dan senjata. Maka aku pun
menghunus pedang, mengincar telinga siapa saja.
Di atas jembatan
Seorang pengemis menghadap bulan
Memanggil-manggil mahluk tanpa bentuk yang mereka sebut setan
Esoknya dia kaya luar biasa dan dikejar-kejar wartawan
Di atas jembatan
Seorang gadis melompat, masih berpakaian seragam
Ia dibuntingi kekasihnya hanya dalam sekali tikam
Di koran pagi mereka menemukannya tewas mengenaskan
Di atas jembatan
Seorang penyair mabuk, gagal membujuk bulan
Menarik ketepil dengan sumpah-serapah tak terbahasakan
Esoknya lahirlah sajak, penuh tuak dan bau menyan
Di atas jembatan
Mitos-mitos setiap waktu dibunuh dan juga dilahirkan
by Wisnu Pamungkas
seharusnya,
tak kukisahkan lagi padamu
tentang kubur-kubur terkukur,
toko kelontong dan vihara
yang terapung di antara bukit-bukit
delta dan samudera
Seharusnya
aku tak memberitahukan lagi padamu
tentang gemerisik pucuk-pucuk bambu,
kisah lama tapal dan tambat kuda
di pusat kota yang hingar bingar
tak seharusnya
kukatakan lagi, tentang bandar yang sibuk itu
tempat penambang dan pedagang bertemu
menjelma kedai dan tirai-tirai
Di mata-Mu
Yang tajam mengintai
Setiap waktu
Tak kenal lelahnya
Hati ini kurekatkan
Selekat-lekatnya
Tuhan,
kudengar nyanyian ikan-ikan
mengalunkan tembang keluguan
tanpa gundah dan resah
tanpa prahara dan goyah
tanpa menang dan kalah
Tuhan,
kubuka topi
Ternyata pikiran manusia itu ambigu
Kubuka baju
Ternyata hati manusia itu ragu
Kubuka celana
Ternyata manusia itu tak tahu malu
Kubuka sepatu
Ternyata langkah manusia itu palsu
Lalu aku lompat ke kolamku
Berselimut sucinya air berenang dengan lugunya ikan
“ Tuhan,
sesungguhnya Engkaulah yang menciptakan
tanah dan rizki di dalamnya….
Di tengah prahara bencana di mana-mana karena ulah durjana
dan pemuja dunia
Kumohon keluarkanlah rizki petani
Dari rahasia perut bumi persada ini…Amiin…”
malam itu,
kau bersama-sama penghuni pertiwi
menatap bulan yang sedang tersenyum muram
menikmati kemenangan dan kemerdekaan
lalu
bagaimana dengan emas permata
yang kau genggam erat
dan
berjalan menelusuri nilai cintaNya
entah di persimpangan mana gugurnya ?
adakah di pojok kampungku ?
Tangan terobek
sehelai daun jatuh lunglai di tanah gersang
bersama air mata
sehelai daun menyobek tangan dengan kelembutan semu
mengucur darah dan keringat dingin
ketakutan berbaur harap
melambai-lambai di celah jemari-jemari lembut
Nah,
seketika mendidihlah
ikan dan nelayan kecil
biduk kecil dan gadis kecil
dalam gelas kopiku
kunikmati rasa tetap : pahit-manis
Bang
Ketika puisi-puisi lucu meleleh
Dari rahim jari-jari yang kaku
Engkau di mana?
Bengkayang, 2010
Nano L. Basuki
GADIS IBAN
:ZMS
sssssttt…
bangun bang
ada gadis iban sembunyi di balik pelupuk matamu
bang, o.. bang!
ia melukis wajahmu di permukaan hulu Kapuas
bangun bang
sssssttt…
Pontianak, 2010
Nano L. Basuki
HANTU HUJAN PANAS
Angkaras, 2010
Nano L. Basuki
KELAHIRAN SANG NAGA
konon suatu pagi yang cerah seorang ibu konon guru bahasa Indonesia di sebuah sma negeri
konon paling favorit di kota yang konon sangat popular di asia tenggara hendak mengajar konon
pelajaran sastra
anak-anak hari ini kita akan belajar tentang sastra siapa di antara kalian yang tahu apa arti sastra?
konon anak-anak terdiam ngangak tengak-tengok kanan-kiri berusaha mencari jawaban yang konon
sembunyi di balik mata kawan-kawan mereka konon ada yang mengangkat pundak sambil
menengadah tangan ada pula yang melipat dahi konon ada yang geleng-geleng kepala konon tak ada
yang jumpa dengan jawaban dari pertanyaan bu guru
lama- lama konon bu guru geram konon merasa muridnya tak hirau dengannya lalu mengambil
secarik kertas yang konon berisi puisi berjudul Sahabat Angin menjulurkan tangannya yang menjepit
kertas tersebut konon ke muka salah satu anak muridnya yang konon ngangak tadi
berusaha menyembunyikan malu dan kejut di hatinya konon si anak bertanya balik pada bu guru
yang konon baru saja menarik tangannya dari muka si anak
bu guru yang konon tak menyangka dihantam bumerang yang dilemparkannya sendiri konon
ngangak sejenak lalu
goyah novenaku
kuraut tajam hidungku
harum kasih memesona kalbu
ya
ya
ya
tinggallah dalam kandang dombaku
Singkawang, 2010
Nano L. Basuki
NISAN
anakku
pada nisan yang terbaring depanmu kini
aku jawab tanyamu dulu
anakku
beratus-ratus kali sudah aku mati
dan selalu kubangun sendiri nisan
tempat aku menorehkan kata
sesal dan tobatku
anakku
setelah hari ketiga kematianku
selalu selesai ukiran-ukiran itu
tak pernah tak tepat waktu
anakku
jika suatu waktu kau lalu jalanku
singgahlah dan catat kata-kataku
pada dinding-dinding renungmu
anakku
itulah puisi bagiku
05 April 2010
Ida Nursanti Basuni
UNTUK BUMI
: Bumi
12 April 2010
Ida Nursanti Basuni
MENJULUK BULAN
Lari
terbanglah terus
sampai pori-pori
banjir peluh
biar saja subuh jatuh
dan terang pagi
menyibak legam rambut
tak perlu keluarkan
derap caci maki
sumpah serapah
dan isak pilu
terbang
terus…terus…terus
seperti pungguk yang tak lelah-lelah
menjuluk bulan.
26 April 2010
Ida Nursanti Basuni
MAKTANGGUK*
Sehabis maghrib
pukul setengah tujuh malam
batang limau mengejan
senyap
Catt :
02 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
KUTUK
15 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
TIGA SAJAK DALAM HENING
1. Lelaki renta.
2. Terkurung hening
3. Sannong
Musim penghujan
Bunga-bunga mengapung
Kukirim amplop putih
berisi segenggam kalinsamme
tanpa alamat, tanpa stempel pos
Dengan senyum Uma’
kukirimkan padamu
di alamatmu yang baru
Kalinsamme tak pernah tumbuh
16 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
KELUKUK*
catt:
Kelukuk adalah nama sejenis burung
19 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
SAHABAT API
Ladang
lebih hangus dari arang.
25 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
TUJUH LIKUR DENGAN DZIKIRMU, MA’
(1)
Aku ingat lelap kenangan
bertahun lampau di malam
Ramadhan kesepuluh
Yang terasa amat panjang
di serambe'
Uma' membisik kata
yang tak mampu kujamah
lewat terawang mata.
"Sannong, hati Ma' risau.
Pendaringan kita tinggal antah.
Walau Ma' tau kesulitan
ini dari Allah ta'ala jua
ada nikmat tak terhingga di sebaliknya."
(2)
Uma' tidurlah.
Jangan risaukan pendaringan
Kau punya lebih sekepal hati Ma'.
Walau siang membanting tulang
malam menanggung bimbang.
(3)
Kini kurenangi puasa
di tempat angin terderai Ma'.
Dengan seribu harga diri melekat di jantung.
Aku pasti takkan lari dari setia Ma'
Akan kulewati tujuh likur dengan dzikirmu
Takkan pula aku
jadi tempurung naik ke appar.
Catatan :
Serambe' : Serambi atau beranda rumah
Sannong : Panggilan sayang kepada anak, adik, atau orang yang lebih muda dan dikasihi.
Pendaringan : Tempat menyimpan beras yang biasanya terbuat dari tembikar atau alumunium.
Antah : Sampah sisa beras.
Tempurung naik ke appar : pepatah melayu sambas yang artinya, orang yang telah sukses lupa
dirinya siapa. Padahal dulunya Ia miskin papa..
28 Agustus 2010
Pay Jarot Sujarwo
TANAH KAYONG
tak apalah belum sempat kucicipi ale-alemu. bukankah itu penanda bahwa kita masih layak mengeja
rindu - pada kapal-kapal nelayan, pada julang pohon kelapa, pada nyanyi walet, pada jejak roda truk
dari kebun sawit maupun bauksit. tak apalah belum sempat ku dengar dongeng junjung buih.
bukankah itu penanda kita masih diberi kesempatan mengobati luka yang perih sebab kota semakin
ringkih. tak apalah.
jika kemarin ada bekas jejak di tanahmu, biarkanlah menjadi penanda cerita tentang jejer pulau yg
belum kusinggah, karang laut yang belum kujamah, amplang pasar yang belum kuratah. besok jejak
itu mungkin hilang bersama debu, tapi lusa dan hari hari setelahnya, kita tak pernah tau anak cucu
kita merengek minta diceritakan kembali. tentu saja tak kan lupa kutulis, walaupun belum sempat ku
mampir di keratonmu. tak apalah.
klakson kapal itu sudah mengaum. nanti, aku akan kembali datang untuk melunaskan yang belum.
ini jejak
bukan soal dimana tempat berpijak
sebab di sana, telah tertera angka kalender
yang mengabarkan pertemuan kita
ini jejak
tak perlu kau tunggu
26 September 2009
Pay Jarot Sujarwo
ISTANA KADRIAH
2008
cuma sunyi
yang berkelindan di dinding hati
berharap mati dalam keadaan suci
tanpa benci ataupun caci
cuma sunyi
setelah satu persatu pelayat pergi.
Pay Jarot Sujarwo
CERITAKAN KEPADAKU TENTANG REPUBLIK
NKRI kah maksudmu? kalau itu yang kau maksud, maaf aku tidak bisa bercerita banyak. sebab di
sekolah pelajaran tentang itu tidak kudapatkan. terlebih saat masa-masa pemilihan kepala daerah.
cerita republik yang ingin kau dengar, sama sekali berubah makna. maaf, aku benar-benar tidak tau
banyak tentang republik. seorang kawan memang pernah menyebut-nyebut tentang republik
monterado sebagai republik pertama, lokasinya tak jauh dari singkawang. tapi bagaimana aku bisa
kembali menceritakannya kembali kepadamu. penduduk asli monterado saja tak tau tentang sejarah
daerahnya. jangan kau tanya kenapa, sebab orang-orang sini tak ada yang menuliskannya kembali.
hmm, tanyakan saja kepada tukang warta yang menulis di koran-koran. tapi sebaiknya jangan deh.
sebab di daerah ini, menuliskan tata bahasa saja, wartawan masih banyak yang belum bisa.
Kaos dan jeans serba ketat, membikin jejak tegas menuju jalan raya
Di kejauhan, setitik cahaya merah berkelap-kelip di puncak menara
Rupanya di sini, kicau burung telah tersaingi tulalit ponsel
tapi di sini, lima menit sekali, suara lebah itu akan senyap sebentar, berganti nada gitar dan nyanyi
setengah sumbang. lalu orang-orang bersiap menyodorkan selembar ribuan atau sekadar uang
logam. satu lagu selesai. dengan sebelum berganti dengan penjaja nada berikutnya, suara yang lebih
pikuk dari sekadar lebah itu akan kembali kau dengar.
“apa yang mereka bicarakan?” kau bertanya. seandainya istana buah di sebrang sana bisa berucap,
mungkin dia bisa menceritakan apa yang mereka bicarakan secara lengkap. tapi baiklah, kucoba
menjawab, meskipun serba singkat dan agak tersendat.
segerombol remaja yang duduk mengelilingi meja di sudut depan, bisa saja berbicara tentang merk
selular terbaru atu sedang saling pamer tentang kecantikan kekasihnya. sepertinya sebuah
pembicaraan omong kosong. tapi remaja ini bisa saja menjadi bangga dan tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak sambil seseorang di antara mereka mengeluarkan makian tanda kelewat gembira.
di meja sebelahnya, kalau jarakmu tidak terlalu jauh. kau bisa saja mendengar seseorang dengan
penampilan sangat rapi, kemeja wangi, celana bahan kain dan sepatu kantoran, dengan semangat
mempresentasikan bisnis dahsyat kepada calon downline. ya, kau sangat bisa mendengar
presentasinya, karena lelaki itu pasti sangat bersemangat. sementara yang diajak bicara, hanya
mengangguk-angguk kecil sambil sekali dua mengajukan pertanyaan tanda tak terlalu yakin.
di meja yang lain, kau bisa menyaksikan tiga orang pegawai negeri lengkap dengan seragamnya,
khususk mengepulkan asap rokok sambil matanya sesekali mengikuti gontai langkah perempuan-
perempuan pengantar kopi. ya, mereka akan sering kau temui di sini meskipun jam kerja masih
berlangsung.
kau bisa melihat lelaki tua diujung sana? yang baru saja menyeruput kopi pancungnya. ya, yang itu.
yang keningnya mengkerut. yang sangat serius sendirian. yang sedang berpikir keras tentang empat
angka yang akan keluar hari ini. jika cocok dengan nomor yang dibelinya, maka kaya rayalah dia. tapi
jika meleset, maka kau akan menyaksikannya kembali besok. lelaki tua itu, akan mengkerutkan
kening yang sama seperti hari kemarin, setelah menyeruput kopi pancungnya. dan benar, keesokan
harinya dia datang kembali lengkap dengan pensil dan selembar kertas bekas demi menemukan
rumus yang pas untuk angka yang pas.
kau perhatikan empat orang lelaki yang baru saja memarkir sepeda motornya di depan sana itu?
mereka adalah para jurnalis. yang mungkin baru selesai mengerjakan tugasnya setelah seharian lelah
memburu berita. hei, coba lihat, mereka mulai duduk, menyimpan ransel ataupun tas pembungkus
kamera di atas meja, memesan minuman, menyalakan rokok, lalu mulai satu persatu menceritakan
soal apa yang terjadi tadi siang di gedung parlemen, di plebuhan, di kantor polisi, di instansi
pemerintahan, atau dimana saja. tak jarang juga mereka membangga-banggakan media tempat
mereka bekerja. dan tentu saja, tak seorangpun di antara mereka yang ingin dikalahkan oleh orang
lain. ya, mereka adalah pewarta, dan di sini benyak berita yang bisa mereka kumpulkan.
tentu saja tidak, tapi tak usahlah buru-buru. santai saja dulu. kalau kopimu habis, jangan ragu untuk
pesan lagi. sungguh masih banyak waktu. masih sangat banyak waktu. seperti mereka yang tak
peduli dengan penyakit ambeyen. yang sangat enjoy duduk berlama-lama tak hirau dengan detik
yang berotasi di arloji. ya, di sini, orang-orang dengan suara yang lebih pikuk dari sekadar lebah,
sama sekali tak hirau dengan waktu.
di sini, juga akan sering kau temukan orang-orang yang serius membahas negara. jumlahnya sangat
banyak. ada yang katanya aktivis mahasiswa, aktivis lsm, aktivis kesenian, aktivis apa saja di sini.
bicaranya meledak-ledak. semangatnya menyala-nyala. segala macam konsep tersedia. mulai dari
yang membabi buta, sampai yang sistematis dalam bentuk power point dan siap dipresentasikan
kepada partai politik.
sering-seringlah mampir ke sini, tak membutuhkan waktu lama, kau akan mengetahui tema apa dari
pikuk suara lebah itu. dua orang kontraktor terlihat stres, karena baru saja kalah tender di dinas
pekerjaan umum. seorang calon legislatif tebar pesona cari simpati di depan preman. empat orang
lelaki tampak sibuk menghibur temannya yang baru saja putus cinta. dan tak lupa, ibu-ibu renta dan
anak-anak kecil dengan penampilan dekil sangat pintar berakting kelaparan sambil tangannya
menengadah berharap belas kasihan.
pagi berganti siang, berganti sore, berganti malam, tak sedetikpun tampat ini sepi. perempuan-
perempuan bahenol berusia remaja dengan paras menawan, dengan pantat bahenol, dengan
angkah gontai, tak berhenti hilir mudik memenuhi pesanan pelanggan. mereka menjadikan tempat
ini begitu hidup.
tapi sebelumnya kuminta maaf. jika kau menganggap cerita ini seperti bualan. sebab kusudah
terhipnotis dengan bualan-bualan yang jika kau dengarkan dengan seksama, kau akan mendengar
suara yang lebih pikuk dari sekadar lebah.
di sini.
Pay Jarot Sujarwo
SESEORANG TELAH MEMBUNUH WAKTU TADI SORE
Pontianak, 8 des 08
Pay Jarot Sujarwo
DI LUAR MENDUNG
di luar mendung,
bolehlah kita berlega
sebab cemas asap hutan
bisa ditunda sampai tahun depan.
tapi perkara musim
tentu saja tak cuma membiarkan detik yang lewat
menunggu bencana demi bencana
di luar mendung,
ah musim yang itu-itu saja
di luar mendung
PUISI UNTUK IBU
Puisi Ety Syaifurohyani
Ibu….
Mengenangmu, adalah seperti telaga yang sejuk
Dalam kerinduan ini ku kirim puisi untukmu
Ibu…
Walau orang mencibirmu
Tapi kau bagai cahaya surgaku
Hinaan, cemoohan slalu kau dapatkan
Tapi bagiku engkau wangi seperti melati
Ibu…
Rasakanlah kerinduan hati ini
Aku ingin, kita bercerita tentang hidup di bawah temaram sinar rembulan
Aku rindu nasehatmu tentang kerasnya hidup
Ibu, ingin aku tidur dalam dekapanmu yang hangat
Yang selalu memberikan semangat hidup bagiku
Ibu…
Aku rindu padamu
Anakku,
Kepakkan sayapmu
Tegakkan kepalamu
Yakinkan dalam hati
Bahwa kalian bisa
Anakku,
Terbang, terbanglah setinggi mungkin
Lihatlah dunia dengan penuh keyakinan
Anakku,
Hidup ini kejam dan keras
Kalian harus bisa taklukkan dunia
Doa bunda slalu mengiringmu.