Anda di halaman 1dari 83

Puisi penyair kalbar

Amrin Zuraidi Rawansyah


SAAT JATUH

Pada siapa duka ini kuceritakan


pada sahabat, kekasih, kerabat,
diary atau pada malam?...
sedang pada diriku sendiri
tak sanggup kuceritakan
Amrin Zuraidi Rawansyah
MENGEJA ETALASE RUMAH MAKAN

Ketika lapar menyerang dengkulmu yang cantik, ketika lupa menyergap alis matamu yang bernyanyi,
ketika rasa ingin tahu menguasai kukumu yang berdemonstrasi, ketika itulah sebuah republik
terhuyung-huyung mencari kekasih. Tapi, kita sedikit telat. Hamlet dan Pak Saloi telah mengajaknya
pelesiran ke hutan tembawang yang penuh copet. Jadi? Kita harus memenuhi syarat sebagai
pegawai negeri. Biarlah selulit menggumpal di bokong negara, yang penting kantong pemimpin
bangsa penuh kesombongan. Biarlah varises nongkrong di APBN, yang penting Hamlet dan Pak Saloi
tidak mengajaknya untuk sementara waktu ber-pedikur medikur.

Dengan demikian, kita bisa bertengger diayunan dengkulmu. Bukankah nenek moyang bilang
Belanda masih jauh? Sembari alismu berkaraoke The Greatest of Love Songs di antara piring-piring,
kita sempat bersin sepuas hati.
Amrin Zuraidi Rawansyah
PADA SEMBARANG MALAM

Pada sembarang malam yang kita tempuh hati-hati, seonggok cerita di selokan tentang horor urban
menggeliat malu-malu, seperti rajah kuno yang kita gambar ulang dengan sandi binari, seperti
serapah mantra purba yang kita wartakan di layar-layar televisi, seperti berhala-berhala teknologi
yang kita asapi di altar edukasi, seperti kau dan aku yang sibuk mencari tempat ber-reproduksi.

Pada sembarang malam di bulan ulang tahunmu, kita menemukan kau dan aku yang bersampan
menyeberang sungai tua membelah kota, memungut artefak-artefak mutakhir kiriman filsuf-filsuf
Yunani dan mengunyahnya lahap seperti makhluk kelaparan, seperti bayi yang berhari-hari
dihanyutkan, seperti anak yang bertahun-tahun dianiaya orangtua kandung, seperti remaja
bertahun-tahun puber dan demam tren, seperti orang-orang dewasa yang bertahun-tahun mabuk
menasehati, seperti orang-orang tua yang berabad-abad rindukan mati.

Pada sembarang malam yang lain, kau dan aku bersua kita di perempatan, berbincang dengan
pengemis junior yang menandaskan sebungkus nasi di separator jalan, bertanya tentang berapa
umurmu? Siapa orang tuamu? Punya berapa saudara? Tidak sekolah? Tidur di mana? Sehari dapat
berapa? Lalu kau dan aku melihat kita mengubah jawaban si junior dalam data-data kuantitatif,
mengolahnya sedemikian rupa menjadi statistik yang jauh dari bumi.

Lalu pada sembarang malam terpilih, kau dan aku melihat kita mengajari bayi hanyut rumus-rumus
statistik yang membeku di selokan.
Amrin Zuraidi Rawansyah
WARUNG KOPI MENGEJA MATA KAKI

Warung kopi mengeja mata kaki, pada malam siaran langsung liga sepak bola eropa, ketika sendok-
sendok berteriak, gelas-gelas berteriak, piring-piring berteriak, meja-meja berteriak, bangku-
bangku :berteriak, dinding-dinding berteriak, pintu-pintu berteriak, saat itulah tangisan beribu ibu
mendesak dari lipatan bajumu tentang anak-anaknya yang mati atas nama heroisme di papan-papan
catur.

Mata kakimu turut menangis. Seperti asbak yang meluapkan abu dan puntung-puntung rokok. "Atas
nama kemanusiaan, hentikan bisnismu!" Tapi, kita harus bikin perhitungan dengan wangi parfum,
tapi kita harus cukur jenggot sebelum kiamat, tapi kita harus candle night dinner bersama Solobodan
Milosevic, kita harus mewawancarai mata kakimu, tapi kita harus mengasamkan air mata beribu ibu
lain yang berebut diskon di pusat-pusat perbelanjaan, lantas masih sempatkah kita jalan-jalan di
buku harianmu?

Lihat baik-baik meja Mister Presiden kita yang jelita. Buku harianmu tergeletak begitu saja di salah
satu ruas jalan menuju pusat perbelanjaan, persis di samping mug kopi pancung. Pada sebuah
halaman yang terbuka, terdapat pintu menuju tangisan pilu sertifikat tanah yang diperkosa. Juga
hutan-hutan adat. Juga kuburan-kuburan leluhur. Sekarang, maukah buku harianmu meniti seutas
kalung menuju kuburan leluhur?

30.10.07
Amrin Zuraidi Rawansyah
SOLILOKUI SINER

Ia memintaku, Siner, membikin sajak


tentangmu, dari pecahan ubin berdaki,
teronggok di balik pintu, dalam lembab
kamar mandi

Tapi, kataku, kau mungkin akan menyesal

Dan ia semakin berisik, Siner


berisik, semakin berisik!

Padahal sudah kubilang jauh-jauh hari


seorang Siner sepertimu bukanlah sejumput
suara yang gampang lenyap dalam udara
udara yang mudah lelah pada cuaca

Dan, kataku, kau pasti akan kecewa

Tapi desahannya semakin bising, Siner,


semakin bising!

Dikiranya mudah, Siner, berperkara denganmu

08.11.02
Amrin Zuraidi Rawansyah
SEPETANG INI

Sepetang ini, masih ada samar putih


awan rendah mengabut sebisanya. Seperti
serangkum asap tungku
dalam sekali kerjap membeku
Aku di teras loteng, membeku turut
oleh kesertamertaan angin surut

Separuh bulan, separuh bintang


Kulihat wajahmu separuh
berparuh

02.
Amrin Zuraidi Rawansyah
KITA MENCATAT KEMARAU
Buat Ce

Saat itulah: saat kubaui mesiu segar


pada anak-anak rambut di tengkukmu
Bibirku menderak; retak, membeling gegar
kutancapkan merata di setiap pori jenjangmu

Kudengar lirihmu memanggil angin:


“Aku mau tidur, kau terus dekap aku, ya?”

Tapi ini kemarau, Ce, udara agak sangit


Sementara kita repot jinakkan dahaga
Halimun turun menirai pandang dari langit
Matahari bundar berkesumba

Kau dengar dengusku menyapa api?


“Indah, ya, barangkali. Kalau hidup berhenti saja di sini...”

26 Agustus 2002
Amrin Zuraidi Rawansyah
BICARA URBAN

I.
Bagaimana hendak kumulai
diammu saja-sudah debarkan
Bagaimana harus kubuai
tenangmu cukup-hanyut lenakan

II.
Tunas-tunas beton menjalar di pematang
gambutku. Menjadi belukar ketidakpedulian
yang penuh cicit rem cakram, deru mesin
geram, siul klakson dan kerling lampu-
lampu sein nakal

Ada yang terlalai, menyelinap di antara


cabang, mengudap rakus, buah akar
ranum keputusasaan…

III.
Bicara urban pada kota tua:
“Kau sapa-sapa aku dalam cemerlang mercu
dalam igau rambu-rambu…akan kau apung-
apungkan senantiasa aku, di riak-riak dua
sungai muara satu?”

02
Amrin Zuraidi Rawansyah
RAMADHAN KALI INI

Ramadhan kali ini sungguh menggetarkan. Sayup suara bocah kumandangkan azan dari surau ujung
gang urungkan beberapa rencana kecil (janji dengan rekan sejawat di sebuah warung kopi, merental
dvd film terbaru, membeli memory card, kemudian melayani curhat adik tingkat tentang pacarnya
yang pecemburu)

Kunci kendara dilepaskan dari kontak. Bergegas ke kamar. Tapi kain sarung, sajadah dan peci entah
terselip di mana. Padahal kealpaan pada-Mu selama ini, kutahu benar kutaruh di mana. Tentang
penjelajahan dan pergulatan dengan socratessian, sosialisme, komunisme, stoa, neo platonisme,
cartessian, relativitas. quantum dan lain-lain sampai pada bilangan sesangar atheisme, rapi
kusimpan dalam indeks-indeks sistematis dalam rak mutakhir bernama intelektual.

Padahal, telah kutempuh delapan jalan besar. Dan aku semakin nyasar. Aku menjadi pengembara
sepi yang merapal ayat-ayat tentang keruntuhan tuhan dari singgasana langit. Aku menjadi
revolusioner paling tenang yang mencemooh umat yang mabuk pada agama-agama lembaga.

Sedangkan aku sendiri semakin ringkih dan hampa.

Kuterima panggilan-Mu.

Sejak sekarang, Ramadhan menjadi lain.

Menggetarkan

2007
Amrin Zuraidi Rawansyah
MENUJU KUBU

Ambang Petang, beranjak dari


dermaga lengang selepas hujan
Langit mengirim kelabu pucat
Angin mengirim dingin
Sungai mengirim keruh
Dan kau mengirim mimpi

Baiklah, kujawab salammu


Biarpun gagap merangkai diksi di antara
Derum diesel klotok
Meskipun gugup menyusun rupamu di antara
buih ombak kecil
Sekalipun gagal menerjemahkan mimpimu
di antara steigher persinggahan
Tetap aku datang
Yakinlah, seyakin kita pertemuan
pertama yang bukan kebetulan
Tunggu aku di muara

(Untuk kebersamaan BSM di Kubu, 2007)


Wisnu Pamungkas
MITOS RUANG

Ketika penciptaan dimulai,


Yang pertama Tuhan lakukan adalah membangun ruang
Belum ada tempat berpijak atau berpegang
Hanya satuan waktu tanpa isi kecuali kehampaan
Penyair belum lahir kala itu, kecuali Adam
Tak ada seorang pun mencatat tiap gerak kejadian
Karena itu ruang merekam gelap dan terang

Setelah berjuta-juta tahun kemudian


Ruang itu perlahan-lahan ditinggalkan
Manusia memetik buah-buah pohon terlarang hingga ludes
Anak-anak gadis membuatnya menjadi manisan
Beberapa pemuda yang marah menebangnya dengan chainsaw
Ruang mendadak sunyi setelah ditinggalkan sejarah

Ibu Hawa dan ular terlanjur bersahabat,


Bapa Adam terpelanting dari ruang
Karena telanjang, daun-daun dirajutnya menjadi tancut
Ia baru sadar kalau hari telah siang
Tiada kedai yang buka 24 jam karena waktu berhenti berdetak

Berjuta-juta tahun kemudian


Ruang-ruang dibajak, dikapling-kapling seperti tanah
Diberi patok, diukur ulang
Bagi yang bukan keturunan ular beludak dilarang masuk
Tak seorang pun sadar kalau saat ini tempat itu telah jadi perangkap

Pontianak,11 September 2006


Wisnu Pamungkas
NEGARA KELAMIN

Ibu memproklamasikan kelamin Ayah sebagai negara baru


Ayah tak berkutik dan menyerah, walau ia marah karena tiada pilihan
Tiada yang salah pada hubungan mereka, tapi Ibu mengira telah menjadi pahlawan ketika berhasil
menyesah Ayah di ranjang perkawinan
Menciptakan khayalan terhadap persetubuhan
Menelan lelaki itu mentah-mentah sebagai santapan
Ayah tiada mengira kejantannya bisa menjadi negara, tetapi akhirnya ia terpaksa berbagi wilayah
dengan wanita itu
Membuat sempadan dari tirai, membaca proklamasi sendiri-sendiri di tapal batas
Sebenarnya mereka dahulu sama-sama serdadu sebelum perang ini pecah
Sebelum pahlawan menjadi kebutuhan untuk permainan
Ibu memang pernah menaruh dendam pada Ayah, begitu pula Ayah. Mereka pernah berseteru
walau tanpa pertumpahan darah. Hom pilahom pimpah!
Sejak saat itu negara ini terpecah-pecah,
Negara sakinah hanya iklan saat kampanye dilakukan
Lagi pun sejak itu Ibu dan Ayah merasa tak perlu lagi menikah
Hom pilahom pimpah!

Di salah satu Sudut Negeriku,


Tanjung Hulu, 26 September 2005
Wisnu Pamungkas
SELAMAT PASKA PENJAHAT!

Di Kota ini, diskotik adalah kenangan akan malam perjamuan terakhir sebelum sahabatku itu di
serahkan. Hanya ada ruap bir, botol arak, sabu-sabu dan sigober.

“Terimalah, inilah darahku yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua pukimaknya itu”

Dikota ini, Pilatus tak lebih dari seorang ketua RT yang gemetar ketika serombongan pemabuk
berteriak-teriak minta Barabas siperampok tengik itu dilepaskan.

Di kota ini juga, taman Getsamani bagi mereka hanya ada dalam kitab suci. Padahal saat
sahabatku ditangkap malam itu, ada juga disana lentera, suluh dan senjata. Maka aku pun
menghunus pedang, mengincar telinga siapa saja.

Mukok, 10 April 2004


Wisnu Pamungkas
BUMIKU ADALAH SAPI

Bumiku cuma seekor sapi


Ia sakit hati dikatakan astronot, ia sakit hati dikatakan pelaut
Bumiku cuma seekor sapi, tua dan sengsara

Matahariku juga cuma seekor sapi


Terikat di cakrawala, memamah cahaya, pesawat terbang dan bintang-bintang
Ibu kandungnya adalah black hole yang entah dibuntingi siapa
Matahariku memang cuma seekor sapi, yang sekarat menanti mati

Korek, 22 Juni 2004


Wisnu Pamungkas
MITOS JEMBATAN

Di atas jembatan
Seorang pengemis menghadap bulan
Memanggil-manggil mahluk tanpa bentuk yang mereka sebut setan
Esoknya dia kaya luar biasa dan dikejar-kejar wartawan

Di atas jembatan
Seorang gadis melompat, masih berpakaian seragam
Ia dibuntingi kekasihnya hanya dalam sekali tikam
Di koran pagi mereka menemukannya tewas mengenaskan

Di atas jembatan
Seorang penyair mabuk, gagal membujuk bulan
Menarik ketepil dengan sumpah-serapah tak terbahasakan
Esoknya lahirlah sajak, penuh tuak dan bau menyan

Di atas jembatan
Mitos-mitos setiap waktu dibunuh dan juga dilahirkan

Pontianak, 30 Oktober 2009


Wisnu Pamungkas
KAMPUNG BETING

Rumah panggung Melayu di tebingan sungai itu,


Mengingatkanku pada kampung di Sibu.
Tiba-tiba kau disana, melambaikan tangan seperti sebuah mimpi yang terbenam dalam waktu dan
senja. Seorang ayah yang hanya mengenakan kain sarung, melarung dalam siulan angin dan
dengung serangga.

Beting, 24 November 2004


Wisnu Pamungkas
BABAD SINGKAWANG

by Wisnu Pamungkas

seharusnya,
tak kukisahkan lagi padamu
tentang kubur-kubur terkukur,
toko kelontong dan vihara
yang terapung di antara bukit-bukit
delta dan samudera

Seharusnya
aku tak memberitahukan lagi padamu
tentang gemerisik pucuk-pucuk bambu,
kisah lama tapal dan tambat kuda
di pusat kota yang hingar bingar

tak seharusnya
kukatakan lagi, tentang bandar yang sibuk itu
tempat penambang dan pedagang bertemu
menjelma kedai dan tirai-tirai

Singkawang, 27 juli 2008


Wisnu Pamungkas
KUTUK SANGGAU

Aku hanya ingin Sanggau, sebilah Mandau dan kain merah


Akan kita kutuk hidup yang kuyup sebelum kau katakan cinta, orang-orang terusir menjadi
pengungsi di kampungnya sendiri. Rawamu pilu, bukitmu pilu digantikan kelapasawit melulu.
Anak-anak terlalu cepat dewasa mendengar dengkur traktor, dengus partai yang berubah menjadi
singa.

Aku ingin katakan duka sekali saja


Tuhan tanpa tanda tangan yang menjeratnya dengan iklan
Memapah negeri ini ke rumah sakit—Jangan lupa mengirim rekeningmu
ke langit—karena tanah air ini telah disengketakan antar planet

Aku ingin Sanggau, seperti dalam tv


Karauke lara diacara vagina sakinah

Sanggau, 19 Januari 2003


Wisnu Pamungkas
MANUSIA DANAU (1)

Aku terlalu sedih menjadi manusia


Tersuruk-suruk antara hujan dan dingin
Tersesat dalam kabut, mencari engkau
Dalam kemarau dan angin

Aku terlalu sedih, daun-daun jatuh


Cinta seperti tanda baca yang kabur
Kalimat tercekat antara kerongkongan dan lidah
Terisak antara puting-puting cuaca
Doa-doa yang tak terpanjatkan

Aku terlalu sedih saat mengingatmu disini


Duduk dalam kelam hati dan jarak
Berjengkal-jengkal udara dan cakrawala
Kita lupa menutup bulan

Danau Sentarum, 16 Mei 2006


Wisnu Pamungkas
MANUSIA DANAU (2)

Aku menciptakan senja


Tapi tanpa cakrawala, tanpa kuas dan zat pewarna
Aku hanya membayangkan langit kosong
Menggantung burung-burung tanpa sayap
Merapal mantra memanggil gagak

Aku mencitpakan senja


Mem-browsing mata hari sore dan jinga melapuk
Menatah tungkai-tungkai pantai tanpa laut
Debur ombak berkecipak
Perahu layar yang gagal berlabuh

Aku menciptakan senja,


Kisah rawa dan babat hujan
Mitos-mitos cinta dalam bunga mati pucuk

Danau Sentarum 16 Mei 2006


Saifun Arif Kojeh
KAU

Kau adalah air sungai


Yang tiada pernah berhenti mengajari pantaiku
Agar dapat memberikan keindahan
Memberikan penghidupan, memberikan keceriaan
Dan untuk tegar menghadapi gelombang emosi
Dari lautan asing dan tak terlihat

Kau adalah denyut nadi


Yang mengalirkan detak-detak kehidupanku
Ke jantung sesuai kodrat-Nya

Kau adalah bumi


Yang dengan sabar mengajari tanahku
Untuk bersyukur menikmati pemberian
Untuk ikhlas menerima yang sudah digariskan
Untuk rela berbuat sesuai kehendak-Nya

Kau adalah sayang


Yang tak pernah mengingkari cinta padaku
Yang selalu setia menemani kasihku
Setiap saat, setiap waktu, setiap masa
Dalam perpaduan yang mengentalkan kebersamaan
Di ikatan rasa dan restu Maha Kuasa

Balai Berkuak, 21 Maret 2010


Saifun Arif Kojeh
BINTANG DIRI

Menghayati bintang: terkenang saat diri


Mengejar pesawat-pesawat amfibi
Membelah awan, membelah angin
Membelah hutan, membelah jiwa
Sehingga diri duluan sampai
Ke daerah tujuan dengan kecepatan akal

Bintang pun bersinar


Walau sekali-kali mendung menghantarkan kelam
Tapi awan tetap setia melekat
Bahkan bersemayam kuat dalam diri

Menikmati bintang: terkenang saat diri


Berpacu dengan detik, dengan menit
Bahkan dengan hari sekaligus
Untuk menjadi yang terbaik
Dalam memaknai diri dengan napas ilah
Yang berhembus mengikuti aturan-Nya

Bintang pun jatuh ke bumi


Melesat dalam-dalam ke pusat diri
Menekuri kesejukan, menghayati kerelaan
Membersihkan kekotoran, mencintai kodrat
Yang tergariskan sepenuh hati
Untuk menjadi kekasih-Nya yang setia
Yang tak pernah ditinggalkan-Nya
Sendirian
Itu sudah yang dijanjikan-Nya

Pontianak, 28 Maret 2010


Saifun Arif Kojeh
MUNCUL

Mereka muncul ke permuakaan


Dari arus deras sungai-sungai
Yang banyak mengelilingi daerahnya
Dan mereka menggunakan buih kata-kata
Untuk mengartikan kehidupan ini

Balai Berkuak, 12 Mei 2010


Saifun Arif Kojeh
DERMAGA KENANGAN

sebelum kapalku bertolak


tinggalkan dermaga kenangan
masih kusempatkan
menjabat erat lembut tanganmu
dan menatap indah matamu
yang terdapat lautan teduh
untuk kurindukan nanti
saat aku berada di lautan luas

Balai Berkuak, 12 Mei 2010


Saifun Arif Kojeh
TAK TEGA

Hawa kopi coklat warung simpang dua


Membaui hidung rasa
Menghangati selera untuk mereguknya
Tapi tangan seketika berhenti
Meraih cangkir minuman itu
Saat mata hati memandang
di kedalaman minuman itu
ada wajah-wajah kehausan sangat

Jiwa pun tak tega


Menghapus wajah mereka
dari pandangan mata hati ini
Hanya demi memenuhi kepuasan
Rasa nikmat

Balai Berkuak, 16 Mei 2010


Saifun Arif Kojeh
BINAR PELANGI

Binar pelangi itu


Begitu indah
Muncul di celah-celah gerimis berhamburan
Dari tubuh perawan yang memecah batu
Dengan mulutnya tak bosan-bosan melantunkan madah
Sepanjang hari tak bergaris

Ketapang, 9 Juni 2010

Saifun Arif Kojeh


REKAT

Di mata-Mu
Yang tajam mengintai
Setiap waktu
Tak kenal lelahnya
Hati ini kurekatkan
Selekat-lekatnya

Ketapang, 10 Juni 201


Saifun Arif Kojeh
MUSIMAN NEGERI

Kala musiman negeri kami


Padinya melejang-lejang
bulir-bulirnya berguguran
Terserang hama
dari iklim tak menentu

Tanjung Hulu (Pontianak), 19 Juni 2010


Saifun Arif Kojeh
NYAWA KAMI

Karet nyawa kami


di tanah leluhur
Mulai tergusur
Emas mengilau dan sawit menghijau

Hidup kami pun kepahitan


dalam setiap waktu

Pontianak, 19 Juni 2010


Saifun Arif Kojeh
MENGGELUTI RASA

Merinding rasa iman


Menggeluti cahaya mengilau-Mu
Terpancar jelas dari balik tirai putih
Membuat sekujur ragaku menggigil
Dalam cumbuan keilahan-Mu
Menumpahkan hasrat bercinta
Beribu-ribu kali sampai membeku raga

Negeri Betuah (Kayong Utara), 10 Agustus 2010


Syazsya Kayung
LAGU LUGU IKANKU

Di kolam belakang rumah kutiup seruling


di bawah rumpun bambu kuning
di antara rumput kaki terendam di air bening
di antara senja langit barat menguning
kuhilangkan pusing
dari pengalaman batin yang keliling
pikir dan rasa yang terbanting

Tuhan,
kudengar nyanyian ikan-ikan
mengalunkan tembang keluguan
tanpa gundah dan resah
tanpa prahara dan goyah
tanpa menang dan kalah

Tuhan,
kubuka topi
Ternyata pikiran manusia itu ambigu
Kubuka baju
Ternyata hati manusia itu ragu
Kubuka celana
Ternyata manusia itu tak tahu malu
Kubuka sepatu
Ternyata langkah manusia itu palsu
Lalu aku lompat ke kolamku
Berselimut sucinya air berenang dengan lugunya ikan

Di kolam belakang rumahku, Oktober 2010


Syazsya Kayung
PIPIT ITU BERZIKIR BERSAMA

Hembusan angin di sawah membuatku betah


berbusana lusuh bersimbah peluh
meniti jalan tanah berkali-kali jatuh

Kueja angka-angka di tangan


matematika itu kubawa ke sawah
kujenuh di rumah di kampus di sekolah di pasar di kursi politik
ternyata banyak orang yang nilainya rendah
Kuhitung angka-angka hanya hampa
tiada realita jumlah yang nyata
hanya padi yang menguning rata

lelah kumengeja dan menghitung


suara hatiku bersatu dengan nyanyian pipit
ada zikir bersama
pipit dan orang-orang ke masjid
pipit dan anak-anak mengaji itulah
yang tinggi nilai matematikanya

Di kaki sawah kampungku, Mei 2010


Syazsya Kayung
DO’A DI PINGGIR SAWAH

Dari sawah ke sawah kubawa liburan


menapaki jalan tanah berlobang
dan rerumputan hijau
mengajak jiwaku berbagi rasa
kusapa kiri dan kanan
pohon singkong, keladi dan pepaya
semua ungkapkan petani
ada harap yang tertunda

aku hanya dapat diam walau gelora jiwa dendam


kuberdo’a di pinggir sawah:

“ Tuhan,
sesungguhnya Engkaulah yang menciptakan
tanah dan rizki di dalamnya….
Di tengah prahara bencana di mana-mana karena ulah durjana
dan pemuja dunia
Kumohon keluarkanlah rizki petani
Dari rahasia perut bumi persada ini…Amiin…”

Hanya ini do’aku untukmu pemilik sawah,


di ujung gabah masih terukir rasa dan angan

Desa Padang Ketapang, pinggir sawah belakang rumahku, 31 Mei 2001


Syazsya Kayung
BIDUK KECIL DI SUNGAI KECIL

Biduk kecil di sungai kecil


Ada nelayan kecil menggadaikan harapan di ujung kail
sebatang bambu kecil
dengan isyarat memanggil-manggil
di ujung senar
mengharap dalam buyar

“Wahai ikan-ikan kecil…


Maafkan aku…
Maafkan aku….
Maafkan aku…
hanya takdir yang membuatku ada di sini…
dan mengharap…”

Biduk kecil di sungai kecil


ada sosok bertopi rotan meredam panas
menahan dahaga
keringat dan keriput jidat berbaur dalam ilusi
namun,
ada ketenangan di sana
walau terus harap dan harap mengharap
dari air yang mengalir deras karena tumpah
dari akar bengkirai, meranti, kempas yang dirampas
dari keringat kotor penambang emas
dari kotoran puyak
“ Adakah sisa rizki dari hidup kami hari ini ?”

Kuala Kepuluk, Pematang Gadung, 31 Mei 2009


Syazsya Kayung
BULAN MURAM DI LANGIT HATI

Tajam pisau yang kau hunus pada penjahat dalam pelukmu


Tajam bambu runcing dahsyat
yang kau tusukkan pada noda bumi sendiri
tajam,tajam, tajam sekali
lidah, tangan, kaki dan hatimu…

bersama waktu pemabuk tahta itu menyerah dan kalah


walau dalam batin menggerutumu
sialan, sialan,
dan tak mungkin kini kakinya patah
menginjak bumi yang asing
dalam diri

malam itu,
kau bersama-sama penghuni pertiwi
menatap bulan yang sedang tersenyum muram
menikmati kemenangan dan kemerdekaan

walau harus mengganjal


perut demi perut

lalu
bagaimana dengan emas permata
yang kau genggam erat
dan
berjalan menelusuri nilai cintaNya
entah di persimpangan mana gugurnya ?
adakah di pojok kampungku ?

Ketapang, Di bawah Gedung Walet, 31 Mei 2005


Syazsya Kayung
MENYULAM WAKTU MELUKIS LANGIT

Hati kita berjalan antara waktu


dari makam ke makam
melukis langit mengelus takdir
yang indah di antara sumsum niat
di jejak langkah
yang tersisa di alunan qasidah hari itu

Hati kita menyulam waktu


rindu kita melukis langit meninabobokan lupa
yang lugu di antara kota di ujung-ujung desa
di kitab-kitab hari itu

Hati kita mengeja waktu setiap janji


menghitung bintang melepaskan beban
ke lubuk waktu di antara damai
di aliran keringat
di detak napas hari itu

Taman Khalwat Tanjung Pura Ketapang, Agustus 2009


Syazsya Kayung
BURUNG TAK BERKEPAK

Sosok insan duduk di rumput kering,


seekor burung tak berkepak
duduk di jendela
melihat dunia luar dari balik kaca
ada zikir dan do’a di bibir
merajut benang kehidupan
sampai titik terakhir

seekor burung tak berkepak terkepak-kepak


nyanyikan perih dan sedih
tertatitih-tatih
diasingkan betuah ranah Kayung tercinta
Seekor burung tak berkepak terkepak-kepak
diam…
menuntut asa yang selalu tertunda
lalu,
pengorbanan darah dan waktu terhampar
untuk tanah tercinta
mau terbang tiada sayap
sampai hilang segala harap.

Ketapang, Juni 2003


Syazsya Kayung
TANGAN YANG TEROBEK

Tangan terobek
sehelai daun jatuh lunglai di tanah gersang
bersama air mata
sehelai daun menyobek tangan dengan kelembutan semu
mengucur darah dan keringat dingin
ketakutan berbaur harap
melambai-lambai di celah jemari-jemari lembut

Tangan yang terobek


kesakitan dengan rintihan halus
tapi melengking
di atas kelembutan yang bertitah
sehelai daun menyobek tangan
saat itu ketika kenyataan pahit
bagi beberapa hati yang terwakili
oleh daun-daun kering
di bumi
dan di jejak langkah

Ada kelopak kayu menghujah fatwa dedaunan


dengan seruan hati yang dahsyat…………….
“ Wahai tangan yang terobek…
adakah kelembutan
di atas kelembutan daun
untuk kemenangan esok hari..?”

Ketapang, Oktober 2010


Syazsya Kayung
BALADA ANAK NELAYAN DI GELAS KOPIKU

Seorang bocah kecil menmgais-ngais rezeki


di tepi kali
sebentar kemudian ia dapatkan ikan-ikan mungil
ia masukkan ke kantong putih kristal
perlahan-lahan,
lembut mengelus-elus penuh perasaan pahit-manis
bagai kutenggak kopiku

Seorang gadis kecil menyapa dari haluan biduk


“Ikanmu, kopimu, dan hatiku.
Bolehkah kubuat puisi dengan resep Kahlil Ghibran ?’

Ikan dan puisi,


kopi dan puisi,
nelayan kecil dan puisi,
aku dan puisi,
menyatu….
“boleh-boleh saja…”

Nah,
seketika mendidihlah
ikan dan nelayan kecil
biduk kecil dan gadis kecil
dalam gelas kopiku
kunikmati rasa tetap : pahit-manis

Bocah kecil di gelas kopiku


sama rasanya puisi-puisi
di antologi penyair dan penyaksi aksi
bocah kecil dan gadis kecil bermain teater
dalam cengkeraman maut
mata-telinga awam.

Di taman kecil kota kecil Ketapang, Desember 2000


Syazsya Kayung
SENJA ITU AWAN TAK INDAH LAGI

Tiada kudengar desah angin


tiada kudengar senandung camar
yang ada kupu-kupu jantan
menghisap bunga jingga bagai langit senja

Kelopak kembang jatuh menimpa butir pasir


sepatah kata mendaki pelangi
hajat tersekap dalam temaram senja
awan bermain di balik warna kilat dan petir
mengintai maut
senja itu awan tak indah lagi

Sepatah kata terkulai layu


di puncak pelangi
bersemayam menikmati camar-camar putih
yang bermain di atas awan senja
dengan kekecewaan
senja itu awan tak indah lagi

Sepatah kata terkulai layu


keindahan telah tersekap
maut mengintai di puncak pelangi
sampai tiba pertemuan akbar
dan
senja itu awan tak indah lagi

Mancing di Hutan Kota, Ketapang Mei 2006


Nano L. Basuki
AZAN
: SBS

Ada azan di hatiku


Bangunkan jiwa
Kala mentari masih terbujur kaku

Ada azan di hatiku


Dirikan sujud
Sambut kekasih hatiku

Ada azan di hatiku


Saat mentari di atas kepala
Ajakku teduh di rumah Tuhanku

Ada azan di hatiku


Hantarkan senja yang tergesa
Dikejar gelapnya sang waktu

Ada azan di hatiku


Lembut membasuh raga
Jika corong tak bisingku

Sungai Kapuas, 10/11 September 2010


Nano L. Basuki
DI MANA
: Dr. Yus
Bang
Ketika hujan memilih di luar kelas
Dan putih kertas bertebaran di bawah bangku
Siswa di mana?

Bang
Ketika puisi-puisi lucu meleleh
Dari rahim jari-jari yang kaku
Engkau di mana?

Bengkayang, 2010
Nano L. Basuki
GADIS IBAN
:ZMS

sssssttt…
bangun bang
ada gadis iban sembunyi di balik pelupuk matamu
bang, o.. bang!
ia melukis wajahmu di permukaan hulu Kapuas
bangun bang
sssssttt…

Pontianak, 2010
Nano L. Basuki
HANTU HUJAN PANAS

Matahari masih terjaga


Kala hujan patah sayap
Anak-anak berebut daun pisang
Bekal menepis pukul hujan yang ganas

Gemericik kaki menggerus genang air huma


Terbirit meraih dangau beratap sirap
Anak-anak kalut apak tak jua datang
Kekal tangis usir hantu hujan panas

Angkaras, 2010
Nano L. Basuki
KELAHIRAN SANG NAGA

menanti kelahiran sang naga


tempik sorak orang tumpah ruah
di bangsal abdul aziz
poster di kiri kayu di kanan
amuk di mata
kerut dikening
lidah berasah gigi
busa maki membasah sekujur bibir
ahh….
kenapa mesti repot?
Nano L. Basuki
KONON PELAJARAN SASTRA

konon suatu pagi yang cerah seorang ibu konon guru bahasa Indonesia di sebuah sma negeri
konon paling favorit di kota yang konon sangat popular di asia tenggara hendak mengajar konon
pelajaran sastra

anak-anak hari ini kita akan belajar tentang sastra siapa di antara kalian yang tahu apa arti sastra?

konon anak-anak terdiam ngangak tengak-tengok kanan-kiri berusaha mencari jawaban yang konon
sembunyi di balik mata kawan-kawan mereka konon ada yang mengangkat pundak sambil
menengadah tangan ada pula yang melipat dahi konon ada yang geleng-geleng kepala konon tak ada
yang jumpa dengan jawaban dari pertanyaan bu guru

lama- lama konon bu guru geram konon merasa muridnya tak hirau dengannya lalu mengambil
secarik kertas yang konon berisi puisi berjudul Sahabat Angin menjulurkan tangannya yang menjepit
kertas tersebut konon ke muka salah satu anak muridnya yang konon ngangak tadi

berusaha menyembunyikan malu dan kejut di hatinya konon si anak bertanya balik pada bu guru
yang konon baru saja menarik tangannya dari muka si anak

jadi sastra adalah puisi ya bu guru?

bu guru yang konon tak menyangka dihantam bumerang yang dilemparkannya sendiri konon
ngangak sejenak lalu

konon melipat dahi


konon mengangkat pundak sambil menengadah tangan
konon geleng-geleng kepala
konon menjawab lirih
konon

Darit, Oktober 2009


Nano L. Basuki
MARIAM

tatkala jentik jari setia meniti tasbih


kutengadah ke atas mengejar bintang
yang jatuh tepat di jidatku

kupicingkan kedua bola mataku


tepat ke arah atas hidungku
ia tersipu lalu sembunyi di balik daun telingaku
lembut bisikannya akan hadirmu

goyah novenaku
kuraut tajam hidungku
harum kasih memesona kalbu

gerah urat nadiku


kupaling wajahku kanan dan kiri
doaku kian ke sana kemari

ya
ya
ya
tinggallah dalam kandang dombaku

Singkawang, 2010
Nano L. Basuki
NISAN

anakku
pada nisan yang terbaring depanmu kini
aku jawab tanyamu dulu

anakku
beratus-ratus kali sudah aku mati
dan selalu kubangun sendiri nisan
tempat aku menorehkan kata
sesal dan tobatku

anakku
setelah hari ketiga kematianku
selalu selesai ukiran-ukiran itu
tak pernah tak tepat waktu

anakku
jika suatu waktu kau lalu jalanku
singgahlah dan catat kata-kataku
pada dinding-dinding renungmu

anakku
itulah puisi bagiku

Kerkop Muntilan, Desember 2008


Nano L. Basuki
SELAMAT ULANG TAHUN

katatap sebuah foto yang tergantung pada dinding malam


kulihat gambarmu dulu dipeluk oleh hangat lilin
yang menyala di hati ayah ibumu
kuperhatikan betul pose tangismu yang jujur
dan senyum bahagia ayah ibumu
aku cemburu

ini malam aku mengirim kata


lewat angin yang hendak melaju
searah dengan mimpimu
selamat ulang tahun
semoga damai selalu

Bagak, Penghujung Oktober 2009


Nano L. Basuki
MEMORABILIA

Dua buah nisan berteman botol vodka


Dan serbuk ciu lekat pada tubuh batu itu
Mengingatkanku pada malam yang gerah
Akan petuah para ayah
Tunggu aku kawan
Aku belum selesai mengeja doa
Untuk kau berdua

Sijangkung, Oktober 2009


Ida Nursanti Basuni
PEGAGAN

Keranji merah bergumam:


“kelat kebal
segala hama!”
Pegagan meriap

05 April 2010
Ida Nursanti Basuni
UNTUK BUMI

: Bumi

Andai saja aku bisa mendirikan dinding di kalbumu,


agar tersalurkan arus pendengaranku,
dan kubuat ruang yang luas pada tubuhmu,
maka bunyi dan warna-warni itu dapat menembusnya.

Mungkin, dengan itu


kau akan dapat menemukan damai di sana,
di mana
duka nestapa tak akan mampu menjangkau hati dan tubuhmu.
Ida Nursanti Basuni
TARIAN LANGIT

Malam kali ini pucat


Senja tadi, langit diam
Sepi melintas di depanku
Gagak bertapih hitam
menari
Tarian yang tak pernah kulihat di manapun
Seperti mengabarkan sesuatu yang ganjil
Angin terlalu cinta padaku
Menerbangkan gagak
Mematuk jantungku

12 April 2010
Ida Nursanti Basuni
MENJULUK BULAN

Lari
terbanglah terus
sampai pori-pori
banjir peluh
biar saja subuh jatuh
dan terang pagi
menyibak legam rambut
tak perlu keluarkan
derap caci maki
sumpah serapah
dan isak pilu
terbang
terus…terus…terus
seperti pungguk yang tak lelah-lelah
menjuluk bulan.

26 April 2010
Ida Nursanti Basuni
MAKTANGGUK*

Sehabis maghrib
pukul setengah tujuh malam
batang limau mengejan
senyap

Angin menerbangkan putik kelapa


lengang gardu jaga
raung genset lesap

Catt :

*Desa yang ada di Kabupaten Sambas

02 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
KUTUK

Kau bertanya pada jejak kapal


yang lewat di muara
“Setelah kepergian, apa yang ada?”
menangguk-nangguk tanya
sambil memanggul seribu kutukan
di punggungmu.
Kau tau tak ada yang bisa melumpuhkannya
di bumi yang kerut.

15 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
TIGA SAJAK DALAM HENING

1. Lelaki renta.

Keringat kering di kulit.


“Datuk, lelah tapakmu
hingga jingga matahari tak kau rasa”.
senyummu laksana untai merah matahari
yang ingin menikahi rinai hujan

2. Terkurung hening

dalam jingga senja


neon box temaram dalam senyap
dengkur San Kew Djong* memecah sunyi
Mendengar diam
menatap lidah naga hitam
dalam hening kudengar tawa
aku sadar takkan pernah lagi
kutemu
tawa yang pernah tinggal

3. Sannong

Musim penghujan
Bunga-bunga mengapung
Kukirim amplop putih
berisi segenggam kalinsamme
tanpa alamat, tanpa stempel pos
Dengan senyum Uma’
kukirimkan padamu
di alamatmu yang baru
Kalinsamme tak pernah tumbuh

16 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
KELUKUK*

Kadang aku bertanya


apa masalahku
sebagai Kelukuk
hingga aku terbang
begitu lupa.
Tidak kutinggalkan
sejengkal jejakpun untuk
penunjuk
arahku pulang.

catt:
Kelukuk adalah nama sejenis burung

19 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
SAHABAT API

Aku menghabisi hutan jejak harap kita


mencabut akar bunga-bunga
memangkas pohon-pohon
segala kita punya.

Lihatlah! Aku membakar diri


Hati abu ikut setan
Berkawan api.

Ladang
lebih hangus dari arang.

25 Mei 2010
Ida Nursanti Basuni
TUJUH LIKUR DENGAN DZIKIRMU, MA’
 
(1)
Aku ingat lelap kenangan
bertahun lampau di malam
Ramadhan kesepuluh
Yang terasa amat panjang
di serambe'
Uma' membisik kata
yang tak mampu kujamah
lewat terawang mata.
"Sannong, hati Ma' risau.
Pendaringan kita tinggal antah.
Walau Ma' tau kesulitan
ini dari Allah ta'ala jua
ada nikmat tak terhingga di sebaliknya."
 
(2)
Uma' tidurlah.
Jangan risaukan pendaringan
Kau punya lebih sekepal hati Ma'.
Walau siang membanting tulang
malam menanggung bimbang.

(3)
Kini kurenangi puasa
di tempat angin terderai Ma'.
Dengan seribu harga diri melekat di jantung.
Aku pasti takkan lari dari setia Ma'
Akan kulewati tujuh likur dengan dzikirmu
Takkan pula aku
jadi tempurung naik ke appar.
 
Catatan :
Serambe' : Serambi atau beranda rumah
Sannong : Panggilan sayang kepada anak, adik, atau orang yang lebih muda dan dikasihi.
Pendaringan : Tempat menyimpan beras yang biasanya terbuat dari tembikar atau alumunium.
Antah : Sampah sisa beras.
Tempurung naik ke appar : pepatah melayu sambas yang artinya, orang yang telah sukses lupa
dirinya siapa. Padahal dulunya Ia miskin papa..

28 Agustus 2010
Pay Jarot Sujarwo
TANAH KAYONG

tak apalah belum sempat kucicipi ale-alemu. bukankah itu penanda bahwa kita masih layak mengeja
rindu - pada kapal-kapal nelayan, pada julang pohon kelapa, pada nyanyi walet, pada jejak roda truk
dari kebun sawit maupun bauksit. tak apalah belum sempat ku dengar dongeng junjung buih.
bukankah itu penanda kita masih diberi kesempatan mengobati luka yang perih sebab kota semakin
ringkih. tak apalah.

jika kemarin ada bekas jejak di tanahmu, biarkanlah menjadi penanda cerita tentang jejer pulau yg
belum kusinggah, karang laut yang belum kujamah, amplang pasar yang belum kuratah. besok jejak
itu mungkin hilang bersama debu, tapi lusa dan hari hari setelahnya, kita tak pernah tau anak cucu
kita merengek minta diceritakan kembali. tentu saja tak kan lupa kutulis, walaupun belum sempat ku
mampir di keratonmu. tak apalah.

klakson kapal itu sudah mengaum. nanti, aku akan kembali datang untuk melunaskan yang belum.

Pelabuhan Ketapang, 17 Oktober 2009


Pay Jarot Sujarwo
MENCATAT JEJAK

ini jejak
bukan soal dimana tempat berpijak
sebab di sana, telah tertera angka kalender
yang mengabarkan pertemuan kita
ini jejak
tak perlu kau tunggu

26 September 2009
Pay Jarot Sujarwo
ISTANA KADRIAH

gedung itu terlihat renta demi menanggung beban sejarah


pengusiran hantu-hantu, dentum meriam, jalur perdagangan,
gema takbir, pembersihan lahan, pelan-pelan siap menjadi bagian
dari kisah tak terceritakan

satu tujuh tujuh satu –


dua kosong kosong delapan

setiap harinya cuma sunyi senyap


pelan-pelan kejayaan syarif abdurrahman mulai dilupakan
ya, mulai dilupakan
sebab anak-anak sd di jalan tanjung raya
atau pun dimana saja, di tengah maupun sudut kota
lebih lancar menceritakan cerita kerajaan majapahit
daripada menjawab pertanyaan kenapa istanan itu bernama kadriah
dan kemudian berkembang menjadi kota pontianak

ya, mulai dilupakan


sebab anak-anak sd di jalan tanjung raya
atau pun dimana saja, di tengah maupun sudut kota
lebih khusuk berdiam diri di rental-rental playstation
daripada asik berbalas pantun di lapangan terbuka

ya, mulai dilupakan


sebab anak-anak sd di jalan tanjung raya
ataupun dimana saja, tengah maupun sudut kota
harus lelah dengan jadwal les di gedung-gedung bisnis pendidikan
daripada asik mendengar dongeng orang tuanya.
dan anak-anak sd itu akan menjadi remaja
menjadi dewasa, menjadi tua, akan melahirkan anak,
menimang cucu, dan meninggal dunia
digantikan generasi berikutnya

dan gedung itu akan semakin renta


dan beban sejarah akan semakin berat
ditanggungnya

tak seberapa jauh kapuas membentang


bocah-bocah melayu berkecipak riang
bersenda gurau dengan logat jakarta

2008

Pay Jarot Sujarwo


KUBURAN ALIANYANG

cuma sunyi
yang berkelindan di dinding hati
berharap mati dalam keadaan suci
tanpa benci ataupun caci

cuma sunyi
setelah satu persatu pelayat pergi.
Pay Jarot Sujarwo
CERITAKAN KEPADAKU TENTANG REPUBLIK

ceritakan kepadaku tentang republik

NKRI kah maksudmu? kalau itu yang kau maksud, maaf aku tidak bisa bercerita banyak. sebab di
sekolah pelajaran tentang itu tidak kudapatkan. terlebih saat masa-masa pemilihan kepala daerah.
cerita republik yang ingin kau dengar, sama sekali berubah makna. maaf, aku benar-benar tidak tau
banyak tentang republik. seorang kawan memang pernah menyebut-nyebut tentang republik
monterado sebagai republik pertama, lokasinya tak jauh dari singkawang. tapi bagaimana aku bisa
kembali menceritakannya kembali kepadamu. penduduk asli monterado saja tak tau tentang sejarah
daerahnya. jangan kau tanya kenapa, sebab orang-orang sini tak ada yang menuliskannya kembali.

ceritakan kepadaku tentang republik.

hmm, tanyakan saja kepada tukang warta yang menulis di koran-koran. tapi sebaiknya jangan deh.
sebab di daerah ini, menuliskan tata bahasa saja, wartawan masih banyak yang belum bisa.

pontianak, 16 des 2007


Pay Jarot Sujarwo
KEMBARA TAK TERKATAKAN

Serupa rindu, aku tak ingin kehilangan pagi


Di sini, menziarahi sunyi di antara goyang ilalang
Adalah kembara tak terkatakan
Kalaupun kota tak henti mengalirkan dendam
Masih ada alir sungai yang menyanyikan puisi-puisi
Di sini, aroma nafas hutan tak lelah menceritakan harapan

Bodok , 3 desember 2003


Pay Jarot Sujarwo
BODOK

Sungguh perjalanan yang sunyi


Bermandi sinar matahari membelah bukit, tanah merah, belantara.
Juga kelok liku dan rerimbun sawit
Adakah jejak telah jauh?

Saat hujan, kubawa tanah becek sebagai kenangan


Lebur dalam langkah tergesa perempuan-perempuan berkulit langsat
Dengan kain basah dan seember cucian
Sekejab sungai hening kembali.
Cuma suara arus, titik-titik air,
Menghanyutkan sisa busa sabun,
sangkut di tumpukan sampah
Menyatu dengan limbah sawit
Hm, baunya menyengat juga

Hujan reda. Angin menjatuhkan air di rumpun bambu tua


Langit mulus putih buram keabuan menyiratkan mendung belum selesai
Empat burung layang-layang kembali menyisir udara
Hei, ada apa gerangan?
Cahaya senja memang tak menyemburat
Tapi perempuan-perempuan langsat telah berubah rupa

Kaos dan jeans serba ketat, membikin jejak tegas menuju jalan raya
Di kejauhan, setitik cahaya merah berkelap-kelip di puncak menara
Rupanya di sini, kicau burung telah tersaingi tulalit ponsel

Kenangan tanah becek, rumah-rumah panggung, anjing-anjing kampung,


Hampar tanah merah – gagal sempurnakan perjalanan sunyi
Antena parabola dan syup-sayup house musik,
Keparat!
Puisiku tetap berupa luka

Bodok, 2 Desember 2003


Pay Jarot Sujarwo
WARUNG KOPI WINNY, JALAN GAJAHMADA

kau akan mendengar suara lebah di sini


bahkan lebih pikuk dari suara lebah

tapi di sini, lima menit sekali, suara lebah itu akan senyap sebentar, berganti nada gitar dan nyanyi
setengah sumbang. lalu orang-orang bersiap menyodorkan selembar ribuan atau sekadar uang
logam. satu lagu selesai. dengan sebelum berganti dengan penjaja nada berikutnya, suara yang lebih
pikuk dari sekadar lebah itu akan kembali kau dengar.

“apa yang mereka bicarakan?” kau bertanya. seandainya istana buah di sebrang sana bisa berucap,
mungkin dia bisa menceritakan apa yang mereka bicarakan secara lengkap. tapi baiklah, kucoba
menjawab, meskipun serba singkat dan agak tersendat.

segerombol remaja yang duduk mengelilingi meja di sudut depan, bisa saja berbicara tentang merk
selular terbaru atu sedang saling pamer tentang kecantikan kekasihnya. sepertinya sebuah
pembicaraan omong kosong. tapi remaja ini bisa saja menjadi bangga dan tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak sambil seseorang di antara mereka mengeluarkan makian tanda kelewat gembira.

di meja sebelahnya, kalau jarakmu tidak terlalu jauh. kau bisa saja mendengar seseorang dengan
penampilan sangat rapi, kemeja wangi, celana bahan kain dan sepatu kantoran, dengan semangat
mempresentasikan bisnis dahsyat kepada calon downline. ya, kau sangat bisa mendengar
presentasinya, karena lelaki itu pasti sangat bersemangat. sementara yang diajak bicara, hanya
mengangguk-angguk kecil sambil sekali dua mengajukan pertanyaan tanda tak terlalu yakin.

di meja yang lain, kau bisa menyaksikan tiga orang pegawai negeri lengkap dengan seragamnya,
khususk mengepulkan asap rokok sambil matanya sesekali mengikuti gontai langkah perempuan-
perempuan pengantar kopi. ya, mereka akan sering kau temui di sini meskipun jam kerja masih
berlangsung.

kau bisa melihat lelaki tua diujung sana? yang baru saja menyeruput kopi pancungnya. ya, yang itu.
yang keningnya mengkerut. yang sangat serius sendirian. yang sedang berpikir keras tentang empat
angka yang akan keluar hari ini. jika cocok dengan nomor yang dibelinya, maka kaya rayalah dia. tapi
jika meleset, maka kau akan menyaksikannya kembali besok. lelaki tua itu, akan mengkerutkan
kening yang sama seperti hari kemarin, setelah menyeruput kopi pancungnya. dan benar, keesokan
harinya dia datang kembali lengkap dengan pensil dan selembar kertas bekas demi menemukan
rumus yang pas untuk angka yang pas.

kau perhatikan empat orang lelaki yang baru saja memarkir sepeda motornya di depan sana itu?
mereka adalah para jurnalis. yang mungkin baru selesai mengerjakan tugasnya setelah seharian lelah
memburu berita. hei, coba lihat, mereka mulai duduk, menyimpan ransel ataupun tas pembungkus
kamera di atas meja, memesan minuman, menyalakan rokok, lalu mulai satu persatu menceritakan
soal apa yang terjadi tadi siang di gedung parlemen, di plebuhan, di kantor polisi, di instansi
pemerintahan, atau dimana saja. tak jarang juga mereka membangga-banggakan media tempat
mereka bekerja. dan tentu saja, tak seorangpun di antara mereka yang ingin dikalahkan oleh orang
lain. ya, mereka adalah pewarta, dan di sini benyak berita yang bisa mereka kumpulkan.

“cuma itu?” tanyamu.

tentu saja tidak, tapi tak usahlah buru-buru. santai saja dulu. kalau kopimu habis, jangan ragu untuk
pesan lagi. sungguh masih banyak waktu. masih sangat banyak waktu. seperti mereka yang tak
peduli dengan penyakit ambeyen. yang sangat enjoy duduk berlama-lama tak hirau dengan detik
yang berotasi di arloji. ya, di sini, orang-orang dengan suara yang lebih pikuk dari sekadar lebah,
sama sekali tak hirau dengan waktu.

di sini, juga akan sering kau temukan orang-orang yang serius membahas negara. jumlahnya sangat
banyak. ada yang katanya aktivis mahasiswa, aktivis lsm, aktivis kesenian, aktivis apa saja di sini.
bicaranya meledak-ledak. semangatnya menyala-nyala. segala macam konsep tersedia. mulai dari
yang membabi buta, sampai yang sistematis dalam bentuk power point dan siap dipresentasikan
kepada partai politik.

sering-seringlah mampir ke sini, tak membutuhkan waktu lama, kau akan mengetahui tema apa dari
pikuk suara lebah itu. dua orang kontraktor terlihat stres, karena baru saja kalah tender di dinas
pekerjaan umum. seorang calon legislatif tebar pesona cari simpati di depan preman. empat orang
lelaki tampak sibuk menghibur temannya yang baru saja putus cinta. dan tak lupa, ibu-ibu renta dan
anak-anak kecil dengan penampilan dekil sangat pintar berakting kelaparan sambil tangannya
menengadah berharap belas kasihan.
pagi berganti siang, berganti sore, berganti malam, tak sedetikpun tampat ini sepi. perempuan-
perempuan bahenol berusia remaja dengan paras menawan, dengan pantat bahenol, dengan
angkah gontai, tak berhenti hilir mudik memenuhi pesanan pelanggan. mereka menjadikan tempat
ini begitu hidup.

kau akan mendengar suara lebah di sini.


bahkan lebih pikuk dari sekadar lebah.

“ceritakan kepadaku lagi,” pintamu.

tapi sebelumnya kuminta maaf. jika kau menganggap cerita ini seperti bualan. sebab kusudah
terhipnotis dengan bualan-bualan yang jika kau dengarkan dengan seksama, kau akan mendengar
suara yang lebih pikuk dari sekadar lebah.

di sini.
Pay Jarot Sujarwo
SESEORANG TELAH MEMBUNUH WAKTU TADI SORE

Seseorang telah membunuh waktu tadi sore


Dengan bersusah payah,
akhirnya dia berhasil menghentikan detik
yang berotasi di arloji.
Lalu sore tetap menjadi sore
di antara derai hujan dan desau angin
di antara bayang mimpi esok hari
Tapi tadi sore waktu telah mati
Percuma bermimpi,
kecuali masih ingin terus menerus dikelabui.

Seseorang telah membunuh waktu tadi sore.


Tapi tak ada seorangpun yang berani menguburkannya.

Pontianak, 8 des 08
Pay Jarot Sujarwo
DI LUAR MENDUNG

di luar mendung,
bolehlah kita berlega
sebab cemas asap hutan
bisa ditunda sampai tahun depan.
tapi perkara musim
tentu saja tak cuma membiarkan detik yang lewat
menunggu bencana demi bencana
di luar mendung,
ah musim yang itu-itu saja

(belum lama berita tentang kebakaran hutan,


tak lama lagi berita tentang air sungai meluap)

di luar mendung
PUISI UNTUK IBU
Puisi Ety Syaifurohyani

Ibu….
Mengenangmu, adalah seperti telaga yang sejuk
Dalam kerinduan ini ku kirim puisi untukmu

Ibu…
Walau orang mencibirmu
Tapi kau bagai cahaya surgaku
Hinaan, cemoohan slalu kau dapatkan
Tapi bagiku engkau wangi seperti melati

Ibu…
Rasakanlah kerinduan hati ini
Aku ingin, kita bercerita tentang hidup di bawah temaram sinar rembulan
Aku rindu nasehatmu tentang kerasnya hidup
Ibu, ingin aku tidur dalam dekapanmu yang hangat
Yang selalu memberikan semangat hidup bagiku

Ibu…
Aku rindu padamu

Singkawang, 11 November 2009


KOPITIAM
Puisi Ety Syaifurohyani

kopitiam menghiasi setiap sudut kota


setiap pagi harum kopi panas semerbak
berjejer pelanggan kopitiam
sabar menunggu kopi panas terhidang
semua kalangan berbaur menjadi satu
pegawai yang mangkir dari kantor,
tukang becak yang istirahat karena lelah,
penjual ikan, tukang koran,
pencopet, mau pun pemabuk,
semua berbaur

banyak cerita mengalir dari mulut yang beraneka macam


dari berita di koran tentang teroris yang meraja lela
harga sembako yang semakin tak terjangkau
biaya rumah sakit yang semakin selangit
abdi pemerintah yang nyabu
dan semua isu-isu yang sedang beredar,

kopitiam slalu menjadi ciri khas di setiap sudut kota


kalau pejabat ingin mendengar keluhan dan jeritan rakyat
duduklah di kopitiam
para pejabat yang terhormat akan mendengar jeritan rakyat
jangan hanya duduk di kursi goyang
yang akan membuat mata mengantuk dan tertidur pulas
sehingga telinganya tak kan pernah mendengar jeritan rakyatnya

Singkawang, 3 Oktober 2010


ANAK BARONGSAI
Puisi Ety Syaifurohyani

Anak barongsai bermandi peluh


Mereka berjingkrak, melompat
Mengikuti irama yang berdentam keras

Anak barongsai menggeliat


Melakukan gerakan Lay See
Melompat tinggi menyambar angpaw
Yang akan membuat senyum di ujung bibir

Ah, anak-anak barongsai


Mereka bersemangat menyambut imlek
Tak ada duka di wajah mereka
Walau mereka tahu betapa keras dan kejamnya hidup
CAP GO MEH
Puisi Ety Syaifurohyani

Perayaan cap go meh tiba


Para dewa turun ke bumi
Di arak berkeliling, untuk mengusir roh jahat
Bau ratus dan kemenyan semerbak
Para louya duduk di kursi kebesaran
Beralaskan pedang tajam

Inilah pesta rakyat


Rakyat bersuka cita
Melupakan sejenak kepenatan hidup
AJARI AKU
Puisi Ety Syaifurohyani

Ajari aku untuk membencimu


Seperti ketika kau mengajari aku untuk mencintaimu
Ajari aku tuk melupakanmu
Seperti ketika kau mengajari aku untuk mengingatmu

Aku tahu kau tak bisa memberikan utuh hatimu padaku


Karena sudah ada penghias hatimu
Tapi haruskah aku menanggung rasa ini
Kau lukai hati ini
Dengan rasa cintamu

Ambil, ambil, kembali cintamu


Aku tak mau cinta itu bersemayam di hatiku

Ajari aku untuk melupakanmu

Singkawang, Desember 2009


SELAMAT DATANG MALAIKAT KECILKU
Puisi Ety Syaifurohyani

Air mata menetes di pipi


Ketika ada makhluk kecil bersemayam di rahimku
Dia menjadi bagian hidupku
Nafasku menjadi denyut nadinya
Senyumku menjadi detak jantungnya
Malaikat kecilku
Selamat datang dalam kehidupanku

Singkawang, 22 September 2010


UNTUK ANAKKU
Puisi Ety Syaifurohyani

Anakku, tak banyak yang bunda punya


Hanya sejumput pengetahuan
Yang berguna untukmu di kemudian hari

Anakku,
Kepakkan sayapmu
Tegakkan kepalamu
Yakinkan dalam hati
Bahwa kalian bisa

Anakku,
Terbang, terbanglah setinggi mungkin
Lihatlah dunia dengan penuh keyakinan

Anakku,
Hidup ini kejam dan keras
Kalian harus bisa taklukkan dunia
Doa bunda slalu mengiringmu.

Singkawang, 3 Oktober 2010

Anda mungkin juga menyukai