Anda di halaman 1dari 44

EFROSINA

Ketika bangun pagi sekali, pada suatu hari, aku takjub ilalang tumbuh sepanjang betisku.

Tubuhku kecut dan pasi, hujan menyiram rambutku semalaman;

seseorang bermuka pucat bermahkota cahaya ke dalam cawan menuangkan cairan merah bagai anggur, seperti darah:

"Untuk kesehatan kita." Kami pun bersulang, aku bersulang, dengan murung.

Tapi demi Tuhan, demi dia, wajahnya jelita dan jenaka.

Aku teringat ibu, lalu kutanyakan padanya telah ia lihatkah pohon di sorga muasal semua penderitaan manusia.

Namun ibu tersayang terlalu jauh dan seruanku begitu rendah.

Angin keras dan riuh, tersesat aku di entah.

Andaikan firdaus, seandainya inferno, dapat diukur dengan kilo jaraknya dan jarum jam berputar sebaliknya.

Barangkali aku menangis, ya, sendirian, bermalam-malam. Keningku rekat ke marmar, jiwaku memar.

Kelopak bunga baobab berguguran dari sembab mataku.

Di kejauhan seluruh masjid bertakbir, para malaikat pulang ke tabir. Meninggalkan sayap mereka di jalan raya.

Aku terikat di tempatku. Para filsuf menyebutnya dunia, aku menyebutnya penjara atau puisi atau jalusi musim semi.

Seseorang dengan sinaran berputar di lingkar kepalanya

menjadi kekasihku yang setia, dan pada suatu senja minggat begitu saja.

Aku patah. Jatuh sakit dan ginjalku lemah.

Aku menunggu, tidak, aku tidak menunggu, aku menunggu, tidak, mustahil aku menunggu, aku menunggu, tidak, ia muskil kembali, ia mungkin kembali.

Wajah yang memukau menyelundup dalam mimpiku. Bagai hujan rusuh menghunjam lebuh kemarau.

Di hari yang lain pusar di lidahku diliput lumut, dan mulutku pun bisu.

Biji gandum liar berjatuhan dari lubang hidungku, disemaikan angin ke seluruh penjuru.

Aku kini buta dan menanti. Bersandar di kursi malas seharian, setelah itu berminggu-minggu, kemudian berbulan-bulan.

"Dungu!" suara asing berbisik di telingaku, "segala sesuatu berubah. Waktu tidak berlari ke punggungmu. Duduk manislah di situ, kenangkan perbuatan santun masa mudamu.

Kutuklah pawai, juga partai, atau apa pun sesukamu."

Sayang, sayang, jangan menuduhku pencaci dan mendakwaku Mephisto atau Samiri. Bukan, sayang, bukan.

Namaku tak jadi beban. Aku bukan Aaron, bukan setan.

Aku pencinta wajah yang pernah datang dan hilang meninggalkan untaian manik cahaya, seperti lira Orfeus bagi madah Eridike yang nestapa.

Aku makanan dalam ususmu, keluhan dukalaramu, aku retina dalam matamu.

Hanya kudengar desir angin.

Maka kepadanya aku berkata: "Kunjungilah negeri terjauh. Temukan dia untukku." Akan kutanggungkan

kesedihanku merangkum ranum senyum itu.

1999-2006

MEJA KAYU

Inilah rahasia senja, usia yang terbuang, maut yang mengundang dan menghindar.

Laut jauh, malam pualam.

Kudengar berbagai suara dari dalam. Pertempuran, tarian Mephisto, erang dan keluh, jamu yang diseduh, sedang dia memungut bayang-bayang:

Luka dan prelude dari duka yang luput.

Ada perempuan matang bergigi kawat, berdiri di sebuah hari, ujung tahun yang basah, di bawah pohon cemara berlampu lebat.

Pengakuanku terbesar padamu: aku berhenti menemui seorang gadis, dan minum kopi lagi.

Semakin jarang aku memberimu ciuman, umurku berkurang dan kesepian.

Telah kuterima kegagalan dan hujatan sebagai cinta.

Aku keluar, sepatuku selalu bersemir coklat, kaus kaki baru dan lembut, ah, bukankah telah lama kering rumput di halaman

dan Chopin di masa silam menulis lagu pedih tentang hujan.

Gerimis dan rincing uang logam, pemantik api dan pipi yang penuh, sudut kotamu terlalu riuh.

Aku bernyanyi, jika sedih aku bernyanyi: Tepislah cintaku, dan esok pagi aku akan bangun di kamar hotelku. Sendiri.

Yang kusayangi selalu pergi.

Inilah rahasia senja, tanpa patahan kenangan dan kehendak memuja mitologi.

Alangkah riang ketika langit terang, kereta langsir, peluit tukang parkir bagai jadwal yang mangkir.

Aku murung dan kecewa, di stasiun Tugu melompat-lompat dan tertawa.

Beriman, Faust, bukan bersedia

keras kepala, untuk senyum seorang perawan, pemimpin yang ribut, sahabat yang memelihara serigala dalam dadanya, untuk bukan apa pun.

Tidak seperti para terusir di tanah-tanah pengungsian, aku cuma sedikit kehilangan:

Daun jatuh, percakapan yang berayun-ayun; dan seorang perempuan lemah melepas kerudungnya, mendedah kecupan, menata surat-surat, hadiah-hadiah remah,

dan mengubur bekas pelukanku di bawah meja kayu.

1999-2006

32 VARIASI PADA C MINOR

Dengan rambut licin dan tubuh bacin di halaman sebuah hotel sepasang remaja berkulit terang dihadang siang yang sinis.

Terkenang tengkukmu yang tegang tadi malam, aku tak harus cemas jika mesti terdesak arak-arakan demonstran di tikungan jalan kota yang makin kotor ini.

Satu atau dua kali seminggu kita selalu menyesal, dan nyaris sebal, terpaksa mandi pagi sekali.

Mungkin harus kita cari cara lain menyatakan cinta yang rutin itu, barangkali dengan belajar origami atau memelihara sejenis reptil.

Tentu saja agak ganjil.

Bagaimana jika sesekali kita tidur di losmen, kau dan aku maksudku, dan pura-pura menjadi pasangan

kawin tamasya?

Seperti telah kuduga, kau tersipu di depan kompor gas yang menyala seraya melihat-lihat menu hari itu dan beberapa jam kemudian, jika aku tak sibuk dan kau tak lupa,

kita akan duduk di bawah tiga puluh menit di ruang makan, menelan sejumlah pertanyaan.

Lalu aku menjadi penyendiri lagi di kamar kerjaku yang angkuh dan dingin dan sunyi.

Pikiran aneh tentang menjadi tua sebelum waktunya muncul tiba-tiba dan dengan kegilaan yang menyenangkan kubayangkan seseorang memainkan 32 Variasi pada C Minor di rumah ini, pada pukul tiga dini hari.

Siapa yang hendak setia bersikap ramah kutelepon setelat itu hanya untuk mendengar telah kutulis sembilan atau sebelas baris puisi liris dan bertanya esok tanggal berapa, mau ke mana, dan apakah tak terlalu berbahaya

menjadi relawan pendamping korban penculikan, penjarahan dan perkosaan di negeriku yang pendendam dan ringan tangan.

Begitulah, mereka masih sangat muda, keluar dari pintu hotel dengan langkah lepas dan kulum puas.

Aku tersenyum sendiri, Bercerita kepadamu sesuatu yang remah dengan perasaan pelarian yang resah,

terbuang dari negerinya sendiri, pada musim orang-orang tergiur partai, bermain musik dan bercinta.

Padahal kau tidur di kamar sebelah dan pekerjaan terakhirku menjelang fajar sekadar memeriksa kembali

apakah telah kukunci semua jendela dan pintu rumah.

1998-2006

ANNE

Anne, dengarkan pohon-pohon berbisik, "Bukankah Listz sungguh cerdas dan pencemas?"

Waldesrauschen dan kulitmu pucat dan hawa pengap mengajari rasa takut dengan keberanian yang bekap.

Di kota ini aku mudah jatuh hati pada gadis beralis gerigis, seperti keluhku padamu, pada langit warna biru.

Malam bertambah panjang seperti ranjang yang bimbang.

Tak masuk akal jika seekor ikan terperangkap rok dalam.

Biarlah keanehan tetap milik setia tiran tua atau Ahasveros yang celaka, katamu.

Di kota ini aku akan terus jatuh hati pada gadis berbibir tipis, seperti sayangku padamu, pada serdadu tak berpeluru.

Dengarkan pohon-pohon itu berbisik, "Bukan. Ini tarian perang."

Seseorang meniup lilin ulang tahun dan kau jilat leherku dan kurangkum ranum dadamu.

Tidak, seperti cinta, keajaiban milik semua orang, juga demonstran yang hilang di jalan, dengan tangan kekal mengepal.

Anne, dengarkan pohon-pohon berbisik, "Dengarlah, demi Tuhan. Ini tangisan negeri yang malang."

1998-2006

IKEBANA

Pot itu terlalu buncit. Di tepi meja sempit ia seperti perut kurcaci, dan Puteri Salju itu tertawa geli.

Merangkai daun pakis dan mawar merah dan gladiul, pada pukul tiga dini hari, bukankah majnun?

Tapi ia berkata, "Adakah cinta tanpa sesuatu yang gila dalam kulum lidahnya."

Dua sendok gula kau susupkan ke dalam cangkir teh panas itu.

"Di ujung bawah singletmu telah kusulam huruf awal namamu," katamu.

Bercakaplah dengan desir angin, dan kutub jendela dan sepatu berdebu itu.

Sebab di pagi hari ketika sejumlah orang masih sembunyi, mungkin dalam mimpi, ia akan pergi dan melupakan sikat gigi di atas meja pucat,

di pinggir kasur lipat, menindih sepucuk pesan singkat,

"Terimalah seluruh keluhku dan rangkai bunga itu dan peluhku yang masih melekat di liat lehermu. Esok aku kembali. Menjemput sepasang sekam matamu dan membacakan sebuah puisi."

Esok, begitu pilu janji itu. Sebab mungkin berarti sebuah senja, di tahun berikutnya, ketika hujan pertengahan bulan penghabisan akan menyentuh alismu

dan payung basah dan kau menangis sendiri di malam yang resah.

Kau pun menulis di halaman sekian buku harian, dengan kesedihan yang enggan.

"Ia datang dengan mata yang tajam. Kata-kata yang menggetarkan tubuh telanjang dan nafas tertahan. Ia datang dengan lambung yang sakit. Cinta yang rumit. Seperti tekstur wayang kulit."

Setelah malam itu, dari langit-langit kamarmu, kerap wajahnya menghimpit sesak dadamu.

1997-2006

MOLTO ALLEGRO

Seperti Neruda lelah menjadi manusia, malam itu aku pergi dan memanggil taksi.

Ke mana? Ke mana saja, jawabku.

Aku pun lewat di depan rumahmu. Namun telah lama kau pergi dari rumah itu, rumah itu, begitu saja, seperti dulu kau lari dari mimpi-mimpiku.

Dari balik jendela, kota sungguh sepi. Bagai gunting di atas genting.

Ajaib benar jika tiba-tiba bertemu Tuhan dan Tchaikovsky di sebuah persimpangan jalan.

Tetapi perempuan-perempuan aneh itu terlalu berani memamerkan tato mereka, di bahu yang terbuka. Aku takut sepatuku berdebu, jadi kuberi mereka lambaian tangan saja.

Berhenti di depan Fame Station seraya mengucapkan terimakasih pada sopir yang mengerti kesedihanku.

Asia-Afrika, kau tidur seperti bayi. Bangun dan peluklah Don Quixote malang ini, pengembara penuh duka, jatuh cinta berulang kali pada perempuan yang sama.

Perempuan yang sama.

Orang dewasa yang selalu takjub pada kemurungan tak terduga.

Setiap satu langkah, kulihat makam ibuku, lembab oleh tangisan masa kecilku.

Seperti Neruda lelah menjadi lelaki, aku berpikir mengakhiri dengan paksa hidupku di sini.

Namun kutemukan Mozart di kamar sebuah hotel dekat Simpang Lima.

Molto Allegro. Molto Allegro. Adakah juga kekasihku menunggu di situ?

Perjalananku berakhir di atas single-bed yang nyaman. Aku tertidur seperti buaian dan dalam mimpiku perempuan bersayap menyelasar tubuhku dengan ciuman-ciuman.

"Sungguhkah kau lelah menjadi lelaki?" bisiknya, ringan bagai udara kamar.

Pagi, kutemukan jawaban kesedihanku malam itu:

Risau atau murung atau kehilangan sepasang alismu yang tebal.

1997-2006

IDA

Hanya harum rambutmu yang mampu membangun kamar-kamar sunyi dalam batinku.

Karena matamu, malam menepis cahaya, kelam menjauh dengan takut dan cemburu.

Sejarah risauku mencatat nama-nama lara bagimu. Namun bagai janji kau tetap setia pada pagi hari, meluruskan untukku baju hari itu, dan aku pun pergi ke riuh yang jauh

(setelah kau cium punggung tanganku).

Di ujung hari di ruang tunggu, kamar-kamar hotel, dan kedai-kedai kopi, bersama daun dan duka kutulis berlembar-lembar puisi dan kubakar kembali.

Senyummulah puisiku.

Di meja makan, tiada yang lebih indah dari percakapan-percakapan.

Kucuri semangkuk kenangan, di tengkukmu, di bahumu, di bibirmu yang lembut karena malu.

Di keriangan meja makan ini kusembunyikan sepuluh tahun ketakutanku pada malam hari dan cinta dan maut yang rahasia.

Dini hari sudah. Kukecup pelan keningmu, di situ mimpi dan bayang-bayang Mengerutkan kisah masa silammu.

Kepada harum rambutmu aku selalu kembali, membuat beberapa pengakuan, menulis sejumlah syair kesedihan.

Ida, Ida, kaukah Antonia dalam tubuh Yuraku yang terluka.

1997-2006

SYAIR KEMURUNGAN

Menulis puisi pada sebuah malam yang sedih. Seseorang bersenandung. Kemurungan riang berpendaran menangkap cahaya pada tirai jendela.

Langit mewarnai malam seperti coklat yang meleleh. Kutunggu kedatangan seorang kawan dengan kata-kata tajam, keluar dari pintu kepiluan. Sia-sia.

Sepasang payudara bergetar, baling-baling berpusing dalam kamar.

Seseorang bergumam bagai desah penujum di depan bola kristal. Tubuhmu pun beserpihan dalam gelap menjadi butiran-butiran cahaya.

Seluruh kesedihan berawal di sini. Pada ujung helai rambutmu yang runcing. Kabut dini hari matamu, segelas sirup markisa dan cinta yang kucium dari hembusan sunyi nafasmu.

Kubaca halaman terakhir buku cerita negeriku di ruang tamu. Di sebuah tempat, lemari es berdengung dingin, begitu pun dadamu.

Seseorang, mencium leherku. Ringan bagai mimpi.

Kutampung tubuhmu yang beserpihan. Angin menyelundup dari lubang pintu, menerbangkan separuh sayap kupu-kupu.

Menyayat separuh tubuhku.

1996-1999

SYAIR KESEDIHAN

Kusadari malam itu, matamu kata-kata. Pohon cemara sendiri dalam hujan, mengubah kelopak-kelopak airmata jadi permainan cahaya.

Aku melihat seorang anak perempuan pada matamu yang ragu. Mencoba helai demi helai sayap rapuh kupu-kupu; bermimpi menyihir batang cemara jadi sepotong coklat raksasa.

Hidup dan mati seorang penyair berkawan kata-kata. Kata adalah ruh dan keajaiban; keriangan dan kesedihan.

Sebab matamu kata-kata malam itu, aku menjadi seorang pencinta.

Kutanggalkan tubuh penyairku dan kuciumi wangi kerudung rambutmu.

Dari dunia yang murung, Zamzam berkata, "Penyair tidak sedih karena ditinggalkan."

Tidak. Penyair adalah pemburu kesedihan.

Bagi penyair, kesedihan yang sempurna sorga yang dijanjikan.

Hanya pencinta yang tidak pernah bersedih karena ia tahu kelak akan ditinggalkan.

Seorang penyair dan seorang pencinta mengembara dalam tubuhku.

Maka biarkan kuiris matamu dengan puluhan kecupan.

Lukai aku dengan kesedihan.

1996-2006

GERIMIS

Di sudut sebuah perpustakaan yang mengandung angin basah pada bingkai-bingkai jendelanya, aku menemukan kembali wajahmu yang gaib itu.

Mencair dari kebekuan kenangan dan malam-malam penuh siraman cahaya bulan purnama.

Aku ketuk pintu terkunci itu, hujan hari terakhir bulan Desember menyisakan butir-butir embun berpendaran pada ujung rambutmu yang jauh.

Begitu sukar memahami dirimu sebagai pertemuan biasa atau kebetulan saja.

Aku kesepian dan tak mengerti.

Wajahmu memandangku di mana-mana, menangis tanpa airmata.

Aku susuri jalan darahku sendiri. Takjub menemukan kepingan-kepingan luka membangun dunianya sendiri.

Di sudut sebuah pura desa yang disapu gerimis sepanjang hari, kukecup kedua kelopak matamu dengan seluruh hatiku.

Dosa begitu manis dalam lidahku, barangkali seperti khuldi.

Dari pagi berkabut itu aku memulai pengembaraanku yang abadi.

Mencari sepucuk pesan dari kata-kata yang tak sempat kau ucapkan.

1994-2006

SEBELUM MAKAN MALAM

Kita cuma bisa bersandar pada waktu, Afuz. Tertegun-tegun menunggu kekuasaan tumbuh dewasa:

Tanpa peluru, sepatu berlumpur darah itu, dan belajar membaca manusia sebagai kumpulan keinginan dan kesedihan.

Bukan fosil atau gambar separuh badan sebagai sasaran tembakan.

Seperti engkau, aku lahir dari sebuah sejarah yang lecak dan selingkuh.

Tetapi kita mencintai negeri yang sama, yang senyumnya bagai impian, seperti pada masa remaja kita mencintai wanita yang sama, yang senyumnya bagai buaian.

Cinta dan kekuasaan bersandar pada waktu, Afuz, seperti babad rambutmu yang menipis dan hikayat luka dalam aliran darahku.

Segalanya menjadi selalu mungkin: Barangkali karena ada rumah kanak-kanak dalam batin kita

yang penuh senyum dan gelak tawa.

Bahkan ketika pecahan mortir dan kenangan menderas dari jauh dan jatuh dua kaki dari lubang persembunyian, juga impian, kita yang rapuh.

Seperti Peter Pan, Tom Sawyer atau Bimbilimbica, kita menunggu hadiah ulang tahun bukan saja dari pasangan paman dan bibi yang tambun dan riang.

Tetapi juga dari sahabat khayalan, Tuhan, serdadu yang mulutnya penuh roti, sepasang granium, tiga grasia, dan peri-peri riuh di hutan-hutan jauh.

1994-2006

PADA WAJAH DAUN-DAUN

Zlata

Pada wajah daun-daun senja yang lembab itu kulihat engkau sendiri menari.

Lambaian demi lambaian telapak tanganmu menciptakan pusaran angin, menjelma badai batinku.

Di negeri tak lagi bernama, malam menggigil dalam pelukanmu.

Ah, seperti liebestraum, gumammu pada angin sambil menyebut sebuah nama.

Barangkali Liszt, Anne, Alice, atau sekeping bunyi muntahan mortir pecah pada dini hari berkabut negeri porak-poranda itu.

Di sini cinta, katamu di masa lalu, kekal pada kesunyian kayu salib dan bulan sabit.

Namun pada senja yang lembab itu,

kulihat engkau pada wajah daun-daun.

Sendiri menari. Riang dan kekanak-kanakan; seperti sejarah negeriku.

Kerlingan demi kerlingan bola matamu menciptakan pusaran duka.

Dalam batinku.

1994-2006

EPISODE TERAKHIR DARI KENANGAN

Ketika waktu berhenti, kota-kota menghapus jejak airmatamu dengan keheningan kenangan.

Aku tak lagi mampu mengingat kapan kisah cinta itu dimulai,

kapan selesai.

Barangkali pada sebuah senja di bising kota asing dan kumuh, pada beranda sebuah hotel di ujung jalan riuh.

Atau dalam kafe tanpa nama, tanpa daftar menu.

Kota-kota berangkat tua dalam batinku. Namun senyummu abadi seperti sebaris sajak Po Chu-i.

Senja yang kusimpan dalam ingatan kini lapuk dan berlumut.

Tetap saja sukar kubedakan keajaiban dongeng dan kepiluan masa silam.

Ketika waktu berhenti, kukenang kembali airmatamu yang menari:

Di situ senja yang tak terlupakan diciptakan. Dan cinta, disapa dengan ribuan nama.

1994-2006

SAYAP KENANGAN YANG TERBAKAR

Empat puluh mil dari kenangan. Bulan jatuh ke dalam lubang kelinci.

Di negeri ajaib ia mengaku bernama Alice dan menulis sepucuk surat cinta pada sebuah tempat tanpa nama, barangkali, kenangan.

Angin menerbangkannya ke negeri-negeri jauh di Timur; tempat anggur dan matahari, syair dan malam hari, berdegup dalam jantung Li Po dan Sa`di.

Berabad-abad sesuatu yang mengaku sejarah menyimpan surat itu. Sayap burung-burung Attar menyampaikan ia padaku.

Kupesan ratusan cermin. Tetapi cermin tak sejernih sungai yang mengalir dalam hutan pagi hari.

Kelopak-kelopak air memantulkan sepasang alismu yang menari.

Alice, akhirnya kutemukan engkau di situ.

Empat puluh mil dari kenangan. Bulan keluar dari dalam lubang kelinci.

Di negeri sepatu serdadu dan selongsong peluru kau tak mengaku bernama apa pun, kepada siapa pun.

Tak mungkin kau tulis sepucuk surat cinta lagi. Sebab kedua tanganmu tertinggal di negeri tanpa peta. Dan kedua matamu jadi ribuan lentera di negeri tanpa cahaya.

Kubuang sejarah dalam diriku untuk mendekap dan mengecup keningmu berulang-ulang.

Tetapi kenangan melebar ribuan mil, dan sayap burung-burung Attar terbakar dalam batinku.

1994-2006

EMPAT MIL DARI KENANGAN

Sepasang angsa di sudut taman pom bensin: Kusaksikan keajaiban dongeng dan biografi bersatu di situ.

Seperti Wilde yang murung di depan sajak Ginsberg dan Rendra.

Kota-kota tanpa patung "Happy Prince" menyimpan dendam dan keinginan diam-diam pada kematian.

Bagai puisi Malna dalam saku celana kekuasaan.

O, ke mana orang-orang pergi begitu bergegas pada dini hari yang riuh ini?

Di luar jendela para penyair, borgol dan selongsong peluru mengubah dirinya menjadi bahasa.

Sayangku, di sebuah tempat dalam kenangan, Sa`di kehilangan lentera, Tardji kehilangan ngiau,

aku kehilangan engkau.

1994-2006

KENANG-KENANGAN

Bagaimana harus kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta berulang kali pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib yang jauh menyelusup dalam ingatan itu.

Berabad-abad yang lalu, kuucapkan selamat tinggal pada apa pun yang berbau dongeng, atau masa silam.

Tetapi cinta, bukan sebotol coca-cola. Atau film Disney; di sana tokoh apa pun tak pernah mati.

Juga bukan Rumi yang menari.

Sebab pada matamu bertemu semua musim, sejarah, dan sesuatu yang mengingatkan aku pada suatu hari ketika waktu berhenti, dan kusapa engkau mesra sekali.

Kini, bahkan wajahmu samar kuingat kembali.

Haruskah kuucapkan pengakuan ini: Aku jatuh cinta berulang kali pada matamu, danau dalam hutan di negeri ajaib yang jauh menyelusup dalam ingatan itu.

Tetapi cinta, bukan sekotak popok kertas.

Atau sayap sembilan puluh sembilan burung Attar yang terbakar.

Cinta, barangkali, kegagapanku mengecup sepasang alismu.

1994-2006

SELANGKAH DARI MATAMU

Ketika laut tumpah ke dalam matamu, cerita tentang bulan, matahari dan hapalan ilmu bumi bergegas kusimpan di rak buku.

"Akulah Sinbad, si penakluk alam dongeng dan bajak-bajak samudera!" seruku pada daun pintu, dinding kamar dan lambaian rambutmu.

Lalu kugulung kain layarku dan mendirikan kemah-kemah jauh di seberang laut itu.

Berumah di balik bukit membangkitkan pengalaman asing dan kenangan.

Tapi bau lezat rambutmu mengenalkan petualangan yang lain.

Segera aku menjadi pendongeng: Di mataku berpasang-pasang mata kanak-kanak beribu pada laut matamu.

1993-2006

KEDUKAANMU DIKABARKAN BURUNG-BURUNG

Sejak kau tiba-tiba enggan menyapa bunga-bunga daun-daun gugur lebih cepat dari biasanya

dan embun pergi diam-diam tanpa sepucuk pun pesan

kedukaanmu dikabarkan burung-burung pada angin dan senja, mengalir bersama arus sungai-sungai jauh ke kebisuan samudera

Sejak kau enggan bermain bersama kepik-kepik lagi pagi gelisah di depan pintu sepi rindu gelak tawamu yang lepas bagai kanak-kanak yang gembira menemukan mainannya kembali

kedukaanmu dikabarkan burung-burung pada angin dan senja, mengalir bersama arus sungai-sungai jauh ke kedalaman hatiku

1992

SEBAB BAGAI ANGIN

Jangan pergi. Sebab bagai angin aku selalu bersama arah. Tak ada yang bisa sembunyi dari rindu batinku.

Jangan pergi. Sebab bagai angin kelak aku sampai di negeri yang ditujumu. Mungkin lebih dulu.

Biarkan kulabuhkan sampan lempungku di tepian telaga bening matamu itu.

1991-1992

JAKA TARUB

Tentu, itu bukan taman. Pagarnya telah patah-patah

pagar bambu tua lusuh dengan cat yang mengelupas. Saksi bagi banyak peristiwa. Juga bagi duka. Tak ada Mawar

di sana, begitu pula Anggrek dan Melati. Di sudut diam letih bekas batang pohon kertas. Dulu banyak bunganya. Di sudut itu pun ada bekas kolam. Sekarang tak ada airnya.

Pernah kolam itu menjadi tempat bermain yang menyenangkan. Bagi ikan-ikan mas dan mujair. Dulu, selagi penuh airnya, sering aku membayangkan diriku menjadi liliput. Bersama semut-semut

mengarungi kolam itu. Bersampan daun-daun. Segalanya tumbuh di sana begitu saja. Bergantung pada angin dan musim. Tentu, itu bukan kebun bunga. Meskipun tumbuh

Anyelir di tengah-tengahnya. Warnanya semburat kuning. Bagai warna layung. Mereka bagai puteri yang tersesat. Di hutan lebat. Sayang kolamnya tak ada airnya. Jika ada,

mereka tentu mandi di sana. Sekuntum Anyelir kupetik tadi pagi. Kusimpan di jembangan bunga. Kelak ia bakal pulang ke negeri asalnya. Entah di mana.

Seperti Jaka Tarub, aku kembali sendiri.

1991-1999

SEPASANG DAUN GUGUR

Bagai sepasang daun gugur kita bacakan bersama puluhan puisi angin sebelum akhirnya tiba di rumah kekal kita

Kita hamparkan sajadah rerumputan saling membasuhi luka pada sisa-sisa air hujan yang menggenang

di Timur fajar kizib menahmidkan pagi

Dalam cahaya kugenggamkan mahar lempungku pada kedua telapak tanganmu

O, dengarlah! dadaku gemuruh sungai yang bersyukur

1990-1992

Sekilas tentang Penyair:

Cecep Syamsul Hari was born in Bandung, West Java, Indonesia, May 1, 1967. As a poet, his early reputation rested on Kenang-kenangan (1996, Remembrance) and Efrosina (Euphrosyne, first published in 2002, reprinted in 2005).

His works also internationally published in several journals and anthologies such as: Heat Literary International (Sydney, Australia,1999), Beth E. Kolkos Writing in an Electronic World: a Rhetoric with Readings (United States: Longman, 2000), Harry Avelings Secrets Need Words: Indonesian Poetry 1966-1998 (United States: Ohio University Press, 2001), Wasafiri (London, England, 2003), Orientierungen (Bonn, Germany, 2/2006).He had translated several books. Among of those are: Para Pemabuk dan Putri Duyung (selected poems of Pablo Neruda, 1996); Hikayat Kamboja (selected poems of D.J. Enright, 1996); Ringkasan Sahih Bukhari (compilation of Bukhari's hadis, 1997; 1100 pages); Rumah Seberang Jalan (selected short

stories of R.K. Narayan, 2002). Hes also editor of Kisah-kisah Parsi/Persian Tales (C.A. Mees Santport and H.B. Jassin, 2000); Horison Sastra Indonesia/A Perspective of Indonesian Literature (with Taufiq Ismail, et.al; four volumes, 2003); Horison Esai Indonesia/A Perspective of Indonesian Essays (with Taufiq Ismail, et.al; two volumes, 2004). In 2006, he stayed in South Korea as as a Writer-in-Residence. He was invited by Korea Literature Translation Institute (KLTI) and the Korean Ministry of Culture and Tourism (ACPI). Since December 2007 until February 2008 he has staying in Selangor, Malaysia, as a writer in residence by Rimbun Dahan Arts Residencys invitation. Currently, Cecep Syamsul Hari is editor of HORISON, a monthly literary magazine, Jakarta, Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai