Anda di halaman 1dari 21

Kumpulan Puisi

Poetry of Indra Tjahyadi Sajak-sajak: Indra Tjahyadi KELELAHANKU YANG AJAIB Kelelahanku yang ajaib membekukan bisikan rumput. Museum-museum musim hujan menyembunyikan mayat-mayat tikus. Seperti kesumat yang memutihkan pohon-pohon di ujung kampung, aku meratap, malam hermafrodit, mengkhianati bayanganku. Renjana turun bersama salju. Gerhana gerhana berlintasan memamerkan hantu-hantu. Segera aku panggil Tuhan, tapi bulan terus berjatuhan di rambutku. Angin berbalik arah, menjadi peluru yang mengkilaukan tetesan-tetesan embun. Aku melankoli seketika, memuja-muja pelacur, menjelma serakan daun, berkeringan di telapak kakimu. Seperti sumur-sumur kerinduan yang teramat dalam, arwahku menghidupkan ilusi belatung kupu-kupu. Aku berfantasi dengan lindu! Jemariku bermain-main dengan puting yang kau sembunyikan di sebalik kutangmu. Tulang-tulang badai menggemeretakkan jiwaku. Kelak aku akan pergi darimu, seperti mercusuar yang bercahaya di tengah laut. Kutahu inilah kebahagiaan terakhir yang tak bakal aku kenang dari kurus pipimu! Aku kini tinggal pemabuk. Seratus kelelawar mati busuk! Serdadu-serdadu mengayunkan batu. Berjalan sempoyongan memanggil manggil teluh. 2003.

KEMARAU DIAM
Kemarau diam di jiwaku. Serangkai bayang-bayang randu tumbang, bersiadzan dengan pilu. Pahamilah bagaimana mataku rabun, jumpalitan, begitu cemburu. Aku susuri ketiakmu, tapi rupanya jalanan makin malam, meski aku telah tinggalkan dirimu. Sepanjang keriuhan kelu, mayatku terpencil. Ingus para pejalan bergayutan di jenggotku.

Seluruh kesumat dan derita memacu pengetahuanku. Arwahku memanggil namamu, sementara panorama lebur, selangkah demi selangkah memudar, menjejali batu. Di dasar pijaran kabut, aku adalah jenazah bagi setiap hasrat dan kesintalanmu. Kegembiraanku mengintip tato kupu-kupu di pusarmu. Malam makin dingin, mendzikirkan diamku. Penampakan-penampakanku gaib, samun, mencair hitam bersama salju. Karena bunga-bunga gugur adalah sihir yang menghidupkan bangkai-bangkai, juga sajak-sajakku. Demikianlah dingin meledak bersama shalatku. Pohon-pohon yang rabun dalam gerimis kabur bersama gemuruh. Aku wudlu matahari, meniupkan terompet seribu tahun. Di hari-hari pagi talkin seratus gerhana menafasiku. Dunia kelak hanya kelam yang mempasakkan gaung-gaung. Halimun menghirup mayat-mayat rumput. Aku kini pelangi. Peneguh riwayat ketelanjangan letusan-letusan peluru. 2003.

TALKIN SERATUS GERHANA


Bisikan talkin seratus gerhana menyabitkan gema. Arwahku yang terpacak sungsang di antara puncak-puncak pepohonan dihirup hujan. Semacam akhir pelangi, takdirku memencil. Hari-hari lewat meneguhkan ketelanjangan. Aku pungut rumput, tapi arwahku lebih murung daripada bayangan.Sebagai kenangan, kertap-kertap lumpur menghalau cuaca. Puting putihmu bersigasing antara musim dan kutukan. Maka kulepas kutangmu, seperti belukar sayatan pada perdu. Surabaya lembab-samun, menjadi awal bagi segala pemberontakan dan bisu Jalan-jalan diteguhkan pelacur, tapi kesepianku memanjang, muram menuju kematianku. Aku kilaukan tandan belulang taifun. Demi selongsong peluru Bisikan-bisikanku kabur bersigaung pada batu Tapi pahamilah bagaimana kekosonganku berlutut, saling menghisap mulut. Segenap rasa sakit di atap-atap gedung dibakar perusuh. Demikianlah kelaminku sontak menggembung, memimpikan

derita jenazah-jenazah pemulung. Bahkan apabila bibirku mencucupi susumu. Sedang mayat-mayatku mabuk dalam seratus kesumat mengkaparkan tahun-tahun. Kecabulanku menghidupkan patung-patung pembunuh. Lenganku makin pipih, menyabitkan rerumput. 2003.

ANGIN DARATAN
Angin daratan meliuk. Bagai burung, rambut panjangmu tergelung, menyoraki kabut. Aku memencil serupa tikus. Bayang-bayangku memudar, diumpati tahun. Asap gerhana mengepul. Arwahku lari telanjang menghijaukan daun. Musim-musim tandus. Sekarat! Susut sepanjang kerak retak lumpur. Melebihi maut, tapi katakanlah bagaimana kau cantik, sedang seratus bulan karam menyiuli nadiku. Keringatku murung. Di ujung pelangi, darahku kering, bersitetes dengan gema menyerupai guntur. Dengarlah reqium-requim tatapanku, meski malam tahajud dan kelam tak juga limbur. Gedung-gedung dibangun dan runtuh. Seluruh kenangan dan cumbu bersembunyi di balik celana dalammu. Aku kini hantu. Puasa dengan jidat tertembus peluru. Bunga-bunga hanya kutuk, tapi lanskap seratus kematian ungu. Waktu! Bangkai-bangkai kelelawar berpekikkan sepanjang gorong kerongkonganku. Kelak di daerah perbatasan yang tak dikenal aku memperkosamu. Kaki-kaki patah arwahku menancapkan cakar-cakarnya yang busuk di pusat pusar mendung. Segera aku mabuk. Orgasme tanpa peju. Betapa belatungku hancur. Fantasiku angus-lebus. Memulai segenap kisah pertempuran dan derita masa lalu. 2003.

BERBISIK DI DALAM BAYANGAN

Aku berbisik di dalam bayangan. Tangan-tangan arwah ingatanku yang kurus menjulurkan kegelapan. Dingin pecah, meleler di selangkangan cuaca. Rumput-rumput merintih, tapi payudara-payudara gerimis yang buntal menopang kelam. Masa lalu mendetakkan gempa. Kota-kota terbakar. Melengangkan jalanan. Sisa-sisa keringat jamur yang kuyup, mengharumkan ajal. Gagak-gagak langit cerlang berjatuhan, menyiulkan ode hitam seratus pertempuran. Kesunyianku menemukanmu seolah selokan-selokan kampung yang gasang. Segera aku onani dengan kelamin tersayat. Pengetahuanku berkhianat pada bulan. Meditasi kupu-kupu selepas senja memanggil taufan. Lintang lapar dikacaukan khayalan. Mayatku sungsang, mengangkat martil, mengayunkan kekosongan. 2003.

MILLENIUM SERATUS KEMATIAN


Dari rumpun daun yang mengering, kristal tangisku yang memudar menciumu telapak tanganmu. Sepanjang trowongan gerimis yang jauh, kawah-kawah kesunyian mendidih, menjelma benua, menghidupkan deru guntur. Seperti pemabuk, aku hakimi tidurmu. Arwahku sungsang, mencuri anggur yang kau sembunyikan di jurang rambutmu. Seluruh gairah dan derita menuangi gelas-gelas cawan kerinduanku. Tangis jalan-jalan memecah! Wujud-wujud kejahatan mengetuki jiwaku. Jejak-jejak semut mengabur di dinding dinding lembab kampung. Ingatan rasa sakit yang dikhusyukan taifun merengkuh ikrar-ikrar liar, membangkitkan jenazah-jenazah hantu. Seteguk menara kubangun di tengah laut persis halus pipimu. Ada yang tumpas, meski di malam-malam tak berbatas bulan hilang lekas. Diam pasir-pasir getas, seluruh keperihan meledak-lepas! Bahkan ketika kutemukan tiang lehermu yang jenjang, sementara dari masa lalu kusaksikan bagaimana bayang-bayangku raib, menyerah pada kilat millenium seratus kematian.

2003.

SUREALITA TAHUN-TAHUN
Aku runtuh bersama bayangan. Dengan cahaya bulan Desember yang ungu, pikiranku yang hidup tanpa ujud menampung derita lindu. Seperti perunggu, waktu jadi retak, dan aku terapung-limbung antara ledakan dan yatim rambutmu. Menjadi retakan, aku sisipkan seteguk keindahan dari keterpencilan yang menyingkap semua rahasia bunuh diri di tempikmu. Hujan melukaiku dengan segenap keajaiban dan kutuk. Daun-daun jatuh, terperangkap antara fantasi dan lumpur. Renjana awan kelabu membungkus para pejalan, mengembalikan kesia-siaan, juga gelap jiwaku. Di sebalik gerimis, sunyi yang menggeram telah selesai kutafsirkan sebagai sepotong sajak, tapi betapa labirin pipimu yang remaja demikian halus, senantiasa memberikan percikan pada pilu. Seolah ingatan yang kerap tertinggal antara sejarah dan selangkang pelacur, aku kenang bau mulutmu, ruhku meluncur-samun di sela-sela guntur. Ini enigma, meski kualami perubahan musim melebihi kejahatan yang menyala di bawah mendung. Sungai-sungai mengawali seluruh kisah dan keruh. O kulihat ledakan-ledakan di dasar kabut! Seribu milenium mayatku hitam, murung, mengkhayalkan bulan dan gemeretak zakar surealita tahun-tahun. 2003.

SIULAN HITAM RAUT KEMATIAN

Tangan-tangan ingatanku kurus, menjulur ke dasar waktu. Semalaman angin yang sedih beku, arwah burung-burung melayang, melukai tatapanku. Seperti parang di tangan perusuh, aku begitu menderita, seluruh pengetahuan membusuk dalam paru-paruku. Aku bugil, seluruh kejahatan menggayuti pelirku. Seteguk kekosongan memekik, menyayat urat nadiku. Kupu-kupu geludhuk mengurai luka dan kejalanganku. Fantasi-fantasi ranjang terlaknat mencambukkan narasi seratus ektase perdu. Aku berlindung di dasar gema, sejarah dan maut karam, berledakan lewat sajak-sajakku. Syahwatku samun, menjelma ode patung-patung runtuh di tengah kabut. Sihir singup taifun mendentam, menjelma kecupan kecupan hijau yang diharamkan Tuhan pada batu. Di dasar timbunan salju, dongeng dongeng kegamangan yang tak terpahamkan senantiasa mengubur nostalgia abad kunang-kunang di puncak mataku. Seketika aku berilusi dengan lindu, rasa ngeri membangun kubah kubah marmar bunga-bunga dari ciuman dan kutuk. Aku kini rasul, seluruh kebisuan adalah takdirku. Kelak kutinggalkan Sorga, meski kiamat sesat, tegak di jalan nafasku. Kegelapan begitu kekal, membesatkan siulan-siulan hitam raut kematianku. 1999-2004.

NAFAS HUJAN
Nafas hujan yang gemetar menyentuh lenganku. Kesepian cuaca yang berlari menghidupkan patung patung sepanjang jantungku. Sungai-sungai kabut menyentuh kaki-kaki para pembuat peta, menyimpan sebentuk perahu. Seperti hari-hari percintaan yang kelak jadi abu, seluruh rasa sakit mengimpikan malaikat-malaikat purba berterbangan dalam taifun. Tatapan-tatapan buta cecurut berjuntaian di antara kegelapan dan guntur. Jalan-jalan senyap laut meluap, membesatkan nafsu. Seekor kunang-kunang

melayang di dataran bulan dan hancur. Keperihan membisikkan kata-kata baru, menciptakan labirin kebisuan dan dentum. Aku serap dongeng-dongeng retakan tanah, wujud-wujud keremajaan pelacur memasuki daerah-daerah terlarang yang didengungkan embun. Aku memekik. Percumbuan-percumbuan kupu-kupu mengaburkan seratus mata belatung. Seluruh teror membangun kubah kubah samun musim hujan, tapi seteguk kesengsaraan bulan yang jernih menyayat urat syarafku. Kesunyian terjaga dari setiap tidur, iman benda-benda dan pengkhianatan bertumpuk. Aku rasakan kesunyian, pengetahuanku raib, menjelma sobekan sobekan daun. Kerinduan adalah sukma-sukma muram iklim yang menanti pembunuhan keduanya serupa waktu. Bertahun-tahun dalam lubuk cerlang bintang, keterasinganku mencuri roh burung-burung. Berabad-abad siulan-siulan kilat meledak, meneguhkan seratus shalat shalawat ajalku. 1999-2004.

KESEPIAN MEMEKIK
Kesepian memekik dalam tidurku. Topeng-topeng tua dari simbol-simbol gaib yang runtuh menjelma ular, mengalun sepanjang pernafasanku. Aku ikuti nyanyian-nyanyian angsa. Srigala-srigala liar mengerang. Udara penuh karat mencium hidungku. Berabad-abad kesendirian hitam! Mitos pulau-pulau karam yang mereguk biji-biji darah kabut mendentam bersama guntur. Karena langit hanya malam, pesta pesta musim yang tak terpahamkan mengajakku bercakap dengan diam. Seluruh keheningan yang mengerikan diledakkan angkasa. Kegelapan mata malaikat yang terkapar bersetubuh di dasar bayang-bayang. Seupama buntal payudaramu yang bengal, ledakan peluru seratus tahun yang tak terdengar melayang dalam

ketiadaan. Arwahku mistis, melompati jurang jurang ajal dan kekejaman. Aroma pertempuran pertempuran yang ganjil sepanjang ingatan jernih, menghijau di kedalaman akar. Tapi, segenap ziarah kekal, meski di pohon-pohon percintaanku yang tak berdaun, pantai tak lagi berpenghuni selain kesedihanku. Hujan-hujan hilang arah. Sukmaku berjalan sendiri di dasar keterpencilan. O kemabukan kemabukan! Kehendak hewan-hewan buas! Ibu dari segenap kenangan! Akulah pelancong sunyi itu, kasihku! Dalamku segala kemilau hilang. Dan esok apabila seluruh rasa nyeri mulai diletuskan serupa geludhuk, doa-doaku hancur. Sekali lagi membangun halimun, hidup sebagai mayat gerhana, membakar kelamin perdu.
Contoh cerpen tema terserah

Sahabat Sejati Oleh Suhartono Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan terpenuhi. Karena semua tersedia. Seperti Iwan. Ia anak konglomerat. Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir pribadi. Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka sangat ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada kawan kawan Iwan yang datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah kalau main di rumah Iwan. Iwan sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Momon. Rumahnya masih satu kelurahan dengan rumah Iwan. Hanya beda RT. Namun, sudah hampir dua minggu Momon tidak main ke rumah Iwan. Ke mana, ya,Ma, Momon. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak pernah absen. Selalu datang. Mungkin sakit! jawab Mama. Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin menengoknya! katanya bersemangat Sudah tiga kali pintu rumah Momon diketuk Iwan. Tapi lama tak ada yang membuka. Kemudian Iwan menanyakan ke tetangga sebelah rumah Momon. Ia mendapat keterangan bahwa momon sudah dua minggu ikut orang tuanya pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Momon di-PHK dari pekerjaannya. Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya mengorbankan kepentingan Momon. Terpaksa Momon tidak bisa melanjutkan sekolah lagi. Oh, kasihan Momon, ucapnya dalam hati, Di rumah Iwan tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu. Setiap pulang sekolah ia selalu murung.

Ada apa, Wan? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau pulang sekolah selalu tegar dan ceria! Papa menegur Momon, Pa. Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia? Iwan menggeleng. Lantas! Papa penasaran ingin tahu. Momon sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya pulang ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi petani saja. Papa menatap wajah Iwan tampak tertegun seperti kurang percaya dengan omongan Iwan. Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga sebelah! ujarnya. Lalu apa rencana kamu? Aku harap Papa bisa menolong Momon! Maksudmu? Saya ingin Momon bisa berkumpul kembali dengan aku! Iwan memohon dengan agak mendesak. Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Momon di desa itu! kata Papa. Dua hari kemudian Iwan baru berhasil memperoleh alamat rumah Momon di desa. Ia merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang pernah dikontrak keluarga Momon. Kemudian Iwan bersama Papa datang ke rumah Momon di wilayah Kadipaten. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang tua Momon dan Momon sendiri. Betapa gembira hati Momon ketika bertemu dengan Iwan. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula Momon agak kaget dengan kedatangan Iwan secara mendadak. Soalnya ia tidak memberi tahu lebih dulu kalau Iwan inginberkunjung ke rumah Momon di desa. Sorry, ya, Wan. Aku tak sempat memberi tahu kamu! Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa berjumpa kembali! Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan kedatangannya kepada orang tua Momon. Ternyata orang tua Momon tidak keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Momon sendiri. Begini, Mon, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut kami ke Bandung. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga kami sendiri. Gimana Mon, apakah kamu mau? Tanya Papa. Soal sekolah kamu, lanjut Papa, kamu tak usah khawatir. Segala biaya pendidikan kamu saya yang akan menanggung. Baiklah kalau memang Bapak dan Iwan menghendaki demikian, saya bersedia. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak yang mau membantu saya. Kemudian Iwan bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Momon. Tampak mata Iwan berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak terpisahkan.

Kini Momon tinggal di rumah Iwan. Sementara orang tuanya tetap di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Momon yang sudah tua

Puisi tentang Lingkungan

RUMAH HUTANKU Ingin kuceritakan indah rumahku Serta senyum cinta tetanggaku Menyatu serta dalam lingkaran alam Serta langit bak pualam Lembut angin ajakku berjabat Denting air mainkan piano nada Mentari peluk jiwa nan bersahabat Alirkan kasih hangat dalam dada Rumahku menjulang tinggi Atapnya rindang nan hijau Ku nikmati sarapan di ruang pagi Tidurku tanpa selimut galau Rumah hijau berkilau bak permata Dibidik oleh setiap tamak Ku takut rumah hutanku kan retak Rata bersih saat ku silau mata

lingkungan sekolah ku
lingkungan sekolah ku kau begitu bersih kau begitu sejuk dan buat ku slalu bahagia kau yang buat ku semangat dan buat ku sadar akan hidup ini ketika ku melihat keluar jendela begitu banyak kebahagiaan dengan hati yang penuh kegembiraan burung-burung yang berkicau membuat lingkungan sekolahku lebih berarti tanaman yang berwarna-warni yang buat ku semakin bergairah ku mulai sekolah ku dengan penuh kegembiraan tak ada sampah sedikitpun di lingkungan sekolah ku kupu-kupu yang berterbangan bagaikan orang yang sedang menasehati aku untuk merawatdan mencintai lingkungan sekolah ku dengan sepenuh hati Cerpen tentang kesehatan

Sayangi Ginjal Kamu

Minum air putih kurang lebih 2 liter perhari, dianjurkan untuk minum air dalam kemasan karena kandungan zat-nya akan membantu mengurangi kerja ginjal. Bagi kamu yang sering berada di ruangan ber-AC jangan tunggu sampai kamu merasa haus, tetaplah minum air sesuai yang dianjurkan. Untuk kesehatan ginjal, sebaiknya hindari minum soft drink ataupun energi drink karena itu akan memperberat kerja ginjalmu. Jangan terlalu sering minum teh apalagi kopi, air biasa adalah yang terbaik. Jangan terlalu menggampangkan minum obat terutama obat anti nyeri karena obat tersebut bisa merusak ginjalmu. Bagi orang tua yang telah berumur lebih dari 40 tahun sebaiknya rajin medical check up, dianjurkan setiap 6 bulan sekali. Di situ antara lain akan diperiksa fungsi ginjal anda baik atau tidak. Sekiranya ditemukan gangguan atau penyakit ginjal akan cepat bisa ditangani. Dan tahukah anda? Penderita penyakit gagal ginjal harus di cuci darah (hemodialisa) minimal 2 kali seminggu seumur hidup. Minimal biaya yang mesti dikeluarkan pada sekali cuci darah adalah 7 ratus ribu-an rupiah, bahkan di Jepang bisa sampai 5 juta sekali cuci darah. Untuk sebulannya bisa sampai 8 jutaan, setahunnya kamu bisa hitung sendiri. Biaya untuk cangkok ginjal minimal 300-jutaan, belum cari donor ginjalnya yang susah. Bukan saja dari segi biaya tapi juga menemukan ginjal yang cocok tidaklah mudah. Selain itu kamu mesti mengeluarkan biaya untuk minum obat seumur hidup setelah di cangkok ginjal minimal 4 jutaan per bulan. Ginjal adalah salah satu anugerah terbesar yang diberikan oleh Tuhan dan tidak bisa dinilai dengan uang.

Cerpen pengalaman orang lain

Cinta seorang Ibu


Wanita itu sudah tua, namun semangat perjuangannya tetap menyala seperti wanita yang masih muda. Setiap tutur kata yang dikeluarkannya selalu menjadi pendorong dan bualan orang disekitarnya. Maklumlah, ia memang seorang penyair dua zaman, maka tidak kurang pula bercakap dalam bentuk syair. Al-Khansa bin Amru, demikianlah nama wanita itu. Dia merupakan wanita yang terkenal cantik dan pandai di kalangan orang Arab. Dia pernah bersyair mengenang kematian saudaranya yang bernama Sakhr : Setiap mega terbit, dia mengingatkan aku pada Sakhr, malang. Aku pula masih teringatkan dia setiap mega hilang dii ufuk barat Kalaulah tidak kerana terlalu ramai orang menangis di sampingku ke atas mayat-mayat mereka, nescaya aku bunuh diriku. Setelah Khansa memeluk Islam, keberanian dan kepandaiannya bersyair telah digunakan untuk menyemarakkan semangat para pejuang Islam. Ia mempunyai empat orang putera yang kesemuanya diajar ilmu bersyair dna dididik berjuang dengan berani. Kemudian puteranya itu telah diserahkan untuk berjuang demi kemenangan dan kepentingan Islam. Khansa telah mengajar anaknya sejak kecil lagi agar jangan takut menghadapi peperangan dan cabaran. Pada tahun 14 Hijrah, Khalifah Umar Ibnul Khattab menyediakan satu pasukan tempur untuk menentang Farsi. Semua Islam dari berbagai kabilah telah dikerahkan untuk menuju ke medan perang, maka terkumpullah seramai 41,000 orang tentera. Khansa telah mengerahkan keempat-empat puteranya agar ikut mengangkat senjata dalam perang suci itu. Khansa sendiri

juga ikut ke medan perang dalam kumpulan pasukan wanita yang bertugas merawat dan menaikkan semangat pejuan tentera Islam. Dengarlah nasihat Khansa kepada putera-puteranya yang sebentar lagi akan ke medan perang, Wahai anak-anakku! Kamu telah memilih Islam dengan rela hati. Kemudian kamu berhijrah dengan sukarela pula. Demi Allah, yang tiada tuhan selain Dia, sesungguhnya kamu sekalian adalah putera-putera dari seorang lelaki dan seorang wanita. Aku tidak pernah mengkhianati ayahmu, aku tidak pernah memburuk-burukkan saudara-maramu, aku tidak pernah merendahkan keturuna kamu, dan aku tidak pernah mengubah perhubungan kamu. Kamu telah tahu pahala yang disediakan oleh Allah kepada kaum muslimin dalam memerangi kaum kafir itu. Ketahuilah bahwasaya kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang binasa. Kemudian Khansa membacakan satu ayat dari surah Ali Imran yang bermaksud, Wahai orang yang beriman! Sabarlah, dan sempurnakanlah kesabaran itu, dan teguhkanlah kedudukan kamu, dan patuhlah kepada Allah, moga-moga menjadi orang yang beruntung. Putera-putera Khansa tertunduk khusyuk mendengar nasihat bonda yang disayanginya. Seterusnya Khansa berkata, Jika kalian bangun esok pagi, insya Allah dalam keadaan selamat, maka keluarlah untuk berperang dengan musuh kamu. Gunakanlah semua pengalamanmu dan mohonlah pertolongan dari Allah. Jika kamu melihat api pertempuran semakin hebat dan kamu dikelilingi oleh api peperangan yang sedang bergejolak, masuklah akmu ke dalamnya. Dan dapatkanlah puncanya ketika terjadi perlagaan pertempurannya, semoga kamu akan berjaya mendapat balasan di kampung yang abadi, dan tempat tinggal yang kekal. Subuh esoknya semua tentera Islam sudah berada di tikar sembahyang masing-masing untuk mengerjakan perintah Allah iaitu solat Subuh, kemudian berdoa moga-moga Allah memberikan mereka kemenangan atau syurga. Kemudian Saad bin Abu Waqas panglima besar Islam telah memberikan arahan agar bersiap-sedia sebaik saja semboyan perang berbunyi. Perang satu lawan satu pun bermula dua hari. Pada hari ketiga bermulalah pertempuran besar-besaran. 41,000 orang tentera Islam melawan tentera Farsi yang berjumlah 200,000 orang. Pasukan Islam mendapat tentangan hebat, namun mereka tetap yakin akan pertolongan Allah . Putera-putera Khansa maju untuk merebut peluang memasuki syurga. Berkat dorongan dan nasihat dari bondanya, mereka tidak sedikit pun berasa takut. Sambil mengibas-ngibaskan pedang, salah seorang dari mereka bersyair, Hai saudara-saudaraku! Ibu tua kita yang banyak pengalaman itu, telah memanggil kita semalam dan membekalkan nasihat. Semua mutiara yang keluar dari mulutnya bernas dan berfaedah. Insya Allah akan kita buktikan sedikit masa lagi. Kemudian ia maju menetak setiap musuh yang datang. Seterusnya disusul pula oleh anak kedua maju dan menentang setiap musuh yang mencabar. Dengan semangat yang berapi-api ia bersyair, Demi Allah! Kami tidak akan melanggar nasihat dari ibu tua kami Nasihatnya wajib ditaati dengan ikhlas dan rela hati Segeralah bertempur, segeralah bertarung dan menggempur mushmusuh bersama-sama Sehingga kau lihat keluarga Kaisar musnah. Anak Khansa yang ketiga pula segera melompat dengan beraninya dan bersyair, Sungguh ibu tua kami kuat keazamannya, tetap tegas tidak goncang Beliau telah menggalakkan kita agar bertindak cekap dan berakal cemerlang Itulah nasihat seorang ibu tua yang mengambil berat terhadap anak-anaknya sendiri Mari! Segera memasuki medan tempur dan segeralah untuk mempertahankan diri Dapatkan kemenangan yang bakal membawakegembiraan di dalam hati Atau tempuhlah kematian yang bakal mewarisi kehidupan yang abadi.

Akhir sekali anak keempat menghunus pedang dan melompat menyusul abang-abangnya. Untuk menaikkan semangatnya ia pun bersyair, Bukanlah aku putera Khansa, bukanlah aku anak jantan Dan bukanlah pula kerana Amru yang pujiannya sudah lama terkenal Kalau aku tidak membuat tentera asing yang berkelompok-kelompok itu terjunam ke jurang bahay, dan musnah mangsa oleh senjataku. Bergelutlah keempat-empat putera Khansa dengan tekad bulat untuk mendapatkan syurga diiringi oleh doa munajat bondanya yang berada di garis belakang. Pertempuran terus hebat. Tentera Islam pada mulanya kebingungan dan kacau kerana pada mulanya tentera Farsi menggunakan tentera bergajah di barisan hadapan, sementara tentera berjalan kaki berlindung di belakang binatang tahan lasak itu. Namun tentera Islam dapat mencederakan gajah-gajah itu dengan memanah mata dan bahagian-bahagian lainnya. Gajah yang cedera itu marah dengan menghempaskan tuan yang menungganginya, memijak-mijak tentera Farsi yang lannya. Kesempatan ini digunakan oleh pihak Islam untuk memusnahkan mereka. Panglima perang bermahkota Farsi dapat dipenggal kepalanya, akhirnya mereka lari lintang-pukang menyeberangi sungai dan dipanah oleh pasukan Islam hingga air sungai menjadi merah. Pasukan Farsi kalah teruk, dari 200,000 tenteranya hanya sebahagian kecil saja yang dapat menyelamatkan diri. Umat Islam lega. Kini mereka mengumpul dan mengira tentera Islam yang gugur. Ternyata yang beruntung menemui syahid di medan Kadisia itu berjumlah lebih kurang 7,000 orang. Dan daripada 7,000 orang syuhada itu terbujur empat orang adik-beradik Khansa. Seketika itu juga ramailah tentera Islam yang datang menemui Khansa memberitahukan bahwa keempat-empat anaknya telah menemui syahid. Al-Khansa menerima berita itu dengan tenang, gembira dan hati tidak bergoncang. Al-Khansa terus memuji Allah dengan ucapan, Segala puji bagi Allah, yang telah memuliakanku dengan mensyahidkan mereka, dan aku mengahrapkan darii Tuhanku, agar Dia mengumpulkan aku dengan mereka di tempat tinggal yang kekal dengan rahmat-Nya! Al-Khansa kembali semula ke Madinah bersama para perajurit yang masih hidup dengan meninggalkan mayat-mayat puteranya di medan pertempuran Kadisia. Dari peristiwa peperanan itu pula wanita penyair ini mendapat gelaran kehormatan Ummu syuhada yang sertinya ibu kepada orang-orang yang mati syahid. Puisi tentang realitas alam

jembatan kenyataan
aku memulai sebuah langkah langkah dari perjalanan untuk menjalani kehidupan di saat aku mulai memahami tujuanku aku pergi terlalu jauh dari kenyataan duduk termenung disudut terdalam dari imajinasiku belajar dan mencoba memahami tentang arti dan tujuan dari kehidupanku hingga hari ini tiba aku mulai tersadar entah berapa waktu aku merenung dalam kedalaman pikiranku hingga akhirnya sang nyatalah yang memberi inspirasi untuk aku mulai bergerak menuju jembatan yang dulu telah kuseberangi sebelum akhirnya terlalu lama aku terdiam terperangkah dalam lubang hitam yang bernama pikiran dan imajinasi melupakan kenyataan dan selalu tinggal dalam penantian hari ini aku akan mulai merangkak lagi sebelum dapat melangkah

menuju titik cahaya menyebrangi jembatan untuk kembali pada realita apapun yang menantiku disana pengalaman akan kenyataan selalu lebih punya arti daripada penantian dan perenungan dalam imaginasi

Karya sastra melayu klasik

Hikayat Inderaputra
Indraputera, putra Maharaja Bikrama Puspa adalah seorang putera yang sangat arif bijaksana, lagi terlalu perkasa dan saktinya. Tetapi nasibnya mula-mula tidak seberapa mujur. Semasa masih kecil, ia telah diterbangkan oleh sekor merak emas. Ia jatuh di suatu taman dan dipelihara oleh nenek kebayan. Sesudah beberapa lama ia diangkat menjadi anak perdana menteri.

Tersebutlah perkataan Raja Syahsian tiada mempunyai seorang anak. Pada suatu hari baginda pergi berburu dan melihat seekor kijang menangisi ibunya yang telah dipanah mati. Baginda terharu dan ingin berputera. Kemudian terdengar khabar bahwa di sebuah gunung yang jauh ada tinggal seorang maharesi pertapa yang terlalu sakti, Berma Sakti namanya. Barang siapa ingin beranak boleh meminta obat daripadanya. Akan tetapi, karena tempat gunung terlalu jauh dan harus melewati hutan rimba yang penuh dengan binatang buas, tiada seorang pun yang sanggup pergi ke gunung itu. Indraputera menawarkan diri untuk pergi ke gunung itu.
<p>.</p>

Maka pergilah Indraputera mencari obat itu. Bermacam-macam pengalaman dialami. Ia pernah bertemu dengan tengkorak yang dapat berkata-kata, membunuh raksasa dan bota yang makan manusia. Ia juga pernah mengunjungi negeri jin Islam, negeri yang penghuninya kera belaka dan kalau siang hari menjadi manusia. Ia bersahabat dengan anak raja-raja yang berasal dari golongan manusia dan jin. Berbagai hikmat diperolehnya; ada hikmat yang dapat menciptakan negeri langkap dengan segalanya, menciptakan angin ribut, menghidupkan orang yang telah mati. Akhirnya sampai ia di gunung tempat pertapaan Berma Sakti. Berma Sakti memberikan obat kepada Indraputera; di samping itu Indraputera juga diajar berbagai hikmat. Berkata Berma Sakti kepada Indraputera, Hai anakku, pejamkan matamu dan citalah barang yang engkau kehendaki niscaya sampailah ke tempat itu. Indraputera memejamkan matanya. ketika dibuka matanya, ia sudah ada kembali di kebun nenek kebayan di negerinya. Raja Syahsian dan perdana menteri sangat gembita. Setelah memakan obat yang dibawa Indraputera, yaitu sekuntum bunga tunjung, permaisuri hamillah dan melahirkan seorang anakyang elok parasnya yang dinamakan Tuan Puteri Indra Seri Bulan. Pada suatu ketika Indraputera dituduh berbuat jahat dengan dayang-dayang istana dan akhirnya Indraputera dibuang di sebuah negeri yang kotanya terbuat dari batu hitam. Raja negeri ini sangat memuliakan Indraputera dan memberikan hadiah sehelai kain yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit kepada Indraputera. Tuan Puteri Indra Seri Bulan pun besarlah. Ramai anak raja yang datang meminang tuan puteri. Tidak lama kemudian, tuan puteri pun sakit dan semua tabib istana tidak dapat menyembuhkan. Maka gong pun dipalu, Barang siapa dapat mengobati tuan puteri, jika hina sekalipun bangsanya akan diangkat menjadi menantu raja. Indraputera muncul dan menyembuhkan tuan putri. setelah dengan berbagai masalah yang menerjang akhirnya Indraputera dapat meminang Tuan Puteri Indra Seri Bulan.

Sumber: Sejarah Kesustraan Melayu Klasik

cerita rakyat tentang kesusastraan Hang Tuah

Arca Hang Tuah oleh pengarca Malaysia, Heng Eow Lin, dari Kulim, Kedah. Gambar oleh: The Star Online. Hang Tuah ialah seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu pada masa pemerintahan Kesultanan Melaka di abad ke-15 (Kesultanan Melayu Melaka) bermula pada 1400-1511 A.D. )[1] Menurut rekod sejarah, beliau lahir di Kampung Sungai Duyong, Melaka kira-kira dalam tahun 1444 A.D. Bapanya bernama Hang Mahmud manakala ibunya pula ialah Dang Merdu Wati. Bapanya juga pernah menjadi hulubalang istana yang handal suatu ketika dulu, begitulah juga ibunya yang merupakan keturunan dayang di istana. Hang Tuah ialah Laksamana yang terkenal dengan kesetiaannya kepada Raja dan merupakan petarung silat yang amat handal dan tiada tolok bandingnya. Hang Tuah dan empat orang kawannya: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu menuntut ilmu bersama Adiputra di Gunung Ledang. Selesai menuntut ilmu, mereka berlima kembali ke kota Melaka. Pada suatu hari, mereka berjaya menyelamatkan Dato' Bendahara (iaitu Perdana Menteri) daripada seorang lelaki yang sedang mengamok. Dato' Bendahara kagum dengan ketangkasan mereka dan menjemput mereka semua ke rumahnya dan seterusnya mengambil mereka untuk bertugas di istana. Sejak itu Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya amat disayangi oleh Sultan hinggalah Hang Tuah mendapat gelar Laksamana. Semasa mengiringi Sultan Melaka ke Majapahit di tanah Jawa, Hang Tuah telah berjaya membunuh seorang pendekar Jawa bernama Taming Sari. Dalam pertarungan itu Taming Sari, seorang pendekar yang kebal yang tidak dapat dilukakan. Tetapi Hang Tuah mengetahui bahawa kekebalan Taming Sari terletak pada kerisnya. Oleh itu Hang Tuah berjaya merampas keris berkenaan dan membunuh Taming Sari. Keris itu kemudiannya dianugerahkan oleh Betara Majapahit kepada Hang Tuah. Pemilik keris ini akan turut menjadi kebal seperti pendekar Jawa Taming Sari.[perlu rujukan]

Hang Tuah telah diutuskan ke Pahang bagi mendapatkan Tun Teja untuk dijadikan permaisuri Sultan Melaka. Ketika Hang Tuah ke Pahang, Melor turun dari Gunung Ledang mencari Hang Tuah. Melor telah ditawan oleh Tun Ali atas hasutan Patih Karma Vijaya bagi dijadikan gundik Sultan. Atas muslihat Tun Ali juga, Hang Tuah yang kembali dari Pahang akhirnya dapat berjumpa Melor, tetapi Sultan juga turut menyaksikan perbuatan Hang Tuah itu. Melor dan Hang Tuah dihukum bunuh kerana difitnah berzina dengan Melor yang telah menjadi gundik Sultan. Namun, hukuman mati tidak dilaksanakan oleh Bendahara sebaliknya Hang Tuah disembunyikannya di sebuah hutan di Hulu Melaka. Hang Jebat telah dilantik oleh Sultan menjadi Laksamana menggantikan Hang Tuah dan keris Taming Sari telah dianugerahkan kepada Hang Jebat. Hang Jebat sebagai sahabat karib Hang Tuah, menyangka bahawa Hang Tuah telah teraniaya dan telah menjalani hukuman mati. Hang Jebat (menurut Hikayat Hang Tuah) atau Hang Kasturi (menurut Sejarah Melayu), bertindak derhaka kepada Sultan dan mengambil alih istana. Tidak ada pendekar atau panglima di Melaka yang dapat menentang Hang Jebat (atau Hang Kasturi) yang telah menjadi kebal kerana adanya keris Taming Sari di tangannya. Sultan Mahmud terpaksa melarikan diri dan berlindung di rumah Bendahara. Pada masa itu baginda baru menyesal kerana membunuh Hang Tuah yang tidak bersalah. Inilah masanya Bendahara memberitahu yang Hang Tuah masih hidup. Hang Tuah kemudiannya telah dipanggil pulang dan dititahkan membunuh Hang Jebat. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah akhirnya berjaya merampas semula Taming Sarinya daripada Hang Jebat dan membunuhnya. Dalam pertarungan yang sedih ini, Hang Jebat telah cuba membela sahabatnya yang telah difitnah. Namun begitu, Hang Tuah telah membantu sultan yang sebelum itu menghukumnya tanpa sebarang alasan. Sedangkan Abu Bakar Siddiq R.A juga berkata kepada orang Muslim bahawa jika dia bersalah, rakyat boleh menjatuhkannya. Ternyata, kesilapan Hang Tuah yang tidak berfikir bahawa Allah S.W.T lebih berkuasa dari sultan dan memang tidak salah Hang Jebat cuba menegakkan kebenaran. Tragedi ini masih menjadi perbalahan orang melayu sampai sekarang. Namun begitu, ada juga yang menyokong Hang Tuah. Ini kerana Hang Jebat bukan saja derhaka kepada sultan bahkan telah membunuh ramai orang/rakyat Melaka yang tidak berdosa dengan mengamuk di dalam istana dan seluruh Melaka. Tindakan Hang Tuah yang membunuh Hang Jebat mungkin satu tindakan yang berupa hukuman mati terhadap pembunuh. Sumpah yang terkenal daripada Hang Tuah ialah "Tak Melayu hilang di dunia" yang bererti bangsa Melayu tidak akan punah di bumi ini. Puisi tentang peristiwa

TSUNAMI 1
Arafat Nur Seharusnya kubuat kapal besar di puncak gedung bertingkat itu tapi sebelumnya tak ada pertanda juga isyarat lainnya badai gelombang itu datang tiba-tiba bahkan sesudah gempa tak ada senggang waktu untuk mengira aku hanya bisa berharap

ada kapal besar yang lewat tapi sudah lama sekali kapal Nuh tidak berlayar lagi Lhokseumawe, 07 Januari 2005

TSUNAMI 2
Arafat Nur seusai badai gelombang di pantai itu aku menemui seorang lelaki tua Khidir namanya lantas kakek kurus itu bercerita muatan perahu Nuh sudah penuh ia hanya sebentar singgah di sini membawa beberapa anak dan orang dewasa berlabuh ke surga sayang, jumlahnya sedikit saja Lhokseumawe, 07 Januari 2005 Kumpulan Puisi Arafat Nur (Lagu Kelu - Puisi Penyair Aceh) Puisi Kepahlawanan 1.KEPADA KI HAJAR DEWANTARA Dalam kebun ditanah airku Tumbuh sekuntum bunga teratai Tersembunyi kembang indah permai Tiada terlihat orang yang lalu Akarnya tumbuh dihati dunia Dan berseri laksmi mengurang Biarpun dia diabaikan orang Seroja kembang gemilang mulia Teruslah, o.. teratai bahagia Berseri dikebun Indonesia Biarkan sedikit penjaga taman Biarpun engkau tidak terlihat Biarpun engkau tidak diminat Engkau turut menjaga taman

2.DI PONEGORO Dimasa pembangunan ini Tua hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api Didepan sekali tuan menanti Tak gentar lawan banyaknya Seratus kali Pedang dikanan, keris dikir Berselempang semangat yang tak bisa mati maju Ini barisan tak bergenderang berpalu Kepercayaan tak menyerbu Sekali berarti Sudah itu mati Maju .. Bagimu negeri Menyudahkan api Punah diatas menghambat Binasa diatas di tindas Sungguh pun ajal baru tercapai Jika hidup harus merusak Mau Serbu . Serang .. Terjang . (Oleh : Chairul Anwar)
3.GURU Pengabaianmu sungguh menyentuh Bersama langkah perjuangan Membasmi orang yang tak berilmu Guru Kemana pergi keberkahan bersamamu Engkau sungguh pahlawan bangsa Berusaha payah bekerja Mengabdi kepada kebesaran rakyat Mewujudkan jerih payah rakyat Menjadi manusia selama tipu muslihat Guru.. Pantas engkau menyandang gelar Karena berbagai gelar engkau yang menggelar Tapi..alangkah bodohnya kita Yang selalu menghina Membesarkan kepala Membusungkan dada Berjalan congkak Membohongi otak Padahal ..

Beliau pahlawan rakyat Dan golongan orang yang munanjat By : Jumarningsih 4.BAHASA BANGSA Selagi kecil berusaha muda Tidur si anak di pangkuan bunda Ibu bernyanyi, lagu dan gendang Memuji si anak banyaknya sedang Berbuai sayang malam dan siang Buayan tergantung di tanah moyang Terlahir berbangsa berbahasa sendiri Diapit keluarga kanan dan kiri Besar budiman di tanah melayu Berduka suka sertakan layu Perasaan serikat menjadi padu Dalam bahasanya permai merdu Meratap menangis berduka raya Dalam bahagia bala dan baya Bernafas kita pemanjangkan nyawa Dalam bahasa sambungkan jiwa Dimana Sumatera disitu bangsa Dimana perca disana bahasa Andalas ku sayang janah beganah Sejakkan kecil muda terumah Sampai mati berkalang tanah Lupakan bangsa tiadakan pernah Ingat pemuda Sumatera hilang Tiada bahasa, bangsa pun hilang

Cerpen tentang kepahlawanan TEPI MAKAM PAHLAWAN


Oleh: Hasudungan Rudy Yanto Sitohang Subuh menjelang, kokok ayam bersahut-sahutan. Hawa dingin menusuk relung, menggigit tulang para penghuni, dilanda gelisah. Menggerutu. Betapa hari tak maui membiarkan pulasnya tidur, tarikan selimut rapat-rapat diikuti paduan suara ngorok bernada sumbang. Komposisi alamiah tanpa dirijen-partitur, merentak, mengutuk hidup betapa cepatnya pagi menyapa. Tapi Hasan tak terganggu igauan para tetangga menikmati tidur ditemani nyamuk nakal penghisap darah, menari-nari selepas kenyang berbagi hidup sepanjang malam. Seisi penghuni Kampung Sei Lepan, sudut sebuah kota, dibawah Jembatan Kalimati, tak terganggu bersanding suara riuh sungai kotor, meluap sehabis hujan deras sepanjang sore hingga malam. Selepas lafal doa terakhir Hasan bangkit, melipat sarung dengan rapi, meletakkannya ke dalam lemari penuh hati-hati. Tak lupa sajadah bergambar Kabah -warnanya pudardisimpan dibawah rak baju tak seberapa. Peci hitam yang dipakainya digantung di dinding

sebelah baju sekolahnya. Sarung dan peci itu, pemberian almarhum ayahnya menjelang lebaran tiga tahun lampau dari seorang dermawan yang mengadakan sunatan massal gratis dikampungnya. Perlahan dia keluar dari kamar, berjalan menuju dapur yang menyatu dengan kamar mandi. Ditengoknya, ibunya sibuk menyiapkan kue-kue, kerupuk ke atas nampan. Hasan jongkok, ikut membungkus kue-kue dan kerupuk hasil masakan ibunya tadi malam. Ditemani terangnya lampu teplok , Hasan dan Ibunya, Ratih bergegas menyelesaikan bungkusan kue-kue, kerupuk yang berjejer rapi. Takut hari meninggi, mengusir rezeki ditengah kerasnya hidup yang harus ditaklukkan. Bersaing dengan waktu terus berjalan. Tak peduli seorang perempuan beranak satu berjuang mensiasati hidup selepas ditinggal mati suaminya. Hidup adalah perjuangan. Hasan lincah membungkus kue-kue, mengikatnya erat. Sudah terbiasa dikerjakan sejak bapaknya tak ada. Kue dan kerupuk harus dijual pagi ini jikalau tak mau kehilangan rejeki tuk bertahan hidup. Sudah sholat kau Nak?, kata Ratih lembut, menyapa anaknya. Sudah Mak, kudoakan juga supaya jualan kita laku, jawabnya lugas, percaya diri memandang balik ibunya. Ratih tersenyum getir, sudah empat hari ini dagangannya tak laku, setengahnya-pun tak habis. Dia elus kepala anaknya penuh ketulusan. Berusaha tegar walau hatinya sedih, perih mengingat dia harus membesarkan anaknya sendirian. Berjuang ditengah ganasnya ujian kehidupan yang mendera. Godaan para lelaki yang ingin mempersunting agar mengakhiri status janda yang disandangnya. Dia selalu menolak halus tawaran itu. Belum siap melupakan Amir, suaminya yang mati mengenaskan ketika menyelamatkan seorang anak dikampungnya. Terbawa banjir sungai yang meluap, menerjang kampung dua tahun silam. Anak yang ditolongnya selamat sedangkan Amir tak mampu bertahan menuju tepian, kelelahan, kalah terbawa arus. Tenggelam diantara tumpukan sampah, bongkahan kayu diiringi jeritan menyaksikan wajah suaminya terakhir kali sebelum hilang ditelan air bah sungai yang meluap. Esok hari baru ditemukan, mengambang di pintu air, tiga kilometer dari kampung. Mengingat peristiwa itu, kadang Ratih menitikkan airmata. Tengah malam, dia tak henti berdoa, bersujud memohon kekuatan Maha Kuasa membesarkan pangeran hatinya, Hasan. Satu-satunya buah cinta bersama almarhum suaminya. Ya, dia harus kuat. Sapaan Hasan menyadarkan lamunannya. Kue dan kerupuk sudah beres dimasukkan. Sekarang tinggal berangkat ke tempat Ratih biasa berjualan di samping Taman Makam Pahlawan. Hasan sudah berpakaian sekolah. Dari tempat jualan, dia langsung berangkat ke sekolah. Pintu rumah dikunci kemudian bergegas berjalan menembus pagi, mengalahkan dingin tak terperi. Ratih mengangkat nampan diatas kepalanya, dipegang supaya tak jatuh. Hasan ikut membawa kantong berisi kue dan kerupuk melintasi gang, selokan. Beberapa tikus masih berkeliaran dalam got tak mau kalah. **** Sepulang sekolah, Hasan langsung ke tempat jualan menemani ibunya menunggu para pembeli. Bocah berperawakan kurus ini duduk di kelas tiga sebuah sekolah dasar. Dia siswa yang berprestasi, kerap mendapat juara kelas. Bahkan membawa harum sekolahnya pada perlombaan baca puisi di kantor Gubernur minggu lalu. Hasan mengalahkan sekolah yang kerap menjadi langganan juara. Menurut gurunya, minggu depan dia akan berangkat ke Jakarta mewakili provinsi di pentas nasional. Bukan main bangganya Hasan terlebih ibunya, Ratih mendengar kabar itu melalui sepucuk surat dari dinas kemarin. Hari menjelang sore, kue-kue jualannya hampir habis. Sejenak dia melongok mencari anaknya. Hasan dimana kau Nak?, teriak Ratih memanggil anaknya. Sejak tadi tak kelihatan. San..Hasan..Hasan..!, teriaknya berulang kali. Nada cemas terlihat dari panggilannya. Khawatir.

Wajahnya celingukan mencari Hasan. Sudah sejam sejak anaknya sampai, tak kelihatan. Dia sibuk melayani pembeli. Lumayan banyak pembeli hari ini. Terlupakan anaknya. Coba kau tengok di dalam taman Ratih!, mana tau dia ke sana, kata Wak Soleh, pemilik warung rokok sebelah. Ratih bergegas menuju pagar tembok taman, sambil melihat cemas arah yang dimaksud Wak Soleh. Ternyata benar. Hasan berada disana, diantara jejeran makam, berdiri tegak mematung sambil memperhatikan nisan-nisan bercat putih. Terawat rapi. Dia perhatikan anaknya, bingung apa yang dilakukan Hasan di dalam Taman. Bergegas menyusul anaknya ke dalam, setelah menitipkan nampan berisi beberapa bungkus kue tersisa kepada Wak Soleh. Ratih masuk dari pintu utama, dia buka engsel pintunya yang tak digembok. Masuk. Perlahan, takut mengagetkan anaknya. Hasan berdiri memandangi makam-makam itu, dia baca nama-nama yang tertulis dalam nisan. Berjalan lagi mengitari kompleks makam yang luas. Berhenti pada sebuah makam tak bernama, tak ada tulisan sama sekali. Hanya nisan berwarna putih pucat, pudar. Dia bergumam seperti ada sesuatu yang dibisikinya. Jongkok di depan makam tersebut. Perlahan dia elus nisan makam tak bernama itu, pelan, berulang, matanya tak lepas mengikuti elusan tangannya. Berikutnya dia pegang topi dibawah nisan, terbuat dari semen mirip topi tentara yang sering dia lihat kalau berbaris. Warnanya agak pucat, hitam bahkan topi di makam sebelahnya sudah berlumut. Hasan tersadar, ibunya sudah berada di samping, berdiri tak jauh. Tadi melangkah tak kedengaran, hati-hati bagai langkah pencuri. Takut kepergok. Mak, apa semua yang dikubur disini, pahlawan?, Tanya Hasan membuka percakapan. Iya Nak, semua yang dikubur disini pahlawan, sahut Ratih. Semua?. Ya, semua!, jawab Ratih tegas tak yakin. Hasan termenung, berdiri, memandang ibunya. Matanya berkaca-kaca. Bibirnya bergetar seperti ingin mengungkapkan sesuatu, tapi tak bisa. Mulutnya terkunci rapat. Hening kembali. Dia beranikan menatap ibunya yang mengelus rambutnya, lembut, penuh kasih. Mak, bisakah Bapak dikubur disini?, bisakah Mak?. Ratih terkejut tak menyangka anaknya bertanya demikian. Dia peluk anaknya, tanpa sadar butir air mata mengalir. Hasan membenamkan dirinya dalam pelukan sang ibu. Menangis. Bisakah Mak?. Suara Hasan berserak, menahan segukan tangis dalam pelukan sayang ibunya yang ikut menangis pula. Bukankah Bapak juga seorang pahlawan?. Kata Mak dan orang sekampung, Bapak mati karena menyelamatkan orang di sungai. Mereka bilang Bapak Pahlawan. Kali ini tangis Hasan lebih kencang. Deraian air mata ibu dan anak saling bertaut dihadapan makam terbentang bisu. Bisakah Bapak Hasan dikubur disini, Mak?,. Ratih hanya menangis, memeluk anaknya erat bagai takut kehilangan, tak memberi jawaban. Dia cium kepala anaknya dengan air matanya.

Anda mungkin juga menyukai