Anda di halaman 1dari 114

KUMPULAN

MAKALAH DAN PUISI


FESTIVAL SASTRA MELAYU RIAU

SASTRA MELAYU RIAU


YANG KUNO DAN YANG KINI
DR. JARIR AMRUN, DKK
Sastra Melayu Riau,
yang Kuno dan yang Kini

Penulis
Dr. Jarir Amrun, dkk

Diterbitkan oleh Suku Seni dan Badan Pengembangan dan


Pembinaan Bahasa

i
Daftar Isi
Daftar Isi............................................................................. ii

Bincang Sastra ................................................................... 1

Membaca Karya Sastra Melayu Klasik ke Modern ............ 2

Sastra dan Melayu, Melayu dan Sastra,

Dulu, Kini dan Esok ................................................................. 18

Yang Kuno dan yang Kini ...................................................... 25

Media Baru dan Energi Kreatif

Alih Wahana Sastra Melayu .................................................. 33

“Mazhab Perlawanan” dalam Prosa Riau Terkini ............ 39

Dari Raja Ali Haji ke Sutardji Calzoum Bachri,

Mana Telurmu? ....................................................................... 48

Antologi Puisi ..................................................................... 64

Keris Junjungan ....................................................................... 65

Alif Patah .................................................................................. 68

Tragedi Perang Siak: dalam Genggam Dendam ................. 72

Pemetik Gambus Selodang ..................................................... 75

ii
Kujano Yang Lain .................................................................... 77

Ritual Bulean ............................................................................ 82

Perempuan itu Memanggil-Manggil,

Bunga di Taman Bermekaran, & Seorang Lelaki

yang Melihatnya Terguling-Guling di atas Bara Api ........ 84

Melepas Damba di Hempasan Ombak Bono ........................ 86

Ke Bukit Doa, Ke Lubuk Pinta, tentang Semah Rantau .... 87

Fragmen Menumbai Petalangan .......................................... 89

Revival Ritual ........................................................................... 91

Kepada Engkau Budak yang menolak Tuah ....................... 93

Jebat Jebat ................................................................................. 95

Melayu: Sebati Aku pada Rahimmu ..................................... 97

Merisik ....................................................................................... 100

Sihir dan Syair ......................................................................... 102

Biodata Penulis Makalah................................................... 105

iii
Bincang Sastra
Festival Sastra Melayu Riau 2023

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 1


Membaca
Karya Sastra Melayu
Klasik ke Modern
Dr. Jarir Amrun

“Budaya, termasuk karya sastra tidak mendadak turun dari langit secara
mendadak, tetapi merupakan proses hasil interaksi dengan alam dan pemikiran
(minda) yang berkembang di lingkungan penulisnya. Di sinilah pentingnya
memahami sebuah karya dengan pendekatan determinisme, perlunya
pemahaman tentang sejarah budaya atau sastra melayu, dari mulai masa
Hindu, Islam, penjajahan Belanda, Inggris dan di masa kemerdekaan RI.”

2 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Aksara Melayu Kuno Penyebarannya di Nusantara
DALAM Syair Perang Siak (tulisan arab melayu/jawi), tertulis; //Bercinta
pergi jangan dikenang// bukannya wadun sekalian lanang// jikalau datang Wolanda
meminang// di laut darah niat berenang. Yang menjadi pertanyaan saya, kata
"wedun" atau wedon (bahasa jawa artinya perempuan) dan lanang (laki-laki),
mengapa digunakan dalam syair melayu klasik ini (ditulis sekitar 1820)?
Apakah kata wedun (wedon) dan lanang berasal dari melayu kuno? Sebab
penulis naskah Sulalatus Salatin (silsilah raja-raja melayu) adalah Tun Sri
Lanang. Ada kata lanang, artinya lelaki. Sulalatussalatin merupakan kitab yang
tertua di dunia melayu. Sulalatus Salatin bisa dilihat dari sisi bahasa, bagaimana
pilihan bahasa, dan cara penulisannya. Berikut dibagian awal dari pengantar
(prolog) Sulalatus Salatin, Tun Sri Lanang menjelaskan asal usulnya:
Setelah fakir mendengar demikian, jadi beratlah atas anggota fakir allazi
murakkabun 'ala jahlihi, Tun Muhammad namanya, Tun Seri Lanang timang-
timangannya, Paduka Raja gelarannya, Bendahara, anak Orang Kaya Paduka
Raja, cucu Bendahara Seri Maharaja, cicit Bendahara Tun Narawangsa, piut
Bendahara Seri Maharaja, anak Seri Nara Diraja Tun Ali, anak baginda Mani
Purindan qaddasallahu sirrahum, Melayu bangsanya, dari Bukit Si Guntang
Maharuiru. Setelah fakir allazi murakkabun 'ala jahlihi mendengar titah Yang
Maha Mulia itu, maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia,
syahadan mohonkan taufik kehadrat Allah, Tuhan sani'il-'alam, dan minta huruf
kepada nabi sayyidil-anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka
fakir karanglah hikayat ini… 1
Saya mendapat pencerahan dari penjelasan Prof Uli Kozok, bahwa tulisan
melayu kuno bukan hanya ada di Palembang, tetapi juga ada di Padang Lawas,
prasasti dengan aksara Malayu kuno dan juga ditemukan di Barus. Kalau di Barus
berupa nisan diberi nama Nisan Penanggahan sesuai dengan tempat
ditemukannya. Nisan itu ditulis dengan aksara Malayu dan dengan bahasa
Melayu pada bulan Āṣāḍha di tahun Śaka 1272, (29 Juni 1350 M). Di tempat yang

1Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), [ed. A. Samad Ahmad], Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1979. Hal, 2.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 3


hampir sama ditemukan pula nisan beraksara Arab dengan tanggal yang sama.
Hal itu menjadi petunjuk bahwa masa itu adalah masa peralihan dari agama
Hindu-Buddha ke agama Islam. Demikian jelas Prof Uli.
Bagaimana pengaruh bahasa dan tulisan melayu kuno di Jawa? Hasil
penelitian Riboet Darmosoetopo, tentang Keberadaan Bahasa Melayu-Kuna Abad
VII- IX di Jawa bahwa ditemukan prasasti-prasasti berbahasa Melayu-Kuna yang
ditemukan di Jawa. Prasasti Payaman ditemukan di Bukateja (Purbalingga, Jawa
Tengah), prasasti Dewadrabya ditemukan di Dieng, prasasti Dapunta Selendra
ditemukan di daerah Temanggung. Prasasti Sang Hyang Wintang dan prasasti
Dang Pu Hawang Glis, keduanya ditemukan di daerah Temanggung. Dan akhimya
prasasti Manju~rigrha ditemukan di candi Sewu (Prambanan). Dari tempat-
tempat penemuan prasasti itu dapat diasumsikan persebaran perkayaan bahasa
Melayu-Kuna di Jawa Tengah meliputi daerah Dieng sampai Prambanan. Di Jawa
Barat ditemukan di Kebonkopi. Bahkan prasasti melayu kuno juga ditemukan di
pantai selatan pulau Laguna, Pilipina.
Prasasti Kcdukan Bukit tahun 605 M merupakan prasasti tertuar dari
kedatuan Sriwijaya, diikuti prasasti Talang Tuwo bertahun 606 (keduanya
ditemukan di Palembang). Selanjutnya prasasti Karang Birahi (ditemukan di
Jambi), prasasti Kota Kapur 608 ditemukan di Pulau Bangka, dan prasasti yang
tidak berangka tahun ditemukan di wilayah Lampung. Tiga buah prasasti yang
berbahasa Melayu-Kuna dan berangka tahun ditemukan di Jawa yaitu prasasti
Manjuyrigrha 714 M ditemukan di Candi Scwu, Prambanan). Prasasti Dang Pu
Hawang Glis 749 M (ditemukan di Temanggung). Dari prasasti Manjuyrigrha
didapat kesan bahwa paling lambat sejak tahun 719 M bahasa Melayu-Kuna telah
berkembang di Jawa Tengah.
Prasasti berbahasa Melayu-Kuna yang ditemukan di Kebon Kopi (Jawa
Barat angka tahunnya berupa kalimat (seperti sengkalan tetapi untuk
menemukan angka tahunnya tanpa dibalik membacanya) yaitu kawihaji pai\ca
pasagi atau 856 M.
Secara morfologis bahasa Melayu-Kuna di Jawa rnengalami
perkernbangan. Awalan war- (yang dalam perkernbangannya nanti rnenjadi
awalan ber-) rnulai dipergunakan. Awalan war- rnerupakan perkernbangan

4 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


awalan mar- di Jawa rnisalnya kata marapuy= berapi dan marawu=berabu.
Demikian awalan di- untuk membuat bentuk pasif rnakin banyak dipergunakan
di samping sisipan -in-.
Dijelaskan Riboet Darmosoetopo bahwa sejak abad VII di Jawa telah ada
tiga macam bahasa yang dipergunakan oleh penduduk, yaitu bahasa Jawa-Kuna
(bahasa ibu), bahasa Sanskerta (terutanla untuk kepentingan keagamaan), dan
bahasa Melayu-Kuna (awalnya untuk kepentingan perdagangan). Adanya
loncatan bahasa Melayu-Kuna dari bahasa untuk kepentingan perdagangan.
Riboet Darmosoetopo menjelaskan, kesamaan bahasa antara prasasti dari
Sriwijaya dan prasasti bcrbahasa Melayu-Kuna dari Jawa (kata sida dipakai di
Sriwijaya dan di Jawa) menyimpulkan bahwa dapunta Sailendra berasal dari
Sriwijaya. Proses perkayaan bahasa Melayu-Kuna di Jawa sudah berjalan
sebelum prasasti itu ditulis. Jadi apabila prasasti Sajamerta yang berasal dari
abad VII M sebagai awal dinasti Sailcndra di Jawa, berarti bahasa Melayu-Kuna
telah dikenal sebelumnya. Dari uraian singkat ini didapat petunjuk bahwa
Dapunta Sailendra adalah orang Jawa, berasal Siwaistis. dan mahir berbahasa
Melayu-Kuna, dan ia masih termasuk kerabat raja Jawa.
Bagaimana pandangan Prof Uli Kozok? Dia bahkan menilai dengan adanya
temuan prasastri tulisan dan bahasa melayu di Barus dan Padang Lawas, bahwa
tulisan melayu kuno ini juga sangat berpengaruh pada suku-suku di sumatera
utara (walaupun banyak netizen yang membantah dengan emosi, pendapat Prof
Uli Kozok, tapi dia santai saja).
Teori determinisme, bahwa ide, budaya dan bentuk lainnya dari manusia
itu hasil interaksi dengan kondisi sosial saat itu, maka sangat mungkin interaksi
aksara melayu kuno menyebar ke penjuru nusantara. Bahasa melayu kuno
diakomodir oleh budaya lainnya di nusantara. Bahasa jawa kuno juga
mengakomodir melayu kuno, sansekerta, china, arab dan belakangan pengaruh
bahasa penjajah.
Bahasa tidak turun mendadak dari langit, tetapi hasil interaksi dengan
budaya di sekitarnya. Hubungan pedagangan sumatera dengan jawa, dan
hubungan bentuk lainnya, seperti diplomasi, penyebaran agama memerlukan
tulisan dan bahasa yang saling dipahami, sehingga masing-masing budaya saling

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 5


mengisi, membentuk kata baru yang tanpa disadari, hubungan (interaksi
budaya) selama satusan dan bahkan ribuan tahun antar-budaya ini membentuk
memperkaya masing-masing budaya (termasuk didalamnya bahasa).
Perkembangan perubahan bahasa itu dapat dilihat dari prasasti, manuskrip dan
naskah-naskah kuno. Ada beberapa kata yang saat ini tidak kita gunakan lagi,
tetapi di masa lalu lazim mereka gunakan, seperti kata "lanang" pada naskah
syair perang syiak, dan nama penulis naskah tua sejarah melayu Tun Sri Lanang.
Atau dulu sudah ada, kata itu, tetapi mengalami perubahan konsonan, seperti
kata "sahaya" menjadi "saya". Perubahan makna, kata butuh dialek melayu
madagaskar "vutuh", sekarang biasa digunakan untuk kata-kata keperluan. Atau
terjadi perubahan karena dialek daerah tertentu.
Temuan naskah kuno di Kerinci tentang Kitab Undang-Undang Tanjung
Tanah, kemudian dianalisa Pro Uli Kozok, menjelaskan bahwa bahasa melayu
sudah kuno digunakan di Jambi, yang saat itu di bawah kerajaan melayu
Damasraya abad ke-13. Naskah itu menjelaskan tentang aturan (hukuman) bagi
orang yang mencuri...."Ini anugerah titah Sanghyang Kemitan3 kepada penguasa di
Bumi Kerinci sepanjang Kerinci, beserta hulubalang, para patih, pemuka agama,
punggawa......Maling kambing, maling babi dendanya sepuluh mas, maling anjing lima
mas, kalau itu anjing biasa; kalau anjing mau sepuluh mas, anjing dipati pun
sekian...Anjing raja satu seperempat tahil. Maling ayam hamba orang, untuk satu
kembalikan dua. Ayam anak negeri, untuk seekor kembalikan tiga. Ayam bangsawan,
untuk seekor kembalikan lima. Ayam dipati dan ayam anak-cucu dipati, untuk seekor
kembalikan tujuh. Ayam raja, untuk seekor kembalikan dua kali tujuh. Dari naskah ini
menjelaskan saat itu bahasa melayu sudah digunakan dimasyarakat Sumatera
sekitar Jambi, Damasraya dan sekitarnya. Memang di awal naskah itu disebutkan
bahasa sanskerta, namun dalam naskah undang-undangnya berbahasa melayu.

6 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Tulisan Melayu kuno yang dijelaskan Prof Uli Kozok berbeda
dengan tulisan Pallawa dan Jawa kuno

Penyebaran aksara di dunia menurut Uli Kozok

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 7


Corak Sastra Melayu Klasik
Syair, Pantun, Hikayat, adalah bentuk sastra lama. Gaya penulisan ini
digunakan untuk menulis sejarah, pemikiran politik, penyiaran (dakwah) ajaran
Islam dan fungsi lainnya.
Karya Sastra Melayu banyak yang terkait dengan gejolak politik,
perlawanan terhadap kezaliman, hegemoni yang kuat yang terjadi pada
masanya. Misalnya Syair Perang Siak. Menurut Goudie dari Tennas Effendi,
naskah Syair Perang Siak ini awalnya berasal dari Sultan Syarif Hasyim bin
Abubakar Fakhruddin (1892-1930) sampai pada akhirnya yang ditemukan
Tennas Effendi salinan dari Tengku Johan. Syair ini merupakan produk dari
peperangan, dan berisi tentang sejarah Kesultanan Siak dan peperangan
melawan Belanda (Olanda). Berikut petikannya isi naskah Syair Perang Siak;

Jembalang Guntung ditembakkannya,


Harimau Buas menggeram bunyinya,
naik ke kapal tidak bertanya,
barang yang berajal dimakannya,

Jembalang Guntung dan Harimau Buas adalah nama meriam yang dimiliki
Tengku Muhammad Ali, yang saat itu menjadi pangliam besar Perang Guntung.
Syair ini mampu memberikan gambaran perang guntung terjadi. Walau
senjata yang dimiliki pasukan Kesultanan Siak tak sebanding dengan kapal
perang, mariam pasukan VOC, namun semangat perang melawan pasukan VOC
yang lengkap.
Karya sastra melayu yang besar ini produk dari Perang Guntung selama
1758-1761, atau sekitar 265 tahun yang lalu. Syair Perang Siak cukup tebal,
hanyut dalam semangat perang kita membacanya. Demikian patriotisme bangsa
Melayu melawan VOC, yang seharus tercatat dalam sejarah nasional.
Bagi sastrawan Melayu, perang atau perlawanan terhadap kezaliman,
dicatat dalam bentuk karya sastra, sehingga tersimpan dalam memori minda
anak cucu atau zuriat di kemudian hari.

8 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Ada beberapa syair yang mirip dengan Syair Perang Siak, disebut dengan
Syair Raja Siak. Syair Raja Siak ini sudah dialihaksarakan ke tulisan latin Bahasa
Indonesia.
Kemudian Syair Perang Mengkasar, syair ini ditulis Ncik Amin,
diperkirakan beliau orang Melayu yang merantau ke Makasar, Syair Perang
Sultan Mahmud di Lingga, Syair Perang Banjar dan lainnya.
Dalam syair perang ini bukan hanya menjelaskan tentang proses
perang, tetapi strategi perang. Seperti Syair Syair Perang Sultan Mahmud di
Lingga, tergambar bagaimana perang model gerilya laut.
Semangat perang fi sabilillah, tergambar di Syair Perang Siak dan Syair
Perang Mengkasar. Dari naskah syair ini, tergambar bagaimana benang biru,
sejarah pengaruh perang fi sabilillah, yang di kemudian hari pada perang Aceh
dikenal dengan sebutan perang sabi', yakni perang di jalan Allah, yang dilakukan
rakyat aceh dipimpin Teuku Umar, Cut Nyakdin dan pahlawan Aceh lainnya.

Syair Tamsil
Di saat betapa sulitnya menyampaikan hal penting kepada pimpinan
negeri (bendahara, raja, sultan, kalau saat ini pejabat. kepala daerah, menteri,
presiden) yang zalim atau perangainya jahat, tamaddun melayu menggunakan
tamsil untuk menyampaikan pemikirannya, sehingga tersampaikan ke pimpinan
negeri yang zalim. Seperti karya besar di dunia melayu, Syair Ikan Terubuk,
Syair Ikan Tongkol, Syair Bereng-bereng, Syair Burung Nuri, Syair Burung
Pungguk, Syair Bulan Sairang.
Syair Ikan Terubuk menjelaskan tentang ikan trubuk yang jatuh cinta
pada ikan puyu-puyu. Ada yang beranggapan, bahwa syair ikan yang terkait
seorang pangeran di pesisir yang jatuh cinta pada putri di daratan (sungai). Ini
gambaran keinginan kuat sorang sultan di pesisir untuk menaklukkan
pedalaman melalui jalur sungai (mungkin saja pedalaman sumatera, karena ikan
trubuk adanya di pesisir pantai timur sumatera).
Mengapa pilihan syair sosok sang pangeran itu ikan trubuk? Karena ikan
ini, ikan yang paling mahal, bahkan Belanda menetapkan cukai untuk
pengangkutan dan penjualan ikan trubuk. Cukai yang dipungut pada tahun 1881

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 9


mencapai f 20.471,14; pada tahun 1882 mencapai f 15.623,74.2 Ada yang menyebut
ikan terubuk adalah makanan untuk raja atau sultan saja, sebab tak setiap waktu
ikan ini ada, hanya di waktu-waktu tertentu.
Di antara syair tamsil binatang, Syair Burung Pingai karya Hamzah
Fansuri merupakans salah syair tua, sebab Hamzah Fansuri merupakan pelopor
awal penyair Melayu, walaupun Hamzah Fansuri adalah orang Aceh, namun saat
itu bahasa dunia cendikia menggunakan bahasa melayu. Syair ini mengingatkan
akan sifat buruk dalam diri manusia, yang harus dibuang melalui pendekatan
agama (tasauf).
Dari Aceh, Hamzah Fansuri telah mengunjungi Johor, Siam, India, Kudus,
Banten, Persia, Irak, Makkah dan Madinah. Wawasan beliau luas, sehingga
tulisannya bisa diterima di semua wilayah nusantara.
Dengan syair-syairnya, Hamzah Fansuri mengkritisi kebijakan pemimpin
yang berkuasa, menyampaikan dakwah kepada umat, menyejukkan, walau pada
gilirannya pemikiran Hamzah Fansuri tidak sesuai dengan pemikiran Nuruddin
Ar-Raniry yang berasal dari Kota Ranir di India.3
Dengan syair-syairnya, Hamzah Fansuri mengkritisi kebijakan pemimpin
yang berkuasa, menyampaikan dakwah kepada umat, menyejukkan, walau pada
gilirannya pemikiran Hamzah Fansuri tidak sesuai dengan pemikiran Nuruddin
Ar-Raniry yang berasal dari Kota Ranir di India, sehingga sebagian buku-buku
Hamzah Fansuri habis, dibakar.

Hikayat
Hikayat pada awalnya adalah produk lisan, kemudian raja atau pembesar
kerajaan menyusuruh orang untuk menulisnya, atau ada seseorang yang
berminat menulis cerita lisan tersebut sehingga menjadi naskah hikayat,
sehingga sulit menentukan apakah sebuah kisah dongeng atau kejadian

2J.A. van Rijn van Alkemade, “Reis van Siak naar Poelaulawan”, TNAG, deel III,
1887. 114.
3 Zulkarnain Yani, Analisis Tematik terhadap Syair Burung Pingai Karya Hamzah
Fansuri, Jurnal Penamas, Vol XXII No.2 tahun 2009, Hal. 213.

10 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


sebenarnya.4 Namun di masa Islam, hikayat merupakan penyaduran dari kisah-
kisah dalam sejarah Islam, seperti shahabat Rasulullah, ulama dan lainnya.
Beberapa hikayat dalam dunia melayu. Seperti Hikayat Siak, Hikayat
Indra Bangsawan, Hikayat Si Miskin, Hikayat Jaya Langkara, Hikayat Indraputra,
Hikayat Syah Kobat, Hikayat Langlang Buana, Hikayat Iskandar Zulkarnain,
Hikayat Ibrahim Ibnu Adham, Hikayat Burung Terkukur, Hikayat si Miskin,
Hikayat Ahmad Muhammad, Hikayat Nakhoda Muda, Hikayat 1001 Malam,
Hikayat Maharaja Ali, Hikayat Nasihat Lumkman Hakim, Hikayat Seribu Masalah,
Hikayat Raja=-Raja Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Negeri Johor,
Hikayat Patani, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Bayan Budiman dan lainnya.
Beberapa dapat diklasifikasikan dalam masa pra-islam dan Islam. Misalnya
Hikayat Indra Bangsawan mengandung cerita hindu namun di bagian akhir
dipengaruhi nilai-nulai Islam, naskah ini peralihan dari Hindu ke Islam.
Hikayat Siak ditulis Tengku Akil yang terasing sampai ke Sukadana. Beliau
merupakan cucu Raja Kecik. Ia memahami bagaimana silsilah Raja Kecik, dan
pergolakan di internal kerajaan (perebutan kekuasaan antara Tengku Buang
Asmara dengan Raja Alam), dia juga memahami bagaimana proses terjadinya
perang guntung.
Di alam Minangkabau, ada istilah Kaba. Kaba (Kabar, berasal dari Bahasa
Arab Khobar atau berita) merupakan tradisi penyampaikan hikayat (sejarah) di
masyarakat Minangkabau. Buku menarik, Kabar Si Oemboet Moeda (hikayat dalam
bahasa minangkabau) pengantar Charles Adrian (CA) van Ophuijsen terbit tahun
1896, Leiden, PWM Trap. Van Ophuijsen banyak menelaah naskah hikayat, tradisi
lisan dan tulisan yang ada di dunia melayu, termasuk Minangkabau tempat dia
bertugas. Kabar Si Oemboet Moeda adalah kisah klasik tentang anak muda yang
merantau dan malang nasibnya. Namun di Siak, kisah Oemboet Moeda tentang
gadis yang kaya raya dengan banyak gelang emas di tangannya (dalam kisah
Minangkay juga Oemboet Moeda bertemu dengan Si Gelang Banyak) yang
menikah dengan pemuda di Mempura.

4 Dr Liaw Yock Fang, Sejarah Kesustaraan Melayu Klasik, Pustaka Obor 2011,
Jakarta, Hal.1.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 11


Kaba Si Eoemboet Moeda pengungkapan dengan bahasa sastra dan
puitis, berbahasa Minangkabau. Kemudian tahun 1969 Kaba Si Oemboet Moeda
ini Dialihbahasaindonesiakan oleh Sutan Sati terbit Balai Pustaka Tjerita Si
Umbut Muda.

Kamus Melayu
Van Ophuijsen salah seorang ilmuan bahasa yang rajin mengumpulkan
dan menganalisa bahasa Melayu, bahkan dia menulis buku Ragam Logat Bahasa
Melayu. Tak hanya Van Ophuijsen sendiri, ada juga Husein Djajadiningrat pada
tahun 1933 memaparkan makalah tentang Latar belakang magis pantun melayu.
Pidato yang disampaikan di hadapan Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia
Belanda pada peringatan sembilan tahun berdirinya Fakultas Hukum di Batavia,
28 Oktober 1933.5 Kemudian pidatonya diterbitkan menjadi buku tahun 1933.
Pantun Melayu, kumpulan RJ Wilkinson dan RO Winstedt, (Sastra Melayu Seri 12,
edisi pertama 1914, edisi kedua 1923).
Pada masa 1890-1930 ini muncul beberapa buku saku kamus bahasa
Melayu-Madura (Mardjana dan R Sasrasoeganda, Boekoe Peladjaran Bahasa
Melajoe Oentoek Sekolah Madoera, Den-Haag-Batavia, 1932.), Melayu-Sunda,
Melayu-Jawa, Melayu-Belanda, Melayu-Inggris, Melayu-Jerman (Tahun 1835,
penulis jerman, Melchior Leydekker menulis Maleisch en Nederduitsch
woordenboek (Kamus Melayu-Jerman). Lihat lampiran:
Ada Kamus Bahari. Buku Kamus Hollandsch-Maleisch technisch
zeevaartkundig woordenboek (Kamus teknik bahari Belanda-Melayu) karya MJE
Kriens yang terbit tahun 1888 menarik. Setelah dibacanya, menyadarkan kita
bahwa banyak bahasa Melayu (Bahasa Indonesia) yang merujuk ke bahasa
belanda. Misalnya kata kapur bahasa belandanya "Kalk", kita sering menyebut
beli kapur kalk. Kata kain lap, dalam bahasa belanda, "lap" itu sendiri artinya
sudah mencakup "kain lap". Dari kata lap ini kita gunakan kata kerja "mengelap"

5 Djajadiningrat, Hoesein,"De magische achtergrond van de Maleische pantoen:

rede in tegenwoordigheid van Zijne Excellentie den Gouverneur-Generaal van


Nederlandsch-Indië uitgesproken op den negenden herdenkingsdag van de stichting der
Rechtshoogeschool te Batavia, den 28sten October 1933. -". Kolff & Co,1933.

12 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


meja dll, Berikut kata-kata yang ada dalam buku Kamus Teknik Bahari Belanda-
Melayu. Umumnya kata-kata dalam buku ini terkait dengan perkapalan (bahari),
karena saat itu ilmu bahari sangat memerlukan alih bahasa Belanda-Melayu.
Kamus ini juga mengindikasikan bahwa kemampuan bahari melayu sangat besar
pengaruhnya, sehingga Belanda pun memerlukan kamusnya. Kardoes: kardus,
kalk: kapur, kool; kubis, kwast: kuwas, lap: sepotong kain, masker: topeng, oven:
dapur, plank: papan, pistool: pistol, pot: priok, kuali, balk: kayu gelondongan
(kayu balak), carton: kertas, gordijn: kelambu, jonk: Jong masih banyak lagi. MJE
Kriens menggambarkan bahwa bahasa melayu akomodatif terhadap bahasa
asing, termasuk bahasa Arab masuk ke dalam perbendaharaan bahasa melayu,
bahasa portugis, Cina dan lainnya.
Terkait dengan teknik perkapalan, masih sedikit yang mengkaji naskah-
naskah lama melayu yang menjelaskan bagaimana teknik perkapalan Melayu.
Padahal wilayah melayu ini merupakan bandar (pelabuhan), selain pusat
perdagangan tentunya tempat dok (perbaikan) dan pembuatan kapal. Bandar
Melaka dikenal sebagai pusat pembuatan kapal, pineng juga, bahkan Siak di masa
Sultan Syarif Ali dikenal sebagai pembuat kapal-kapal besar, karena Siak
merupakan penghasil kayu yang bagus unyuk bahan pembuatan kapal.
1900 awal Bahasa Melayu Riau makin menggema, Belanda pun
mewajibkan pelajaran bahasa melayu di sekolah-sekolah, termasukdi Pulau
Jawa. Dampaknya tamadun sastra melayu berkembang ke penjuru negeri.

Pengaruh Sastra Melayu Klasik pada Era Modern


Kekuatan melayu ada pada kesamaan manusia, budaya, termasuk di
dalamnya satu kesatuan tamadun sastra. Warisan kuno (sastra) ini terus terjaga,
diwariskan dari generasi ke generasi (zuriat) di wilayah melayu. Tamadun sastra
yang dimiliki melayu, turun temurun diturunkan kepada anak-anak dan
penduduk kampong dan perantau.
Lalu bagamana pengaruh karya sastra melayu klasik pada sastra di Riau.
Pertama kali Raja Ali Haji, dia lahir tahun 1808 di Selangor, Malaysia dan wafat
tahun 1873 di Pulau Penyengat. Tatkala Raja Ali Haji muncul (berkarya), dia
berhasil memilah hikayat nonfiksi dengan yang fiksi, maka dia memunculkan

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 13


Tuhfah An-Nafis. Tuhfah An-Nafis, buku sejarah yang berbeda dengan hikayat dan
syair. Tuhfah Annafis menjelaskan sejarah dengan detail, jelas rujukannya
dengan tahun, tanggal, dalam hijriah dan juga lokasi kejadian. Buku Tuhfah An-
Nafis tentang sejarah Johor, Siak dan Johor-Riau-Pahang-Lingga. Buku ini juga
menjadi rujukan bagi Netscher dalam menulis sejarah Johor, Siak, Johor-Riau-
Pahang-Lingga dan kesultanan di pantai timur sumatera. Beberapa karya Raja
Ali Haji, Tuhfat An-Nafis, Muqoddimah, Tsamarat Muhimmah. Kitab
Pengatahuan Bahasa, Gurindam XII dan syair-syair seperti Syair Abdul Muluk,
Syair Sinar Gemala Mustika Alam,Syair Suluh Pegawai dan lainnya.
Sebuah buku menarik karangan Gonda Jan berjudul Eenige moderne Maleische
romans (Beberapa novel Melayu modern) terbit tahun 1934, penerbit
Perpustakaan Universitas Utrecht. Ia menjelaskan beberapa karya novel melayu
modern, salah satunya Soeman Hs yang berasal dari Riau.
Een zeer amusant verhaal is Mentjahari pentjoeri anak perawan van Soeman
(1932; 70 bladz.). Een jongmensch, Sir Djoon genaamd, is verliefd op en verloofd met Nona.
…Een zeer aardige novelle is Kasih ta’ terlarai van de hand van denzelfden
Soeman (2e druk, 1931; 37 bladzijden), goed van stijl en compositie. Taram, een
jonge man, aangenomen kind vaneen Maleisch hoofd inde kuststreken van Oost-
Sumatra, wenscht te huwen met Noerhaida, het mooiste meisje van het dorp,
dochter vaneen rijk en trotsch vader. Hij wordt afgewezen. (Sebuah cerita yang
sangat lucu adalah Mentjahari pentjoeri ctnak pevctwan vanSoeman (1932; 70
halaman). Seorang pemuda bernama Sir Djoon jatuh cinta dan bertunangan
dengan Nona…Novel yang sangat bagus lain adalah Kasih Ta' Terlarai oleh
Sueman (Edisi ke-2, 1931; 37), gaya dan komposisi bagus. Taram, seorang
pemuda, anak angkat seorang kepala suku Melayu di daerah pesisir Sumatera
Timur, ingin menikah dengan Noerhaida, gadis tercantik di desa, putri seorang
ayah yang kaya.).6
Soeman Hs kelahiran 4 April 1904 di Bengkalis dan wafat 8 Mei 1999 di
Pekanbaru. Sosok Soeman Hs sudah menjadi perhatian penulis Belanda pada

6 Gonda Jan, "Eenige moderne Maleische romans". Noordhoff, [1934], P. 37. Lihat
juga Linden, Adriaan Leo Victor Lambert van der,"De Europeaan in de Maleische literatuur".
Ten Brink,1937. Hal, 361.

14 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


tahun 1934, bahkan Belanda mencatat Soeman Hs lulus sebagai guru di
Pasirpengaraian 19387. Beliau muncul di masa peralihan sastra, dari hikayat
menjadi cerita (fiksi) dan cejarah (non fiksi). Makanya Soeman Hs banyak
menghasil karya cerpen, yang mulai banyak dinikmati public saat itu. Sebelum
masa Soeman Hs, hikayat, kaba dan bentuk lainnya masih mencampurkan antara
yang dongeng dengan fakta sejarah, makanya belakangan muncul sejarah.
Hikayat merupakan karya sastra dalam beragam bentuk, ada hikayat pengaruh
Hindu, pengaruh melayu kuno dan pengaruh Islam.
Selain Soeman Hs muncul penyair dari Riau, yakni Sutardji Calzoum
Bachri, lahir 24 Juni 1941 di Rengat.8 Bukunya BACHRI (Sutardji Calzoum), Sajak-
sajak. Z.pl. c. 1973. 33 pp, 33 cm. Gestencilde tekst. Kumpulan "O". hh-1216-N +
tercatat di Belanda. Nama Sutardji Calzoum Bachri di Koran sejak tahun 70an
muncul di media dalam dan luar negeri. 9 Kemudian pada 1974 Sutardji Calzoum
Bachri bersama Abdul Hadi membacakan puisi di Belanda.10 Sutardji dijuluki
sebagai Presiden Penyair Indonesia, diberi gelar Datuk Seri Pujangga Utama. Ia
merupakan pelopor penyair angkatan 1970-an,
Tiga tokoh besar sastra Riau memiliki kekhasan. Bagaimana pun masing-
masing zaman memiliki orang. Munculnya Raja Ali Haji di saat khazanah sastra
Melayu dalam bentuk Gurindam, Syair dan lainnya. Masa Soeman Hs koran
sudah mulai mudah ditemukan. Banyak percetakan yang menerima karya
cerpen dan sejenisnya. Sementara Sutardji Calzoum Bachri karyanya muncul di
saat awal Orde Baru sampai kini. Misalnya puisinya Luka, yang pendek, tetapi di
ujung puisinya terdapat kata Ha ha, menjelaskan di atas luka ada kebahagiaan.
Rezim Orde baru yang bersifat represi (menekan, mengekang, menahan,

7 Linden, Adriaan Leo Victor Lambert van der,"De Europeaan in de Maleische

literatuur". Ten Brink,1937. Hal, 361


8 Rouffaer, G.P., Muller, W.C."Catalogus der Koloniale Bibliotheek van het Kon.

Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Ned. Indië en het Indisch Genootschap. -
SUPPL. 7". Nijhoff,1915. Hal. 181.
9 Poëzie zelfs tegen voetbal. "Algemeen Dagblad". Rotterdam, 20-06-1974.
10 Poëtry-sfeer lijkt op die van popfestival Holland Festival 1974. "Het vrije volk:

democratisch-socialistisch dagblad". Rotterdam, 21-06-1974, p. 11.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 15


menindas) sangat berat baginya, tetapi di balik kepedihan ada juga kebagiaan,
melahirkan karya-karya besar dari penderitaan yang dialaminya.
Satu kesamaan tiga tokoh ini, berasal dari Riau (Riau dimaksud adalah
Riau dan Kepulauan Riau), sebab asal nama Riau berasal hulu sungai carang, yang
disebut sungai Riau. Tak jauh dari hulu sungai carang, ada pulau Pulau
Penyengat, di situlah tempat Raja Ali Haji berkarya, dan makamnya juga di pulau
itu. Sementara Soeman Hs berasal dari Bengkalis –sebagian sumber dia lahir di
Kota Nopan, kemudian ayahnya membawanya ke Bengkalis--. Soeman Hs
mendapatkan ilmu khazanah sastra melayu. Bengkalis pernah menjadi ibu kota
residen Sumatera Timur, yang kemudian ibu kota dipindahkan ke Medan.
Soeman Hs melanjutkan pendidikan ke Medan, dan mengabdi menjadi guru di
Pasirpengarian, dan di Pekanbaru sampai akhir hayatnya. Sutardji Calzoum
Bachri lahir di Rengat, Provinsi Riau juga, sejak kecil mendapatkan khazanah
sastra melayu, walau kuliahnya di Unpad.

Kesimpulan
Karya sastra itu tidak muncul mendadak seperti naskah yang turun dari
langit, tetapi ada kondisi yang mempengaruhinya, sehingga menjadi karya besar
dizamannya. Filsafat determinisme menjelaskan bahwa sebuah karya, termasuk
karya sastra, tidak terlepas interaksi penulis dengan kondisi lingkungannya, baik
lingkungan fisik (alam dan tataran kehidupan penulis) dan non-fisik (pemikiran
yang mempengaruhi penulis). Misalnya Sulalatus Salatin karya besar Tun Sri
Lanang, muncul karena adidaya kesultaan Melaka, kemudian naskah Sulalatus
Salatin diselesaikan di Aceh, karena Aceh menaklukkan Johor. Demikian juga
Syair Perang Siak, adalah produk dari Perang Guntung, perlawanan Kesultanan
Siak melawan VOC di Pulau Guntung.
Pengaruh sastra klasik sangat kuat kepada Raja Ali Haji. Raja Ali haji yang
produkti di masa 1840an sampai 1870an. Beliau berhasil memilah antara fiksi
(Gurindam dan Syair) dan non-fiksi (Tuhfah An-Nafis) dan opini atau pemikiran
(Tsamarat Muhimah, Muqoddimah). Ia juga berhasil melahirkan Kitab
Pengatahuan Bahasa.

16 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Soeman Hs di posisi pertengahan (posisi antara), dia produktif di masa
1930an sampai 1960an. Sementara Sutardji Calzoum Bachri, dia produktif di
masa Orde Baru sampai kini, sejak tahun 1970an sampai kini.***

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 17


Sastra dan Melayu,
Melayu dan Sastra,
Dulu, Kini dan Esok
Griven H. Putera

“Puncak sebuah karya sastra ialah kehidupan. Dan sejarah sebagai suatu
catatan peristiwa dalam kehidupan dapat saja dipandang sebagai salah satu
bagian dari punca. Maka dengan memanfaatkan bahasa dapatlah
kesustraan dipandang sebagai puncak yang bertolak dari punca tadi.
(Hasan Junus, 1997: 121)”

18 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


SASTRA bagi Melayu ibarat sayur dan garam. Tak menjadi komplek
kemelayuan itu jika tak ada sastra didalamnya. Kehidupan orang Melayu tak
pernah lepas dari sastra. Denyut nafas orang-orang Melayu itu adalah sastra.
Tersebab itulah maka orang-orang Melayu dalam kesehariannya sangat akrab
dengan pantun, petatah petitih, syair, gurindam, seloka dan bentuk sastra
lainnya.

Melayu dan Sastra


Sastra dan Melayu, Melayu dan Sastra adalah dua kata dan peristiwa yang
tak dapat dipisahkan. Seolah tidak Melayulah orang itu kalau ia tak bergelimang
dengan sastra dalam hidupnya walaupun itu tanpa disadarinya.
Mulai dari ayunan, anak-anak Melayu sudah diakrabkan dengan sastra,
seperti diayunkan dengan Nandung, Baghandu, Nyanyi Panjang, Kayat, Koba dan
tradisi-tradisi sastra lisan lain di belahan negeri Melayu lainnya.
Sebagaimana diketahui bahwa sastra Melayu itu berada dalam dua genre,
yaitu lisan dan tulisan. Sebelum munculnya tradisi tulisan, orang Melayu sudah
akrab dengan sastra lisan, berupa hikayat, koba, nyanyi panjang, dan lain
sebagainya. Baik dalam bentuk foklor biasa taupun legenda.

Sastra Melayu Lama


Sastra yang berkembang di Riau juga lisan dan tulisan. Yang berperan
dalam sastra lisan itu adalah, pertama tokoh tradisi seperti dukun, bomo,
pawang, kemantan, guru silat. Karya sastra mereka dalam bentuk mantra dan
petuah. Kedua, tokoh adat, yaitu datuk dan para ketiapan. Karya mereka dalam
bentuk petatah-petitih pada upacara perkawinan dan nilai-nilai adat budaya
kemasyarakatan. Ketiga ulama. Karyanya dalam bentuk doa-doa bernuansa
sastra dan kisah-kisah nabi. Keempat pengarang anonim. Karya mereka terlihat
pada berbagai cerita rakyat dan legenda termasuk asal usul suatu negeri.
Sedangkan yang berperan dalam tradisi tulisan di Riau adalah para
intelektual yang mulai menulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab atau Arab
Jawi/ Arab Melayu. Selain itu juga terdapat naskah tulisan campuran Arab dan
latin. Pun terdapat juga naskah bertulisan latin.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 19


Periode Perkembangan Sastra Melayu
Menurut Mahmud Muhsinin (2019), ada 3 periode perkembangan sastra
Melayu, yaitu periode Hindu-Budha; periode awal Islam; dan periode klasik.
Periode Hindu-Budha merupakan periode dari abad 7 hingga abad ke-14.
Pada periode ini wilayah Sumatera dan Semenanjung Malaka dalam pengaruh
Hindu-Budha. Pada periode ini bangsa Melayu mulai mengenal bentuk membaca
dan menulis. Karya sastra yang berkembang pada masa ini didominasi oleh
hikayat-hikayat dari Hindu-Budha.
Periode awal Islam merupakan periode masuknya Islam ke nusantara.
Pada masa ini sastra Melayu mulai diislamisasikan, mereka mengenal Islam
dengan budayanya. Periode ini di abad ke-14 sanpai abad ke-16.
Periode klasik sastra Melayu. Periode ini di abad ke 16 sampai abad ke-19.
Di masa ini karya-karya sastra Melayu menunjukkan jatidirinya sebagai sastra
bagian dari budaya dunia Islam

Pengaruh Karya Sastra Lama


Terhadap Karya Sastra Melayu Modern
Sejarah Melayu atau Sulalatus Salatin karya Tun Sri Lanang yang
merupakan nama pena dari Tun Muhammad ini dipandang paling terkenal dan
berpengaruh dalam keberlangsungan sastra Melayu terutama teks tertulis
karya-karya pengarang berikutnya. Disebut terkenal karena sangat banyak
jumlah kajian yang telah dilakukan pada naskah ini. Naskah yang ditulis Tun Sri
Lanang pada 1612 M ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John
Leyden. Terjemahan ini terbit pada 1821 M setelah ia meninggal dunia. Sesudah
itu banyak sekali dikaji oleh para sarjana dari berbagai belahan dunia.
Kitab Sejarah Melayu ini besar peranan dan pengaruhnya karena,
pertama begitu luas geografi dan cakupan teksnya; kedua, panjang rentangan
waktu di dalamnya; serta ketiga banyak sekali aspek kehidupan berbagai puak
dan suku bangsa yang telah direkamnya.
Sejarah Melayu yang mengandung muatan sejarah, fiksi dan khayal ini
mendedahkan tentang Alexander The Great atau Iskandar Zulkarnain, Raja Kida

20 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Hindia, Raja China, Raja Mojopahit, Raja Malaka, Raja Pasai serta sejumlah raja-
raja yang ada.
Apakah karya yang lahir dari tokoh tradisi, tokoh adat, ulama dan
pengarang anonim serta kitab Sejarah Melayu dan karya-karya sesudahnya
mempengaruhi karya-karya anak Melayu seusudahnay terutama pengarang
Riau?
Pengaruh itu tetap ada walaupun tidak signifikan, terutama cara
menggunakan dan mengungkapkan kata-kata serta cara menyajikan kisah, dan
sbagaian cara itu masih digunakan oleh pengarang di Riau. Namun pengaruh
langsung seperti tidak terlihat. Yang paling tampak jelas adalah spirit
kemelayuan. Selain itu adalah pengucapan lidah Melayu yang petah (fasih), yang
masih diwarisi hingga kini. Orang-orang Melayu memiliki pola pengucapan yang
khas, dan memiliki pola yang beragam dalam menyampaikan pesan.
Selain itu juga, sebagai rumah alam kata-kata, Melayu tetap menjadi
rumah besar lahirnya karya-karya yang kaya dengan kata-kata, diksi dan
metafor serta perisa dan pribahasa. Khusus Riau, sastrawan Melayu Riau tetap
terdepan melahirkan karya-karya yang bernas serta memiliki kekayaan diksi,
metafor dan lain-lain tersebut, baik yang bermastautin di Riau maupun yang
berada di tempat lain. Ini menunjukkan orang Melayu cerdas. Bukankah bahasa
merupakan buah kecerdasan?

Mazhab Riau
Menurut UU Hamidy (2013: 160), ada tiga warna mazhab Riau:
Pertama, masa silam, yakni karya-karya yang terinspirasi dari peristiwa
sejarah masa lalu serta gambaran kehidupan puak Melayu tardisional; kedua,
warna Islam.
Meskipun tidak sekental pada gelombang pertama, tetapi tetap lestari
dalam karangan pengarang Riau; ketiga warna masa kini. Warna ini bercabang
dua, pertama mengenai keresahan yang ditimbulkan oleh kerusakan alam semula
jadi; kedua tentang kezaliman yang mendera kehidupan Puak Melayu di Riau,
baik oleh tangan kekuasaan pemerintah pusat sejak pemerintahan Soeharto
maupun oleh pemerintah sekarang (pusat dan daerah). Hemat saya, warna masa

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 21


kini yang disitilahkan UU Hamidy tersebut, yang dikenal dengan sastra
perlawanan memang muncul pada dekade terakhir ini, setidaknya pada era 80-
an, dan itu mengacu pada peristiwa politik di mana masyarakat Riau merasa
dalam penindasan sehingga lahirlah karya-karya yang memberontak seperti
karya Taufik Ikram Jamil, Abel Tasman, Syaukani Alkarim, Marhalim Zaini, Hang
Kafrawi, Griven H Putera dan lain-lain.
Tradisi pengarang Riau dalam gelombang pertama lebih banyak
mengambil bentuk puisi dengan penampilan hikayat dan syair, di samping
gurindam dan pantun. Syair dan hikayat kemudian berkurang, lalu akhirnya
muncul bentuk novel (roman) oleh Suman HS tahun 1930-an. Dalam gelombang
kedua, novel dan puisi semakin dominan, meskipun cerpen juga mulai
berkembang melalui surat kabar Haluan terbitan Padang. Di Jakarta, puisi pola
mantra dengan pelopor Sutardji Calzoum Bachri yang telah membuka wawasan
estetika baru dalam perpuisian Indonesia. Sementara di Riau tampil Ibrahim
Sattah dan lain-lain.
Di gelombang ketiga, menurut UU Hamidy puisi pola mantra memang
tidak lagi begitu kentara, terutama sejak meninggalnya penyair Dasri Almubary.
Namun begitu ragam puisi semakin banyak: ada pola puisi bebas, puisi pola surat,
pola gurindam dan sebagainya. Di samping itu, jenis cerita jenaka ternyata juga
terpelihara dengan baik.
Hemat saya, ciri khas mazhab Riau (kalau memang sudah ‘dita’linkan’)
adalah pertama dan utama kegemulaian, kelenturan atau keelokan bahasa, dan
mudah dipahami oleh siapapun dari latar kebudayaan apa dan di manapun.
Inilah yang menjadi akar tunggang penyebab bahasa Melayu disebut sebagai
lingua franca. Sehingga bahasa Melayu menjadi bahasa ibu dari berbagai negara,
terutama di kawasan Asia Tenggara hari ini.

Peta Sastra Riau Terkini


Matinya beberapa surat kabar cetak membuat sulit mendeteksi karya
mana yang bernas. Menjamurnya media online dan media sosial membuat orang
bebas berkarya dengan selera masing-masing. Orang sudah agak mulai
melupakan sastra serius. Ini amat memprihatinkan. Karya sastra hanya menjadi

22 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


mainan dan timang-timangan para sastrawan semata. Ia tak dapat lagi berfungsi
pokok, yaitu sebagai dulce dan utile, yaitu yang menghibur dan memberi manfaat
bagi orang lain. Masyarakat tak begitu peduli. Apalagi ekonomi masyarakat
awam kian merosot. Karya yang muncul berupa digital barangkali hanya
dinikmati anak-anak generasi milenial semata yang melek teknologi.

Apa yang Harus Dilakukan ke Depan?


Pertama, melakukan penerbitan, seperti koran, majalah maupun buku
dalam bentuk tunggal maupun antologi bersama yang menjadi barometer atau
ruang untuk menakar dan mengukur kebernasan suatu karya. Buku, majalah,
surat kabar ataupun media online ini mesti dilakukan kurasi yang ketat seperti
pernah dilakukan media cetak di masa lalu bagi karya-karya sastra. Bentuk
media boleh digital maupun cetak.
Situasi terkini. Akibat berseraknya media online dan media sosial, dan
siapa saja boleh serta dapat menerbitkan karyanya maka menjadi penulis tidak
lagi menjadi suatu kebanggaan, prestise bagi orang-orang tertentu, termasuk
sastrawan Melayu Riau. Di antaranya Abel Tasman. Ia memilih pensiun jadi
sastrawan, ujarnya suatu kali ketika melihat semua orang dapat menerbitkan
karya mereka, baik dalam bentuk novel kumpulan cerpen, antologi puisi maupun
karya-karya lainnya. Sebab di zamannya berkarya, bukunya baru terbit setelah
karya tersebut memenangkan lomba. Penghargaan diperoleh melalui hadiah
lomba dan royalty penerbit. Hari ini justru terbalik, penerbit dibayar penulis
untuk menerbitkan dan mencetak karyanya.
Kedua, apresiasi mutlak diperlukan. Bentuk apresiasi ini dapat dalam
bentuk award/ anugerah maupun bantuan langsung kepada para sastrawan jika
menerbitkan karya mereka, baik dalam bentuk buku maupun karya yang terbit
di media, dan yang utama melakukan ini adalah pemerintah dan pihak swasta
yang bermastautin di Riau.
Ketiga, pemberdayaan kelompok-kelompok diskusi kebudayaan. Dari segi
kuantitas dan kualitas, grup-grup diskusi seni sastra budaya amat diperlukan
untuk membangkitkan kembali semangat berkarya dengan perisa Melayu. Toh,
bukankah tidak ada ruginya berkarya dengan style Melayu? Justru Melayu telah

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 23


memperlihatkan dan membuktikan sumbangannya bagi dunia dalam mengisi
dan memaknai kehidupan, terutama spiritnya dan kemolekan bahasanya.***

Wallahu a’lam.

Hamba yang faqir,


GHP

Pekanbaru, 16 September 2023

24 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Yang Kuno
dan yang Kini
Marhalim Zaini

“Tak adalah tempat lagi bagi pantun pepatah, bagi syair berukuran dan
bertakaran yang penuh dengan kata, kiasan dan sajak yang pucat lesi tiada
berdarah itu...” (Sutan Takdir Alisjahbana).

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 25


AGAK berbeda rupanya dengan Sutan Takdir Alisjahbana (1934),
sastrawan Pujangga Baru itu, yang sejak sebelum negeri ini merdeka sudah
mengatakan bahwa sastra lisan kita sudah mati-semati-matinya, sementara hari
ini kita justru seolah baru merasa ketakutan bahwa sastra lisan kita akan menuju
kematiannya. Maka pertanyaan kita yang paling kerap muncul kemudian adalah,
bagaimana mesti mencari ruang bernapas bagi pantun, gurindam, syair,
mantera, petatah-petitih, dongeng, dan berbagai sastra lisan lainnya, dalam
dunia yang hiper-realitas semacam ini? Tentu, baik STA maupun kita,
sesungguhnya sedang dirundung kerisauan. STA risau, lalu mengkritik untuk
kemudian hendak membangkitkan spirit optimisme untuk lepas dari belenggu
“masa lalu”—meskipun Maman S Mahayana (2016) menyebut, pernyataan-
pernyataan STA semacam inilah awal sebab reputasi syair dan pantun memudar
dalam khazanah sastra Indonesia.
Ya, kita semua sepakat, memudar—dengan tidak sepenuhnya
“menyalahkan” STA sebagai penyebabnya. Tapi, kita juga sepakat, ia belum
(tentu) mati—apalagi “semati-matinya.” Karena (hanya) memudar itu, lalu
berbagai upaya orang lakukan untuk “mengelap-ngelapnya”. Apalagi kemudian,
begitu desentralisasi terjadi, ada semacam kesadaran kolektif yang bangkit di
berbagai komunitas bangsa, untuk kembali meneguhkan identitas kulturalnya—
yang selama ini seolah tunggal oleh kuasa-politik yang hegemonik. Dan semua
meyakini, yang paling ampuh alat peneguhan itu adalah seni, adalah sastra
(bahasa), adalah tradisi. Sebab di sana terdapat nilai-nilai, kearifan-kearifan
(local wisdom) yang tersimpan dengan rapi. Meskipun, hidup yang cenderung
kian pragmatis hari ini, membuat banyak orang “memanfaatkan” kesadaran
kolektif atas nilai itu, sebagai “kuda tunggangan” untuk kepetingan-
kepentingan pragmatis pula. Maka kerja “mengelap-ngelap” tradisi itu terkesan
sebagai kerja ala-kadarnya, euforia belaka, seremoni semata, dan miskin esensi.
Tanpa menafikan kerja-kerja fisik membangun simbol-simbol artefak
kebudayaan, kerja kreatif yang paling nyata sebagai peneguhan identitas
kultural itu adalah penciptaan karya sastra/seni. Tapi, tidak pula mudah bicara
ihwal dunia penciptaan dalam sastra, terlebih ketika bicara tentang sastra lisan
dan ranah kelisanan (orality). Sebab kerja subyektif penciptaan puisi modern

26 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


(bebas), berbeda jauh dengan proses penciptaan puisi lisan. Puisi modern lahir
dari permenungan individu sang penyairnya dalam kamar sunyi, sementara
puisi lisan lahir dari rahim (sistem nilai dan kepercayaan) masyarakatnya di
gelanggang sosial yang ramai, tanpa ada yang “berhak” mengklaim menjadi
pemiliknya, sebagai penciptanya. Para penutur puisi lisan, seperti Nyanyi
Panjang, Koba, Syair, dan sejenisnya, tak pernah menganggap dirinya
“sastrawan” atau “penyair.”
Namun, dikotomi antara lisan (orality) dan tulisan (literacy), tidaklah
sepenuhnya dapat membuat posisinya saling berhadapan, vis-a-vis. Sebab
dikotomi itu ada karena pandangan kita kerap membedakan dan
membandingkannya secara ekstrem, seperti kita membedakan antara yang
tradisional dan modern—seolah keduanya entitas yang terputus, dan tak saling
mengkait. Boleh jadi juga, konsepsi Walter J. Ong (1977) yang menyebut ada tiga
era yang menunjukkan priodeisasi perkembangan sebuah peradaban
masyarakat: lisan primer, kapitalisme cetak, dan kelisanan sekunder (secondary
orality) itu, secara tidak langsung turut memperkuat pandangan dikotomis itu.
Efek buruknya, segala sesuatu yang lampau itu jadi kuno. Dan sayangnya, segala
yang diberi label “kuno” itu, selalu identik buruk jika dibandingkan dengan yang
“kini.” Segala yang kini, yang mutakhir, seolah menandakan yang paling hebat.
Maka muncullah pandangan bahwa pantun tidaklah lebih hebat dari puisi bebas,
syair lebih rendah “nilai estetika”-nya dibanding puisi naratif, dan seterusnya.
Hemat saya, pandangan dikotomis itu, sesungguhnya tidak pula
sepenuhnya terjadi dalam dunia penulisan puisi di Riau. Sebab pada
kenyataannya, seperti yang tampak dalam buku antologi ini, di tengah gairah
penciptaan puisi/sastra modern, sastra lama masih terus saja lahir. Tokoh kita
Tenas Effendy adalah nama yang abadi dalam khazanah kesusastraan Melayu.
Para pemantun kita, salah satunya M. Nasir Penyalai, baik yang lisan maupun
yang sudah menulisnya, masih terus bermunculan. Begitu pula para pelantun
syair, maupun para penulis syair (meski tidak banyak, macam Abdullah, GP. Ade
Dharmawi, dan T. Zulkarnaen), tetap terus ada di kampung maupun di kota.
Sementara pada genre prosa, dongeng (cerita rakyat) misalnya masih menjadi
kekuatan tersendiri dalam tradisi tutur kita, sampai kini.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 27


Mengaburnya pandangan dikotomis (tradisi-modern) itu kemudian
tampak dalam karya puisi modern yang lahir dari para penyair Riau. Seolah
semacam estafet “penyambung nyawa” sastra Melayu lama, dengan secara
sengaja, atau tak sengaja, sastra Melayu lama masih menjadi “kekuatan”
sekaligus “identitas” perpuisian kita, yang tidak sepenuhnya ditinggalkan dalam
proses kreatif penciptaan puisi modern. Tentu, yang secara sengaja, dan ditandai
dengan kredo kepenyairan sebagai bentuk “pertanggung-jawaban” kreatif,
adalah Sutardji Calzoum Bachri. Mantera, sebagai salah satu genre puisi Melayu
lama, secara sadar ditempatkan sebagai spirit eskplorasi kata dalam puisi-
puisinya. “Dan kata pertama adalah mantera,” tulis Tardji, “Maka menulis puisi bagi
saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.”
Salah satu puisinya yang merepresentasikan konsepsinya itu adalah yang
berjudul “Mantera” (dalam buku O Amuk Kapak, 1981) berikut ini:

Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mangasapi duka

puah!
kau jadi Kau
Kasihku

28 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Elaborasi mantra dengan makna-makna baru dalam bentuk puisi modern,
telah membawa Sutardji untuk merumuskan kredo puisinya “membebaskan kata
dari makna.” Inilah kontribusi besar Sutardji—sebagai penyair yang berasal dari
(Melayu) Riau—dalam memberikan kebaruan dan kesegaran puisi modern
Indonesia, yang menurut Maman S Mahayana, “ternyatalah Sutardji lebih besar
dari Chairil Anwar.” Sebab bagi Maman, Sutardji bukan sekedar
menerjemahkan-menafsirkan budaya Timur-Barat, melainkan peletak dasar
estetika sastra Indonesia.
Selain Sutardji, ada Ibrahim Sattah, meskipun tidak disertai kredo.
Terutama secara bentuk, puisi-puisi Ibrahim Sattah tampak “sealiran” dengan
Sutardji. Keberangkatannya menulis puisi, juga dari upaya mengelaborasi
mantra Melayu. Entah siapa yang terlebih dahulu menemukan cara berpuisi
yang semacam ini, yang pasti, sebagai kawan seangkatan dalam berkarya,
mereka berdua telah sama-sama memperkuat satu genre puisi dalam khazanah
sastra Indonesia, yakni “puisi mantra.” Tentu, mereka memiliki kekuatannya
masing-masing, dengan daya kreatifitasnya masing-masing. Meskipun, boleh
jadi kemudian, untuk beberapa puisinya, ditemukan saling keterpengaruhan itu
(sebagaimana juga Slamet Sukirnanto pernah menulis “Mengenal Ibrahim
Sattah,” dalam Pelita, 19 September 1978). Semisal dalam penggalan puisi
berikut:

dukaku dukakau dukarisau duka kaliandukangiau


resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
(O karya Sutardji Calzoum Bachri)

duka itu saya saya ini kau kau itu duka


duka bunga duka daun duka duri duka hari
(Duka karya Ibrahim Sattah)

Pada generasi berikutnya, “puisi mantra” masih tetap menjadi spirit


tersendiri. Setidaknya genre ini masih tetap “dianut” oleh beberapa penyair.
Salah satunya, yang tampak dengan bersungguh-sungguh dan konsisten dalam
menekuni genre ini, kita bisa menyebut satu nama dari Kepulauan Riau, yakni

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 29


Akib (Abdul Kadir Ibrahim). Terutama dalam buku puisinya 66 Menguak (1991)
dan Negeri Airmata (2004), Sapardi Djoko Damono (sebagai pengulas buku
tersebut) pun menemukan pengaruh mantra dalam puisi-puisi penyair yang ini.
Al azhar, yang pernah membicarakan buku 66 Menguak di tahun 1992
(sebagaimana juga dicatat dalam pengantar Akib sendiri) menyebut Akib adalah
“mata rantai” puisi mantra setelah Sutardji dan Ibrahim Sattah. Meskipun
ketiganya sama-sama berangkat dari mantra, namun tetap memiliki
kekhasannya masing-masing. Al azhar menandaskan kekhasan itu, misalnya
Sutardji kata-kata puisinya bebas makna, Ibrahim kata-kata puisinya permainan
anak-anak, dan Akib kata-katanya bermakna.
Hemat saya, mata rantai itu tidak juga putus sampai di situ. Kalau hendak
menelusuri puisi-puisi dari sejumlah penyair yang lain misalnya, maka kita akan
juga menemukan model “puisi mantra.” Meskipun tentu dengan frekuensi yang
berbeda-beda, dan kadang tampak lebih bersifat insidental. Artinya, “puisi
mantra” di situ tidak sebagai aliran arus utama dalam proses penciptaannya,
akan tetapi tetap bisa kita lacak dengan mudah jejak-jejak mantranya (misalnya
dalam puisi TM. Sum, Dasry Al Mubary, bahkan Tabrani Rab dalam “Balada Kota
Mati”). Beberapa puisi Rida K Liamsi juga, dalam Tempuling (2002) misalnya juga
memperlihatkan indikasi itu. Tengoklah puisi berjudul Elegi (I), Elegi (I)
Mengenang Mishima, Pada Jam Dua Puluh Lima, dan Rose (I).
Andai dapat kita cirikan ‘puisi mantra” dengan pemakaian repetisi
(pengulangan), lalu dengan tempo atau ritme yang cenderung cepat, maka mata
rantainya juga bisa kita lihat dalam puisi Ratap Keasingan karya Taufik Ikram
Jamil (dalam buku Tersebab Haku Melayu, 1995). Misalnya pada bait ini:

telah jadi januari ke oktober


telah jadi februari ke november
telah jadi maret ke desember

30 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Atau pada bait berikutnya:

alilah dikau adnanlah dikau


khalidlah dikau adnanlah dikau
kalsumlah dikau aisyahlah dikau
hasanlah dikau tardjilah dikau
kaulah dikaulah engkaulah itu

Maka sesungguhnya, tradisi “puisi mantra” masih terus hidup dalam


puisi-puisi yang lahir dari generasi penyair berikutnya, bahkan boleh jadi juga
pada penyair-penyair mutakhir kita hari ini. Dengan begitu, jika Jamal D Rahman
dalam sebuah esai pernah menyatakan bahwa mantra itu hanyalah “tradisi
kecil” dalam kebudayaan Melayu, dan membandingkannya dengan “tradisi
besar” berupa “moralitas, intelektualitas, spiritualitas, nilai-nilai kerohanian,
dan kearifan yang terpancar antara lain dalam bahasa Melayu yang cemerlang,”
maka saya kira, Jamal sedang melupakan bahwa tradisi-tradisi kecil itulah yang
kemudian membangun tradisi besar. Tradisi kecil macam mantra-lah sebagai
“saripati” bahasa Melayu, yang kemudian menjadi tonggak-tonggak
kecemerlangan bahasa Melayu.
Selain mantera, hampir semua genre sastra Melayu (lama) yang lain dapat
kita temukan dengan mudah, tersembunyi atau malah terang-terangan, tentu
dengan “wajah” dan “spirit”-nya yang “baru” dalam puisi-puisi Melayu
(modern) Riau. Pantun, syair, dan gurindam misalnya, dapat diwakili puisi-puisi
yang terhimpun dalam buku ini, seperti Idrus Tintin (pantun), Ediruslan PE
Amanriza (syair, mantera), Fakhrunnas MA Jabbar (mantra dan pantun),
Mustamir Thalib (gurindam), Hafney Maulana (pantun dan syair), Temul Amsal
(gurindam dan syair), Marhalim Zaini (syair dan petatah-petitih), Jefry al Malay
(syair dan pantun), Kunni Masrohanti (mantera), dan sejumlah nama lain.
Tentu saja, masih banyak lagi puisi-puisi dari para penyair Riau, yang tak
terhimpun dalam buku antologi ini, yang secara sengaja atau tidak telah
mengambil “spirit” penciptaan dari puisi Melayu lama. Saya kira, di tahun-tahun
mendatang, penting untuk ditelisik lebih jauh dan luas, dengan penelitian yang
lebih komprehensif, yang lebih banyak lagi melibatkan para penutur lisan

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 31


maupun penyair (modern). Sehingga, kita lebih dapat menegaskan bahwa
sesungguhnya, sastra Melayu itu tetap terus hidup sampai kini, dan dengan
begitu, ia bukanlah “batang terendam” ***

32 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Media Baru dan Energi
Kreatif Alih Wahana
1
Sastra Melayu
M Badri2

1 Disampaikan pada bincang sastra Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) 2023 ditaja
Suku Seni Riau, 23 September 2023.
2 Penulis Cerpen dan Puisi, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FDK UIN Suska Riau.
http://www.negeribadri.com

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 33


REVOLUSI Industri 4.0 menandai perubahan ragam dan bentuk
teknologi, termasuk teknologi komunikasi, khususnya teknologi media.
Perubahan teknologi media selalu sejalan dengan perubahan terpaan media
yang mempengaruhi pola konsumsi media. Berbagai perubahan dalam ranah
media ini akan bermuara pada evolusi konten media. Konten sastra, salah satu
yang mengalami evolusi. Tiga dekade lalu, sastra masih identik dengan medium
kertas: koran, majalah, buku, dan medium kertas lainnya. Kini, kita menemukan
beragam bentuk dan genre sastra di media baru (new media). Sebab munculnya
media baru mengubah pola produksi, distribusi, penerimaan, dan
kepemilikan media (Badri, 2022).
Dua dekade lalu, perubahan masif wahana sastra dari kertas ke digital
ditandai dengan munculnya genre sastra siber. Salah satu yang rutin saya ikuti
adalah cybersastra(dot)net. Media sastra siber itu kemudian merangsang euforia
menulis, terutama penulis pemula, karena dianggap lebih demokratis menerima
perbedaan gaya penulisan, termasuk munculnya teks-teks nakal dan liar (Badri,
2005). Akibatnya, medium siber yang menumbuh- suburkan karya sastra net
generation kala itu itu sering dianggap “tong sampah” oleh sebagian sastrawan
Boomers. Namun karena perubahan teknologi media merupakan suatu
keniscayaan, maka “tong sampah” itu kini malah menyuburkan dunia sastra
Indonesia maupun Internasional (Suraja, 2021). Anggapan yang (mungkin) sama
terhadap konten “ala-ala sastra” di media sosial saat ini.
Alih-alih semakin alergi dengan munculnya media baru, kini karya sastra
didorong untuk dialihwahanakan dari teks menjadi multimedia. Hal ini tidak
lepas dari perubahan akses media, dari budaya membaca menjadi budaya
melihat. Perubahan relasi manusia dengan teknologi membuktikan bahwa
tumbuhnya media baru dalam peradaban masyarakat baru yang dikenal dengan
Society 5.0, juga menuntut kreativitas berkarya (sastra) dalam wahana baru.
Sejarah mencatat, wahana baru pada masa itu (sastra siber) mendorong
terciptanya ranah sastra multikultural, dalam konteks budaya maupun generasi.
Lunturnya batas-batas geografis di dunia siber membuat semua kelompok

34 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


budaya dapat berdampingan, dengan karakter lokalitasnya masing-masing
(Badri, 2011). Maka, sastra Melayu dengan lokalitasnya mendapatkan energi
baru untuk meramaikan riuhnya konten sastra di media baru.

Energi Media Sosial


Alih wahana pada dasarnya merupakan pengubahan suatu jenis sastra
atau kesenian kejenis sastra atau kesenian lain. Dalam proses alih wahana akan
terjadi perubahan imaji linguistik menjadi imaji visual (Faidah, 2019), sehingga
proses alih wahana memerlukan kerja kreatif yang serius dan cermat agar
wahana baru itu tidak kehilangan “ruh” karya aslinya. Alih wahana karya sastra
sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Jauh sebelum ada teknologi media digital,
sudah banyak karya sastra yang dialihwahanakan. Misalnya dari puisi menjadi
musikalisasi puisi, prosa menjadi seni pertunjukan, novel menjadi film, dan
sebagainya. Pada tahun 1990-an salah satu roman karya sastrawan Riau Soeman
HS “MencariPencuri Anak Perawan” dialihwahanakan menjadi sinetron dengan
judul sama di TVRI. Alih wahana roman berlatar Bengkalis terbitan Balai Pustaka
(1932) tersebut, menarik perhatian penonton karena dibintangi oleh aktor
nasional yang sedang naik daun, Advent Bangun.Sebelum alih wahana roman
Soeman HS, TVRI juga membuat proyek alih wahana roman Siti Nurbaya dan
roman Sengsara Membawa Nikmat yang berlatar Sumatera Barat.
Jika alih wahana karya sastra Melayu “Mencari Pencuri Anak Perawan”
bisa menjadi magnet pagi penonton televisi nasional tahun 1990-an, maka di
era media baru ini mestinya banyak energi kreatif yang bisa disalurkan untuk
mengalihwahanakan karya-karya sastra Melayu lainnya, baik yang klasik
maupun modern. Ini menjadi tantangan bagi pegiat sastra dan seni yang
bertumbuh di media baru. Terutama generasi Z yang dalam kesehariannya tidak
lepas dari konten media sosial: TikTok, YouTube, Instagram, dan sebagainya.
Generasi yang lahir antara 2001 sampai 2010 ini, akan menentukan masa depan
Indonesia dalam proyeksi bonus demografi 2030. Tentunya, termasuk masa
depan sastra Indonesia.
Alih wahana media lama seperti musikalisasi puisi atau seni pertunjukan,
kini dapat dialihwahanakan lagi menjadi bentuk baru, paling lazim adalah

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 35


konten media sosial. Lihat misalnya video pembacaan cerpen Seno Gumira
Ajidarma “Sepotong Senja untuk Pacarku” oleh Abimana Aryasatya
(https://www.youtube.com/watch?v=iYshROLcjzY) dan Dian Sastrowardoyo
(https://www.youtube.com/watch?v=jdILJXQIkG4) yang sudah ditonton
ratusan ribu kali dan mendapat ratusan komentar positif sejak tayang tiga tahun
lalu. Bahkan, saat ini menjadi tren alih wahana novel laris menjadi film di
streaming berbasis langganan.
Masih banyak bentuk alih wahana yang bisa dijadikan proyek kreatif,
seperti audiobookyang dapat didengar di Podcast, puisi-puisi dalam bentuk single
image, carousel, dan reels di Instagram, maupun film pendek adaptasi dari puisi
dan cerpen. Produksi film pendek berdasarkan cerpen misalnya, dapat dilihat
pada beberapa film pendek berjudul “2BR02B" alih wahana dari cerpen fiksi
ilmiah berjudul sama karya penulis Amerika Serikat, Kurt Vonnegut Jr
(https://www.youtube.com/watch?v=RgaID8bRPLk). Lalu bagaimana dengan
alih wahana di media sosial yang populer di kalangan generasi Z? Coba telusuri
TikTok dan Instagram, kita akan menemukan ribuan konten pembacaan puisi
maupun visualisasi teks puisi. Ini menunjukkan bahwa minat terhadap karya
sastra tidak punah, hanya akses medianya yang berubah. Realitas ini tentunya
menjadi tantangan bagi pegiat sastra untuk merespons kebutuhan asupan sastra
bermutu di era media sosial ini.
Sejatinya, alih wahana karya sastra dapat mengatasi rabun sastra pada
genarasi muda. Karena karya sastra harus berbaur dengan teknologi multimedia
yang berkembang pesat, dengan menyajikan karya dalam berbagai rupa
(Haryanto et al. 2002). Rabun sastra merupakan istilah yang dicetuskan penyair
Taufik Ismail dalam Kongres Bahasa Indonesia VII pada 1998. Istilah tersebut
lahir dari keprihatinan masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman atas
beberapa karya sastra Indonesia yang merupakan bagian dari kanon sastra
Indonesia (Nugraha, 2023). Maka, besarnya energi berkarya di ruang-ruang
media sosial mestinya juga dibarengi dengan energi kreatif untuk alih wahana
guna mencegah rabunsastra pada masa bonus demografi nanti.

36 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Ekosistem Kreatif
Riau dengan akar budaya Melayu memiliki ekosistem kebudayaan yang
baik, karena nilai-nilai kultural merupakan sumber energi tak terhingga untuk
berkarya. Karya sastra merupakan karya kreatif unggulan dari Riau, sejak era
klasik sampai modern. Dari generasi ke generasi penulis-penulis muda dari Riau
terus bertumbuh. Namun belakangan ini kemunculan pegiat sastra, terutama
berbasis teks, dari kalangan generasi Z cenderung berkurang. Apakah ini
menunjukkan memudarnya minat sastra generasi muda? Atau mereka (Gen Z)
ini memproduksi dan mengapresiasi sastra di media lain (baru)? Untuk
mendapat jawaban ilmiah tentunya perlu riset lebih lanjut.
Observasi singkat saya ke beberapa media baru menemukan alih wahana
sastra di media sosial umumnya masih berupa video pembacaan puisi dan
cerpen, video musikalisasi puisi, video seni pertunjukan, visualisasi naskah puisi
(biasanya berupa foto atau video medium kertas atau halaman buku), dan
visualiasi puisi seperti pada kanal YouTube @fiksionalisme
(https://www.youtube.com/watch?v=gz1NxW91sNg). Sementara itu beberapa
bentuk visualisasi pembacaan cerpen (audio dan teks) dapat dilihat pada akun
YouTube @radityadika (https://www.youtube.com/watch?v=W1aTb6
RHL7s&t=158s). Sedangkan Instagram lebih sebagai wahana baru posting puisi-
puisi pendek. Kemudian, penelusuran hasil riset tentang alih wahana sastra di
Google Scholar umumnya berupa kajian alih wahana puisi atau cerpen menjadi
naskah drama, teater, sandiwara, dan film.
Melihat belum variatifnya alih wahana karya sastra di media digital,
tentunya menjadi tantangan bagi pegiat sastra untuk menggaungkan alih
wahana sastra dalam berbagai rupa, misalnya desain grafis, videografis, film
pendek, fotografi, dan berbagai karya digital lainnya. Menjadikan karya sastra
Melayu “dari secupak menjadi segantang” melalui alih wahana tentunya
membutuhkan ekosistem kreatif dan kerja kolaboratif antar pelaku sastra dan
seni. Penulis puisi, cerpen, dan novel umumnya hanya bisa menulis tapi tidak
dapat mengalih wahanakan. Begitu juga sebaliknya, pelaku seni visual dan
audio-visual umumnya tidak memiliki kemampuan menciptakan karya sastra.
Kalaupun ada yang memiliki kemampuan keduanya, tidak banyak.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 37


Kerja kolaboratif membangun energi kreatif alih wahana dapat dimulai
dengan membangkitkan kembali komunitas-komunitas seni dan budaya serta
menggerakkan kembali event diskusi, perlombaan, festival, pameran, dan
sebagainya baik daring maupun luring. Kerja kolaboratif dapat dilakukan dalam
lingkup satu komunitas dengan memperluas aktivitas, maupun kolaborasi antar
komunitas. Kerja kolaboratif diperlukan karena pada aspek pengembangan
konten, generasi Z memiliki kecakapan tinggi dalam melakukan editing konten
sebelum diposting, misalnya mengolah kata, mengedit gambar, dan mengedit
video agar lebih menarik. Generasi Z juga mampu mengintegrasikan konten di
media digital baik berupa teks, foto, maupun video. Tetapi, kecakapan mereka
menghasilkan ekspresi kreatif konten di media digital masih rata-rata dan
cenderung kurang (Badri, 2022). Kurangnya ekspresi kreatif itu akibat
kurangnya kemampuan menciptakan pesan kreatif, dalam konteks sastra yaitu
penciptaan puisi, prosa, dan sebagainya. Ini seperti mengamini jika saat ini
generasi pencipta sastra semakin berkurang, berbanding terbalik dengan
banyaknya konten di media sosial yang “ala-ala sastra”.
Sebagai pegiat sastra, tentunya kita berharap generasi muda masa depan
tidak rabun terhadap karya sastra Melayu klasik seperti pantun, gurindam,
syair, dongeng, dan sebagainya. Jangan-jangan generasi sekarang sudah tidak
mengenal nama-nama dan karya sastrawan Melayu Riau legendaris seperti
Soeman HS, Ibrahim Sattah, Idrus Tintin, Hasan Junus, BM Syamsuddin, Sudarno
Mahyudin, Ediruslan Pe Amanriza, dan lainnya. Sebab karya- karya besar
mereka umumnya hanya tersimpan di perpustakaan, jarang yang dapat diakses
di laman digital. Maka, alih wahana terutama di media digital, akan menjadi laku
kreatif untuk mencegah rabun sastra Melayu generasi mendatang. Tabik!***

38 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


“Mazhab Perlawanan”
dalam Prosa Riau Terkini11
Hary B Koriun12

11 Disampaikan dalam Bincang Sastra bertajuk “Wahai Kaum Muda, Pilih Mazab Ali Haji ata
Sutardji: TelisihKarya Generasi Baru Sastra Riau” pada Festival Sastra Melayu Riau (FSMR)
2023 di Studio Suku Seni, Ahad, 1 Oktober 2023.
12 Redaktur Pelaksana/Redaktur Budaya di Harian Riau Pos, Pekanbaru.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 39


ISTILAH realisme dalam sastra, sudah dijelaskan oleh kritikus sastra
Amerika Serikat (AS), MH Abrams, dalam buku Glossary of Literary Terms (1999)
dengan dua pengertian besar. Pertama, yakni nama sebuah gerakan sastra
historis di Barat pada abad 19, yang bisa dibaca dari karya- karya Honore de
Balzac (Prancis), George Eliot (Inggris), dan William Dean Howells (AS). Yang
kedua, sebagai terminologi atas sebuah gaya penulisan, yang bisa ditemukan
pada zaman apa saja, di mana representasi kehidupan dan pengalaman manusia
menjadi tujuan penulisan yang paling penting, terutama seperti dicontohkan
oleh karya-karya para sastrawan gerakan sastra di atas.13
Berbeda dengan fiksi romantik (roman) yang menggambarkan kehidupan
seperti dalam mimpi, seperti hidup yang menyenangkan, petualangan yang
mengasyikkan, kehidupan heroik yang kadang tak masuk akal, dan sebagainya,
fiksi realis adalah potret kenyataan yang akurat atas kehidupan seperti apa
adanya. Fiksi realis berusaha memberikan gambaran kehidupan dan realitas
sosial seperti yang dikenal oleh pembaca umumnya, dan untuk mencapai tujuan
ini tokoh protagonis fiksi biasanya adalah warga masyarakat biasa dalam
kehidupan sosialnya sehari-hari. Selain Balzac, Elliot, dan Howells, juga terlihat
dalam karya para penulis seperti Leo Tolstoy, Emile Zola, Jane Austin, atau
generasi terkini seperti Michael Ondaatje, Orhan Pamuk, dll. Karya mereka
menggambarkan warga masyarakat biasa dan kehidupannya dengan begitu
meyakinkan hingga kita percaya bahwa memang seperti itulah hidup, bicara dan
tingkah laku orang biasa.
Realisme sendiri seperti yang secara umum digambarkan di atas, masih
mengenal dua sub-genre besar yang pengaruhnya sangat dominan dalam
wacana sastra internasional: realisme sosialis dan realisme magis. Realisme
sosialis merupakan terminologi yang dipakai para kritikus Marxisme untuk fiksi
yang dianggap menggambarkan atau merefleksikan pandangan Marxis bahwa
pertentangan antarkelas sosial merupakan dinamika esensial masyarakat.
Dalam pengertiannya yang paling sempit, realisme sosialis merupakan istilah
yang dipakai sejak tahun 1930-an untuk fiksi yang merealisasikan kebijakan

13Saut Situmorang, “Realisme Fiksi Indonesia”, dalam boemipoetra.wordpress.com, 4 Juni


2018.

40 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Partai Komunis Uni Soviet seperti pentingnya penggambaran penindasan sosial
yang dilakukan kapitalis-borjuis, penggambaran kebaikan kaum proletar, dan
penggambaran kehidupan yang aman dan makmur di bawah sosialisme Partai
Komunis.14 Para sastrawan Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer atau Utuy
Tatang Sontani menganut ini pada masanya, yang menginginkan munculnya
masyarakat utopis.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, realisme sosialis, berubah
bentuk menjadi realisme sosial yang tak hanya membenturkan pertentangan
antarkelas sosial, tetapi memotret persoalan masyarakat denga apa adanya.
Karya Balzac, Elliot, Howells, para penulis seperti Tolstoy, Zola, Austin,
Ondaatje, Pamuk, atau karya pengarang Indonesia seperti Ahmad Tohari
dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya, Budi Dharma, dll, adalah karya
realisme sosial. Realisme sosial dan realisme sosialis adalah wajah sastra yang
sama tetapi dengan penekan yang berbeda. Realisme sosialis lebih menekankan
pada Marxisme, sedangkan realisme sosial lebih pada sastra kontekstual. Pada
tahun 1980-an, polemik tentang sastra kontekstual –sastra bertendens—ini
lumayan tajam diperbincangkan dengan dua orang tokohnya, yakni Ariel
Heryanto dan Arief Budiman.15 Dua sosiolog ini menganggap realisme sosial atau
sastra kontekstual adalah sastra yang dekat dengan kenyataan masyarakat
karena memotret persoalan realitas dan bukan tentang Impian kosong. Karya
sastra yang tidak mengawang-awang yang penuh keindahan.
Sementara itu, realisme magis adalah istilah adalah eksperimen dalam
tema, bentuk, isi, sekuen waktu, dan pencampuradukan antara hal-hal biasa,
fantastik, hal di luar nalar, mitos dan mimpi yang mengakibatkan terjadinya
kekaburan antara yang serius dan main-main, yang menakutkan dan absurd,
yang tragis dan komik. Contohnya dalam karya-karya Jorge Luis Borges
(Argentina), Gabriel García Márquez (Kolombia), Isabel Allende (Cili), Günter
Grass (Jerman) atau John Fowles (Inggris). Di Indonesia karya-karya Ayu Utami
seperti Saman, Larung, Bilangan Fu, Manjali, Lalita. juga novel Cantik Itu Luka-nya
Eka Kurniawan, atau karya-karya Danarto, dll, bisa dimasukkan dalam genre ini.

14 Saut Situmorang, Ibid.


15 Ariel Heryanto, Perdebatan Sastra Kontekstual (1985).

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 41


Lalu, bagaimana dengan sastra perlawanan? Dari realisme sosialis/sosial
inilah sastra perlawanan –gerakan sosial, pembangkangan, pemberontakan baik
dalam arti sebenarnya atau pikiran-- muncul. Karya sastra yang memberi ruang
bagi ide-ide perlawanan terhadap penindasanapa pun, yang tidak hanya sebatas
penindasan si kuat terhadap si lemah, kapitalisme-borjuisme terhadap proletar,
si kaya terhadap si miskin, dan konsep patron-client lainnya, tetapi perlawanan
terhadap hal-hal lain yang memang berjalan tidak seimbang dalam sistem
kehidupan manusia. Wacana atau diskursus ini sudah lama muncul dalam karya-
karya sastra di banyak negara, termasuk Indonesia. Les Miserables (Victor Hugo),
Animal Farm (George Orwell), Dr Zhivago (Boris Pasternak), De opstand van
Guadalajara (Pemberontakan Guadalajara/Jan Jacob Slauerhoff ), Kantapura (Raja
Rao) dan lainnya, adalah beberapa contoh. Di Indonesia, ketika Balai Pustaka
menerbitkan novel-novel roman, karya-karya perlawanan telah muncul seperti
Mata Gelap dan Student Hidjo (Mas Marco Kartodikromo) atau Hikajat Kadiroen
(Semaun), dll. Oleh pemerintah Belanda, karya mereka dilabeli dengan “bacaan
liar”.16
Tulisan ini bukan hendak memetakan, tetapi hanya melihat dan memberi
ruang alternatif bagi para prosais Riau bahwa ada tema besar yang masih bisa
terus didedah dan dikembangkan.

***

PERJALANAN sastra (Melayu) Riau yang sangat panjang, sudah dibedah


oleh banyak penulis dan pembicara, termasuk di forum ini. Dr Griven H Putra
dan Dr Jarir Amrun sudah membentangkan bagaimana sejarah, silsilah, dan peta
sastra Riau. Dalam tulisan dan diskusi ini, saya juga akan membatasi pada bidang
prosa, dalam hal ini cerpen dan novel, termasuk mengeluarkan karya- karya
pribadi saya dalam pembicaraan. Ini untuk menghindari bias pembicaraan saja.
Kita semua tahu, perjalanan dunia prosa –cerpen dan novel/roman—Riau
berawal dari karya-karya yang dilahirkan oleh M Kasim dan Soeman Hs. M Kasim
banyak menulis cerpen- cerpen ringan dan humor, sedang Soeman Hs menulis

16Athiyyah Nur Roihanah, “Bacaan Liar sebagai Sastra Perlawanan", Geotimes.id, 31 Maret
2022.

42 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


novel bertema detektif dan romantika. Dari merekalah kemudian dunia prosa
Riau –juga wilayah yang sekarang bernama Kepulauan Riau(Kepri)— mengalir
hingga hari ini. Ada masa jeda yang cukup panjang dari masa M Kasim dan
Soeman Hs hingga ke generasi selanjutnya. Generasi prosais Riau baru betul-
betul kelihatan padagenerasi Sudarno Mahyudin, Hasan Junus, BM Syamsuddin,
Ediruslan PE Amanriza, Fakhrunas MA Jabbar, Taufik Ikram Jamil, atau Abel
Tasman (tetapi saya tak ingin memetakan hal ini, mohon maaf jika ada nama
yang tak tersebutkan).
Dari sinilah “Mazhab Perlawan” dalam sastra Riau dimulai dengan
melihat beberapa cerita yang ditulis oleh para penulis tersebut. Saya tidak
mengulas semua karya mereka, tetapi satu atau dua dari karya mereka yang
menjadikan “perlawanan” dengan bahasa mereka sendiri dalam menjelaskan
identitas karyanya, akan menjadi contoh. Perlawanan yang dilakukan para
penulis dalam karyanya tersebut, jika disatukan pada sebuah muara, akan
bersuara sama: mengapa Riau yang kaya sumber daya alam (SDA) ini menjadi
miskin secara sosial dan SDM? Taufik Ikram, di hampir setiap prosanya,
menyuarakan ketidakadilan masyarakat tersebut. Itu bisa dibaca dalam dua
novelnya, Hempasan Gelombang dan Gelombang Sunyi. Salah satu cerpennya, “Pagi
Jumat Bersama Amuk” yang dimuat di Haluan (Padang)17 juga memperlihatkan
perlawanan itu.
Lalu, selain menulis puisi-puisi dengan tema perlawanan, Ediruslan juga
menulis hampir semua novelnya dengan makna perlawanan. Salah satunya
novel Dikalahkan Sang Sapurba yang menjadi juara kedua Lomba Menulis Novel
DKJ 199818, dimuat secara bersambung di Kompas, sebelum dibukukan oleh
Yayasan Pusaka Riau (2000). Novel ini berkisah tentang masyarakat di kawasan
Mahato, Rokan Hulu, yang harus berhadapan dengan kekuasaan dan kapitalisme
yang menguasai hutan mereka dan mereka harus tersingkir.
Ediruslan adalah salah satu novelis Riau yang karyanya paling banyak
menjadi pemenang dalam lomba DKJ19, meski bukan pemenang pertama. Selain

17 Menjadi cerpen terbaik pilihan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ/1998).


18 Juara I lomba ini adalah novel Saman karya Ayu Utami.
19 Hingga hari ini masih menjadi lomba menulis novel paling bergengsi di Indonesia.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 43


Dikalahkan Sang Sapurba, paling tidak ada empat novel lainnya yang menjadi
pemenang DKJ, yakni Nahkoda (1977, hadiah harapan), Ke Langit (1978, hadiah
perangsang kreasi), Koyan (1979, hadiah penghargaan), dan Panggil Aku Sakai
(1980, hadiah harapan). Dan jika dibaca, hampir semua novel tersebut berbicara
tentang ketidakadilan yang didapatkan masyarakat Riau sebagai salah satu
penyumbang terbesar devisa ke pusat.
Kemudian ada Abel Tasman. Abel adalah salah satu pengibar perlawanan
dalam karya- karyanya terhadap realitas sosial masyarkat Riau yang miris. Dia
menerbitkan Kumpulan Cerpen Republik Jangkrik (2002). Dalam cerpen “Pipa
Darah”, “Metropolitan Sakai”, dan “Pertemuan dalam Pipa”, Abel menulis
tentang ironi masyarakat suku asli Riau, salah satunya Suku Sakai – gambaran
masyarakat terpinggirkan Riau secara keseluruhan-- yang miskin menderita,
padahal dibawah tanahnya mengalir jutaan barel minyak, dan pipa-pipa terlihat
melewati tanah-tanah yang mereka tempati –yang kebanyakan sudah tak
mereka miliki— plus perkebunan sawit yang sangat menjanjikan. Abel adalah
salah satu prosais-cerpenis Riau yang karya-karya mampu menembus ketatnya
media arus utama nasional, salah satunya Kompas.20
Fakhrunas MA Jabbar merupakan sastrawan senior Riau yang karyanya
sudah banyak dimuat di berbagai media, berbagai antologi, juga buku-buku
tunggal. Beberapa buku kumpulan cerpen tunggalnya antara lain Jazirah Layeela
(2005) dan Sebatang Ceri di Serambi (2006). Dalam puisinya, Fakhrunas banyak
menyuarakan perlawanan. Sementara dalam prosa, salah satu cerpennya yang
menyuarakan perlawanan adalah “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau”.21 Cerpen
ini berkisah tentang kemaksiatan yang merajalela di sebuah pulau di tanah
Melayu setelah banyaknya pendatang dari luar pulau yang tak mengindahkan
pantang-larang adat-istiadat dan agama. Fakhrunas seperti ingin menjelaskan,
ketika tanah Riau menjadi ladang perburuan, maka tak akan ada yang bisa

20 Cerpen “Metropolitan Sakai” terbit pertama kali di Kompas (1989), lalu terbit dalam
antologi Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000. Cerpen “Pipa Darah” dimuat di
Kompas (2001) dan dimuat di antologi Jejak Tanah: Cerpen Pilihan Kompas 2002. Dan cerpen
“Pertemuan dalam Pipa” dimuat dalam antologi
Pertemuan dalam Pipa (Logung Pustaka, 2004).
21 Dimuat dalam Cerpen Pilihan Riau Pos 2008, Pipa Air Mata.

44 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


mencegah persoalan sosial dan hukum alam yang muncul.
Setelah generasi mereka, beberapa prosais seperti Olyrinson, Marhalim
Zaini, M Badri, hingga ke Romi Afriadi, tetap menyuarakan “perlawanan”
dengan caranya masing-masing. Sejauh ini Oly sudah menerbitkan dua buku
kumcer, yakni Sebutir Peluru dalam Buku (2011)22 dan Saat yang Tepat untuk
Menangis (2018). Oly juga sudah menerbitkan lima novel, yakni Sinambela Dua
Digit (2023), Gadis Kunang-Kunang (2005), Jembatan (2005), Air Mata Bulan (2006),
dan Langit Kelabu (2007). Oly dikenal sebagai penulis “spesialis lomba” karena
hampir semua karyanya memenangkan lomba, meski tidak selalu menjadi juara
pertama. Baik dalam cerpen maupun novelnya, Oly selalu menyuarakan
ketidakadilan dan kenjomplangan si miskin vs si kaya atau si kuat vs si lemah
dalam arus pembangunan yang menguatkan modal. Dalam cerpen maupun
novelnya dia berpihak pada orang-orang kecil yang hidup dalam ketidakadilan
tersebut secara ekonomi-sosial. Hampir tidak ada prosanya yang tidak berbicara
tentang itu.
Meski lebih dikenal sebagai penyair dan sutradara teater, Marhalim Zaini
adalah seorang prosais yang kuat. Sama seperti puisi-puisi dan karya dramanya,
cerpen-cerpen dan novelnya memperlihatkan bagaimana dia eksis
menyampaikan suara ketidakadilan dan perlawanan. Ini bisa kita lihat dari
beberapa buku prosanya, yakni Kumcer Amuk Tun Teja (2007), Getah Bunga Rimba
(novel/2006), Hikayat Kampung Mati (novel/2007), Megalomania (novel/2008), dan
Tun Amoy (2009). Prosa-prosa Marhalim mewakili masyarakat kehidupan
masyarakat bawah yang juga berada di posisi paling bawah dalam lapisan
pembangunan sejak dulu hingga sekarang.
Meskipun sudah lama “menghilang” dari pusaran sastra dan lebih tunak
sebagai akademisi bidang komunikasi, nama M Badri pernah muncul dan
menancapkan karyanya begitu kuat dalam khazanah sastra Riau dan nasional.
Dia pernah memenangkan lomba cerpen nasional yang diselenggarakan
Escaeva-Bukukita dengan cerpen “Tembang Bukit Kapur” tahun 2007. 23 Doktor

22 Buku ini yang mengantarkannya diundang mengikuti Ubud Writers and Readers Festival
(UWRF) di Balitahun 2011.
23 Dibukukan dalam Kumcer Tembang Bukit Kapur (2007).

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 45


bidang komunikasi ini juga sudah menerbitkan kumcer tunggalnya, yakni Malam
Api (2007). Dalam salah satu cerpennya, “Pipa Air Mata”24, Badri bercerita
tentang ironi anak Sakai yang ketika kampungnya dibakar perusahaan saat kecil,
dia diselamatkan dan dibesarkan oleh seorang pekerja asal Amerika Serikat dan
dan dibawa ke sana. Setelah dewasa, dia kembali ke tanah asalnya, kemudian
ditangkap petugas keamanan perusahaan pengebor minyak karena dituduh
sebagai pencuri. Badri seperti meneruskan perlawanan Abel Tasman,
Olyrinson, danyang lainnya, tentang orang-orang kalah yang harus tersingkir
dari tanahnya sendiri yang merupakan ladang minyak penghasil petrodolar.
Yang terakhir dan mewakili generasi terkini, potensi besar diperlihatkan
oleh Romi Afriadi.Penulis yang tinggal di Desa Tanjung, Kampar, ini, tahun 2022
lalu menerbitkan Kumcer Darah Pembangkang. Ada 19 cerpen dalam buku ini,
yang hampir keseluruhannya bicara tentang perlawanan dalam banyak wujud.
Perlawanan atau mempertanyakan peran agama yang penuh dogma, adat yang
membelenggu pikiran, pendidikan yang salah arah, dan sebagainya. Potensi
pembangkangan, radikalisme, atau perlawanan, sangat kental ada dalam
cerpen-cerpen Romi. Dan itu dilakukan dengan konsisten. Romi menjadi prosais
Riau terkini yang tunak dengan isu dan tema realisme-gerakan sosial ini
dibanding teman-teman “seangkatannya” seperti WS Djambak, Rian Harahap, M
Arif Husein, Redovan Jamil, Joni Hendri, Jeli Manalu, Boni Chandra dan sekian
nama prosais lainnya yang akhir-akhir ini mulai memperlihatkan geliat
lumayan baik bagi dunia sastra kita (Riau).

***

TAHUN 2010, ketika saya satu meja dengan beberapa penulis asing dalam
sebuah diskusi bertema “Power of Short” dalam Ubud Writers and Readers Festival
(UWRF), di Indus Café, Ubud, Bali, saya bicara tentang “potensi” sastra Riau ke
depan seperti apa. Sebuah potensi yang sangat besar karena memiliki “bahan
baku” yang mungkin tak banyak ditemukan daerah lain, termasuk di Jawa, yang
hingga kini masih menjadi sumbu utama sastra Indonesia. Para penulis cerpen
dan novel di Jawa, saat ini, banyak yang cenderung menulis tentang persoalan-

24 Dimuat dalam Cerpen Pilihan Riau Pos 2008, Pipa Air Mata.

46 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


persoalan dalam ranah privat: kesendirian, keterasingan, kepedihan, dan hal-
hal lain. Hal ini sebenarnya bukan sebuah masalah, tetapi itulah yang terus
diulang-ulang yang tidak menemukan kebaruan.
Tanah Riau punya “bahan baku” yang besar dengan berbagai persoalan
sosial yang muncul akibat tujuan ekonomi yang menjadi hal makro dan utama
dari sebuah pembangunan, oleh rezim siapa pun yang memerintah, baik saat
rezim represif Orde Baru yang tidak memberi ruang berpikir kepada rakyat,
maupun saat era Reformasi yang sebenarnya mempunyai tujuan mulia untuk
perbaikan. Namun, semuanya bermuara pada hal yang sama: ekonomi kapitalis
dengan memberi karpet merah kepada modal yang masuk. Kondisi inilah yang
kemudian terjadi ketimpangan sosial dalam masyarakat. Konflik-konflik
horizontal tak bisa dielakkan lagi akibat persoalan agraria yang semrawut dan
lebih berpihak kepada kapitalisme. Maka, persoalan- persoalan sosial di daerah
tambang, sektor perkebunan –terutama sawit--, pertarungan ekologi-
lingkungan, dan lain sebagainya, tak bisa dihindari. Dan semua itu dibalut
dengan tingkat korupsi yang terjadi di semua sektor.
Hal-hal itulah yang bisa menjadi “bahan baku” –dan sebuah alternatif--
bagi para prosais Riau, terutama mereka yang tunak dan suka dengan tema
gerakan sosial atau perlawanan selain tema-tema “tradisional” yang terus
ditulis seperti tradisi, sejarah, dan yang lainnya. Ediruslan, Abel Tasman, Taufik
Ikram Jamil, dan yang lainnya sudah melakukannya, dan karya-karya mereka
mendapatkan tempat yang baik dalam peta sastra Indonesia. Selanjutnya, semua
kembali kepada kita masing-masing mau menjadikan apa “bahan baku” yang
besar dan melimpah tersebut, yang menurut saya, sangat pas untuk terus
mengambangkan “Mazhab Perlawanan” yang sudah dirintis oleh beberapa
prosais tersebut.***

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 47


Dari Raja Ali Haji ke
Sutardji Calzoum Bachri,
Mana Telurmu?
Boy Riza Utama

48 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


/I/

MENEROKA kembali sejarah kesusastraan cum kepenyairan Melayu Riau,


ada dua nama besar yang tegak menjulang di hadapan kita: Raja Ali Haji dan
Sutardji Calzoum Bachri. Keduanya adalah pribadi yang berdiri di tiang-tiang
kebesaran sastra, menatap horizon kata-kata dengan mata penuh inspirasi, dan
mendedahkannya untuk kita—publik sastra Indonesia—hingga hari ini.
Adapun Raja Ali Haji adalah seorang intelektual ulung dan penyair
pujangga dari abad ke-19. Dalam setiap kata yang ditorehkannya dalam puisi-
puisinya, terpantul sinar budi dan kebijaksanaan. Di lain sisi, Sutardji Calzoum
Bachri adalah seorang penyair kontemporer yang menggugah keberanian dalam
dunia kata; membuktikan bahwa sastra adalah cermin zaman.
Jika kita kembali menelusuri lorong waktu untuk menggapai zaman dari
kedua penyair besar tanah Melayu Riau ini maka akan tampak bahwa Raja Ali
Haji adalah “Sang Pelopor”, sedangkan Sutardji adalah “Sang Pembebas”—
meminjam istilah Ahmad Gaus dalam esainya, “Calzoum Bachri: Jalan Baru
Estetika Puisi”. Maka dari itu, dapat disebut bahwa Raja Ali Haji adalah seorang
“peletak dasar”, sementara Sutardji merupakan “pengarang eksperimental”.
Begerak ke wilayah (karya) puisi, Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji
dari abad 18 silam dapat menjadi salah satu rujukan bagi kegemilangan estetik
yang berhasil direngkuh-gapai oleh penyair dari Melayu Riau. Hal ini juga yang
kemudian “disusul” oleh Sutardji Calzoum Bachri dengan pemba(ha)ruannya
yang terkenal pada kurun 1970-an itu: sebuah kredo dan tiga kumpulan sajak,
yaitu O, Amuk, dan Kapak.
Lantas, jika kedua pengarang ini kita bayangkan tengah menegakkan
“mazhab”-nya masing-masing, bagaimana sepak terjang dan pengaruhnya bagi
pengarang masa kini, utamanya di Riau?

/II/

Bersandar pada pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),


mazhab, antara lain, dapat didefinisikan sebagai “golongan pemikir yang
sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang
kesenian, dan sebagainya dan yang berusaha memajukan hal itu”. Dari

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 49


pengertian tersebut, Raja Ali Haji dan Sutardji kita golongkan sebagai pendiri
mazhab, sementara para penyair setelahnya adalah mereka yang mengikuti
mazhab tersebut.
Dalam penelitian berkepala “Eksistensi Bunyi pada Puisi-Puisi Raja Ali
Haji”, Tsalits Abdul Aziz Al Farisi dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Universitas Islam Darul Ulum Lamongan menulis bahwa, “Gurindam Dua Belas
Raja Ali Haji ini terasa mengejutkan mengingat belum ada contohnya pada
sejarah kebudayaan melayu. Beliau sendiri memperkenalkan bentuk-bentuk
puisi baru dalam khasanah sastra melayu. Pola gurindam sendiri tampak seperti
pola puisi yang hanya memainkan irama pada akhiran kalimat atau dapat pula
disebut sebagai rima, yaitu persamaan bunyi yang berulang-ulang yang kita
temukan pada akhir baris atau pada kata-kata tertentu pada setiap baris. Namun,
rima memiliki keutuhan dalam pola persanjakkan yang ada pada Gurindam Dua
Belas, artinya keutuhan ini saling berkelindan dari bait satu ke bait selanjutnya.
Tentu saja berkelindan ini memiliki syarat estetika kesadaran pada diri
penyair…”
Memakai perkakas stilistika atau ilmu tentang gaya khas dari
pengungkapan, Tsalits Al Farisi mengungkai bahwa Gurindam Dua Belas
karangan Raja Ali Haji adalah puisi baru yang berbeda dari pantun atau syair
yang juga sudah lama dikenal. Menurut penulis ini lagi, Raja Ali Haji juga menulis
semacam kredo tentang bentuk baru puisi yang diperkenalkannya dalam
khazanah kebudayaan Melayu—meski Tsalits Al Farisi tidak menunjukkan kredo
yang ia maksudkan itu.
“Dirumuskan dalam bahasa hari ini, gurindam merupakan puisi yang
terdiri dari dua larik, masing-masing berima akhir, dan antara larik pertama dan
larik kedua berhubungan erat sebagai satu kesatuan kalimat utuh. Larik pertama
itulah yang disebut oleh Raja Ali Haji
sebagai syarat; larik kedua sebagai jawab. Raja Ali Haji mmenyebutnya
‘gurindam cara melayu’,” tulis Tsalits Al Farisi.
Sebagai seorang pelopor, seperti disinggung tadi, tentunya Raja Ali Haji
mengerti benar dengan tradisi pantun dan syair dalam khazanah kebudayaan
Melayu. Raja Ali Haji pun tentunya sadar sepenuhnya bahwa dirinya sedang

50 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


memperkenalkan bentuk baru. Dalam hal ini, estetika terbaru ini pastinya lahir
dari seseorang yang mengenal baik dunia kesastraan dalam langgam
kebudayaannya.
Di sini saya kutipkan pasal pertama (Gurindam I) dari Gurindam Dua Belas
buah pena Raja Ali Haji:

Barang siapa tiada memegang agama,


sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama.
Barang siapa mengenal yang empat,
maka ia itulah orang yang ma'rifat.
Barang siapa mengenal Allah,
suruh dan tegahnya tiada ia menyalah.
Barang siapa mengenal diri,
maka telah mengenal akan Tuhan
yang bahri.
Barang siapa mengenal dunia,
tahulah ia barang yang teperdaya.
Barang siapa mengenal akhirat,
tahulah Ia dunia mudarat

Fenomena di atas sejatinya kemudian juga dapat kita temukan pada


kepenyairan Sutardji. Pasalnya, dengan segala pencapaian estetik dan puncak
eksperimennya itu, Sutardji telah meneruskan cita-cita Chairil Anwar untuk
membuat “sebuah dunia yang menjadi” atau bahkan lebih dari itu.
Seperti halnya Chairil yang disebut-sebut telah “menghancurkan” bentuk
pantun dalam puisi Indonesia dari angkatan di atasnya, Sutardji pun
menorehkan tanda tangan (signature)-nya sendiri dengan “membongkar”
estetika puisi dari masa sebelumnya yang, meminjam istilah Sutardji, penuh
dengan “penjajahan pengertian” alias tidak leluasa sebagai dirinya yang utuh,
yakni “kata sebagai kata”.
Dengan kredonya yang terkenal itu, kepenyairan Sutardji memang kerap
kali disalahpahami oleh banyak orang. Terkait hal itu, Hasan Aspahani—penyair
dan mantan jurnalis—juga menulis dalam esainya, “Matlamat dan Manfaat

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 51


Kekejaman Sutardji”, bahwa “…. Kebanyakan orang membaca kredo itu
sepenggal-sepenggal untuk menguji atau bahkan mengadili Sutardji.
Kebanyakan orang menyimpulkan kredo itu ke dalam satu ihwal: Sutardji ingin
membebaskan kata dari penjara kamus! Maka, ketika dia tak lagi menulis sajak-
sajak yang taat pada kredonya, orang lantas bilang Sutardji telah gagal
membebaskan kata, ia pun dianggap tergoda untuk berkomunikasi. Ia dianggap
juga ikut membebankan makna kepada kata.”
Selayaknya Raja Ali Haji dan Chairil Anwar, dapat disimpulkan bahwa
Sutardji sebagai seorang pengarang yang secara sadar melakukan eksplorasi
puisi dan menerabas wilayah konvensional, tentunya tidak terlepas dari tradisi
perpuisian yang sudah mapan sebelumnya. Akan tetapi, sederet pembaharu ini,
termasuk Sutardji, tentunya telah menarik “garis tebal” lain yang menjejakkan
namanya di kalangan unggul atau “maestro” dalam lapangan kesusastraan tanah
air.
“Saya kira kesalahpahaman bisa dihindari dan manfaat bisa dipetik bila
kita melihat kredo itu sebagai cara Sutardji memberi teladan pada penyair
Indonesia bagaimana bersikap terhadap puisi dan kata,” tulis Hasan Aspahani
lagi dalam esai yang sama. “Tengoklah alinea kelima kredo puisinya: ‘Dalam puisi
saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti
kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan
masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta
penjajahan gramatika’.”

52 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Di sini kaya kutipkan salah satu karya Sutardji:

Mantera

lima percik mawar


tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puu...... aah!
kau jadi Kau!
Kasihku

Mengutip Aspahani lagi, Sutan Takdir Alisyahbana disebut pernah


mengatakan bahwa karya Sutardji sebagai sesuatu yang main-main dan
karenanya bukan sajak. Namun, dalam esai-ringkasnya yang lain, Aspahani
menyatakan bahwa puisi Sutardji setelah era O, Amuk, Kapak berikut ini
“beraroma penemuan spiritual dan lahir sama dari seorang Sutardji yang kini
telah berbeda.” Berikut ini sajaknya:

IDULFITRI

lihat
pedang taubat ini menebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia-sia
telah kulaksanakan puasa Ramadhanku
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntai wirid tiap malam dan siang
telah kuhamparkan sajadahku
yang tak hanya menuju Ka'bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 53


dan di malam Qadar aku pun menunggu
namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

maka aku girang-girangkan hatiku


aku bilang
tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam
belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang
namun si bandel tardji ini sekali merindu
takkan pernah melupa
takkan kulupa janjiNya
bagi yang merindu insyaAllah kan ada mustajab cinta

maka walau tak jumpa denganNya


shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini
semakin mendekatkan aku padaNya
dan semakin dekat
semakin terasa kesiasiaan pada usia lama yang lalau berlupa

O lihat Tuhan kini si bekas pemabuk ini


ngebut
di jalan lurus
jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoar
tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia
kini biarkan aku menenggak marak cahayaMu
di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan


yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus
Tuhan jangan Kau depakkan lagi aku di trotoar
tempat dulu aku menenggak arak di warung dunia

54 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


maka pagi ini
kukenakan zirah la ilaha illallah
aku pakai sepau siratul mustaqiem
akupun lurus menuju lapangan tempat shalat ied
aku bawa masjid dalam diriku
kuhamparkan di lapangan
kutegakkan shalat
dan kurayakan kelahiran kembali
di sana

1987

Dalam esai “Pesona Keempat Sutardji Calzoum Bachri”, Asarpin menulis


bahwa dalam sajak-sajak pasca-O, Amuk, dan Kapak—termasuk sajak di atas—
Sutardji “begitu intim masuk jantung kata-kata, mendayakan kata,
mengembalikan harkat kata tidak lagi pada mantra. Metaforanya tampil lewat
kata-kata yang menyembul bagaikan ombak yang menghunjam batu karang,
menggulung pantai kesadaran tempat burung bakik melantunkan tembang lawa
malam …” sehingga “Tardji telah sampai pada kata yang memiliki bentuk khusus,
yang membedakannya dengan semua penyair di negeri ini…”

/III/

Selain puisi di atas, ada satu puisi lagi yang menarik dari Sutardji dan
kemudian saya pakai sebagai bagian dari judul tulisan ini. Berikut ini puisinya:

Wahai Pemuda Mana Telurmu?

Apa gunanya merdeka


Kalau tak bertelur
Apa guna bebas
Kalau tak menetas

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 55


Wahai bangsaku
Wahai pemuda mana telurmu?

Kepompong menetaskan kupu kupu


Kuntum jadi bunga
Putik jadi buah
Buah menyimpan biji
Menyimpan mimpi
Menyimpan pohon dan bunga-bunga

Uap terbang
Menetas awan
Mimpi jadi,
Sungai pun jadi
Menetas jadi
Hakekat lautan

Setelah kupikir pikir


Manusia ternyata
Burung berpikir
Setelah kurenungrenung
Manusia ternyata burung yang merenung

Setelah bertafakur
Tahulah aku manusia harus bertelur

Dari burung keluar telur


Lantas telur menjadi burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah

56 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Ayo Garuda
Ayo para pemuda
Menetaslah
Lahirkan lagi bapak
Bangsa ini

Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas
Menetaskan kalian
Dalam sumpah mereka

Jakarta, 7 Agustus 2010

Puisi yang sekilas tampak sederhana ini tentunya seperti khasnya puisi
Sutardji lainnya pasca tiga buku “keramat”-nya tadi: unik, lembut, penuh
penghayatan, tetapi menyentak-nyentak nurani (perasaan) dan pikiran
khalayak pembacanya. Dari sajak ini pula, kita pun sebagai publik sastra di Riau
sebaiknya lekas bertanya, “Mana telurmu, penyair muda Riau?”
Dalam tulisan ini tentunya hanya beberapa nama yang bisa saya
kemukakan—dengan pertimbangan sepak terjang kepenyairan dari masing-
masing pujangga. Nama-nama yang bisa diketengahkan pada daftar ini, antara
lain, May Moon Nasution, Alpha Hambally, Riki Utomi, dan Pusvi Defi.
Setidaknya, dalam kurun sepuluh tahun belakangan, para penyair dari generasi
milenial ini rajin memublikasikan karya masing-masing, baik di surat kabar
maupun media daring (online). Beberapa di antara mereka juga sudah
menerbitkan himpunan puisi tunggal: May Moon Nasution dengan Pedang dan
Cinta yang Mengasahnya (2016) dan Amuk Selat (2020) dari Riki Utomi.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 57


Mari simak salah satu puisi May Moon Nasution berikut ini:

Gergaji

tukang itu lihai menggesekkan matamu yang tajam,

dan tangannya menggeram serupa luapan dendam

gerigi majal menjejal segegar debar,

dan kau cemburu mendengar gemetar,

dari taring-taringmu yang bergegar

matamu terus menggerung maju-mundur,

menggetarkan nyali kayu jadi ciut yang akut,

barangkali kau takut matamu akan luput

bagai menikam dengan geraham dendam

yang belum mahir ia pelajari dengan mahfum

lalu tukang kayu itu tiba-tiba jadi si peragu

yang terus menggesekkan gerigimu.

Pekanbaru, 2013

58 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Jika kita membicarakan puisi May Moon Nasution di atas—terbit di
Kompas—dalam kerangka puisi-puisi Raja Ali Haji maka tidak ada yang berhasil
kita temukan darinya. Pasalnya, “gurindam cara Melayu” Raja Ali Haji tidak
menawarkan “kisah pandang mata” seperti halnya sajak May Moon Nasution ini.
Modus pada sajak “Gergaji” ini pun hampir merata ditemukan pada sekujur kitab
puisi May Moon Nasution bertajuk Pedang dan Cinta yang Mengasahnya. Lain soal
jika kita padankan dengan sajak-sajak Sutardji, misalnya, sebab akan kelihatan
bahwa sajak May Moon Nasution di atas berakrab ria dengan gaya/pola ucap
sang “Presiden Penyair/Puisi Indonesia” tersebut. Hal itu tidak terlepas dari
diksi May Moon Nasution pada puisi “Gergaji” ini yang banyak mencerap kata-
kata yang akrab dalam khazanah Melayu: “geram”, “majal”, “jejal”, dan
seterusnya.

Aku dan Waktu

aku dan waktu selalu berkelit.


aku selalu mengasah pedang.
dan waktu menantang:
“bunuhlah diriku!”

waktu tak pernah berkhianat.


namun aku selalu kalah
waktu memegang pedangku
“ini aku yang akan membunuhmu!”

aku dan waktu berpandang tajam.


saling menuntut tegar. ia menunjuk
bahwa aku telah mati di arah
putaran jam.

Selatpanjang, 2018

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 59


Puisi karya Riki Utomi di atas yang termaktub di Kompas enggan memilih
berkelit dari gema-puitika Raja Ali Haji: kata-kata dengan derap yang tangguh.
Dari modus utama dan permainan diksi pada puisi di atas, tahulah kita bahwa
Riki Utomi telah menakik kesimpulan dari sebuah pepatah Arab: waktu adalah
pedang. Meski di sebagian puisi May Moon Nasution juga ada memakai
istilah/peristiwa dari khazanah Islam, tetapi pola ucapnya berbeda jauh dengan
puisi Riki Utomi di atas yang berhasil merengkuh bahasa puisi modern sekaligus
membuat baying-bayang dari puisi Raja Ali Haji—setidaknya dari Gurindam Dua
Belas.
Selanjutnya, ada puisi dari Alpha Hambally—juga dimuat di Kompas—
berikut ini:

Di Dalam Lubang Cacing

Tak pernah kusadari, aku sendirian di balik hitam


sambil menyingkap gugusan galaksi. Ada banyak
bintang yang menyusun tatanan rasi ke dalam sepi.
Ada banyak rasi yang harus kulintasi agar aku tetap
berwarna kelam, dan terus melihat ke dalam diri
sendiri.

Di balik hitam itu, aku bayangkan harapan ada


sebagai hamparan padang yang dilalui oleh sungai
kehijauan, yang di dasarnya ada terbenam rumput,
pohon, kicau burung dan pelangi. Pelangi dan air
sungai itu bisa kupakai untuk mencuci kelelahan
perjalanan ini. Kurasakan pula arus dan dinginnya
mengalirkan wajahku ke laut jingga yang mendidih,
yang merebus zat-zat kimia bersama lada, palawija,
serta bebijian lain yang akhirnya menguap sampai
langit menggumpal dan awan berjelaga mulai
melepaskan hujan sepia dengan mineral yang

60 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


memberi sayap untuk serangga, serta membawaku
terbang, kembali ke balik warna hitam.

Hitam itu pun pernah membawaku ke jutaan


tahun yang telah lewat, bersama jarak yang terus
datang dari seluruh penjuru dan waktu. Ujung serta
pangkalnya tak mampu lagi diukur, bahkan oleh
cahaya, hingga apa yang kulalui hanya akan lebur di
ruang hampa. Satu per satu bintang yang pernah
kuhisap mulai melupakan nama mereka. Kuajak
mereka melintasi kembali lembah curam berkabut
di dalam isi perut mereka, isi pikiran mereka, dan
masa lalu yang selalu memberi mereka ruang untuk
berkuasa.

Tapi pada akhirnya, kusadari aku masih sendiri,


menguntit Venus yang masih berkedip di ketinggian
lazuardi, menguping suara yang datang dari dimensi
yang berbisik bahwa mati ialah ketika aku terjaga
pada suatu hari dengan sayap kecil yang menabur
benih untuk bumi. Namun aku tak pernah percaya,
karena aku tak pernah terjaga, karena aku tak pernah
sampai ke sana.

2017

Di daftar ringkas ini, Alpha Hambally boleh dikata sebagai penyair unik
yang meracaukan soal organisme, tetapi tanpa kehilangan daya puitika yang
memukau dari langgam Melayu. Jika kita bicara mazhab Raja Ali Haji dan Sutardji
maka puisi Alpha Hambally menguntit sekaligus menampik Sutardji: puisi yang
bicara tentang aku-lirik bukan sebagai manusia, seperti tampak pula dalam
beberapa puisi Sutardji; dalam pada itu, puisi ini juga menghindari gaya puitika

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 61


“mbeling” ala Sutardji meski gema-nya terasa sebagai sebuah pencarian—
sesuatu hal yang juga khas dalam modus puisi-puisi “gelap” dan transenden dari
Sutardji, kalau boleh disebut begitu.
Penyair lainnya yang saya kira juga perlu dapat tempat di ulasan
sederhana ini adalah Pusvi Defi. Marilah tengok puisinya berikut ini:

Cina Benteng, Mei 1998


teruntuk Mei-mei

Masih kusimpan bercak pilu


di sela rintih yang runtuh di puisiku
pada gadis-gadis diperkosa dan harta benda dirampas paksa

bocah-bocah berlarian memintal jasad ibu kota yang sudah bersimbah darah

Angin ngilu meratap


Daun-daun basah
Bau amis menyeruak
timpal tanya kembali gentayang di sela mataku yang nganga
Bagaimana muasal kota berlinang berai
diriuh robek bendera
Bagaimana luka di sekujur tubuhku memantul ruang yang raung

laiknya kerlap-kerlip lampion kota lincah menertawa

“Inikah Negeriku yang dilanda huru-hara? kebiadaban merajalela, sedang tubuh


mungilku terlunggang menyendiri dililit sedih.” Ucap dendam lampau menyaru
bagai mata pisau

kelam terbayang
menjadi bayangan hitam
di palung katulistiwa

62 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


kuarak sisa ingatan itu lagi,
dari aroma mesiu dan pekat asap
membumbung durja
Sedang bumbul sesak di dada
makin mengempul bagai pijar merah

Pekanbaru, 2019

Masih seperti puisi-puisi sebelumnya di daftar ini, puisi Pusvi Defi juga
adalah gema puitika yang memilih mazhab Sutardji—setidaknya pasca O, Amuk,
dan Kapak. Puisi ini dengan kesadaran penuh memantaskan dirinya sebagai puisi
kritik-sosial lintas zaman. Seperti juga puisi-puisi penyair milenial Riau
sebelumnya tadi, Pusvi Defi pun tidak berjarak dengan diksi dan langgam
Melayu—sebuah kesadaran dalam berkarya yang ikut dipacakkan oleh Raja Ali
Haji dan dilanjutkan dengan pasti oleh Sutardji.
Mengakhiri tulisan ini, tentunya ada banyak puisi dan beberapa penyair
yang luput dari pembacaan sederhana saya. Di samping itu, juga ada banyak
karya dari daftar ringkas penyair di atas yang penting untuk dicermati lebih
dalam alih-alih sekadar ditinjau sekalis-lalu. Namun, pada akhirnya, karya-karya
ini memang sedang berupaya menetaskan telurnya bagi mereka di kemudian
hari; karya-karya yang (semoga) juga akan menjadi batu pijak bagi penyair
berikutnya, yang kerap gamang bertanya di muka cermin, “Mana telurku?”.***

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 63


Antologi Puisi
Sayembara Puisi
Festival Sastra Melayu Riau 2023

64 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Keris Junjungan
Oleh Riki Utomi

menggigil ia dalam peti kusam. berselimut sunyi


sepanjang zaman. tergerus keruh oleh sengit karat.
diam batin bukan diamnya kata, diam yang sekam
kelak waktunya.

padanya lekuk tujuh, meruncing ujung menjadi


tusuk paling ngilu. kokoh ia berlapis makna
beriring doa-doa membasuh debar tubuhnya.

berselimut kain kuning, hangat tubuh berlilit zaman.


nun kelak hendak bersua pada masa tepat untuk
berkata. pada tiap lekukan ada harap yang belum
dieja, lunas ketika ditancap ke sebuah kezaliman.

bukalah penutup kainnya. pegang pelan sarungnya.


lepas perlahan sambil berucap lirih basmalah.
lamat-lamat harap ditaruh ke segenap tubuhnya.
makin tampak lunas dan terlihat gagahlah ia.
peganglah erat gagangnya, pejamkan mata dan
sujudkan ia di kening dengan khidmat tiada tara.

basuhlah ia, percikkan sekilas oleh air bunga.


sebagai pengembalian pada sebuah debar lain
untuk membela marwah yang hendak runtuh.
untuk mengantarkan dirimu ke gegap getir
yang telah berlarut untuk segera menusuk
kezaliman yang berlumut.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 65


senyumlah padanya dengan penuh jumawa.
pegang gagangnya erat. acungkan ke langit
seperti jebat mengamuk dalam istana
menentang kezaliman, seperti pula gajah mada
berikrar menyatukan nusantara. senyumlah
untuk sebuah tekad, senyumlah bersamanya
walau getir berlipat-lipat.

padanya dijunjung harkat untuk kembali tegak.


padanya disanjung marwah untuk kembali dibela.
padanya dirampung tekad yang telah membulat.
padanya meruncing harap yang tersemat di dada.
padanya menghindar bukan berarti telah tiada.
padanya merajuk bukan berarti untuk mengelak.
padanya mengaruk bukan berarti kurangnya adat.
padanya mengamuk lekas untuk marwah berlunas.

kau genggam keris itu dengan gigil tangan dan tubuh.


siap berpunca pada alurnya: hidup atau mati.
siap berpilin lunas menusuk kezaliman yang
harus lenyap di sini: marwah tanah melayu kami.

lawan bermuka cadas tak lagi ditakuti. “ini marwah


mesti runtut untuk bersebati. lebih harkat harga diri
dengan mati berkalang tanah atau mati berdiri, daripada
menjilat murka pada sebuah kezaliman di tanah sendiri.”

ini jebat yang akan kami hidup kembali, yang patut


kami tiru lagi. membela puak dan marwah untuk
dijunjung tinggi. membuka jalan menuju tegaknya budi.
sekali dayung pantang layar untuk ditutup. sekali libas
pantang keris di sarungkan.

66 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


huyung tubuhku oleh hunus kerismu tak seluka
perihku ketika jatuhnya marwahku. rebah tubuhku
memeluk tanah menjadi sejuk hatiku telah membela
marwah, daripada tak menjadi sesiapa aku oleh
resap kemelayuan itu.

huyung tubuhku oleh darah mengarus tanah dari


tusuk kerismu. tercabut kerisku sampai bermakna
kepada resam melayuku di akhir kelak.

Selatpanjang, September 2023

Riki Utomi kelahiran Pekanbaru 1984. Namun menghabiskan masa-masa


sekolahnya di Dabosingkep dan Daiklingga, Kepulauan Riau. Bukunya yang telah
terbit Mata Empat (cerpen, 2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (cerpen, 2015),
Mata Kaca (cerpen, 2017), Menuju ke Arus Sastra (esai, 2017), Belajar Sastra Itu Asyik
(nonfiksi, 2019), Anak-Anak yang Berjalan Miring (cerpen, 2020), Amuk Selat (puisi,
2020), Menjaring Kata Menyelam Makna (esai, 2021), Jelatik (novel, 2023). Sejumlah
puisinya pernah tersiar di Koran Tempo, Kompas, Media Indonesia, Indo Pos, Pikiran
Rakyat, Suara Merdeka, Lampung Post, Banjarmasin Post, Inilah Koran, NusaBali, Riau
Pos, Batam Pos, Kendari Pos, Babel Pos, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Haluan Kepri,
Haluan Riau, Metro Riau, Sumut Pos, Tanjungpinang Pos, Koran Riau, Serambi Indonesia,
Nusantaranews.co, Majalah Sabili, Redaksi Apajake, Majalah Sagang, Harian Vokal, Riau
Sastra, Majalah MBS, Buletin Jejak, Tabloid Tanjak, Majalah Elipsis, TirasTimes. Meraih
penghargaan ACARYA SASTRA dari Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, Jakarta 2015 dan Pemangku Prestasi Seni (bidang Sastra) dari Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Riau 2016. Menamatkan studi di FKIP
Universitas Islam Riau (UIR) Prodi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kini
bertugas sebagai guru di SMA Negeri 3 Tebingtinggi dan bermukim di
Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti. (*)

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 67


Alif Patah
Oleh Dion Rahmat Prasetiawan

“barang siapa yang mengenal diri


maka akan tiada ia mengenal tuhan yang bahri.”
—revisi dan variasi atas raja ali haji

(alif telah patah


alif telah patah
alif patah pada sentap zapin
adalah karam lancang kuning
di ujung tanjung)

majelis itu hanyut


tersadai ke tepi
mati mawai batu
lantaran urung bersuci badan
lalu sengaja
membiarkan
adam-hawa-ular bersetubuh

II

maka telah kusambut serta hikayat sabun


yang membuih di limbur benihku
dan aku menitis jadi kemboja
dalam ceruk rahim perawan
kala pertama kali koyak
oleh budak-budak kapal
dan para buruh kuli
jadi cendawan muntah kelamin mereka

68 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


dan betina itu
yang seringkali meroyak tubuhnya
candu melacur diri
di sebuah ruang partisi pabrik
adalah ternyata ia yang mesti
kami panggil mak!
aduhai mak! demi bawah telapak
kakimu yang berlendir
di sana, firdaus
bertanah gambut
penuh gantang asap
menjelma jadi hutan sawit
terbelah kali hitam, sehitam
kopi liberika
yang konon dibawa kompeni.

III

“puah.”

teluh pemikat
tertaja pada gumam atuk sakai
di balik cumbu kemenyan dan malam rimba
adalah rupa angan sang bujang
untuk kau, atau
untuk seorang bini cina
(bukan akit)
yang panainya
tak pernah sanggup ia purna

“puih.”

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 69


IV

semah
di sempadan selat rupat
menjelma pusara hitam
bagi dongeng-dongeng
tentang mufakat nelayan
dan lanun
memburu todak
bersembunyi
di akar bakau.
pernahkah? tanyamu
pada satu-satunya
sembilang
di kitab tuhan ikan

alahmak, mereka
bertanya padamu
di mana diari hang?
tapi tanjaknya
yang konon mereka
begal sendiri dari
songkok ubunnya
dibawa kabur kemudian
oleh serindit
yang sebentar lagi
jatuh
rubuh
ke lumpur minyak
dengan sayap patah
dan paruh berlumur merah

70 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


VI

di bandar itu langit tak berangin lagi


tapi dara hanya menanti
menanti
mualim menyelesaikan paspor untuknya
“setelah ini dikau ke melaka, dan
dengan portugis
kau singgah dahulu di benggala
lalu lantaran mereka belum bisa langsung ke sana
untuk transit kau mesti dayung sampanmu sendiri.”

tak sabar ia bayangkan dirinya telah di makkah


sebagai dayang bangsawan.

VII

kembali ingin kuroja’ah


surah-surah langit ini
tapi kala kusintuh
timbunan kertas lusuh ini
teks-teksnya membisu.

2023
***

Dion Rahmat Prasetiawan. Lahir di Pekanbaru pada tanggal 28 Agustus 1997.


Pegiat sastra di komunitas Suku Seni Riau. Beberapa karyanya pernah
ditayangkan dibeberapa media massa.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 71


tragedi perang siak
: dalam genggam dendam
Oleh Redovan Jamil

(a)
selepas mencecap air gambut di tengah hari yang sebentar lagi condong ke darat
aku teringat betismu yang lihai bermain gelombang
yang saban hari siasat mengatur musim pasang lebih panjang dari surut
hingga mataku sulit terlelap menghantarkan mimpi berlayar bersama raja-raja melayu
ke laut lepas tanpa batas musim terkibas
yang selalu senang menghunus pedang lalu lupa jalan pulang

kala bulan tua di langit sumatera


sungai siak terbelah oleh fosil kayu araucarioxylon
meniti arus, menikam dengan keris ke hulu jantungmu
maka, aku hendak bermukim saja di dalam hutanmu yang berlumut
berselimut akar-akar gambut yang dijaga orang asli
tak gersang olek terik dan tak lembab oleh embun dari gurun

lantas datang saja padaku


kita belajar cara mengeja bahasa ikan
yang bersisik masa lalu, geliat menyuruk di kaki bakau
atau belajar mengayuh sampan yang dayungnya patah dua
sedangkan orang-orang sampai ke seberang kita tersesat di lubuk larangan
atau mari belajar mendendangkan traktat siak
asal mula darah buncah dan tubuh pisah dari kepala

masih saja jauh akar nipah dari tanah, hilang kata dari makna,
terlepas buhul dari tali, tak ada yang pasti dari janji
kemudi haluan renggang dari tangan, asin laut mengering di badan

72 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


(b)
sayup-sayup terdengar raja-raja senang dengan aroma paha dan lada
yang ditanam di rahim segala ibu yang melahirkan nestapa
sedangkan setali darah tak pernah sekata
selalu meregang senjata dengan mata merah saga
sesal bermuara di ceruk tempat orang laut menebar jala
ah, semua sudah sia-sia

(c)
keringatmu yang beraroma laut mengingatkanku dengan sejarah
yang satu dua dibaca di bangku sekolah
guru bercerita, para siswa tertawa geli memegang dada
ah, tidak apa
siak sri indrapura akan tetap ada meski lupa menuliskannya pada dinding kaca
yang memantulkan wajahmu seolah-olah mirip orang tionghoa sedang mencari pala
orang-orang tionghoa suka melempar senyum tapi hatinya penuh tuba

di sini, mendekatlat sekian depa!


biar uratku dan uratmu bertemu dan menghasilkan negara
negera yang bertahta yang dipenuhi berhektar-hektar rempah dan mengalir air dari
rawa

(d)
aku temukan satu helai rambutmu serupa jalan ke dusun
pada ruas arus di dadamu yang geletar membangunkan samun dalam diri
meski kita terpisah oleh selat, terbelah oleh adat, dan tersekat tanah ulayat
aku dan kamu masih bisa bersarang di dahan pohon purba
berkulum dalam kelambu yang sudah robek di makan waktu
meski kakiku terpaut rotan dari gunung yang sengaja dibuat oleh ibu bapakmu

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 73


dan sepilin tubuh yang terlahir dari tanah sengketa
berkelana, berlayar, meneguk air mata orang sedarah,
ibarat sejarah yang terlupa, susut dari tengah
ibarat cinta yang terlerai oleh badai, ungkai
dan aku lelaki yang bermukim di tepi sungai
pada sungaimu yang lembah yang beraroma minyak tanah.

2023

Redovan Jamil, Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia


Universitas Riau. Suka menulis puisi, cerpen, dan esai. Buku tunggal puisinya
Abun-Abun yang Abrak (2018), Kenangan tanpa Judul (2019), dan Dari Jauh ke
Pasar Jongkok (2019). Bisa dihubungi ke nomor 081213957352 (WA) dan email
redovanjamil@gmail.com. Tergabung di Antologi Cerpen Terbaik Lomba Tingkat
Provinsi Sumatera Barat “Datang dan Pergi Hanya Persoalan Waktu” (2020).
Pemenang I Lomba Cerita Pendek UPTD TAMBUD Sumatera Barat 2020. Juara
3 Lomba Menulis Puisi Sejarah Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera
Barat 2020. Pemenang Harapan 1 Lomba Menulis untuk Relawan Literasi
Tingkat Nasional 2020. Karya pernah dimuat di Republika, Merapi, Riau Pos,
Haluan Padang, Tanjungpinang Pos, Medan Pos, Singgalang, Rakyat Sumbar dan
beberapa media cetak dan online lainnya.

74 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Pemetik Gambus Selodang
Oleh: Ahmad Ijazi

/1/
menghidu semerbak wangi jemarimu. seumpama memintal benih nyawa ke dalam
nadi keberlahiranku. dalam tanak bubur beras. dan sejumput sudu legit gula nira.
kau tiupkan ruh penjinak ke dalam ayunan selendang. seketika aku tertawan. gegas
kau sulam senandung dodoi dalam buaian tangisku. kuntum-kuntum doamu
mendekap erat mataku hingga lelap.

Emak memadu-padan lagu dodoi dengan gambus selodang milik Abah. jemari lentik
memetik dawainya. demikianlah cinta, katamu. akan terus dipugar demi menetaskan
telur-telur hayat menuju dewasa. ada mantera suluh yang terus ditiupkan. hingga
kau pasrah melepasku. menjadi nahkoda biduk yang berlayar mengempas samudera.
jauh merengkuh, merentas batas takdirmu.

/2/
ratusan purnama telah kuncup. pada akhirnya, tangis kering dari turah tungku air
matamu pecah di ujung dermaga. kapal-kapal penantian telah berbunga. mengecup
hangat pada bandar sukma yang kau genggam. kugapai tabah dadamu, yang setia
menampung sejuta bayangku. adakah dodoi yang kau sulam semasa kanakku dulu
masih tergelung utuh di rahimmu, Emak?

syair dan tarian zapin gemuruh. di pelatar istana Siak itu, tabuh kompang dan
gambus selodang menyalak serupa teluh. penonton riuh. sebutir peluru serdadu
kompeni melesak, menyepuh kepala Abah hingga luluh. perang, tikai, dan sengketa
seketika gaduh. gelombang tangis luruh. kutuk petaka rubuh. dalam dekap kepapaan
takdirmu, kau biarkan tubuhnya menyusut ke dalam ketiadaan.

duhai, Rabbi. inikah takdir getir dari sebuah penantian panjangku di lumbung
pelayaran menjunjung marwah? bak merajam bumi. tertuduh menjadi dalang
pemberontakan monopoli dagang di rahim tanah kelahirannya sendiri.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 75


/3/
maka, adakah lirih yang lebih rajam dari mengarak keranda rindu ke dalam liang
keabadian? demikianlah hakikat kesetiaan, katamu. yang tercipta dari tanah akan
kembali ke tanah. maka, jangan pernah jerih. memahat bakti dengan darah dan
perih. meski nyawa sebagai penebusnya.

tulah akan digagah, meski hati telah patah. kutuk akan ditenun. meski jasad hangus
dikukus sejarah. maka, menderaslah seperti pemburu melesatkan panah. gambus
selodang akan tetap hidup dan megah. meniti huma, menarikan dawai takdirnya.
sebagai ladang jariyah paling tabah.

bagimu: dari jemari-jemari anakmu—

Ahmad Ijazi Hasbullah, kelahiran Rengat, Riau, 25 Agustus 1988. Pernah


menjadi juara 2 LMCR nasional Lips-Ice Selsun Golden Award 2009, juara 3 lomba
menulis cerpen nasional Kisah Kota-kota Lama Dewan Kesenian Semarang 2016,
juara 2 lomba menulis cerpen nasional Dewan Kesenian Indramayu 2018, juara 1
lomba menulis cerpen Membumikan Pancasila UNM 2021. Karyanya tersiar di
Republika, Majalah Femina, Majalah Esquire, Majalah Kartini, Indo Pos, Pikiran Rakyat,
Tabloid Nova, Riau Pos, Malajah Story, Majalah Bobo, Nubi-Kompas, Sabili, Singgalang,
dll. Buku tunggalnya berjudul “Bahtera” (kumpulan puisi 2015) mendapat
penghargaan Anugerah Sagang 2015, “Tangisan Tanah Ulayat” (kumpulan
cerpen 2014), “Metafora dan Alegori” (novel 2008), dll. Hp. 085376997653 Email.
aijazihasbullah@yahoo.com No Rekening Bank Mandiri (1080006509781) an.
Ahmad Ijazi.
1471052508880001

76 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Kujano yang Lain
: 3 Fragmen Mitos Hulu Rimbang Baling
Oleh Muhammad Ade Putra

Sejarah adalah isak amak


yang gemetar dan sisa sesak
dalam lubuk Subayang.
Sedang kenang tentang kaki belang
yang gamang melangkah dari luas padang ilalang
masih termaktub dalam nisan makam tua
dan pondok-pondok yang roboh dihimpit taruhan Tuhan.

Kami terusir dari rumah:


cakar dan aum masih mengambang di pinggir telinga.
Mak, peziarah ini adalah doa-doa yang berkerak
di tanah yang berdarah.

Ah!

1. Kujano adalah Sungai


Mengalir sumpah panjang
seorang nelayan dari bukit di seberang
di batas sebuah nama
di ujung sejuta tanda
lengkap ikan-ikan yang memeluk jala berlubang
setelah seharian suntuk mengalir dari riuh hulu
menggoyanglah gelombang
dan menabrak pinggir piyau yang berujung karam.

Riwayat ini adalah sengat matahari


yang memanggang pucuk sialang di tepian.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 77


Datuk-datuk menggelar tikar dan menyulut api kemenyan,
batuk memenuhi langit dan kabut seperti kabur mimpi semalam.

Membentang batu-batu dan pandan hutan


di kajang kain milik piyau raja
yang berlayar, menghilir
dengan erang atas badai yang datang mengundang demam.

Di sungai ini, lubuk larangan mekar


setengah sadar dengan pagar tinggi
setelah sepuluh bulan ditutupi rempah
dan semburan mantera

Dari warisan terakhir zaman yang terbiar.

Sungai ini tidak hanya nama,


Kujano beranak langsat
dan melahirkan peradaban.
Tempat hantu-hantu dan dendam lama dibuang
dan purna ditenggelamkan!

2. Kujano adalah Ladang


Kita lihat, peradaban lahir dari kuning
dan hitam tanah ulayat
yang senantiasa menyuburkan batang durian
dan biji kopi di ladang

Dengan harum tai luwak


dan kayu-kayu yang terinjak
para peladang gagal mekar di kampung orang.

78 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Kita datang menggenggam susut bulan di antara sela paha,
ketika seluruh nasi dan pakasam telah berserakan di nampan.
Kabut menguban dari lereng gunung hijau
di ujung tapal antara percakapan dan bisik ninik mamak.
Sedang runcing semak menyemak
di pantat amak setelah puas memangkas batas
musim hujan
dan masa panen.

Amak teguk empedu malam


dan fajar menyiram sisa kantuk
yang menggantung di bibir pagi .

Kita masih menggali tanah!


Kita masih menanam sumpah!

Kening mengering dengan keringat menggaram


kita memilih mengerang dan menggeram di sepi ladang.
Berdoa piyau yang karam semalaman itu
membuat kita selamat.

3. Kujano adalah Rumah dan Kita Terusir


Bagaimana makna selamat,
jika dongeng tentang rumah adalah kunyah
dan ramalan nenek moyang yang beraroma perang.
Kita masih punya waktu untuk pindah,
setelah pemuda itu menyalakan bara Ibrahim
memanggang Tuk Belang yang mengeram
dengan mata menusuk ubun-ubun Gunung Ibun.
Menyisakan janah-janah yang marah!

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 79


Cakar memar di batang punggung sialang
Tanda-tanda mengibarkan bendera putih
untuk kampung menuju lintang pukang.

Kau mengusik kami!

Kujano adalah sepi


tidak lagi terdengar berisik siamang
dan binatang hutan yang memekak gendang telinga
hingga kita terjaga dengan haus timang Amak.

Di tanah yang bermuasal entah ini,


antara semak-semak meradang
ikan berenang dengan perut terbalik -mengambang-
dan rumah Godang gamang menjaga bayang

Bendera suku berkibar setengah tiang di ujung simpang


rahim ketujuh amak yang menabung kenang,
kita bertanya-tanya kepada tetua adat
yang pulang setelah hilang panjang
- sembari menahan tumbang -
“Kapan Kujano tenang?”

Sepulang dari Rimbang Baling Menggunakan Piyau Bakajang Kain | 2023

80 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Muhammad Ade Putra Peraih Anugerah Kebudayaan Kategori Anak dan Remaja
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat ini belajar di Antropologi
Budaya (Universitas Gadjah Mada). Memenangkan beberapa perlombaan, seperti
Juara 1 Sayembara Baca Puisi Multimedia se-Indonesia pada Hari Pers Nasional
(2022, Sulawesi Tenggara), Juara 2 Penulisan puisi pada Pekan Seni Mahasiswa
Nasional 2022 (Malang, 2022), Pemenang Karya Terbaik pada Writer On Vacation
2019 dan mengikuti perjalanan ke Malaysia, Singapura & Thailand. Buku
Kumpulan Puisinya yang telah terbit: Kepompong dalam Botol (2016), Hikayat
Anak-anak Pendosa (2017), Anak dari Hulu (2019) dan Kota-Kota yang Lebih Kau
Cinta Daripada Aku (2022). Turut diundang pada acara sastra: Musyawarah
Nasional Sastrawan Indonesia 2020 (Jakarta), peserta Program Penulisan
Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) 2017 untuk naskah puisi, Muhibah
Budaya Jalur Rempah 2022 (Ternate, Tidore, Banda Neira dan Kupang) dan
Festival Rempah 2021. Pemenang Kompetisi #SahabArtEurpalia dari Kemdikbud
dan membawanya berkeliling Eropa. Emerging Writer 2021 pada Ubud Writer
and Reader Festival.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 81


Ritual Bulean
Oleh Pusvi Defi

Di puncak malam, udara mengigit tulang, tika tiupan tambur Menghujam ingatan
akan perihal tolak pinangan
Yang kutuju pada gadis Rengat berambut sepinggang mayang

Betapa hati bak berperam garam

Sebab terlahir dari kaum ranji hina tak berpandang, Pun elokku cacat melumang,
Hingga gampang dipatahkan, nian segala malang, Segala demam, memantik gelora
dendam,
Hingga begitu agam berang yang sudah memuncak dalam

Adik oi, si manis berpipi rona, tak kusakiti rupamu yang begitu menggoda, tapi
bersiaplah Sebab bulean telah tandang di halaman rumah, merusuh igaumu dengan
sempurna
Pun bakal jua membuat jiwamu meronta gila
Membayangkan wujudku bak Henry Cavil yang memesona Maka sambut dan
pasrahlah!

Di ranting kayu rimba, di malam yang tuba,

Telah kusiapkan sehelai rambut manismu berbalut kemenyan,


Mayang pinang, benang tujuh rupa
Melekat darah perawan dengan mantera membabi buta

“Manggung nak masak


Menjemput harus terbawa
Membunuh harus mati
Sila dibuka, tapak ditating
Kita berjalan ke rumah tempat bulean.”

82 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Getir dendang tambur mengalun Suaranya sampai ke palung
Bak ditelan rimbun batang jagung
Masuklah ke dalam bulean4
yang paling relung.

Pelalawan, 2023

Catatan kaki:
Ritual bulean adalah salah satu acara pengobatan tradisional yang cukup saklar
dengan bacaan-bacaan mantra, pengobatan ini sangat dikenal oleh masyarakat
Talang Mamak digunakan agar orang yang dituju tergila-gila padanya.

Pusvi Defi kelahiran Medan, Sumatra Utara. Sejumlah karyanya telah dimuat
di media, seperti Koran Tempo, Basa-basi,co, dan lainnya. Ketua Forum TBM
Pelalawan, Pilihan Residensi Seniman Riau, dan salah satu penulis BWF 2023
Buku puisinya Mengenang Bumbu Rindu Dapur Inang (2021)

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 83


perempuan itu memanggil-manggil, bunga di taman
bermekaran, & seorang lelaki yang melihatnya terguling-
guling di atas bara api.
Oleh Alfarizi Andrianaldi

mungkin burung-burung pelacak kematian itu akan mati juga, jarak pandang yang
berkurang, sesak napas tak karuan, mata memerah sore ke malam, mabuk yang tak
meneguk anggur, sudah mendekati gila, suka menyendiri dekat-dekat ke semak,
berpura-pura berak. keesokan harinya seorang anak terbatuk-batuk di pelukan ibu, ibu
yang tak tahu-menahu menangis, menggila, menyumpah, kemudian ia tak lagi nampak
di keesokan harinya.

menuju

tujuh lapis cahaya tak lagi nampak, malam gelap, & sejuk menusuk dada yang terbuka.
asap itu menggoda mereka yang lapar, mendekatlah! kekasih yang didamba melambai-
lambaikan tangannya dari jauh, bukan sekali dua kali, berkali-kali, sampai bunyi
gambus menghindarkan turik yang mengalangi bunyi di telinga anak kecil. masih di
dalam lingkaran itu, asap ditarik-tarik ke hidung, mata terpejam. pada akhirnya sampai
pula pada hajatnya.

masih belum tampak

tak lama setelah sibuk menghidu bau kemenyan, asap membuka lahan baru di dalam
tubuh, terbatuk-batuk seisi perut, digerakkan ketidaksadaran, bunga-bunga dipungut
dari tanah, mengembang perlahan seusai di genggam, menjadi kumbang yang gelap,
menjadi layu yang jatuh, menjadi anggur yang teler, menjadi tukak di lambung, menjadi
cinta yang menyulut tumpukan sabut kelapa di tengah keramaian.

sudah tampak

84 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


ia tergila-gila dengan seorang perempuan yang elok rupa, elok lakunya, elok segala-
galanya. ah, tak sanggup ia menahan diri. tampak olehnya perempuan itu menari-nari
di taman bunga, memintanya agar dikejar. begitu santainya, ia mengikuti rentak bunyi
gabus yang digesek terus-menerus. kaki yang tak bersendal itu memerah, ia bukan
sedang berada di neraka, neraka? ia bertanya & berkata kepada perempuan itu, "maukah
kau menari di atas bakaran tubuhku? atau taburkan aku dengan bunga bermacam-
macam bau itu. iya, memang kita belum tiba di neraka, tapi penyiksaan itu berkawan
akrab dengan kita.”

masih tampak

sudah terlalu dekat, sudah abu-abu, pandangan mengabur, jalan sudah ditaburkan
bunga, sudah melangkah ke sini, sudah melangkah ke sana, sudah melangkah kemana-
mana, menepuk-nepuknya, menariknya, ia menungku, & dijerang.

tersadar

bunyi gambus perlahan meredup, kaki kiri perempuan itu tak ada lagi, dilanjutkan
dengan kaki kanannya, apalagi perhiasannya, entah kemana. ia ternganga tak bisa
berbuat apa-apa, tak bisa berkata apa-apa. kini, tangan kanannya pula yang beransur
menghilang, diikuti tangan kiri yang sudah berkemas-kemas dengan anggota tubuh
yang lain, lain dikata lain diperbuat, lain diperbuat lain disangka.

siapa yang akan menyelamatkan tubuh lelaki yang rela melepuhkan kulitnya ini demi
sebuah kebudayaan?

2023

Alfarizi Andrianaldi lahir di Teluk Kuantan, 30 oktober 2002. Mahasiswa Sastra


Indonesia di Universitas Bung Hatta. Puisinya dimuat omong-omong.com,
ruangjaga.com, gudangperspektif.com, marewai.com. Intagram: @bin.adia

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 85


Melepas Damba di Hempasan Ombak Bono
Oleh Anggi Saputra

Menjunjung tinggi menjulang kemilau


Penuh gemercik air membasuh sekujur raga
Tak sering muncul, namun didamba jutaan insan
Penuh pikat, daya tarik, entah semua keemasan yang berbalut puja

Gulungan ombak Bono nan elok diselingi bianglala


Kau indah berbalut misteri
Di tengah masyarakat simpang siur tidak pasti

Hempasan ombak Bono sekali-kali gagah berani


Dilewati peselencar handal membersamai
Dari berbagai pelosok dunia tiada henti

Adakah kata ragu perihal bongkahan emas Pelalawan ini?


Tak perlu polemik
Apalagi banyak diskusi
Yang sudah tertancap dalam hati
Gulungan ombak Bono bukti harta Melayu
Di masa ini kan berlanjut sampai nanti

Anggi Saputra, akrab disapa Anggi, domisili di Kota Pekanbaru, tepatnya di


Rumbai Pesisir. Hobi yaitu olahraga dan menulis. Untuk lebih lengkapnya bisa
bisa berdiskusi melalui Instagram @anggisaputra000 dan surel
anggisaputra@gmail.com

86 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Ke Bukit Doa, Ke Lubuk Pinta
--tentang Semah Rantau
Oleh Muhammad Asqalani eNeSTe

kerbau jantan itu telah hening,


menyatu dengan niat mendarah daging,
orang-orang Tanjung Beringin.

kecuali hati
kecuali jantung
kecuali kepala kerbau
nyaris sisa sekotah tulang.
tujuh datuk beriring di samping Mak Zainab,
cerano di telapak tangan jangan disingkap.

calempong berdenting, gong bergema,


orang-orang meninggalkan rumah,
berjalan ke bukit-bukit ziarah.
yang bersila di kubur Datuk Putih,
kemenyan yang diasapi, abu di tempurung memutih,
doa-doa disulih, rasa hormat pun telah putih.

orang-orang masih beriring,


ke bukit paling tinggi jenjang diberi,
di puncak langkah ruh Datuk Pagar pula menanti;
doa terus dikuar, harapan terus diputar,
kata-kata serupa cahaya; salam padamu yang pernah menjaga negeri,
salam Tuk Bolang jangan ganggu kami.

beringsut kemudian ke tepi pantai,


piaw-piaw berkajang kain telah berkilau,
kuning untuk Raja Gunung Salihan,

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 87


yang dominan warna dan garis penanda suku.

di batas desa Gajah Bertalut, sholawat sahut menyahut,


orang-orang khidmat menjalin jari, setelahnya kepala kerbau tenggelam sudah;
yang tidur di ceruk-ceruk sungai, jangan ganggu kami seketurunan,
ambillah persembahan sebagai janji.

di pulau, orang-orang duduk di terpal, di atas daun-daun,


di atas batu juga pasir. angin semilir, doa-doa digilir,
kami pun makan di atas pinggan-pinggan ayan.

pulang ke hilir,
semoga mala punah tergelincir,
puah! puah! hati kami berumah kepada tuah.
Sepanjang Subayang,
Sepanjang Lubuk masih Larangan.

Kubang Raya, 10 Oktober 2023

Muhammad Asqalani eNeSTe. Kelahiran Paringgonan, 25 Mei 1988. Alumnus


Pendidikan Bahasa Inggris - Universitas Islam Riau. Pemenang II Duta Baca Riau
2018. Menulis puisi sejak 2006. Puisinya tersebar di sejumlah media. Terhimpun
dalam beberapa buku antologi. Buku puisinya yang akan terbit adalah _Ikan-ikan
Kebaikan Terbang, dari Sungai ke Langit Lengang_. Mengikuti Residensi Seniman
Riau 2023. Merupakan Emerging Balige Writers Festival (BWF) 2023. Ia
merupakan Mentor Menulis Puisi di Asqa Imagination School (AIS). WA:
081949402585. YouTube: Dunia Asqa. IG: @muhammadasqalanie

88 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


FRAGMEN MENUMBAI PETALANGAN
Oleh Budi Saputra

Masih membeliak matamu dalam lembar malam


kala bulan tak bersinar penuh. Masih setia kau susuri
pematang jalanku yang sakral.
Membuka tanggul keberkahan tanpa memercikkan
luka dan membalutkan helai kafan
di sekujur tubuh sialang.

Bertahun-tahun kau rapalkan enam lapis mantra


dalam jernih nurani. Mereguk mata air tubuhku
yang tak henti menjelaga di persilangan
empat musim penuh arti.

Satu di antaranya dalam musim bunga padi.


Ketika putih madu membakar hasratmu seiring nyala tunam.
Membaca salam pembuka, memohon kekuatan agar
jadilah tulang itu kulit dan jadilah besi itu dahan.
Lalu dengan kesungguhan lahir batin, kau begitu
lihai membujuk serta melenakan
Lalat Putih Sri Majnun yang konon
berasal dari gua batu di Makkah.

Masih membeliak matamu dalam lembar malam


kala bulan tak bersinar penuh. Masih setia kau pagut
kayu sakti dengan salam penghormatan
pada mambang kayu dan jembalang, serta salam
takzim untuk seorang nabi yang
merajai sekalian hewan.

Bertahun-tahun kau rapalkan enam lapis mantra

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 89


dalam jernih nurani. Merawat selilit pinggang
riwayatku di Kepungan Sialang diperciki air intan.
Tak habis-habis kau maknai dengung
si Itam Mani dan nyala api. Lalu dengan penuh
perhitungan, kau berkemas sebelum datangnya
pagi dibius tarian langit kirmizi.

Seperti manik-manik terbuhul rapi, betapa kau selalu


menginginkan malam menjadi waktu jamuan yang
nyaman dan mengakar dalam diri juragan tuo
orang-orang Petalangan.

Tak ingin sekejap mata pun tamadun terlempar


atau terserak menjelma kayu-kayu lapuk.
Di mana siang tak ubahnya adalah pengkhianatan.
Ketika menumbai berganti tikar lalu ditelanjangi
bagai gadis perawan yang dijarah kesetanan.
Ketika hutan-hutan dibabat habis menghancurkan
sarang Lalat Putih Sri Majnun. Ketika mantra
dan pantun digerus bahtera zaman, lalu menghilang
seperti nyanyian burung-burung yang diringkus
gemulung awan hitam.

2023

Budi Saputra. Lahir 20 April 1990. Ia menulis di berbagai media massa seperti
Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili, Jurnal Bogor,
Lampung Post, Suara Pembaruan, Tabloid Kampus Medika, Suara Merdeka, Radar
Surabaya, Jurnal Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Lombok Post, Tanjung Pinang Pos,
Magrib.id, Marewai.com, Rakyat Sultra, Kompas, Kompas.id (digital), Koran
Tempo. Diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012, Pertemuan Penyair
Nusantara (PPN) 5 Palembang (2011), dan PPN 6 di Jambi (2012).

90 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Revival Ritual
Oleh F Kecil

1/
asap cerutu tumplak memenuhi geladak, mengganggu ibu negara yang sedang
meramu silu. aku yang kau bilang tidak punya otak mematung, menghitung separuh
kata-kata anggara dari paruhmu. aku minta dibuatkan teh, tapi kau berceloteh,
“Gula habis!” persis serupa sikap manismu—sudah kikis. sehabis berteking hebat
layaknya Hang Tuah dan Hang Jebat, terdengar suara jerit tangis dalam bilik, diikuti
bunyi barang pecah. suasana seketika lengang usai kau beri seorang gulam obat
penenang. aku berprakarsa mencari okultis di desa seberang.

2/
pagi kelabu. belum ada tanda-tanda rinai. justru jerebu balik berburu ke segala
penjuru. anak kami yang malang, ia lagi-lagi melaung tidak kepalang tanggung.
entah jembalang apa yang masuk merasuk. katanya, ia melanggar pantang larang
sewaktu rehat di tepi Sungai Jantan. bahkan orang pintar tak sanggup menyangkak
samparnya agar tak menjalar. selesai geramus pangsit buatan puspa hati, aku
mendapat wangsit dari Ilahi. revival ritual, itulah siasat untuk pulih dari pelbagai
ihwal.

3/
tatkala sinar merah di ufuk barat minggat, Ghatib Beghanyut digelar. ritual yang
sudah lama padam, kini menyala seperti sediakala. bejibun orang berbaju putih
berharap: segenap sedih, pedih, dan perih lenyap—sejumput karut marut bakal larut.
mulut mereka komat-kamit, rapal doa ke penguasa langit. obor berkobar sebagai
lentera malam. puluhan sampan berlayar dari hulu ke hilir. “Allahu Akbar, Allahu
Akbar, Allahu Akbar!” desir angin takbir berembus, tebaskan seluruh rebas. bak air
yang selalu mengalir, pendar-pendar zikir terus bergema di sepanjang bengawan—
aku dan kasihku, mengawan.

Tepi Sungai Jantan, 10 Oktober 2023

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 91


F Kecil merupakan nama pena yang dibawa penulis hingga saat ini. Berdomisili
di Kota Pekanbaru dan aktif diberbagai komunitas salah satunya di Rumah
Kreatif Suku Seni Riau sebagai anggota bidang sastra. Selengkapnya bisa
berkenalan di laman Instagram @fhrlrznew

92 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Kepada Engkau Budak yang menolak Tuah
Oleh Nena Padmah

Semalam aku baui busuk yang jahanam


Mata mata memandang kemeriahan
Suara Mantra Nakatua hadir kembali membayang
Yang ku puah kan kepada engkau yang menolak Tuah
Puah ku batal segala aral

Disini, bau busuk yang jahanam perlahan hilang – perlahan kemudiandatang lagi
Rupanya raal berbeda sedang kau persiapkan di batas ruang yang lain
Namun tak berbunyi kata maupun makna
Engkau pun gagal dalam puah

Sedikit kesan yang datang


Engkau megah dengan bodohmu
Aku mewah denga caci maki ku
Bergaung kemana angin membawa bunyi

Puah, Tuah, Tulah


Puah, Tuah, Tulah

Sembab mata mata memandang kemeriahan


Berderap derap kedengkian datang
Bintang jatuh di lain haluan
Tuah semakin jauh
Puah tak lagi ada
Tulah menyergap dalam kealpaan

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 93


Puah engkau
Tuah engkau
Tulah engkau

Tak lagi pada Mantra ku


Baik sekarang maupun tujuh tahun yang lalu.

Nena Padmah merupakan nama panggung yang digunakan oleh Fatmawati.


Kelahiran kota Bengkalis, Provinsi Riau Febuari 34 tahun yang lalu. Saat ini
berdomisili di Perum Kulim Raya Permai Jalan Hang Tuah Ujung, Pekanbaru.
Menjabat sebagai Pimpinan Produksi dalam Komunitas Mini Teater Riau. Ketua/
Pimpinan kelompok Teater Taksu Pekanbaru. Aktris, penulis naskah, dan
sutradara teater. Ketua Korda Kota Pekanbaru, Jaringan Teater Riau.

94 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


JEBAT! JEBAT!
Oleh Helsi Rahmadhani

Sudah kau temukan


taming sari?
Hang Tuah sang penjaga marwah,
tlah melemparnya ke sungai sejarah
sekepal do’a ia rapalkan,
merayu pada keadaan
agar tunduk buas kekuasaan
Kekuasaan!
walau Sultan titihkan segala
yang berlawan
dalam jiwa.

Semuanya semerawut,
Manakala Hang Jebat telah kalut
keris dirampas
terlepas
terputus
nyawa saat tikaman meraja
pada dada.
menghempaskan asa pada raga yang lemah
terpiuh dalam ingatan masa.

Bukankah ikrar persaudaraan, telah kita rajut di Gunung Ledang;


“tak boleh saling perangi”

Hari pulangnya hayat


hambur dalam hikayat
semua terasa terlaknat
ingatan Melayu terus menyemat

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 95


pedih dan ngilu terlantun
dalam cerita ibu.

Hei, bomoh!
Nyalakan asap kemenyan
bangkit saksi perjalanan
jangan sampai latah pertikaian
menghujamkan
lagi
taming sari dalam sejarah yang rentan.

Helsi Rahmadhani akrab disapa Helsi, aktif diberbagai komunitas literasi dan
salah satunya yaitu anggota Suku Seni dibidang sastra. Terakhir mengikuti
pelatihan menulis yang diadakan oleh balai bahasa provinsi Riau.

96 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Melayu: Sebati Aku pada Rahimmu
oleh Rian Kurniawan Harahap

(1)
secawan luka menggenang di tubuhmu,
ia tumbuh dari sengkarut,
ditimang musim abu,
bersampan mitos dan risalah,
yang berserak pada tubuh sejarah

sementara, aku berkahwin syahwat,


mengaliri telaga-telaga,
dengan serapah yang meluah
bicara tentang melayu,
yang lahir prematur,
di tubuhmu

melayu yang tersadai,


bukan di bibir pantai,
tapi pada kuala temasik,
yang disihir jembalang,
menjadi sungsang,
bersama jerebu,
rebah di punggung waktu

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 97


(2)
seorang melayu,
mesti berkanji risalah dan sejarah
ia menjauh dari amarah
membalut mitos-mitos berdarah
kita pernah dekat,
serapat mulut dan maut
Tun Jana yang hanyut di telaga asmara
dipaksa rubuh, mengaduh
ditelan sunyi
yang renyai suaranya
ingin pulang ke Pasai
“darah itik di singapura, badannya terlantar di langkawi”
tapi darah telah renjis di tanah jadi batu
raja singapura tegak segak
tak takut liang atau apapun yang terbang
tapi ikan-ikan itu datang
tak terbilang menyerang
tanpa pawang
menyanyikan hikayat lapar
yang merapal mantra-mantra
rahangnya menyerang pantai-pantai
luka atas tulah dan karma
apakah sihir atau jampi guna-guna?
sitawar sidingin di ambus-ambus
pasanglah betis, berbaris-baris
sebut kanak di bibir pantai
pulanglah wahai Todak
selami lautmu

98 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


(3)
melayu adalah kasidah barzanji
yang gazalnya jadi seligi
menjaga tuah negeri bestari
ratip yang tumpah di sajadah
menjulang hari-hari khusuk kaji
dari bukit Tursina kesiur angin menuju Daik-Lingga
membentangkan kisah Johor dan Melaka
pelarian ke Indrapura
atau orang laut
bersemayam pada angin dan kecipak hujan
mengingat datangnya Sang Sapurba
yang datang dari arus kelana
hidup menongkah
berhimpun di punggung sejarah
singgah di Bandar
melawan musim abu
meranum jerebu
obladi oblada dandandid
“hidup jadi melayu”
sebati jadi syair abadi

Rian Kurniawan Harahap, M.Pd merupakan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian
Kota Pekanbaru. Penulis memenangkan lomba cerpen umum terbaik 1 nasional
UNS (2023), lomba puisi umum terbaik 1 nasional UNSRI (2023), Esai terbaik 2
Sutardji Calzoum Bachri UNILAK (2023), Esai terbaik 2 Inkubator Nasional
Perpusnas Riau (2023), Naskah Drama terbaik 3 Festival Sastra Sungai Jantan
(2023). Buku tunggalnya, novel Kelambu Waktu (Salmah Publishing, 2020),
kumpulan Cerpen Api Rimba (Lovrinz Publisher, 2022).

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 99


MERISIK
Oleh Septian Eko Saputra

Berkisah perihal kau akan kukawini,


tersebutlah seorang perisik
bagi bujang dan gadis beradat.

Ia hadir penuh muslihat


selayaknya tamu yang sopan.
Bersenda gurau di atas ubin dingin yang membakar,
Berburu kutu di rimba rambutmu yang belukar,
Setia dengarkan kisahmu di balik dinding
pelataran kamar.

Perisik akan bersengkarut dan berperi


oleh dara yang arif dan mengenal diri.

Baginya janganlah laku berbuat kasar,


Ia pengintai yang menyamar.
Turutlah serta sayang dan kasih,
Ia mencari isteri yang boleh
berserah pada suami.

Tak patut kau risaukan,


Ia pergi bilamana kau kukawini,
Ia lenyap tatkala kulihat
Puisi dicuri binar matamu,
Ia sirna saat kutemukan
segala sesuatu yang bernyawa
di balik senyummu.

100 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Septian Eko Saputra lahir di Pekanbaru, 1996. Menyelesaikan studi Ilmu
Komunikasi dan kini menjalani kehidupannya sebagai pekerja kreatif di
beberapa bidang. Arum: Perjalanan untuk Tumbuh, Mekar, dan Layu adalah buku
pertamanya. Selain buku, dia juga aktif menulis naskah film pendek. Naskah-
naskahnya yang sudah diproduksi, antara lain: Tujuh Biji (2016), Negeri
Bermekar Derita (2016), Jerat (2017), Burung yang Tertidur (2020), Teman dalam
Gelap (2021), Dunia di Halaman Belakang (2022). Karya-karyanya juga bisa
ditemui di media sosial Instagram: ruangsendagurau.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 101


Sihir dan Syair
Oleh Zainul Dzakwan Arabi

Cenayang dan pujangga


Menulis mantra dan sastra
Pensil dan tongkat sihir
Entah ramunya ranum mair
Merayu dara ayu laksmi

Cenayang menambat sihir renjana


Merapal ke arah dada, menunjuk dara diguna-guna
Bahu dan pahanya menyilang ternganga
Bibir dan pipi merah lencana menggoda

Pujangga mengepak tangan


Mengangkat dagu, menutup nafsu
Menggali liang darahnya agar bertutur apa adanya
Lantang membunuh ragu dan malu, sesungguh
Dara mendengar
Terendam sukma merembab degub dada
Tertawan hati memilih suara jawara

Cenayang mengeringkan daun telinganya

Pujangga menggumpalkan makna


Menjalin benang kusut ruh pendamba
Melempar surat cinta syahda

Dara membaca
Tersuar cahaya masuk kata di kosa
Terbakar tangis, kasihnya tiada menepis
Macam tuna runggu pun jatuh cinta

102 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Cenayang merenggut bola matanya

Dara berbicara
Cintanya pamrih
Penuh getah liur pujangga bersyair
Macam tuna netra pun jatuh cinta
Melimpah darahnya keringat dingin
Meracap rindu dan ingin

Cenayang merampas kejal lidahnya

Pujangga percaya hajatnya nang sakral


Segala jagat kenang rayunya raya
Macam tuna wicara juga jatuh cinta
Begitunya dara tak hilang nan sirna

Cenayang ayal
Rosaknya indra dan bingkai raga
Tak membutakan, menulikan dan membisukan sanubari
Geram, menyulut ludah dan darah jadi pukau sakti
Cenayang membunuh dara, jadi pasi

Pujangga haru
mengerna di dada oja-oja sadu
Dinobatkannya dara dalam aamiin
Asmarandana menderu, menyalin
Cenayang kerasukan
Pujangga dan dara macam tak terpisahkan
Apakah pujangga mahir pancasona
Apakah pensil adalah tongkat sihir
Majas dan metafora

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 103


Membunuh jampi dan cenayang satir

Pujangga dan dara


Bercinta di dunia jiwa
Berjumpa lewat kata ketir
Dalam puisinya sihir dan syair

(18 September 2023)

Zainul Dzakwan Arabi, saat ini bertempat tinggal di Kota Pekanbaru. Aktif
diberbagai kegiatan sastra salah satunya merupakan penulis di Galeri Hang
Nadim. Untuk selengkapnya mari berbincang melalui Instagram
@zainuldzakwanarabi dan bisa menghubungi melalui surel
zainuldzakwan@gmail.com

104 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


Biodata
Penulis
Boy Riza Utama lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, 4 Mei 1993 , dan sejak
2006 tinggal di Pekanbaru. Bergiat di komunitas Paragraf sejak 2014.
Puisi-puisinya terbit di sejumlah media cetak dan daring, di antaranya
Kompas, koran Tempo, Riau Pos, Majalah Pusat, Buruan.co, Bacapetra.co,
dan lain-lain. Beberapa prestasi yang diraihnya adalah juara II lomba
menulis puisi tingkat Sumatra yang ditaja oleh Himpunan Mahasisea
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu
Pendidikan dan Keguruan Universitas Islam Riau (FKIP UIR) pada tahun
2014, sementara pada tahun berikutnya, meraih juara pertama untuk
perlombaan yang sama untuk tingkat Indonesia. Ia juga meraih juara
pertama dalam lomba penulisan esai yang diadakan oleh Balai Bahasa
Riau pada tahun 2015. Pada tahun yang sama , ia mengikuti Gerakan
Indonesia Membaca Menulis dan Balai Bahasa Riau sebagai peserta
Gerakan Literasi Nasional. Pada tahun 2020 ia meraih penghargaan
Penulis Artikel di Media Massa Berprestasi dari Balai Bahasa Riau. Ia dapat
disapa di akun facebook, Instagram, dan Twitter @boyrizautama.

Hary Budiarto Koriun adalah seorang wartawan yang hobi menulis fiksi
(novel, cerpen, dan puisi), melakukan perjalanan dan petualangan,
bermain sepakbola, bulutangkis, dan tenis meja, juga hobi lainnya. Lahir
di Pati (Jawa Tengah) pada tahun 1974. Kemudian besar di lokasi
transmigrasi di Kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Jambi.
Menamatkan SD hingga SMA di sana sebelum kuliah di Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas (Padang). Sambil kuliah, dia belajar

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 105


jurnalistik dan sastra. Seorang ayah dari tiga anak (Abimanyu Wahyu
Palagan, Sadewa Raditya Palagan, dan Diandra Larasati Palagan) dan
seorang suami dari Dessy Wahyuni (doktor sastra di Badan Riset dan
Inovasi Nasional [BRIN]) yang kini bertugas di Yogyakarta. Pernah
menjadi pengajar ilmu jurnalistik dan sastra di FIB Universitas Lancang
Kuning, dan Fakultas Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sultan Syarif
Kasim II, juga menjadi intrukstur pelatihan penulisan cerpen, novel, puisi,
dan jurnalistik di banyak lembaga di Riau. Hary juga mendapatkan
beberapa penghargaan di bidang jurnalistik, novel, dan cerpen, baik
tingkat Riau maupun nasional. Selain itu juga menerbitkan buku novel,
kumpulan cerpen, dan jurnalistik. Selain menjadi editor di media
tempatnya bekerja, Riau Pos, juga menjadi editor buku di Penerbit
Palagan Pustaka yang didirikannya, selain menjadi editor buku lepas di
beberapa penerbit lainnya.

Marhalim Zaini lahir di Teluk Pambang, Bengkalis, Riau, 15 Januari 1976.


Telah menulis 24 buku. Menerima sejumlah penghargaan nasional.
Menulis di berbagai media massa. Mendirikan dan menggerakkan Rumah
Kreatif Suku Seni Riau dan mengelola channel youtube Ruang Seni. Sejak
menetap di Pekanbaru (2004), ia menggerakkan sastra dan teater, seperti
mendirikan Sanggar Sastra Siswa, menggerakkan forum diskusi sastra
bulanan bertajuk “Majelis Jumat”, mendirikan Sekolah Menulis Paragraf,
menggerakkan komunitas Musikalisasi Puisi bersama Balai Bahasa Riau,
menghimpun pekerja teater Riau dalam Telangkai Teater Riau. Beliau juga
meraih penghargaan sebagai Sastrawan dengan Karya Terbaik dalam
Kategori Naskah Drama “Api Semenanjung” Dalam Buku Kumpulan
Naskah Drama Dilanggar Todak pada Penghargaan Sastra, Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2023 di Jakarta.

M Badri lahir di sebuah dusun kecil di kaki Gunung Kelud, Kabupaten


Blitar (Jawa Timur), 13 Maret 1981. Namun sejak tahun 1986 hijrah
mengikuti orang tua sebagai transmigran yang ditempatkan di belantara
Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Menikmati masa kecil dalam dekapan

106 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


liar tumbuhan rimba dan kesejukan air di rawa-rawa yang menjadi
tempat bermain paling mengasyikkan. Menempuh pendidikan SD-SMP di
Kuansing (SDN 013 Sungaibuluh pada tahun 1986-1992 > SMP Perintis
Simpangraya: sekarang SMPN 3 Singingi Hilir pada tahun 1992-1995),
sedangkan SLTA di SMAN 1 Talun, Blitar, pada tahun 1995-1998. Tahun
2004 menyelesaikan studi S1 di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian
Universitas Islam Riau (UIR) dan mendapat predikat sebagai wisudawan
berprestasi di bidang penggerak organisasi dan penulisan kreatif. Saat
mahasiswa S1 aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan internal dan
eksternal kampus, antara lain Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi
Tabloid Mahasiswa AKLaMASI dan Ketua Senapelan Writers Association
(SWA).

Menulis artikel ilmiah populer dan sastra di sejumlah media lokal dan
nasional serta beberapa kali menjuarai perlombaan kreatif antara lain:
pemenang pertama lomba penulisan ilmiah populer Piala Gubernur Riau
(2003), pemenang lomba cerpen mahasiswa se-Riau (2004), pemenang
pertama lomba puisi lingkungan hidup se-Riau (2004), pemenang lomba
karikatur se-Riau PPMR Riau Pulp (2005), pemenang lomba puisi online
se-Sumatera (2005), sejak tahun 2002 – 2005 turut menjadi pemenang
lomba cerpen, puisi, esai Laman Cipta Sastra se-Riau Dewan Kesenian Riau
(terakhir pemenang pertama puisi Laman Cipta Sastra 2005), pemenang
pertama lomba logo PPLH IPB (2006), nominator lomba cipta puisi
nasional “Krakatau Award” Dewan Kesenian Lampung (2006), pemenang
pertama Sayembara Menulis Cerpen Nasional Festival Kreativitas Pemuda
2006 yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) bekerjasama dengan
Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (2006), pemenang “Cerpenis
Berbakat” lomba cerpen HUT PARLE (2007), pemenang pertama Ajang
Kreasi Kumpulan Cerpen Escaeva-Bukukita(dot)com (2007), pemenang
pertama kontes penulisan puisi nasional “Tafsir Bebas Gurindam
Duabelas” Raja Ali Haji Award, Dewan Kesenian Kepulauan Riau (2007),
pemenang Karya Terpuji Lomba Puisi “Cinta” Tabloid Nyata (2008),
pemenang harapan lomba desain maskot budaya korporat IPB BHMN

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 107


(2008) dan pememang pertama Lomba Karya Tulis Nasional
“Pembangunan untuk Kesejahteraan Rakyat, Konsep dan Gagasan Masa
Depan Perekonomian Bengkalis’’, ISEI Bengkalis (2009).

Dr Jarir M. Ag, merupakan wartawan dan dosen sejarah kebudayaan


Islam di sejumlah perguruan tinggi. Pendidikan yang ditempuh yaitu: S1
Bahasa Arab IAIN Medan (1991-1997), S2 Studi Kawasan Asia Tenggara
IAIN Suska Riau (1998-2000), S3 Pendidikan Islam (2015-2018). Jika ingin
berkenalan lebih lanjut bisa hubungi melalui surel
jarirarmunmarsimin@gmail.com. Beberapa artikelnya sudah dipublish
dimedia digital dan bisa diakses untuk umum, yaitu: Jejak-Jejak Dakwah
Budaya: Konversi Agama Massal di Asia Tenggara abad XV-XVII
(https://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/idarotuna/article/viewFile/
9554/5370. Meneliti Situs-Situs Awal Peradaban di Pulau Bengkalis
(https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=id&us
er=GYzMMHQAAAAJ&citation_for_view=GYzMMHQAAAAJ:0EnyYjriUFMC
). SEJARAH NUSANTARA: Perspektif Geologis, Zoologis dan Etnografis
(https://ejournal.uinsuska.ac.id/index.php/nusantara/article/view/715
3), Sumbangan Tamaddun Melayu di Asia Pasifik (Jurnal APJRS).
NUSANTARA; Jalur Lintas Peradaban Dunia (https://ejournal.uin-
suska.ac.id/index.php/nusantara/article/viewFile/10613/5481). Beliau
juga aktif menulis buku, diantaranya: Rosnaniar, Dari Kuok ke Senayan,
Marhum Pekan: Tengku Muhammad Ali Panglima Perang Guntung,

Griven H Putera lahir di Rantaubaru, 28 Juli 1976. SD Negeri 003


Rantaubaru (1982 - 1988). MTs / MA Pondok Pesantren Daarun Nahdhah
Thawalib Bangkinang (1988 - 1995). S1 Fakultas Dakwah IAIN Susqa
Pekanbaru (1995 - 2000). S2 Pasca Sarjana IAIN Susqa Pekanbaru (2002 -
2004). Tinggal Perumahan Astakarya Panam, Blok K.21. Bekerja di Kantor
Kemenag Kabupaten Pelalawan, Komplek Perkantoran Bhakti Praja
Pangkalan Kerinci. Sekretariat Dewan Kesenian Riau, (Gedung Purna
MTQ) Jalan SudirmanPekanbaru. Menulis sejak mahasiswa. Menulis
bidang sosial kemasyarakatan, politik dan keagamaan Kalau tak salah,

108 | Kumpulan Makalah dan Puisi Festival Sastra Melayu Riau


karya pertama yang dimuat berjudul “Saat Aku Pulang” cerita pendek
yang dimuat di Tabloid Titah, edisi – I, 11 Juni – 9 Agustus 2000. Ini
merupakan tabloid Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Susqa
Pekanbaru. Tulisan yang paling berkesan adalah: cerpen berjudul “di
Tanah Merah Basah” yang dimuat di majalah Annida, Jakarta, edisi no.23
Th. IX 13 September 2000. Berkesan karena tulisan pertama yang dimuat
di media nasional dan menjadi cerita utama di majalah tersebut.

Sastra Melayu Riau, yang Kuno dan yang Kini | 109

Anda mungkin juga menyukai