Penulis
Dr. Jarir Amrun, dkk
i
Daftar Isi
Daftar Isi............................................................................. ii
ii
Kujano Yang Lain .................................................................... 77
iii
Bincang Sastra
Festival Sastra Melayu Riau 2023
“Budaya, termasuk karya sastra tidak mendadak turun dari langit secara
mendadak, tetapi merupakan proses hasil interaksi dengan alam dan pemikiran
(minda) yang berkembang di lingkungan penulisnya. Di sinilah pentingnya
memahami sebuah karya dengan pendekatan determinisme, perlunya
pemahaman tentang sejarah budaya atau sastra melayu, dari mulai masa
Hindu, Islam, penjajahan Belanda, Inggris dan di masa kemerdekaan RI.”
1Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu), [ed. A. Samad Ahmad], Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka, 1979. Hal, 2.
Jembalang Guntung dan Harimau Buas adalah nama meriam yang dimiliki
Tengku Muhammad Ali, yang saat itu menjadi pangliam besar Perang Guntung.
Syair ini mampu memberikan gambaran perang guntung terjadi. Walau
senjata yang dimiliki pasukan Kesultanan Siak tak sebanding dengan kapal
perang, mariam pasukan VOC, namun semangat perang melawan pasukan VOC
yang lengkap.
Karya sastra melayu yang besar ini produk dari Perang Guntung selama
1758-1761, atau sekitar 265 tahun yang lalu. Syair Perang Siak cukup tebal,
hanyut dalam semangat perang kita membacanya. Demikian patriotisme bangsa
Melayu melawan VOC, yang seharus tercatat dalam sejarah nasional.
Bagi sastrawan Melayu, perang atau perlawanan terhadap kezaliman,
dicatat dalam bentuk karya sastra, sehingga tersimpan dalam memori minda
anak cucu atau zuriat di kemudian hari.
Syair Tamsil
Di saat betapa sulitnya menyampaikan hal penting kepada pimpinan
negeri (bendahara, raja, sultan, kalau saat ini pejabat. kepala daerah, menteri,
presiden) yang zalim atau perangainya jahat, tamaddun melayu menggunakan
tamsil untuk menyampaikan pemikirannya, sehingga tersampaikan ke pimpinan
negeri yang zalim. Seperti karya besar di dunia melayu, Syair Ikan Terubuk,
Syair Ikan Tongkol, Syair Bereng-bereng, Syair Burung Nuri, Syair Burung
Pungguk, Syair Bulan Sairang.
Syair Ikan Terubuk menjelaskan tentang ikan trubuk yang jatuh cinta
pada ikan puyu-puyu. Ada yang beranggapan, bahwa syair ikan yang terkait
seorang pangeran di pesisir yang jatuh cinta pada putri di daratan (sungai). Ini
gambaran keinginan kuat sorang sultan di pesisir untuk menaklukkan
pedalaman melalui jalur sungai (mungkin saja pedalaman sumatera, karena ikan
trubuk adanya di pesisir pantai timur sumatera).
Mengapa pilihan syair sosok sang pangeran itu ikan trubuk? Karena ikan
ini, ikan yang paling mahal, bahkan Belanda menetapkan cukai untuk
pengangkutan dan penjualan ikan trubuk. Cukai yang dipungut pada tahun 1881
Hikayat
Hikayat pada awalnya adalah produk lisan, kemudian raja atau pembesar
kerajaan menyusuruh orang untuk menulisnya, atau ada seseorang yang
berminat menulis cerita lisan tersebut sehingga menjadi naskah hikayat,
sehingga sulit menentukan apakah sebuah kisah dongeng atau kejadian
2J.A. van Rijn van Alkemade, “Reis van Siak naar Poelaulawan”, TNAG, deel III,
1887. 114.
3 Zulkarnain Yani, Analisis Tematik terhadap Syair Burung Pingai Karya Hamzah
Fansuri, Jurnal Penamas, Vol XXII No.2 tahun 2009, Hal. 213.
4 Dr Liaw Yock Fang, Sejarah Kesustaraan Melayu Klasik, Pustaka Obor 2011,
Jakarta, Hal.1.
Kamus Melayu
Van Ophuijsen salah seorang ilmuan bahasa yang rajin mengumpulkan
dan menganalisa bahasa Melayu, bahkan dia menulis buku Ragam Logat Bahasa
Melayu. Tak hanya Van Ophuijsen sendiri, ada juga Husein Djajadiningrat pada
tahun 1933 memaparkan makalah tentang Latar belakang magis pantun melayu.
Pidato yang disampaikan di hadapan Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia
Belanda pada peringatan sembilan tahun berdirinya Fakultas Hukum di Batavia,
28 Oktober 1933.5 Kemudian pidatonya diterbitkan menjadi buku tahun 1933.
Pantun Melayu, kumpulan RJ Wilkinson dan RO Winstedt, (Sastra Melayu Seri 12,
edisi pertama 1914, edisi kedua 1923).
Pada masa 1890-1930 ini muncul beberapa buku saku kamus bahasa
Melayu-Madura (Mardjana dan R Sasrasoeganda, Boekoe Peladjaran Bahasa
Melajoe Oentoek Sekolah Madoera, Den-Haag-Batavia, 1932.), Melayu-Sunda,
Melayu-Jawa, Melayu-Belanda, Melayu-Inggris, Melayu-Jerman (Tahun 1835,
penulis jerman, Melchior Leydekker menulis Maleisch en Nederduitsch
woordenboek (Kamus Melayu-Jerman). Lihat lampiran:
Ada Kamus Bahari. Buku Kamus Hollandsch-Maleisch technisch
zeevaartkundig woordenboek (Kamus teknik bahari Belanda-Melayu) karya MJE
Kriens yang terbit tahun 1888 menarik. Setelah dibacanya, menyadarkan kita
bahwa banyak bahasa Melayu (Bahasa Indonesia) yang merujuk ke bahasa
belanda. Misalnya kata kapur bahasa belandanya "Kalk", kita sering menyebut
beli kapur kalk. Kata kain lap, dalam bahasa belanda, "lap" itu sendiri artinya
sudah mencakup "kain lap". Dari kata lap ini kita gunakan kata kerja "mengelap"
6 Gonda Jan, "Eenige moderne Maleische romans". Noordhoff, [1934], P. 37. Lihat
juga Linden, Adriaan Leo Victor Lambert van der,"De Europeaan in de Maleische literatuur".
Ten Brink,1937. Hal, 361.
Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Ned. Indië en het Indisch Genootschap. -
SUPPL. 7". Nijhoff,1915. Hal. 181.
9 Poëzie zelfs tegen voetbal. "Algemeen Dagblad". Rotterdam, 20-06-1974.
10 Poëtry-sfeer lijkt op die van popfestival Holland Festival 1974. "Het vrije volk:
Kesimpulan
Karya sastra itu tidak muncul mendadak seperti naskah yang turun dari
langit, tetapi ada kondisi yang mempengaruhinya, sehingga menjadi karya besar
dizamannya. Filsafat determinisme menjelaskan bahwa sebuah karya, termasuk
karya sastra, tidak terlepas interaksi penulis dengan kondisi lingkungannya, baik
lingkungan fisik (alam dan tataran kehidupan penulis) dan non-fisik (pemikiran
yang mempengaruhi penulis). Misalnya Sulalatus Salatin karya besar Tun Sri
Lanang, muncul karena adidaya kesultaan Melaka, kemudian naskah Sulalatus
Salatin diselesaikan di Aceh, karena Aceh menaklukkan Johor. Demikian juga
Syair Perang Siak, adalah produk dari Perang Guntung, perlawanan Kesultanan
Siak melawan VOC di Pulau Guntung.
Pengaruh sastra klasik sangat kuat kepada Raja Ali Haji. Raja Ali haji yang
produkti di masa 1840an sampai 1870an. Beliau berhasil memilah antara fiksi
(Gurindam dan Syair) dan non-fiksi (Tuhfah An-Nafis) dan opini atau pemikiran
(Tsamarat Muhimah, Muqoddimah). Ia juga berhasil melahirkan Kitab
Pengatahuan Bahasa.
“Puncak sebuah karya sastra ialah kehidupan. Dan sejarah sebagai suatu
catatan peristiwa dalam kehidupan dapat saja dipandang sebagai salah satu
bagian dari punca. Maka dengan memanfaatkan bahasa dapatlah
kesustraan dipandang sebagai puncak yang bertolak dari punca tadi.
(Hasan Junus, 1997: 121)”
Mazhab Riau
Menurut UU Hamidy (2013: 160), ada tiga warna mazhab Riau:
Pertama, masa silam, yakni karya-karya yang terinspirasi dari peristiwa
sejarah masa lalu serta gambaran kehidupan puak Melayu tardisional; kedua,
warna Islam.
Meskipun tidak sekental pada gelombang pertama, tetapi tetap lestari
dalam karangan pengarang Riau; ketiga warna masa kini. Warna ini bercabang
dua, pertama mengenai keresahan yang ditimbulkan oleh kerusakan alam semula
jadi; kedua tentang kezaliman yang mendera kehidupan Puak Melayu di Riau,
baik oleh tangan kekuasaan pemerintah pusat sejak pemerintahan Soeharto
maupun oleh pemerintah sekarang (pusat dan daerah). Hemat saya, warna masa
Wallahu a’lam.
“Tak adalah tempat lagi bagi pantun pepatah, bagi syair berukuran dan
bertakaran yang penuh dengan kata, kiasan dan sajak yang pucat lesi tiada
berdarah itu...” (Sutan Takdir Alisjahbana).
Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mangasapi duka
puah!
kau jadi Kau
Kasihku
1 Disampaikan pada bincang sastra Festival Sastra Melayu Riau (FSMR) 2023 ditaja
Suku Seni Riau, 23 September 2023.
2 Penulis Cerpen dan Puisi, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FDK UIN Suska Riau.
http://www.negeribadri.com
11 Disampaikan dalam Bincang Sastra bertajuk “Wahai Kaum Muda, Pilih Mazab Ali Haji ata
Sutardji: TelisihKarya Generasi Baru Sastra Riau” pada Festival Sastra Melayu Riau (FSMR)
2023 di Studio Suku Seni, Ahad, 1 Oktober 2023.
12 Redaktur Pelaksana/Redaktur Budaya di Harian Riau Pos, Pekanbaru.
***
16Athiyyah Nur Roihanah, “Bacaan Liar sebagai Sastra Perlawanan", Geotimes.id, 31 Maret
2022.
20 Cerpen “Metropolitan Sakai” terbit pertama kali di Kompas (1989), lalu terbit dalam
antologi Dua Tengkorak Kepala: Cerpen Pilihan Kompas 2000. Cerpen “Pipa Darah” dimuat di
Kompas (2001) dan dimuat di antologi Jejak Tanah: Cerpen Pilihan Kompas 2002. Dan cerpen
“Pertemuan dalam Pipa” dimuat dalam antologi
Pertemuan dalam Pipa (Logung Pustaka, 2004).
21 Dimuat dalam Cerpen Pilihan Riau Pos 2008, Pipa Air Mata.
22 Buku ini yang mengantarkannya diundang mengikuti Ubud Writers and Readers Festival
(UWRF) di Balitahun 2011.
23 Dibukukan dalam Kumcer Tembang Bukit Kapur (2007).
***
TAHUN 2010, ketika saya satu meja dengan beberapa penulis asing dalam
sebuah diskusi bertema “Power of Short” dalam Ubud Writers and Readers Festival
(UWRF), di Indus Café, Ubud, Bali, saya bicara tentang “potensi” sastra Riau ke
depan seperti apa. Sebuah potensi yang sangat besar karena memiliki “bahan
baku” yang mungkin tak banyak ditemukan daerah lain, termasuk di Jawa, yang
hingga kini masih menjadi sumbu utama sastra Indonesia. Para penulis cerpen
dan novel di Jawa, saat ini, banyak yang cenderung menulis tentang persoalan-
24 Dimuat dalam Cerpen Pilihan Riau Pos 2008, Pipa Air Mata.
/II/
Mantera
IDULFITRI
lihat
pedang taubat ini menebas hati
dari masa lampau yang lalai dan sia-sia
telah kulaksanakan puasa Ramadhanku
telah kutegakkan shalat malam
telah kuuntai wirid tiap malam dan siang
telah kuhamparkan sajadahku
yang tak hanya menuju Ka'bah
tapi ikhlas mencapai hati dan darah
1987
/III/
Selain puisi di atas, ada satu puisi lagi yang menarik dari Sutardji dan
kemudian saya pakai sebagai bagian dari judul tulisan ini. Berikut ini puisinya:
Uap terbang
Menetas awan
Mimpi jadi,
Sungai pun jadi
Menetas jadi
Hakekat lautan
Setelah bertafakur
Tahulah aku manusia harus bertelur
Seperti dulu
Para pemuda
Bertelur emas
Menetaskan kalian
Dalam sumpah mereka
Puisi yang sekilas tampak sederhana ini tentunya seperti khasnya puisi
Sutardji lainnya pasca tiga buku “keramat”-nya tadi: unik, lembut, penuh
penghayatan, tetapi menyentak-nyentak nurani (perasaan) dan pikiran
khalayak pembacanya. Dari sajak ini pula, kita pun sebagai publik sastra di Riau
sebaiknya lekas bertanya, “Mana telurmu, penyair muda Riau?”
Dalam tulisan ini tentunya hanya beberapa nama yang bisa saya
kemukakan—dengan pertimbangan sepak terjang kepenyairan dari masing-
masing pujangga. Nama-nama yang bisa diketengahkan pada daftar ini, antara
lain, May Moon Nasution, Alpha Hambally, Riki Utomi, dan Pusvi Defi.
Setidaknya, dalam kurun sepuluh tahun belakangan, para penyair dari generasi
milenial ini rajin memublikasikan karya masing-masing, baik di surat kabar
maupun media daring (online). Beberapa di antara mereka juga sudah
menerbitkan himpunan puisi tunggal: May Moon Nasution dengan Pedang dan
Cinta yang Mengasahnya (2016) dan Amuk Selat (2020) dari Riki Utomi.
Gergaji
Pekanbaru, 2013
Selatpanjang, 2018
2017
Di daftar ringkas ini, Alpha Hambally boleh dikata sebagai penyair unik
yang meracaukan soal organisme, tetapi tanpa kehilangan daya puitika yang
memukau dari langgam Melayu. Jika kita bicara mazhab Raja Ali Haji dan Sutardji
maka puisi Alpha Hambally menguntit sekaligus menampik Sutardji: puisi yang
bicara tentang aku-lirik bukan sebagai manusia, seperti tampak pula dalam
beberapa puisi Sutardji; dalam pada itu, puisi ini juga menghindari gaya puitika
bocah-bocah berlarian memintal jasad ibu kota yang sudah bersimbah darah
kelam terbayang
menjadi bayangan hitam
di palung katulistiwa
Pekanbaru, 2019
Masih seperti puisi-puisi sebelumnya di daftar ini, puisi Pusvi Defi juga
adalah gema puitika yang memilih mazhab Sutardji—setidaknya pasca O, Amuk,
dan Kapak. Puisi ini dengan kesadaran penuh memantaskan dirinya sebagai puisi
kritik-sosial lintas zaman. Seperti juga puisi-puisi penyair milenial Riau
sebelumnya tadi, Pusvi Defi pun tidak berjarak dengan diksi dan langgam
Melayu—sebuah kesadaran dalam berkarya yang ikut dipacakkan oleh Raja Ali
Haji dan dilanjutkan dengan pasti oleh Sutardji.
Mengakhiri tulisan ini, tentunya ada banyak puisi dan beberapa penyair
yang luput dari pembacaan sederhana saya. Di samping itu, juga ada banyak
karya dari daftar ringkas penyair di atas yang penting untuk dicermati lebih
dalam alih-alih sekadar ditinjau sekalis-lalu. Namun, pada akhirnya, karya-karya
ini memang sedang berupaya menetaskan telurnya bagi mereka di kemudian
hari; karya-karya yang (semoga) juga akan menjadi batu pijak bagi penyair
berikutnya, yang kerap gamang bertanya di muka cermin, “Mana telurku?”.***
II
III
“puah.”
teluh pemikat
tertaja pada gumam atuk sakai
di balik cumbu kemenyan dan malam rimba
adalah rupa angan sang bujang
untuk kau, atau
untuk seorang bini cina
(bukan akit)
yang panainya
tak pernah sanggup ia purna
“puih.”
semah
di sempadan selat rupat
menjelma pusara hitam
bagi dongeng-dongeng
tentang mufakat nelayan
dan lanun
memburu todak
bersembunyi
di akar bakau.
pernahkah? tanyamu
pada satu-satunya
sembilang
di kitab tuhan ikan
alahmak, mereka
bertanya padamu
di mana diari hang?
tapi tanjaknya
yang konon mereka
begal sendiri dari
songkok ubunnya
dibawa kabur kemudian
oleh serindit
yang sebentar lagi
jatuh
rubuh
ke lumpur minyak
dengan sayap patah
dan paruh berlumur merah
VII
2023
***
(a)
selepas mencecap air gambut di tengah hari yang sebentar lagi condong ke darat
aku teringat betismu yang lihai bermain gelombang
yang saban hari siasat mengatur musim pasang lebih panjang dari surut
hingga mataku sulit terlelap menghantarkan mimpi berlayar bersama raja-raja melayu
ke laut lepas tanpa batas musim terkibas
yang selalu senang menghunus pedang lalu lupa jalan pulang
masih saja jauh akar nipah dari tanah, hilang kata dari makna,
terlepas buhul dari tali, tak ada yang pasti dari janji
kemudi haluan renggang dari tangan, asin laut mengering di badan
(c)
keringatmu yang beraroma laut mengingatkanku dengan sejarah
yang satu dua dibaca di bangku sekolah
guru bercerita, para siswa tertawa geli memegang dada
ah, tidak apa
siak sri indrapura akan tetap ada meski lupa menuliskannya pada dinding kaca
yang memantulkan wajahmu seolah-olah mirip orang tionghoa sedang mencari pala
orang-orang tionghoa suka melempar senyum tapi hatinya penuh tuba
(d)
aku temukan satu helai rambutmu serupa jalan ke dusun
pada ruas arus di dadamu yang geletar membangunkan samun dalam diri
meski kita terpisah oleh selat, terbelah oleh adat, dan tersekat tanah ulayat
aku dan kamu masih bisa bersarang di dahan pohon purba
berkulum dalam kelambu yang sudah robek di makan waktu
meski kakiku terpaut rotan dari gunung yang sengaja dibuat oleh ibu bapakmu
2023
/1/
menghidu semerbak wangi jemarimu. seumpama memintal benih nyawa ke dalam
nadi keberlahiranku. dalam tanak bubur beras. dan sejumput sudu legit gula nira.
kau tiupkan ruh penjinak ke dalam ayunan selendang. seketika aku tertawan. gegas
kau sulam senandung dodoi dalam buaian tangisku. kuntum-kuntum doamu
mendekap erat mataku hingga lelap.
Emak memadu-padan lagu dodoi dengan gambus selodang milik Abah. jemari lentik
memetik dawainya. demikianlah cinta, katamu. akan terus dipugar demi menetaskan
telur-telur hayat menuju dewasa. ada mantera suluh yang terus ditiupkan. hingga
kau pasrah melepasku. menjadi nahkoda biduk yang berlayar mengempas samudera.
jauh merengkuh, merentas batas takdirmu.
/2/
ratusan purnama telah kuncup. pada akhirnya, tangis kering dari turah tungku air
matamu pecah di ujung dermaga. kapal-kapal penantian telah berbunga. mengecup
hangat pada bandar sukma yang kau genggam. kugapai tabah dadamu, yang setia
menampung sejuta bayangku. adakah dodoi yang kau sulam semasa kanakku dulu
masih tergelung utuh di rahimmu, Emak?
syair dan tarian zapin gemuruh. di pelatar istana Siak itu, tabuh kompang dan
gambus selodang menyalak serupa teluh. penonton riuh. sebutir peluru serdadu
kompeni melesak, menyepuh kepala Abah hingga luluh. perang, tikai, dan sengketa
seketika gaduh. gelombang tangis luruh. kutuk petaka rubuh. dalam dekap kepapaan
takdirmu, kau biarkan tubuhnya menyusut ke dalam ketiadaan.
duhai, Rabbi. inikah takdir getir dari sebuah penantian panjangku di lumbung
pelayaran menjunjung marwah? bak merajam bumi. tertuduh menjadi dalang
pemberontakan monopoli dagang di rahim tanah kelahirannya sendiri.
tulah akan digagah, meski hati telah patah. kutuk akan ditenun. meski jasad hangus
dikukus sejarah. maka, menderaslah seperti pemburu melesatkan panah. gambus
selodang akan tetap hidup dan megah. meniti huma, menarikan dawai takdirnya.
sebagai ladang jariyah paling tabah.
Ah!
Di puncak malam, udara mengigit tulang, tika tiupan tambur Menghujam ingatan
akan perihal tolak pinangan
Yang kutuju pada gadis Rengat berambut sepinggang mayang
Sebab terlahir dari kaum ranji hina tak berpandang, Pun elokku cacat melumang,
Hingga gampang dipatahkan, nian segala malang, Segala demam, memantik gelora
dendam,
Hingga begitu agam berang yang sudah memuncak dalam
Adik oi, si manis berpipi rona, tak kusakiti rupamu yang begitu menggoda, tapi
bersiaplah Sebab bulean telah tandang di halaman rumah, merusuh igaumu dengan
sempurna
Pun bakal jua membuat jiwamu meronta gila
Membayangkan wujudku bak Henry Cavil yang memesona Maka sambut dan
pasrahlah!
Pelalawan, 2023
Catatan kaki:
Ritual bulean adalah salah satu acara pengobatan tradisional yang cukup saklar
dengan bacaan-bacaan mantra, pengobatan ini sangat dikenal oleh masyarakat
Talang Mamak digunakan agar orang yang dituju tergila-gila padanya.
Pusvi Defi kelahiran Medan, Sumatra Utara. Sejumlah karyanya telah dimuat
di media, seperti Koran Tempo, Basa-basi,co, dan lainnya. Ketua Forum TBM
Pelalawan, Pilihan Residensi Seniman Riau, dan salah satu penulis BWF 2023
Buku puisinya Mengenang Bumbu Rindu Dapur Inang (2021)
mungkin burung-burung pelacak kematian itu akan mati juga, jarak pandang yang
berkurang, sesak napas tak karuan, mata memerah sore ke malam, mabuk yang tak
meneguk anggur, sudah mendekati gila, suka menyendiri dekat-dekat ke semak,
berpura-pura berak. keesokan harinya seorang anak terbatuk-batuk di pelukan ibu, ibu
yang tak tahu-menahu menangis, menggila, menyumpah, kemudian ia tak lagi nampak
di keesokan harinya.
menuju
tujuh lapis cahaya tak lagi nampak, malam gelap, & sejuk menusuk dada yang terbuka.
asap itu menggoda mereka yang lapar, mendekatlah! kekasih yang didamba melambai-
lambaikan tangannya dari jauh, bukan sekali dua kali, berkali-kali, sampai bunyi
gambus menghindarkan turik yang mengalangi bunyi di telinga anak kecil. masih di
dalam lingkaran itu, asap ditarik-tarik ke hidung, mata terpejam. pada akhirnya sampai
pula pada hajatnya.
tak lama setelah sibuk menghidu bau kemenyan, asap membuka lahan baru di dalam
tubuh, terbatuk-batuk seisi perut, digerakkan ketidaksadaran, bunga-bunga dipungut
dari tanah, mengembang perlahan seusai di genggam, menjadi kumbang yang gelap,
menjadi layu yang jatuh, menjadi anggur yang teler, menjadi tukak di lambung, menjadi
cinta yang menyulut tumpukan sabut kelapa di tengah keramaian.
sudah tampak
masih tampak
sudah terlalu dekat, sudah abu-abu, pandangan mengabur, jalan sudah ditaburkan
bunga, sudah melangkah ke sini, sudah melangkah ke sana, sudah melangkah kemana-
mana, menepuk-nepuknya, menariknya, ia menungku, & dijerang.
tersadar
bunyi gambus perlahan meredup, kaki kiri perempuan itu tak ada lagi, dilanjutkan
dengan kaki kanannya, apalagi perhiasannya, entah kemana. ia ternganga tak bisa
berbuat apa-apa, tak bisa berkata apa-apa. kini, tangan kanannya pula yang beransur
menghilang, diikuti tangan kiri yang sudah berkemas-kemas dengan anggota tubuh
yang lain, lain dikata lain diperbuat, lain diperbuat lain disangka.
siapa yang akan menyelamatkan tubuh lelaki yang rela melepuhkan kulitnya ini demi
sebuah kebudayaan?
2023
kecuali hati
kecuali jantung
kecuali kepala kerbau
nyaris sisa sekotah tulang.
tujuh datuk beriring di samping Mak Zainab,
cerano di telapak tangan jangan disingkap.
pulang ke hilir,
semoga mala punah tergelincir,
puah! puah! hati kami berumah kepada tuah.
Sepanjang Subayang,
Sepanjang Lubuk masih Larangan.
2023
Budi Saputra. Lahir 20 April 1990. Ia menulis di berbagai media massa seperti
Haluan, Singgalang, Padang Ekspres, Haluan Riau, Majalah Sabili, Jurnal Bogor,
Lampung Post, Suara Pembaruan, Tabloid Kampus Medika, Suara Merdeka, Radar
Surabaya, Jurnal Nasional, Indo Pos, Batam Pos, Lombok Post, Tanjung Pinang Pos,
Magrib.id, Marewai.com, Rakyat Sultra, Kompas, Kompas.id (digital), Koran
Tempo. Diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012, Pertemuan Penyair
Nusantara (PPN) 5 Palembang (2011), dan PPN 6 di Jambi (2012).
1/
asap cerutu tumplak memenuhi geladak, mengganggu ibu negara yang sedang
meramu silu. aku yang kau bilang tidak punya otak mematung, menghitung separuh
kata-kata anggara dari paruhmu. aku minta dibuatkan teh, tapi kau berceloteh,
“Gula habis!” persis serupa sikap manismu—sudah kikis. sehabis berteking hebat
layaknya Hang Tuah dan Hang Jebat, terdengar suara jerit tangis dalam bilik, diikuti
bunyi barang pecah. suasana seketika lengang usai kau beri seorang gulam obat
penenang. aku berprakarsa mencari okultis di desa seberang.
2/
pagi kelabu. belum ada tanda-tanda rinai. justru jerebu balik berburu ke segala
penjuru. anak kami yang malang, ia lagi-lagi melaung tidak kepalang tanggung.
entah jembalang apa yang masuk merasuk. katanya, ia melanggar pantang larang
sewaktu rehat di tepi Sungai Jantan. bahkan orang pintar tak sanggup menyangkak
samparnya agar tak menjalar. selesai geramus pangsit buatan puspa hati, aku
mendapat wangsit dari Ilahi. revival ritual, itulah siasat untuk pulih dari pelbagai
ihwal.
3/
tatkala sinar merah di ufuk barat minggat, Ghatib Beghanyut digelar. ritual yang
sudah lama padam, kini menyala seperti sediakala. bejibun orang berbaju putih
berharap: segenap sedih, pedih, dan perih lenyap—sejumput karut marut bakal larut.
mulut mereka komat-kamit, rapal doa ke penguasa langit. obor berkobar sebagai
lentera malam. puluhan sampan berlayar dari hulu ke hilir. “Allahu Akbar, Allahu
Akbar, Allahu Akbar!” desir angin takbir berembus, tebaskan seluruh rebas. bak air
yang selalu mengalir, pendar-pendar zikir terus bergema di sepanjang bengawan—
aku dan kasihku, mengawan.
Disini, bau busuk yang jahanam perlahan hilang – perlahan kemudiandatang lagi
Rupanya raal berbeda sedang kau persiapkan di batas ruang yang lain
Namun tak berbunyi kata maupun makna
Engkau pun gagal dalam puah
Semuanya semerawut,
Manakala Hang Jebat telah kalut
keris dirampas
terlepas
terputus
nyawa saat tikaman meraja
pada dada.
menghempaskan asa pada raga yang lemah
terpiuh dalam ingatan masa.
Hei, bomoh!
Nyalakan asap kemenyan
bangkit saksi perjalanan
jangan sampai latah pertikaian
menghujamkan
lagi
taming sari dalam sejarah yang rentan.
Helsi Rahmadhani akrab disapa Helsi, aktif diberbagai komunitas literasi dan
salah satunya yaitu anggota Suku Seni dibidang sastra. Terakhir mengikuti
pelatihan menulis yang diadakan oleh balai bahasa provinsi Riau.
(1)
secawan luka menggenang di tubuhmu,
ia tumbuh dari sengkarut,
ditimang musim abu,
bersampan mitos dan risalah,
yang berserak pada tubuh sejarah
Rian Kurniawan Harahap, M.Pd merupakan Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian
Kota Pekanbaru. Penulis memenangkan lomba cerpen umum terbaik 1 nasional
UNS (2023), lomba puisi umum terbaik 1 nasional UNSRI (2023), Esai terbaik 2
Sutardji Calzoum Bachri UNILAK (2023), Esai terbaik 2 Inkubator Nasional
Perpusnas Riau (2023), Naskah Drama terbaik 3 Festival Sastra Sungai Jantan
(2023). Buku tunggalnya, novel Kelambu Waktu (Salmah Publishing, 2020),
kumpulan Cerpen Api Rimba (Lovrinz Publisher, 2022).
Dara membaca
Tersuar cahaya masuk kata di kosa
Terbakar tangis, kasihnya tiada menepis
Macam tuna runggu pun jatuh cinta
Dara berbicara
Cintanya pamrih
Penuh getah liur pujangga bersyair
Macam tuna netra pun jatuh cinta
Melimpah darahnya keringat dingin
Meracap rindu dan ingin
Cenayang ayal
Rosaknya indra dan bingkai raga
Tak membutakan, menulikan dan membisukan sanubari
Geram, menyulut ludah dan darah jadi pukau sakti
Cenayang membunuh dara, jadi pasi
Pujangga haru
mengerna di dada oja-oja sadu
Dinobatkannya dara dalam aamiin
Asmarandana menderu, menyalin
Cenayang kerasukan
Pujangga dan dara macam tak terpisahkan
Apakah pujangga mahir pancasona
Apakah pensil adalah tongkat sihir
Majas dan metafora
Zainul Dzakwan Arabi, saat ini bertempat tinggal di Kota Pekanbaru. Aktif
diberbagai kegiatan sastra salah satunya merupakan penulis di Galeri Hang
Nadim. Untuk selengkapnya mari berbincang melalui Instagram
@zainuldzakwanarabi dan bisa menghubungi melalui surel
zainuldzakwan@gmail.com
Hary Budiarto Koriun adalah seorang wartawan yang hobi menulis fiksi
(novel, cerpen, dan puisi), melakukan perjalanan dan petualangan,
bermain sepakbola, bulutangkis, dan tenis meja, juga hobi lainnya. Lahir
di Pati (Jawa Tengah) pada tahun 1974. Kemudian besar di lokasi
transmigrasi di Kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Jambi.
Menamatkan SD hingga SMA di sana sebelum kuliah di Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas (Padang). Sambil kuliah, dia belajar
Menulis artikel ilmiah populer dan sastra di sejumlah media lokal dan
nasional serta beberapa kali menjuarai perlombaan kreatif antara lain:
pemenang pertama lomba penulisan ilmiah populer Piala Gubernur Riau
(2003), pemenang lomba cerpen mahasiswa se-Riau (2004), pemenang
pertama lomba puisi lingkungan hidup se-Riau (2004), pemenang lomba
karikatur se-Riau PPMR Riau Pulp (2005), pemenang lomba puisi online
se-Sumatera (2005), sejak tahun 2002 – 2005 turut menjadi pemenang
lomba cerpen, puisi, esai Laman Cipta Sastra se-Riau Dewan Kesenian Riau
(terakhir pemenang pertama puisi Laman Cipta Sastra 2005), pemenang
pertama lomba logo PPLH IPB (2006), nominator lomba cipta puisi
nasional “Krakatau Award” Dewan Kesenian Lampung (2006), pemenang
pertama Sayembara Menulis Cerpen Nasional Festival Kreativitas Pemuda
2006 yang diadakan Creative Writing Institute (CWI) bekerjasama dengan
Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga (2006), pemenang “Cerpenis
Berbakat” lomba cerpen HUT PARLE (2007), pemenang pertama Ajang
Kreasi Kumpulan Cerpen Escaeva-Bukukita(dot)com (2007), pemenang
pertama kontes penulisan puisi nasional “Tafsir Bebas Gurindam
Duabelas” Raja Ali Haji Award, Dewan Kesenian Kepulauan Riau (2007),
pemenang Karya Terpuji Lomba Puisi “Cinta” Tabloid Nyata (2008),
pemenang harapan lomba desain maskot budaya korporat IPB BHMN