Anda di halaman 1dari 70

Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke

waktu. Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yaitu ilmu yang mempelajari tentang sastra
dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya tercakup teori sastra, sejarah sastra dan
kritik sastra, dimana ketiga hal tersebut saling berkaitan.
Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa tugas sejarah sastra adalah:
1. meneliti keragaman setiap kategori sastra.
2. meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara sinkronis.
3. menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya.
Periodisasi Sastra Indonesia
Ada beberapa pendapat tentang periodisasi sastra Indonesia, saya mengambil dua diantaranya
:
1. Menurut Nugroho Notosusanto
a. Kesusastraan Melayu Lama
b. Kesusastraan Indonesia Modern
1). Zaman Kebangkitan : Periode 1920, 1933, 1942, 1945
2). Zaman Perkembangan : Periode 1945, 1950 sampai sekarang

2. Menurut Simomangkir Simanjuntak


a. Kesusastraan masa lama/ purba : sebelum datangnya pengaruh hindu
b. Kesusastraan Masa Hindu/ Arab : mulai adanya pengaruh hindu sampai dengan
kedatangan agama Islam
c. Kesusastraan Masa Islam
d. Kesusastraan Masa Baru
1). Kesusastraan Masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
2). Masa Balai Pustaka
3). Masa Pujangga Baru
4). Kesusastraan Masa Mutakhir : 1942 hingga sekarang.
Sejarah Sastra Indonesia
Kepulauan Nusantara yang terletak diantara benua Asia dan Australia dan diantara Samudra
Hindia/ Indonesia dengan Samudra Pasifik/ Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-ratus suku
bangsa yang masing-masing mempunyai sejarah, kebudayaan, adat istiadat dan bahasa
sendiri-sendiri.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu yaitu salah satu bahasa daerah di Nusantara.
Bahasa Melayu digunakan oleh masyarakat Melayu yang berada di pantai timur pulau
Sumatera.
-Kerajaan Melayu yang berpusat didaerah Jambi, pada pertengahan abad ke-7 (689-692)
dikuasai oleh Sriwijaya yang beribu kota di daerah Palembang sekarang ini,-

1. Kesusastraan Melayu Klasik


Sastra Melayu Klasik tidak dapat digolongkan berdasarkan jangka waktu tertentu karena hasil
karyanya tidak memperlihatkan waktu. Semua karya berupa milik bersama. Karena itu,
penggolongan biasanya berdasarkan atas : bentuk, isi, dan pengaruh asing.
a. Kesusastraan Rakyat (Kesusastraan Melayu Asli)
Kesusastraan rakyat/ Kesusastraan melayu asli, hidup ditengah-tengah masyarakat. Cerita itu
diturunkan dari orang tua kapada anaknya, dari nenek mamak kepada cucunya, dari pencerita
kepada pendengar. Penceritaan ii dikenal sebagai sastra lisan (oral literature).
Kesusastraan yang tumbuh tidak terlepas dari kebudayaan yang ada pada waktu itu. Pada
masa Purba (sebelum kedatangan agama Hindu, Budha dan Islam) kepercayan yang dianut
masyarakat adalah animisme dan dinamisme. Karena itu, cerita mereka berhubungan dengan
kepercayaan kepada roh-roh halus dan kekuatan gaib yang dimilikinya. Misalnya :
- Cerita asal-usul
- Cerita binatang
- Cerita Jenaka
- Cerita Pelipur lara.

Contoh
Mantra Memasuki hutan rimba
Hai, si Gempar Alam
Gegap gempita
Jarum besi akan romaku
Ular tembaga akan romaku
Ular bisa akan janggutku
Buaya akar tongkat mulutku
Harimau menderam di pengeriku
Gajah mendering bunyi suaraku
Suaraku seperti bunyi halilintar
Bibir terkatup, gigi terkunci
Jikalau bergerak bumi dan langit
Bergeraklah hati engkau
Hendak marah atau hendak
membiasakan aku.

b. Pengaruh Hindu dalam Kesusastraan Melayu


Pengaruh Hindu Budha di Nusantara sudah sejak lama. Menurut J.C. Leur (Yock Fang :
1991:50) yang menyebarkan agama Hindu di Melayu adalah para Brahmana. Mereka
diundang oleh raja untuk meresmikan yang menjadi ksatria. Kemudian dengan munculnya
agama Budha di India maka pengaruh India terhadap bangsa Melayu semakin besar. Apalagi
agama Budha tidak mengenal kasta, sehingga mudah beradaptasi dengan masyarakat Melayu.
- Epos India dalam kesusastraan Melayu
· Ramayana : cerita Ramayana sudah dikenal lama di Nusantara. Pada zaman pemerintahan
Raja Daksa (910-919) cerita rama diperlihatkan di relief-relief Candi Loro Jonggrang. Pada
tahun 925 seorang penyair telah menyalin cerita Rama ke dalam bentuk puisi Jawa yaitu
Kakawin Ramayana. Lima ratus tahun kemudian cerita Rama dipahat lagi sebagai relief
Candi Penataran. Dalam bahasa melayu cerita Rama dikenal dengan nama Hikayat Sri Rama
yang terdiri atas 2 versi : 1) Roorda van Eysinga (1843) dan W.G. Shelabear.
· Mahabarata : Bukan hanya sekedar epos tetapi sudah menjadi kitab suci agama Hindu.
Dalam sastra melayu Mahabarata dikenal dengan nama Hikayat Pandawa. Dalam sastra jawa
pengaruh Mahabarata paling tampak dari cerita wayang.

c. Kesusastraan Zaman Peralihan Hindu-Islam, dan pengaruh Islam


Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu
dengan sastra yang berunsur Islam di dalamnya. Contoh karya-karya sastra yang masuk
dalam masa ini adalah ; Hikayat Puspa raja, Hikayat Parung Punting, Hikayat Lang-lang
Buana, dsb.
Sastra pengaruh Islam adalah karya sastra yang isinya tentang ajaran agama Islam yang harus
dilakukan oleh penganut agama Islam. Contoh karya : Hikayat Nur Muhammad, Hikayat
Bulan Berbelah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen dsb.
-Perkembangan agama Islam yang pesat di Nusantara sebenarnya bertalian dengan
perkembangan Islam di dunia. Pada tahun 1198 M. Gujarat ditaklukkan oleh Islam. Melalui
Perdagangan oleh bangsa Gujarat, Islam berkembang jauh sampai ke wilayah Nusantara.
Pada permulaan abad ke-13 Islam berkembang pesat di Nusantara.-
-Pada abad ke-16 dan ke-17 kerajaan-kerajaan di Nusantara satu persatu menjadi wilayah
jajahan bangsa-bangsa Eropa yang pada mulanya datang ke Nusantara karena mau memiliki
rempah-rempah.-

d. Kesusastraan Masa Peralihan : Perkembangan dari Melayu Klasik ke Melayu Modern


Pada masa ini perkembangan antara kesusastraan Melayu Klasik dan kesusastraan Melayu
Modern peralihannya dilihat dari sudut isi dan bahasa yang digunakan oleh pengarangnya.
Dua orang tokoh yang dikenal dalam masa peralihan ini adalah Raja Ali Haji dari pulau
Penyengat, Kepulauan Riau, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Malaka.
Contoh karya Abdullah : Hikayat Abdullah, Syair Singapura dimakan Api, ia juga
menerjemahkan Injil ke dalam bahasa melayu.
Contoh Gurindam Raja Ali Haji

Gurindam pasal pertama


Barang siapa tidak memegang agama
Sekali-kali tidakkan boleh di bilangkan nama
Barang siapa mengenal yang empat
Ia itulah orang yang makrifat
Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tengahnya tiada ia menyalah
Barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terperdaya
Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudarat
Kurang fikir, kurang siasat
Tinta dirimu kelah tersesat
Fikir dahulu sebelum berkata
Supaya terlelah selang sengketa
Kalau mulut tajam dan kasar
Boleh ditimpa bahaya besar
Jika ilmu tiada sempurna
Tiada berapa ia berguna.-

2. Kesusastraan Indonesia Modern


Lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern
Jika menggunakan analogi ¨Sastra ada setelah bahasa ada¨ maka kesusastraan Indonesia baru
ada mulai tahun 1928. Karena nama ¨bahasa Indonesia¨ secara politis baru ada setelah bahasa
Melayu di diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang dikenal
dengan Sumpah Pemuda.
Namun menurut Ayip Rosidi dan A. Teeuw, Kesusastraan Indonesia Modern ditandai dengan
rasa kebangsaan pada karya sastra. Contohnya seperti : Moh. Yamin, Sanusi Pane, Muh.
Hatta yang mengumumkan sajak-sajak mereka pada majalah Yong Sumatera sebelum tahun
1928.

a. Masa Kebangkitan (1920-1945)


1). Periode 1920 (Angkatan Balai Pustaka)
Contoh : Puisi M. Yamin
Bahasa, Bangsa
Selagi kecil usia muda
Tidur si anak di pangkuan bunda
Ibu bernyanyi lagu dan dendang
memuji si anak banyaknya sedang
berbuai sayang malam dan siang
buaian tergantung di tanah moyang
....
1922

2). Periode 1933 (Angkatan Pujangga Baru)


Penamaan periode ini di dasarkan pada munculnya majalah ¨Pujangga Baru¨ yang dikelola
oleh S.T. Alisyahbana, Armin Pane dan Amir Hamzah.
Contoh : Puisi Amir Hamzah
Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Diwaktu ini gelap gulita
(Buah Rindu II)

3). Periode 1942 (Angkatan 45)


Chairil Anwar pelopor angkatan 45, nama lain pada masa ini seperti Idrus, Mochtar Lubis
dan Pramoedya A T.
Contoh Sajak Chairil :
Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati
Beta kirim datudatu!
Beta Pattirajaaawane, penjaga hutan pala
Beta api dipantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.

b. Masa Perkembangan (1945 – sekarang)

1). Periode 1945 (Angkatan 45 : 1942-1953)

2). Periode 1950 (Angkatan 50 dimulai tahun 1953)


Dimasa ini ada Nugroho Notosusanto pengarang Hujan Kepagian, AA Navis pengarang
Robohnya Surau Kami, Trisnoyuwono pengarang laki-laki dan mesiu, penyair Toto Sudarto
Bachtiar, WS Rendra (juga ada yang menggolongkan ke angkatan 70)
3). Angkatan 66
Pada tanggal 6-9 Mei 1966 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia bersama dengan KAMI
dan KAPPI menyelenggarakan simposium berjudul : ¨Kebangkitan semangat 1966 :
Menjelajah Tracee Baru Lekra dan Neolekranisme¨. Dominasi kebudayaan oleh politik,
tegas-tegas ditolak. Inilah mulai dinamakannya angkatan 66. Dari kelompok ini, majalah
bulanan baru, Horison, segera terbit sebagai suara sastranya.
4), Angkatan 70
Tahun 1970-1990 ada beberapa sastrawan yang terkenal misalnya : Sutardji Calzoum Bachri,
Abdul Hadi W.M., Putu Wijaya
Contoh Sajak Abdul Hadi WM : Tawangmangu
kalau kehijauan yang bangkit dari bukti-bukti
dan air terjun, dimana aku pernah lewat dan menghirup
kesegaran pagi dan kuntum melur, sekarang aku batu
yang kau angkat dari tepi sungai dan kaubiarkan abadi
seperti nyawa sekarat mengeliat, mengeliat mungkin kau
sedang menghiasku dengan retakan-retakan air hujan
dan keharuan waktu yang beragam
(dalam Tergantung pada Angin)
SELESAI
Diposkan oleh IKIPPGRISEMARANG di 16:06 0 komentar

YUDIONO TENTANG SEJARAH SASTRA

Format Baru Sejarah Sastra Indonesia


Yudiono KS
BERTOLAK pada kesepakatan ahli yang menyatakan sastra Indonesia berawal pada roman-
roman terbitan Balai Pustaka tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih
sangat muda, sekitar 80 tahun. Meskipun demikian, produksinya boleh dibilang pesat,
terutama di sektor puisi, cerpen, dan novel. Jumlahnya pasti menyulitkan siapa pun yang
berambisi besar hendak membaca seluruh teks sastra Indonesia.
Sejarah mencatat hanya karya sastra dan peristiwa-peristiwa penting yang dibaca orang dari
masa ke masa, terutama di jalur pengajaran, kritik, dan penelitian. Di luar kebutuhan itu
sangat banyak karya sastra dan peristiwa kesastraan yang terlupakan. Karena itu, diperlukan
buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra.
Dengan buku itulah masa lampau sastra Indonesia direkonstruksi sedemikian rupa sehingga
berkembang pengetahuan yang memperkaya khazanah budaya masyarakat.
Boleh saja buku sejarah itu tidak dibutuhkan para pengarang dengan alasan subjektif. Boleh
juga penulisannya menghasilkan beberapa versi dengan argumentasi masing-masing,
sedangkan mana yang terbaik kelak akan ditentukan oleh publik sastra yang makin cerdas.
Penulisan sejarah sastra Indonesia yang mencakup perjalanan seluruh genre (puisi, prosa,
drama), kritik, esai, dan peristiwa kesastraan, barangkali merupakan ambisi besar. Tetapi,
kesempatannya tetap terbuka lebar setelah Ajip Rosidi membuktikan keberhasilannya
menulis Ikhtisar Sejarah Indonesia (Bina Cipta, Bandung, 1968) dan Teeuw sukses menulis
Modern Indonesian Literature III (Martinus Nijhoff, The Hague, 1979) yang terbilang
monumental. Perkembangan sastra Indonesia dalam tiga puluh tahun terakhir ini saja sudah
merupakan bahan besar untuk penulisan buku sejarah tersebut. Akan lebih besar lagi
muatannya apabila orang melihat sejarah sastra Indonesia dari pertumbuhannya sejak awal
tahun 1900.
Salah satu persoalan sejarah sastra Indonesia adalah perubahan zaman dengan gejolak sosial
dan politik yang secara teoretis dipercaya besar pengaruhnya terhadap warna penciptaan
sastra. Karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan
mempertimbangkan momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku
Ajip Rosidi (1968).
Secara garis besar, Ajip membagi sejarah sastra Indonesia menjadi masa kelahiran atau masa
kebangkitan yang mencakup kurun waktu 1900-1945 dan masa perkembangan yang
mencakup kurun waktu 1945-1968. Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi
1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna
masing-masing sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting.
Menurut Ajip, warna yang menonjol pada periode awal (1900-1933) adalah persoalan adat
yang sedang menghadapi akulturasi dan dengan demikian menimbulkan berbagai problem
bagi kelangsungan eksistensi masing-masing, sedangkan periode 1933-1942 diwarnai
pencarian tempat di tengah pertarungan kebudayaan Timur dan Barat dengan pandangan
romantis-idealis. Kemudian terjadi perubahan pada periode 1942-1945 atau zaman
pendudukan Jepang yang melahirkan warna pelarian, peralihan, dan kegelisahan.
Warna perjuangan dan pernyataan diri di tengah kebudayaan dunia tampak pada periode
1945-1953 dan selanjutnya warna pencarian identitas diri dan sekaligus penilaian kembali
terhadap warisan leluhur tampak menonjol pada periode 1953-1961. Kemudian pada periode
1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan mempertahankan martabat,
sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan
pengucapan sastra.
Tentu saja analisis Ajip Rosidi hanya berlaku sampai tahun 1967, sebab bukunya terbit pada
tahun 1968.
Format baru
Kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah
sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga
momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya,
yaitu proklamasi kemerdekaan 17-8-1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September
1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998.
Tentu saja ketiga momentum nasional tersebut tidak dengan sendirinya terkait dengan gejala-
gejala yang berkembang dalam karya sastra yang bermunculan pada sekitar tahun-tahun yang
bersangkutan. Momentum itu hanya dipergunakan sebagai ancangan teoretis untuk
memudahkan analisis para ahli sastra.
Proklamasi 17-8-1945 jelas merupakan klimaks perjuangan merebut kemerdekaan walaupun
nyatanya tidak otomatis menjadikan republik ini berdiri tegak dan terbebas dari rongrongan
berbagai pihak.
Geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965 jelas bukan peristiwa yang tiba-tiba
terjadi dan akibatnya berkepanjangan hingga belasan tahun kemudian. Demokrasi terpimpin
yang kemudian berganti dengan demokrasi Pancasila tidak membuahkan kebebasan berpikir
yang memuaskan. Selama belasan tahun terakhir kekuasaan Orde Baru, makin dirasakan
pemasungan kreativitas.
Reformasi politik Mei 1998 dapat dipandang sebagai klimaks kehendak masyarakat untuk
memperoleh kehidupan sosial, politik, dan budaya yang lebih segar, santun, dan demokratis.
Akan tetapi, sampai sekarang pun belum dirasakan hasilnya.
Meskipun demikian, peristiwa-peristiwa tersebut telah menimbulkan perubahan-perubahan
sosial-politik yang mendasar dan secara teoretis dapat dipercaya besar pengaruhnya terhadap
pandangan, pemikiran, gaya, dan teknis pengucapan sastra. Analisis struktural Umar Yunus
tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan
telaah struktural tentang novel Indonesia (Universiti Malay, Kuala Lumpur, 1974) barangkali
dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut.
Rujukan lain adalah telaah Jakob Sumardjo tentang sejarah perkembangan teater dan drama
Indonesia (STSI Press, Bandung, 1887). Jakob memandang sejarah teater Indonesia sejak
pertengahan abad ke-18, sedangkan sastra drama Indonesia berawal pada tahun 1925.
Sementara itu, Korrie Layun Rampan (1982) pernah menulis sejarah perkembangan cerita
pendek Indonesia yang alurnya ternyata tidak sama benar dengan perkembangan genre yang
lain.
Memang sudah saatnya dikembangkan pengkajian sejarah pertumbuhan dan perkembangan
genre-genre sastra Indonesia sehingga diperoleh gambaran umum mengenai sejarah puisi,
sejarah cerpen, sejarah teater, dan sejarah roman Indonesia. Namun, pengkajian sejarah sastra
Indonesia secara garis besar (makro) seperti yang sudah dikerjakan Ajip Rosidi dan Teeuw
tetap saja diperlukan untuk pengajaran sastra di sekolah menengah, fakultas sastra, dan
apresiasi masyarakat. Untuk keperluan seperti itulah barangkali sudah saatnya
dipertimbangkan tawaran format baru sejarah sastra Indonesia.
Empat masa
Tanpa memperdebatkan pemakaian istilah periode, masa, babak, tahap, dan sejenisnya,
sementara ini ditawarkan istilah masa dengan pengertian kurun waktu yang panjang dalam
perjalanan sejarah sastra Indonesia.
Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tadi maka diperoleh empat masa perjalanan
sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua
mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat
yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.
Mungkin diperlukan nama atau sebutan yang memudahkan orang memahami ciri-ciri pokok
setiap masa. Penamaan itu bisa disesuaikan dengan prosesnya, seperti kelahiran,
pertumbuhan, perkembangan, dan sebagainya. Tetapi, penamaan seperti itu tidak
memperlihatkan ciri khas untuk sastra Indonesia. Boleh juga dipergunakan peristiwa atau
gejala terpenting sebagai penanda tertentu, seperti Balai Pustaka, Pujangga Baru,
Gelanggang, Manifes Kebudayaan, Horison, dan lain-lain. Akan tetapi, ini pun masih
mengandung kelemahan karena cenderung mengabaikan peristiwa lain yang mungkin derajat
kepentingan sepadan.
Misalnya, penerbit Balai Pustaka sampai sekarang tetap berjaya sehingga bisa timbul
kekaburan antara Balai Pustaka tahun 1920-an dengan Balai Pustaka tahun 1980-an. Contoh
lain, kalau Manifes Kebudayaan dipandang penting pada tahun 1960-an, bisa diperdebatkan
juga kepentingannya dengan Lekra yang merupakan lawannya. Kalau dipergunakan nama
tokoh untuk penanda masa tertentu, bisa juga timbul perdebatan seru karena ketokohan itu
pun relatif dan bahkan bisa dibilang kultus individu. Memang pernah ada sebutan Angkatan
45 atau Angkatan Chairil Anwar, tetapi tampaknya tidak bertahan.
Dapat juga dipergunakan angka tahun, seperti 1920-an, 1930-an, dan seterusnya. Tetapi,
pembagiannya akan menjadi rumit di masa mendatang, sedangkan perubahan ciri-cirinya
belum tentu tampak pada rentang waktu sepuluh tahunan. Padahal, maksudnya adalah
memberi tanda pada gejala-gejala yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang. Mungkin
dua puluh tahun, tiga puluh tahun, atau lebih.
Dengan menyisihkan kerangka teori yang rumit-rumit itu lantas terpikir kemungkinan
penamaan dengan memanfaatkan ciri-ciri sosial politiknya yang sudah populer untuk
mencakup seluruh genre: puisi, prosa, dan drama yang sebenarnya masing-masing memiliki
alur perjalanan sendiri-sendiri. Tentu saja pemikiran awal ini masih perlu dikaji lebih lanjut
dan terbuka untuk perdebatan dan polemik.
Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan tetap mempertimbangkan
nasionalisme maka penamaan keempat masa perjalanan sastra Indonesia itu bisa
menghasilkan tawaran sebagai berikut:
Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan
sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa pada masa itu telah tumbuh
nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam
Efendi, Muhamad Yamin, Asmara Hadi dan lain-lain. Yang jelas, pada masa itu bertumbuhan
karya sastra yang sebagian sudah bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat
sebagai modal awal khazanah sastra Indonesia.
Masa Pergolakan atau Masa Revolusi dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra
Indonesia tahun 1945-1965 dengan alasan bahwa pada waktu itu terjadi pergolakan semangat
mempertahankan proklamasi kemerdekaan, pergolakan ideologi, dan pencarian konsep-
konsep sastra. Berbagai gejala yang menandakan pergolakan itu antara lain terbitnya Surat
Kepercayaan Gelanggang tahun 1949, munculnya organisasi kebudayaan bentukan partai,
seperti Lekra, Lesbumi, LKN di tahun 1960-an; pasang surut majalah sastra seperti Kisah,
Sastra, Tjerpen; kasus pengadilan cerpen Langit Makin Mendung karya Ki Panjikusmin,
campur tangan kekuatan politik, pelarangan Manifes Kebudayaan, dan sebagainya.
Masa Pemapanan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun
1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai sistem: sosial, politik,
penerbitan, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia. Pada
masa itu ilmu sastra Indonesia boleh dibilang semakin mapan di sejumlah fakultas sastra.
Penelitian makin marak di mana-mana. Seminar, pelatihan, penerbitan, dan apresiasi sastra
makin berkembang marak di berbagai komunitas sastra. Memang di sana-sini terjadi juga
pembatasan dan penekanan, tetapi tidak mengurangi makna perkembangan dan kemapanan
sastra Indonesia.
Pada akhirnya kehidupan sastra Indonesia selewat tahun 1998 harus dicatat dengan nama
tertentu, misalnya Masa Pembebasan dengan alasan bahwa dalam lima tahun terakhir ini
telah terjadi pembebasan kreativitas sastra. Meskipun buktinya belum bisa dibanggakan,
gejalanya boleh dibilang sudah menggembirakan. Antara lain karya sastra yang tertekan
selama masa pemapanan, seperti roman-roman Pramoedya Ananta Toer dan sejumlah "sastra
perlawanan" sekarang bisa diterbitkan tanpa ketakutan apa pun.
Simpulan sementara ini sudah tiba saatnya sejarah sastra Indonesia direkonstruksi dengan
format baru untuk kepentingan pengajaran, penelitian, dan apresiasi. Rekonstruksinya dapat
dilaksanakan secara menyeluruh dengan memperhitungkan alur perjalanan yang sudah
mencapai sekitar 80 tahun atau terbatas pada masa-masa tertentu dalam konteks keseluruhan
sejarah. Kemungkinan lain adalah rekonstruksi sejarah tiap-tiap genre yang tetap ditempatkan
dalam wadah sejarah sastra Indonesia.
Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu maka diperlukan pembagian sejarah
pertumbuhan dan perkembangannya menjadi empat masa seperti tersebut tadi, yaitu (1) masa
pertumbuhan atau masa kebangkitan dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan
atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan dengan angka tahun
1965-1998, dan (4) masa pembebasan dengan angka tahun 1998-sekarang.
Diposkan oleh IKIPPGRISEMARANG di 16:06 0 komentar

SEJARAH SAASTRA

A. PERKEMBANGAN SASTRA
Sudah sejak abad ke-19 ada hasil-hasil sastra berbahasa Melayu yang tidak ditulis oleh orang-
orang yang berasal dari Kepulauan Riau atau Sumatra. Juga bahasa yang dipergunakannya
akan sulit disebut sebagai bahasa Melayu yang murni atau bersih. Bahasa Melayu yang
dipergunakan oleh para pengarang itu bukanlah bahasa Melayu Tinggi, melainkan bahasa
Melayu rendah atau bahasa Melayu pasar.
Sementara itu hasil-hasil sastra Melayu yang ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi juga bukan
main banyaknya.Kesusastraan Melayu termasuk kesusastraan yang kaya di Kepulauan
Nusantara. Banyak hikayat-hikayat, syair-syair, pantun-pantun, dan karya-karya sastra lain
yang indah-indah dan usianya sudah berabad-abad. Hikayat si Miskin, Hikayat Hang Tuah,
Hikayat Indra Bangsawan, Hikayat Amir Hamzah, Syair Bidasari, Syair Ken Tambuhan, dan
Sejarah Melayu ialah beberapa di antara karya-karya sastra klasik Melayu.
Pengarang-pengarangnya pun tidak sedikit, terutama berasal dari lingkungan ulama dan
kesultanan di Kepulauan Riau. Di antara yang paling termashur ialah Raja Ali Haji, Nurudin
Ar-Raniri, Tun Sri Lanang, Hamzah Fansuri, Abdulah bin Abdulkadir Munsyi. Abdulah
terkenal karena usaha-usahanya memperbaharui sastra Melayu. Yang dikisahkannya
bukanklagi fantasi tentang raja-raja dan putrera-puteri yag cantik, melainkan kehidupan
sehari-hari. Ia hidup pada paroh pertama abad ke-19 dan menghasilkan karya-karya yang
sekarang telah menajdi klasik; antara lain Syair Singapura Terbakar (1830), Kisah Pelayaran
Abdulah dari Singapura ke Kelantang (1838), Hikayat ABdulah bin abdullkadir Munsyi
(1894), dan kIsah Pelayaran abdulah ke Negri Jiddah (1849).
Perbedaan bangsa yang menjajah menimbulkan perbedaan-perbedaan pula dalam
pertumbuhan kebudyaan, cita-cita politik dan pola pikir suku-suku bangsa yang ada di
wilayah Nusantara. Meskipun demikian, penduduk wilayah-wilayah yang terangkum dalam
jajahan suatu bangsa penjajah merasakan nasib dan penderitaan yang sama, sehingga
perhubungan antara penduduk daerah yang semula disebut "Nederlandsch Indie" (Hindia
Belanda) semakin erat.
Persaan tak puas karena menjadi hamba di tanah air sendiri, menyebabkan timbulnya
perlawanan berupa pemberontakan bersenjata di berbagai daerah. Memang mula-mula
perlawanan-perlawanan itu bersifat sporadis, terpecah-pecah dan merupakan perlawanan
suatu suku bangsa melawan orang asing. Namun saat itu yang dianggap orang "asing" itu
bukan hanya kulit putih, meliankan juga semua suku bangsa lain yang berasall dari
Nusanrtara juga. Hal itu memudahkan Belanda untuk mengadu domba dan politik devide et
impera efektif sekali untuk mellumpuhkan perlawanan orang bumi putra terhadap penjajahan
Belanda.
Tapi, pada awal abad ke-20 mulailah para pemimpin dan pejuang kemerdekaan kita sadar
akan kelemahan dirinya dan akan kekuatan lawannya. Maka berasal dari perasaan senasib
sepenanggungan karena sama-sama hidup di bawah cengkraman penjajah yang satu,
tumbuhlah kesadaran nasional. Api nsionalisme itu menghilangkan perbedaan-perbedaan
yang disebabkan oleh karena perbedaan sejarah, lingkungan kebudyaan, bahasa, adat-istiadat,
temperamen dan watak. Dalam menghadapi musuh bersama yang satu, yang diperhitungkan
bukan perbedaan di antara suku-suku bangsa itu, melainkan persamaan-persamaannya.
Kesadaran itulah yang kemudian pada tahun 1928 dirumuskan dalam sebuah sumpah
bersama yang sekarang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.

B. SEJARAH SASTRA INDONESIA


Beberapa penelaah sastra Indonesia telah mencoba membuat babakan waktu (periodisasi)
sejarah sastra Indonesia. Meskipun di antara para ahli dan sarjana itu ada persamaan-
persamaan yang dalam membagi-bagi babakan waktu sejarah sastra Indnesia, kalau diteliti
lebih lanjut akan tampak bahwa masing-masing periodisasi itu menunjukkan perbedaan-
perbedaan yang mencolok baik istilah maupun konsepsinya.
Dalam ikhtisar ini akan diikuti pembabakan waktu sejarah sastra Indonesia sebagai berikut:
I. MASA KELAHIRAN (1900-1945) yang dapat dibagi menjadi:
1. Periode awal hingga 1933;
2. Periode 1933-1942;
3. Periode 1942-45.
II. MASA PERKEMBANGAN (1945-sekarang) meliputi:
1. Periode 1945-1953;
2. Periode 1953-1961; dan
3. Periode 1961- sekarang.
Dalam pembabakan ini digunaan istilah "periodisasi" dan bukan "angkatan" karena angkatan
dalam sastra Indonesia telah menimbulkan berbagai kekacauan. Pembedaan antara periode
yang satu dengan periode yang lain berdasarkan norma-norma umum dalam sastra sebagai
pengaruh situasi masing-masing zaman. Sedangkan pembedaan antara angkatan yang satu
dengan yang lain sering ditekankan pada adanya perbedaan konsepsi masing-masing
angkatan. Dalam satu periode mungkin saja kita menemukan aktivitas lebih dari satu
golongan pengarang yang mempunyai konsepsi yang berbeda-beda; sedangkan munculnya
periode baru tidak pula usah berarti munculnya angkatan baru dengan konsepsi yang baru.
Perbedaan norma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi suatu zaman mungkin
menimbukan suasana baru dalam kehidupan sastra tanpa melahirkan suatu konsepsi sastra
baru yang dirumuskan oleh seseorang atau sekelompok sastrawan.
I. PERIODE 1942-1945
1. Saat-Saat yang Mematangkan
Dijajah jepang selama 3,5 tahun merupakan pengalaman penting dalam sejarah indonesia
pada umumnya dan juga sastra pada khususnya. karena bahasa indonesia tadinya dihindari
belanda agar supaya jangan resmi menjadi bahasa persatuan . oleh orang jepang bahasa
indonesia dijadikan satu-satunya bahasa yang harus dipergunakan diseluruh dikepulauan.
Dengan makin intensifnya Bahasa Indonesia dipergunakan dikepulauan Nusantara, maka
sastra indonesiapun mengalami intensifikasi juga. Keimin Bunka Shindo merupakan kantor
pusat kebahasaan yang dibentuk oleh Jepang. Selain itu, Jepang juga mengadakan
perkumpulan sandiwara dibawah P.O.S.D (Perserikatan Oesha Sandiwara Djawa ) .
Pada masa penjajahan Jepang banyak orang menulis sajak dan cerpen, sandiwara sedangkan
roman kurang ditulis itupun yang diterbitkan hanya dua Cinta Tanah Air, karangan Nur
Sultan Iskandar dan Palawija (1944) karya Karim Halim. Keduanya roman propaganda yang
bernilai sastra.
Pada masa inilah Bahasa Indonesia mengalami pematangan, seperti tampak pada sajak
Chairil Anwar dan prosa Idrus yang tidak hanya sekedar alat untuk bercerita atau
menyampaikan berita, tetapi telah menjadi alat pengucap sastra yang dewasa. Usaha inilah
yang menyebabkan dimulainya suatu tradisi puisi indonesia yang hampir tak terbatas. Bahasa
sajak Khairil Anwar bukan lagi bahasa buku yang terpisah dari kehidupan, tetapi bahasa
sehari-hari yang menulang-sumsum, membersit spontan,
Kehidupan yang morat-marit juga mengajar para pengarang supaya belajar hemat dengan
kata-kata. Setiap kata, kalimat, setiap alinea ditimbang dengan matang, baru disodorkn
kepada pembaca. Juga segala superativisme dan perbandingan yang penuh retorika yang
menjadi cirri dan kegemaran para pengarang pujangga baru telah ditinggalkan.

2. Para Penyair
Usmar Ismail, Bukittinggi 20 maret 1921, dikenal sebagai seorang dramawan dan sineas
(pembuat film). Cerpen-cerpennya hanya ada beberapa saja, antara lain dimuat dalam
Pancaran Cinta (1946) dan Gema Tanah Air (1948) disusun oleh H.B Jassin. Sajak-sajak
Usmar kemudian dikumpulkan dan diterbitkan dalam dengan judul Patung Berasap (1949)
Dalam sajak “Kita Berjuang” ia dengan lantang menyatakan hahsratnya “Beserta saudara
turut berjuang.” Maksudnya bserta saudara tua. Dalam sajak “Pujangga dan Cita-cita” ia
dengan yakin berkata kepada pujangga, “ Carilah dahulu perjuangan jiwa/Carilah Asia di
dalam dada.” Namun tak lama ia pun menulis sajak “Diserang Rasa” yang menggambarkan
timbulnya rasa\was-was dan ragu kepada kesungguhnan janji semboyan Jepang

DISERANG RASA

Apa hendak dikata


Jika rasa bersimaharajarela
Di dalam batin gelisah saja
Seperti menanti suatu yang tak hendak tiba

Pelita harapan berkelap-kelip


Tak hendak padam, hanyalah lemah segala sendi
Bertambah kelesah hati yang gundah
Sangsi, kecewa, meradang resah
Benci, dedam……..rindu, cinta………..

Amal Hamzah, adik Amir Hamzah, lahir di Binjai, Langkat 31 Agustus 1922. Ia
menerjemahkan beberapa buah karya Tagore, yang pernah mendapatkan hadiah Nobel 1931
di antaranya Gitanyali (1947).
Amal mulai menulis di zaman Jepang, ketika ia kehilangan kepercayaan kepada manusia. Ia
menjadi kasar dan sajak-sajaknya sangat naturalistis. Dalam sandiwara-sandiwaranya sangat
menonjolkan sensualisme. Sajak dan karangan lain kemudian diterbitkan dalam sebuha buku
berjudul Pembebasan Pertama (1949). Hilangnya kepercayaan kepada manusia, jelass terlihat
dalam sajak “Melaut Benciku”. Selain itu, Amal juga menulis buku yang berjudul “ Buku dan
Penulis” (1950)

MELAUT BENCIKU

Melaut benciku terhaadap manusia


Melaut pula benciku terhadapku sendiri
Karena dalamkelakuanmereka
Terlihat olehku perangaiku asli

Menjilat
Menipu
Membohong
Memeras

……………………………

Kalau boleh kupinta dulu


Aku tak usah lahir ke dunia tipu
Tapi mlang!
Aku lahir bukan kehendakku!
Dalam pelukan cainta berahi
Tumbuh benih membusuk diri

Tercampak ke dunia
Sebagai hasil nafsu kedua!
Bah!
Kalau boleh kupinta dulu
Jangan badan datang kemari
Rosihan Anwar, Padang 10 mei 1922. Sekarang terkenal sebagai wartawan komunis
terkemuka. Sajak-sajaknya banyak melukiskan perasaaan dan semangat pemuda. Cerpennya
yang berjudul “Radio Masyarakat” melukiskan kemelut jiwa pemuda yang dilnda keraguan
atas segala janji-janji kosong dari Jepang. Pata tahun 1967 Rosihan menerbitkan sebuah
roman berjudul “Radja Ketjil, Badjak Laut di Selat Malaka”.
Anas Ma’ruf, Bukittinggi 27 oktober 1922. Pada jaman sesudah perang terkenal sebagai
organisator kebahasaan dan penterjemah. Ia juga menterjemahkan karya-karya para
pengarang dunia seperti Rabindranath Tagore (India), John Steinback (Amerika), William
Saroyan (Amerika). Selain itu, ada M.S.Ashar , Kutaraja 19 Desember 1921. Ia menulis sajak
“Bunglon” merupakan sindiran bagi orang orang yang bertabiat plin-plan. Kemudian Maria
Amin , Bengkulu 1921 dengan karyanya “Tengoklah Dunia Sana” dan Nursjamsu, lahir di
Sumatera Barat 6 oktober 1921. Di antara karyanya berupa cerpen berjdul “Terawang”
dimuat dalam majalah Gema Suasana (1948)

3. Cerita Pendek
Pada masa Jepang cerpen tumbuh dengan subur. Beberapa penulis cerpen yang terkenal di
antaranya adalah H.B. Jassin (Gorontalo, 31 juli 1922) yang menulis cerpen “Anak Laut”.
Cerpen itu mungkin bukan cerpen Jassin yang petama, tapi jelas merupakan cerpennya yang
terakhir. Sebelum perang Jassin menulis cerpen dalam Poejangga Baroe yang berjudul “Nasib
Volontaire “ (1941).
Pengarang cerpen yang lain Bakri Siregar (Langsa /Aceh, 1922). Cerpennya yang pertama
berjudul “Ditepi Kawah”. Pada masa pendudukan Jepang cerpen itu dibukukan dengan judul
“Jejak Langkah” (1953).

4. Drama
Penulis drama yang juga tumbuh sangat subur di bawah perkumpulan P.O.S.D yang dipimpin
Armijn Pane. Beberapa pengarang yang membuat drama pada jaman Jepang adalah Armijn
Pane. Armijn yang pada masa sebelum perang telah menulis “Lukisan masa, Barang tiada
berharga, dan lain-lain pada masa Jepang menulis beberapa buah sandiwara yang kemudian
dibukukan dengan judul “jinak –jinak merpati” (1953). Segera sesudah proklamsi iamenulis
“Antara bumi dan langit”.
Usmar Ismail, pada masa Jepang menyadur sebuah kisah “Chichi Kaeru“ karangan Kikuchi
Kwan menjadi “Ayahku Pulang”. Selain itu, ia pun menulis sandiwara kepahlawanan rakyat
Maluku“Mutiara di Nusa Laut”. Drama yang ditulis Usmar yang belum dibukukan “Mekar
Melati”dan “Tempat yang Kosong”. Drama “Api , Liburan Seniman, dan Citra” kemudian
dibukukan dengan judul “Sedih dan Gembira” (1949).
Abang Usmar Ismail yang bernama Abu Hanifah (El-Hakim) 1960 di Padang Panjang. Pada
zaman Jepang menulis beberapa buah drama yang kemudian dibukukan berjudul “Taufaan di
Atas Asia” (1949). Ada empat buah drama dalam buku itu, yaitu Taufan di Atas Asia terdiri
dari 4 bagian, Intelek Istimewa, 3 bagian , Dewi Reni, 3 babak, Insan kamil, 3 babak. Drama
Rogaya, 4 babak; Mambang laut, 3 babak belum pernah dibukukan. Kecuali drama, ia juga
menulis roman Dokter Rimbu (1942).
Idrus, pada zaman Jepang menulis beberpa buah drama, antaraanya “Kejahatan Membalas
Dendam” dimuat dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948); Jibaku Aceh
(1945); Keluarga Surono (1948); Dokter Bisma 1945. Dalam “Kejahatan Membalas
Dendam” ia melukiskan perjuangan pengarangmuda dalam menghadapi (kekuasaan)
pengarang kolot dengan (tentu saja) kemenangan di pihak pengarang muda, meskipun si
pengarang kolot main guna-guna segala.
Kotot Sukardi menulis sandiwara Bende Mataram yang berlatar belakang maa perang
Diponegoro (1825-1830). Sandiwaara itu kemudia diterbitka Balai Pustaka dengan judul
yang sama bersama-sama dengan karangan Inu Kertapati yang berjudul Sumping Sureng Pati
tahun1945.

II. PRIODE 1900-1933


”Bacaan Liar” dan Commissie Voor de Volkslectuur (Balai Pustaka)
Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dan Raja mempergunakan
uang sebanyak f25.000 untuk keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak untuk
putera.
Dengan didirikanya sekolah banyak orang yang mempunyai kegemaran membaca dan
menulis, sehinga timbulah orang yang berbakat yang mulai menulis berbagai rupa-rupa
karangan. Surat-surat kabar dicetak baik dalam bahasa Belanda maupun dalam bahasa
Melayu yang tersebar di Melayu, Jakarta dan kota yang lain.
Pada abar ke- 19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862), di Padang terbit Pelita
Ketjil (1882), dan di Jakarta terbit Bianglala (1867).
Kemudian tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat Sastra. Awal
abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung
yang berbentuk Roman. Yang sangat menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti
Mariah yang ditulis H.Moekti.
Disamping itu pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo
(1875-1916) menulis dua buah cerita roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana
(1912).
Pengarang lain yang produktif adalah seorang wartawan bernama Mas Marco Martodikromo,
kemudian terbit beberapa buah roman yaitu Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair
Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924)
Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh
pemerintah karena mereka berpaham kiri yang sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam
itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, maka karangan-karangan itu disebut “Bacaan
Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.
Peranakan Indo menulis cerita misalnya G.Francis yang menulis kisah Nyai Dasima (1896).
Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang
membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar
sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan
merdeka bangsa Indonesia. Multatuli adalah nama samaran dari Edward Douwes Dekker
(1820-1887) yang artinya “Aku Telah Banyak Menderita”. Ia menjadi pegawai pemerintah
jajahan di Indonesia. Pada tahun 1908 didirikan Komisi Bacaan Rakyat (Commissie Voor de
Inlandsche School en Volkslectuur) yang berubah menjadi kantor Bacaan Rakyat (Kantoor
Voor de Volkstectuur) pada tahun 1917 atau Balai Pustaka.
Pada tahun terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D.K. Ardiwinata (1866-
1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah
cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van
Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab
dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul
Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.

Sajak-sajak Yamin dan Rustam Effendi


Dalam majalah Jong Sumatra tahun 1920 dimuat sebuah sajak sembilan seuntai dengan
Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air. Antara tahun 1920-1922 Yamin banyak
menulis sajak-sajak lirika. Kebanyakan berupa pujian-pujian terhadap tanah air dan bahasa
bundanya sebuah sejarahnya yang berjudul “Bahasa Bangsa”melukiskan perasaannya tentang
“Tiada bahasa, bangsa pun hilang”.
Pada tahun 1922, sajak Tanah Air yang semula terdiri dari tiga bait dan dimuat dalam Jong
Sumatra 1920 itu, kemudian diterbitkan bersama tambahannya menjadi sebuah buku kecil.
Judulnya Tanah Air juga, dipersembahkan penyairnya untuk menyonsong peringatan 5 tahun
berdirinya perkumpulan “Jong Sumatra Bond”.
M. Yamin dilahirkan di Sawahlunto pada tanggal 23 Agustus 1903 dan meninggal di Jakarta
tanggal 26 Oktober 1962. Selain menulis sajak, ia pun banyak menulis drama yang berlatar
belakang sejarah, antara Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dan Kalau Dewi Tara Sudah
Berkata ……….. (1932).
Penyair yang sezaman dengan Yamin yang juga sadar akan tugasnya untuk berjuang guna
kemerdekaan bangsanya ialah Roestam Effendi (1902). Roestam Effendi menulis dua buah
buku yaitu Bebasari (1924) dan Percikan Permenungan (1926). Bebasari ialah sebuah drama
bersajak mengisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari
cengkraman keserakahan raksasa. Drama ini merupakan sebuah perlambang/simbolik dari
cita-cita pengarangnya. Agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas”
maksud dari kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda merupakan perlambang tanah air
yang berada di tangan penjajah.
Dari segi sejarah sastra Indonesia, buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama
yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak.
Bukunya yang lain, Percikan Permenungan merupakan sebuah kumpulan sajak. Sajak-sajak
yang dimuat dalam kumpulan ini merupakan percobaan-percobaan berani yang dilakukan
oleh Roestam Effendi dalam menulis puisi Indonesia yang sedapat mungkin lepas dari tradisi
sastra Melayu.

BUKAN BETA BIJAK BERPERI

Bukan beta bijak berperi


Pandai menggubah madahan syair,
bukan beta budak Negeri,
musti menurut undangan mair.

Sarat-sarat saya mungkiri,


untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
sebab laguku menurut sukma.

Susah sungguh saya sampaikan,


degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasaian waktu.

Sering saya susah sesaat,


sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit mendekat,
sebab terkurung lukisan mamang.

Bukan beta bijak berlagu,


dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
hanya mendengar bisikan alun.

Namun ada juga sajak yang menggambarkan sikap penyair melihat bangsanya yang berada
dalam cengkaraman penjajah, misalnya dalam sajak yang berjudul “Mengeluh”. Di dalam
sajak ini penyair Roestam Effendi menyajikan perjuangan bangsanya merebut kemerdekaan.

MENGELUH

I
Bukan beta berpijak bunga,
melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disimbur sukar,
bermandi darah, dicucurkan dendam.

Menangis mata melihat makhluk,


berharta bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.

Ba’mana beta bersuka cita,


Ratapan ra’yat riuh gaduh,
membobos masuk menyayu kalbu.
Ba’mana boleh berkata beta,
suara sebat, sedanan rusuh,
menghimpit madah, gubahan cintaku.

II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebarkan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayap kemerdekaan ra’yat?

Bilakah lawang bersinar Bebas,


Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?

Di sanalah baru bermohon beta,


Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.

Di situlah baru bersuka beta,


Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput Manikam bangsaku.

Balai Pustaka dan Roman-romannya


Roman Azab dan Sengsara buah tangan Merari Siregar merupakan kritik tak langsung kepada
berbagai adat dan kebiasaan buruk yang tidak sesuai lagi dengan zaman modern. Roman ini
merupakan roman pertama tentang kawin paksa, dan buah tangan M. Kasim yaitu Muda
Teruna (1922) yang berupa hikayat.
Roman Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, telah berhasil mengeluarkan kritik terhadap
berbagai keburukan adat kuno yang berkenaan dengan perkawinan. Kemudian baru tiga
puluh tahun Marah Rusli menghasilkan karya La Hami (1952) dan Anak Kemerdekaan.
Ketika ia meninggal, masih ada subuah naskan roman yang belum diterbitkan berjudul
Memang Jodoh.
Pengarang lain yang menentang adat kuno mengenai perkawinan dalam roman-romannya
ialah Adinogoro nama samaran Djamaludin (1904-1966) yang menulis dua buah buah roman
berjudul Darah Muda (1927) dan Asmara Jaya (1928). Kedua roman itu tokoh-tokoh muda
bukan saja menentang adat kuno dalam membela haknya memilih jodoh, melainkan juga
menang dalam perlawanan itu.
Persoalan pemilihan jodoh dan campur tangan orang tua dalm pernikahan anaknya terdapat
pula dalam roman lain terbitan Balai Pustaka misalnya roman berjudul Karam Dalam
Gelombang Percintaan (1926) buah tangan Kedjora, Pertemuan (1927) buah tangan Abas
Soetan Pamoentjak, Salah Pilih (1928) karangan Nur Sutan Iskandar, Cinta yang Membawa
Maut (1926) karangan Abd. Ager dan Nursinah Iskandar.
Kisah percintaan yang tokoh-tokohnya terdiri dari para pemuda yang telah mengecap
pendidikan sekolah merupakan tema yang disukai benar oleh umumnya para pengarang masa
itu, seperti dapat dita baca dalam roman-roman Jeumpa Aceh (1928) bukan tangan H.M.
Zainuddin. Tak Disangka (1929) karangan Tulis Sutan Sati, Tak Putus Dirundung Malang
(1929) karangan Sutan Takdir Alisyahbana, dan lain-lain.
Roman terpenting yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun dua puluhan ialah Salah Asuhan
(1928) buah tangan lebih realistis. Yang menjadi perhatian bukan lagi kawin paksa.
Pertentangan paham antara kaum muda dengan kaum kolot dalam soal pernikahan tidaklah
dilihatnya secara blok hitam dan blok putih. Ia dengan jelas dan meyakinkan melukiskan
kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan yang terdapat pada kedua blok itu. Yang
menjadi masalah bagi pengarang yang aktif dalam pergerakan kebangsaan Indische Partij
(tahun belasan) ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk
ke dalam tubuh anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah kolonial Belanda.
Abdul Muis sendiri karena aktivitasnya dalam syari’at Islam pernah mendapat hukuman dari
pemerintah jajahan Balanda. Ia seorang Minangkabau yang pergi merantau untuk berlayar ke
Jawa lalu kawin dengan gadis Sunda dan hidup di tanah Priangan sampai meninggal. Kecuali
menulis Salah Asuhan, ia pun menulis Pertemuan Jodoh (1933), juga roman percintaan yang
bertendensi sosial. Sehabis perang menulis roman berdasarkan sejarah yakni Surapati (1950)
dan Robert Anak Surapati (1953). Keduanya merupakan roman sejarah perjuangan melawan
penjajahan Belanda. Ketiga buah romannya yang lain itu tidak ada yang mengatasi Salah
Asuhan nilainya.
Halnya dengan Sanusi Pane (1905-1968), bukunya pertama berupa kumpulan prosa lirik
berjudul “Pancaran Cinta” (1926), kemudian disusul oleh kumpulan sajak Puspa Mega (1927.
sajak-sajak dalam kumpulan ini hampir seluruhnya berbentuk soneta. Bentuk puisi Italia yang
pertama kali digunakan oleh Muhammad Yamon ini memang sangat banyak persamaannya
dengan pantun. Soneta terdiri dari 14 baris yang umumnya dua bait pertama (octavo) berupa
empat seuntai dan 2 bait terakhir (sextet) tiga seuntai.
Hal itu akan nyata sekali dalam salah sebuah soneta yang terdapat dalam Puspa Mega Sanusi
Pane sebagai berikut :

TEJDA

Lihat langit sebelah barat


Lautan warna dibuat teja,
Berkilau-kilau dari darat
Ke cakrawala bayangan mega

Makin lama muram cahaya;


Awan kelabu, perlahan melayang,
Melayang, melayang entah ke mana,
Laksana mimpi ia menghilang.

Keluh kesah menurut awan,


Setelah menyala sebentar saja,
Pergi perlahan bermuram durja,

Hatiku menangis dipalu rawan,


Mengenang ba’gia musnah terus,
Setelah bermegah baru sejurus.

Konsepsi ini kemudian diperbaiki lagi dalam sajak yang juga berjudul sajak, yang dimuat
dalam kumpulan sajaknya yang terakhir yaitu Madah Kelana (1931). Dalam sajaknya ini ia
telah mengubah pandangan tentang sajak dan kepujanggaan
Pada tahun 1929-1930 ia mendapat kesempatan untuk melawat ke negeri India yang sangat
dikaguminya dan sajak Madah Kelana. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Keluh, Do’a
banyak bercerita tantang cintanya.

Dapat kau memberitahukan daku.


Di mana gerang tempat bagia,
Di mana damai tidak terganggu.
Dimana jiwa bersuka ria?

Perhatian yang besar kepada sejarah tampak pula pada drama yang ditulisnya. Dari lima buah
drama yang ditulisnya, empat adalah berdasarkan sejarah Jawa, dua diantara yang empat itu
ditulis dalam bahasa Belanda, yaitu Airlangga (1928) dan Eenzame Garoedavlucht (1930).
Yang ditulis dalam Bahasa Indonesia ialah Kertajaya (1932) dan Sandhakala ning Majapahit
(1933). Drama yang terakhir ditulisnya berjudul Manusia Baru (1940).
Pada tahun 1932-1933 ia memimpin majalah Timboel edisi bahasa Indonesia. Perhatiannya
kepada sejarah menyebabkan ia menulis buku sejarah Indonesia (1942) dan Indonesia
Sepanjang Masa (1952). Ia juga menerjemahkan Arjuna Wiwaha (1948) dari bahasa Kawi
dan menyusun Bungarampai dari Hikayat Lama (1946).

Para Pengarang Balai Pustaka (1900-1942)

1. Nur Sutan Iskandar (lahir di Maninjau 1893)

a. Apa Dayaku karena Aku Perempuan (1922)


b. Cinta yang Membawa Maut (1926)
c. Salah Pilih (1928). Roman ini mengupas tentang keburukan perkawinan Asri dan Sarinah.
d. Karena Mertua (1932). Roman ini melukiskan kehidupan rumah tangga yang terlalu
dirong-rong oleh pihak mertua sehingga mengalami berbagai krisis.
e. Tuba Dibalas dengan Susu (1933) yang diambil dari naskah Asmaradewi, mengisahkan
kesabaran seorang lelaki yang senantiasa dihinakan oleh pihak perempuan.
f. Hulu Balang Raja (1934) yang merupakan roman sejarah yang didasarkan pada sebuah
disertasi H. Kroeskamp De Westkust en Minangkabau (1665-1668) (partai Barat dan
Minangkabau 1665-1668 terbit 1931).

Masih banyak roman atau karya Nur Sutan Iskandar yang terbit setelah tahun 1933. misalnya
Katak Hendak Jadi Lembu (1935), Neraka Dunia (1937), Dewi Rimba (1935), Cinta dan
Kewajiban (1941), dan lain-lain.

2. I Gusti Njoman Pandji Tisna

a. Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935) yang melukiskan kebengisan masyarakat feodal di
Bali.
b. Sukreni Gadis Bali (1936) yang melukiskan kehidupan masyarakat Bali yang keras dan
kejam.
c. I Swasta Setahun di Bedahulu (1938) yang melukiskan masalah hukum karma, yang
merupakan lntrik Keraton dan berbagai kebiasaan raja-raja. Didalamnya menggambarkan
kutuk dewata yang harus ditanggung oleh keturunan yang bersangkutan
d. Dewi Karana (1938) diterbitkan di Medan.
e. I Made Widiadi (kembali kepada Tuhan) 1954), dikarang penulisnya setelah memeluk
agama Islam.
3. Tulis Sutan Sati (1928)

Ia menerbitakan buku sejak 1920, yaitu sebuah roman berjudul Sengsara Membawa Nikmat
yang menceritakan tentang masalah adat dan kawin paksa masih menjadi tema yang utama
dalam karangan Tulis Sutan Sati yang pertama. Kemudian ia menerjemahkan Kaba’ Sabai
Nan Aluih (1929) yang ditulis oleh M. Thalib yang bergelar St. Pamuntjak dalam bahasa
Minangkaau ke dalam bahasa Indonesia. Syair yang ditulisnya berjudul syair Siti Marhumah
yang Saleh (1930), syair Rosina (1933). Roman yang ditulis adalah Tak Disangka (1925),
Memutuskan Pertalian (1932) dan Tidak Membalas Guna (1932).

4. Paulus Supit (1932)

Ia berasal dari Menado. Menulis roman tentang perjuangan sebuah keluarga yang taat
beragama dalam menghadapi berbagai ranjau kehidupan. Seperti Kasih Ibu (1932).

5. Aman Dt. Madjoindo (lahir pada tahun 1896)

Karya-karyanya berupa roman yaitu Menebur Dosa (1932) dan Si Cebol Rindukan Bulan
(1934). Buku berupa syair antaranya yang brejudul syair si Banso (Gadis Durhaka) terbit
tahun 1931, Syair Gul Bakawali (1936).

6. Sunan Hasibunan atau yang lebih terkenal sebagai Suman Hs. (lahir di Bengkalis tahun
1904).

Karya-karyanya antara lain roman Kasih Tak Terlarai (1929), Percobaan Setia (1931),
Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Adapun cerpen buah karyanya adalah Kawan
Bergelut (1938). Diluar Balai Pustaka, Suman Hasibuan menerbitkan sebuah roman berjudul
Tebusan Darah (1939).

7. Habib St. Maharadja

Karyanya adalah Nasib (1932). Berlainan dengan roman-roman pada zaman itu yang
kebanyakan berputar sekitar kawin paksa dan berbagai adat kebiasaan buruk dilingkungan
seorang pemuda Minangkabau yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis
Belanda di sana, tetapi ketika kemudian mereka kembali ke tanah air, lalu bercerai.
Kemudian ia menikah lagi dengan gadis sebangsanya dan keduanya berjanji akan mengabdi
kepada bangsa dan tanah airnya.

8. Haji Said Daeng Muntu yang biasa memakai nama H.S.D Muntu ialah seorang pemimpin
Muhammadiyah di Sulawesi. Roman-romannya antara lain :
a. Pembalasan (1935), merupakan roman sejarah yang terjadi di daerah Goa ketika daerah itu
mulai dikuasai oleh Belanda, menceritakan sekitar pengkhianatan seorang seorang pembantu
yang mendapat kepercayaan dari tuannya.
b. Karena Kerendahan Budi (1941), mempermasalahkan persoalan sosial dan pendidikan
modern.
9. Soetomo Djauhar Arifin (lahir di Madiun 1916 dan meninggal di Jakarta 1959). Romannya
berjudul Ardang Teruna (1941), merupakan roman nyanyian kemenangan kaum muda
terhadap kaum kolot.
Para Pengarang Wanita

1. Sariamin yang biasa terkenal dengan nama Selasih atau Seleguri menulis di Talu, Sumatra
Barat 1909. Ia menulis dua buah roman yaitu :
a. Kalau Tak Untung (1933), melukiskan percintaan dua orang anak yang bersahabat sejak
kecil, sama-sama sekolah dan sama pula hidup dalam tak berkecukupan.
b. Pengaruh Keadaan (1937), mengisahkan kesengsaraan dan kemalangan seorang gadis yang
bernama Yusnani, yang hidup dalam tekanan ibu tirinya, sehingga ia kehilangan kepercayaan
akan dirinya sendiri.

2. Hamdah yang merupakan samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang berasal dari
Palembang. Karyanya hanya sebuah saja yaitu Kehilangan Mestika (1935). Roman ini
menceritakan kemalangan seorang gadis yang kehilangan ayah, kemudian kehilangan
kekasihnya.

3. Aldin Affandi dan Sa’adah Alun (1898-1968), masing-masing menulis sebuah sandiwara,
masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya 1941). Sa’adah Alim
menulis cerpen yang dibukukan dengan judul Taman Penghibur Hati (1941). Kemudian ia
menerjemahkan Angin Timur Angin Barat. Karya pengarang wanita kebangsaan Amerika
yang pernah mendapat hadiah Nobel tahun 1938, ialah Pearl S. Buck (lahir 1892).

4. Marra Amin (dilahirkan di Bengkulu 1920), ia menulis sajak-sajak dalam majalah


‘Poejangga Baroe’. Peranannya lebih berarti pada masa Jepang ketika ia menulis dan
mengumumkan beberapa prosa lirik yang simbolistis.

Cerita Pendek

Dalam majalah Pandji Poeskaka dan lain-lain tahun dua puluhan sudah mulai dimuat kisah-
kisah pendek yang sifatnya lelucon-hiburan. Cerita-cerita itu mengingatkan kita akan tokoh-
tokoh cerita rakyat lama yang terdapat diseluruh Indonesia seperti si Kabayan, si Lebai
Malang, Jaka Dolok dan lain-lain.
Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka. Cerita-cerita yang lucu yang ditulis oleh M. Kasim
yang sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, dibukukan dengan judul Teman Duduk.
Roman pertama yang dikarang M. Kasim ialah Muda Teruna (1922), Pemandangan Dalam
Dunia Kanak-Kanak (si Samin) (1924).

Cerpen-cerpen Suman Hs. yang dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir
Alisjahbana. Kumpulan itu berjudul Kawan Bergelut (1938). Judul cerpen-cerpen Suman Hs.,
diantaranya :

1. Pantai jatuh, yang menyindir orang yang suka sombong


2. Fatwa Membawa Kecewa, menyindir orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi
fatwa supaya orang suka bersedekah tetapi ia sendiri serakah.
3. Kelakar si Bogor, menyindir orang-orang yang sok sekolah tetapi akalnya dapat dikalahkan
oleh seorang yang buta huruf.

Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen menjadi bahan yang produktif buat Jaji Abdul
Karim Amrullah yang terkenal dengan Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau) yang
dikumpulkan dalam Lembah Kehidupan (1941).
Cerpen “Inyik Utih”, yang berhasil yaitu melukiskan kesepian dan impian seorang gadis yang
sampai rambutnya putih belum bersuami. Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang
dikumpulkan dengan Taman Penghibur Hati (1941).

Penulis cerpen yang lebih sungguh-sungguh adalah Armijn Pane. Cerpen-cerpennya banyak
dimuat dalam majalah Poejangga Baroe, diantaranya yang berjudul “Belenggu”. Dalam
cerpen “Tujuan Hidup” ia mencoba melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi
guru dan memilih hidup menyendiri.
Cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang dan sesudah perang dikumpul-kan dan
diterbitkan dengan judul Kisah Antara Manusia (1953).

Drama

Dalam penulisan drama, Roestam Effendi telah menulis drama-sajak berjudul Bebasari
(1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara Sudah Berkata …… (1932) dan Ken
Arok dan Ken Dedes (1934).

Sanusi Pane menulis Kertajaya dan Sandhayakala ning Majapahit. Dalam Bahasa Belanda
ialah Airlangga dan Eenzame Garoedavlucht. Umumnya drama itu berbentuk closed drama,
yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk dipentaskan.

Armijn Pane dalam drama-dramanya banyak mengambil latar belakang kenyataan hidup
zamannya. Berdasarkan cerpennya “Barang Tiada Berharga” ia membuat drama “Lukisan
Masa”. Dramanya yang lain “Jinak-jinak Merpati”, juga melukiskan kehidupan zamannya
sendiri.

Menjelang Jepang datang, terbit pula pada Balai pustaka dua buah buku drama buah tangan
Sa’adah Alim dan Affandi. Buah tangan Sa’adah Alim berjudul Pembalasannya (1940) dan
buah tangan Affandi berjudul Gadir Modern (1941).

Penyair dari Sumatra

1. A. Hasjmy ata M. Alie Hasjiem (lahir di Seulimeum Aceh 1914).

Sebagai anggota Poejangga Baroe. Tahun 1936 ia menerbitkan kumpulan sajaknya yang
pertama berjudul Kisah Serang Pengembara, disusul Dewan Sajak (1940). Kisah Seorang
Pengembara memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbentuk soneta dan empat seuntai
yang menisahkan pengembaraan seorang pemuda.

Kumpulan sajak Dewan Sajak terbagi dalam tujuh bagian yaitu : Firdaus, Airmata, Karangan
Bunga, Kiasan Alam, Dendangan Bunda, Buatan Mimpi, dan Taman Muda.
Sajak-sajak yang berserakan pada masa sesudah perang dibukukan bersama beberapa buah
cerpen dengan judul Asmara dalam Pelukan Pelangi (1963).

2. Surapaty, nama samaran M. Saleh Umar

Sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari sajak A. Hasjmy. Sajak dengan judul
Indonesia Baru (1941) yang “Dipersembahkan Kepada Angkatan Muda”. Sajak-sajaknya
tidak meyakinkan karena tidak ada penghayatan.
Sesudah perang ada kumpulan sajak yang terbit yaitu Diriku Ta’ Ada (1949).

3. H.R. Badaharo, nama samaran Banda Harahap (lahir di Medan 1971)

Bukunya Sarinah dan Aku (1940). Ia membuat perlambang pertemuannya dengan tanah air
terjajah yang diperumpamakannya dengan seorang wanita yang berada di bawah cengkraman
orang. Sedangkan dirinya hina tak dapat berbuat apa-apa.

Bagian lain dari kumpulan sajak ini merupakan ratapan penyair terhadap kekasih yang pergi
meninggalkannya. Bandaharo aktif dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan berhasil
menerbitkan bebrapa kumpulan sajak di antaranya Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih
(1957) dan Dari Bumi Merah (1963).

4. Rifa’i `Ali (lahir di Padang Panjang 1909).

Ia menerbitkan Kata Hati (1941). Penyair ini banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan
kepercayaan agama yang dipeluknya, agama Islam. Salah satu sajaknya berbunyi :

Basmallah
Dengan bismillah disambut bidan
Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti

Ia pun menerjemahkan ke dalam bentuk puisi beberapa surah Al-Qur’an, yaitu surah Al-
Ikhlas menjadi Maha Tunggal, surah Al-Asri menjadi Waktu dan surat An-Nasri menjadi
Bersyukurlah.

5. Or. Mandank

Adalah seorang penyair Islam yang menyindir ulama-ulama yang banyak memberi fatwa
sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya.

Nama sebenarnya adalah Oemar gelar Datuk Radjo Mandonk dilahirkan di Kota Panjang,
Suliki, 1 Januari 1913. Sindiran itu terdapat dalam buku Sebab Aku Terdiam ………(1939).
Ia menerbitkan buku di Balai Pustaka berjudul Narumalina (1932). Sebuah cerita yang penuh
lirik melukiskan kehidupan di kampung. Tahun 1939 ia menerbitkan Pantun Orang Muda dan
Sebab Aku Terdiam…….

Pemimpin yang merasa cukup dengan memberi fatwa saja berupa ada tanggung jawab,
disindirnya dengan halus dalam sajak yang berjudul “Petua dan Nasihat”, sindiran itu
ditujukan kepada diri sendiri. Di bagian lain dilukiskan betapa orang-orang yang hendakl
bekerja asyik mendengarkan nasihat yang diberikannya. Sementara itu haripun rembang
sehingga seharian itu tak apapun dikerjakan. Kemudian Mandank merindukan “Pujangga”
tapi bukan ‘Pujangga Pemain Kata’ melainkan pujangga yang turun ke bumi nyata dari tahta
untuk memberi bukti perbuatan :

“Pujangga!, turunlah, O, Pujangga!


Dimanakah tuan lagi bertahta!
Saya hasrat hendak berjumpa
Menemui wajahmu, O pujangga!

Bukan pujangga pemain kata


Tetapi pujangga juru pencipta
Pembawa ujud bukti yang nyata
Yang bukan kata sekedar kata …………”

6. Samadi , nama samaran dari Anwar Rasjid (lahir di Maninjau tanggal 18 November 1918).
Kumpulan sajak yang diterbitkan Senandung Hidup (1941). Pada tahun 1939 ia menjadi
redaktur Peduman Masyarakat dan Pedoman Islam di Medan. Sejak syair yang dihimpunkan
dalam Senandung Hidup ditulisnya antara tahun 1935 dan 1941.

Dasar keagamaan pada penyair ini berasa tidak pernah sampai lepas dalam segala penderitaan
dan kemalangan Ia senantiasa ingat akan Tuhan

Dalam sajaknya Aku Kembali, Kasih ………ia melukiskan pertemuannya kembali dengan
Tuhan. Setelah ia mengembara kemana-mana, merasa rindu dan “Selalu sangsi atas cintamu”.

Dan kesadaran akan mati menyebabkan ia selalu ingat akan perintah tuhan, seperti ia
katakana dalam sajaknya “Betapa Gerang Akan Jadinya”.

Semua itu menyebabkan ia sadar betapa arti hidup dan kehidupan di alam pana ini, seperti
dituliskan dalam sajak ‘Hidup’.

Segalanya itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan kebenaran Jalan Benar. Apa kata
oaring tak jadi soal, sama halnya dengan sanjung dan puji “membunuh hati”,seperti
dikatakanya dalam sajak ‘Asal Takhina di Sisi Tuhan’. Hidup baginya hanyalah mencari
ridho Ilahi semata.

Sajaknya ‘Musapir Mendaki Gunung’ dan Kepada Kekasih, merupakan sajak-sajak yang
cukup kuat.Sajak itu nafasnya lebih dekat kepada sajak-sajak para penyair sesudah perang
dari pada kepada penyair sebelumnya.

Penyair ini hilang tak berbekas ditengah pergolakan perang saudara yang berkecamuk di
Sumatra sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).

TOKOH-TOKOH SASTRA ANGKATAN BALAI PUSTAKA

1. NUR SUTAN ISKANDAR

Nur Sutan Iskandar dilahirkan pada tanggal 3 November 1893 di Sungai Batang, Maninjau,
Sumatra Barat. Namanya semasa kecil adalah Muhammad Nur, setelah beristri menurut adat
Minangkabau diberi gelar Sutan Iskandar. Pendidikannya adalah Sekolah Melayu kelas II di
Maninjau tamat tahun 1908. Ia menjadi guru sekolah desa di sungai batang dan setelah itu
menjadi guru bantu di Muara Beliti (Palembang). Pada tahun 1914 ia dipindahkan ke sekolah
kelas II di Padang. Selanjutnya berturut-turut kedudukannya adalah menjadi korektor Balai
Pustaka, Redaktur Kepala pada Balai Pustaka. Dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra
di Universitas Indonesia Jakarta. Salah seorang pengurus Budi Utomo, juga menjadi
pengurus Partai Indonesia Raya. Pernah pula menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia. Ia
adalah perintis kemerdekaan dan mendapat anugerah Satyalencana Kemerdekaan dari
Pemerintah Republik Indonesia. Kiranya semua orang akan sependapat kalau dikatakan
bahwa Nur Sutan Iskandar adalah orang yang sangat setia kepada karyanya, yakni
mengarang. Banyak sekali buku peninggalannya baik berupa karya asli, saduran, maupun
terjamahan. Bahasanya amat lancar dan terjaga dengan baik. Dengan sangat teliti ia
menggambarkan lokasi cerita, hinggga mampu membuat karyanya sangat menarik.

Adapun karyanya antara lain :


a. Neraka Dunia (Novel 1937)
b. Cinta Tanah Air (Novel 1944)
c. Perjalanan Hidup ; Perjuangan Srikandi Irian Barat untuk Kemerdekaan (1962)
d. Gudang Intan Nabi Sulaiman (1929, dari Ridder Hanggard)
e. Tiga Panglima Perang (1922, saduran dari Alexander Dimas)
f. Abunawas (1929)

2. MARAH RUSLI

Seorang bangsawan yang lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal pada tanggal 17
Januari 1968. Ia menjadi dokter hewan beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di Semarang.
Akibat perkawinannya dengan gadis Sunda yang tidak disetujui keluarganya maka ia
diasingkan dari ikatan keluarga. Situasi demikian sedikit banyak akan tercermin dalam,
karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya merupakan roman karya Marah Rusli yang paling
populer pada Angkatan Balai Pustaka, bahkan paad zaman Belanda roman itu dicantumkan
sebagai buku pelajaran di AMS, Yogyakarta. Marah Rusli dianggap sebagai salah seorang
pelopor atau pengakhir zaman kesusasteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam
bukunya bukan hal-hal yang istana sentris lagi dan bukan hal-hal yang bersifat fantasi belaka,
melainkan lukisan realitas masyarakat. Adapun karangan Marah Rusli yang lain adalah :

a. Anak dan Kemenakan (roman 1956)


b. La Hami (roman sejarah di Pulau Sumba)
c. Memang Jodoh (belum diterbitkan sampai sekarang)

3. ABDUL MUIS

Abdul Muis dilahirkan di Bukittingi 3 Juli 1886. Ayahnya berasal dari Laras Sungai Puar,
Ibunya putri Jawa keturunan Sentot Alibasya. Ia meninggal pada tahun 1959 di Bandung.
Pendidikannya adalah Stovia tetapi tidak tamat. Kemudian menjadi wartawan dan pemimpin
Serikat Islam, serta giat dalam gerakan untuk memperoleh otonomi yang lebih besar bagi
Hindia (Indies) sepanjang Perang Dunia I. Pernah pula menjadi anggota delegasi Comite
Indie Weerbaar (Panitia Pertahanan Hindia) ke negeri Belanda. Dilantik menjadi anggota
Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1920.

Sebagai penulis, penerjemah, dan wartawan, dia hidup secara tidak menonjol di Jawa Barat
hingga meninggalnya. Romannya yang paling terkenal adalah Salah Asuhan. Roman ini
sangat menarik karena temanya dan cara pengarang mengungkakan tema itu. Selain itu,
roman ini menarik karena keterusterangannya dalam membicarakan masalah diskriminasi ras
(keturunan bangsa) dan masalah sosial, serta yang lebih menarik lagi karena persoalan ini
diungkap karya sastra.

Roman Abdul Muis kedua adalah Pertemuan Jodoh (1933) dibandingkan dengan roman
pertamanya roman ini kurang berhasil. Roamn tersebut berisi kritik terhadap unsur-unsur
feodalisme yang menghambat kemajuan. Hal yang menarik dari roman tersebut adalah
digunakannya dialek Betawi dan Sunda dalam dialog-dialog antara pelakunya.

Adapun karya-karya Abdul Muis yang lain adalah :

a. Surapati (roman sejarah,1950)


b. Putri Umbun-Umbun Emas (1950)
c. Robert Anak Surapati (roman sejarah 1952)
d. Suara Kakaknya (cerpen)
e. Daman Brandal Sekolah Gudang (roman kanak-kanak)

Selain ketiga pengarang yang disebut di atas, sebenarnya banyak sekali pengarang-pengarang
lainnya. Mereka antara lain :

4. AMAN DATUK MOJOINDO

Aman Datuk Mojoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat pada tahun 1895 dan
meninggal pada tanggal 16 Desember 1969 di Jakarta. Ia pernah memimpin rubrik cerita
anak-anak pada majalah Panji Pustaka. Pada umumnya karangannya berisi kejenakaan
(humor). Karangan yang telah dihasilkannya antara lain :

a. Si Doel Anak Betawi


b. Si Cebol Rindukan Bulan (roman 1934)

5. MUHAMMAD KASIM

Muhammad Kasim lahir pada tahun 1886 di Muaara Sipongi dan pekerjaan sehari-harinya
menjadi guru. Satu keistimewaannya adalah menampilkan cerita-cerita lucu. Bukunya yang
berejudul : Pemandangan Dunia Anak-Anak, mendapat juara kesatu dalam lomba mengarang
bacaan anak-anak yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, pada tahun 1924. Karangan
Muhammad Kasim Antara lain:
a. Teman Duduk (kumpulan cerpen yang dimuat Panji Pustaka sekitar tahun 1931-1935)
b. Muda Teruna (19520)

6. TULIS SUTAN SATI

Tulis Sutan Sati lahir pada tahun 1898 di Bukittinggi dan meninggal paad zaman Jepang.
Karya-karyanya terdiri atas asli dan saduran, baik roman maupun syair. Karya-karyanya yang
asli berbentuk roman adalah Sengsara Membawa Nikmat (1928), Tidak Tahu Membalas
Guna (1932), Tak Disangka (1932), dan Memutuskan Pertalian (1932), sedangkan karya-
karya sadurannya dalam bentuk syair adalah Siti Marhumah Yang Saleh (saduran dari cerita
Hasanah yang saleh), Syair Rosina (saduran tentang hal yang sebenarnya terjadi di Betawi
pada abad lampau), Sabai nan Aluih (saduran dari sebuah kaba Minangkabau dalam bentuk
prosa beriman).

7. MERARI SIREGAR

Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Sumatra Utara pada tanggal 13 Juni dan meninggal
tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura. Ia menjadi terkenal karena romannya Azab dan
Sengsara (1920). Karya-karyanya adalah Azab dan Sengasara (roman 1920).
Selain pengarang di atas juga ada pengarang wanita dalam Balai Pustaka antara lain :
a. Nurani
Nurani terkenal dalam dunia sastra karena terjemahan-terjemahannya antara lain berjudul
Pinokio.

b. Sa’adah Alim
Pengarang ini dikenal karena karya-karyanya sendiri maupun terjemahan. Karyanya sendiri
adalah pembalasannya (1941 drama) dan Taman Penghibur Hati (kumpulan cerpen 1941).
c. Selasih
Selasih lahir pada tanggal 31 Juli 1909 di talu, Lubuk Sikaping. Karya-karyanya adalah
Kalau- Tak Untung (roman 1933) dan Pengaruh Keadaan (roman 1937), sedangkan puisi-
puisinya dimuat dalam majalah Panji Pustaka dan Pujangga Baru. Ia sering menggunakan
nama samaran Seleguri atau Sariamin.
PERIODE 1945-1953

1. Angkatan ‘45

Munculnya Khairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu
yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang masih mengingatkan
kita kepada sastra Melayu. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa Indonesia yang hidup,
berjiwa. Bukan bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya
bernilai sastra.

Khairil Anwar segera mendapat pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang
penulisan puisi muncul para penyair Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, P. Sengojo,
Dodong Djiwapraja, S. Rukiah, Walujati, Harijadi S. Hartowardoyo, Moch. Ali dan lain-lain.
Dalam bidang penulisan prosa, Idrus pun memperkenalkan gaya menyoal-baru yang segera
mendapat pengikut luas.

Dengan munculnya kenyataan itu, banyak orang yang berpendapat bahwa sesuatu angkatan
kesusastraan baru telah lahir. Pada mulanya angkatan ini disebut Angkatan Sesudah Perang,
ada yang menamakannya Angkatan Khairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan dan lain-lain.
Pada tahun 1948 Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama
ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi.

Tetapi sementara itu, meskipun namanya sudah diperoleh, sendi-sendi dan landasan
idealnnya belum lagi dirumuskan. Baru pada tahun 1950, “Surat Kepercayaan Gelanggang“
dibuat dan diumumkan. Ketika itu Khairil Anwar sudah meninggal. Surat kepercayaan itu
ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama
“Gelanggang Seniman Merdeka“, yang didirikan tahun 1947.

SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG

Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan
dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi
kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan.

Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami
yang hitam, atau tulang pelipis kami menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang
diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kalau kami bicara tentang
kebudyaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai
mengilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudyaan baru
yang sehat.
……………………………………………………………….
Jakarta 18 Februari 1950

Sebegitu banyak yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ’45,
sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ’45
hanyalah lanjutan dari yang sudah dirintis angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga
Baru.

Pada tahun 1952, H.B. Jassin mengumumkan sebuah essai berjudul “Angkatan ‘45” yang
merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan ’45. Jassin mengatakatan
bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan ’45 ini dengan para
pengarang Pujanggga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan). Essai itu kemudian
diterbitkan dalam kumpulan karangan Jassin berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam
Kritik dan Essay (1954).

Chairil Anwar

Chairil Anwar dilahirkan di Medan tanggal 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai mulo (
SMP ) dan itu pun tidak tamat kemudian ia belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya
matang dan padat berisi.

Dari esai dan sajak-sajaknya jelas sekali ia seorang individualis yang bebas. Dengan berani
dan secara demonstratif pula ia menentang sensor Jepang dan itu menyebabkan ia selalu
menjadi incaran Kenpetai (polisi rahasia Jepang yang terkenal galak dan kejam).

Sajaknya yang termasyhur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang memberist dan
individualis berjudul AKU (ditempat lain diberi judul “Semangat”). Dalam sajak itu ia
menyebut dirinya sebgai “binatang jalang”, sebutan yang segera menjadi terkenal.

AKU

Kalau sampai waktuku


‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau.

Tak perlu sedus edan itu


Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku


Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa ‘ku bawa berlari


Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli


Aku mau hidup seribu tahun lagi

Selain seorang individualis, Khairil juga amat mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa
kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya Diponegero, Kerawang–
Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Siap Sedia, Cerita Buat Dien Tamaela, dan lain-
lain.

DIPONOGORO

Di masa pembangunan ini


Tuan hidup kembali
Dan bara kagus menjadi api
Di depan sekali Tuan menenti
Tak gentar. Laean banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselubung semangat yang tak bisa mati

Maju
Ini baaaarisan tak bergenderang berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati

Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Biansa di atas ditinda
Sungguh pun dalam ajal baaaaaru tercapai
Jika hidup haarus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

Meskipun dalam beberapa sajaknya ia sering seolah-olah sinis mengejek nili-nilai moral,
termasuk nilai-niai agama, sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Sajaknya
yang berjudul Doa dan Isa menunjukkan perasaan keagamaan yang mendalam.

DO’A
Kepada Pemeluk Teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
Biar sudah sungguh
Mengingat kau penuh seluruh

Caya-Mu panas suci


Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintu-Mu aku mengetuk
Aku tidak bisa berpaling.

Sajak-sajak Khairil merupakan renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan,


lukisan perasaan manusia, cinta-kasih, berahi, dan lain-lain. Beberapa sajaknya sangat
romantis sepeti Tuti Artic, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain.
Dalam sajak Sorga ia sangat sinis mengejek manusia-manusia yang membayangkan sorga
dalam ukuran duniawi.

Masih ketika ia hidup, telah timbul heboh karena sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang
Dara yang diumumkan lam majalah Mimbar Indonesia atas namanya ternyata plagiat dari
sajak Hsu Chih Mo berjudul A Song of Sea. Tatkala sudah meninggal, heboh tentang plagiat
ini timbul lagi karena beberapa sajaknya yang lain ternyata berdasarkan sajak-sjak orang lain
tanpa menyebut sumbernya. Sajaknya Kerawang-Bekasi ternyata plagiat dari sajak Archibald
MacLeish berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga sajak Kepada Peminta-minta,
Rumahku dan lain-lain.

Pada tahun 1948, Chairil Anwar menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana
tetapi segera pula ditinggalkannya. Ia tak pernah betah lama-lama kerja di suatu kantor dan
pada tahun 1949, tanggal 28 April ia meninggal di RSU Pusat Jakarta karena serangan
penyakit tipes dan penyakit lain. Ketika dikuburkan dipemakaman karet masyarakat Jakarta
menunjukan perhatian yang besar dengan mengirimkan jenazahnya.

Setelah meninggal sajak-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan yang
Terampas dan yang Luput (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950).
Yang terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Avin.
Tulisan-utlisan Khairil yang tidak dimuat dalam ketiga kumpulan itu kemudian diterbitkan
dengan kata pengantar H.B. Jassin berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Dan
sajaknya telah diterjemahkan kedalam bahasa asing di antaranya di dalam bahasa Inggris,
Perancis, Spanyol, Belanda, Rusia, Hindi, dan lain-lain.

Asrul Sani dan Rivai Apin

Penyair kawan seangkatan Khairil Anwar yang bersama sama mendirikan “Gelanggang
Seniman Merdeka“ ialah Asrul Sani dan Rivai Apin. Ketiga penyair itu biasanya dianggap
sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Ketiga penyair itu
menenrbitkan kumpulaan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950).

Asrul Sani lahir di Riau Sumatera Barat tanggal 10 Juni 1926, ia pertama kali mengumumkan
sajak dan karyanya yang lain dalam majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia , tahun
1948.
Asrul Sani seorang sarjana ke Dokteran Hewan yang kemudian menjadi Direktu Akedemi
Tater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan
Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai DPRGR/MPRS Wakil
Seniman.

Sajak-sajak Asrul Sani sangat merdu (melodius). Kata-katanya memberikan citra (image)
yang lincah dan segar. Dalam sikap ia seorang moralis yang sangat mencintai dan meratapi
manusia dan kemanusiaan. Sajak-sajaknya Matera dan Surat dari Ibu menunjukkan
pandangan hidupnya yang moralis.

MANTERA

Raja dari batu hitam


Di balik rimba kelam,
Naga malam,
Mari ke mari!

Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari


Aku panglima dari segala burung rajawali
Aku tutup segala kota, aku sebar segala api,
Aku jadikan belantara, jadi hutan mati.

Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa.


Budak-budak tidur di pangkuan bunda
Siapa kenal daku, akan kenal bahagia
Tidak takut pada hitam,
Tiada takut pada kelam
Pitam dan kelam punya aku.
…………………………………………

Dalam sajak itu dia mengaku bahwa dirinya sebagai “laksamana dari lautan” dan “panglima
dari segala burung rajawali yang menutup segala kota sambil menyebarkan api, supaya janda-
janda tidak diprkosa” dan supaya “budak-budak tidur di pangkuan bunda.”

Cerpen-cerpen Asrul Sani melukiskan betapa halus perasaannya pada manusia; meluiskan
kehidupan manusia yang hanya menyebabkan kemalangan dan penderitaan sendiri. Beberapa
cerpen karangan Asrul Sani yang terkenal antara lain yang berjudul “Bola Lampu, Sahabat
Saya Cordiaz, Si Penyair Belum Pulang, Perumahan Bagi Fadjria Novari, Dari Suatu Masa
Dari Suatu Tempat, Museum, Panen “ , dll.

Rivai Apin lahir di Padang Panjang tanggal 30 Agustus 1927. Sajak-sajaknya tidak semerdu
sajak-asajak Asrul, tetapi berat dengan masalah yang mau sungguh-sungguh. Sejak masih
duduk di sekolah menegang ia telah mengumumkan sajak-sajak dalam majalah-majalah
terkemuka. Ia pernah duduk sebagai anggota redaksi Gema suasana, Gelanggang, dan Zenith.
Tahun 1954 ia melaksasnakan tindakan yang mengejutkan kawan-kawannya. Ia keluar dari
redaksi Gelanggan dan beberapa waktu kemudian ia masuk kelingkungan Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra).

Idrus

Lahir di Padang tanggal 21 September 1921. Ia pelopor angkatan 45, lulus dari sekolah
menengah, ia bekerja dari menjadi redaktur Balai Pustaka. Di sanalah ia mulai menaruh
perhatian kepada sastra. Pada zaman Jepang ia menulis beberapa cerita romantik tentang
pemuda yang berjuang untuk Asia Timur Raya seperti Ave Maria dan dramanya Kejahatan
Membalas Dendam. Tapi, ketika melihat kesengsaraan dan kemelaratan rakyat di bawah kaki
Dai Nippon, ia meninggalkan cerita romantic, dan mulai menuliskan cerita-cerita yang
melukiskan ralitaskehidupan sehaari-hari. Sesudah masa revolusi tuliannya diumumkan
dengan judul umum ‘Corat-Coret di Bawah Tanah’. Cerita ini melukiskan tentang kehidupan
rakyat di jaman Jepang secara sinis dan kasar. Sikap sinis dan kasarnya diperlihatkan dalam
karangannya Surabaya, sampai-sampai ia di sebut “ Kontra Revolusi “.

Karangan-karanagan itu keudian dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku dengan judul
‘Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma’ (1948). Cerita lainnya adalah Aki (1940) yang
merupakan kidah simboliknya dengan maut. Di samping itu ada sebuah sandiwara dengan
judul ‘Keluarga Surono’ (1948) terbit di Medan.

Ketika Idrus memimpin majalah kebudayaan dengan nama Indonesia, ia menulis tentang para
pengarang antara lain, “Sultan Takdir Alisyahbana sebagai pengarang roman. Ia juga memuat
roman Autobiografisnya berjudul ‘Perempuan dan Kebangsaan’ (1949), tapi roman ini
dianggap gagal.

Setelah keluar dari Balai Pustaka ia bekerja di GIA (Garuda Indonesia Airways). Tahun 1953
ia muncul dengan cerpennya dalam majalah Kisah. Di lapangan penerjemahannya ia berjasa
telah memperkenalkan pengarang Rusia Anton Chekhov (1883 – 1923), pengaran Belgia
William Elsshot (1882) dll.
Kemudian ia pindah ke Kuala Lumpur dan mendirikan perusahaan penerbitan. Buku yang
diterbirkannya yaitu, ‘Dengan Mata Terbuka’ (1961), ‘Hati Nurani Manusia’ (1963).

Achadiat K. Mihardja

Meskipun pada zaman revolusi ia sudah menerbitkan dan memimpin majalah Gelombang
Zaman, nama Achdiat tidak peernah disebut-sbut dalam dunia sastra sampai ia muncul
dengan romannya Atheis (1948). Ia dilahirkan di garut pada tanggal 6 Maret 1911.

Roman itu melukiskan kehidupan dan kemelut manusia Indonesia dalam menghadapi
berbagai pengaruh dan tantangan jaman. Tokoh Utamanya seorang pemuda kelahiran desa
bernama Hasan. Pada masa kecilnya hidup dalam lingkungan keluarga yang taat beragama
Islam dan pengikut suatu aliran tarikat tapi ketika ia bekerja di kota, jauhlah ia dengan
kehidupan agama.

Apaagi ketika akhirnya bertemu dengan kawan sekolahnya yangbenama Rusli yang dengan
sadar menyebut dirinya sebagai seorang ateis. Hasan yang kesadaraan agamanya hanya
secara tradisional saja mudah sekali terombang-ambing. Perkataan-perkatan Rusli yang
berpandangan Marxis mengguncangkan imannya. Terutama keeetika ia jtuh cinta kepada
seorang janda muda bernama Kaartini, kawan Rusli, yang menuuuuurrt analisis Rusli
menjadikorban kekejman kelas: Kartini keeeetika masih gadis dikawinkan oleh olrang
atuanya dengan arab yang menjadilintah daraat.

Hasan terombang-ambing jiwnya: menjaaaai atheis tidakdan kemjai seorng beragama yang
taat pun tidak lagi. Dalaamsuasamna terombang ambingitu I amneglami berbagai cobaan ula:
kekurag ajaran Anawaruang menyebabkan Hasan selal hidup dalamcemburu terus-terusan
karena kelihatan maumengganggu Kaartini, hubungan dengan orang tuanya yang memburuk,
ketakutannya akansiksa neraka danlain-lain

Roman ini bentuknya sangat istimewa dan orosinil. Sebelumnya tak pernah ada roman seperti
itu di Indonesia, baik struktur maupun persoalannya. Flash-back bukan untuk pertama kali
dipergunakan dalam penulisan roman Indonnesia. Bahkan Azab dan Sengsara yang terbit
1920 juga menggunakan cara flash-back. Tetapi cara Achdiat menggunakan flash-back
sangat menarik: Atheis dibuka dengan suatu adegan ”si aku” pengarang bersama Kartini
mencari berita tentang Hasan. Hasan ketika itu sudah mati. Kemudian, si aku mengisahkan
pertemuan dengan Hasan yang memberikan karangan berdasarkan pengalaman hidupnya.
Maka mulailah cerita Hasan sampai hubungan dengan orang tuanya mencapai krisis.

Tentang roman etis ini seorang sarjana sastra Dra. Boen Sri Oemarjati telah menerbitkan
berjudul Roman Ateis (1963).

Dia pernah bekerja menjadi pemimpin Balai Pustaka, kemudian pindah ke Jawatan
Kebudayaan sampai pensiun. Tahun 1959 ia mengajar sastra modern di Fakultas Sastra UI
dan tahun 1962 mengajr drama Indonesia modern di The Asutralian National University,
Canbera.

Achdiat bukan pengarang yang produktif. Beberapa tahun lamanya seelah Atheis ia hanya
menerbitkan Polemik Kebudyaan (1948) yang merupakan kumpulan polemik sebelum perang
dan drama anak berjudul Bentrokan dalam Asmara (1952). Baru pada tahun 1956 terbit pula
karya sastranya berjudul Keretakan dan Ketenangan yang merupakan cerpen dan drama satu
babak dan mendapat hadih sastra nasional dan Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional
(BMKN) tahun 1955 – 1956.

Dalam cerpennya dan dramanya itu, Achdiat secara halus dan tajam melukiskan o-ka-ba
(Orang Kaya Baru) yang penuh kesibukan dan kegermelapan, tetapi sesungguhnya kosong
dan hampa. Tahun 1961 terbit cerpen Kesan dan Kenangan.

Pramoedya Ananta Toer

Dilahirkan di Blora pada tanggal 2 Pebruari 1925, mulai mengarang sejak zaman Jepang dan
masa revolusi, Kranji dan Bekasi Jatuh (1947). Meskipun demikian, baru menarik perhatian
duna sastra Indonesia tahun 1949 ketika cerpennya Blora yang ditulisnya dalam penjara
diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara pengaran yang
diadkan oleh Balai Pustaka. Blora ditulis dalam gaya yang sangat padat dan menyenakkan.
Cerpen itu kemudian bersama dua buah cerpen lainnya yang juga ditulis Pram dalam penjara
ditebitkan menjadi sebuah buku berjudl Subuh (1950).

Roman Keluarga Gerilya (1950) dan cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu
bersama sama beberapa cerpen yang ditulisnya sebelumnya diterbitkan dalam buku yang
berjudul Percikan Revolusi (1950).
Perburuan ialah sebuah cerita fiksi (rekaan) yang berdasarkan pemberontakan PETA yang
gagal terhadap Jepang, karena salah satu orang di antara shodancho yang akan berontak itu
berkhianat. Selanjutnya Pram membahas kesetiaan manusia: ketika shodancho Hardo yang
menyamar sebagai kere bertemu dengan bakal mertuanya, dengan ayahnya, ia hanya
menemukan kekecewaan saja. Bakal metuanya berkhianat lapor pada Jepang dan ayahnya
yang dicopot dari kekdudukanya sebagai wedana menjadi penjudi. Semua perisitwa itu
dipadatkan pengarang terjadi dalam tempo sehari semalam.

Juga dalam roman Keluarga Gerilya peristiwa-peristiwa yang terjaadi dipadatkan dalam tiga
malam saja. Keterangan di bawah judul bukunya, “Kisah keluarga manusia dalam tiga hari
tiga malam saja.”

Pram ialah seorang yang sangat produktif menulis, tak henti-hentinya ia menulis, Mereka
yang Dilumpuhkan (dua jilid, terbit 1951 – 1952) merupakan pengalamannya selama
dipenjara; Cerita dari Blora 1952 mendapat hadiah sastra nasional BMKN. Tahun 1952
menerbitkan kumpulan cerpennya Di Tepi Kali Bekasi 1950. Sebuah roman yang melukiskan
perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Krawang dan Bekasi; Bukan Pasar Malam 1951,
Gulat di Jakarta 1953, Korupsi 1954, Midah si Manis Bergigi Emas 1954, Cerita dari Jakarta
1957, dll.

Dalam cerpennya Dia yang Menyerah yang dimuat dalam buku Cerita dari Blora Pram
melukiskan sebuah keluarga yang menjadi korban pemberontakan PKI di Madiun 1948.
Dalam cerita itu ia mengutuk PKI. Tetapi, sikapnya terhadap PKI berubah sejak pertengahan
tahun 1950-an.

Pada awal tahun 1960 ia sudah masuk menjadi seorang anggota pimpinan LEKRA yaitu
sebagai seksi seni sastra dari Lekra dan memimpin grup Lentera yang melalui surat kabar
Bintang Minggu tak habis-habisnya menyerang para pengarang yang tidak sependirian
dengan mereka dengan berbagai fitnah dan insinuasi. Karya-karyanya yang sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa asing yaitu: Inggris, Belanda, Rusia, Cina, dan Jepang dll.

Semasa menjalani hukuman di Pulau Buru, Pram menulis kwartet Bumi Manusia, Anak
Segala Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, yang sempat dilarang beredar pada masa
Orde Baru dan baru bisa dinikmati secara bebas beberapa tahun setelah rejim orba jatuh
melalui gerakan Reformasi 1997. Dalam kwratet itu Pram melukiskan masa awal tumbuhnya
nasionalisme untuk melawan pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda melalui
sinergi tokoh Nyai Ontosoroh, seorang gundik Belanda, Tuan Melema, dan anak pribumi
bernama Minke.

Semangat perlawanan dimulai ketika hak asasi mereka diinjak-injak kaum penjajah. Annelis,
kekasih sekaligus istri Minke dan anak kesayangan Nyai direnggut secara paksa oleh hukum
kolonial. Annelis diambil paksa harus meninggalkan tanah kelahiran dan orang-orang yang
dicintainya di Hindia Belanda.

Mochtar Lubis

Terkenal sebagai wartawan surat kabar yang dipimpinnya adalah : Indonesia raya dan
dilarang terbit pada tahun 1958. Ia sendiri sejak tahun 1956 ditahan denga tuduhan yang
bukan-bukan, hampir 9 tahun ia disekap oleh rezim pemerintahan SEKARNO dan
dikeluarkan pada tahun 1966. Setelah keluar ia bersama H.B. Yassin , Taufik Ismail, arief
Budiman, Goenawan, Mohammad. Dll menerbitkan dan memimpin majalah Sastra “
HORISON “.

Ia lahir di Padang tanggal 7 Maret 1922. Buku romannya yang pertama berjudul Tak Ada
Esok (1950), Jalan Tak Ada Ujung (1952) dan mendapat hadih sastra nasional dari BMKN.
Roman ketiga berjudul Senja di Jakarta menceritakan tentang kehidupan politik kotor para
koruptor, manipulator, dan propiteur di Jakarta dengan latar belakang kehidupan rakyat jelata.

Roman Jalan Tak Ada Ujung menceriterakan kehidupan jiwa seorang guru yang senantiasa
dalam ketakutan pada masa revolusi. Roman ke 4 berjudul Tanah Gersang 1966
menceriterakan tentang motif kejahatan anak-anak yang tidak mendapat cinta dan perhatian
yang cukup dari orang tuanya.
Ia juga menulis cerpen dan esai (sering menggunakan SAVITRI), kumpulan cerpen yang
ditulisnya yaitu SI JAMAL dan PEREMPUAN.

Utuy Tatang Sontani

Lahir di Cianjur tahun 1920. Terkenal sebagai pengarang drama. Drama pertama berupa
drama sajak berjudul “ Suling “ 1948. Drama kedua berjudul Bunga Rumah Makan 1948
“Awal dan Mira“ 1952 yang mendapat hadiah dari sastra nasional BMKN . Namun drama
Utuy yang terkuat dan terbaik berjudul “ Selamat jalan anak kufur “. Romannya yang
berjudul “ TAMBERA “ yang sampai sekarang dianggap salah satu roman terpenting
angkatan 45.

Sitor Situmorang

Lahir di Harianboho, Tapanuli tanggal 2 ktober 1942. Mulai terkenal tahun 1953, ketika
menulis sajak, drama, cerpen, esai, dll. Sajaknya pertama berjudul “ Surat Kertas Hijau “
1954. Sajaknya kedua berjudul “Dalam Sajak“ 1955.

Ada jugamnerbitkan darama yang berjudul “ Jalan Mutiara “ 1945 dan kumpulan cerpennya
yang berjudul “Pertempuran dan Salju “ di Paris 1956, sajak yang dibuatnya berjudul “ Lagu
Gadis Italia “.

Kerling danau dipagi hari


Lonceng Gereja bukit Italia
Jika musimmu tiba nanti
Jemoputlah abang diteluk napoli
…………………………………
…………………………………

Menjelang akhir tahun lima puluhan , ia aktif dalam dunia politik praktis, tahun 1959 ia
menjadi ketua pertama dari Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun kelincahan dan
kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajaknya di ganti dalam kumpulan bahasa gombastis
dan slogan-slogan murah, sajaknya termuat dalam kumpulan yang berjudul “ Zaman Baru “
1962 dan tahun 1966 ia ditahan dan disangka terlibat gestapi PKI.

Aoh K. Hadimadja
Nama samarannya Karlan Hadi, muncul didunia sastra pada masa sebelum perang. Sajaknya
dimuat dalam majalah “ Poedjangga Baroe “, yang banyak menyanyikan keindaha alam. Pada
masa Jepang ia menulis sajak-sajaknya yang religius 1952 dimuatnya dalam kumpulan Zahra.

Tahun 1952, ia juga menulis sandiwara berjudul sejumlah repootasi literernya dalammanusia
dan tanahnya. Ia pun menjadi pemimpin sejarahan mingguan mimbar di Medan.

Ia membukukan kegitan dalam buku berjudul beberapa paham angkatan 45 1952), ia pun
menulis bahasnya dimuat dalam polemiknya dengan Hamka dan Bakri Siregar dengan H.B.
Yassin dan sajak karang penyair muda Sumatera.

Ia lahir pada tanggal 15 September 1911. Tahun 1953 ia menjadi pengawal Radio
HILVERSUM NEDERLAND dan BBC LONDON.

M. Balfas dan Rusman Sutia Sumarga

Lahir di Jakarta tanggal 25 Desember 1922 ia terkenal sebagi prosis. Cerpennya “ ANAK
REVOLUSI “ yang jadi perhatian orang-orang, yang diumumkanpertama kalinya dimajalah
Bema Suasana 1948. Anak Revolusi dibukukan dengan judul Lingkaran Retak 1952.

Tahun 1953 ia bersama Sudjati S.S. mendidrikan majhalah Kisah, di Kuala Lumpur ia
menuliskan roman berjudul Retak 1964 dan sandiwara berjudul “ tamu Malam “ . Rustam
lahir di Subang tanggal 5 Juli 1917, pada tahun 1946 cerpen “ Gadis Bekasi “ ia mendapat
hadiah, cetpen yang berjudul Terhempas dan terkandas 1851. Cerpen Sunda yang diterbitkan
berjudul “ Korban Romabtik “ dan “ Kalung oleh Balai Pustaka 1964.

Trisno Sumardjo

Lahir di Surabaya tanggal 6 Desember 1916, dikenal sebagai pelukis dan bersama dengan S.
Soedjojono menerbitkan majalah seniman 1947, di Solo buku pertamanya terbit 1952
berjudul “ Kata hati dan Perbuatan . Tahun 1953 menerbitkan Cita Taruna dan menrbitkan
sandiwara legoris 1957. Bukunya berjudul “ RUMAH RAJA “ tahun 1962, cerpennya
berjudul Daun Kering dan tahun 1968 berjudul “ Wajah Yang Berubah “, 1966 saja-sajaknya
satu berjudul SILHUET tahun 1963, bersama para pengarang mengumumkan “ Manifes
Kebudayaan “.

Terjemahan sastra yaitu : Drama “ Shakespear, Prahara 1952, Mana suka, 1952, Impian
ditengah Musim 1954, Romeo dan Julia 1955, antonius dan Cleopatra 1963 dan sejumlah
sonetanya. Ia pun menerjemahkan dongeng peumpamaan 1959 dari pujangga Perancis Jean
da la Fontaine dan Dokter Zhivago 1959 dari pengarang Rusia Boris Pasternak dll.
Ia meninggal di Jakrta 20 April 1969 sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta yang pertama
dalam usianya 53 tahun.

Dodong Djiwa Pradja

Dodong sudah melukis sejak sekitar tahun 1948. Sajaknya Cita-Cita yang dimuat dalam
majalah GEMA SUASANA takala masih diasuh oleh CHAIRIL ANWAR, merupakan salah
satu sajak yang jernih.

Ia dilahirkan di Garut tanggal 28 September 1928. Selain menulis sajak ia juga menulis
cerpen dan esai. Citra puisi pada sajaknya menemukan bentuknya yang sederhana, orisinil
dan plastis. Pada tahun enam puluhan, Dodong merupakan saslah seorang penyair Indonesia
terkuat selain Rendra.
Salah satu sajaknya yang dibuat pada tahun 1963 adalah :

NYANYIAN PAGI HARI

Dekapan pada hati, rumput-rumputmu, gunung-gunungmu


Tuang dan basuh muka dengan linang embunmu
Nyaman air, tercuci kaki berderai kerikil kali
Lebih indah dari impian, kenyataan diluar impian
…………………………………………………………….
…………………………………………………………….

Dekaplah, dekapkan pada hati


Rumput hijaumu
Gunung birumu
Dan langitmu yang bagai telur

Meskipun ia telah menulis sajak yang cukup banyak tapi ia belum berhasil membukukannya.

Harjadi Hartowardojo

Nama lengkapnya Harjadi Sulaeman Hartowardojo, mulai mengumpulkan sajaknya sekitar


tahun 1950. Sebagian besar dari sajak pada masa-masa itu kemucian dikumpulkan dan
diterbitkan menjadi buku yang berjudul LUKA BAYANG, kumpulan sajak-sajaknya tahun
1950 – 1953 – 1963.

Harjadi dilahirkan di Prambanan tanggal 18 Maret 1930. Ia pernah bekerja pada redaksi
majalah Pujangga Baru ( sesudah perang ) . Kemudian hidup sebagai wartawan di berbagai
majalah dipenerbitan antara lain: Garuda, Siasat, surat kabar Pedoman dan membantu
berbagai majalah. Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di
Jakrta. Ia tamatan Fakultas Publikasti dan Fakultas Psikologi. Ejak tahun 1968 pada bulan
Juni, Hardaji menjadi anggota majalah Budaya Djaja.
Ia seorang ahli astrologi dan pengasuh beberapa surat kabar minggu di Jakarta. Ia tamatan
Falkutas Publikastik, dan Fakultas Psikologi. Sejak tahun 1968 ( Juni ), Hardaji menjadi
anggota majalah Budaya Djaja.

Salah satu keryanya adalah :

ANJING MAKAN AKAR KAYU

Mari bone
Beta cari gadis, cari nona,
Beta tukar sirih pinang
Bersama melangkah, bersama berlagu
Menunggu bulan naik bulan terang
Siku beta main di dada
Semalam saja, besok
Berpasar sejam
Dansa, hail
Melangkah, hail
berputar dalam lingkaran
berbaris
Tangan berkepit-kepit
Sahut hormati beta punya lagu
Asa asu bukae hau baat
……………………………….
……………………………….

Selain menulis sajak ia juga menulis esei, serpen, dan roman. Esei terbaiknya di tulis pada
tahun pertama lima puluhan. Cerpen-cerpennya masih berserakan, majalah-majalah yang
memuatnya Roman yang dibuatnya berjudul MUNAFIK mendapat ajakan ikatan Penerbit
Indonesia ( IKAPI ) Jawa Barat 1967.

Dalam romannya Harjadi melukiskan konfik tentang kisah cinta antara pemuda dan pemudi
yang berlainan agama dan juga ras. Didalam masyarakat kampung yang tradisional dengan
cara berpikir.
Meskipun disana sini roman ini menunjukkan kekurangan dalam kmposisi ceritanya, namun
roman ini mempunyai daya saran / daya pengikat yang mencekam hampir secara magis, yang
membuktikan ia sebagai penulis prosa.

MR. Rustandi Kartakusama

MH. Rustandi Kartakusama larih di Ciamis tanggal 21 Juli 1921. Beliau banyak sekali ,enulis
esai. Esai-esainya ditulis dengan bahasa dan gaya yang sinis berkelekar, memberikan latar
belakang yang luas. Meskipun kadang-kadang terasa tidak menunjukkan lapang dada. Sikap
dan pendapat beliau banyak orang tidak setuju, akan tetapi esai-esainya tetap berharga untuk
dibaca. Beliau muncul dengan hasil karya dan buah tangannya pada akhit tahun empat
puluhan dan beliau tidaklah tepat disebut angkatan 45’ sebab karya beliau sangat berbeda
dengan angkatan 45’ dari segi bentuk atau isinya dan beliau sendiripun tidak mengaku
sebagai angkatan 45’.

Adapun hasil karya beliau sebagai berikut :


a. Esai-esai tentang sastra, seni, dan filsafat diantaranya :
“Adam dan Si Anak Hilang “, “ Homo Faber “, “ Surat dari Cidadap Girang “, dimuat dalam
majalah kebudayaan Indonesia. Dan esia-esai lainnya tentang “Ciliung “ dimuat dalam
majalah gelanggang / siasat.
b. Drama yang terbit pada tahun 1950.
- Sajaknya Prabu dan Putri yang disebutnya “ Sebuah Tragedi “, ini merupakan sanduran dari
sebuah cerita Pandji yang menceritakan bahwa segi percakapan tokoh-tokohnya nampak
kecendrungan kepada pemikiran filosofis, percakapan tentang hidup, mati, ada dan tidak ada,
keabadian, bahagia, dan lain-lain. Dan drama ini sulit dipentaskan.
- Drama yang lain berjudul “ Merah Semua Putih Semua “ ( 1961 ). Yang menceritakan atau
melatar belakangi masa revolusi fisik melawan Belanda, yang berbentuk novela.
c. Dari drama beliau juga menulis scenario yang berjudul “ Lagu Kian Mendjauh “ ( 1959 ).
Menceritakan tentang kehidupan seorang seniman musik yang mana dalam kehidupannya
terlibat cinta terhadap seorang gadis orkes yang di pimpinnya.
d. Beliau juga menulis sajak, yang berjudul sebagai berikut :
- Rekaman dari Tudjuh Daerah ( 1951 ) ini merupakan sajak yang paling tebal terbit di
Indonesia.
- Sajak yang berdasarkan kisah-kisah lama dari Lutung Kasarung, dari kisah “ Singasari “
dalam Kartanagara dan kisah “ Adam Dan Hawa “ daalm Paradise Lost dan lain-lain.

PARA PENGARANG WANITA

1. Ida Nasution.

Ida Nasution adalah pengarang esai yang berbakat dalam menulis esai yang dimuat dalam
majalah-majalah. Tapi nasib beliau malang karena menjadi korban revolusi dan hilang dalam
perjalanan Jakarta Bogr ( 1948 ).

2. Walujati.

Lahir di Sukabumi tanggal 5 Desember 1942. Mulai menulis sajak pada masa-masa awal
revolusi, sajak berjudul “ Berpisah “ merupakan sejak romantik yang mendapat pujian dari
Chairil Anwar. Dan pada tahun 1950 Walujati mengumumkan sebuah roman yang berjudul “
Pudjani “ dan masih banyak lagi roman yang beliau tulis tak kunjung terbit.

3. St. Nuraini.

Lahir di Padang tanggal 6 Juli 1930. Beliau mnulis sajak, cerpen, esai, dan menterjemahkan
hasil sastra asing. Salah satu sajak beliau yang sangat lembut dan halus sekali melukiskan
perasaan sebagai ibu yang meratapi anaknya yang keguguran.

4. S. Rukiah.

Lahir di Purwarkarta tanggal 25 April 1972, beliau juga menulis sajak dan bahkan dimuat
dalam bukunya “ Tandus “ ( 1952 ) mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1952
untuk puisi. Selain itu beliau juga menulis roman yang berjudul “ Kejatuhan DaN Hati “ (
1950 ) yang mengisahkan tentang perasaan wanita yang jatuh cinta kepada seorang politikus
tetapi kemudian terpaksa kawin dengan pedagang pilihan ibunya.

5. Suwarsih Djojopuspito

Lahir di Bogor tanggal 20 April 1912. Hasil karyanya berupa roman yang ditulis dalam
bahasa Belanda berjudul “ Buiten Het Gareel (diluar garus)” terbitan tahun 1941. Roman ini
menceritakan kehidupan kaum pergerakan nasional Indonesia, terutama di lingkungan
perguruan pertikelir (taman siswa) pada tahun tiga puluhan. Sebelum beliau menulis roman
bahasa belanda beliau menulis roman dengan bahasa sunda akan tetapi roman ini ditolak
Balai Pustaka. Lalu beberapa tahun kemudian beliau (1959) menerbitkan roman yang
berbahasa Sunda tahun 1937 berjudul “ Marjanah “. Setelah itu beliau menulis cerpen yang
pertama berjudul “ Tudjuh Tjerita Pendek “ (1951) yang kedua berjudul Empat Serangkai
(1954). Dan banyak lagi kumpulan-kumpulan cerpen yang belum dibukukan.

BEBERAPA PENGARANG LAIN

Kecuali para pengarang yang tadi sudah dibicarakan, masih banyak lagi para pengarang lain
yang memulai atau mengajukan aktivitasnya pada tahun-tahun 1945 – 1953. Misalnya Barus
Siregar (lahir di Sipirok, Tapanuli tanggal 14 Juli 1923) menerbitkan kumpulan cerpennya
yang berjudul Busa di Laut Hidup (1951). Zuber Usman (lahir di Padang tanggal 15
Desember 1916) menerbitkan sekumpulan cerpen yang berjudul Sepanjang Jalan. Dengan
beberapa cerita lain (1953). Sk. Muljadi (lahir di Madiun tanggal 23 Desember 1925)
menerbitkan kumpulan cerpen dan sajak-sajaknya yang berjudul Kuburan (1951). Saleh
Sastrawinata (lahir di Majalengka tanggal 15 Juli 1915), menerbitkan sekumpulan cerpen
berjudul Kisah Swajarnya (1952), S. Mundingsari yang nama sebenarnya Suparman (lahir
tanggal 24 April 1922) menebitkan sebuah roman berjudul Jaya Wijaya (1952).

Muhannad Dimyati yang kadang-kadang menggunakan nama samaran Badaruzzaman (larih


di Solo sekitar tahun 1914) menerbitkan sekumpualn cerpen berjudul Manusia dan Peristiwa
(1951), R. Sutomo menerbitkan sekumpulan sajak berjudul Mega Putih (1950), Rustam St.
Palindih menerbitkan dua buah sandiwara berjudul Mekar Bunga Majapahit (1949), dan
Cendera Mata (1950), di samping itu mengisahkan kembali cerita Sunda lama Lutung
Kasarung (1949) dan lain-lain.

Di samping itu ada pula pengarang-pengarang yang belum berhasil menerbitkan buah
tangannya menjadi buku. Karangan-karangan mereka dimuat dalam majalah-majalah yang
terbit pada masa itu. Gajus Siagian (lahir di Porsea, Tapanuli tanggal 5 Oktober 1920), P
Sengojo atau Suripman (lahir 1927), Dodong Djiwapradja (lahir di Garut tahun 1928), Muh
Ali (Lahir 1927), Mahatmanto atau Abu Chalis atau Sang Agung Murbaningrad atau Sri
Amarjati Murbaningsih yang ke semuanya nama samaran Suradal A. Manan (lahir di Kulur,
Yogyakarya, tanggal 13 Agustus 1924), Sirulllah Kaelani yang kadang-kadang menggunakan
nama S.K Insankamil (lahir di Ciledung, Cerebon, tanggal 22 Pebruari 1928), Darius
Marpaung (lahir di Porsea 1928), Harijadi S. Hartowaddojo (lahir di Prambanan 18 Maret
1930), Abas Kartadinata (Lahir di Bandung 1930), Kasim Mansur (lahir di Surabaya1922)
dan lain-lain.

P. Sengojo

Nama sebenarnya ialah Suriman, lahir di daerah Ungaran, tanggal 25 November 1926. Kalau
menulis sejak ia menggunakan nama samaran P. Sengojo atau Piet Sengodjo. Nama
Suripman dipergunakannya apabila ia menulis prosa, baik esai maupun cerpen.

Sajak-sajaknya surrealistis. Batas antara kenyataan dan angan-angan demikian titpis sehingga
kabur-berbaur. Dalam sajak-sajaknya suasana samar-samar dan remang-remang, dunia yang
maya terasa mendasari. Dalam beberapa hal ia melakukan percobaan-percobaan dengan
bahasa, keluar dari kebiasaan yang umum.

MENCARI ANGIN

Perahu yang melancar di atas ke permukaan air yang kemilau dalam cahaya surya bermain ---
------------
Aku yang merasa tenang dalam kegirangan yang meresap dari pohon di hadapan --------
Burung yang terbang lalu melayang di atas embusan angin---------------------
Aku dan engkau yang tiada berpandangan lagi, dan alam bebas melepaskan kita berdua---
Makin yang berharap menimbulkan bahagia ----------------------------
Ah, kita berdua telah saling percaya.

( Gelanggang / Siasat, 1953)


Lebih tenang dan lebih tajam, mengesan serta menyaran, ialah esai-esainya yang pada tahun
1952 – 1953 – 1954 memnuhi lembaran-lembaran majalah kebudayaan terkemuka di Jakarta
dengan judul umum Pecahan Bertebaran. Dalam esai-esainya itu ia menunjukkan bahwa di
samping mempunyai erudisi yang luas, ia merupakan seorang yang waspada-tajam melihat
situasi nyata yang hidup di sekelilingnya. Ia pun menunjukkan minat yang besar terhadap
sastra dan nilai-nilai kebudayaan lama (Jawa).

Cerpen-cerpennya jumlahnya tidak banyak. Umumnya melukiskan kehidupan kampung dan


pedesaan, di mana impian seorang naturalis tidak menemukan kenyataan. Banyak yang
absurd.

M. Ali

Nama lengakpnya Muhammad Ali Maricar, lahir di Surabaya tanggal 23 April 1927 dari
keturanan India. Ia menulis sajak, cerpen dan sandiwara. Banyak dimuat dalam majalah-
majalah Pudjangga Baru, Zenith, Mimbar Indonesia, Gelanggang/Siasat, Konfrontasi,
Indonesia dan lain-lain. Cerpen-cerpen, sajak dan sandiwara yang terbaik kemudian
dibukukan dalam sebuh kumpulan berjudul Hitam atas Putih (1959). Dalam karangan-
karangannya tampak sekali perhatiannya terdahap masalah-masalah sosial dan kehidupan
masyarakat. Sandiwara radio yang dimuat dalam buku itu berjudul “ Lapar ‘ merupakan
gambaran tentang orang-orang yang karena lapar bersedia menjual apapun juga miliknya
untuk sekedar penangasel perut termasuk menjual anak dan dirinya sendiri. Dalam sebagian
sajaknya, juga maslah ketuhanan dan keyakinan agama menjadi perhatiannya.

KEPADA GADIS CINTAWATI

Apakah hidup ini, jika tiada mati ?


Dan betapa Mati kija bukan kebangkitan kembali ?
Setelah kau berkisah tentang kasih dan benci ?

Sudah kugali lubang di bumi


Buat tempatku tinggal abadi
Segala berkata : inilah mimpi !

Musim-musim silih berganti


Wangi senja warena-wareni
Menyanyikan kebesaran mati

Dan orang ini ……………..


Yang mengebung-mengempis mengisi hari
Akan menyerah kepada mati

Dan bila kubangun rumah di sini


batu demi batu kususun rapi
atas napas ke napas yang menggendor sepi

Cintawati, kukasihi engkau, seperti murai


Ngagumi fajar dan embun pagi
Dan aku tahu : kau pun pasti hilang kembali
Kecuali yang dimuat dalam hitan atas Putih itu, masih benyak lagi karangan-karangannya
yang belum dibukukan, baik cerpen maupun sajak. Beberapa buah karangannya yang lebih
panjang dari cerpen telah diterbitkan berupa buku-buku kecil di Surabaya, antaranya 5
Tragedi (1954), Siksa dan Bayangan (1955), Persetujuan dengan Iblis (1955) dan Kubur Tak
Bertanda (1955). Umumnya nilainya di bawah karangan-karangan yang dimuat dalam Hitam
atas Putih.

1. Lahirnya Majalah Pujangga Baru

Sejak tahun 1920 kita sudah mengenal majalah yang memuat karanagan “sastra seperti Sri
Poestaka (1919-1941). Panji Poestaka (1919-1992) Yong Soematra (1920-1926). Hinggga
awal tahun 1930 an para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dan
kesastraan belum juga terlaksana

Tahun 1930 terbit Majalah Timboel (1930-193 ) mula-mula dalam bahasa Belanda kemudian
pada tahun 1932 terbit juga edisi bahasa Indonesia Sutan Takdir Ali Syahbana sebagai
direktur.

Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sutan Takdir Ali Syahbana berhasil
mendirikan Majalah kesastraan dan bahasa serta kebudayaan umum. Tahun 1935 berubah
menjadi menjadi pembawa semangat baru dalam kesastraan, seni, kebudayaan dan soal
masyarakat umum”. Kemudian tahun 1936 terjadi lagi pembahasan yaiut bnerbunyi
“Pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan
Indonesia.”

Majalah ini terbit dengan setia meskipun bukan tanpa kesulitan berkat pengorbanan dan
keuletan Sutan Takdir Alisahbana. Kelahiran majalah Poejangga Baru yang banyak
melontarkan gagsan-gagasan baru dalam bidang kebudayaan bukan berarti tidak
menimbulkan reaksi. Keberaniannya menandakan bahasa Indonesia sekolah bahasa Melayu
menimbulkan berbagai reaksi, sikap ini menimbulkan reaksi dari para tokoh bahasa yang erat
berpegang kepada kemurnian bahasa Melayu tinggi seperti H. Agus Salim (1884-1954) Sutan
Moh. Zain (tahun1887), S.M Latif yang menggunakan nama samaran Linea Recta dan lain-
lain.

2. Tokoh-tokoh Poejangga Baru

Sutan Takdir Alisjahbana

Motor dan penggerak semangat gerakan Pujangga baru ialah Sutan Takdir Alisyahbana lahir
di Natal 1908. Sejak tahun 1929 muncul dipanggung sejarah dengan roman berjudul Tak
Putus Dirundung Malang, roman kedua berjudul Dian Yang Tak Kunjung Padam (1932)
roman ketiga berjudul Layar Terkembang (1936), adapun roman yang berjudul Anak
Perawan Disarang Penyamun (1941) ditulisnya lebih dahulu dari pada Layar Terkembang
dimuat sebagai Feulilleton dan majalah Pandji Poestaka.

Tiga puluh tahun kemudian Sutan Takdir Alisjahbana menulis roman yang berjudul Grotta
Azzurra (Gua Biru). Layar Terkembang merupakan roman Takdir yang terpenting., yang
terbit pada tahun tiga puluhan merupakan salah satu karya terpenting pula dari para pujangga
baru .Sebagai penulis roman, Takdir terkenal sebagai penulis esai dan sebagai pembina
Bahasa Indonesia. Oleh Ir. S. Udin ia pernah disebut sebagai “insinyur bahasa Indonesia”.

Atas inisiatif Takdir melalui pujangga baru-lah maka pada tahun 1938 di Solo
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia yang pertama. Sehabis perang Takdir pernah
menerbitkan dan memimpin majalah Pembina Bahasa Indonesia ( 1947-1952 ). Dalam
majalah itu dimuat segala hal-ihwal perkembangan dan masalah bahasa Indonesia. Tulisan
yang berkenaan dengan bahasa kemudian diterbitkan dengan judul Dari Perjuangan dan
Pertumbuhan Bahasa Indonesia ( 1957 ).

Takdir juga menulis sajak-sajak salah satunya yang mengenangkan pada kematian isterinya
yaitu berjudul Tebaran Mega ( 1936 ).Esai-esai Takdir tentang sastra banyak juga antara lain
“Puisi Indonesia Zaman Baru”. Kesusastraan di zaman Pembangunan Bangsa (1938),
“Kedudukan Perempuan dalam Kesusastraan Timur Baru (1941)”, dan lain-lain. Ia pun
menyusun dua serangkai bungarampai Puisi Lama (1941).Dan Puisi Baru (1946) dengan kata
pengantar yang menekankan pendapatnya bahwa sastra merupakan pancaran masyarakatnya
masing-masing.

Armijn Pane

Organisator pujangga baru adalah Armijn Pane. Tahun 1933 ia bersama Takdir dan kawan
sekolahnya, Amir Hamzah, menerbitkan majalah Poedjangga Baroe. Armin terkenal sebagai
pengarang roman Belenggu (1940). Roman ini mendapat reaksi yang hebat, baik dari yang
pro maupun yang kontra terhadapnya.Yang pro menyokongnya sebagai hasil sastra yang
berani dan yang kontra menyebutnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak
melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan dibelakang dinding-dinding
kesopanan.

Belenggu ialah sebuah roman yang menarik karena yang dilukiskan bukanlah gerak-gerak
lahir tokoh-tokohnya, tetapi gerak-gerak batinnya.

Arminj pane sebagai pengarang dalam roman yang berjudul Belenggu ini tidak
menyelesaikan ceritanya sebagai kebiasaan-kebiasaan para pengarang sebelumnya,
melainkan membiarkannya diselesaikan oleh para pembaca sesuai dengan angan masing-
masing. Sebelum menulis roman Armijn Pane banyak menulis cerpen, sajak, esai dan
sandiwara. Cerpennya “Barang Tiada Berharga”. Dan sandiwaranya “Lukisan Masa”
merupakan prototif buat romannya Belenggu.

Cerpen-cerpennya bersama dengan yang ditulisnya sesudah perang kemudian dikumpulkan


dengan judul Kisah Antara Manusia (1953). Sedang sandiwara-sandiwaranya dikumpulkan
dengan judul Jinak-jinak Merpati (1954). Sajak-sajaknya dengan judul Jiwa Berjiwa
diterbitkan sebagai nomor istimewa majalah Poedjangga Baroe (1939). Dan sajak-sajaknya
tersebar kemudian dikumpulkan juga dan terbit dibawah judul Gamelan Jiwa (1960). Ia pun
banyak pula penulis esai tentang sastra yang masih tersebar dalam berbagai majalah, belum
dibukukan. Dalam bahasa Belanda, Armijn menulis Kort Overzicht van de moderne
Indonesische Literatuur (1949).

Gaya bahasa Armijn sangat bebas dari struktur bahasa Melayu. Dalam karangan-karangannya
ia pun lebih banyak melukiskan gerak kejiwaan tokoh-tokohnya daripada gerak lahirnya.
Inilah terutama yang membedakan Armijn dengan pengarang lainnya.
Amir Hamzah (1911-1946)

Amir Hamzah termasuk salah satu penyair religius (keagamaan). Ia menulis prosa, baik
berupa esai, kritik maupun sketsa.

Ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum di Jawa. Aktif dalam kegiatan-kegiatan


kebangsaan dan bersama Sultan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru.

Keturunan bangsawan langkat di Sumatra Timur. Ini menghasilkan karya yang tidak sedikit,
diantaranya :

- Sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937)


- Buah Rindu (1941)
- Setanggi Timur (1939)
- Dsb

Ciri khas puisi Amir Hamzah :


1. Ia banyak mempergunakan kata-kata lama yang diambilnya dari khasanah bahasa melayu
dan kawi.
2. Kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa Melayu, Jawa,
Sunda.
Isi sajak Amir Hamzah kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan. Tetapi isi
puisinya tidak hanya menimbulkan kesedihan, rasa sunyi dan pasrah diri tapi ia juga
menekankan pada rasional.

J. E. Tatengkeng

J. E. Tatengkeng juga termasuk salah seorang penyair religius sama halnya seperti Amir
Hamzah. Hanya saja yang membedakan adalah Amir beragama Islam sedangkan J. E.
Tangkeng beragama Kristen. Ia juga menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa.
Penyair kelahiran Sangihe ini menulis sebuah buku yang berjudul Rindu Dendam. Puisi
pertamanya berjudul Anakku dan masih banyak lagi buah tangannya yang masih berserakan
dalam berbagai majalah, terutama dalam majalah Poedjangga Baroe.
Sajak, kritik-kritik, esai-esainya sangat penting terutama karena sifatnya yang tegas dan jujur.
Bahasa yang digunakan bukanlah bahasa yang baik menurut norma-norma bahasa Melayu
Riau.
Struktur puisinya bebas dari pengaruh pantun dan syair atau bentuk-bentuk puisi melayu lama
lainnya.

Asmara Hadi

DAN PENYAIR-PENYAIR PUJANGGA BARU YANG LAIN

Sesungguhnya banyak penyair yang menulis sajak yang jumlahnya lebih dari cukup untuk
dibukukan. Tetapi tidak mereka lakukan.
Salah seorang diantara mereka adalah Asmara Hadi yang sering mempergunakan nama
samaran H.R. atau Ipih, A. M. Daeng Myala (A.M. Thahir), Mozasa (Muhammad Zain Saidi)
, M.R. Dajoh dan lain-lain.
a. Asmara Hadi

Sajak-sajaknya penuh romantik dan kesedihan dan dalam sebagian sajaknya lagi terasa
semangat perjuangan yang penuh keyakinan. Hal ini di ilhami luka jiwa yang disebabkan
oleh kematian cintanya; seperti pada puisi ‘Kusangka Dulu‘, ‘Kuingat Padamu’

b. A. M. Thahir (A.M. Dg. Myala)

Sajak-sajaknya dimuat dalam ‘Pandji Poestaka’ majalah Indonesia dan lain-lain. Pada
sajaknya ada kecendrungan kepada pelukisan kehidupan sehari-hari kaum buruh, misalnya
dalam sajaknya yang berjudul ‘Buruh’.

c. M. R. Dajoh

Ia juga menaruh minat pada pelukisan kehidupan si kecil. Karyanya antara lain: ‘Syair Untuk
A. S. I. B. (1935) dalam bahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan lagi kedalam bahasa
Indonesia.

d. Moehammad Zain Saidi (Mozasa)

Sajak-sajaknya hanya melukiskan kegembiraan menghadapi alam. Sajaknya sederhana


namun didasari rasa cinta yang mesra, seperti dalam puisi yang berjudul: ‘Dikaki Gunung’.

e. A. Rivai (Yogi)

Pada tahun 1930 ia mengumumkan sekumpulan sajak dengan judul Gubahan dalam Sri
Poestaka. Kumpulan sajaknya yang kedua berjudul ‘Puspa Aneka’ diterbitkanya sendiri yaitu
pada tahun 1931.
Dari sajak-sajaknya akan tampak bahwa ia gemar akan teosofi dan terpengaruh oleh ajaran
Krishnamurti.

Kecuali para penyair yang sudah disebut tadi dalam Poedjangga Baroe kita saksikan
munculnya para penyair seperti Aoh K. Hadimadja, M. Taslim ‘Ali’ Bahrun Rangkuti, Maria
Amin dan lain-lain yang perananya akan lebih penting pada kurun masa yang lebih
kemudian.

3. Para Pengarang Balai Pustaka

a. Nur Sutan Iskandar

Lahir di Maninjau 1893. Ia seorang pengarang Balai Pustaka dalam arti


sesungguhnya.Roman pertamanya berjudul: Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922)
diterbitkan oleh swasta, yang kedua Cinta yang Membawa Maut (1926), kemudian bukunya
yang menarik adalah Salah Pilih (1928) dan beberapa lagi adalah: Karena Mertua (1932),
Tuba dibalas dengan Susu(1933), Hulu Balang Raja (1940 yang terpenting merupakan sebuah
roman sejarah yang dikerjakan berdasarkan disertasi H. Kroekampde Westkust en Minang
Kabau (1665-1668), Pantai Minang Kabau 91668 terbit 19310, Katak Hendak Jadi Lembu
(1935) yang berlaku dikalangan priyayi sunda di Sumedang, roman ini gagal diceritakan
karena ia tidak mengenal adat Sunda. Neraka Dunia (1937).
Karangan Nur Sutan Iskandar yang perlu disebut juga disini adalah Pengalaman Masa Kecil
(1949) dan Ujian Masa (1952), yang keduanya merupakan kenangan otobiografis.
Pengalaman masa kecil menarik hati yang melukiskan pengalaman-pengalaman sampai ia
berusia 15 tahun, ketika ia mulai mengajar di sekolah desa tahun 1908. Ujian Masa lebih
merupakan catatan-catatan tentang peristiwa politik yang terjadi di Indonesia sejak aksi
meliter Belanda pertama sampai awal 1948.

b. I Gusti Njoman Panji Tisna

Ni Rawit Ceti Penjual Orang yang melukiskan kebengisan masyarakat Feodal di Bali. Roman
pertama yang dikarang putera bali dalam bahasa Indonesia. Roman keduanya adalah Sukreni
Gadis Bali (1936) yang melahirkan kehidupan masyarakat bali yang keras dan kejam, roman
ini mendapatkan kritikan yang tidak setuju kepada beberapa kepercayaan masyarakat Bali.

BEBERAPA PENGARANG LAIN:

Tulis Sutan Sati menerbitkan buku sajak 1928, sebuah roman yang pertama adalah Sengsara
Membawa Nikmat, kemudian menterjemahkan Kaba’ Sabai Nan Aluih (1929) yang ditulis
oleh M. Thaib Gelar St Pamuntjak dari bahasa Minangkabau kebahasa Indonesia.

Dua buah Syair Siti Marhumah yang Saleh (1930) dan Syair Rosina. Paulus Supit pengarang
Menado mengarang roman yang berjudul Kasih Ibu (1932). Aman Dt. Madjoindo lahir 1896
di Solok terkenal sebagai pengarang anak-anak roman antara lain berjudul Menebus Dosa
(1932) dan Si cebol Rindukan Bulan (1934). Dan beberapa syair diantaranya: Si Banso, Gul
Bakawali. Suman Hasibuan atau Suman Hs. Lahir di Bengkalis 1904. Terkenal gaya
bahasanya yang lincah dan ringan. Cerita-ceritanya mirip detektif diantaranya Kasih Tak
Terlarai(1929), Percobaan Setia (1931) dan Mencahari Pencuri Anak Perawan (1932). Habib
St Maharadja berjudul ‘Nasib’ yang mengisahkan tentang seorang pemuda Minang Kabau
yang mengembara ke Eropa dan menikah dengan gadis Belanda.

4. Para Pengarang Wanita

Para pengarang wanita Indonesia jumlahnya tidak banyak. Pada masa sebelum perang, yang
paling dikenal dan paling penting ialah Selasih atau Seleguri. Keduanya nama samaran
Sariamin (lahir di Tulu, sumatera Utara, tahun 1909) yang menulis dua buah roman dan
sajak-sajak. Kedua buah roman itu ialah Kalau Tak Untung (1933) dan Pengaruh Keadaan
(1937). Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Poedjangga baroe dan Pandji Poestaka.

Pengarang wanita lain yang juga pengarang roman ialah hamidah yang konon merupakan
nama samaran Fatimah H. Delais (1914-1953) yang pernah namanya tercantum sebagai
pembantu majalah Poedjangga Baroe dari Palembang. Roman yang ditulisnya hanya sebuah,
berjudul Kehilangan Mestika (1935) yang diceritakan dalam roman itu ialah kemalangan dan
penderitaan pelakunya. Seorang gadis yang mula-mula kehilangan ayah dan kehilangan
kekasih berturut-turut.

Adli Affandi dan Sa’adah Alim (1898-1968) masing-masing menulis sebuah sandiwara,
masing-masing berjudul Gadis Modern (1941) dan Pembalasannya (1941). Sa’adah Alim
disamping itu juga menulis sejumlah cerpen yang kemudian dibukukan dengan judul Taman
Penghibur Hati (1941). Ia pun menterjemahkan Angin Timur Angin Barat buah tangan
pengarang wanita berkebangsaan Amerika yang pernah mendapat hadiah Nobel 1938, ialah
Pearl S. Buck (lahir 1892).
Pada saat menjelang Jepang datang, muncul pula Mario Amin (dilahirkan di Bengkulu Tahun
1920). Menulis sajak-sajak dalam majalah Poedjangga Baroe, tetapi peranannya lebih berarti
pada masa Jepang ketika ia menulis dan mengumpulkan beberapa prosa lirik yang
simbolistis.

5. Cerita Pendek

Dalam majalah Pandji Poestaka dan lain-lain tahun kedua puluhan sudah mulai dimuat kisah-
kisah yang sifatnya lelucon-hiburan, seperti Si Kabayan, Si Lebai malang, Jaka Dolok dan
lain-lain.

Pada tahun 1936 atas usaha Balai Pustaka, cerita-cerita lucu yang ditulis oleh M. Kasim yang
sebelumnya bertebaran dalam Pandji Poestaka, di bukukan dengan judul Teman Duduk.

M. Kasim ialah seorang guru yang telah menulis sejak tahun 1922, yaitu dengan romannya
yang pertama berjudul Muda Taruna. Pada tahun 1924 ia menang sayembara mengarang
yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka, dengan naskah Pemandangan Dalam Dunia Kanak-
Kanak (SI Amin) sebuah cerita kanak-kanak.

Berbagai-bagai saat dalam kehidupan manusia sehari-hari dijadikan bahan tulisan lucunya:
beberapa lelucon lebaran dikumpulkannya dengan judul “Gurau Senda di I Sawal” dan yang
lainnya seperti “ Bual di Kedai Kopi”, “Bertengkar Berisik”, dan lain-lain.dan hanya “Cara
Chicago” lah yang tidak berupa lelucon.

Tidak banyak berbeda dengan cerpen-cerpen M. Kasim ialah cerpen-cerpen Suman Hs.
Kemudian dikumpulkan dengan kata pengantar oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang ketika itu
menjadi redaktur Balai Pustaka. Kumpulan itu diberi judul Kawan Bergulat (1938) judul ini
tidak banyak beda dengan judul kumpulan Cerpen M. Kasim: Maksudnya Hendaknya
menunjuk isi buku tersebut hanyalah sekedar bahan bacaan senggang. Tetapi kalau
dibandingkan gaya bahasanya, bahasa Suman lebih jernih. Hanya terasa pada bewberapa
ceritanya, Suman memberikan kritik juga pada sifat-sifat manusia, misalnya dalam “Pandai
Jatuh” menyindir orang yang suka sombong dalam “Fatwa membawa Kecewa” menyindir
Orang yang menyebut dirinya alim dan suka memberi fatwa supaya orang suka bersedekah
tetapi ia sendiri serakah. Dalam “Kelekar Si Bigor” menyindir orang yang sok sekolah tetapi
akalnya dapat dikalahkan oleh orang yang buta huruf.

Kesedihan sebagai motif penulisan cerpen, menjadi bahan yang produktif buat Haji Abdul
Karim Amrullah yang lebih dikenal sebagai Hamka (lahir Februari 1908 di Maninjau).
Seperti yang dikumpulkan dalam”Didalam Lembah Kehidupan” (1941). Berlainan dengan M.
Kasim dan Suman Hs. Hamka mempergunakan cerpen bukan sebagai hiburan tetapi sebagai
usaha untuk menggugah rasa sedih para pembaca. Adapun karya-karya Hamka adalah
“kumpulan Air Mata, kesedihan dan rintihan yang diderita oleh golongan manusia diatas
dunia ini dan Inyik Utih”.

Demikian pula cerpen-cerpen Sa’adah Alim yang dikumpulkan dengan judul Taman
Penghibur Hati (1941) dan yang diberinya keterangan “beberapa cerita pergaulan” tidak
berhasil sebagai cerpen. Ada semacam prasangka dan ketakutan kepada “Barat” yang
menyebabkan pengarangnya mempertahan tradisi dan keras kepala. Pada kenyataan saat
Sa’adah Alim menulis cerpen-cerpen itu sebenarnya kaum muda sudah menang. Maka
prasangka semacam itu terasa aneh. Tetapi kalau diingat dia berasal dari Minang
Kabau dengan sistem kemasyarakatannya matrilinial maka hal itu dapat dipahami juga.

Yang menulis cerpen-cerpen yang sungguh dan lebih ditinjau dari segi sastra ialah Armijn
Pane. Cerpennya banyak dimuat dalam majalah poedjangga Baroe. Diantaranya “Barang
Tiada Harga” cerpen ini kemudian menjadi dasar romannya Belenggu.Dan dalam cerpennya
”Tujuan Hidup” ia melukiskan kesepian hidup seorang gadis yang menjadi guru yang
memilih hidup sendiri. Dalam cerpen “Lupa” ia melukiskan kehidupan kaum politikus yang
karena tak dapat memperjuangkan cita-cita mereka oleh berbagai tekanan pemerintah lalu
menghabiskan waktu mereka ditempat-tempat maksiat.

Pada masa sesudah perang cerpen-cerpen yang ditulisnya sebelum perang ditambah dengan
cerpen-cerpen yang ditulisnya kemudian, dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul kisah
antara manusia (1953). Kalau “Barang Tiada Berharga” merupakan prototif bagi roman
Belenggu yang ditulis Armijn. Maka kita pun menemukan prototif Layar Terkembang dalam
cerpen “Mega Mendung” yang ditulis Takdir beberapa waktu sebelum roman itu
terbit.Cerpen itu dimuat dalam majalah Pandji Poestaka.

6. Drama

Dalam bidang penulisan Drama kita hanya menyaksikan beberapa orang saja pengarang yang
rata-rata menulis lebih dari satu drama.

Roestam Effendi menulis drama dalam bahasa Indonesia yang merupakan sebuah drama
sajak Bebasari (1924). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara sudah
Berkata…..(1932) juga Ken Arok dan Ken Dedes (1934) dimana keduanya merupakan drama
berdasarkan sejarah Jawa.

Sanusi pane menulis kertajaya dan Sandhyakala Ning Majapahit yang diambil dari sejarah
Jawa, drama yang ditulisnya dlam bahasa Belanda juga mempunyai latar belakang kebesaran
sejarah Jawa yaitu Air Langga dan Eenzame Gaoedavlucht.

Kegemaran para pengarang kita pada masa itu melukiasakn kebesaran sejarah, mungkin
disebabkan oleh karena kerinduan akan kebesaran diri sendiri.

Umunya drama-drama itu berbentuk closet drama, yaitu drama untuk dibaca, bukan untuk
dipentaskan. Didalamnya kurang sekali gerak dan aksi ataupun pertunjukan watak melainkan
banyak sekali percakapan. Namun rata-rata drama-drama tersebut pernah juga di pertunukan
diatas panggung. Biasanya apabila ada kesempatan peringatan-peringatan atau kongers-
kongres. Dalam roman Layar Terkembang, Takdir melukiskan bahwa dalam Kongres
perikatan Perkumpulan Perempuan yang dihadiri oleh Tuti, dipertunjukan drama Sanusi Pane
Sandhyakala ning Majapahit. Kesemapatan itu digunakan Takdir Alisjabana untuk
mengkeritik dan mengemukakan pendapat tentang drama itu melalui tokoh-tokoh romanya.

Sanusi Pane yang mengambil tempat peistiwa terjadinya di India Manusia Baru (1940), juga
merupakan closet drama. Drama ini seperti drama-drama lain sangat idealistis dan merupakan
wadah si pengarang dalam mengemukakan cita-citanya mengenai Timur dan Barat permainan
watak, dramatis dan lukisan-lukisan sisinya kurang mendapa perhatian.

Armijin Pane banyak menulis drama pada masa sebelum perang. Drama-dramanya banyak
mengambil latar belakang kenyataan hidup jamanya. Berdasarkan cerpenya Barang Tiada
Berharga” , juga melukiskan kehidupan jamannya sendiri. Akan tetapi bukan berarti ia tidak
menulis drama berdasarkan peristiwa masa silam. Dari roman I Gusti Njoman Pandji Tisna,
ia membuat drama ‘I Swasta setahun di Bedahulu’ dan berdasarkan sebuah cerita M.A.
Salman dalam bahasa Sunda ia pun setting masa silam.

Setelah perang drama-drama Armijn Pane itu kemudian dikumpulkan dan di terbitkan dengan
jdudul Jinak-jinak Merpati (1953).

Menjelang Jepang datang, terbit pula Balai Pustaka dua buah buku drama tangan Sa’adah
Alim yang berjudul. Pembalasannya (1940) dan buah tangan Adin Affandi. Yang berjudul
Gadis Modern (1941). Keduanya meupakan komedi yang mengejek orang-orang intelek.

7. Roman-roman dari Medan dan Surabaya

Di luar lingkungan pujangga baru dan Balai Pustaka, ada juga penerbitan-penerbitan sastra,
baik prosa berupa roman maupun puisi berupa kumpulan sajak. Dlam lapangan penerbitan
roman, untuk tidak menyebutnkan peneribitan roman-roman picisan, kita melihat roman-
roman buah tangan hamka yang tadi sudah pernah kita singgung dalam hubungan penulis
cerpen.

Hamka ialah putra Haji Abdul Karim Amrullah, seoran ulama pembaharu Islam yang
terkemuka di Sumatera Barat yang pernah mendapat gelar kehormatan dari Universitas Al-
Zahar di Kairo, Mesir. karena itu, meskuipun Hamka sekolahnya hanya sampai kelas II
Sekolah Dsasar saja, namun ia mendapat pendidikan agama dan bahasa Arab yang luas dari
Sumatra Thawalib, Parabek (Bukittinggi) dan dari ayahnya. Tahun 1927 Hamka pergi ke
Jawa dan belajar lebih lanjut kepada H.O.S. Tjokroaminoto, seorang pemimpin Islam
terkemuka di Surabaya. Tahun 1927 ia pergi naik haji ke Mekah dan sepulangnya dari sana ia
menjadi guru agama di padang dan turut pula memimpin pergerakan Muahammadijah di
sana. Dari sana ia pindah ke medan dan aktif dalam jurnalistik. Ia menulis roman yang mula-
mula dimuat sebagai feuilleton dalam majalah yang dipimpinnya. Bahwa seorng ulama
menulis roman sangatlah aneh pada saat itu, sehingga timbul heboh. Hal itu menimbulkan
pertikaian di kalangan umat Islam sendiri, ada yang pro dan ada yang kontra.

Roman Hamka yang petama berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), mengishkan cinta
tak samapi antara dua kekasih yang terhalang oleh adat. Yang membedakan roamn ini dengan
kebanyakan roaman adat yang lain ialah karena pengaranya membawa pelakunya ke Mekah
dekat Ka’bah. Juga romannya yang kedua Tenggelamnya kapal van der Wijck (1939)
mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh adat Minagkabau yang terkenal kukuh itu
pula. Dalam roman ini diceritakan tentang Zainuddin seorang anak dari perkawinan cmpuran
Minang dengan Makasar tak berhasil mempersunting gadis idamannya karena rapt nidik-
mamak tdiak setuju dan menganggap Zainuddin tidak sebagai manusia penuh. Zainuddin
kemudian menjadi pengarang dan dalam suatu kecelakaan gadis kecintaanya meninggal dlam
kapal yang ditumpanginya. Roman ini menimbulkan heboh pada tahun 1962, kerena ada
orang yang menyebutnya roman ini sebagai hasil curian (plagiat). Roman ini disebut sebagai
curian dari sebuah karangan pengarang Perancis Alphonse Karr yang penuh disadur ke dalam
Bahasa Arab oleh Mustaffa Luthfi Al-Manfaluthi (1876-1924) sorang pujangga Arab-Mesir
yang sangat dikagumi Hamka. Karanga Jean Bapitiste Alphonse Karr (1808-1890) yang
dlalm bahsa Perancisnya berjudul Sous les Tilleules (Di bawah naungan pohon Tila) (1832)
Madjulin. Madjdulin ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahsas Indonesia oleh A.S Alatas
berjudul Magdalena (963).

Kecuali kedua roman itu, Hamka pun menulis pula Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur
(1939) dan Merantau ke Deli (1939).yang teakhir merupakan suatu kritik pula terhadap adat
Minangkabau yang tidak segan-segan merusak kedamaian rumah tangga yang bahagia,
karena si suami (orang Mingan) belum menikah secara adat, yaitu menikah dengan seoanrang
Minangkabau, sehingga diceraikannyalah istri asal Jawa yang telah hidup bersama
membangun rumah tangga bahagia.

Sehabis perang Hamka sempat menulis cerita. Tahun 1950 ia menulis Menunggu Beduk
Berbunyi dan sebelum itu menulis Dijemput Mamaknya (1948?). riwayat hidupnya sendiri
ditulisnya dalam empat jilid dengan judul Kenang-kenangan Hidup (1951-1952). Beberapa
cerpennya dimasukkan pula ke dalam Di dalam Lembah Kehidupan.

Pengarang lain di Medan antara lain Matu Mona, namna samaran Hasbullah Parinduri (lahir
tahun 1920 di Medan). Dan ia menulis roman berlatar peristiwa sejarah, berjudul Zamnan
Gemilang (1939). Dan buku-bukunya yang lain adalah Ja Umenek Jadi-jadian, Rol Pacar
Merah Indonesia, Spionage Dienst dan lain-lain

Sebuah roman yang dikarang oleh Iman Supardi berjudul Kintamani (1932) yang
mengisahkan percintaan seorang pelukis Jawa dengan seorang gadis Bali. Ia seorang
wartawan yang aktif di Surabaya.

8. Pengarang Sumatra

Melalui usaha penyairnya sendiri dan penerbit–penerbit swasta kecil-kecilan di sumatra maka
terbit beberapa buah kumpulan sajak yaitu Puspa Aneka buah tangan Yogi. Ali Hasjmy,
Surapaty, Samadi, Bandaharo dan lain-lain.

Hasjmy atau lebih dikenal dengan M. Alie Hajiem (lahir di Seulimeum Aceh tahun 1914)
sajak-sajaknya dimuat dalam majalah pujangga baru yaitu “Kisah Seorang Pengembara”
(1936) memuat 35 buah sajak yang kebanyakan berbenmtuk soneta. Karyanya yang lain
“Dewan Sajak” (1940) di bagi dalam 7 bagian yang rata-rata setiap bagian pengarang
mengungkapkan pengalaman-pengalamanya. Kesukaran keindahan dan kegembiraan namun
dengan cara yang datar karena tak ada penghayatan hingga karya-karya beliau dinilai tidak
bermutu tinggi.

Tapi sajak-sajak Surapaty lebih rendah mutunya dari pada karya-karya Hasjmy dan dinilai
kurang meyakinkan. Demikian juga sajak-sajak H.R. Bandaharo (lahir di Medan 1917)
diantaranya “Sarinah dan Aku” (1940). Kemudian sesudah masa pernag ia aktif dalam
lembaga kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menerbitkan beberapa kumpulan sajak diantaranya
“Dari Daerah Kehadiran Lapar dan Kasih (1957) dan Dari Bumi Merah.

Lebih bernilai unik diperhatikan ialah kumpulan sajak Rifa’i ‘Ali (lahir di Padangpanjang
tahun1909). Beliau
banyak menggali ilhamnya dari kehidupan dan Agama Islam, salah satu sajaknya berbunyi:

BASMALLAH

Dengan bismillah disambut bidan


Dengan bismillah berkafan badan
Dengan bismillah hidup dan mati
Dengan bismillah diangkat bakti

Selain Rifa’I ‘Ali penyair Islam lain adalah Or. Mandank (lahir di Kotapanjang, Suliki, 1-1-
1913). Lewat karyanya Sebab Aku Terdiam … beliau menyindir ulama-ulama yang banyak
memberi fatwa sedangkan kelakuannya sendiri bertentangan dengan apa yang difatwakannya.
karya-karya Dr.Mandank yang lain ialah Pantun Orang Muda (1939).

Penyair terpenting yang menerbitkan sajaknya di Medan sebelum perang ialah Sumadi atau
Anwar Rasjid (lahir di Maninjau 18 –11-1918). Kumpulan sajak beliau yang berjudul
Senandung Hidup (1941).
Tak ubahnya dengan para penyair masa itu, Samadi pun bersajak kepada tanah airnya yang
disebutnya dengan “Ibuku” dan sajaknya yang berjudul ‘Angkatan Baru’ ia sadar sebagai
pemuda ia memiliki peranan dan tugas menghadapi hari siang. Ia memandang dirinya sbagai
Pengembara, kelana, Pedang yang mengalami berbagai kemalangan.

Dasar keagamaan pada penyair ini tidak pernah lepas, ia senantiasa ingat akan Tuhan, ia
sadar dan kian ikhlas berjuang, katanya dalam sajaknya “Jangan Di kenang”. Sajak-sajaknya
yang lain berjudul Aku Kembali Kekasih …….’ Ia melukiskan pertemuannya kembali
dengan Tuhan setelah ia mengembara ke mana-mana merasa rindu dan “Selalu Sangsi Atas
Cintamu”. Ia kemudian sadar, BETAPA GERANG AKAN JADINYA?, ASAL TAK HINA
DISISI TUHAN.

Semua hal yang terkandung dalam puisi itu menyebabkan penyair akhirnya yakin akan
kebenaran jalan yang benar, hidup baginya hanyalah mencari ridho ilahi semata.

Penyair ini hilang tak berbekas di tengah-tengah pergolakan perang saudara yang
berkecamuk di Sumatera sekitar tahun 1957-1958 (PRRI).

PERIODE 1953-1961

1. Krisis Sastra Indonesia

Pada bulan April 1952 di Jakarta diselenggarakan sebuah simposium tentang “Kesulitan-
kesulitan Zaman Peralihan Sekarang” dalam simposium itu dilontarkan istilah “Krisis
Akhlak”, “Krisis Ekonomi” dan berbagai krisis lainnya.

Tahun 1953 di Amsterdam diselenggarakan simposium tentang kesusastraan Indonesia antara


lain berbicara dalam simposium itu Asrul Sani, Sultan Takdir Ali Sjahbana, Prof. Dr.
Werthim dan lain-lain. Disinilah untuk pertama kali dibicarakan tentang “Impasse
(kemacetan) dan “krisis sastra Indonesia” sebagai akibat dari gagalnya revolusi Indonesia,
tetapi persoalan tentang krisis baru menjadi bahan pembicaraan yang ramai ketika terbit
majalah konfrontasi pada pertengahan tahun 1954. Nomor pertama majalah ini memuat essay
Soejatmako berjudul “Mengapa konfrontasi” dalam karangan ini secara tandas dikatakan oleh
penulisnya bahwa sastra penulisnya sedang mengalami krisis.

Soejatmoko mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis
hanya cerpen-cerpen kecil yang “berlingkar sekitar fsikologisme perseorangan semata-mata”
roman-roman besar tak ada ditulis.

Karangan Soejatmoko ini mendapat reaksi hebat, terutama dari kalangan sastrawan sendiri
seperti : Nugroho Notosusanto, S.M. Ardan, Boejong Saleh, dan lain-lain. Begitu pula H.B.
Jassin dalam simposium sastra mengemukakan sebuah prosaran yang diberinya judul
“Kesusastraan Indonesia Modern tidak ada krisis” dengan bukti-bukti dari dokumentasi yang
kengkap, Jassin pun menolak sebutan adanya krisis maupun impasse dalam kehidupan sastra
Indonesia.

Dalam tulisan berjudul “Situasi 1954” yang ditujukan kepada sahabatnya Ramadhan K.H,
Nugroho Notosusanto mencoba mencari latar belakang timbulnya penamaan “Impasse sastra
Indonesia” yang bagi dia tidak lebih hanya sebuah “Mite” (dagangan belaka). Menurut
Nugroho asal timbulnya mite itu ialah pasimisme yang berjangkit dari kalangan orang-orang
tertentu pada masa sesudah kedaulatan. Kecuali itu Nogroho pun melihat kemungkinan
bahwa golongan “Old Cracks” angkatan 1945 pada sekitar tahun 1945 mengalami masa
keemasan, pada masa sesudah tahun 1950 mengalami kemunduran.

Sitor Sitomurang dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Krisis” H.B Jossin dalam majalah
mimbar Indonesia mengemukakan pendapatnya bahwa yang ada bukanlah krisis sastra
melainkan krisis ukuran menilai sastra. Sitor berkesimpulan bahwa krisis yang terjadi ialah
krisis dalam diri jassin sendiri karena ukurannya tidak matang.

2. Sastra Majalah

Sejak tahun 1953 balai pustaka yang sejak jaman sebelum perang merupakan penerbit utama
buat buku-buku sastra, kedudukannya tidak menentu. Demikian pula penerbit Pustaka Rakyat
yang tadinya disamping balai pustaka merupakan penerbit nasional yang banyak menerbitkan
buku-buku sastra, agaknya terlibat dalam berbagai kesukaran begitu juga dengan penerbitan
buku lainnya seperti pembangunan, dan lainnya.

Maka aktivitas sastra terutama hanya dalam majalah-majalah saja seperti gelanggang atau
siasat, mimbar Indonesia, Zhenit, pujangga baru dan lain-ain. karena sifat majalah maka
karangan-karangan yang mendapat tempat terutama yang berupa sajak, cerpen dan karangan-
karangan lain yang tidak begitu panjang. Keadaan seperti itulah yang menyebabkan lahirnya
istilah “sastra majalah” istilah ini pertama kali dilontarkan oleh Nugroho Notosusanto yang
dimuat dalam majalah kompas yang dipimpinnya.

Persoalan lahirnya angkatan sesudah Chairil Anwar. Dalam simposium sastra tahun 1955,
Harijadi S. Hartowardoyo memberikan sebuah prosaran yang berjudul “Puisi Indonesia
sesudah Chairil Anwar” juga dalam simposium-simposium di Jogyakarta, Solo dan kota-kota
lain ada kecendrungan pikiran untuk menganggap telah lahir suatu angkatan para pengarang
baru yang terasa tidak tepat lagi digolongkan kepada angakatan Chairil Anwar yang populer
dengan nama angkatan 45 itu dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta pada
tahun 1960 Ajib Rosyidi memberikan sebuah prasaran tentang “sumbangan angkatan terbaru
sastrawan Indonesia kepada perkembangan kesusastraan Indonesia “Dalam prasaran itu
dicoba untuk mencari ciri-ciri yang membedakan angkatan terbaru dengan angkatan 45.
Lebih lanjut dalam prasaran itu dikemukakan bahwa sikap budaya para sastrawan yang
tergolong pada angkatan terbaru merupakln sintesin dari dua sikap ekstrim mengenai
konsepsi kebudayaan Indonesia.
Dalam seminar kesusastraan yang diselenggarakan oleh fakultas tahun 1963, Nugroho
Notosusanto dalam ceramahnya berjudul “soal periodisasi dalam sastra Indonesia”
mengemukakan bahwa memang ada periode sebelumnya. Nugroho menekankan pada
kenyataan bahwa para pengarang yang aktif menulis pada periode 1950 ialah mereka yang
telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagi titik tolak”. Sifat imitatif dari Belanda atau
Eropa berkurang. Pandangan keluar negeri tidak hanya Eropa melainkan keseluruh Dunia.
Ditambah pula oleh penghargaan yang wajar kepada sastrawan-sastrawan Indonesia sendiri.

Berbeda dengan para pengarang punjangga baru dan angkatan 45, para pengarang periode 50
ini lebih menitik beratkan pada penciptaan hal ini berhubungan juga tentu dengan kurangnya
pengetahuan mereka pada saat itu. Baru kemudian setelah berkesempatan menambah
pengetahuan pula, mereka merumuskan cita-cita dan kehadirannya.

Dalam hal ini peranan majalah kisah (1953-1956), tidak bisa dibilang kecil, karena banyak
pengarang yang muncul dalam periode ini mengumumkan tulisan-tulisannya yang mula-mula
dalam majalah ini atau banyak pula pengarang yang sudah menulis sebelum tahun 1953,
kemudian mendapat kesempatan berkembang sebaik-baiknya dalam majalah kisah.

Di samping itu patut juga disebut majalah mahasiswa kompas yang setelah dipimpin oleh
Nugroho Notosusanto sangat banyak memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan dan
karya-karya sastra, majalah prosa pimpinan Ajip Rosidi yang hanya terbit nomor, ruangan
kebudayaan genta dalam majalah merdeka yang diasuh oleh S.M. Ardan dan kawan-kawan,
majalah seni (terbit hanya setahun) majalah konfrontasi, majalah Tjerita dan majalah budaya
(terbit di Yogyakarta) dan beberapa majalah lain, disamping majalah-majalah yang sudah
lama ada seperti Mimbar Indonesia, Gelanggang atau Siasat Indonesia.

Termasuk kepada para pengaran dari periode ini antara Nugroho Notosusanto, M. Hussyn
Umar, Toto.S.Bachtiar, W.S.Wendra, N.H. Dini Subagio Sastrowardoyo, Trisnoyuono, S.M.
Ardan, Rajino Paratikro, A.A. Navis, Sukanto. S.A, Iwan Simatupang.

3. Beberapa Pengarang

NUGROHO NOTOSUSANTO

Nugroho Notosusanto terkenal sebagi penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tidak
merasa mendapat kepuasaan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai
pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.

Pengarang kelahiran Rembang 15 Juli 1930 ini sampai sekarang telah menerbitkan tiga buah
kumpulan cerpen. Kumulan cerpennya yang pertama ialah Hujan Kepagian (1958). kemudian
disusul oleh Tiga Kota (1959). Kumpulan cerpennya yang ketika berjudul Rasa Sajange
(1963) yang antara lain memuat cerpannya yang paling berhasil berjudul “Jembatan”.

Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada
penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah. Ia menjadi kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata
dan sejak 1968 diangkat menjadi kolonel tituler, kemudian Brigader Jenderal.

Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Nugroho salah seorang di antara yang muda-muda
ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba menyalami situasi jamannya. Terutama
tentang sastra dan kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk
mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang
kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. Ia sendiri pada simposium
tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan tentang cerita pendek.

A.A. Navis

A.A. Navis lebih tepat digolongkan kepada angakatan ‘45. Ia lahir di Padangpanjang 17
November 1924. Ia baru muncul dalam gelanggang sastra Indonesia pada tahun 1955, yaitu
ketika ia mengumumkan cerpennya yang pertama yang sekaligus menjadi terkenal berjudul
“Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini kemudian diterbitkan bersama-sama dengan beberapa
buah cerpen lain dengan judul Robohnya Surai Kami (1956). Ketika dicetak ulang beberapa
tahun kemudian, buku ini mengalami perubahan isi. Ada cerpen-cerpen baru ditambahkan,
tetapi ada juga cerpen lama yang dicabut.

Kumpulan cerpen navis yang lain ialah Hujan Panas (1964) dan Bianglala (1964). Pada
umumnya cerpen-cerpen Navis padat dan mempunyai latar belakang sosial psikologis yang
luas. Navis banyak mengkritik orang-orang yang melakukan syari’at agama (Islam) secara
membuta dan taklid saja, karena menurut dia Islam harus dihayati secara rasional dan penuh
prikemanusiaan.

Kecuali menulis cerpen, Navis pun telah menulis sebuah roman berjudul Kemarau (1967).
Juga dalam roman ini masalah agama dan pelaksanaannya mendapat sorotan pengarang
secara tajam. Berdasarkan buah tangannya yang nyata banyak mempersoalkan masalah-
masalah keimanan dan keagamaan Islam, pantas benar Navis disebut sebagai seorang
pengarang Islam.

TRISNOYUWONO

Trisnoyuwono sudah mulai menulis cerpen-cerpen picisan pada tahun lima puluhan awal.
Kumpulan cerpennya yang pertama laki-laki dan Mesiu (1957) mendapat hadiah sastra
nasional dari B.M.K.N. tahun 1957-1958. Cerpen-cerpen Trisnoyuwono menarik karena ia
melukiskan manusia dalam situasinya lengkap dengan ketakutan, nafsu birahi, kelemahan dan
kekuatannya. Kumpulan cerpennya yang kedua berjudul Angin Laut (1958) tidak begitu
meyakinkan. Kumpulan cerpennya yang berikutnya berjudul Di Medan Perang (1961)
nilainya lebih baik. Terutama cerpen “Di Medan Perang” yang dijadikan judul kumpulan ini
sangat kuat dan mengesan. Tak kelirulah kalau cerpen ini juga dianggap sebagai cerpennya
terakhir ialah Kisah-Kisah Revolusi (1965),

Salah sebuah cerpen yang dimuat Laki-laki dan Mesiu Kemudian dikerjakannya menjadi
sebuah roman, judulnya sama dengan judul roman cerpen asalnya, yaitu Pagar Kawat Berduri
(1962). Roman ini dibuat film oleh Asrul Sani sebagai sutradara dan roman ini telah pula
menyebabkan Trisnoyuwono mendapat Hadiah Sastra Yamin.

Di samping itu Trisnoyuwono yang lahir di Yogyakarta 5 Desember 1926 menulis pula
beberapa buah roman lain berjudul Bulan Madu (1962), Petualang (1963) dan lain-lain.

IWAN SIMATUPANG

Iwan Simatupang (lahir di Sibolga pada tanggal 18 Januari 1928) mula-mula menulis sajak,
kemudian esai. Cerpen-cerpen dan drama-drama yang ditulisnya, juga roman-romannya,
tidaklah terikat oleh logika, plot dan perwatakan yang biasa. Drama absurd Eugene Ionesco
dan lain-lainnya yang sesudah Perang Dunia kedua mendapat perhatian yang besar bukan saja
di Eropa. Di antara drama-drama yang sudah diselesaikannya, banyak yang kemudian dimuat
dalam majalah-majalah, antara lain yang berjudul “Bulan Bujur Sangkar’, “Taman’, RT
Nol/RW Nol’.

Di antara cerpen-cerpennya patut disebut ‘lebih Hitam dari Hitam’ (Siasat Baru 1959)
sebagai sebuah cerpen yang baik sekali menyalam ke gua dasar jiwa manusia, mencari
kebenaran antara sadar dan tak sadar.

Iwan pun banyak menulis roman. Beberapa di antaranya berjudul Ziarah, Kering dan
Merahnya Merah (1968). Yang menonjol dalam roman-roman (dan juga cerpen-cerpen, esai
dan drama-dramanya) ialah gayanya yang padat.

TOHA MOHTAR

Pengarang yang sejak awal tahun lima puluhan produktif menulis cerpen-cerpen dalam
majalah-majalah hiburan (anehnya tak pernah dia menulis dalam majalah sastra atau
kebudayaan!) dengan nama samaran yang selalu berganti-ganti ialah Toha Mohtar. Ia
mengejutkn dunia sastra Indonesia dengan sebuah roman berjudul pulang (1958). Roman ini
mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1958.
Sebagai roman Pulang sangat sederhana, tetapi justru karena kesederhanaannya maka ia
terasa jernih bening setelah penulis Pulang, Toha Mohtar menulis pula Daerah Tak Bertuan
(1963), sebuah kisah revolusi yang digali dari pengalaman perjuangan di Surabaya ketika
para pemuda mempertahankannya dari serbuan tentara sekutu. Roman ini tidaklah
menandingi Pulang yang ditulisnya lebih dahulu. Belakangan terbit pula romannya yang lain
yang berjudul Bukan Karena Kau (1968) dan Kabut Rendah (1968).

SUBAGIO SASTROWARDOJO

Subagio Sastrowardojo lebih dikenal sebagai penyair dan bukunya yang pertama merupakan
kumpulan sajak, yaitu Simphoni (1957). Cerpen-cerpennya dibukukan dengan judul
Kejantanan di Sumbing (1965).
Cerpennya ‘Perawan Tua’ sangat menyaran, melukiskan keadaan jiwa seorang gadis yang
karena mau setia kepada kekasihnya yang gugur dalam pertempuran melawan belanda lalu
menghadapi hidupnya yang sepi. ‘Perawan Tua’ merupakan salah sebuah prosa terindah yang
pernah ditulis dalam bahasa Indonesia. Sajak Subagio yang belum diterbitkan sebagai buku
antara lain yang termuat dalam naskahnya Daerah Perbatasan dan Salju.

MOTINGGO BOESJE

Motinggo Boesje lahir di Kupang kota, Lampung tanggal 12 November 1937. Buku yang
ditulis dan diterbitkannya berupa roman-roman. Ia pun menulis cerpen dan drama. Drama-
Drama yang ditulisnya umumnya berbentuk novela mengikuti cara penulisan drama Utuy T.
Sontani.

Dengan drama pula Motinggo pertama kali menarik perhatian orang kepadanya. Ketika ia
mendapat hadiah dalam sayembara penulisan drama yang diadakan tahun 1958. Dramanya
Malam Jahanam mendapat hadiah pertama. Drama lainnya yang ditulis kemudian ialah antara
lain Badai Sampai Sore (1962), Nyonya dan Nyonya (1962), Malam Pengantin di Bukit Kera
(1963) dan lain-lain.

Sebelum menulis drama, Motinggo menulis cerpen dan sajak. Cerpennya kemudian
dibukukan antara lain Dalam Keberanian Manusia (1962), Nasehat Untuk Anakku (1963),
Matahari Dalam Kelam (1963) dan lain-lain.

Kemudan yang secara manakjubkan tak habis-habisnya ditulis Motinggo ialah roman.
Diantaranya Tidak Menyerah (1962) merupakan cerita menarik yang secara simbolik
melukiskan tentang palimo pemburu tua yang kesepian pantang menyerah kepada harimau
tua yang mengganas di kampungnya. Sejuta Matahari (1963) mengungkapkan suatu
persoalan sosial 1944 (1962) merupakan roman sebuah revolusi. Masih banyak lagi roman-
roman Motinggo yang lain. Misalnya : Dosa Kita Semua (1963), Tiada Belas Kasihan
(sebuah roman pendek, 1963), Batu Serampok (juga sebuah legenda, 1963), Titisan Dosa di
atasnya (1964), Ahim-Ha, Manusia Sejati (1963), Perempuan itu Bernama barabah (1963),
Dia Musuh Keluarga (1968) dan lain-lain.

PARA PENGARANG LAIN

1. Rijono Pratikto (lahir di tegal tanggal 27 Agustus 1932) telah mulai menulis sejak masih
duduk di SMP. Cerpen-cerpennya dimuat dalam majalah terkemuka di Jakarta sejak tahun
1949. Rijono merupakan pengarang yang paling banyak menulis cerpen di Indonesia. Cerpen
permulaannya kemudian diterbitkan dengan judul Api dan Beberapa Cerita Pendek Lain
(1951). Cerpen-cerpennya kemudian mendapat ciri sebagai ‘cerita-cerita serem’. Cerpen
semacam ini dibukukan dalam Si Rangka dan Beberapa Cerita Pendek lain (1958). Karangan-
karangan Rijono yang masih tersimpan antara lain fragmen roman dalam persiapan” seperti
‘Gua (dalam Indonesia), ‘Dua Manusia Sepanjang Bukit’ (dalam Gelanggang/Siasat) dan
lain-lain.

2. SM. Ardan yang nama sebenarnya Sjahmardan (lahir di Medan tanggal 2 Pebruari 1932)
mula-mula menulis sajak, kemudian cerpen dan esai serta kritik. Sajaknya dimuat dalam
kumpulan bertiga dengan Ajip Rosidi dan Sobron Aidit berjudul Ketemu di Jalan (1956).
Cerpennya melukiskan kehidupan masyarakat rendah Jakarta dikumpulkan dalam buku
Terang Bulan Terang di Kali (1955). Ardan menyadur cerita rakyat Jakarta yang terkenal ke
dalam bentuk drama tetapi ditulis secara penulisan roman yaitu Nyai Dasima (1965).

3. Sukanto SA. lahir di Tegal tanggal 30 Desember 1930. Ia banyak menulis cerpen. Tetapi
sebagian saja yang dimuat dalam kumpulannya Bulan Merah (1958).

4. Alex A.xandre Leo yang merupakan nama samaran Zulkarnain (Lahir di Lahat tanggal 19
Agustus 1934), menulis cerpen dikumpulkannya menjadi buku berjudul Orang yang Kembali
(1956). Ia pun menulis serangkaian satira (=cerita sindiran) tentang ‘kisah-kisah dari negeri
Kambing’. Tuhan 1963 ia menerbitkan sebuah roman berjudul mendung yang disebutnya
“sebuah novela sukaduka cerita sebuah rumah tangga’.

5. Bokor Hutasuhut (lahir di Balige tanggal 2 Juli 1934). Cerpen-cerpen yang dibukukan
dalam kumpulannya Datang Malam (1960). Ia pun menerbitkan dua buah roman yaitu
Penakluk Ujung Dunia (1964), dan Tanah Kesayangan (1965). Penakluk Ujung Dunia
dikerjakannya kembali dari sebuah cerita rakyat Batak. tanah Kesayangan merupakan sebuah
roman yang mengambik jaman penjajahan Jepang sebagai latar belakangnya
4. Beberapa Penyair

TOTO SUDARTO BACHTIAR

Toto Sudarto Bachtiar (lahir di Paliman, Ceribon, tanggal 12 Oktober 1929) telah mulai
mengumumkan sajak-sajaknya sekitar tahun 1950. Sajaknya yang terkenal “Ibukota Senja”
ditulisnya tahun 1951.
Sebagian besar sajak-sajaknya telah dikumpulkan dan diterbitkan menjadi dua buah buku,
masing-masing berjudul Suara (1956) dan Etsa (1958). “Kumpulan sajak 1950-1955” telah
menyebabkan penyairnya mendapat hadiah sastra nasional dari BMKN sebagai penyair
terbaik tahun 1955-1956.
Sebagai penyair ia senantiasa merindukan kemerdekaan yang disebutnya ‘tanah air dan laut
semua suara’ dan ‘ tanah air penyair dan pengembara’.
TENTANG KEMERDEKAAN

Dalam sajaknya yang berjudul ‘Keterangan’ ia merasa perlu memberi penjelasan kepada H.B.
Jassin kritikus sastra terkemuka, bahwa kuburan penyair “Hanyalah nisan kata-katanya
selama ini/Tentang mimpi, tentang dunia sebelum kau tidur,...”, tulisannya hanya nasib jari
yang lemah”...” Tanpa merasa tahu tentang apa/Dia menyeret langkahnya/Sampai di mana
dia akan tiba/Tetapi dengan jari kakinya ditulisnya sebuah sajak.

Kepada Chairil Anwar ia merasa perlu membuat pernyataan ; Aku makin menjauh/dari
tempatmu berkata kesekian kali/Laut-laut makin terbuka/Dibawah langit remaja biru pengap
melanda’ (dalam sajak berjudul ‘Pernyataan).

Kepada penyair perancis Guillaume Apolllinaire (1880-1918) ia berkata : “Ya Guillaume, tak
apa kita bercinta/Tak putus-putus, asal rindu dendamnya/Aku waspada juga pada tangan
waktu/Pada khianat yang mencekikku bila ‘ku alpa’.....”.

Dalam sajaknya ‘Pahlawan tak Dikenal’ ia melukiskan seorang pemuda yang gugur
tertembak pada hari ‘pahlawan tanpa mengetahui untuk apa.

Toto banyak sekali menerjemahkan, baik sajak maupun cerpen atau karangan-karangan lain
ke dalam bahasa Indonesia. Sebagian kecil dari terjemahan-terjemahan cerpennya
dikumpulkan dalam Bunglon (1965) yang antara lain memuat cerpen-cerpen buah tangan
Anton Chekhov, Rainer Maria Rilke, Ernest Hemingway dan lain-lain.

WS. RENDRA

Nama lengkapnya Wilibrodus Surendra Broto (lahir di Solo tanggal 7 Nopember 1935) ialah
penyair Indonesia terpenting pada masa ini.

Sajak-sajaknya yang permulaan, tampak pengaruh nyanyian-nyanyian dolanan kanak-kanak


Jawa dan pengaruh penyair Spanyol Federico Garcia (1899-1936) yang pada tahun-tahuin itu
banyak diterjemahkan oleh Asrul Sani dan Ramadhan K.H.

Kemudian sajak-sajaknya yang permulaan itu dimuat dalam buku kumpulan sajaknya yang
pertama berjudul Balada orang-orang Tercinta (1957). Rendra mendapat hadiah sastra
nasional untuk puisi tahun 1955-1956 sebagai salah seorang penyair terbaik. Sebuah sajaknya
yang permulaan yang juga dimuat dalam kumpulan terbaik. Sebuah sajaknya yang permulaan
yang juga dimuat dalam kumpulan itu berjudul “Terbunuhnya Atmo Karpo”.

Sajak-sajaknya sebagian telah diterbitkan dalam Rendra : 4 Kumpulan Sajak (1961), yaitu
yang terkumpul dalam “Kakawin-Kawin’, ‘malam stanza’, ‘nyanyian dari jalanan’ dan sajak-
sajak dua belas perak’. Sajak-sajak yang ditulisnya selama ia di Amerika kian menunjukkan
kematangan dan kesederhanaan pengucapannya, antara lain ‘Nyanyian Angsa’, Khotbah’,
‘Bluess untuk Bonnie, dan lain-lain.

Selain menulis sajak, Rendra pun menulis cerpen. Diterbitkan dalam sebuah kumpulan
berjudul ia Sudah Bertulang (1963). Juga banyak bergerak di lapangan drama. Ia bertindak
sebagai sutradara, pemain dan banyak pula menulis drama-drama asli dan menerjemahkan
drama-drama asing untuk dimainkannya. Ia telah menerjemahkan kata penulis drama klasik
Yunani Sophokles (496-406 sebelum Masehi) berjudul Oedipus San raja, karya pengarang
drama Irlandia Bernard Shwa berjudul Arms and the Man, dari pengarang drama Prancis
kelahiran Rumania Eugene Ionesco (lahir 1908) berjudul Kereta Kencana, dari pengarang
Jerman Bertold Brecht (lahir 1890) beberapa drama pendeknya dan lain-lain.

RAMADHAN KH

Lengkapnya Ramadhan Kartahadimadja lahir di Bandung 16 Maret 1927, baru tampi


namanya sebagai penulis sekitar tahun 1952. Mula-mula menulis cerpen, kemudian menulis
sajak. Ia pun seorang penerjemah yang telah berjasa memperkenalkan sajak-sajak dan drama-
drama Federico Garcia lorca ke dalam bahasa Idonesia yang diterjemahkannya dari bahasa
Spanyol. Karya-karya penting lorca sudah diterjemahkannya semua. Yang sudah terbit
dramanya Yerman saja (1959). Yang lain-lain diumumkan dalam majalah saja, antaranya
drama ‘Rumah Bernada Alba’ dalam majalah Indonesia dan buku-buku sajak-sajak Lorca
terpenting seperti Cancioes dan Romancero Gitano.

Sajaknya sendiri ditulisnya ketika ia baru pulang dari Spanyol, dan dibukukan dengan judul
Priangan Si Jelita (1958). Untuk buku itu ia mendapat hadiah sastra nasional dari B.K.M.N.
tahun 1957-1958 untuk puisi.

DENDANG SAYANG
I
Di Cikajang ada gunung
Lembah lenggang nyobek hati,
Bintang pahlawan di dada,
Sepi di atas belati,
Kembang rampe di kuburuan
Selalu jauh kekasih

Romannya berjudul Royan Revolusi mendapat hadiah nasional IKAPI UNESCO tahun 1968.

KIRDJOMULJO

Kirdjomuljo (lahir di Yogyakarta tahun 1930) ialah salah seorang penyair Indonesia yang
banyak sekali menulis sajak. Tahun 1953-1956 banyak di antaranya yang dimuat dalam
majalah-majalah. Tahun 1955 terbit buku kumpulan sajaknya berjudul Romance Perjalan I.
Romance Perjalanan jilid-jilid selanjutnya tidak pernah terbit, meskipun kono naskahnya
sudah disiapkan penyairnya.
Kirdjomuljo juga menulis banyak drama. Yang pernah terbit menjadi buku hanya satu yaitu
yang berjudul ‘Nona Maryam’ yang diterbitkan dalam satu jilid dengan drama buah tangan
W.S. Rendra berjudul ‘Orang-orang di Tikungan Jalanan (1955). Dua tiga buah lagi pernah
dimuat dalam majalah Budaya Yogyakarta, diantaranya ‘Penggali Intan’ (1957).

Belakangan ini Kirdjomuljo pun ada menulis cerpen dan roman, yang sudah terbit berjudul
Cahaya di Mata Emi (1968) dan di Saat Rambutnya Terurai (1968) yang sangat lamban benar
gayanya.

BEBERAPA PENYAIR LAINNYA

Hartojo Andangdjaya (1930), M. Hussyn Umar (1931), Odeh Suardi (1930), Sugiarta
Sriwibawa (1932), A.D. Donggo (1932), Surachman R.M. (1936), Ayatrohaedi (1939),
Mansur Samin (1930), dan lain-ain.
Hatojo Andangdjaya (lahir di Solo tanggal 4 Juli 1930), mengumumkan sajak-sajaknya dalam
majalah-majalah terkemuka di Jakarta dan kota-kota lain. Ia pun banyak menerjemahkan
sajak-sajak asing ke dalam bahasa Indonesia, antaranya Tukang kebun buah tangan penyair
India Rabindranath Tagore.

SONNET BUAT IKA

Siapakah kau, mengikuti daku dari bukit ke bukit.


tidakkah tahu, dari puncak ni tinggal nampak gugusan alit
rumah yang duli berkilau
kebun yang dulu menghijau

Pulanglah. Jangan lagi kau bisiki suatu kisah


tentang dua anak berlarian di kebun rumah
manangkap nyanyian indah
memburu mimpi putih di pagi merah

Engkau yang asing bagiku


tidakkah tahu, dibukit lain itu
biru puncak memanggil daku

Pulanglah, Bila canang bertalu


di kotamu engkau ditunggu
rindu ibu dan raih kekasihmu.
(dari Gelanggang/siasat 1945)

M. Hussyn Umar (Lahir di Medan tanggal 21 Janurai 1931) kecuali menulis sajak, banyak
menulis cerpen dan drama radio.

SENJA DI TANAH ABANG


Untuk Ati
Lusuh kaki membawa daki
bukan jalan-jalan, bukan leha-leha, tapi lari
lari dokar, lari trem, lari beca
abang-abang buru-buru mencari rumah dan jalan-jalannya
ada yang menghindar kelam
atau ada yang datang menyongsong malam

Di gerbong kosong, dengkul jembatan


aku cium bau orang-mayat terdampar yang enggan mati
aku lihat kafilah bangkai-bangkai hidup
hanyut tergayut-gayut di aliran pergi penuh daki
yang penuh penuh matahari lemah pudar bertolak ini
dari pusat satu hari kekalahan yang bertubi-tubi
pelan-pelan sekarang memadu lagu : suara kendang
tukang obat, tukang sate, tukang soto dengan lengking
dan baunya yang memaksa datang harapan-harapan yang enggan
dan malam ini pun sinah akan berdanda lagi
mengibar bendera yang aus bolong dalam pengakuan

Lusuh kaki masih menghadap daki


Matahari menjanjikan satu hari lagi
satu hari lagi
yang tidak buat mati, tidak buat mimpi
untuk cari,
untu lari, untuk ...................
(dari Zenit, 1953)

Odeh Suardi (lahir di Sumedang tanggal 6 September 1930) menulis sajak-sajak yang
diilhami oleh agama yang dipeluknya, agama Kristen. Ia menulis sajak dalam majalah-
majalah Zenith, gelanggang/siasat, Seni, Mimbar Indonesia dan lain-lain.

Sugiarta Sriwibawa (lahir di Solo tanggal 31 Maret 1932) menulis sajak-sajak yang berat
karena permasalahan dan nadanya. Sajak-sajaknya dikumpulkan dalam kumpulan berjudul
Lentera jalan yang sampai sekarang belum terbit. Sugiarta banyak penulis cerpen dengan
gayanya yang lirikal dan puitis, juga menulis pandangan-pandangan tentang seni dan sastra di
samping menerjemahkan cerpen-cerpen dan esai-esai tentang seni dan sastra.

Surachman R.M. (lahir di Cibatu, garut, 19 September 1936) sajak-sajaknya menunjukkan


perhatian yang besar terhadap masalah-masalah sosial. Ia terkenal pula sebagai penulis yang
banyak menulis sajak dalam bahasa daerahnya, bahasa Sunda. Kumpulan sajaknya berbahasa
Sunda telah terbit berjudul Surat Kayas (1968).

MENGAPA HARUS GELISAH

Mengapa harus gelisah, saudara


mengapa kita harus gelisah
Hujan tumpah terus-terusan
Beban ancaman menekan

Bencana tetap berulang. Saudara


bencana bekal tetap berulang
Di satu subuh tanggul bedah
Air menampar atap rumah
Ditenung jadi lautan, sudara
ditenung daratan jadi lautan
Ke mana larinya binatang weluku
(pedoman kita sepanjang waktu)

Tak Bisa Kita Mengeluh, Saudara


tak bisa lagi kita mengeluh,
Bila Ternak Terseret hanyut
Benda Tak Sempat Terangkut

Sumbangan Hilang Di Jalan, Saudara


sumbangan sering hilang di jalan
Percuma Saja Orang Dermakan
Beras, Selimut, Obat-obatan

Kami Tahan Lapar Dan Dingin, Saudara


kami coba tahan lapar dan dingin
Namun Si Bungsu Kupu Biru
Dan Abangnya Belum Ketemu

Siapa jadinya yang salah, saudara


siapa lagi jadinya yang salah
Tiap musim kami beramai-ramai
Dikerahkan menambal tanggul sungai
(dari Horison, 1966)

Ayatrohaedi (lahir di Jatiwangi, Majalengka, pada tanggal 5 Desember 1939) menulis sajak-
sajak dan cerpen-cerpen, baik dalam bahasa Indonesia maupun Sudan, ia pun seorang penyair
yang banyak menyanyaikan tanah kelahiran, ibunda, dan segala yang dekat dengan hidupnya.

IBU

teduh tanjung wangi jadi pusat rindu


teduh ibu perbawa pantang menundung
jika di dunia cumalah ibu dan bapa
akan bisa kukuasai seluruh jagat raya

tapi ibu sebelum aku pergi memperingati


jika hidup cuma melepas nafsu sendiri
akhirnya lupa pada ibunda
menyesal menunggu balik ke asal
menyesallah yang jadi cucuku tunggal

(dari Siasat Baru, 1959).

Sajak yang berjudul ‘Di kebun Binatang’ yang ditulisnya dalam bahasa Sunda telah
menyebabkan Ayatrohaedi mendapat Hadiah Sastra Piagam Moh. Ambri 1966. Dalam bahasa
Sunda, Ayatruhaedi telah menerbitkan sekumpulan cerpen berjudul Hujan Munggaran (1960)
dan sebuah roman pendek berjudul Kobogoh Tere (1967). Cerpen-cerpennya dalam bahasa
Indonesia diterbitkan dalam seri proyek 16 halaman balai Pustaka, antara lain Warisan (1964)
dan Yang tersisih (1964).

5. Drama

Setelah beberapa tahun lamanya penulisan drama Indonesia hampir-hampir hanya mengenal
Utuy. T. Sontani sebagai tokoh tunggal, menjelang akhir tahun 50-an munculah beberapa
nama baru dalam penulisan drama Indonesia, seperti Motinggo Boesje, W.S.Rendra dan
Kirdjomuljo.

Untuk tahun 1958 diumumkan tiga orang penulis yang drama-dramanya mendapat hadiah
dalam sebuah sayembara penulisan naskah drama yang diselenggarakan oleh bagian kesenian
P.P. dan K. yang mendapat hadiah pertama adalah Motinggo Boesje untuk dramanya Malam
Jahanam. Kedua, M. Jusa Biran untuk dramanya Oung Besar, dan yang ketiga Nasjah Djamin
dengan dramanya Sekelumit Nyanyian Sunda.

NASJAH DJAMIN

Nasjah Djamin lahir di Medan tahun 1924, tetapi hidupnya kebanyakan dihabiskannya di
Yogya. Meski ia sudah mulai menulis (sajak) pada awal revolusi fisik, namun sampai awal
tahun 50-an ia lebih banyak mencurahkan perhatiannya kepada seni lukis dari pada sebagai
penulis.

Drama ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ kemudian diterbitkan bersama dengan dramanya ‘Titik-
titik Hitam’ dengan judul ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’ (1964). Drama lain yang ditulisnya
berjudul/Jembatan Gondolayu’ (dimuat dalam majalah Budaya) ‘Sekelumit Nyanyian Sunda’
asalnya merupakan sebuah cerpen yang kemudian dikerjakan menjadi drama dan dibukukan
tahun 1962 dengan judul yang sama. Kumpulan cerpennya yang lain berjudul Dibawah Kaki
Pak Dirman (1967). Dalam cerpennya Nasjah banyak bertindak sebagai juru bicara kesenian
dan seniman modern yang hidup Bohemien dan menimbulkan berbagai ketegangan dengan
sekelilingnya karena perbedaan visa dan ukuran nilai.

Selain itu Nasjah juga menulis roman seperti Hilanglah Si Anak Hilang (1963). Roman ini
menceritakan perjuangan seorang pelukis individualis yang hilang dari lingkungan keluarga
karena menemukan konflik mengenai nilai-nilai moral dan kebenaran. Romannya yang lain
berjudul ‘Helai-helai Sakura Gugur’ (1964), Gairah Untuk hidup dan untuk mati (1968) dan
Malam Kualalumpur (1968).

H.M. JUSA BIRAN

Nama lengkapnya Hadji Misbach Jusa Biran, lahir di Rangkasbitung tahun 1933, ia terkenal
mula-mula karena sketsa-sketsanya tentang kehidupan “Seniman Senin” yang dimuat dalam
majalah Aneka tahun 50-an, ketika itu ia sudah bergerak dalam lapangan perfilman. Dengan
menggunakan nama samaran Ardjawi, ia pun beberapa lamanya mengisi ruangan ‘Komedi di
Jakarta’ dalam edisi Minggu Harian Abadi, melukiskan kehidupan sehari-hari rakyat Jakarta.
Dari sketsa-sketsa inilah kemudian ia menulis cerita yang dibuat Film, “Ardjawi Ke Ibukota”.

Dramanya Oung Besar mengisahkan seorang tokoh politik yang terkenal sebagai Oung Besar
yang sebenarnya bernama Karim, ia mendapat sukses karena pidato-pidatonya yang ia sendiri
tdak mengerti isinya, keseluruhannya komidi ini merupakan sebuah sindiran terhadap
kehidupan politik dan kaum politis Indonesia, ini menunjukkan bahwa ia seorang yang punya
homur yang hidup.

Setelah itu Misbach masih menulis beberapa buah drama lagi, di antaranya berjudul ‘Setelah
jam Menjelang Maut’ (1968) yang pernah dimainkan dimuka Televisi. Romannya Menyusuri
Jejak Berdarah (1968) merupakan penulisan dari cerita Film yang juga telah dibuatnya
sendiri.

b. Para Pengarang Wanita

N.H. DINI

N.H. Dini nama lengkapnya Nurhajati Srihardini lahir di Semarang tanggal 29 Pebruari 1936.
Mulai menulis cerpen-cepen yang dimuat dalam majalah kisah dan lain-lain. Pada cerpen-
cerpen itu tidak ada lagi protes-protes yang berkisar pada soal-soal kewanitaan yang dunianya
terjepit di tengah dunia laki-laki. Tokoh wanita Dini ialah manusia-manusia yang berontak
karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia. Dalam cerpen ‘Dua Dunia’
dikisahkan Dini tentang Iswanti seorang janda muda yang sakit tipus yang diceraikan
suaminya karena si suami main gila dengan ibu tirinya sendiri. Cerpen itu kemudian bersama
dengan beberapa buah cerpennya yang lain dibukukan dengan judul Dua Dunia (1956)

Dalam cerpen-cerpen itu Dini menunjukan perhatiannya yang besar terhadap kepincangan-
kepincangan sosial yang dia lihat dan terjadi disekelilingnya . Misalnya dalam cerpennya
‘Kelahiran’ dan ‘Perempuan Warung’.

Setelah terbit dengan kumpulan cerpen itu, Dini kemudian menerbitkn sebuah roman pendek
berjudul Hati Yang Damai (1961). Ceritanya tentang seorang isteri penerbang yang ketika
suaminya mendapat kecelakaan lalu terlibat dalam cinta segi empat hingga akhirnya ia
menemukan kedamain dan keluasan hati suaminya.

Dini kemudian menikah dengan seorang diplomat Perancis. dan ketika mengkuti suaminya
bertugas di Jepang ia menulis sebuah roman yang berjudul namaku Hiroko, setelah dari
Jepang ia mengikuti suaminya ke Perancis yang berjudul Pada Sebuah Kapal, yang
diumumkan pada majalah-majalah sastra dan Horison, naskah roman lain yang sudah
diselesaikannya berjudul la Barka.

Kecuali Nh. Dini pada periode ini kita pun mencatat beberapa pengarang wanita lain
Surtingsih, Dyantinah B, Supeno dan Hartini ialah para penulis cerpen yang dimuat dalam
majalah. Tetapi sebegitu jauh belum ada data-data untuk mencatat kegiatan mereka lebih
daripada menyebut nama-namanya saja.
PERIODE 1961-Sekarang

1. Sastra dan Politik

Merupakan suatu kenyataan sejarah bahwa sudah sejak awal pertumbuhan sastrawan-
sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius kepada politik. Bahkan ada di
antaranya yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus daripada pengarang seperti Muh.
Yamin dan Roestam Effendi. Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang-orang
yang aktif dalam dunia pergerakan nasional. Para pengarang pada awal revolusi bukanlah
orang-orang yang bersifat a-politis. Chairil Anwar, Pramaedya Ananta Toer, Achdiat K.
Mihardja, Mochtar Lubis merupakan orang-orang yang mempunyai pandangan dan kesadaran
politik.

Perbedaan-perbedaan pandangan mengenai seni dan sastra yang berpangkal pada perbedaan-
perbedaan pendirian politik, sudah sejak lama kelihatan dalam dunia sastra Indonesia. Pada
awal tahun lima puluhan terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela
hak hidup Angkatan 45 dengan orang-orang yang mengatakan “Angkatan 45 sudah mampus”
yang berpangkal pada suatu sikap politik. Pihak yang berpaham realisme-sosialis, yaitu
paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunis aktif mengadakan polemik. Penganut paham
realisme sosials yang paling keras teriakannya ialah As Dharta yang menjadi pokok soal
bahan polemik-polemik ialah paham “seni untuk seni” dan “seni untuk rakyat”, orang-orang
yang menganut paham realisme sosialis berpaham “seni untuk rakyat” sambil mengutuk
orang-orang yang berpaham “seni untuk seni” sebagai penganut “humanisme universal” yang
dicapnya sebagai filsafat kaum borjuis kapitalis yang bobrok.

Yang paling bernilai diantara polemik-polemik itu karena kedua belah pihak menulis dengan
kepala dingin dan pandangan yang luas serta hati terbuka ialah yang terjadi sekitar tahun
1954 antara Boejoeng Saleh Poeradisastro dengan Soedjatmoko berkenaan dengan
pandangan-pandangan Soedjatmoko dalam karangannya “Mengapa Konfrontasi”.

Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta Lembaga Kebudayaan Rakyat yang kemudian lebih
terkenal dengan sebutan Lekra. Sebagai sekretaris jenderalnya yang pertama bertindak As.
Dharta. Pada mulanya Lekra ini belum merupakan organ kebudayaan dari PKI. Diantara yang
hadir pada ketika pembentukan Lekra itu terdapat orang-orang yang kemudian menjadi
musuh antara lain HB Jassin dan Achdiat K. Mihardja. Setelah PKI kuat kedudukannya,
Lekra secara resmi menjadi organ kebudayaannya. Lekra dengan tegas menganut “seni untuk
rakyat” dan menghantam golongan yang menganut paham “seni untuk seni”.

Dalam gelanggang percaturan politik PKI makin kuat kedudukannya. Tahun 1959 Soekarno
mendekritkan UUD 1945 berlaku lagi dan mengajukan “Manifesto Politik” (Manipol)
sebagai dasar haluan negara. Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk merebut
tempat-tempat dan posisi-posisi penting untuk merebut kekuasaan.

Dalam usahanya mempersiapkan diri untuk merebut kekuasaan itu, PKI mengerahkan segala
kekuatan dalam segala bidang. Dalam bidang kebudayaan dilakukan oleh Lekra. Lekra
melakukan teror terhadap orang-orang dan golongan yang dianggapnya tidak sepaham.

Dalam bidang sastra satu persatu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan
mereka, dihantam dan dimusnahkan. Sutan Takdir Alisjahbana yang politis menjadi anggota
partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masyumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka
dituntut supaya dilarang dipergunakan.

Tahun 1950 PNI membentuk Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) diketuai oleh Sita
Situmorang. NU membentuk Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia
(LESBUMI) dengan ketua Osman Ismail. Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syariat
Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo).

Dengan berbagai cara para budayawan, seniman, dan pengarang Indonesia dipaksa masuk
Lekra. Organisasi-organisasi yang hendak berdiri sendiri (independen) terus diteror dan
difitnahnya seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa islam (HMI) dan Pelajar Islam
Indonesia (PII).

2. Manifes Kebudayaan dan Konferensi Karyawan Pengarang se Indonesia

Mei 1961 diterbitkan Majalah Sastra. Ketua : HB. Jassin, Redaktur penyelenggara : DS.
Moeljanto. Majalah sastra mengutamakan memuat cerpen, juga sajak, kritik dan esai.

Beberapa pengarang esai yang banyak menulis pada masa itu adalah Goenawan Mohamad,
Arief Budiman (Soe Hok Djin) D.A Peransi, dan lain-lain. Beberapa penulis esai seperti Iwan
Simatupang dan Wiratmo Soekito juga banyak menulis dalam majalah sastra. Boen S.
Oemarjati, M.S Hutagalung, Virga Belan, Salim Said juga sering mengumumkan kritik-
kritiknya dalam majalah tersebut.

Pengarang-pengarang cerpen dalam majalah sastra antara lain B. Soelarto Bur Rasuanto, A.
Bastari Asnin, Satyagraha Hoerip Soeproto Kamal Hamzah, Ras Siregar, Sori Siregar,
Gerson Poyk, B. Jass, dan lain-lain. Sedang para penyair antara lain: Isma Sawitri, Goenawan
Mohamad, M. Saribi Afn, Poppy Hutagalung, Budiman S. Hartojo, Arifin C.Noer, Sapardi
Djoko Danomo, dan lain-lain.

17 Agustus 1963 diumumkan “Manifes Kebudayaan” yang disusun dan ditandatangani


sejumlah pengarang dan pelukis Jakarta, antara lain H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo
Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Soe Hok Djin, dan lain-lain.

Manifes Kebudayaan

Kami para seniman dan cendekiawan Indonesia dengan mengumumkan sebuah manifes
kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik kebudayaan nasional kami.

Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia.
Kami tidak mengutamakan salah satu sektoral kebudayaan di atas sektor kebudayaan lain.
Setiap sektor berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.

Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha mencipta dengan kesungguhan


yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan
martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia ditengah-tengahnya masyarakat bangsa-bangsa.
(Jakarta, 17 Agustus 1963)

PANCASILA adalah falsafah kebudayaan kami.

Jakarta, 17 Agustus 1963

Manifes ini segera mendapatkan sambutan dari pelosok tanah air. Di pihak lain, manifes itu
mempermudah Lekra beserta kampanyenya untuk menghancurkan orang-orang yang mereka
anggap sebagai musuh. Namun, pihak manifes pun tidak tinggal diam mereka
mempersiapkan konferensi pengarang yang mereka namakan Konferensi Karyawan
Pengarang Se-Indonesia (KKPI). Konferensi ini berlangsung di Jakarta bulan Maret 1964,
yang menghasilkan Persatuan Karyawan Pengarang Indonesia (PKPI). Tapi, sebelum PKPI
berjalan, Soekarno (presiden saat itu) menyatakan manifes kebudayaan terlarang. Para
budayawan, seniman, dan pengarang penandatanganan manifes kebudayaan diusir dari tiap
kegiatan, ditutup kemungkinan mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi
pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.

Perkataan ‘Manikebuis’ menjadi istilah populer untuk menuduh seseorang “kontra revolusi,
anti-manipol, anti-lisdek, anti-nasakom dan sebagainya. Majalah sastra dituntut dilarang
terbit. Demikian juga majalah Indonesia, dan lain-lain.

Situasi ini memberi ciri kepada karya-karya sastra yang dihasilkan period ini. Yang ingin
membela kemerdekaan manusia yang diinjak-injak tirani mental dan fisik. Sajak-sajak,
cerpen-cerpen, terutama esai-esai yang ditulis merupakan protes sosial dan protes terhadap
penginjakan martabat manusia. Puncaknya adalah sajak-sajak Taufiq Ismail, Mansur Samin,
Slamet Kirnanto, Bur Rasuanto, dan lain-lain yang ditulis ditengah demonstrasi mahasiswa
dan pelajar awal tahun 1966. Sajak-sajak demonstrasi yang dikumpulkan Taufik Ismail dalam
Tirani dan Benteng (tahun 1966) merupakan dari suatu period sejak tahun 1966, terbit
majalah Horison ynag dipimpin Mochtar Lubis, H.B Jassin, Taufiq Ismail, Goenawan
Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain. Akhir tahun 1967, majalah sastra dihidupkan
kembali dengan pimpinan redaksi H.B jassin, terbit pula majalah cerpen dipimpin Kassim
Achmad dan D.S Moeljanto. Sejak Juni 1968 terbit majalah Budaya Djaja yang dipimpin Ilen
Surianegara dengan redaksi Ajip Rosidi dan Hariyadi S. Hartowardjojo. Majalah-majalah itu
isinya menunjukkan hasil-hasil masa transisi.

3. Para Pengarang Lekra

Karangan-karangan yang ditulis oleh pengarang bukan anggota Lekra, asalkan


menguntungkan bagi pihak Lekra, maka karangan tersebut diterbitkan juga. Misalnya
kumpulan sajak Sitor Situmorang yang berjudul “Zaman Baru” tahun 1962 diterbitkan oleh
organ penerbitan Lekra.

Kecuali ruangan kebudayaan dalam surat kabar partai “Harian Rakyat” yang dipimpin oleh
NR. Bandaharo, Lekra mempunyai majalah “Zaman Baru” yang dipimpin oleh Rivai Apin. S.
Anantaguna dan lain-lain. Beberapa bulan menjelang Gestapu, mereka menerbitkan harian
“Kebudayaan Baru” yang dipimpin oleh S. Antaguna, yang dalam penerbitannya selalu
dimuat sajak-sajak, cerpen-cerpen, esai-esai dan karangan-karangan lain baik asli maupun
terjemahan karya para anggota Lekra atau bukan.
Paramoedya Ananta Toer yang merupakan salah seorang ketua lembaga seni sastra (Lekra)
dan salah seorang anggota pleno Pengurus Pusat Lekra, memimpin ruangan kebudayaan
lentera dalam surat kabar “Bintang” (timur) minggu yang resminya ialah koran Partindo.

Di antara golongan nama-nama baru yang untuk pertama kali menulis, ada juga nama-nama
yang sudah dikenal sebagai pengarang yang kemudian masuk Lekra. Nama-nama yang sudah
dikenal itu antara lain Rivai Apin, S. Rukiah, Kuslan Budiman, S. Wisnu Kontjahjo, Sobron
Audit, Utuy T. Sontanz Dadang Djiwapradja, paramoedya Ananta Toer dan lain-lain.

Di antara para penulis yang namanya sejak mulai muncuk selaku dalam lingkungan Lekra
ialah A.S, Dharta Bachtiar Siagin, bakri Siregar, Hr. Bandaharo, F.L. Risakorta, Zubir A.A,
A. Kohor Ibrahim, Amarzam Ismail Hamid, S. Anantaguna. Again Wispi, Kusni Sulang, B.A
Simanjuntak, Sugiarti Siswandi, Hadi S dan lain-lain.

AS Dharta alias Kelana Asmara, alias Klara Akustia alias Yogaswara alias Garmaraputra dan
sejumlah alias lagi nama sebenarnya ialah Rodji, lahir di Cibeber, Cianjur tanggal 7 Maret
1923. Ia seorang pendiri Lekra dan menjadi sekretaris jenderalnya yang pertama, ia pernah
menjadi anggota konstitutuante sebagai wakil PKI dan dipecat oleh Lekra. Sajak-sajaknya
diterbitkan dengan judul “Rangsang Detik” tahun 1957 dan karangan-karangan Polemis
dengan H.B Jassin dan lain-lain.

Bachtiar Siangin banyak menulis Sanoiwara, ia menerbitkan beberapa buku sandiwara,


diantaranya Lorong Belakang (1950). Agam Wispi lahir di Idi, Aceh tahun 1934. Mula-mula
menulis cerpen dan sajak, kemudian esai dan bentuk-bentuk sastra lain. Sejumlah sajaknya
dimuat juga dalam berbagai penerbitan bersama yang dikumpulkan dalam “sahabat” (1959).

S. Anantaguna (lahir di Klaten tanggal 9 Agustus 1930) mula-mula menulis sajak-sajak tetapi
kemudian menulis juga cerpen dan karangan-karangan lain. Sajak-sajak yang diterbitkan
dalam kumpulan “yang Bertanah Air Tapi Tidak Bertanah” (1964).

Sobron Aidit lahir di Belitung 2 Juni 1934 juga mula-mula hanya menulis sajak kemudian
juga menulis cerpen dan roman. Sajak-sajak awal (sebelum ia aktif menjadi anggota Lekra)
sebagian dimuat dalam kumpulan bersama Asip Rosidi dan S.M. Ardan berjudul “Ketemu di
Jalan” (1956). Sejumlah sajaknya dibukukan dalam palang bertempur (1959) sedangkan
cerpen dan novel revolusinya diterbitkan dengan judul Derap Revolusi (1962).

Hadi S. yang nama panjangnya ialah Hadi Sosrodanukusumo terutama menulis sajak yang
sebagian telah diterbitkan dengan judul “Yang Jatuh dan Yang Tumbuh” (1954).
Penyair Lekra diantara yang muda ialah Amarzan Ismail Hamid (lahir ?) yang kadang-kadang
juga menulis cerpen dan esai.

4. Para Pengarang Keagamaan

Yang mau menyaingi Lekra dalam bidang penerbitan buku-buku sastra barangkali hanya
Lembaga Kebudayaan Kristen (Lekrindo) saja. Beberapa buku kumpulan sajak dan cerita-
cerita karangan para pengarang Kristen yang pernah diterbitkan antara lain “Kidung
Keramahan” (1963) kumpulan sajak Soeparwata Wiraatmdja ‘Hari-hari Pertama oleh Gerson
Poyk, dan kumpulan sejak malam sunyi (1961) dan basah dan peluh (1962) kedua-duanya
buah tangan Fridolin Ukur.

Buku-buku karya sastra yang bernafaskan agama Islam tidaklah diterbitkan oleh lembaga-
lembaga atau badan-badan yang ada sangkut pautnya dengan lembaga-lembaga kebudayaan
itu kumpulan-kumpulan cerpen dan roman. Kumpulan cerpen dan roman Djamil Suherman
yang berdujul “Umi Kalsum” dan “Perjalanan Ke Akhirat” diterbitkan oleh penerbit
Nusantara. Kumpulan sajak M. Saribi Afn “Gema Lembah Cahaya” (1964) diterbitkan oleh
Pembangunan. Dan kumpulan sajak delapan orang penyair Islam yang berjudul “Manifes”
(1963 diterbitkan oleh penerbit Tintamas)”.

Sementara itu orang-orang Katolik mempunyai sebuah majalah bulanan kebudayaan umum
yang terbit di Yogyakarta, basis yang terbit sejak tahun 1951, tetapi baru pada paruh kedua
tahun lima puluhan memberikan perhatian dan tempat yang lebih banyak buat masalah sastra
dan karya-karya sastra.

Di antara para pengarang keagamaan lain yang telah menulis sajak-sajak dan cerpen-cerpen
yang dimuat dalam majalah-majalah. Tetapi belum menerbitkan buku, antara lain patut
disebut disini M. Abnar Romli, Abdulhadi W.M, B. Jass, M. Josa Biran, Moh. Diponegoro
dari agama Islam dan M. Poppy Hutagalung, Andre Hardjana, Satyagraha Hoerip Soeprobo,
Bakti Soemanto, J. Sijaranamual dan lain-lain dari agama Kristen dan Katolik.

5. Sajak-Sajak Perlawanan Terhadap Tirani

Para mahasiswa dan pelajar di Indonesia berdemonstrasi menuntut untuk membubarkan PKI,
ritual kabinet Dwikora dan turunkan harga, yang biasa disebut Tritura. Para pengarang dan
penyair pun turut serta secara aktif dengan cara menulis sajak-sajak perlawanan terhadap
tirani. Diantaranya adalah Tirani dan Benteng oleh Taufiq Ismail, perlawanan oleh Mansur
Samin, Mereka Telah Bangkit oleh Bur Rasuanto, Pembebasan oleh Abduk Wahid
Sitomorang, Kebangkitan oleh lima penyair mahasiswa Fakultas Sastra, Ribeli yang ditulis
oleh Aldiah Arifin, Djohan A. Nasution dan dua pengaduan Lubis, dan sajak-sajak yang lain.

Yang paling penting adalah kumpulan sajak Tirani yang tercetak pada tahun 1966 dan
Benteng tahun 1968.

Adanya protes sosial dan politik dalam sajak itu menyebabkan H.B. Jassin
memperoklamasikan lahirnya ‘Angkatan 66” dalam majalah Horison (1966), yang
mengatakan bahwa khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 ialah protes sosial dan protes
politik. H.B. Jassin mengatakan bahwa pengarang yang masuk “Angkatan 66” adalah mereka
yang pada tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan pada tahun 1966 berumur 25 tahun,
mereka adalah Ajip, Rendra, Yusach Ananda, Bastari Asnin, Hartoyo Andangdjaja, Mansur
Samin, Sarbini Afn, Goenawan Mohammad. Indonesia O’Galelano, Taufiq Ismail, Navis,
Soewardi Idris, Djamil Suherman, Bokar Hulasuhut”.

Terhadap ‘Angkatan 66’ ini timbul berbagai reaksi Rachmat Djoko Pradopo di Horison
(1967) menyambut ‘Angkatan 66” sastra Indonesia dengan baik, sedangkan Satyagraha
Hoerip Soeprobo dan Arief Budiman lebih menyukai nama ‘Angkatan Manifes
(Kebudayaan)”.

6. Beberapa Pengarang

a. B. Soelarto

Lahir tanggal 11 September 1936 di Purwarejo. Ia menulis cerpen yang penuh dengan protes
dan ejekan dan hanya catatan-catatan mengenai situasi politik dan sosial. Dramanya yang
berjudul Domba-Domba Revolusi mendapat reaksi dari orang-orang Lekra. Kemudian drama
itu ditulis dalam bentuk novel yang berjudul Tanpa Nama oleh Nusantara tahun 1963. Balai
Pustaka juga menerbitkan sramanya yang berjudul Domba-Domba Revolusi (1968).

b. Bur Rasuanto

Lahir di Palembang, 6 April 1937. Ia menulis sajak, esai dan roman. Tahun 1967 ia pergi ke
Vietnam menjadi wartawan Perang Harian Kami. Cerpen-cerpennya dikumpulkan dalam
Bumi Yang Berpeluh (1963) dan Mereka Akan Bangkit (1964). Sajak-sajaknya berjudul
Mereka Telah Bangkit diterbitkan dengan stensil. Romannya berjudul Sang Ayah (1969), dan
Manusia Tanah Air.

c. A. Bastari Asnin

Lahir tanggal 29 Agustus 1939 d Muara Dua, Palembang. Ia bekerja sebagai anggota redaksi
Harian Kami. Cerpen-cerpennya diterbitkan berupa buku dalam dua kumpulan yaitu
Ditengah Padang dan Laki-Laki Berkuda.

d. Satyagraha Hoerip Soeprobo

Lahir di Lamongan 7 April 1934, ia banyak menulis cerpen dan esai tentang kebudayaan.
Romannya Sepasang Suami Istri melukiskan kehidupan seorang suami politikus. Ia juga
pernah menulis buku berupa cerita wayang berjudul Resi Bisma. Tahun 1969, ia muncul
sebagai editor sebuah buku Antologi Eser Sekitar Persoalan-Persoalan Sastra yang memuat
esai karya Asrul Sani, Iwan Simatupang, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan lain-lain.

e. Gerson Poyk

Lahir di Namodale, Pulau Roti, 16 Juni 1931. Buku pertamanya sebuah roman pendek
berjudul Hari-Hari Pertama (1964). Ia menjadi wartawan surat kabar Sinar Harapan, Jakarta.

Pengarang-pengarang kita seperti Fas Siregar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul


Harmoni dan roman Terima Kasih. LC. Bach menerbitkan sebuah riman yang berjudul hari
Membaja. Djumri Obeng menerbitkan roman yang berjudul Dunia Belum Kiamat.
Poernawan Tjonsronagoro menerbitkan Mendarat Kembali dan Mabuk Sake. Rosidi Amir
menerbitkan Jalan yang Tak Kunjung Datat. Zen Rosidy menerbitkan cerpen berjudul Cinta
Pertama. Tabrin Tahar menrbitkan Guruh Kering. Maria Madijah menulis roman Kasih di
Medan Perang.
Di majalah Sastra dan Horison juga ada beberapa pegnarang baru, misalnya Zulidahlan,
Umar Kayam, Danarto, Muh. Fudali, Julius Sijaranamual, dan lain-lain yang belum mendapat
kesempatan untuk mencetak cerpen-cerpen mereka menjadi buku.

7. Beberapa Penyair

a. Taufiq Ismail

Lahir tahun 1937 di Bukit Tinggi dan dibesarkan di Pekalongan. Beliau mulai
mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esainya sejak tahun 1954. Baru pada
awal tahun 1966 ia muncul ke permukaan ketika karyanya berjudul “Tirani” berisi sajak-
sajak diumumkan di tengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar yang
menyampaikan “Tritura”. Dalam karyanya ini, beliau memakai nama samaran Nur Fadjar.
Sajak-sajak itu berjumlah 18 dan dituliskan dalam waktu seminggu, antara tanggal 20 dan 28
Februari 1966 dan diterbitkan pertama kali di Majalah Gema Psycholohi. Kali ini Taufiq
sudah terang-terangan mengumumkan namanya sendiri.

Antara tanggal 20 sampai 28 Februari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa-peristiwa penting.


Demonstrasi mahasiswa dan pelajar yang menuntut Tritura, uang diganti, bensin dinaikkan
harganya, ongkos bis kota dinaikkan lima kali lipat. Tanggal 24 Februari kabiner Dwikora
yang baru dan malah memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi akan ditantik.
Para mahasiswa dan pelajar bergerak. Bentrokan terjadi disertai penembakan. Arif Rahman
Hakim tertembak dan wafat. Hal ini menyebabkan para mahasiswa dan pelajar lebih marah
lagi. Pemakaman Arif Rahman Hakim dilakukan secara pahlawan dan orang yang mengiringi
jenazahnya pe pekuburan sangat banyak.

Latar belakang itu harus dipahami agar kita dapat menikmati sajak-sajak Taufiq Ismail dalam
Tirani yang menggugah rangsang emosional pembacanya secara meluas.

Peristiwa di Skeretariat negara (penembakan dan beberapa orang mahasiswa terluka)


direkamkan dalam sajak ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Harmoni’, ‘Jalan Segara’.
Penembakan Arif Rahman Hakim direkamkan dalam sajak ‘Karangan Bunga’, Salemba’,
‘Percakapan Angkasa’, ‘Aviasi’, dan ‘Seorang Tukang Rambutan pada Isterinya’.

Sajak-sajak yang dimuat dalam “Benteng” tak jauh beda dengan yang dimuat dalam “Tirani”.
Hanya dalam Benteng pikiran sudah lebih banyak bivara. Dalam sajaknya ‘Rendezvous’,
Taufiq yakin bahwa tugas yang ketika itu sedang dilakukannya ialah tugas sejarah yang tak
bisa dielakkan. Maka tujuan dan cita-cita yang lebih terperinci dirumuskannya dalam ‘Yang
Kami Minta Hanyalah’, ‘Refleksi Seorang Pejuang Tua’, ‘Benteng’, dan ‘Nasihat-nasihat
Kecil Orang tua pada Anaknya Berangkat Dewasa’.

b. Goenawan Mohamad

Dikenal sebagai penulis esai yang tajam dan penuh dengan kesungguhan. Tetapi ia pun
sebenarnya seorang penyair berbakat dan produktif. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam
majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian
manusia di tengah alam sepi tanpa kata banyak menjadi temannya, misalnya ‘Senja pun Jafi
Kecil, Kota pun jadi Putih’ (Horison 1966). Tetapi, ia juga menaruh perhatian kepada
masalah-masalah sosial dan kehidupan sekelilingnya. Misalnya sajak ‘Siapakah Laki-laki
yang Roboh di Taman ini ?’ (Basis 1964).

Juga masalah agama banyak menjadi tema. Situasi kehidupan agama menyebabkan ia
berpendapat : “………manusia tak lagi bebas, di mana agama bukan lagi merupakan
kekuatan rohaniah, tetapi sudah merupakan kekuatan jasmaniah yang mengontrol tindak
tanduk manusia. Manusia lama-kelamaan tidak lah menyembah Tuahn, tetapi menyembah
agama dengan segala aturan-aturannya yang mendetail”. Selanjutnya ia berkata: “Tak lain
adalah bersikap kreatif yang membawa kita ke arah cara berfikir yang dialektik, sehingga
segala macam ortodoksi setapak dmi setapak akan luntur, dekimian pula segala macam
fanatisme dan segala bentuk sektarisme. Bagi kehidupan keagaman itu sendiri sikap kreatif
itu amat diperlukan untuk membawa agama kearah modernisasi dalam cara berfikir dan
dengan demikian, juga modernisasi seluruh masyarakat” (Horison 1966).

Goenawan lahir di Pekalongan tahun 1942 sajak-sajak da esai-esainya belum diterbitkan


sebagai buku kecuali yang dimuat bersama buah tangan para penyair lain dalam manifestasi
yang diselenggarakan oleh M. Saribi Afn.

Penyair-penyair lain

Saini K.M (lahir di Sumedang pada tanggal 16 Juni tahun 1938) banyak menulis sajak-sajak
yang dimuat majalah-majalah sekitar tahun enam puluhan. Selain itu, beliau juga menulis
cerpen dan esai serta menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan bahasa daerahnya, bahasa
Sunda. Kumpulan sajaknya “Nyanyian Tanah Air” (tahun 1968) memuat sepilihan sajak-
sajaknya.

Sapardi Djoko Damono menulis sajak yang kesederhaan pengucapannya langsung


menyentuh hati. Sajak-sajak yang ditulisnya tahun 1967-1968 diterbitkan akhir 1969 dengan
judul “Duka Mu Abadi”.
Wing Kardjo Wangsaatmadja (lahir di Garut pada tanggal 23 April 1937) sudah menulis
sajak pertengahan tahun lima puluhan. Ia telah mengumumkan satu-dua sajaknya pada masa
itu. tetapi baru setelah ia bermukim di Paris (tahun 1963-1967), ia mengumumkan sajak-
sajaknya secara berlimpah. Selain itu, ia banyak menerjemahkan dan menulis esai dan kritik
tentang persoalan-persoalan seni umumnya.

Budiman S. Hartojo (lahir di Solo pada tanggal 5 Desember 1938) juga banyak menulis
sajak-sajak dalam berbagai majalah. Demikian pula Piek Ardiajnto Suprijadi, Arifin C. Noer,
Abdulhadi W.M, Indonesia O’Galelano, Sanento Juliman, Darmanto Jt, dan lain-lain.

Beberapa penyair telah berbahagia dapat melihat kumpulan sajaknya terbit, misalnya Kamal
Firdaus T.F menerbitkan “Di Bawah Fajar Menyingsing” (1965), dan Rachmat Djoko
Pradopo (lahir 3 Novemcber 1939 di Klaten) menerbitkan “Matahari Pagi di Tanah Air”
(1967) dan Slamet Kirnanto menerbitkan “Kidung Putih”, “Puisi Alit” (1967).

8. Para Pengarang Wanita

Titie Said, S. Tjahjaningsih, Titis Basino, Sugiarti Siswandi, Ernisiswati Nutomo, Enny
Sumargo, dan lain-lain sebagai pengarang prosa. Sedangkan sebagai penyair kita lihat
munculnya Isma Sawitri, Dwiarti Mardjono, Susy Aminah Aziz, Bipsy Soerharjo, Toeti
Heraty Noerhadi, Rita Oetoro dan lain-lain.

Titie Said (Ny. Titie Raja Said Sadikun) adalah seorang wanita yang banyak menulis cerpen.
Ia dilahirkan di Bojonegoro, 11 Juli 1935. Titie Said pernah menjadi anggota redaksi majalah
Wanita. Cerpen-cerpennya kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul “Perjuangan
dan Hati Perempuan” (1962). Sebagian besar dari cerpen-erpen yang dimuat dalam buku itu
mengisahkan perjuangan dan perasaan hati perempuan. Cerpen-cerpennya “Maria” dan
“Kalimutu” merupakan cerpen-cerpen terbaik yang dimuat dalam buku tersebut.

S. Tjahjaningsih muncul dengan sebuah kumpulan cerpennya “Dua Kerinduan” (1963).


Kebanyakan cerpennya belum meyakinkan kita akan kematangannya. Yang dia berikan tidak
lebih dari hanya harapan untuk masa depan.

Sugiarti Siswandi banyak menulis cerpen yang dimuat dalam lembaran-lembaran penerbitan
Lekra. Kumpulan cerpennya “Sorga di Bumi” terbit tahun 1960. Disamping itu masih banyak
lagi cerpen-cerpennya yang lain belum dibukukan.

Ernisiswati Hutomo banyak menulis cerpen yang antara lain dimuat dalam majalah Sastra.
Tetapi belum ada yang dibukukan. Demikian juga dengan Titis Basino yang menulis cerpen
dengan produktif dalam cerpen-cerpen Titis banyak dilukiskan sifat dan tabiat wanita yang
kadang-kadang tak terduga, merupakan misteri.

Enny Sumarjo (lahir di Blitar pada tanggal 21 November 1943) terutama banyak
mengumumkan buah tangannya berupa cerpen di daerah (Yogyakarta, Semarang). Kini ia
telah menrbitkan sebuah roman berjudul “Sekeping Hati Perempuan” (1969).

Susy Aminah Aziz (lahir di Jatinegara tahun 1939) telah berhasil menerbitkan sejumlah
sajaknya dalam kumpulan berjudul “Seraut Wajahku” (1961). Tetapi sajak-sajak itu tak lebih
dari pada hanya menjanjikan kemungkinan saja, seperti juga dengan sajak-sajak Dwiarti
Mardjono yang dimuat dalam majalah sastra.

Yang menulis sajak lebih dewasa dan lebih baik ialah Isma Sawitri dan belakangan ini Toety
Heraty Noerhadi. Isma Sawitri dilahirkan di Langsa, Aceh, tanggal 21 November 1940.
Sajak-sajaknya banyak dimuat dalam majalah Sastra, Indonesia dan majalah-majalah lain
pada awal tahun enam puluhan. Kumpulan kwatrinnya yang diberinya berjudul “Kwatrin”
terdiri dari lebih 100 buah, sedang menunggu penerbitannya. Sambil terus mengikuti kuliah
di jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta ia lama menjadi anggota
redaksi surat kabar Angkatan Bersenjata, kemudian pindah ke Pedoman.

Toety Heraty Noerhadi yang kalau menulis mempergunakan Toety Heraty, dilahirkan di
Bandung tahun 1934, baru mulai mengumumkan sajak-sajaknya pada tahun 1967 dalam
Horison. Ia merupakan seorang sarjana psikologi yang disamping menulis sajak juga menulis
esai.

9. Drama

Penulisan drama pada masa dulu lebih banyak dimaksudkan sebagai drama bacaan, sedang
drama baru lebih erat hubungannya dengan pementasan. Para penulis drama kebanyakan
ialah orang-orang yang aktif dalam bidang pementasan, baik sebagai sutradara maupun
pemain. Contoh pengarang drama:

1. Mohamad Diponegoro seorang ketua group drama teater muslim di Yogyakarta. Contoh
karyanya antara lain : Iblis, Surat pada Gubernur. Dia juga dikenal sebagai penulis cerpen dan
penerjemah ayat-ayat Alquran secara puitis. Namun sampai sekarang karnyanya belum
diterbitkan.
2. M. Yunan Helmy Nasution ketua Himpunan Seniman Budayawan Islam (HSBI).
3. Saini K.M seorang penyair juga pemain teater Perintis Bandung.
4. B. Soelarto dengan karyanya Domba-domba Revolusi.
5. Arifin C. Noer aktif di teater Muslim dan group drama di Yogyakarta tahun 1968 dia
pindah ke Jakarta dan membentuk Teater kecil.dua aktif sebagai sutradara dan pemain. Ia
banyak menulis sajak, drama, kritik dan esai. Bahkan dramanya yang berjudul “Matahari di
sebuah Jalan Kecil” dan “Nenek Tercinta” mendapat hadiah sayembara penulisan drama
teater Muslim tahun 1963.

10. Esai

Pada angkata 45 para penulis esai dapat dihitung dengan jari. Setelah itu bermunculan
penulis-penulis esai dan yang paling dikenal Iwan Simatupang. Dia banyak melontarkan
gagasan-gagasan dan perspektif-prespektif baik. Namun esai-esai yang ada dalam malajah-
majalah yang pertama memuatnya hampir semua terbenam. Kumpulan esai tentang persoalan
sastra telah diterbitkan oleh Setyagraha Hoerip Soeprobo dengan judul “Antologi Esai sekitar
persoalan Sastra (1969).

Diposkan oleh IKIPPGRISEMARANG di 16:03 0 komentar


Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langgan: Entri (Atom)

Anda mungkin juga menyukai