Anda di halaman 1dari 70

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kritik terhadap modernisme diinspirasikan oleh pengalaman paradoksal manusia akan kondisi
modern dunia tempatnya hidup. Narasi yang melegitimasi keberadaan modernisme, yaitu
tentang humanisme yang berpangkal pada otonomi individu menemui kontra narasinya dalam
fakta dehumanisasi. Awalnya manusia yang telah dibabtis oleh air pencerahan merasa menjadi
manusia merdeka yang dapat mengaktualisasikan diri tanpa hambatan dari logika
transendental-surgawi seperti di masa Abad Pertengahan (Kegelapan) ataupun logika
barbarisme dan vandalisme seperti di masa nenek moyang mereka. Kemudian perasaan itu
mengobarkan kepercayaan diri manusia untuk menjadi penguasa atas dirinya sendiri dan bumi
tempatnya hidup. Dimensi poesis manusia mulai berkembang dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup material dan kemakmuran. Selanjutnya manusia asyik terbenam dalam
samudra kemudahan sekular-teknologis. Manusia menatap dan mengalami pesona kemudahan.
Logika instrumental-teknis menjadi logika dominan manusia modern untuk menjalani hidup.
Positivisasi ilmu pengetahuan dan empirisasi pengalaman hidup manusia dijalankan demi
proyek modernisasi. Rasionalitas menjadi tuhan manusia modern, sedangkan kapitalisme
menjadi tuhan lain yang memberi kehidupan (kemakmuran). Mitos yang bersifat spekulatif
(contohnya ramalan yang dulu pernah populer seperti orakel Delphi, dan dongeng-dongeng
tentang malaikat serta dewa-dewa) menjadi musuh terbesar modernitas, maka perlu usaha
mendemitologisasikannya. Pencerahan menyemangati modernitas yang menjadi proyek
pemunahan segala kegelapan Jaman Pertengahan. Akhirnya modernitas membawa
kemakmuran serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia dituntun pada jaman
baru. Namun demikian, pada titik ini modernitas menciptakan penjajahan baru bagi dimensi dan
bagian hidup yang lain dari manusia. Gambaran Charles Dickens dengan tokohnya Oliver Twist
menjadi gambar hidup penjajahan ini, terutama selama Revolusi Industri di Inggris. Kritik Karl
Marx yang secara eksplisit mendeskripsikan kepahitan kaum buruh dan kritik Nietzsche yang
mencoba untuk menggoyahkan dasar-dasar modernitas yang rapuh menjadi gambar a irmatif
adanya penjajahan ini. Di belahan bumi lain, yang kemudian dikenal sebagai dunia ketiga,
kolonialisme dan eksploitasi sumber daya dilakukan demi kemajuan modernitas.

Diawali kritik Marx yang fenomenal, manusia modern sedikit demi sedikit menyadari
keterasingan dari dunia dan dimensi hidupnya sendiri. Manusia mulai menyadari paradoksitas
pencerahan (termasuk ambiguitas dan kontradiksinya). Dan sampai saat ini kritik terhadapnya
terus berlanjut dan berkembang. Semakin kompleks kadar "modernisme" hidup manusia,
semakin kompleks dan tajam pula kritik yang diajukannya. Di awal abad XX sampai awal
millenium ketiga ini menjadi waktu yang signi ikan bagi kritik tersebut.

Kondisi modern dapat dibentangkan dalam dua potret besar. Bentangan yang dilakukan Peter
Wagner dalam bukunya yang mewacanakan modernitas (berjudul A Sociology of Modernity,
Liberty and Discipline) membantu kita untuk memahami epistemologi kritis terhadap
modernistas. Potret yang pertama adalah potret mengenai modernitas yang begitu sarat akan
diskursus mengenai pembebasan manusia (discourse of liberation). Dalam diskursus ini manusia
membicarakan otonomi dirinya di segala aspek kehidupan meliputi aktualisasi diri, partisipasi
politik-ekonomi serta kesadaran diri sebagai subjek kehidupan. Otonomi individu menjadi
pedoman dasar dalam menginterpretasikan kehidupan manusia secara personal serta sosial.
Masyarakat manusia modern menjadi masyarakat yang mengedepankan otonomi individu,
bukan otonomi mutlak gereja atas individu (gereja di zaman Pertengahan mempunyai otoritas
mutlak terhadap individu).
Keberadaan masyarakat dilegitimasikan oleh kehendak bebas individu untuk bersosialisasi dan
bukan kehendak ilahi yang diwakili gereja. Saat itu, Civitas Dei mulai digeser menjadi civitas
rasionalis yang berdasarkan kontrak individu atau kehendak bebas para individu yang otonom
dalam bersosialisasi. Potret pertama yang sedemikian menjadi latar bagi potret selanjutnya.
Potret kedua menggambarkan sisi lain dari otonomi yaitu pendisiplinan atau discourse of
disciplinization. Dalam pendisiplinan ada keterikatan (ketidakbebasan) yang dikehendaki oleh
masyarakat yang berkeinginan merawat dan menjaga kontrak sosial yang dipandang telah
memungkinkan tercapainya kemajuan dan kemakmuran. Masyarakat bercita-cita
mempertahankan kontinuitas kemakmuran linier dalam masyarakat kontrak. Mulailah kontrak
sosial yang telah menciptakan masyarakat rasional dan yang dirasakan menjadi media kondusif
bagi cita-cita progresif modernitas dijaga serta dijadikan pedoman dalam bersikap-tindak.

Dalam titik sejarah ini ada tarik-menarik antinomis antara self-ruled sebagai konsekuensi adanya
otonomi individu dan being-ruled kelanjutan dari adanya cita-cita kontinuitas kontrak sosial. Ide
self-ruled menggambarkan betapa manusia yang otonom dapat mempertanggungjawabkan
tindakannya, tanpa determinasi sosial. Karena itu, tidak perlu diadakan sebuah institusi formal
yang menjaga kelangsungan kontrak sosial. Otonomi individu memunculkan responsibilitas
manusia dalam bertindak baik secara personal maupun sosial. Ide being-ruled membentangkan
gambaran manusia yang cenderung menciptakan situasi bellum omnium contra omnes, sehingga
perlu Sang Leviathan (penguasa totaliter) yang menjaga ketertiban daya antinomis tadi. Ide ini
memunculkan keyakinan bahwa manusia harus terikat pada realitas lain yang mengatur dan
mendamaikan peperangan. Dialektika antinomis menemukan jawabnya dalam dua tataran
wacana. Dalam tataran wacana struktural institusi hukum dan juga penegaknya mengakomodasi
pertemuan daya antinomis tadi. Dalam sejarah pemunculan negara, institusi ini lahir dalam
bentuk bangunan-hukum negara, hukum-hukum dan aparatnya. Sedangkan dalam tataran
kultural wacana normatif dan seni menjadi media diskursif bagi daya tarik-menarik antinomis
ini. Namun demikian, kemunculan institusi hukum formal tidak menjamin dialektika berhenti.
Dialektika antinomis tadi tetap berjalan seiring kompleksitas individu dan masyarakat modern
yang terus berkembang. Bagi Wagner, hal ini menjadikan ambiguitas dalam hidup manusia,
ambiguitas yang secara potensial memunculkan paradoks modernitas yang telah dikritik
Charles Dickens, Marx, dan Nietzsche.

Kritik terhadap modernitas gencar dilakukan di penghujung awal abad 20 terutama di sekitar
peristiwa krisis ekonomi dunia dan Perang Dunia II. Nama-nama seperti Adorno, Hokheimer,
Hannah Arendt dan Daniel Bell menjadi contoh orang-orang yang melakukan kritik di era
tersebut, tentu tanpa meninggalkan Durkheim, Marx dan Weber yang telah melegenda dan
menjadi kritikus di era sebelumnya. Di era penerus kritik terhadap modernitas sekitar masa
sesudah PD II dan tahun 1950 sampai 1960, kita mengenal Habermas, Louis Althusser, Lacan,
dan Foucault yang dapat ditengarai dalam perbincangan antara modernisme dan post-
modernisme. Kesemua kritikus menempatkan modernitas sebagai tatapan re leksi mereka.

Dalam haru biru perbincangan dan kritik atas modernitas kita dapat menemukan wacana kritis
terhadap hukum modern yang menjadi bagian dari perkembangan modernitas dan diskursus
atasnya. Ia muncul setelah wacana tentang modernitas (terutama ilmu sosial dan ilsafat) secara
luas diperbincangkan. David M. Trubek dan Marc Galanter mencatat bahwa wacana mengenai
hukum selalu mengikuti mainstream wacana yang ada. Mereka mencontohkan bidang studi
hukum dan pembangunan yang populer di Amerika tahun 1950-an yang muncul bersamaan
dengan wacana developmentalisme di dunia ketiga setelah sebelumnya Parsons mengajukan
dalil fungsionalismenya dan menjadi tema utama pemikiran karena dianggap memberi jalan
keluar bagi krisis yang dialami dunia (terutama krisis ekonomi). Wacana ini dikembangkan oleh
Amerika dalam rangka mengukuhkan kapitalisme-nya di negara-negara yang baru saja
terbentuk (merdeka) seperti Indonesia.
Dengan pengembangan tersebut diharapkan bahwa sistem kapitalisme dunia semakin mantap
karena adanya fungsi-fungsi kapitalisasi yang lebih holistik dan fungsionalis, dari negara dunia
pertama sampai dengan dunia ketiga diarahkan untuk membangun dan memperkuat sistem
kapitalisme berdasarkan fungsi keberadaan masing-masing. Pembangunan-isme muncul dan
semua wacana ilmiah termasuk hukum ikut mendukung keberadaan ideologi ini. Hukum secara
ilmiah dan praktis serta pragmatis mendukung kapitalisasi Amerika. Bersama dengan fakta
ilmiah itu juga mereka menunjukkan betapa hukum tidak dapat lepas dari kepentingan
(golongan) yang ada dalam masyarakat. Di masa yang berbeda, L.M. Friedman mencatat keadaan
yang menyedihkan masyarakat Amerika akibat penyakit legalisme yang mereka derita.
Friedman menggambarkan hukum telah menjajah hidup keseharian masyarakat Amerika,
sehingga dalam bertindak mereka tidak dapat melepaskan diri dari aturan-aturan formal
legalistis. Pengacara menjadi kebutuhan pokok masyarakat dalam bersosialisasi. Kemampuan
komunikasi masyarakat (Amerika) semakin lemah. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa
hukum telah menjadi komoditi unggulan industri kapitalis yang sekaligus menunjang
keberadaannya. Hukum menjadi senjata rekayasa sosial yang sangat efektif mengendalikan
manusia dan masyarakat. Dalam hal ini, gambaran Friedman menjadi sisi lain paparan Trubek
dan Galanter bahwa hukum tidak dapat melepaskan diri dari wacana modernitas dan bahkan ia
bergantung pada ideologi kapitalisme yang begitu industrialis.

Pandangan serupa Trubek, Galanter dan Friedman diutarakan pula oleh Michel Foucault seorang
ilsuf dan sosiolog Prancis. Berbeda dengan ketiganya Foucault melihat hukum dalam kerangka
episteme perkembangan masyarakat yang lebih luas dan kronologis seperti layaknya seorang
sejarawan. Ia mempelajari perkembangan sejarah hukum yang berkaitan dengan penghukuman
publik (kriminalitas) dan pelaksanaannya di Eropa dari abad 17 sampai dengan abad 20
sehingga memperoleh kesimpulan bahwa hukum menjadi instrumen kapitalisme dan
industrialisme untuk merekayasa masyarakat dalam idea komoditas yang melingkupi nilai guna
dan nilai tukar dari individu. Rekayasa tersebut menciptakan masyarakat karseral atau
pemenjaraan yang dinominasi oleh paradok modernisme seperti objektivikasi dalam
subjektivikasi (kedua istilah ini digunakan Foucault untuk memetaforakan makna pembedaan).
Maka bila Trubek dan Galanter hanya menyoroti ketergantungan hukum pada wacana
kapitalisme dan Friedman hanya melihat masyarakat yang telah dikolonisasi oleh hukum,
Foucault mencermati hukum yang tumbuh dan berkembang dalam buaian kapitalisme sehingga
membuat masyarakat hidup dalam penjara legalitasnya. Dalam titik ini terlihat wajah hukum
yang dibentuk oleh semangat kapitalis-industrialisme, dan wajah masyarakat yang dijajah oleh
aturan-aturan hukum.

Pandangan Foucault atas hukum tidak dapat dilepaskan dari pandangan Marxian tentang hukum
dan kapitalisme modern. Perspektif Marxian melihat bahwa hukum modern muncul bersamaan
dengan lahirnya negara bangsa. Ia lahir dari keinginan untuk menciptakan kontinuitas
masyarakat modern. Lahirnya negara dan adanya keinginan tersebut tidak sepenuhnya berasal
dari totalitas manusia yang hidup di Masa Pencerahan, tetapi hanya sebagian orang yang
mempunyai kepentingan terhadap kontinuitas seperti para pengusaha dan penguasa. Maka,
negara dan aparatnya yang membentuk dan melaksanakan hukum mustahil dapat memecahkan
permasalahan penentuan kriteria dari "yang lain" untuk tiap individu. Hukum dalam pengertian
ini berpihak pada kepentingan individu-individu yang secara sosial (dan kapital) kuat, sehingga
penyelesaian kon lik bersifat parsial (sepihak); begitu pula dengan penentuan kriteria dari
"yang lain" untuk masing-masing individu dalam masyarakat yang bersangkutan. Dengan
demikian, hukum yang tidak bebas nilai tersebut tidak dapat menyelesaikan permasalahan
paradok modernitas. Hukum menjadi alat bagi yang "empunya" modernitas (dapat dibaca pula
kaum kapitalis) untuk merealisasikan kepentingannya. Fakta dehumanisasi yang dihadapi
manusia modern sehingga memaksanya untuk menatap paradoksitas (ambiguitas) modern
menjadi penjelas bahwa hukum menjadi alat bagi penguasa negara untuk merealisasikan visi
dan misinya. Di zaman Hitler hukum yang berlaku adalah hukum Nazi yang membolehkan
pembunuhan orang-orang Yahudi. Sedangkan bagi kita di masa Orde Baru, hukum yang berlaku
adalah hukum yang membolehkan penghancuran secara sistematis manusia yang dilabeli
komunis. Dalam aras ini, hukum adalah alat kuasa.

Studi Michel Foucault tentang sejarah penghukuman dalam Discipline and Punish
menggambarkan secara jelas bahwa hukum hanyalah alat bagi penguasa untuk menundukkan
orang-orang yang dikuasainya agar mempunyai kesadaran "yang sama" dengan penguasa
(dibuat seragam dengan kepentingan penguasa) sehingga patuh dan berguna. Penguasa
diletakkan oleh Foucault dalam kerangka episteme modern yang begitu identik dengan
kapitalisme. Hukum mengikuti kaidah ekonomi kapitalis dalam mengatur dan menghukum
masyarakat. Semakin lama, hukum dan realisasi dirinya dalam sanksi, semakin efektif dan
e isien. Hukum diletakkan dalam rangka kegunaan berkaitan dengan prinsip-prinsip kapital.
Dalam infrastruktur kapital, mesin-mesin industri mengalami kemajuan begitu pula dengan
strategi penghukuman, semakin berkembang, cerdik dan menyebar secara taktis dalam tubuh
masyarakat sehingga masyarakat patuh pada hukum-hukum kapital. Hukum berkembang
sebagai kuasa pendisiplinan dalam pabrik-pabrik kapitalis. Hukum yang semula berkaitan
dengan penghukuman isik para penjahat dan pelaku kriminal, menjadi hukum yang juga
mengatur hal-hal kecil dan dunia kehidupan manusia (life world). Ada penjajahan atau kolonisasi
hukum dalam hidup manusia sehari-hari (everyday life). Hidup manusia sehari-hari menjadi
pabrik kecil yang mendukung pabrik rakasasa kapitalisme dunia.

Pandangan Foucault tersebut mempunyai akar dalam pesimismenya tentang modernitas (kritik
satir-sinistis a la Foucauldian tentang modernisme). Foucault melihat modernisme yang
dilahirkan oleh semangat pencerahan hanyalah ilusi sementara ilsuf, pemikir dan kaum
kapitalis saja. Manusia yang memproklamirkan diri merdeka dan menjadi subjek atas hidupnya
hanya bermimpi, karena oleh mekanisme penguasaan kapitalistik mereka menjadi objek.
Mereka tidak sadar bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan seperti psikologi justru membuat manusia
menjadi objek. Ketidaksadaran manusia akan objektivikasi modernisme membuat manusia
mati. Foucault memproklamirkan kematian manusia (subjek) dalam alam kapitalistik, manusia
seperti layaknya benda-benda yang tidak memiliki dunia kehidupan (life world). Jadi setelah
Nietzsche menggaungkan kematian Tuhan, kemudian Foucault menggemakan kematian
manusia. Lalu apa arti modernisme yang menghasilkan kemajuan IPTEK bagi Foucault? Tidak
berarti apa-apa. Bagi Foucault kemajuan itu hanyalah perubahan episteme dari jaman ke jaman,
bukan kemajuan akumulatif seperti yang sering didengungkan oleh kaum kapitalis.

Di awal tulisan ini telah banyak dipaparkan deskripsi atas kritik yang dilontarkan terhadap
proyek modernisme yang memunculkan paradoksitas hidup manusia, begitu pula kritik
terhadap salah satu institusi modern yaitu hukum. Pertanyaan yang muncul setelah membaca
paparan di atas, selanjutnya, berkaitan dengan signi ikansi paparan wacana ini.

Karya tulis ini berusaha untuk mengajukan sebuah perspektif kritis tentang modernitas dan
hukum. Kritik ideologi terhadap hukum menjadi perhatian karya ini. Maka, di awal wacana coba
disajikan kritik yang menggambarkan krisis proyek modernisme. Kritik Foucault yang
dekonstruktif terhadap hukum dan episteme-nya yaitu modernisme dijadikan tatapan radikal
dalam rangka mencermati kritik terhadap modernitas. Melalui pewacanaan mengenai
modernitas yang dibawa Foucault pengalaman paradoksal manusia dibawa ke titik yang ekstrim
dalam merenenungi keberadaan manusia modern. Manusia diajak merenungkan fenomena
modernitas dalam aras perenungan Marxian dan Nietzschean, perenungan yang terentang
antara titik ektrim materialistis ke titik ekstrim meta isis. Dengan demikian, masalah
modernitas yang menyangkut dimensi struktural dan kultural dapat disikapi dan ditanggapi
secara dewasa, karena re leksi dalam rangka kritik berlangsung dari satu dimensi satu ke
dimensi yang lain yang saling berhadapan, seperti dunia ideal dan praktek. Institusi hukum yang
hadir mencoba menanggapi paradok modernitas pun dapat diposisikan secara proporsional ke
dalam dua dimensi tersebut. Inilah pendirian epistemologis mendasar mengapa re leksi
Foucauldian yang dikemukakan padahal ada begitu banyak re leksi terhadap hukum dan
modernitas seperti yang dilakukan Trubek, Galanter dan Friedman. Tentu saja, masalah hukum
dalam proyek modernisme tidak begitu saja dapat diselesaikan setelah mencermati kajian ini.
Banyak sudut re leksi yang harus diambil dan banyak dimensi yang harus dicermati untuk
menjawab permasalahan modernisme. Perspektif Foucauldian hanyalah satu pernyataan dalam
semesta pernyataan dalam wacana diskursif tentang modernisme. Karena itu, kajian kritis
terhadapnya perlu dilakukan, karena bila hanya dijadikan tatapan tanpa ada usaha untuk
mengkritisinya maka usaha kritik atas modernisme dinegasikan dengan sendirinya. Bila
pandangan Foucault yang pesimistik tentang hukum dan modernisme diterima secara wantah
bukankah ada kecenderungan munculnya sikap apatis terhadap dunia kehidupan? Namun bila
terlalu optimis bukankah hal itu pun terlalu naif? Maka kajian terhadap wacana kritis
Foucauldian sebagai salah satu wacana dalam semesta wacana diskursif -yang
memproklamirkan tentang gagalnya proyek modernitas termasuk hukum dalam menanggapi
dan menyikapi ambiguitas proyek itu- perlu dilakukan. Manusia modern sebagai subjek hukum
yang mati perlu direnungkan secara bening. Begitu pula tentang episteme keberadaannya.

B. Pokok Kajian

Pokok kajian karya tulis ini adalah perspektif Foucauldian dalam melihat hukum sebagai fakta
sosio- iloso is. Jadi, kajian karya tulis ini bukanlah kajian yuridis, tetapi kajian sosio- iloso is
tentang hukum. Karena itu melihat atau mere leksikan konteks tempat keberadaan hukum
menjadi perhatian utama dan memang karya tulis ini tidak akan mengkaji hukum dalam arti
yang spesi ik atau positif, namun mengkaji konteksnya. Ada dua pertanyaan mendasar yang
perlu diajukan dalam rangka mengkaji perspektif Foucauldian. Yang pertama merupakan
pertanyaan mengenai raison d'etre pengambilan perspektif Foucauldian sebagai titik api kajian.
Mengapa keprihatinan (asumsi-asumsi epistemologis keprihatinan) Foucauldian atau
perspektif Foucauldian yang dikaji? Yang kedua adalah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
kritik ideologi terhadap hukum yaitu: deskripsi Foucault tentang krisis proyek modernisasi
(pencerahan) dan re leksi kritisnya tentang hukum. Apa yang diutarakan berkaitan dengan
kritik atas modernitas? Dan, bagaimana hukum dilihat oleh Foucault? Jadi, pertanyaan kedua
menyangkut substansi pemikiran Foucault tentang hukum modern.

1. Mengapa Perspektif Foucauldian?


Foucault yang meninggal di Paris 25 Juni 1984 karena AIDS membekaskan kenangan yang
mendalam pada wacana modernitas. Gayanya mempunyai andil yang besar dalam mewarnai
tradisi pemikiran kritis di awal abad 20. Bersama Levi Strauss, Jacques Lacan dan Roland
Barthes ia menjadi pilar strukturalisme Prancis. Mereka sering disebut Gang of Four. Ia pula
menjadi salah satu orang yang dilabeli sejarawan Annales, aliran pemikiran historiogra i
progressif di Prancis. Dan dalam wacana modernisme ia dikenal sebagai peragu kesanksian
baik ideologis maupun epistemologis akan narasi agung waktu dan tempat mengada
modernitas sebagai realisasi proyek pencerahan yang memiliki narasi agung itu sebagai
pelegitimasi keberadaannya. Ia masuk ke dalam barisan post-modernisme bersama Derrida
dan Lyotard yang dilabeli sebagai seorang anti-fundasionalisme, anti-generalisasi dan anti-
kemapanan. Sedangkan oleh Habermas, yang menjadi lawan sengit diskusinya, Foucault
dijuluki sebagai ilsuf yang berpengaruh terhadap Zeitgeist (semangat zaman). Tentu hal
terakhir ini adalah pengakuan yang begitu rendah hati dari seorang pembaharu teori kritis
mazhab Frankfurt.

Seperti kebanyakan ilsuf-sosial, pemikiran Foucault mengenai hukum diwarnai sangat


dominan oleh warna sosio- iloso is, bukan yuridis. Hukum dalam perbendaharaan
pemahamannya adalah hukum yang secara sosiologis tergantung pada masyarakat. Realisme
begitu dominan dalam menentukan batas-batas pengertian hukum sehingga naturalisme
hukum (mazhab hukum kodrat) dikebelakangkan. Kita tidak dapat menemukan otonomi
hukum dalam pemikiran Foucault. Kita tidak dapat menemukan keadilan sebagai kenyataan
yang ada dalam dirinya sendiri, keadilan selalu bergantung pada masyarakat. Dan masyarakat
bukanlah entitas yang terbentuk dari adanya kontrak sosial, melainkan relasi kuasa mikro
yang begitu strategis. Episteme yang diselidiki Foucault dengan metode arkeologi (historis
kritis) memberikan igura pada pende inisian hukum serta gambaran yang jelas betapa
masyarakat dibangun oleh jaring-jaring penguasaan dan bukan perjanjian suci untuk
berdemokrasi. Maka, hukum dan aparat penegak atau pelaksananya adalah institusi
penguasaan dalam masyarakat.

Pandangan Foucault tentang hukum sedemikian itu terlihat dalam catatan diskusinya dengan
para aktivis Maoist. Pada awal diskusi Foucault memberikan hipotesis bahwa pengadilan
bukanlah ekspresi kodrati dari sebuah keadilan populis, tetapi sebuah institusi historis yang
menjerat (menjaring), mengkontrol dan mencekik keadilan populis tersebut. Kaum Maoist
membenarkan hipotesis Foucault secara partikular dan kontekstual. Bagi mereka hipotesis
Foucault benar sejauh pengadilan tersebut menjadi alat bagi kaum borjuis untuk merepresi
kaum proletar atau populi. Foucault menanggapi pernyataan kaum Maoist dengan
mempertanyakan kembali apakah pengadilan yang digunakan rakyat (pengadilan
rakyat/pengadilan jalanan) benar-benar netral sehingga dapat menjamin keadilan yang sejati.
Foucault melihat bahwa dalam kasus tersebut massa-lah yang menjadi pengadilan yang
sekaligus sebagai pengantara untuk menyampaikan kepentingan pribadi yaitu rasa dendam
yang harus segera dilampiaskan. Jadi, pengadilan itu terlepas dari adil dan tidak adil. Bagi
Foucault pengadilan tetap menjadi alat kuasa walaupun pengadilan itu dilakukan oleh rakyat.
Sedangkan kaum Maoist melihat pengadilan yang dilakukan rakyat menjamin rasa keadilan.
Kedua partisipan diskusi (Foucault dan para Maoist) tetap bersikukuh pada hipotesisnya
masing-masing sepanjang diskusi. Tiada kesepakatan akan hasil diskusi.

Tampak bahwa Foucault melihat pengadilan sebagai representasi adanya sistem hukum
positif yang menjadi agen penguasaan manusia atas manusia. Tidak hanya pengadilan yang
dilihat Foucault sebagai institusi penguasaan. Semua organ sosial bagi Foucault menjadi
institusi penguasaan yang membuat manusia terpola dalam jaring-jaring kekuasaan yang
strategis. Relasi penguasaan terdapat dalam relasi sosial manusia yang paling mikro. Tidak
bisa tidak, manusia saling menguasai. Bila ingin melepaskan diri dari relasi penguasaan
manusia harus menghancurkan institusi sosial yang ada. Namun, dapatkah hal tersebut
terjadi? Dalam hal ini Foucault membicarakan kuasa dalam aras Nietzschean. Bila Nietzsche
menggambarkan "will to power" sebagai semangat hidup manusia yang kodrati, maka Foucault
menambahkan istilah "will to truth" sebagai kodrat semangat hidup manusia yang ada di
zaman modern. Yang dibutuhkan untuk menyikapi kehendak tersebut adalah mengatakan ya,
tanpa preservasi (tanpa syarat). Manusia tidak dapat berbuat apa-apa dengan kehendak
tersebut. Maka, manusia harus mengamini kodrat tersebut. Tidak mengherankan bila dalam
buku-bukunya baik yang menggunakan metode penelitian arkeologi (kita dapat
menamakannya historis kritis) maupun genealogi, Foucault menggambarkan sejarah
penguasaan manusia atas manusia. Episteme-episteme yang dipetakan Foucault
memperlihatkan sejarah itu.
Pemahaman Nietzschean tadi menghantar Foucault pada pende inisian kuasa secara
meta isis. Namun hal ini tidak membuat Foucault berhenti pada pemahaman Nietzschean.
Dengan perspektif Nietzschean ia masuk ke dalam analisis Marxist mengenai kuasa
kapitalisme yang begitu identik dengan modernitas. Foucault bicara mengenai kuasa kapital
yang merasuk dalam tubuh masyarakat sehingga membuat sejarah penguasaan manusia
menjadi sejarah penguasaan kapitalistis, seperti Marx yang juga mengatakan bahwa sejarah
masyarakat adalah sejarah penguasaan kapital dalam rangka surplus value yang kontinyu di
pihak para kapitalis (borjuis). Tema ini terlihat dalam karya-karya Foucault seperti Discipline
and Punish, The Birth of The Prisson dan History of Sexuality, An Introduction, Volume I. Tetapi
analisis Foucault jelas berbeda dengan Marx, karena basis epistemologis kedua orang ini yang
berbeda. Foucault menyandarkan diri pada kuasa yang meta isis sebagai wujud dari will to
truth, sedangkan Marx membasiskan diri pada basis material manusia yaitu ekonomi. Marx
mendikotomikan dunia infrastruktur (ekonomi, industri, dan lain-lain) yang begitu
berpengaruh dan dunia suprastruktur (ideologi, paham, teori dan lain-lain) yang dipengaruhi,
serta kelas borjuasi atau pemilik modal dan kelas proletar yang tidak memiliki modal, hanya
tenaga untuk bekerja. Akibat dari analisis ini, Marx memahami kuasa berasal dari kaum
borjuis, pemilik modal, sedangkan kaum proletar selalu dikuasai (tidak punya kuasa). Pusat
kuasa adalah kaum borjuis. Foucault tidak mendistingsikan kuasa seperti Marx. Baginya kuasa
berasal dari mana saja baik dari kelas borjuis maupun proletar (omnipresence). Kuasa tidak
bergantung pada pemilikan akan kapital, karena kuasa adalah kehendak untuk mencapai
kebenaran (kehendak untuk berkuasa juga) dan setiap orang hidup memiliki kehendak itu,
maka kuasa ada dan dimiliki tiap manusia dalam relasi dengan manusia lain. Mikro-biologi
kekuasaan a la Foucault ini membuat wacana Marxist yang dibawanya masuk ke dalam tataran
meta isika penguasaan. Dengan demikian, yang disoroti oleh Foucault bukan lagi kuasa modal
isik tetapi kuasa modal meta isis yaitu ideologi kapitalisme. Hal ini mengandaikan adanya
keterkaitan erat antara pengetahuan dan kuasa. Kuasa dan pengetahuan berada dalam relasi
yang sinergis bukan sub-ordinatif seperti dalam pengertian Marx. Kuasa dan pengetahuan
memetakan relasi manusia dalam tingkat mikro secara strategis dalam jaring-jaring ideologi
kapitalisme. Jadi dalam memandang kuasa kapital pandangan Foucault selaras dengan
pandangan Marx yaitu bahwa masyarakat manusia dikuasai oleh prinsip-prinsip kapitalisme,
hanya kuasa itu bagi Foucault menjerat seluruh manusia dalam relasi strategis yang
kapitalistis karena dimiliki dan dia irmasi oleh berbagai pihak. Sedangkan Marx memahami
kuasa berasal dari kelas pemilik modal, dan pengetahuan ditentukan oleh kepentingan kapital
yang bersangkutan.

Dalam titik ini terlihat kerumitan pemikiran Foucault yang berusaha menarik wacana
kapitalisme yang begitu materialistis ke dalam tataran meta isis, bahkan oleh banyak kritikus
Foucault, hal tersebut dilihat sebagai inkonsistensi dari cara berpikir Foucault. Foucault dicap
sebagai orang yang tidak taat asas dalam berpikir. Rigoritas epistemologis yang dipertahankan
dan diakui kehebatannya sejak zaman Immanuel Kant, diobrak-abrik seenaknya oleh
Foucault. Pemikiran Foucault dikatakan tidak mempunyai dasar epistemologis sama sekali.
Bagaimana secara epistemologis dapat dipahami loncatan analisis yang aneh dari meta isika
ke isika atau sebaliknya, bukankah ada prosedur yang harus dilalui seperti Kant dan Marx,
bahkan Nietzsche sekallipun yang menaruh dasar-dasar epistemologisnya begitu ketat dan
distingtif. Jika Foucault berhasil menjelaskan dan meyakinkan para kritikusnya, bukankah
kemudian Foucault justru membuat meta-analisis, meta-teori atau meta-epistemologi untuk
proposisinya: hal yang justru mau dibongkarnya? Di titik yang krusial inilah terletak raison
d'etre diambilnya perspektif Foucauldian sebagai pokok kajian (seperti yang telah dipaparkan
pula di bagian latar belakang tulisan ini, bahwa kita ditatapkan pada analisis Foucault yang
begitu ekstrim membawa kita ke dua horison analisis yang berbeda dari horison Nietzschean
ke horison Marxian, dari meta isika ke isika). Jadi mengapa (perspektif) Foucault (-ian)?
Jawabnya adalah karena perspektifnya yang radikal masuk ke dalam permasalahan esensial
manusia modern, paradoksitas dan ambiguitas. Pourquoi le Foucaultian? Parceque c'est son
paradoxe. Dengan dasar ini kita dapat memahami bahwa dengan mengambil perspektif
Foucauldian sebagai pokok kajian, kita menaruh tatapan re leksi yang radikal tentang
modernisme. Jawaban praktis dan pragmatis tidak menjadi tujuan akhir pokok kajian karya
ini.

2. Pemikiran Foucault (Sekilas tentang "Epistemologi" Foucauldian)


Karya tulis ini tidak akan menganalisis titik krusial dalam pemikiran Foucault yang melingkupi
inkonsistensi dan lintas batas epistemologinya tersebut. Karya ini hanya menyajikan deskripsi
kritis tentang pemikiran Foucault mengenai modernisme dan hukum sebagai salah satu
institusinya. Sajian ini diharapkan menjadi kritik ideologi terhadap hukum. Maka, perdebatan
tentang epistemologi perspektif Foucauldian tidak dipermasalahkan, hanya dijadikan
paparan yang memperjelas deskripsi kritis perspektif ini.

Pemikiran kritis Foucault atas modernitas dapat dibagi ke dalam dua tema besar yaitu kuasa
dan subjek. Kuasa yang berkaitan erat dengan pengetahuan dan dipahami secara meta isis
membuat telaah Foucauldian atas kuasa tidak menitikberatkan pada ekspresi kekuasaan yang
terpusat (menjadi milik subjek tertentu) dan terinstitusionalisasi secara formal. Yang menjadi
perhatian Foucault adalah bagaimana relasi kuasa yang tidak setimbang dan merepresi
diciptakan dan dijaga dalam jaring-jaring sosial yang begitu strategis, tersebar, terlihat
humanitarian dan membebaskan. Dengan kata lain, Foucault mempermasalahkan rasionalitas
pencerahan yang terealisir dalam praktek relasi sosial yang tampaknya membebaskan
individu namun sebenarnya mengekang. Foucault melihat adanya proses objektivikasi dan
subjektvikasi secara simultan dalam masyarakat modern. Dengan penyelidikan kuasa dalam
metode yang sedemikian, selain menemukan fakta jaring-jaring kekuasaan Foucault juga
menghasilkan gambaran yang berbeda dalam tiga macam relasi kuasa yaitu kekerasan
(violence), dominasi, dan relasi antar-individu. Ketiganya dibedakan dalam intensitas isik dan
muatan ideologis dari relasi yang ada. Kekerasan adalah relasi yang intensitas isiknya lebih
tinggi dibandingkan yang lainnya.

Tema yang kedua adalah subjek atau individu modern. Basis re leksinya adalah pengalaman
paradoksal manusia modern. Manusia modern mengacu pada sosok individu rasional yang
dijadikan patokan oleh pemikiran Barat dalam mengolah dan mere leksikan hidup manusia.
Tipikal individu rasional diperikan dalam beberapa karakter yaitu: mempunyai kesadaran
akan kehadirannya sebagai subjek waktu dan keberadaan, memiliki kedalaman dan nilai-nilai
agung dalam dirinya sendiri (dalam diri manusia ada nilai-nilai kebenaran dan esensi hidup)
serta merdeka dari dan untuk. Sosok ini bagi Foucault adalah sosok yang ilusif (menipu),
karena untuk memenuhi tuntutan eskatologis tersebut seseorang harus melakukan re leksi
ontologis untuk mencapai kesadaran diri sebagai subjek (Foucault mengatakan hal ini adalah
proses subjektivikasi) dan hasil dari proses itu adalah eksklusi atau alienasi keberadaan diri
yang lain (the other). Diri yang irasional dianggap bukan diri personal melainkan kegelapan
dan ketidaksadaran; yang tak berguna dan harus disingkirkan. Irasionalitas ini melingkupi
mitos tentang para dewa (juga orakel Delphi dan hal-hal mistis serta magis), perilaku yang
tidak menunjang efektivitas kerja, feminimitas dan ketidakobjektivitasan (empiris dan
positivis). Keberadaan yang lain (irasional) dalam perjalanan waktu coba dieleminasi dan
tidak diperhatikan, padahal ada yang lain itu melekat dan menjadi kodrat bagi hidup manusia.
Disinilah terjadi penjajahan terhadap hidup integral manusia. Proses hegemonisasi sosok
rasional terjadi dengan proses subjektivikasi dengan berpedoman pada sosol yang koersif-
ilusionis. Menjadi subjek dalam terminologi proyek pencerahan berarti mengalami proses
disubjekkan [Secara gramatikal telah terlihat kontradiksinya. Apakah seseorang dapat
menjadi subjek bila ia disubjekkan? Bukankah ia menjadi objek dalam proses (predikatisasi)
subjektivikasi. Contohnya Anton disubjekkan oleh proses kehidupan (kalimat pasif), dalam
kalimat aktif yang a irmatif : Proses kehidupan menyubjekkan Anton. Dalam kalimat terakhir
Anton terlihat menjadi objek].

Sejak abad ke-17 proses ini telah dilakukan dengan menggunakan metode subjektivikasi.
Tercermin dalam psikiatri, psikologi dan psikoanalisis ataupun psikologi-analitis. Penjajahan
yang kontinyu ini menghasilkan massi ikasi keberadaan "yang lain" dalam ruang bawah hidup
manusia dan mempersiapkan ledakan-ledakan yang mengguncang hidup manusia modern
seperti yang tercermin dalam kisah paradoksal manusia (Di bagian latar belakang telah diulas.
Di bidang seni kita dapat mencatat gerakan Avant Garde tahun 1930).

Dalam karyanya yang bertema kegilaan dan peradaban Foucault meneliti dampak
subjektivikasi di masyarakat Eropa pada masa pencerahan hingga masa modern. Foucault
menggambarkan perubahan sikap masyarakat terhadap kegilaan. Pada awalnya kegilaan
belum dieksklusikan oleh masyarakat. Mereka "yang gila" masih dapat berkeliaran dan
bercampur bersama masyarakat, bahkan mereka dianggap mengetahui hal-hal yang tidak
diketahui oleh manusia pada umumnya. Kegilaan dianggap biasa. Ketika pemahaman
kesadaran dalam aras logika Cartesian muncul dan menjadi populer (hanya satu titik saja
untuk menggambarkan kemuncullan zaman pencerahan), kegilaan mulai disikapi secara hati-
hati bahkan mulai dilokalisir. Terjadi perubahan sikap terhadap kegilaan. Kegilaan mulai
dianggap penyimpangan, abnormal dan irasional. Masyarakat mulai menganggapnya sebagai
kejijikan, bahkan dalam dunia kapitalis yang begitu industrialistis kegilaan dianggap tidak
berguna: patut dilenyapkan. Dalam karya-karya selanjutnya Foucault semakin mantap untuk
memproklamirkan kematian subjek dalam atmos ir rasional modernisme. Manusia dimatikan
oleh proyek subjektivikasi yang mengalienasikan "yang lain" dalam hidup manusia. Sejak
abad ke-17 proses ini telah dilakukan dengan menggunakan metode subjektivikasi. Tercermin
dalam psikiatri, psikologi dan psikoanalisis ataupun psikologi-analitis. Penjajahan yang
kontinyu ini menghasilkan massi ikasi keberadaan "yang lain" dalam ruang bawah hidup
manusia dan mempersiapkan ledakan-ledakan yang mengguncang hidup manusia modern
seperti yang tercermin dalam kisah paradoksal manusia (Di bagian latar belakang telah diulas.
Di bidang seni kita dapat mencatat gerakan Avant Garde tahun 1930).

Dalam karyanya yang bertema kegilaan dan peradaban Foucault meneliti dampak
subjektivikasi di masyarakat Eropa pada masa pencerahan hingga masa modern. Foucault
menggambarkan perubahan sikap masyarakat terhadap kegilaan. Pada awalnya kegilaan
belum dieksklusikan oleh masyarakat. Mereka "yang gila" masih dapat berkeliaran dan
bercampur bersama masyarakat, bahkan mereka dianggap mengetahui hal-hal yang tidak
diketahui oleh manusia pada umumnya. Kegilaan dianggap biasa. Ketika pemahaman
kesadaran dalam aras logika Cartesian muncul dan menjadi populer (hanya satu titik saja
untuk menggambarkan kemuncullan zaman pencerahan), kegilaan mulai disikapi secara hati-
hati bahkan mulai dilokalisir. Terjadi perubahan sikap terhadap kegilaan. Kegilaan mulai
dianggap penyimpangan, abnormal dan irasional. Masyarakat mulai menganggapnya sebagai
kejijikan, bahkan dalam dunia kapitalis yang begitu industrialistis kegilaan dianggap tidak
berguna: patut dilenyapkan. Dalam karya-karya selanjutnya Foucault semakin mantap untuk
memproklamirkan kematian subjek dalam atmos ir rasional modernisme. Manusia dimatikan
oleh proyek subjektivikasi yang mengalienasikan "yang lain" dalam hidup manusia.

Dua tema besar pemikiran Foucault ini memberikan gambaran yang jelas (ditambah dengan
uraian pada sub-bagian sebelumnya) kepada kita bahwa Foucault begitu curiga dan pesimis
terhadap ideologi pencerahan yang terealisir dalam proyek modernisasi. Kedua tema ini
dibangun oleh Foucault dengan berbasiskan pada dua metodologi yaitu metode arkeologi
(historis kritis) dan genealogi. Metode arkeologi (historis kritis) adalah metode penggalian
yang mencoba mengetahui episteme-episteme yang menyusun sejarah kehidupan
masyarakat. Dengan metode ini Foucault dapat mengetahui aturan-aturan (mencakup
ketidakasadaran positif sebuah zaman) yang menyusun sebuah diskursus. Episteme tiap
zaman berbeda sehingga benang sejarah masyarakat yang berlangsung dari zaman
pencerahan sampai saat ini dapat terdiri dari banyak episteme. Metode ini terlihat dalam
karya Foucault yang bertajuk Archaelogy of Knowledge dan The Order of Things. Metode
genealogi (ketika mendengar kata ini tentu kita akan mengingat karya Nietzsche yang berjudul
Genealogy of Morals) adalah metode penelusuran kejadian-kejadian atau peristiwa sejarah.
Dengan metode ini dapat diketahui prosedur penciptaan, penyebaran dan penjagaan kuasa
dan pengetahuan dalam tubuh sosial. Berbeda dengan sejarawan tradisional Foucault, dengan
metode genealoginya, tidak bermaksud untuk mencari esensi sebuah kejadian. Bagi Foucault
kejadian tidak memiliki esensi apa-apa. Kejadian atau peristiwa hanyalah kejadian atau
peristiwa saja. Dengan kedua metodologi ini Foucault mengolah dua tema besar pemikirannya
sehingga memunculkan berbagai istilah yang relevan dengan pokok pembahasan karya tulis
ini antara lain: normalisasi, docilitas dan masyarakat karseral.

Foucault tidak memfokuskan pemikirannya pada hukum dalam tataran yuridis formal. Dapat
dipahami, karena ia bukan seorang ahli hukum, seperti Austin atau Hans Kelsen, atau pun
sosiolog hukum seperti Roscoe Pound. Foucault membahas hukum dalam rangka konteks
keberadaan hukum di masyarakat, seperti ketika ia -dalam bukunya Discipline and Punish-
membahas hukum dalam rangka mencermati sejarah penghukuman (publik). Tesis Foucault
dalam buku ini adalah bahwa hukum adalah institusi pematuhan dan pemberdayaan
masyarakat demi kepentingan kapital dan IPTEK. Hal itu tercermin dalam istilah normalisasi,
docilisasi atau pematuhan serta masyarakat pemenjaraan atau karseral. Pemikiran Foucault
yang eksplisit mengenai hukum justru terlihat dalam diskusinya dengan para aktivis Maoist
yang telah disinggung pada bagian awal tadi. Karena itu demi kepentingan pragmatis
keberadaan karya tulis ini, akan dilakukan ekstrasi pemikiran Foucault mengenai hukum dari
beberapa karyanya terutama Discipline and Punish, The Birth of The Prison. Tentu saja ada
paparan penjelas yang akan secara teknis dan epistemologis mencoba menjelaskan beberapa
istilah yang digunakan Foucault. Disinilah letak kesulitan dari karya ini yaitu ketika harus
menerjemahkan atau mengekstrasi sebuah pemikiran yang begitu luas ke dalam pemikiran
yang khusus, yang hanya dibahas secara implisit dalam pemikiran yang luas tersebut.

Selain dua tema besar tersebut ada tema lain yang sebenarnya cukup penting bagi wacana
Foucauldian yaitu etika, namun Foucault membahas etikanya masih dalam kerangka kuasa
dan subjek, sehingga pemerhati wacana Foucauldian sering memasukkan termin etika ini ke
dalam pembahasan dua tema besar tadi. Etika Foucauldian adalah etika yang bernuansa
dengan estetika sehingga etikanya berbaur dan bercampur dengan seni. Moralitas yang
didengungkannya adalah moralitas yang estetis, walaupun bidang estetika saat ini hanyalah
satu bagian dari profesionalitas. Selain itu, etikanya tergambar dalam pesimisme dan apatisme
akan etika modern. Bila etika modern begitu menekankan asketisme untuk memeluk
kebahagiaan yang Platonis, maka etika Foucauldian memandang hal itu sebagai tipuan dan
karenanya harus dilupakan dan berbalik ke arah pemanjaan tubuh demi kebahagiaan. Itulah
optimalisasi kenikmatan. Etika yang didengungkan oleh Foucault ini hampir sama dengan
etika yang didengungkan Schoepenhauer, Nietzsche dan Baudelaire. Mereka sama-sama
mengutamakan ekstase estetis dalam mengungkapkan sebuah moralitas hidup. Patokan etis
adalah patokan estetis.
Kita dapat menduga secara pasti bahwa etika estetis Foucault muncul sebagai reaksi dari
modernisme yang begitu empiristis, positivistis dan industrialis. Dalam dunia modernisme
tiada ruang bagi "yang lain" untuk mengekspresikan diri. Di dunia senilah, ruangan untuk itu
terbuka lebar dan tanpa batas. Dari dunia seni gugatan terhadap modernisme muncul dan
kemudian gugatan itu diteruskan ke bidang-bidang lainnya yang dihegemonisasi oleh ideologi
modernisme. Jika kita menatap sebentar ke dalam wacana ilmiah, ada fakta yang tidak bisa kita
pungkiri: kita sedang menatap "gugatan estetisasi" dunia (ilmiah) modern. Thomas Kuhn
seorang isikawan membuktikan adanya peranan emosionalitas dalam menentukan rumus-
rumus eksakta, Immanuel Wallerstein membuktikan adanya batas liminal ilmu-ilmu sosial
yang dilintasbatasi secara merdeka, Jacques Derrida membongkar rigoritas epistemologi
dengan ilsafat deskontruksinya, dan para feminis seperti Luce Irigaray, Hillary Rose serta lain-
lainnya membuktikan patriarkisme dalam sistem berpikir dan berdiskursus dunia ilmiah
selama ini, sehingga perempuan hilang dalam kategori berpikir wacana ilmu.

Satu paragraf di atas bermaksud untuk menutup uraian bagian kedua ini. Pemikiran Foucault
yang dipilih untuk dikaji dalam karya tulis ini membawa suara dari dimensi "yang lain" dalam
hidup manusia. Yang Lain yang selama ini terasing dalam dunia yang telah terei ikasi coba
disuarakan dan diperlihatkan wujudnya walau agak samar.

C. Signi ikansi Penulisan


Tujuan ditulisnya karya tulis ini adalah mewacanakan studi kritis Foucauldian tentang hukum.
Karena itu kritik ideologi a la Foucauldian menjadi jiwa penulisan karya ini.

L'intelligence des leurs (kecerdikan para bunga) adalah sebuah sebutan dari Maeterlinck bagi
nalar lain yang berada di luar nalar modern yang umum, yang disitir oleh Romo Mangun untuk
menggambarkan kesemestaan jagad berpikir yang tak berhingga sehingga pakem-pakem
berpikir yang ada patut dikritisi. Pemikiran Foucault dalam khasanah pemikiran bercorak
modern pada awalnya (bahkan sampai saat ini) adalah pemikiran yang dapat dikategorikan
sebagai intelektual bunga. Kehadirannya jelas tidak biasa bagi iklim berpikir yang begitu
positivis dan ketat serta taat asas. Ia dilabeli sebagai seorang yang tidak mampu untuk berpikir
secara ketat dan malas untuk menggunakan metode ilmiah yang formal serta resmi. Namun,
sindiran keras dan serangan hebat tersebut tidak dapat menghilangkan keberadaan
pemikirannya, karena pemikirannya tentang kenyataan zaman mengandung kebenaran
adanya dimensi lain yang selama ini disangkal dan direpresi oleh sistem berpikir yang telah
begitu terei ikasi. Pemikiran Foucault bagaikan bunga padang rumput ilalang yang hari ini dan
mungkin sudah tidak ada lagi, tetapi kenangan akan keindahan hadir dan warnanya
membekas dalam ingatan zaman, terlebih bagi manusia padang ilalang yang selalu merindu
hadirnya pada musim-musim berbunga.

Jika karya tulis ini bertujuan untuk mewacanakan pemikiran Foucault, tidak berarti ketika
pemikiran Foucault sudah diwacanakan tujuan tersebut terpenuhi. Ada harapan lanjutan yang
mengikutinya sebagai hal yang signi ikan bagi hadirnya karya ini, yaitu membekaskan ingatan
pada publik pembaca karya ini untuk mau bergairah dalam mengeksplorasi jagad
intelektualitas yang tidak berhingga. Belajar tidak hanya menghafal atau menerapkan aturan
berpikir saja, tetapi juga membumikan pada pengalaman hidup keseharian, mere leksi dan
mengkritisi. Dengan demikian, ruang diskursus menjadi tempat yang terbuka bagi eksplorasi
warna-warni kehidupan. Ada kegairahan akademis untuk terus mengeksplorasi tanpa takut
hukum tabu dan haram.
BAB II
EPISTÉMÉ:
MODERNISME: SEBUAH NARASI TENTANG
KISAH PENCERAHAN DAN KRISISNYA


Afuence is showing itself to be a greater threat
to social stability than poverty

Eric Hoffer, The Spirit of Our Age.


A. Episteme
Salah satu ciri modernisme adalah kemakmuran atau berlimpahnya barang produksi (af luence).
Produksi massa atas dasar prinsip ekonomi memungkinkan hal tersebut terjadi. Implikasi
praktisnya, yang juga menjadi salah satu ciri modernisme, adalah bahwa kemakmuran telah
menciptakan konsumerisme sebagai budaya baru. Di belakangnya ada sistem kapitalisme yang
begitu erat melekat dan menjadi kodrat sejarahnya. Membicarakan modernisme berarti
membicarakan pula kapitalisme dunia.

Deskripsi tentang modernisme yang terbentang dalam sebuah kisah sejarah menjadi salah satu
proyek besar bab ini, karena kritik ideologi dehumanisasi modern a la Foucauldian yang
menjadi tema pokok berkonteks pada historiogra inya. Konteks inilah yang kemudian diambil
sebagai salah satu referensi untuk mende inisikan episté mé . Episteme adalah pengandaian-
pengandaian, prinsip-prinsip, syarat-syarat bagi probabilitas historis, serta cara pendekatan
tertentu dalam tiap-tiap zaman (berbeda dari satu zaman ke zaman lainnya) yang membentuk
sistem apriori historis yang teguh dan tidak diinsa i (disadari) oleh orang-orang yang hidup dalam
zaman tertentu itu. Konsep ini diintrodusir oleh Michel Foucault dalam rangka mencari format
apriori yang menentukan keberadaan sejarah dalam zaman tertentu. Ia menggunakannya dalam
metode arkeologinya (historis kritis). Episteme penting diketahui untuk menghindari
generalisasi reduksionis yang tidak kritis. Maka, pembentangan episteme modernisme
dilakukan untuk melakukan re leksi kritis atas ideologi modernisme. Darinya, kita pun dapat
memperoleh pemahaman deskriptif mengenai proses ideologisasi dan pembatuan modernisme.
Disinilah kita dapat melihat modernisme secara jernih tanpa prasangka kegagalannya yang saat
ini sering kita tatap. Setelah membentangkan sejarah modernisme, krisis yang dialami proyek
modernisme sehingga menimbulkan kritik akan diungkap. Pemahaman krisis akan dilihat dalam
paradigma Habermasian, karena Habermas secara sitematis, mudah dan mendalam
mere leksikan makna krisis modernisme. Substansi krisis akan diambil dari berbagai pihak yang
berwacana seperti pihak yang menyakini pelanjutan proyek modernisme dan pihak yang
pesismis: post-modernisme. Krisis yang tergambar secara global akan coba dibumikan dengan
melihat krisis dalam makna spesi iknya yaitu legalisme. Istilah legalisme adalah istilah yang
berasal dari analisis kritis Friedman terhadap kondisi masyarakat Amerika. Namun demikian,
maknanya akan coba diutarakan secara global agar paparan mengenai pengertian krisis
modernisme yang memang sudah mengglobal tidak kehilangan artinya.

Fakta yang dideskripsikan mengisi paparan episteme berasal dari sumber-sumber historis
tentang perkembangan masa modern. Paparan Foucault tentang masa itu tidak digunakan
sebagai sumber utama tetapi hanya sebagai sumber inspiratif kritis yang coba ditambahkan
mengingat pada bab selanjutnya akan diuraikan secara mendetail. Uraian akan dilakukan dalam
tiga tema besar yaitu humanisme, kapitalisme dan negara. Ketiga tema ini dianggap dapat
menjadi kerangka deskripsi tentang modernisme, karena dalam humanisme tercakup
individualisme dan liberalisme yang begitu dominan dalam dalam ideologi modernisme, dalam
kapitalisme terangkum gambaran sistem ekonomi modern yang mengkerangkakan hidup
manusia dan dalam negara kita dapat menemukan fenomena status quo serta birokrasi yang
menjadi sangkar besi orang-orang modern. Bagi Peter Wagner, ketiga tema tadi dapat dijadikan
panduan untuk mencermati proyek modernisasi yang telah berlangsung kira-kira 300 tahun
yang lalu. Untuk lebih memberi pemahaman tentang dasar penggunaan ketiga tema tadi bagian
pengantar paparan modernisme akan mengemukakan beberapa pengertian mengenai masa
modern.
B. Modernisme
De inisi yang mutlak tepat untuk modernisme sukar ditemukan dalam wacana ilmiah
tentangnya. Kebanyakan hanya berbicara mengenai ciri-ciri atau simpton-simpton yang
mengawali, menandai atau mengakhirinya, seperti kemakmuran yang telah disinggung di atas.
Peter Wagner dalam bukunya A Sociology of Modernity: Liberty and Discipline, menga irmasikan
hal ini. Baginya sulit untuk mende inisikan secara tepat karakteristik masyarakat modern dan
menunjukkan waktu berpisahnya secara distingtif masyarakat modern dan tradisional.
Akhirnya ia memberikan ciri fenomenal yang menandai kelahiran masyarakat modern yaitu
urbanisasi, industrialisasi, demokratisasi dan munculnya pendekatan emprisis-analitis
terhadap pengetahuan manusia. Selain itu, Wagner melihat adanya dua diskursus besar yang
muncul dalam zaman modern yaitu diskursus mengenai liberalisme dan pendisiplinan. Anthony
Smith menandai masyarakat modern dengan rasionalitasnya untuk mengolah hidup. Seperti
Weber, ia kemudian melihat etika protestan sebagai etika yang signi ikan bagi masyarakat ini. C.
Geertz dengan menyitir arti kata modern yang berarti "yang sekarang ada" atau "dari masa ini"
mende inisikan modern sebagai kini yang sedang dialami, dirindukan bahkan dinegasi. "Kini"
yang dimaksud memang agak absurd, namun ia mengatakan bahwa masa modern dimulai di
Eropa pada abad ke-16. Hal ini berarti ia setuju dengan historiogra i konvensional bahwa
modernisme dimulai dengan gerakan humanisme yang dilanjutkan dengan pencerahan.

James Farganis menambahkan deskripsi tentang modernisme tadi bahwa wacana ilmiah
masyarakat modern ditandai dengan tema-tema pemerdekaan (emansipasi), kemajuan karena
pembangunan ekonomi (progress), dan keadilan. Sedangkan dalam tataran ideologi (sejarah
ideologi), Maureen Ramsay melihat bahwa di masa modern tercipta individu abstrak sebagai
akibat munculnya ideologi liberalisme. Abstraksi atas individu ini mengakibatkan nilai atau
harga seseorang dalam dunia politik dapat dikonversikan ke dalam wakil. Maka, dikenal
demokrasi perwakilan yang justru mulai mereduksi dimensi hidup manusia dan masyarakat.
Ada anggapan reduksionis, bahwa bila seorang wakil telah bicara maka rakyat dalam totalitasnya
telah berbicara pula.

Mozaik pernyataan tentang modernisme tersebut memberikan gambaran mengenai masyarakat


modern. Maka, masyarakat modern atau modernisme dapat kita sepakati sebagai masyarakat
yang humanis karena mencoba bebas dari kekangan mitos transendental, sekular dan rasional
(Individualitas mulai direnungkan secara serius), yang kapitalis karena industrialisasi,
teknologisasi dan urbanisasi terlihat sangat gencar dilaksanakan (Kapitalisme dapat dikatakan
sebagai lokomotif modernisme) dan yang mengalami etatisasi masyarakat demi berlangsungnya
secara kontinyu proyek modernisme (Negara menjadi wadah kondusif bagi jaminan kontrak
sosial: piagam kedamaian, ketentraman dan ketertiban masyarakat). Dapat dipahami bahwa
modernisme dikerangkakan dalam tiga tema besar yaitu humanisme, kapitalisme dan negara.

1. Humanisme
Humanisme muncul bersamaan dengan masa Renaissance, akhir abad ke-13, di Italia.
Gerakan ini ditandai dengan gerakan kebudayaan yang berusaha untuk menghidupkan
kembali keagungan Roma dengan mengadaptasikan atau mengkontekstualisasikan pada
kehidupan kontemporer saat itu. Pada awalnya, memang, para humanis hanya
memperhatikan teks-teks klasik, seperti karya Aristoteles, Cicero, Virgil dan lain-lainnya.
Namun, semakin hari studi mereka semakin meluas pada bidang-bidang lainnya seperti seni
lukis, seni patung, bahkan ekonomi. Para aktivis gerakan ini mulai memikirkan bagaimana
hidup manusia semakin lebih baik dan bagaimana manusia semakin bertanggung jawab pada
hidupnya sendiri. Mereka mencoba membongkar struktur budaya dan berpikir masyarakat
feodal yang begitu teologis di abad pertengahan. Pembongkaran itu mereka lakukan dengan
menatap kejayaan imperium Roma.
Gerakan humanisme menjadi semacam "anti aktivisme" bagi gerakan-gerakan di zaman
pertengahan. Orang mulai melihat dirinya sendiri dan dunia tempat hidupnya, dan
menjadikannya basis gerakan dalam paradigma sekularisme. Namun pada masa itu orang
masih menghargai doktrin gereja yang begitu dominan di abad pertengahan. Mereka
menghargainya sebagai perspektif yang lain dalam memandang hidup. Pusat perhatian
mereka adalah manusia: manusia yang pada masa sebelumnya dikatakan sebagai sarana
menuju Tuhan dan penuh dosa sehingga tubuh manusia harus dijauhi dengan disiplin
eskatologis yang begitu berat. Humanisme membalik pandangan dengan memandang bahwa
Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi tuan bagi diri dan lingkungan hidupnya. Manusia
memang diciptakan oleh Tuhan, tetapi sebagai citranya yang memiliki kebebasan untuk
menjadi tuhan baginya. Manusia oleh semangat Renaissance: Humanisme diemansipasi
sehingga manusia dapat menyebut dirinya sebagai pencipta walaupun bukan sebagai pencipta
alam semesta.

Manusia mulai mengagumi dirinya. Seni lukis, seni patung dan bahkan sastra mulai
menggambarkan keindahan diri (tubuh) manusia: hal yang tidak pernah diperbolehkan di
zaman sebelumnya. Tekstur tubuh manusia dan reliefnya menjadi hal yang coba ditonjolkan.
Selain perubahan paradigma dalam bidang seni, terdapat perubahan yang mendasar pula
dalam paradigma studi dan sosialisasi orang-orang saat itu. Bila kegiatan belajar di zaman
pertengahan ditaruh dalam konteks pengabdian pada tuhan, sehingga begitu mementingkan
studi yang meditatif, kontemplatif dan skolastik, di masa Renaissance orang melihat belajar
untuk dirinya sendiri mencapai kemajuan, terutama kemakmuran, dan bagi publik sesama
manusia. Mereka melakukan studi bukan untuk Tuhan lagi tetapi untuk manusia dan
masyarakatnya, karena itulah belajar pada masa ini lebih bersifat publik.

Titik ini menjadi batu loncatan masa depan kemanusiaan yang modern. Dikatakan menjadi
batu loncatan karena humanisme di masa ini adalah humanisme permulaan yang masih belum
sepenuhnya lepas dari doktrin zaman pertengahan, karena itu disebut zaman kegelapan atau
zaman yang belum dicerahkan. Humanisme di masa ini masih dapat dikatakan sebagai
humanisme yang masih terpaku pada penggalian masa kejayaan imperium Roma. Laju linier
progresif dalam humanitas belum dikenal. Para aktivis humanisme pada masa ini masih
melihat dan beranggapan bahwa masa agung yang harus dicapai manusia adalah masa
kejayaan Roma. Masyarakat yang ingin dicapai adalah masyarakat pada masa imperium
Romanum. Karena itu, pada masa ini terjadi keretakan paradigma di dalam visi para aktivis
humanisme. Para seniman, misalnya, berseni untuk seni. Para akademisi, melakukan studinya
untuk kepentingan pragmatis yang tidak visioner. Acuannya ke belakang. John R. Hale seorang
sejarawan masa Reanissance mengatakan bahwa para intelektual dan seniman pada masa itu,
yang menjadi motor gerakan Renaissance-Humanisme, mencoba melakukan perjalanan
dengan memakai sepatu yang dipinjamnya dari orang lain, dan sepatu itu tidak selalu cocok.
Yang dimaksud oleh Hale sepatu orang lain adalah visi kejayaan imperium Roma. Hale
mengungkapkan fakta untuk memperkuat argumentasinya itu seperti pandangan orang
bahwa tugas manusia saat itu hanya menggali masa lalu dan menemukan yang sudah ada
(rediscover) bukan menjelajah ke depan dan menemukan sesuatu yang baru (invent). Fakta
yang lainnya adalah saat itu pelukis tidak menghiraukan teknik melukis hanya mempedulikan
objek lukisnya saja. Mereka tidak menghiraukan untuk mengembangkan teknologi pelukisan.
Di bidang politik para politisi bingung untuk menentukan pilihan di antara moralitas dan
kemakmuran. Problema ini menghantui masa-masa krusial kemuncullan pertama kali
gerakan humanisme. Namun ia menjadi batu loncatan yang cukup kokoh bagi perkembangan
humanisme selanjutnya.
Humanisme yang dilahirkan oleh zaman Renaissance diteruskan dalam arah linier yang
semakin mantap ke arah af irmasi akan humanitas (walaupun ada krisis yang selalu
menghantui). Kita dapat mencatat di masa Reformasi manusia mulai berani untuk melepaskan
diri dari otoritas dogmatis gereja (Katolik) dan membentuk gereja lain. Keberanian ini
didorong oleh keberanian seorang Martin Luther untuk menginterpretasikan humanisme. Di
masa yang sama dengan Martin Luther, seorang berkebangsaan Swiss John Calvin menaruh
dasar-dasar Calvinisme-nya pada tahun 1536 (Institute of Christian Religion). Dasar-dasar ini
menaruh basis kepercayaannya pada kemampuan manusia untuk menjadi citra Tuhan yang
sanggup memperbaharui dan mengembangkan dunia lewat sikap hidup yang taat pada
hukum, suka bekerja keras (industrious), hidup sederhana dan hemat. Humanisme di masa
Reformasi memang berbeda dibandingkan dengan Humanisme ketika ia muncul di masa
Renaissance. Namun, esensi paradigmanya yang menaruh kepercayaan pada kemampuan dan
kehendak manusia untuk berkembang dan mengubah dunia sama. Dari mereka ini terlihat
bahwa humanisme menjadi motor yang membuat manusia berani untuk merdeka.

Masa Reformasi dilanjutkan oleh masa munculnya pemikiran-pemikiran tentang rasionalitas


manusia. Masa ini berlangsung cukup singkat sebelum memasuki masa Pencerahan.
Humanisme di masa ini ditandai dengan terbentuknya logika Cartesian dan Newtonian.
Manusia mulai masuk dalam keterpesonaan pada dirinya sendiri. Manusia memiliki
kesadaran, kesadaran yang dapat menuntunnya menuju ke kebenaran rasional. Manusia mulai
sadar dirinya sebagai makhluk yang melebihi makhluk Tuhan yang lainnya. Ia punya
kesadaran dan rasionalitas atau akal. Humanisme mulai masuk ke dalam aras kesejatian
dirinya. Ia telah mulai menelusuri being-nya. Tentu humanisme Cartesian yang muncul saat ini
begitu didominasi oleh kekuatan rasio (terlebih ketika hal itu dilegitimasi oleh karya
Descartes: Discourse on Method -tahun 1637- dan karyanya yang kedua Meditations -tahun
1641-). Di sinilah awal mula humanisme diredusir ke dalam rasionalitas yang mereferensi
pada kekuatan pikiran (otak bukan rasa). Humanisme rasional dia irmasikan lagi oleh karya-
karya Newton (terutama Principia Mathematica tahun 1687) yang membuat orang semakin
percaya pada kemampuan manusia yang rasional dalam menangkap misteri alam dan
sekaligus menguasainya.

Di masa Pencerahan humanisme memasuki masa yang baru dan lebih mantap. Filsuf
pencerahan Immanuel Kant menandai humanisme dengan ungkapan Sapere Aude! (Beranilah
berpikir sendiri!). Pemahaman humanisme mengalami evolusi ke arah personalisasi yaitu
manusia sebagai mahluk rasional yang merdeka dan mempunyai kebenarannya sendiri. Lalu
muncul paham-paham seperti individualisme, eksistensialisme, liberalisme dan lain-lain yang
menaruh kemerdekaan manusia secara personal sebagai basis inspiratifnya.

Individu mulai mempunyai kedaulatan yang besar terhadap hidupnya sendiri. Saat itu orang
sedang bangun dan menatap fajar pencerahan yang membuat mereka untuk berani berpikir
dan berkuasa atas dirinya sendiri. Karya-karya humanisme-rasional seperti karya Decartes
dan Newton, memberi kunci untuk memasuki gerbang pencerahan. David Hume seorang
Scotlandia semakin memantapkan kedudukan manusia dengan mengobrak-abrik meta isika
dan mengusulkan empirisme untuk menggantikannya. Dengan ini manusia semakin diajak
untuk melihat yang "nyata-nyata" saja setelah sebelumnya dibius oleh teologi skolastik abad
kegelapan. Humanisme yang empiris menjadi pilihan Hume bagi model kemanusiannya.

Di lain pihak, bersama Kant dalam alur pemikiran yang ideal adalah Hegel. Hegel yang
mengkritik Kant terlalu ideal, individual dan tak memperhatikan lingkaran sosial menarik
universalisme pada ketunggalan roh yang dapat diwakili oleh "negara". Hegel hidup di antara
tahun 1770 - 1831, ketika kapitalisme memasuki fase klasik (lihat fase-fase kapitalisme
di sub-bagian berikutnya dan fase ketika negara modern sedang mengambil formatnya di
seluruh Eropa). Hegel akhirnya mena ikan peran individu dalam roh totalitas, karena
menurutnya individu mendapat makna dalam totalitasnya sebagai roh absolut yang dapat
ditafsirkan sebagai negara. Bagi Fichte, yang hidup dan berkarya bersamaan dengan Hegel,
"ada yang rasional" atau manusia selalu mengadakan relasi yang mutualistis dengan orang
lain, karena itu manusia selalu berinteraksi dengan orang lain dalam rangka rasionalitasnya.
Tugas negara tidak mentotalitasi individu tetapi hanya menciptakan komunitas legal yang
dapat saling mengakui orang-orang di dalamnya.

Pada masa tersebut muncul pula pola pikir utilitarianisme yang dipelopori oleh Bentham dan
kemudian oleh J.S. Mill. Utilitarianisme menempatkan kegunaan sebagai prinsip dalam
bertindak baik dalam lingkup personal maupun sosial. Humanisme yang diajukan adalah
humanisme yang dibasiskan pada nilai guna; artinya sejauh sesuatu berguna (tentu bagi
manusia dan masyarakatnya yang diwakili the greatest number) maka sesuatu itu menjadi
humanis. Manusia pun diukur dengan kegunaannya. Apakah ia berguna bagi the greatest
number atau tidak? Asosiasi psikologis menjadi landasannya, karena kegunaan sejati adalah
kegunaan yang dirasakan oleh banyak orang. Asosiasi psikologis adalah sebuah aktivitas yang
mencoba melihat dengan rasa (psikis) nilai yang dijunjung oleh banyak orang atau kehendak
banyak orang. Maka, dari pemikiran ini dikenal prinsip the greatest happiness for the greatest
number.

Tidak hanya idealisme, utilitarianisme atau empirisme bahkan positivisme, realisme yang
dimunculkan oleh Marx lahir pada fase ini. Marx yang mengkritisi Hegel dan meneruskan
konsep dialektikanya membumikan kritik hegel pada materi atau infra-struktur. Marx
mengkritik individualisme yang menjiwai kapitalisme dan mengusulkan komunisme untuk
menghadapi kapitalisme yang tampaknya tidak adil bagi kaum buruh. Namun, agaknya Marx
melupakan manusia yang dikodrat sebagai persona yang unik. Ia masih menggunakan cara-
cara Hegel dalam mengkritik Kapitalisme hanya dalam tataran yang berbeda yaitu infra-
struktur. Masih dalam zamannya, kita menemukan Nietzsche yang mengkritik masyarakat
kapitalis saat itu. Nietzsche mengkritik kemuna ikan masyarakatnya yang masih
menyuarakan Tuhan namun bertindak nihilistik. Kedua orang ini menjadi batu penjuru bagi
humanisme selanjutnya, karena ketika orang begitu dibuai oleh keagungan dan pesona
pencerahan: manusia yang rasional, kedua orang ini berani mengkritisi semangat zamannya.
Namun tidak adil kalau hanya kedua orang ini yang dikatakan kritis, karena ilsuf masa
Pencerahan adalah manusia yang kritis terhadap zamannya. Dan akar tradisi kritis yang hidup
di masa kapitalisme lanjut (lihat pentahapan kapitalisme) adalah pemikiran humanisme yang
populer di masa Pencerahan.

Yang dapat dicatat mengenai paparan ini adalah bahwa di dalam masa yang panjang sampai
kira-kira di penghujung awal dan pertengahan abad 20; humanisme mengalami personalisasi
ke berbagai paham yang sedemikian reduksionis, dan akhirnya humanisme ditantang oleh
fakta-fakta dehumanisasi yang muncul ketika proyek modernisasi yang dijiwai semangat
pencerahan dibatukan. Dengan rei ikasi humanisme yang semula ditujukan untuk proyek
emansipasi dan partisipasi manusia dalam dunia kehidupannya mengalami krisis.
2. Kapitalisme
Sejarah kemunculan kapitalisme dimulai hampir bersamaan dengan saat munculnya gerakan
Renaissance dan Humanisme, bahkan kemunculan dan tersebarnya gerakan humanisme tidak
dapat dipisahkan dari peran kapitalisme yang memunculkan kelas-kelas baru, yang secara
ekonomi kuat, yang sanggup menyediakan infrastruktur gerakan humanisme. Berikut akan
dipaparkan perkembangan kapitalisme secara garis besar. Historiogra i kapitalisme ini
dibuat oleh Dudley Dillard. Di dalamnya ia menyajikan kisah kapitalisme dalam empat tahap.
Berikut paparan Dillard.

a. Kelahiran Kapitalisme ( + 1300 - 1500)


Kelahiran kapitalisme dapat ditelusuri ke persimpangan awal masa Renaissance dan akhir
zaman pertengahan di Eropa yaitu antara tahun 1300 - 1525 (atau sampai paro abad 16). Di
awal abad ke-14, ketika lembaga perekonomian abad pertengahan mulai hancur,
kapitalisme dirintis kelahirannya oleh perniagaan jarak jauh (intern Eropa dan kota-kota
perdagangan di Afrika). Flanders (di Inggris) dan Florence (di Italia) menjadi kota perintis.

Perangkat kapitalisme seperti perbankan mulai muncul bertaburan. Bank pertama muncul
di Florence tahun 1397, yaitu Bank Medici. Industri (perdagangan) wool dan sandang mulai
marak dan menjadi proto-type komoditas kapitalisme. Konsumerisme (yang berakar pada
sekularisme dan hedonisme) mulai menjadi orientasi hidup. Orang-orang di Florence
mengejar kekayaan, dan menggunakan ilmu pengetahuan (saat itu muncul ilmu humanitas
yang dirintis oleh para humanis) untuk tujuan tersebut. Ketrampilan baca tulis mulai dikejar
demi kekuasaan dalam kapitalisme. Hukum mengalami booming, karena para pedagang
butuh kepastian regulasi dalam praktek perdagangan yang merajalela.

Dalam keadaan demikian, kemantapan kapitalisme semakin ditanamkan oleh kon lik
monumental di Flanders. Kon lik terjadi antara rakyat perajin dan kaum bangsawan yang
menjadi pedagang, sekaligus pemilik pabrik. Rakyat perajin menggugat keuntungan
bangsawan yang terlalu besar dibandingkan mereka. Dalam kon lik ini rakyat berhasil
menghancurkan sentralisasi kekuatan politik dan ekonomi untuk sementara, karena
selanjutnya gerakan ini hancur oleh gerakan kontra. Sedang di Florence para pekerja kota
cemas akan hirarki kekuasaan pedagang, bankir dan pemilik pabrik. Mereka mengadakan
revolusi yang akhirnya pun dihancurkan oleh gerakan kontra revolusi. Masalah sosial yang
muncul baik di Flanders maupun Florence menjadi tantangan bagi kapitalisme untuk
mengakarkan dirinya pada masyarakat Eropa.

b. Kapitalisme Awal (1500 - 1750)


Masa ini ditandai dengan mulai mantapnya kapitalisme, terutama di Inggris. Masalah
kon lik kepentingan antara golongan pekerja dengan pemilik modal (pabrik) dapat diatasi
dengan alat-alat sederhana yang memudahkan kerja. Industri wool karenanya berkembang
dengan pesat. Dengan industri ini, kapitalisme mulai mengakar di Inggris dan menyebar ke
seluruh Eropa. Kapitalisme mulai menjadi sistem yang mapan. Muncullah dalam masa ini
surplus sosial. Surplus sosial yang didapat tidak lagi digunakan untuk membangun katedral
atau bangunan mewah yang memboroskan uang, tetapi diinvestasikan dalam bidang
perkapalan, pergudangan, bahan mentah dan barang jadi yang kesemuanya diletakkan
dalam kerangka produksi dan distribusi. Di sinilah terbukti keunggulan sistem kapitalisme
dibanding sistem lainnya (seperti barter atau perdagangan biasa) yang digunakan pada
abad pertengahan.
Dalam bentangan 250 tahun ada tiga peristiwa penting yang mengukuhkan kedudukan
kapitalisme sebagai sistem, yaitu: etika protestan yang menjiwai kapitalisme (Calvinisme),
ditemukannya logam-logam berharga di dunia baru yang mempengaruhi sistem harga dan
munculnya negara. Ketiga hal tadi dapat dirangkum dalam beberapa masa yang akhirnya
menggamit akhir periode kelahiran kapitalisme dan periode kedua ini. Masa itu adalah
Renaissance-Humanisme, Reformasi (Protestanisme) dan Eksplorasi yang membentang
antara tahun 1300 sampai dengan pertengahan abad 18. Eksplorasi memunculkan daerah-
daerah baru seperti di Amerika, Selatan Amerika dan Asia. Daerah baru ini menjadi objek
penggalian dan pengambilan bahan mentah produksi dan daerah objek pemasaran (sebagai
locus konsumen).

Protestanisme yang diwartakan oleh Luther telah semakin membebaskan manusia dari
kekangan hukum Tuhan yang diwartakan oleh gereja. Manusia semakin berani menatap
dunia sebagai objek ekonomi yang patut dikembangkan. Calvin membumikan hal tersebut
ke dalam Etika Protestan yang menganjurkan pola hidup kerja keras dan berhemat. Dengan
demikian, semangat kapitalisme yang dilegitimasika oleh hukum gereja yang baru dan lebih
sekular muncul.

Perubahan sistem harga dipengaruhi oleh ditemukannya dunia baru yang menyuplai
logam-logam berharga seperti emas dan perak yang dijadikan tolok ukur mata uang.
Persediaan logam mulia yang meningkat membuat harga naik. Hal ini berimbas pada
semakin bergairahnya kapitalisasi di Eropa. Yang relevan untuk dicatat di antara ketiga hal
yang mengakselerasi perkembangan kapitalisme tersebut adalah peranan negara yang
kemudian sering disebut sebagai merkantilisme. Kapitalisme pada tahap ini sudah
diangkat ke jenjang negara yang berarti mensistemkan kapitalisme secara formal. Dengan
diangkat ke jenjang negara, kapitalisme memiliki kelebihan yaitu: adanya sistem moneter
yang seragam, penciptaan pasar domestik yang bebas pajak, perundang-undangan yang
menjamin kepastian, dan lain-lain. Namun demikian, merkantilisme mengandung
kerapuhan yaitu otoriterisme negara. Negara menjadi pengatur tiap orang. Kemakmuran
ditujukan untuk negara bukan orang-perorang atau golongan, sehingga konsumsi barang
mewah secara pribadi dibatasi, buruh diperas untuk bekerja dengan upah yang rendah dan
waktu yang panjang dengan dalih untuk kemakmuran negara. Dalam situasi yang
merkantilistik ini (dalam dimensi ekonomis) muncul masa peralihan yang ingin kembali
menegaskan kebebasan individu untuk berusaha secara ekonomis. Merkantilisme mulai
diguncang dengan paham laissez faire. Liberalisme mulai mengemuka. Dalam fase
kapitalisme klasik liberalisme ekonomi mendapat a irmasinya.

c. Kapitalisme Klasik (1750 - 1914)


Kapital yang banyak ditanamkan di bidang perdagangan bergeser ke industri. Kemajuan
teknologi -mesin uap James Watt, mesin pintal Arkwright- membuat perkembangan
kapitalisme semakin dramatis. Revolusi industri di Inggris menandai babak baru
kapitalisme. Masyarakat menyongsong industrialisme. Akumulasi kapital yang pernah
diusahakan sebelumnya membuahkan hasil.

Perkembangan materi yang sedemikian pesat ditunjang oleh banyak peristiwa yang
semakin meneguhkan kapitalisme. Adam Smith, misalnya, dengan bukunya Inquiry Into the
Nature and Causes of the Wealth of Nations pada tahun 1776 memproklamirkan ideologi
kapitalisme klasik. Ia mendobrak merkantilisme yang sudah bobrok dan dapat
dipertahankan lagi. Liberalisme perdagangan, begitu anjurnya. Dengan pasar yang bebas
yang dipulangkan pada kehendak individu pemerataan kemakmuran semakin bisadicapai
karena ada tangan impersonal yang mengatur hal tersebut. Birokrasi negara yang berkuasa
digugat untuk menyerahkan keputusan ekonomi pada pelaku pasar. Setelah revolusi
Perancis sisa-sisa merkantilisme benar-benar hancur. Perdagangan diatur dengan ideologi
laissez faire (liberalisme). Pada fase ini negara dan pelaku kapital mengakui prinsip yang
memberikan kebebasan kepada individu untuk mengatur diri sendiri, dan bahwa kegiatan
pasar yang tidak diatur dan dibatasi oleh negara akan memberikan dampak sosial yang
positif.

Di fase kapitalisme ini berlangsung masa Pencerahan. Kaum borjuis yang dulu belum punya
andil dalam kekuasaan masyarakat, dan yang saat ini sudah memilikinya karena
perkembangan kapitalisme dan kemakmuran luar biasa yang dicapainya lewat kapitalisme,
mempunyai jasa dalam mengangkat dan mempopulerkan hal ini. Rasionalitas yang berjalin
erat dengan individualisme menjadi bara yang menyalakan api kapitalisme. Dengan basis
rasionalisme dan semua percikannya kapitalisme bahkan memiliki semacam api abadi yang
membuatnya dapat merevitalisasi diri. Dalam bentangan masa inilah modernisme yang
dide inisikan di atas tera irmasikan formanya. Modernisme mendapat bentuknya dalam
fase kapitalisme klasik, terutama pada paroh pertengahan sampai akhir, karena dalam fase
ini lahir sebuah masyarakat yang bebas dari kekangan mitos transendental, sekular, rasional
dan terdiferensiasi ke dalam berbagai sektor kehidupan. Oleh Dillard, semua itu dilihat
karena jasa sistem perekonomian yang kapitalistis yang memungkinkan kemakmuran
dicapai oleh kaum borjuis; kaum yang di awal kapitalisme tidak hanya memperhatikan soal
perekonomian tetapi hal-hal lain seperti seni, ilsafat dan lain sebagainya (yang justru
mengakselerasi kemampuan mengolah kapital mereka).

Fase kapitalisme klasik diakhiri oleh pemandangan terbaginya dunia Afrika dan Asia oleh
kekuasaan ekspansionis Eropa. Eropa yang sudah mengalami buaian keberhasilan
kapitalisme ingin mengalami buaian yang lebih lagi. Karena itu, Afrika dan Asia yang kaya
diekspansi dan dijadikan daerah objek eksplorasi kapital. Eropa yang mengalami
pencerahan dan menciptakan modernisme menjadi imperialis. Akhirnya mereka harus
menatap akibat perbuatan mereka dalam Perang Dunia I. Eropa diguncang oleh bahaya
perang dan dekapitalisasi, karena setelahnya dominasi kapitalisme dunia beralih dari Eropa
ke Amerika. Potret ini dijumpai dalam fase kapitalisme lanjut.

d. Kapitalisme Lanjut (1914 - ...)


Setelah Perang Dunia berakhir kapitalisme mengalami perubahan wajah. Liberalisme dalam
kapitalisasi mulai ditinggalkan. Standar emas sebagai alat tukar mulai ditinggalkan. Pasar
Internasional mengalami kekacauan. Eropa yang semula menjadi "bank dunia" mengalami
kebangkrutan dan berpindah ke Amerika Serikat. Namun hal itu tidak berarti bahwa
kapitalisme dunia segera pulih, karena adanya ladang baru kapitalisme di AS. Keadaan
menjadi tidak pasti sampai Perang Dunia II meletus. Di antara waktu PD I dan PD II, beberapa
bekas negara kapitalis Eropa pernah mencoba bangkit, dan mengalami keberhasilan singkat
tetapi harus menerima kenyataan pahit depresi ekonomi besar-besaran tahun 1930.
Misalnya Inggris yang masih memegang prinsip laissez faire dihantam oleh program New
Deal F.D. Roosevelt.

Keadaan pahit masih dialami dunia kapitalisme hingga Perang Dunia II meletus tahun 1939.
Baru kemudian ada masa perbaikan pasca-perang yang dipelopori oleh AS. Antara tahun
1945 sampai 1965 dapat dikatakan sebagai masa konsolidasi kapitalisme dunia yang
dipelopori AS. AS menghadapi dunia komunis dan negara-negara dunia ketiga yang baru
merdeka dalam kancah perang dingin. Di masa ini program pembangunan dunia tercetus.
Developmentalisme, yang berbasis pada kapitalisme, dijadikan senjata AS untuk
membangun benteng-benteng menghadapi lawan-lawannya. Maka kapital AS mulai
mengekspansi negara-negara dunia ketiga, dan badan-badan dunia didirikan untuk
menggalang kapital yang Amerika-centris. Kapital yang tersebar dirawat oleh program-
program sosial yang dijalankan tahun mulai tahun 1965 sampai tahun 1980-an. Kapitalisme
wajah baru Amerika lahir. Walaupun, kapitalisme klasik Eropa telah mati, namun revitalisasi
kapitalisme dunia di bawah AS sedang berjalan dan mulai mencengkeram tiap wilayah hidup
manusia. Musuh-musuh AS di blok-blok sosialis dan komunis tumbang satu per satu. Kritik
dan hujatan mereka justru membuat subur kapitalisme dan menyediakan energi untuk
merevitalisasi diri.

Masa kapitalisme lanjut menjadi sejarah baru bagi manusia untuk merajut makna hidupnya.
Program yang menyertai kapitalisasi dunia dengan wajah karitatif membuat kapitalisme
berkembang begitu dramatis di negara-negara berkembang. Sementara di Eropa
kapitalisme memulai perannya secara ideologis setelah tembok Berlin hancur dan Eropa
bersatu. Liberalisme dan individualisme yang menjadi ibu kapitalisme klasik mempunyai
wajah baru setelah berhadapan dengan kolonialisme dan komunitarianisme dunia-dunia
ketiga. Kapitalisme yang berideologi sosial demokrasi menjadi mainstream berpikir.
Pertentangan ideologis dan pertentangan yang lainnya justru menjadi energi untuk
revitalisasi diri kapitalisme.

3. Negara
Munculnya negara modern tidak dapat dilepaskan dari kapitalisme sebagai sebuah sistem
ekonomi yang menunjang pemenuhan kebutuhan subsisten manusia secara modern dan
humanisme yang menjadi semangat kultural masyarakat modern. Ketika memasuki masa
Renaissance dan Humanisme, Eropa masih berbentuk feodum-feodum yang dikuasai oleh
tuan-tuan tanah. Eropa adalah Eropa yang feodal dengan variasi beberapa kaum pedagang
yang belum kuat dan mereka belum bersaing dengan kaum bangsawan feodal. Baru kira-kira
pada abad ke-15 Eropa mulai memasuki masa baru dengan munculnya beberapa negara
monarkhi. Yang tercatat muncul secara fenomenal adalah monarkhi di Spanyol yang dipimpin
oleh Dinasti Hapsburg. Prancis mengalami pembentukan monarkhi seejak abad ke-14, tetapi
baru secara fenomenal muncul ketika monarkhi Prancis dipimpin oleh Louis XIV (Ia dikenal
dengan ucapan l'etat c'est moi -nya. Ucapannya ini sebenarnya menandai kemonarkhian Eropa
yang absolut). Italia tetap dalam pemerintahan feodal yang terdiri dari beberapa bangsawan.
Ia menjadi daerah yang diperebutkan antara dua monarkhi yaitu Spanyol dan Perancis. Di
Inggris muncul monarkhi pada akhir abad ke-15 dengan kekuasaan Tudors, dan berakhir pada
akhir abad ke-17. Inggris merupakan monarkhi Eropa yang berumur pendek.

Kemunculan monarkhi absolut di Eropa memiliki simpton yang signi ikan terhadap kehadiran
kapitalisme, karena pada saat monarkhi absolut itu muncul, Eropa sedang mengalami masa
transisi pola ekonomi dari ekonomi feodalistis ke arah ekonomi kapitalis, terutama
kapitalisme perdagangan (bukan kapitalisme industri yang baru muncul sekitar abad ke-18).
Hal ini diperkuat dengan fakta adanya konsentrasi penguasaan dunia baru di Amerika oleh
Spanyol (Dinasti Hapsburg) untuk mengeksplorasi hasil logamnya. Seperti yang dikatakan
oleh Dillard bahwa adanya hasil logam dari dunia baru membawa perkembangan yang berarti
bagi sistem kapitalisme karena semakin menyempurnakan sistem tukar untuk komoditinya.
Hal lain yang signi ikan berkaitan dengan munculnya kelas baru di Eropa. Pery Anderson
melihat bahwa monarkhi absolut di Eropa berfungsi untuk menyangga kepentingan kaum
bangsawan (kaum feodal) pada masa perubahan ekonomi yang besar. Bagi Pery Anderson
monarkhi absolut adalah penguasaan dengan model produksi yang kompleks antara kaum
feodal yang mulai pudar pamor kekuasaannya dengan kaum kapitalis. Sebagai sebuah mode of
production, ia menggambarkan kepada kita bahwa semenjak perbudakan kaum tani oleh para
kaum feodal secara formal dihapuskan, kaum feodal mencari bentuk lain untuk dapat
menguasai kaum tani. Mereka memilih monarkhi absolut karena sentralisasi kekuasaan yang
dapat memperkuat dominasi dan eksploitasinya atas kaum tani. Karena itu dalam monarkhi
absolut selain kaum feodal, kaum kapitalis pun diuntungkan. Namun sebagai dua buah kelas
penguasa mereka berusaha mencari dominasi satu di atas yang lainnya. Munculnya negara
modern setelah monarkhi absolut merupakan tanda kalahnya kelas feodal terhadap kaum
kapitalis.

Munculnya negara modern sekitar abad ke-17 dan ke-18 di Eropa dicirikan oleh adanya
pergolakan dalam negara monarkhi absolut. Michael Hechter dan William Brustein
mengungkapkan bahwa negara modern muncul akibat kekuatan kelas kaum kapitalis yang
menggeser kedudukan kaum aristokrat feodal dalam negara monarkhi absolut. Mulanya
memang dapat dikatakan bahwa negara tersebut melayani kepentingan kelompok aristokrat
tetapi lama-kelamaan perkembangan sistem kapitalisme membuat negara itu harus melayani
kepentingan kaum kapitalis. Akhirnya dari melayani kepentingan kaum aristokrat, negara
melayani kepentingan kapitalisme. Hak-hak prerogatif kaum aristokrat mulai berkurang. Masa
ini adalah masa transisi ketika masyarakat akan membentuk sebuah negara modern yang
demokratis. Contoh masa ini dapat dilihat dalam fase akhir kapitalisme awal sampai fase awal
kapitalisme klasik dalam bentuk merkantilisme.

Di Inggris jalan menuju negara modern dibuka oleh Perang Saudara di pertengahan abad ke-
17. Perang yang melibatkan dua kubu penguasa ekonomi yaitu bangsawan dan kaum kapitalis
tersebut, menurut Barrington Moore, menjadi titik balik kekuasaan raja dan berkembangnya
kekuasaan demokrasi parlementer serta kaum kapitalis. Di Prancis negara modern muncul
setelah monarkhi absolut dihancurkan oleh revolusi Prancis. Bagi Moore Revolusi Prancis
menjadi tanda runtuhnya kekuasaan dan hilangnya privilese kaum aristokrat yang terdiri dari
raja dan bangsawan pemilik tanah, dan digantikan dengan kekuatan demokrasi yang
mengakui kepemilikan pribadi secara sama. Dalam titik inilah kekuasaan kapitalisme mulai
merambah dalam kemenangan demokrasi. Yang patut dicatat adalah bahwa ketika Au klarung
menjiwai Eropa, Eropa sedang dalam perubahan besar menuju abad modern. Eropa sedang
mengalami keterpesonaan pada kehebatan rasionalitas manusia. Individualisme demi
kemerdekaan manusia untuk menentukan dirinya. Liberalisme pasar dengan bantuan the
invisible hand dalam rangka mencapai kemakmuran. Dan realisasi keduanya dalam tataran
politis agar menjadi nyata dalam kehidupan bermasyarakat -tidak hanya cita-cita saja-
terwujud dalam bangunan negara modern. Negara modern dengan ciri demokrasi yang
muncul di Eropa ini berkembang sampai saat ini dan menjadi pondasi dasar bagi masyarakat
modern untuk tumbuh dan berkembang.

Munculnya negara modern di Amerika memiliki sejarah yang sama dengan negara modern di
Eropa. Albert Szymanski mempelajari sejarah pertumbuhan negara modern di Amerika. Ia
mencatat bahwa demokrasi Amerika tumbuh dan berkembang bersamaan dengan dan bahkan
dipicu oleh meluasnya kapitalisme Amerika. Ia melihat bahwa struktur konstitusi demokrasi
Amerika secara langsung dibangun oleh kepentingan kapitalisme. Hal ini disimpulkannya
setelah Szymanski menelusuri dan mencermati Perang Saudara di Amerika dan akibat-
akibatnya. Pada tahun 1860 perang dingin yang terjadi antara kaum pedagang yang kaya di
Utara dan pemilik budak di Selatan memburuk. Masalahnya sistem perbudakan yang
menyumbang devisa yang cukup besar bagi Amerika menghalangi perluasan kepentingan
ekonomi para pedagang industri (mesin-mesin industri untuk pabrik) di Utara. Buruknya
perang dingin itu terwujud dan terselesaikan oleh Perang Saudara yang dimenangkan oleh
kaum kapitalis-industri Utara. Kemenangan itu membuat kaum kapitalis industri dapat
dengan leluasa memperluas ekspansi industrinya ke seluruh Amerika.
Historiogra i terbentuknya negara modern di Amerika dan Eropa menjadi catatan indah bagi
kapitalisme, karena kapitalisme dapat secara mesra merambah sistem politik. Kapitalisme
semenjak titik ini mempunyai dua kekuatan besar yaitu kekuatan ekonomi dan kekuatan
politik. Tidak begitu salah, karena itu, bila dikatakan negara modern yang terbentuk di Eropa
dan Amerika identik dengan kapitalisme. Masa keemasan negara modern yang terjadi dalam
fase kapitalisme klasik dengan pondasi humanistiknya abad Pencerahan, berlangsung sampai
kira-kira awal abad 20 yaitu sampai bentuk ini mengalami krisis akibat Perang Dunia ke-2.
Setelah PD II, negara modern dan penopangnya yaitu kapitalisme yang telah memasuki fase
lanjut mengalami krisis legitimasi. Tatanan yang membentuk keberadaannya digoyang dan
dipertanyakan. Dimulailah masa kritisisme yang berhasrat mere leksikan secara kritis
keberadaan manusia dan humanitasnya dalam lingkup negara dan sistem pemenuh subsisten
yang modern, dengan kambali mere leksikan kesejatian humanisme.

4. Krisis
Kapitalisme sebagai sebuah sistem telah begitu merasuk dalam jiwa masyarakat modern,
bahkan dari paparan di atas kita melihat bahwa bentuk negara modern, forma masyarakat kita
saat ini, telah begitu mesra berasimilasi dengan sistem ini, sehingga keberadaan keduanya
selalu identik. Immanuel Wallerstein mengungkapkan bahwa kapitalisme telah menjadi
sistem dunia (global) yang menempatkan negara-negara Amerika dan Eropa sebagai dunia
pusat (dikenal dengan dunia pertama) sedangkan negara-negara kebanyakan di Asia dan
Afrika sebagai dunia periferal (dikenal dengan dunia ketiga). Maka, terlalu berlebihan bila
orang terlalu takut pada ideologi sosial-komunisme. Kita berada dalam dunia yang kapitalis.
George Ritzer lebih spesi ik lagi mengungkapkan gejala global kapitalisme dengan istilah
McDonaldisasi dan Amerikanisasi. Yang terakhir ini lebih konkrit bagi kita, bahwa McDonald
tersebar di seluruh penjuru Indonesia, bahkan produk Amway yang dipasarkan dengan multi
level marketing (MLM) telah merambah ke Wonosari. Bukti bahwa kita tidak dapat berbohong
tentang keberadaan kita. Kita anak-anak struktur kapitalisme langsung-tidak langsung, mau
atau tidak mau dan sengaja atau tidak.

Kapitalisme klasik telah mengantarkan masyarakat kapitalisme liberal yang dilahirkannya ke


fase (masyarakat) kapitalisme lanjut. Peralihan masa tersebut ditandai oleh Perang Dunia I
dan beralihnya aktivisme modal dari Eropa ke Amerika. Masyarakat manusia modern masuk
ke dalam masa kapitalisme lanjut yang masih berlangsung sampai saat ini. Habermas
memberikan ciri-ciri masyarakat kapitalisme lanjut yang dapat kita tengarai yaitu: adanya
proses pemusatan modal yang menghasilkan perusahaan-perusahaan nasional dan
mustinasional yang begitu oligopolis, terjadinya repolitisasi massa sebagai ganti depolitisasi
massa di masa kapitalisme klasik, produksi terdiferensiasi ke dalam sektor publik dan swasta,
dan di bidang ekologi: alam mulai terancam oleh perkembangan teknologi nuklir (ada
pengembangan teknologi nuklir yang mengancam keseimbangan alam). Ciri-ciri itu
kontekstual dengan masa keberadaan kita masa dimana masyarakat kapitalisme lanjut telah
membentang selama kurang lebih 85 tahun, dan terus akan membentang sampai ada batas
liminal yang dapat membedakan masanya dengan masa yang lain yang datang kemudian.

Masa kapitalisme lanjut yang terbentang cukup panjang itu bukannya tanpa masalah. Hanya
karena masa diskontinuitas yang dialami kapitalisme dalam PD I, kita tidak dapat melihatnya
secara simplistis bahwa kapitalisme akan mengalami kontinuitas sesudahnya. Karena fakta
sejarah membuktikan bahwa sesudah PD I sampai krisis ekonomi dunia, negara-negara pusat
kapitalisme di Eropa ambruk dan berpindah ke Amerika, dan munculnya PD II membuktikan
ideologi kapitalisme (klasik) yaitu liberalisme sudah tidak diacuhkan. Kita mencatat adanya
krisis dalam sejarah perkembangan kapitalisme. Fakta krisis yang lain terlihat dalam
kemunculan negara-negara baru dan merdeka di Asia dan Afrika yang pada masa kapitalisme
sebelumnya dijadikan daerah eksploitasi sumber daya. Krisis yang muncul dibarengi oleh
kemuncullan kritik akan kapitalisme sebagai a irmasi adanya krisis. Kritik yang fenomenal
adalah teori kritis yang dibangun oleh sekolah Frankfurt.Yang lain muncul di Prancis seperti
strukturalisme dan eksistensialisme Sartrean. Di Amerika berkembang paradigma Parsonian
yang mempunyai andil besar dalam merupa wajah kapitalisme baru yang lahir dan
berkembang di Amerika dan akhirnya menyebar di seluruh penjuru dunia. Belakangan kita
menemukan wacana post-modernisme yang mengkritik modernisme dan kapitalisme secara
tajam. Sedangkan, di masa kita saat ini kita melihat adanya krisis yang mewujud dalam
runtuhnya hancurnya negara komunis Rusia dan munculnya negara-negara di semenanjung
Balkan bersamaan dengan pemunahan etnis. Masa kapitalisme lanjut identik dengan krisis.
Tetapi simpulan ini adalah simpulan yang melihat masyarakat kapitalisme lanjut di satu sudut
pandang saja. Dalam sudut pandang yang lain, kita dapat mengatakan bahwa kita mengalami
kemajuan yang begitu dramatis di bidang ilmu dan teknologi.

Mengapa terjadi krisis di masyarakat kapitalisme lanjut? Habermas mendiagnosis hal tersebut
dan mencoba menjawabnya dalam tiga dimensi yaitu dimensi ekonomi, politik dan sosio-
kultural. Dalam dimensi ekonomi terjadi kesenjangan distribusi barang di lapisan-lapisan
sosial masyarakat sebagai akibat krisis yang terjadi dalam proses produksi. Seperti Marx,
Habermas melihat bahwa kerja dan modal yang digunakan dalam proses produksi tidak
seimbang dengan hasil berupa barang-barang konsumsi. Barang-barang konsumsi tidak
merata tersebar pada lapisan sosial yang memasukkan input kerja. Secara ekonomis ada
alienasi tenaga kerja dari barang produksi yang dihasilkan oleh tenaga kerja. Hal ini
merupakan proses akumulatif dari proses produksi yang ada dalam masyarakat kapitalisme
liberal (klasik). Sedangkan negara yang berusaha menyeimbangkan distribusi ini tidak dapat
berbuat banyak, karena negara bergantung pada hukum pertukaran kapitalisme. Dalam titik
ini negara memang mulai mengalami krisis legitimasi keberadaannya. Dalam dimensi yang
kedua yaitu dimensi politik, terjadi alienasi warga negara dalam mengambil keputusan yang
berkaitan dengan negara. Warga negara dibiasakan untuk menerima putusan yang dianggap
mewakilinya tanpa diadakan terlebih dahulu dialog secara partisipatif. Hal ini dilakukan untuk
menutupi ketidakmampuan negara dalam mengatasi krisis dalam bidang ekonomi tadi.
Negara beranggapan bahwa kemajuan dimensi ekonomi hanya dapat diusahakan dengan
crash programme yang tanpa mengikutsertakan diskursus massa yang begitu memakan
banyak waktu dan biaya. Tentu pertimbangan ini disebabkan oleh karena negara terlalu
tunduk pada hukum pertukaran atau prinsip ekonomi. Akibatnya warga negara menjadi
apolitis karena tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Warga negara mulai
mengarahkan orientasinya secara penuh ke bidang pencapaian karir, pemuasan diri lewat
hiburan, konsumeristis dan lain sebagainya. Ketika, kesenjangan semakin akut, negara mulai
merepolitisasi massanya demi memperoleh legitimasinya kembali yang sudah mulai terkikis.
Hal ini terjadi dalam masa kapitalisme lanjut. Mengapa negara perlu merepolitisasi massanya?
Karena masa yang apolitis tadi bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Ketidakacuhan ini
membuat negara berkurang masa pendukungnya yan menyebabkan krisis legitimasi terhadap
keberadaannya. Maka, di titik inilah negara mulai mengadakan repolitisasi dengan kembali
mencoba mengikutsertakan massanya dalam aktivitas kenegaraan. Dalam dimensi sosio-
kultural, terjadi krisis pemaknaan hidup karena massa yang mengalami dialienasi dalam
bidang ekonomi dan politik tidak dapat melihat hidupnya secara integral. Terjadilah krisis
motivasi. Manusia modern mulai merasakan kekeringan dan kehilangan motivasi untuk hidup
dalam atmosfer modern yang begitu kapitalistik. Akibatnya etos re leksi yang memunculkan
kesadaran akan being manusia dan waktu tempatnya berpijak tipis dan ada kecenderungan
menghilang dikikis oleh rei ikasi dunia kehidupan sehari-hari yang seharusnya penuh kejutan
(spontanitas dan dinamika diganti dengan rutinitas) dan konsumeristis. Manusia modern
mengalami kekeringan makna, dan tentu mulai mencari nilai lain yang mampu
menempatkannya pada oase kehidupan. Secara reaktif oase ini ditemukan dalam anti-kultur
modernisme. Krisis dalam ketiga dimensi hidup manusia yang dipaparkan Habermas itu
menggambarkan dehumanisasi dimensi-dimensi hidup manusia. Humanitas yang secara
kodrat meresap dalam tiga dimensi itu mulai dibingkai dan dialienasikan, bahkan
dialienasikan dari manusia sendiri, ke dalam sebuah kategori humanitas yang entah di mana
keberadaannya. Manusia mulai terpecah dari humanitasnya. Di titik ini, manusia mengalami
objektivikasi. Secara pesimis dan sisnistis objektivikasi dilihat oleh Foucault sebagai proses
subjektivikasi, sehingga jargon manusia modern sebagai subjek atas dunia, dilihat Foucault
secara terbalik. Artinya subjek adalah delusi dari objek yang sebenarnya dialami manusia
modern. Subjek (manusia sebagai subjek) adalah istilah yang menggambarkan betapa
manusia telah terpisah dari humanitasnya sendiri.

Dehumanisasi yang ditangkap oleh Habermas tadi (dan di akhir paragraf coba dibahasakan
dengan bahasa Foucauldian) dilihat oleh Maureen Ramsay sebagai abstrak-i-sasi (proses
pengabstrakan atau proses diajadikan sebagai hal yang abstrak) manusia modern. Ramsay
melihatnya demikian. Dalam historiogra i pemikiran, abad pencerahan yang muncul
bersamaan dengan revolusi industri dan pemantapan sistem kapitalisme dikenal sebagai abad
manusia, karena akal budi manusia yang menjadi distingsi radikal antara manusia dengan
alam lingkungannya dia irmasikan oleh pemikiran-pemikiran mengenai kekuatan rasio
manusia dan individualitas manusia. David Hume, Thomas Hobbes, John Locke, Immanuel
Kant, Bentham, dan J.S. Mill dicatat oleh Ramsay sebagai ilsuf yang memberi landasan
epistemologis humanisme modern. Paham liberalisme muncul dan berkembang biak sebagai
implikasi wacana humanisme modern mereka. Dari mata air ini muncullah sistem yang
bermata air pada manusia yang baik. Maka, etika yang baik adalah etika yang memusatkan
nilai-nilainya pada manusia yang baik dan benar; IPTEK yang baik adalah IPTEK yang semakin
memuliakan manusia; dan sosiologi yang baik adalah sosiologi yang menaruh individuasi
sebagai proses akhir masyarakat. Manusia menjadi tolok ukur peradaban modern. Maka igur
manusia yang baik mulai dirumuskan dan diabstraksikan. Dalam titik ini ada usaha sainti ikasi
dan positivisasi manusia untuk dijadikan alat ukur bagi kemajuan jaman. Ada igur ideal
manusia yang menggantung di langit sebagai pedoman proses modernisasi. Muncullah
manusia abstrak.

Manusia abstrak adalah manusia yang dapat diamati kini dan di sini, terpisah dari sejarah
hidupnya dan tidak terkait dengan fakta sosiologisnya. Artinya manusia dilihat sebagai
manusia tunggal yang dilepaskan dari relasinya dengan manusia lain. Manusia semacam ini
bersifat nomotetis dan ahistoris. Pandangan Kantian mengatakan bahwa manusia adalah
tujuan pada dirinya sendiri dan bukan sebagai tujuan bagi kehendak yang lainnya. Di dalam
dirinya manusia memiliki martabat dan harga diri yang sama bagi semua. Bagi Bentham,
masyarakat adalah tubuh iktif. Yang nyata adalah individu yang berhimpun dengan
menyatakan diri sebagai anggota masyarakat. Sedangkan Mill menyatakan bahwa hukum dari
fenomena masyarakat adalah hukum kodrat manusia yang terdiri dari kegiatan dan keinginan
manusia. Artinya individu menjadi ukuran keberadaan hukum masyarakat. Padahal, manusia
atau individu yang mereka cita-citakan adalah manusia yang abstrak, yang tidak konkrit.

Ramsay mencatat bahwa manusia abstrak menjadi konsep yang mendehumanisasi manusia
dalam proses pencarian makna hidupnya. Manusia tercerabut dari akar relasinya dengan
manusia lain dalam masyarakat. Komunikasi antara manusia jadi sedemikian abstrak dan
akhirnya manusia menjadi sedemikian absurd bagi manusia lainnya. Hal itu terlihat dalam
industrialisme yang begitu merutinkan hidup manusia dan menempatkan manusia pada
fungsi-fungsinya tanpa ada komunikasi humanitarian di antaranya. Ramsay mencontohkan
proses representasi atau perwakilan dalam dunia politik kenegaraan. Dalam dunia ini manusia
dianggap terwakili beingnya oleh kehadiran satu orang yang mewakilinya (wakil ini mewakili
beberapa individu). Anggapan ini membuat negara besar kepala dengan mengatakan dirinya
legitimate berdasarkan wakil-wakil individu rakyatnya. Akhirnya, karena sudah terwakili,
diskursus yang partisipatif demi urusan negara jarang atau bahkan tidak pernah diadakan.
Kita melihat signi ikansi uraian Ramsay ini dengan uraian Habermas tentang apolitisasi
massa. Manusia mulai menjadi abstrak, tidak konkrit. Ia tercerabut dari akar kemanusiaannya
sendiri. Manusia yang tercerabut ini sering menyebut dirinya sebagai subjek yang mengalami
subjektivikasi.

Paparan tadi memperlihatkan pada kita krisis modernisme yang memunculkan subjek
modernisasi yang begitu dehumanis. Paparan berikut akan menggambarkan krisis struktural
dalam wujud legalisme. Kedua krisis ini, yaitu dehumanisasi dan legalisme, memungkinkan
terjadinya krisis episteme modernisme atau menurut Habermas krisis legitmasi keberadaan
modernisme. Subjek yang sering didengungkan sebagai subjek hukum dalam tataran yuridis
ternyata memang menemukan lahan pekuburannya dalam legalisme. Berikut paparannya.

Krisis yang spesi ik terdapat dalam gambaran L.M. Friedman tentang Legalisme. Dalam
Legalism and Individualism, Friedman mendeteksi simpton-simpton legalisme. Legalisme,
terutama di Amerika, ditandai dengan "law explosion" atau meningkatnya hukum dan profesi
kepengacaraan. Kehidupan bermasyarakat dipenuhi oleh aturan hukum. Yang dimaksud
dengan hukum tentu saja, terutama, adalah praktek ajudikasi yang harus dibedakan dengan
legislasi.

Ia mere leksikan bahwa kultur modernisme mengakibatkan munculnya personalisme atau


individualisme (akibat ideologi liberalisme). Dalam arus deras personalisme itu orang
tercerabut dari kemampuan berelasinya dengan sesama. Manusia menjadi sedemikian
abstrak bagi sesamanya. Dengan kata lain manusia mengalami alienasi dalam bidang
kehidupan ekonomi, politik dan sosio-kultural -nya. Yang konkrit atau yang tidak asing bagi
manusia adalah sistem industrial yang harus disesuaikan dalam rangka produksi dan
distribusi kapitalisme yang justru tidak menjadi kodrat kemanusiaannya. Modernisme
menggantikan kultur tradisional yang justru kuat dalam mengolah relasi antara manusia
dengan relasi teknologis. Faktor x manusia yang melengkapi kemanusiaan manusia diganti
prediksi-prediksi logis dan sistematis. Kemampuan berkomunikasi manusia dibantu oleh
hukum. Manusia sudah kehilangan kepercayaan satu sama lain untuk dapat saling
berkomunikasi sehingga harus dibantu oleh aturan-aturan ajudikatif. Friedman mengatakan
bahwa masyarakat modern adalah masyarakat yang diekspansi oleh aturan-aturan hukum.
Ada ledakan hukum litigatif yang membuat masyarakat begitu legistis. Maka legalisme bagi
Friedman adalah masalah positivisme legal yang begitu akut yang menyebabkan ledakan
hukum ("law explosion") atau secara spesi ik "litigation explosion" (ledakan hukum litigatif).
Pemicunya adalah modernisme yang menggoyahkan otoritas tradisional dari relasi
kekerabatan manusia.

Legalisme yang dituturkan Friedman merupakan fenomena keterasingan manusia dari ketiga
dimensi hidup yang telah dipaparkan Habermas tadi dan juga menjadi fenomena bagi
pengabstrakan hidup manusia seperti yang Ramsay bicarakan. Manusia sebagai subjek
kehilangan humanitasnya dan mengalami kematian dalam kuburan legalismenya. Legalisme
menjadi kuburan bagi subjek karena dalam relasi legistis yang diciptakan legalisme; relasi
komunitatif dan dialogis tidak ada. Kemanusiaan menemukan ajalnya dalam legalisme Maka,
legalisme menjadi kubur bagi manusia modern.
Dalam titik pandang ini kita melihat modernisme telah menjadi ideologi tentang kemanusiaan,
dan bukan idea. Apa maknanya? Untuk menjawabnya perlu diuraikan arti kata ideologi dan
idea yang mempunyai makna berbeda. Ideologi dalam terminologi modern yang mempunyai
makna peioratif dipahami sebagai teorisasi atau spekulasi dogmatik dan khayalan kosong
yang tidak benar atau tidak realistis. Oleh Karl Marx ideologi disebut sebagai kesadaran palsu
atau false consciesness yang ditebarkan oleh kaum kapitalis (borjuis) untuk menguasai
kesadaran kaum proletar agar dapat digunakan untuk akumulai kapital dalam wujud surplus
nilai (ekonomi). Sedangkan oleh Habermas ideologi dilihat sebagai pembatuan relasi manusia,
karena komunikasi yang dibawanya tidak partisipatif dan emansipatoris. Jadi, ideologi dalam
wacana tentang modernitas dimengerti secara peioratif (buruk). Ada unsur pemaksaan,
penguasaan yang membuat manusia tidak bebas atau merdeka. Idea dibedakan dari ideologi
karena frasa logos (logi) yang tidak dikandungnya. Idea mempunyai arti visi, kontemplasi atau
penampakan tentang suatu yang ideal. Kata ini mempunyai makna yang luhur dibandingkan
dengan ideologi, karena ia mengalir dan mengilhami kemerdekaan dalam diri manusia. Bila
tema kemanusiaan atau humanitas dalam ideologi telah dibatukan, maka dalam idea atau ide
tema ini belum terbatukan. Ia menjadi inspirasi atau ilham bagi aksi kemanusiaan. Dengan
uraian ini, kita dapat menjawab pertanyaan tentang modernisme yang telah menjadi ideologi
bagi kemanusiaan manusia (modern), yaitu bahwa krisis yang dipaparkan di atas
membuktikan pembatuan ide pemerdekaan manusia (yang diawali oleh Au klarung) dalam
modernisme. Modernisme telah menjadi ideologi yang digunakan kapitalisme untuk menjerat
manusia masuk ke dalam jaring-jaring kuasanya. Jadi dalam dua krisis yang penting yang dapat
ditengarai di masa modern yaitu krisis humanitas manusia karena subjektivikasi atau
objektivikasi dan krisis struktur kekuasaan masyarakat yang humanis, kita dapat melihat
ideologisasi semangat pencerahan. Modernitas telah menjadi begitu ideologis.
C. Hukum sebagai Forma: Suatu Implikasi Ideologis
Di bagian ini, saya akan mencoba melihat sejarah pemikiran tentang hukum. Istilah hukum yang
digunakan dalam bagian ini mencakup pengertian yang begitu luas. Di satu pihak dapat diartikan
sebagai sebuah aturan positif, di pihak lain sebagai entitas berbagai aturan yang begitu meta isis.
Ada baiknya bila tidak membatasi dalam arti atau ciri-ciri, karena memang sulit untuk
membatasi dan mencirikannya. Yang pasti yang akan dipaparkan adalah hukum yang secara
historis ditangkap oleh zaman-zaman yang pernah dilalui manusia. Bagian ini dipaparkan
setelah melihat bentangan modernisme dan krisis yang dialaminya, karena hukum merupakan
bagian dari sejarah perkembangan zaman modern yang dialami manusia. Ia memforma aturan-
aturan yang ditetapkan oleh masyarakat manusia demi menghadapi zaman yang dilaluinya.
Aturan-aturan ini bersumber pada pandangan hidup atau idea tertentu yang kemudian
dibakukan secara formal dalam ideologi-ideologi. Maka dibalik forma hukum ada ideologi yang
bekerja. Krisis ideologi pencerahan dalam modernisme membawa implikasi pada dimensi
hukum. Hal itu terlihat dalam legalisme yang dipaparkan Friedman. Di zaman-zaman
sebelumnya hukum pun selalu mengikuti ideologi tertentu. Hukum menjadi implikasi ideologis
dari ideologiasasi zaman-zaman yang dilalui manusia. Adanya ideologi tertentu pada zaman
yang berbeda dapat dilihat dari adanya tema-tema dominan zaman yang bersangkutan. Berikut
paparannya.

Roscoe Pound secara tematis melihat bahwa sistem hukum selalu didasarkan pada ketiga hal
dengan kombinasi yang unik pada masing-masing zamannya. Ketiga hal itu adalah otoritas atau
kekuasaan (yang diacu oleh Roscoe dengan otoritas adalah kekuasaan dalam masyarakat),
ilsafat dan sejarah. Dari abad ke-12 sampai dengan abad ke-16, sistem hukum didasarkan pada
kekuasaan. Rupanya Roscoe Pound mengambil masa dari abad pertengahan sampai dengan
masa Renaissance-Humanisme diteruskan dengan masa penemuan keagungan rasionalitas
manusia (Ages of Reason, masa ketika Descartes dan Newton hidup), atau masa feodalisme
sampai masa muncul dan berkembangnya monarkhi absolut, dan; atau masa ketika kapitalisme
mulai berkembang. Di abad ke-17 sampai dengan abad ke-18 sistem hukum didasarkan pada
ilsafat. Masa ini adalah zaman ketika manusia mulai memasuki dan mengalami pencerahan
(Au klarung). Dalam rentang kurun itu monarkhi absolut mulai berkembang tetapi juga mulai
pudar sedikit demi sedikit karena hadirnya negara modern yang berciri demokrat dan kapitalis.
Di abad ke-19, sistem hukum memasuki fase pendasaran keberadaannya pada sejarah. Pada
masa ini kapitalisme mulai mantap dengan mulai masuk ke dalam fase kapitalisme lanjut,
walaupun sebagian besar masih berada di fase kapitalisme klasik yang berpaham liberal. Negara
modern, pada masa ini mulai mantap pula. Kekuasaan rakyat yang tercermin pada parlemen
menjadi ukuran bagi keberadaan sebuah negara. Di masa ini pula tradisi kritis mulai lahir dari
tangan manusia seperti Marx. Kita akan mencoba merunutnya secara lebih jelas.

Dalam rentangan abad ke-12 sampai dengan abad ke-16 ketika sistem hukum bergantung pada
otoritas, kita dapat menemukan fakta menarik berkaitan dengan perkembangan hukum dalam
masyarakat. Di masa Renaissance-humanisme, penggalian teks-teks hukum Romawi dilakukan.
Keterpesonaan orang-orang di masa itu akan hukum Romawi (berkat kejayaannya) membuat
mereka menerapkan kaidah hukum Romawi pada hukum untuk masyarakat mereka terutama
untuk hukum perdagangan (Saat Renaissance adalah saat pertama kali kapitalisme muncul).
Fakta lainnya adalah para aktivis gerakan humanisme pada masa Renaissance adalah para ahli
hukum. Para ahli hukum memimpin penggalian teks-teks kuno yang pernah dimiliki kerajaan
Romawi demi otentisitas dan kebenaran. Walaupun gerakan humanisme sudah muncul namun
hal ini belum menjadi dasar bagi hukum. Sistem hukum masih mengandaikan adanya kekuasaan
tertinggi yang memerintah manusia, sama dengan hukum Romawi dan kebudayaan Romawi
yang menjadi acuan hidup masyarakat Eropa di masa itu yang melihat kaisar sebagai otoritas
kehidupan, termasuk hukum, tertinggi Tentu yang pertama adalah hukum ilahi yang diwakili
diwakili oleh gereja. Yang kedua adalah hukum para tuan tanah, raja atau bangsawan. Otoritas
kedua lembaga ini sangat mengendalikan visi dan misi keberadaan hukum.

Dua ahli hukum pada masa ini yang dapat dicatat adalah William of Occam dan Thomas Aquinas.
William Occam membuat tiga prinsip differensiasi hukum yang hirarkis. Dalam prinsip yang
ketiga, ia menyebutkan bahwa otoritas kekuasaan mempunyai wewenang untuk
mendeduksikan hukum alam. Otoritas wewenang yang dimaksud Occam adalah gereja para
bangsawan tuan tanah. W. Friedman mencatat bahwa prinsip ketiga ini justru memaklumkan
adanya potensi kon lik antara kedua otoritas tadi, terutama ketika Eropa mulai memasuki masa
Pencerahan. Thomas Aquinas seorang biarawan Dominikan, sudah dapat diduga secara pasti,
mendasarkan sistem hukum yang diidealisasikan dalam hukum Tuhan yang tampak dalam
hukum-hukum gereja. Dari gereja lah kemudian mengalir otoritas yang bersifat derivatif untuk
melaksanakan hukum Tuhan yaitu raja atau bangsawan. Pemikiran keduanya memang hampir
berbeda, namun hal tersebut bukan hal yang signi ikan untuk diperdebatkan karena paparan
tentang keduanya hanya bertujuan untuk menyatakan bahwa pada saat itu sistem hukum
didasarkan pada otoritas (baik gereja maupun kerajaan lokal).

Ketika di seluruh daratan Eropa bermunculan negara modern yang menyuksesi monarkhi
absolut, sistem hukum yang berlaku yaitu sekitar abad ke-17 sampai dengan abad ke-18
berdasar pada ilsafat; yaitu ilsafat pencerahan. Maka wacana tentang rasionalitas dalam sistem
hukum begitu biasa, walaupun pemikiran hukum yang memformanya adalah wacana hukum
kodrat (natural law): forma yang sama dengan masa sebelumnya di abad kegelapan. Di masa ini
otoritas tertinggi tidak diletakkan pada gereja, kaum aristokrat pemilik tanah atau raja, tetapi
pada rasionalitas manusia. Wujud konkritnya adalah kehendak merdeka manusia untuk hidup
tertib dan damai serta dilingkupi suasana keadilan. Dalam bangunan negara modern, hal ini
berwujud parlemen yang menampung suara rakyat. Maka, tidak mengherankan bila wacana
mengenai hukum dan sistemnya pada masa ini begitu diwarnai oleh rasionalitas dan populisitas
(seperti tema-tema kerakyatan, perjanjian atau kontrak dalam masyarakat).

Kita dapat melihatnya dalam karya-karya Hugo Grotius yang menggunakan konstruksi kontrak
sosial untuk kedua macam sistem hukumnya. Sistem hukum yang pertama bersifat internal
ditujukan untuk memberi justi ikasi pada kemutlakan dari tugas rakyat untuk patuh pada
pemerintah. Yang kedua adalah sistem hukum eksternal yang mencoba mengadakan dasar
yuridis untuk keterikatan dan relasi yang stabil antar negara. Grotius hidup dari tahun 1583 -
1645. Hobbes (1588 - 1679) dengan mengisahkan kekacauan yang memang sedang dialami
Eropa, memunculkan sang Leviathan yang akan mengatur serta memberikan kewenangan
kepada negara untuk mendamaikan dan mengatur rakyat yang bertikai. Dalam sosok sang
Leviathan Hobbes memberi narasi logis tentang keberadaan sosial kontrak yang dikawal oleh
negara. Locke yang hidup antara tahun 1632-1704, sebenarnya berbeda dengan Hobbes dalam
hal hak individu berkaitan dengan otoritas negara, namun masih berada dalam alur hukum
kodrat Pencerahan. Bila Hobbes mentransfer kebebasan individu ke dalam otoritas negara
karena fakta instabilitas individualisme, Locke berusaha agar otoritas yang menjaga
individualisme tiap orang dengan otoritas atau pemerintahan yang didukung oleh rakyat (dalam
parlemen). Maka, bagi Locke otoritas negara muncul bukan dalam rangka eleminasi
individualisme karena dipandang tidak mampu hidup tertib, damai dan adil, tetapi ia muncul
karena dukungan rakyat. Ada kepercayaan yang diembannya. Paradigma kontrak sosial Hobbes
dengan Locke cukup berbeda. Rousseau dengan persepsi kontrak sosial yang berbeda dari baik
Hobbes maupun Locke, menaruh kehendak masyarakat pada kehendak bebas dan persamaan
individu untuk mengikat diri atau berkontrak. Bagi Rousseau, invidu yang bebas dan sama
merasa bahagia untuk berada dalam masyarakat sehingga komunitas invidu yang berkontrak
selalu diinginkan dan dibentuk manusia. Hal inilah, yaitu komunitas indivdu-individu yang
yang harmonis, yang menjadi basis utama pemikiran Rousseau, bukan individu an sich seperti
Hobbes dan Locke. Rousseau hidup antara tahun 1712 - 1788.

Masa berikutnya yang dipetakan oleh Pound yaitu masa sistem hukum yang historis berada
dalam abad ke-19. Masa ini didahului oleh senjakala pemikiran hukum kodrat yang berbasiskan
rasionalitas dan kontrak sosial. Menurut W. Friedman, Montesquieu dan David Hume menjadi
pemikir masa ini, karena Montesquieu sebenarnya menggunakan pendekatan sosiologi
yurisprudensi komparatif dalam banyak karyanya terutama dalam karya besarnya Jiwa dari
Undang-undang (Esprit des Lois); sementara Hume menggoncang rasionalitas yang mengalasi
hukum kodrat. Ia melihat bahwa Rasionalitas yang adalah impresi manusia, begitu pula dengan
moral dan kodrat manusia. Mereka tidak nyata. Yang empiris adalah yang terjadi saja. Hubungan
sebab akibat dalam hal yang empiris merupakan ilusi kausalitas rasio manusia. Maka, hubungan
hak dan kewajiban, prestasi dan wan-prestasi bagi Hume hanyalah impresi manusia bukan hal
yang empiris.

Masa sistem hukum historis yang didahului oleh skeptisisme Hume ditandai hadirnya mazhab
hukum historis (historical school) di Eropa terutama Prancis dan juga Amerika. Mazhab ini
beranggapan bahwa hukum bukanlah deklarasi tentang moralitas atau kodrat manusia tetapi
deklarasi tentang prinsip progresif tentang pengalaman manusia dalam melakukan administrasi
keadilan dan pengalaman manusia yang hidup di masyarakat. Pendirian semacam ini dari
mazhab historis mendapat perlawanan keras dari Stammler. Namun dengan bening disanggah
oleh Holmes dengan mengemukakan sisi yang sering terlupakan yaitu sisi historis sosiologis dari
keberadaan hukum.

Abad ke-19 merupakan masa ketika landasan sistem hukum berkomposisi dinamis antara
landasan otoritas, iloso is dan historis. Tidak ada mainstream pemikiran yang sanggup secara
mutlak mendominasi seperti ketika di masa-masa sebelumnya dari abad ke-12 sampai dengan
abad ke-19 awal. Selanjutnya mazhab historis terpecah-pecah ke dalam beberapa aliran.
Sebagian menjadi mazhab positivisme, salah satunya yang termasuk dalam Lingkaran Wina,
seperti Hans Kelsen. Yang lain seperti Kohler beralih ke ilsafat aliran neo-Hegelian. Yang lain lagi
mulai memadukan berbagai perspektif seperti perspektif ekonomi dan mazhab historis. Pada
masa ini pemikiran tentang hukum dan sistemnya terdispersi ke berbagai partikularitas
pemikiran yang begitu kompleks.

Di abad modern ketika pemikiran mengenai hukum begitu cair, ada bangunan hukum modern
yang mulai begitu kuat berdiri yaitu negara. Ketika di fase kapitalisme lanjut negara telah begitu
kuat dan ideologi modernisme telah terei ikasi, hukum menjadi kekuatan yang tampaknya tak
berwajah (artinya hukum berbasis secara bergantian pada tiga tema tadi yaitu: otoritas, ilsafat
dan sejarah). Ia siap mendukung kepentingan siapapun bergantung pada kuasa yang dimilikinya.
Negara menjadi kekuatan dominan yang kemudian didukungnya karena dalam negara terjadi
akumulasi dimensi sosio-politik, ekonomi dan budaya manusia modern. Kapitalisme menjadi
tatapan negara-negara modern dan hukum melegitimasi secara yuridis keberdiriannya. Dalih
vox populi vox dei yang menegasi manusia dalam citra manusia abstrak yang diwakili rakyat
menjadi landasan iloso is hukum dalam pembenaran keberadaannya yang begitu legalistis,
formalistis dan objektivis (serta positivis). Dalam dimensi hukum inilah kemudian terlihat jelas
modernisme yang mengalami krisis. Implikasi terjadinya krisis ideologi adalah krisis hukum
dalam bentuk formalnya yang begitu positif. Di perhentian ini yang perlu dicatat adalah bahwa
eksistensi hukum menjadi implikasi dari eksistensi ideologi tertentu.
Bentangan kisah modernisme dan krisisnya menatapkan pada kita fakta adanya dehumanisasi
manusia selama berlangsungnya proyek pencerahan yang sebenarnya ingin memanusiakan
manusia setelah lepas dari abad kegelapan. Ditemukannya mesin, berkembangnya budaya
industrial dan kapitalisasi masyarakat menjadi bumerang kebebasan manusia. Demitologisasi
yang diusahakan di awal proyek pencerahan justru menciptakan mitos baru. Manusia kembali
menyesuaikan diri dengan alamnya yang baru setelah lepas dari kungkungan alam yang lama.
Jika dulu manusia mencoba menyelaraskan diri dengan hukum-hukum alam dalam budaya
animisme, saat ini manusia mencoba menyelaraskan diri dengan alam industrial kapitalis dalam
budaya konsumerisme. Manusia seperti berjalan di tempat dengan latar yang baru. Ironis! Ketika
manusia telah mencapai kemakmuran manusia justru merasa mendapati dirinya kering dalam
rutinitas yang modern. Bekerja dalam mesin-mesin industri di pagi hari, pulang ke rumah
menjelang malam, menonton televisi yang menyajikan simulakra kehidupan dan mimpi-mimpi
konsumeristis, tidur dalam kekosongan dan ketidaksadaran, hingga bangun lagi untuk menjalani
hal yang serupa sama dengan hari-hari yang telah lalu. Harapan yang terlintas adalah
kemakmuran di kemudian hari yang tak jelas ukurannya.
BAB II
WACANA KRITIS FOUCAULDIAN
A. Kaitan Krisis dan Kritik Modernisme
Pertanyaan "apa yang dimaksud dengan krisis?" kiranya menjadi pertanyaan awal yang analitis
untuk mengawali paparan bagian ketiga ini, karena di penghujung akhir bagian kedua tadi kita
telah menemukan simpton krisis modernisme. Setelah menemukannya saat kita melangkah ke
bagian ini, kita menemukan topik mengenai kritik terhadap modernisme yang mewujud dalam
wacana kritis Foucauldian. "Adakah kaitan antara krisis dan kritik atau wacana kritis?" Dua
jawaban dari pertanyaan analitis tersebut coba dipaparkan dalam bagian introduksi ini.

Habermas melihat bahwa krisis termasuk dalam kategori perubahan. Tetapi perubahan yang
terjadi baru dapat disebut krisis apabila perubahan yang terjadi itu tidak diakomodasi oleh
sistem sosial yang bersangkutan. Tidak dapat diakomodasinya perubahan ini disebabkan oleh
kemampuan pengendalian sistem tidak mampu mengendalikan perubahan tersebut. Bentuk-
bentuk krisis terlihat dalam gangguan-gangguan yang mengancam integrasi sistem. Namun
Habermas tidak melihat sistem sebagai sistem an sich. Ia melihat bahwa dalam sebuah sistem
sosial ada dua integrasi yang teracam oleh sebuah krisis yaitu integrasi sistem sebagai sistem dan
integrasi sosial yang mencakup dunia kehidupan individu dengan sistem yang memformanya
dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga perubahan yang disebut krisis tadi dapat terjadi
kalau perubahan itu mengancam keutuhan sistem (strukturnya mulai goyang dan berubah)
serta mengancam individu yang menghidupi sistem. Artinya individu-individu yang menjadi
anggota sistem itu mulai merasakan perubahan yang tidak dapat dikendalikan oleh hidup
mereka sendiri dan juga, perubahan itu dirasakan sebagai ancaman terhadap identitas sosial
mereka.

Perubahan dalam dimensi ekonomi, politik dan sosial-budaya di masyarakat kapitalisme lanjut
bagi Habermas adalah krisis. Barang ekonomi terus saja diproduksi tetapi tidak pernah ada
distribusi yang benar-benar merata dan buruh yang memproduksinya seringkali teralienasi dari
barang yang diproduksinya karena tidak dapat memiliki barang itu. Di dunia politik massa yang
apolitis mulai digarap kembali demi perolehan legitimasi negara, sedangkan dalam tataran
kultural manusia merasakan keterasingan dari dirinya sendiri. Manusia mengalami kekeringan
makna hidup. Terlihat bahwa dalam tataran struktural (contohnya negara) sistem mengalami
ancaman disintegrasi dan dalam tataran individual (kultural) manusia secara individual
mengalami krisis makna hidup. Begitu pula dengan paparan Ramsay dan Friedman. Dari saripati
diskursus mereka kita dapat mencermati bahwa manusia tercerabut dari dunia konkrit
kehidupannya sehari-hari dan masyarakatnya mengalami legalisasi yang begitu akut
(positivistik). Jelas sekali baik individual maupun strukural atau baik dalam dunia kehidupan
yang mengandung kehidupan sehari-hari maupun dunia sistem, terjadi perubahan yang tidak
dapat diakomodasi oleh sistem pengendalian dari sistem masyarakat kapitalisme lanjut. Ada
krisis dalam masyarakat kapitalisme lanjut.

Lalu bagaimana dengan kritik atau wacana kritis? Tentu kritik muncul sebagai penyikapan
terhadap krisis. Habermas mengeluarkan kritik terhadap masyarakat kapitalisme lanjut dengan
menyebutkan bahwa masyarakat kapitalisme lanjut tidak mengembangkan paradigma
komunikasi yang partisipatif dan emansipatoris. Ramsay mengkritik bahwa wacana yang
dikembangkan dalam masyarakat kapitalisme lanjut yang dijiwai liberalisme membuat manusia
menjadi abstrak bagi dunia kehidupannya. Friedman mendeteksi legalisme yang menghinggapi
masyarakat modern. Baginya masyarakat jadi begitu positivistik dan tidak dapat berkomunikasi
dengan bahasa hukum. Kritik-kritik ini mempunyai landasan praktisnya ketika ia dibenturkan
pada krisis yang sebelumnya diajukan oleh baik Habermas, Ramsay maupun Friedman.
Dengan demikian, terlihat kaitan krisis dengan kritik atau wacana kritis yaitu bahwa kritik
menjadi praktis (nyata, konkrit, mendasar, kontekstual dan aktual) ketika ia dibumikan pada
krisis yang dihadapi oleh situasi konkrit yang dikritiknya. Jadi terjawab sudah dua pertanyaan
analitis yang mengawali bagian ini. Berikutnya adalah melihat krisis dan kritik yang dipaparkan
Foucault yang menjadi fokus perhatian seluruh pembahasan karya tulis ini.

Memerikan secara sistematis pemikiran Foucault tentang modernisme sama sulitnya dengan
memerikan aforisme-aforisme yang dibuat oleh Nietzsche. Tulisan Foucault bagaikan aforisme
panjang. Kritik menjadi topik di hampir setiap bagiannya (baik bab, sub-bab maupun paragraf,
atau jika dalam majas hiperbola huruf-huruf yang disusun Foucault merupakan kritik atas
modernisme di setiap titiknya). Krisis dan kritik diutarakan secara berbaur, tidak seperti
Habermas yang secara ketat mencermati keduanya. Kalau berikut pemikiran Foucault terpapar
sedemikian sistematis tentu bukanlah usaha Foucault. Ia adalah usaha orang-orang yang
berusaha menggali pemikirannya seperti Gordon Collins, Lois McNay dan Gary Gutting (ia adalah
editor dari sebuah buku yang mencoba mengulas secara sistematis pemikiran Foucault).

Kritik Foucault yang relevan untuk dikemukakan dalam karya tulis ini adalah mengenai subjek
yang dianggapnya mati (kita dapat membahasakannya dengan subjek yang terdehumanisasi)
dan masyarakat pemenjaraan atau karseral. Keduanya relevan untuk diangkat dalam wacana
kritis tentang hukum yang menjadi semangat karya ini (tulisan ini adalah tulisan yang dipaksa
tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yuridis). Terlebih lagi ketika kita mau
menatapkannya dengan paparan Friedman tentang legalisme dan para aktivis Critical Legal
Studies seperti Roberto Unger.

B. Foucault
"Within the circle of the philosophers of my generation who diagnose our times,
Foucault has most lastingly in luenced the Zeitgeist” Jürgen Habermas
1. Tentang Hidupnya
Michel Foucault, lengkapnya Paul-Michel Foucault, lahir di Poitiers tanggal 15 Oktober 1926
sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Anne Malapert dan Paul Foucault. Tradisi
keluarganya mengharuskan ia menyandang nama panggilan "Paul". Ia sendiri lebih senang
dipanggil Michel. Sedangkan, ibunya bersikeras menggunakan panggilan "Paul-Michel". Maka
Michel Foucault memiliki banyak nama panggilan. Di sekolah dan di keadministrasian negara
ia dipanggil Paul. Di rumah, terutama oleh ibunya, ia dipanggil Paul-Michel. Di kemudian hari ia
menggunakan nama panggilan yang disenangi dan dipilihnya sendiri "Michel". Nama Paul-
Michel, nama kesayangan ibunya, memancing teman-teman sepermainannya untuk
memplesetkan dan mengolok-olokan namanya dengan panggilan "Polichinelle" (di negeri
Paman Sam dikenal dengan Pinokio).

Pada umur empat tahun Foucault masuk sekolah dasar lycee Henry IV. Di tahun 1942 ketika ia
berumur 16 tahun mulai belajar ilsafat secara formal. Pada tahun berikutnya, ia lulus sarjana
muda. Setelah bertengkar dengan ayahnya mengenai karir yang ingin ditempuhnya (ayahnya
ingin Foucault menjadi dokter, Foucault menentang keinginan ayahnya), Foucault
mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk Ecole Normale Superieure (ENS) selama kurang
lebih dua tahun. Sayang ia gagal, karena ia masuk peringkat 101, dari 100 orang yang diterima.
Di tahun 1946, setelah selama setahun ia mempersiapkan diri di Paris untuk mengikuti
kembali ujian ENS, Foucault diterima menjadi mahasiswa ENS. Dalam seleksi ujian masuk itu
ia berhasil menduduki peringkat keempat. Di sinilah "kegilaan" Foucault dimulai.
Ia belajar dan "minum" secara aktif serta berlebihan sehingga dianggap gila oleh teman-
temanya. Ke-gay-an Foucault pun mulai ditampakkan secara dramatis. Akibat banyak
tindakan yang aneh, seperti menyayat dadanya sendiri dengan pisau cukur, mengejar-ngejar
seorang pemuda dengan pisau cukur yang terhunus dan mencoba bunuh diri dengan pil tidur,
Foucault mulai berkenalan dengan lembaga psikiatri.

Hiper-aktivitas dalam kegiatan homoseksualitas, kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan serta


pesta gila menjadi kisah biasa yang dilalui Foucault. Karya-karya intelektualnya dari Kegilaan
dan Peradaban sampai Sejarah Seksualitas jilid terakhir (jilid IV: Pengakuan Tubuh) menjadi
cerita hidup Foucault dalam tataran wacana kecerdasannya yang sangat luar biasa. Ujung
kebinalan dan kebengalan hidup Foucault terdapat pada kala 25 Juni 1984, pukul 13. 15. Ia
wafat dalam usia 57 tahun 8 bulan, karena AIDS yang dideritanya. Pemicunya demam. Sejarah
Seksualitas yang direncanakan Foucault sampai enam jilid tidak pernah terealisir. Kegiatan
intelektualnya menemui titik koma, seakan terhenti oleh kematiannya namun mengalir terus
oleh pertanyaan dan peraguan yang di igurkan sepanjang hidupnya.

2. Tentang Posisinya: Foucault dalam Tradisi Kritik


“Memetakan" Michel Foucault dalam wacana intelektual berarti melihat dinamika pemikiran
dunia Barat (yang diwakili Eropa serta kemudian Amerika Serikat) dalam radius kurun Perang
Dunia II dan sesudahnya, paling tidak sampai rentang waktu tahun 1970-an, ketika ada
"maklumat resmi" dari Lyotard tentang post-modernisme. Dalam kurun tersebut kita
menemukan rantai peristiwa monumental yang mempengaruhi wacana intelektual Barat
secara signi ikan. Saat itu pencerahan (modernisme) -yang muncul dan berkembang di dunia
Barat- yang membawa manusia pada cita-cita humanitarian dikejutkan oleh Perang Dunia II.
Manusia seakan ditatapkan pada kenyataan pahit pencerahan. Nazisme Hitler, Fasisme
Musolini dan lawannya yang berkonfrontasi membuat orang mempertanyakan iklim modern,
budaya industrial yang konsumeristis -termasuk mesin-mesinnya yang semula menjadi
fasilitas perekonomian berkembang menjadi pencipta mesin-mesin perang dan
dehumanisasi- dan kapitalisme yang telah berkembang selama kurang lebih delapan abad.
Tradisi mengkritisi zeitgeist modernisme yang baru menjadi embrio pada masa Marx,
Durkheim dan Weber mulai berkembang. Bidang kritik tidak hanya dibatasi pada satu atau
dua dimensi hidup manusia saja, tetapi sudah dicoba untuk melihat keseluruhan dimensi
secara integral. Ilmu-ilmu humaniora, sosial dan eksakta mulia dilihat sebagai ilmu yang saling
berkaitan dan bekerja sama dalam memanusiakan manusia. Bidang estetika (seni) yang
menjadi sambilan dalam budaya industrial modern, mulai ditekuni secara kritis. Seni bahkan
menjadi inspirasi bagi kritik atas modernisme. Aliran post-modernisme banyak menimba air
mata kritisisme dari bidang ini.

Salah satu yang monumental dalam tradisi kritik adalah aliran Frankfurt atau Frankfurter
Schule. Aliran ini lahir dari sebuah Institut Penyeledikan Sosial, Frankfurt, Jerman. Institut ini
pada awalnya gencar meneliti dengan sudut pandang Marxist. Namun setelah Horkheimer
menjadi direkturnya, institut mulai menjajagi penyeledikan sosial dengan menggunakan
paradigma lain seperti psikoanalisa. Dalam titik inilah institut mulai dikenal sebagai lembaga
yang menyebarkan kritisisme dengan kemultidimensionalan paradigma yang dipakainya.
Kritik rasio Kant, psikoanalisa Freud, materialisme historis Marx dan dialektika Hegel menjadi
pilar-pilar inspiratif pergerakan sekolah Frankfurt. Ada dua generasi dalam aliran ini.
Generasi pertama aliran Frankfurt yang dimotori seperti Horkheimer, Adorno dan Marcuse
mengobrak-abrik pandangan modernisme yang telah terei ikasi dengan keras dan kritiknya
berakhir dalam pesimisme. Generasi kedua, yaitu Habermas, melanjutkan proyek
pendahulunya dengan mengintrodusir paradigma komunikasi. Jalan buntu pesimistik
pendahulunya menemui pintu baru dalam paradigma ini. Di Prancis pada masa yang hampir
bersamaan muncul tradisi kritis dalam berbagai bentuk seperti gerakan mahasiswa Marxis,
pemikiran eksistensialisme Sartrean dan strukturalisme yang bertumpu pada lingustik
Ferdinand de Saussure. Orang-orang besar seperti Louis Althusser, J.P. Sartre, Maurice
Merleau Ponty, dan The Gang of Four (sebutan khalayak Prancis untuk para "strukturalis"
Claude Levi Strauss, Jacques Lacan, Roland Barthes dan Michel Foucault) meramaikan
kritisisme Prancis. J.F. Lyotard yang muncul kemudian menggebrak dengan proklamasi post-
modernisme. Sedangkan di Amerika Serikat -tempat kapitalisme membangun basisnya yang
kedua setelah Eropa- muncul orang besar seperti Parsons, Whitehead dan Dewey yang juga
secara kritis melihat perkembangan budaya industri dunia.

Michel Foucault berada dalam lingkungan tradisi kritik Prancis yang dipengaruhi kuat oleh
strukturalisme. Tetapi orang kemudian melihat bahwa Foucault bukanlah seorang
strukturalis yang lazim dimengerti khalayak akademisi Prancis. Foucault melanjutkannya ke
berbagai direksi dari aliran-aliran yang ada. George Ritzer mencatat perkembangan
inteleketualisme Foucault dan melabelinya sebagai seorang post-strukturalis. Dasar
pemikiran Ritzer mengelompokkan Foucault dalam kelompok post-strukturalis adalah bahwa
pendekatan Foucault memang dipengaruhi oleh pendekatan linguistik seperti para
strukturalis tetapi tidak dominan dan justru cenderung bervariasi. Menurut Ritzer ketika ia
merumuskan episteme ia memang sangat terpengaruh oleh pendekatan strukturalisme,
tetapi ketika ia bicara kuasa dan pengetahuan ia mulai dipengaruhi oleh meta isika, ilmu
politik dan sosiologi. Di lain pihak Foucault menggunakan pendekatan psikiatri ketika
membahas kegilaan.Pendekatan beragam yang dilakukan Foucault memaksa Ritzer dan
pembuat peta pemikiran meletakkan Foucault dalam jajaran Post-strukturalis. Pendekatan
yang multi direksi ini ternyata membuat Foucault tidak begitu taat asas pemikiran yang begitu
ketat seperti yang pernah diwariskan oleh para ilsuf pencerahan seperti Immanuel Kant.
Foucault dengan asyik menyeberang dari satu arah bahasan yang begitu meta isis ke yang
begitu isis. Ia menggunakan pendekatan Nietzschean dan Marxian. Dari materialisme ia dapat
beralih ke immaterialisme. Dan hal itu terlihat ketika ia mende inisikan kuasa dan
pengetahuan. Jelas menangkap kuasa dalam perspektif Foucauldian dengan cara Marxian
salah besar, tetapi tidak mengingat dalil Marxian tentang kuasa ketika membaca kuasa a la
Foucault pun merupakan kesalahan yang fatal. Fakta ini semakin memperkuat asumsi
epistemologis para pemerhati studi kritis untuk meletakkan Foucault dalam tradisi post, baik
post-strukturalisme maupun post-modernisme. Fakta yang lain yang semakin
menga irmasikan posisi Foucualt tersebut adalah ketika ia berdebat dengan Habermas yang
begitu yakin akan proyek modernisme. Habermas masih menaruh harapan pada modernisme,
Foucault sebaliknya: pesimis; terlebih lagi dengan ilmu-ilmu humaniora modern. Di sinilah
terlihat kubu yang post-modernis dan kubu yang percaya pada modernisme dengan berusaha
memperbaikinya lewat kritik.

Ketika Foucault berhadapan dengan Sartre dan Habermas menggunakan gaya strukturalisme
yang tidak biasa, apakah kemudian kita dapat mengklaim bahwa Foucault seorang
strukturalis, neo-strukturalis ataupun post-strukturalis? Dapat saja. Klaim-klaim itu dapat
kita lakukan dengan alas argumentasi yang memang kuat. Namun, Foucault sendiri tampaknya
tidak begitu mau difragmenkan dalam sebuah aliran, seperti Sartre yang dengan berani
mengatakan bahwa dirinya seorang eksistensialis. Ia cukup alergi dengan identi ikasi orang-
orang terhadap dirinya. Ia bermaksud untuk berkarya dalam ketiadaan identitas (writing in
order to have no face). Baginya kepastian akan identitas mempunyai kecenderungan untuk
mengarahkan orang pada ketidakkritisan yang mencakup rei ikasi pelabelan terhadap
identitas yang sudah pasti itu. Dalam hal ini Foucault seperti Nietzsche yang bersikap nihilistik
pada kehidupan yang membatu. Foucault mencoba selalu bersikap kritis pada hidup,
namun tidak berarti terjebak dalam relativisme sempit. Ia menghidupkan tradisi kritis dan
mengembangkan teori kritis dengan gayanya sendiri, gayanya yang hampir mirip dengan
Decartes yang selalu meragu demi pencapaian "kebenaran". Foucault menjadi salah satu
manusia yang mempunyai tradisi kritis sendiri dan mempengaruhi banyak orang. Baginya,
..."The game is worthwhile insofar as we don't know what will be the end". "Permainan kritisisme"
dapat menemukan kesejatiannya dalam ketidakpastian akan akhirannya.

C. Epistemologi Wacana Kritis Foucauldian

Dalam seluruh karya Michel Foucault kita dapat menemukan tema tentang manusia modern,
yang terdehumanisasi, yang selalu berkaitan erat dengan masa pencerahan. Foucault menggali
masalah ini dengan menggunakan dua metodologi yaitu arkeologi (historis kritis) dan genealogi.
Secara kronologis Foucault menggunakan metode arkeologi (historis kritis) dalam karya-karya
awalnya ketika ingin menemukan episteme tema. Paparan mengenai masa pencerahan dan
modernisme yang melahirkan dan menumbuhkan manusia modern secara sesaat dan kemudian
mematikannya dihasilkan oleh metode ini. Metode genealogi digunakan saat ia ingin
mengungkap hubungan kuasa yang merangkai manusia modern. Dengan metode inilah
terungkap mengenai hubungan kuasa dalam lingkup mikro yang menggambarkan relasi antar
manusia, juga proses yang membuat manusia dimatikan. Manusia mengalami subjektivikasi dan
objektivikasi melalui jaring-jaring pematuhan. Disiplin modernisme membuat manusia menjadi
objek bagi masyarakat karseral yang diciptakannya.

Walaupun Foucault tidak seperti Habermas yang mempunyai sistem yang ketat dalam
pemikirannya, ia justru menari-nari bebas melintas batasi berbagai pendekatan dan metode,
namun ia mempunyai dunia yang paling tidak dapat dide inisikan (dengan mende inisikan kita
sebenarnya melakukan sistematisasi) atau dicirikan sehingga orang dapat mengenali bahwa
semacam itulah pendekatan Foucauldian. Wacana kritis Foucauldian mempunyai
epistemologinya. Epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan. Jadi, bila wacana
kritis Foucaudian disebut sebagai pengetahuan maka pengetahuan tentang pengetahuan itu
sendiri pasti ada, dan karena ada ia dapat kita persepsi dengan sistematisasi dan logika kita
sehingga terde inisi sedemikian rupa. Paparan berikut akan berusaha mengungkapkan
epistemologi Foucauldian. Dengan demikian, paparan tentang kritik Foucauldian tentang
modernisme yang mencakup subjek dan kuasa (persoalan individu atau manusia modern dan
struktur relasinya) dapat mempunyai konteksnya.
1. Episteme serta Kuasa dan Pengetahuan
Metode Arkeologi (historis kritis) yang digunakan Foucault berusaha untuk menggali dan
membuka ketidaksadaran positif dari pengetahuan yang dilupakan oleh historiogra i
tradisional. Bagi Foucault historiogra i tradisional terlalu berorientasi pada tujuan dari
pengetahuan yang progresif ke arah kebenaran atau objektivitas. Historiogra i teleologis
macam ini terlalu memberikan privilese khusus pada manusia sebagai sumber makna (yang
dapat memaknai) dan mencoba menutupi apa yang telah dilupakan oleh kesadaran historis
positifnya lewat proses dokumentasi yang mendalam sehingga melupakan ketidaksadaran
negatif dari pengetahuan yang ada lewat pengabaian pengaruh-pengaruh marginal yang
membuatnya ada, wacana iloso isnya yang implisit, tema-tema yang tidak terformulasikan
dan hambatan-hambatan yang tak terlihat. Michel de Certeau berkomentar bahwa metode
Foucault ini muncul akibat kekhawatirannya (kekritisannya) terhadap monotoni
(ketunggalan) yang ada dalam historiogra i tradisional. Selama itu, sejarah selalu ditulis
dengan bertitik pangkal pada subjek sejarah sehingga penulisan sejarah lebih mirip sebagai
otobiogra i.
Penggalian Foucault akan ketidaksadaran positif dari pengetahuan ini menghasilkan episteme
yang de inisinya telah diintrodusir dalam bab dua. Episteme adalah kondisi kemungkinan
(posibility) dari diskursus dalam waktu tertentu. Ia merupakan sebuah perangkat peraturan
yang apriori yang memfungsikan diskursus yang membolehkan adanya objek dan tema yang
berbeda untuk dinyatakan dalam satu waktu tertentu saja dan tidak dalam waktu yang lain.
Maka episteme dari zaman yang satu dan zaman yang lain berbeda. Dengan de inisi ini kita
dapat menerjemahkan episteme sebagai konteks pemikiran, paradigma atau wacana berpikir.
Sedangkan diskursus dapat diterjemahkan sebagai kelompok pernyataan-pernyataan yang
m e nye d i a k a n b a h a s a u n t u k m e nya t a k a n p e r nya t a a n - p e r nya t a a n t e r s e b u t
(merepresentasikannya) dalam jenis pengetahuan yang khusus bergantung dengan temanya.

Berkaitan dengan episteme muncul konsep pengetahuan, karena episteme menjadi


prekondisi (bersifat apriori terhadap) bagi pengetahuan, atau dapat dikatakan bahwa konteks
pengetahuan adalah episteme. Pengetahuan dalam bahasa Prancis dibahasakan dengan kata
connaissance dan savoir. Dan pengetahuan yang dimaksud oleh Foucault adalah connaissance
dan savoir, tetapi terutama ketika ia berbicara tentang episteme ia memaksudkan
pengetahuan sebagai savoir. Conaissance adalah pengetahuan yang sekedar tahu tidak sampai
pada pemahaman yang mendalam. Mendalam diartikan sebagai dapat menghubungkan objek
yang diketahui dengan realitas yang lainnya baik secara historis, sosiologi maupun iloso is.
Sedang savoir adalan pengetahuan yang lebih mendalam dibandingkan connaissance. Savoir
adalah "tahu" yang mendalam, tidak hanya sekedar "tahu". Misalnya ketika para ahli ekonomi
memperdebatkan soal capital light karena larinya Liem Swie Liong ke Singapura adalah soal
connaissance, tetapi perdebatan orang-orang mengenai Andi Ghalib dan tingkahnya di
"Persatuan Gulat" yang melibatkan sejumlah uang besar adalah soal savoir. Atau contoh yang
lain lagi yaitu perihal perkutut adalah burung yang bersuara merdu dan harganya di pasar
burung mahal dibanding burung-burung lainnya seperti gagak, emprit atau kutilang (harga
burung perkutut mahal dibanding burung yang lainnya). Ini adalah soal connaissance. Masih
berkaitan dengan perkutut tetapi soal savoir adalah ketika orang makan daging burung
perkutut yang kecil tetapi dengan harga yang mahal sekali. Kok bisa sebuah daging yang kecil
berharga dua juta? Jadi daging perkutut yang mahalnya minta ampun harus dimengerti dalam
kerangka savoir, sedang harga burung perkutut yang mahal dibandingkan burung gagak cukup
dimengerti dengan connaissance.

Pengetahuan sebagai savoir yang dimaksud Foucault berdampingan erat dengan kuasa.
Foucault melihat bahwa episteme sebagai kondisi posibilitas pastilah mengandung kuasa,
karena bila hanya sebagai pengetahuan saja, ia tidak akan membentuk sebuah kondisi yang
memungkin atau memampukan. Justru karena ada kuasa itulah episteme menjadi kondisi
yang memungkinkan adanya diskursus (wacana). Tentu saja secara naif kita tidak dapat
menangkap kuasa yang dimaksudkan Foucault sebagai kuasa yang secara tradisional
dipahami oleh perspektif Marxist. Foucault memaksudkan istilah kuasa sebagai istilah yang
dekat dengan "pengetahuan" bukan benda materiil seperti barang produksi atau kapital saja.
Foucault mengangkat kuasa ke tataran meta isis pemahaman. Kuasa memproduksi
pengetahuan dan pengetahuan memproduksi kuasa. Tidak seperti pemahaman Marxist yang
melihat kuasa mengendalikan pengetahuan. Ia tidak hanya merepresi tetapi juga
menga irmasi (memberi makna pada hidup, kesenangan dan lainnya). Keberadaannya
bersama pengetahuan dapat membuat mungkin adanya sebuah diskursus. Rejim kebenaran
terbentuk karena adanya kuasa dan pengetahuan yang memproduksi diri. Untuk lebih
jelasnya akan saya kutipkan kata-kata tentang kuasa yang dimaksudnya:
"If power were never anything but repressive, if it never did anything but to say no, do you really
think one would be brought to obey it? What makes power hold good, what makes it accepted, is
simply the fact that it traverses and produces things, it induces pleasure, forms knowledge,
produces discourse."
Dengan demikian, berbicara tentang episteme Foucauldian berarti berbicara pula mengenai
kuasa dan pengetahuan. Dalam episteme ada kuasa dan pengetahuan yang bekerja
membentuk diskursus-diskursus yang menjadi matriks bagi episteme. Dalam memproduksi
wacana, kuasa dan pengetahuan juga memproduksi berbagai rejim kebenaran.

2. Pencerahan dan Individu Modern


Untuk menjelaskan episteme individu modern, Foucault merentangkan tiga masa yaitu masa
Renaissance sekitar abad 16, masa Klasik yang berlangsung dari abad 17 sampai 18, dan masa
baru atau modern abad 19 dan 20. Pada masa Renaissance episteme manusia adalah
kemiripan (resemblance). Saat itu manusia melihat dunia dalam aturan kemiripan. Matahari
dan bulan dianggap mirip dengan manusia karena memiliki gambaran bidang yang bulat.
Kemiripan itu mengarahkan manusia untuk melihat simbol-simbol alam yang ada dan
mempelajarinya demi mengetahui dunia. Pada zaman klasik episteme manusia bergeser dari
kemiripan ke representasi atau penghadiran atau pembayangan. Pada episteme semacam ini
dikenal identitas dan pembedaan. Penjelasan yang merujuk pada hukum alam tak berlaku lagi.
Manusia sudah membedakan dirinya dengan alam dan memiliki identitasnya sendiri. Baru
pada abad baru atau modern yaitu abad 19 dan 20, manusia mempunyai tatanan atau
ordonya sendiri yang terlepas sama sekali dari alam. Di abad inilah dikenal kata
perkembangan, evolusi dan kontinuitas historis dalam hidup manusia. Manusia menjadi
realitas yang otonom dari alamnya. Ia menjadi subjek bagi alam yang dulu pernah dilihatnya
mirip dengannya. Kesadaran sebagai mahkluk rasional membuat menusia mulai
membicarakan dirinya bahkan bercakap-cakap tentang dirinya. Manusia mulai menjadi
subjek mandiri (otonom) terhadap alam yang objek, yang mempunyai kesadaran intensional
pula. Mulailah pengetahuan mengenai manusia muncul. Pada masa sebelumnya manusia
memang mempunyai kedudukan istimewa, namun pada masa itu manusia belum
mewacanakan dirinya sebagai mahkluk yang mempunyai tujuan dalam dirinya sendiri.

Kurun yang dilihat oleh Foucault memiliki representasi sebagai epistemenya adalah kurun
antara abad 17 sampai 18. Masa ini adalah masa berkembangnya kapitalisme klasik yang
individualistik ala Adam Smith. Masa ini pula dalam sejarah Eropa dikenal sebagai masa
pencerahan yang melahirkan individu modern yang otonom. Paham otonomi individu dan
liberalisme mewarnai pemikiran zaman. Pada masa ini, individu modern lahir. Foucault
mencontohkan kelahiran individu modern dengan cerita Don Quixote karya Miguel de
Cervantes. DQ adalah Manusia kikuk yang gamang menghadapi perubahan episteme, sehingga
menjadi bahan tertawaan bagi manusia-manusia modern yang telah dapat mengidenti ikasi
diri berdasarkan representasinya (kehadirannya) di dunia. Manusia yang mentertawai DQ
adalah manusia modern yang baru lahir yang kemudian menga irmasikan perannya dalam
abad modern (abad 19 - 20).

Foucault tidak berhenti pada lahirnya individu modern. Ia melihat akhir yang tragis dari
individu modern, yaitu kematian. Manusia yang sudah diangkat ke dalam wacana pengetahuan
tentang manusia justru mengalami kematian dalam hiruk pikuk wacananya. Foucault melihat
ironisme. Ketika manusia mengangkat dalam ordenya sendiri dan mulai menggeluti
kesadarannya yang intensional, manusia justru mengobjektivikasikan dirinya sebagai tema
wacana, dalam bahasa Foucault mensubjektivikasikan. Hal ini terlihat dalam perbincangan
manusia tentang manusia dalam ilmu-ilmu kemanusiaan seperti psikoanalisa. Dalam
psikoanalisa manusia dijadikan objek untuk diteliti dan didiskusikan. Manusia diambil
sebagian guna menyelidiki keseluruhan realitasnya. Dalam psikoanalisa Freud, yang diteliti
secara utama adalah aspek ketidaksadaran. Lewat ketidaksadaran psikoanalisa berusaha
menolong manusia yang histeris dan membangun kepribadian yang dianggap baik, yaitu
individu yang merdeka. Psikoanalisa membangun rejim kebenaran mengenai manusia.
Setiap manusia diarahkan untuk menjadi benar, dan dengan praktek-prakteknya psikoanalisa
menaruh manusia sebagai objek yang didengarkan dan coba diarahkan ke kebenaran. Dalam
skema relasi yang sedemikian inilah manusia justru menemui kematiannya, karena
psikoanalisa tidak berbicara mengenai manusia itu sendiri tetapi justru mereduksi dalam
ketidaksadarannya dan membangun rejim kebenaran mengenai manusia.

Pensubjektivikasian manusia tidak hanya terdapat pada ilmu-ilmu kemanusiaan saja.


Foucault melihat dalam praktek hidup keseharian dalam tingkat mikro ada subjektivikasi. Hal
itu terlihat dalam praktek pendisiplinan yang terdapat dalam sekolah, rumah sakit, barak-
barak dan balai-balai latihan kerja. Figur manusia modern yang teratur, gagah dan bertindak
gesit dan tepat guna menjadi igur yang diidealkan dalam rangka modernitas yang industrialis.
Figur itu dihubungkan pada kebergunaan manusia dalam memenuhi industri kapitalis. Kerja
menjadi tujuan akhir hidup manusia modern. Manusia akhirnya patuh pada kerja yang
menjadi telos dalam hidupnya. Ada dua konsep pokok yang memungkinkan pematuhan ini
yaitu kuasa dan docilisasi atau pematuhan. Dengan konsep itu, kematian manusia yang sudah
diproklamirkan Foucault menjadi jelas, karena pematian yang berlangsung dalam tataran
pengetahuan tadi (dalam ilmu pengetahuan mengenai manusia) mengindikasikan pematian
manusia dalam tataran praksis melalui teknologi kuasa yang mewujud dalam docilisasi.

3. Docilisasi atau Pematuhan


Pembahasan mengenai kuasa dilakukan secara matang oleh Foucault dengan menggunakan
metode genealogi (ketika ia menggunakan metode arkeologi (historis kritis) ia memang sudah
mengintrodusir kuasa, namun tidak semendalam dalam penelusuran yang dilakukan dengan
metode genealogi ini). Metode ini menelusuri relasi dan distribusi kuasa dalam tubuh sosial.
Bagi Foucault kuasa bukanlah milik seperti yang Marx artikan (sudah diintrodusir saat
pembahasan episteme serta kuasa dan pengetahuan, pembahasan di sini akan lebih
melengkapi). Kuasa bukan pula mekanisme yang mendominasi yang dikeluarkan oleh
beberapa institusi kenegaraan, bukan pula kedaulatan yang dimiliki oleh negara, atau
imperasi-imperasi yang terdapat dalam hukum. Itu semua adalah bentuk formal akhir dari
kuasa. Kuasa tidak datang dari atas ke bawah. Ia hadir di mana-mana (omnipresence). Hal ini
tidak disebabkan oleh keistimewaan kuasa untuk dapat mengkonsolidasikan dibawah
kekuatan uniformitasnya, tetapi lebih disebabkan oleh diproduksinya kuasa oleh berbagai
titik dalam tubuh sosial dari satu saat ke saat lainnya. Kuasa yang sedemikian berhubungan
erat dengan pengetahuan. Dalam kuasa selalu ada pengetahuan dan dalam pengetahuan ada
kuasa. Maka pengetahuan hadir di mana-mana seperti kuasa. Tentu ada konteks yang
mengalasi keberadaan kuasa dan pengetahuan. Episteme yang telah ditemukan Foucault
menjadi konteks keberadaan kuasa dan pengetahuan. Dengan demikian, relasi kuasa dan
pengetahuan dalam tubuh sosial dipola oleh episteme masing-masing jaman. Ketika episteme
zaman tertentu berupa episteme kemiripan atau resemblance, maka kuasa dan pengetahuan
yang ada bersifat relasi kemiripan. Pada zaman klasik ketika kemiripan beralih ke representasi
(kehadiran atau pembayangan), relasi yang ada bersifat representatif.

Di masa pencerahan (modernisme) ketika episteme zaman adalah episteme kehadiran atau
representasi, muncul pengetahuan baru tentang manusia. Manusia menyadari (mengetahui)
dirinya otonom dari alam. Dengannya ia dapat memolakan hubungan subjek-objek yang
memungkinkan eksplorasi terhadapnya dan perekembangan yang pesat dalam industri.
Kesadaran manusia ini ternyata intensional. Kesadaran akan keterpisahannya terhadap alam
didahului oleh kesadaran akan ada dirinya yang lain. Di dalam dirinya manusia melihat ada
dirinya yang lain. Hal ini membawa konsekuensi bagi penalaran dalam sistem logika
Foucauldian. Pengetahuan atas manusia secara potensial menghadirkan kuasa yang bekerja
atas manusia. Maka, kuasa dan pengetahuan bekerja dalam diri manusia, secara konkrit dalam
tubuh manusia. Tubuh menjadi bidang kerja yang diobjekkan sekaligus disubjekkan oleh
kuasa dan pengetahuan. Karya-karya Foucault banyak mewacanakan hal ini, terutama dalam
Discipline and Punish, The Birth of The Prison dan The History of Sexuality, volume I: An
Introduction. Dalam dua karya ini Foucault melihat modernisme membawa konsekuensi bagi
berpindahnya diskursus ke tubuh manusia. Manusia yang otonom dalam aras liberalisme
menjadi telos (tujuan) bagi sejarah dirinya. Ilmu pengetahuan tentang manusia berkembang
pesat, dan (maka) dominasi atas manusia berkembang pula. Peralihan bentuk penghukuman
dan Victorianisme menandai hal tersebut. Rejim kebenaran modernisme yang berpangkal
pada otonomi manusia terbentuk. Manusia menjadi awal dan akhir baginya sendiri.

Keadaan tercerahkan yang sedemikian ditanggapi oleh Foucault secara skeptis dan pesimistis.
Foucault melihat tubuh manusia menjadi objek yang harus diteliti dan diketahui lalu
ditundukkan demi manusia itu sendiri. Industrialisasi dari sistem kapitalisme telah
menunjang rejim kebenaran tentang tubuh semacam itu. Maka, secara sinis Foucault
menganggap bahwa pencerahan adalah ilusi transendental yang akan menemui contranya
dalam seni, karena dalam senilah tubuh manusia modern dapat menemukan kebebasannya
yang dimanipulasi oleh pencerahan. Pencerahan yang terlalu menitikberatkan pada rasio
Cartesian dan Newtonian lewat rejim kebenaran yang dibangunnya (yang begitu positivistik)
telah membuat manusia harus menatap keberakhirannya. Manusia justru dimatikan dalam
otonominya. Yang dimaksud Foucault adalah manusia dalam kategori pemikiran. Manusia
hanya dianggap benda yang harus diteliti dan dikuasai. Manusia semata-mata dilihat sebagai
kategori pengetahuan yang harus diarahkan pada kebenaran. Maka semua ilmu pengetahuan
mempunyai kehendak untuk mengarahkan manusia pada kebenaran (the will to truth).
Muncul istilah normalisasi sebagai aturan yang mengarahkan manusia ke rejim kebenaran
tersebut. Normalisasi menghasilkan tubuh yang patuh (docile bodies). Maka docilitas
dimengerti dalam kerangka normalisasi.

Individu dalam kaca mata Foucault dipandang sebagai tubuh tempat bekerjanya kuasa dan
pengetahuan. Ada dua tubuh. Tubuh sosial dan tubuh personal. Masyarakat adalah tubuh
sosial yaitu tempat kuasa menyebar dalam kerangka sistemik rejim kebenaran, sedangkan
tubuh personal adalah person atau orang yang menjadi bidang terlaksananya kuasa dan
pengetahuan. Tubuh sosial dalam proses docilisasi menghasilkan masyarakat pemenjaraan
atau karseral sedang tubuh personal menjadi tubuh yang patuh.

Proses penghukuman yang berjalan dari sebelum abad 17 sampai abad modern (abad 20)
menjadi paparan penjelas tentang kedua tubuh yang muncul di masa modern. Dalam
rentangan kurun itu ada tiga proses "evolusi" teknik menghukum. Dalam rentang pertama
sampai abad 17 dan pertengahan abad 18, penghukuman terhadap penjahat masih bersifat
diperlihatkan (dipertontonkan). Bentuknya adalah siksaan publik. Foucault mengambil
contoh hukuman yang ditimpakan terhadap Damiens yang dipersalahkan atas percobaan
pembunuhan terhadap Raja Louis XV. Tubuh Damiens didera dan dirusak dengan lilin yang
menyala serta dirobek dengan ditarik bagian anggota tubuhnya oleh empat kuda. Kejadian itu
digelar di halaman depan Gereja Paris yang memungkinkan banyak orang menyaksikannya.
Banyak orang seperti Damiens yang mengalami hal serupa di banyak tempat di Eropa pada
rentang kurun itu. Siksaan terhadap penjahat digelar di depan publik dengan maksud dilihat
dan menimbulkan efek ketakutan pada rakyat agar tidak berbuat serupa. Sebelum disiksa ada
selebaran yang mengumumkan kejahatan si penjahat dan ketika penyiksaan berlangsung ada
pembacaan daftar kesalahan si penjahat sementara ia dipaksa untuk mengakuinya. Foucault
mensinyalir bahwa hal ini dilakukan tidak semata-mata demi nilai-nilai keadilan yang katanya
dilanggar oleh si penjahat, tetapi lebih merupakan strategi politik monarki.
Saat itu monarki sangat menentukan segalanya. Hukum, politik, moralitas dan agama berada
dalam kepala raja. Kapasitas yang sentralistis ini membutuhkan simulasi. Maka, strategi
menghukum mengambil peran simulator kekuasaan politik raja.

Hal tersebut berlangsung sampai masa reformasi penghukuman abad 18. Saat itu kekuasaan
raja mulai diguncang, begitu pula dengan simulatornya. Revolusi Prancis menjadi tonggaknya.
Pada saat itu orang, terdiri dari para ilsuf dan ahli hukum serta pengacara, mengusulkan
teknik menghukum yang lebih manusiawi. Maka, teknik menghukum yang koekstensif
(bergandengan atau menyebar dalam) dengan masyarakat dipilih. Teknik hukuman yang
representatif digunakan untuk mewujudkan hal itu. Teknik menghukum yang lebih
"manusiawi" dan lebih mengenai jiwa dari kejahatan itu dilihat oleh Foucault bukan sebagai
suatu progress yang lebih manusiawi. Perubahan itu hanyalah suatu tuntutan zaman yang
memang harus dipenuhi bersamaan dengan mulai kuatnya sistem kapitalisme dan industri.
Saat reformasi penghukuman diusulkan keadaan ekonomi kebanyakan orang sudah mulai
membaik. Perang dan kejahatan yang brutal seperti pada masa sebelumnya sudah mulai
berkurang. Maka, kuasa raja yang berlebihan harus dikurangi (monarki absolut harus
didekonstruksi). Kekuasaan raja membuat kapitalisme tidak dapat berjalan baik karena
kebebasan pasar dikekang. Penghukuman yang dipertontonkan pun tidak efektif dan e isien,
karena terlalu kolosal, vulgar dan tidak ekonomis. Representasi penghukuman seperti
menaruh si terhukum pada kapal kebodohan atau mengaraknya pada kereta penghukuman
lalu dipertontonkan, menjadi pilihan yang logis dan rasional. Lewat teknik penghukuman
seperti ini dipikirkan bagaimana membuat masyarakat tidak melakukan kejahatan karena
hanya akan menimbulkan kerugian (material atau kapital), bagaimana masyarakat belajar
lewat tanda-tanda penghukuman yang direpresentasikan secara publik -bukan siksaan- untuk
tidak berbuat jahat dan menaati hukum (apa pun itu) sehingga tidak melakukan hal yang sama
seperti yang dilakukan penjahat, serta bagaimana rejim kebenaran ditegakkan dengan
pembedaan yang jelas dan tegas dalam kesalahan dan kebenaran.

Model penghukuman seperti ini bertahan untuk beberapa saat sampai akhirnya orang melihat
bahwa penjara lebih dapat menanggapi tantangan zaman yang kapitalistik dan industrialis.
Penjara dalam masa penghukuman model representatif dan sebelumnya dilihat sebagai
tempat yang tidak membawa dampak ketakutan pada kuasa politik raja dan kejeraan terhadap
kejahatan yang merugikan kapital dan industri, sehingga dihindari. Namun menjelang abad 20
akhir abad 19, penjara mulai dilirik sebagai tempat penghukuman alternatif yang memenuhi
kaidah-kaidah ekonomis. Dimulailah masa transisi dari model menghukum yang representatif
ke pemenjaraan yang lebih diam (karena pengasingan), efektif karena ada metode koreksi
(seperti penyadaran, pelatihan dan pemeriksaan) yang langsung mengenai jiwa kejahatan
serta e isien karena tidak perlu menggunakan alat-alat yang harus dipertontonkan. Puncak
metode pemenjaraan ini menurut Foucault terdapat dalam Panoptisisme yang diusulkan oleh
J. Bentham. Panoptisisme berasal dari kata panopticon yaitu bangunan berbentuk lingkaran
yang digunakan untuk memenjarakan orang jahat dengan sistem pemenjaraan yang menganut
asas pendisiplinan (penyadaran, pelatihan, pengawasan dan pengujian). Teknik yang
diusulkan oleh Bentham ini menganut kaidah pematuhan (pendisiplinan) tubuh yang ketat.
Teknik ini di abad modern menjadi teknik yang diterima oleh rejim kebenaran modernisme
dalam menegakkan kekuasaannya, karena penjara dengan sistem panopticon menyediakan
teknik penghukuman yang lebih efektif, e isien dan ekonomis. Penjara menghasilkan orang-
orang yang patuh dan berguna bagi perkembangan ekonomi. Misalnya para narapidana dapat
dipaksa bekerja dengan bayaran yang rendah dibandingkan tenaga kerja untuk membuat
infrastruktur perekonomian seperti jalan dan jembatan. Penjara juga tidak terlalu
memboroskan tenaga dan biaya dalam menghukum penjahat. Sistem penjara ini mengilhami
masyarakat modern untuk membentuk diri dalam alur yang begitu karseral demi menanggapi
kapitalisme.
Lalu munculah istilah tubuh yang patuh (docile bodies) atau docilitas. Tubuh personal dan
tubuh sosial secara simultan dipola dalam kepatuhan dan pendisiplinan a la penghukuman
abad 19 dan 20 : penjara

Pematuhan yang dilakukan di penjara menggunakan tiga sarana pendisiplinan yaitu:


pengawasan secara hirarkis, normalisasi dan pengujian. Sarana pengawasan secara hirarkis
tampak pada aparat-aparat yang kelihatan dalam melakukan pendisiplinan. Aparat tersebut
tidak hanya melakukan pengawasan dalam artian menjaga agar tidak dilanggarnya aturan,
tetapi juga melakukan penelitian tentang objek yang diawasi. Secara singkat dapat dikatakan
bahwa aparat tersebut adalah birokrat yang merepresentasikan kepentingan rejim
pematuhan. Dalam normalisasi orang menemukan pengganjaran dan penghukuman.
Pengganjaran dimaksudkan sebagai penghargaan terhadap orang-orang yang telah menaati
secara setia rejim. Penghukuman mereferensi pada hukuman kecil atau sanksi partikular yang
menyangkut pelanggaran terhadap rejim. Yang dimaksud Foucault bukan hukuman dalam
artian litigatif tetapi hukuman yang bersifat mengarahkan pada pakem-pakem kebenaran.
Dengan normalisasi diusahakan sebuah penanaman kuasa disiplin yang tidak semata-mata
represif tetapi juga edukatif. Dengan demikian, normalisasi mempunyai lima peran pokok
dalam rejim pematuhan ini yaitu: membawa individu pada penggunaan tindakannya yang
mereferensi pada keseluruhan sistem dan aturannya, mengarahkan individu pada individuasi
yang unik dan berbeda dari individu yang lainnya, menyediakan pada individu sistem
penilaian yang menyangkut keberhasilannya beradaptasi dengan rejim, menginternalisasi
nilai-nilai pendisiplinan sebagai sesuatu yang kodratiah atau alami dan secara struktural
normalisasi menjadi batas ketidaknormalan seorang individu. Sarana yang ketiga yaitu sarana
pengujian. Pengujian adalah sarana pematuhan yang mempertemukan secara eksplisit kuasa
dan pengetahuan. Pengetahuan tentang tubuh yang patuh diperoleh menyangkut sejauh mana
teknik dan strategi pendisiplinan berhasil. Pengujian juga menampilkan keberhasilan
penanaman kuasa pada tubuh sehingga tubuh dapat menjadi agen rejim pematuhan. Dengan
pengujian pula orang ditempatkan atau diindividuasikan dalam hirarki perangkingan
kemampuannya untuk beradaptasi dengan rejim. Dengan teknik ini terlihat bahwa individu
semata-mata dilihat sebagai benda. Kapitalisme dan industrialisme menyebarkan serta
menopang penyebaran rejim ini ke masyarakat.

Terciptalah rejim pendisiplinan. Sekolah, rumah sakit, barak tentara dan pabrik-pabrik
menjadi bangunan monumental -yang diinspirasikan oleh penjara- bagi rejim ini. Dalam rejim
ini tercipta tubuh yang bermanfaat, patuh dan berguna bagi kapitalisasi. Jelas bahwa
penghukuman yang bermaksud mengembalikan orang pada keadaan benar dan baik yang
melahirkan docilitas berkonteks pada kapitalisme dan industrialisme.

Bagi Foucault, perubahan cara menghukum yang tidak lagi menyentuh tubuh dan lebih
manusiawi tidak bisa dilihat begitu saja secara positif. Perubahan itu menyebabkan hukuman
mengenai jiwa manusia dan mengorientasikan manusia pada penggunaan tubuhnya untuk
industri. Lalu masyarakat industi melakukan penyebaran rejim pematuhan di penjara guna
menciptakan masyarakat yang patuh dan berguna. Masyarakat ini adalah masyarakat karseral
atau pemenjaraan yang menjadi hasil bagi pemindahan sistem pemenjaraan ke dalam tubuh
sosial. Mekanisme menghukum yang semula berkembang dalam rangka hukuman untuk
sanksi yang diberikan atas pelanggaran hukum publik ditransfer ke dalam masyarakat (tubuh
sosial) demi menghasilkan masyarakat yang kondusif untuk kapitalisasi.

Pemindahan sistem pemenjaraan ke dalam tubuh sosial menghasilkan beberapa yang


signi ikan (ada enam hal). Yang pertama berkaitan dengan sistem pemenjaraan. Pemindahan
ini membuat sistem penjara beralih ke tubuh sosial. Penghukuman yang semula
dipertontonkan menjadi tak kelihatan karena telah menyebar dalam masyarakat. Tubuh sosial
menjadi institusi yang menghukum. Yang kedua masih berkaitan dengan yang pertama yaitu:
bahwa penjara sebagai institusi formal adalah bentuk a irmasi dari sistem pemenjaraan yang
ada dalam tubuh sosial. Ketiga: mekanisme pemenjaraan menjadi legitim dalam tubuh sosial
dengan dalih pendisiplinan demi mencapai tujuan masyarakat. Keempat normalisasi
masyarakat menjadi proses yang penting, karena aparat dalam masyarakat tersebut bekerja
demi kepentingan pendisiplinan. Kelima; pengetahuan tentang manusia bertambah maju
dengan mekanisme pengujian yang ingin melihat tingkat keberhasilan dari pematuhan atau
pendisiplinan. Dengan demikian, kuasa atas masyarakat pun bertambah besar. Artinya
masyarakat semakin dapat dikontrol dan diawasi. Keenam: penjara yang telah beralih ke
dalam tubuh sosial membuktikan diri sebagai bidang kuasa yang bekerja tidak hanya
berdasarkan asas represi tetapi juga asas penyusupan yang memberi simpati pada tubuh
sosial seperti mekanisme pendisiplinan.

Pencerahan atau modernisme bagi Foucault identik dengan terciptanya rejim kebenaran dan
sistem pematuhan yang justru mematikan manusia. Oleh kapitalisasi dan industrialisasi yang
begitu gencar manusia dibendakan dan dipatuhkan demi perkembangannya. Maka, layak bila
Foucault menanggapi pencerahan secara skeptis dan pesimistis serta melihat individu
modern (tubuh modern) akan segera hilang dari tataran savoir. Rasionalitas yang Cartesian
dan Newtonian serta kapitalisme-industrialistik yang begitu akut menyebar dalam tubuh
sosial menjadi senjata makan tuan bagi manusia (modern).

D. Krisis dan Kritik Modernisme dalam Perpektif Foucauldian:


Kematian Subjek dan Masyarakat Pemenjaraan
Paparan Foucault tentang masyarakat modern sebenarnya menjadi paparan tentang krisis
masyarakat modern yang berada dalam tahap kapitalisme lanjut. Ada dua hal yang patut
diangkat sebagai kritik Foucauldian terhadap masyarakat modern atau kapitalisme lanjut. Yang
pertama adalah soal subjek yang menurut Foucault telah mati. Yang kedua adalah tentang
masyarakat pemenjaraan yang membuat docilisasi dalam kehidupan manusia modern sehari-
hari yang akhirnya memunculkan masyarakat pemenjaraan. Keduanya berkaitan erat dengan
dua tema pokok yang menjadi kunci bagi wacana kritis Foucauldian yaitu kuasa (dan
pengetahuan tentunya) dan subjek (manusia atau individu modern yang begitu didominasi oleh
semangat pencerahan).

Seperti para pengkritisi zaman modern, Foucault melihat bahwa kisah demitologisasi yang
dibawa oleh pencerahan seperti keagungan rasionalitas manusia, positivisme ilmu pengetahuan
dan juga teknologi dan kapitalisasi kehidupan sehari-hari menemukan anti klimaksnya pada
fakta bahwa manusia justru menemukan keberakhirannya dalam proses demitologisasi itu.
Padahal demitologisasi bertujuan untuk membuat manusia lebih hidup dalam kebebasannya
yang sejati dan tidak terikat pada mitos-mitos yang begitu mensubordinasikan manusia, seperti
kisah takhayul yang membuat manusia tidak berani merombak dan mengeksploitasi alam.
Demitologisasi pencerahan justru menemukan mitos pada rasionalisme dan positivisme;
kapitalisasi dan industrialisasi dunia kehidupan manusia. Manusia menjalani rutinitas mesin
dan kehilangan dimensi estetikanya. Begitu kaku dan terperangkap dalam fungsi-fungsi kapital.

Georges Canguilhem melihat bahwa kematian manusia sebagai subjek lebih sebagai habisnya
daya cogito manusia untuk ber-ergo sum. Rasionalisme Cartesian yang begitu diagung-agungkan
dan menghidupi dunia modern (bersama pola Newtonian untuk positivisme ilmu pengetahuan
dan model Kantian untuk rigoritas ilsafat) telah mengabaikan dimensi manusia yang lain. Ada
ketidakseimbangan eksplorasi dari rasionalisme Cartesian sehingga menimbulkan kelelahan
(habisnya) daya cogito subjek. Padahal ilmu pengetahuan dan ilsafat (yang dipengaruhi logika
Cartesian, Newtonian dan Kantian) adalah sarana untuk membaca dunia manusia (baik dunia
kehidupan sehari-hari manusia maupun dunia yang formal yaitu kerja yang
terinstitusionalisasi). Jika hanya satu dimensi yang dibacanya (dalam arti dieksplorasi
maknanya) sementara yang lain dianggap tidak bermakna, tentu akan menimbulkan
ketimpangan. Ketimpangan itu berwujud pada adanya "yang lain" yang begitu dialienasi.
Alienasi dimensi yang lain dari hidup manusia inilah yang memunculkan kelelahan pada daya
cogito manusia. Dalam pemahaman seperti ini, manusia sebagai subjek menemui ajalnya.

Permenungan Foucault ini dapat ditatapkan pada diri manusia sebagai subjek hukum. Minimal
di Eropa terutama Belanda pada awal abad 20, mungkin sampai pertengahan abad 20; wanita
masih dianggap sebagai sisi yang lain dari genus manusia yang diasumsikan lelaki. Terlihat
dalam pasal 108 BW. Pasal itu mengungkapkan bahwa seorang istri tidak cakap dalam
mengurusi harta kekayaan rumah tangganya (dalam artian memindahtangankan). Wanita
sebagai sisi yang lain dalam rasionalitas Cartesian, Newtonian dialienasikan dari dunia
kehidupan sehari-hari. Jika ia mampu masuk ke dalam dunia kehidupan itu (yang begitu
patriarkhis) pastilah ia telah berusaha merepresi kewanitaannya yang dianggap tidak rasional
dan emosional. Di sini terlihat manusia sebagai subjek didominasi oleh satu kategori genus
manusia yaitu lelaki. Dunia lelaki terus dieksploitasi oleh rasionalitas modern demi keagungan
modernisme. Tentu ini adalah pondasi yang buruk bagi kemanusiaan. Maka kaum feminis
muncul untuk mengingatkan dimensi kewanitaan manusia yang dipinggirkan. Bersama kaum
feminis muncul gugatan dari dimensi-dimensi lain manusia yang telah begitu terjajah. Gugatan
itu masih terus berlangsung sampai sekarang sementara bukti kerapuhan pondasi rasionalitas
dan habisnya daya cogito manusia terus mengemuka seperti perang, pemunahan etnis secara
sistematis, peminggiran kaum miskin, eksploitasi sumber daya alam di dunia ketiga dan lain
sebagainya.

Masyarakat karseral atau pemenjaraan adalah fakta yang secara simultan menga irmasikan
kebobrokan modernisme. Manusia modern mengalami kematian dalam aras transformasi
masyarakat tradisional ke masyarakat pemenjaraan dan dalam kelangsungan masyarakat
tersebut. Dalam masyarakat ini ada pembentukan individu. Individu dibentuk agar berguna
kapitalisasi atau ekonomisasi kehidupan. Manusia mulai dilihat dalam aras kebergunaan. Pada
awalnya hal itu terjadi ketika pelaku tindak kriminal mulai ditundukkan dengan membuatnya
berguna bagi industri dan teknologisasi kapital. Lalu secara kapiler menembus ke dalam tubuh
sosial (masyarakat) sehingga semua orang coba ditundukkan agar berguna dalam produksi
massal dan konsumerisasi hidup. "Institusi Pemenjaraan" mulai menyebar dalam wujud
sekolah, rumah sakit, asrama-asrama, biara-biara dan instansi sosial yang lainnya. Ketika
manusia ditundukkan oleh institusi sosialnya dalam bentuk masyarakat pemenjaraan dan
dijajah oleh rasionalitas yang begitu positivis, manusia mengalami kelengkapan dalam
kematiannya. Ia menjadi subjek yang secara sinistis dilihat oleh Foucault mengalami
subjektivikasi. Kebohongan tersebar dalam cita-cita humanis ilmu-ilmu kemanusiaan.

Dalam dua karya yang terakhir yaitu tentang governmentalitas dan etika diri: stilisasi, Foucault
merangkum rangkaian kritiknya dan membuktikan bahwa ia masih melihat harapan manusia
untuk hidup lagi. Dalam governmentalitas, ia menga irmasikan bahwa masyarakat pemenjaraan
mengambil bentuknya dalam pemerintahan dan negara modern. Kedaulatan negara yang
diberikan oleh rakyat (kumpulan manusia abstrak) digunakan untuk membentuk manusia
secara individual dalam jaring-jaring pendisiplinan. Sasarannya tetap kepatuhan tubuh.
Tujuannya tetap menjadi tubuh berguna bagi kepentingan negara yang dapat dirumuskan
sebagai kepentingan kapitalisasi, industrialisasi dan teknologisasi. Dasar pembenarnya adalah
rasionalitas dan modernitas. Hukum negara menjadi instrumen yang melandasi pembentukan
tubuh yang patuh. Lewat hukumlah kekuasaan negara untuk menundukkan irasionalitas
manusia tersahkan. Jadi governmentalitas adalah fenomena pemenjaraan manusia dalam kurun
modern yang mengambil bentuknya pada negara. Hukum menjadi landasan segala tindakan
negara dan aparatnya. Dari hukum muncul kuasa normalisasi yang dapat memberi sanksi bagi
penyimpangan. Normalisasi bertujuan untuk menormalkan segala penyimpangan yang keluar
dari asas pendisiplinan atau pematuhan. Polanya pengawasan lewat lembaga-lembaga sosial
yang dibentuk oleh negara. Mekanisme pengawasan terdiri dari pelatihan, pengujian dan
perangkingan atau klasi ikasi. Foucault mendeteksi di Eropa (terutama Prancis) pengawasan itu
dilakukan oleh dua lembaga modern yaitu lembaga polisi dan kuasa pastoral yang disebarkan
lewat kristianitas. Pengawasan individu menjadi begitu efektif. Dengan pengawasan yang begitu
efektif ini, individu mudah dikendalikan dan digunakan untuk kepentingan negara.

Menghadapi hal ini Foucault menawarkan sebuah etika; etika yang berintikan pada stilisasi diri
dalam bidang estetika. Etika diri ini menjadi lawan dari pematuhan tubuh. Yang dianjurkan
memang agak "gila" karena menjurus pada pemujaan tubuh dan diri. Foucault melihat bahwa
dengan jalan ini, individu dapat menegasikan proses docilisasi yang membuat manusia mati.
Dunia kehidupan sehari-hari menjadi terangkat dengan aksi pemujaan tubuh ini (arasnya
memang aras kenikmatan, rangsangan-rangsangan estetis yang membuat manusia terekstase
akan hidup). Etika diri ini diberi jalan metodis oleh Foucault dengan Parreshia. Parreshia adalah
konsep yang telah diintrodusir oleh ilsuf- ilsuf seperti Socrates, kemudian Plato dan Aristoteles.
Konsep ini memaknakan sebuah tindakan yang memberitakan kebenaran dengan berbicara
secara terbuka, terus terang dan jujur serta berani. Sang pewarta dinamakan Parreshiast.
Foucault menawarkan metode parreshia bagi manusia modern untuk menyikapi docilisasi
masyarakat modern. Dengan ini manusia modern berani mengungkapkan aras ekstasis
estetisnya walaupun bersifat fetihisasi (pemujaan atau pengkultusan). Artinya normalisasi yang
dialasi oleh hukum positif negara dibongkar oleh kecairan tindakan dan informalitas
pemberontakan diri lewat wacana estetika yang dapat mengubah wacana lainnya mulai dari
etika, politik dan lainnya.

Dalam rangkaian paparan di atas terforma kritik Foucault terhadap krisis masyarakat
kapitalisme lanjut. Dalam mengungkapkan krisis yang terjadi, Foucault terlihat begitu pesimistis
terhadap otonomitas manusia, tetapi dalam mengungkapkan kritik Foucault begitu berapi-api.
Ia menganjurkan estetisasi bidang kehidupan karena dimensi itu telah begitu tertekan dan
menjadi "yang lain" atau anomali bagi rasionalitas modern. Matinya manusia tidak dapat
dianggap sebagai proklamasi absolut kematian manusia. Perkataan ini hanyalah deskripsi krisis
yang mau menyentak manusia agar mau mengkritik dirinya untuk membebaskan diri dan
menyeimbangkan hidup. Foucault mengambil jalan radikal (mungkin cukup tepat kalau disebut
ekstrim) estetisasi bidang kehidupan sehari-hari yang telah begitu membeku oleh formalisasi
pematuhan diri.

E. Hukum Positif : Sebuah Kritik


Bagian ini saya maksudkan untuk menjadi wacana yang mencoba menarik wacana Foucauldian
ke dalam konteks keberadaan karya tulis ini yaitu studi tentang hukum. Pembicaraan Foucault
mengenai hukum terlihat dalam bukunya Discipline and Punish, The Birth of The Prison. Ia
melihat hukum tidak sebagai sistem-sistem aturan yang mengandung kebenaran dan bersifat
netral, tetapi sebagai entitas yang menjadi bentuk akhir dari kuasa pematuhan masyarakat
kapitalisme lanjut. Ia mencermati hukum sebagai alat pendisiplinan dan pengawasan tubuh
sosial. Pembicaraan ini oleh Alan Hunt dilihat sebagai pembicaraan mengenai fungsi kontrol
sosial dari hukum yang memfokuskan diri pada fungsi pendisiplinan. Dengan demikian, oleh
Foucault menurut Hunt, hukum dilihat sebagai instansi sosial yang berperan dalam proses
sosial.
Hunt benar dalam hal ini, terlebih kita menatapkan pencermatan Hunt ini pada paparan di
bagian "krisis dan kritik" tentang governmentalitas. Fungsi sosial yang diduduki hukum adalah
sarana atau alat pematuhan dalam proses pendisiplinan yang dilakukan negara. Maka, dalam
kaca mata Foucault hukum yang dimaksud adalah hukum positif yang dibuat oleh pembentuk
undang-undang atau otoritas yang sah dalam sebuah negara. Hukum semacam ini baginya
menjadi wujud akhir dari kuasa yang bersifat negatif, merampas otonomi manusia baik dengan
cara yang begitu represif maupun preventif (maksud dari preventif adalah cara-cara halus yang
menimbulkan kekaguman akan hukum seperti disiplinisasi yang mengarahkan masyarakat pada
ketertiban dan kedamaian).

Sikap Foucault terhadap hukum positif begitu ekstrim. Pandangan Foucault tentang hukum
sedemikian itu terlihat dalam catatan diskusinya dengan para aktivis Maoist. Di situ Foucault
memberikan hipotesis bahwa pengadilan bukanlah ekspresi kodrati dari sebuah keadilan
populis, tetapi sebuah institusi historis yang menjerat (menjaring), mengkontrol dan mencekik
keadilan populis tersebut, bahkan ketika ada label pengadilan rakyat. Bagi Foucault pengadilan
rakyat adalah bentuk lain dari sebuah kuasa yang mencoba menjaring dan mengkontrol
manusia. Foucault tidak mengungkapkan penilaian bahwa hal ini (pengadilan rakyat) buruk
atau salah, tetapi hanya mengungkapkan bahwa pengadilan apapun merupakan bentuk dari
sebuah kuasa.

Foucault melihat bahwa pengadilan dan sistemnya mempunyai fungsi untuk menciptakan
antagonisme yang mutualistis di antara tubuh sosial (masyarakat). Artinya dalam sistem
pengadilan kebutuhan untuk berkon lik antar kelas di masyarakat terpenuhi. Pengadilan
menjadi lokalisasi potensi kon lik masyarakat yang memang menjadi kodrat pemeliharaan
struktur masyarakat. Lewat aparat pengadilan kon lik masyarakat yang dapat membahayakan
integrasi dikendalikan. Pengadilan menjadi tempat normalisasi yang aksidental dalam proses
normalisasi secara keseluruhan. Di sini terjadi a irmasi pematuhan tubuh dalam bentuk
positivitas normalisasi. Maka, bagi Foucault, revolusi hanya dapat terjadi dengan penghilangan
secara radikal aparat-aparat pengadilan dan aparat hukum, dan segala sesuatu yang mencoba
mengintrodusi aparat pengadilan, serta segala sesuatu yang memperkenalkan ideologi hukum
yang bersangkutan. Saya kutipkan teks aslinya:
"....This is why the revolution can only take place via the radical elimination of the judicial
apparatus. And anything which could reintroduce the penal apparatus, anything which could
reintroduce its ideology and enable this ideology to surreptitiously creep back into popular
practices, must be banished."

Dalam wacana kritis ilmu hukum, kritik serupa Foucault dapat ditemui dalam studi yang
dilakukan Critical Legal Studies (CLS). Namun, tentu saja, berbeda di sana-sini dan cukup
mendasar. Epistemologi wacana kritis Foucauldian dengan CLS jelas berbeda. Misalnya dalam
hal kritik terhadap hukum Foucault melihat perlunya penghancuran secara total institusi
hukum, tetapi CLS melihat hal itu tidak perlu dilakukan. Yang perlu adalah kritik dan usaha untuk
memperbaiki institusi hukum. Hal ini terlihat dalam Roberto Mangabeira Unger. Unger
mengecam rei ikasi yang terjadi dalam hukum yaitu formalisme dan objektivisme. Formalisme
yang dimaksud oleh Unger adalah wacana yang tidak ada ujung pangkalnya tentang ilmu hukum
berkaitan dengan logika deduktif hukum. Wacana ini meyakini adanya impersonalitas tujuan-
tujuan, kebijakan, dan kaidah hukum. Dengan demikian, hukum menjadi netral. Cara-cara
mencapai hal itu adalah dengan menggunakan pemikiran dan analisis hukum yang begitu ketat.
Sedangkan objektivisme adalah keyakinan bahwa materi hukum yang otoritatif seperti sistem
perundang-undangan, preseden dan gagasan hukum yang sudah mapan dapat mengembangkan
dan mempertahankan pola hubungan manusia yang telah ada (mempertahankan integrasi
sistem dan mengusahakan ketertiban). Keduanya menyebabkan para ahli hukum berkeyakinan
bahwa hukum netral dan terlepas dari realitas politik yang ada. Karena itu, Unger berpendapat
bahwa langsung tidak langsung hukum selalu didasarkan pada fakta-fakta relasi yang ada dalam
masyarakat. Tidak mungkin ia terlepas darinya. Unger mencontohkan seorang ahli hukum tata
negara yang membutuhkan analisis tentang negara yang demokratis untuk menetapkan doktrin-
doktrin hukumnya. Bagi Unger hal ini membuktikan bahwa hukum tidak dapat netral.

Formalisme dan objektivisme yang dilihat Unger berangkat dari fakta yang tidak jauh berbeda
dengan Michel Foucault. Keduanya melihat bahwa rasionalisasi dan positivisasi ilmu
pengetahuan merambah ke berbagai bidang kehidupan, termasuk hukum. Hal ini dilihat oleh
Foucault bahwa memang demikianlah kodratnya; hukum tidak pernah lepas dari kuasa karena
hukum adalah bentuk akhir dari kuasa yang bersifat negatif atau memberi imperasi-imperasi
yang bersanksi. Namun oleh Unger fakta ini dilihat bahwa hukum mengikuti trend positivisasi
agar layak disebut ilmu pengetahuan oleh masyarakat. Tetapi, akhirnya ia melupakan kodratnya
yang begitu lekat pada masyarakat. Akibatnya ia menjadi instrumen pematuhan masyarakat.
Jadi, kesamaan titik berangkat itu bukan berarti kesamaan dalam dasar epistemologinya, justru
berbeda. Terlihat dalam penyikapan akan fakta yang sama. Sekali lagi, keduanya sungguh
berbeda. Begitu pula dengan Lawrence M. Friedman. Ia sama seperti Foucault melihat bidang
kehidupan sehari-hari yang begitu terei ikasi, tetapi sebagai ahli hukum yang belajar sosiologi
dan ilsafat ia sama seperti Unger dalam menyelesaikan masalah hukum. Perbedaan
epistemologi keduanya, antara Foucault dan Friedman serta Unger adalah hal yang menarik
untuk dibahas dan diperdebatkan. Dari perbedaan itu sebenarnya kita dapat melihat bagaimana
sikap seorang ilsuf terhadap hukum dan sikap seorang ahli hukum terhadap hukum (terutama
hukum positif). Bahasan ini dapat dibahas dalam bagian tersendiri yang cukup panjang apalagi
ketika membahas epistemologi dan kecenderungan untuk terei ikasi dari keduanya. Namun
demikian, bahasan tersebut bukanlah pokok kajian dari karya tulis ini, terutama bab ini. Di
bagian ini saya hanya mencoba menyajikan sebuah wacana kritis tentang hukum yang bernuansa
sosio- iloso is. Mungkin, di bagian lain dapat disinggung secara sekilas hal tersebut, tetapi toh
tidak menjadi yang utama. Karya tulis ini hanya ingin menjadi konsiderans yang baik bagi
re leksi hukum.

Dunia tempat kita hidup adalah dunia yang berubah dari detik ke detik. Perubahan itu diselimuti
oleh semangat pencerahan yang teri ikasi agar tidak terlihat oleh kita yang sebenarnya
senantiasa mencari pemaknaan hidup lewat perubahan hidup yang terjadi, yang mengalir dari
satu bejana ke bejana yang lainnya. Michel Foucault, sang ilsuf, memperlihatkan pada kita
stagnasi dan rei ikasi makna hidup keseharian, dalam bentuk pematuhan dan pendisiplinan.
Hukum yang kita percayai dapat membawa keadilan bagi komunitas manusia yang humanis,
ternyata menipu kita dengan menjadi forma akhir bagi kuasa yang begitu strategis dan taktis
menjerat kita dalam jaring-jaring kepatuhan. Kita patuh untuk berjalan dalam labirin
industrialisasi dan kapitalisasi tanpa henti mencari makna hidup yang dibuat secara delusif oleh
kuasa yang begitu absurd dan abstrak tetapi nyata menjerat jiwa dan kharisma kegembiraan
hidup.
BAB IV
HUKUM SEBAGAI
INSTRUMEN DOCILISASI


If we seek principles,
we must seek principles of change no less than principles of stability

Roscoe Pound - Interpretation of Legal History.


A. Hukum dalam Aras Modernisme
Hukum berkembang dalam konteks zamannya yang tertentu. Hukum di abad Pertengahan
berbeda dengan hukum di abad Renaissance-Humanisme, atau bahkan di masa Pencerahan dan
Modern (di fase kapitalisme lanjut). Perbedaan itu ada baik dalam tataran formal maupun
material. Perbedaan dalam tataran formal menyangkut forma-nya atau bentuknya. Misalnya
sebelum ada negara modern, tentu bentuk hukum feodal menjadi bentuk yang lazim pada
masyarakat yang hidup pada masa itu. Perbedaan material menyangkut isi atau substansinya.
Substansi yang bersifat eskatologis mendominasi hukum di masa pencerahan, sedangkan
substansi yang begitu berwarna liberalisme perdagangan mendominasi masyarakat yang hidup
di masa kapitalisme klasik atau sekitar abad Pencarahan. Roscoe Pound mencatat tiga
perbedaan basis keberadaan hukum dalam rentang waktu abad ke-12 sampai dengan abad
modern, kira-kira abad ke-19 yaitu basis kekuasaan (otoritas), basis iloso is dan basis historis.
Di masa ini, yaitu masa modern, Pound melihat bahwa hukum berbasis pada ketiga hal tersebut
secara kompilatif.

Michel Foucault melihat perbedaan itu sebagai konsekuensi logis adanya episteme yang berbeda
dalam zaman-zaman yang telah dihidupi manusia yang mengembangkan hukum. Tema-tema
yang berkembang dari akhir abad Pertengahan sampai dengan abad Modern yaitu negara,
humanisme dan kapitalisme ditemukan dalam tiap episteme yang digalinya ketika ia menelusuri
secara arkeologis (historis kritis) rentangan zaman-zaman itu. Episteme yang ditemui
dinamakan seturut dengan diskursus yang berkembang saat itu, dan pemisahannya dilakukan
berdasarkan retakan epistemik yang membedakan antara satu episteme dengan yang lainnya.
Hal ini terlihat dalam karya Foucault yang bertema tatanan atau orde pemikiran manusia yang
berkaitan dengan benda-benda, kata-kata dan dirinya (The Order of Things). Di dalam karya itu ia
membedakan tiga episteme yaitu masa Renaissance yang berepisteme kemiripan (resemblance),
masa Klasik yang berepisteme kehadiran (representation) dan masa Modern yang berepisteme
manusia yang mempunyai ordenya sendiri dan dilihat sebagai subjek sejarah. Artinya manusia
telah membicarakan dirinya sendiri. Manusia membicarakan mikro-kosmos sebagai titik tolak
makro-kosmos. Karya ini adalah karya tonggak yang menandakan metode arkeologi-nya
(historis kritis). Dalam karya-karya selanjutnya ia juga membicarakan episteme dengan pola
yang sama. Namun, Foucault belum membicarakan kuasa. Baru dalam karyanya Discipline and
Punish: The Birth of The Prison dan History of Sexuality Volume I: An Introduction, Foucault mulai
mencermati kuasa dalam episteme-episteme yang ditemuinya. Ia melakukannya dengan metode
genealogi (istilah yang dipinjamnya dari Nietzsche). Ia meneliti bagaimana kuasa (dan juga
pengetahuan) bereproduksi dan berdistribusi dalam episteme sehingga dapat membentuk
sebuah jaring-jaring kuasa. Jaring-jaring itu bersifat strategis dan taktis dalam menjerat subjek
demi ekonomisasi hidup manusia. Ia memunculkan diskursus-diskursus, meliputi ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam Discipline and Punish, Foucault jelas-jelas menyebutkan
bahwa jerat-jerat kuasa yang ekonomis itu berbentuk pematuhan (docilisasi). Biang keladinya
adalah kapitalisme.

Foucault melihat kapitalisme lah yang paling dominan di antara ketiga tema yang muncul dalam
wacana tentang modernisme (negara, humanisme dan kapitalisme). Negara dilihat oleh
Foucault sebagai forma akhir yang bersifat baku dan resmi yang menga irmasi adanya jerat-jerat
kuasa dalam masyarakat. Kontrak sosial menjadi legitimasi keberadaan negara untuk
mengaktivasi kuasanya dalam pemerintahan negara. Di sini Foucault membicarakan
governmentalitas (kepemerintahan). Dengan governmentalitas pendisiplinan dan pengawasan
demi pematuhan tubuh individu dalam masyarakat pemenjaraan terealisir dan terinstitusikan.
Hukum positif menjadi alas yang sah bagi usaha tersebut. Untuk apa pematuhan yang diemban
oleh negara? Untuk mengefekti kan dan menge isiensikan tubuh manusia agar berguna secara
optimal bagi kapitalisme. Di bidang lain, yaitu kultural (kita dapat mengelompokannya
demikian), humanisme menjadi daya pikat bagi kapitalisme. Humanisme ditaruh dalam
pondamen liberalisme. Menghargai kemanusiaan dan otonomi individu sebagai kodrat dari
manusia yang menjadi subjek atas hidupnya sendiri diletakkan dalam kerangka ilsafat
liberalisme. Dalam pondamen ini, muncul ilmu-ilmu kemanusiaan yang mau
mengaktualisasikan subjektivitas manusia tetapi justru, bagi Foucault, mensubjektvikasi (sama
dengan objektivikasi) manusia. Narasi tentang kemanusiaan yang mencoba mendemitologikan
cerita abad kegelapan tentang manusia justru menjadi mitos. Hak asasi manusia yang coba
membingkai kemanusiaan manusia justru menjadi alat kuasa (kapitalisme) untuk mematuhkan
manusia. Maka, kapitalisme menjadi penggerak bagi kuasa yang telah "berepisteme" dari satu
zaman ke zaman lain sampai di zaman modern ini.

Bagaimana dengan hukum? Hukum tidak otonom dan hukum menjadi alat kuasa bahkan hukum
menjadi bentuk akhir (bentuk formal atau bentuk instrumental teknis yang berdaya praktis) dari
sebuah kuasa. Ia berevolusi dari zaman ke zaman bersamaan dengan jerat kuasa yang begitu
strategis dan taktis dalam sebuah episteme. Evolusi itu terlihat dalam paparan Foucault tentang
episteme kurun yang dilalui manusia modern semenjak masa Renaissance. Hukum di masa
Renaissance yang berepisteme kemiripan (resemblance) berbeda dengan hukum di masa Klasik
yang berepisteme kehadiran (representation), berbeda pula dengan hukum di masa Modern
yang berepisteme orde manusia sebagai subjek. Dari forma hukum dan substansinya kita dapat
mendeteksi sebuah kuasa yang bekerja di belakangnya, dan dengan begitu secara abstrak kita
dapat melihat epistemenya. Hukum adalah kuasa itu sendiri tetapi dalam bentuknya yang begitu
instrumental dan operasional serta mempunyai fungsi praktis. Dengan demikian, bila kuasa
yang bekerja menguasai masyarakat modern adalah kuasa kapitalisme yang begitu teknologis
dan industrialis, maka hukum yang berlaku dalam masyarakat yang sama adalah hukum yang
kapitalistis pula.

Penelitian Roscoe Pound yang tadi diungkap di awal tulisan bagian ini dapat ditarik untuk
memperkuat tesis Foucault, tetapi tentu hal ini tidak begitu tepat. Namun demikian, dalam
rangka menambahkan impresi pembenar dari wacana Foucauldian kita dapat melakukannya.
Kenyataan bahwa hukum yang berbasis pada otoritas, ilsafat dan sejarah menunjukkan bahwa
hukum selalu bersandar pada bangunan tema zaman tertentu yang sudah pasti selalu berbeda.
Maka, hukum selalu bergantung pada tema besar sebuah zaman. Tema inilah yang dapat
disamakan dengan episteme yang mengandung kuasa yang menjadi penentu bagi pembicaraan
atau wacana pada zaman yang bersangkutan. Dalam tingkat ini mungkin kita dapat
menyetujuinya tetapi bila kemudian kita tarik pada ketiga tema yang dikemukakan oleh Pound,
apakah kita dapat membawanya ke arah perbincangan Foucauldian. Mungkin. Caranya adalah
dengan mensejajarkan ketiga tema tadi dengan episteme yang ditemukan Foucauld. Di abad ke-
12 sampai dengan abad ke-16, hukum didasarkan pada kekuasaan (otoritas). Otoritas yang
dimaksudkan oleh Pound tentulah sesuatu yang berada di luar keberadaan manusia secara
individual memberi imperasi. Foucault menemukan episteme kemiripan atau resemblance
dalam rentangan masa ini. Episteme kemiripan yang dimaksud Foucault adalah manusia melihat
bahwa dirinya mempunyai kemiripan dengan alam faktual di luar dirinya. Ada empat wilayah
kemiripan yaitu Convenientia, Simpati, Emulasi dan Analogi. Convenientia adalah kemiripan yang
dihasilkan oleh kegiatan menghubungkan manusia dengan benda, hewan dan tumbuhan yang
ada di dekatnya. Contohnya totemisme. Simpati adalah menyamakan satu dengan lainnya dalam
rangka relasi tarik-menarik semesta. Contohnya adalah astrologi yang mencoba melihat nasib
manusia. Emulasi adalah menyamakan diri manusi dengan benda-benda yang jauh dari manusia
seperti benda-benda langit. Hal ini menjurus ke personi ikasi. Misalnya penggambaran matahari
yang mempunyai mata dan mulut. Analogi adalah prinsip keserupaan untuk berbagai hal dalam
lingkup yang lebih luas, biasanya justru pada sesuatu yang kurang mirip. Empat prinsip atau
wilayah keserupaan ini mengindikasikan kepada kita bahwa manusia pada masa itu masih
melihat "being" yang ada di luarnya. Ia belum secara sadar mengarahkan penglihatan pada
dirinya sendiri. Eksposisi Pound dapat kita tarik ke dalam pemahaman Foucauldian yaitu bahwa
hukum yang bersandar pada otoritas adalah hukum yang berada dalam episteme keserupaan. Ia
melihat otoritas yang berada di luar dirinya seperti raja atau tuan tanah sebagai yang lebih
berkuasa dari dirinya sehingga harus ditaati. Raja atau tuan tanah diserupakan dengan Yang
Kuasa atau tuhan. Hukum pada masa ini masih terlihat sebagai sesuatu yang mengerikan dan
menyentuh tubuh. Lihat kasus Damiens yang dihukum di depan Gereja Paris karena penghinaan
terhadap raja. Pada masa ini bahasa ilmu pengetahuan masih didominasi oleh kata "menduga"
dan "menafsirkan" bukan "mengamati" serta "membuktikan".

Peralihan dari episteme keserupaan ke episteme representasi ditandai oleh penemuan


rasionalitas manusia yang dipelopori oleh Descartes. Di masa ini menurut Foucault orang
melihat identitas dan mulai membedakan identitas dirinya dengan benda-benda yang
sebelumnya dilihat secara mirip (semblance). Orang mulai melihat manusia sebagai sebuah
kehadiran dari beingnya. Di sinilah manusia mulai mempunyai kesadaran yang intensional.
Manusia mulai menatap (keagungan dirinya yang rasional). Di masa ini, yaitu dari abad ke-17
sampai dengan abad ke-18, Pound melihat hukum menggeser basisnya dari otoritas ke ilsafat.
Yang dimaksud dengan ilsafat oleh Pound adalah bahwa hukum mendasarkan dirinya pada
re leksi yang intensional tentang manusia. Hal ini terlihat pada aliran dominan saat itu yang ada
yaitu hukum kodrat, tentu kodrat kemanusiaan yang rasional dan merdeka. Salah satu kodrat
manusia yang cukup mendasar adalah pemenuhan kebutuhan rasa aman. Maka rasa aman
menjadi prioritas utama pencapaian hukum saat itu dan bukan soal teori lagi, karena dasar
teorinya sudah jelas dan kuat kodrat manusia. Dalam episteme kehadiran being manusia ini kita
melihat hukum mulai lebih manusia dan mengarah pada penghukuman jiwa manusia atau jiwa
kejahatan itu sendiri. Di sinilah dimulai pematuhan yang akan berlanjut ke masa selanjutnya.
Hukum mulai melihat kaidah ekonomisasi hidup manusia.

Masa selanjutnya adalah masa yang berepisteme orde manusia sebagai titik tolak makro kosmos
dalam lintasan sejarah. Artinya manusia mulai dilihat sebagai subjek sejarah. Manusia saat ini
mulai berbicara tentang sejarah yang menjadi asal-usulnya sekaligus harapan teleologis ke
depan yang begitu cerah. Narasi yang muncul adalah narasi mengenai perkembangan dan
pertumbuhan manusia. Manusia berada dalam kesadaran waktu baik waktu lalu, kini dan
mendatang. Tentu semuanya dibingkai dalam kesadaran progresif linier. Ia mulai masuk dalam
lintas batas waktu sejarah. Waktu menjadi bagian dari "being"-nya. Masa ini adalah masa
kemanusiaan yang mewaktu. Ilmu pengetahuan menjadi empiris dalam sejarah kemanusiaan
yang secara faktual berlokus pada tubuh individual dan tubuh sosial manusia. Hukum seperti
yang dicatat oleh Pound berbasis pada sejarah. Artinya hukum tidak lagi menstabilisasi prinsip-
prinsip kesamaan dan keutamaan tetapi prinsip pertumbuhan hidup manusia. Dalam titik inilah
kapitalisme mulai tumbuh dan berkembang dalam sel-sel darah merah kehidupan manusia
dengan harapannya yang cemerlang karena memberikan keuntungan materiil yang begitu
fantastis. Industrialisasi dan teknologisasi menyertainya. Penghukuman telah menyebar dalam
tubuh masyarakat dan menjadi mekanisme sosial yang berusaha mematuhkan manusia secara
massal. Foucault mencatat keberdirian sekolah Mettray sebagai tonggak pematuhan masyarakat
(menjadi masyarakat pemenjaraan). Di sekolah Mettray individu dibagi dalam kelompok kecil
secara hirarkis. Mereka kemudian diawasi dan diberi pendisiplinan yang meliputi latihan
kemiliteran dan kerja bengkel. Sanksi-sanksi diberlakukan demi mengefekti kan pengawasan.
Kegiatan ini jelas merupakan kegiatan pematuhan yang mencoba menaklukan individu (secara
realistis penaklukan terhadap tubuh). Model Mettray ini kemudian menyebar dalam tubuh
Tujuan keberadaannya adalah pematuhan yang berguna bagi industri massa. Masyarakat
diarahkan pada kerja industri dalam aras kapitalistis yang tentunya dapat memberi
pertumbuhan dan perkembangan material. Sementara hukum memberi alas yang legitim pada
usaha pematuhan ini dengan ideologi perkembangan dan pertumbuhannya. Keadaan ini masih
berlangsung sampai abad ke-20 bahkan sampai saat ini, dengan varian-varian sejarah yang telah
dicatat pada bab dua, seperti adanya negara baru di Asia dan Afrika.

Paparan panjang lebar di atas adalah paparan yang mencoba menarik penjelasan Roscoe Pound
dalam perspektif Foucauldian. Hasilnya, secara mentak, kita dapat semakin mengamini
penjelasan Foucault tentang hukum yang menjadi bentuk akhir dari kuasa, karena Pound
memberi dasar legitim tentang ketergantungan hukum pada tema-tema zaman yang kemudian
dari penjelasan tadi dapat ditarik bukan saja pada tema tetapi pada jaring-jaring kuasa yang
memforma episteme zaman yang bersangkutan.

Dari penjelasan yang begitu arkeologis (historis kritis) dan genealogis mengenai kaitan hukum
dengan kuasa, kita akan melihat pokok permasalahan yang di dua bab terdahulu yaitu bab dua
dan tiga dilihat sebagai krisis modernitas. Krisis adalah perbendahaaraan pernyataan yang
diambil dari wacana kritis Habermasian. Pengambilan ini dilakukan untuk menjelaskan wacana
Foucauldian yang bersikap skeptis dan pesimistis pada krisis modernitas sehingga kritik
dekonstruktif selalu dihasilkannya. Paradigma Habermasian dipinjam dalam rangka
membeningkan kritik Foucauldian terhadap modernisme.

Habermas menyebutkan tiga krisis yang dihadapi oleh masyarakat modern yaitu krisis dalam
dimensi ekonomi berkaitan dengan distribusi hasil produksi yang tidak merata, krisis dimensi
politik berkaitan dengan menipisnya legitimasi massa pada bentuk formal masyarakat modern
yaitu negara, dan krisis sosio-kultural berhubungan dengan budaya konsumerisme yang
dimunculkan oleh kapitalisme yang begitu industrialistik dan teknologis. Habermas
menyarankan penyembuhan krisis dengan membangkitkan paradigma komunikasi yang
partisipatif dan emansipatoris dalam sudut-sudut dimensional masyarakat. Berbeda dengan
Habermas, Foucault menanggapi modernisme dengan pesimis. Seperti yang telah dipaparkan,
Foucault menuding kapitalisme dan narasi-narasinya termasuk ilsafat menjadi kekuatan yang
mendehumanisasi masyarakat manusia. Pencerahan yang dialami manusia bukanlah kemajuan,
tetapi hanya sebuah kejadian yang mengantar pada kejadian lainnya, tanpa benar-benar
membawa pembebasan manusia. Manusia muncul hanya sebagai kategori subjek yang
diakibatkan oleh diskursus-diskursus yang muncul selama itu. Maka, manusia sebenarnya tidak
pernah bebas bahkan dari zaman kegelapan sekalipun. Manusia justru di masa modern
menemui a irmasi kematiannya. Manusia dipatuhkan dengan pengawasan dan pembentukan
tubuhnya demi ekonomisasi (kapitalisasi) hidupnya. Paparan di atas, ketika mencoba menarik
penjelasan Pound ke dalam wacana Foucauldian, telah menjelaskan bagaimana manusia
dipatuhkan (bab-bab sebelumnya pun telah memaparkan hal ini). Dengan demikian, bagi
Foucault masyarakat manusia tidak mengalami krisis tetapi memang demikianlah nasib
manusia yang dibohongi oleh harapan palsu pencerahan, sehingga seakan-akan mereka bebas
dan bereksistensi. Sebuah krisis dapat terjadi bila memang sebelumnya masyarakat tersebut
hidup dalam keadaan tidak krisis (atau katakanlah sehat atau berjiwa integral), seperti
Habermas melihat bahwa di masa Pencerahan manusia dibebaskan tetapi menjadi tidak bebas
ketika terjadi rei ikasi kehidupannya di masa kapitalisme lanjut (sebagai puncaknya), sehingga
manusia harus disembuhkan lagi dari krisisnya dengan kritik. Foucault berbeda. Manusia
memang tidak pernah bebas bahkan sampai saat ia menga irmasi kematiannya sendiri, maka
Foucault hadir langsung dengan kritik untuk langsung membongkar dan mendekonstruksi
delusi-delusi pencerahan. Yang Foucault bongkar adalah kuasa kapitalisme (saya menyebut
kapitelisme sebagai sebuah paket sehingga begitu multi-dimensional, bukan dimensi ekonomi
saja) yang telah melenakan manusia.
Pembongkaran itu dilakukan dengan berdasarkan pada analisis docilisasi. Padahal, hukum
menjadi sarana efektif docilisasi. Dengan demikian, menghancurkan struktur kuasa berarti
menghancurkan hukum yang menjadi instrumen jerat-jerat kuasa kapitalis yang
mendehumanisasi manusia itu. Mengapa demikian? Karena hukum jelas berperan dalam
mematikan manusia, karena hukumlah yang secara teknis-instrumental melakukannya. Hukum
lewat metode penghukuman, aparatnya dan epistemologinya menjadi realisasi kuasa yang
menjerat. Contoh epistemologi hukum adalah narasi tentang keberadaan hukum yang
dilestarikan melalui -salah satunya- tradisi narasi Hobbesian bahwa manusia pada dasarnya
hidup dalam situasi perang maka untuk kedamaian perlu hukum yang menjadi sang Leviathan,
atau contoh tradisi yang lainnya adalah tradisi kontrak sosial. Di sini hukum dipahami sebagai
perjanjian suci masyarakat yang mengikat anggotanya untuk hidup dalam ketertiban umum.
Maka, anjuran Foucault adalah bahwa hukum harus dihancurkan. Inilah hukum dalam aras
modernisme menurut wacana kritis Foucauldian.

Jika dihancurkan, apa arti hukum bagi Foucault? Bila yang ditanyakan hukum dalam makna yang
begitu positivis, hukum tidak berarti apa-apa. Hukum yang berwarna positivistis bagi Foucault
hanya patut dihancurkan karena ia menjadi instrumen kuasa pematuhan, begitu pula dengan
aparatnya. Namun apabila Foucault dibiarkan berbicara tentang hukum ia akan mengatakan
hukum yang berada dalam tataran meta isis (kalau dapat dikatakan demikian). Alasannya
adalah berbicara tentang hukum dalam perspektif Foucauldian berarti berbicara tentang
bangunan etikanya. Foucault tidak berbicara tentang hukum positif tetapi hukum moral. Dalam
tataran ini, ia berbicara tentang etika diri atau etika yang membawa pembebasan diri. Dalam
berbicara tentang etika diri (moralitas diri), Foucault mengidealisasikan etika Yunani Kuno yang
menurutnya bebas dari represi yang bersifat normatif (normalisasi). Berikut akan saya kutipkan
paparan McNay tentang idealisasi akan etika Yunani Kuno.
“..., Foucault regards Ancient Greek ethics as free from such normalizing pressure. Although they
operate around certain central moral imperatives, the privileged moment within these ethics is
what Foucault calls a 'certain practice of liberty', whereby the Ancient Greek was free to establish a
relation with himself, to idiosyncratically stylize his existence in order to maximize the pleasure,
beauty and power obtainable form life. It is this principle of an autonomous aesthetics of the self
that is presented as an antidote to the normalizing tendencies of modern society.”

Dari penjelasan McNay kita dapat menangkap bahwa Foucault anti terhadap hukum positif.
Foucault menginginkan hukum yang berasal dari kehendak bebas manusia, bukan hukum yang
disusun oleh negara yang mempunyai kepentingan normalisasi (pematuhan) demi efektiviatas
dan e isiensi kapital. Maka dapat dipahami jawaban sekaligus anjuran Foucault untuk
menghancurkan hukum dan aparatnya dalam rangka mengadakan revolusi terhadap kuasa yang
begitu menjerat. Hukum bagi Foucault adalah jaring-jaring kuasa. Law is nothing but power.

B. Re leksi
Ada dua dua hal yang perlu diberi catatan dalam karya tulis ini. Yang pertama adalah tentang
sistematika yang memformat karya ini dan yang kedua adalah tentang wacana kritis Foucauldian
(berarti substansi atau materi tulisan yang distrukturasi oleh sistematika karya tulis ini).

Dengan membaca BAB I dan BAB IV, atau bagian pendahuluan dan bagian yang berisi review
pemikiran Foucault ini, sidang wacana karya tulis sebenarnya sudah dapat mengetahui garis
besar pemikiran yang ingin dituju. Di bagian pertama telah disinggung secara sekilas
epistemologi atau pengetahuan dari pengetahuan tentang wacana kritis Foucauldian. Dengan
mengetahui epistemologi sebuah sistem berpikir atau katakanlah perspektif, kita sebenarnya
telah menangkap hampir sebagian besar esensi pemikiran tersebut tanpa detil-detil
pengetahuan yang biasanya bersifat kasuistis. Selain epistemologi, di bagian pertama disinggung
pula tentang tujuan ditulisnya karya ini. Sehingga sidang dapat memperkirakan secara mentak
makna kehadiran karya ini. BAB II dan BAB III adalah isi yang lebih menerangkan dan
menjelaskan secara lebih mendalam bagian yang lainnya (terutama bagian pertama atau BAB I).
Penjelasan tersebut dilakukan dengan mengambil pembahasan spesi ik dari sistem pemikiran
Foucauldian yang berkaitan dengan hukum yaitu masyarakat pemenjaraan atau masyarakat
karseral. Yang pertama coba dijelaskan adalah konteks keberadaan pemikiran Foucault yaitu
modernisme. Modernisme menjadi episteme seluruh pemikiran Foucault. Saya membentangkan
modernisme secara historis dengan mengambil tiga tema dominan yang berkembang dalam
wacana modernitas yaitu humanisme, kapitalisme dan negara. Tema humanisme berkaitan
dengan roh modernisme dalam dimensi kultural. Secara lugu kita dapat mengkategorikannya
dalam "suprastruktur", untuk mengkomparasikannya dengan pemikiran Marxist yang menjadi
mainstream tradisi kritik. Tema kapitalisme berhubungan dengan dimensi ekonomi, kerja
manusia dalam mencukupi kebutuhan materiilnya. Kita dapat menggolongkannya ke dalam
"infrastruktur". Begitu pula dengan tema negara yang erat sekali kaitannya dengan dimensi
politik. Namun demikian, kategorisasi yang begitu de initif tidak dapat kita ajukan, karena saat
ini ketiganya telah berbaur dalam tema besar kapitalisme. Dimensi hukum coba saya tampilkan
sebagai sub-tema dari ketiga tema dominan. Alasannya dalam paradigma yang saya gunakan
untuk menyusun karya ini, hukum (pemikiran tentang hukum) menjadi anak pemikiran di
zamannya. Hal tersebut coba saya sajikan dalam sub-bab: Hukum sebagai Forma: Sebuah
Implikasi Ideologis.

Pemaparan ketiga tema secara historis itu coba saya rangkum dengan membentangkan krisis
yang dialami ketiganya sebagai sebuah entitas modernisme. Saya menggunakan paradigma
Habermasian. Maka, krisis modernisme dilihat dalam ketiga dimensi yaitu kultural, ekonomi dan
politik. Krisis komunikasi menjadi thesis simpulan dari ketiganya. Muaranya adalah
dehumanisasi. Legalisme, sebuah istilah yang saya pinjam dari Friedman, menjelaskan krisis
yang terjadi dalam dimensi hukum. Hal inilah yang coba saya paparkan dalam BAB II.

Dalam BAB III, saya memaparkan pokok kajian saya yaitu wacana kritis Foucauldian. Tentu saya
memaparkan kisah hidupnya dahulu, karena ini adalah teks dasar dari munculnya sebuah
pemikiran. Kemudian, saya melangkah ke dalam pemikiran Foucault. Saya mencoba
membentangkannya dengan mengemukakan epistemologi dan pemikiran spesi iknya tentang
masyarakat pemenjaraan. Di bagian terakhir BAB III, saya merangkum pemikiran Foucault dan
mencoba mengkaitkannya dengan konteks pemikiran Foucault yaitu modernisme yang saya
utarakan di BAB II dengan gaya Habermasian. Tepat di bagian inilah, saya menemukan kesulitan
untuk merangkaikan kedua hal ini. Permasalahannya Foucault tidak mengenal krisis dan kritik
terhadap modernisme. Bagi Foucault modernisme yang dimulai dengan Pencerahan adalah
krisis. Kehadiran diri dan pemikirannya adalah kritik, dan hal itu mewujud dalam seluruh
karyanya. Hidup dan karyanya adalah kritik. Berbeda dengan Foucault Habermas dan juga
Friedman, melihat krisis dan kritik secara tegas. Habermas mendiagnosis krisis akumulatif
terjadi dalam masyarakat kapitalisme lanjut, dan kritiknya adalah bahwa masyarakat
kapitalisme lanjut, tempat kita saat ini berada, harus mengembangkan paradigma komunikasi
dalam hidup kesehariannya, sehingga masyarakat kembali dicerahkan. Terlihat bahwa
Habermas melihat Pencerahan sebagai sebuah momen yang penting bagi manusia, tetapi
Foucault menanggapinya dengan sinis dan pesimis. Namun demikian, kesulitan tersebut harus
dihadapi untuk dapat membeningkan pemikiran Foucault. Lewat pemikiran Habermas, kita
kemudian dapat melihat pemikiran Foucault secara proporsional. Rangkaian penjelasan BAB II
dan BAB III coba saya simpulkan dalam BAB IV. Bab ini dapat dikatakan sebagai review kritis dari
pemikiran Foucault.
Catatan kedua untuk karya tulis ini berkaitan dengan materi kajiannya yaitu pemikiran Foucault
atas hukum. Yang dikritik (mungkin dapat dicari padanannya sebagai di-sinis-i atau di-pesimis-i)
oleh Foucault adalah hukum positif atau hukum yang dihasilkan negara. Hal ini terlihat dalam
wawancaranya dengan kaum Maoist tentang Keadilan Populis, dan dalam sikapnya terhadap
negara modern yang tergambar dalam pemikirannya tentang governmentalitas. Terhadap
negara dan hukum positif yang dihasilkannya, Foucault mengatakan "hancurkan!". Dasar
pemikirannya adalah bahwa keduanya adalah instrumen pematuhan atau docilisasi. Dengan
negara modern masyarakat berarti mengalami etatisasi dan dengan hukum positifnya
masyarakat berarti mengalami aturan-aturan pemenjaraan yang meliputi pengawasan,
pendisiplinan, sanksi dan pengujian.

Ada dua pertanyaan mendasar yang dapat diajukan pada pemikiran Foucault tersebut. Yang
pertama adalah berkaitan dengan otonomi atau kehendak bebas individu yang menurut
Foucault tidak ada atau hanya sebuah halusinasi orang-orang modern yang begitu termakan oleh
ideologi pencerahan. Yang kedua berkaitan dengan masyarakat manusia. Dalam term yang
kedua ini tersangkut pula prinsip otonomi dalam mengikatkan diri pada hukum yang telah
dibaca oleh Immanuel Kant, forma komunitas manusia dan pilihan rasional manusia dalam
rangka melangsungkan hidupnya.

Untuk bagian yang pertama kita dapat bertanya pada Foucault tentang fenomena kritik yang
selalu menghiasi perjalanan hidup manusia. Socrates, Immanuel Kant, Hokheimer, Habermas
dan Foucault sendiri adalah bukti bahwa kehendak bebas individu ada. Tradisi kritis yang
dipelopori oleh Sekolah Frankfurt adalah bukti adanya kesadaran orang-orang modern untuk
tidak terjebak dalam modernisme. Namun, Foucault dapat membalikkan pertanyaan ini dengan
thesis Parsonian tentang fungsi krisis dan kritik dalam sebuah sistem yaitu bahwa kelangsungan
sebuah sistem mengandaikan adanya mekanisme krisis dan kritik. Bagi Foucault kritik atas
modernisme adalah usaha untuk semakin mengukuhkan habitatisasi modernisme yang begitu
kapitalis dan industrialis dalam dunia kehidupan manusia. Kebebasan bagi Foucault adalah
bagian dari penguasaan. Thesis Foucault ini masuk akal dan dapat diterima sebagai kebenaran
pemikiran dari beragam pemikiran. Namun, pemikiran ini disangkal oleh Foucault sendiri ketika
Foucault berbicara tentang etika diri. Di sini Foucault berbicara tentang bentuk etika yang
membebaskan yaitu bentuk etika yang mirip dengan etika Yunani Kuno. Dasar etika itu adalah
stilisasi diri yang dapat membebaskan diri dengan mengoptimalkan kenikmatan, keindahan
tubuh dan kekuasaan. Selain berbicara tentang etika Foucault berbicara pula tentang Parreshiast
atau Sang Pemberita Kebenaran. Yang mau diacu Foucault adalah bahwa diri kita dapat menjadi
Sang Pemberita Kebenaran (Parreshiast). Dua pembicaraan Foucault di penghujung hidupnya
ini membuat kita bertanya-tanya perihal kontradiksi dalam asumsi-asumsi yang digunakan
Foucault, karena dua karya ini jelas-jelas mengandaikan adanya determinasi diri manusia atau
kehendak bebas manusia. Pertanyaan yang terlontar kemudian adalah apakah Foucault
mencoba bermain-main dengan kuasa yang katanya menguasai dan menjerat manusia dengan
berbagai cara? Apakah Foucault mencoba membantu struktur penguasaan untuk menyediakan
fungsi pertahanan sistem kuasa yang berwujud kritik dengan paparannya ini? Pertanyaan yang
lain berkaitan dengan keraguan yang pasti bahwa Foucault sebenarnya sepakat dengan adanya
otonomi atau kehendak bebas invidu untuk menyikapi jerat-jerat kuasa. Jadi Foucault berharap
dengan etika dirinya, orang-orang dapat menjadi manusia modern yang bebas dan
mengaktualisasikannya dengan meretas rantai kungkungan modernisme secara radikal. Dengan
demikian, kita sebenarnya dapat menarik konsekuensi logis dari pemikiran Foucault yang
belakangan ini. Foucault mempunyai "hukum positif" nya sendiri begitu pula dengan bentuk
negara. Inilah pertanyaan dan pernyataan yang dapat diajukan terhadap pemikiran Foucault.
Bukankah manusia hidup bersama dengan manusia yang lainnya? Ia pasti membutuhkan
komunitas manusia untuk hidup. Komunitas ini memiliki mekanismenya sendiri untuk
bertahan. Dari waktu ke waktu mekanisme itu diperbaharui oleh komunitas yang bersangkutan
dalam rangka mempertahankan diri. Komunitas ini berkembang dari yang paling sederhana ke
tingkatan yang begitu kompleks. Ada bentuk polis (negara "primitif" di Yunani dulu), bentuk
feodum atau ke-tuan tanah-an, bentuk monarkhi dan bentuk negara modern. Semuanya adalah
komunitas manusia yang mempunyai mekanismenya sendiri-sendiri dan berkembang dari
waktu ke waktu sesuai kompleksitasnya. Perkembangan itu tidak terlepas dari kerelaan individu
untuk mengikatkan diri pada mekanisme pertahanan diri komunitasnya (atau kita dapat
menyebutnya sebagai hukum positif dalam tataran yang sederhana). Paparan ini berkaitan
dengan pertanyaan kedua yang akan diajukan kepada Foucault. Bila Foucault menganjurkan
penghancuran negara dan hukumnya, bukankah terlalu berlebihan? Ingin diwadahi oleh forma
yang seperti apa sehingga masyarakat modern dapat mengaktualisasikan dirinya dalam sebuah
komunitas? Yang dihancurkan tampaknya bukan negara dalam bentuk formalnya tetapi proses
"penegaraan" individu yang menjadi warganya atau proses etatitasi warga negara yang dalam
bahasa Foucault disebut sebagai governmentalitas. Negara modern dianggap oleh Foucault
begitu dijiwai oleh governmentalitas sehingga pematuhan berlangsung dalam tiap institusi
negara. Maka, ketika membicarakan perubahan, Foucault berbicara tentang penghancuran
bentuk positif pematuhan yang terlihat dalam negara dan hukum-hukumnya. Jika Foucault
menganjurkan demikian, bukankah Foucault terlalu utopi pada realitas kemanusiaan yang
ditatapnya? Tampaknya kita dapat mengatakan hal ini. Terlebih lagi bila kita
membandingkannya dengan paparan Habermas tentang perbaikan negara modern dengan
kritik diri atau re leksi. Dengan hal itu, negara dapat mengedepankan paradigma komunikasi
yang partisipatif dan emansipatoris dalam mengelola dirinya, sehingga antara aparat negara dan
warga negara ada komunikasi yang memungkinkan terciptanya demokrasi yang semakin
dewasa. Hal yang masih berkaitan dengan hal ini dapat ditambahkan yaitu berkaitan dengan
hukum itu sendiri. Dalam hukum yang diikuti oleh masyarakat secara sukarela bukankah
terdapat dua sisi yang harus dilihat yaitu sisi pembelengguan yang selalu ditonjolkan Foucault
tetapi juga sisi otonomi. Sisi ini terlihat dibalik pelarangan yang diimperasikan oleh hukum.
Dalam pelarangan kita melihat sisi objektivitas manusia yang berelasi. Objektivitas adalah hasil
eksternalisasi tiap individu yang merasa perlu untuk saling berelasi dalam masyarakat. Di sini
terlihat otonomi individu yang memerdekakan diri dalam mengeksternalisasi dirinya dalam
wujud hukum yang melarang. Hukum positif yang berisi larangan untuk makan makanan
tertentu memang dapat saja dilihat sebagai manipulasi rejim kebenaran tertentu, tetapi pastilah
di dalam manipulasi itu ada sisi otonomi yang sebenarnya terungkap dalam deviasi-deviasi yang
ada terhadap larangan yang bersangkutan. Sehingga manipulasi yang terjadi bukanlah
manipulasi total. Ada partikularitas yang menegasi totalitas atau universalitas. Di sinilah terlihat
kuasa dalam tataran meta isis yang sebenarnya ingin diwartakan Foucault. Kuasa dalam tataran
itu dijiwai oleh dialektika antinomis antara dua nilai yang paradoks. Ada larangan ada pula
pembebasan. Sehingga dalam bentuk akhir kuasa (seperti hukum positif), selain larangan orang
yang dikenai atau menjadi subjek hukum tersebut merasa dibebaskan pula.

Selain kedua pertanyaan untuk Foucault dalam catatan kedua yang terbentang di atas, ada hal
yang perlu diajukan lagi mengenai tujuan kritis dari kehadiran karya tulis ini. Di awal tulisan
pada bagian ini terpampang kata-kata dari Roscoe Pound tentang prinsip-prinsip perubahan
yang sama pentingnya dengan prinsip stabilitas. Pound mengatakan hal ini dalam rangka
mere leksikan pengalamannya bergelut dengan ilmu hukum. Ilmu hukum dalam sejarahnya
selalu ditarik dalam dua kutub permenungan yaitu kutub stabilitas dan perubahan. Kutub
stabilitas berkaitan dengan kepastian hukum dan kutub perubahan berkaitan dengan rasa
keadilan masyarakat yang sungguh kontekstual dengan aliran hidup keseharian masyarakat.
Keterjebakan hukum pada kedua kutub akan menyebabkan hukum begitu otoriter dan totaliter.
Jawaban yang dapat diajukan untuk menanggapi bahaya keterjebakan itu adalah sikap kritis.
Contoh baik dari sebuah sikap kritis di kalangan para ahli hukum dan ahli ilmu hukum adalah
Critical Legal Studies Movement yang dirintis keberadaannya di Amerika Serikat pada tahun
1977 oleh beberapa ahli hukum seperti Duncan Kennedy, David Trubek, Roberto Unger dan
lainnya. Gerakan para ahli hukum dan ahli ilmu hukum ini pertama-tama tidak membatasi diri
pada lingkaran hukum. Mereka berniat untuk mencari alternatif baru bagi sebuah masyarakat
modern yang memang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan hukum (positif). Maka, mereka
berpikir dalam semesta kemerdekaan akademis tanpa takut kehilangan ciri mereka sebagai ahli
hukum. Di sini dimulai humanisasi ilmu modern yang memang telah tererosi dehumanisasi
akibat sainti ikasi ilmu-ilmu manusia. Hadirnya pewacanaan pemikiran Foucault ini adalah
salah satu upaya membangkitkan kritisisme yang sama yang telah dihadirkan oleh para aktivis
Critical Legal Studies Movement. Ini hanyalah langkah kecil dalam ziarah kritisisme yang harus
dihadapi para pemikir hukum.
BAB V
PENUTUP
Pemikiran Foucault tentang hukum belum menjadi bahan tatapan populer bagi khalayak
akademisi di fakultas hukum, begitu pula tampaknya dengan wacana kritis lainnya seperti
wacana kritis Habermasian, Sartrean dan lain sebagainya. Pertempuran antar wacana
modernisme dengan post-modernisme yang pernah agak memanas di perbincangan ilmiah
wilayah Indonesia pun belum sempat mampir menghangatkan wacana ilmiah di teritori fakultas
hukum. Mungkin dapat dipahami bahwa urusan wacana seperti yang disebutkan itu bukanlah
urusan fakultas hukum, karena hukum terlihat hanya menjadi "sambilan" dari pembicaraan
seriusnya. Tetapi bagaimana dengan wacana kritis yang dimunculkan oleh Critical Legal Studies
Movement semenjak tahun 1977, di Amerika? Wacana ini belum banyak dikenal di teritorial
akademis fakultas hukum ini. Hanya beberapa saja yang secara serius mencermati dan
memperhatikannya. Dari fakta semacam ini sebenarnya kita dapat memberikan pemakluman
pada kenyataan belum populernya wacana-wacana kritis yang hanya "numpang lewat"
membahas hukum, seperti wacana Foucauldian yang menjadi tema pokok kajian karya tulis ini.

Michel Foucault yang mewartakan wacana Foucauldian bukanlah seorang pemikir tentang
hukum seperti para aktivis Critical Legal Studies Movement. Ia seorang ilsuf-sosial yang melihat
hukum hanya sebagai salah satu varian dari beragam varian yang ada dalam hidup masyarakat
manusia. Baginya hukum hanyalah wujud akhir dari kuasa modernitas yang begitu kapitalistis
dan industrialis. Kehadirannya dalam dalam masyarakat modern dalam bentuk hukum positif
negara menjadi alat atau instrumen pematian atau pen-dehumanisasi-an manusia. Ia
menyebutkan pematian itu dengan istilah docilisasi atau pematuhan. Hukum tidak lain dari
kuasa yang menjerat manusia dalam hidup kesehariannya. Oleh hukum manusia diatur dan
diarahkan untuk memenuhi kepentingan kuasa. Kuasa siapa? Foucault tidak menyebut golongan
tertentu, tetapi ia menyebutkan sebuah ideologi yang menjadi jiwa kuasa yaitu kapitalisme,
industrialisme, modernisme, dan bahkah "humanisme" (Perlu diberi tanda kutip untuk tidak
mengaburkan arti humanisme yang dimaksudkan oleh Foucault. Yang dimaksud dengan
humanisme oleh Foucault adalah humanisme yang sering didengungkan oleh kepentingan
kapitalisme modern untuk mematuhkan manusia. Humanisme yang mau diacu disini adalah
humanisme yang berada dalam -dengan meminjam istilah Marx- tataran kesadaran palsu
manusia. Lihat Lois McNay, Foucault : Critical Introduction, Oxford, Polity Press, 1994, halaman
62). Untuk hukum yang seperti ini Foucault menganjurkan penghancuran terhadapnya. Sebagai
gantinya Foucault mengajukan model "hukum" yang bersumber pada etika diri, yaitu etika yang
bersumber pada semangat estetisasi diri. Etika ini dapat membebaskan manusia dalam
kenikmatan yang coba dioptimalisasikan, dalam keindahan, kecantikan dan kemolekan tubuh,
dan dalam kekuasaan yang coba diraih (McNay, halaman 142). "Hukum" yang dihasilkan oleh
etika semacam ini adalah "hukum" yang mempunyai nilai estetis tinggi dan sanggup
memerdekakan manusia. "Hukum" ini dimiliki dan dihasilkan oleh tiap individu bukan pembuat
undang-undang seperti badan eksekutif atau legislatif. Tentu hukum yang dimaksud bukanlah
hukum positif, dan memang Foucault tidak berbicara tentang hukum positif, karena itu kata
hukum diberi tanda kutip antara. Hukum yang dibicarakan oleh Foucault adalah hukum moral
yang tidak dapat disejajarkan dengan hukum positif. Jika demikian, bukankah kemudian
masyarakat hidup tanpa hukum? Hanya ada moralitas individu yang tidak dapat digunakan
untuk bersikap tindak secara sosial. Dalam arti tertentu, Foucault jelas menganjurkan anarkisme
dan sikap tindak sosial yang jaminan legalitasnya terletak pada hukum individual.

Apa signi ikansinya kemudian wacana Foucauldian bagi para sivitas akademika fakultas hukum
yang bersikap optimis pada keberadaan hukum positif? Jawabannya berkaitan dengan kekuatan
dan kelemahan wacana Foucauldian. Kekuatannya dapat dilihat dari paparannya tentang kondisi
masyarakat modern yang begitu dikuasai oleh ideologi kapitalisme yang membelenggu baik
secara persuasif maupun represif. Paparan ini memberi ilham atau inspirasi bagi sivitas akademi
fakultas hukum untuk bersikap kritis pada kecenderungan-kecenderungan hegemonisasi
hukum positif pada kehidupan manusia. Dengan demikian, wacana Foucauldian dapat dijadikan
pisau analitis kritis untuk melihat realitas hukum. Hal ini akan membuat para pembuat,
pelaksana dan penegak hukum dapat mengarahkan hukum pada keadilan yang dirasakan oleh
masyarakat tanpa meninggalkan prinsip kepastian hukum yang sebenarnya menjadi wujud
kasad rasa dan kasad mata prinsip keadilan. Sedangkan kelemahannya -hal inilah yang cukup
mudah untuk diwaspadai- terlihat pada prasangka yang terlalu berlebihan pada hukum sebagai
produk masyarakat. Hukum sebagai produk masyarakat harus diakui mengandung otonomitas
tersendiri yang ternyata dapat memerdekakan manusia. Hukum tidak sepenuhnya
membelenggu. Ada sisi-sisi luang dalam hukum yang dapat digunakan oleh individu untuk
mengaktualisasikan dirinya dalam masyarakat. Dari sudut individu, kita dapat mengatakan
bahwa manusia pun mempunyai kodrat untuk membentuk sebuah komunitas (kebutuhan
sebagai mahkluk sosial). Dalam mengaktualisasikan kodratnya itu manusia mau secara sukarela
mengikatkan diri dalam hukum-hukum komunal yang mempunyai fungsi integratif
(menyatukan). Bukankah kalau Foucault mengusulkan penghancuran total hukum positif,
Foucault bersikap tidak realistis pada kemanusiaan manusia?

Wacana Foucauldian memang bukanlah wacana yuridis dalam artian yang konvensional. Ia
dapat dikategorikan sebagai wacana alternatif bagi studi kritis hukum. Wacana ini menawarkan
insight baru yang dapat membantu kita untuk mencari prinsip-prinsip perubahan selain prinsip-
prinsip stabilitas. Pun wacana ini dapat menjadi pelita bagi para sivitas akademika fakultas
hukum untuk berjalan dalam ziarah kritisisme yang selalu berada dalam tegangan kutub rasa
keadilan dan kepastian hukum yang tampaknya tidak bertentangan, namun sebenarnya
berantinomi dalam wujud ketertiban dan kebebasan, materialisme dan immaterialisme, dan
nilai-nilai antinomis yang lainnya.
Daftar Pustaka

Pustaka Karya Michel Foucault

FOUCAULT, Michel. Surveiller et Punir, Naissance de la Prison, atau Discipline and Punish,
The Birth of The Prison, terj. Alan Sheridan, England, Penguin Books, 1977.
FOUCAULT, Michel. Discipline and Punish, The Birth of The Prison, disadur oleh Petrus Sunu
Hardiyanta, Disiplin Tubuh, Bengkel Individu Modern, Yogyakarta, LKiS, 1997.
FOUCAULT, Michel. Histoire de la sexualité, vol. 1: La Volonté de savoir, atau The History of
Sexuality, volume 1: An Introduction, terj. Robert Hurley, England, Penguin Books, 1978.
Atau, Seks dan Kekuasaan, Sejarah Seksualitas, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta,
Gramedia, 1997.
FOUCAULT, Michel. The Order of Things, An Archaelogy of Human Sciences, Great Britain, 1970.
FOUCAULT, Michel. ed. Colin Gordon. Power / Knowledge, Selected Interviews and Other
Writings 1972 - 1977, Great Britain, The Harvester Press, 1980.

Pustaka Tentang Michel Foucault


Buku
BEOANG, Konrad Kebung. Michel Foucault: Parrhesia dan Persoalan Mengenai Etika, Jakarta,
Penerbit Obor, 1997.
GUTTING, Gary. ed. The Cambridge Companion to Foucault, Cambridge, Cambridge University
Press, 1994.
HORROCKS, Chris. dan JEVTIC, Zoran. Foucault for Beginners, atau Mengenal Foucault for
Beginner, terj. Tim Mizan, Bandung, Penerbit Mizan, 1997.
MACEY, David. The Lives of Michel Foucault, A Biography, New York, Pantheon Books, 1994.
McNAY, Lois. Foucault, A Critical Introduction, Cambridge, Polity Press, 1994.

Artikel
WIDYARSONO, Antonius. "Hubungan Kuasa dan Pengetahuan menurut Foucault", artikel diskusi:
Diskusi Buku Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern STF Driyarkara, Jakarta, tanggal 11
Desember 1997.
KRISTANTO, Dedy. "Kritik atas Rasio Tak Murni: Teori Kritis Versus Foucault", Majalah Filsafat
STF Driyarkara, Th. XXII, No.1

Pustaka Pendukung tentang Michel Foucault dan Wacananya


Buku
APPIGNANESI, Richard. dan GARRATT, Chris. Postmodernism, for Beginners atau Mengenal
Posmodernisme for Beginners, terj. Tim Mizan, Bandung, Penerbit Mizan, 1997.
BERTENS, K. Filsafat Barat Abad XX, Jilid II, Prancis, Jakarta, Gramedia, 1996.
FARGANIS, James. Reading in Social Theory, The Classic Tradition to Post-Modernism, second
edition, New York, The McGraw-Hill Companies, 1996.
HARDIMAN, Frans Budi. Menuju Masyarakat Komunikatif, Ilmu, Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme menurut Jurgen Habermas, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1993.
HABERMAS, Jurgen. "Modernity versus Postmodernity", Culture and Society, Contemporary
Debates, ed. Jeffrey C. Alexander and Steven Seidman, Cambridge, Cambridge University
Press, 1990, halaman 342 - 354.
MOUZELIS, Nicos. Sociological Theory: What Went Wrong? Diagnosis and Remedies, New York,
Routledge, 1995.
OSBORNE, Richard. dan VAN LOON, Borin. Sociology, for Beginners atau Mengenal Sociologi for
Beginners, terj. Tim Mizan, Bandung, Penerbit Mizan, 1996.
ROBINSON, Dave. dan GARRATT, Chris. Ethics for Beginners atau Mengenal Etika for Beginners,
terj. Tim Mizan, Bandung, Penerbit Mizan, 1998.
RITZER, George. Postmodern Social Theory, New York, The McGraw Hill Companies, 1997.
, Modern Sociological Theory, fourth edition, New York, The McGraw Hill
Companies, 1996.
SARUP, Madan. An Introductory Guide to Post-structuralism and Postmodernism, New York,
Harvester Wheatsheaf, 1988.
THOMPSON, Kenneth. Key Quotations in Sociology, London, Routledge, 1995.

Pustaka Pendukung
Buku
ANDERSON, Perry. In The Tracks of Historical Materialism, London, Thetford Press, 1984.
ADORNO, Theodor. dan HORKHEIMER, Max. The Culture Industry: Enlightenment as Mass
Deception, New York, Continuum, 1993.
BAKKER, Anton. dan ZUBAIR, Achmad Charris. Metodologi Penelitian Filsafat, Yogyakarta,
Penerbit Kanisius, 1990.
BUDIMAN, Arief. Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Jakarta, Gramedia, 1996.
. Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, Gramedia, 1996.
BLITZER, Charles. Great Ages of Man, A History of The World's Culture: Age of Kings, Nederland,
Time-Life International, 1980.
BELL, Daniel. "Modernism, Postmodernism, and The Decline of Moral Order", Culture and
Society, Contemporary Debates, ed. Jeffrey C. Alexander and Steven Seidman, Cambridge,
Cambridge University Press, 1990, halaman 319 - 329.
BUDIMAN, Hikmat. Pembunuhan yang Selalu Gagal, Modernisme dan Krisis Rasionalitas menurut
Daniel Bell, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1997.
BERTENS, K. Etika, Jakarta, Gramedia, 1997.
BAGUS, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996.
BURCHELL, S.C. Great Ages of Man, A History of The World's Culture: Age of Progress, Nederland,
Time-Life International, 1979.
CRAIB, Ian. Teori-teori Sosial Modern dari Parsons sampai Habermas, Jakarta, Rajawali Press,
1994.
FREMANTLE, Anne. Great Ages of Man, A History of The World's Culture: Age of Faith, Nederland,
Time-Life International, 1979.
FRIEDMAN, Lawrence M. The Republic of Choice, Law, Authority and Culture, Cambridge, Harvard
University Press, 1990.
FREIRE, Paolo. terj. Tim LP3ES. Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1991.
FRIEDMAN, W. Legal Theory, second edition, London, Stevens & Sons, Limited, 1949.
GIDDENS, Anthony. Pro iles and Critique in Social Theory, Berkeley and Los Angeles, University of
California Press, 1982.
. Sociology, A Brief but Critical Introduction, second edition, London, The
Macmillan Press, 1987.
GURVITCH, Georges. Sociology of Law atau Sosiologi Hukum, terj. Sumantri M dan M. Radjab,
Jakarta, Penerbit Bhratara, 1996.
GAY, Peter. Great Ages of Man, A History of The World's Culture: Age of Enlightenment, Nederland,
Time-Life International, 1979.
HUNT, Alan. "Law, Politics and The Social Sciences" , Sociology After Postmodernism, David Owen.,
editor., London, Sage Publications, 1997.
HOFFER, Eric. Between The Devil and The Dragon, New York, Harper & Row Publisher, 1982.
HARDIMAN, Frans Budi. Kritik Ideologi, Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta,
Penerbit Kanisius, 1990.
HALE, John R. Great Ages of Man, A History of The World's Culture: Age of Exploration, Nederland,
Time-Life International, 1979.
HALE, John R. Great Ages of Man, A History of The World's Culture: Renaissance, Nederland, Time-
Life International, 1979.
HADI, Hardono. Epistemologi, Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1994.
HAMPSHIRE, Stuart. The Age of Reason, the 17th Century Philosophers, USA, Mentor Books, 1956.
HUIJBERS, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1982.
KERAF, Sonny. Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1997.
KERAF, Gorys. Komposisi, cetakan ke delapanEnde, Penerbit Nusa Indah, 1989.
KELLNER, Douglas. Critical Theory, Marxism and Modernity, Oxford, Polity Press, 1989.
KENNEDY, Duncan. A Critique of Adjudication, Cambridge, Harvard University Press, 1997.
KUSUMAH, Mulyana W. dan BAUT, Paul S, editor. Hukum, Politik dan Perubahan Sosial, Jakarta,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 1988.
KUHN, Thomas. The Structure of Scienti ic Revolution atau Peran Paradigma dalam Revolusi Sains,
terj. Tjun Surjaman, Bandung, Penerbit P.T. Remaja Rosdakarya, 1993.
LYOTARD, Jean-Francois. "The Postmodern Condition", Culture and Society, Contemporary
Debates, ed. Jeffrey C. Alexander and Steven Seidman, Cambridge, Cambridge University
Press, 1990, halaman 330 - 341.
MONTESQIUE. The Spirit of The Law atau Membatasi Kekuasaan, Telaah Mengenai Jiwa Undang-
undang, terj. J.R. Sunaryo, Jakarta, Gramedia, 1993.
MANGUNHARDJANA, A. Isme-isme dari A sampai Z, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1997.
MAGNIS-SUSENO, Franz. Etika Politik, Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta,
Gramedia, 1994.
. 13 Tokoh Etika, sejak zaman Yunani sampai abad ke-15, Yogyakarta,
Penerbit Kanisius, 1997
. 13 Model Pendekatan Etika, bunga rampai teks-teks etika dari Plato
sampai dengan Nietzsche, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1997.
MANGUNWIJAYA, Y.B. Manusia Pascamodern, Semesta dan Tuhan, Renungan Filsafat Hidup
Manusia Modern, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1999.
MOEDJANTO, G., RAHMANTO, B. dan SUDARMINTA, J., editor. Tantangan Kemanusiaan
Universal, Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1992.
NAISBITT, John. Global Paradox atau Global Paradox, Semakin Besar Ekonomi Dunia, Semakin
Kuat Perusahaan Kecil, terj. Budijanto, Jakarta, Binarupa Aksara, 1994.
NIETZSCHE, Friederich. Thus Spake Zarathustra, transl. Thomas Common, New York, The
Modern Library, 1958.
. The Will to Power, transl. Walter Kaufmann and R.J. Holingdale, New
York, Vintage Book, 1963.
. Twilight of The Idols and The Anti-Christ, transl. R.J. Holingdale, England,
Penguin Books, 1968.
. Ecce Homo atau Lihatlah Dia, terj. Omi Intan Naomi, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 1998.
PIAGET, Jean. Le Structuralisme atau Strukturalisme, terj. Hermoyo, Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 1995.
PURBACARAKA, Purnadi. dan SOEKANTO, Soerjono. Perundang-undangan dan Yurisprudensi,
Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
PURBACARAKA, Purnadi. dan SOEKANTO, Soerjono. Perihal Kaidah Hukum, Bandung, Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
POUND, Roscoe. Interpretations of Legal History, Florida, Wm. W. Gaunt & Sons, Inc., 1986.
RAPAR, J.H. Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta, Rajawali Press, 1988.
RAMSAY, Maureen. What's Wrong with Liberalism? A Radical Critique of Liberal Political
Philosophy, London, Leicester University Press, 1997.
RAHARDJO, Dawam., editor. Kapitalisme Dulu dan Sekarang, Jakarta, LP3ES, 1987.
SOETIKSNO. Filsafat Hukum, bagian I, cetakan ke delapan Jakarta, Pradnya Paramitha, 1997.
. Filsafat Hukum, bagian II, cetakan ke delapan Jakarta, Pradnya Paramitha,
1997.
SUNARDI, St. Nietzsche, Yogyakarta, LKiS, 1996.
SUGIHARTO, Bambang. Postmodernisme Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta, Penerbit
Kanisius, 1996.
SOEMARDI, Dedi. Sumber-sumber Hukum Positif, Bandung, Penerbit Alumni, 1986.
. Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Penerbit Ind-Hill-Co, 1993.
SIMON, Edith. Great Ages of Man, A History of The World's Culture: The Reformation, Nederland,
Time-Life International, 1979.
SANDERSON, Stephen K. Macrosociology atau Sosiologi Makro, Sebuah Pendekatan Terhadap
Realitas Sosial, edisi kedua, terj. Farid W dan S. Menno, Jakarta, Rajawali Press, 1995.
SUTRISNO, Mudji. dan HARDIMAN, Frans Budi., editor. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman,
Yogyakarta, Penerbit Kanisius, 1992.
SOEKANTO, Soerjono. Dan TJANDRASARI, Heri. Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat,
Bandung, Penerbit Alumni, 1983.
SOEKANTO, Soerjono. Dan MAMUDJI, Sri. Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, Rajawali Press, 1994.
SOEKANTO, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1984.
TJAHJADI, Lili. Hukum Moral, Ajaran Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif Kategoris,
Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia, 1991.
TZU, Lao. Tao Te Ching: The Book of Meanning and Life, London, Penguin Books, 1995.
UNGER, Roberto M. The Critical Legal Studies Movement atau Gerakan Studi Hukum Kritis, terj.
Ifdhal Kasim, Jakarta, Penerbit ELSAM, 1999.
WALLERSTEIN, Immanuel. Open The Social Science Report of The Gulbenkian Commission on the
Restructuring of the Social Science atau Lintas Batas Ilmu Sosial, terj. Oscar, Yogyakarta,
LKiS, 1996.
WAGNER, Peter. A Sociology of Modernity, Liberty and Discipline, London, Routledge, 1994.
WIGNJOSOEBROTO, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial-Politik
dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1994.

Artikel
TRUBEK, David M. And GALANTER, Marc. "Scholars in Self-Estrangement: Some Re lection on
The Crisis in Law and Development Studies in The United States" Wisconsin Law Reviews,
volume 1974, no. 4, University of Wisconsin.
SINAGA, Marsen. "Kekuasaan Politik Menurut M. Walzer" Majalah STF Driyarkara, Jakarta, th.
XXII, no.2, halaman 57 - 65.
WIDYARSANA, Antonius. "Hubungan Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Hannah Arendt",
Majalah STF Driyarkara, Jakarta, th. XXII, no.2, halaman 43 - 55.
MAGNIS-SUSENO, Franz. Aristoteles, bahan kuliah Extension Course, STF Driyarkara, Jakarta,
1998.
. Rene Descartes, bahan kuliah Extension Course, STF Driyarkara, Jakarta,
1999.
SUDARMINTA, J. Rasionalisme vs Empirisme, bahan kuliah Extension Course, STF Driyarkara,
Jakarta, 1999.
TJAHJADI, Lili. Epikuros dan Zenon, bahan kuliah Extension Course, STF Driyarkara, Jakarta,
1999.
. Hegel: "Das Wahre ist das Ganze" (Yang Besar adalah Yang Menyeluruh), bahan
kuliah Extension Course, STF Driyarkara, Jakarta, 1998.
. Frankfurter Schule (Aliran Frankfurt), bahan kuliah Extension Course, STF
Driyarkara, Jakarta, 1998.
. Totaliterisme dan Fasisme, bahan kuliah Extension Course, STF Driyarkara,
Jakarta, 1999.

Anda mungkin juga menyukai