Anda di halaman 1dari 100

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No.

02, Tahun 2023 1


Daftar Isi

Salam Redaksi 3
Syakieb Sungkar

Voldemort dan Monoteisme 6


Sebuah Tinjauan Pragmatis terhadap Fenomena Cybercultures
Franz Magnis-Suseno

Bahasa sebagai Suplemen dalam Pandangan Dekonstruksi 9


Chris Ruhupatty

Pluralisme Quranik Perspektif Hamka 14


Hisbulloh Huda

Tegangan antara Metafisika dan Teologi dalam Pemikiran Agustinus 23


Agustinus Tetiro

Digital Art 32
Anna Sungkar

Penghargaan Sastra ‘Rasa’ 2023 42


Ayu Utami

Dilema Algoritma: Dramaturgi di Media Sosial 52


Alif Iman Nurlambang

Moral Guard Police: 62


Membaca Karya Seni dari Sudut Pandang Adorno
Agung Frigidanto

Regulatory Capitalism 69
Syakieb Sungkar

Fiksi Sejarah Iskandar Fauzy 75


Wahyudin

Drawing, Representasi Ruang Batin 80


Ika Ismurdyahwati

Nietzsche: “Subyek yang Terbelah” sebagai Basis Subyek Moral 86


Y. Adi Wiyanto

An Aesthetic of Framing and Deframing: 91


Notes on Takdir Alisyahbana and Latiff Mohidin
Goenawan Mohamad

Biodata 99

Gambar cover: l Syakieb Sungkar l Mengenang Andrea Mantegna l Oil on canvas l 100 x 140 cm2 l 2023

2 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Salam Redaksi

S etelah lebih dari dua tahun terbit teratur,


jurnal ini semakin banyak pembacanya, demiki­
an pula para penulis yang berpartisipasi untuk
Civitate Dei) yang mencoba menggambarkan teologi
sejarah dengan kehendak dan cinta antara Allah dan
manusia sebagai suatu syarat keselamatan. Hal itu
menyum­bangkan tulisannya. Untuk itu kami meng­ yang dibahas Agustinus Tetiro dalam artikelnya.
ucapkan banyak terima kasih kepada para pembaca
dan penulis yang telah menyumbangkan waktu dan Kunci sukses dalam berkesenian di era milenial ada­
pikirannya dalam mencermati jurnal ini. Kami selalu lah bagaimana kita dapat beradaptasi dalam teknolo­
menunggu masukan dan saran perbaikan jurnal ini. gi digital yang berbasiskan komputer dan internet.
Dengan bantuan teknologi, kita dapat menghasil­
Jurnal nomor ini diawali dengan esei Franz Mag- kan karya-karya kreatif yang melebihi kemampuan
nis-Suseno yang membahas tentang Voldermort, manu­al manusia. Tulisan Anna Sungkar memberi­
pemimpin dunia sihir. Dalam dunia ciptaan J.K. kan gambaran tentang sejarah perkembangan karya-
Rowling ini, tiada rekonsiliasi, yang ada adalah ba­ karya digital dan kiat sukses para senimannya dalam
las dendam dan perang mati-matian. Hal itu terjadi menancapkan tonggak pada milestone senirupa digi­
karena tidak ada Allah di sana. Namun menurut Jan tal. Hal itu dapat menjadi bahan pelajaran bagi yang
Assmann, bukan Voldermort yang menjadi sumber berkecimpung dalam senirupa di masa kini. Pada ba­
kekacauan dunia, tetapi monoteisme. Monoteismelah gian akhir, paper ini mencoba memberikan formula
biang keladi penyebaran kepicikan, intoleransi, dan bagaimana sikap dalam mengantisipasi dunia digital
kekerasan pada umat manusia. Assmann menuduh yang sudah tiba di hadapan kita.
bahwa monoteisme secara struktural tidak toleran.
Bagaimana hal ini bisa terjadi, mari kita membaca ar­ Dalam Penghargaan Sastra ‘Rasa’ yang sudah kedua
tikel itu sampai habis. kalinya ini, Ayu Utami mengembangkan sebuah
sistem yang bertanggung jawab dan praktis, di mana
Bahasa tidak merepresentasikan realitas namun ha­ juri dapat sebisa mungkin menjadi pribadi sekaligus
nyalah fatamorgana dari realitas. Karenanya kita tanpa mengandalkan selera dan tidak dijebak bo­
tidak dapat menemukan kehadiran atau esensi reali­ rang kriteria penilaian. Sistem itu akan menganalisa
tas di dalam bahasa. Setidaknya itulah yang ditulis kekuatan teks lepas dari selera itu. Ada tiga kriteria
Derrida pada Of Grammatology (1967). Menurutnya, dasar dalam menganalisa, yaitu: #1) prinsip pemer­
bahasa hanya mampu untuk menunjukkan jejak dari satu, #2) mutu tegangan antara dorongan atau pilihan
realitas. Selanjutnya Chris Ruhupatty menguraikan yang bekerja dalam teks, #3) prinsip pembebasan.
tentang konsep Suplementasi. Suplementasi meru­ Bagaimana kriteria tersebut dapat menilai karya-
pakan sebuah cara pandang terhadap bahasa yang karya yang memenangkan hadiah sastra tahun ini?
ditawarkan oleh Derrida sebagai alternatif dari repre­
sentasionalisme. Apa perbedaan di antara keduanya? Media sosial mendatangkan keasyikan sekaligus
mudarat. Alif Iman Nurlambang memberikan res­
Masalah toleransi dalam beragama kerap dikaitkan pons sosiologis terhadap gejala dilema sosial, seusai
dengan pluralisme. Menurut Hisbulloh Huda, Ham­ menonton film The Social Dilemma. Pengguna media
ka memiliki pandangan pluralis empatik, hal ini ter­ sosial mengalami manipulasi perubahan perilaku,
gambar dalam penafsirannya tentang ayat-ayat yang menjadi agen pemasaran secara sukarela sekaligus
berkaitan dengan pluralisme pada Tafsir al-Azhar. konsumen, tetapi tidak kuasa memutus jerat dilema.
Pemahaman dalam Tafsir al-Azhar memberikan Salah satu pandangan yang dipinjam untuk mema­
penekanan sikap empatik setiap anggota masyarakat hami situasi dilema dalam masyarakat digital adalah
terhadap diri, lingkungan, maupun hubungannya perspektif presentasi diri dramaturgi Irving Goffman,
dengan Tuhan. Namun benarkah Hamka seorang sekaligus kritik atasnya.
pluralis? Mari kita lanjutkan membaca paper ini sam­
pai habis. Adorno yang sering membahas masalah estetika da­
lam banyak bukunya, misalnya buku Aesthetic Theory
Agustinus, seorang teolog sekaligus filsuf, mencari yang diterbitkan pada tahun 1970. Prinsip-prinsip es­
sintesis antara rasionalitas Yunani dan iman Kristiani. tetika Adorno akan dipergunakan Agung Frigidanto
Apa yang ditulisnya bukan hanya penting bagi teolo­ untuk membaca karya lukis yang berjudul “Moral
gi Kristiani, melainkan juga sumbangan besar kepa­ Guard Police”, yang diciptakan pada tahun 2022.
da pemikiran filosofis. Pembahasan tentang tegang­ Dapatkah suatu karya seni ditafsirkan secara mema­
an antara metafisika dan teologi dalam penjelasan dai dengan hanya menerapkan teori estetika Adorno?
mengenai Allah Tritunggal merupakan pintu masuk
kepada gambaran Allah yang lebih bisa dipahami Krisis sub-prime tahun 2007 dapat dikatakan sebagai
dan diimani. Agustinus sendiri melanjutkan proyek tumbangnya sistem kapitalisme neoliberal di mana
ini dalam pembahasannya tentang Kota Tuhan (De negara tidak boleh campur tangan dalam ekonomi,

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 3


menjadi Regulatory Capitalism yang meminta Moral tidak dimaknai secara sempit sebagai kewa­
nega­ra mengatur kembali tata kelola finansial. Hal jiban moral seperti dalam pandangan Kant, tetapi
itu disebabkan swasta tidak sanggup lagi mena­ sebagai “kewajiban subyek yang terbelah”. Sebagai
ngani krisis. Syakieb Sungkar melihat di balik cam­ contoh, kewajiban untuk membunuh, yang jelas-
pur tangan negara, terdapat dampak buruk berupa jelas bertentangan dengan moral Kantian, harus
korupsi dan kolusi. Apakah sistem ekonomi baru ditaati oleh prajurit di medan perang demi mem­
ini masih mempunyai sisi baik? pertahankan negaranya. Dalam kasus itu, si prajurit
mengalami dirinya sebagai “subyek yang terbelah”.
Sejarah adalah permainan susun gambar mahabe­ Dalam aforisme Nietzsche diperlihatkan bahwa yang
sar dengan banyak bagiannya yang hilang. Namun dilakukan oleh prajurit sudah sesuai dengan kaidah
masalah utamanya bukanlah berupa kekosongan moral. Namun, subyek diam-diam memiliki keingi­
bagian, gambar-gambar yang kita miliki dan te­ nan pribadi yang egoistis: prajurit ingin hi­dup. Sub­
lah ditentukan sebelumnya menjadi lebih sedikit, yek akhirnya terbelah. Dalam situasi terbelah inilah,
yang disebabkan oleh ketidaksengajaan. Di sisi lain, subyek berada dalam tegangan: bersikap egois atau
Wahyudin membahas lukisan akrilik hitam-putih tidak. Demikian yang ditulis Y. Adi Wiyanto.
karya Iskandar Fauzy yang pernah dipamerkan
tahun lalu di Srisasanti Gallery, Yogyakarta. Da­ Goenawan Mohamad dalam eseinya membahas
lam lukisannya, Iskandar telah “menemu-rupakan karya dan pemikiran Sutan Takdir Alihsjahbana dan
sejarah” atau membuat “sejarah yang ditemu-cip­ membandingkannya dengan Latiff Mohidin, seorang
takan”, sehingga kita menemukan peristiwa-peris­ pujangga dan pelukis asal Malaysia. Menurutnya, di
tiwa yang belum pernah kita lihat sebelumnya. tahun-tahun awalnya, Takdir adalah pemberontak.
Seperti banyak pendukung modernitas, Takdir me­
Ika Ismurdyahwati mengungkapkan bahwa Draw­ lihat masa depan sebagai sesuatu yang tidak lagi di­
ing merupakan media baca yang berhubungan artikulasikan dengan masa lalu. Masa depan menjadi
dengan ruang batin. Artinya, gambar sebagai ru­ titik fokus dan prinsip pengorganisasian baru. Masa­
ang batin juga bebas dalam membaca gambar yang lah dengan pandangan ini adalah bahwa ia menem­
berhubungan dengan interpretasi. Sehubungan patkan gerakan sejarah pada gambar linier - bahkan
dengan itu, interpretasi diperoleh dari cara baca tertib. Perjalanan Takdir adalah narasi optimisme
dengan metode dan sekaligus alat analisis yang il­ yang dapat diprediksi, adanya telos dan kepastian.
munya analog dengan scene dalam film atau video. Bagaimana dengan pandangan Latiff Mohidin?
Tujuannya, untuk dapat membaca gambar relief,
hingga drawing naturalis kerakyatan dan drawing Demikian isi jurnal kali ini, selamat membaca.
abstrak surealis. Hasilnya adalah pada karya-karya
tersebut ternyata merupakan gambar bercerita. Syakieb Sungkar

4 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


DEKONSTRUKSI
Sebuah jurnal berkala yang terbit per 3
bulan. Berisi tulisan-tulisan mengenai
filsafat dan kebudayaan. Diterbitkan oleh
Gerakan Indonesia Kita

Pemimpin Redaksi
Syakieb A. Sungkar
Bendahara
Puji F. Susanti

Dewan Redaksi
Y. Adi Wiyanto, Abdul Rahman,
Artistik
Wahyu Raharjo, Andriyan Permono,
Ireng Halimun
Chris Ruhupatty, Fauzan, Naomi,
Stephanus, Tetty Sihombing.
Alamat Redaksi
Jln. Tebet Timur Dalam Raya No. 77,
Reviewer Jakarta Selatan
Moh. Rusnoto Susanto (Scopus:
57210896995, Sinta: 6000456).
Hendar Putranto (Scopus: 57210854287). No. ISSN : 2797-233X (Media Online)
Insanul Qisti Barriyah (Scopus: No. ISSN : 2774-6828 (Media Cetak)
57210884550, Sinta: 6028928). No. DOI : 10.54154

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 5


Voldemort dan Monoteisme
Sebuah Tinjauan Pragmatis terhadap Fenomena Cybercultures
Franz Magnis-Suseno
magnis.sj@gmail.com
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Abstrak dewa-dewi dan ilah lain yang tak benar. Jadi juga
distingsi antara agama yang benar - yang mengakui
Menurut Jan Assmann monoteisme adalah biang Allah - dan agama-agama yang tidak benar, antara
keladi eksklusivisme, intoleransi dan kekerasan orang beriman yang benar dan orang kafir, antara
antar agama-agama. Sebaliknya, dunia sihir J.K. ajaran benar dan ajaran sesat.
Rowling dalam ceritera-ceritera tentang Harry Pot­
ter adalah dunia tanpa Allah. Dan karena itu dunia Sebelum ada monoteisme tak ada pengertian bah­
tanpa harapan. Para kurban Voldemort mati untuk wa satu agama bisa lebih benar daripada yang lain
selamanya. Sedangkan Allah menjanjikan bahwa se­ karena agama-agama menjadi bagian dari kebu­
gala-galanya akan menjadi baik. Yang tidak diper­ dayaan masing-masing. Dengan sendirinya dite­
hatikan Assmann adalah unsur kunci: bahwa Allah rima, bahwa budaya yang berbeda, termasuk letak
Musa, Yesus dan Muhammad adalah Allah kasih. geografis berbeda, ada ibadatnya yang berbeda juga.
Dengan mengakui Allah yang Satu sebagai satu-sa­
Keywords: Monoteisme, intoleransi, dunia sihir, tunya yang benar, monoteisme membawa agama ke
agama. luar dari budaya masing-masing dan mewujudkan
agama menjadi sistem tersendiri yang perlu diper­
Pendahuluan maklumkan di seluruh dunia. Dengan demikian ag­
ama menjadi misionaris, artinya ber­usaha menying­
Para fans Harry Potter tahu siapa Voldemort. kirkan “agama-agama palsu”. Karena itu Assmann
Voldemort adalah kekuatan jahat yang mau mem­ menuduh bahwa monoteisme secara struktural
bunuh Harry Potter dalam ceritera-ceritera sihir J. tidak toleran. Karena antara yang benar dan yang
K. Rowling.1 Sedangkan monoteisme menurut sang salah tidak bisa ada toleransi. Monoteisme tidak
egiptolog Jan Assmann dituduh menjadi biang kela­ dapat menerima ilah-ilah, ajaran, iman, ibadat yang
di penyebaran kepicikan, intoleransi dan kekerasan lain karena dengan sendirinya mereka palsu dan
dalam umat manusia.2 Apa kaitan antara mono­ yang palsu harus disingkirkan. Intoleransi intrinsik
teisme Assmann dengan Voldemort J.K. Rowling? monoteisme itulah yang sejak zaman Musa men­
cuat dalam tindakan kekerasan dan usaha pemus­
Menurut Assmann monoteisme bermulai di gunung nahan terhadap pola keagamaan yang berbeda.
Sinai. Dari gunung Sinai, Musa membawa perjanji­ Assmann menunjuk pada jejak berdarah yang sejak
an Allah dengan bangsa Israel yang pasal pertama­ perebutan tanah Palestina oleh bangsa Israel meng­
nya adalah perintah: “Jangan ada padamu Allah ikuti perkembangan monoteisme, baik dalam wu­
lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:3). Allah berjanji akan jud Kristianitas maupun dalam wujud Islami.
menjaga bangsa Israel sebagai bangsa terpilih asal
Israel setia kepada-Nya, dan itu berarti, asal Israel Dunia Sihir
hanya mengakui Jahwe sebagai Allah. Dengan de­
mikian, begitu Assmann, monoteisme menciptakan Alam kebalikan dari monoteisme adalah dunia si­
suatu distingsi yang sebelumnya tidak ada: dis­ hir, the enchanted world (Charles Taylor), yang di­
tingsi antara Allah yang benar dan segala macam gambarkan begitu asyik dalam ceritera-ceritera J.K.
Rowling. Triknya Rowling adalah bahwa segala
1 Lihat misalnya: J. K. Rowling (2007). Harry Potter and macam sosok dari mitos-mitos Inggris kuno dibikin
the Deathly Hallows. London etc.: Bloomsbury. betul-betul hidup: para elf, goblin, centaur, ghoul,
gargoyle, kijang ajaib dan, tentu, manusia-manusia
2 Buku Jan Assmann pertama kali terbit 2003 dalam ba- yang berkekuatan magic, para wizzard (tukang sihir).
hasa Jerman (Die Mosaische Unterscheidung oder Der Preis des Orang-orang “biasa” yang buta terhadap kekua­
Monotheismus, München: Hanser) dan menimbulkan de- tan-kekuatan luar biasa dunia sihir, yang mengi­
bat besar yang berlangsung sampai sekarang; bhs. Inggris ra bahwa dunia ditentukan oleh hukum-hukum
lih.: The Price of Monotheism, Stanford: Stanford University materi, oleh uang, oleh mesin-mesin dan sen­jata
Press, 2010.

6 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


api diremehkan sebagai muggles, makhluk-makh­ Karena tak ada Allah
luk berdarah kotor. Di alam ajaib itu Harry Potter
dan sahabat-sahabatnya mengalami segala macam Mari kita kembali ke Jan Assmann. Kengerian du­
petualangan yang sering seram dan mendebarkan. nia Harry Potter dan Lord Voldermort adalah kare­
Karena, seperti juga dalam dongeng-dongeng kuno na tak ada Allah. Andaikata ada Allah, akhirnya
rakyat, di alam sihir itu ada kekuatan-kekuatan ja­ semuanya akan menjadi baik: Harry Potter akan
hat mengancam. Pada akhirnya dua kekuatan itu bertemu dengan orangtuanya yang hidup dalam
saling berhadapan: pemuda Harry Potter, sang ksa­ kebahagiaan, para kurban diselamatkan, bahkan
triya putih, dan Lord Voldemort, penjelmaan dan kepada Voldemort akan ditawarkan kemungkinan
pemimpin semua kekuatan yang jahat dan gelap. untuk bertobat. Adanya Allah yang setia, kasih dan
rahmat - itulah Allah bangsa Yahudi, Kristianitas
Yang mencolok: dunia sihir itu yang penuh dengan dan Islam - menjadi dasar mantap segala harapan
pertarungan hidup mati antara yang baik dan yang - dan sangat beda dari keadaan dalam suatu du­
jahat - yang berlangsung di belakang alam dang­ nia yang penuh dengan macam-macam dewa dan
kal para muggles - adalah dunia tanpa Allah. Jadi kekuatan halus lain. Adanya Allah yang Satu yang
dunia tanpa agama. Di Hogwarts, benteng yang mencintai ciptaan-Nya dan menghendaki kesela­
menjadi sekolah penyihiran, tak ada ibadat. Di du­ matannya justru memungkinkan kebaikan hati ma­
nia sihir tak ada tempat untuk berdoa dan tak ada nusia dan rekonsiliasi, daripada balas dendam dan
yang berdoa. Tak ada kemungkinan untuk mohon perang mati-matian. Tanpa Allah yang Satu kepas­
bantuan “dari atas”. Setiap sosok total tergantung tian keselamatan tidak ada.
dari kekuatannya sendiri: dari keampuhan tongkat
sihirnya, dari apa ia punya sekutu yang kuat. Dan Pertimbangan ini memperlihatkan bahwa Ass­
yang mati adalah habis, meskipun mereka masih mann tidak memperhatikan sesuatu yang hakiki
dapat sedikit berkeliaran sebagai hantu. Roh Dum­ bagi monoteisme. Yaitu bahwa Allah yang Satu
bledore, pemimpin Hogwarts, yang membunuh itu secara hakiki adalah Allah yang kasih, yang
diri supaya Voldemort tidak dapat meresapkan ke­ rahmat, Allah kerahiman. Bahwa Allah adalah dia
kuatan magisnya, memang masih dapat memberi pada-Nya segala apa menjadi baik. Beda dengan
nasehat kepada Harry Potter, tetapi pada dasarnya sindiran Assmann, Allah yang menjadi harapan
ia habis. Tak ada harapan bahwa Harry Potter per­ dan kegembiraan kaum monoteis bukan semacam
nah akan bertemu kembali dengan orangtuanya penguasa tunggal yang dengan cemburu menuntut
yang dibunuh oleh Voldemort. Karena itu dunia ketaatan mutlak, melainkan Allah adalah kekuatan
sihir yang tanpa Allah adalah dunia tanpa harapan. kebaikan tak bersyarat padanya siapa pun ditawari
Tak ada harapan seperti dalam Kristianitas atau Is­ hidup dan keselamatan. Monoteisme adalah keya­
lam bahwa para kurban akhirnya akan menerima kinan bahwa meskipun dunia kita kacau dan kekua­
keadilan dan diselamatkan oleh rahmat Ilahi. Da­ tan-kekuatan jahat sepertinya merajalela, akhirn­
lam dunia sihir para kurban dihabisi dan habis. ya semuanya akan menjadi baik dan Allah “akan
menghapus segala air mata dari mata mere­ka” (Wa­
Meskipun pada akhirnya Harry Potter menang hyu 21, 4). Monoteisme adalah keyakinan bahwa
- Voldemort dengan melemparkan mantra maut akhirnya orang-orang tertindas, mereka yang di­
pada Harry Potter justru membunuh diri, - jadi lupakan, yang miskin dan lemah, bahkan juga para
meskipun yang baik menang, namun para kurban pendosa, ya orang-orang jahat, mempunyai hara­
tidak kembali. Ceritera berakhir dengan kisah in­ pan: Kebaikan Allah yang tak bersyarat lebih kuat
dah, 19 tahun kemudian: Harry dan dua sahabat­ dari segala kelemahan mereka. Karena ada Allah
nya, Hermione dengan suaminya Ron, mengantar yang Satu itu, siapa saja, di mana saja, ber­ada dalam
anak-anak mereka ke peron 9 ¾ untuk naik kere­ pandangan kasih-Nya. Maka ibu yang kehilangan
ta api Hogwarts-express menjadi murid baru di anaknya, orang yang merasa tak kuat lagi dibenci
Hogwarts. Selama 19 tahun itu bekas luka di dahi terus, yang kehilangan segala harapan untuk mem­
Harry, sisa percobaan Voldemort untuk membu­ perbaiki nasibnya yang buruk, dapat mengangkat
nuhnya, yang selalu membara apabila Voldemort tangannya dan berdoa, ia dapat menjadi tenang
mendekat, tidak pernah terasa lagi, bukti bahwa kembali, karena ia tahu bahwa Allah mendengar­
Voldemort tidak mengancam lagi. Tetapi ketenang­ kannya. Allah akan menyelamatkan­nya.
an gembira itu tentu menipu. Setiap saat seorang
Voldemort baru bisa muncul, dan tak ada kepasti­ Analisa Assmann cacad berat. Daripada percaya
an bahwa akan ada seorang Harry Potter baru, dan apa yang diyakini oleh agama-agama monoteis ten­
kalau pun ada, bahwa ia akan bisa mengalahkan si tang Allah sebagai kasih dan rahmat, ia bertolak dari
Voldemort baru. Alam tanpa Allah itu adalah alam kenyataan yang tak tersangkal, bahwa para peng­
tanpa keselamatan pada akhirnya. Akhir segala- ikut Allah yang baik itu, para monoteis, memakai
galanya adalah kematian.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 7


keyakinan mereka untuk membenarkan kepicikan, Daftar Pustaka
emosi, kebencian, napsu dan naluri pembunuhan
mereka. Dengan lain kata, Assmann tidak memper­ Assmann, Jan (2003). Die Mosaische Unterscheidung
hatikan bahwa eksplosi kebencian dan kekerasan oder Der Preis des Monotheismus.
atas nama monoteisme merupakan penyelewengan München: Hanser.
dari monteisme itu sendiri. Manusia memang selalu
Assmann, Jan (2010). The Price of Monotheism. trans.
terancam dikendalikan oleh napsu-napsu dan emo­
Robert Savage. Stanford: Stanford
si-emosinya yang gelap, dan ia suka menyamarkan
University Press.
napsu-napsu jahat seakan-akan mengungkapkan ci­
ta-cita luhur. Bukan hanya atas nama monoteisme, Rowling, J.K. (2007). Harry Potter and the Deathly
melainkan atas nama segala macam cita-cita luhur Hallows. London: Bloomsbury.
dan kepercayaan lain manusia melakukan kejahat­
an-kejahatan. Bahwa monoteisme dapat diperalat
menjadi wahana kepicikan, napsu, kebencian, rasa
iri, rasa cemburu, keinginan untuk menghina dan
melukai orang tidak berarti bahwa itu hakikatnya.

Penutup

Kenyataannya malah kebalikan. Karena mono­


teisme meyakini kemenangan akhir kasih, rahmat
dan kerahiman, maka monoteisme, kalau tidak
selewengkan, mutlak melarang orang mau menja­
di hakim atas keyakinan orang lain. “Jangan kamu
menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi!” (Mt.
7: 1). Monoteisme menuntut agar kedaulatan Allah
yang baik hati diakui, dan karena itu tak ada manu­
sia yang berhak menjadi hakim atas benar-tidaknya
keyakinan seseorang. Hanya Allah-lah yang berhak
mengambil sikap terhadap perbedaan-perbedaan
dalam keyakinan akan Allah. Keyakinan akan Allah
yang Satu dengan sendirinya menuntut kerendah­
an dan kebaikan hati dan mengharamkan “peng­
kafiran” siapa pun. Keyakinan kaum monoteis bah­
wa semua tanpa kecuali ada di tangan Allah yang
rahmat, kasih dan kerahiman harusnya mendesak
para pengikut agar mereka toleran, terbuka, rendah
hati, penuh kasih dan bersedia memaafkan. Karena
Allah memaafkan, maka kita pun wajib saling me­
maafkan. Bukan kematian, melainkan kehidupan
adalah kata terakhir monoteisme. Adalah jasa Jan
Assmann bahwa ia mengingatkan kaum monoteis
betapa mudah monoteisme dapat diselewengkan.
Itulah jasa bukunya.

8 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Bahasa sebagai Suplemen
dalam Pandangan Dekonstruksi
Chris Ruhupatty
chuhupatty@gmail.com
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Abstract selalu menghubungkan pikiran manusia dan reali­


tas. Salah satu dari kajian yang mengusung topik
This article will explore “what language is?” from tersebut adalah karya John Locke (1632-1704) yang
the perspective of Deconstruction as written by Der­ berjudul An Essay Concerning Human Understanding
rida on Of Grammatology (1967). Language, says Der­ (1690). Tak ayal, Filsafat Barat yang sebelumnya
rida, is a supplement of reality. Supplementary is a menjadikan pikiran (idea) dan pengalaman empiris
basic principle to understand about language that is sebagai pusat kajian terhadap realitas, kini mulai
offered by Derrida to replace the representational memalingkan fokusnya kepada bahasa.
principle. Supplementary shows that language does
not represent reality, but added and substituted it. Kajian-kajian yang muncul kemudian semakin
This means, language is just a by-product or a mi­ menunjukkan bahasa sebagai pusat realitas meng­
rage of reality. That is why there is no presence or gantikan pikiran (idea) dan pengalaman empiris.
essence of reality in language. At its very best, la­ Kajian-kajian tersebut dapat ditemukan pada karya
nguage is only able to show the trace of reality. Leibniz yang berjudul New Essays on Human Un­
derstanding (1765); Humboldt dengan karyanya
Abstrak berjudul On Language: The Diversity of Human La­
nguage-Structure and Its Influence on the Mental De­
Artikel ini akan mengulas tentang “apa itu baha­ velopment of Mankind (1836); Frege melalui karyanya
sa?” dari perspektif Dekonstruksi yang dituliskan berjudul The Foundations of Arithmetic (1884); Witt­
oleh Derrida pada Of Grammatology (1967). Baha­ genstein periode pertama yang dengan karyanya
sa, terang Derrida, adalah suplemen dari realitas. yang berjudul Tractatus Logico-Philosophicus (1921).
Suplemen merupakan prinsip dasar untuk mema­ Sebenarnya masih banyak nama dan karya yang
hami tentang bahasa yang ditawarkan oleh Der­ belum disebutkan, seperti: Carnap, Saussure, Aus­
rida untuk menggantikan prinsip representasion­ tin, dan Chomsky, tapi intinya, semua karya-karya
al. Suplemen menunjukkan bahwa bahasa tidak ini telah menandai perubahan arah penyelidikan
merepresentasikan realitas, tapi menambahkan filsafat menjadi penyelidikan terhadap bahasa, dan
dan menggantikannya. Artinya, bahasa hanyalah seluruh diskursus yang mengusung bahasa sebagai
sekadar produk-sambilan atau fatamorgana dari pusat kajian filsafat dibicarakan di bawah topik Be­
realitas. Itulah mengapa tidak dapat ditemukan ke­ lokan-Linguistik (Linguistic Turn).
hadiran atau esensi realitas di dalam bahasa. Paling
banter, bahasa hanya mampu untuk menunjukkan Dekonstruksi sendiri lahir di puncak kemeriahan
jejak dari realitas. diskursus Belokan-Linguistik. Kendati topik ten­
tang Fenomenologi menurut pemikiran Husserl
Keywords: Bahasa sebagai Suplemen dalam merupakan penelitian ilmiah yang mengawali ki­
pandangan Dekonstruksi prah Derrida di dunia filsafat, tapi sesungguhnya,
di dalam kajiannya tersebut ia sedang menunjuk­
Pendahuluan
kan kelemahan Husserlian dalam mengulas ten­
Bahasa telah menjadi sebuah topik yang senantiasa tang tanda atau bahasa (The Problem of Genesis in
mengiringi perkembangan sejarah pemikiran Filsa­ Husserl’s Philosophy). Derrida juga membandingkan
fat Barat. Pada awalnya bahasa hanya dipandang Fenomenologi Husserlian dengan pemikiran Peirce
sebagai media atau alat untuk menjelaskan realitas. yang membawa Fenomenologi ke arah kajian ter­
Sampai tiba waktunya, di abad ke-20, bahasa tidak hadap tanda atau bahasa.1 Di tengah suasana fil­
lagi dipandang sebagai media, tapi sebagai realitas safat yang telah menjadikan bahasa sebagai pusat
itu sendiri. Perubahan cara pandang terhadap baha­ kajian terhadap realitas inilah Derrida menunjuk­
sa ditandai dengan kajian-kajian yang menyatakan
bahwa bahasa merupakan cerminan atau repre­
1 Jacques Derrida, Of Grammatology, Penerj. Gayatri
sentasi dari pikiran manusia dan representasi dari
Chakravorty Spivak (Baltimore: The Johns Hopkins
realitas itu sendiri. Dengan kata lain, bahasa telah
University Press, 1997), hal. 49.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 9


kan bahwa sebenarnya realitas tidak hadir di dalam Yunani yang diterjemahkan menjadi “ornamen.”
bahasa. Paling banter, terang Derrida, bahasa hanya Namun, parergon maupun ornamen memiliki arti
mampu untuk menunjukkan jejak-nya saja.2 Dengan yang sama dengan suplemen, yaitu: menambahkan
kata lain, esensi atau kehadiran realitas tidak dapat sekaligus menggantikan realitas. Berikut kutipan
ditemukan di dalam bahasa. Jika demikian, apakah langsung dari Rousseau dan Kant:
itu berarti Derrida hendak membawa diskursus fil­
safat kembali pada kajian tentang pikiran dan peng­ Rousseau: “Semua gerakan tubuh yang diatur
alaman manusia? menurut hukum-hukum tertentu untuk apa yang
dilihat oleh seseorang dengan beberapa gerakan se­
Posisi pemikiran Derrida yang khas di tengah dis­ cara umum disebut [sebagai] gestur. Gestur dibagi
kursus Belokan-Linguistik inilah yang akan di­ menjadi dua jenis, yang pertama berfungsi sebagai
tunjukkan oleh artikel ini. Karena Derrida tidak pengiring lisan dan yang kedua sebagai suplemen
sepenuhnya menolak kajian terhadap bahasa se­ [cetak tebal sengaja ditambahkan oleh penulis].
bagai kajian filosofis; dan secara bersamaan ia juga Yang pertama, alami bagi setiap manusia yang ber­
tidak sedang membawa diskursus filsafat kembali bicara, dimodifikasi secara berbeda berdasarkan
pada kajian terhadap idea dan pengalaman manu­ manusianya, bahasanya, dan karakter­ nya. Yang
sia. Ia hanya menunjukkan bahwa realitas pada kedua adalah Seni berbicara kepada mata tanpa
diri­nya sendiri telah selalu ada begitu saja tanpa in­ bantuan tulisan melalui gerakan tubuh yang telah
tensi apapun, sedangkan bahasa adalah suplemen­ menjadi tanda-tanda konvensional.”3
tasi yang menambahkan dan menggantikan reali­
tas. Alhasil, bahasa bukan tentang realitas dan juga Kant: “Bahkan apa yang disebut ornamen (parerga),
bukan realitas itu sendiri, melainkan realitas yang yaitu: apa yang merupakan tambahan [suplemen],
berbeda dari realitas pada dirinya sendiri. Karena dan bukan unsur intrinsik dalam representasi ob­
itulah bahasa telah selalu memiliki potensi untuk jek yang lengkap, [tapi] menambahkan rasa hanya
mendekonstruksikan dirinya sendiri (oto-dekon­ melalui bentuknya. Demikian juga dengan bing­
struksi). kai-bingkai lukisan atau gorden pada patung-pa­
tung, atau tiang di sekitar istana megah. Namun,
Dengan demikian, artikel ini berisikan penjelasan jika ornamen [suplemen] itu sendiri tidak masuk
tentang “suplemen” menurut pemikiran Derri­ ke dalam komposisi bentuk yang indah—jika
da yang sekaligus menunjukkan posisi pemikiran diperkenalkan seperti bingkai emas hanya untuk
Derrida terhadap diskursus Belokan-Linguistik. memenangkan persetujuan gambar melalui pe­
Metode yang digunakan untuk menjelaskan topik sonanya—maka disebut sebagai perhiasan dan
ini adalah: deskriptif-kualitatif di mana artikel ini menghilangkan keindahan aslinya.”4
akan menunjukkan hal-hal penting dari uraian
Derrida tentang “suplemen.” Seluruh uraian akan Istilah “suplemen” yang digunakan oleh Rousseau
ditutup dengan pandangan artikel ini mengenai im­ dan Kant telah memengaruhi pandangan Derri­
plikasi pemikiran Derrida terhadap perkembangan da terhadap bahasa. Suplemen memberikan cara
diskursus filosofis dan linguistik. pandang baru terhadap bahasa menggantikan cara
pandang representasionalisme. Bagaimana Derrida
Suplemen menguraikannya?

Suplemen bukanlah istilah yang diciptakan sendi­ Suplementasi


ri oleh Derrida. Istilah tersebut ia dapatkan dari
pemikiran Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan Rousseau, dalam uraian Derrida, menggunakan
Immanuel Kant (1724-1804). Rousseau melalui istilah “suplemen” untuk menjelaskan karakter­
karya­nya berjudul Dictionary of Music (1768) meng­ istik Bahasa. Bagi Rousseau, bahasa memiliki dua
gunakan istilah tersebut untuk menjelaskan karak­ bentuk, yaitu: lisan dan tulisan. Lisan merupakan
teristik bahasa; sedangkan Kant menggunakan­ representasi realitas secara langsung, sedangkan
nya untuk menjelaskan tentang konsep keindahan tulisan merupakan suplemen dari lisan. Dengan
atau seni. Derrida sendiri mengulas “suplemen” begitu, dalam pandangan Rousseau, lisan lebih
menurut pemikiran Rousseau pada bagian kedua
Of Grammatology; dan pemikiran Kant diulasnya
pada The Truth in Painting (1978). 3 Jean-Jacques Rousseau, Dictionary of Music dalam Es-
say on the Origin of Languages and Writings, Penerj. John
Penting untuk menjadi perhatian bahwa Kant tidak T. Scott (Hanover: University Press of New England,
menggunakan istilah “suplemen” secara langsung, 1998), hal. 457.
tapi ia menggunakan istilah parerga dalam bahasa
4 Immanuel Kant, Critique of Judgment, Penerj. James
Creed Meredith (Oxford: Oxford University Press,
2 Ibid., hlm. 47.
2007), hal. 57.

10 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


natural dibandingkan dengan tulisan. Padahal, Sejurus dengan Leibniz, Wilhelm von Humboldt
terang Derrida, tulisan dan lisan berkedudukan (1767-1835) menyatakan bahwa bahasa merupakan
sama dihadapan realitas, yaitu sebagai suplemen. pandangan dunia (Jerman: weltanschauung).8 Itu
Itu artinya, bahasa—baik lisan maupun tulisan—ti­ arti­nya, bagi Humboldt, bahasa tidak hanya seka­
dak merepresentasikan realitas, tapi menambahkan dar merepresentasikan realitas, tapi telah menjadi
sekaligus menggantikan realitas.5 Ini menandakan realitas itu sendiri. Karena tidak ada realitas atau
bahwa realitas tetaplah asing di hadapan manusia. dunia lain selain yang bisa diucapkan/dituliskan.
Derrida menggambarkan bahwa manusia tidak me­ Alhasil, kajian terhadap realitas hanya bisa dilaku­
mahami atau buta terhadap realitas. Namun, manu­ kan dengan melakukan kajian terhadap bahasa;
sia tetap berusaha untuk memahami realitas den­ bukan dengan melakukan kajian terhadap pikiran
gan menggunakan logika atau bahasa. Pemaham­an atau pengalaman manusia. Dengan demikian, re­
manusia terhadap realitas itulah yang disebut oleh presentasionalisme tidak hanya mengubah cara
Derrida sebagai “suplemen.” pandang terhadap bahasa, tapi juga arah dari
perkembangan filsafat.
Derrida: “Kebutaan dengan demikian menghasil­
kan apa yang lahir pada saat yang sama dengan Representasi ke Suplementasi
masyarakat [yaitu]: bahasa, aturan pergantian tan­
da untuk halnya, [dan] urutan suplemen. Sese­orang Namun, di mata Derrida, bahasa tidak mungkin
telah beralih dari kebutaan kepada suplemen. Na­ merepresentasikan realitas. Hal tersebut ia jelaskan
mun, orang buta [tetap] tidak dapat melihat, itu­ dengan menunjukkan karakteristik bahasa yang
lah kenyataannya, [sehingga] ia harus menghasil­ sangat tergantung dengan konteks. Derrida meng­
kan suplemen untuk pandangannya. Kebutaan ke ungkapkannya melalui frasa yang cukup terkenal,
suplemen adalah hukum.”6 yaitu: il n’y a pas de hors-texte yang berarti “tidak
ada sesuatu apapun di luar konteks.”9 Kendati te­
Melalui gambaran di atas, yaitu: kebutaan, Derri­ lah terjadi kesalahpahaman dengan mengartikan
da sedang menunjukkan bahwa bahasa bukanlah frasa tersebut sebagai: “tidak ada sesuatu apapun
representasi realitas. Karena bahasa tidak meng­ di luar teks”, sehingga seolah-olah Derrida berpan­
hadirkan (merepresentasikan) realitas atau sekadar dangan representasional, tapi kekeliruan tersebut
mengubahnya ke dalam bentuk ucapan/tulisan. segera diluruskan oleh Derrida.10 Karena Derrida
Tepatnya, bagi Derrida, bahasa menambahkan se­ menggunakan frasa tersebut untuk menunjukkan
suatu pada realitas dan secara bersamaan meng­ ketidak-berdayaan bahasa tanpa bantuan kon­
gantikannya dengan bentuk yang lain, yaitu ben­ teks. Bahasa tanpa konteks sangat mungkin untuk
tuk yang dapat dikenali oleh logika manusia. Oleh dimaknai secara berbeda (multi tafsir). Konteks
karena itu, suplementasi lebih memadai untuk diperlukan untuk memahami atau membatasi mak­
menggambarkan bahasa dibandingkan dengan re­ na dalam sebuah proposisi. Contoh: “Budi membeli
presentasionalisme. buah di pasar” telah selalu bisa ditafsirkan dalam
berbagai makna. Namun, dengan bantuan konteks,
Representasionalisme maka “Budi membeli buah di pasar” dapat dimak­
nai seturut dengan tujuannya. Semisal, Budi adalah
Cara pandang representasional terhadap bahasa seorang penjual jus buah di rumahnya, maka “Budi
setidaknya dapat ditemukan melalui pemikiran membeli buah di pasar” harus dimaknai sebagai
Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Ia menjelas­ bagian dari profesinya sebagai penjual jus buah;
kan pandangannya terhadap bahasa melalui New bukan sebagai bagian dari hobi atau kesukaan Budi
Essays dengan menyatakan bahasa sebagai cermin terhadap buah atau yang lainnya. Jika bahasa mam­
terbaik (best mirror) dari pikiran.7 Tampak jelas pu merepresentasikan realitas, mengapa bahasa
bahwa Leibniz sedang memperkenalkan bahasa se­ dapat diartikan secara jamak? Apakah realitas ber­
bagai pusat untuk mengkaji realitas menggantikan sifat jamak?
pikiran dan pengalaman manusia. Alasannya sa­
ngat jelas bahwa pikiran dan pengalaman manusia
direpresentasikan atau hadir di dalam bahasa. 8 Wilhelm Von Humboldt, On Language: The Diversity of
Human Language-Structure and its Influence on the Mental De-
velopment of Mankind, Penerj. Peter Heath (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), hal. 154.
5 Jacques Derrida, Of Grammatology, hal. 144-5.
9 Jacques Derrida, Of Grammatology, hal. 158.
6 Ibid., 149.
10 Bandingkan dengan Jacques Derrida, Afterword: Toward
7 G. W. Leibniz, New Essay on Human Understanding, Pen- an Ethic Discussion dalam Limited Inc, Penerj. Samuel We-
erj. Alfred Gideon Langley (New York: The Macmillan ber (Evanston: Northwestern University Press, 1988),
Company, 1896), hal. 368. hal. 136.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 11


Kenyataan bahwa bahasa memiliki potensi multi-taf­ dikenali oleh logika manusia, atau tepatnya, reali­
sir menunjukkan bahwa representasi­onalisme tidak tas yang bisa diucapkan/dituliskan dalam struktur
memadai untuk menggambarkan bahasa. Secara bahasa.
bersamaan menunjukkan bahwa gambaran yang
memadai terhadap bahasa adalah: suplementasi. Dengan demikian realitas tidak akan pernah bisa dire­
Karena bahasa tidak merepresentasikan realitas, presentasikan oleh bahasa. Bahasa hanya bisa meng­
tapi menambahkan dan menggantikannya. Kant hasilkan ucapan/tulisan baru (metonimia) tentang
dalam uraiannya menyatakan bahwa suplemen realitas tanpa pernah berhenti pada sebuah frasa atau
itu seperti bingkai pada lukisan. Bingkai memiliki nama yang final (ideal). Dalam kerangka pandang
peran penting bagi lukisan. Bingkai menya­tukan lu­ inilah Dekonstruksi diperkenalkan oleh Derrida. Jika
kisan dengan ruang dan memberi­kan batasan bagi terdapat jarak antara bahasa dan realitas, maka setiap
lukisan. Namun, bingkai tidak menjadi bagian dari ucapan/tulisan tentang realitas niscaya memiliki po­
lukisan atau hasil karyanya (ergon). Bingkai berdiri tensi untuk mendekonstruksikan dirinya sendiri.
sendiri secara terpisah dari lukisan. Suplemen juga
diibaratkan seperti gorden atau kain pada sebuah Kesimpulan
patung. Derrida menjelaskannya dengan menggu­
Suplementasi merupakan sebuah cara pandang
nakan hasil karya Lucas Cranach berjudul Lucretia
terhadap bahasa yang ditawarkan oleh Derrida
(1533). Kain tipis pada tubuh Lucretia merupakan
sebagai alternatif dari representasionalisme. Per­
sebuah ornamen (suplemen) yang berdiri sendiri
bedaan mendasar antara suplementasi dan repre­
secara terpisah dari tubuhnya. Untuk hal ini Der­
sentasionalisme terletak pada kehadiran realitas.
rida menggunakan contoh lain, yaitu: celana dalam
Jika suplementasi menyatakan bahwa realitas tidak
wanita (g-string) yang menambahkan makna lain
hadir di dalam bahasa—hanya jejaknya saja—maka
pada tubuh, meskipun celana dalam tersebut me­
representasionalisme meyakini bahwa realitas ha­
rupakan bagian eksterior dari tubuh sang wanita.
dir di dalam struktur bahasa. Oleh karena itu, baha­
Dalam uraian ini Derrida menunjukkan bagaima­
sa di dalam suplementasi niscaya memiliki potensi
na Kant memisahkan antara ergon (hasil karya)
mendekonstruksikan dirinya sendiri; sedangkan di
dan parergon (ornamen atau pelengkap). Meskipun
dalam representasionalisme, bahasa dinyatakan se­
keduanya seakan-akan menya­tu seperti lukisan dan
bagai cerminan terbaik dari realitas. Alhasil, suple­
bingkainya, tapi tetap saja parergon dapat berdiri
mentasi menjaga agar bahasa tidak menjadi keras
sendiri terpisah dari ergon.11 Demikian juga hubun­
terhadap ucapan/tulisan yang berbeda. Di sisi lain,
gan antara realitas dan bahasa. Realitas seumpama
representasionalisme mengandaikan adanya ucap­
sebuah lukisan yang memerlukan bahasa sebagai
an/tulisan yang ideal tentang realitas yang berujung
bingkai, tapi tetap saja realitas dan bahasa merupa­
pada dominasi tafsir terhadap realitas.
kan dua hal yang berbeda.
Demikianlah perbedaan mendasar antara suple­
Dari sini sangat jelas bahwa suplemen tidak mere­
mentasi dan representasional. Konsistensi pandang­
presentasikan apapun juga, karena suplemen te­
an Derrida terhadap bahasa tampak jelas dengan
lah selalu menjadi suplemen bagi dirinya sendi­
menyatakan bahwa “suplemen” atau “dekonstruk­
ri.12 Dengan perkataan lain, suplemen hadir untuk
si” itu sendiri tidak bisa didefinisikan secara final.
mengisi kekosongan dirinya sendiri, bukan hadir
Sama halnya dengan kata yang lain—suplemen
untuk merepresentasikan sesuatu di luar dirinya.
dan dekonstruksi—dapat dimaknai berdasarkan
Suplementasi = Dekonstruksi konteks yang digunakan.13 Itulah mengapa Derrida
memberikan saran agar “dekonstruksi” diterjemah­
Penjelasan mengenai suplemen di atas merupakan kan secara bebas dalam bahasa Jepang. Namun,
gambaran yang memadai tentang bahasa. Bahasa satu hal yang Derrida pesankan, yaitu: “... berbica­
tidak hadir untuk merepresentasikan realitas— ra tentang dekonstruksi, dan untuk membawanya
karena realitas pada dirinya sendiri tetap asing bagi ke terjemahan lain untuk ditulis dan disalin, [ha­
manusia—tapi mengisi kebutaan atau kekosongan ruslah] dalam sebuah kata yang lebih indah”14 Jadi,
manusia dihadapan realitas. Namun, bahasa tidak bahasa bukanlah cerminan realitas. Bahasa hanya
hanya sekadar mengisi kebutaan atau kekosongan, mengucapkan/menuliskannya dengan indah.
melainkan juga menggantikannya dengan reali­
tas yang sama sekali baru, yaitu: realitas yang bisa
13 Jacques Derrida, Letter to a Japanese Friend dalam
11 Jacques Derrida, The Truth in Painting, Penerj. Geoff Ben- Derrida and Différance, Ed. David Wood dan
nington dan Ian McLeod (Chicago: The University of Robert Bernasconi (Evanston: Northwestern
Chicago Press, 1987), hal. 57-61. University Press, 1988), hal. 4-5.

12 Jacques Derrida, Of Grammatology, hal. 303-4. 14 Ibid., hal. 5.

12 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Daftar Pustaka

Derrida, Jacques. 1988. Afterword: Toward an Ethic


Discussion dalam Limited Inc. Evanston:
Northwestern University Press.

______, Jacques. 1988. Letter to a Japanese Friend


dalam Derrida and Différance. Evanston:
Northwestern University Press.

______, Jacques. 1997. Of Grammatology. Baltimore:


The Johns Hopkins University Press.

______, Jacques. 1987. The Truth in Painting. Chica­


go: The University of Chicago Press.

Humboldt, Wilhelm Von. 1988. On Language: The


Diversity of Human Language-Structure and
its Influence on the Mental Development of
Mankind. Cambridge: Cambridge Univer­
sity Press.

Kant, Immanuel. 2007. Critique of Judgment. Oxford:


Oxford University Press.

Leibniz, G. W.. 1896. New Essay on Human Under­


standing. New York: The Macmillan Com­
pany.

Rousseau, Jean-Jacques. 1998. Dictionary of Music


dalam Essay on the Origin of Languages and
Writings. Hanover: University Press of
New England.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 13


Pluralisme Quranik Perspektif Hamka
Hisbulloh Huda
hisbullohhudaptiq@gmail.com
Institut PTIQ Jakarta

Abstrak pluralisme adalah perbedaan pemahaman atau ke­


majemukan, jika masuk dalam ranah agama maka
Hamka memiliki pandangan pluralis empatik, ini artinya adalah relativitas kebenaran pada setiap
tergambar dalam penafsiran-penafsirannya ten­ agama di dunia, sebagai bentuk toleransi untuk me­
tang ayat-ayat yang berkaitan dengan makna plu­ melihara kerukunan hidup antar umat beragama di
ralisme pada Tafsir al-Azhar. Dalam menafsirkan tengah keragaman yang ada.1
ayat-ayat tersebut, Hamka memberikan pendekat­
an pemaham­ an pluralisme dalam kehidupan Paham yang berorientasi kepada kemajemukan
bermasya­rakat. Pemahaman dalam Tafsir al-Azhar akan memiliki berbagai pene­rapan yang berbeda
memberikan penekanan sikap empatik setiap indi­ dalam filsafat agama, moral, hukum dan politik
vidu kelompok masyarakat terhadap diri, lingkung­ yang batas kolektifnya ialah pengakuan atas ke­
an, maupun hubunganya dengan Tuhan. Tulisan majemukan di depan ketunggalan. Implikasinya
ini sejalan dengan pendapat Nurcholis Madjid dan adalah bahwa hakikat dan keselamatan bukan­
Ernst Troeltsch yang meyakini pentingnya plural­ lah monopoli satu pemahaman tertentu. Semua­
isme empatik dalam kehidupan bermasyarakat. nya menyimpan hakikat yang mutlak dan sangat
agung.2 Tema pluralitas agama mempunyai tiga un­
Keywords: Hamka, Pluralisme Agama, al-Qur’an. sur, pertama, apakah setiap agama memiliki sebuah
kebenaran, kedua, apakah hanya agama Islam saja
Pengantar yang memilki kebenaran, tiga, apakah hanya agama
tertentu saja, misalnya Islam, yang memilki kebe­
Tulisan tentang pluraslime Quranik dalam per­
naran yang tertinggi. Dari sini timbul sebuah per­
spektik Hamka ini dilatar belakangi dengan sum­
debatan dari tokoh-tokoh aga­mawan, yang di mana
ber konflik yang berasal dari pemahaman terhadap
setiap pemeluk aga­ ma mengklaim bahwasanya
teks agama, sehingga menimbulkan dua pendapat
aga­ma yang diyakininya yang paling benar di an­
yang saling bertentangan dari kelompok eksklusif
tara agama yang lain.
dan kelompok inklusif. Dari kedua sisi pandang
ini menjadikan pluralisme sangatlah penting un­ Pembahasan pluralisme kadangkala menjadi per­
tuk dikaji, melihat Indonesia yang masyarakatnya debatan yang sensitif, karena sering dibenturkan
memiliki keyakinan agama yang beraneka ragam, dengan akidah. Sebagian kalangan dalam Islam,
maka perlu adanya diskusi duduk bersama untuk mencurigai bahwasannya paham pluralisme ini
mencari titik temu terhadap agama-agama yang hanya untuk mengikiskan akidah atau iman sese­
ada dengan cara mengedepankan keuniversalan orang. Akan tetapi menurut Abdul Muid, jika
setiap ajaran agama, yaitu mengajarkan pemeluk­ hendak mengikuti logika pluralisme, maka kebe­
nya untuk menciptakan kehidupan yang damai dan naran agama-agama adalah kebenaran yang berdiri
harmonis dengan bersikap toleransi dan menghar­ sendiri dan punya akarnya sendiri secara merdeka.
gai atas setiap perbedaan. Konsekuensinya adalah masing-masing kebenaran
Kemudian penulis berusaha mengumpulkan semua
data-data, lalu dianalisa, dan disajikan dengan
pendekatan kualitatif serta pendekatan studi ke­
pustakaan yang dilandasi oleh teori empati sosial. 1 M. Legenhausen (2010). Pluralitas dan Pluralisme
Adapun pembahasan tentang ayat-ayat al-Qur’an Agama. Jakarta: Shadra Press, hal. 37.
menggunakan pendekatan tematik (Maudhû’i).
2 Ali Rabbani Gulpaigani (2004). Menggugat Plural-
Pendahuluan isme Agama: Catatan Kritis atas Pemikiran Jhon Hick
dan Abdul Karim Sourush, terj. Muhammad Musa,
Indonesia adalah negara yang memiliki beraneka
Jakarta: al-Huda, hal. 13-17.
ragam suku, budaya, ras, bahasa, bahkan agama.
Dari banyaknya perbedaan ini melahirkan sebuah 3 Abdul Muid Nawawi, “Pluralisme Qurani Sebuah
pemahaman yang beragam di tengah masyarakat.
Tinjauan Filosofis,” dalam https://tanwir.id/plural-
Bermula dari sini, munculah banyak pandangan
isme-qurani-sebuah-tinjauan-filosofis/ diakses pada 05
yang diperdebatkan di tengah publik. Inti dari
Maret 2021.

14 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


agama tidak bisa dibandingkan atau diadu mana tuk perlakuan diskriminasi terhadap agamanya,
yang lebih benar dari yang lainnya, karena akarnya sehingga ia tidak boleh tinggal di dusun tersebut.
sudah berbeda.3 Kasus intoleransi sering sekali terjadi di kabupaten
Bantul, menurut Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal
Pluralisme agama menawarkan toleransi anta­ Ika. Mereka yang non Muslim menjadi resah karena
rumat beragama, namun kadang menimbulkan didiskriminasi dan diintimidasi ketika menjalankan
masalah baru bagi sebagian penganut agama. Hal ibadahnya.6 Peristiwa intoleransi yang lain adalah
tersebut karena pluralisme agama mengandung pada bulan Januari 2017, ketika sejumlah warga ti­
paham re­lativisme kebenaran. Dengan paham ini dak mau menerima camat Panjangan yang bernama
masing-ma­sing agama tidak boleh mengklaim diri­ Yulius Suharto karena camat itu beragama non-Mus­
nya pa­ling benar, karena semua agama adalah be­ lim, padahal bupati Bantul sudah melantiknya. Di
nar. Tidak ada lagi yang dapat mengklaim sebagai tahun 2019 terjadi peningkatan kasus diskriminasi
pemilik kebenaran hakiki karena agama merupa­ dalam beragama. KOMNAS HAM mencatat ba­
kan hasil pengalaman keberagamaan manusia, se­ nyaknya temuan dan laporan yang berkaitan dengan
hingga setiap agama yang ada di dunia ini mengan­ pelanggaran terhadap kebebasan beragama.7
dung kebenaran Ilahi.4
Sumber Konflik
Kasus-kasus Intoleransi
Sampai hari ini masih banyak orang Islam yang
Seperti di Indonesia, konfik terjadi di banyak nega­ ber­anggapan bahwa pluralisme adalah sebuah pa­
ra yang disebabkan perbedaan agama. Di antara­ ham yang menyesatkan, karena di dalamnya ter­
nya, konflik yang terjadi di Moro Filipina antara dapat pembenaran terhadap semua agama. Majelis
Islam dengan Kristen. Demikian pula pembantaian Ulama Indonesia (MUI) menyatakan haram terha­
muslim Rohingnya oleh umat Budha di Myanmar, dap paham pluralisme. Walau fatwa haram yang
bentrokan sektarian di kota Boda, Republik Afri­ dike­luarkan MUI itu menimbulkan pro-kontra di
ka Tengah yang melibatkan Muslim dan Kristen.5 kalang­an cendekiawan Muslim.8 Dalam pandangan
Pembahasan pluralisme kemudian diagendakan MUI, pluralisme agama akan menimbulkan pema­
oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tang­ haman untuk membenarkan semua agama, dan
gal 13 Maret 2008 di Dakar, Senegal. Mengingat pa­ mengajarkan semua pemeluk agama bisa masuk
ham pluralisme membutuhkan perhatian karena di surga.9
dalamnya terdapat tuntutan atas kebebasan agama
dan toleransi terhadap pandangan yang berbeda. Dengan demikian agama dapat berpotensi menja­
di sumber konflik horizontal, bilamana dalam ber­
Pada tahun 2015 terjadi sebuah pelanggaran ter­ agama didasari dengan sikap sentimen terhadap
hadap kebebasan beragama di Dusun Karet, Pleret, etnis dan agama.10 Sentimen terhadap agama mer­
kecamatan Bantul. Di mana terjadi pengusiran
terhadap masyarakat non Muslim yang tinggal di
sana. Slamet Jumiarto, seorang Katholik, kemudian
melawan. Dengan tegas ia mengatakan bahwa apa 6 Pradito Rida Pertana, Perbedaan Agama Mem-
yang dilakukan warga mayoritas di desa itu adalah buat Slamet Ditolak Tinggal di Dusun Karet Bantul.
perbuatan yang melanggar hukum, di mana nega­ Dalam https://news.detik.com/berita-jawa-ten-
ra telah memberikan kebebasan dalam beragama gah/d-4494241/perbedaan-agama-membuat-slamet-di-
kepada rakyatnya. Pengusiran merupakan ben­ tolak-tinggal-di-dusun-karet-bantul. Diakses pada 08
Maret 2021.

7 Manda Firmansyah. Komnas HAM: Pelanggaran


kebebasan beragama cukup megkhawatikan. dalam
https://www.alinea.id/nasional/komnas-ham-pelang-
3 Abdul Muid Nawawi, “Pluralisme Qurani Sebuah garan-kebebasan-beragama-mengkhawatirkan-b1ZW-
Tinjauan Filosofis,” dalam https://tanwir.id/plural- G9ysr. Diakses pada 07 Maret 2021.
isme-qurani-sebuah-tinjauan-filosofis/ diakses pada 05
Maret 2021. 8 Abd. Moqsith Ghazali (2009). Argumen Pluralisme
Agama. Depok: KataKita, hal. 11.
4 Harda Armayanto (2014), Problem Pluralisme Ag-
ama. Jurnal Tshaqafa, Vol. 10, No. 2, hal. 327. 9 Lihat Fatwa MUI dalam majalah Media Dakwah No.
358 Ed. Sya’ban 1426 H/September 2005, hal. 49.
5 Firdaus M. Yunus (2014), Konflik Agama Di
Indonesia Problem Dan Solusi Pemecahannya. Jurnal 10 Cik Hasan Bisri (2002). Ilmu Pendidikan Tinggi dan
Substantia, Vol. 16 No. 2, hal. 218. Penelitian. Bandung: Lemlit UIN, hal. 214.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 15


upakan perkara yang sering dijumpai di kalang­ John Titaley mengartikan bahwasanya pluralisme
an masya­rakat majemuk yang memiliki beragam sebagai suatu kenyataan bahwa dalam suatu ke­
aga­ma dan kepercayaan. Hadir­nya sikap itu tidak hidupan bersama manusia terdapat keragaman
lain karena adanya doktrin-doktrin dari para to­ suku, ras, budaya, dan agama.13 Fokus tulisan
koh agamanya, yang menyatakan bahwa ajaran di ini adalah menggali bagaimana respon al-Qur’an
luar kelompoknya adalah sebuah ajaran yang sesat. dalam memandang pluralisme agama. Dengan
Perasaan solidaritas yang dikembangkan oleh se­ demikian akan terlihat interprestasi makna yang
bagian umat Islam hanya berpusat pada solidaritas berkaitan dengan pluralisme sesuai dengan kon­
berdasarkan ikatan agama, hal ini dikenal sebagai teks dan zaman saat ini. Konflik yang terjadi saat
ukhuwah islâmiyah. ini disebabkan perbedaan interprestasi dalam
menyikapi ayat-ayat al-Qur’an yang terkait de­
Fenomena intoleransi dan konflik bernuansa agama ngan gagasan pluralisme agama. Hal ini sekaligus
seakan menguatkan kecurigaan bahwa agama se­ menunjukkan bukti bahwa kandungan al-Qur’an
bagai penyebab konflik, pemicu tindak kekerasan, akan tetap relevan sepanjang masa (shȃlihun li
dan beragam perilaku kebencian, permusuhan, kulli zamȃn wa makȃn).14 Sehingga para mufasir
dan peperangan di antara sesama manusia. Cin­ (ahli tafsir) dituntut untuk mampu menyelesaikan
ta kasih, pengorbanan, dan pengabdian kepada berbagai permasalahan yang berkembang, meski­
orang lain adalah sikap yang berakar pada dunia pun hasilnya masih terus menuai pro dan kontra
keagamaan. Pada saat bersamaan, sejarah menun­ baik di kalangan pemikir Islam kontemporer mau­
jukkan realitas agama yang dikaitkan langsung pun klasik.
dengan sikap dan tindakan terburuk manusia. Tak
aneh bila kemudian agama dinilai sebagai sesuatu Perspektif Hamka
yang paradoks.11 Aga­ma memiliki “wajah ganda”,
dalam artian ia dapat menghidupkan suasana hi­ Melihat Hamka yang memiliki kelebihan dalam
dup berma­syarakat, tetapi sekaligus dapat merusak ilmu agama, penulis tertarik untuk meneliti ayat-
kehidupan itu sendiri. Mungkin bukan ajaran ag­ ayat pluralisme dalam Tafsir al-Azhar karyanya.
amanya yang salah, karena seluruh agama meng­ Meskipun di dalam karya Hamka tidak secara im­
ajarkan untuk berbuat baik dan toleransi kepada plisit membahas tentang pluralisme, setidaknya
pemeluk agama lain. dalam pidato dan tulisannya terdapat banyak pem­
bahasan tentang toleransi. Dalam tulisan ini akan
Mencari Titik Temu disusun pemetaan pluralisme dalam perspektif
Hamka seperti yang ditulisnya di dalam Tafsir al-
Itulah sebabnya, dalam Islam diperlukan pemaham­ Azhar. Penulis mencoba menyorot masalah plural­
an agama yang dapat membangun toleransi de­ngan isme dengan menguak ayat-ayat tafsiran al-Azhar.
mempelajari pluralisme quranik. Perlu adanya Penulis memetakan pluralisme dalam tiga dimensi
gagasan yang mendorong orang untuk menghar­ pandangan yaitu akidah, akhlak, dan syariat. Pe­
gai perbedaan agama, karena perbedaan agama metaan ini bertujuan untuk menguatkan pemaha­
merupakan sunnatullȃh yang tidak bisa dihindari. man sehingga paham pluralisme Quranik dalam
Maka munculah wacana konvergensi agama untuk pandangan Hamka dapat lebih dipahami.
mencari titik temu terhadap agama-agama, yang
ada dengan cara mengedepankan keuniversalan
setiap ajaran agama. Yaitu mengajarkan pemeluk­ 13 John Titaley (2013). Religiositas di Alinea Tiga Plu-
nya untuk menciptakan kehidupan yang damai dan ralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-Ag-
harmonis dengan menghargai setiap perbedaan. ama. Salatiga: SWCU Press, hal. 169.
Dalam al-Qur’an terdapat istilah kalimatun sawâ’
(titik temu/konvergensi).12 14 Al Quran merupakan kitab suci umat Islam yang
berisi firman Allah SWT sebagai petunjuk dan
Perbedaan agama yang ada di negeri ini menja­ pedoman hidup bagi manusia untuk menuju
dikan tugas penting para pemuka agama untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagai sebuah
menyosialisasikan paham pluralisme, agar bisa mu’jizat penafsiran terhadap al-Qur’an tidak
menghindari gesekan-gesekan dari perbedaan ini. akan pernah habis, bahkan semakin berkem-
bang seiring berkembangnya peradaban dan
berjalannya dari waktu ke waktu. Dengan kata
11 Enjang Muhaemin (2019). Intoleransi Keagamaan lain interpretasi manusia terhadap kitab suci ini
dalam Framing Surat Kabar Kompas. dalam Jurnal akan terus muncul dari sumber yang sama yang
Ilmu Komunikasi, Vol. 03 No. 01, hal.19. tidak pernah berubah. Lihat. Bukhori A.Shomad,
“Tafsir Al-Qur’an dan Dinamika Sosial Politik, “
12 Sukidi (2001). Teologi Inklusif Cak Nur. Jakarta: dalam Jurnal Tapis Vol. 09 No. 2 tahun 2013 . hal.
Buku Kompas, hal.5. 86.

16 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Metode Penelitian Pada tanggal 5 April 1929 Hamka dinikahkan
dengan seorang wanita yang bernama Siti Ra­
Penelitian ini menggunakan metodologi kuali­tatif
ham binti Endah Sutan, pada saat itu Hamka
dengan memfokuskan pada beberapa sumber.15
berusia 21 tahun, sedangkan calon istrinya be­
Secara deskriptif akan dipaparkan penjelasan dari
rusia 15 tahun Sebuah pernikahan yang relatif
berbagai buku dan kitab tafsir yang berkaitan de­
muda. Dari pernikahannya dengan Siti Raham
ngan perspektif Hamka tentang pluralisme. Se­
ia dikaruniai 10 orang anak, tujuh laki-laki dan
hingga dapat membuat gambaran tentang fakta
tiga perempuan.19 Di usia 58 tahun istri Hamka
dan hubungan antar fenomena yang diselidiki.16
mengidap penyakit komplikasi, hingga pada
Penelitian kepustakaan dipakai untuk mengum­
akhirnya istrinya meninggal dunia. Setelah is­
pulkan materi yang lebih lengkap, yang meliputi
trinya meninggal dunia, lebih dari satu setengah
kitab-kitab tafsir klasik dan kontemporer, kitab-ki­
tahun, dengan permintaan dari anak-anaknya
tab Ulumul Qur’an, jurnal, dan majalah. Penelitian
agar ayahnya mau untuk menikah lagi. Maka
ini juga menggunakan metode tematik (maudlu’i),
pada tahun 1973 di bulan Agustus, Hamka me­
yaitu berupaya mencari ayat-ayat al-Qur’an sesuai
nikah lagi dengan seorang wanita yang berasal
dengan tema penelitian ini, dengan merujuk pada
dari Cirebon, Jawa Barat, yang bernama Hj. Siti
sebuah karya buku dari Akmal Sjafril yang berjudul
Khadijah.20
Buya Hamka Antara Kelurusan Aqidah Dan Pluralisme
yang berkaitan tentang ayat-ayat pluralisme agama 2. Pluralisme Menurut Hamka
dalam pandangan Hamka. Kemudian menganalisis
dan membahas ayat-ayat tersebut melalui penjelas­ Pluralisme menurut Hamka berangkat dari
an kitab-kitab tafsir dan berbagai sumber lainnya. paradigma penafsiran Surat Hûd/11:118-119
yang ditafsirkan, bahwasanya Allah SWT bisa
Hasil dan Pembahasan saja menghendaki manusia menjadi umat yang
satu. Namun kenyataannya Allah menciptakan
1. Latar Kehidupan Hamka
umat yang beranekaragam. Hingga tidak bisa
Hamka lahir di kampung Tanah Sirah, Nagari dihindari dengan adanya keragaman ini akan
Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada menimbulkan sebuah perselisihan di antara
hari minggu tanggal 16 Februari 1908 (13 Mu­ mereka. Hal ini merupakan bukti dari realitas
harram 1326 H).17 Abdul Malik Amrullah ada­ keadaan yang tidak bisa ditolak atau dihindari.
lah nama aslinya, sedangkan panggilan Hamka
adalah sebuah akronim dari Haji Abdul Malik
Amrullah. Panggilan buya yang disandarkan
kepada Hamka, adalah sebuah gelar khusus
bagi orang yang alim dalam ilmu agama, dan Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia akan men­
hal ini menjadi sebuah tradisi bagi masyarakat jadikan manusia umat yang satu. Namun, mereka
Minangkabau yang berada di Sumatera Barat. senantiasa berselisih (dalam urusan agama), kecuali
Nama ayahnya adalah Abdul Karim Amrullah orang yang dirahmati oleh Tuhanmu. Menurut (ke­
atau sering disebut dengan Haji Rasul dan nama hendak-Nya) itulah Allah menciptakan mereka. Ka­
ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung binti Haji limat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti
Zakariya.18 akan memenuhi (neraka) Jahanam (dengan pendur­
haka) dari kalangan jin dan manusia semuanya

Di dalam Tafsir al-Azhar pada pangkal ayat 118,


Hamka menjelaskan bahwa manusia seringkali
berselisih. Kemudian dilanjutkan pada ayat 119
Hamka mengatakan bahwa orang yang diberi­

18 Titiek W.S (1983). Hamka di mata hati umat. Jakar-


15 Sulistyo Basuki (2010). Metode Penelitian, Jakarta: ta: Sinar Harapan, hal. 51.
Penaku, hal.27.
19 Nasir Tamara (1996). Hamka. Jakarta: Sinar
16 Mohammad Nazir (1988). Metode Penelitian, Jakar- Harapan, hal. 51-52.
ta: Ghalia Indonesia, hal.63
20 Samsul Nizar (2008). Memperbincangkan Dinamika
17 Hamka (2018). Kenang-kenangan Hidup. Jakarta: Intelektual dan Pemikiran Hamka Tentang Pendidikan
Gema Insani, hal. 5-7. Islam. Jakarta: Prenada Media Group, hal. 29.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 17


kan rahmat oleh Allah tidak akan celaka kare­ nya, bilamana ia ada pada posisi tersebut. Rasa
na perselisihan itu, bagi mereka perselisihan Empati Hamka memainkan peran penting da­
itu adalah sebuah rahmat yang telah diberikan lam membangun dan menjaga hubungan antara
Allah SWT kepada manusia. Perselisihan yang sesama manusia. Di sinilah Hamka menunjuk­
sering terjadi diakibatkan dengan adanya per­ kan sikap pluralisme terhadap kemajemukan.
bedaan fikiran dan pernilaian pada sesuatu ob­
jek baik lingkungan dan iklim, namun semua Selanjutnya menurut Hamka, manusia merupa­
itu tidak membuat manusia mundur, melainkan kan umat yang satu. Perlainan daerah, bumi
akan menjadikan manusia makin maju dengan tempat mereka berpijak, berlainan bahasa,
adanya perselesihan itu. Karena manusia ter­ warna kulit bukanlah soal. Namun semua itu
cipta tidak lain untuk menjadi khalifah di muka hanya­lah keragaman di dalam satu kesatuan.
bumi ini dengan dibekali akal. Jadi wajar bila­ Diutusnya Nabi-nabi secara berganti-ganti, na­
mana ada perbedaan pikiran yang menyebab­ mun maksud kedatangan mereka hanya satu,
kan sebuah perselisihan, hingga terjadilah per­ yaitu memberi petunjuk kepada manusia dan
bedaan pandangan di tengah-tengah kehidupan memutuskan perkara-perkara yang mereka
manusia. Menurut Hamka perbedaan pandang­ perselisihkan.22 Sebagaimana disebutkan di da­
an adalah sebuah rahmat dari Allah, dan untuk lam al-Qur’an Surat al-Baqarah/2:213.
itu manusia diciptakan.21

Dari pernyataan Hamka pada Surat Hûd/11:118-


119 bahwasanya perbedaan yang ada adalah se­ Manusia itu (dahulunya) umat yang satu (dalam
buah keniscayaan yang harus dihadapi de­ngan ketauhidan). (Setelah timbul perselisihan,) lalu Allah
akal sehat. Perbedaan ini terjadi karena Allah mengutus para nabi (untuk) menyampaikan kabar
SWT telah menghendakinya. Namun Allah gembira dan peringatan. Allah menurunkan bersa­
memberikan akal pada setiap manusia untuk ma mereka Kitab yang mengandung kebenaran un­
berfikir, setiap manusia tidak selalu menghasil­ tuk memberi keputusan di antara manusia tentang
kan pemikiran yang sama, maka wajar jika ter­ perkara yang mereka perselisihkan. Tidak ada yang
jadi perselisihan di antara mereka, adanya per­ berselisih tentangnya, kecuali orang-orang yang
bedaan ini tidaklah menjadikan manusia lantas telah diberi (Kitab) setelah bukti-bukti yang nyata
terpuruk, akan tetapi perbedaan ini melahirkan sampai kepada mereka, karena kedengkian di an­tara
wawasan yang lebih luas. Inilah rahmat Tuhan mereka sendiri. Maka, dengan kehendak-Nya, All­a­h
yang diberikan kepada manusia. mem­beri petunjuk kepada mereka yang beriman ten­
tang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah mem­
Pada ayat di atas, Hamka tidak menutup mata beri petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan
akan adanya perbedaan dalam sebuah pe­ yang lurus (berdasarkan kesiapannya untuk menerima
mikiran, namun Hamka lebih memilih sebuah petunjuk).
kemaslahatan manusia walaupun ada perbe­
daan pikiran dirinya pada orang lain. Dengan Bagi Hamka permulaan ayat ini merupakan
begitu sikap Hamka ini memiliki rasa empati­ pondasi dasar ilmu sosiologi dalam perspektif
nya terhadap perbedaan. Dilihat dari kemam­ Islam, Hamka membagun argumentasi dasar
puan Hamka dalam berempati yang bertujuan bahwa manusia hakikatnya satu komunitas
untuk memahami apa yang dirasakan orang yang satu. Maksudnya adalah meskipun ada­
lain, dengan melihat dari sudut pandang orang nya perbedaan warna kulit, bahasa yang berbe­
tersebut, dan juga bercermin pada diri sendiri­ da, tempat tinggal yang berbeda-beda, namun
dalam peri-kemanusiaan mereka itu satu.23 Ini
merupakan pesan yang tersirat di dalam plu­
ralisme yang mendahulukan perasaan empati

22 Hamka (1996). Pelajaran Agama Islam, cet. 12,


Jakarta: Bulan Bintang, hal. 182.

21 Hamka, Tafsir al-Azhar,..., Jilid V, hal. 3571. 23 Hamka, Tafsir al-Azhar,..., Jilid I, hal. 494.

18 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


terhadap perbedaan untuk saling menghargai. mutlak untuk mendapatkan balasan yang baik
Pada pijakan keberagaman, Hamka menafsir­ di sisi Allah ada dua persyaratannya. Pertama,
kan ayat tersebut dengan pandangan seluruh beriman kepada Allah, tidak menyekutukan
manusia sama-sama menggunakan akal untuk dengan sesuatu apapun. Kedua, mau beramal
mengarungi hidup ini. Hanya manusia saja di saleh (berbuat baik) baik kepada Allah ataupun
antara makhluk yang hidup di dalam bumi ini kepada makhluknya Allah.25
yang mempunyai akal. Akal sehat inilah yang
akan melahirkan pada diri manusia rasa empati Hal ini menjadi bantahan terhadap angan-­angan
terhadap kehidupan sesama manusia, agar ke­ umat Islam dan Ahli Kitab yang menyatakan
hidupan yang memiliki perbedaan ini berjalan bahwa kebahagian kelak di akhirat hanya un­
dengan baik. Namun pada kenyataannya de­ tuk golongan mereka saja. Penjelasan tersebut
ngan keberagamaan itu masih saja ada manusia mengu­kuhkan pandangan Ridha bahwa urusan
mengalami kerapuhan, yang mengakibatkan kebahagiaan akhirat berdasarkan amal saleh
berpecah belah. Untuk menghindari adanya dan keimanan yang benar.
berpecah-belah maka sangat dibutuhkan pada
setiap manusia untuk menanamkan rasa empati 3. Pluralisme Quranik dalam Perspektif
terhadap orang lain agar bisa mempererat jalin­ Hamka.
an hubungan, baik dalam keagamaan, hubung­
an etnis, pertemanan maupun hubungan sosial
yang lebih luas. Aktualisasi pluralisme dapat dilihat dari ber­
bagai segi. Pertama dalam dimensi akidah. Bagi
Hemat penulis, pada prinsipnya kehadiran aga­ Hamka, argumentasi akidah ini dapat diketa­
ma merupakan penyerahan diri pada Tuhan hui dalam al-Qur’an, misalkan pada ayat ten­
secara mutlak, dengan mentaati segala perin­ tang kebebasan dalam iman dan beragama (QS.
tahnya serta mengikuti ajarannya, maka pada Al-Kafirun/109:6).
dasarnya implikasi yang terjadi dari penyerah­
an diri kepada Tuhan itu adalah sebuah pem­
bebasan untuk memilih agama apapun asalkan
Untukmu agamamu dan untukku agamaku
mereka taat kepada ajarannya, karena inti dari
kata Islam itu sendiri adalah ketulusan hati ke­
Bagi Hamka, menyoalkan akidah tidak bisa
pada Tuhan.
dikompromikan, atau dicampuradukkan de­
ngan syirik. Surat ini memberi pedoman yang
Namun di sisi lain Muhammad Rasyid Ridha
tegas bagi pengikut Nabi Muhammad SAW
menyatakan, keberuntungan dan kebahagiaan
bahwasannya akidah tidaklah dapat diperda­
seseorang di akhirat tidak memiliki kaitan de­
maikan.
ngan berjenis agama yang dipeluk seseorang.
Menurutya, keberuntungan akhirat akan dica­
Kemudian yang kedua tentang dimensi syari’ah
pai dengan dua syarat pokok, yaitu keimanan
tema ini tentang tidak ada paksaan dalam aga­
dan amal shalih. Oleh karena itu, surga bukan
ma seperti pada surat al-Baqarah/2: 256.
hanya dimiliki oleh sekelompok orang se­
bagaimana yang dinyatakan oleh sebagian umat
Yahudi dan Kristen. Rasyid Ridha mendasarkan
pandangannya ini pada ayat al-Qur’an yang
menyebukan bahwa sesungguhya orang-orang
mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nashrani, dan orang-orang Shâbi’in, siapa saja
di antara mereka yang benar-benar beriman ke­ Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Is­
pada Allah, hari kemudian, dan beramal shalih, lam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari
maka niscaya kelak mereka menerima pahala jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut
dari Tuhan mereka.24 dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang
teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan
Pernyataan Rasyid Ridha ini sama dengan hal­ putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Menge­
nya pernyataan Hamka, bahwasannya syarat tahui.

24 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsȋr al-Qur’an al-


Hakȋm, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
25 Hamka, Tafsir al-Azhar,..., hal. 268.
1999, hal. 275.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 19


Penafsiran Hamka dalam ayat ini didasari oleh Hamka menyampaikan, dunia itu bukan tempat
sebuah cerita tentang riwayat anak seorang Ya­ untuk bermusuhan melainkan untuk berkenal­an
hudi yang sudah nyata memeluk agama Yahu­ atau saling mengenal. Pandangan Hamka, ten­
di. Riwayat ini diambil dari cerita Ibnu Abbas tang kerukunan hidup berbangsa-bangsa, ber­
bahwasanya anak-anak Yahudi diberi kebe­ suku-suku bisa saja menimbulkan permusuh­
basan untuk memeluk agama ayah mereka atau an dan peperangan, disebabkan oleh lemahnya
tetap dalam keimanannya yaitu Yahudi. Dalam nilai takwa dalam diri manusia.
riwayat itu disebutkan di antara anak-anak
tersebut ada yang memilih Islam dan ada juga Hemat penulis bahwasanya Hamka sangat­
yang terus menjadi Yahudi.26 lah tegas dalam menyikapi persoalan akidah,
menurut Hamka ranah akidah adalah sesuatu
Menurut Hamka Syariat Islam bisa juga diarti­ yang tidak bisa dikompromikan terhadap
kan sebuah hukum-hukum yang telah ditetap­ apapun. Hal ini terlihat pada tafsir Hamka
kan di dalam al-Quran dan menjadi garis hidup pada Surat al-Kafirun/109:6. Namun di sisi
yang harus dilalui oleh seorang yang beragama lain Hamka memiliki kelonggaran dan toleran
Islam.27 Selanjutnya Hamka menjelaskan bah­ dalam mengajak manusia untuk mememeluk
wasanya Syariat bukanlah buatan dari manusia, agama. Menurut Hamka tidak ada paksaan
melainkan menurut agama Islam sendiri syariat bagi manusia untuk memilih sebuah keyakin­
adalah hukum-hukum yang berasal dari Allah annya. Biarkan manusia memilih dengan akal
SWT.28 Jadi pada intinya umat Islam dianjurkan sehatnya, hanya dengan akal sehat manusia
untuk bersyariat dengan mengambil sumber akan memilih sebuah kebenaran. Selanjutnya
dari al-Qur’an yang menyariatkan nilai-nilai ke­ pada Surat al-Hujrat/49:13, Hamka menyam­
baikan universal.29 paikan bahwasannya Allah SWT menciptakan
beragam perbedaan manusia, di antaranya
Ketiga, dimensi muamalah terdapat pada Su­ laki-laki dan perempuan, bersuku-suku, dan
rat al-Hujrat/49:13 tentang harmonisasi berbangsa-bangsa tujuannya tidak lain agar
kemajemuk­an. Pada surat Hujrat/49:13. mereka saling mengenal satu dengan lainnya.
Dari sini bisa dipahami pebedaan yang ada
adalah sebuah kehendak Tuhan yang harus di­
hadapi dengan akal sehat, hanya dengan akal
sehatlah yang bisa mempersatukan perbedaan
Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah mencip­ itu karena yang berakal sehat memiliki rasa
takan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. empati atau kepedulian terhadap orang lain.
Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bang­
sa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Kesimpulan
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
Hasil penelitian ini, menunjukkan bahwa imple­
di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Se­
mentasi Hamka dalam melihat pluralisme terdapat
sungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha teliti.
beberapa bagian. Mulanya Hamka membahas
Hamka menafsirkan ujung ayat ini dengan se­ tentang bagaimana transformasi pemikiran sosial
buah peringatan lebih dalam lagi kepada manu­ Tafsir al-Azhar sebagai dorongan untuk melihat se­
sia, yang dalam hidupnya silau matanya karena buah wacana serta realitas pluralisme. Apabila di­
terpesona oleh urusan kebangsaan dan kesuku­ hubungkan dengan agama, yang memiliki tujuan
an. Sehingga mereka lupa bahwa keduanya itu untuk mencapai kebebasan dan keadilan sosial,
gunanya bukan untuk membanggakan suatu maka agama harus ditafsirkan secara kontekstual,
bangsa kepada bangsa yang lain, suatu suku ke­ agar mencapai kehidupan sosial selain kehidupan
pada suku yang lain. ritual.

Kemudian pluralisme menurut Hamka berangkat


26 Hamka, Tafsir al-Azhar,..., Jilid X, hal. 8134. dari paradigma penafsiran pada Surat Hûd/11:118-
119 yang ditafsirkan, bahwasannya Allah SWT bisa
27 Hamka (2020). Studi Islam. Depok: Gema Insani, saja menghendaki manusia menjadi umat yang
hal. 1. satu. Namun kenyataannya Allah menciptakan
umat yang beranekaragam hingga tidak bisa di­
28 Hamka, Studi Islam,..., hal. 2. hindari dengan ada­nya keragaman ini akan menim­
bulkan sebuah perselisihan di antara mereka. Ini
29 Akhmad Shunhaji (2020). Syari’at Pendidikan Nilai merupakan bukti dari realitas keadaan yang tidak
Kehidupan. dalam Jurnal ANDRAGOGI, vol. 02 bisa ditolak atau dihindari.
No. 2 Tahun 2020, hal.333.

20 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Selanjutnya dalam melihat paradigma pluralisme, tetap dalam keimanannya yaitu Yahudi. Dalam
Hamka membahas jaminan mengenai klaim ke­ riwayat itu disebutkan di antara anak-anak terse­
selamatan. Tidak sedikit umat beragama yang but ada yang memilih Islam dan ada juga yang
mengklaim bahwa keselamatan dan surga hanya terus menjadi Yahudi. Ketiga, dimensi muamalah,
milik mereka semata, adapun bagi orang yang ber­ terdapat pada Surat al-Hujrat/49:13 tentang har­
ada di luar agama mereka, maka dianggap sesat monisasi kemajemukan. Pada surat Hujrat/49:13,
dan masuk neraka. Klaim seperti ini juga pernah di­ Hamka menyampaikan, dunia itu bukan tempat
ungkapkan oleh sebagian orang Yahudi yang mem­ untuk bermusuhan melainkan untuk berkenalan
punyai keyakinan bahwa hanya orang-orang Yahu­ atau saling mengenal. Menurut pandangan Hamka,
di yang akan masuk surga. Demikian juga dengan bersuku-suku bisa saja menimbulkan permusuhan
sebagian orang Nasrani. Pandangan ini secara jelas dan peperangan, yang disebabkan oleh lemahnya
dibantah oleh al-Qur’an. Allah berfirman dalam Su­ nilai takwa dalam diri manusia.
rat al-Baqarah/2: 111-112.
Pluralisme akan menjalin proses kognisi sosial yang
Adapun dalam aktualisasi pluralisme terdapat ma­ baik di tengah-tengah lingkungan yang multikul­
cam-macam dimensi. Di antaranya pertama dalam tural, khususnya di Indonesia yang memiliki bera­
dimensi akidah. Bagi Hamka, argumentasi akidah gam suku, ras, bahasa, agama, dan budaya. Dengan
ini dapat diketahui dalam al-Qur’an, misalkan pada itu seseorang akan mampu menerima kemajemuk­
ayat tentang kebebasan dalam iman dan beraga­ an atas perbedaan. Namun, perbedaan memung­
ma (QS. Al-Kafirun/109:6). Bagi Hamka, menyoal kinkan terjadi gesekan di antara pluralitas itu
akidah tidak bisa dikompromikan, atau dicampur­ sendiri. Maka tawaran al-Qur’an tentang pencegah­
adukkan dengan syirik, Surat ini memberi pe­ an intoleransi dapat ditelusuri dari beberapa surat.
doman yang tegas bagi pengikut Nabi Muhammad Di antaranya adalah: 1) Larangan menebarkan ke­
SAW bahwasannya akidah tidaklah dapat diper­ bencian dengan cara mengolok-ngolok dan meren­
damaikan. Kemudian yang kedua tentang dimensi dahkan kelompok lain, seperti pada Surat Al-Hu­
syari’ah, dalam hal ini tidak ada paksaan seperti jurât/49:11, 2) Larangan menebarkan kekerasan
pada Surat al-Baqarah/2: 256. Penafsiran Hamka seperti pada Surat al-Qashash/28:77, 3). Penghar­
dalam ayat ini didasari oleh sebuah cerita anak se­ gaan atas pemuka agama Kristen seperti pada Su­
orang Yahudi yang sudah nyata memeluk agama rat al-Mâidah/5:82-83, 4) Mengucapkan Selamat
Yahudi. Riwayat ini diambil dari riwayat Ibnu Hari Natal seperti dalam Surat Maryam/19:30-34,
Abbas bahwasannya anak-anak Yahudi diberi ke­ 5) Mengutamakan jalan damai seperti pada Surat
bebasan untuk memeluk agama ayah mereka atau al-Anfâl/8:61.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 21


Daftar Pustaka Nawawi, Abdul Muid. “Pluralisme Qurani Sebuah
Tinjauan Filosofis,” dalam https://tanwir.id/
Armayanto, Harda. “Problem Pluralisme Agama,“ pluralisme-qurani-sebuah-tinjauan-filosofis/
dalam Jurnal Tshaqafa, Vol. 10, No. 2, Ta­ diakses pada 05 Maret 2021.
hun 2014.
Nazir, Mohammad. Metode Penelitian, Jakarta: Gha­
Basuki, Sulistyo. Metode Penelitian, Jakarta: Penaku, lia Indonesia, 1988.
2010, hal.27.
Nizar, Samsul. Memperbincangkan Dinamika Intelek­
Bisri, Cik Hasan. Ilmu Pendidikan Tinggi dan Peneli­ tual dan Pemikiran Hamka Tentang Pendi­
tian, Bandung: Lemlit UIN Bandung, 2002. dikan Islam, Jakarta: Prenada Media Group,
2008.
Firmansyah, Manda. “Komnas HAM: Pelanggaran
kebebasan beragama cukup mengkha­ Pertana, Pradito Rida. “Perbedaan Agama Mem­
watirkan” dalam https://www.alinea.id/ buat Slamet Ditolak Tinggal Di Dusun
nasional/komnas-ham-pelanggaran-kebebasan- Karet Bantul,“ dalam https://news.detik.
ber­a gama-mengkhawatirkan-b1ZWG9ysr. com/berita-jawa-tengah/d-4494241/perbedaan-
Diakses pada 07 Maret 2021. agama-membuat-slamet-ditolak-tinggal-di-
dusun-karet-bantul. Diakses pada 08 Maret
Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama,
2021.
Depok: KataKita, 2009.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsȋr al-Qur’an al-
Gulpaigani, Ali Rabbani. Menggugat Pluralisme Ag­
Hakȋm, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Il­
ama: Catatan Kritis atas Pemikiran Jhon Hick
miyyah, 1999.
dan Abdul Karim Sourush, Jakarta: al-Huda,
2004. Shunhaji, Akhmad. “Syari’at Pendidikan Nilai Ke­
hidupan”, dalam Jurnal ANDRAGOGI, vol.
Hamka, Kenang-kenangan Hidup, Jakarta: Gema In­
02 No. 2 Tahun 2020.
sani. 2018.
S, Titiek W. Hamka, dalam Nasir tamara, dkk, Hamka
----------. Pelajaran Agama Islam, cet. 12, Jakarta: Bu­
dimata hati umat, Jakarta: Sinar Harapan,
lan Bintang, 1996.
1983.
----------. Studi Islam, Depok: Gema Insani, 2020.
Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Buku Kom­
----------. Tafsir Al-Azhar, Singapura: Pustaka Nasi­ pas, 2001.
onal PTE LTD , 1982.
Tamara, Nasir. Hamka Dimata Hati Ummat, Jakarta:
Legenhausen, M. Pluralitas dan Pluralisme Agama, Sinar Harapan, 1996.
Jakarta: Shadra Press, 2010.
Titaley, John. Religiositas di Alinea Tiga Pluralisme,
Lihat Fatwa MUI dalam majalah Media Dakwah Nasionalisme, dan Transformasi Agama-Aga­
No. 358 Ed. Sya’ban 1426 H/September ma, Salatiga: SWCU Press, 2013.
2005.
Yunus, Firdaus M. “Konflik Agama Di Indonesia
Muhaemin, Enjang. “Intoleransi Keagamaan dalam Problem Dan Solusi Pemecahannya,” da­
Framing Surat Kabar Kompas”, dalam Jur­ lam Jurnal Substantia, Vol. 16 No. 2 Tahun
nal Ilmu Komunikasi, Vol. 03 No. 01 Tahun 2014.
2019.

22 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Tegangan antara Metafisika dan Teologi
dalam Pemikiran Agustinus
Agustinus Tetiro
agustinus86tetiro@gmail.com
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

“Fecisti nos ad te, et inquietum est cor nostrum donec menjadi selain dari apa adanya kembali dilihat
requiescar in te” ulang. Sementara itu, teologi adalah usaha sistematis
(Engkau telah menciptakan kami bagi-Mu. untuk menyajikan, menafsirkan dan membenarkan
Dan hati kami tidaklah tenang sampai ia beristirahat secara konsisten dan berarti, keyakinan akan Tuhan.
dalam Dikau)
Ada tegangan antara metafisika dan teologi
Santo Agustinus dalam pemikiran Santo Agustinus. Tegangan
antara metafisika dan teologi yang dimaksud di
Abstrak sini terjadi ketika sang uskup agung dari Hipo
ini berbicara tentang Tuhan dan menguraikan
Tulisan ini mencoba melihat dan memperlihatkan konsep serta teori tentang Trinitas yang merupakan
bagaimana usaha Agustinus memperlakukan inti iman dalam kekristenan. Agustinus melihat
secara produktif filsafat Yunani untuk keperluan ulang kategori “substansi” (dalam hubungannya
teologi Kristen yang lebih operasional, terutama dengan “aksiden”) ketika berbicara tentang Allah
dalam pembahasannya tentang Allah Tritunggal. Tritunggal dan mengajarkan konsep dan teori besar
Agustinus, sebagaimana para pemikir kristiani abad tentang “relasi” dan “persona” ketika berbicara
pertengahan lainnya, berada pada kondisi zaman tentang Tuhan dalam pemikiran kekristenan.
yang memperlakukan filsafat sebagai hamba teologi
(anchila theologiae) pada satu sisi. Sedangkan pada Aurelius Agustinus (354-430) lahir di Thagaste,
sisi yang lain, ada keyakinan tidak tertulis bahwa Afrika Utara (saat itu menjadi bagian dari kerajaan
seorang teolog yang baik pastilah juga merupakan Romawi). Agustinus dididik secara kristiani oleh
seorang filsuf yang baik. Pada abad pertengahan sang ibu, Monica. Namun, dalam “Confessiones”
juga terkenal dua ungkapan yang sangat lazim (397-430), Agustinus mengakui masa mudanya
dalam lintasan pemikiran kekristenan: “credo ut sebagai masa sebelum pertobatan. Agustinus
intelligam” (saya beriman supaya saya mengerti) pernah hidup bersama seorang pelacur pada masa
dan “fides quarens intellectum” (iman yang berusaha mudanya. Mereka memiliki seorang anak yang
memahami dirinya). diberi nama Adeodatus. Agustinus belajar retorika
dan kemudian dikenal luas sebagai seorang retor.
Keywords: Agustinus, metafisika, teologi, credo ut Agustinus tertarik pada aliran Manikeisme, yang
intelligam, fides quarens intellectum, kota tuhan. mengajarkan bahwa realitas terdiri dari dua prinsip
dasar: yang baik (cahaya, Allah) dan yang jahat
Pendahuluan (kegelapan, materi). Pada usia 28 tahun, Agustinus
pindah ke Roma dan belajar Neoplatonisme di sana.
Bersama Santo Agustinus, sesuatu yang paradoksal Setelah mengalami sakit keras, Agustinus pindah ke
“terjadi” dalam filsafat, dan juga teologi. Paradoks Milan. Di Milan, Agustinus bertemu dengan uskup
itu terjadi bukan pertama-tama karena sepintas agung Ambrosius yang merupakan seorang ahli
lalu sulit dipahami atau tidak mempunyai pidato. Ambrosius adalah seorang yang dengan
hubungan sama sekali, tetapi karena sesuatu yang tekun mempelajari platonisme. Bersama uskup
sebelumnya dan pada masa itu menjadi hal yang Ambrosius, Agustinus memasuki fase pencerahan
begitu saja diterima, kemudian dipersoalkan. Hal pribadi. Pada 387, Agustinus dibaptis di Milan.
itu menyangkut hubungan filsafat, dalam hal ini Agustinus memilih menjadi imam pada 390/391.
metafisika, dengan teologi. Tiga tahun sesudahnya, Agustinus menjadi uskup
Hippo. Selain sebagai pengkotbah ulung, Agustinus
Metafisika di sini dipahami sebagai salah satu adalah penulis yang sangat produktif. Dia menulis
cabang filsafat yang memfokuskan diri pada studi 232 buku, tidak termasuk kotbah-kotbah dan surat-
tentang yang-ada sebagai yang ada atau yang suratnya. Dua karyanya yang paling masyur dan
dalam perkataan lain dijelaskan sebagai apa yang original adalah “De Trinitate” (399-419) dan “De
berdasarkan kodratnya harus ada dan tidak dapat Civitate Dei” (413-426/27). “De Trinitate” adalah

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 23


karya yang berisi tentang pemikiran filosofis dan dipraktekkan ialah “filsafat Kristiani”, yang tidak
refleksi teologis tentang Allah Tritunggal, yang lain dari keutamaan-keutamaan kristiani seperti
dilengkapi dengan beragam analogi tentang Allah diuraikan dalam teologi.3
Tritunggal dalam hubungannya dengan manusia.
Karya ini tentu berbeda dengan “De Civitate Dei” Sampai di sini, kita bisa bertanya, apakah benar
yang berfokus pada apologia kekristenan dalam filsafat tidak otonom? Pada aras apa dan ranah
kerangka besar pemaknaan teologi sejarah. yang mana filsafat tidak relevan bagi keselamatan?
Proyek besar apa yang digagas dan dikembangkan
Makalah ini adalah sebuah ringkasan bebas atas Agustinus dalam kaitan dan tegangan antara
tulisan Prof Emmanuel Falque1. Di sana-sini, saya filsafat, dalam hal ini metafisika, dan teologi?
akan menambahkan beberapa penjelasan dari
berbagai bacaan yang berkaitan dengan tema Filsafat abad pertengahan memprioritaskan filsafat
tegangan antara metafisika dan teologi. Serta, kristiani. Itu kenyataan yang tak terbantahkan.
uraian pemikiran Agustinus tentang Trinitas.2 Agustinus adalah seorang filsuf sekaligus teolog
Pembicaraan tentang Ketuhanan dalam filsafat kristen yang sangat berpengaruh sampai hari
Agustinus tentu akan membawa kita pada ini. Pada pembicaraan tentang tegangan antara
konsepnya tentang Kota Tuhan (civitate Dei). Oleh metafisika dan teologi, Agustinus melakukan
karena itu, pembahasan tentang Kota Tuhan juga transformasi kategori. Kategori yang dimaksudkan
disertakan pada makalah ini. di sini adalah “penggolongan suatu pengertian
sebagai upaya untuk memahami segala sesuatu
Transformasi Kategori yang ‘ada’ berdasarkan konstruksi pemikiran logis
(Aristoteles)”
Mengikuti susunan kebenaran menurut tradisi
Platonis, Santo Agustinus mengajarkan bahwa Karya Agustinus “De Trinitate” dan “De Civitate
kebenaran ilahi (iman) mempunyai kedudukan Dei” (The City of God, Kota Tuhan) membuka dialog
dan nilai kesempurnaan yang lebih tinggi daripada dengan filsafat Yunani dan juga dengan metafisika.
kebenaran rasional dan kodrati. Manusia dapat Dalam “De Trinitate”, Agustinus menguraikan Allah
mengerti kebenaran ilahi, tetapi hal itu hanya Tritunggal dengan cara yang lebih transformatif
mungkin karena dikondisikan demikian oleh Sang dengan menggunakan sekaligus mengubah urutan
Pencipta. Manusia mempunyai dua lapisan intelek. kategori yang diajarkan oleh filsafat Yunani kuno,
Kebenaran ilahi hanya dapat ditangkap oleh ratio khususnya pengajaran tentang metafisika menurut
superior (rasio yang tinggi), sedangkan aplikasinya Aristoteles. Aristoteles mengajarkan sepuluh (10)
pada realitas material agar menghasilkan kategori yang terdiri dari substansi (substance,
pengertian kodrati dilakukan oleh ratio inferior (rasio ousia), kuantitas (quantity), kualitas (quality), relasi/
yang rendah). Pekerjaan ratio superior termasuk hubungan (relation, pros ti), tempat (place), waktu
wilayah iman dan teologi, sedangkan ratio inferior (time), posisi (position), kepemilikan/keberpunyaan
merupakan instrumen utama filsafat. Filsafat (possession), tindakan (action), dan semangat/minat
mengandaikan iman dan teologi yang objeknya (passion).
lebih tinggi dan sempurna. Di bawah filsafat masih
terdapat pengetahuan inderawi yang bersifat Substansi atau substantia dalam bahasa Latin
sensual belaka dan amat jauh dari lapisan iman dan mengandung arti bahan, hakikat, zat, isi. Substantia
teologi. Implikasi penting dari pandangan tersebut dari kata sub (di bawah) dan stare (berdiri atau
ialah, menurut Agustinus, pengetahuan filsafati berada). Kata substansia juga merupakan terjemahan
tidak relevan bagi keselamatan. Filsafat sebagai dari istilah Yunani hypostasis, dari hypo (di bawah)
sistem pemikiran rasional tidak dianggap sebagai dan hitasthai (berdiri).4 Substansi mengandung
ilmu yang otonom. Satu-satunya filsafat yang dapat arti: apa yang ada sedemikian rupa sehingga
tidak memerlukan sesuatu lainnya untuk berada.
Substansi yang dipikirkan seperti ini hanya ada
1 Falque, Emmanuel. Metaphysics and Theology in Ten- satu yakni Allah. Semua yang lain dapat dipikirkan
sebagai yang ada, karena adanya pertolongan Allah.
sion (Augustine), dalam “God, The Flesh, and Other
(From Irenaeus to Duns Scotus)” (translated from
French by William Christian Hackett), Evanston,
Illinois: Northwestern University Press.
3 Ohoitimur, Johanis (2006). Metafisika Sebagai Her-
2 Clark, Mark T (2001). De Trinitate. dalam Stump, meneutika. Jakarta: Penerbit Obor, hlm. 35-36.
E & Kretzmann, N, “The Cambrigde Companion
to Augustine”. New York: Cambridge University 4 Bagus, Lorens (2000). Kamus Filsafat. Jakarta:
Press, hlm. 91-102 Gramedia, hlm. 1050

24 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Spekulasi abad pertengahan tentang hakikat diambil secara bersamaan. Ketiga, pengaturan dua
substansi berkisar seputar pembedaan antara hal atau lebih.
“substansi” dan “aksiden”. Aksiden berasal dari
kata bahasa Latin “accidens” yang berarti sesuatu Menurut Agustinus, Allah Tritunggal pertama-
yang jatuh pada yang lain. Kata “accidens” berasal tama bukan merupakan adanya tiga (3) substansi
dari dua kata bahasa Latin: ad (pada) dan cadere berbeda. Allah Tritunggal adalah relasi tiga
(jatuh). Aksiden dipahami sebagai sesuatu yang pribadi (persona-ae). Sampai pada titik ini, kita
ditambahkan pada substansi. Fungsinya sebagai perlu melontarkan pertanyaan, mengapa Allah
determinasi lebih lanjut pada substansi. Misalnya: Tritunggal harus bersifat relasional?
manusia yang memiliki rambut yang putih. Ciri
aksiden adalah selalu menjadi sesuatu yang tidak Arti Ketegangan Metafisika dan Teologi
hakiki, sementara, dan tidak melekat. Menurut Agustinus

Jika dengan “aksiden” dimaksudkan apa yang Hipotesa tentang “tatanan yang terpisah”
inheren dalam sesuatu yang lain, yang dengan melalui pemahaman tentang tiga substansi Allah
landasan esensinya dalam sesuatu yang lain, maka Tritunggal sebagaimana yang diungkapkan
substansi dimaksudkan subjek aksiden-aksiden metafisika tampak semakin tidak berdaya.
yang memuat landasan atau esensinya sendiri. Agustinus terkesan mengabaikan kategori-kategori
Faktor ketakbergantungan pada yang lain dalam metafisik di mana teologi telah diartikulasikan
arti yang kuat dengan demikian jadi ditekankan sejak awal. Kecurigaan dogma pada kenyataannya
sebagai salah satu dari ciri khas substansi. adalah ketidakpercayaan terhadap metafisika dan
kategorinya (Kung). Karena, itu bukan tindakan
Sebagaimana dalam Aristoteles, substansi pertama dogmatis saja, tetapi juga filsafat.
(substantia prima), subjek predikasi individual,
dipandang sebagai arti pertama dalam istilah Prinsip keperluan “hellenisasi iman sebagai
itu. Arti kedua adalah substansi kedua (substantia lawan de-hellenisasi isi iman” (Grillmeier) tidak
secunda), yang analisisnya berpusat pada paham menunjukkan kepatuhan mutlak terhadap dogma
esensi atau hakikat atau keapaan dari substansi tanpa refleksi, tetapi mencoba sebaliknya untuk
pertama. Substansi pertama lalu ditandai eksistensi mengakui kebenaran metafisika di sana (substansi/
maupun esensi, dan substansi kedua hanya oleh aksiden). Secara kreatif, Agustinus berusaha
esensi. Dengan demikian substansi pertamalah mengartikulasikan kategori-kategori teologi
yang kemudian dipandang sebagai eksistensi yang (Tritunggal) hingga pada gilirannya menjadi milik
ditambahkan pada esensi.5 sah teologi. Ini berarti, kita tidak perlu terlalu cepat
untuk menuduh Agustinus menolak sepenuhnya
Sementara itu, harus dikatakan juga, hal yang metafisika dan filsafat, juga tentang proses
khusus dalam substansi bukanlah relasinya helenisasi dan penerjemahan bahasa teologi ke
yang khusus dengan aksiden-aksiden, tetapi dalam metafisika Yunani.
kemandiriannya, tidak bergantung pada yang
lain (subsistensi). Substansi mempunyai arti dan Ketegangan metafisika dan teologi pertama-tama
nilainya sendiri tanpa tergantung pada yang lain. lebih merupakan cara Agustinus untuk menjaga
Aksiden tergantung pada substansi. Substansi martabat teologi dan mengantisipasi kegagalan yang
dapat didefinisikan tanpa perlu mengacu pada bisa saja terjadi. Sikap Agustinus beralasan, karena
yang lain. Tetapi substansi sebagai fakta, menerima terlalu menyederhanakan persoalan-persoalan
eksistensinya dari yang lain melalui suatu sebab teologis yang kompleks adalah sikap yang tidak
(sebab efisien). bijak. Agustinus menekankan bahwa tidak perlu
terburu-buru menyelesaikan ketegangan antara
Dalam konteks teologi, lebih khusus lagi dalam metafisika dan teologi karena percaya terlalu cepat
pembahasan tentang Allah Tritunggal, Agustinus pada beberapa resolusi lain.
melihat bahwa kategori relasi (relatio) menjadi
yang pertama menggantikan posisi substansi. Ini bukan pilihan antara keberadaan metafisika,
Relasi (relatio) dipahami dalam tiga (3) pengertian. di satu sisi (tanpa itu, seperti yang dipahami
Pertama, kaitan yang dimiliki suatu benda, atau Agustinus, adalah suatu kemustahilan) dan
referensi yang dibuat oleh suatu ide, dengan benda- transkripsi sederhana ke dalam teologi di sisi
benda lain atau ide-ide lain. Kedua, kualitas yang lain (aporia ganda “tritheisme of substansi” dan
dapat menjadi predikat dari dua hal atau lebih yang “mutabilitas aksiden”).

Relasi, dalam pemikiran Agustinus tentang Allah


5 Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, hlm.1052 Tritunggal, menjadi kategori pertama menggantikan

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 25


substansi, tetapi tidak serta merta begitu saja. Metafisika dalam Teologi
Gerakan itu tentu saja membuat terobosan pertama
dalam metafisika dan secara efektif mencari tatanan “De Trinitate” karya Agustinus terbit untuk menjawab
baru (lihat buku V De Trinitate). posisinya dalam pertentangan dengan Arianisme
dan dualisme dalam filsafat Yunani. Agustinus
Agustinus memberikan catatan penting bahwa mengatakan bahwa Allah dalam kekristenan tidak
substansi tetap menjadi pendukung dari relasi bisa dipahami sebagaimana pada Yunani kuno.
itu sendiri (buku VII). Apa yang dibaca di sini Agustinus memahami kebaruan pemahaman tentang
sebagai kegagalan dalam kenyataan menunjukkan Satu Tuhan yang Esa serentak Tritunggal. Allah
jalan menuju kesuksesan yang lebih besar. Bukan Trinitas yang diterjemahkan sebagai substansi efektif
dalam arti bahwa Agustinus menemukan cara untuk skema tritesime, tetapi tidak berterima untuk
untuk menyelesaikan ketegangan, tetapi bahwa ia iman Kristiani. Iman Kristiani mengajarkan Satu
membawanya ke terang pemikiran baru. Allah tiga (3) pribadi (Bapa, Putera dan Roh Kudus).
Agustinus menjalankan transformasi internal dari
“Teologi tidak pernah lebih filosofis seperti ketika ia yang lebih lama (metafisika) dan kemudian bergerak
memaksakan kewajiban untuk melewati filsafat, terlebih ke formulasi yang total baru (teologi wahyu). Bagi
lagi ketika ia berhasrat untuk melampauinya. Demikian Agustinus, tidak ada signifikansi aksiden dalam
juga, filsafat tidak pernah lebih terjerat oleh teologi seperti Tuhan (nihil in eo secundum accidens dicitur), karena
ketika ia mengangkat dirinya ke tingkat kebutuhan, tentangNya tidak ada perubahan (quia nihil ei accidit).
meskipun untuk diubah. Ketegangan antara metafisika
dan teologi ditemukan tepat di dalam konfrontasi Lalu, bagaimana dengan pertanyaan tentang 3? “Tiga
antarkeduanya.” apa?” Itu bukan pertanyaan tentang substansi, tidak
juga tentang aksiden. Ini memungkinkan penarikan
Ada ambiguitas yang harus diakui. Kita tentu tidak teologi dari sisa-sisa metafisika, tanpa perlu secara
bisa dengan mudah menyelesaikan tegangan antara mutlak menegasikan kegunaannya. Dengan keluar
metafisika dan teologi. Ada banyak percobaan dari tegangan ini (antara metafisika dan teologi)
kontemporer yang berniat untuk menemukan sebuah cara baru untuk melihat dan berpikir tentang
kembali secara komplit skema-skema teologis dari Tuhan lahir, atau dilahirkan kembali, sekarang
basis historis dan dogmatisnya, misalnya tentang dalam konteks teologi trinitas kristiani: yang
Trinitas dan inkarnasi. Semacam dehelenisasi disebut “relasi” dan “pribadi”. Relasi secara literer
dogma, yang kadang dilakukan dengan cara yang berarti “gerakan menuju sesuatu” (movement toward
tidak indah (H Kung). something) (ad aliquid), misalnya Bapa kepada Putera
(sicut Pater ad Filium) dan Putera kepada Bapa (et
Percobaan ini berkaitan erat dengan “kemiskinan Filius ad Patrem). Dalam konteks ini, relasi petama-
bahasa” dan “kemiskinan sejarah”. Bahasa selalu tama dilukiskan sebagai hubungan yang diperlukan.
terbatas untuk melukiskan yang tidak terbatas. Sementara itu, persona (pribadi) melukiskan Tuhan
Ingatan kolektif manusia dalam sejarah juga sebagai pribadi yang akrab.
dilakukan dengan cara yang tidak selalu menyeluruh.
Akan tetapi, hal itu tidak menghambat peluang Menurut Agustinus, relasi yang dipahami dalam
untuk berbicara tentang “kebenaran Kristianitas”. konteks pembicaraan di sini selalu dalam modus
Sebaliknya, keterbatasan itu adalah peluang untuk menjadi (becoming, to become). Itu artinya relasi
berbicara tentang kebenaran Tuhan dalam bahasa pertama-tama bukan dalam arti dan modus
dan sejarah kita sendiri. Kategori-kategori teologis memiliki (having, to have), tetapi merupakan proses
tidak untuk melampaui konsep-konsep metafisika dan modus menjadi. Dalam filsafat, kedua modus
dalam arti menyangkal atau meniadakannya. ini dibedakan secara tegas. Relasi yang dipahami
Singkatnya, Tuhan masuk “dalam filsafat” hanya dalam modus menjadi adalah relasi yang terus
saat dia masuk juga dalam saat yang sama ke “dalam meneruskan perlu direfleksikan dan dibarui
teologi”. Anggur baru dalam kirbat yang baru. dalam dialog antara iman dan tradisi, dogma dan
pengalaman religius. Setelah memahami Allah
Dalam “De veritate” V, Allah sebagai “relasi”, masih sebagai pribadi, Agustinus melanjutkan refleksinya
dalam hubungan dengan substansi (VII). Sekali tentang Allah dalam Kota Tuhan.
lagi, bukan untuk melawan metafisika, tetapi untuk
memperkokoh dasar pemikiran dan setia untuk Sejarah sebagai proses ziarah menuju kota
‘mendengarkan’ dan ‘mencari’ dan bukan sekadar Allah (teologi sejarah menurut Agustinus)
menemukan. Allah tritunggal pertama-tama adalah
relasi. Hal itu hanya bisa dipahami kalau kita Civitas Dei adalah sebuah metafora untuk
membukakan pintu penemuan: jalan iman dalam menggambarkan kota, tempat, seluruh perregrinatio
pencarian pemahaman. (peziarah) terarah. Karena itu sejarah hanyalah

26 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


sebuah sejarah menuju civitas Dei dan manusia hingga pada tahun 426. Tulisan ini diinspirasi
adalah peziarah yang bergerak menuju Civitas Dei, secara sangat kuat oleh hancurnya kota Roma pada
kota Allah. Dalam peziarahan itu, manusia diminta tahun 410 akibat serangan raja Alarich dari bangsa
untuk menjawabi undangan keselamatan dari Gote. Kehancuran ini oleh sebagian orang dilihat
Allah dengan cara memiliki kehendak yang terarah sebagai kemarahan para dewa Roma karena kota
kepada Allah melalui pilihan-pilihan sikapnya ini menerima agama Kristen. Karena itu agama
dalam kehidupannya setiap hari. Hal ini diperlukan Kristen harus dilarang dan dihancurkan supaya
oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan dan orang-orang Roma dapat kembali ke situasi semula
perdamaian dalam hidup. “Secara amat tajam yang aman, damai dan makmur.
Agustinus menekankan bahwa kehidupan yang
aman dan damai bukan merupakan buah kerja Agustinus bangkit dengan satu ide lain yang
keras manusia sendiri. Semua itu adalah pemberian mengatakan bahwa kota Roma jatuh karena
rahmat Allah”.6 Dalam kondisi terahmati kehendak berkembangnya mental ingat diri dan karena
akan selalu terarah kepada Allah. kejatuhan moral para warganya sendiri. Agustinus
menggunakn kenyataan historis ini untuk
Melalui kejatuhan Adam, karena penyalahgunaan merefleksikan persoalan keterlibatan Allah dalam
kehendak, ciptaan telah mengkhianati dirinya sejarah.
sendiri dan mendatangkan secara niscaya kematian
bagi semua. Kematian ini dapat dipatahkan oleh Kota Allah dan Kota Dunia
karya penebusan Kristus, melalui Kristus Allah
mendapat alasan untuk menentukan sebagian Menurut Agustinus, manusia, dalam ziarahnya di
manusia untuk ditebuskan dan sebagian lainnya dunia, dapat digolongkan dalam dua kelompok
dibiarkan mengalami akibat dosanya sendiri. besar8: pertama, mereka yang mengasihi Allah dan
Pembagian manusia akan menjadi nyata kepada mengsubordinasikan keinginan mereka, dan yang
semua orang pada akhir zaman. Akhir zaman kedua, mereka yang mencintai dan meninggikan
adalah kondisi, dimana Civitas Dei, Kota Allah akan diri sendiri melebihi Allah. Dengan adanya dua
menjadi satu-satunya kekuasaan yang menentukan. pengelompokan manusia ini Agustinus selanjutnya
Kota Allah ini dibentuk oleh mereka yang ditebus memaparkan bahwa konsekuensinya akan ada juga
karena kasih dan hadiah dari Kristus. Selama di dua macam kota yaitu Civitas Terrena, Kota Dunia
dunia yang berkuasa adalah kota Dunia. Agustinus (~Babilon) dan Civitas Dei, Kota Allah (~Yerusalem),
menekankan bahwa dalam ziarah menuju kota yang selalu ada bersama sampai akhir zaman.
Allah ada satu tuntutan penting yaitu cinta kasih Yerusalem, sebagaimana dalam City Of God, adalah
(Charitas), yang selalu berarti kehendak yang kerajaan Allah yang diwartakan oleh Yesus Kristus.
terarah kepada Allah sendiri. Manusia diminta Yerusalem yang dimaksudkan Agustinus tidak bisa
untuk mempunyai tatanan cinta (ordo amoris) yang diidentikkan dengan institusi apapun yang ada di
harmonis. Kalau cinta yang benar harus selalu dunia ini. Gereja bisa menyerupai kota Allah, tetapi
bermuara pada Allah, maka kesadaran mesti tidak sama. Begitu juga halnya dengan kota Babilon
mempengaruhi pula manusia dalam menentukan yang dimaksudkan oleh Agustinus tidak bisa
sikapnya terhadap segala sesuatu yang ada di diidentikan dengan institusi manusiawi tertentu.
dalam dunia. Agustinus menekankan pentingnya
kehendak dalam rangka ziarah menuju kota Allah. Lebih jauh, Agustinus mengatakan bahwa
karena manusia adalah kumpulan orang-orang
Buku De Civitate Dei (Tentang Kota Allah), yang yang berbudi dan dipersatukan oleh tujuan
menguraikan ‘filsafatnya tentang sejarah’7 menjadi yang sama tentang objek kasih mereka, maka
sumber utama tulisan ini, dapat dipandang sebagai untuk menemukan karakternya, manusia harus
buku utamanya. Buku ini ditulis dari tahun 413 mengobservasi apa yang mereka cintai, tetapi apa
pun yang dicintai hanya orang-orang yang berbudi
yang bisa mencintai. Karena itu untuk membedakan
manusia adalah arah pernyataan cinta mereka:
6 Kleden, Budi (2002). Filsafat Abad Pertengah- mencintai Allah atau lebih mencintai diri sendiri?
an(manuskripts). Maumere: STFK Ledalero, hlm.
39.

7 Russell, Bertrand (2007). Sejarah Filsafat Barat. Kai-


tannya Dengan Kendisi Sosio-Polotik Zaman Kuno Hing-
ga Sekarang. (Penterj. Sigit Jatmiko, Et. Al. Yogyakar- 8 Bettenson, Henry (1972). Augustine, City Of God.
ta: Pustaka Pelajar, hlm. 473. Bdkn. Rapar, J.H,
Ed. Knowles, David. Harmondsworth, Middlesex:
(1989). Filsafat Politik Augustinus. Jakarta: Rajawali
Penguin Books.
Pers, hlm. 51.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 27


Dalam pendirian pemikirannya, Agustinus Pencarian kebahagiaan adalah tujuan dari ziarah
berpendapat bahwa orang yang tidak taat kepada hidup setiap manusia di dunia. Pengejaran
Allah adalah orang yang tidak adil. Hanya dalam kebahagiaan ini bukan hanya sekadar sebuah
Kota Allah keadilan sesungguhnya bisa ditemukan ungkapan retoris belaka. Sudah sejak peradaban
dan dinikmati. Sementara itu, orang-orang yang filosofis Yunani kuno, para pemikir telah menaruh
lebih mementingkan diri sendiri tidak akan minat terhadap kebahagiaan sebagai tujuan pikiran
merasakan keadilan dan perdamaian, karena kota dan tindakan moral manusia. Kebahagiaan menjadi
dunia ditandai oleh berbagai masalah. Masalah tujuan ziarah hidup manusia.19 Bagaimana dengan
pertama yang akan muncul adalah konflik9, karena Augustinus? Sang filsuf setuju bahwa tujuan
dalam negara ini semua orang mementingkan hidup adalah pencapaian kebahagiaan, tetapi
dirinya sendiri. Keadaan mementingkan diri ini pada Agustinus terdapat warna baru yang sangat
tentu saja berdampak kepada kehendak untuk mendasar tentang kepenuhan sejarah, ziarah, yaitu
menguasai segala-galanya, rakus kuasa10. Untuk Transendensi. Sebagai seorang pemikir Kristen,
mencapai kuasa itu orang-orang tidak akan berpikir Agustinus berpendapat bahwa manusia menggapai
panjang untuk berperang11. Situasi sebagaimana identitas mutlaknya lebih-lebih bila ia berhadapan
yang dilukiskan di atas pasti melahirkan dengan Penciptanya, Allah, yang sebagai sumber
ketidakadilan dalam pengadilan12, karena orang- kebahagiaan.
orang akan berlomba memenangkan dirinya. Jadi,
siapa kuat dia menang. Hal ini tentu saja bersumber Allah yang diimani sang filsuf adalah Allah
pada ketidakpatuhan13 dan keangkuhan14. yang personal, yang menyapa manusia, yang
menyelenggarakan hidupnya, yang ’tercebur’
Karena mengsubordinasi kehendak Allah dalam sejarah manusia. Allah ada dalam diri
yang benar maka kota ini akan ditandai oleh manusia. Manusia adalah citra Allah. Jadi, kalau
penyembahan dewa-dewi yang tak berguna15. ada Allah dan Allah menyapa manusia ciptaanNya,
Hal ini tentu saja juga melahirkan kejahatan dan maka kebahagiaan manusia hanya dapat dicapai
kekejaman16 dan perbudakan17. dalam Allah.

Civitas Dei : ”Kebahagian yang Dikehendaki”18 Baik secara subjektif maupun secara objektif,
Allah adalah kebahagiaan manusia. Allah adalah
9 Augustine, City Of God, XV.4, hlm. 599-600. nilai tertinggi20. Hanya dalam Allah ada kesatuan
(unum), kebenaran (verum), dan kebaikan (bonum)
10 Augustine, City Of God, XV.5, hlm. 600-601. yang penuh. Allah, bagaimanapun, adalah prinsip
terakhir segala nilai moral. Allah menjadi pusat
11 Bdk. Augustine, City Of God, XIX 12, hlm.866-870.. pertama (Alfa) dan Tujuan akhir (Omega). Sebagai
citra Allah, manusia senantiasa sudah dan selalu
12 “The mistakes of human judgment, when the mengarah pada Allah. Manusia secara batiniah
truth is hidden” Ibid XIX 6, hlm.859-861. senantiasa sudah tertarik kepada Allah. Ada
kekaguman (thaumasein) maha dahsyat terhadap
13 “The disobedience of the first man would have figur Allah. Hal ini juga berarti manusia tertarik
involved all mankind in the second, everlasting, kepada yang baik.
death, had not God’s grace rescued many”. Au-
gustine, City Of God, XIV 1, hlm. 547 Tujuan hidup manusia adalah persatuan
dengan Allah sebagai penciptanya. Manusia
14 Augustine, City Of God XIV 14 , hlm.574. sebagai citra Allah Tritunggal tentu saja selalu
mendambakan persatuan dengan sumber citranya.
15 Augustine, City Of God I 3 , hlm. 8-9. Itulah kebahagiaan. Agustinus mendefinisikan
kebahagiaan sebagai Ketentraman. Manusia selalu
16 Augustine, City Of God I 7, hlm. 12-13. merindukan ketentraman. Begitu juga dengan

17 “Man’s natural freedom; and the slavery caused by


sin”. Augustine, City Of God, XIX 15, hlm. 874-875.
19 “Anyone who joins me in an examination, howev-
18 Lihat Augustine, City Of God, XIX 10-13, hlm. er slight, of human affairs, and the human nature
864-872. Bdk. Magnis-Suseno, Franz (1997). 13 we all share, recognizes that just as there is no man
Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius,), hlm. 65-80, who does not wish for joy, so there is no man who
Magnis-Suseno, Franz (1998). 13 Model Pendekat- does not wish for peace” Augustine, City Of God,
an Etika (Yogyakarta: Kanisius), hlm. 75-85, dan XIX 12, hlm. 866.
Magnis-Suseno, Franz (2003). Etika Politik (Jakar-
ta: Gramedia), hlm. 191-195. 20 Augustine, City Of God., V 1, hlm. 179-181.

28 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


perampok dan penjahat. Pada awalnya, karena Allah sang Pencipta. Allah menghendaki agar
suara hati yang kurang terarah baik, mereka sikap manusia yang diambil terhadap apa yang
beraksi sesuai ’profesi’ dengan maksud mencari diciptakan sesuai dengan kehendakNya. Manusia
kebahagiaan. Setelah suara hati bekerja baik diminta untuk selalu mendengarkan, menjalankan,
menyadari kekeliruan, mereka mendapati diri dan mewartakan pengalaman cinta yang telah
bersalah dan timbullah rasa menyesal dalam hati. manusia dapat dalam pengalaman kebersamaan
secara rohaniah dengan Allah, agar suatu saat
Satu peringatan penting dari Augustinus: jaringan tatanan cinta itu bisa menyelimuti semua.
Ketentraman yang sempurna tidak dapat dicapai di
dunia ini, melainkan hanya dalam persatuan dengan Karena Allah adalah prinsip terakhir segala yang
Allah. Namun, melalui hidup yang bermoral, baik dan karena manusia tertarik secara kodrati
manusia dalam hidup ini pun dalam arti tertentu kepada Allah, manusia juga tertarik dalam diri
sudah dapat menikmati kebahagiaan, yaitu melalui sendiri untuk menaati hukum Allah dalam ciptaan.
keutamaan. Keutamaan membuat manusia mampu Hukum Moral, yaitu hukum abadi Ilahi, tertera
menggunakan hal-hal yang baik secara tepat, dan dalam hati manusia. Menaati hukum moral adalah
juga mampu memakai pengalaman-pengalaman dorongan hati sendiri karena sama artinya dengan
yang berat atau buruk, seperti pelepasan pada apa menanggapi nilai yang ada di dalammya dengan
yang dicintai atau penderitaan, untuk memurnikan semestinya. Manusia dengan sendirinya tertarik
diri dan lebih mampu menuju ke tujuan abadi. kepada yang baik. Ada suatu dinamika batin yang
menarik manusia untuk bertindak sesuai dengan
Kehendak Adalah Cinta nilai-nilai dan norma-norma moral.

Agustinus, mengembangkan Plato, mengetahui Manusia sebagai citra Allah mempunyai dalam
bahwa pikiran manusia tidak dapat sampai kepada hatinya sebuah dorongan kepada kebaikan. Itulah
Allah. Manusia hanya dapat mencapai Allah yang kita sebut sebagai hati nurani yang tidak
dengan dorongan hati, yang disebut Kehendak. pernah salah. Dalam kedalaman hati nurani masing-
Kehendak itu adalah Cinta. Di dunia ini, manusia masing, manusia sebenarnya dipanggil untuk selalu
belum atau tidak dapat melihat Allah, tetapi terarah kepada kebaikan yang tertinggi, yaitu Allah
manusia sudah dapat mencintaiNya. Lebih jauh, sendiri.
dalam hemat Augustinus, segala dorongan hati
yang sering kemana-mana adalah sebenarnya Keutamaan dan Rahmat
merupakan gerakan ke arah Allah, tanpa manusia
sadari. Allah berada di lubuk hati manusia. Segala Dari kodratnya, manusia dilahirkan menjadi
kerinduan, kegelisahan, dan hasrat hati sebenarnya pribadi yang bebas. Kebebasan itu terlahir dari dan
hanya mengungkapkan fakta yang paling karena kemurahan Allah. Karena Allah, manusia
mendasar: bahwa hati manusia tertarik oleh Nilai menjadi pribadi yang bebas untuk menentukan
tertinggi, yaitu Allah. ”Engkau menciptakan kami hidupnya sendiri. Manusia mempunyai kehendak
bagi Engkau, ya Allah, dan hati kami resah sampai yang bebas. Manusia dapat memilih antara yang
beristirahat dalam diriMu” baik dan yang buruk. Yang menentukan kualitas
moral seseorang adalah kehendak atau cinta, bukan
Konsekuensinya bahwa seorang manusia tindakan lahiriah atau hasil lahiriah tindakannya.
sebenarnya tidak bisa mengelak dari kuasa Allah. Jadi, hatilah yang menentukan.
Hanya karena Allah Mahabaik maka kepada
manusia diberikan kebebasan, pengetahuan, dan Kehendak di sini mesti dilihat sebagai keterarahan
kehendak bebas untuk mengatur hidupnya dan batin yang lebih mendalam. Semakin hati dalam
menentukan pilihan-pilihannya. Jadi, kehendak cinta terarah kepada Allah, semakin mencerminkan
bebas manusia hanya mungkin karena diberi oleh keterarahan hati itu. Karena itu, Augustinus
Allah. Karena Allah adalah Kasih, maka kehendak berkata: ”Cintailah, dan lakukanlah apa saja yang
itu sendiri sebenarnya adalah cinta juga. Kasih kau kehendaki!”
yang harus bertindak. Kasih yang harus terekspresi
dalam tindakan. Walaupun selalu terarah kepada Allah, kehendak
manusia dari dalam dirinya diperlemah oleh daya
Untuk menerjemahkan cinta kepada Allah ke tarik nafsu-nafsu rendah (Concupiscentia).21 Untuk
dalam hidup sehari-hari, menurut Agustinus,
manusia harus memperhatikan tatanan cinta (ordo 21 “However, not even the saints and the faithful
amoris). Tolok ukur cinta adalah tatanan realitas di worshippers of the one true and supreme God
dunia dan alam baka. Sikap yang benar kalau sesuai enjoy exemption from deceptions of the demons
dengan nilai masing-masing unsur dalam tatanan and from their multifarious temptations” Augus-
cinta itu. Seluruh realitas mencerminkan kehendak tine, City Of God, XIX 10, hlm.864

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 29


mengalahkan nafsu-nafsu rendahan ini, Agustinus, ketegangan antara metafisika (filsafat) dan teologi
sebagaimana Neo-Platonisme, mengajarkan tentang bukan pertama-tama menjadi upaya untuk saling
khatarsis, pembersihan diri, yang mendahului usaha menegasi, tetapi agar bisa saling menjaga. Proyek
untuk menyatu dengan yang Ilahi. Manusia selalu besar Agustinus untuk mengganti kategori “relasi”
mempunyai kemampuan untuk menjadi akrab sebagai kategori pertama sangat bermanfaat untuk
dengan Allah. Hal yang paling utama yang dituntut pengembangan dan penerapan teologi. Jika Allah
dari manusia adalah sikap batin dan kehendak Tritunggal dipahami sebagai tiga (3) substansi,
untuk selalu mau membersihkan diri di hadapan maka bukan hanya melawan ajaran, tetapi juga
Tuhan. menjadi tidak akrab untuk umat kristen.

Berhadapan dengan nafsu-nafsu rendahan yang Sementara itu, kategori “relasi” dan Allah
selalu menggangu, Agustinus menyatakan Tritunggal yang relasional serta Allah sebagai
bahwa kehendak sudah terlalu lemah untuk pribadi memungkinkan relasi interpersonal yang
dipertahankan. Kita hanya dapat diselamatkan baik dengan manusia sebagai umat-Nya. Semua
oleh rahmat atau belas kasihan Allah. Allah yang pembahasan tentang Tuhan secara filosofis bisa
berinisiatif dan manusia disapa dan diminta sangat kuat dalam tataran akal budi, tetapi tidak
jawabannya. Sementara itu, keutamaan dalam operasional untuk kebutuhan iman dan keselamatan.
paham Augustinus adalah kemantapan kehendak Akan tetapi, teologi hadir untuk memperkenalkan
dalam sikap-sikap baik. Jadi kebebasan kehendak Tuhan sebagai yang akbar dan akrab.
dari keterikatan pada concupiscentia. Orang yang
memiliki keutamaan-keutamaan moral tidak Saya mengutip kesimpulan yang baik dari Prof
lagi mengikuti nafsu-nafsu rendahnya. Jadi jelas, Magnis Suseno tentang hal ini: Allah yang diyakini
keutaamaan hanya bisa berkembang karena rahmat Agustinus bukan sebuah prinsip abstrak atau
Allah. semacam daya kosmik, melainkan Allah yang
personal dalam arti Allah yang menyapa manusia,
yang mengarahkan kehidupannya, yang turut
Penutup campur dalam sejarah manusia (melalui para nabi,
melalui wahyu yang semuanya peristiwa historis,
Esai Prof Falque berakhir dengan frasa yang bukan mitos).22
menarik: Pikiran diradikalisasi ketika berusaha
mengatakan sesuatu yang baru. Harga yang harus Kedua, Agustinus sekaligus filsuf dan teolog. Ia mencari
dibayar tentu saja berupa kecenderungan untuk sintesis antara rasionalitas Yunani dan iman Kristiani.
menolak segala sesuatu yang lain. Fenomenologi Meskipun iman Kristiani dan refleksi filosofis menyatu
dan filsafat abad pertengahan diperlukan untuk tak terpisahkan dalam Agustinus, apa yang ditulisnya
membantu kita memeriksa tradisi dan berdialog bukan hanya penting bagi teologi Kristiani, melainkan
dengan modernitas kita sini-kini. juga sumbangan besar kepada pemikiran murni
filosofis, melampaui umat seimannya.
Setelah upaya keluar dari metafisika serumit yang
dilakukan (Agustinus), Tuhan dalam Kekristenan Ketiga, pembahasan tentang tegangan antara
terungkap sekarang sebagai “fenomena” dalam metafisika dan teologi dalam penjelasan mengenai
makna ganda dari istilah itu: fenomenologis, Allah Tritunggal seperti yang sudah dibahas di sini
pada satu sisi, dan dalam arti sehari-hari di sisi adalah pintu masuk yang baik kepada gambaran
lain (Erigena). Allah dalam Kekristenan adalah Allah yang lebih bisa dipahami dan diimani.
“fenomena Tuhan” dalam arti bahwa, secara Agustinus sendiri melanjutkan proyek ini dalam
fenomenologis, ia “muncul (appariut)” dan “nyata pembahasannya tentang Kota Tuhan (De Civitate
(phaino)” menurut korespondens teofani pada Dei) yang mencoba menggambarkan teologi sejarah
Erigena (Periphyseon) dan definisi fenomenologi dengan kehendak dan cinta antara Allah dan
dalam Martin Heidegger (Sein und Zeit). manusia sebagai suatu syarat keselamatan.

Allah orang-orang Kristen juga merupakan Akhirnya, dengan keterbukaan dan kerendahan hati
“fenomena” dalam pengertian istilah saat ini. Kita sebagai syarat untuk belajar, kita juga bisa bersama
dibuat terpesona pada kerendahan hati dalam Agustinus berseru, “Fecisti nos ad te, et inquietum
misteri Allah yang berinkarnasi. Kerendahan hati est cor nostrum donec requiescar in te” (Engkau telah
itu jugalah yang mengajarkan kita untuk selalu menciptakan kami bagi-Mu. Dan hati kami tidaklah
terbuka pada misteri. tenang sampai ia beristirahat dalam Dikau).

Setelah membahas hingga pada titik ini, penulis
22 Magnis-Suseno, Franz (1996). 13 Tokoh Etika.
perlu membuat beberapa catatan penting. Pertama,
Yog­yakarta: Kanisius, hlm.67.

30 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Daftar Pustaka Evanston, Illinois: Northwestern
University Press.
Augustine. City Of God (a new translation by
Henry Bettenson and edited with Kleden, Paulus Budi. Filsafat Abad Pertengahan (ms).
an introduction by David Knowles) Maumere: STFK Ledalero,2002.
Harmondsworth, Middlesex: Penguin
Books, 1972. Magnis-Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika . Yogyakarta:
Kanisius, 1997.
Augustinus, Pengakuan-Pengakuan (terj. Winarsih
Arifin dan Th van den End) ....................., 13 Model Pendekatan Etika . Yogyakarta:
.Yogyakarta: Kanisius, 1997. Kanisius, 1998.

....................., Etika Politik . Jakarta: Gramedia, 2003


Bagus, Laurens Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia,
2000. Ohoitimur, Johanis. Metafisika Sebagai Hermeneutika.
Jakarta: Penerbit Obor, 2006
Clark, Mark T. De Trinitate dalam Stump, E &
Kretzmann, N, “The Cambrigde Pesckhe, Karl-Heinze Etika Kristiani jilid I (terj. Alex
Companion to Augustine”, New York: Armanjaya, Yosef Maria Florisan,
Cambridge University Press, 2001 dan George Kirchberger) . Maumere :
Penerbit Ledalero, 2003.
Collins, Gerald O’ dan Edward G Farrugis, Kamus
Teologi ( terj. I Suharyo) Yogayakarta: Rapar, J H . Filsafat Politik Augustinus. Jakarta:
Kanisius, 1996 Rajawali Press, 1988.

Falque, Emmanuel. Metaphysics and Theology in


Tension (Augustine), dalam “God,
The Flesh, and Other (From Irenaeus
to Duns Scotus)” (translated from
French by William Christian Hackett),

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 31


Digital Art
Anna Sungkar
anna_sungkar@yahoo.com
Institut Seni Indonesia Surakarta

Abstrak Pendahuluan

Kunci sukses dalam berkesenian di era mile­ Aku ingin membuat donat di kanvas.
nial adalah bagaimana kita dapat beradapta­ Bagaimana caranya? Ambil kanvas, cat mi­
si dalam teknologi digital yang berbasiskan nyak, linseed oil, dan kuas tentunya. Ah itu
komputer dan internet. Dengan bantuan tek­ perbuatan kuno! Zaman sekarang kanvas ada
nologi, kita dapat menghasilkan karya-karya di layar laptopmu dan mouse menjadi kuas­
kreatif yang melebihi kemampuan manual mu. Hidupkan program aplikasi Cinema 4D,
manusia. Tulisan ini memberikan gambaran maka akan muncul layar digital dengan garis
tentang sejarah perkembangan karya-karya kotak-kotak mengikuti perspektif tiga dimen­
digital dan kiat sukses para senimannya da­ si. Di tengahnya ada kubus yang bisa dige­rak-
lam menancapkan tonggak pada milestone seni gerakan dengan men-drag sesuka hati.
rupa digital. Hal itu dapat menjadi bahan pe­
lajaran bagi yang berkecimpung dalam seni Tinggal dipilih kubus itu mau kita apakan, di­
rupa di masa kini. Pada bagian akhir, penu­ geser-geser (control G), diputar (control R) atau
lis mencoba memberikan formula bagaima­ diperbesar (control S). Sekarang cari pilihan
na sikap dalam mengantisipasi dunia digital yang cocok pada menu di tepi kanan, nah pi­
yang sudah tiba di hadapan kita. lih yang oval dan buat versi tiga dimensinya,
akan ada struktur donat di hadapan kita. Mari
Keywords: Digital, Artificial Intelligence, atur lagi donat, beri warna dan macam-ma­
Cloud, Neural Network, Cinema 4D, CGI, In­ cam variasi. Tinggal seberapa jauh berlatih,
dustri 4.0, Global Village. hal itu akan meningkatkan skill. Sebagaimana
layaknya berlatih melukis, dari sketsa seder­
hana lama-lama mampu menciptakan bentuk

n Gambar 1 – Tampilan awal aplikasi Cinema 4D.

32 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


n Gambar 2 – Menciptakan struktur donat.

yang kompleks. Demikian pula dengan skill David McLeod, artis digital no. 1 di dunia
komputer pada aplikasi Cinema 4D, makin
sering menggunakan, akan makin pandai. Ala Kalau donat di level 4 terasa indah dan bisa
bisa karena biasa, demikian ujar orang tua. bergirang hati karena sudah mampu melaku­
kannya, maka David McLeod telah men­
Setidaknya ada 4 level keterampilan yang ciptakan bermacam obyek yang melampaui
bisa kita capai, tergantung seberapa jauh mi­ imaji­nasi.
nat dan ketersediaan waktu untuk belajar dan
berlatih. Semakin jauh menyelami aplikasi Hal itu telah membuat iri. Dari tangan Da­
ini, akan semakin indah dan bervariasi obyek vid McLeod, artis asal Australia berusia 35
yang dicapai (Guru, 2019). tahun yang menetap di New York ini telah
diciptakan kreasi aneh nan cemerlang. Perha­

n Gambar 3 – Level kemahiran dari penggunaan aplikasi Cinema 4 D.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 33


n Gambar 4 – Karya David McLeod, “Granular, n Gambar 5 – Karya David McLeod,
“Donald Trump”
tikan karya “Granular, Powder Exploration”,
khayal­an apa yang ada di benak kita setelah Dalam Instagram David McLeod, kita akan
melihat gambar itu? Sebuah ledakan, binatang menemukan lebih dari 500 karya-karyanya
laut, struktur DNA, atau daging tumbuh? De­ yang beraneka warna, baik dalam versi pic­
mikian pula dengan karya McLeod yang lain, ture maupun video animasi. Namun McLeod
“Donald Trump”. Ada cream kuning lembut bukanlah artis digital satu-satunya di dunia
yang menghasilkan obyek mirip rambut. Ben­ ini, masih banyak nama-nama yang malang
tuk-bentuk yang hanya dapat muncul kalau melintang dengan reputasi yang tidak kalah
menciptakan karya dengan bantuan komputer. hebat melalui kreativitasnya masing-masing,
Dengan itu McLeod telah menjadi superstar di mereka di antaranya adalah Stephen McMen­
dunia digital art (Schukei, 2019). Instagramnya namy, Alberto Sevezo, Sean Charmatz, Nik
di-follow oleh 210 ribu pengikut (@david_mc­ Ainley, Jason Naylor, Aiste Stancikaite, Sara
leod). Karenanya, sepak terjang Mcleod yang Ludy, Erik Johansson dan Hal Lasko.
konsisten mengeksplorasi teknologi CGI (Com­
Sejarah Panjang Digital Art
puter-Generated Imagery) ini telah menarik per­
hatian team kreatif dari produk-produk global, Fenomena yang kita amati di atas adalah
seperti Toyota, Nike, Motorola, CalvinKlein, ujung terkini dari sejarah digital art yang
Omega, Canon, Mastercard, Saatchi, dan Wired panjang. Kalau diurut ke belakang, akan
UK. Jasanya dipakai untuk mempromosikan bertemu dengan awal penemuan digital art,
produk-roduk mereka. yaitu tahun 1960, ketika John Whitney mem­

n Gambar 6 – Timeline sejarah digital art.

34 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


buat komputer untuk menciptakan karya seni protokol HTML, URI dan HTTP, aturan-atur­
(Timetoast, 2020). “Catalog” merupakan film an itu yang kemudian menjadi fondasi pencip­
animasi pertama yang diciptakan Whitney taan browser sekarang ini (Sayed, 2018).
pada tahun 1961. Film sepanjang 7 menit, 32
detik itu membuatnya diganjar oleh IBM se­ Karya tertua yang dipamerkan adalah karya
bagai seniman digital pertama di dunia. seniman New York, Gretchen Bender, yang
diciptakan tahun 1989. Ia mendekonstruksi
Tonggak yang lain adalah ketika pada tahun bendera Amerika dengan membagi garis-
1985 Andy Warhol menggunakan kompu­ garis merah dan putih bendera itu melalui
ter Commodore Amiga dalam berkreasi. Hal blok besar berwarna hitam (Rettig, 2019). Ke­
ini merupakan loncatan dari komputer main tika karya itu dipamerkan 32 tahun yang lalu,
frame yang segede gajah di era Whitney, banyak orang berkomentar secara berlebihan
kemudian dapat diringkas menjadi kompu­ bahwa karya yang dibuatnya itu bisa mem­
ter desktop dengan kapasitas yang jauh lebih buat negara terpecah. Ada lagi yang berko­
besar. Dalam promo di Lincoln Center, New mentar bahwa Gretchen Bender terlalu dini
York, Warhol merekayasa gambar penyanyi mengadopsi gerakan seni media baru. Namun
Deborah Harry, dengan cara mengambil ci­ di kemudian hari, karya ini dan banyak karya
tra monokrom dari kamera video dan di-dig­ lainnya akan dipandang sebagai bagian dari
ital-kan melalui program grafis yang disebut senirupa abad internet.
ProPaint (Reimer, 2007).
Dari kaca mata seni, teknologi web yang di­
Lompatan selanjutnya adalah tahun 2000 ciptakan Berners-Lee telah menceritakan ki­
yang merupakan tahun internet. Walau inter­ sah yang sama sekali berbeda. Karena internet
net mulai diperkenalkan di dunia komersial te­lah mempengaruhi cara kita dalam mema­
pada tahun 1993, namun popularitas karena hami kebenaran. Respini menuturkan bahwa
meningkatnya tingkat familiaritas penggu­ dengan internet kita melihat banyak perubah­
nanya baru terasa di awal milenium ketiga an dalam memandang medium seni yang
ini. Mengenang saat-saat era internet awal, lebih tua, seperti bagaimana kita sekarang
pada bulan Februari 2018, telah dilangsung­ menilai lukisan sebagai obyek seni. Jangan
kan sebuah pameran senirupa di Institute of berharap akan ada banyak kanvas di ruang
Contemporary Art di Boston. Pameran terse­ galeri, karena yang akan dipamerkan di sini
but dikuratori oleh Eva Respini dan diikuti adalah sebuah seni digital. “Kanvas adalah se­
oleh 60 seniman. Respini ingin menunjukkan buah media yang sudah kuno,” kata Respini.
bagaimana internet telah mempengaruhi seni Walau demikian ia memasukkan juga lukisan
rupa, bukan sekedar memperagakan karya Michel Majerus dan Avery Singer yang gam­
digital semata. Kembali ke tahun 1989, keti­ barnya tidak karuan itu dalam pameran ini.
ka internet hanya diketahui segelintir orang,
ilmuwan komputer Inggris, Tim Berners-Lee,
telah menemukan world wide web (www)
dengan menulis spesifikasi teknis dasar untuk

n Gambar 8 – Karya Gretchen Bender, “So Much


Deathless”, 1989.
Pameran yang berlangsung selama sebulan
ini menyoroti seni media terobosan dari ta­
hun 1990-an, seperti karya Naim June Paik
yang disebut “Internet Dream”, sebuah karya
yang terdiri dari susunan 52 monitor TV. yang
n Gambar 7 – Karya Andy Warhol, dibuat pada tahun 1994 - setahun setelah ke­
“Debbie Harry”. munculan internet - ketika itu banyak orang

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 35


tidak tahu bahwa internet telah ada. Dalam art bergaya reality TV yang menceritakan para
pameran tersebut juga dipamerkan karya Ju­ gadis dusun yang haus ketenaran dan para
dith Barry yang berjudul “Imagination Dead waria. Video itu menunjukkan sisi dangkal
Imagine”, sebuah instalasi video yang dicip­ generasi milenial. Artis lain, Kate Cooper,
takan tahun 1991, di mana karya instalasinya membuat foto-foto hasil rekayasa photoshop
berupa lilitan kabel pada layar video menci­ yang sangat mengkilap. Karya itu menyindir
trakan rupa seperti manusia. kecenderungan kita untuk menyempurnakan
diri dengan aplikasi pemoles wajah seperti
Agar pameran tersebut tidak terlalu besar, Facetune, yang banyak digunakan sebelum
maka panitia memecah pameran menjadi 5 mengunggah foto selfie. Karya ini melihat
seksi. Yang menarik adalah suatu seksi pa­ gagasan ideal kecantikan seperti dalam iklan,
meran yang diberi judul Hybrid Bodies. Hybrid secara luas, karya ini mempertanyakan apa
Bodies memperlihatkan bagaimana persep­ artinya menjadi manusia di era digital.
si manusia telah berubah sejak munculnya
internet. Hybrid Bodies juga melukiskkan Ada juga serangkaian foto telanjang yang
bagaimana situasi pengawasan kerahasiaan dibuat oleh Thomas Ruff pada tahun 2000.
Negara setelah adanya WikiLeaks. “Di dunia Foto-foto itu bersumber dari situs pornogra­
pasca-Snowden, pengawasan merupakan se­ fi. Mirip dengan itu, Fran Benson membuat
suatu yang kami semua khawatirkan, namun patung plastik yang menampilkan Juliana
internet telah membuka jalan menuju perlawa­ Huxtable, seorang seniman transgender yang
nan “ kata Respini. Pada seksi yang diberi ju­ memutuskan menjadi perempuan setelah ia
dul Surveillance, dipamerkan sebuah karya dari selesai kuliah. Juliana telah menentukan iden­
seniman Cina sekaligus seorang peretas yang titas gendernya secara online terlebih dahulu
bernama Aaajiao (Xu Wenkai). Aaajiao mema­ sebelum di kehidupan nyata. Hal ini merupa­
merkan sepotong benda yang disebut sebagai kan ekspresi kebebasan, tampil online sebe­
The Great Firewall of China, di mana pada benda lum dapat melakukannya dalam kehidupan
itu ia mencetak daftar situs web yang dilarang nyata (Sayed, 2018).
di Cina. “Karya ini ingin menunjukkan bahwa
pengawasan atas visibilitas manusia sangat Penulis memperhatikan kecendrungan ma­
menusuk hati,” kata Respini. syarakat senirupa kita hari ini yang masih be­
gitu tergila-gila dengan karya-karya instalasi
dan video art, yang dipersepsikan sebagai me­
dia baru atau sebuah kebaruan dalam seniru­
pa Indonesia. Sementara, dengan menyimak
apa yang dilakukan Eva Respini di atas, hal itu
sudah dimulai di Barat (baca: Amerika) tiga
dekade yang lalu. Demikian pula tema-tema
yang dipilih, seperti persoalan transgender,
kecantikan, kebebasan, kehidupan kaum ur­
ban, dan feminisme, merupakan permasalah­
an yang sudah diangkat sejak lama di Barat.
Melihat perjalanan sejarah digital art yang se­
demikian panjang, kiranya kita harus mencari
sesuatu yang baru, tidak sekedar mengekor
apa yang pernah dilakukan orang di luar sana.
Karena dalam era digital ini, kita dituntut un­
tuk memberikan kreativitas dan kebaruan da­
lam karya-karya yang kita ciptakan, seperti
yang dilakukan David McLeod saat ini.

Posisi Seni Digital dalam Era Industri 4.0

n Gambar 9 – Karya Kate Cooper, Sejak 10 tahun yang lalu, orang Jerman mem­
“Sabotage and Sickness”. perkenalkan kepada dunia mengenai strategi
komputerisasi dan sistem cerdas dalam pa­
Karya Ryan Trecartin, menampilkan tayangan
meran industri di Hannover Fair. Intinya, se­
video serba cepat. Karya ini dibuat pada awal
lain meningkatkan mekanisasi mesin melalui
2000-an, jauh sebelum munculnya Instagram
sistem siber dan cloud, kedepannya kita akan
dan Snapchat. Trecartin menciptakan video
diajak untuk sharing resources dan meman­

36 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


n Gambar 10 – Karya Refik Anadol, “Quantum Memories” (2020).

faatkan khazanah yang tersedia di dunia untuk menciptakan sebuah visi. Data-data
maya. Dalam era industri 4.0, teknologi cang­ tersebut adalah berupa angka yang menjadi in­
gih yang akan dipergunakan dalam pabrik, put sebuah algoritma yang diciptakan Anadol.
transportasi, pertanian dan kedokteran, akan Algoratima tersebut diproses oleh mesin Artifi­
memanfaatkan informatika demi tercapainya cial Intelligence (AI) demi menciptakan bentuk
keandalan dan produktivitas. Hal yang sama dinamis yang ia inginkan. Dalam karya “Mel­
akan terjadi dalam senirupa, kita akan ter­ ting Memory”, cloud data diambil dari peman­
imbas dengan penggunaan komputer untuk dangan kota New York secara online, yaitu
melicinkan imajinasi dan mencapai kreasi gedung-gedung, taman, jembatan, yang men­
yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia. jadi lanskap kota dan menjadi memori kolektif
penduduk di sana. Sebagai contoh, ada ribuan
Objek kreatif yang tidak dapat dikerjakan oleh foto patung Liberty yang diambil dari berbagai
manusia namun bisa diciptakan dengan ban­ sudut yang berbeda, oleh AI gambar-gambar
tuan teknologi industri 4.0, telah dilakukan tersebut menjadi visual yang bergerak dan
oleh seniman newmedia Refik Anadol. Refik membuat siklus video yang menghasikan imaji
Anadol lahir di Istambul, Turki pada tahun menghablur, patung yang meleleh. Demiki­
1985. Saat ini Anadol hidup di Los Angeles, an pula dengan gedung-gedung di New York
California sebagai pengajar di UCLA pada yang jumlahnya ribuan itu diambil gambarnya
Departemen Design Media Arts. Tahun lalu dari bermacam arah, interior maupun eksteri­
ia memamerkan karya videonya “Quantum or, melalui banyak source seperti kamera lalu
Memories” pada forum Triennial 2020, di Na­ lintas, sekuriti, CCTV, kamera taman yang
tional Gallery of Victoria. terus memberikan data secara online ke me­
sin Anadol. Output dari AI akan menciptakan
Karya-karya Anadol diciptakan dari bermili­ar- reali­tas baru, suatu halusinasi. Gambar-gambar
miliar notkah. Tiap notkah merepresentasikan ciptaan mesin itu ditampilkan dalam video rak­
sebuah data yang dijalin dalam neural network sasa berukuran 200 m2 yang masing-masing di­

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 37


n Gambar 11 – Diagram Neural Network Refik Anadol.

gelar di lantai yang kita injak, di dinding dan di pemikir madzhab Frakfurt hampir se­ abad
atap sebuah kubus pertunjukan di Manhattan yang lalu. Di zaman sekarang, dengan ada­
dan di sebuah gedung Disney kota Los Ange­ nya komputer dan image disimpan di dalam
les. Dengan itu pengunjung memasuki sebuah file, maka file tersebut dapat di-print ber­ulang-
dunia lain, sebuah pengalaman emosional ulang. Artinya karya dari digital art bukanlah
yang tidak pernah dialami sebelumnya. Sebuah karya yang unik tetapi dapat direproduksi
dunia yang kacau, karena kita sulit mengiden­ dengan mudah, sebuah karya dapat diperba­
tifikasi mana yang nyata dan mana yang tidak nyak dengan sesukanya, tidak ada lagi istilah
(Wired, 2019). asli atau copy. Di dalam kebudayaan populer,
teknik cetak itu dapat berupa fotografi dan
Dari kasus Anadol, kita dapat belajar bahwa teknik sablon seperti yang dilakukan oleh Andy
penggunaan teknologi, dalam hal ini komputer, Warhol. Dengan mencetak dan memproduksi
artificial intelligence, dan cloud, merupakan kesem­ sebanyak-banyaknya, maka prinsip karya seni
patan bagi kita untuk dapat menghasilkan karya- adiluhung yang unik dan cuma satu-satunya,
karya kreatif yang beyond human. Posisi seni di­ menjadi tidak berlaku lagi.
gital dalam era industri 4.0 menjadi penting dan
lebih menarik dalam kehidupan manusia karena Theodor Adorno pernah mengatakan, walau­
bantuan teknologi tersebut. Kita dituntut untuk pun masyarakat itu sudah terpelajar, namun
masuk dan ikut serta dalam menyumbangkan tetap saja dalam hatinya ia ingin melakukan
energi kreatif kita agar tercipta karya-karya khas fabrikasi atas seni, yang dengan kasar dapat
Indonesia yang berbasis teknologi dan dike­ merusak hakekat seni, demi memenuhi has­
nal oleh dunia. Hal ini mengingatkan kita pada rat dan kepentingan mereka untuk memiliki.
nubuat Marshal McLuhan tentang Global Village, Hal ini menjadi sikap yang lazim, yaitu rela
bahwa kemajuan teknologi informasi dan ko­ mengor­ bankan substansi asalkan kesukaan
munikasi telah membuat dunia seolah mengecil mereka tercapai. Keinginan untuk memiliki
menjadi sebuah desa global, di mana kita saling adalah sesuatu yang sebenarnya merendah­
berkomunikasi satu sama lain, yang tidak turut kan martabat mereka sendiri, yaitu keinginan
serta berpartisipasi dalam desa tersebut nantinya untuk bergengsi dan diakui. Mereka memi­
akan tertinggal (McLuhan: 157-8). lih benda-benda yang menurut mereka bagus
dengan jumlah yang banyak dan nilainya se­
Kelemahan Digital Art suai, layaknya kelakuan anak kecil. Mereka itu
katanya mengecam benda-benda kitsch (karya
Seni digital atau digital art tidak terlepas dari kerajinan murahan), tetapi kelakuannya mirip
kelemahan. Kelemahan pertama cukup filo­ anak-anak yang berebut makanan, suatu peri­
sofis, karena pernah menjadi perdebatan para laku yang sangat klise. Rumah mereka yang

38 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


katanya orang intelek ternyata mirip tempat Hal tersebut mungkin terjadi karena menang­
gelandangan. Di dinding rumah mereka ter­ gapi kebutuhan yang besar dari peminat karya
pajang reproduksi lukisan Van Gogh yang reproduksi. Dengan lunturnya aura pada karya
terkenal seperti, Sun Flower dan Café at Arles, seni, jarak antara pemirsa dengan karya men­
berdampingan dengan buku-buku sosialisme jadi hilang. Obyek seni diserap dalam praksis
dan psikoanalisa dalam lemari pajangan agar dan kesadaran hidup sehari-hari dengan mak­
terlihat intelek. Ada gramafon merek Lincoln na yang disusun kembali (Benjamin, 222-3).
diletakkan di situ dan piringan hitam musik
jazz yang berisik, yang membuat mereka Benjamin melanjutkan dalam papernya,
merasa keren. Padahal, semua produk-produk
budaya tersebut terhubung dengan hasil me­ “For the first time in world history, mechanical
kanisme distribusi atas modal berskala besar. reproduction emancipates the work of art from its
Para intelektual seperti itu tidak mau lagi me­ parasitical dependence on ritual. To greater degree
lihat du­nia luar, mereka sudah senang dengan the work of art reproduced becomes the work of art
hidupnya yang sekarang yang mereka anggap designed for reproducibility. From a photographic
wajar, dan mereka sudah tidak punya keingin­ negative, for example, one can make any number
an lagi untuk meraih seni kelas tinggi (Adorno, of prints; to ask for the “authentic” print make no
206-7). sense. But the instant the criterion of authenticity
ceases to be applicable to artistic production, the
Adorno menulis dengan keras tentang ke­ total function of art is reversed. Instead of being
nyataan seni reproduksi dalam bukunya Mini­ based on ritual, it begins to be based on another
ma Moralia, hal ini dilakukan dalam rangka practice-politics.” (Benjamin, 224).
merespon pemikiran Walter Benjamin yang
Bagi Benjamin, mencari aura di zaman seka­
mendukung seni reproduksi. Benjamin da­
rang merupakan suatu hal yang tidak masuk
lam papernya, The Work of Art in the Age of
akal. Menurutnya, karya reproduksi dapat
Mechanic­al Reproduction, menyatakan bahwa
sejajar dengan karya seni, dan pada akhirn­
setiap karya seni tidak terlepas dari riwayat
ya karya seni akan dirancang untuk diperba­
kesejarahannya yang unik. Hakekat karya seni
nyak dengan cara reproduksi. Sebagai contoh,
terkandung dalam kehadirannya pada ruang
dari film negatif orang dapat mencetak foto
dan waktu, a presence in time and space, suatu ke­
sebanyak-banyaknya. Sehingga tidak mung­
beradaan unik pada tempat dimana peristiwa
kin sekarang ini kita mencari keaslian dari
itu terjadi, ketika karya itu dibuat. Keotentikan
hasil cetakan. Di masa kini tidak ada lagi kri­
(keaslian) suatu lukisan terletak pada kaitan
teria keaslian untuk produksi artistik. Seluruh
kesejarahannya sejak awal, mulai dari substan­
fungsi seni memang sudah jungkir balik.
sinya hingga peristiwa yang dialami karya seni
itu sedari awal. Yang kita perhatikan dari lu­ Robert Witkin dalam bukunya Adorno on Popu­
kisan bukan sekedar gambarnya saja, namun lar Culture mengangkat kembali pandangan
nilai kesejarahannya, yaitu kebekuan masa lalu Benjamin mengenai perkembangan fotografi
‘hadir’ dalam lukisan. Suatu kehadiran yang dan film. Dalam pandangan Benjamin, berku­
berjarak, sudah terpisah dari hidup dan peng­ rangnya aura pada karya seni berhubungan
alaman sehari-hari kita, sesuatu yang melam­ dengan demokratisasi dalam praktik seni, ke­
paui lukisan itu sendiri. Ada elemen kultus dan tika partisipasi masyarakat meningkat untuk
ritual yang melekat ketika menghadirkan gam­ memiliki dan menikmati karya seni. Benjamin
bar yang ada dalam suatu lukisan, suatu sikap menawarkan suatu rumusan bahwa semakin
penghormatan terhadap karya seni yang mirip nilai seni menurun dalam kehidupan sosial,
ritual agama (Benjamin 220-221). maka akan semakin banyak kritik terhadap
karya seni, dan hal itu menjauhkan kita dari
Benjamin memperkenalkan istilah aura, yaitu
kesenangan akan seni. Lebih baik kita mem­
kewibawaan atau keistimewaan yang dimiliki
punyai seni yang konvensional dan dangkal
oleh suatu karya seni. Ketika sebuah karya seni
tetapi bisa dinikmati tanpa kritik, Namun
direproduksi dan keberadaannya yang unik
masyarakat tidaklah bodoh, sebagian besar
ditukar atau digantikan dengan banyak kopi,
orang akan bereaksi menolak karya seni Picas­
maka karya seni menjadi terlepas dari wilayah
so, dan mengatakan karya Picasso itu jelek, na­
tradisinya, nilai kesejarahannya menjadi surut,
mun mereka menyenangi karya-karya Charlie
dan kewibawaannya membuat berjarak den­
Chaplin yang mudah dimengerti. (Witkin, 51).
gan kita. Karya reproduksi yang sudah terlepas
itu kemudian pergi ke pemirsanya, memasuki Pergeseran dari karya seni auratik ke non-­
ruang waktu mereka dan menjadi aktif di sana. auratik membawa perubahan besar pada re­

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 39


spons mental masyarakat terhadap karya seni. mahal dan naik harganya dibandingkan karya
Benjamin mencatat adanya perubahan pemirsa lukis. Sampai hari ini pun, karya seni yang
seni dari semula aktif berkonsentrasi dan mem­ mencetak rekor harga di balai lelang masih
pelajari karakter yang terdapat pada karya seni pada jenis karya lukis, bukan pada karya in­
tradisional yang statis (lukis­an), sekarang beru­ stalasi dan media baru.
bah karena begitu banyak kejadian yang muncul
dan berganti, seperti ketika kita menonton film. Karenanya penggalakan perlu dilakukan agar
Bagi Benjamin, jenis persepsi seperti itu esensial para kolektor dan museum giat menyimpan
karena kejadi­an dalam film sangat padat, be­ karya-karya digital art ini. Beruntung upaya itu
rubah dengan cepat, seperti dalam kehidupan sudah mulai mendatangkan hasil. Museum Mori,
sehari-hari. Hal ini dimungkinkan karena keja­ misalnya, mulai menyimpan dan memamerkan
dian-kejadian mempersepsi seni terasimilasi ke karya digital. Bersama teamLAB Borderless tercip­
dalam ke­sadaran dari subyek. Benjamin mem­ talah Mori Building Digital Art Museum. Langkah
perhatikan progresivitas dari media film mod­ Mori ini mulai diikuti oleh museum-museum lain
ern dalam memperlakukan penonton, progre­ di China dan Australia untuk menampilkan karya-
sivitas itu telah mampu meleburkan kesenangan karya digital ke masyarakat.
visual dan emosional dengan orientasi kritis dari
para ahli. Identifikasi penonton film de­ngan Penutup
aktornya sebenarnya merupakan identifikasi
Tantangan dalam menulis dan mengamati
melalui kamera. Karena penonton meng­ambil
kemajuan seni digital terletak pada kemam­
posisi sebagai kamera. Penonton dapat berperan
puan kita mengupdate informasi dari ber­
sebagai ‘ahli’ yang memberi­kan komentar pada
bagai sumber. Hal itu tidak dapat dilakukan
sebuah film sekaligus menjadi orang yang me­
dengan menunggu kehadiran textbook yang
nikmati film tersebut (Witkin, 52).
selalu delay beberapa tahun. Nampaknya situ­
Di sisi lain, Adorno tidak setuju dengan sikap asi ini merupakan kesempatan bagi kita untuk
Benjamin yang terlalu menilai tinggi kebu­ membuat ‘teori’ sendiri atas kemunculan visu­
dayaan populer. Adorno menilai paper Benja­ al yang tampil berdesak-desakan di hadapan
min itu sebagai pemaafan terhadap budaya kita. Dengan bantuan sosial media kita dapat
pop. Dan dengan paper tersebut sepertinya mengikuti apa yang terjadi saat ini dan mera­
Benjamin ikut berkolaborasi dan memperkuat malkan kecenderungan di masa datang.
kebudayaan pop. Adorno setuju kepada Benja­
Judul tulisan ini menyarankan suatu formu­
min bahwa dewasa ini elemen auratik dari
la yang harus kita miliki dalam mengha­dapi
karya seni telah menurun. Tetapi penyebab­
dunia digital yang sudah datang. Dalam kon­
nya bukan karena munculnya teknologi repro­
teks itu penulis memberanikan diri untuk
duksi saja, namun penyebabnya karena orang
memberikan kiat sederhana bagi kita yang
sekarang terlalu fokus pada material seni dan
berkecimpung dalam dunia senirupa. Kiat
proses produksinya. Hal itu telah menyebab­
pertama, adalah harus mengupdate diri da­
kan karakter magis dari karya seni menjadi ter­
lam wawasan dan ketrampilan penggunaan
ganggu. Lebih lanjut Adorno mengatakan bah­
komputer dan rajin menambang data-data
wa Benjamin telah meremehkan sifat-sifat seni
dalam cloud demi memperkaya input yang
yang otonom, dan terlalu berlebihan menilai
akan dipergunakan pada karya-karya. Kiat
seni yang diproduksi secara massal. Karena
kedua, adalah harus berkolaborasi dengan
Benjamin terlalu fokus pada sisi emansipatoris
seniman-seniman dan penyedia sarana yang
dari teknologi reproduksi (Lijster, 96-97).
ada di manapun, agar kekaryaan dikenal se­
Kelemahan kedua dari seni digital, terkait cara global dan juga dengan itu mendapatkan
dengan kelemahan pertama, yaitu belum inspirasi setelah berkenalan dan bekolabora­
banyak kolektor yang mau mengoleksi karya- si dengan seniman lain. Berkolaborasi dan
karya digital. Kita mengetahui bahwa sering­ menggunakan resources yang tersebar di dunia
kali kolektor mempunyai kegilaan tertentu maya dengan menggunakan teknologi, sudah
untuk membanggakan diri bahwa karya yang merupakan karakteristik industri 4.0 yang se­
dimilikinya itu adalah karya unik dan satu-sa­ dang membayangi kehidupan sekarang ini.
tunya di dunia. Kalau karya yang dimilikinya Kiat ketiga, dan ini merupakan hal yang pa­
berupa reproduksi dan ternyata ada kolektor ling penting, bahwa harus menciptakan karya
lain memiliki karya yang serupa maka karya terobosan, sebuah karya yang segar dan meru­
itu akan dikatakan sebagai karya pasaran. Hal pakan ikon dalam perjalanan dan menjadi
ini dapat menjelaskan mengapa karya print, karakteristik kesenian kita. Mari kita belajar
litograph, etsa, dan photography tidak pernah bersama !

40 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Referensi [8] Reimer, Jeremy (21 Oktober 2007), A Histo­
ry of the Amiga, part 4: Enter Commodore,
[1] Abby Schukei (2019), 10 Digital Artists Arstechnica.com.
You Should Know, The Art of Edu­
cation, https://theartofeducation. [9] Rettig, Brianna (22 Mei 2019), Pioneering
edu/2019/02/20/10-digital-artists- Video Artist Gretchen Bender Predicted
you-should-know/. Our Obsession with Screens, Art SY.

[2] Adorno, Theodor (1974), Minima Mo­ralia, [10] Rosanio, Priscilla (2020), The History of
Reflection from Damage Life, terj. E.F.N. Digital Art, Rosapris332, Timetoast,
Jephcott. Verso, New York. https://www.timetoast.com/time­
lines/1658387.
[3] Benjamin, Walter (1969), The Work of Art
in the Age of Mechanical Reproduction, [11] Sayed, Nadja (2 Februari 2018), Creati­
dalam Illuminations, Arendt, Hannah, vity in the Digital Age: How Has the
ed., terj. Harry Zohn, Harcourt Brace Internet Affected the Art World?, The
Jovanovich. Inc., New York. Guardian.

[4] Guru, Blender (2019), Cinema 4D Beginner [12] TeamLAB Borderless, Mori Building
Tutorial – Part 1, https://youtu.be/ Digital Art Museum, https://youtu.
TPrnSACiTJ4. be/zsXaGmQlDPs

[5] Lijster, Thijs (2019), Benjamin and Adorno [13] Wired (2019), How This Guy Uses A.I. to
on Art and Art Criticism, Amsterdam Create Art, https://youtu.be/I-EIVlH­
University Press, Amsterdam. vHRM.
[6] McLuhan, Marshall (1962), The Gutenberg [14] Witkin, Robert W. (2003), Adorno on Pop­
Galaxy: The Making of Typographic Man, ular Culture, Routledge, London.
University of Toronto Press, Toronto.
[15] http://davidmcleod.com
[7] Much, David McLeod,  https://www.
muchpresents.com/davidmcleod-still, [16] https://instagram.com > david_mcleod
Collab and Much Creative LLC.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 41


Penghargaan Sastra ‘Rasa’ 2023
Ayu Utami
utami.ayu@gmail.com
Komunitas Utan Kayu

Ada kalanya saya ragu kenapa kita harus menulis Seperti diketahui, hadiah sastra Rasa untuk pe­
cerita. Kenapa kita harus membaca cerita dan me­ mula ini berawal dari saya menerima Penghar­
nilainya. Ada begitu banyak cerita diterbitkan, sam­ gaan Ahmad Bakrie untuk Kesusastraan tahun
pai-sampai kita tak mungkin membaca semuanya. 2018 sejumlah 250 juta rupiah. Dana tersebut saya
Tak semuanya bagus juga. Sebagian sangat buruk. rencanakan sebagai hadiah baru tiap tahun untuk
Kadang, ada yang sangat bagus, tapi sifat eksperi­ penulis pemula sebesar sepuluh juta rupiah (semo­
mentalnya membuat karya itu tak bisa diapresiasi ga bisa meningkat kelak). Baru mulai terlaksana
orang banyak. Untuk apa semua itu? Dan apa itu tahun 2022. Ketika itu masih pandemi dan kami
“bagus”? mengumumkan pemenang secara online. Penerbit
dan editor saya (Kepustakaan Populer Gramedia;
Momen ragu itu biasanya berlanjut dengan pere­ Christina M. Udiani, Ining Isaiyas, dll) dan Komu­
nungan dan, akhirnya, keputusan bahwa usaha nitas Utan Kayu selalu menjadi pendukung utama
ini penting dilakukan. Menulis, membaca, menilai, banyak kegiatan saya. Dengan dana yang terbatas,
memberi penghargaan, merayakan: semua itu pada awalnya saya berniat meminta editor KPG
mera­wat pemikiran—bahkan sekalipun kita sering ikut menjadi juri pro bono. Tetapi, karena beberapa
merasa berada dalam ambiguitas dan terasing. pengarang yang ikut kompetisi ini ternyata diter­
bitkan oleh KPG juga, maka sejak pertama rencana
Pada tahun 1980-an pernah terjadi polemik yang itu dibatalkan.
dikenang dengan nama Perdebatan Sastra Konteks­
tual. Ketika itu, intelektual yang selalu kritis Arief Keterbatasan ini sekaligus saya gunakan untuk
Budiman mengecam keterasingan sastra Indonesia mengembangkan metode penilaian karya yang
dari publik yang, menurut ia, disebabkan oleh ori­ le­
bih rinci. Metode ini bertumbuh dalam kelas
entasi yang borjuis dan internasionalistis (Barat)— menulis yang saya ampu sejak 2013 di Komuni­
dengan kata lain, elit. Analisa Arief bisa dibantah tas Salihara, serta pembacaan dan penelusuran
dan saya kira tidak sesuai lagi dengan zaman ini. saya atas konsep “rasa” di Nusantara/Indonesia.
Tapi, keprihatinannya atas keterasingan sastra tetap Karena itu hadiah ini diberi judul Rasa. Saya tidak
relevan, meski tidak harus didramatisir. Setelah mengeklaim kebaruan. Saya hanya mengusahakan
perjalanan sastra Indonesia lebih panjang, kita tahu, sebuah sistem yang bertanggung jawab dan praktis,
selalu ada musim ketika sastra menjadi buah bibir di mana juri dapat sebisa mungkin menjadi pribadi
masyarakat, dan musim ketika sastra hanya menja­ sekaligus tanpa mengandalkan selera dan tidak di­
di minat lingkaran kecil. jebak borang kriteria penilaian.

Ada sastra yang berkomunikasi dengan orang ba­ Kembali mengingat Arief Budiman. Bukan dalam
nyak, ada sastra yang bergelut dengan medium­nya perdebatan sastra kontekstual tahun 1980-an, me­
sendiri, sehingga umumnya tidak komunikatif, lan­ lainkan dalam perdebatan kritik sastra (metode
tas hanya difahami kalangan spesialis. Keterasing­ analitik vs “ganzheit”) di tahun 1960-an. Arief
an adalah (salah satu) bagian tak terpisahkan dari membayangkan kritik sastra di mana kritikus mem­
sastra (tapi juga bukan satu-satunya). Di mana posi­ baca seperti bercinta dengan karya. Itu juga yang
si suatu penghargaan kesusastraan? saya bayangkan, tapi dengan pengetahuan teknis
tentang anatomi dan kelenturan untuk bercinta.
Penghargaan kesusastraan terletak dalam tegang­
an antara keterasingan dan kebersamaan. Antara Di sini, juri membaca, menyadari naluri dan selera
keinginan mendalami dan keinginan menyebarkan. pribadinya, sekaligus menganalisa kekuatan teks
Kritik sastranya—yang kadang terpaksa sangat lepas dari selera itu. Ada tiga kriteria dasar dalam
teknis—tak akan dibaca orang banyak. Meski begi­ menganalisa, yaitu: #1) prinsip pemersatu, #2)
tu, ia perlu terus berupaya berkomunikasi dengan mutu tegangan antara dorongan atau pilihan yang
publik luas. Karena itu, hadiah sastra Rasa ini juga bekerja dalam teks, #3) prinsip pembebasan.
hendak mengundang lebih banyak partner media
untuk membantu kami berkomunikasi dengan pu­ Biasanya, kita mulai bekerja dari butir #2. Yang pa­
blik lebih luas. ling mudah adalah mulai dari bahasa. Bahasa yang
kaya pasti lebih bernilai daripada yang miskin.
(Misal: semakin banyak kosa kata dan metafora,

42 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


semakin kaya). Bahasa yang benar dan indah lebih berdasarkan hukum-hukum otonomi internalnya—
bernilai daripada yang salah dan jelek. (Misal: kali­ apakah demikian juga prinsip #3? Dalam bahasa
mat yang benar memenuhi standar logika dan tata teknis, ini memang kembali pada struktur Rasa:
bahasa, kalimat yang indah mengandung rima dan Dorongan dilihat sebagai bergerak mencari bentuk
melodi.) Tapi, jika kita menemukan bahasa di luar lalu melampaui bentuk. Melampaui bentuk = terbe­
standar, atau bahkan di bawah standar, kita tetap bas dari bentuk yang membelenggu. Dalam bahasa
harus memeriksa apakah itu kegagalan teknis be­ non teknis: kita punya dorongan untuk membe­
laka atau ada hal lain yang membuat pendekatan baskan diri dari belenggu. Jadi, dia yang memberi
itu sah. Hal lain itu harus dicari dalam unsur lain kebebasan lebih adalah lebih bernilai. Misalnya,
teks. Sebaliknya, bahasa yang indah dan benar pun sebuah teks yang non konvensional, menggunakan
tetap harus dilihat dalam hubungannya dengan bahasa yang kasar tapi tepat, mungkin saja le­
unsur-unsur lain teks. Pada saat kita menganalisa bih bernilai dari pada sebuah teks yang puitis dan
bahasa, kita niscaya juga menganalisa unsur-unsur patuh pada konvensi. Sebab, yang pertama bisa saja
lain dalam teks. Di sini, akhirnya bentuk tidak bisa menawarkan pembongkaran atas konvensi yang
dilepaskan dari isi. membelenggu.

Pelan-pelan kita akan melihat adanya tegangan Maka, kita kembali pada kompetisi hadiah ‘Rasa’
antara pilihan-pilihan, juga antara kebutuhan- 2023. Peserta adalah penulis pemula dengan karya
kebutuh­an, yang saling bertentangan. Sebuah teks yang diterbitkan antara November 2021 hingga
punya dorongan atau kebutuhan untuk mengung­ Oktober 2022. Di tahun yang agak “terasing” ini—
kapkan sesuatu yang spesial, tetapi harus menggu­ jumlah peserta hanya 14, dibanding 41-an karya
nakan bahasa yang general. Ia mau menerangkan tahun lalu—terjaring lima finalis berikut (urutan
yang abstrak, tetapi harus menggunakan kasus berdasarkan nama depan pengarang).
konkret. Ia mau berontak, melakukan pembaruan,
tapi toh berdiri di atas konvensi. Keindahan bisa Finalis Hadiah Sastra untuk Pemula ‘RASA’ 2023:
bertegangan dengan kebenaran. Teks yang bagus
adalah seperti tarian yang mengandung tegangan - Yang Menguar di Gang Mawar, Asri
dan penarinya tidak jatuh. (Tapi, apa itu “jatuh”? Pratiwi Wulandari (Buku Mojok)
Jatuh artinya kehilangan keseimbangan. Suatu teks
- Jalan Lahir, Dias Novita Wuri
yang menggunakan bahasa yang sangat melodius
(Kepustakaan Populer Gramedia)
bisa saja jatuh dalam kegenitan. Sekumpulan cer­
pen yang selalu punya puntiran di akhir bisa saja - Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein,
jatuh dalam kepatuhan akan formula.) Muhammad Nanda Fauzan (Buku Mojok)
Untuk menilai mutu keseimbangan itulah kita per­ - Melepaskan Belenggu, Rumadi (Jagat
lu mencari apa prinsip pemersatu yang bekerja di Litera)
balik permukaan teks itu (butir #1). Prinsip pe­
mersatu itu bisa saja tema, suasana utama (mood), - Arum Manis, Teguh Affandi (Gramedia
tujuan, dll. Catatan: prinsip pemersatu ini belum Pustaka Utama)
tentu disadari pengarang dan tidak perlu dikonfir­
masikan. Kritikus yang harus menunjukkan anali­ Yang Menguar di Gang Mawar, karya Asri Pra­
sanya seperti ilmuwan menunjukkan ikatan antar tiwi Wulandari, sebuah kumpulan cerita yang
unsur kimia atau formasi geologi. dipersatukan oleh suatu lokasi: Gang Mawar.
Ini lebih merupakan lokasi psikologis, di mana
Lantas, bagaimana kita bisa menilai mana prinsip tak ada percakapan tentang kebahagiaan dan
pemersatu yang lebih baik dibanding yang lain? tak ada yang bisa dipercaya. Kekuatan kum­
Misalnya, jika teks satu bekerja berdasarkan prin­ pulan cerita ini adalah konsistensinya dalam
sip horor, teks dua komedi, teks tiga bertujuan membangun semesta yang absurd, kelam, dan
dakwah, tidakkah kita sedang membandingkan kebas.
apel, brokoli, dan gembok? Di sini berlaku kriteria
#3, yaitu prinsip pembebasan. Kriteria ketiga ini Jalan Lahir, karya Dias Novita Wuri, adalah
berlaku setelah kriteria satu dan dua. Bagaimana novel yang bercerita tentang sejarah keluar­
sebuah teks, melalui bentuk dan isi yang berikatan ga—nenek, ibu, dan anak perempuan—yang
kuat, menawarkan emansipasi. bisa saja dibaca 5 sebagai keping-keping sisi
lain sejarah Indonesia modern sebagai anak ha­
Anda yang jeli akan mengajukan pertanyaan filo­ ram yang muram dan hampa cinta. Kekuatan
sofis: apa dasar dari asumsi pembebasan ini? Jika novel ini adalah bahasanya yang kaya dan pui­
prinsip #1 dan #2 mencoba mencari kekuatan teks tis, serta intensitas imaji-imajinya.
pada elemen intrinsiknya—artinya, menilai teks

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 43


Persembunyian Terakhir Ilyas Hussein, karya Novelmu, Jalan Lahir, membuat aku termenung
Muhammad Nanda Fauzan, mengolah materi lama. Lalu, dari ketermenungan itu muncul
sejarah modern Indonesia dan dunia, legen­ banyak pertanyaan. Tak semuanya kuutarakan
da lokal, cerita silat, dan budaya pop ke da­ di sini. Aku ingin fokus: perihal rasa-rasa—ter­
lam bentuk cerpen-cerpen kontemporer, atau utama rasa murung—dalam sastra (atau ba­
“ceri­ta yang tak begitu utuh”. Kekuatan ceri­ rangkali alam) modern.
ta-cerita ini ada pada kekayaan materi penge­
tahuan, bahasa yang tangkas, dan tawaran Pertanyaan pertamanya begini. Manakah yang
kosa kata yang tak biasa. lebih penting bagimu pada suatu cerita: jalan
cerita atau rasa-rasa? Plot atau kesan? Mung­kin
Melepaskan Belenggu, karya Rumadi, adalah kita ingin dua-duanya. Tapi, jika kita ada dalam
kumpulan cerita dengan beragam tema dan situasi harus mengorbankan salah satu, mana
pendekatan. Ada yang bersifat cerpen popu­ yang kita pilih? Aku rasa kau akan mengor­
ler, dakwah sufistik, kritik sosial, hingga peng­ bankan jalan cerita. Kuduga, kau menun­
garapan ulang cerita wayang (Mahabharata). dukkan cerita—atau barangkali menyeleksi
Kekuatan buku ini adalah banyaknya tema keping-keping adegan—demi mendukung ra­
menarik dan ditulis dengan bahasa yang baik. sa-rasa yang kau mau. Atau, mung­kin bukan­
nya kau mau, melainkan rasa-rasa itu mende­
Arum Manis, karya Teguh Affandi, juga kum­ sak dari dalam dirimu.
pulan cerpen yang memberi keragaman tema
dan pendekatan. Diawali cerita-cerita yang Aku bayangkan, rasa-rasa itu memang mende­
bersifat cerpen urban populer, bagian tengah sak dari dalam dirimu. Kau bukan meren­
buku ini bergerak menjadi surealis. Kekuatan canakan novel ini dengan penuh muslihat, tapi
buku ini ada pada potensi imaji surealis yang membiarkan desakan menggerakkanmu, sam­
sangat spesifik, yaitu mengolah elemen tubuh bil kau bersiasat mencari bentuk-bentuk yang
dan tumbuhan. bisa menampung desakan itu. Pada dirimu,
rasa yang mendesak itu adalah murung dan
Dengan mempertimbangkan tiga prinsip uta­ gelap yang melingkar-lingkar.
ma yang telah diterangkan di atas, pemenang­
nya adalah: Aku tak mau mengatakan bahwa kau seperti
perempuan hamil dan desakan itu adalah bayi
Jalan Lahir, karya Dias Novita Wuri yang mencari jalan lahir—seperti judul cerita­
(Kepustakaan Populer Gramedia) mu: Jalan Lahir. Tidak. Aku tak mau menga­
takan demikian. Bahkan sekalipun aku tahu
Analisis atas novel ini akan disampaikan da­
ada periode kau sedang hamil ketika menulis
lam lembar terpisah.
bab ceritamu. Sebuah karya bukan seperti ja­
nin, yang telah terbentuk menjadi bayi sebe­
Seluruh panitia mengucapkan selamat pada
lum lahir. Sebuah karya dibentuk oleh proses
pemenang. Kami juga mengucapkan terima
mengejan yang panjang. Kau tahu juga, kadang
kasih pada semua peserta lomba, yang bersa­
proses mengejan itu bisa bertahun-tahun.
ma kami, sadar atau tak sadar, ikut merawat
khazanah pemikiran Indonesia dengan kera­
Tak seperti bayi. Sebuah karya belum memi­
gaman.
liki kepala, tubuh, tangan atau kaki sebelum
ia melalui jalan lahir. Kepala, tubuh, dan ang­
Perihal Rasa Murung dalam Sastra Modern
gota badannya justru dibentuk pada jalan lahir
Kita
itu. Tapi, apa gerangan yang lahir itu? Materi
Surat untuk Dias Novita Wuri apa itu yang melalui jalan lahir dan membuat
penga­rang susah-payah mengejan melahirkan­
Dias, terima kasih atas novelmu. nya? (Tiba-tiba aku teringat puisi Joko Pinurbo
“Bertelur” (2001).)
Sebuah karya sastra, kita sama-sama tahu, tak
harus menghibur. Tapi, juga tak harus tidak Materi itu adalah rasa-rasa. Begitulah penda­
menghibur. Sebuah karya sastra yang bagus pat­ku. Aku ingin mempertahankan pendapat­
tak harus apa-apa kecuali kuat pada diri­ ku. Sebab, masih banyak orang percaya bah­
nya. Karya sastra yang baik bisa menyenang­ wa bahasa hanyalah alat komunikasi. Bahasa
kan, bisa juga tidak menyenangkan. Ya kan? menyampaikan ide yang sudah jelas di da­
Tersenyumlah (dengan senyummu yang lam pikiran atau konvensi kita. Sebetulnya,
pa­
ling manis), dan coba kau tebak, yang pendapat itu sah saja asal jangan diberlakukan
manakah karyamu? secara menyeluruh. Tentu bahasa merupakan

44 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


alat komunikasi. Dan, kadang-kadang, baha­ cerita tentang dewa-dewa dan makhluk-makh­
sa memang dipakai untuk menyampaikan ide luk gaib, melainkan tentang kenyataan.
dan konsep yang sudah jelas dan stabil. Un­
dang-undang, manual, kontrak adalah contoh Pada awalnya, ada harapan yang meluap-luap
di mana bahasa menjadi alat penyampai kon­ akan rasionalitas manusia. Obyektivisme dan
sep belaka. Tapi, bahasa tak hanya itu. Sastra positivisme dirayakan. Tapi, lalu ternyata juga
menunjukkannya. Kamu mengalaminya, bu­ ada reaksi balik. Reaksi terhadap realisme dan
kan? obyektivisme ya mendahulukan yang psikolo­
gis dan subyektif. Reaksi terhadap optimisme
Inilah keistimewaan sastra. Sastra adalah ya bersifat pesimistis dan melankolis. Kita me­
wilayah di mana bahasa tidak hanya alat lihat rentetan filsuf dan sastrawan yang menyu­
menyam­paikan konsep-konsep jadi. Sastra ada­ arakan—atau setidaknya dianggap menyu­
lah alam di mana bahasa hidup dalam memberi arakan—pesimisme. Sebutlah: Schopenhauer,
bentuk pada yang belum stabil. Yang belum Kierkegaard, Nietzsche, menjelang abad ke-20.
stabil itu—atau memang tak akan stabil—aku Kafka, Camus, Sartre, di awal abad ke-20.
sebut rasa-rasa. Aku ingin bercerita tentang “te­
ori rasa” ini untuk mempertanggung­jawabkan Dalam roman, kita perlu menyebut penulis
secara teknis apa yang kumaksud, tapi kutun­ perempuan Mary Shelley (abad ke-18) de­
da saja. Nanti kamu tak sabar. Kita lanjut ke ngan Frankenstein yang menjadi klasik. Atau,
novelmu dulu. Beginilah kau gambarkan suatu Virginia Woolf di awal abad ke-20. Dengan
rasa nan gelap dan senantiasa berubah bentuk: kadar dan corak yang berbeda-beda, banyak
yang pesimistis pada rasionalitas dan morali­
Dukacita terus-menerus mengubah bentuknya tas. Kira-kira, kehidupan manusia tak segemi­
sama seperti air yang mengikuti bentuk cawan lang cocot para motivator pencerahan. Selain
tempatnya berdiam, dan tiba-tiba saja anjing dari segi isi, bentuk kritik terhadap rasionalitas
peliharaan kita adalah dukacita, begitu pula itu sering berupa narasi yang mengutamakan
kaktus-kaktus mini kesayanganmu, sebatang stream of consciousness atau aliran lamunan
rokokku yang ujungnya berkelip mau mati ketimbang plot atau jalan cerita yang terhitung.
pada senja hari, gaun hari Minggu-mu, dirimu,
diriku. Dukacita beralih rupa menjadi segala Di Indonesia, fiksi modern baru muncul abad
yang pernah kita sayangi. (hlm. 125) ke-20, dan langsung diisi oleh semangat ke­
bangsaan yang sedang membara di era yang
Rasa-rasamu begitu murung dan gelap, Dias. sama. Maka, gaya realis mendominasi awal
Kau berhasil memberi bentuk, rupa, pada fiksi modern kita (baca Balai Pustaka, Pujangga
kemu­ rungan yang tanpa jalan keluar. Kau Baru, dan sastra Tionghoa peranakan). Sekali­
memberi bentuk pada kegelapan dan—jika pun kita sudah menemukan novel psikologis
boleh pakai istilah Nietzsche (meski belum pada Belenggu (1940) Armijn Pane atau Buiten
tentu tepat betul)—“kekembalian yang abadi”. het Garel (Manusia Bebas, 1938) dari Suwar­
Dalam kasusmu: kembalinya yang gelap dan sih Djojopuspito, baru pada 1970-an mulai
murung secara abadi. menggejala fiksi dengan bentuk yang lebih
eksperimental, menekankan aliran lamunan,
Ah. Melankoli, rasa murung dan gelap, bukan mengutamakan persoalan eksistensial manusia
hal baru dalam sastra modern. Malahan, itu dalam dunia yang absurd. Misalnya, dengan
adalah tema tipikal seni modern sejak dulu. Di karya-karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya,
antara kita di Indonesia, banyak yang belum Budi Darma.
tahu kenapa kemurungan dan kegelapan ada­
lah hal yang khas dalam seni modern dunia. Sekarang aku ingin menyempitkan fokus:
Sebab surat ini tak hanya untukmu, aku buat ke­mu­rungan dan kegelapan semakin ba­
sedikit penjelasan sederhana tentang itu. Kamu nyak ditemukan dalam fiksi pasca Reformasi.
tahu, dulu, pada awalnya modernitas datang Murung dan gelap yang kumaksud termasuk:
bersama optimisme terhadap akal budi. Inilah jalan buntu, ketiadaan harapan, ketiadaan nilai,
semangat yang menyala sejak Renaissance cinta hampa, pemerkosaan, penganiayaan,
(abad ke-15), memuncak pada Aufklarung atau pembunuhan, kematian, arwah penasaran, ke­
Pencerahan (abad ke-18), dan melahirkan ilmu hancuran-diri. Perlu disebut di sini kumpulan
pengetahuan serta teknologi yang membebas­ cerpen Budak Setan (2010) karya Eka Kurni­
kan manusia dari ketakutan akan Tuhan dan awan, Intan Paramaditha, dan Ugoran Prasad,
hantu-hantu. Sebagaimana pengetahuan, seni yang menggarap ulang tema-tema horor ceri­
pun beranjak dari mitos, yang magis, dan religi­ ta Abdullah Harahap, penulis dari generasi
us, menjadi realis dan sekuler. Seni tak lagi ber­ sebelum­nya.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 45


Sebenarnya, tema gelap itu bisa digarap se­ Ceritamu berputar-putar—nyaris obsesif—
bagai humor-hitam maupun secara melankolis. pada kematian janin atau bayi yang tak alami­
Di sini kita hanya bicara yang kedua—itu yang ah serta cinta yang hampa. Tapi, ah, sesuatu
lebih relevan dengan novelmu. (Meskipun ada yang berputar-putar dan obsesif tidak dengan
juga satu dua humor pahit di sana.) Dalam be­ sendirinya bagus. Sekali lagi, sebuah karya
berapa karya, suasana gelap ini hadir melalui sastra yang bagus tak harus apa-apa kecuali
peristiwa-peristiwa sejarah penting, semisal kuat pada dirinya. Karyamu, Jalan Lahir, kuat
Peristiwa 65-66, Peristiwa 98 (misalnya, Dari pada dirinya bukan karena tema. Tapi, karena
Dalam Kubur, karya Soe Tjen Marching)—dan ia melahirkan bentuk yang meyakinkan, tak
pada karyamu, peristiwa pendudukan Jepang dibuat-buat, mengenai rasa murung dan kege­
ketika banyak perempuan dijadikan jugun lapan suasana batin. Ia memberi bentuk yang
ia­
nfu— sehingga karya-karya itu sekaligus padat pada rasa muram. Sekarang aku ingin
meru­pakan komentar (kritis) atas sejarah. mempertanggungjawabkan penilaian itu.

Selain itu, aku menemukan tidak sedikit perem­ Beginilah kriteria dasar aku menilai suatu
puan yang menulis kisah-kisah gelap-murung karya: #1) adanya prinsip pemersatu, #2)
ini. Sebutlah, teman-teman kita sendiri: Udiarti mutu atau kekuatan silang-sitegang antara
(Rumah Kedua Ibu, finalis hadiah sastra Rasa dorong­an-dorongan dasar yang tampak beker­
2022) dan Angelina Enny (Nocturnal Melan­ ja dalam karya itu. #3) prinsip pembebasan.
cholia, semi finalis Kusala Sastra Khatulisti­ Ketiganya, diturunkan dari struktur Rasa,
wa 2018). Bersamaan dengan itu, peristilahan pernah kuterangkan cukup panjang dalam
seper­ti noir-fiction, fiksi melankoli, “roman de­ pertanggung­jawaban tahun lalu. Kali ini, kita
presi” nyaris berlaku sebagai branding genre mulai dari butir kedua.
dalam pemasaran atau diskusi buku.
Perihal kriteria #2: mutu atau kekuatan si­lang-
Ya, melankoli adalah salah satu trend dewasa sitegang antara dorongan-dorongan dasar
ini. Banyak penulis perempuan ada di sana. yang tampak bekerja dalam karya. Aku meli­
Kamu pun ada di sana. Aku tidak bermaksud hat sebuah karya, seperti kehidupan, adalah ta­
mengatakan bahwa kamu, ataupun para penu­ rik-menarik dan tolak-menolak antara dorong­
lis murung itu, sedang mengikuti tren. Sebalik­ an-dorongan yang berlawanan sifat. Bagaikan
nya. Aku mau mengatakan bahwa jangan-ja­ tarian, suatu tarik-tolak yang bermutu adalah
ngan memang ada kebutuhan dan dorongan yang berintensitas tinggi dan penarinya tidak
yang otentik untuk mengungkapkan kemu­ jatuh. Jika disederhanakan, empat dorongan
rungan itu. Dan ada kesempatan juga. Tren atau rasa dasar adalah: untuk mengada, untuk
itu, sebagai gejala permukaan, terjadi dengan meniada, rasa kebenaran, rasa keindahan.
sendirinya.
Paling mudah dalam menilai karya adalah
Ada suatu gejala yang menarik: di antara para mulai dari bahasa. Seperti telah dibincang di
perempuan yang menulis kisah gelap dan atas, bahasa dalam sastra adalah bahasa yang
murung, banyak yang menggarap hubungan hidup. Ia bukan bahasa yang hanya digunakan
ibu dan anak. Di situ, rahim merupakan lokus untuk menyampaikan konsep-konsep jadi.
permasalahan. Seperti juga pada novelmu: Sastra adalah alam di mana bahasa hidup da­
Jalan Lahir. Ini bagaikan antitesis dari nilai- lam memberi bentuk pada yang belum stabil.
nilai dominan masyarakat yang mengidealisasi Yang belum stabil itu adalah rasa-rasa atau
ibu dan kerahiman. Cerita-cerita kalian menyo­ dorongan-dorongan. Dan kita akan melihat
dorkan sisi lain—yang selama ini disembu­ rasa-rasa atau dorongan-dorongan yang sa­
nyikan—oleh pengagungan itu. Sisi itu niscaya ling bertentangan. Misalnya: Dorongan untuk
gelap. Gejala ini sebenarnya sungguh pantas di­ tunduk pada gramatika kerap bertentangan
kaji lebih lanjut. Sayangnya, bukan tempat­nya dengan dorongan untuk melawan tata bahasa.
di sini. Di sini, aku harus mempertanggung­ Rasa keindahan sering bertentangan dengan
jawabkan kenapa Jalan Lahir merupakan pe­ rasa kebenaran.
menang hadiah sastra ‘Rasa’ 2023.
Membaca kamu, kita pun segera tahu, karyamu
Ya. Jika kemurungan dan kegelapan adalah ge­ tak punya persoalan teknis dalam bahasa.
jala bersama—juga kemurungan dalam hal ke- (Teks yang punya masalah bahasa belum tentu
rahim-an—apa yang istimewa dari karyamu? jelek atau lemah. Kita masih bisa menganalisa
Inilah yang kuanggap istimewa: konsentra­ kenapa suatu teks menggunakan bahasa yang
simu pada aborsi dan kematian janin atau bayi. bermasalah. Jika alasannya kokoh, ada ke­
Fokus itu digarap sangat kuat dan mencekam. mungkinan teks itu bagus, alias punya ikatan

46 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


yang kuat.) Kau menggunakan bahasa yang (Itu pilihan cerdik. Kita tentu cenderung per­
patuh pada konvensi tentang kebenaran dan caya pada mata fotografer.) Lalu, kita melihat
keindahan—misalnya, kebenaran gramatika perempuan itu tokoh yang penurut. Tak hanya
dan keindahan metafora. Artinya, kau tidak penurut, ia juga terasing dari dirinya sendiri.
sedang merombak apapun dengan bahasamu. Ketika ia melihat foto dirinya, ia berpikir “ce­
Itu sah saja. Orang tidak selalu harus melaku­ wek itu memang aku. Tapi rasanya juga bukan
kan dekonstruksi. Orang tak harus setiap saat seperti aku” (hlm. 5).
mengkritisi mediumnya sendiri. Orang tak
harus mengegas dorongan hitam untuk me­ Sosok ini mengandung keterbelahan dan kon­
niada(kan) jika tak ada keperluannya. Kita boleh tradiksi dalam dirinya dan suatu derajat ke­
mengikuti merahnya dorongan mengada. semenaan: …kepolosan(nya) bisa tampak sama
jelasnya seperti buah yang dikupas, tetapi itu
Satu saja catatanku tentang bahasa. Sementa­ hanya karena ia sedang mengizinkannya. Pada
ra ada banyak tokoh yang bergantian menjadi lain waktu ia bisa saja menutup diri rapat-rapat
narator, kamu menggunakan sifat dan gaya (hal. 5). Jadi, ia bisa saja penurut, tapi bisa saja
yang sama untuk semuanya. Kita tak bisa mem­ ia tak terduga. Ia mengelak difoto, tapi ia juga
bedakan. Mereka seolah bicara dengan suara memajang foto itu (hlm. 6).
yang sama, alam pikir yang sama, perspektif
yang sama. Itu bisa saja ketidakmampuan di­ Buatku, sifat ini bukan hanya merupakan
rimu untuk mengenali pribadi masing-masing karakter si tokoh, tetapi juga sifat utama ceri­
tokoh, tapi bisa saja keputusan sadar karena ta. Cerita ini memberi bentuk pada keretakan
kamu punya alasan lain. Yaitu, karena sesung­ batin dan rasa keterasingan (tanpa ada usaha
guhnya semua tokoh itu adalah sama. membebaskan diri dari sana). Cerita ini kadang
polos dan jelas seperti buah yang dikupas, teta­
Setelah soal bahasa, kita bisa beranjak ke ting­ pi pada waktu lain menutup diri rapat-rapat.
kat berikutnya. Apa yang kau ceritakan de­ Itulah aturan main yang diam-diam ditentukan
ngan bahasamu yang tanpa persoalan itu, dari sendiri oleh si cantik cerita ini. Bersetubuh de­
alinea ke alinea. Apa yang kau deskripsikan ngan Jalan Lahir adalah bermain cinta dengan
seraya cerita berjalan perlahan. Aku menga­ si cantik yang murung, yang kadang “polos”
gumi deskripsi dan adeganmu. Deskripsimu kadang “tertutup”. Pertanyaannya, kapan ia
konkret, bertubuh, sekaligus tidak berhenti terbuka dan kapan tertutup? Kapan ia penurut,
pada yang obyektif belaka, melainkan me­ kapan ia tak terduga—si cantik pemurung
nembus ke dalam paradoks batin si tokoh. Kau ini? Kadang kala aku tak sabar dengan kemu­
piawai menggunakan elemen eksternal untuk rungannya. Ya, kadang aku jengkel dengan
membangun yang internal. Ketika kau tulis di melankolinya. Tapi kecantikannya memikatku.
paragraf satu (bukan metaformu yang terbaik): Maka, marilah kita menganalisa permainan
Langit berwarna merah muda… terkesan ha­ tegangan antara polos dan tertutup.
ngat sekaligus menyedihkan seperti pipi yang
habis ditampar; itu adalah tanda pertama ten­ Marilah kita lihat kapan dia polos dan terbu­
tang keindahan (langit merah muda: elemen ka, kapan dia tertutup. Tapi, apa itu “polos
obyektif, alam) yang menyakitkan (seperti pipi dan terbuka”, apa itu “tertutup”? Di awal cer­
yang ditampar: elemen subyektif, personal). ita pertama, Nastiti polos dengan kekaguman­
nya. Ia kagum pada mereka yang glamor, kilau
(Kelak, semakin jauh cerita berjalan, semakin gedung di metropolitan Asia, kamera mahal.
meruyak pula ruam dan ngilu itu. Puncak-pun­ Jadi, kita polos ketika kita membiarkan has­
caknya, antara lain, adalah peristiwa ketika si rat-hasrat menampakkan diri tanpa halangan
tokoh melakukan usaha aborsi seorang diri, nilai. Dalam teks selanjutnya juga kita melihat
persetubuhan dengan lelaki tanpa lengan yang dialog tentang nonsens yang sederhana dan
frustasi, pemerkosaan pada seorang wanita sehari-hari, mengalir wajar tanpa dihalangi
hamil, rasa kesia-siaan yang mengelupaskan kehendak untuk jadi intelektual: “Aku jenis
bibir…) orang yang mempercayai hal-hal bodoh…
seperti misalnya… (g)elasku jatuh dan pecah
Lalu, tak bisa tidak, memasuki awal ceritamu di waktu sarapan.” (hal. 8) Dialog remeh dan
adalah berkenalan dengan tokoh pertamanya. deskripsi banal itu pelan-pelan akan mengan­
Perempuan cantik. (Ini pilihan mudah. Malah tar kita masuk ke dalam inti kemurungan. Kita
klise.) Kecantikannya memang tidak dikatakan akan bicara soal kemurungan nanti. Sekarang
oleh narator, dan tidak dideskripsikan, melain­ kita sedang bicara bagaimana sebuah teks
kan diucapkan oleh tokoh fotografer dengan membuka diri dan menutup diri.
kalimat “kamu sangat cantik” beberapa kali.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 47


Secara umum, tentu saja sebuah teks kita ang­ gabung dengan bab pertama, sudah ada lima
gap membuka diri ketika ia memberi informasi kasus persetubuhan yang mengakibatkan ke­
yang bisa kita mengerti atau kesan yang bisa hamilan dan kepahitan.
kita cerap. Sebuah teks menutup ketika ia ti­
dak memberi informasi yang kita cari. Agak Cerita ketiga, “Hana”, berpindah latar ke Je­
kemecoh di sini: informasi yang kita inginkan pang dan Amerika Serikat di seputar Perang
bergantung pada pertanyaan yang kita ajukan, Dunia. Tokoh utamanya tiga: seorang serda­
dan pertanyaan yang kita ajukan bergantung du Jepang tak bernama, seorang fotografer
pada informasi sebelumnya dan kesan yang yang direkrut jadi serdadu AS—juga tak ber­
kita dapatkan. Ada modus informasi, ada mo­ nama, dan seorang perempuan Jepang, Hana.
dus kesan, yang bekerja dengan cara berbeda. (Sebenarnya, serdadu Jepang itu bernama sih.
Tapi namanya disebut begitu selintas sehing­
Dalam sebuah cerita, kesan dibangun lewat ga kita melupakannya.) Hana adalah istri si
deskripsi dan adegan atau peristiwa. Secara serdadu Jepang. Si prajurit Amerika terobsesi
keseluruhan deskripsi dan adegan memben­ pada Hana. Cerita ini berhubungan longgar
tuk kesan bagi pembaca. Sedangkan, informasi dan asosiatif saja dengan bagian sebelumnya.
memberi bukan kesan tapi pengetahuan. Infor­ Misalnya, elemen fotografi dan nama Hana.
masi bisa dinyatakan secara verbal oleh nara­ Dalam cerita ketiga sebelumnya, nama Hana
tor, tapi bisa juga hadir sebagai satuan-satuan diberikan oleh si perwira Jepang kepada sang
data dalam deskripsi dan peristiwa. Kesan se­ jugun ianfu peliharaannya. Di cerita keempat
lalu dibangun dalam keseluruhan. Informasi ini, Hana adalah nama istri serdadu Jepang.
didapat sebagai satuan-satuan. Kita boleh membayangkan bahwa serdadu Je­
pang dalam cerita keempat ini boleh jadi sama
Dengan modus mencari informasi, kita bisa dengan perwira Jepang di cerita ketiga.
meringkas cerita. Novel ini punya empat bab
atau empat cerita mandiri. Masing-masing Jadi, sekarang kita boleh membayangkan
dengan judul nama perempuan. Cerita per­ serdadu Jepang itu—atau segala serdadu Je­
tama, “Nastiti”, bercerita tentang seorang pang—pulang ke tanah air sebagai lelaki cacat
perem­puan cantik murung melalui narator le­ dan rusak. Hana, istrinya, patuh mencintai­nya
laki yang terobsesi padanya. Lelaki itu adalah dengan segala kepahitan. Sementara itu, si ser­
teman kecilnya yang selalu jadi tempat menga­ dadu Amerika terobsesi pada Hana. Bayang­
du, juga saat si perempuan melakukan aborsi. an Hana tetap menghantui lelaki itu bahkan
Nastiti tetap murung dan menghilang di akhir setelah ia kembali kepada istrinya di New
cerita. Si lelaki juga berakhir hampa, karena Orleans dan mempunyai bayi. Aku tak mau
memutuskan hubungan dengan kekasihnya membocorkan pada yang belum baca apa yang
lantaran tak sanggup kehilangan Nastiti. terjadi di akhir cerita.

Cerita kedua, “Rukmini”, bercerita tentang ibu Cerita keempat, “Ayaka”, berlatar Jepang di
dan nenek Nastiti, yang juga murung. Dikisah­ masa kini. Kita bertemu dengan tokoh yang
kan dalam bingkai sejenis wawancara antara muncul di cerita pertama. Bukan Nastiti, me­
seorang penulis Belanda dengan ibunda Nas­ lainkan perempuan yang ditinggalkan oleh
titi, tentang masa pendudukan Jepang yang lelaki yang terobsesi Nastiti. Ia telah menikah
kejam. Di sini kita tahu bahwa Nastiti adalah dengan pria Indonesia yang bekerja di Jepang.
anak perselingkuhan ibunya dengan teman Cerita ini mengisahkan kehampaan seorang
kerja. Sedangkan nenek Nastiti menjadi ju­gun istri di negeri asing, yang menikah dengan
i­an­fu untuk seorang perwira Jepang yang se­ pria baik-baik yang tidak begitu mencintainya
benarnya lumayan ganteng dan tidak jahat, dan tak begitu ia cintai. Cerita ini juga sangat
tapi ia tetap ingin membunuh bayi yang dikan­ murung. Aku, lagi-lagi, tak mau membocorkan
dungnya dari perwira itu. Ada tiga pembuahan apa yang terjadi di akhir cerita.
dari persetubuhan yang melanggar nilai di sini.
Persetubuhan seorang tuan Belanda dengan Demikianlah kalau kita membaca untuk men­
gundiknya, persetubuhan perwira Jepang de­ cari informasi. Cara baca yang tidak asyik.
ngan jugun ianfu peliharaannya, persetubuh­ Malah merusak kenikmatan novel. Anehnya,
an seorang pramugari dengan rekan kerjanya. kita membutuhkan juga cara membaca begi­
Ada lagi yang anonim dan selintas: gadis yang tu—terutama untuk menganalisa. Cara baca
hamil di kamp jugun ianfu dan diaborsi oleh yang kedua adalah menangkap kesan. Tepat­
dokter Jepang. Semuanya, langsung maupun nya, membiarkan diri dikuasai oleh kesan-ke­
tak langsung, menghasilkan dukacita. Jika di­ san. Kesan itu hadir dalam keutuhan tiap
deskripsi dan adegan, serta dalam bahasa yang

48 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


digunakan. Di sinilah kekuatan novel ini. Da­ Kesan-kesan yang ia pendarkan dalam deskrip­
lam memberi bentuk puitis pada kemurungan si dan adegannya tampak inosen. Ia bicara
dan kegelapan (yang, kubayangkan, mendesak tentang hal-hal bodoh tanpa khawatir diadili
dari dalam dirimu). oleh intelektualisme: “Pernah dengar orang
Tionghoa membedah tangan mereka untuk
Dalam deskripsi tentang kehidupan yang ba­ meng­ubah nasib buruk?” (hal. 8) Ia menggam­
nal, kita mendapati kerapuhan, ambiguitas, barkan hasrat seks tanpa terancam moralisme:
ketidakstabilan, yang muncul dari imaji vi­ Lelaki prajurit itu… membayangkan jari-je­
sual yang intens. Misalnya: …jari-jemari itu marinya meraba dan mencubit sehingga putih
menyerupai ranting, setiap kukunya dicat de­ payudara itu mengeras seperi manisan buah
ngan warna polos yang bisa jadi krem susu plum merah di atas nasi putih. (hal. 95) Ia men­
atau merah muda agak pucat, tidak tahulah, ceritakan kengerian tanpa rasa takut: Dalam
yang jelas bentuk kukunya sangat indah, ke­ satu teriakan, kepala orang itu sudah mengge­
cil-kecil dan tidak anggun tapi sempurna… linding masuk kubangan lumpur, disertai ber­
dan kulitnya terasa seperti kertas prakarya. galon-galon darah hangat yang menyembur ke
Mungkin kertas krep atau apa. (hlm. 8) udara dari sebuah tunggul batang leher. (hlm.
95) Yang memikat padanya— dengan kata lain,
Ketika cerita beranjak dari yang banal dan se­ yang cantik padanya—adalah kepolosan, kera­
hari-hari (percakapan di tempat kos, belanja di puhan, dan kemurungannya yang puitis.
minimarket, dll), berubah jadi dramatis (peris­
tiwa aborsi, pemerkosaan, dll.), kerapuhan di­ Tapi, seperti telah dikatakannya sendiri: …ke­
gantikan cekaman kengerian, tanpa kehilang­an polosan(nya) bisa tampak sama jelasnya seper­
puisi. Ada banyak imaji darah, tapi diceritakan ti buah yang dikupas, tetapi itu hanya karena
dengan halus. Misalnya, tentang kamar gelap ia sedang mengizinkannya. Pada lain waktu ia
fotografi ini: …istrinya yang cantik, dan semua bisa saja menutup diri rapat-rapat. Dan ia me­
darah yang membasahinya. Bias cahaya safe nutup diri ketika kita membutuhkan penjelas­
light. Ia tenggelam dalam cahaya merah, warna an darinya.
merah, darah merah, dan ia berenang di da­
lamnya… Kamar gelap adalah rahim. Ini ada­ Aku punya pertanyaan-pertanyaan kecil yang
lah tempat terjadinya penciptaan. (hal. 116) Ini muncul berpencaran. Misalnya, kenapa Ruk­
adalah salah satu citra puitis kunci dalam novel mini tega membunuh bayinya dengan di­ngin
ini: jalan lahir — rahim — kamar gelap = rahim padahal ia mendapat perlakuan istimewa
— lampu merah = darah. dibanding jugun ianfu lain? Bagaimana Dara,
yang lapang hati di awal cerita, berubah de­
Sebenarnya, kadang aku bertanya juga, menga­ presi di akhir cerita? Pertanyaan-pertanyaan
pa kita masih membutuhkan yang puitis, yang itu bukannya tak bisa dijawab, tapi Jalan Lahir
liris. Tapi, usaha panjang untuk menjawab menutup diri tentang itu.
pertanyaan itu kutangguhkan dulu di sini. Se­
mentara ini, kucukupkan dulu dengan jawab­ Selain pertanyaan-pertanyaan yang terpencar,
an pendek: Yang liris itu tidak kasar, dan kita aku juga punya satu pertanyaan besar. Dias, ke­
membutuhkannya untuk banyak keperluan. napa semua cerita ini berakhir begitu murung?
Yang puitis itu tidak verbal, dan kita mem­ Tapi, barangkali itu pertanyaan pa­ling bodoh,
butuhkannya untuk mengungkapkan peng­ sebab memang yang mendesak dari dalam
alaman, bukan ide. Sebab pengalaman selalu dan mencari jalan keluar adalah kemurungan?
dalam gerak, sedangkan ide telah beku. Kekua­ Baiklah, untuk sementara, aku tidak melanjut­
tan novel ini adalah kekuatan puitik pada kan lagi pertanyaan ini. Tugasku sekarang bu­
deskripsi dan adegannya. Dan, kekuatan pui­ kan menanyakan motif (internal) penulisnya,
tik itu memang dibutuhkan untuk cerita yang tetapi menganalisa jaringan teks.
semacam ini.
Melihat jaringan teks, kita melihat motif-motif
Sekarang, kita kembali pada pertanyaan yang (eksternal) yang berulang. Setidaknya bebera­
tadi kuajukan dan belum dijawab. Perihal per­ pa ini. Pertama, motif tematis kehamilan dan
mainan tegangan antara polos dan tertutup. kepahitan. Satu kasus kehamilan di luar nikah
Kapan dia “polos dan terbuka”, kapan dia “ter­ dan aborsi pada cerita awal. Empat kasus ke­
tutup”? Dia—si cantik pemurung ini— tampak hamilan yang berkembang jadi masalah di cer­
polos, lugu, ketika dia menciptakan kesan-ke­ ita kedua. Telah aku dedahkan sebelum­nya:
san. Tapi, dia tertutup ketika kita membutuh­ dari empat kasus itu, dua berakhir dengan ke­
kan informasi. matian, dua berlanjut dengan kehidupan yang
dihantui rasa murung. Di cerita ketiga, satu ka­

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 49


sus kehamilan yang dinodai oleh pemerkosaan. bilang bahwa ini seperti kekembalian yang
Lalu, kehamilan dan aborsi yang ambigu serta abadi dari tragedi, yang dibawakan dengan
problem kegagalan kehamilan di cerita ke­ murung-cantik.
empat. Jadi, motif kehamilan yang pahit ber­
jejalan di novel ini. Satu-satunya kehamilan Kesimpulan pertama, mengenai intensitasnya
yang berpontensi sintas dari kemuram­an ada (kriteria #2), kita pun melihat, dorongan atau
dalam bayangan si prajurit Amerika mantan kebutuhan membangun kesan atau rasa-rasa
fotografer tentang kehamilan perempuan Je­ lebih diutamakan ketimbang dorongan akan
pang nan malang, Hana. Jumlah itu terasa agak kewajaran plot. Karakter boleh banyak, tapi
berlebihan… semua berbicara dengan bahasa murung yang
seragam. Novel ini mengutamakan kemurung­
Kedua, motif tematis obsesi dan cinta hampa. Di an di atas kewajaran. Kemurungannya men­
cerita satu, tiga, dan empat, kita menemukan jadi keindahannya, tapi repitisi motif murung
tokoh yang terobsesi pada sosok yang mencin­ membuat cerita ini tidak proporsional, dan
tai orang lain. Si Aku terobsesi pada Nastiti tampaknya itu memang risiko yang diambil
di cerita pertama. Serdadu Amerika terobsesi oleh cerita ini.
pada Hana. Suami Dara (juga Dara) terobsesi
pada perempuan Jepang di tayangan erotis. Di Pertanyaan berikutnya, kenapa cerita ini meng­
cerita kedua, motif ini muncul dengan bentuk ambil risiko itu? Di sini kita masuk ke kriteria
lebih halus dan ambigu, yaitu perselingkuhan #1: apa kira-kira prinsip pemersatu cerita ini
(pramugari dan rekan kerja) dan substitusi sehingga risiko itu sah diambil? Dugaanku—
(perwira Jepang dengan jugun ianfu). Nyaris yaitu kesimpulan kedua—prinsip pemersatu
tak ada cinta yang saling mengutuhkan. Bah­ cerita ini adalah: kemurungan itu sendiri! Se­
kan cinta antara ibu dan anak. Semua hubung­ galanya tampak diambil demi kemurungan.
an cinta bersifat dingin dan hampa. Nyaris Semua elemen hadir demi kemurungan. Jika
semua orang mencintai orang yang salah. prinsip dasar cerita ini adalah demi kemurung­
an, maka segala pilihan tadi tampak wajar.
Ketiga, motif penyelesaian cerita yang muram
atau bahkan fatalistik. Aku tak mau membo­ Nah, memang, kita boleh senang atau tidak
corkannya rinciannya di sini. senang dengan prinsip dasar itu. Itu bisa saja
soal selera pribadi. Ada orang yang selera­nya
Selain tiga motif tematis tadi, kita juga mene­ murung, pesimistis, bahkan fatalistis. Ada
mukan motif imajis atau citra yang terus ber­ yang seleranya cerah dan optimistis. Tapi,
ulang. Yang paling dominan adalah citra da­ seorang juri tidak boleh menilai berdasarkan
rah dan kecantikan. Dan di beberapa tempat selera pribadi. Karena itu, soal ini bisa dide­
keduanya bersatu. Yang telah saya kutip di kati dengan lebih bertanggung jawab. Yaitu,
atas, deskripsi di kamar gelap: …istrinya yang perihal ada tidaknya gerak pembebasan atau
cantik, dan semua darah yang membasahinya. emansipasi atas prinsip pemersatu itu (kriteria
(hlm. 116) #3). (Kenapa kita membutuhkan pembebasan?
Dalam sistem penilaian ini, keterangannya ada
Tentang kecantikan yang bersinar bak bidada­ dalam struktur Rasa yang tidak saya bahas lagi
ri yang berasosiasi dengan destruksi: Kamu di tulisan ini.)
bersinar seperti bidadari (hal.3). Kecantikan
seperti itu biasanya menghancurkan hidup­ Adakah pembebasan dalam novel ini? Dalam
mu… (hlm. 67) …kakak perempuannya meru­ kasus ini, rumusannya bisa juga demikian:
pakan bidadari sesungguhnya, seorang ma­ apakah kemurungan seperti ini membebaskan?
laikat. (hal. 69) Perempuan itu pastilah seorang
dewi, makhluk halus, karena setiap jengkal ku­ Di sini, sebuah karya sah diletakkan dalam
litnya bersinar seperti bidadari. (hlm. 95) Ia sa­ konteks atau masyarakatnya. Ia tidak lagi ber­
ngat cantik, bersinar seperti bidadari. (hlm. 99). diri sendiri, dibaca pada dirinya sendiri. Ia ber­
Ia sangat cantik, seperti bidadari yang bersinar- diri mereaksi cakrawalanya. Tanpa diletakkan
sinar, ia memiliki kecantikan yang melumpuh­ di hadapan masyarakatnya, kita bisa berkata
kan. (hlm. 137). bahwa kemurungan yang obsesif dalam cerita
ini justru tidak akan membebaskan orang dari
Maka, dari yang bisa diamati pada jaringan­ kemurungan. Ia hanya akan menjebak orang
nya, teks ini nyaris merupakan empat variasi semakin dalam di kemurungan. Tapi, jika kita
atas tema kehamilan-aborsi, kehampaan, yang tempatkan novel ini di hadapan masyarakat
dibawakan dengan puitis. Maka, di awal aku yang mengagungkan keibuan perempuan se­
ingin—sambil mememelesetkan Nietzsche— demikian rupa sehingga ideal itu justru menja­

50 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


di tekanan bagi perempuan, maka kita melihat selalu ada dalam darah kami. (hal. 60) Ia me­
sebaliknya: cerita ini bisa membebaskan. maparkan kita pada sisi gelap moralitas dan
cinta. Yaitu, ketiadaan nilai dan cinta.
Di titik inilah kita sah untuk mengembalikan
seni ke dalam suatu masyarakat. Kritik atas Catatan. Novel ini memang punya bahaya syur
karya bisa saja bersifat formalis dan menga­ pada kemurungan. Tapi bahaya itu, kukira,
nalisa unsur-unsur intrinsiknya, seperti dalam masih bisa ditanggungkan. Secara keseluruhan
kriteria #1 (prinsip pemersatu) dan kriteria #2 Jalan Lahir, yang bercerita tentang silsilah kecil
(mutu intensitas/tegangan). Tapi legitimasi keluarga—nenek, ibu, dan anak perempuan—
dari prinsip pemersatu itu bisa kita timbang bisa saja dibaca sebagai keping-keping sisi lain
dari prinsip #3, yaitu potensi pembebasannya, sejarah Indonesia modern sebagai anak haram
yang hanya bisa dilihat jika karya diletakkan yang muram dan hampa cinta. Kekuatan novel
dalam suatu konteks. ini adalah bahasanya yang kaya dan puitis, ser­
ta intensitas imaji-imajinya. Dalam penjurian,
Kesimpulan ketiga. Novel ini (bisa) membe­ aku cenderung memberi nilai lebih pada yang
baskan dengan cara menunjukkan sisi gelap berani mengambil risiko ketimbang yang main
idealisasi kerahiman yang berlebihan. Ia meng­ aman. Jalan Lahir tetap yang paling kuat di an­
hadapkan kita pada dia yang hamil tanpa setu­ tara lima finalis hadiah sastra ‘Rasa’ tahun 2023
ju, hamil karena diperkosa, atau yang dipaksa ini. Selamat dan terima kasih, Dias. Semoga
hamil bisa tak bisa. Ia menunjukkan pada kita kamu tidak semurung novelmu dalam hidup­
ibu yang tidak keibuan: Ibuku pun dulu per­ mu yang sesungguhnya.
nah membunuh. Mungkin bakat itu memang
11 Februari 2023

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 51


Dilema Algoritma: Dramaturgi di Media Sosial
Alif Iman Nurlambang
airlambang@me.com
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Abstrak Begitu pula saat berbicara dengan warga Kepu­


lauan Seribu, 27 September 2016. Dalam salah satu
Aktif di media sosial—seperti telah di­pikirkan oleh bagian, Ahok meyakinkan warga agar tidak ragu
banyak pengamat—mendatangkan mudarat, ken­ dengan program pemerintahannya untuk nelayan,
dati artefak di­gital itu memberi pula sejumlah ke­ meski ia bisa tidak terpilih lagi dalam pemilihan
asyikan. Selain candu bagi pengguna, media sosial gubernur setahun mendatang. Dalam pidato itu, ia
mendatangkan pula dilema. Tulisan ber­ikut merupa­ berguyon kemungkinan tidak terpilih akibat satu
kan respons sosiologis terhadap gejala dilema sosial, surat dalam Alquran. Hadirin tertawa mendengar
seusai menonton film The Social Dilemma. Pengguna pernyataan Ahok. Video yang disiarkan itu lalu
media sosial mengalami manipulasi perubahan per­ disunting oleh seseorang bernama Buni Yani, sede­
ilaku, menjadi agen pemasaran secara sukarela seka­ mikian rupa sehingga hanya menampilkan bagian
ligus konsumen, tetapi tidak kuasa memutus jerat mengenai surat dalam Alquran, dan menghapus
dilema, persis seperti gambaran dilema sosial se­ satu kata yang diucapkan Ahok. Dari “… dibo­hongi
bagaimana digambarkan dan dicontohkan oleh So­ pakai Al-Maidah 51” (garis bawah oleh penulis)
siologi. Salah satu pandangan yang dipinjam untuk menjadi “… dibohongi Al-Maidah 51.” Yani pun
memahami situasi dilema dalam masyarakat digital mengunggah ke laman Facebook miliknya dengan
adalah perspektif presentasi diri dramaturgi Irving pengantar berikut:
Goffman, sekaligus kritik atasnya.
“PENISTAAN TERHADAP AGAMA?
Keywords: Manipulasi perilaku, Presen­
tasi diri, Huizinge ‘Bapak-Ibu [pemilih Muslim] … dibohongi
Surat Al-Maidah 51’ … [dan] ‘masuk neraka
[juga Bapak-Ibu] dibodohi’.

“You know what so good about the truth? Everyone Kelihatannya akan terjadi sesuatu yang ku­
knows what it is however long they’ve lived without it. rang baik dengan video ini.” (Amelia R. 2016)
No one forgot the truth … they just get better at lying.”
(Revolutionary Road, film, 2008) Selanjutnya, kita tahu, adalah serangkaian demon­
strasi memprotes Ahok dengan tuduhan menista
Pendahuluan agama Islam. Beberapa bulan setelah Ahok dipenja­
ra, 14 November 2017, Buni Yani pun dijatuhi vonis
Pada mulanya adalah potongan video. Orang In­ penjara selama 1,5 tahun (Lazuardi 2017, dan Ty­
donesia belum lupa pada pemandangan ini: ribuan son 2021). Ia terbukti melanggar UU Informasi dan
orang berkumpul di lapangan Monumen Nasi­onal, Transaksi Elektronik.
kebanyakan berpakaian putih, salat ber­ jamaah,
menyuarakan ayat-ayat suci, menyerukan nama Makalah ini bukan hendak mengupas “penista­
Allah sebagai Mahabesar, lalu mengajukan tun­ an Agama” dan aksi protes yang terjadi beberapa
tutan po­litik. Aksi pada 2 Desember 2016 itu kelak tahun silam. Nukilan riwayat di atas untuk meng­
berhasil. Gubernur Jakarta, kala itu, Basuki Tjahaja antar pada masalah utama, yakni penggunaan
Purnama, dipenjarakan selama dua tahun. Ia di­ media sosial (Facebook, YouTube, dan lain-lain) dan
anggap menista agama Islam. bagaimana kebrutalan digital atau susulannya di
dunia wadak dapat terjadi karena algoritma dig­
ital. Makalah ditulis seusai menonton dokument­
er The Social Dilemma yang disiarkan oleh layanan
Latar kisah biasa saja. Selama menjabat gubernur,
pengalir­an media digital, Netflix, mulai 9 September
Basuki Tjahaja Purnama—disapa Ahok—mengung­
2020.
gah rekaman kegiatan kerjanya ke kanal YouTube
milik Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ada lima bagian yang akan dihadirkan dalam tu­
Ia ingin agar rapat, kunjungan, temu warga, dan lisan ini. Pertama, memberi rangkuman film dan
lain-lain yang ia lakukan sebagai kepala pemerin­ pesan utama yang ingin disodorkannya kepada
tahan provinsi dapat dipantau oleh penduduk Ja­ pemirsa; kedua, upaya menguraikan apa yang di­
karta. Ada motif transparansi yang ingin ia ajukan. maksud oleh The Social Dilemma sebagai dilema

52 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


sosial yang terjadi akibat saringan algoritma media Akan tetapi, pada saat yang sama algoritma me­
sosial; ketiga, memperlihatkan bagaimana kekha­ dia-media sosial—juga secara efektif dan efisien—
watiran yang ditunjukkan oleh The Social Dilemma menuntun pengguna berperilaku sesuai keinginan
menuntut masya­rakat untuk memiliki strategi so­ pengembang platform berdasarkan data yang telah
sial dalam hidup (ber)digital; keempat, memahami mereka tambang. Perilaku, dalam hal ini, adalah
situasi dilema dalam masyarakat digital menurut tindakan-tindakan konsumsi dari pengguna. Da­
perspektif presentasi diri dalam dramaturgi Goff­ ta-data diri pengguna media sosial hasil tambangan
man; dan bagian akhir semacam ikhtiar yang rele­ merupakan produk yang kemudian ditawarkan ke­
van dan mungkin dapat dilakukan pada masa de­ pada para pemasang iklan.
pan untuk mengatasi—atau setidaknya memahami
pada masa ini—dilema sosial akibat algoritma me­ Salah seorang narasumber The Social Dilemma ada­
dia sosial. lah Aza Raskin. Ia pencipta fitur the infinite scroll
dalam perambah (browser) dan pernah memimpin
Film /The Social Dilemma_ tim user experience (UX) di aplikasi perambah Mo­
zilla. Raskin mengingatkan bahwa pengguna media
Sesuai namanya, Facebook hendak menjawab kerin­ sosial sama sekali bukan pelanggan (customer) dari
duan kita akan wajah. Rindu untuk sering-sering pengelola. Adapun pelanggan perusahaan media
menatap wajah-wajah kerabat, sahabat dan sejawat. sosial adalah para pengiklan. “We’re the thing being
Beruntung jika dapat bertatap dengan wajah baru, sold,” kata Raskin. Kita—pengguna—adalah barang
kenalan baru. Suatu kejutan bila mengetahui bahwa dagangannya. Semestinya ini bukan kabar baru.
Anda dan kawan Anda ternyata menjalin perteman­
an dengan orang yang sama (mutual friends), atau Tristan Harris, mantan perancang kode etik Google
bahkan memiliki relasi yang lebih intim, yakni pa­ dan pendiri serta Presiden The Center for Humane
caran atau kawin. Puncak kejutan adalah bertemu Technology, dalam film, menyebutkan tiga tujuan al­
kembali dengan kawan-kawan lama yang hilang goritma media sosial. Pertama, tujuan pelibatan (the
kontak selama belasan bahkan lebih dari dua puluh engagement goal), yakni membuat kita terus menerus
tahun. Koleksi foto-foto lawas lalu disalin ke format menggerakkan jari menggulirkan laman media so­
digital dan diunggah sebagai bagian merayakan ke­ sial dan meningkatkan waktu penggunaan. Di sana
nangan. Pada saat-saat seperti itu, kita takjub beta­ pengguna diberi kesempatan interaksi: memberi
pa terampil dan sangkilnya Facebook. komentar, menekan tombol reaksi, menikmati gam­
bar, pamer avatar, dan sebagainya. Tujuan kedua
Kita terdorong untuk mengabarkan keadaan diri, adalah pertumbuhan (the growth goal), agar peng­
menyatakan sikap, dan menampilkan wajah ter­ guna tidak saja mengunjungi lamannya, namun
baru atau terbaik dan terkenes. Setelah satu menit meng­undang sebanyak mungkin teman dan mem­
atau lebih mengunggah foto/status, kita terdorong buat mereka mengundang lebih banyak lagi teman.
memeriksa seberapa banyak tolan yang menyukai Tujuan ketiga adalah capaian dari sasaran utama
dan memberi komentar. Bila sejam lewat kurang perusahaan pengembang media sosial, yakni tujuan
dari lima jempol, sabar ditunggu sejam berikutnya periklanan (the advertising goal). Kepastian tercapai­
ternyata hanya dua atau tiga jempol, kita terdorong nya tujuan pertama dan kedua menentukan seba­
untuk kecewa. Sebaliknya, ketika tanda jempol ber­ nyak apa pengelola media sosial akan mendapat­
bilang ratusan atau ribuan, kita terpacu mengung­ kan uang dari iklan.
gah foto, kabar dan pernyataan serupa. Berpikir
bahwa hal-hal demikian yang akan mengundang Barangkali pengguna akan merasa bahwa tujuan-tu­
dukungan dan rasa suka. Pada saat-saat seperti itu, juan di atas lazim, mengingat tidak ada biaya yang
kita tengah diberi tahu bagaimana laku yang laris mereka bayarkan untuk menikmati manfaat media
untuk disukai (viral). sosial. Sejauh ini, Facebook, Instagram, Twitter, terma­
suk Google menggratiskan layanannya. Apabila me­
Persis pada dua kasus di atas, The Social Dilemma dia-media sosial menghadirkan iklan di laman-la­
memberi peringatan, yakni rekayasa persuasif man penggunanya, mestinya wajar bukan? Suatu
berbasis algoritma untuk memanipulasi perilaku maksim Jawa mengingatkan, “jer basuki mawa beya,”
pengguna media sosial. Facebook (perusahaannya atau padanannya dalam bahasa Inggris: there ain’t
kini bernama Meta), Instagram, Twitter, mesin pen­ no such thing as a free lunch.
cari seperti Google, dan pelbagai platform sosial
dan pasar daring menambang informasi-informasi Hal sama dilakukan oleh stasiun-stasiun televisi.
tentang jati diri dan kebiasaan-kebiasaan pengguna Beberapa stasiun televisi menyita jam tayangan
untuk memberi umpan balik pemenuhan kebutuh­ populer dengan iklan yang—bila durasinya dito­
an pengguna. Tujuan pengumpulan data itu agar tal—akan memberi cukup waktu bagi penonton
apa yang diinginkan oleh pengguna bisa dihadir­ menjerang air. Begitu pula situs-situs berita yang
kan secara cepat dan tepat, efektif dan efisien. menyisakan seperempat halaman layar untuk isi

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 53


berita, tiga perempatnya untuk iklan. Penonton, “… memberikan pandangan menyimpang tentang
meski kesal, akhirnya mafhum bahwa bisnis utama bagaimana platform media sosial bekerja, menciptakan
pengelola stasiun televisi adalah menyiarkan iklan. kambing hitam dengan gampang, bagi masalah sosial
Program tayangan menarik hanya kendaraan peng­ yang sulit dan kompleks. Pembuat film tidak menyer­
antar iklan. Makin populer suatu tayangan, makin takan pandangan dari mereka yang saat ini bekerja di
banyak iklan yang masuk. Ujungnya makin banyak perusahaan atau ahli mana pun yang memiliki pandang­
keuntungan dari uang yang diterima. Bisnis utama an berbeda terhadap narasi film tersebut. Mereka juga
media berita yang kurang sopan memenuhi layar tidak mengakui—secara kritis atau sebaliknya—upaya
pembaca dengan iklan, agaknya sama juga. Dengan yang telah dilakukan oleh perusahaan untuk mengatasi
demikian, apa yang salah dengan iklan-iklan pada banyak masalah yang mereka angkat. Sebaliknya, mereka
media sosial? mengandalkan komentar dari narasumber yang belum
masuk ke dalam selama bertahun-tahun. Inilah poin-poin
Menurut Tristan Harris, soalnya ialah media sosial inti yang membuat film ini salah.”
“menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelli­
gence/AI) untuk memprediksi apa yang akan mem­ Pada pembuka film, peringatan dari masa Yunani
buat Anda ketagihan, atau apa yang membuat Anda Kuno dikutip. Kalimat yang datang dari Sopokles,
terpikat, atau apa yang akan membuat Anda bisa satu dari tiga penulis besar tragedi Yunani, “tiada
dimanipulasi.” Proses membuat sese­orang ketagih­ hal besar masuk kepada kehidupan manusia tanpa
an terhadap sesuatu dilakukan melalui serang­ kutukan.” Orlowski merasa, setelah 2.400 tahun,
kaian cara yang dapat memengaruhi pikiran dan kalimat Sopokles masih patut dibunyikan.
tindakan orang tersebut. Apa yang dilakukan ialah
membajak isi kepala orang tersebut. Dalam kalimat Dilema Sosial Bersebab Algoritma
Harris, “… tidak cukup bahwa Anda menggunakan
Dari Ottawa yang berkabut di bulan November
produk secara sadar, saya ingin menggali lebih da­
2021, Merlyna Lim berbicara kepada publik di In­
lam ke batang otak Anda untuk menanamkan ke
donesia melalui fasilitas daring. Ia dianggap ahli
dalam diri Anda kebiasaan-kebiasaan tidak sadar
yang pas bagi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk
sehingga Anda terprogram pada level terdalam.
menyampaikan “suara jernih”—sesuai slogan Pida­
Anda bahkan sama sekali tidak menyadarinya.”
to Kebudayaan DKJ—tentang tema paling kontro­
Keinsafan, bila pun datang, terlambat. Senator dari versial dalam 10 tahun terakhir: algoritma media
Florida, Amerika Serikat, Marco Rubio, merespons sosial. Lim adalah profesor komunikasi di Universi­
polarisasi pascapemilu berujar, “Kita adalah bangsa tas Carleton, Kanada, bertitel Canada Research Chair
yang tak lagi berbicara satu sama lain. Kita bangsa di bidang media digital dan masyarakat jejaring
yang berhenti berteman karena pilihan mereka di global.
pemilu berbeda. Kita bangsa yang mengisolasi diri
Dalam catatan Lim (2021), media sosial awalnya
untuk menonton saluran yang membenarkan kita
hadir tanpa algoritma penyaring konten. Saringan
saja.”
hadir ketika muncul kebutuhan untuk mendorong
Keprihatinan Rubio disampaikan setelah para merek-merek produk menjangkau konsumen ber­
pemilih di Amerika Serikat terbelah secara tajam. target. Konsep utama penyusunan algoritma ialah
Polarisasi politik dalam pemilihan presiden Ameri­ pembelajaran mesin (machine learning) sebagai ba­
ka Serikat itu diduga akibat informasi yang diteri­ han mula-mula mempelajari perilaku pengguna
ma para pemilih, termasuk informasi-informasi pada masa lalu untuk dapat diprediksi dan dipenga­
palsu (fake news), terpilah masuk ke laman umpan ruhi pada masa depan. Konsep berikutnya ialah
berita (news feed) akun-akun media sosial berdasar­ tipologi pengurutan (sorting), yaitu menempatkan
kan prediksi algoritma. Omong-omong, Rubio ber­ elemen-elemen algoritma dalam urutan tertentu,
asal dari Partai Republik. semisal urutan numerik atau leksikografis. Menurut
Lim, kombinasi antara kebutuhan mendorong me­
Tema dan uraian The Social Dilemma mengundang rek dan dua konsep utama tadi menghasilkan algo­
perhatian pelanggan Netflix. Dalam sebulan film do­ ritma yang bias terhadap konten-konten superlatif.
kumenter arahan sutradara Jeff Orlowski itu diton­ Hasil pembelajaran mesin menghadirkan konten
ton oleh 38 juta pelanggan Netflix di seluruh dunia paling lucu, paling menyedihkan, paling konyol,
(Sapien 2021). Testimoni dan paparan narasumber paling sarkastis, paling rasisme dan paling-paling
film yang banyak menyinggung Facebook membuat lainnya sebagai sajian utama di laman pengumpan
pengelola platform itu merasa perlu merilis suatu akun media sosial tiap pengguna.
klarifikasi (Facebook 2020). Menurut Facebook, The
Social Dilemma mengubur substansi percakapan Menurut kertas kerja yang diterbitkan jejaring
tentang dampak media sosial dengan memilih cara Sapien Nation (Sapien 2021, 11), saringan algorit­
pengungkapan yang sensasional. ma media sosial tidak peduli dengan nilai suatu

54 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


konten. Algoritma tidak mendasarkan kerjanya nelayan untuk capaian optimal. Demi hasil terbaik
pada kategori benar x salah, atau dampak positif x bagi pencapaian individu, petani mengambil air
dampak negatif. Algoritma hanya peduli pada res­ irigasi sebanyak-banyaknya, dan nelayan menang­
pons pengguna terhadap konten: mengeklik atau kap ikan di laut sebanyak-banyaknya. Mereka akan
tidak, berapa lama melihat, memberi tanda suka mendapat hasil optimal sesuai dengan tujuan-tu­
atau tidak, mengomentari atau tidak, membagikan juan yang ditetapkan, tetapi hasil keseluruhan dari
atau tidak, dan (bila ya) kepada siapa membagi, keputusan rasional secara individual itu dapat
lalu apakah pengguna melihat/menonton iklan menjadi bencana. Irigasi akan kering dan ikan-ikan
yang berdekatan dengan konten? Selanjutnya, ber­ di laut akan habis.
dasarkan riwayat keterlibatan pengguna, algoritma
akan menyajikan konten-konten dan rekomendasi Kollock mengingatkan bahwa orang-orang yang
yang diperkirakan akan optimal untuk tiga tujuan menghadapi dilema sosial mungkin memahami
algoritma media sosial seperti diungkapkan oleh dengan benar situasi yang dihadapi. Mereka sa­ngat
Tristan Harris di atas, yakni keterlibatan, pertum­ tahu bagaimana setiap tindakan dapat berkontri­
buhan, dan pendapatan iklan. busi bagi hadirnya bencana, seperti dalam kasus
petani dan nelayan di atas. Mereka juga paham
Perilaku manusia, kita tahu, mudah dipicu oleh bahwa tindakan kebalikan berpeluang mengakhi­
rangsang yang terkait dengan kebutuhan utama ri dilema, tetapi mereka tidak juga melakukan se­
kita akan keamanan, persetujuan, dan kerinduan. suatu. Tidak ada yang bergerak.
Algoritma mengetahui lebih jauh dan memiliki
kemampuan untuk mengidentifikasi rangsangan Ilmu psikologi menginformasikan adanya situasi
yang lebih spesifik dan tidak dapat dihasilkan oleh bystander apathy (sikap apatis pengamat) akibat se­
manusia, tetapi dapat begitu personal bagi setiap tiap orang menunggu orang lain untuk memulai.
partikular pengguna guna menghasilkan tujuan Sesungguhnya pun gerakan seseorang atau sedi­
yang diinginkan pengembang platform. Sapien kit orang dari komunitas “yang menunggu” belum
mengilustrasikan aplikasi catur yang dimainkan menjamin akan mengubah sikap apatis pengamat
oleh manusia melawan komputer. Aplikasi catur kebanyakan orang. Akan tetapi, jika situasi tanpa
itu dilengkapi algoritma yang tidak terbatas se­perti gerakan mengakhiri ini terus dibiarkan, dengan
kemampuan manusia, sehingga “grand master” sendirinya dilema sosial bertahan. Sangat mungkin
komputer mampu menemukan jutaan kemung­ keadaan dilema malah lebih buruk. Suatu contoh
kinan langkah dalam pertandingan. Dengan kata yang dipinjam dari Lange, et al. (2014, 4-5) berikut
lain, algoritma media sosial mencapai hasil optimal ini menunjukkan bagaimana setiap individu yang
dengan meretas otak manusia. Apa yang dipela­ berada dalam krisis perlu bekerja sama dan mena­
jari dalam pembelajaran mesin adalah bagaimana ati syarat-syarat yang menyertai upaya pengakhir­
menggunakan fitur dan konten yang tersedia di an situasi agar tidak masuk ke dalam dilema sosial.
platform media sosial untuk mendorong perilaku
Sebuah desa kecil di bagian utara Belanda,
manusia dengan mengeksploitasi kerentanan terse­
Huizinge, pada suatu musim dingin tahun 1979
but (Sapien 2021, 12-13).
menghadapi dilema sosial akut. Huizinge terputus
Prosedur matematika yang dikenalkan oleh Mu­ dari seluruh negeri karena salju yang turun luar
hamad ibn Musa Al-Khwarizmi pada abad ke-9 ini biasa hebat meru­sak sumber listrik sehingga tidak
berjasa mengembangkan ide-ide dasar, baik secara ada penerangan, pemanas, siaran televisi, dan se­
praktis atau teoritis. Pada era digital, algoritma ber­ bagainya. Harapan datang dari satu keluarga yang
manfaat untuk memproses instruksi program atau memiliki generator. Keluaran generator cukup un­
data menjadi keluaran (Lim, 2021). Tujuan ketiga tuk mengembalikan listrik bagi desa berpenduduk
media sosial yang diungkap Harris, tujuan komer­ 150 orang itu. Kondisi ini bersyarat: setiap orang,
sial mendapat untung dari iklan, memunculkan setiap keluarga, harus mampu menahan diri ham­
dilema algoritma. Penerapan prosedur algoritma pir-hampir serupa laku riadat (asketisisme). Listrik
menjadi pemecah—atau setidaknya meringkas jalan dari generator hanya cukup untuk satu lampu per
penyelesaian—masalah, sekaligus mendatangkan rumah dan pemanas ruangan maksimal 18 derajat
masalah bagi kehidupan sosial. Kita pun, sesuai Celsius. Warga tidak boleh menggunakan lis­ trik
judul film Orlowski, menghadapi dilema sosial untuk mandi air panas, menonton televisi, dan
yang tidak dapat diselesaikan secara mudah. gorden harus ditutup.

The Social Dilemma seperti mau mengacu pada gam­ Tidak bisa tidak, agar rencana di atas dapat berjalan
baran Kollock (1998) tentang dilema sosial, yakni dan mencapai hasil optimal perlu kerja sama total.
suatu situasi ketika rasionalitas individu mengarah Kenyataannya, generator tersebut ambruk karena
pada irasionalitas kolektif. Kollock mencontohkan kebanyakan orang ternyata menyalakan beberapa
tindakan terpuji yang dilakukan oleh petani dan lampu, menggunakan air panas, menyetel pema­

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 55


nas ruangan pada suhu nyaman 21 derajat Celsius, derungannya (berbasis data masa lalu). Tidak boleh
dan menonton televisi. Setelah diperbaiki, genera­ lupa bahwa kecenderungan ini, mengacu kepada
tor kembali dapat bekerja memberi energi. Untuk The Social Dilemma, merupakan rekomendasi ma­
menghindari kejadian serupa, warga menunjuk nipulatif dari saringan algoritma yang telah mere­
pengawas untuk berpatroli mengawasi tiap-tiap tas cara berpikir manusia. Terlepas dari peringatan
rumah. Kenyataannya, generator ambruk lagi. Wal­ The Social Dilemma, prosedur masuk akal untuk
hasil, rumah-rumah gelap tanpa cahaya dan pen­ merekomendasikan apa yang baik bagi pengguna
duduk menderita kedinginan. seperti disebut di atas, akan menghadirkan ketidak­
sadaran kolektif. Situasi itu terjadi ketika semakin
Kisah di atas menunjukkan syarat mutlak kerja banyak orang senantiasa atau se­ring “berkonsulta­
sama dari setiap orang yang mengalami dilema si” dengan algoritma sosial ketika hendak memu­
sosial. Keraguan bertindak atau penyimpangan ke­ tuskan barang-barang apa yang harus dikonsumsi
cil dari beberapa orang saja mengakibatkan situa­ atau pilihan-pilihan apa yang mesti diambil.
si buruk kembali harus dihadapi. Krisis Huizinge
menggambarkan definisi dilema sosial, yaitu suatu “Apakah Anda memeriksa ponsel pintar Anda se­
situasi ketika kepentingan pribadi jangka pendek belum berkemih pagi hari atau sembari berkemih?”
bertentangan dengan kepentingan kolektif jangka tanya Roger McNamee dalam The Social Dilemma.
panjang. Tindakan non-kooperatif menggoda in­ McNamee adalah investor Facebook pada masa awal
dividu mencapai hasil yang optimal, meski untuk dan penulis buku Zucked: Waking Up to the Face­
kepentingan jangka pendek dan untuk diri sendiri book Catastrophe. Pertanyaan yang bila jawabannya
atau unitnya. Jika semakin banyak individu, apala­ “ya” menandakan satu gejala ringan bahwa media
gi semuanya, memilih tindakan-tindakan non-ko­ sosial melalui ponsel pintar berhasil mengubah ke­
operatif dan mengejar hasil optimal bagi dirinya biasaan-kebiasaan manusia.
sendiri, maka dalam jangka panjang secara bersa­
ma-sama mereka akan mengalami situasi buruk Pada bagian lain The Social Dilemma kita mengeta­
daripada jika semuanya bekerja sama (Lange 2014, hui dari testimoni Tristan Harris bahwa pengubah­
11). Betapa pun yang disebut tindakan non-koope­ an perilaku adalah proyek yang dikerjakan oleh
ratif itu sesungguhnya rasional. pengelola media sosial. “Teknologi persuasif ada­
lah desain yang sengaja diterapkan sampai paling
Hasil terbaik yang ingin dicapai oleh pengguna me­ ekstrem, yakni kami benar-benar ingin mengubah
dia sosial, dalam pengertian Kollock di atas, ialah perilaku seseorang. Kami ingin mereka mengam­
mendapat kabar teranyar mengenai kerabat atau bil tindakan ini. Kami ingin mereka terus menerus
informasi terkini perihal keadaan dunia sekitarnya, mengerjakannya hanya dengan jari mereka.” Jari-
menampilkan kekenesan diri, mendapat sanjungan jari pengguna sebelum atau sembari berkemih pagi
paling maksimal, atau hadir sesuai dorongan su­ hari, sebangun dari tidur.
perlatifnya. Keinginan demikian harus dipandang
rasional. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Respons terhadap /The Social Dilemma_
manusia keinginan untuk terhubung tanpa batas
dapat dipenuhi. Teknologi mendukung kebutuhan Transkrip film yang dibuat situs Scraps from the Loft
informasi dan kerinduan akan wajah kerabat. Algo­ (Loft 2020) menunjukkan bahwa The Social Dilemma
ritma media sosial kemudian mengirimkan notifi­ amat sedikit menyoal tentang konsumerisme. Ter­
kasi seketika seseorang dalam jejaring perkawanan bilang hanya dua kali kata ‘consume’ (mengonsum­
memuat konten terbaru. Pembelajaran mesin (ma­ si), satu kali kata ‘consumer’ (konsumen), dan tidak
chine learning) mengetahui berdasarkan data-data sekalipun narasumber menyinggung atau menye­
yang dikoleksi dan dipelajari bahwa akun tertentu but kata ‘consumerism’ (konsumerisme). Mungkin
cenderung menyukai atau ingin mengetahui kon­ tidak perlu, karena secara keseluruhan kapitalisme
ten tertentu. Apabila keputusan rasional demi hasil pengawasan media sosial yang diulas oleh film ada­
optimal tersebut dilakukan betul-betul secara terus lah demi peningkatan konsumsi pengguna sebagai
menerus, oleh banyak dan semakin banyak indivi­ tujuan optimal para pengiklan.
du, kondisi kolektif yang akan terjadi adalah kecan­
Istilah kapitalisme pengawasan dipinjam dari
duan massal terhadap media sosial.
Shoshana Zuboff yang juga menjadi salah satu
Pembelajaran mesin dan algoritma yang di­terap­ narasumber film. Zuboff, profesor emeritus pada
kan secara personal kepada pengguna akan makin Harvard Business School, menulis The Age of Sur­
menge­nal bahkan tanpa batas yang dapat dikira oleh veillance Capitalism: The Fight for a Human Future at
pengguna sendiri. Tujuan optimal dari prosedur ini the New Frontier of Power (2019). Pengertian penga­
ialah memberi tahu pengguna tentang apa-apa saja wasan dalam model kapitalisme era digital tidak se­
yang baik untuk ia konsumsi berdasarkan kecen­ lalu mencakup pengertian 1984 dari George Orwell,

56 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


namun pemanfaatan data tentang kebiasaan dan namun pemahaman pengguna itu akan bersaing
perilaku pengguna untuk menciptakan ketergan­ keras dan masif dengan serangan-serangan algorit­
tungan kepada algoritma pengelola media sosial. ma. Kecenderungan manusia untuk ketagihan pada
sesuatu dimanfaatkan oleh media sosial menjadi
Menurut Zuboff, produk dan layanan kapitalisme ketergantungan.
pengawasan bukanlah objek pertukaran nilai. Ti­
dak ada hubungan timbal balik antara produsen Tidak berhenti di sana, setelah terbentuk kebiasaan
dan konsumen yang konstruktif dalam kapitalisme terus terhubung, pengguna akan naik kepada ke­
ini. Sebaliknya, layanan menjadi “kait” (tanda kutip biasaan baru, berkomentar dan berbagi. Berko­
dari Zuboff) yang memikat pengguna ke dalam mentar dan berbagi seturut terminologi periklanan
ope­ rasi ekstraktif perusahaan teknologi sehing­ berbeda dengan pemaknaan relasi sosial. Periklan­
ga pengalaman pribadi kita dikikis dan dikemas an tidak memandang berkomentar dan berbagi se­
sebagai sarana untuk mencapai tujuan orang lain bagai suatu empati atau solidaritas, melainkan ran­
(Zuboff 2019, Bab 1). tai informasi mengenai produk yang ditawarkan.
Dengan kata lain, pemberi komentar dan pembagi
Pada Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta konten semata-mata agen pemasaran. Pengguna
tahun 2013, Karlina Supelli mewanti bahwa kon­ media sosial, setelah datanya ditambang dan peri­
sumerisme adalah suatu proses kebudayaan dalam lakunya diarahkan sedemikian rupa, dijadikan pula
globalisasi, suatu ideologi tata dunia baru. Globali­ sebagai agen pemasaran dari produk-produk atau
sasi mendorong konsumen, tidak lain adalah indi­ setidaknya menjadi bagian dari tali-temali rantai
vidu manusia (pengguna akun media sosial dalam pemasaran.
topik kita ini), untuk mencapai hidup mewah, pres­
tise, status dan prinsip-prinsip kenikmatan hingga Di tengah-tengah budaya terhubung, berkomen­
ke bawah sadarnya. Teknologi digital sebagai pen­ tar dan berbagi, muncul fitur menyukai (like) yang
capaian tinggi globalisasi melahirkan budaya baru disimbolkan oleh ikon jempol. Dijck (2013, 65-66)
dalam komunikasi. Budaya untuk selalu terhubung, menandai ini sebagai perubahan yang amat penting
berkomentar (dengan jari), dan kecenderungan dalam aktivitas sosial. Konsep “menyukai” men­
berbagi. Ia menyimpulkan konsumerisme tidak ha­ dorong hadirnya ide-ide populer atau pelbagai hal
nya gejala psikologis dan sosial semata, melainkan bernilai emosional tinggi yang bisa dibilang dapat
gejala budaya yang dirancang secara sengaja untuk mengorbankan penilaian rasional. Sebelum Facebook
memungkinkan berputarnya terus mesin industri menambahkan ikon sedih, misalnya, kabar duka
(Supelli 2013). yang dipasang oleh akun kawan akan direspons
dengan jempol sebagai tanda turut belasungkawa.
Bila kapitalisme pengawasan tidak menghasilkan Persis saat seseorang menekan tombol menyukai
suatu hubungan konstruktif produsen-konsumen, suatu konten, pada saat itu pula pengelola media
dan konsumerisme adalah gejala budaya yang sosial mengirimkan data terbaru kepada pemasang
dibentuk secara sengaja demi mesin kapitalisme, iklan mengenai tambahan konsumen potensial.
pemandangan yang sedang terjadi sesungguhnya
sangat brutal. Individu diawasi tindak tanduknya Pertanyaan radikal yang bisa diajukan dalam situ­
seturut jari atau berpindahnya posisi gawai, ditam­ asi ini adalah apakah pengguna perlu menghapus
bang informasi mengenainya, diurai berdasarkan akun media sosial agar kita terbebas dari daya
kategori yang telah disusun, untuk kemudian peri­ ringkus algoritma?
lakunya dimodifikasi. The Social Dilemma sendiri
mengucapkan tujuh kali kata ‘behavior’ (perilaku), Jaron Lanier akan berada pada barisan paling de­
sembilan kali kata ‘manipulation’ (manipulasi), dan pan untuk mendukung gagasan tersebut. Dalam
dua kali kata ‘manipulative’ (manipulatif). Ten Arguments for Deleting Your Social Media Ac­
counts Right Now (2018), Lanier memerinci alas­
Kebrutalan media sosial itu dapat digambarkan an-alasannya. Lanier termasuk narasumber dalam
dengan mudah. Setelah pengguna, kita, dipelajari film The Social Dilemma. Dengan menyebut angka
tindak tanduk, gaya bahasa, dan cara berpikir, tiba sepuluh pada judul bukunya, Lanier seperti ingin
giliran saringan algoritma yang akan terus mem­ membawa suasana Abrahamik ke dalam argumen­
perbarui diri untuk makin personal memilihkan tasi yang ia susun. Cara terbaik yang ia anjurkan
apa-apa yang seyogianya baik dan optimal untuk bukanlah menyerang mereka yang memanipulasi
pengguna. Di papan gawai kita hadir pula sejumlah kita dari jarak jauh (karena pengelola media sosial
iklan yang akan terus menerus memengaruhi hing­ tidak di depan mata), melainkan membebaskan diri
ga taraf subtil untuk diambil tindakan (mengon­ kita sendiri dari upaya itu.
sumsi). Pengguna mungkin memiliki pilihan-pilih­
an dan definisi tentang kehidupan yang efektif, Argumen pertama yang ia ajukan ialah media so­
Zuboff pun menggarisbawahi kemungkinan ini, sial menyebabkan orang kehilangan kehendak be­

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 57


basnya. Pada bagian ini, Lanier tetap menekankan di media sosial. Algoritma telah menunjukkan diri
bahwa bebas dari kecanduan atau ketagihan atas bahwa ia jauh dari netral dalam politik. Pranoto
sesuatu bukanlah kondisi yang 100 persen dapat di­ mengajak pengguna untuk terus menerus berta­nya
capai. “There’s no such thing as perfectly free will,” tu­ seberapa berhasil teknisi dalam perusahaan tek­
lisnya. Ia juga menggarisbawahi bahwa setiap saat nologi itu menerjemahkan nilai-nilai kemanusiaan
orang memperbaiki perilakunya, dan itu sebagai menjadi barisan perintah algoritma.
sesuatu yang amat baik, tetapi tentu berbeda bila
orang mencandu dan berubah perilakunya akibat Presentasi Diri di Media Sosial
proyek manipulasi.
Jika dunia relasi kasat mata adalah panggung, se­
Argumen kedua, berhenti dari media sosial ada­ bagaimana diandaikan Irving Goffman, mungkin
lah langkah paling tepat untuk menolak kegilaan kita memerlukan pendekatan baru dalam Sosiologi
masa kiwari. Orang mestinya tidak terkejut dengan untuk memahami relasi sosial di dunia internet. Da­
argumentasi ini, karena secara sadar menemui ke­ lam lirik God Bless, “dunia ini panggung sandiwara,
nyataan bagaimana orang dapat menjadi jahat se­ … setiap insan punya satu peranan yang harus kita
cara da­ring. Setidaknya, dari istilah yang populer mainkan.” (Patut diduga lirik ini suatu saduran dari
dikenal pengguna media sosial, “jari kita lebih ce­ drama komedi yang ditulis Shakespeare, As You
pat dari otak kita.” Ungkapan ini menunjuk pel­ Like It).
bagai peristiwa yang terkadang kemudian disesali
oleh si pengi­rim konten atau pemasang status. Apa­ Goffman melihat individu memainkan drama un­
kah Buni Yani dalam kasus pembuka tulisan ini tuk orang lain agar orang lain yakin tentang diri­
termasuk pengguna media sosial yang jahat secara nya. Seperti seorang aktor, mula-mula si individu
daring? Pertanyaan ini layak juga untuk diajukan. harus yakin terhadap peran mereka sendiri, baru
bisa memainkan dengan baik dan orang percaya.
Agar tidak terlalu memerinci penjelasan Lanier, ar­ Apa yang diperankan adalah suatu karakter yang
gumen-argumen ketiga hingga sepuluh berisi judul telah diproyeksikan. Melalui pertunjukan itulah
saja: media sosial membuat orang menjadi bodoh; individu mengembangkan identitasnya. Menurut
media sosial merusak kebenaran; media sosial Goffman peran yang tersedia untuk kita adopsi
membuat ucapan kita tidak bermakna; media sosial tidak terbatas. Individu dibatasi oleh peran sosial
menghancurkan kemampuan kita untuk berempati; yang tersedia dalam masyarakat tertentu pada
media sosial membuat kita tidak bahagia; media so­ waktu tertentu (Haralambos 2013, 760).
sial tidak ingin orang memiliki martabat ekonomi;
media sosial membuat politik menjadi tidak mung­ Dalam The Presentation of Self in Everyday Life (di­
kin; dan yang terakhir, media sosial membenci jiwa kutip dari Manning 2007, 40), Goffman mengu­
manusia. raikan enam kata kunci dalam dramaturgi di du­
nia yang ia pandang sebagai panggung sandiwara.
Apakah proposal Lainer layak untuk diikuti? Meng­ Keenamnya adalah penampilan, tim atau kelom­
ingat pula paparan F. Budi Hardiman dalam Aku pok, wilayah, perbedaan peran, komunikasi di luar
Klik maka Aku Ada; Manusia dalam Revolusi Digital: karakter, dan manajemen impresi. Manning mem­
beri catatan, kiranya akan salah jika menyimpulkan
“Media sosial dapat memodifikasi warga baik-baik men­ bahwa metafora teater tidak berguna, sebab dengan
jadi kaum bumi-datar, anti-vaxxer, kadrun, dan bahkan begitu keyakinan intuitif kita salah arah. Sungguh
Nazi. Jalan dari kesalehan ke brutalitas bisa saja hanya benar klaim Goffman bahwa kita memainkan pe­
sejauh satu klik. Adalah ironi besar dalam peradaban ran, termasuk yang menakjubkan, mengambil ba­
bahwa pada saat kebebasan baru dalam berkomunikasi gian dalam tim, membedakan secara spasial antara
diraih seluas-luasnya, manusia justru berada dalam ken­ wilayah depan (front stage) dan wilayah belakang
dali mesin-mesin cerdas…” (Hardiman 2022, 46-47). (back stage), dan secara umum menampilkan kete­
rampilan hebat dalam manajemen impresi (Man­
Pada aras politik, algoritma bukanlah prosedur ning 2007, 54).
susunan perintah dalam komputer yang netral.
Pranoto (2022) menunjuk makin liarnya ujaran ke­ Di atas panggung dunia itulah pertunjukan digelar.
bencian dan berita bohong menyebar dalam me­ Definisi Goffman atas pertunjukan adalah “semua
dia sosial. Ia melihat, meski perusahaan teknologi aktivitas oleh partisipan tertentu pada kesempatan
raksasa yang mengendalikan media sosial telah tertentu yang berfungsi untuk memengaruhi parti­
menjanjikan algoritmanya bakal mampu mengha­ sipan lain melalui pelbagai cara.” Agar pertunjukan
pus pesan-pesan bernada kebencian, kenyataan­ sukses, setiap (aktor) individu di “atas panggung”
nya mereka lebih memilih laba. Di mata Pranoto, harus memperlihatkan keyakinan mereka bahwa
perusahaan teknologi itu hampir tidak mungkin apa yang tengah ditampilkan sebagai sesuatu yang
menghasilkan laba jika tidak ada ujaran kebencian nyata ada. Goffman yang sinis kelak menyebut rela­

58 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


si sosial sebagai permainan (game). Manning meng­ maka di manakah panggung belakang (back stage)
anggap kedua metafora ini, teater dan permainan, Goffman kini? Ketika hanya dengan diri, dalam
tetap membawa konsekuensi yang serupa: kita ada­ ruang kesendirian, seorang pengguna media so­
lah manipulator atas situasi sosial yang ada (Man­ sial membuka gawainya lalu memilih foto terkenes
ning 2007, 36). Dalam kesempatan berikutnya, Goff­ dan menampilkannya di Facebook atau Instagram,
man menyebut, “kehidupan sosial manusia, dilihat masihkah perbedaan spasial Goffman berlaku?
dari perspektif ilmu-ilmu fisika dan biologi, hanya­ Atau dalam skenario lain yang kerap kita temui:
lah koreng tidak beraturan di muka bumi, terutama di satu meja kafe tempat sebagian besar orang sa­
yang tidak dapat menerima analisis sistematis yang ling menge­nal, di salon atau barber shop, dan di
mendalam” (Orton-Johnson & Prior 2013, 65). meja makan keluarga, setiap orang menundukkan
kepala menatap ponsel masing-masing. Berada di
Clifford Geertz berpendapat analogi permainan depan atau belakang panggungkah mereka? Lebih
dan panggung Goffman menyatu dalam analisis jauh lagi, ketika orang tidak lagi percaya atas pe­
sosiologi sebagai “permainan interaksi”, sebagai rannya—dalam anjuran Goffman—akibat algorit­
“ping-pong dalam topeng.” Geertz menyimak Goff­ ma media sosial mengubahnya sedemikian rupa
man dan melihat bahwa “pertaruhan, siasat, ger­ secara manipulatif, benarkah panggung dunia ma­
takan, penyamaran, konspirasi dan penipuan ber­ sih diisi oleh aktor-aktor dengan kesadaran pilihan?
langsung” di mana-mana. Setiap orang dianggap Atau mereka hanya koreng?
memainkan teka-teki yang memiliki struktur jelas
tetapi inti permainan tidak jelas. Pandangan dis­ Setiap orang memiliki panggung belakang. Tempat
kursif tentang kehidupan sehari-hari itu, menurut ia menyiapkan diri untuk masuk ke babak atau ade­
Geertz, memunculkan kebutuhan akan interpretasi gan yang membutuhkan dirinya, atau sekadar un­
sekaligus konflik interpretasi (Manning 2007, 58). tuk melepas lelah. Di bagian belakang pang­gung,
dalam teater Goffman, bukan berarti autentisitas
Penting diperhatikan bahwa Goffman membedakan berlangsung, karena di belakang panggung juga
apa yang terjadi di bagian depan panggung (front bisa bertemu orang lain. Dalam pertunjukan besar
stage) dan di belakang panggung (back stage). Di Goffman di bumi ini, setiap kita adalah pemain
bagian depan setiap orang dalam suatu tim beker­ sekaligus penonton bagi orang lain. Tidak heran ia
ja sama memainkan satu peran, bisa juga seseorang menggunakan kata persekongkolan atau kesepa­
berganti peran. Sukses penampilan di panggung katan bila ingin setiap adegan dalam pertunjukan
depan menuntut kesepakatan antara pemain dan sukses.
penonton untuk memperlakukan panggung depan
sebagai satu-satunya kenyataan. Suatu persekong­ Pada kasus krisis Huizinge, persekongkolan itu
kolan yang dilakukan terbuka dan disadari bersama. mestinya bernama kerja sama, meski tidak terjadi
sehingga generator sumber energi satu-satunya, la­
Goffman memberi contoh adegan di rumah duka. gi-lagi, meleduk. Di belakang panggungnya, Buni
“Jika keluarga yang berduka diberi ilusi bahwa Yani menyiapkan diri untuk masuk ke panggung
orang mati benar-benar tertidur, maka pengurus depan di dunia dengan suntingan video yang ver­
rumah duka harus menjauhkan keluarga itu dari si lengkapnya ia unduh dari kanal YouTube Peme­
kamar tempat mayat dimandikan, dibersihkan, dan rintah Daerah Jakarta. Pertunjukan yang tercipta
dirias untuk penampilan terakhirnya.” Persekong­ kemudian sukses berkat kerja sama yang meya­
kolan terjadi karena pada saat yang sama keluarga kinkan antara algoritma, massa yang mudah di­
yang berduka harus bertemu dengan pengurus ru­ sulut marah, organisator andal, dan orator ulung
mah duka untuk membahas perincian pemakaman pembakar emosi. Mereka pun disaring dalam je­
dan biaya layanan. Menurut Manning, sepanjang jaring algoritma yang memungkinkan mereka ber­
membahas pembedaan panggung depan dan be­ temu baik secara daring atau dalam seragam serba
lakang, Goffman menghindari klaim bahwa yang putih di lapangan Monumen Nasional.
otentik dapat dibedakan berdasarkan ruang. Seba­
liknya, ia menganjurkan agar melihat persepsi kita Dalam bahasa Goffman, itulah manajemen kesan
tentang perilaku, sebab keaslian dapat hadir di te­ atau impresi yang hanya mungkin bila terjadi ko­
ngah panggung, atau di sudutnya yang remang-re­ laborasi dari aktor-aktor sosial. Kebutuhan indivi­
mang (Manning 2007, 42). du untuk mempresentasikan diri di dunia sosial,
ditangkap dengan genius oleh perusahaan-per­
Bila dunia kasat mata seluruhnya adalah pang­gung usahaan teknologi, untuk kemudian dieksploitasi
depan, sedangkan ruang-ruang privasi ketika diri (meminjam istilah Sapien 2021) sampai ke wilayah
berhadapan dengan diri sendiri adalah panggung terdalam dan terjauh melalui algoritma. Kesuksesan
belakang, ternyata dunia digital hadir, atau di­ aktor-aktor mempresentasikan diri di panggung
masuki. Bila di media sosial batas spasial hilang, media sosial hanya sukses setelah tiap-tiap peng­

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 59


guna saling berkolaborasi dalam klik (meminjam gawas yang telah gagal berfungsi di Huizinge. Apa­
istilah Hardiman 2022), menyukai (like), memberi bila anjuran Lanier tidak mungkin, karena terlalu
komentar (comment), dan membagi (share). Di pang­ radikal, jalan Hardiman dan Supelli menjadi ma­
gung Goffman yang baru itu, dunia tanpa kejelasan suk akal mengingat proposal mereka lebih utama
panggung belakang, manipulasi sangat mungkin meng­ajak individu untuk berperilaku sebagai ma­
terjadi bersebab kecenderungan manipulatif peng­ nusia modern, yakni memanfaatkan kebebasannya
guna dalam rangka presentasi diri. secara rasional.

Catatan Akhir Keberhasilan kapitalisme pengawasan oleh per­


usahaan-perusahaan teknologi raksasa di satu sisi
Andrew Keen, pemerhati internet kelahiran Ing­ memberi peluang negara untuk memanfaatkannya
gris, pada tahun 2015 menerbitkan buku dengan dalam proyek pengawasan warga negara secara
judul provokatif, The Internet is Not the Answer. Ia efektif. Praktik 1984 Orwell niscaya berakhir de­
menuding internet telah membawa janji palsu. Janji ngan sempurna. Dengan demikian, mengundang
demokrasi, janji kesetaraan ekonomi, dan kompetisi negara menjadi Leviathan guna mengakhiri dilema
yang adil tidak terpenuhi. Alih-alih tercipta kom­ akibat media sosial bukanlah pilihan terbaik. Akan
petisi yang adil, malah memunculkan raksasa mo­ tetapi, kewajiban negara untuk menjaga privasi dan
nopoli seperti Google dan Amazon. Jaron Lanier yang keselamatan warga dari eksploitasi konsumerisme
menganjurkan agar orang menghapus akun media wajib ditagih. Dengan demikian, perlu regulasi-
sosialnya sekarang juga rupanya kurang radikal re­gulasi yang menjamin seluruh pengguna media
berhadapan dengan Keen. Betapa pun Lanier tetap sosial (citizen) dalam konteks civic. Artinya, kon­
menganggap bahwa internet adalah suatu temuan trol terhadap pembukaan data diri dari pengguna
terhebat umat manusia yang mesti dirayakan kegu­ media sosial kepada pembelajaran mesin berada di
naannya. Ia sendiri tidak dapat menjawab apakah bawah otoritas sipil yang memiliki mandat untuk
orang masa kini dapat hidup bila tanpa media so­ itu di luar kekuasaan negara.
sial. Ia hanya yakin bahwa mungkin akan ada ino­
vasi-inovasi baru (Lanier 2018). Pada gilirannya, setiap penampilan di panggung
digital Goffman layak tetap menyediakan back stage,
Hardiman (2022) menganjurkan agar individu mu­ sebagai ruang para aktor menyiapkan diri menata
lai menjadikan klik sebagai tindakan moral. Tidak impresi yang sejalan dengan agenda-agenda ke­
tersurat, tetapi agaknya ia berada dalam lapisan baikan bersama. Back stage Buni Yani, pada situa­
kaum bertanya seperti Pranoto (2022) agar kaum si tersebut, amat mungkin tidak akan melahirkan
teknisi perusahaan teknologi raksasa penggurat suntingan yang menyulut kemarahan. Bagaimana­
algoritma dapat menyertakan nilai-nilai kemanu­ pun, seperti dikutip pada awal tulisan, dari film
siaan dalam pembelajaran mesinnya. The Social Revolutionary Road, “tidak seorang pun lupa apa itu
Dilemma menganjurkan upaya mengambil kembali kebenaran.”
kemandirian pengguna, salah satunya dengan cara
menonaktifkan notifikasi, sehingga tidak serta-mer­
ta sebangun tidur memeriksa apa yang terjadi da­
lam jejaring media sosial, atau lebih parah, meme­
riksa keadaan presentasi diri di panggung digital.

Dengan rendah hati Supelli (2013) mengakui bah­


wa hingga sejauh ini kita tidak mampu mengubah
penyediaan (supply) karena pertimbangan pebisnis
adalah apa yang paling laku di pasar. “Maka jalan
yang perlu kita ambil adalah: bagaimana mengubah
permintaan (demand). Kebiasaan mendidik hasrat
pada gilirannya akan membantu kita memahami
perbedaan antara tugas warga negara dan status­
nya sebagai konsumen. Konsumen memilih untuk
meningkatkan kenyamanan pribadi, warga negara
memilih untuk menyumbang pada kepentingan
bersama.”

Jalan Lanier, Hardiman, dan Supelli mensyaratkan


disiplin keras sebagaimana mestinya dilakukan
penduduk Huizinge. Bukan jalan yang mudah, dan
tidak semata-mata dibutuhkan inspektur atau pen­

60 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Daftar Pustaka Pranoto, Iwan. 2022. “Kesalingterhubungan
Pemikiran.” Sutan Takdir Alisjahbana Me­
Buku morial Lecture. Jakarta: Akademi Jakarta, 6
Desember.
Dijck, José van. 2013. The Culture of Connectivity: A
Critical History of Social Media. New York: Supelli, Karlina. 2013. “Kebudayaan dan Keg­
Oxford University Press. agapan Kita.” Pidato Kebudayaan Dewan
Kesenian Jakarta. Jakarta: Dewan Kesenian
Haralambos, Michael, Martin Holborn, Steve Jakarta, 11 November.
Chapman, dan Stephen Moore. 2013. So­
ciology: Themes and Perspectives-8th Edition. Tyson, Adam. “Blasphemy and Judicial Legiti­
London: Collins. macy in Indonesia.” Politics and Religion
14, No. 1 (2021): 182–205. doi:10.1017/
Hardiman, F. Budi. 2022. Aku Klik maka Aku Ada: S1755048319000427.
Manusia dalam Revolusi Digital. Yogyakar­
ta: Kanisius. Berita, Transkripsi dan Makalah Daring

Lange, Paul A.M. Van, Daniel Balliet, Craig D. Facebook. 2020. What ‘The Social Dilemma’ Gets
Parks, dan Mark Van Vugt. 2014. Social Wrong. Oktober. Diakses Desember 2022.
Dilemmas: The Psychology of Human Cooper­ https://about.fb.com/wp-content/up­
ation. New York: Oxford University. loads/2020/10/What-The-Social-Dilem­
ma-Gets-Wrong.pdf.
Lanier, Jaron. 2018. Ten Arguments for Deleting Your
Social Media Accounts Right Now. New Lazuardi, Iqbal Tawakal. 2017. Buni Yani Divonis
York: Henry Holt and Company. 1,5 Tahun Penjara. 14 November. Diak­
ses Desember 2022. https://nasional.
Manning, Philip. 2007. Erving Goffman and Modern tempo.co/read/1033655/buni-yani-divo­
Sociology. Cambridge: Polity Press. nis-15-tahun-penjara.
Orton-Johnson, Kate, and Nick Prior. 2013. Digital Loft, Scraps from the. 2020. The Social Dilemma
Sociology: Critical Perspectives. London: (2020) Transcript. Oktober. Diakses De­
Palgrave MacMillan. sember 2022. https://scrapsfromtheloft.
com/movies/the-social-dilemma-mov­
Zuboff, Shoshana. 2019. The Age of Surveillance Cap­
ie-transcript/.
italism: The Fight for a Human Future at the
New Frontier of Power. New York: Public R, Mei Amelia. 2016. Polisi: Buni Yani Sengaja
Affairs. Posting Status di Video Ahok untuk Ajak
Diskusi. 24 November. Diakses Desem­
Jurnal dan Pidato Ilmiah
ber 2022. https://news.detik.com/
berita/d-3353924/polisi-buni-yani-sen­
Kollock, Peter. 1998. “Social Dilemmas: The Anat­
gaja-posting-status-di-video-ahok-untuk-
omy of Cooperation.” Annual Review of
ajak-diskusi.
Sociology (University of Alabama) 24 (01):
183-214.
Sapien, Human First. 2021. “Let’s Solve the Social
Dilemma: A Sapien Whitepaper.” Sapien
Lim, Merlyna. 2021. “Ritme dan Algoritme
Network. Diakses Desember 2022. https://
Kebudayaan.” Pidato Kebudayaan Dewan
assets.website-files.com/617ff092007ba6
Kesenian Jakarta. Jakarta: Dewan Kesenian
b009790420/6181067a5355f15f55353ff2_
Jakarta, 10 November.
SPN_Whitepaper_RW2021_1.2.pdf.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 61


Moral Guard Police:
Membaca Karya Seni dari Sudut Pandang Adorno
Agung Frigidanto
frigidanto10@gmail.com
Ruang Garasi

Abstrak kolase tersebut dimaksudkan untuk mencapai


pesan tertentu yang akan disampaikan pada bagian
Artikel ini ingin membahas karya seni dari sudut kemudian dari tulisan ini.
pandang filsuf Adorno yang sering membahas
masalah estetika dalam banyak bukunya, misalnya Deskripsi Moral Guard Police
buku Aesthetic Theory yang diterbitkan pada
tahun 1970. Prinsip-prinsip estetika Adorno akan Pada panel 1, terdapat seorang transgender yang
dipergunakan untuk membaca karya lukis yang sedang berpose berdiri dengan memperlihatkan
berjudul “Moral Guard Police”, sebuah lukisan kemaluannya (namun disamarkan dengan kain
triptych berukuran 100x240 cm2, karya Syakieb brookat merah). Di baliknya adalah sebuah tembok
Sungkar yang dibuat di tahun 2022, dan pernah dengan grafiti wajah Gus Dur sambil tertawa,
dipamerkan pada sebuah media pada 3 November beserta slogan terkenalnya, “Gitu Aja Kok Repot.”
2022. Metode yang dipakai dalam penulisan Ada pula potongan grafiti berwarna merah –
adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan cara hijau – kuning bertuliskan “SY”, yang tampaknya
mengumpulkan teks dan gambar untuk kemudian merupakan grafiti tetangga dengan gaya lain
dianalisa dan ditafsirkan. Pertimbangan metode karena dibuat oleh orang yang berbeda. Memang
yang dipilih karena cocok untuk menggambarkan demikianlah nasib tembok kota yang berada pada
fenomena yang ada, baik fenomena natural pinggir jalanan, ia penuh dengan coretan-coretan
maupun hasil rekayasa manusia.1 Temuan yang yang hanya dimengerti oleh si pembuat grafiti
diharapkan dalam tulisan ini adalah, bahwa suatu itu sendiri atau kelompoknya. Walau sebuah
karya seni dapat ditafsirkan secara memadai grafiti yang menjadikan dirinya mural kaum
dengan menerapkan teori estetika Adorno. Adapun urban dapat menyampaikan aspirasi masyarakat
pembahasan teori Adorno dalam tulisan ini di sekelilingnya.2 Masih ada coretan-coretan lain
sebagian besar didasarkan pada buku “Seni Sebagai yang lebih acak dengan tulisan “Asmujo” disertai
Pembebasan” yang ditulis oleh pelukisnya sendiri. gambar telapak tangan dan jantung hati. Belum
cukup dengan grafiti dan coretan acak, panel
Keywords: Adorno, Moral, Masyarakat, Seni, tersebut masih ditempeli kolase dalam bentuk stiker
Antitesis, Emansipasi. yang bertuliskan “Disaster” dan stiker bergambar
“Jokowi” di bagian bawah.
Pendahuluan
Panel 2 adalah lukisan yang berbentuk macan
Timbul tenggelam diskursus seni, terutama seni terbang. Tepatnya binatang berkepala macan,
lukis, disebabkan oleh kekuatan kontekstualisasi berkaki dua, dan bersayap. Tubuhnya berwarna-
wacana. Hal itu akibat perputaran nilai sesuai warni tidak seperti warna bulu macan yang sering
dengan perkembangan zaman. Kebutuhan kita jumpai di kebun binatang. Latar belakang
untuk menegakkan nilai dalam seni merupakan macan adalah warna merah yang flat. Macan
manifestasi untuk memunculkan, memperkuat itu sendiri melayang pada atap rumah-rumah
dan memperjuangkan subyek agar dapat mewakili kumuh yang diperlihatkan oleh goresan-goresan
zamannya. Untuk itu dilakukan sebuah studi atas bidang segi empat tidak beraturan. Goresan itu
lukisan “Moral Guard Police” yang terdiri atas 3 berwarna dominan putih. Binatang itu merupakan
panel. Lukisan itu menarik dibahas karena telah pengembangan bentuk yang dirangsang oleh
memberikan gambaran bagaimana kebudayaan benda, keadaan atau binatang yang sudah ada.
yang berkembang kini. Lukisan tersebut adalah Pengembangan sang pelukis lah yang dapat
sebuah karya dengan media oil on canvas yang diberi menjadikan subyek mempunyai daya pikat dan
kolase berupa stiker dan potongan kayu. Peletakan
2 Sungkar, Anna (2019). Street Art dalam Narasi Se-
buah Kota. Jurnal Seni Urban, Pasca Sarjana Insti-
1 Moleong, Lexy J (2000). Metodologi Penelitian Kuali- tut Kesenian Jakarta. ISSN: 2164-2767. Volume 2,
tatif. Bandung: Rosdakarya. h.3 No. 2, April – September 2019.

62 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


bentuk baru figur tersaji di atas kanvasnya. Dimensi hanya ada dalam bahasa oral keseharian. Imajinasi
imajinasi dalam membentuk subyek lukisan terlihat berkembang ketika pikiran mempunyai konsentrasi
dominan. Sedangkan latar merupakan penopang dalam pokok bahasan yang mendalam atas suatu
dari hasil imajinasi tersebut. Macan yang terbang permasalahan.
tidak diberi background awan biru tetapi merah
darah. Itulah macan imajiner yang merupakan Panel 3, adalah gambaran tentang perempuan
Moral Guard Police atau Polisi Penjaga Moral itu dengan pakaian tradisional, yaitu pakaian yang
sendiri. Ia nampak kejam, mengawasi, mengontrol, digunakan untuk sembahyang di pura, lengkap
terbang berkeliling, mencari-cari kesalahan dengan membawa sesaji di tangan kiri. Sesuai
orang-orang yang berbeda, dalam hal ini kaum dengan busana yang dikenakan para perempuan
transgender, yang biasanya tersingkirkan, miskin, saat menghadiri upacara besar. Latar gelap
dan tinggal di rumah kumuh. Kita dapat melihat membantu menonjolkan subyek. Panel itu
kumpulan rumah seperti itu di daerah Penjaringan, menunjukkan keberpihakan pada tradisi. Bali
Jakarta, misalnya. sebagai wilayah nyata kehidupan keagamaan

n Gambar 1 – Syakieb Sungkar, “Moral Guard Police”, triptych, 100 X 240 cm2, oil on canvas, kayu, brookat, dan kolase, 2022.

Sudut pandang ini menjadikan lukisan sebuah dengan adat ketat, merupakan representasi tanda
pergulatan ketika dalam proses penciptaan, bahwa tradisi itu hidup. Pada lukisan ini tergambar
ia mempunyai diskursus yang menjembatani bahwa tradisi dan adat mempunyai teritori yang
bagaimana munculnya suatu kreasi: macan terbang kuat. Apakah Indonesia yang seperti itu yang
versi sang pelukis. Macan imajiner itu mempunyai diidamkan Pancasila? Atau setidaknya pemikiran
anatomi di luar macan pada umumnya. Dua kaki seperti itulah yang mengendap dalam sanubari
depan terlihat, sedangkan dua kaki belakang tidak kebanyakan orang Indonesia. Panel ini merupakan
diterapkan seutuhnya. Terlipat ke belakang tertutup idealita sebagian besar masyarakat, “karya
berbagai warna yang ditorehkan di antara bentuk, seni lebih ditekankan pada aspek pengalaman
sapuan warna dan posisi kaki saat binatang terbang, atau mengalami – ketika estetika berinteraksi
tertarik ke belakang, karena macan ini bersayap dan dengan seni dan realitas.”4 Pada bagian bawah
bergerak seakan terbang. Macan terbang hingga figur penari diletakkan 4 potongan kolase kayu
ekor yang tidak terlihat seutuhnya, dalam kenyataan yang merepresentasikan sebuah panggung.
kehidupan tidak mungkin ada. Tetapi melalui Perempuan seperti itulah yang sesungguhnya
bahasa “imajinasi” dapat diurai menjadi “bahasa mendapat ‘panggung’ dalam perjalanan kehidupan
pertama yang dialami setiap manusia”3, begitu masyarakat.
Afrizal Malna memberi uraiannya atas imajinasi.
Perspektif imajinasi dapat merangkai realitas yang
4 Sungkar, Syakieb (2022). Seni Sebagai Pembebasan,
3 Malna, Afrizal (2021). Kandang Ayam. Yogyakarta: Sebuah Telaah Tentang Estetika Adorno. Yogyakarta:
Diva Press. h. 31 Penerbit Circa. h. 178

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 63


Teori Estetika Adorno otonomi seni berarti mempunyai fungsi mengkritisi
masyarakat, sehingga dibebaskan dari keharusan
Adorno meletakkan potongan-potongan pikiran­ melakukan peran sosial tertentu yang telah ditetapkan
nya tentang estetika dalam banyak buku. sebelumnya. Seharusnya, hadirnya seni itu sebagai
Beberapa pemikirannya yang sesuai dengan tema sesuatu yang unik, yang hanya mematuhi hukumnya
pembahasan lukisan akan diuraikan di bawah ini. sendiri, otonomi, berdiri dalam kontradiksi terhadap
masyarakat – karena masyarakat itu selalu mengajak
1. Seni merupakan antitesis masyarakat berkompromi, dengan cara mempertukarkan segala
hal, termasuk mempertukarkan prinsip-prinsip
Adorno membahas secara mendetil (kebenaran, kesetaraan, dan kebebasan).8
hubungan seni dengan masyarakat dalam
artian bagaimana fungsi seni dalam melihat Kita dapat melihat bahwa hubungan seni yang
masyarakat. Ia mengatakan, “Seni adalah sebelumnya harus dipisahkan dari realitas
antitesis masyarakat, namun bukan berarti seni itu obyektif, dalam hal ini masyarakat, kemudian
malah terlepas dari masyarakatnya”5. Menurut didefinisikan sebagai antitesis masyarakat.
Adorno, ada dua pertanyaan yang saling Dengan memberikan peran bahwa seni itu
berhubungan dalam mendefinisikan seni, antitesis masyarakat maka seni akan menjadi
yaitu “bagaimana hubungan seni dengan sesuatu. Seni akan nyata apabila ia dapat
masyarakatnya” dan pertanyaan kedua – mengkritisi realitas. Kalau kita kembali pada
“apakah seni itu merupakan bagian dari karya “Moral Guard Police”, maka citra
masyarakat”? Pertanyaan-pertanyaan itu manusia atau perempuan ideal pada panel
disinggung pada Aesthetic Theory: 3 yang menggambarkan wanita berbusana
tradisi merupakan realitas hasil kompromi yang
Pergulatan seni itu dimotivasi oleh konflik antara ditolak Adorno, karena ada sebagian manusia
pesona magisnya dengan kemajuan dunia yang yang berbeda dari yang sudah diidealkan
selalu menolaknya. Dunia di luar seni akan masyarakat, yaitu manusia transgender pada
berusaha melenyapkan unsur gaib dari seni. Karena panel 1.
seni mempunyai karakter yang membebaskan diri
dari kenyataan, namun pesona seni yang seperti Dalam realitas, sebagian besar masyarakat
itu menjadikan dirinya bagian dari pencerahan: menolak keberadaan transgender. Ada
sehingga seni dapat menyadarkan dunia yang kecurigaan bahwa hilangnya waria dari
mengecewakan.6 pandangan mata di jalan-jalan karena adanya
puritanisme dalam beragama, hal itu mulai
Nukilan di atas mengatakan dua wajah yang terjadi sejak zaman Reformasi, di mana
dialektikal terhadap seni menurut pandangan sebagian kelompok masyarakat demikian keras
Adorno, bahwa seni kontemporer merupakan terhadap transgender. Ia seperti polisi penjaga
sesuatu yang ada di masyarakat namun di moral (Moral Guard Police) – pada panel 2 -
sisi lain ia menolak mengambil bagian dari yang mengejar-ngejar kaum transgender agar
masyarakatnya. Ia merupakan antitesis, menghilang dari muka bumi.
mempertanyakan dan mengkritisi hal-hal yang
sudah established terjadi di masyarakat. Menurut Kita tahu bahwa menurut situs The Burning
Adorno, seni tidak boleh merendahkan dirinya, Platform, dalam artikelnya “All 112 genders,
memberikan toleransi dan berkompromi, PLUS the 71 suffixes”9, bahwa gender manusia
sehingga mereduksi porsinya sebagai bagian itu tidak terbatas pada pria dan wanita saja,
dari masyarakat, namun seharusnya seni itu saat ini sudah teridentifikasi 112 macam gender.
beroposisi (antitesis) terhadap masyarakat. Dan waria masuk ke salah satu dari yang 112
Karya seni itu justru menjadi eksis apabila ia itu. Artinya waria itu tidak bisa hilang dan tidak
mempunyai nilai sosial terhadap fakta-fakta akan musnah dari muka bumi, karena itu sudah
atas masyarakat yang dikritisi (art becomes nature-nya manusia. Namun bagi sebagian
social by its opposition to society7). Bagi Adorno, orang, sepertinya transgender itu bukanlah

5 Adorno, Theodor (1997 [1970]). Aesthetic Theory. 8 Wilson, Ross (2007). Theodor Adorno. New York:
terj. Robert Hullot-Kentor. USA: Continuum, Routledge. h. 50
University of Minnesota, h. 8.
9 h t t p s : / / w w w. t h e b u r n i n g p l a t f o r m .
6 Adorno (1997), Aesthetic Theory, 58 com/2021/03/06/all-112-genders-plus-the-71-
suffixes/ diakses tanggal 25 Desember 2022,
7 Aesthetic Theory, 225 pukul 07:41.

64 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


makhluk Tuhan. Hanya dua jenis manusia genosida terhadap orang Yahudi di kamp
yang diakuinya, yaitu laki-laki dan perempuan, Auzchwitz. Gambaran skeptis tentang dunia,
sementara urusan 112 gender itu seperti tidak sebenarnya bukan asli pemikiran Adorno,
ada. Yang di luar pria dan wanita adalah liyan, namun merupakan warisan Nietzsche yang
yang lain, yang berbeda dengan kita, the Other, kemudian ditanggapi oleh Heidegger. Menurut
tidak dianggap dan kalau perlu dimusnahkan. Heidegger, seandainya dunia terus berubah
Itu mirip dengan orang Yahudi di Jerman ketika dan binasa, dan esensinya adalah kefanaan atas
Hitler berkuasa, orang Yahudi dianggap bukan apa yang sudah hancur dan tidak stabil, maka
kaumnya, tidak diakui sebagai warga negara kebenaran yang konstan hanyalah endapan
Jerman, dikucilkan, disingkirkan, dan pada dunia itu sendiri yang diusahakan agar dapat
akhirnya dimasukkan ke kamar gas di kamp terukur dan menjadi. Esensi dunia yang seperti
Auschwitz. itu, menurut Heidegger, tidak benar dan hanya
distorsi semata. Pengetahuan yang – dikatakan
Menurut Adorno, seni kontemporer sudah benar – akan membuat sesuatu ‘menjadi’ dalam
mengubah total seni yang dahulu. Tantangan pengertian konstan dan stabil. Hal itu akan
terhadap idea tradisional yang berisi nilai-nilai membatasi dunia untuk menjadi dan tidak
harmoni atau idea tentang yang sopan dan aktual.10
pantas adalah suatu refleksi atas kebutuhan
pembaharuan sesuai dengan sifat dari seni itu Karenanya, dunia yang ada sekarang menurut
sendiri. Kategori-kategori artistik tradisional filsafat modern adalah ‘dunia-menjadi’ atau
telah ditentang oleh seni kontemporer yang dunia yang tidak stabil dan selalu berproses.
tidak sepenuhnya dimengerti oleh mereka. Gagasan tentang realitas yang stabil menjadi
Artinya, bahwa yang sopan dan pantas adalah mitos. Realitas menjadi tidak menyatu, terpecah,
yang sesuai tradisi, yang harmoni, adalah tesis merupakan sedimentasi kekuasaan dan sejarah.
masyarakat, di luar itu adalah “Disaster” (panel Dunia sejak Perang Dunia, menurut Adorno,
1). Sementara tugas seni adalah menolaknya adalah dunia yang kacau dan tidak memiliki lagi
(antitesis masyarakat). Kalau masyarakat nilai-nilai universal dan metafisis. Sejarah telah
menolak transgender, maka seni justru harus menolak dorongan menuju universalitas, hal
menyuarakannya. Karenanya, grafiti yang ini telah memotivasi prinsip estetika Adorno.
mengutip pernyataan Gus Dur bahwa “Gitu Pada mulanya Adorno masih mengungkapkan
Aja Kok Repot” merupakan peringatan kepada kecenderungan filsafat universal di tahap awal:
yang tidak menerima keberagaman – termasuk
menolak transgender – bahwa masyarakat Estetika filosofis yang agung berdiri dalam
terlalu serius dalam menolak LGBT. kesesuaian dengan seni sampai-sampai mereka
mengkonseptualisasikan apa yang universal di
Padahal Gus Dur sangat memperhatikan dan dalamnya. Ini sesuai dengan tahap awal di mana
peduli dengan masalah the Other ini. Sehingga filsafat dan bentuk roh lainnya, seperti seni, belum
ia kemudian menertibkan dan meluruskan terkoyak.11
nasib kewarganegaraan orang-orang Tionghoa
serta para eks Tapol PKI dan keluarganya Namun selanjutnya Adorno berpendapat bahwa
yang selama ini teraniaya rezim Orde Baru. estetika mulai sekarang harus membiasakan
Demikian pula dengan urusan waria ini, ia dirinya berorientasi pada proses karena hal itu
demikian toleran, sehingga ada pesantren lebih mencerminkan realitas yang terpecah-
yang menerima para waria menjadi santrinya. pecah, dengan subyek yang terlibat dalam karya
Memang masalah transgender jauh dari selesai. seni, dan karenanya kondisi itu menjadikan
Sampai saat ini kaum LGBT hidup dengan filsafat harus memposisikan dirinya. Memang,
sembunyi-sembunyi, mereka tidak mau seni tidak dapat eksis kalau terpisah dari dunia-
membuka identitasnya. Sementara itu, di mana menjadi. Bahkan, karya seni itu sendiri bukanlah
peran Jokowi yang terkenal dengan semangat sesuatu yang stabil, ia mempunyai nilai dan
toleransinya itu (stiker kolase pada panel 1), interpretasi makna yang historis transenden.12
tampaknya ia tidak berbuat sesuatu yang berarti Dalam Aesthetic, Adorno mengatakan,
dalam memperjuangkan nasib transgender.
10 McGrath, Larry. (Un)Doing Critical Philosophy: Re-
2. Seni menolak penilaian yang mutlak, flection on Adorno’s Aesthetic Theory. Berkeley: Uni-
universal, metafisis dan transenden versity of California. h. 66

Pemikiran filsafat Adorno berlandaskan 11 Aesthetic Theory, 334


bahwa dunia yang ada sekarang adalah dunia
yang sudah hancur, terutama sejak peristiwa 12 McGrath, 67

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 65


Karya seni adalah suatu proses tanpa direduksi hanya dengan realitas obyektif adalah proses. Adorno
berat ke satu sisi atau sisi yang lainnya, hubungan lebih suka mendefinisikan estetika sebagai
seperti itu yang merupakan proses menjadi. Apapun hubungan dialektika antara seni dengan realitas.
yang ada di dalam suatu karya seni bukanlah suatu Estetika harus membiasakan dirinya berorientasi
totalitas universal, bukan suatu struktur yang pada proses karena hal itu lebih mencerminkan
menjahit bagian demi bagian.13 realitas-menjadi yang terpecah-pecah.
Di sini Adorno menegaskan bahwa seni tidak 3. Karya seni menolak statemen politis
dapat terlepas dari realitas dunia-menjadi,
namun juga seni bersifat tidak stabil, yang Walau demikian, seni dapat melawan (antitesis)
definisinya harus disesuaikan terus menerus kenyataan yang terjadi di masyarakat tanpa harus
dengan perkembangan zaman. Sebagaimana menggunakan pernyataan eksplisit atas opini
ditinggalkannya universalisme, filsafat modern politik. Tetapi melalui kesadarannya sebagai
ditandai dengan surutnya metafisika, dan hal seni, tanpa niat politis, dapat mengungkapkan
itu menandai bangkitnya dunia yang stabil sesuatu yang nyata dan sekaligus beroposisi
di atas estetika yang cair. Estetika tidak dapat radikal terhadap kenyataan. Adorno menjelaskan
lagi mendasari dirinya dalam posisi yang bagaimana pentingnya hal sosial pada seni
memuliakan subyek transendental. Dengan itu dalam On Lyric Poetry and Society.16 Puisi dengan
penciptaan teori seni harus menghilangkan upaya demikian akan menjadi contoh dari tesis
pencarian titik awal yang stabil atas investigasi sosiologis yang mapan17. Lirik dalam puisi dilihat
karya seni. Hal ini terjadi karena Nietzsche sudah Adorno sebagai wahana yang menyalurkan
membongkar asumsi kebenaran pada metafisika keadaan emosi subyektif atas keadaan sosial dan
dalam kredonya bahwa dalam dunia nyata, universal. Hal ini sesuai dengan pandangannya
satu-satunya yang benar adalah dunia yang mengenai hubungan seni dengan realitas yang
ditambahkan dengan kebohongan. Demikian sudah kita temukan dalam estetika Adorno,
pula dalam konteks transgender, bahwa yaitu universalitas dalam lirik-lirik puisi:
kebenaran yang universal hanyalah gender pria
dan wanita belaka yang diakui, -- merupakan Puisi bukanlah alat komunikasi yang universal jika
pakem lama yang harus ditinggalkan. tak dapat berkomunikasi orang lain. Puisi yang
tak dapat berkomunikasi, hanya membenamkan
Menurut Adorno, sebagaimana yang dipikirkan manusia dari ketinggian ke status universal, dengan
pula oleh Kant, bahwa penilaian seni itu bersifat mewujudkannya menjadi sesuatu yang tidak
apriori menurut subyek yang melihatnya. terdistorsi, dan tidak dipahami.18
Hal ini dapat dibandingkan dengan prinsip
estetika modern, bahwa yang mendominasi Adorno mengharapkan kita dapat meng­
percakapan estetika adalah konsep citarasa atau ungkapkan sesuatu yang esensial dari kualitas
selera (taste). Sehingga tidak ada keindahan puisi, yaitu dengan menembus karya sedalam
universal yang berlaku kapan saja dan di mana mungkin dalam rangka menangkap sifat
saja.14 Otonomi seni dapat juga kita bandingkan sosialnya. Ia menerangkan hubungan antara
dengan pendapat Clement Greenberg, bahwa baris-baris dalam puisi dengan masyarakat –
yang dimaksud otonomi itu berarti estetika yaitu dalam puisi, kategori-kategori sosiologis
sangat bergantung pada wacana kesenian yang tetap berada di luarnya, karena suatu karya seni
dihasilkan seniman. Sehingga pada seniman dibangun oleh keunikannya. Lebih jauh Adorno
dituntut kepeloporan tentang wacana, yaitu mengatakan, “Kesendirian yang begitu sering
gagasan seniman yang mendobrak pakem lama.15 ditekankan sebagai hal yang sangat penting dalam
Mengingat tidak ada yang mutlak dan universal puisi liris, (ternyata) mempunyai arti sosial, karena
dalam seni, Adorno mengatakan bahwa seni puisi semacam itu muncul dari masyarakat yang
dapat dimengerti melalui relasi negatif yang individualistis.”19. Yang penting, hubungan seni
berubah-ubah terhadap masyarakat. Dengan itu
Adorno ingin mengatakan bahwa hubungan seni
16 Wilson, 51
13 Aesthetic Theory, 178 17 Adorno, Theodor (1991). Notes to Literature, vol.
1, terj. Shierry Weber Nicholson. New York: Co-
14 Suryajaya, Martin (2016). Sejarah Estetika: Era
lumbia University Press, h. 37-8
Klasik Sampai Kontemporer. Jakarta: Gang Kabel
dan Indie Book Center, h. 273. 18 Notes to Literature, 1991, vol 1, 38
15 Suryajaya, 274 19 Notes to Literature, vol 1, 38

66 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


dengan masyarakat tidak dibangun oleh apapun penderitaan yang tidak dikenali”. Adorno juga
yang dinyatakan sebagai pernyataan politis memuji karya-karya pendek Anton Webern
eksplisit, namun dibangun oleh kedalaman yang merupakan murid dari Schoenberg.
baris-baris puisi. Dalam hal ini, karya “Moral Dikatakannya musik Webern terdiri atas
Guard Police” bukanlah karya politis walau ledakan inspirasi atas pengalaman buruk yang
ada Gus Dur dan Jokowi di sana. Pernyataan terkait dengan penderitaan yang sesungguhnya.
“Gitu Aja Kok Repot” lebih menggemakan Demikian pula karya “Moral Guard Police”
pesan yang puitis ketimbang stateman politik sebenarnya sebuah karya yang mengganggu,
yang lebih tegak, misalnya “Selamatkan Kaum sistem tandanya dibuat salah tempat, chaos,
Transgender”. sekaligus puitis, yang dapat menggambarkan
penderitaan kaum transgender.
Adorno menolak pemikiran Sartre bahwa
karya seni itu harus memberikan pernyataan 4. Prinsip non-identitas Adorno
eksplisit seperti pada karya-karya dramanya.
Karena pernyataan politis dalam karya seni Problem manusia kontemporer adalah mereka
itu tidak estetis. Seharusnya karya seni itu membutuhkan identifikasi atau identitas
harus seperti puisi yang dapat menangkap agar benda-benda menjadi ‘sesuatu’.22 Tetapi,
realtas tanpa makna.20 Menurut Adorno, menurut Madzhab Frankfurt, identitas itu
seni kontemporer harus menanggapi dunia palsu, dan hubungan antara subyek dengan
yang kehilangan makna, yang mana hal masyarakatnya akan diubah. Dengan demikian
itu jelas terjadi setelah Perang Dunia II dan kelak identitas subyek-obyek pun akan mem­
genosida Nazi. Sartre mengira bahwa makna peroleh derajat lebih sempurna, yang berbeda
dramatik yang kriterianya sudah terbentuk dengan identitas palsu zaman ini.23 Adorno
itu dapat mengakomodasikan ide tentang mengembangkan pemikiran Dialektika Negatif
realitas yang tak bermakna. Menurut Adorno, yang berisi perlawanan terhadap filsafat
Sartre tidak dapat menangkap realitas tanpa identitas. Dialektika, dikatakan Adorno sebagai,
makna dari realitas kontemporer dan Sartre tidak “kesadaran yang konsisten terhadap non-
dapat mencapai makna estetis karena dramanya identitas”.24 Dalam hal ini identitas gender: laki-
Sartre gagal merespon situasi kontemporer. laki dan perempuan terlihat tidak penting lagi.
Kewaspadaan Adorno pada filsafat yang Manusia tidak perlu diidentifikasi gendernya,
berpretensi terhadap pemahaman realitas seperti justru posisi “di antara”, ambigu, dan samar-
drama-drama yang telah diciptakan samar, lebih mendapat tempat dalam jalan
Sartre, merupakan topik utama pada pandangan- pikiran Adorno.
pandangan Adorno selanjutnya.21 Tanpa
pernyataan politis, seni dapat menunjukkan Penutup
bahwa dunia ini tidak baik-baik saja.
Dari empat pokok pikiran Adorno di atas, --
Misalnya karya Opus 11 (Piano Pieces) dan Opus ideologi, pikiran dan visual, dapat dirangkai
15 (Das Buch der hangenden Garten) yang kata menjadi satu bagian dalam ruang yang dalam dari
Adorno sangat kuat dalam mengekspresikan khasanah batin. Hal itu menjadi bahan baku dalam
perasaan dengan cara membuat shock dan proses imajinasi yang kemudian diwujudkan
trauma atas emosi pemirsanya. Musik seperti Syakieb dalam visual atau teks. Lukisan tersebut
itu merupakan terobosan atas realitas yang merupakan sekumpulan tanda yang membuat
selama ini dinilai nyaman dan baik-baik saja, pemaknaan tentang perkembangan zaman be­
sekarang telah membuat perasaan pemirsa serta kebudayaannya sekaligus memberikan
cemas dan takut. Karya atonal pertama nilai dari peristiwa tertentu. Ketiga panel lukisan
Schoenberg, Pierrot Lunaire, dinilai oleh Wassily itu layaknya, aksi dramaturgi di atas panggung
Kandinski, seorang pelopor lukisan abstrak, pertunjukan yang dilakukan oleh aktor-aktor yang
sebagai karya yang “sedang melukis pikiran”
dan “menghasilkan bercak-bercak yang mirip
dengan lukisan abstrak”. Bercak-bercak
22 Hegel, GWF. Phenomenology of Spirit. terj. AV Mill-
itu telah merusak aturan bermusik, namun
sebenarnya Schoenberg “sedang menyusupkan
er. Oxford: Oxford University Press, 1977. h. 114.

23 Sindhunata (1982). Dilema Usaha Manusia Rasional.


Jakarta: PT. Gramedia, h. 92.
20 Wilson, 51
24 Adorno, Theodor (1966) [1973]. Negative Dialectics,
21 Notes to Literature, jilid 1, h. 241 5.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 67


terlibat dalam naskah, dalam lakon tiga babak Daftar Pustaka
yang dipanggungkan oleh layaknya kelompok
teater. Babak awal merupakan ungkapan pembuka 1. Adorno, Theodor (1966) [1973]. Negative
sekaligus pengungkapan masalah yang ada dalam Dialectics,
cerita. Babak kedua uraian atau pembahasan
masalah dan babak ketiga merupakan penutup dari 2, Adorno, Theodor (1997 [1970]). Aesthetic Theory.
pertunjukan. terj. Robert Hullot-Kentor. USA:
Continuum, University of Minnesota

Tetapi dalam lukisan ini gambaran lakon ada dalam 3. Adorno, Theodor (1991). Notes to Literature, vol.
masing-masing panel yang memuat subyek dengan 1, terj. Shierry Weber Nicholson. New
jelas dan kentara. Gambaran panel 1 dari lukisan York: Columbia University Press.
ini, melukiskan elemen yang memperlihatkan
4. Mohamad Goenawan (2021). Estetika Hitam
kenyataan sosial yang berkembang saat ini.
Adorno, Seni, Emansipasi. Yogyakarta:
Bagaimana seorang pemimpin seperti Gus Dur
IRCIsoD.
dengan gaya kepemimpinannya yang santai,
penuh humor dan memberi solusi atas berbagai 5. Hegel, GWF (1977). Phenomenology of Spirit. terj.
penyelesaian konflik yang hingga kini masih AV Miller. Oxford: Oxford University
dirindukan masyarakat. Press.
Tetapi Gus Dur telah tiada, hanya nilai-nilai yang 6. Malna, Afrizal (2021). Kandang Ayam.
tertinggal yang dapat kita kenali untuk memberi Yogyakarta: Diva Press.
jawaban atas persoalan sosial hari ini. Tanda
dalam lukisan berbentuk tulisan dengan slogan 7. McGrath, Larry. (Un)Doing Critical Philosophy:
Gus Dur, Gitu Aja Kok Repot, sebenarnya dapat Reflection on Adorno’s Aesthetic Theory.
memberi jalan bagaimana pemahaman yang lokal Berkeley: University of California.
dapat menyaring budaya sehari-hari dengan nilai
baru yang muncul, sehingga dapat menemukan 8. Moleong, Lexy J (2000). Metodologi Penelitian
jawabannya. Walhasil lukisan ini merupakan Kualitatif. Bandung: Rosdakarya.
dialog visual yang merepresentasi zaman dari
imajinasi pelukis, walau dapat mengundang 9. Sungkar, Anna (2019). Street Art dalam Narasi
polemik. “Tulisan-tulisan Adorno tentang seni Sebuah Kota. Jurnal Seni Urban, Pasca
sedikit banyak mengandung sifat polemis, di Sarjana Institut Kesenian Jakarta. ISSN:
sana-sini bisa berlebihan dan keliru”.25 Demikian 2164-2767. Volume 2, No. 2, April –
Goenawan Mohamad menuliskan dalam bukunya. September 2019.
Bagaimanapun, Moral Guard Police, telah berusaha
untuk menyampaikan sesuatu, kondisi yang 10. Sungkar, Syakieb (2022). Seni Sebagai
terjadi saat ini. Walau kita juga menyadari bahwa Pembebasan, Sebuah Telaah Tentang
setiap diskursus dalam karya seni selalu berubah, Estetika Adorno. Yogyakarta: Penerbit
mempunyai sensitivitas dan beradaptasi dengan Circa.
kondisi yang ada.
11. Suryajaya, Martin (2016). Sejarah Estetika: Era
Klasik Sampai Kontemporer. Jakarta: Gang
Kabel dan Indie Book Center.

12. Wilson, Ross (2007). Theodor Adorno. New York:


Routledge.

25 Goenawan Mohamad (2021). Estetika Hitam Ador-


no, Seni, Emansipasi. Yogyakarta: IRCIsoD, hal ix.

68 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Regulatory Capitalism
Syakieb Sungkar
syakieb.sungkar@yahoo.com
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

Abstrak: Awalnya rakyat diiming-imingi dengan pe­


nawaran kredit rumah tanpa uang muka, teta­
Krisis sub-prime tahun 2007 dapat dikatakan se­ pi di balik kemudahan itu terdapat jerat bunga
bagai tumbangnya sistem kapitalisme neoliberal yang variabel, artinya bunga pinjaman boleh
di mana negara tidak boleh campur tangan dalam naik turun sesuka pasar. Orang-orang kampung
ekonomi, menjadi Regulatory Capitalism yang me­ dari Mexico dan pendatang dari Asia tergiur un­
minta negara mengatur kembali tata kelola finan­ tuk mengambil penawaran seperti itu. Belum lagi
sial. Hal itu disebabkan swasta tidak sanggup lagi ada janji besok harga rumah akan naik, sehingga
menangani krisis. Di balik campur tangan negara, seorang kepala keluarga yang berpenghasilan
terdapat dampak buruk berupa korupsi dan kolu­ pas-pasan terpancing untuk mengangsur 4 - 5 ru­
si. Namun masih terdapat sisi baik pada sistem
ekonomi baru ini.

n Gambar 1 – Tuna wisma di Los Angeles.

Keywords: Krisis sub-prime, proliferasi, neoliber­ mah sekaligus. Hal itu diperbolehkan, bank tidak
alisme, regulasi negara melakukan pengecekan atas kemampuan orang
itu membayar cicilan bulanan. Karena bank telah
Pendahuluan bekerja sama dengan agen property agar status
rumah yang baru dibangun dinyatakan sold-out.
Ekonomi Amerika yang begitu bebas pada akhir­nya
memberikan kesempatan “orang keuangan” un­ Sepertinya bisnis property mengalami booming,
tuk memanipulasi pasar modal dan menipu rakyat padahal itu suatu pertumbuhan palsu, karena
kecil. Hal itu yang terjadi ketika tunggakan kredit pembeli rumah yang bonafide nyaris tidak ada.
rumah malah disulap sampai mengkilap, dan dija­ Ketika terjadi gagal bayar angsuran di mana-ma­
dikan stok berharga di bursa saham. Sehingga me­ na, maka cicilan orang yang menunggak itu jus­
nimbulkan krisis finansial pada tahun 2007. tru dijadikan aset untuk dimanipulasi menjadi

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 69


stok berharga. Stok tersebut kemudian digoreng Proliferasi (mengembangbiakkan barang busuk)
di bursa saham dan market berebut untuk mem­ produk derivatif keuangan sebagai penyebab
belinya. Namun dalam sekejap market tahu utama mengapa krisis meluas begitu cepat ke
bahwa mereka telah tertipu, akibatnya bank segala arah. Proliferasi bisa terjadi karena pasar
justru menaikkan bunga cicilan rumah, karena dibebaskan tanpa aturan (deregulasi). Deregulasi
dinilai bisnis properti berisiko tinggi. Cicilan pasar keuangan telah menjadi fitur utama model
bunga yang tinggi sudah pasti tidak mampu di­ kapitalisme neoliberal yang telah diadopsi pada
bayar oleh rakyat kecil, akibatnya bank menyita banyak negara dalam setengah abad terakhir.
semua rumah-rumah itu, mengusir pemiliknya,
se­hingga menjadi tuna wisma, seperti yang kita Regulatory Capitalism
lihat gembel berkeliaran di pinggir jalan raya Los
Proliferasi merupakan produk neoliberalisme yang
Angeles. Tenda orang miskin dan gerobak berisi
membebaskan orang berbuat sesukanya, menter­
peralatan rumah tangga berserakan di mana-ma­
nakkan saham bodong, asalkan ekonomi tumbuh.
na, orang tidur di jalanan.
Namun pertumbuhan itu semu, justru membuat
Orang-orang yang sempat membeli stok bodong ekonomi Amerika menjadi hancur selama belasan
yang di dalamnya berisi tunggakan cicilan rumah, tahun ke depan. Kebebasan ekonomi telah merusak
kemudian tidak percaya lagi terhadap bursa sa­ sistem, dan akibatnya orang sekarang ingin pasar
ham, karena duitnya amblas. Sehingga di tahun diatur. Dari sudut pandang ini, kita sedang meng­
2008 terjadi kejatuhan pasar saham di Amerika hadapi krisis neoliberalisme, yang membuka suatu
dan merambat ke bursa saham lainnya di seluruh perubahan ke arah peran regulasi negara yang
dunia. Efek domino yang menyebabkan dunia lebih besar – dalam rangka membatasi keuang­an
mengalami krisis dan Amerika tidak dapat meng­ spekulatif. Banyaknya aturan atau regulasi dibuat
obati ekonominya sampai sekarang. Itu yang dise­ dalam sistem kapitalisme, sehingga negara kemba­
but sebagai krisis pasar hipotek sub-prime. li campur tangan dalam urusan ekonomi, disebut
sebagai Regulatory Capitalism.
Krisis yang berawal pada industri keuang­
an Amerika di tahun 2007 telah berkembang Regulasi berguna untuk menangani secara
menjadi krisis ekonomi global yang besar dan langsung masalah ekonomi real. Pemahaman
meningkatkan pengangguran di banyak negara. tentang krisis ini juga menyebabkan seruan un­

n Gambar 2 – Kejatuhan pasar saham Amerika tahun 2008.

70 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


tuk memikirkan kembali tatanan ekonomi global, an kapitalis (misalnya, subsidi atau peraturan)
restrukturisasi ekonomi dunia, dan untuk meres­ dan tuntutan kapitalisme (misalnya, persaingan
pons meningkatnya kekuatan ekonomi China atau penghancuran kreatif dan transformasi
dan India. China dan India yang ekonominya ekonomi), maka para pejabat negara diminta un­
diatur dan diawasi negara, justru selamat dari tuk mendukung atau menjadi wakil kepentingan
krisis ekonomi 2007-2008. Karenanya, hegemo­ kelas kapitalis. Karenanya otonomi negara dan
ni ideologi dan praktik neoliberalisme sekarang pejabatnya tetap relatif, selama adanya tuntutan
serius dipertanyakan. Dan krisis global telah dan kebutuhan untuk kapitalisme terus menang
menjadi krisis kapitalisme neoliberal, dalam arti atas kepentingan lainnya.
menawarkan kemungkinan-kemungkinan un­
tuk membangun sebuah sistem non-kapitalisme. Levi-Faur mengatakan, elemen kunci dalam teori
Dengan demikian apakah Kapitalisme sudah regulatory capitalism bergantung pada hubung­
bangkrut? Sehingga kapitalisme harus diatur an antara regulasi dan komodifikasi. Untuk me­
ulang (Regulatory Capitalism)? mahami hubungan ini, kita perlu membangun
konsep yang menyangkut strategi dan regulasi
Namun kita juga dapat melihat adanya bahaya yang akan dijalankan. Regulasi adalah salah satu
yang mengintai dari Regulatory Capitalism ini, bentuk legalisasi birokrasi, sementara deregula­
karena di balik regulasi yang dibuat seringkali si menjadi strategi yang disukai untuk pemba­
ditunggangi oleh para pencari rente. Kita bisa haruan ekonomi dan politik kaum neoliberal di
melihat apa yang terjadi di Indonesia, atur­ Amerika Serikat. Mereka sering menyuarakan ide
an-aturan ekonomi seringkali menguntungkan bahwa regulasi adalah problem, sedangkan dere­
para konglomerat belaka. Di samping adanya ba­ gulasi itu—yaitu penghapusan regulasi—adalah
haya pada Regulatory Capitalism, kita juga me­ solusinya. Karena itu kemudian digunakan istilah
lihat optimisme dalam penerapan regulasi yang Re-regulasi yang mencerminkan campuran dan
menggunakan teknologi, seperti yang terjadi keseimbangan baru antara politik, ekonomi dan
pada bursa saham. sosial. Artinya, re-regulasi itu merupakan jalan
tengah dari tarik menarik antara neoliberalisme
Batas Otonomi Negara dengan regulatory capitalism (Levi-Faur, 295).

Salah satu permasalahan dalam Regulatory Para Pencari Rente


Capitalism adalah sampai batas mana negara
dikonsider sebagai entitas yang otonom. Artinya Di sisi lain, perusahaan pencari rente akan mencip­
batasan otonomi negara ini terkadang dianggap takan masalah. Jika seseorang dapat melobi untuk
kabur atau bias karena ada hubungan interper­ keuntungan dirinya, mereka akan memelihara para
sonal dan intersosial serta saling ketergantung­ pejabat agar dapat memberikan previlage untuk
an antara pejabat negara yang berkuasa saat bisnis mereka. Modus yang digunakan biasanya
itu dengan bisnis yang sedang berjalan. Atur­ mereka terus membayar agar usahanya tetap ter­
an-aturan yang diciptakan oleh negara seringkali jaga dan hak istimewa yang sudah dimilikinya itu
menguntungkan suatu kelompok tertentu yang tetap bertahan melalui regulasi yang diciptakan
terhubung dengan pejabat negara. David Levi- dari hubungan tersebut. Uang keuntungan yang
Faur pada makalahnya “Regulatory Capitalism” didapatnya tidak masuk kantong sendiri, tetapi
yang dikumpulkan dalam buku Regulatory Theo­ dibagi-bagi dengan para pejabat demi kebijakan
ry, Foundation and Application1, mengindikasikan yang menciptakan rente itu berlanjut.
adanya hubungan saling ketergantungan antara
pejabat negara yang terpilih atau yang dicalon­ Paul Dragos Agilica dan Vlad Tarco menekankan
kan di satu sisi, dengan aktor kapitalis di sisi hal ini dalam artikelnya Crony Capitalism2, bahwa
yang lain. Ketika terjadi konflik antara tuntut­ untuk menjaga rente, maka suatu perusahaan ha­

2 Agilica, Paul Dragos dan Tarco, Vlad (2015). Crony Capital-


1 Levi-Faur, David (2017). Regulatory Capitalism. dalam ism. Econstor. CESifo DICE Report, Ifo Institute – Leib-
Drahos, Peter, ed. “Regulatory Theory, Foundation and niz Institute for Economic Research at the University of
Application”. Acton: ANU Press. h. 289-302. Munich. ISSN 1613-6373. Vol. 13, Issue. 3, h. 27-32.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 71


rus membatasi akses perusahaan lain agar tidak ekonomi serta konflik, telah memberikan motif
mempunyai level hubungan yang setara dengan yang kuat untuk mengubah hukum sesuai dengan
pejabat yang sudah menjadi crony-nya. Pada perspektif mereka. Mereka mencirikan keberha­
nege­ri-negeri yang kelembagaannya lemah maka silan hukum bertumpu pada ‘kemampuan’ peng­
para pejabat dapat dengan mudah dikontrol oleh acara untuk menangani konflik eksternal di antara
hubungan crony ini. Bagaimana ekonomi dapat lembaga-lembaga penting yang terkait dengan
berjalan sementara kontrak-kontrak yang dicip­ bisnis mereka. Kemudian mereka mengelola kon­
takan memberikan perlindungan yang sangat flik tersebut dengan menerjemahkannya ke dalam
lemah kepada kepentingan rakyat dan negara? undang-undang. Bagi mereka, konflik adalah per­
Dalam kapitalisme kroni, justru kronisme me­ tempuran faksi-faksi yang bersaing dalam men­
mainkan peran penting dengan memberikan definisi dan mengontrol negara. Bagi pengacara,
solusi terhadap masalah-masalah yang diha­dapi pertempuran itu penting, tanpa harus peduli apa
Pemerintah, misalnya masalah permodalan da­ yang menjadi sifat atau isi dari perjuangan tersebut.
lam pembangunan. Sejauh aset mereka terlin­ Mereka melakukannya sebagai pengacara kelom­
dungi, maka para kroni akan terus memberikan pok elit yang bertindak atas atas nama orang yang
dukungan sehingga pertumbuhan ekonomi te­ berkuasa. Para pengacara hanya peduli bagaimana
rus terjaga. Kuncinya adalah tidak ada peruba­ kliennya itu dapat mendominasi bisnis yang di­
han pada elit penguasa, sehingga mereka dapat gelutinya. Karenanya pengacara tidak perlu men­
melanjutkan komitmennya (Agilica, 29). Maka­ dukung legalitas liberal, bahkan sering kali mereka
nya wajar kalau banyak Partai menginginkan pe­ berpihak pada otoritarianisme. Sementara di sisi
merintahan Jokowi dilanjutkan sampai 3 periode. lain, pada fase siklus politik yang berbeda, seorang
pengacara mungkin perlu berinvestasi dalam legi­
Berkuasanya Hukum Regulasi timasi tertentu agar dikenal sebagai ‘pembaharu,
modernis, atau promotor kesejahteraan sosial’.
Regulasi tidak terlepas dari domain hukum. Se­
hingga perlu ditekankan pentingnya mempelajari Hal itu juga menunjukkan bahwa pada era Re­
bagaimana dan oleh siapa hukum itu diproduksi, gulatory Capitalism, kekuasaan selalu hegemonik
dan fokus kita adalah pada elit hukum dan sum­ dan mereproduksi diri. Untuk membuat hukum
ber daya serta strategi yang mereka gunakan un­ dapat menengahi kekuasaan, maka dibutuhkan
tuk mendominasi produksi hukum. Investasi da­ waktu untuk menciptakan format-format atau
lam keahlian hukum menjadi sarana membangun aturan yang sah. Hal ini juga merupakan penga­
modal sosial, dan menciptakan perspektif yang kuan bahwa hukum diciptakan untuk melegitima­
saling bertentangan tentang konten hukum se­ si upaya pencaplokan dan perampasan. Dari sana
bagai strategi dasar dalam perjuangan kompetitif. muncul akumulasi kekayaan, hak-hak istimewa,
Bagi mereka, klaim netralitas hukum dan cita-cita serta ketidaksetaraan ekonomi, hukum dan regu­
universalis dikerahkan hanya untuk memberikan lasi. Dengan itu tentu saja hukum akan mengatur
legitimasi pengacara elit kepada klien yang kuat, penggunaan yang sah atas kekuatan dan kekuasa­
yaitu Pemerintah dan perusahaan besar. Mereka an, yang memberi wewenang kepada para kapi­
menganggap bahwa hukum dan pengacara telah talis untuk menerapkan sanksi ekonomi maupun
menjadi pusat dari “strategi kekaisaran Amerika sanksi fisik dan hukuman (Picciotto, 630).
abad kedua puluh”, yang membentuk kekuasaan
kuasi-negara yang terlembagakan. Krisis Menciptakan Regulasi

Sol Picciotto dalam “Mediating Contestations of Pri­ John Braithwaite dalam papernya, Meta gover­
vate, Public and Property Rights in Corporate Capital­ nance of path dependencies: Regulation, welfare and
ism”3, mengatakan bahwa perubahan politik dan markets,4 mengatakan bahwa krisislah yang telah
mem­buat pasar menjadi bergantung pada regula­

3 Picciotto, Sol (2013). Mediating Contestations of Private, 4 Braithwaite, John (2021). Meta governance of path depen-
Public and Property Rights in Corporate Capitalism. Spain: dencies: Regulation, welfare and markets. The Annals of
Onati International institute. ISSN: 2079-5971. So- the American Academy of Political and Social Science
cio-Legal Series, v. 3, no. 4. 671(1).

72 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


si. Serangan 9/11 Al Qaeda memberikan justifika­ untuk memantau Bursa Efek (SEC). MIDAS
si ‘negara harus turun tangan’ dalam krisis yang mengumpulkan sekitar 1 miliar catatan transaksi
muncul se­perti itu. Hasilnya adalah pening­katan pertukaran ekuitas yang masing-masingnya ber­
besar dalam regulasi melalui headline “keamanan langsung dalam orde mikrodetik. Pendekatan ini
tanah air”. Sehingga pasar yang terkait dengan memungkinkan SEC dapat menganalisis ribuan
perta­hanan juga tumbuh, misalnya perusahaan transaksi saham selama periode enam bulan atau
yang memproduksi teknologi pemindaian yang satu tahun, yang melibatkan 100 miliar catatan
lebih besar dan canggih di bandara. Demikian transaksi. Teknologi ini pada akhirnya digu­
pula tumbuhnya bisnis perusahaan swasta yang nakan untuk mendeteksi secara otomatis dan
meng­operasikan mesin-mesin pengamanan, per­ segera menghentikan aktivitas insider trading.
usahaan yang memproduksi drone, kamera ke­
amanan dan Artificial Intelligence, untuk men­ Contoh lain adalah IRS (Internal Revenue Ser­
diagnosis adanya risiko bahaya berdasarkan vice) di Amerika, yang menggunakan proses
miliaran gambar pemantauan. Selanjutnya, kom­ otomatisasi untuk memprediksi penipuan pa­
pleks industri militer diperbarui untuk mem­ jak Demikian pula di Belanda, Systeem Risico
perkuat pertahanan Amerika di Timur Tengah. Indicatie (SyRI), menggunakan algoritma yang
Dengan itu ketergantungan pasar terhadap Pe­ dibuat untuk membantu pemerintah Belanda
merintah menguat. Ekonomi menjadi tumbuh. mendeteksi beberapa jenis penipuan seperti tun­
Negaralah yang menciptakan permintaan terha­ jangan sosial atau penipuan pajak (Schmidt, 473).
dap kebutuhan regulasi. Walau hal ini baik secara
Kesimpulan
ekonomi tetapi tidak baik secara jangka panjang.
Regulatory Capitalism merupakan gerak balik
Optimisme
pendulum dari Neoliberalisme yang cenderung
Namun di samping elaborasi terhadap aspek-as­ melepaskan Pemerintah dari campur tangan
pek negatif dari Regulatory Capitalism seperti ekonomi, menjadi Pemerintah yang kembali ikut
uraian di atas, ada juga berita yang menggem­ serta dengan memberikan banyak regulasi dan
birakan. Tentang berfungsinya lembaga-lemba­ pengontrolan kepada pasar dan ekonomi se­
ga negara yang dapat mengontrol kecurangan cara keseluruhan. Hal ini dipicu oleh kasus sub­
dengan menggunakan mesin dan teknologi. prime yang mendatangkan kesengsaraan banyak
Utamanya pada bisnis yang bersifat jual-beli ber­ orang. Subprime sebetulnya bukan satu-satunya
ulang, seperti pada transaksi bursa saham. Re­ pemicu ke arah regulasi, tidak jauh sebelum itu
becca Schmidt dan Colin Scott dalam paper riset­ ada krisis 9/11 yang memicu Pemerintah Ame­
nya, “Regulatory discretion: structuring power in the rika Serikat menetapkan regulasi. Dan krisis/
era of regulatory capitalism”5, mengatakan bahwa regulasi ternyata baik juga untuk pertumbuhan
proses otomatisasi berdasarkan pembelajaran ekonomi walau kurang baik untuk jangka pan­
mesin, sangat relevan ketika menyusun kebijak­ jang karena menimbulkan ketergantungan swas­
sanaan yang terkait pemantauan. ta terhadap proyek-proyek Pemerintah.

Regulator menggunakan teknologi yang secara Regulatory Capitalism dianggap berbahaya kare­
langsung melakukan pemantauan dan menen­ na menciptakan kolusi antara swasta dengan Pe­
tukan kemungkinan pelanggaran. Teknologi itu merintah yang menyetir sedemikian rupa agar
sekaligus dapat memutuskan alokasi sumber regulasi yang diciptakan dapat menguntungkan
daya untuk pemeriksaan. Dalam hal ini MIDAS segelintir orang atau para kroni. Hukum dan
(Sistem Analisis Data Informasi Pasar) dipakai peraturan dibuat agar berpihak kepada pemodal,
bukan kepada kesejahteraan masyarakat. Namun
demikian adanya penemuan dalam sistem dan
teknologi baru telah menimbulkan optimisme
sehingga kecurangan-kecurangan yang terjadi
dalam transaksi cepat bursa spekulatif dapat di­
deteksi untuk kemudian dicegah dan ditindak­
5 Schmidt, Rebecca dan Scott, Colin (2021). dalam “Regu- lanjuti secara hukum oleh Pemerintah.
latory discretion: structuring power in the era of regulatory capi-
talism. S.L.S. Society of Legal Scholar. Legal Studies, 41,
454–473, doi:10.1017/lst.2021.13. h. 472.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 73


Referensi

Agilica, Paul Dragos dan Tarco, Vlad (2015). Cro­


ny Capitalism. Econstor. CESifo DICE
Report, Ifo Institute – Leibniz Institute
for Economic Research at the Univer­
sity of Munich. ISSN 1613-6373. Vol.
13, Issue. 3.

Braithwaite, John (2021). Meta governance of path


dependencies: Regulation, welfare and
markets. The Annals of the Ameri­
can Academy of Political and Social
Science 671(1).

Levi-Faur, David (2017). Regulatory Capitalism.


dalam Drahos, Peter, ed. “Regulato­
ry Theory, Foundation and Applica­
tion”. Acton: ANU Press.

Picciotto, Sol (2013). Mediating Contestations of


Private, Public and Property Rights in
Corporate Capitalism. Spain: Onati In­
ternational institute. ISSN: 2079-5971.
Socio-Legal Series, v. 3, no. 4.

Schmidt, Rebecca dan Scott, Colin (2021). Regula­


tory discretion: structuring power in the
era of regulatory capitalism. S.L.S. So­
ciety of Legal Scholar. Legal Studies,
41, 454–473, doi:10.1017/lst.2021.13.

74 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Fiksi Sejarah Iskandar Fauzy
Wahyudin
wahyudinsebre@gmail.com
UGM Yogyakarta

Pendahuluan an akrilik hitam-putih Iskandar Fauzy dari pameran


tunggalnya, Sejarah yang Ditemu-ciptakan, di Srisasanti
Rabu, 14 September 2022, sekitar jam sepuluh Gallery, Yogyakarta, 21 Oktober - 11 Desember 2022.
malam—belum lama setelah bertandang ke ru­ Apalagi, bukan kebetulan, seluruh lukisan bertarikh
mah-studio Iskandar Fauzy di Perumahan Sono­ 2022 itu berpokok perupaan sejarah. Tepatnya, seja­
sewu Baru, Nomor 440, Ngestiharjo, Kasihan, rah orang-orang besar dari dunia politik, film, musik,
Bantul, Yogyakarta—saya membaca edisi bahasa dan seni rupa, baik yang nyata maupun yang khayali.
Indonesia buku sejarawan Inggris E.H. Carr (1892-
1982), Apa Itu Sejarah? Di sana saya menemukan “Saya suka sejarah atau sesuatu yang unik—yang
pernyataannya ini: berkonotasi sejarah,” kata Iskandar Fauzy dalam

n Gambar 1 - Iskandar Fauzy, “Should I Bring a War in front of Your Door”, 180 x 300 cm2, 2022.

“Sejarah telah disebut sebagai permainan susun wawancara dengan Anni Oates dari Art World Fo­
gambar maha besar dengan banyak bagiannya yang rum pada 9 Juni 2016.2 Kita lihat, misalnya, Should I
hilang. Namun, masalah utamanya bukanlah beru­ Bring a War in front of Your Door (180 x 300 sentime­
pa kekosongan (...) Gambaran yang kita miliki telah ter). Di sini, Sukarno (1901-1970, Presiden pertama
dipilih dan ditentukan sebelumnya, lebih sedikit Republik Indonesia), John F Kennedy (1917-1963,
yang disebabkan oleh ketidaksengajaan daripada Presiden Amerika Serikat ke-35), Josef Stalin (1878-
akibat tindakan orang-orang yang secara sadar atau 1953, Perdana Menteri Uni Soviet), dan Franklin
tidak sadar dijiwai oleh pandangan tertentu dan Delano Roosevelt (1882-1945, Presiden Amerika
berpikir bahwa fakta-fakta yang mendukung pan­
dangan tersebut layak dipertahankan.”1 2 Lihat Anni Oates, “A Good Artist Copies, But A
Great Artist Steals: In Discussion with Indonesian
Dengan itu, saya ingin membicarakan lukisan-lukis­ Artist Iskandar Fauzy,” dalam https://www.artan-
donly.com/a-good-artist-copies-but-a-great-artist-
1 Carr, E.H. (2014). Apa Itu Sejarah? terj. Gatot Triwi- steals-in-discussion-with-indonesian-artist-iskandar-
ra. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 11-12. fauzy/. Diakses pada 16 September 2022.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 75


n Gambar 2 - Iskandar Fauzy, “Let Your Enemy Show Your Weakness”, 150 x 200 cm2, 2022.

Serikat ke-32), dengan seragam kebesaran ma­sing- Jadi, harus dikatakan, peristiwa yang tergurat di
masing, berkumpul di sebuah ruangan berhiaskan kanvas itu bukan peristiwa ostensif atau peristiwa
lukisan entah apa dan berperapian kayu dengan yang benar-benar terjadi, yang dapat dibuktikan
miniatur kapal layar di atasnya. secara historiografis, melainkan peristiwa deskrip­
tif atau peristiwa yang ada di kanvas itu belaka—
Para Pemimpin Dunia itu tampak terkejut mena­ yang hanya dimungkinkan oleh imajinasi dengan
tap Tony Montana “berwajah bekas luka”—dengan intensi kritis, moralistik, atau maknawi. Di sinilah
tangan kiri berbebat gendongan dan tangan kanan saya kira tempat yang pas untuk menggarisba­wahi
menenteng pistol hitam siap menyalak—di hadap­ peran penting Iskandar Fauzy sebagai pencipta lu­
an mereka; seperti terkesima dengan kemunculan kisan itu dan sepuluh lukisan lainnya di seteleng
tiba-tiba seorang begundal hina-dina di antara ini. Dengan imajinasi dan intensi tertentunya, pe­
mere­ka yang mulia lagi ternama. rupa kelahiran Palembang, Sumatera Selatan, 12
April 1972 ini menemu-rupakan sejarah, alih-alih
Tony Montana adalah gembong narkoba utama membuat fiksi sejarah, yang memampukan pemir­
Miami asal Kuba dalam Scarface (1983), film gang­ sa menghikmati satu-dua kemungkinan lain dalam
ster ciamik yang kini telah menjadi klasik, besutan memahami sejarah.
sutradara kawakan Amerika Serikat Brian De Pal­
ma (l. 1940). Tony Montana diperankan dengan Baiklah diketahui terlebih dahulu, istilah “me­
memukau oleh aktor terkemuka Amerika Serikat nemu-rupakan sejarah”—pun “sejarah yang
kelahiran 1940—Al Pacino. Dengan begitu, kita pun ditemu-ciptakan” sebagai judul pameran tunggal
mafhum bahwa peristiwa di kanvas itu merupakan Iskandar Fauzy ini—diambil dan diubah dari isti­
peristiwa khayali alias karang-karangan Iskandar lah “sejarah yang ditemu-ciptakan” Bernard Le­wis
Fauzy. Penghayat sejarah tentu lebih mafhum lagi (1916-2018), sejarawan Yahudi Inggris-Amerika.
bahwa benar Sukarno pernah bertemu Kennedy, Dalam bukunya (saya membaca edisi bahasa In­
betul Stalin pernah bersua Roosevelt. Tapi Stalin donesianya yang terbit pada 2009), History: Re­
dan Roosevelt tak pernah berjumpa Sukarno dan membered, Recovered, Invented—Profesor Emeritus
Kennedy di suatu tempat pada masa tertentu. bidang Timur Tengah Princeton University, Ameri­
ka Serikat, itu menulis sebagai berikut:

76 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


“Sejarah yang ditemu-ciptakan (Invented Histo­ Serikat, Barack Obama sarapan bersama George
ry). Inilah sejarah yang ditulis dengan suatu tu­ Clooney di kedai kopi itu. Duduk menyamping
juan, lebih tepat tujuan baru, yang berbeda dari dinding kaca, Obama yang berkemeja putih dan
tujuan-tujuan sebelumnya. Ini merupakan sejarah Clooney yang berjas resmi menarik antusiasme
yang ‘invented’ baik dalam pengertian bahasa Ing­ segerombolan orang untuk menonton dari luar
gris maupun Latin, yang digali dan ditafsirkan dari kedai. Tapi itu tak mengganggu Obama dan Cloo­
kedua jenis sejarah di atas (Remembered History atau ney untuk menikmati sarapan sembari berbincang
Sejarah yang diingat dan Recovered History atau Se­ serius perkara kampanye dan urusan lain di seki­
jarah yang ditemukan kembali) bilamana mungkin, tarnya. Dinding kaca—sebagaimana tugas pasukan
dan direkayasa bilamana tidak.”3 pengamanan presiden atau tukang pukul selebritas
papan atas—menjamin kenyamanan sarapan dan
Dalam sekilas baca saya memperoleh argumen per­ kerahasiaan pembicaraan mereka dari tatapan dan
bandingan untuk meyakini bahwa lukisan-lukisan pendengaran orang-orang di luar kedai kopi itu.
Iskandar Fauzy dalam pameran ini bukan hanya
merupakan “permainan susun gambar” yang di­ George Clooney tidak hanya masyhur sebagai bin­
sengaja guna menghadirkan adegan atau kejadian tang film elite Hollywood, tapi juga pemeluk teguh
anggitan, melainkan juga serangkaian rekayasa ci­ Partai Demokrat. Sangat mungkin itu sebabnya dia
tra-citra fotografis melalui pendekatan apropriasi memiliki privilese personal dengan Obama yang
demi pemeranan ulang karakter-karakter historis memampukannya bertemu muka orang nomor satu
dan imajiner itu di suatu panggung terbayang. Te­ di Negeri Abang Sam itu untuk suatu urusan politik
ngok, contohnya, Let Your Enemy Show Your Weak­ atau bisa jadi sekadar ngobrol satu-dua film nomina­
ness (150 x 200 sentimeter) yang menggambarkan si Oscar. Kemungkinan itu masuk akal. Yang di luar
Barack Obama (l. 1961), Presiden Amerika Serikat akal alias khayal belaka adalah peristiwa sarapan
ke-44, Franklin Delano Roosevelt, aktivis, sutradara, pagi Obama dan Clooney yang ditonton banyak
dan aktor peraih Oscar (2003 dan 2008) Sean Penn orang di kedai kopi itu, lebih-lebih keterangannya.
(l. 1960), dan George Clooney (l. 1961), aktor yang
tenar berkat serial komedi situasi medis E/R, berada Rupanya, kedai kopi itu tempat favorit para poli­
di sebuah kedai kopi untuk bersua dan baku­bicara tisi dan selebritas dunia mengisi waktu senggang
dengan Fidel Castro (1926-2016), Perdana Menteri mereka. Di kedai kopi itu pula, mengelilingi sebuah
Kuba (1959-1976) dan Presiden Kuba (1976-2008). meja bertaplak kotak-kotak, Barack Obama, John F.
Kenne­dy, dan George Walker Bush (l. 1946), Presi­
Para aktor dan politisi Barat penganut kapitalisme den Amerika Serikat ke-43, bersenda-gurau dengan
itu terlihat serius mendengarkan omongan entah Joker (2019), sebagaimana tergambar dalam Actual­
apa Castro yang komunis. Mungkin tentang Ge­ ly im a bad guy atau So I’m the Bad Guy? (200x150
rakan 26 Juli, kelompok revolusioner yang didiri­ sentimeter). Tak mau ketinggalan, Lady Diana
kannya bersama, antara lain, adiknya, Raul Castro, (1961-1997), janda cerai Pangeran Charles (1981-
dan Che Guevara, yang berhasil menumbangkan 1996) yang kini (sejak 8 September 2022) menjadi
kediktatoran Presiden Kuba (1933-1959), boneka Raja Charles III, menggantikan ibunya Ratu Eliza­
Amerika Serikat, Fulgencio Batista (1901-1973) pada beth II yang wafat dalam umur 96 tahun pada 8
1959 dengan serangkaian insiden politik dan militer September 2022, Marilyn “Si Pirang yang Bodoh”
yang masyhur sebagai Revolusi Kuba. Barangkali Monroe (1926-1962), Angelina “Lara Croft” Jolie
perihal Invasi Teluk Babi yang menodai pemerin­ (l. 1975), dan “Ratu Pop” Madonna (l. 1958), pun
tahan Presiden John F. Kennedy dan memalukan kongkow-kongkow di meja yang sama di kedai
negara-bangsa Amerika Serikat di mata dunia kare­ kopi itu, sebagaimana terlihat dalam Real Time Real
na gagal menggulingkan kekuasaan Fidel Castro. Friends (150 x 200 sentimeter).
Mungkin mengenai rahasia kenikmatan cerutu
Kuba. Barangkali ihwal sesuatu yang tak mungkin Dengan demikian, pada hemat saya, seluruh pen­
diringkus-rampung dalam seribu kata. jelasan dari Let Your Enemy Show Your Weakness
dapat diterapkan sama baiknya untuk Real Time
Sebelumnya—sebagaimana tergambar dalam Morn­ Real Friends dan So I’m the Bad Guy?, terutama ten­
ing Appetizer (2014, akrilik di kanvas, 150 x 150 sen­ tang entah yang tak mungkin dirangkum dalam
timeter) yang tidak ada di Sejarah yang Ditemu-cip­ sepeminuman kopi. Sampai pada titik itu, tanpa
takan—pada sebuah pagi di awal masa kampanye bermaksud mendahului kesan dan penilaian pem­
untuk jabatan keduanya sebagai Presiden Amerika baca-pemirsa, saya ingin menegaskan bahwa lukis­
an-lukisan fiksi sejarah Iskandar Fauzy yang mula
diciptakan sekitar delapan tahun lalu (2014) ini
3 Lewis, Bernard (2009). Sejarah: Diingat, Ditemukan
berkerabat secara artistik dengan—untuk menye­
kembali, Ditemu-ciptakan. terj. Bambang A. Widyanto. but yang paling teringat—karya-karya fotografi Jim
Yogyakarta. hlm. 12.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 77


n Gambar 3 - Iskandar Fauzy, “So I’m the Bad Guy?”, 150 x 200 cm2, 2022.

Allen Abel (misalnya, serial Indonesian Heroes, 2013), Mohamad, Semua untuk Hindia (kumpulan cerita
Agan Harahap (contohnya, Post Card for Jokowi-JK, pendek, 2014) Iksaka Banu, Kura-Kura Berjanggut
2014), Jeff Wall (misalnya, Dead Troops Talk: A Vi­ (novel, 2018) Azhari Aiyub, dan Kereta Lembu Semar
sion After an Ambush of a Red Army Patrol near Moqor, (novel, 2022) Zaky Yamani.
Afghanistan, Winter 1986, 1992), dan Sherrie Levine
(contohnya, After Walker Evans, 1981); atau film-film Sementara itu, secara tematik, lukisan-lukisan fik­
perang Francis Ford Coppola (misalnya, Apocalypse si sejarah Iskandar Fauzy ini merupakan sebuah
Now, 1979), Teguh Karya (contohnya, November variasi “baru” dari—untuk menyebut yang cepat
1828, 1979), Oliver Stone (misalnya, Platoon, 1986), teringat—lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro
Steven Spielberg (contohnya, Saving Private Ryan, (1857) Raden Saleh, lukisan Penjaga Malam #2 (2004)
1998), dan Quentin Tarantino (misalnya, Inglourious Bambang Darto, karya-karya fiksi sejarah “kola­
Basterd, 2009). borasi” Agung Kurniawan, Agus Suwage, Lian
Sahar dan Maryanto Beb, khususnya yang pernah
Kalau boleh melebarkannya ke khazanah sastra dipajang dalam pameran Masa Lalu Masa Lupa di
Indonesia, saya kira lukisan-lukisan fiksi sejarah Rumah Seni Cemeti pada 2006, lukisan Bung Ayo
Iskandar Fauzy, jebolan Desain Interior, Fakultas Bung, Mari ke Yogya (2020) Mahdi Abdullah, atau
Seni Rupa, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini instalasi Luka dan Bisa Kubawa Berlari (2022) Timo­
berkerabat secara artistik dengan—untuk menye­ teus Anggawan Kusno. Dengan kekerabatan ar­
but sejumlah karya sastra yang pernah saya baca— tistik dan variasi “baru” itu, lukisan-lukisan fiksi
Burung-Burung Manyar (novel, 1981) Y.B. Mangun­ sejarah Iskandar Fauzy ini menuntut—ambil alih
wijaya, Aku: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya kata-kata Susan Sontag—keterlibatan yang le­ bih
Penyair Chairil Anwar (skenario film, 1987) Sjuman reflektif pemirsa dengan pokok perupaan yang
Djaya, Arok-Dedes (roman, 1999) Pramoedya Anan­ memerlukan intensitas pemahaman sonder mema­
ta Toer, Dari Batavia sampai Jakarta 1616-1999 (kum­ tikan perasaan. Oleh karena itu, saya kira Iskandar
pulan sajak, 2001) Zeffry J. Alkatiri, Tan Malaka dan Fauzy bijaksana ketika mengutarakan pernyataan
Dua Lakon Lain (naskah drama, 2009) Goenawan ini kepada Anni Oates:

78 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


“What’s important to me in my work is not that peo­ Referensi
ple know what I may be thinking while making it. I am
actually open to the idea of people truly understanding Anni Oates, “A Good Artist Copies, But A Great
my paintings after my time. My paintings have deeper Artist Steals: In Discussion with Indo­
meanings but what I want my viewers to see first-hand nesian Artist Iskandar Fauzy,” dalam
is something simple and familiar. Good ideas are hard to https://www.artandonly.com/a-
find and they definitely don’t come along every day.”4 good-artist-copies-but-a-great-artist-
steals-in-discussion-with-indonesian-
Atas kutipan itu, saya kira, saya sudah menemukan artist-iskandar-fauzy/. Diakses pada
penutup yang meyakinkan untuk tulisan ini. 16 September 2022.

Bernard Lewis, Sejarah: Diingat, Ditemukan kemba­


li, Ditemu-ciptakan, terj. Bambang A.
Widyanto (Yogyakarta: Ombak, 2009).

E.H. Carr, Apa Itu Sejarah?, terj. Gatot Triwira (De­


pok: Komunitas Bambu, 2014).

Susan Sontag, Regarding the Pain of Others (New


York: Picador, 2003).

4 Anni Oates, ibid.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 79


Drawing, Representasi Ruang Batin
Ika Ismurdyahwati
Ismurdyahwati@gmail.com
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Abstrak baca gambar ini telah diuji cobakan pada gambar


tradisi, yakni relief candi Borobudur, wayang be­
Kajian dari tulisan ini adalah mengetengahkan ber dan kemudian berkembang pada gambar anak
bahwa drawing merupakan media baca yang ber­ (Primadi Tabrani, 1991), gambar motif lampion
hubungan dengan ruang batin. Artinya, gambar Damar Kurung, Masmundari, Gresik Jawa Timur
sebagai ruang batin juga bebas dalam membaca (Ika Ismurdyahwati, 2002), pertunjukan bayangan
gambar yang berhubungan dengan interpretasi. pada wayang kulit (Ika Ismurdyahwati, 2007), gam­
Sehubungan dengan itu, interpertasi diperoleh bar-gambar prasejarah pada dinding batu cadas
dari cara baca dengan metode dan sekaligus alat (Pindi Setiawan, 2010), relief candi Plaosan Lor (Ika
analisis yang ilmunya analog dengan scene dalam Ismurdyahwati, 2014). Kemudian, untuk kali ini,
film atau video. Tujuannya, untuk dapat membaca Bahasa rupa yang kita gunakan sebagai metoda dan
gambar relief, hingga drawing naturalis kerakyatan analisis, diujikan pada karya-karya drawing kon­
dan drawing abstrak surealis. Hasilnya adalah pada temporer masa kini. Sehubungan dengan itu, draw­
karya-karya tersebut ternyata merupakan gambar ing sebagai bentuk teknik, sekaligus gaya meng­
bercerita. gambar, tentu tidak terlepas dari sejarahnya, yang
lahir pada masa Renaissance, sebagai cikal-bakal
Keywords: drawing, media, interpretasi, ruang munculnya gagasan logika sebagai konsep berpikir.
batin.
Pada masa Renaissance karya-karya drawing Leon­
Drawing sebagai kekuatan dasar menggambar ardo Da Vinci, dengan studi anatominya yang sa­
ngat signifikan, merupakan salah satu bentuk pen­
Secara umum, drawing dalam terjemahan bahasa
capaian yang luar biasa, dan pada masa itu, fungsi
Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, artinya, 1. Pena­
drawing-drawing tersebut menjadi investigasi ter­
rikan, 2. Gambaran, 3. Gambar, 4. Undian, 5. Tek­
hadap fungsi tubuh manusia.
en, 6. Penggambaran. Kemudian, pada bidang seni
rupa, drawing dikenali sebagai teknik menggambar
yang mengutamakan garis sebagai ciri karakter.
Drawing merupakan syarat utama dalam kemam­
puan dasar menggambar, yang kemudian berkem­
bang menjadi karya-karya Lukis (drawing painting),
grafis (termasuk lithograph), dan teknis fresco paint­
ing untuk gambar dinding, tapi tidak lama kemudi­
an, berkembang menjadi grafity dan mural. Supaya
pemahaman dalam mengkaji karya-karya yang
akan dianalisis dapat lebih jelas, maka pilihan pem­
bahasan tertuju pada karya-karya drawing sebagai
gambar, dengan teknik sketsa/drawing pada ker­
tas atau kanvas, dan warna hitam/ warna yang lain,
yang dihasilkan dari gerakan kuas atau pensil/bol­
poin, atau ujung pena yang lain, bukan pada karya
drawing sebagai karya Lukis (media ekspresi).

Pada kajian ini, bahasan utama adalah bertujuan


untuk membaca gambar dari berbagai teknik, khu­
susnya teknik drawing, dari berbagai gaya, dengan
fokus bahasan pada drawing gaya naturalis ke­
rakyatan dan drawing gaya surealis dari seniman n Gambar 1 - Karya Leonardo Da Vinci (1512);
barat. Pembacaan ini menggunakan keilmuan Baha­ ‘Study of an Embriyo in The Womb’ (Anne
sa rupa (Primadi Tabrani, 1991) dengan metode dan Mancini; 2014: 4). Drawing dengan tinta pada
kertas ukuran kecil, dari hasil observasi tentang
sekaligus alat analisis, melalui teknik camera pada tubuh manusia. Sumber: Anne Mancini 2014.
pengambilan gambar video/film, yang digunakan Australian Perspectives on Art, An Issues- Based
untuk membaca gambar-gambar tersebut. Cara Approach. LONGMAN

80 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


dapat dipahami, bahwa drawing sebagai media gam­
bar, merupakan media tersendiri yang mempunyai
kekuatan sebagai media rekam dan media pesan.

Hal ini disebabkan karena penciptaan ilusi yang ha­


rus terkejar untuk mencapai kesamaan tentang ilusi
ruang dan bentuk pada permukaan datar yang di­
upayakan semirip mungkin dengan alam. Sehing­
ga tujuan dari teknik drawing dalam menggambar
sebagai media rekam sejak dari jaman Renaissance
terpenuhi, karena Bahasa gambar lebih mudah
dipahami daripada Bahasa teks

Metode dan Analisis

Drawing sebagai Media Baca

Pada kajian berikut ini, metode yang digunakan


adalah Bahasa rupa yang juga berfungsi sebagai alat
analisis. Hal ini untuk mengetahui lebih jauh tentang
fungsi drawing, selain sebagai media rekam/pencatat,
n Gambar 2 - Karya Leonardo Da Vinci (1513); juga memiliki fungsi sebagai sebagai media baca. Hal
‘Anatomical Study (Anne Mancini; 2014: 3). ini sebenarnya, sudah dimulai dari karya drawing
Drawing dengan tinta pada kertas ukuran kecil,
dari hasil observasi tentang tubuh manusia. Sum­ pada masa Renaissance selain oleh Leonardo da Vinci
ber: Anne Mancini 2014. Australian Perspectives juga, oleh Michaelangelo. Hal ini dipelajari dari teknik
on Art, An Issues- Based Approach. LONGMAN pada karya fresco (gmb.3) dari Michaelangelo dengan
mengaplikasikan drawing pada gambar dinding di
Pada perkembangannya, penggarapan karya-karya, masa Renaissance. Hai ini bisa dianalogkan bahwa
dengan teknik drawing tentang tubuh manusia terse­ teknik drawing juga berfungsi sebagai media baca
but, menjadi metode dalam mendapatkan solusi se­ melalui teknik fresco, sehingga, menjadi lebih mudah
bagai media perekam/catatan yang dia gunakan untuk dimengerti bahwa, media gambar lebih mudah dipa­
memperoleh pengetahuan tentang apa artinya menjadi hami daripada media teks. Jadi fungsi lain dari draw­
manusia. Sebagian besar pekerjaan anatominya dilaku­ ing adalah sebagai ilustrasi dari berbagai isi dari ayat
kan melalui studi pada tubuh manusia yang sudah wa­ suci, yang diterjemahkan oleh Michaelangelo melalui
fat, dan dikerjakan kurang lebih sebanyak tiga puluh media drawing yang kemudian diaplikasikan pada
kali, di rumah sakit gereja, yang kemudian dilarang dinding. Sedangkan teknik fresco itu sendiri hanya
oleh Paus Leo X. Studi sebelumnya diarahkan pada dipakai dari jaman Renaissance hingga jaman Barok.
penggunaan dan fungsi berbagai bagian tubuh, yang
kemudian berlanjut membuat studi perbandingan an­ Teknik fresco yang digunakan oleh Michaelange­
tara manusia dan hewan. Sehingga dari peristiwa itu, lo, hampir mirip dengan upaya para seniman da­

n Gambar 3 - The Creation of Adam (1512) fresko gambar dinding, karya Michaelangelo (Repro: https://commons.wikimedia.org/wiki/ jpg)

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 81


lam menterjemahkan ayat-ayat suci dalam bentuk Ketiga seniman ini lebih banyak berkarya lewat
gambar-gambar, dengan teknik berbeda antara lain gambar-gambar drawingnya, yang kebanyakan
dikenal sebagai gambar timbul yang disebut de­ menggambarkan situasi atau kondisi dari suatu
ngan relief yang banyak terdapat di tanah air kita. kisah perjalanan atau peristiwa yang sedang ber­
Pada saat Indonesia mengalami masa akulturasi langsung. Sehingga gambar drawingnya semacam
dan inkulturasi ribuan tahun yang lalu, konsep media rekam yang mencatat banyak peristiwa,
tentang media gambar lebih mudah dipahami dari­ yang akan lebih mudah bila tersampaikan dalam
pada media teks, sudah ada dalam bentuk prasasti, bentuk gambar dari pada dalam bentuk teks. Kita
relief candi, gambar-gambar lontar, wayang beber bisa melihat dan membaca, juga mempelajari peris­
dan wayang kulit. Sehubungan dengan itu, penu­ tiwa-peristiwa yang mereka alami dan memfung­
lis juga mencari tahu, tentang cara baca dengan sikan drawing sebagai media baca. Konteks yang
menggunakan Bahasa rupa dalam mempelajari dan sangat sederhana ini bisa kita amati melalui salah
mengamati karya seniman besar Indonesia, dengan satu karya mereka yang menggambarkan situa­
karya yang ber-konteks drawing. Penulis memilih si dari peristiwa yang mereka alami. Pembacaan
dari sekian banyak seniman besar Indonesia, yakni pada karya drawing dengan menggunakan ketiga
tiga orang seniman, dari masa era tahun 40 – 70-an, karya seniman besar yang berbeda corak dan gaya
yakni Affandi, Henk Ngantung, dan Hendra Guna­ penyam­paian pada garis-garis dan finishing karya­
wan. nya, tentu sangat menyenangkan mempelajari karya
mereka yang luar biasa, sebagai bahan media baca.

82 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Penjelasan tabel: 1. Pada karya Affandi, yang Begitu juga, dengan penggarap­
sepertinya digarap dengan an sketsa drawing, judul: Roda
teknik drawing yang cepat, se­ Sapi (Pedati) yang penggarap­
hingga sempat memunculkan annya tahun 1948,
bentuk-bentuk bahasa tubuh
yang jelas, sehingga terbaca 3. Hendra Gunawan de­ngan
semua aktivitas orang-orang kehidupannya sebagai ak­
yang ada di taman tersebut. tivis, memungkinkan un­
tuk bercerita tentang ke­
hidupan rakyat kecil melalui
2. Hampir bisa dikatakan karya-karyanya. Cara peng­
gambar-gambar dari para gambarannya yang luar bi­
tokoh seniman di era 40 – asa tentang kehidupan se­
70-an, menggambar draw­ hari-hari masyarakat kecil
ing dengan teknik sketsa yang terbaca melalui karya-
yang arti­ nya menggambar karya drawingnya, dengan
dengan kondisi on the spoot. mudah bisa terbaca, pada
Bagaimanapun sketsa ada­ saat para penikmat seni me­
lah bagian dari drawing nikmati karya Hendra Guna­
yang dapat diolah dengan wan, terutama karya-karya
teknik dan bentuk apapun. drawingnya, selain karya-
Hingga menjadi grafis, pa­ karya lukisnya.
tung, arsitektur, atau drawing
painting yang menggunakan
teknik charcoal pada kanvas. Pembahasan
Begitu juga dengan karya-
Drawing sebagai Representasi Ruang Batin
karya Henk Ngantung. Seba­
Seniman
gian besar berupa sketsa yang
digarap dengan teknik on the Sehubungan dengan ketiga seniman besar yang sudah
spoot. Banyak peristiwa-peris­ terbahas sebelumnya, dan sekarang pada pembahasan
tiwa penting pada saat meeting berikutnya berupa pembuktian, bahwa karya-karya
di kala bertugas sebagai peja­ mereka merupakan media baca, yang dengan mem­
bat tinggi negara pada masa pelajarinya dapat diinterpretasikan, bahwa drawing
Soekarno, yang terekam, ter­ merupakan representasi ruang batin senimannya.
masuk juga merekam kondisi
kampung halamannya di Mi­ Pemahaman bahwa drawing adalah media baca
nahasa, juga perjalanan-per­ dan representasi ruang batin senimannya, kita
jalanan tugasnya keliling juga mempelajari karya drawing dari Joan Miro
Indo­nesia dan keliling du­nia. yang berjudul; Awakening at Dawn, 1941. Pada saat

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 83


membacanya, penulis dapat menginterpretasikan, Penjelasan gambar:
bahwa karya Joan Miro tersebut, merupakan rep­
resentasi dari saat kondisinya atau keberadaan dari Drawing surealis dari karya Joan Miro, sebenarnya
gagasan­nya tentang awakening at dawn (bangun di bisa mulai dibaca dari mana saja, tetapi untuk mem­
saat su­buh), sebagai gagasan idenya. Penggambar­ permudah pemahaman, dimulai dari warna orange
an tentang bangun disaat subuh itu sendiri, bisa pada ujung kiri atas gambar, sebagai gambaran pagi
mendatangkan banyak interpretasi, antara lain, subuh di saat matahari terbit. Pada tahapan berikut
dengan adanya inspirasi akan datangnya gagasan pada gambar yang teramati adalah, wimba atau
kerja sepanjang hari. Penggambaran tentang ba­ obyek atau bentuk tertentu. Kemudian, pada obyek
ngun disaat subuh, dari karya drawingnya adalah berikutnya adalah wimba yang mirip reproduksi
representasi dari suasana di ruang batin seniman­ yang terjadi disaat bangun tidur di pagi hari. Pada
nya, yang tergambar dari pengalaman batinnya. tahapan berikut, terdapat sekumpulan obyek yang
Hal ini, sepaham dengan pernyataan dari banyak menggambarkan aktifitas imajiner, yang terwakilkan
tulisan bahwa, dalam penggunaan mimpi dan alam oleh beragam bentuk simbol magis, sebagai repre­
bawah sadar sebagai bahan mentah artistik, selalu sentasi ruang batin senimannya. Lalu pada susunan
melegitimasi dalam menyelesaikan gaya surealis wimba yang terakhir adalah salah satu simbol magis.
drawing­nya. Berikut kemampuannya untuk meng­
gabungkan antara pemikiran duniawi dan magis Jadi dapat diinterpretasikan, bahwa pada saat ba­
yang bebas dalam penggarapan drawing, dan Awak­ ngun pagi hari disaat matahari terbit, alat reproduk­
ening at Dawn sebagai contoh yang mewakili kondi­ sinya aktif, timbul gagasan-gagasan aneh tentang
si ini. Sebagai gambaran ruang batin seniman, yang hal-hal magis, yang merupakan gambaran dari re­
bisa kita baca dan pelajari dari karya tersebut. presentasi ruang batin pelukisnya.

n Gambar 4 - Constelation: Awakening at Dawn, 1941. Joan Miro Gouache, paper (46 x 38 cm2)
(Repro: www.joan-miro.net)

84 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Penutup Daftar Pustaka

Drawing, literasi gambar Chryshnanda DL, dkk. (2021). Kidung Jiwa Nashar
Tonggak dan Martir Seni Rupa Abstrak
Sehubungan dengan kondisi drawing sebagai Indonesia. Kampung Semar: Rumah
sarana baca yang berhubungan dengan literasi Gagas Kreatif.
menggambar, sangat erat hubungannya sebagai
representasi ruang batin seniman dan penikmat Ika Ismurdiyahwati (2020). Buku Ajar Sejarah Seni
karyanya. Banyak seniman dengan skill yang luar Rupa Modern Dan Kontemporer. Sura­
biasa, dapat dengan mudah menyampaikan ide baya: Adi Buana University Press.
gagasan menggambarnya dengan teknik drawing.
Oleh karena itu, dimulai dari Leonardo Da Vin­ Jakob Sumardjo (2015). Estetika Paradoks. Ban­
ci dengan skill yang luar biasa, serta rasa keingin­ dung: Kelir
tahuan yang sebenarnya, tentang manusia sebagai
Mancini, Anne (2014). Australian Perspectives On
manusia, yang kemudian membandingkan dengan
An Issues – Based Approach. Long Man
binatang dalam studi anatominya, menjadi media
belajar selama berabad pada ilmu anatomi manu­
Primadi Tabrani (2006). Kreativitas & Humanitas.
sia, bahkan pada bidang-bidang kedokteran, yang
Pengantar: Yasraf Amir Piliang. Bandung:
masih berlaku hingga saat ini. Pada perkembang­
Jalasutra
annya di Indonesia sendiri, yang terjadi pada seni­
man-seniman yang terkenal yang berasal dari tahun Sri Rochana Widyastutieningrum [et.al]. (2021).
40 - 70-an yang juga menggunakan drawing sebagai Rekayasa Budaya, Dalam Ilmu Penge­
media rekam dan baca, dalam menggambarkan tahuan, Teknologi dan Seni Digital. ISI
suasana pada saat itu, yang sebenarnya masih terus Press.
berlanjut dari tahun ke tahun, hingga dari generasi
ke generasi. Hal ini disebabkan, karena drawing, Suwarno Wisetrotomo (ed). (2014). Paradoks
bisa dikatakan sebagai media menulis, membaca Mochtar Apin. Edwin’s Gallery, Jakarta.
dan bercerita, yang terus akan digunakan dalam
berkarya rupa hingga jaman kontemporer saat ini. Syakieb Sungkar (2023), Studi Karakteristik Lukis­
Drawing secara teknis masih sama dengan teknik an Hendra Gunawan. Jurnal DEKON­
sketsa dan ke teknik arsir, dan kemudian ke teknik STRUKSI. Vol. 09, No. 01, hlm. 20 – 31.
gores yang berkembang menjadi teknik drawing
painting dan teknik grafis.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 85


Nietzsche: ‘Subyek yang Terbelah’
sebagai Basis Subyek Moral
Y. Adi Wiyanto
adiandes@yahoo.com
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Pengantar Jika “berpikir” diandaikan sebagai percakapan
tokoh-tokoh dalam pertunjukan wayang, “aku”
Tulisan1 pendek ini menyajikan selayang pandang dianalogikan sebagai dalang yang menggerakkan
pemikiran Nietzsche tentang moral yang ia dasar­ tokoh-tokoh wayang itu. Penonton tidak dapat
kan dari “subyek yang terbelah” (dividuum). “Sub­ melihat dalang di balik layar. Namun, penonton
yek yang terbelah” ini bisa dilacak dari cogito “aku dapat membayangkan atau mengimajinasikan so­
berpikir” yang digaungkan oleh Descartes. Dari sok dalang yang lihai memainkan wayang-wayang
“subyek yang terbelah” inilah, menurut Nietzsche, itu. Dengan kata lain, “aku” tidak dapat diketahui.
muncul subyek moral.
Sebaliknya, menurut Nietzsche, sosok dalang alias
Problem “Berpikir” dalam “Aku Berpikir” “aku” itu tidak ada. Kalaupun ada, itu fiksi semata.3
Yang ada hanyalah pertunjukan, pertunjukan yang
Descartes sampai pada cogito ergo sum2, “aku ber­ tidak mengikuti naskah, tidak ada sosok pahlawan
pikir maka aku ada”, setelah ia bergumul dengan ataupun penjahat, pun tidak ada deus ex machina.4
keraguan yang menyelinap dalam relung hidupnya. Kalaupun ada yang mempertontonkan adegan per­
Descartes bahkan mengandaikan bahwa bukan Tu­ tempuran antara yang “baik” dan “jahat”, itu hanya
han mahabaik yang menjadi sumber kebenaran, bersifat patetis dan retoris.
melainkan “setan” gentayangan yang menipu dia
dalam membuat putusan ataupun penilaian. Bagi­ Pandangan Nietzsche tentang “aku berpikir” dapat
nya, apa saja yang ada di luar dirinya, baik langit, ditemukan di aforisme nomor 16 dalam Beyond
bumi, udara, air, tanah, api, suara, warna, maupun Good and Evil (BGE):
yang lainnya, hanyalah delusi. Dalam “samudra”
keraguan itu, Descartes akhirnya sampai di “da­ Ketika aku menganalisis peristiwa dalam kalimat ‘Aku ber­
ratan” kepastian bahwa dia yang meragukan itu be­ pikir’, aku menemukan rangkaian pernyataan ceroboh yang
nar-benar ada. Bagi Descartes, cogito “aku berpikir” sulit, mungkin mustahil, dibuktikan—contohnya, bahwa
yang lahir dari rahim dubito “aku ragu” ini menjadi adalah aku yang berpikir, bahwa pasti ada sesuatu yang
dasar bagi pengetahuan yang tak terbantahkan. berpikir, bahwa berpikir adalah sebuah aktivitas dan pengo­
perasian dari bagian sebuah entitas pikiran yang disebut se­
Descartes meyakini bahwa subyek “aku berpikir” bagai penyebab, bahwa “aku” ada, akhirnya bahwa apa yang
bersifat tunggal. Dalam subyek yang tunggal ini dibentuk oleh tindakan “berpikir” sudah ditentukan—bah­
terdapat hubungan sebab-akibat antara “aku” dan wa aku tahu apa yang dimaksud dengan berpikir. Sebab, jika
“berpikir”. “Aku” menjadi sebab atas munculnya aku tidak menentukan hal itu dalam diriku, dengan standar
tindakan “berpikir”, sementara tindakan “berpikir” apa aku dapat menentukan bahwa yang aku lakukan adalah
tidak akan terjadi jika tidak ada yang menjadi berpikir, bukan “berkehendak” atau “merasakan”? Cukup:
penyebabnya, yaitu “aku”. Dengan kata lain, sub­ “aku berpikir” ini mengandaikan bahwa aku membanding­
yek “aku” terbelah. kan keadaanku saat ini dengan keadaan lainku yang diketa­
hui dalam menentukan apa yang aku lakukan.
1 Penulis menyusun tulisan pendek ini berdasar-
3 Bdk. Gilles Deleuze dalam Nietzsche and Philosophy
kan tafsir Peter Bornedal dalam The Surface and
the Abyss, Nietzsche as Philosopher of Mind and Know­ (trans. Hugh Tomlinson), Cambridge: Cambridge
ledge, Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co. KG, University Press, 1983, hlm. 121.
2010, hlm. 153-220.
4 Bdk. On the Genealogy of Morals I §13, “…tidak ada
2 J. Sudarminta dalam Epistemologi Dasar: Pengantar ‘pengada’ di balik tindakan, akibat, dan perubah-
Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius, 2002, an; ‘pelaku’ hanyalah sebuah fiksi yang ditambah-
hlm. 50 dengan tepat menyebut bahwa Descartes kan pada laku—laku itu sendiri adalah segalan-
bukan pemikir pertama yang menemukan argu- ya….” Nietzsche juga menyatakan bahwa suatu
men untuk melawan keraguan. Agustinus lebih peristiwa tidak disebabkan dan juga tidak menjadi
dulu mengemukakan si fallor sum “jika aku keliru, penyebab. Nietzsche mengatakan itu di aforisme
aku ada” dalam City of God, II, 26. nomor 551 dalam Will to Power: “… In summa: an
event is neither effected nor does it effect….”

86 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Di aforisme itu, Nietzsche mempertanyakan kon­ sentimen seperti penasaran, bosan, dan apatis. Aku,
sep “berpikir”, bukan fakta tentang “tindakan-se­ misalnya, saat ini merasa bosan, tetapi bagaimana
perti-berpikir”. Nietzsche juga mengkritik konsep aku tahu bahwa saat ini aku benar-benar merasa
“aku” sebagai prinsip tunggal dan yang melakukan bosan. Hampir mustahil mengurai dan menganali­
tindak­an “berpikir”. Nietzsche mendekonstruksi sis beragam perasaan yang campur aduk menjadi
hubungan sebab-akibat dalam mental batin antara satu yang disebut bosan.
“aku” dan tindakan “berpikir”.
Kritik Nietzsche atas subyek pada dasarnya meng­
“Aku berpikir” mengandung makna bahwa terjadi andaikan adanya asumsi tentang apa yang disebut
sesuatu dalam pikiran, entah itu semacam aktivi­ dengan “organisme yang khaotik”, yaitu organis­
tas ataupun pengoperasian bagian tertentu dalam me yang melampaui kendali dan kognisi manusia
pikiran. Nietzsche menyadari bahwa pengetahuan se­
hingga memungkinkan manusia membentuk
itu terbatas. Dengan pengetahuan yang terbatas, penge­tahuan yang keliru dan sewenang-wenang.
Nietzsche mempertanyakan bagaimana segala se­ Pun pikiran adalah semacam organisme khaotik
suatu dapat diketahui. yang bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yang tidak
dapat dipahami oleh bahasa. Jadi, menyebut aktivi­
Selain itu, Nietzsche juga mempertanyakan bagai­ tas organisme tersebut sebagai “berpikir” merupa­
mana menentukan bahwa suatu aktivitas disebut kan bentuk penyederhaan yang serampang­an.
“berpikir”. Sesuatu yang tengah terjadi di kepala
memang diterima begitu saja, tetapi bagaimana Problem “Aku” dalam “Aku Berpikir”
yang tengah terjadi di kepala itu disebut “berpikir”
dan bukan, misalnya, “berkehendak” atau “mera­ Umum dipahami bahwa ada pelaku atau agen yang
sakan”. Dengan kata lain, apa yang menjadi standar “melakukan” tindakan berpikir dan agen itu dise­
bahwa sebuah aktivitas disebut “berpikir”, “berke­ but “aku”. “Aku” ini dipahami sebagai substan­
hendak”, atau “merasakan”. si bagi tindakan berpikir yang menjadi dasar dan
penyebab terjadinya tindakan berpikir. “Aku” di­
Lebih lanjut Nietzsche mengatakan bahwa aku ha­ mengerti sebagai penggerak utama atau daya inter­
nya dapat mengetahui dengan dasar perbanding­ nal dalam pikiran. Selain itu, “aku” juga dipa­hami
an, yaitu aku harus membandingkan keadaanku sebagai kesadaran yang bertanggung jawab dan
sekarang dengan keadaan yang sudah diketahui mengendalikan proses berpikir.
untuk mengetahui keadaanku sekarang. Maka,
untuk mengetahui “apa yang sedang terjadi di […] sebuah pikiran datang ketika “sesuatu”
kepalaku”, aku harus membandingkan keadaanku menginginkannya, dan bukan ketika “aku”
yang tidak tahu apa pun ini dengan standar yang menginginkannya. Maka, adalah pemalsuan
sudah diketahui. Hanya dengan membandingkan fakta dengan mengatakan: subyek “aku” adalah
seperti itu, aku dapat menyadari bahwa keadaanku syarat bagi predikat “berpikir”. Sesuatu ber­
sekarang dipenuhi sejumlah kriteria dari stan­ pikir: tetapi dengan asumsi bahwa “sesuatu”
dar yang diketahui, dan inilah yang membuatku itu adalah yang dikenal sebagai “aku” — ini
dapat menyebut bahwa “apa yang sedang terjadi di tampaknya hanya sebuah asumsi, pernyataan,
kepala­ku” adalah “berpikir”. dan bukan sebuah “kepastian langsung”. Su­
dah terlalu banyak pengandaian dalam “sesuatu
Namun, bagaimana yang disebut standar itu diketa­ berpikir”: “sesuatu” mengandaikan interpretasi
hui. Jika “sesuatu tengah terjadi di kepalaku” dan atas sebuah proses dan “sesuatu” itu tidak ter­
dibandingkan dengan standar yang ada, standar masuk dalam proses itu. Banyak orang menga­
itu, menurut Nietzsche, disebut dogma. “Sesuatu nut kaidah bahasa ketika menyimpulkan bah­
tengah terjadi di kepalaku” haruslah diterima begi­ wa “berpikir adalah sebuah aktivitas sehingga
tu saja tanpa diperiksa dan dipertanyakan. Hal ini setiap aktivitas membutuhkan seorang agen.”
diterima sebagai semacam kepastian, tetapi kepas­ (BGE §17)
tian yang muncul karena dogma. Maka, pertanyaan
“apa yang tengah terjadi di kepalaku” tidak cukup Entah yang dianggap sebagai sebab adalah “aku”
dijawab dengan “berpikir” karena aku akan mem­ ataupun “sesuatu”, pengandaian tentang “peng­
bandingkan “aktivitasku” dengan sesuatu yang se­ gerak” dalam tindakan berpikir, menurut Nietz­
cara pre-reflektif aku tentukan sebagai “berpikir”. sche, merupakan hal yang keliru karena tidak
dapat dibuktikan apakah “aku” yang berpikir atau
Argumen Nietzsche ini juga berlaku untuk semua “se­suatu” yang berpikir (BGE §16). Dalam proses
“aktivitas dalam otak”: sensasi atas rasa senang berpikir, tidak ada “pelaku” atas “perbuatan”, tidak
dan tidak senang; emosi seperti cinta, benci, marah, ada “agen” atas “aktivitas”, dan tidak ada “peng­
takut, dan iri; hasrat seperti keinginan dan gairah; gerak” atas “gerakan”.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 87


Bagi Nietzsche, “sesuatu berpikir” bahkan memi­ Descartes keliru dengan menyatakan bahwa jika ada
liki asumsi yang tidak beralasan, sama halnya de­ “aku”-linguistik, ada pula “aku”-kognitif; jika pre­
ngan “aku berpikir”. Nietzsche dalam aforisme §17 dikat melekat ke “aku”-linguistik, aktivitas berpikir
BGE menyatakan bahwa pikiran datang ketika “se­ melekat ke “aku”-kognitif; pun jika subyek-linguis­
suatu” menginginkan, bukan ketika “aku” meng­ tik mendahului predikat, “aku”-kognitif bertindak
inginkan. Saat pikiran datang ketika “sesuatu” sebagai agen yang mendahului tindakan berpikir.
menginginkan; sesuatu itu bergerak sendiri; berdiri Dengan kata lain, Descartes mencampuradukkan
sendiri tanpa asal-usul; dan muncul dalam sirkuit “aku”-linguistik dan “aku”-kognitif. Descartes ter­
oto-afeksi, terlepas dari dorongan yang masuk atau bius dengan bahasa dan tidak menyadari bahwa ia
keluar sirkuit itu. “Aku” sebagai daya dorong tidak membangun argumen “aku berpikir” berdasarkan
hadir dalam proses ini. Bahkan, pikiran itu sendiri logika subyek-predikat dalam bahasa.
tidak dapat diidentifikasi sebagai “sesuatu” karena
bukan kesatuan entitas yang menginginkan sesuatu. Relasi subyek-predikat ini kemudian disalahartikan
dengan menempatkannya dalam subyek ontologis
Ketika “aku” dalam “aku berpikir” dibuang, Nietz­ “aku”-berpikir. Terdapat tiga model yang men­
sche hendak menunjukkan determinasi psikolo­ jelaskan tentang subyek, yaitu subyek-predikat,
gis-logis dari “subyek” atau pikiran. Determinasi sebab-akibat, dan “aku”-berpikir. Penerapan dan
psikologis-logis ini terkait erat dengan metafisika pencampuradukan ketiga model tersebut meng­
yang tidak bermaksud mengubah subyek meng­ hasilkan pemahaman bahwa “aku” dianggap se­
alami subyektivitasnya, tetapi mengubah bagaima­ bagai penyebab tunggal dan substansi dari tindak­
na filosof memandang dan menginterpretasikan an “berpikir”.
subyektivitas. Ketika “aku” dari “aku berpikir”
dibuang, pikiran tidak memiliki prinsip pemersatu Penutup
dan terpusat. Yang ada adalah ketiadaan—tidak
ada “aku” dan “sesuatu”—yang mengikuti segala Descartes mengatakan bahwa “aku” adalah penye­
proses yang terjadi di dalam pikiran. Dalam aktivi­ bab bagi “aku berpikir” yang bersifat tunggal.
tas mental batin yang disebut “berpikir”, tidak ada “Aku” dengan demikian menjadi subyek yang ter­
sintesis yang menyatukan segala pikiran dan hasil belah karena pada dasarnya melakukan hal yang
dari “aku berpikir”. Pikiran (mind) hanyalah medan sama, yakni (1) “aku” yang berpikir dan (2) berpikir
perang bagi pemikiran (thoughts), tetapi perang itu sebagai hasil dari apa yang dilakukan oleh “aku”.
tanpa pemimpin yang mengatur, merencanakan, Subyek yang terbelah ini tercipta semata karena
dan menjalankan perang. hubungan sebab-akibat.

Bagi Nietzsche, “aku” tidak memiliki eksistensi. Sebaliknya, menurut Nietzsche, “aku” hanyalah
“Aku” fiksi semata. Jika “aku” digunakan untuk fiksi. Jika “aku” digunakan untuk menandai sesu­
menandai sesuatu, hal itu terjadi karena relasi sub­ atu, hal itu terjadi karena relasi subyek-predikat
yek-predikat dalam bahasa. Nietzsche berpandang­ dalam bahasa. Adapun “berpikir” merupakan
an bahwa Descartes “terjerembab dalam jebakan bentuk penyederhaan yang serampangan atas ak­
kata-kata”. tivitas sub­ yek yang adalah“organisme khaotik”,
yaitu organisme yang melampaui kendali dan kog­
Mari lebih teliti ketimbang Descartes yang terjerembab nisi se­hingga memungkinkan manusia membentuk
dalam jebakan kata-kata. Benar bahwa Cogito hanyalah pengetahuan yang keliru dan sewenang-wenang.
satu kata, tetapi memiliki banyak makna. […] Dalam Dengan demikian, “aku berpikir” juga semacam
cogito yang terkenal itu terkandung: 1) Aku berpikir, 2) organisme khaotik yang bekerja berdasarkan prin­
dan aku yakin bahwa aku yang berpikir, 3) tetapi dengan sip-prinsip yang tidak dapat dipahami oleh bahasa.
asumsi bahwa poin kedua belum jelas. Sebagai bentuk
penjelasan, dalam ‘sesuatu berpikir’ [‘es denkt’] masih Nietzsche menyebut “subyek yang terbelah” se­
terkandung keyakinan bahwa ‘berpikir’ adalah suatu ak­ bagai subyek yang dividuum. Subyek yang divi­duum
tivitas dengan subyek, setidaknya “sesuatu” [ein ‘es’], ini mampu membelah dirinya dalam ragam “suara”
harus diandaikan — makna ergo sum tidak lebih dari yang berbeda, misalnya suara yang satu memerin­
itu! Namun, hal itu hanyalah keyakinan terhadap baha­ tah, sedangkan suara yang lain menolak. Inilah
sa, yang sudah mengandaikan “sesuatu” dan “aktivitas” yang menjadi basis dalam memahami fenome­ na
sesuatu itu; kita masih jauh dari kepastian. (Nachlaẞ seperti subyek moral. Nietzsche mengutarakan
1885, KSA 11, 40[23]). “subyek yang terbelah” itu dalam Human, All Too
Human §57:
Nietzsche menengarai bahwa Descartes menco­
ba memahami pikirannya sendiri yang adalah Moralitas sebagai subyek yang terbelah dalam diri
“organis­me khaotik” berdasarkan aturan dangkal manusia. – Seorang penulis yang baik, yang mencurah­
yang pragmatis, yaitu bahasa. Maka, kata Nietzsche, kan segenap hati pada karyanya, mengharapkan ada

88 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


orang yang datang dan mempermalukan dirinya dengan Subyek yang dividuum ini mampu membelah di­
karya yang sama tetapi lebih menawarkan kejernihan rinya dalam ragam “suara” yang berbeda, misalnya
dan penyelesaian masalah atas segala pertanyaan yang suara yang satu memerintah, sedangkan suara yang
muncul dalam karyanya. Seorang gadis yang sedang lain menolak. Subyek bertindak moral karena me­
jatuh cinta berharap bahwa kepercayaan dan kesetiaan reka mendengar suara dalam dirinya yang berbisik,
cintanya dapat diuji oleh kepercayaan laki-laki yang ia “kamu harus”. Suara itu berseberangan dengan
cintai. Seorang prajurit berharap dirinya gugur di me­ keinginan subyek yang hakiki, yaitu bertahan hi­
dan perang demi kemenangan tanah airnya; karena dup dan menjaga kelangsungan keturunan. Untuk
hasrat tertingginya adalah menjadi pemenang dalam tetap hidup, tubuh subyek perlu sehat dan asupan
kemenang­ an tanah airnya. Seorang ibu memberikan makanan-minuman.
kepada anaknya apa saja yang ia ambil dari dirinya:
waktu tidur, makanan terenak, kesehatan, dan harta­ Adalah suara dalam diri prajurit atau ibu yang
nya. – Namun, apakah semua itu tidak egois? Apakah memerintah, “kamu harus…”— suara yang mem­
semua perbuatan moral tersebut muzizat karena, dalam buat subyek terbelah menjadi “aku”-berbicara dan
bahasa Schopenhauer, “mustahil dan tidak nyata”? Bu­ “kamu”-mendengarkan, tetapi ketika “aku”-ber­
kankah cukup jelas bahwa ilustrasi tersebut menunjuk­ bicara adalah suara yang diinternalisasi, dan ke­
kan manusia mencintai sesuatu dalam dirinya, sebuah tika “kamu”-mendengarkan bukanlah “kamu”
ide, hasrat, keturunan, melebihi apa pun yang lain yang riil, “aku sendiri” (me myself) mengambil alih
dalam dirinya, kemudian manusia itu membelah diri­ peran “kamu riil”. Dialektika “aku”-“kamu” di­
nya dan mengorbankan sebagian dirinya untuk orang internalisasi menjadi “aku” (subyek)-“aku” (obyek).
lain? Apakah secara esensial berbeda ketika ada orang Situasi ini terjadi dalam dialog dengan diri sendiri
menga­takan: “Aku lebih memilih ditembak mati daripada (solilokui) yang disebut dengan komunikasi reflek­
bergerak satu inci mengikuti jalan temannya? – Keingin­ tif. Dalam solilokui ini, suara “aku” bersumber dari
an akan sesuatu (harapan, dorongan, hasrat) tampak da­ suara yang lain, yaitu suara ayah, ibu, orangtua,
lam ilustrasi di atas; menyerah padanya, dengan segala guru, komandan, pemimpin masyarakat, pemuka
konsekuensinya, bukanlah “tidak egois”. – Dalam mo­ agama, dan lain sebagainya. Suara itu tercipta dari
ralitas, manusia memperlakukan dirinya bukan sebagai dogma agama, norma adat, doktrin politik, dan lain
individuum, melainkan sebagai dividuum. sebagainya. Singkatnya, suara itu terlahir dalam
peradaban.5
Ketika berbicara tentang “subyek yang terbelah”
dalam individuum dan dividiuum sebagai basis pema­ Kritik Nietzsche atas moral pada dasarnya me­
haman tentang subyek moral, moral yang dimaksud rupakan kritik ideologi. Dalam On the Genealogy of
ialah moral dalam makna luas, seperti adat-istiadat, Morals, Nietzsche menggambarkan imam sebagai
norma, aturan, dan nilai-nilai dalam masyarakat. ideolog, budak sebagai penganut ideologi, dan
Moral tidak dimaknai secara sempit sebagai kewa­ tuan sebagai manusia yang tercerahkan. Dalam
jiban moral seperti dalam pandangan Kant, tetapi
sebagai “kewajiban subyek yang terbelah”. Sebagai
contoh, kewajiban untuk membunuh, yang jelas- 5 Bdk. The Gay Science IV §335: “Penilaian moral
jelas bertentangan dengan moral Kantian, harus bahwa ‘tindakan ini tepat’ berasal dari insting,
ditaati oleh prajurit di medan perang demi mem­ hal-hal yang disukai, hal-hal yang tidak disukai,
pertahankan negaranya. Dalam kasus itu, si prajurit pengalaman-pengalaman, dan kurangnya pen-
mengalami dirinya sebagai “subyek yang terbelah”. galaman-pengalaman. Kalian tentu bertanya,
Dengan kata lain, “subyek yang terbelah” meliputi ‘Bagaimana bisa begitu?’, ‘Apa yang mendorongku
siapa saja yang menginternalisasi norma dan nilai untuk melakukan itu?’ Kalian bisa mendengar
yang ditanamkan oleh masyarakat, komunitas, ke­ dorongan semacam itu seperti ketika seorang
luarga, atau subyek di luar dirinya. Moral, dengan prajurit mendengar perintah komandannya. Atau
demikian, dipahami sebagai segala macam ideologi, seperti seorang perempuan mendengar perintah
sementara subyek moral—“subyek yang terbelah”— pasangannya. Atau seperti penjilat yang takut per-
adalah subyek yang terpapar ideologi. intah atasan. Singkatnya, ada banyak cara untuk
bisa mendengarkan kesadaran kalian. Namun,
Dalam aforisme tersebut, Nietzsche memperlihat­
penilaian kalian atas suatu tindakan muncul bu-
kan bahwa yang dilakukan oleh penulis, gadis,
kan karena kalian sering menggunakan kesadaran
prajurit, dan ibu sudah sesuai dengan kaidah mo­
kalian, melainkan karena kalian menerima begitu
ral. Namun, subyek diam-diam memiliki keinginan
saja apa yang kalian dengar sejak kecil…. Jika ka-
pribadi yang egoistis: penulis ingin sukses, gadis
lian mau berpikir lebih dalam, mau menyelidiki
ingin suami idaman, prajurit ingin hidup, dan ibu
lebih jauh lagi, dan mau belajar,… pemahaman
ingin sehat. Subyek akhirnya terbelah. Dalam situ­
kalian tentang asal usul penilaian moral akan mem-
asi terbelah inilah, subyek berada dalam tegangan:
busukkan suara-suara agung itu.”
bersikap egois atau tidak.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 89


kasus seorang prajurit yang mengikuti suara lain
yang mengharuskan dia berkorban demi negara­
nya, oleh Nietzsche, prajurit tersebut termasuk ma­
nusia dengan tipe budak. Disebut budak karena ia
tidak memiliki kuasa untuk menolak suara-suara
itu. Adapun jika si prajurit berani mempertahankan
pendiriannya dan menolak suara-suara itu, ia ter­
masuk manusia tipe tuan.

Sumber

Bornedal, Peter. The Surface and the Abyss, Nietzsche


as Philosopher of Mind and Knowledge. Ber­
lin: Walter de Gruyter GmbH & Co. KG.
2010.

Deleuze, Gilles. Nietzsche and Philosophy (trans.


Hugh Tomlinson). Cambridge: Cam­
bridge University Press. 1983.

Nietzsche, Friedrich. On the Genealogy of Morals and


Ecce Homo (trans. Walter Kaufmann and
R.J. Hollingdale). New York: Vintage
Books Edition. 1989.

Nietzsche, Friedrich. The Gay Science (edit. Bernard


Williams and trans. Josefine Nauckhoff).
Cambridge: Cambridge University Press.
2001.

Nietzsche, Friedrich. The Will to Power (trans. Wal­


ter Kaufmann and R. J. Hollingdale). New
York: Vintage Books Edition. 1968.

Sudarminta, J. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat


Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius. 2002.

90 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


An Aesthetic of Framing and Deframing:
Notes on Takdir Alisyahbana and Latiff Mohidin
Goenawan Mohamad
gmgoenawansusatyo@gmail.com
Komunitas Salihara

“In front of these images, one asks oneself: is the poem a Latiff is by no means a commanding  voice in his
picture or the picture a poem?’’ — Rilke.  country’s intellectual history. But his poetry and
paintings remain  esteemed cultural items in to­
Simon Soon, from the Universiti Malaya, asks me if day‘s swirl of  tastes. He is a witness to the continu­
I can discuss the works and ideas of Sutan Takdir ing interface between the verbal and the visual.
Alihsjahbana and Latiff Mohidin, two iconic figures
in our region’s cultural landscape. Simon sees it as As I see it, Latiff’s poems often  suggest an attempt to
a way to examine   “the artistic, literary and intel­ produce,  as it were, scenes with words.  The meta­
lectual cross-fertilization between Indonesia and phors sometimes remind me of chiaroscuro drawings,  
Malaysia”. with moments of darkness lurking between the
clari­ty of meanings. Here is a part of his erotic poem: 
I am not sure if I can do the job. But let me try.
tujuh lautan
1
satu gelombang
As you all know, the late Takdir Alisyahbana is 
the leading member of Indonesia’s ”New Poets”
(Poejangga Baroe) of the 1930s.  Latiff Mohidin,  the di pusar perutmu
eminent Malaysian painter and poet, on the other berpusing 
hand, needs no introduction.  His works are being
denyutan purba
exhibited right here in this gallery. I must say, to
place Takdir and Latiff side by side is a curious jux­ memanggil namaku
taposition. Therefore, my emphasis would, rather,
employ comparison, instead of “cross fertilization.”
 kuturuni bukit
Takdir and Latiff come from different eras. Takdir’s  kutinggalkan padang luas
formative period was before the Second World War,
when Nusantara, particularly these two sides of the
 aku merangkak kembali 
Strait, lived under European colonial subjugation
and hegemony.  Latiff Mohidin is a different story.   ke lubuk kelammu
Born in 1941, he began to produce his important
works within a post-colonial South-East Asia, in the In contrast to Latiff,  Takdir’s works practically
1960-s, when Malaysia was beginning to assert its have no link with the visual arts. The only time
presence; it was a period of economic growth and Poedjangga Baroe, the journal he edited, is interest­
political stability. ed in painting  is when Takdir writes, in two parts,
biographical sketches of  Mas Pirngadi, the Indone­
Takdir died in 1994, at the age of 84.  He remains sian painter in the 1930s. Around that time, one of
an indelible presence in Indonesia’s intellectual life, his poems speaks to a “Tuan Pirngadi”  — a subject
but is no longer the catalyst he once was. His prolif­ I will speak of more in the later part of this paper.
ic years were in the 1930s, when he dominated the
Indonesian literary landscape with his brilliant and  2
controversial essays.   He is, basically, an essayist. 
Let me begin with a moment of  parallelism. Here
As far as I am concerned, his novels,  as well as his
is a quote from Latiff Mohidin’s well-known poem:
poetry, are less interesting than his discursive writ­
ings. His pieces  published in Polemik Kebudayaan,
(an anthology of the 1935 debates  on Indonesia’s belayarlah kolek malam
cultural orientations),  are  exemplary; they define dan datang padaku
Takdir’s corpus of essays as a distinct voice in Indo­
nesia’s history of ideas: they articulate a vernacular
zeal for modernity.   

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 91


hati ini berlagu jua tebing curam ditentang diserang,

mata ini berkisah jua dalam bergurau bersama angin,


dalam berlomba bersama mega.
darah ini mengalir jua

belayarlah Sejak itu jiwa gelisah


Selalu berjuang tiada reda.
hatimu
Ketenagan lama serasa beku,
matamu
gunung pelindung rasa pengalang.
darahmu
Berontak hati hendak bebas,
jauh… jauh menyerang segala apa mengadang.

The poet sees himself  as the spokesperson of his


generation; Takdir uses the plural pronoun of kami.
It is an announcement of rupture, or better, of revolt
towards freedom (berontak hati hendak bebas, “our
hearts rebel, wanting to be free”). “We” refuse  to
be attached to  a calm, waveless lake,  “protected
from the storm and gale by a lush hill”. As with so
much of modern Indonesian poetry, the sea — or
in Takdir’ words, “rolicking waves following each
other...” — is a space of liberation.  We remember
that his most widely read novel,  Layar Terkembang,
implies a similar metaphor. So this is the parallel­
ism.  In their respective works —  and I suspect in
their  general view of things as well — both Latiff
and Takdir enact a eulogy of departure.  

In Latiff’s case, it is probably a return to the idea


of merantau, or leaving home, a tradition practiced
by young Minangkabau men in West Sumatra who
n Figure 1 – The original text of Latiff Mohidin’s poem. depart from their  birthplace to see the world. But I
am not sure whether Latiff’s wanderlust has some­
thing to do with his Minangkabau roots. I’d rather
Latiff urges “the night boat” to sail, in its total self see Latiff as a peripatetic poet.  The Greek word,
(“your heart, your eyes, your blood,”) to places far peripatetikos,  (as the legend has it), derives from Ar­
away. The metaphor of sailing  suggests adventure istotle’s habit of walking around while teaching — 
and freedom —is  very similar to Takdir’s in his which I think is an apt description of Latiff’s way
famous poem “Menuju ke Laut”. Let me quote the of producing his art works and poetry.  He crosses
first three stanzas: borders, just as most creative people do. He asks his
“night boat” — an extension of his being — not to
Kami telah meninggalkan engkau, remain at stand still.  It has to sail.
Tasik yang tenang tiada beriak,
Takdir’s poem is also a celebration of sailing, or
diteduhi gunung yang rimbun,
rather of adventure — reaching a new  horizon, 
dari angin dan topan. meeting new challenges, generating a  new world, 
Sebab sekali kami terbangun, discarding the old, protective, one.  “The old tran­
quility is a frozen state”, the poem says, and “the
dari mimpi yang nikmat.
sheltering hill is now a road block”.   

Ombak riak berkejar-kejaran At this point, his parallelism with Latiff’s eulogy of
departure stops.  Takdir’s advocacy for an exit has
di gelanggang biru di tepi langit. an exuberant tone; Latiff’s voice is more sombre. 
Pasir rata berulang di kecup, Takdir’s imaginary journey is buoyant — the waves
evoke bursts of joy (“bergurau bersama ombak”) and

92 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


the expansive sea looks bright and blue (“gelang­ works.  In 1934,  Poedjangga Baroe published Tak­
gang biru”) —Latiff’s passage takes place at night, dir’s essay on Pirngadi, probably the first Indone­
with a hint of uncertainty (“jauh, jauh”).  The word sian painter employing modern techniques. 
“apabila” in the last stanza is ambiguous; it  means
“when” but also “if”. The contrast is instructive.  Let Characteristically,  he sees Pirngadi less as a great
me say a little more of Takdir and his take on the art painter than as a man of  the new era, a sample of In­
and poetry. donesia’s “national awakening” (kebangoenan bang­
sa) in the cultural scene, in the beginning of the 20th
Takdir, in his early years, was a rebel with a cause.  century.  In other words, for Takdir,  Pirngadi— like
At the end, he is a rebel circumscribed by its very the Poedjangga Baroe group of writers — is a portrait
cause. His words are a distant echo of the  European of the artist as a solitary precursor.
Enlightenment’s cry, Sapere aude!. It is a call to dare
us to release ourselves from our “self-incurred tute­ “This is the fate of all great souls coming down too early
lage”, as Kant puts it — an 18th century  appeal  for to the earth, in a society split into two    cultures.   They
modernity.   are like towering, shady trees but having no root, they
cling their trunks to the wood nearby. So weak is the prop
Like many advocates of modernity,  Takdir sees the supporting this greatness...”
future as something  no longer articulated  in terms
of the past (“Kami telah meninggalkan engkau”, we Takdir’s sympathy is with the painter’s lack of so­
have left you behind...) The future becomes the focal cial footing, but not necessarily with the aesthetic
point and a new organizing principle.  The problem of his works.  In the second part of his essay, I find
with this view is that it puts the movement of histo­ his criticism to the point:  In Pirngadi’s paintings, he
ry in a linear image — even an orderly one.   says, one can find neither  “the audacity of phanta­
sy,” nor “emotion bouncing to the sky,  in grief and
This is already apparent in the way Takdir announc­ ecstasy”.  Things of great wonders do not fascinate
es the   thrust of his poem  in the second stanza. Pirngadi; his quiet joy is to observe the beauty of his
His design to present the vivacious sea as a project land admiringly.  “Pirngadi is not a painter of the
against tranquility is marked by an underlying reg­ tumultuous, of movement, of action.  The ferment
ularity; the second stanza is made of a  measured ca­ of the city does not appeal to him.” 
dence mostly in 10 syllables.  There is neither shock
nor spasm.  And yet, Takdir speaks eagerly of the painter’s
“abundant sense of beauty” (hatinya berlimpah-limpa­
Deep down, you can discern  the rhythm of cer­ han perasaan keindahan) and his skillful hands which
tainty.  The telos, the end of the process — or the enables him to “transform his simple surroundings
cause propagated — determines the course of ac­ into a song of the picturesque.” No wonder that in
tion.  Takdir’s journey is a predictable narrative of  a poem written in 1935, Takdir phrases his  affinity
optimism.  I believe this colours his choice of art with the painter:

n Figure 2 – Pirngadi Painting

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 93


Ya,ya, Tuan Pirngadi,  gold and glitter like  a  youthful bride), “matahari
Demikianlah ingatan beta kehendaki:  bersinar di langit terang”, (the sun shinning bright in
the sky).  Here, Takdir, the literary trail-blazer of
Muda gembira di puncak bahagia,  1930s, is virtually unrepresented.  His ardour for
Berhias emas mempelai remaja  the new is muffled. At the end of the day, Takdir
Dan penuh ria sinar segala.  and Pirngadi share the same pre-revolutionary ide­
al, or beau ideal, if you will.  In Indonesia, they call
it the paradigm of Mooie Indie. 
Demikian ia hendak kubawa: 
4
Matahari bersinar dilangit terang, 
Memberi hidup menunda tenaga,  In the late 1939, Soedjojono, Indonesia’s leading
Selama mata belum tertutup,  modernist painter, who was later an important
spokesman for the revolutionary élan of the 1940s, 
Sebelum tangan tersusun... wrote a scathing comment on the kind of visual arts
produced in colonial times.  As he sees it, the pre­
This is, of course, not only a song of the beautiful,
dominant vogue is to depict   “the Dutch Indies” not
but an exaltation of the joy of life — typical of Tak­
as a land of  contradictions, of exploited peasants
dir’s enraptured view of history. 
and worried workers, but as a rustic panorama with
I sense that Takdir wants to assert what he consid­ a pretty face. The canvas of Ernest Dezentje (1885-
ers is lacking in Pirngadi’s paintings:  the will to act, 1972) is a case in point.
to transform the passivity of nature. The poet’s is an
From here comes the disparaging label Mooie Indie,
activist’s statement: “Beta kehendaki”, (what I want); 
(“Beautiful East India”).  To Soedjojono, who later
“hendak kubawa”, (I’d like to take along, to bring
became the leading painter  of the Left, the Moo­
about).  But his words, using  run-of-the-mill ex­
ie Indie arts are works produced for people “who
pressions, betray his affinity with the zone of  con­
have never seen coconut trees and rice fields”, or
formity: “Berhias emas mempelai remaja”, (adorned in
“tourists tired of their own skyscrapers”. In another

n Figure 3 – Ernest Dezentje (1885-1972) painting, oil on canvas, 45 x 60 cm2.

94 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


essay published in 1946 he claims that in Mooie In­ Asrul Sani, who is, like Chairil Anwar, a brilliant
die paintings “all are completely nice and romantic writer of the revolutionary period of 1945, suspects
like in Paradise, all are comfortable in every angle that Takdir understands nothing of the turbulent
— peaceful, tranquil”. times;  Takdir only sees the revolution, Asrul says,
merely as “foot-thumping on a Sunday morning”.
It is this kind of  landscape that pervades Takdir’s Asrul Sani’s wit is definitely acerbic, but there is a
poetry (a vista “adorned in gold and glitter like  a  glint of truth in it.  Takdir is no fan of the revolution
youthful bride”).  But I must add, the bent is not for and its collateral zeal.  “We cannot possibly rebel
the beauty per se.  Rather, it is the impulse for the against everything, everybody”, he says.  He stands
congruous, linear, and purposive. against the fervor of the new poetry brought about
by Chairil Anwar who famously claims himself a
I believe it possesses the vestiges of the Dutch land­ “binatang jalang”, “a wild beast”. In an interview
scape painters — putatively progenitors of land­ published in 1947, Takdir compares Chairil’s poetry
scape paintings everywhere — whose canvases with “rojak”; it is fresh and exciting, but  “you can­
revel in the flat topography, endless lines of water, not make it the substance of human life”.  
and placid sceneries.  Above all, their fascination
with linear perspective is not only connected to a This is in line with his view of modernism in the visual
contemporary scientific mode, but also to the idea arts. His disdain for the works  of Picasso and Kandin­
of controlling space. “Realism”  means portraying sky has a typical  bourgeois bent: he sees them as  “irre­
a unified mis-en-scène.  I think there is a continuity sponsible and aimless revolts.”  His attacks on the mod­
between Bruneleschi’s geometrized representation ernists, both in the arts and literature, are fervid; they
of reality and the colonialized other, just as there is “cover themselves with a fog of mystery and obscure
a symmetry  between the Mooie Indie canvases and language,” he says,  “so no common mortal can  grasp
the Dutch colonial administration in Indonesia.  In a what they mean”.  As a result, Takdir says, “their cultural
perceptive study of visual culture in the time of the and social thrust will be utterly weak and skimpy”.
Netherlands Indies, Susie Protschky points out that 
there is a frequent omission of “the negative impact Ironically, the poet who celebrates the stride to lib­
of colonial expansion” in the art works. They shun erty in his early poem is apparently the same man
“controversial realities”. who could do with the confinement of creativity. To
him, creativity should rather be the production of
the useful — and not that of the new. Takdir’s im­
pulse, as I said, is for the congruous, linear, and pur­
posive. But this is precisely what the modernists in
Indonesian arts and literature prefered to disregard,
one way or another. I believe that it began with the
Revolution (with a capital “R”).

The Indonesian revolution and the protracted war


for independence in mid-1940s, as described by 
Pramoedya Ananta Toer in his novels, was the moth­
er of metamorphosis. In Di Tepi Kali Bekasi, a fiction
based on the writer’s combat experience in the battle
along the Bekasi River, Pramoedya eulogizes the war
as “an epic of a mental revolution”.  As with what
n Figure 4 - Bruneleschi’s geometrized the slogans say on the city walls —painted surrep­
representation of reality. titiously by the guerrillas, addressed to the arriving
Allied Force in late 1945 — the Revolution was a call
I am not suggesting that Takdir’s literary writings
for equality in a world shaped by layers of hierarchy.
brush off the social and intellectual  defects of the
The “event” gave birth to an assertive subjectivity
colonial society.  Yet like the Mooie Indie in the eye
among the lower classes; it produced a shared op­
of  Soedjojono (portraying the world in which “all
position against the entrenched ideals of consensus.
is comfortable”), Takdir’s poetry finds no place
in post-colonial Indonesia.   The 1945 generation Inevitably, it disrupted the notion of order and
of writers denigrates this Poedjangga Baroe trait. As­ predictability; it challenged the usual narrative
rul Sani calls it a “literature of the stabilized mid­ of “purpose”. It implied chaos, both creative and
dle class”,  gestabiliseerde burger.  What Takdir and destructive. In his writings, Takdir prefers a cha­
the Poedjangga Baroe write “have the odor of a fresh os-free social transformation; as I suggested before,
shirt and the atmosphere of a flat life”. even his image of roaring waves has an element of
regularity.  His idea of modernity,  based on what

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 95


n Figure 5 – S. Soedjojono, “Seko”, oil on canvas, 1950.

Max Weber famously calls “instrumental reason”, is 


miles away from the post-colonial works of Soedjo­
jono and Affandi, two foremost modernists in the
history of Indonesian art. Let us have a look at Soed­
jono’s painting, Seko, (oil on canvas, 1950).

The canvas is an attempt to capture a moment in


the life of an unknown freedom fighter. He is a man
with a gun standing against the ruins of battle. It is
a painting of rupture. A tumultuous sky. A town
that is no more. The guerilla, barefoot, carrying a
rifle longer than his limbs and torso, is walking in a
space that looks like a dubious track from nowhere.
Everything is in a state of  disruption.
n Figure 6 – Affandi, “Andong”, oil on canvas, 1969.
Unlike typical revolutionary works by Chinese so­
cialist artists, there is no bright light on the horizon;
in fact, there is no horizon at all. The light is imbued An andong, the popular horse cart, is passing.  In
with gloom. There is no clear sense of optimism, but real life, the occasion  is marked by an easy-going
neither is there any sign of despair. The painting sets trot or a casual stroll.  But Affandi transforms the
itself against the logics of linearity. Other post-colo­ scene into an image of anxiety, of a haphazard trek,
nial works are two pieces by Affandi. One is a mo­ and of a disheveled  passage.  The brushworks are
ment in a Yogyakarta street (oil on canvas, 1969). impetuous.  No stable design is in place; the Gestalt

96 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


emerges as a process.  It is a movement against pur­ Penyair berusaha sedaya upaya memberikan lapisan cor­
posiveness. The other work of Affandi (oil on can­ ak-warna (nuansa) dalam menghayati kehidupan harian,
vas, dated 1962) is even more remote from Takdir’s namun jalur fikiran kita, umumnya, ingin tetap ting­
aesthetics. gal dalam warna hitam-putih sahaja” (“The poet tries
forcefully to give nuances, layers of colors in daily
life, but our line of thought generally prefers to stay
in black-and-white”).

Poets use words as much as  painters use colors,


Sartre says in What is Literature?. One might think
that the poet is composing a sentence,  but actual­
ly he or she, like a painter, is “creating an object”. 
The poetic unity is nothing but  a “phrase-object”. In
Latiff’s case, the object he creates, the austere lines
of words he writes on his notebooks and the unvar­
nished colors he puts on his canvases have the sim­
plicity and discreet elegance of  Malay pantuns. And
like good pantuns, it has parts that hint at enigmatic
messages.  But the message is the medium.
n Figure 7 – Affandi, “Telanjang”, oil on canvas, 1962.
In other words, they are genuine images, not sym­
bols.  A symbol is a conceptual construct; Latiff’s
The eroticism is unabashed. It is a gust of carnali­
lines and shapes are phenomena — like  Dinggedicht,
ty, letting off rowdy brushworks in cadmium red
“thing-poem” of Rilke, written under the influence
against a backdrop of uncertain green.  A work per­
of  Rodin the sculptor and Cézanne the painter. Ril­
vaded by sexual desire, it  emits sparks of lewdness
ke’s Dinggedicht  invites us to have a painterly view
in undisciplined, febrile, strokes.   It is a celebration
of things from the outside. This implies a withdraw­
of the flesh against the command of instrumental
al of the subjective side of the encounter, to make
rationality. It brings out what Merleu-Ponty calls
the things autonomous. Latiff’s Pago-Pago series,
“[la] nappe de sens brut”, a layer of “raw” meaning
true to their  quality as phenomena, assume no ref­
construed by nothing.
erential content.  Their meaning is the outcome of,
In other words,  the works have no penchant for to use Rilke’s words, “a half-unconscious finding’’
“cosmic” order in the manner of Poedjangga Baroe’s as opposed to the deliberate ‘‘search’’ of the intel­
poetry or the Mooie Indie panorama.   Chairil Anwar, lectual mind. I think the canvases of Pago-Pago un­
for one, articulates a  modernist temper against the derline this. 
aesthetic of the pre-revolutionary 1930s, when he
writes a short note describing  the way an art work
evolves: the beginning is “a chaotic stage” (chaos­
tische voorstadium), he says, and the end a “cosmic
stage” (cosmische endstadium) — which is  a contin­
gency. The irony, or perhaps the paradox, of mo­
dernity, like Takdir’s, is that the end is in the be­
ginning.  Ultimately, what we have is an eulogy of
pseudo-departure.

As you may notice, I am no fan of Takdir Alisyah­


bana’s premise on literature. Obviously, I have a
greater rapport with Latiff’s works. This is, I admit, 
a biased position; like Latiff, I write poems and pro­ n Figure 8 - Latiff Mohidin, Pago-Pago.
duce some drawings and paintings, so I am readily
drawn by  the parallelism between his verse and his They are pictures of beings without names, like the
visual virtuosity.   first batch of earthly  creatures. Some, with their
plant-like shapes, but with omnipresent eye-like
Not a wordy theoretician,  he puts the basis of his
dots and circles, suggest an alien organism with
aesthetic in a very short note published in  Catatan
mythical genesis. Some have the grotesque look of
Latiff Mohidin,   typically using color as a metaphor: 
Inca deities. Some  remind me of  the demons in the

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 97


Cambodian or Balinese shadow puppets. All  insin­ It is with such a vitality that Latiff’s aesthetic tran­
uate the presence of different energies. In Latiff’s scends conceptual constraints.  The works always a
imaginary beings, the energy is not a substance; it flux of de-framing.  I believe that is what we need. 
is  a process.   The process is both elegant and men­ They speak to us in a time when identity thinking
acing. The Pago-Pago never suggest inertia; they are frames the world,  suppressing the “non-identity”,
perpetual metamorphosis. They are simultaneously as Adorno would say it.  Poetry and the visual arts
repetition and difference.  may not save us from it, but they, like Latiff’s ex­
tensive contribution, can create a different space: an
alternative. A story of framing and deframing.

n Figure 9 - Latiff Mohidin, Pago-Pago series.

98 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi


Biodata
Agung Frigidanto adalah seorang kurator dan penulis seni rupa, melakukan kurasi pameran di ruang-ruang al­
ternatif, salah satunya Ruang Garasi, Gandaria, Jakarta Selatan. Mempunyai aktivitas literasi bersama, Tersajak­
kanlah.

Agustinus Tetiro adalah mahasiswa pascasarjana STF Driyarkara.


Alif Iman Nurlambang adalah ketua sebuah organisasi sosial dan filsafat “Gerakan Indonesia Kita” (GITA) dan
mahasiswa STF Driyarkara.

Anna Sungkar adalah kurator dan pengamat seni, telah menyelesaikan program S3 di ISI Surakarta.

Ayu Utami adalah seorang sastrawan yang menamatkan kuliah bahasa Rusia di Fakultas Sastra Universitas Indo­
nesia. Ia pernah menjadi wartawan dan mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Novelnya yang pertama,
“Saman”, memberikan warna baru dalam sastra Indonesia dan mendapatkan Prince Claus Award 2000. Novel
yang lain setelah Saman, di antaranya adalah “Larung”, serial “Bilangan Fu”, dan “Cerita Cinta Enrico”. Ia pernah
membuat kumpulan esei yang diberi judul “Si Parasit Lajang”. Ia pernah mendapat penghargaan Achmad Bakrie
di tahun 2018. Kini ia aktif di Komunitas Utan Kayu dan sibuk menggelar forum Filosofi Underground.

Chris Ruhupatty adalah guru Pendidikan Agama Kristen di sebuah sekolah swasta di kota Bogor dan telah selesai
menempuh studi filsafat di Program Magister STF Driyarkara, Jakarta.

Franz Magnis-Suseno adalah seorang imam Katolik, pengajar filsafat, dan juga penulis. Beberapa buku yang per­
nah ditulisnya, antara lain: “Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi” (Gramedia, 1984), “Pemikiran Karl Marx. Dari
Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme” (Gramedia Pustaka Utama, 1999), “Keagamaan Masa Depan -
Modernitas - Filsafat: Harkat Kemanusiaan Indonesia Dalam Tantangan” (Buku Kompas, 2021).

Hisbulloh Huda adalah alumnus Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta.

Ika Ismurdiyahwati adalah seorang dosen dan perupa, memperoleh gelar doktor Seni Rupa di Institut Teknologi
Bandung (2007). Mengajar di Universitas PGRI Adi Buana, Surabaya dari tahun 1991 hingga sekarang. Beberapa
buku yang ditulisnya, diantaranya adalah, “Damar Kurung Dari Masa Ke Masa” (2022).

Syakieb Sungkar adalah Alumnus Pascasarjana STF Driyarkara, pernah menulis buku “Melacak Lukisan Palsu”
(Gramedia Pustaka Utama, 2018) dan “Seni Sebagai Pembebasan” (Circa, 2022).

Wahyudin adalah kurator seni rupa dan penulis. Belajar etnografi di Program Studi Antropologi Pascasarjana
UGM Yogyakarta (Angkatan 1999). Buku seni rupanya yang sudah terbit adalah “Bergerak dari Pinggir” (2018),
“Omong Kosong di Rumah Seni Cemeti” (2019), “Bertandang ke Galeri (2020), dan “Oei Hong Djien: Delapan
Puluh nan Ampuh” (2021).

Y. Adi Wiyanto adalah Alumnus Pascasarjana STF Driyarkara


Goenawan Mohamad adalah seorang filsuf, penyair, jurnalis, pelukis, novelis, dan penulis naskah drama. Ia
baru saja menyelesaikan pameran tunggal karya-karya grafisnya di galeri Dia.Lo.Gue pada bulan Maret 2023.

Jurnal Dekonstruksi Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 99


Alamat Redaksi
J l n Te b e t T i m u r D a l a m R a y a N o. 7 7 ,
Jakarta Selatan

100 Vol. 09, No. 02, Tahun 2023 Jurnal Dekonstruksi

Anda mungkin juga menyukai