Anda di halaman 1dari 6

ETIKA TERAPAN

BAHAN BANDINGAN UNTUK MATERI:


“ENGKAU YANG DIBENCI NAMUN SELALU DIRINDUKAN”
Kajian Etis Terhadap Keberadaan Rentenir Di Tengah Jemaat
Pembanding : Lucius Siahaan
Rinaldi Girsang
Victor Golan Sitompul
Dosen Pengampu : DR. Janhotner Saragih

I. KAJIAN BANDINGAN
Pandangan pertama seyogiyanya memunculkan ketertarikan terhadap sesuatu yang
diamati. Demikianlah yang pembanding rasakan (tertarik) ketika melihat goresan judul besar
yang disampaikan para pemateri. Tidak dapat dipungkiri, bahwa gaya berfikir pemateri dapat
dilihat dari sumber pertama dari buku yang dipakai, yakni: Berfilsafat Dari Konteks, sebuah
karya Frans Magnis Suseno untuk mengkaji sub judul yang diwejangkan. Harus diakui bahwa
pandangan dari ilmu filsafat, sangat berpengaruh terhadap bidang – bidang ilmu lainnya,
sehingga hal – hal yang bersifat epistemology dapat dipaparkan.
Judul yang disuguhkan pemateri telah menyampaikan PESAN mengenai romantisnya
hubungan antara manusia (jemaat) dengan satu bidang profesi (pekerjaan), dengan
menggunakan pendekatan Romantisisme1 sebuah kajian filsafat yang memiliki ciri: bersifat
imajinatif, bersifat subjektif sebagai ekspresi diri, menggunakan intensitas emosional dan
menggunakan perumpamaan. Dengan demikian judul di atas adalah suatu bentuk perlawanan
atau ketidak-setujuan terhadap sub judul (Tengkulak/ Rentenir) yang dikaji secara etis yang
diluapkan secara puitis.
Pembanding masih diseputaran judul dan sub judul. Jika para pemateri mengajukan
bantahan, bahwa judul di atas adalah murni (pure) sebagai realitas menuju sub judul
(rentenir), maka pembanding harus mengingatkan bahwa dalam penggunaan bahasa, hukum
rasionalitas manusia meyakini bahasa yang secara horizontal memiliki koherensi logis-
konseptual, serentak secara vertikal memiliki korespondensi empiris antara subjek dan
objek. Apa yang menjadi tuntutan pemateri dari materi ini harus jelas. Untuk itu kepastian
(certainly) adalah istilah yang sangat tepat menggambarkan tuntutan dan ruang gerak

1
Romantisisme merupakan suatu aliran karya sastra yang lebih mengutamakan perasaan. Dipengaruhi
sentimentalisme kemudian mempengaruhi Neo-Romantisisme. Romantisisme adalah gerakan seni, sastra dan
intelektual dari Eropa Barat abad ke-18 masa Revolusi Industri. Bnd. Paul Ricoeur, Hermeneutika dan Ilmu-
ilmu Humaniora, (Yogyakarta: IRCISoD, 2021) h. 125-126

1
epistemology (kandungan makna/ hakekat) yang dipaparkan.2 Pembanding mengingatkan
pemateri dengan tujuan bagaimana seharusnya mempertahankan kewibawaan suatu karya
ilmiah, dimana judul dan sub judul harus berkorelasi dan koheren antara logika serta konsep
pemikiran yang dituang. Bila demikian halnya, maka pembanding mengusulkan judul “Ulat
Bulu dan Tengkulak/ Rentenir” Sebagai Bentuk Neo Morality/ Perlawanan dalam Kajian
Etika Kristen. Dengan alasan yang akurat bahwa PENAGIH tidak diharapkan kedatangannya.
Menitik fokuskan terhadap Sub Judul, tengkulak/ rentenir adalah sebagai objek dari
kajian para pemateri. Harus diakui bahwa objek sub judul materi ini merupakan hal fenomena
yang terjadi pada masyarakat urban, atau masyarakat yang melakukan urbanisasi
(perpindahan dari desa ke kota). Dari pemaparan pemateri tampak jelas bahwa sub judul/
objek merupakan profesi yang digemari dan telah membudaya, sehingga seolah-olah tidak
dapat ditinggalkan, walaupun gereja/ kekristenan sebagaimana yang dipaparkan pemateri
melarangnya. Untuk itu, perkenankanlah kami pembanding, mengemukakan 3 pandangan
dari tokoh Jacques Derrida3 untuk memperkaya materi ini. Berkaitan dengan kompleksitas
keberadaan objek (tengkulak/ rentenir) dan larangan – larangan yang bersumber dari PL dan
PB. Dalam karya J.D. Caputo yang diterjemahkan Martin Lukito Sinaga, menurut Derrida,
ada tiga poin penting berkaitan dengan Teologi Negative yang dibaca ulang secara berbeda,
yaitu:4
1. Pada akhirnya Teologi Negative mencirikan sebuah idenditas tanpa idenditas, tidak
pernah bisa dibatasi oleh spasialitas tradisi pemikiran manapun. Spasialitas
merupakan paduan dari kritik yang datangnya dari kerumitan sosial. Maka kaitannya
dengan objek pemateri, bisa saja dikatakan bahwa contoh idenditas (profesi: rentenir)
yang paling baik justru karena inilah contoh yang paling buruk, yang paling layak
karena paling tidak layak, paling bisa dimaklumi karena paling tidak bisa dimaklumi.
2. Teologi Negative bukanlah perkara definition (defenisi, pemahaman) namun
merupakan decision (keputusan). Dalam kasus pemateri, misalnya: daripada dapur
tidak berasap, anak-anak putus sekolah, diusir dari kontrakan, dsb, maka digelutilah
profesi yang dimaksudkan.

2
F.B. Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis Tentang Metode Ilmiah
dan Problem Modernitas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003) h. 50-58
3
J. Derrida adalah seorang filsuf Perancis yang dianggap sebagai pengusung tema Dekonstruksi dalam
Filsafat Postmodern. Dekonstruksi yang dimaksud adalah memahami kontradiksi yang ada pada teks dan
mencoba membangun kembali makna-makna yang sudah melekat dalam teks tersebut. Jacquest Derrida,
POSITIONS, (Yogyakarta: IRCISoD, 2020), terj. Laila Qadria, hlm. 154
4
John D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, (Bandung: Mizan, 2001), terj. Martin Lukito
Sinaga, hlm. 216-219

2
3. Dan segala decision yang diambil tersebut, selalu ada dalam wilayah tanpa dasar
apapun, sehingga secara permanen terbuka terhadap kemungkinan decision
selanjutnya. Hal ini berkaitan dengan hal empiris, yakni ketika melihat pengalaman
keberhasilan orang lain (sebagai rentenir), yang barangkali menarik hati untuk turut
bergelut di dalamnya tanpa mempertimbangkan ajaran kekristenan.

Dengan demikian, kerinduan pembanding kepada pemateri adalah menerima kajian


yang lebih mendalam dari para pemateri tentang teks yang pastinya sangatlah dipengaruhi
oleh konteks yang ada. Sebaliknya apakah konteks yang berlaku pada masanya tetap abadi
dan mumpuni di dalam konteks kehidupan masakini? Yang secara jujur harus diakui bahwa
kebutuhan hidup mempengaruhi system kerja otak kiri. Dimana banyak kasus bunuh diri,
Tindakan kriminalitas demi tercukupkannya kebutuhan hidup. Walaupun demikian, kami
team pembanding tetap berharap sekuat mungkin, agar para pemateri mampu memberikan
pencerahan terhadap profesi yang digemari dari masa ke masa oleh masyarakat urban.
Berbicara tentang hal – hal etis mengenai profesi (pekerjaan) yang telah membudaya,
perkenankanlah pembanding mengemukakan profesi – profesi yang sudah sangat tua di muka
bumi ini yang sebanding dengan objek pemateri (tengkulak/ rentenir), yakni pemungut cukai
dan pelacuran yang telah ada setelah keberdosaan manusia. Apakah pertobatan sebagaimana
yang dilakukan adalah konklusi dari pendalaman materi ini.
Pada dasarnya aktivitas perkreditan yang dikelola rentenir dapat dikategorikan
sebagai sektor informal yang bergerak untuk mencari bunga dan sifat rentenir itu tergolong
dalam pekerjaan ekonomi gelap. Kami sebagai pembanding melihat bahwa penyaji tidak
tegas mengatakan siapa itu sebenarnya rentenir di hadapan pengajaran iman Kristen, satu sisi
mendukung karena factor ekonomi, kebutuhan makan, uang sekolah anak dll, bagi penyaji
rentenur seakan-akan sebagai “malaikat penolong” , tetapi satu sisi penyaji menggambarkan
rentenir seperti “malaikat pencabut nyawa”. Kami pembanding menegaskan bahwa pekerjaan
yang mengisap darah rakyat kecil (rentenir) mereka itu memanfaatkan situasi “perangkap
situasi”, pihak rentenir awalnya menyejukkan tetapi kelak memperburuk keadaan nasabah.
Apalah bedanya yang dikatakan Tuhan Yesus “Serigala berbulu domba” (Matius 7:15).
Kajian sosiologi memandang bahwa fenomena yang terjadi di tengah masyarakat
dimana seseorang yang merasa dirinya memiliki kelebihan materi dari segi finansial, maka
berpotensi untuk mengkultuskan dirinya sebagai pihak yang Superior, sehingga di sisi lain
ada keyakinan dalam dirinya bahwa ada orang-orang di sekitarnya dan pihak-pihak lain yang
dianggapnya sebagai pihak yang Interior dan membutuhkan kucuran dana cepat dan mudah.

3
Dalam hal ini pihak rentenir yang eksis di tengah-tengah masyarakat yang bisa dikatakan
sebagai pihak Superior dengan mudah memberikan pinjaman uang kepada pihak-pihak yang
membutuhkan dana masyarakat kecil Interior. Apalagi pihak-pihak rentenir yang
menganggap diri superior dari kalangan perempuan yang sangat mengguncang
kewanitiaannya yang dikenal dengan lembut dan santun, tetapi ketika berubah menjadi
pelaku rentenir kebringasannya melawan kodratnya sebagai wanita. Nasabah yang sulit
membayar, pelaku perempuan rentenir menuntut harus mampu untuk bersikap kasar.
Fenomena lain yang terjadi di tengah kalangan rentenir, mereka juga menunjukkan
diri di tengah kelompok masyarakat terlebih di tengah kehidupan bergereja, mereka sering
sekali menutupi status pekerjaan rentenirnya dengan praktik membangun citra diri
(pencitraan), seperti menolong nasabah yang susah, bersifat dermawan, menyumbang
aktivitas keagamaan (menyumbang pembangunan gereja, mar-lelang, dan sumbangan
lainnya) karena sumbangan yang diberikannya bisa untuk menjaga diri dari stigma buruk
masyarakat kepada mereka dan tanpa kita sadari pencitraan yang mereka perbuat juga adalah
untuk memperkuat hubungannya dengan nasabahnya dan calon-calon nasabah lainya.
Semakin tinggi kapital budaya yang dimiliki oleh rentenir, maka citranya semakin baik
sehingga praktik-praktiknya tidak banyak terusik oleh citra buruk warisan tradisi. Biaya-
biaya sosial dalam rangka peningkatan kapital budaya dihitung secara rasional sebagai biaya
ekonomi dalam menopang praktiknya.
J. Sidlow Baxter menyatakan, Orang-orang kaya tidak mau pusing dengan keadaan
masyarakat yang terjepit dan serba susah, mereka justru mengambil kesempatan untuk
mengeruk keuntungan yang besar bagi diri sendiri. Memang orang bisa dengan cara
demikian mendapatkan kekayaan, tetapi perlu diingat bahwa itu untuk berbelas kasih kepada
orang-orang lemah (Ams. 19:17).5
Menjadi rentenir memang bisa menjadi kaya, akan tetapi bagi orang percaya kalau
menyadari arti dan pentingnya kasih itu maka tidak akan ada lagi korban dari rentenir itu.
Boleh meminjam uang kepada orang lain, dan boleh juga memberi pinjaman, namun ingat
yang namanya pinjam itu berarti harus ada gantinya. Memang ada gantinya, namun
pengembaliannya adalah sesuai dengan jumlah yang dipinjamkan sebelumnya. Eka
Darmaputera menyatakan bahwa, laba, penumpukan dan pengembangan modal, sukses
material dan sebagainya, tidak boleh menjadi tujuan akhir, hanya karena untuk mengejar
harta dan mendapat kekayaan.

5
J. Sidlow Baxter, Menggali Isi Alkitab I Kejadian-Ester, (Jakarta: YKBK/OMF, 1997), 468

4
Untuk orang percaya sedapat mungkin jangan sampai berhutang, apalagi hanya untuk
hal-hal yang konsumtif. Kalau terpaksa berhutang karena kebutuhan yang mendesak dan
penting, maka bayarlah hutangmu itu tepat pada waktunya, jangan menundanya, apalagi
berusaha untuk tidak membayarnya, itu tidak boleh.

II. SARAN
Jika ditinjau rentenir dari Hukum Perdata dalam hal utang-piutang (pinjam
meminjam) tersebut yang konon disertai dengan bunga adalah benar menurut hukum yang
berlaku di Indonesia. Hal itu diatur dalam KUH Perdata pasal 1765-1769 yang merumuskan
tentang peminjaman uang disertai dengan bunga. Dalam tatanan negara RI juga mengatur
tentang bagaimana hidup bermasyarakat itu dilaksanakan. Aturan perundang- undangan
memberi irama gerak setiap warga negara sehingga berjalan menurut tata aturan yang berlaku
dengan demikian etika normatif masih tetap berjalan. Dalam membahas tentang persoalan
membungakan uang (rente), hal itu telah ditetapkan dalam Undang-Undang KUH Perdata.
Pasal 1765 KUHP, berbunyi Untuk peminjaman uang atau barang yang habis dalam
pemakaian, diperbolehkan membuat syarat bahwa atas pinjaman itu akan dibayar bunga.
Kemudian dijamin lagi dengan munculnya pasal 1766 KUHP yang berbunyi,
“Barangsiapa sudah menerima suatu pinjaman dan telah membayar bunga yang tidak
diperjanjikan dahulu, tidak dapat meminta kembali bunga itu dan juga tidak dapat
mengurangkannya dan pinjaman pokok, kecuali jika bunga yang telah dibayar itu melampaui
jumlah bunga yang ditetapkan dalam undang-undang; dalam hal ini uang kelebihan itu dapat
diminta kembali atau dikurangkan dan pinjaman pokok. Pembayaran bunga yang tidak
diperjanjikan tidak mewajibkan debitur untuk membayar bunga terus, tetapi bunga yang
diperjanjikan wajib dibayar sampai pada saat pengembalian atau penitipan (konsinyasi) uang
pinjaman pokok semuanya walaupun pengembalian atau penitipan uang pinjaman itu
dilakukan tatkala sudah lewat waktu pelunasan menurut perjanjian.”
Jadi pemerintah dalam hal ini memberikan kesempatan bagi siapa saja yang dapat
memberikan pinjaman dengan bunga asalkan hal itu sesuai dengan perjanjian awal. Nilai
pergerakan bisnis makin terbuka lebar dalam hal praktik membungankan uang kepada
sipemimjam uang. Inilah kesempatan yang paling legal untuk memeras orang lain dengan
cara yang halus namun akhirnya menikam dari belakang. Tidak peduli keterpurukan ekonomi
separah apa dan bagaimana yang penting hal itu masih sesuai dengan undang-undang yang
berlaku. Sebagai akibatnya perbedaan yang kaya dan yang miskin semakin terbuka lebar

5
bagaikan kubur yang ternganga. Pemerintah seakan bermasa bodoh dengan praktik yang
melanda rakyat ekonomi menengah kebawah.
Dalam KUHP, Pasal 1767, mengatur tentang dua bagian penetapan bunga, baik itu
menurut UU maupun hanya melalui perjanjian yang penting secara tertulis. Sangat
disayangkan karena dalam pasal ini memberi kelonggaran bagi rentenir untuk melipat
gandakan bunga melampaui UU berdasarkan perjanjian. Demikianlah dilanjutkan dalam
KUHP pasal 1768 bahwa, ‘Jika pemberi pinjaman memperjanjikan bunga tanpa menentukan
besarnya, maka penerima pinjaman wajib membayar bunga menurut undang-undang.’ Inilah
fenomena yang terjadi di bangsa ini. Nilai-nilai kehidupan seakan dapat ditukar atau dibeli
dengan materi, karena kita ada di zaman materialisme. Zaman yang mengukur segala sesuatu
dengan materi.

III. PERTANYAAN
1. Mohon tanggapan dan pendalaman penyaji tentang Konteks Nas dengan konteks masa
kini, apakah konteks tentang meminjamkan uang dalam PL dan PB berlaku tetap
abadi dan mumpuni di dalam konteks kehidupan masakini?
2. Menurut kajian saudara penyaji, apakah sesungguhnya pelaku rentenir terjadi karena
desakan kebutuhan keluarga atau karena pekerjaan yang menjadi candu bagi pelaku
rentenir, bahkan ingin menjadi kaya?
3. Bisakah penyaji memberikan penjelasan, yang mengatakan, bahwa orangtua yang
rentenir, pekerjaan itu tidak dilanjutkan oleh anaknya? Berdasarkan penglihatan
Pembanding di lapangan, bahwa ada pekerjaan rentenir turun temurun?
4. Apakah penyaji memperhatikan, bahwa hukum tabur tuai itu berlaku kepada pekerja
Rentenir?
5. Jika dikaji dalam pandangan iman Kristen, Bagaimana tanggapan penyaji tentang
KUHP mengatakan selama itu ada dasar kesepakatan bersama antara peminjam dan
yang meminjamkan (rentenir) itu sah dan diperbolehkan?
6. Apa tanggapan penyaji tentang Bank, BPR, CU yang juga memberikan bunga
pinjaman, apakah lembaga itu termasuk rentenir?

Anda mungkin juga menyukai