Anda di halaman 1dari 5

Budaya dalam Hubungan Internasional: Perspektif Konstruktivis1

Mohamad Rosyidin
Universitas Diponegoro

Pengantar
Mengapa Tiongkok bersikap agresif di Laut Tiongkok Selatan (LTS)? Apakah faktor
kepentingan nasional cukup memuaskan untuk menjelaskan perilaku Tiongkok tersebut? Apakah
faktor sumberdaya alam dan lokasi geostrategis LTS merupakan satu-satunya penjelasan?
Kebanyakan penstudi Hubungan Internasional (HI) selalu berbicara atas nama kepentingan
nasional ketika mencoba memahami perilaku negara. Hal itu tidak salah, namun sangat
monolitik. Padahal hubungan internasional sangat kompleks. Kita tidak bisa memahami realitas
internasional hanya dari satu sudut pandang saja.
Para penstudi HI sejak lama percaya bahwa faktor-faktor di luar realitas material penting
dalam mempengaruhi interaksi antar aktor internasional. Mereka berangkat dari asumsi
sederhana bahwa sebagai bagian dari Ilmu Sosial, HI semestinya lebih menaruh perhatian pada
dimensi-dimensi non-material ketimbang terlalu percaya pada realitas obyektif yang kasat mata
dan terukur. Ilmu sosial memfokuskan kajiannya pada hal-ihwal manusia dan lingkungannya.
Sementara manusia itu sendiri berbeda secara eksistensial dengan benda-benda karena memiliki
jiwa dan pikiran. Jiwa dan pikiran manusia itu menghasilkan beragam produk sosial yang
kemudian mempengaruhi perilaku mereka.
Salah satu produk sosial itu adalah budaya. Budaya adalah entitas tak terpisahkan dari
masyarakat. Sekitar 16 tahun lalu, para pengamat Barat mengatakan bahwa budaya memainkan
peran penting di balik maju atau mundurnya pembangunan ekonomi suatu negara.2 Bahkah, jauh
sebelumnya, di ranah kajian HI guru besar Universitas Cornell Peter Katzenstein mengedit satu
tulisan besar tentang bagaimana faktor-faktor non-material yang ia sebut dengan ‘budaya’ atau
lebih tepatnya ‘kultur’ mempengaruhi perilaku negara dalam isu keamanan internasional.3 Tak
mengherankan apabila kemudian muncul frase ‘cultural turn in International Relations’ yang
merujuk pada gerakan intelektual menentang ortodoksi ilmu-ilmu sosial yang terlalu percaya
pada obyektivisme dan rasionalisme.4 Gerakan ini dimotori oleh studi linguistik yang mengusung
metodologi interpretivisme.
Di ranah HI, gerakan ini baru muncul ke permukaan pada dekade 1980-an pada momen
‘Perdebatan Besar ketiga’ (Third Great Debate) antara Positivisme dan Pospositivisme. Joseph
Lapid menulis dalam artikelnya bahwa Perdebatan Ketiga mengarah pada isu metodologis
dimana metodologi positivisme yang menitikberatkan pada empirisisme dan rasionalisme telah
gagal menjelaskan fenomena internasional. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa HI sebaiknya
mengadopsi cara kerja ilmu sosiologi dengan penekanan pada interpretivisme. Fenomena-
fenomena internasional terlampau kompleks sehingga cara kerja ilmu alam sangat terbatas. HI,

1
Makalah disampaikan dalam kuliah umum “Budaya dalam Hubungan Internasional” yang diselenggarakan oleh
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Udayana, Denpasar, 11 Oktober 2016.
2
Lawrence Harrison and Samuel Huntington (eds), Culture Matters: How Values Shape Human Progress (New
York: Basic Books, 2000).
3
Peter Katzenstein (ed), The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics (New York:
Columbia University Press, 1996).
4
Stephanie Lawson, Culture and Context in World Politics (New York: Palgrave Macmillan, 2006), hlm. 17.
dengan demikian, perlu melakukan restrukturisasi besar-besaran dari sisi ontologi dan
epistemologinya.5

Konstruktivisme dan pentingnya budaya


Konstruktivisme adalah salah satu perspektif dominan dalam studi HI selain realisme dan
liberalisme. Pemikiran konstruktivisme dipopulerkan oleh sejumlah nama besar, salah satunya
Nicholas Onuf. Onuf pertama kali menggunakan istilah ‘konstruktivisme’ dalam bukunya
berjudul World of Our Making. Ia memberi alasan kenapa pemikiran itu dinamakan demikian;
“karena manusia senantiasa mengkonstruk realitas sosial, bahkan mengkonstruk dirinya
sendiri.”6 Nama lain yang sangat menonjol adalah Alexander Wendt. Profesor dari Ohio State
University ini menulis makalah sepanjang 35 halaman berjudul Anarchy is What States Make of
It yang menantang asumsi realis dan liberal bahwa hubungan internasional lebih dipengaruhi
oleh dimensi sosiologis alih-alih material.7 Sejumlah nama lain yang bisa disebut antara lain
John Gerrard Rugie dan Friedrich Kratochwil.8
Ada tiga asumsi dasar pemikiran konstruktivis.9 Pertama, interaksi antar manusia,
termasuk antar negara lebih ditentukan oleh faktor gagasan ketimbang material. Gagasan ini
penting karena menentukan makna dari realitas material. Sebagai contoh, uang penting bukan
karena bendanya melainkan karena makna yang disematkan padanya. Jika semua orang berhenti
memaknai uang sebagai alat pembayaran yang sah maka uang tersebut tidak ada artinya. Kedua,
gagasan tersebut bersifat intersubyektif yakni menjadi semacam ‘pemahaman bersama’ (shared
understanding) antar aktor. Meskipun menitikberatkan pada dimensi gagasan, namun
konstruktivis bukan termasuk pandangan psikologis yang melihat individu sebagai entitas
independen. Berbeda dengan psikologi yang sangat subyektif, konstruktivis menekankan pada
inter-subyektivitas dimana makna dibentuk dari hasil interaksi sosial dan bukan persepsi
individu semata. Sebagai contoh, pernikahan membutuhkan pemaknaan bersama antara ‘suami’
dan ‘istri’ karena jika hal itu tidak terjadi maka tidak ada yang namanya ‘pernikahan’. Ketiga,
intersubyektivitas itu membentuk kepentingan dan tindakan aktor. Berbeda dengan realis dan
liberal yang memandang kepentingan bersifat eksogen – sebagai pendorong tindakan – bagi
konstruktivis kepentingan merupakan derivasi dari gagasan. Tanpa gagasan tidak ada konsep
kepentingan, tanpa kepentingan tidak ada tindakan yang bermakna.10
Konstruktivisme sejatinya bukan teori HI, seperti halnya realisme dan liberalisme yang
lahir dari rahim ilmu politik, induk ilmu HI. Konstruktivisme merupakan seperangkat pemikiran
yang diadopsi dari disiplin sosiologi dan psikologi sosial. Oleh sebab itu, kaum konstruktivis
melihat dunia secara khas yang membedakannya dengan teori-teori mapan lainnya. Konsep-
konsep yang menjadi senjata andalan kaum konstruktivis untuk memahami dunia juga

5
Lihat Yosef Lapid, ‘The Third Debate: On the Prospects of International Relations Theory in a Post-Positivist Era,’
International Studies Quarterly, Vol. 33, No. 3 (1989), pp. 235-254.
6
Lihat dalam Nicholas Onuf, World of Our Making: Rule and Rules in Social Theory and International Relations
(Columbia: University of South Carolina Press, 1989), hlm. 1.
7
Alexander Wendt, ‘Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics,’ International
Organization, Vol. 46, No. 2 (1992), pp. 391-425.
8
Lihat karya mereka misalnya Friedrich Kratocwil, Rules, Norms, and Decisions: On the Conditions of Practical
and Legal Reasoning in International and Domestic Affairs (Cambridge: Cambridge University Press, 1989) dan
John Ruggie, Constructing the World Polity: Esays on International Institutionalization (London: Routledge, 1998).
9
Martha Finnemore and Kathryn Sikkink, ‘Taking Stock: The Constructivist Research Program in International
Relations and Comparative Politics,’ Annual Review of Political Science, Vol. 4 (2001), hlm. 392-393.
10
Lihat uraian lengkap argumen ini dalam Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge:
Cambridge University Press, 1999).
sepenuhnya dipinjam dari sosiologi. Nilai, norma, peraturan, identitas, dan juga budaya, adalah
beberapa konsep kunci yang bisa digunakan para penstudi HI dalam menganalisis realitas
internasional yang tidak mampu dijelaskan oleh teori-teori HI lainnya.
Berbicara mengenai budaya, kaum konstruktivis memandang bahwa budaya merupakan
struktur sosial yang berlaku sebagai variabel pengaruh (constraining variable) bagi tindakan
aktor. Budaya atau kultur tidak hanya dipahami sebagai warisan masa lalu atau tradisi turun-
temurun yang berlaku dalam suatu masyarakat. Lebih dari itu, kultur dipahami sebagai
pemahaman kolektif masyarakat baik di masa lalu maupun masa kini. Dengan kata lain,
berbicara mengenai kultur tidak terbatas pada adat melainkan lebih sebagai ‘kode tata
berperilaku’ (code of conduct) sebagai produk dari sejarah, ideologi, agama, keyakinan, dan
sebagainya. Kita bisa melihat misalnya bagaimana budaya kekerasan (culture of violence)
sebagian masyarakat mempengaruhi tindak-tanduk individu ketika menghadapi suatu persoalan.
Di banyak suku di Afrika, kultur kekerasan ini menjelma menjadi konflik etnis yang melampaui
batas nalar manusia, misalnya genosida yang terjadi di Rwanda pasca Perang Dingin.
Sebaliknya, kultur perdamaian (culture of peace) yang diadopsi oleh, misalnya, Finlandia dan
Norwegia membawa dampak positif bagi tatanan global. Pendek kata, budaya memainkan
penting dalam relasi antar negara.
Dalam dunia diplomasi, budaya juga merupakan sumber kekuatan (nasional). Joseph Nye
mengatakan bahwa budaya adalah salah satu sumber kekuatan lunak (soft power) dimana
peranannya tak kalah penting dari kekuatan keras (hard power). Budaya di sini tidak diartikan
sebatas budaya populer (pop-culture) sebagaimana kebanyakan orang kerap
mengasosiasikannya. Misalnya, budaya pop Hollywood, musik rock, drama Korea, kartun
Manga, dan lain sebagainya. Budaya pop hanya salah satu bentuk dari kekuatan lunak. Semakin
universal budaya yang dimiliki oleh suatu negara, semakin berpengaruh negara tersebut sehingga
pada gilirannya lebih mudah dalam meraih kepentingan nasional. Hal ini dikarenakan budaya
dapat memikat sehingga mereka yang terpikat akan lebih mudah dipengaruhi – dalam bahasa
Nye, dikooptasi.11 Diplomasi budaya (cultural diplomacy) adalah contoh konkret bagaimana
negara menggunakan kekuatan lunak dalam politik luar negeri.
Konstruktivis melihat diplomasi budaya sebagai manifestasi kekuasaan. Bagi
konstruktivis, konsep kekuasaan tidak dipahami sebagai mekanisme ‘koersif’ melainkan
‘kooptif’. Jadi sejalan dengan pendapat Nye, konstruktivis melihat cara kerja kekuasaan bukan di
ranah fisik tetapi pikiran atau psikologis. Hal ini konsisten dengan pandangan kaum Teori Kritis
Gramscian bahwa kekuasaan bekerja dengan memanipulasi pikiran melalui instrumen-instrumen
legal seperti lembaga-lembaga resmi pemerintah. Selain itu, konstruktivis juga melihat
kekuasaan juga berkenaan dengan kemampuan untuk memproduksi dan mereproduksi makna.
Hal ini selaras dengan pandangan kaum posmodernis Foucault-ian yang berpendapat bahwa
kekuatan itu bersifat produktif, bukan koersif.12 Dengan demikian, diplomasi budaya dapat
dianggap sebagai cara negara memproduksi citra diri (image building) sekaligus sebagai cara
negara mendefinisikan citra diri negara lain (image labelling).
Sejauh mana pengaruh budaya terhadap hubungan internasional? Kembali ke contoh
kasus di awal tulisan ini. Kita bisa memahami agresifitas Tiongkok di LTS menggunakan
perspektif konstruktivis. Sesuai dengan asumsi dasarnya bahwa budaya penting dalam

11
Lihat uraian lengkapnya dalam Joseph Nye, Soft Power: The Means to Success in World Politics (New York:
Public Affairs, 2004).
12
Uraian lebih jelas lihat Mohamad Rosyidin, The Power of Ideas: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan
Internasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2015), khususnya halaman 23-24.
mempengaruhi kebijakan, agresifitas Tiongkok tentu tidak dapat dipisahkan dari budaya yang
dianutnya. Budaya yang dimaksud di sini adalah ‘budaya strategis’ (strategic culture), yaitu
sistem simbol seperti aksioma, analogi, metafora, dan lain-lain yang ada sejak lama dan
mempengaruhi bagaimana negara menggunakan militernya.13 Budaya strategis erat kaitannya
dengan isu keamanan karena tigal hal: persepsi pemerintah terhadap ancaman, bagaimana
strategi menangkal ancaman tersebut, dan bagaimana menggunakan instrumen untuk
menangkalnya.14 Dalam kasus LTS, argumen konstruktivis adalah bahwa agresifitas Tiongkok
tak dapat dilepaskan dari konsepsi ancaman yang sudah berurat-berakar dalam tradisi pemikiran
Tiongkok yang bertahan sejak ribuan tahun. Tradisi ini terutama bersumber dari mentalitas
‘Kerajaan Tengah’ (Middle Kingdom mentality) dimana daerah-daerah di sekitaran wilayah
Tiongkok adalah kekuasaannya.15 Mentalitas ini tidak lahir dari tren meningkatnya kapabilitas
ekonomi dan militer Tiongkok dalam beberapa tahun belakangan tetapi budaya yang berusia
ribuan tahun.

Penutup
Cara memandang dunia ada dua; material dan ideasional. Kaum realis dan liberal
cenderung melihat dunia dari segi material. Sementara konstruktivis melihat dunia sebagai
realitas yang terkonstruk secara sosial. Konsekuensinya, dimensi ideasional lebih penting dari
material. Hal ini bukan berarti mengatakan bahwa dimensi material tidak penting – sebagaimana
dikatakan kaum posmodernis/posstrukturalis. Akan tetapi, dimensi material hanya memiliki
pengaruh nyata sejauh ia diberi makna oleh aktor.
Budaya merupakan produk gagasan. Alhasil, memahami budaya dari kacamata rasionalis
jelas tidak memuaskan. Konstruktivis cukup dapat diandalkan sebagai pisau analisis untuk
membedah budaya dan implikasinya terhadap relasi antar negara. Dalam konteks Indonesia,
budaya jelas sangat besar pengaruhnya. Sebagai contoh, kebijakan luar negeri Indonesia sejak
era Sukarno hingga sekarang tak lepas dari pengaruh budaya Jawa. Ada banyak sekali budaya di
Indonesia dan realitas tersebut memberikan warna tersendiri dalam hal kebijakan luar negeri.
Multikulturalisme yang menjadi karakteristik dari negara majemuk seperti Indonesia sedikit
banyak berpengaruh terhadap bagaimana Indonesia memandang konsep ancaman, kekuasaan,
perdamaian, hak asasi manusia, dan sebagainya. Isu-isu ini ke depan layak untuk diteliti lebih
lanjut.

13
Alastair Ian Johnston, ‘Cultural realism and strategy in Maoist China,’ dalam Peter Katzenstein (ed), The Culture
of National Security: Norms and Identity in World Politics (New York: Columbia University Press, 1996), hlm. 222.
14
Ibid., hlm. 223.
15
Lihat lebih jelas dalam Mohamad Rosyidin, The Dragon Dance cannot be Stopped: China’s Strategic Culture and
the Challenge of Security Management in the South China Sea. Makalah dipersiapkan untuk CSEAS Symposium on
Maritime Security, Jakarta, 22-23 Agustus 2016.
Daftar Pustaka
Finnemore, M. and K. Sikkink (2001) ‘Taking Stock: The Constructivist Research Program in
International Relations and Comparative Politics,’ Annual Review of Political Science,
Vol. 4, pp. 391-416.
Harrison, L. and S. Huntington (eds) (2000) Culture Matters: How Values Shape Human
Progress. New York: Basic Books.
Johnston, A.I. (1996) ‘Cultural realism and strategy in Maoist China,’ dalam Peter Katzenstein
(ed), The Culture of National Security: Norms and Identity in World Politics. New York:
Columbia University Press.
Katzenstein, P. (ed) (1996) The Culture of National Security: Norms and Identity in World
Politics. New York: Columbia University Press.
Kratocwil, F. (1989) Rules, Norms, and Decisions: On the Conditions of Practical and Legal
Reasoning in International and Domestic Affairs. Cambridge: Cambridge University
Press.
Lapid, Y. (1989) ‘The Third Debate: On the Prospects of International Relations Theory in a
Post-Positivist Era,’ International Studies Quarterly, Vol. 33, No. 3, pp. 235-254.
Lawson, S. (2006) Culture and Context in World Politics. New York: Palgrave Macmillan.
Nye, J. (2004) Soft Power: The Means to Success in World Politics. New York: Public Affairs.
Onuf, N. (1989) World of Our Making: Rule and Rules in Social Theory and International
Relations. Columbia: University of South Carolina Press.
Rosyidin, M. (2015) The Power of Ideas: Konstruktivisme dalam Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Rosyidin, M. (2016) The Dragon Dance cannot be Stopped: China’s Strategic Culture and the
Challenge of Security Management in the South China Sea. Makalah dipersiapkan untuk
CSEAS Symposium on Maritime Security, Jakarta, 22-23 Agustus.
Ruggie, J. (1998) Constructing the World Polity: Esays on International Institutionalization.
London: Routledge.
Wendt, A. (1992) ‘Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power
Politics,’ International Organization, Vol. 46, No. 2, pp. 391-425.
Wendt, A. (1999) Social Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge University
Press.

Anda mungkin juga menyukai