MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas individu dalam Mata Kuliah Teori Ilmu Hubungan Internasional.
Disusun Oleh :
HELEN GRACIELA
NPM : 6211181093
CIMAHI
2019
IDENTITAS BUKU
ISBN : 978-602-229-315-6
PENDAHULUAN
Secara etimologi, resensi berasal dari bahasa latin, dari kata kerja revider eatau
recensere yang memilik arti melihat kembali, menimbang atau menilai. Dalam bahasa
Belanda dikenal dengan recensie sedangkan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
review.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonsia (KBBI), resensi diartikan sebagai pertimbangan
atau pembicaraan tentang buku dan sebagainya. Secara garis besar resensi diartikan sebagai
kegiatan untuk mengulas atau menilai sebuah hasil karya baik itu berupa buku, novel, maupun
film dengan cara memaparkan data-data, sinopsis, dan kritikan terhadap karya tersebut.
Resensi buku di samping membuat kita tahu akan banyak hal, juga melatih untuk aktif
membaca karena orang yang menyukai aktivitas membaca, hasilnya, mereka tidak akan
berpikir sempit ketika menghadapi masalah-masalah yang sedang dialaminya serta mempunya
potensi dan kecenderungan yang bijak dalam menyikapi kejadian-kejadian disekitarnya. Tapi,
bagi orang yang ingin berbuat lebih dan mau berbagi ilmu kepada orang lain, membaca saja
tidak cukup. Mereka perlu memiliki keterampilan lagi yaitu ketrampilan meresensi buku.
Resensi buku non fiksi di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini memang
membuat kita enggan melakukannya karena memang lebih minat meresensi buku fiksi. Akan
tetapi meresensi buku non fiksi seperti buku Pengantar Studi Hubungan Internasional sudah
pasti sangat berguna terlebih untuk mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional yang
akan terjun dalam dunia Hubungan Internasional (HI), sudah tentu harus dipahami dasar-
dasarnya.
REVIEW
Fakta bahwa seluruh penduduk dunia terbagi dalam wilayah komunitas politik yang
terpisah, atau negara-negara merdeka yang sangat mempengaruhi cara hidup manusia adalah
alasan utama mengapa kita harus mempelajari HI. Negara–negara merdeka satu sama lain
secara hukum memiliki kedaulatan dan setiap negara saling berdekatan dan mempengaruhi
maka mereka harus hidup berdampingan dengan baik. Ketika suatu negara terasing dan
terputus hubungan dengan negara lain, baik akibat pemerintahannya sendiri ataupun akibat
kekuatan asing, maka dampak yang besar akan dirasakan oleh rakyat, mereka akan sangat
menderita.
Hubungan Internasional (HI) adalah subjek akademis yang dapat didefinisikan sebagai
studi hubungan dan interaksi antara negara-negara, termasuk aktivitas dan kebijakan
pemerintah, organisasi internasional, organisasi non pemerintah dan perusahaan multi
nasional. HI sering dianggap sebagai cabang ilmu politik, tetapi juga merupakan subjek yang
dipelajari pakar sejarah,dan pakar ekonomi. HI juga merupakan bidang studi legal (hukum
internasional publik) dan bidang filsafat. HI menjadi disiplin akademik yang tepat di awal
abad ke-20. Hubungan internasional berubah bersamaan dengan berubahnya segala sesuatu:
politik, ekonomi, ilmu, teknologi, pendidikan, budaya, dan seterusnya. Contoh-contoh
dampak perubahan sosial terhadap hubungan internasional hampir tidak ada habisnya dalam
hal jumlah dan macamnya.
Sebagai warga dari suatu negara manusia pada umumnya ada lima nilai dasar sosial
yang biasanya kita harapkan dijaga oleh negara: keamanan, kebebasan, ketertiban, keadilan,
dan kesejahteraan. Namun pada faktanya penyelewengan terhadap nilai tersebut kerap terjadi.
Seperti contohnya Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua. Dari kasus-kasus yang
terjadi dalam negara, muncul dua pandangan berbeda terhadap negara yaitu pandangan
tradisional yang menganggap negara adalah lembaga yang berharga dan diperlukan: mereka
memberikan keamanan, kebebasan, ketertiban keadilan, dan kesejahteraan; serta pandang
alternative atau revisionis yang menganggap negara dan sistem negara menciptakan lebih
banyak masalah daripada yang mereka selesaikan. Selain itu dali kasus-kasus yang terjadipun
muncul teori- teori dan fokus dalam HI yaitu realisme, liberalime, masyarakat internasional,
dan teori-teori EPI.
Behavioralisme merupakan metode baru dan bukan teori baru dalam HI.
Behavioralisme lebih tertarik terhadap fakta yang dapat diamati dan pengumpulan data
yang dapat diukur, dalam perhitungan yang tepat agar mendapatkan pola perilaku yang
berulang ‘hukum-hukum’ hubungan internasional. Menurut kaum behavioralisme,
fakta-fakta terpisah dari nilai-nilai. Tidak seperti fakta, nilai-nilai tidak dapat
dijelaskan secara ilmiah. Tugas utama Behaviroralisme adalah mengumpulkan data
empiris tentang HI, lebih disukai data dalam jumlah yang banyak, yang kemudian
dapat digunakan untuk pengukuran, klasifikasi, generalisasi dan akhirnya pengesahan
hipotesis-hipotesis yaitu pola perilaku yang dijelaskan secara ilmiah.
Kenneth Waltz mengemukakan teori kaum realis yang sangat berbeda yang
diilhami oleh ambisi behavioralisme. Waltz menggali landasan baru dalam bukunya
Theory of International Politics (1979). Teorinya sering dianggap sebagai
‘neoralisme’.
Sistem Internasional yang muncul setelah perang dunia kedua didominasi oleh
dua superpower, Amerika Serikat dan Uni Soviet: yaitu sistem bipolar. Waltz percaya
bahwa negara-negara berkekuatan besar akan selalu cenderung menyeimbangkan satu
sama lain. Kedua, negara-negara berkekuatan kecil dan lemah akan memiliki
kecenderungan mengaliansikan dirinya dengan negara-negara berkekuatan besar agar
dapat mempertahankan otonomi maksimumnya. Pernyataan terakhir itu merupakan
serangan balik neorealisme terhadap kaum neoliberal.
Dewasa ini perdebatan keempat sedang berlangsung dalam HI. Perdebatan ini
menimbulkan beragam kritik terhadap tradisi yang mapan oleh pendekatan-
pendekatan alternatif, kadang-kadang dikenal sebagai post-positivisme. Para filosof
dan penstudi yang menolak pandangan-pandangan yang mapan dan mencoba
menggantikannya dengan alternatif-alternatif. Tetapi dalam beberapa tahun
belakangan, aliran-aliran ini telah meningkat jumlahnya. Kebanyakan pakar
berpendapat bahwa keempat perdebatan HI telah dibuka pada 1990-an antara tradisi
yang telah mapan di satu sisi dan aliran-aliran batu di sisi lain.
2.2.1. Realisme
Realisme diyakini sebagai salah satu pemikiran dasar dalam Ilmu Hubungan
Internasional. Ada beberapa tahapan dialektika pemikiran dalam Ilmu Hubungan Internasional
dan dari beberapa sumber, bahwa pemikiran Realisme seringkali menempati posisi khusus
dan jelas dalam dialektika tersebut.
Menghadapi masalah keamanan, dan masing-masing pemikir realis klasik ini mencoba
untuk mengidentifikasi elemen pokoknya. Sederhananya, karakter tersebut menggambarkan
kondisi permanen kehidupan manusia. Pemikiran pesimistik ini kemudian menjadi pemicu
Morgenthau (1965) dalam pemikiran Realisme Neoklasiknya. Ada banyak konsep yang
bermunculan dalam dinamika pemikiran ini, diantaranya “Politic is a struggle for power”, dan
etika politik yang dijabarkan dalam enam prinsip realisme politik hasil kembangan
Morgenthau dari teori Thucidydes dan Machiavelli tentang doktrin normatif dalam politik.
Fokus pemikiran klasik dan neoklasik ini terletak pada sikap normatif yang menjadi
nilai subjektif antar-aktor, baik negara, maupun negarawannya dalam sistem politik
internasional. Sedangkan, untuk tradisi pemikiran Realisme Kontemporer, struktur dan proses
merupakan ruang lingkup kajian sistem politik internasionalnya. Struktur yang dimaksudkan
disini adalah bagaimana struktur pembagian kekuasaan. Sedangkan, perubahan penerapan
sistem yang tercipta adalah penjelasan tentang aspek proses dari sistem internasional.
Scheling (1980) yang mendeskripsikan interaksi politik internasional dalam dua sikap
umum, yakni brutal dan diplomasi, juga Waltz (1979) dengan teorinya tentang sistem politik
internasional yang disebut mewakili pemikiran sistem neorealis, adalah pemikir yang dipilih
Jackson dan Sorensen untuk mewakili karakter pemikiran Realis Kontemporer. Dalam sistem
politik internasional yang ditinjau menurut struktur dan distribusi kekuasaan yang ada, peran
negarawan secara tidak langsung didesak dalam kontinuitas yang pasti. Oleh karena itu,
sistem dan struktur menjadi aspek yang lebih prioritas dalam pemikiran kontemporer.
Para pemikir Realisme Klasik sadar bahwa ada nilai dasar yang dipertaruhkan dalam
politik internasional. Ini dikembangkannya dalam teori politik dan etika dalam Ilmu
Hubungan Internasinal. Sedangkan, pemikir Realisme Kontemporer sebagian besar tidak
mengindahkan aspek ini dan membatasi fokus analisis mereka hanya pada struktur dan proses
sistem politik internasional. Kolaborasi Realisme Klasik, Neoklasik, dan Kontemporer ini
membantu Jackson dan Sorensen merumuskan asumsi dasar pemikiran Realisme, yaitu: (1)
pandangan pesimis atas sifat manusia; (2) keyakinan bahwa hubungan internasional pada
dasarnya konfliktual dan pada akhirnya diselesaikan melalui perang; (3) menjunjung tinggi
nilai-nilai keamanan nasional dan survivabilitas; (4) skeptisisme dasar bahwa terdapat
kemajuan dalam politik internasional seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik.
Viotti dan Kauppi menjelaskan secara rasional bahwa ada beberapa pengelompokan
pemikiran dalam Realisme. Pertama, cukup masuk akal jika kelompok pemikir Realis Klasik
lebih menekankan dampak dari sejarah, hukum internasional, dan tindakan yang diambil oleh
pemimpin negara, sedangkan pemikir Neorealis menekankan pembahasan inti Realisme
berangkat dari pembagian kekuasaan dalam sistem politik internasional. Tradisi pemikiran
yang dikembangkan Viotti dan Kauppi ini berangkat pada keyakinan bahwa sudut pandang
suatu metodologi pemikiran bergantung pada asumsinya. Dan asumsi dasar dari pemikiran
Realisme Klasik dan Neorealis memang memiliki asumsi yang berbeda.
Ekspansi NATO ke Eropa Timur adalah kasus yang diangkat untuk menguji analisa
pemikiran Realisme dalam membaca kasus internasional. Dialog akademik ini berujung pada
penegasan pemikiran Realisme yang mengakui adanya perkembangan sistem politik
internasional, akan tetapi tetap memberi penekanan pada penggunaan Kekuatan dan
Kekuasaan Besar dalam sistem politik internasional.
2.2.2 Liberalisme
Kaum liberal mengambil pandangan positif tentang sifat manusia dengan mengakui
bahwa individu selalu mementingkan diri sendiri dan bersaing terhadap suatu hal. Tetapi
mereka juga percaya bahwa individu-individu memiliki banyak kepentingan dan dengan
dengan demikian dapat terlibat dalam aksi sosial yang kolaboratif dan kooperatif, baik
domestik maupun internasional, yang menghasilkan manfaat besar bagi setiap orang baik di
dalam negeri maupun luar negeri.
Pascaperang liberalisme terbagi menjadi empat aliran pemikiran utama :
1. Liberalisme Sosiologis yang berpandangan bahwa HI bukan hanya tentang hubungan
negara-negara; tetapi juga tentang hubungan transnasional, yaitu hubungan antara
masyarakat, kelompok-kelompok, dan organisasi-organisasi yang berasal dari negara
yang berbeda.
2. Liberalisme Interdependensi yang melihat modernisasi meningkatkan derajat dan
ruang lingkup interdepedensi antara negara-negara.
3. Liberalisme Institusional yang beranggapan bahwa institusi internasional adalah
suatu organisasi internasional dan membantu memajukan kerjasama antara negara-
negara; serta
4. Liberalisme Republikan yang menekankan bahwa perdamaian demokratis lebih
merupakan proses dinamika daripada suatu kondisi yang tetap.
Pendekatan untuk analisis kebijakan luar negeri antara lain (1)Pendekatan tradisional:
fokus pada pembuatan keputusan, (2) Kebijakan luar negeri komparatif: behaviorisme dan
pra-teori, (3) Struktur dan proses birokrasi: pembuatan keputusan selama krisis, (4) Proses
kognitif dan psikologi, (5)Multilevel, multidimensional: teori-teori umum, serta giliran kaum
kontruktivis yaitu (6) identitas di depan kepentingan
Pendekatan level analis dalam kebijakan luar negeri dibagi menjadi tiga level. Pertama,
level sistemik seperti distribusi kekuasaan di antara negara-negara dan saling ketergantungan
ekonomi dan politiknya. Kedua, level negara-negara seperti tipe pemerintah demokratis atau
otoriter, hubungan diantara alat negara dan kelompok dalam masyarakat, dan birokrasi yang
menyusun alat negara. Terakhir, Level pembuat keputusan individual yang menyangkut cara
berpikirnya, keyakinan dasar, serta prioritas pribadi.
2.4.3 Lingkungan
Semakin meningkatnya jumlah penduduk, maka semakin banyak aktivitas ekonomi
dan sosial manusia berjalan dengan cara yang mengancam lingkungan. Dalam lima puluh
tahun terakhir, penduduk semakin bertambah daripada millennium sebelumnya. Semakin
banyak penduduk maka semakin meningkat yang mengejar standar hidup lebih tinggi adalah
ancaman potensial lingkungan.
Produksi pangan sebagai contohnya. Semakin banyak penduduk maka semakin besar
kebutuhan suplai pangan untuk memenuhi kebutuhan primer manusia. Akan tetapi suplai
tidak didistribusikan secara merata, ada surplus yang besar di negara maju dan keterbatasan di
negara miskin. Keterbatasan air di Timur Tengah juga menjadi isu internasional sehingga
mereka saling berebut untuk mendapatkan air jernih. Inilah cerminan dari kelangkaan sumber
daya lingkungan dapat memperburuk konflik antarnegara.
Satu sisi perdebatan ini dikemukakan oleh kaum modernis yang percaya bahwa
perbaikan kelanjutan dalam ilmu pengetahuan ilmiah dan kompetensi teknologi akan
mempertinggi kemampuan dan teknik dalam mengonsumsi dengan cara yang ramah
lingkungan. Sedangkan kaum ekoradikal berpikir bahwa ekosistem mempunyai daya dukung
yang terbatas. Keterbatasan tersebut mendefinisikan seberapa besar populasi spesies dapat
terjadi sebelum menggunakan secara berlebihan sumber daya yang ada dalam ekosistem.
Mereka mengalihkan gaya hidup masyarakat modern kerarah lebih ramah lingkungan yang
tidak menghasilkan limbah.
Isu-isu lingkungan ini dapat diatasi menggunakan pendekatan–pendekatan tradisional.
Bagi kaum realis, isu lingkungan semata merupakan sumber konflik yang dapat diterangkan
di antara negara – negara. Bagi kaum liberal, lingkungan menambah isu lagi, walaupun suatu
isu yang sangat penting untuk agenda kerja sama internasional dan pembentukan rezim.
Mereka berpikir bahwa ini salah satu aspek perekonomian global. Kaum modernis dan
ekoradikal juga berbeda. Modernis berpendapat bahwa manusia berada diatas alam, yang
berarti manusia terlah ditakdirkan untuk mengeksploitasi lingkungan dalam pembangunan.
Sedangkan ekoradikal berpendapat bahwa perubahan yang jelas tidak hanya dalam ekonomi
tetapi juga dalam organisasi politik, juga negara lebih bermasalah daripada solusi untuk isu
lingkungan.
2.4.4 Pola Perang dan Perdamaian Baru: Perubahan dalam Status sebagai Negara
(Statehood)
Perkembangan konflik bersenjata yang semakin banyak terjadi di negara lemah
dihubungkan dengan perubahan dalam statehood. Negara kapitalis maju lebih bersifat
postmodern daripada modern. Negara lemah semakin rapuh dan tidak mandiri. Negara lemah
memiliki tiga karakteristik yaitu, perekonomian kurang baik, hubungan antar masyarakat
tidak membentuk komunitas, dan tidak adanya institusi negara yang efektif dan responsif.
Kekuatan politik dan integrasi ekonomi relevan dimanapun dan ia lebih lanjut
mengurangi relevansi keamanan. Dua faktor dasar berperan ada pada proses demokratisasi
dan liberalisasi, juga memodernkan negara–negara seperti china mengetahui bahwa jalan
menuju kebesaran melibatkan fokus pada perbaikan pembuatan dan keterlibatan yang
mendalam pada gobalisasi ekonomi.
Kaum neorealis mempertahankan fokus sistem bahwa tidak perlu melihat di dalam
negara untuk dapat memahami hubungan internasional dan pola perang serta perdamaian.
Tetapi negara yang lemah dan postmodern merupakan entisitas yang berbeda dengan dilema
keamanan yang khas. Maka mereka akan menjawab bahwa negara–negara besar tidak akan
terlalu terpengaruh dengan sistem internasional yang sedang berlaku.
Kaum liberal lebih dapat baik mengakomodasi transformasi dari negara modern
karena berada dalam cara–cara utama perkembangan lebih lanjut perdamaian demokratik
liberal yang didasarkan pada demokrasi liberal, institusi internasional umum, dam
interdependensi ekonomi.
BAB III
3.1 Kekuatan.
Isi buku menggunakan bahasa ilmiah dalam ilmu sosial yang menambah pengetahuan,
bahasanya baku dan terperinci, selain itu setiap materi dijelaskan secara berurutan mulai dari
perkenalan Ilmu HI hingga Isu-isu Internasional, dan yang terpenting ialah setiap sub-bab
pembahasan selalu dikaitkan dengan Ilmu Hubungan Internasional dan disertai pertanyaan-
pertanyaan latihan untuk dijawab sebagai penguji pengetahuan mahasiswa mengenai materi
yang sudah didapat dalam buku ini.
Kekuatan utama buku terdapat pada bagian dua dimana pembahasannya sangat
menarik serta sistematis sehingga mudah dipahami. Karakteristik Realisme yang digambarkan
Jackson dan Sorensen kadang memberi peluang pada identifikasi penyempitan pandangan
akan konsep dan tokoh dalam Ilmu Hubungan Internasional. Namun demikian, struktur
bahasanya yang sederhana cukup memudahkan. Selain itu, penegasannya tentang asumsi
dasar Realisme di awal dan akhir adalah ide yang cerdas untuk menjaga imajinasi pembaca
selama menjelajah tentang Realisme dan tradisi pemikirannya. Jackson dan Sorensen
merumuskan sketsa tradisi pemikiran Realisme berdasarkan karakter yang sejalan dengan
pemikiran awal masing-masing dalam kelompok klasik, neoklasik, dan kontemporer atau
neorealis.
3.2 Kelemahan.
Buku dengan judul “Pengantar Studi Hubungan Internasional” karya Robert Jackson
dan Georg Sorensen ini sangat direkomendasikan bagi penstudi dalam bidang ilmu Hubungan
Internasional baik yang baru memulai pengenalan mengenai HI dan juga yang sudah lama
berkecimpung dalam dunia HI.
Buku ini berisi pembahasan mengenai HI yang dilakukan secara tuntas dan mendalam,
dapat juga dikaitkan dengan permasalahan politik yang ada, sistem-sistem yang ada dalam
kenegaraan serta isu-isu Internasional yang telah dijelaskan dalam buku ini dengan Ilmu
Hubungan Internasional. Dengan menggunakan buku ini dalam pembelajaran diyakini
mahasiswa dapat lebih memahami pengetahuan mendasar mengenai Ilmu Hubungan
Internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, Robert, & Sorensen, Georg. 2013. Pengantar Studi Hubungan Internasional: Teori
dan Pendekatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Viotti, Paul R., & Kauppi, Mark V. 2010. International Relations Theory, 4th Edition. New
York: Pearson Education