Anda di halaman 1dari 6

Politik Luar Negeri RI pada Masa Soekarno

 Pencarian Bentuk Politik Luar Negeri RI Pascakemerdekaan


 Konfrontasi Irian Barat (1962)
 Ganyang Malaysia (1963)
 Politik ’Poros-Porosan’ (Nefos-Oldefos, Poros Jakarta-Peking)

Politik Luar Negeri RI era SUKARNO

Pencarian bentuk politik luar negeri setelah kemerdekaan

Era revolusi nasional pada masa keperesidenan Soekarno, politik luar negeri dijiwai oleh kekuatan bersenjata dan diplomasi.
Kedua cara tersebut dikemudi oleh dua figur yang sama sekali berbeda dan bersaing. Presiden Soekarno menekankan
penyelesaian konflik dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya dukungan internasional di samping juga mengandalkan
kekuatan militer-angkatan bersenjata untuk menyelesaikan konflik. Yang kedua, supaya konflik diselesaikan melalui
diplomasi. Meskipun esensi kedua cara tersebut pada prakteknya berbeda, tetapi kedua taktik tersebut dinilai saling
mendukung dan sinergis.

Berkaitan dengan arah kebijakan politik luar negeri Indonesia, Moh. Hatta menggunakan istilah politik luar negeri indonesia
semestinya bebas aktif dan poros barat-timur bukan lagi menjadi titik temu yang esensial. Pendapat Moh Hatta ini kemudian
dianggap berseberangan dengan cita-cita Soekarno pada waktu itu. Hanya saja, dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia
pemahaman terhadap politik luar negeri yang bebas dan aktif, senantiasa didefinisikan kembali sesuai dengan keinginan yang
berkepentingan saat itu. walaupun terdapat perbedaan penafisran terhadapa arti politik luar neger yang bebas dan aktif, tetapi
selalu terdapat asumsi kalau dunia luar yang bersikap memusuhi, atau paling tidak membawa kemungkinan bahaya.

Hakekat politik luar negeri pada era Soekarno, awal tahun 1950-an, Indonesia memperlihatkan diri seperti apa yang menjadi
pidato Moh. Hatta, secara fisik sebagai suatu negara yang tidak memihak kepada salah satu blok yang terlibat dalam perang
dingin. Artinya Indonesia sedini mungkin bersikap netral, tetapi bukan berarti Indonesia bekerja secara aktif untuk
perdamaian dunia dan peredaan ketegangan internasional. Meskipun Indonesia sering dianggap ekslusif condong ke Barat,
tetapi Indonesia menolak menyokong Amerika dalam Perang Korea.

Tanggapan Indonesia itu bisa ditafsirkan sebagai adanya perasaan takut akan dominasi asing yang baru, yang diakibatkan
adanya perasaan baru bebas dari kolonialisme yang bercampur-baur dengan dampak pertentangan perang dingin yang terjadi
pada saat itu. Akan tetapi berada di tengah-tengah dua garis jauh lebih sulit daripada memilih salah satu pihak yang sedang
bertikai. Realitas mengatakan siapapun yang berada di tengahnya, cenderung terus menerus akan tertarik ke salah satu poros.
Hal ini kemudian yang akan dijelaskan lebih lanjut pada subbab selanjutnya.

Konfrontasi : Ganyang Malaysia

Pasca Perang dingin yang terjadi sekitar tahun 1945 yakni antar Blok Barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Blok
Timur yang diwakili oleh Uni Soviet, menyebabkan beberapa pengaruh penting dalam dunia perpolitikan di Indonesia
khusunya di tahun 1960 pada masa pemerintahan presiden Soekarno.

Pengaruh-pengaruh yang memicu terminologi “ganyang Malaysia” ini disebabkan ketika pada waktu itu, politik Luar Negri
yang dipakai oleh Indonesia yakni bebas aktif, dimana pada saat itu Indonesia tidak memihak kepada Blok Barat maupun
Blok timur, namun memilih untuk tetap bersikap netral. Oleh karena itu, maka muncullah sosok Negara Malaysia yang saat
itu sejarah berdirinya adalah dibentuk oleh masa penjajahan Inggris. Indonesia, khususnya Soekarno memulai “politik
konfrontasinya” dengan Malaysia ketika, Inggris mulai memasuki Negara Malaysia yang secara geografis sangat berdekatan
dengan wilayah di Indonesia.

Ketidaksukaan pemerintah Indonesia terhadap terbentuknya Negara Malaysia yang merupakan wilayah pembentukan dari
Negara Inggris salah satunya karena Malaysia memiliki suatu daerah persemakmuran Inggris dimana, Soekarno mengancam
bahwasanya hal ini dapat menanamkan imperialisme barat kembali akan adanya sosok Inggris di dalam pemerintahan
Malaysia. Mengapa Soekarno tidak menyukai akan adanya Inggris di Malaysia? Berawal dari munculnya “Cold War” yang
mengalami dampak yang sangat besar khususnya di wilayah Asia Tenggara. Indonesia tidak memaknai suatu konflik antar
Blok barat dan Timur menjadi sebuah dampak yang cukup besar bagi pemerintahan Indonesia, dikarenakan karena saat itu
Indonesia memiliki politik luar negri yang bebas aktif nya yang tidak memihak oleh siapapun.

Kemudian muncullah term “Ganyang Malaysia” yang memang ini merupakan representasi dari politik konfrontasi antara
Indonesia dengan Malaysia. Sukarno merupakan sosok pemimpin yang tidak menyukai adanya colonial barat khususnya yang
berdekatan dengan wilayah geografis di Indonesia. Pembentukan Federasi Malaysia adalah pemicu munculnya konfrontasi
ini. Malaysia yang saat itu disebut sebagai “Bonekanya Inggris” disebabkan karena ketidaksesuaian dari suatu Politik Luar
Negri Indonesia akan terbentuknya Federasi Malaysia ini yang nantinya akan menanamkan persepsi “ancaman” barat
terhadap wilayah Asia Tenggara.

Jadi, Pemicu konfrontasi ini selain disebabkan oleh inggris juga dipengaruhi oleh beberapa aspek yakni karena Indonesia
memiliki hubungan geografis yang berdekatan dengan Malaysia saat itu (Serawak dan Sabah saat ini) dan Soekarno yang
menganggap bahwa pembentukan Federasi Malaysia memicu munculnya penyebaran imperialisme barat yakni dengan
perpolitikannya di regional Asia. Dan hubungannya dengan politik Luar Negri RI saat itu karena selain Sukarno tidak
menyukai adanya Negara barat di wilayah Asia, juga dikarenakan oleh sebuah persepsi ancaman yang datang dari
pembentukan Negara Malaysia yang menjadi suatu Negara Inggris untuk wilayah Asia Tenggara. Dan pada tanggal 20
Januari 1965 atas dasar konfrontasi ini menyebabkan pengunduran diri Indonesia terhadap keanggotaan Dewan keamanan
PBB.

Politik poros-porosan
Meski menganut politik bebas aktif, Indonesia sempat menunjukkan bahwa dirinya lebih condong pada Komunisme. Hal itu
dapat terlihat dari politik poros-porosan terbagi menjadi dua periode yakni periode tahun 1966 Nefos Vs Oldefos dan 1967
Poros Jakarta-Peking. Kedua periode tersebut menunjukkan bahwa Soekarno sangat anti pada negara-negara Barat beserta
dengan ideologi yang dibawanya. Indonesia menjadi salah satu negara yang mempopulerkan NEFOS (New Emerging Forces)
guna melawan kekuatan OLDEFOS (Old Establishment Forces) yang merupakan negara-negara imperialis dan kapitalis.
[5] Itu merupakan salah satu bentuk konfrontasi negara-negara berkembang kepada negara-negara Barat.
Tidak hanya itu, Indonesia beberapa kali mengecam tindakan PBB yang terlalu menjunjung tinggi kepentingan negara-negara
Barat, seperti dalam konflik China-Taiwan dan Israel-Arab.[6] Puncak dari kekecewaan terhadap PBB, Indonesia keluar dari
keanggotaan pada 7 Januari 1965. Setelah itu, Indonesia berusaha membuat kekuatan tandingan bagi PBB dengan
menyelenggarakan GANEFO sebagai pengganti olimpiade dunia yang sebagian besar diikuti oleh negara-negara komunis,
[7] serta CONEFO sebagai wadahnya. Indonesia juga melaksanakan politik mercusuar guna mendukung  terselenggaranya
GANEFO melalui pembangunan beberapa proyek raksasa. Setelah resmi keluar dari keanggotan PBB, Indonesia mulai
menjalin hubungan secara terang-terangan dengan negara-negara Komunis. Hal itu dapat dilihat dari pembentukan poros
Poros Peking(Beijing)-Hanoi-Pyongyang-Jakarta untuk menandingi kekuatan Blok Barat dan Timur.[8] Mulai saat itu,
Indonesia menjadi sangat dekat dengan China. Hubungan yang terjalin tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga politik,
sosial, budaya.

Hampir semua politik luar negeri Indonesia pada saat itu menyimpang dari kebijakan politik luar negeri bebas aktif. Hal itu
membuktikan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang pragmatis. Indonesia akan menjalin kerjasama dengan
negara-negara yang akan mendukung kepentingan nasionalnya. Pada saat perjuangan pembebasan Irian Barat, Indonesia
dengan sengaja berusaha mendekati Amerika Serikat yang memiliki hak veto dalam PBB untuk dapat melancarkan proses
penyatuan ke dalam wilayah NKRI. Di sisi lain, pada saat yang sama Indonesia juga menjalin hubungan dengan Uni Soviet
guna memperoleh senjata dan peralatan militer untuk melawan Belanda. Dalam keadaan seperti itu, Indonesia harus waspada
agar pengaruh kedua negara tersebut tidak sampai berimbas negatif bagi urusan dalam negerinya.

Bagaimanapun juga, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Soekarno pada saat itu dapat menjadi salah satu pembelajaran
bagi perkembangan politik luar negeri Indonesia. Penyimpangan-penyimpangan yang pernah terjadi hendaknya tidak diulangi
lagi, karena setiap tindakan yang dilakukan dapat berdampak negatif bagi Indonesia pada nantinya.  Dengan demikian,
diharapkan dinamika politik luar negeri Indonesia menjadi lebih terarah dan teratur, sehingga akan mempermudah
tercapainya kepentingan yang diperjuangkan.

Referensi:

Anonim. 2009. Bung Karno Kutuk PBB!!!. Diakses dari www. maribelajar.phpnet.us pada 7 Oktober 2009 pukul 8.15 WIB

Kawilarang, Renne R.A.. 2008. G30S dan Masa Suram Hubungan RI-RRC. Diakses dari www.vivanews.compada 7 oktober
2009 pukul 9.00WIB
Priangga, Maksum. 2009. Sejarah Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Diakses dari www.cafebelajar.compada 7 oktober
2009 pukul 8.20 WIB
Weinstein, Franklin. 1975. Indonesia Foreign Policy and the dilemma of dependence: from Soekarno to Soeharto. Cornell
University Press

Politik Luar Negeri pada Masa Soeharto


 Peran Sentral Presiden
 Pengaruh Kuat Militer
 Politik Luar Negeri untuk Pembangunan Ekonomi

POLITIK LUAR NEGERI ORDE BARU

PERAN SENTRAL PRESIDEN SOEHARTO

Soeharto dilantik sebagai pengganti Presiden Soekarno segera setelah Supersemar  dikeluarkan tahun 1966. Namun,
belakangan ini muncul kontroversi bahwa dalam pidato terakhir yang diungkapkan oleh Presiden Soekarno tidak disebutkan
adanya pengalihan kekuasaan kepada Soeharto. Isi dari Supersemar hanya meliputi pengamanan negara, pengamanan diri
presiden, dan pelaksanaan ajaran presiden (Roy Suryo, 2008). Hal itu semakin memperkuat dugaan bahwa sejak awal
pemerintahannya, Soeharto telah menyalahgunakan kekuasaan. Selama masa pemerintahan Soeharto berlangsung, banyak
sekali kebijakan-kebijakan yang sengaja dibuat Pro Barat. Hal itu dilatarbelakangi oleh kegagalan pemerintahan Presiden
Soekarno yang jatuh akibat Pemberontakan PKI tahun 1965, serta krisis ekonomi yang berkepanjangan karena penerapan
ideologi yang terlalu condong kiri.

Pergantian masa kepemimpinan dari Soekarno ke Soeharto menandai babak baru dari orde lama ke orde baru. Apabila selama
masa pemerintahan Soekarno, kebijakan yang diambil banyak bertentangan dengan Barat hal sebaliknya justru terjadi di masa
orde baru. Konflik-konflik yang banyak terjadi di era Soekarno terbukti banyak mengeluarkan biaya yang cukup besar hingga
berdampak pada krisis ekonomi, oleh sebab itu maka kebijakan yang diambil Soeharto cenderung untuk memperbaiki
ekonomi negara melalui peningkatan pembangunan diberbagai sektor. Dalam masa jabatannya, Soeharto selalu mendapat
dukungan dan perhatian dari pemerintah Amerika Serikat. Selain karena kebijakannya yang sangat antikomunis, Soeharto
sangat tertarik pada hal-hal yang berbau kerjasama ekonomi dengan negara-negara lain. Soeharto memiliki kepercayaan
bahwa
Pada awalnya Soeharto berusaha mengarahkan kebijakannya pada kembali pada prinsip politik luar negeri yang bebas aktif.
Hal yang pertama dilakukan adalah bergabung kembali menjadi anggota PBB serta menjalin hubungan baik dengan Malaysia
dan Singapura. Dalam politik luar negerinya, Soeharto berusaha membangun image dan kepercayaan masyarakat terhadap
dirinya.  Soeharto pernah mengatakan bahwa “Politik luar negeri tanpa dukungan kekuatan dalam negeri adalah sia-sia, dan
politik luar negeri Indonesia harus ditopang oleh stabilitas politik dan ekonomi” (Sabam Siagian, 2008). Dengan adanya  
dukungan serta kestabilitasan politik luar negeri maka secara tidak langsung akan mendukung stabilitas politik ke luar negeri.
Dengan demikian, maka kepentingan nasional Indonesia akan mudah dicapai.

Selama masa pemerintahannya, Soeharto juga berperan dan berpengaruh kuat


di kalangan militer, birokrasi maupun bisnis (Anonim, 1996). Hal itulah yang juga membuat peran sebagai presiden menjadi
sentral pemerintahan. Soeharto juga dikenal sangat otoriter, banyak kebijakan dibuat hanya untuk mempertahankan
kekuasaannya meski merugikan banyak pihak, terutama rakyat. Sering terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan Soeharto
apabila ada pihak yang secara terang-terangan menolak dan menentang kebijakan yang dibuatnya. Pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh Soeharto dapat dilihat dari kasus 27 Juli dan kasus Trisakti (Ramidi, 2004), serta peristiwa Malari.

PENGARUH KUAT MILITER

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Soeharto sangat berpengaruh kuat di kalangan militer, birokrasi, dan
pebisnis. Militer menjadi sumber utama untuk menegakkan ketertiban, peraturan, dan undang-undang. Semua itu dilakukan
untuk mempertahankan eksistensi pemerintahan Soeharto di Indonesia. Siapapun yang menentang kebijakan Presiden maka
militer akan bertindak sebagai penegak hukumnya. Hal itulah yang membuat tidak ada satu pihak pun baik dari dalam
maupun luar yang berani mengusik pemerintah Indonesia.  Tindakan otoriter yang selama ini dilakukan oleh Soeharto juga
didukung oleh militer. Keberhasilan Soeharto dalam menyebarkan pengaruhnya di kalangan militer tidak terlepas dari
pengalamannya sebagai anggota Angkatan Darat. Soeharto melebarkan peran Angkatan Darat melalui kebijakan Dwifungsi
ABRI yang merupakan sebuah konsep dasar TNI dalam menjalankan peran sosial politik (Dephan RI, 2005). Peran sosial
mencakup program-program kemanusiaan, bencana alam, pelayanan kesehatan, TNI masuk desa, dan bakti TNI. Sedangkan
peran politik, meliputi pengembangan kesadaran bela negara kepada setiap warga negara, setia kepada cita-cita proklamasi 17
agustus 1945 dan NKRI, pengembangan nilai-nilai persatuan dan wawasan kebangsaan.

Dalam kenyataannya, penerapan yang dilakukan menyimpang dari konsep awal. Soeharto berhasil memimpin selama 32
tahun dan orang-orang militer membanjiri panggung politik. Banyak pejabat negara dan anggota administasi sipil yang
memiliki latar belakang militer. Itu berpengaruh pada proses pembuatan kebijakan, yang otomatis mendukung Presiden.
Namun apabila dilihat dari sisi eksternal, posisi Indonesia secara internasional semakin kuat meski demokrasi semakin
melemah. Keberhasilan ekonomi yang dicapai pemerintah bisa menutupi buruknya tingkat demokrasi di Indonesia.

POLITIK LUAR NEGERI UNTUK PEMBANGUNAN EKONOMI

Indonesia mengalami kejayaan pembangunan dan kemajuan ekonomi di Indonesia di masa pemerintahan Soeharto. Politik
luar negeri sepenuhnya difokuskan untuk pembangunan nasional di berbagai sektor. Melalui program Repelita, Indonesia
mampu meningkatkan ekonomi dan pembangunan dalam negeri. Pada tahun 1984, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi
yang sangat pesat dan menjadi negara pengekspor beras terbesar sehingga mendapat penghargaan dari FAO yakni medali
yang bertuliskan ”from rice importer to self sufficiency” (Anonim, 2005). Soeharto dianggap berjasa besar dalam
menyelesaikan masalah hutang dan pinjaman luar negeri ditimbulkan oleh pemerintahan Soekarno. Untuk mengatasi hutang-
hutang tersebut, Soeharto mencanangkan IGGI (Inter Governmental Group on Indonesia) yang berfungsi untuk melakukan
rehabilitasi terhadap perekonomian yang sedang kacau melalui kerjasama dan bantuan asing. Secara regional, Indonesia
berhasil mendirikan ASEAN yang selain untuk menjalin kerjasama dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan keamanan juga
berfungsi untuk mengakhiri konfrontasi dengan negara-negara di Asia Tenggara. Soeharto melakukan usaha yang cukup
penting dalam sejarah politik luar negeri RI saat itu. Keberhasilan dalam membentuk ASEAN berdampak positif bagi
pengakuan dunia internasional terhadap eksistensi Indonesia sebagai negara berkembang yang berhasil mencetuskan
organisasi regional yang cukup penting secara internasional.

Kemajuan ekonomi dan kestabilitasan secara politik tidak membuat pemerintahan Soeharto bertahan untuk selamanya.
Banyaknya penyelewengan yang terjadi mulai dari praktek KKN, pelanggaran HAM, dan pengekangan terhadap masyarakat
menjadi bumerang bagi pemerintahan itu sendiri. Meski secara internal, regional, dan internasional Indonesia dapat dikatakan
mencapai kejayaan dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun demokrasi tidak dapat ditegakkan.
Untungnya keberhasilan pembangunan nasional berhasil menutupi kebobrokan pemerintahan dalam negeri. Ekonomi yang
sangat pesat membuat Indonesia sempat dijuluki sebagai “Macan Asia”.

REFERENSI

anonim, 1996. “IN: PIPA-Skenario Indonesia Pasca”, http://www.hamline.edu [diaksses pada 14 Oktober 2009]


Anonim 2005, “Pembangunan Era Pak Harto – Sukses Pangan, KB dan Perumnas”,www.tokohindonesia.com, diakses pada
13 Oktober 2009 pukul 12.15 WIB
Dephan RI 2005, “Dwi fungsi ABRI bukanlah suatu yang perlu ditakuti, itu senjata pamungkas melawan perang
modern”, www.dephan.go.id, diakses pada 14 Oktober 2009 pukul 9.50 WIB
Ramidi, 2004. “LSM: selidiki Pelanggaran HAM Soeharto” http://www.tempointeraktif.com [diakses pada 14 Oktober 2009]
Siagian, Sabam 2008, “Politik Luar Negeri di Tangan Soeharto”,  www.suarapembaruan.com, diakses pada 13 Oktober 2009
pukul 23.00 WIB
Suryo, Roy 2008, “Palsu, Supersemar yang beredar selama ini”, arsip.pontianakpost.com diakses pada 14 Oktober 2009
pukul 8.10 WIB

Politik Luar Negeri RI Pascaorde Baru


 BJ Habibie
 Abdurrahman Wahid
 Megawati Soekarnoputri
 Susilo Bambang Yudhoyono

Politik Luar Negeri Pada Masa Kepresidenan Pasca Orde Baru

Politik Luar Negeri Presiden Habibie

Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia (1998-1999)   setelah lengsernya
Soeharto dari jabatannya. Kemudian kebijakan lain yang dikeluarkan Habibie adalah tentang masalah Timor-Timor yang
merupakan propinsi paling muda yang dimiliki Indonesia yang mati-matian dipertahankan pada masa Soeharto. Dan
kontroversi paling hangat adalah ketika dia menawarkan opsi otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri kepada
rakyat Timor-Timur (Tim-Tim), satu propinsi termuda Indonesia yang direbut dan dipertahankan dengan susah-payah oleh
Rezim Soeharto. Siapapun dia orangnya tentu ingin bebas merdeka termasuk rakyat Tim-Tim. Sehingga ketika jajak pendapat
dilakukan pilihan terhadap bebas menentukan nasib sendiri (merdeka) unggulk merdeka. Masalah Tim-Tim, salah-satu yang
dianggap menjadi penyebab penolakan pidato pertanggungjawaban Habibie dalam Sidang Umum MPR RI hasil Pemilu 1999.
Pemilu terbaik paling demokratis setelah Pemilu tahun 1955. penolakan ini membuat BJ, Habibie tidak bersedia maju sebagai
kandidat calon presiden (Capres).

Perhatian Habibie difokuskan untuk menangani permasalahan domestik. Ketika Habibie menjabat presiden hampir tidak ada
hari tanpa demontrasi. Demontrasi itu mendesak Habibie merepon tuntutan reformasi dalam berbagai bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara, seperti kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan rekrutmen politik, kebebasan berserikat
dan mendirikan partai politik, mebebasan berusaha, dan berbagai kebebasan lainnya. Namun kendati Habibie merespon
tuntutan reformasi itu, tetap saja pemerintahannya dianggap merupakan kelanjutan Orde Baru. Pemerintahannya yang berusia
518 hari hanya dianggap sebagai pemerintahan transisi. Dengan demikian arah politik luar negeri Indonesia sebagian besar
menjadi ranah menteri luar negerinya. Adapun hubungan luar negeri Indonesia dengan Australia dinilai tidak memuaskan,
bahkan cenderung mengalami kemunduran.

Sayangnya, karena kita terlalu fokus pada permasalahan domestik yang seringkali diwarnai oleh aksi protes, kita sering lupa
dengan apa yang telah diprogramkan oleh Habibie ke luar. Jika kita lebih jeli mengamati keseluruhan program Presiden
Habibi, maka kita mesti mengakui bahwa politik luar negeri Habibi dijalankan dengan menggunakan instrumen diplomasi
soft power. Soft power dalam Habibi diistilahkan melalui pengembangan sumber daya manusia Indonesia. Banyak sekali
pelajar Indonesia utamanya S2 yang mendapat beasiswa dari berbagai negara guna menuntut ilmu. Tentu saja hal ini
mencerminkan nama baik Habibie yang diakui secara internasional.

Perihal perekonomian, Bj Habibie menyerahkan sepenuhnya kepada staf pemerintah tertinggi yaitu menteri perdagangan,
begitu pula hubungan luar negeri dipercayakan pada sekelompok orang saja yang mengumpulkan berbagai informasi yang
diperlukan presiden untuk mengambil keputusan.

Inti arah politik luar negeri Bj Habibie adalah pemulihan nama baik indonesia seputar dugaan pelanggaran hak asasi manusia
di Timor timur. Akan tetapi sebelum permasalahan pelanggaran hak asasi manusi terselesaikan, sayangnya Bj Habibie telah
digantikan oleh presiden terpilih hasil reformasi.

Kasus: Politik Luar Negeri Pemecahan Konflik Timor Timur

Kondisi politik: pasca Reformasi

<Belum ada pembahasan pemecahan permasalahannya>

Politik Luar Negeri Presiden Gus Dur

Memahami studi strategis politik luar negri RI ini, kita juga harus melihat beberapa aspek penting yang menciptakannya.
Diantaranya ialah presiden. Dalam Politik Luar Negri RI disini, terbagi dari dua masa yaitu masa orde lama yang dipimpin
dan dicetuskan oleh presiden Soekarno, dan masa orde baru oleh presiden Soeharto. Jika dilihat dari masa ke masa, hal yang
tetap dipraktekan oleh para presiden-presiden kita yang terdahulu ialah tetap menganut politik bebas aktif yang dimilikinya
namun bagaimanapun juga politik luar negeri diselenggarakan dengan penyesuaian terhadap kepentingan nasional. Dalam
melakukan peran dalam hubungan internasional, negara tidak serta merta lepas dari kepentingan nasionalnya.

Pada pembahasan kali ini, di era pemerintahan Abdurrahman Wahid sebagai presiden ke-4 Republik Indonesia, mulai
menapaki terminologi dari sebuah Demokratisasi yang baru. George Kahin dalam bukunyaIndonesian Foreign Policy and the
Dilemma of Dependence (1976), menyebutkan bahwa politik luar negeri Indonesia senantiasa sangat dipengaruhi oleh politik
domestik. Hal ini terbukti ketika dimulainya masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa
“Gusdur” ini. Jika dilihat kembali beberapa karakteristik cara diplomasi yang dilakukan oleh presiden Soekarno hingga
Habibie yang cenderung melakukan diplomasi yang multilateral, dalam pemerintahan Gusdur ketika memimpin Republik
Indonesia ini, lebih mengedepankan diplomasi secara Bilateral. Mengapa demikian? Gusdur selalu menampakan moment-
moment pertemuan antarnegara dengan sikap yang bisa dikatakan fun. Fun disini berarti bahwa ketika Gusdur melakukan
kunjungan kenegaraan, suasana yang bisa dibilang “formal” bisa dibuat menjadi terkesan lucu atau dapat mencairkan suasana
yang memanas. Teori fun yang dilakukan untuk mencairkan suasana ini dapat memudahkan transaksi kepentingan dan
bahkan mempermulus pertarungan strategis, dan juga bisa meningkatkan bargaining position terhadap posisi Indonesia yang
saat itu sedang melemah.

Memang benar, posisi Indonesia ketika dipimpin oleh presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 1999 ini mengalami depresi
yang teramat berat. Ketika Indonesia dihadapkan dengan tragedi kerusuhan Mei 1998, kemudian Negara Timur Leste yang
memerdekakan diri, dan beberapa kasus-kasus lainnya, mengakibatkan bahwa Gusdur harus mampu memulihkan citra positif
dari Indonesia. Hal ini dibuktikan, ketika Gusdur melakukan lawatan atau kunjungan ke Luar Negeri lebih sering, tercatat
bahwa Gusdur pernah melakukan kunjungan ke 10 Negara Eropa – Asia hanya dalam waktu 17 hari saja. Walaupun hal ini
terkesan sebagai sebuah Tour presiden, namun lebih menekankan bahwa kunjungan kenegaraan ini digunakan untuk
menghadirkan citra positif bagi bangsa Indonesia dan kemudian dapat terbentuknya lagi bantuan perekenomian dari negara-
negara Eropa maupun Asia.

Meskipun dari segi fisik dan kemampuan untuk melihat Gusdur terlihat sangat kurang memahami pemerintahan, namun
dalam prakteknya ia sangat memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Namun, dari pemahaman kepercayaan diri yang dimiliki
oleh Gusdur dapat berakibat berlebihan dan akibatnya mungkin lebih cenderung over-improvisasi dan bahkan cenderung
otoriter. Menurut pemahaman kami, Politik Luar Negri RI yang dilakukan pada era pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid ini terkesan untuk memperbaiki citra negatif terhadap Indonesia dimata dunia Internasional karena dilihat dari
beberapa kasus-kasus yang tercatat sebelum masa pemerintahan Gusdur. Kemudian, diplomasi yang dilakukan lebih Bilateral
karena diharapkan nantinya dari beberapa kunjungan-kunjungan yang dilakukan Indonesia terhadap negara-negara dapat
berdampak positif yakni bisa mendapat dukungan secara penuh baik dalam segi ekonomi, maupun pengembalian citra positif
Indonesia dalam forum internasional.

<Penyimpangan arah Politik Luar Negeri?>

Situasi dan kondisi politik Indonesia saat itu?

Politik Luar Negeri Presiden Megawati

Setelah melalui kontroversi konstitusional berkepanjangan, Sidang Istimewa MPR (SI MPR) akhirnya mencabut mandat
kepresidenan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden dan Hamzah Haz
sebagai Wakil Presiden. Terlepas dari masih adanya resistensi berbagai kalangan, khususnya para pendukung Gus Dur
tentang “suksesi” kepemimpinan nasional itu, hasil ini kiranya patut diterima sebagai realitas politik yang telah diambil
lembaga tertinggi yang dijamin UUD 1945. Terlebih lagi, kepemimpinan baru ini sudah memperoleh legitimasi lebih luas
setelah mendapat pengakuan internasional dari berbagai negara.

Meski demikian, pergantian kepemimpinan nasional bukan solusi akhir dari setumpuk persoalan yang dihadapi bangsa ini.
Pemerintahan baru di bawah duet Megawati-Hamzah Haz, dihadapkan aneka masalah dan persoalan mendasar yang dialami
rakyat, akibat krisis berkepanjangan di segala bidang yang belum teratasi pemerintah sebelumnya. Mengingat kompleksitas
masalahnya, diharapkan pemerintahan baru mampu merumuskan visi, misi, dan prioritas program kerja yang akan dilakukan
hingga akhir masa jabatan tahun 2004. Dalam tenggang waktu ini, prioritas utama yang dapat dikerjakan antara lain
pemulihan ekonomi rakyat, mengembalikan citra dan kepercayaan pemerintah, serta mencegah disintegrasi bangsa dan
memulihkan stabilitas keamanan. Ini penting dalam upaya memberi arah tepat dan efisien guna pemulihan situasi di  segala
bidang untuk kemaslahatan seluruh rakyat.
Salah satu aspek penyelenggaraan pemerintahan yang sering menjadi sorotan publik di masa pemerintahan Abdurrahman
Wahid adalah pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi. Seperti dimaklumi, selama kurang dari dua tahun, Presiden
Abdurrahman Wahid mengambil peran “aktor utama” (chief diplomat) dalam pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi
dengan melakukan kunjungan luar negeri ke lebih 50 negara. Tercatat rekor, Presiden Abdurrahman Wahid menjadi satu-
satunya Presiden RI yang telah menancapkan kaki di lima benua yang mungkin akan menjadi “catatan penting” dari sejarah
politik luar negeri Indonesia.

Pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi melalui kunjungan ke mancanegara yang dilakukan Presiden Abdurrahman
Wahid banyak disorot publik, karena pelaksanaannya dianggap tidak berdasarkan “cetak-biru” atau tidak memiliki “profil”
yang jelas ke arah mana kebijakan luar negeri akan dijalankan. Beberapa kalangan, termasuk wakil rakyat, juga dengan keras
mengkritik, pelaksanaan politik luar negeri amat tidak jelas (in total disarray). Belajar dari pengalaman itu, orientasi atau arah
kebijakan luar negeri seperti apa yang akan diambil pemerintah Megawati Soekarnoputri? Tulisan ini mencoba memberikan
sumbangan pikiran yang dapat dipertimbangkan bagi pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi.

Politik Luar Negeri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

SBY dinilai berhasil mengangkat citra Indonesia, mengubah image Indonesia yang tadinya buruk menjadi lebih baik,
walaupun sedikit, tetapi cukup apresiatif. SBY berhasil menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan
beberapa negara, antara lain Jepang. Perubahan dan manuver politik globalpun menjadi oportuniti  penting yang telah
dimanfaatkan dengan baik oleh Presiden SBY.
Jika Moh hatta pernah menerjemahkan PLN RI pada masanya bagaikan mendayung di antara dua karang, maka kita boleh
mengasumsikan PLN RI pada masa Sby adalah mengarungi lautan bergelombang, bahkan menjembatani dua karang.  Hal
tersebut tercermin dari berbagai inisiatif baik Indonesia untuk menjembatani beberapa pihak yang sedang bermasalah misal
perlawanan domestik di Myanmar, tuan rumah konferensi permasalahan iklim global dan lainnya.
Selain itu, SBY mengemban beberapa aktivisme baru dalam PLN RI saat ini. Antara lain adalah komitmen Indonesia dalam
reformasi DK PBB dan gagasan SBY untuk mengirim pasukan perdamaian di Irak yang terdiri dari negara-negara Muslim,
walaupun masih perihal gagasan mengenai Irak ini belum terealisasi.

Adapun karakter PLN RI pada masa SBY yaitu

1. Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain, khususnya Jepang, China, dan India
2. Terdapat kemampuan beradapatasi dengan perubahan-perubahan domestik dan luar negeri
3. Prakmatis kreatif dan oportunis, Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja yang bisa membantu dan
menguntungkan Indonesia
4. Trust, yaitu membangun kepercayaan terhadap dan dari dunia internasional yang meliputi unity, harmony, security,
leadership dan prosperity

SIMPULAN DAN PENDAPAT

Proyeksi PLN RI pada presiden SBY antara lain ialah entah menjadi pengikut perubahan global ataukan menjadi pengarah
perubahan. Pln Ri Susilo Bambang Yudhoyono mayoritas berpusat pada perputaran konsesi politik internasional dan
pemulihan nama baik. Entah merupakan hal penting ataukah tidak, tetapi segala tindakan dan penerjemahan politik luar
negeri setiap presiden seharusnya menjadi kajian apresiatif tersendiri. Merupakan hal yang signifikan pula untuk menciptakan
keselarasan antara politik luar negeri dan politik dalam negeri.

SUMBER

http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/articles_index/idx.asp?presiden=habibie

diakses pada 20 oktober 2009 pukul 8.28 WIB

Bandoro, Bantarto, 1999. “Politik Luar Negeri Pemerintahan Abdurrahman Wahid: Sebuah Refleksi ke Depan”, Analisis
CSIS, XXVIII, No. 4, hlm. 391-403
http://www.hamline.edu/apakabar/basisdata/2000/01/1243.html (diakses tgl 20 okt 2009, pukul 23.00 WIB)

[1] Jack C Plano & Ray Olton, International Relations Dictionary (New York Holt, Rinehart & Winston, 1969), p. 127.
[2] Jack C Plano & Ray Olton. 1969. International Relation Dictionary. New York : Holt, Rinehart & Winston.
Henry A Kissinger. 1972. Domestic Structure and Foreign Policy in Wolfram F Hanreider, ed., Comparative Foreign Policy,
Theoretical Essays. New York : David McKey. p.22.
[3] Modelsky, George. 1962. Theory of Foreign Policy. New York: Praeger. p.6.
[4] Jack C Plano & Ray Olton, International Relations Dictionary (New York Holt, Rinehart & Winston, 1969), p. 127.
[5] Anonim. 2009. Bung Karno Kutuk PBB!!!. Diakses dari www. maribelajar.phpnet.us pada 7 Oktober 2009 pukul 8.15
WIB
[6] Ibid
[7] Maksum Priangga. 2009. Sejarah Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Diakses dari www.cafebelajar.compada 7 oktober
2009 pukul 8.20 WIB
[8] Renne R.A. Kawilarang. 2008. G30S dan Masa Suram Hubungan RI-RRC. Diakses dariwww.vivanews.com pada 7
oktober 2009 pukul 9.00WIB

Anda mungkin juga menyukai